Bab Ii Tinjauan Umum

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

BAB II TINJAUAN UMUM

II.1 Geologi Regional

2.1.1 Fisiografi Regional


Pulau Jawa memiliki luas + 127.000 m2 dengan panjang sekitar 1000 km.
Secara umum fisiografi Pulau Jawa dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu Jawa
Barat (Barat Cirebon), Jawa Tengah (antara Cirebon dan Semarang), Jawa Timur
(antara Semarang dan Surabaya), Tepi Jawa Timur dan Pulau Madura. Daerah
pemetaan yang akan penulis petakan yaitu terletak pada fisiografi Jawa Tengah.
(Gambar 2.1)

Gambar 2.1. Pembagian fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh Van Bemmelan, 1949)

Jawa Tengah sendiri merupakan bagian yang sempit di antara bagian yang
lain dari Pulau Jawa, garis pantai utara dan selatan wilayah ini lebih sempit masuk
dibanding garis pantai utara dan selatan Jawa Barat dan Jawa Timur. Lebarnya pada
arah Utara-Selatan sekitar 100 – 120 km. Daerah Jawa Tengah tersebut terbentuk oleh
dua pegunungan yaitu Pegunungan Serayu Utara yang berbatasan dengan jalur
Pegunungan Bogor di sebelah barat dan Pegunungan Kendeng di sebelah timur serta

4
Pegunungan Serayu Selatan yang merupakan terusan dari depresi Bandung di Jawa
Barat. Jawa Tengah dibagi menjadi beberapa wilayah menurut bentang fisiografisnya,
yaitu Dataran Pantai Bagian Utara Mempunyai lebar maksimum 40 km di selatan
Brebes dan di Lembah Remali yang memisahkan Bogor Range dari pegunungan
bagian utara Jawa Tengah dan sedikit ke timur dengan lebar ± 20 km di selatan Tegal
dan Pekalongan.
Antara Wereli dan Kaliwungu merupakan alluvial yang dibentuk oleh delta
dari sungai Bodri. Secara umum dataran pantai bagian utara Jawa Tengah merupakan
endapan alluvial yang terbawa sungai yang bermuara di Laut Jawa.
Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen (1949) dibagi
menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,
Antiklinorium Bogor – Serayu Utara – Kendeng, Deperesi Jawa Tengah, Pegunungan
Serayu Selatan, dan Pegunungan Selatan Jawa.
1. Dataran Aluvial Jawa Utara, mempunyai lebar maksimum 40 km kearah
selatan. Semakin ke arah timur, lebarnya menyempit hingga 20 km.
2. Gunungapi Kuarter di Jawa Tengah antara lain G. Slamet, G. Dieng, G.
Sundoro, G. Sumbing, G. Ungaran, G. Merapi, G. Merbabu, dan G. Muria.
3. Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan Tegal, zona ini
tertutupi oleh produk gunungapi kuarter dari G. Slamet. Di bagian tengah
ditutupi oleh produk volkanik kuarter G. Rogojembangan, G. Ungaran, dan G.
Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan batas
antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang, persis
di sebelah barat G. Slamet, sedangkan ke arah timur membentuk Zona
Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor terletak di selatan Dataran Aluvial
Jakarta berupa Antiklinorium dari lapisan Neogen yang terlipat kuat dan
terintrusi. Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas antara Gunung
Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan tertua
berumur Oligosen-Miosen bawah yang diwakili oleh Formasi Pelang.
4. Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan. Sebagian
merupakan dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi pantai ini cukup

5
kontras dengan pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur yang relatif lebih
terjal.
5. Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa
membentuk morfologi pantai yang terjal. Namun di Jawa Tengah, zona ini
terputus oleh Depresi Jawa Tengah.
6. Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang
membentuk kubah dan punggungan. Di bagian barat dari Pegunungan Serayu
Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk antiklonorium yang
berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua terbesar di Pulau Jawa,
yaitu daerah Luk Ulo, Kebumen.

2.1.2 Stratigrafi Regional


Secara regional stratigrafi daerah penelitian termasuk dalam Pegunungan
Serayu Utara, di bagian barat berbatasan dengan Zona Gunungapi Kuarter (Gunung
Slamet), bagian utara adalah Zona Dataran Pantai Utara Jawa Tengah, dan bagian
selatan adalah Zona Depresi Jawa Tengah. Secara lebih rinci, fisiografi Pegunungan
Serayu Utara dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian barat (Bumiayu), bagian tengah
(Karangkobar) dan bagian timur (Ungaran) (Bemmelen, 1949). Daerah penelitian ini
termasuk dalam Pegunungan Serayu Utara bagian barat (Bumiayu) dan tengah
(Karangkobar). Berikut adalah urutan stratigrafi daerah penelitian dari yang paling tua
sampai yang paling muda.
1. Formasi Kumbang (Tmpk): Lava andesit dan basal, breksi, tuf, secara setempat
breksi batuapung dan tuf pasiran, serta sisipan napal. Lava sebagian besar
mengaca (bawahlaut). Napal mengandung Globigerina. Umur Miosen Tengah
- Pliosen Awal. Menjemari dengan Formasi Halang. Tebal maksimal lebih
kurang 2000 m dan menipis ke arah timur.
2. Formasi Halang (Tmph): Batupasir tufan, konglomerat, napal, dan
batulempung;bagian bawah berupa breksit andesit. Runtunan batuan
mengandung fosil Globigerina dan foraminifera kecil lainnya. Umur Miosen
Tengah - Pliosen Awal. Breksi andesit, ketebalan bervariasi dari 200 m di
selatan sampai 500 m di sebelah utara. Bagian atas runtunan tak mengandung
6
rombakan berbutir kasar. Diendapkan sebagai sedimen turbidit pada zona
batial atas. Ketebalan satuan menipis ke arah timur, tebal maksimal 700 m.
3. Formasi Tapak: Batuan penyusun formasi ini berupa batupasir kasar berwarna
kehijauan dan konglomerat, setempat dijumpai breksi. Dibagain atasnya terdiri
atas batupasir gampingan dan napal berwarna hijau yang mengandung pecahan
moluska. Formasi Tapak mengandung dua anggota, yaitu Anggota Breksi dan
Anggota Batugamping. Anggota Breksi terdiri dari breksi gunungapi dengan
massadasar batupasir tufan, di beberapa tempat terdapat kalsit yang mengisi
celah-celah. Anggota Batugamping terdiri atas lensa-lensa berwarna kelabu
kekuningan, tidak berlapis. Formasi ini memiliki ketebalan 500 m, memiliki
umur Miosen Tengah-Pliosen Awal, diendapkan secara tidak selaras diatas
Foramsi Kumbang dan diendapkan pada lingkungan laut dangkal-laut dalam.
Diatasnya diendapkan selaras Formasi Kalibiuk. (Gambar 2.2)

Gambar 2.2. Kolom stratigrafi regional Zona Pegununungan Serayu Utara oleh
Van Bemmelen, 1949)

7
II.3 Derajat Tingkat Pelapukan
Derajat tingkat pelapukan merupakan usaha untuk mengetahui adanya urutan
perubahan akibat adanya proses pelapukan fisik dan kimia yang berperan dalam individu
atau kombinasinya, beserta sifat – sifat keteknikan pada masing – masing derajat
pelapukanya (ISRM, 1978). Derajat tingkat pelapukan dapat menjadi acuan pembagi
kondisi geologi teknik suatu daerah berdasarkan derajat pelapukan material pembentuk
suatu daerah penelitian. Satuan geologi teknik daerah penelitian untuk tingkat pelapukan
mengacu pada klasifikasi International Society for Rock Mechanic (ISRM). Menurut
ISRM (1978), secara garis besar derajat tingkat pelapukan dipisahkan sebagai berikut
(Tabel 2.5).

Tabel 2.5 Klasifikasi derajat pelapukan ISRM (1978).

8
II.4 Pengertian Longsor dan Klasifikasi Longsor
Pengertian longsoran (landslide) dengan gerakan tanah (mass movement)
mempunyai kesamaan. Untuk memberikan definisi longsoran perlu penjelasan
keduanya. Gerakan tanah ialah perpindahan massa tanah/batu pada arah tegak,
mendatar atau miring dari kedudukan semula. Gerakan tanah mencakup gerak rayapan
dan aliran maupun longsoran. Menurut definisi ini longsoran adalah bagian gerakan
tanah (Purbohadiwidjojo, dalam Pangular, 1985). Jika menurut definisi ini
perpindahan massa tanah/batu pada arah tegak adalah termasuk gerakan tanah, maka
gerakan vertikal yang mengakibatkan bulging (lendutan) akibat keruntuhan fondasi
dapat dimasukkan pula dalam jenis gerakan tanah. Dengan demikian pengertiannya
menjadi sangat luas.
Menurut Varnes (1978, dalam Hansen, 1984) longsoran (landslide) dapat
diklasifikasikannya menjadi: jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide) dan
nendatan (slump), aliran (flow), gerak bentang lateral (lateral spread), dan gerakan
majemuk (complex movement). Berikut Klasifikasi Longsor Menurut Varnes 1978.

Tabel Error! No text of specified style in document..5 Klasifikasi longsor (Varnes,

1978)
9
a. Tipe Runtuhan (Fall)
Tipe Runtuhan merupakan gerakan tanah yang disebabkan keruntuhan tarik yang
diikuti dengan tipe gerakan jatuh bebas akibat gravitasi. Pada tipe runtuhan ini massa
tanah atau batuan lepas dari suatu lereng atau tebing curam dengan sedikit atau tanpa
terjadi pergeseran (tanpa bidang longsoran). Massa tersebut meluncur di udara seperti
gerakan jatuh bebas, meloncat atau menggelundung.
Longsoran atau Runtuhan tanah dapat terjadi karena kekuatan material yang
terletak di bagian bawah lebih lemah (antara lain karena tererosi dan penggalian)
dibandingkan lapisan di atasnya. Runtuhan batuan dapat terjadi antara lain karena
adanya perbedaan pelapukan, perbedaan tekanan hidrostatis karena masuknya air ke
dalam retakan, serta karena perlemahan akibat struktur geologi (antara lain kekar,
sesar, perlapisan)
b. Tipe Jungkiran (Toppling)
Tipe Jungkiran adalah jenis gerakan memutar ke depan dari satu atau beberapa
blok tanah/batuan terhadap titik pusat putaran di bawah massa batuan. Gaya utama
dari fenomena ini adalah gaya gravitasi, gaya dorong dari massa batuan di
belakangnya dan gaya yang ditimbulkan oleh tekanan air yang mengisi rekahan
batuan. Jungkiran ini biasanya terjadi pada tebing-tebing yang curam dan tidak
mempunyai bidang longsoran.

c. Tipe Longsoran (Sliding)


Tipe Longsoran adalah gerakan yang disebabkan oleh keruntuhan melalui satu atau
beberapa bidang yang dapat diamati ataupun diduga. Slides dibagi lagi menjadi dua
jenis. Disebut luncuran (slide) bila dipengaruhi gerak translasional dan susunan
materialnya yang banyak berubah. Bila longsoran gelinciran dengan susunan
materialnya tidak banyak berubah dan umumnya dipengaruhi gerak rotasional, maka
disebut nendatan (slump), Termasuk longsoran gelinciran adalah: luncuran bongkah
tanah maupun bahan rombakan, dan nendatan tanah.

10
d. Tipe Penyebaran Lateral (Lateral Spreading)
merupakan jenis longsoran yang dipengaruhi oleh pergerakan bentangan material
batuan secara horisontal. Biasanya berasosiasi dengan jungkiran, jatuhan batuan,
nendatan dan luncuran lumpur sehingga biasa dimasukkan dalam kategori complex
landslide - longsoran majemuk. Pada bentangan lateral tanah maupun bahan
rombakan, biasanya berasosiasi dengan nendatan, luncuran atau aliran yang
berkembang selama maupun setelah longsor terjadi. Material yang terlibat antara lain
lempung (jenis quick clay) atau pasir yang mengalami luncuran akibat gempa.

e. Tipe Aliran (Flow)


Tipe Aliran adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah kandungan atau kadar
airtanah, terjadi pada material tak terkonsolidasi. Bidang longsor antara material yang
bergerak umumnya tidak dapat dikenali. Termasuk dalam jenis gerakan aliran kering
adalah sandrun (larianpasir), aliran fragmen batu, aliran loess. Sedangkan jenis
gerakan aliran basah adalah aliran pasir-lanau, aliran tanah cepat, aliran tanah lambat,
aliran lumpur, dan aliran bahan rombakan.

f. Tipe Majemuk (Complex)


gabungan dari dua atau tiga jenis gerakan di atas. Pada umumnya longsoran
majemuk terjadi di alam, tetapi biasanya ada salah satu jenis gerakan yang menonjol
atau lebih dominan.

II.4.1 Penyebab Terjadinya Longsor


Jadi dalam menganalisis kemantapan lereng akan selalu berkaitan dengan

perhitungan untuk mengetahui angka faktor keamanan dari lereng tersebut. Ada

beberapa faktor yang mempengaruhi kemantapan lereng, antara lain :

1. Penyebaran Batuan

Penyebaran dan keragaman jenis batuan sangat berkaitan dengan


kemantapan lereng, ini karena kekuatan, sifat fisik dan teknis suatu jenis batuan
11
berbeda dengan batuan lainnya. Penyamarataan jenis batuan akan mengakibatkan
kesalahan hasil analisis. Misalnya : kemiringan lereng yang terdiri dari pasir tentu
akan berbeda dengan lereng yang terdiri dari lempung atau campurannya.

2. Struktur Geologi
Struktur geologi yang mempengaruhi kemantapan lereng dan perlu
diperhatikan dalam analisis adalah struktur regional dan lokal. Struktur ini mencakup
sesar, kekar, bidang perlapisan, sinklin dan antiklin, ketidakselarasan, liniasi, dll.
Struktur ini sangat mempengaruhi kekuatan batuan karena umumnya merupakan
bidang lemah pada batuan tersebut, dan merupakan tempat rembesan air yang
mempercepat proses pelapukan.

3. Morfologi
Keadaan morfologi suatu daerah akan sangat mempengaruhi kemantapan
lereng didaerah tersebut. Morfologi yang terdiri dari keadaan fisik, karakteristik dan
bentuk permukaan bumi, sangat menentukan laju erosi dan pengendapan yang terjadi,
menent ukan arah aliran air permukaan maupun air tanah dan proses pelapukan
batuan.

4. Iklim
Iklim mempengaruhi temperatur dan jumlah hujan, sehingga berpengaruh
pula pada proses pelapukan. Daerah tropis yang panas, lembab dengan curah hujan
tinggi akan menyebabkan proses pelapukan batuan jauh lebih cepat daripada daerah
sub-tropis. Karena itu ketebalan tanah di daerah tropis lebih tebal dan kekuatannya
lebih rendah dari batuan segarnya.

5. Tingkat Pelapukan
Tingkat pelapukan mempengaruhi sifat-sifat asli dari batuan, misalnya angka
kohesi, besarnya sudut geser dalam, bobot isi, dll. Semakin tinggi tingkat pelapukan,
maka kekuatan batuan akan menurun.
12
II.5 Stabilitas Lereng
Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan tertentu
dengan bidang horizontal. Lereng dapat terbentuk secara alamiah karena proses
geologi atau karena dibuat oleh manusia. Lereng yang terbentuk secara alamiah
misalnya lereng bukitdan tebing sungai, sedangkan lereng buatan manusia antara lain
yaitu galian dan timbunan untuk membuat jalan raya dan jalan kereta api, bendungan,
tanggul sungai dan kanal serta tambang terbuka. Suatu longsoran adalah keruntuhan
dari massa tanah yang terletak pada sebuah lereng sehingga terjadi pergerakan massa
tanah ke bawah dan ke luar.
Longsoran dapat terjadi dengan berbagai cara, secara perlahan-lahan atau
mendadak serta dengan ataupun tanpa tanda-tanda yang terlihat. Setelah gempa bumi,
longsoran merupakan bencana alam yang paling banyak mengakibatkan kerugian
materi maupun kematian. Kerugian dapat ditimbulkan oleh suatu longsoran antara
lain yaitu rusaknya lahan pertanian, rumah, bangunan, jalur transportsi serta sarana
komunikasi. Analisis kestabilan lereng harus berdasarkan model yang akurat
mengenai kondisi material bawah permukaan, kondisi air tanah dan pembebanan
yang mungkin bekerja pada lereng. Tanpa sebuah model geologi yang memadai,
analisis hanya dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang kasar
sehingga kegunaan dari hasil analisis dapat dipertanyakan. Beberapa pendekatan
yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan metode-metode seperti : Metode
Taylor, Metode janbu, Metode Fenellius, Metode Bishop, dll. Dalam menentukan
kestabilan atau kemantapan lereng dikenal istilah faktor keamanan (safety factor)
yang merupakan perbandingan antara gaya-gaya yang menahan gerakan terhadap
gaya-gaya yang menggerakkan tanah tersebut dianggap stabil, bila dirumuskan
sebagai berikut :
Faktor kemanan (F) = gaya penahan / gaya penggerak
Dimana untuk keadaan :
• F > 1,0 : lereng dalam keadaan mantap
• F = 1,0 : lereng dalam keadaan seimbnag, dan siap untuk longsor
• F < 1,0 : lereng tidak mantap
13
II.6 Klasifikasi Massa Batuan
Dalam melakukan analisis kemantapan lereng, metode klasifikasi massa
batuan (Rock Mass Classification) yang terdiri dari beberapa parameter sangat cocok
untuk mewakili karakteristik massa batuan, khususnya terhadap geometri bidang
diskontinu dan kondisi bidang diskontinu, serta indeks nilai kekuatan batuan. Pada
dasarnya pembuatan klasifikasi massa batuan bertujuan untuk :
a. Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang mempengaruhi perilaku
massa batuan.
b. Membagi formasi massa batuan kedalam grup yang mempunyai perilaku sama
menjadi kelas massa batuan.
c. Memberikan dasar-dasar untuk pengertian karakteristik dari setiap kelas massa
batuan.

Beberapa klasifikasi massa batuan yang banyak dipakai atau dimodifikasi untuk
kepentingan kemantapan lereng antara lain :
a. Rock Mass Rating (RMR, Bieniawski, 1973 & 1989)
b. Slope Mass Rating (SMR, Romana, 1985 & 1991)

II.4.6.1 Rock Mass Rating (RMR)


Rock Mass Rating (RMR) disebut juga Geomechanics Classification dibuat
oleh Bieniawski (1973). RMR terdiri dari enam parameter dan pembobotan untuk
mengklasifikasi massa batuan, yaitu kuat tekan batuan utuh (Uniaxial Compressive
Strength dan Point Load Index), Rock Quality Designation (RQD), jarak/spasi kekar,
kondisi kekar, kondisi air tanah dan orientasi kekar.

a. Kuat Tekan Batuan Utuh (Strength of Intact Rock Material)


Kuat tekan batuan utuh adalah kemampuan dari material batuan untuk dapat
bertahan terhadap gaya yang bekerja padanya. Nilai kuat tekan batuan utuh
dapat diperoleh dari uji kuat tekan uniaksial (Uniaxial Compressive Strength)

14
dan uji Point Load Index (PLI). Pengujian kuat tekan uniaksial (UCS)
menggunakan mesin tekan (compression machine) untuk menekan contoh
batuan yang berbentuk silinder, balok atau prisma dari satu arah (uniaxial)
hingga contoh batuan mengalami keruntuhan. Dari hasil pengujian UCS,
didapatkan nilai kuat tekan uniaksial batuan, yaitu :
𝑃 𝜋 𝑋 𝐷²
Kuat tekan (σc) = ; A=
𝐴 4

Dimana σc = Kuat tekan (MPa)

P = Tekanan maksimum (Kg)

A = Luas penampang (cm2)

𝜋 = Konstanta (3,14)

D = Diameter contoh (mm)

15
b. Rock Quality Designation (RQD)

Rock Quality Designation dikemukakan oleh Deere dan kawan-kawan (1960),


didefinisikan sebagai persentase dari inti bor yang diperoleh dengan panjang
lebih dari 10 cm (lihat Gambar 3.7) dan jumlah inti bor tersebut umumnya
diukur pada inti bor sepanjang 2 meter.

Gambar 2.2 Pengukuran Rock Quality Designation (Deere, 1960)

RQD= (∑▒〖xi 〗)/L x 100 %

Keterangan :

∑▒〖xi 〗 = Total panjang inti bor > 10 cm

L = Panjang total inti bor (m)

Apabila inti bor tidak tersedia, RQD dapat dihitung secara tidak langsung
dengan menggunakan pengukuran orientasi dan jarak antar diskontinuitas pada
singkapan batuan. Priest dan Hudson (1976) mengajukan sebuah persamaan
untuk menentukan RQD dari data scan line sebagai berikut :

16
RQD = 100 x e-0.1λ x (0.1λ + 1)
Dimana λ merupakan rasio antara jumlah kekar dengan panjang scan line
(kekar/meter).

c. Jarak Kekar (Spacing of discontinuities)


Jarak kekar adalah jarak tegak lurus antara dua bidang kekar yang
saling berurutan sepanjang garis bentangan. Pada perhitungan RMR,
parameter jarak kekar diberikan pembobotan berdasarkan nilai jarak antar
kekar-nya

d. Kondisi Kekar (Condition of discontinuities)


Untuk menentukan kondisi kekar pada massa batuan, terdapat lima
karakteristik kekar yang harus diidentifikasi, meliputi :
1. Persistensi atau kemenerusan (persistence/continuity)
Persistensi kekar dapat diukur secara langsung di lapangan dengan
mengamati panjang persistensi kekar pada massa batuan yang
tersingkap.
2. Kekasaran (roughness)
Kekasaran permukaan kekar akan mempengaruhi tergelincirnya suatu
blok massa batuan.
3. Pemisahan (separation/aperture)
Pemisahan adalah lebar celah antara dua permukaan kekar yang
terbuka.
4. Material Pengisi (filling/gouge)
Material pengisi berada pada celah yang terbuka antara dua dinding
kekar yang saling berdekatan. Material pengisi tersebut berupa hard
filling (kuarsa, kalsit, pasir, dll) dan soft filling (lempung, lanau, mika,
dll).
5. Pelapukan (weathering)
Penentuan tingkat pelapukan kekar dapat dilihat dari perbedaan warna
pada batuan dan terdekomposisinya batuan atau tidak. Semakin besar
17
tingkat perubahan warna dan terdekomposisi, maka batuan akan
semakin lapuk.
e. Kondisi Air Tanah (Groundwater conditions)
Air tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kemantapan
lereng, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, berat
air tanah dalam hal ini dinyatakan sebagai bobot isi air (gw) dapat memberikan
tambahan beban yang besar pada lereng.
Air tanah yang terdapat pada rongga-rongga/rekahan pada lereng juga
memberikan tekanan dinamik (lateral) yang berarti bagi kemantapan lereng.
Sedangkan secara tidak langsung, terdapatnya air tanah dalam jangka waktu
yang lama dapat mengubah kekuatan batuan karena mempercepat proses
pelapukan. Kondisi air tanah yang ditemukan pada pengukuran kekar
diinterpretasikan sebagai salah satu kondisi berikut : kering (completely dry),
lembab (damp), basah (wet), dan menetes (dripping), mengalir (flowing).

f. Orientasi Kekar (Orientation of discontinuities)

Parameter ini merupakan penambahan serta koreksi terhadap kelima

parameter sebelumnya. Bobot yang diberikan pada orientasi kekar sangat

tergantung kepada hubungan antara orientasi kekar dengan metode penggalian

yang dilakukan (Lihat Tabel 3.13 dan Tabel 3.14). Oleh karena itu dalam

perhitungan RMR, bobot parameter ini dilakukan secara terpisah dari lima

parameter lainnya.

II.7 SLOPE MASS RATING (SMR)

Sistem RMR telah dimodifikasi oleh Romana (1985) untuk menentukan

kemantapan lereng dengan sistem klasifikasi Slope Mass Rating (SMR). Sistem SMR

menambahkan faktor penyesuaian seperti orientasi bidang diskontinu, orientasi lereng,

18
dan metode ekskavasi lereng. Faktor penyesuain untuk orientasi bidang diskontinu

lebih memberikan interpretasi yang lebih spesifik tentang bagaimana mendeterminasi

sifat menguntungkan atau tidaknya orientasi bidang diskontinuitas terhadap orientasi

lereng, aspek tersebut tidak dijelaskan secara komprehensif pada sistem klasifikasi

RMR yang dibuat oleh Bieniawski (1984). Pendekatan ini sangat cocok untuk

penilaian awal kemantapan lereng batuan, termasuk batuan lunak ataupun massa

batuan yang sangat terkekarkan (heavily jointed rock mass).

Nilai SMR diperoleh berdasarkan bobot perhitungan yang digabungkan

SMR = RMR – (F1 x F2 x F3) + F4

dengan bobot perhitungan parameter RMR, yaitu :

Dimana :

F1 : Memperlihatkan kesejajaran antara jurus orientasi bidang kekar (αj) dengan

jurus dari permukaan lereng (αs).

F1 = [ 1 – sin (αs– αj) ]2

F2 : Menjelaskan sudut tangensial kemiringan kekar (βj).

F1 = tg2 x βj

F3 : Mencerminkan hubungan kemiringan kekar (βj) dengan kemiringan lereng

(βs)

F4 : Merupakan penyesuaian untuk metode ekskavasi/peledakan.

Tabel 2.7 Bobot Pengaturan untuk Nilai F1, F2 dan F3 (Romana, 1980)

Pembobotan dari masing-masing parameter nilai F1, F2, F3, dan F4, dapat dilihat

19
(pada Tabel 2.7) :

Kriteria
Sangat me- Menguntung- Tak mengun- Sangat tak
Kasus faktor Sedang
nguntungkan kan tungkan menguntungkan
koreksi

P |aj - as| > 30 30 – 20 20 - 10 10 – 5 <5

T |aj - as - 180|

P/T F1 0.15 0.40 0.70 0.85 1.00

P |bj| < 20 20 – 30 30 - 35 35 - 45 > 45

P F2 0.15 0.40 0.70 0.85 1.00

T F2 1 1 1 1 1

P bj – bs > 10 10 – 0 0 0 - (-10) < -10

T bj + bs < 100 110 – 120 > 120

P/T F3 0 -6 - 25 - 50 - 60

Tabel 2.8 Bobot metode ekskavasi/peledakan lereng (Romana, 1980)


Metode Lereng Presplitting Smooth Penggalian Peledakan
alami blasting mekanis massal
F4 + 15 + 10 +8 0 -8

Tabel 2.9 Deskripsi untuk setiap kelas SMR (Romana, 1985)

20
21

Anda mungkin juga menyukai