Kerajaan Taruma Negara & Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Taruma Negara & Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Taruma Negara & Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Terumanagara merupakan kerajaan Hindu tertua ke dua setelah Kerajaan Kutai.
Kerajaan Tarumanagara atau Kerajaan Tarum merupakan kerajaan yang berkuasa di wilayah
barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi. Kata Tarumanagara berasal dari kata
Tarum dan Nagara. Tarum yang merupakan nama sungai yang membelah Jawa Barat yang
sekarang bernama sungai Citarum dan kata Nagara yang diartikan sebagai negara atau kerajaan.
Nah, pada kesempatan kali ini Zona Siswa akan mencoba menghadirkan penjelasan lengkap
tentang sejarah kerajaan Tarumanegara dari awal berdirinya, masa kejayaanya, keruntuhan, dan
kehidupan sosial budaya kerajaan Tarumanegara. Semoga bermanfaat. Check this out!!!
Menurut Naskah Wangsakerta, pada abad ke-4 Masehi, pulau dan beberapa wilayah Nusantara
lainnya didatangi oleh sejumlah pengungsi dari India yang mencari perlindungan akibat
terjadinya peperangan besar di sana. Para pengungsi itu umumnya berasal dari daerah Kerajaan
Palawa dan Calankayana di India, pihak yang kalah dalam peperangan melawan Kerajaan
Samudragupta (India).
Salah satu dari rombongan pengungsi Calankayana dipimpin oleh seorang Maharesi yang
bernama Jayasingawarman. Setelah mendapatkan persetujuan dari raja yang berkuasa di barat
Jawa (Dewawarman VIII, raja Salakanagara), maka Jayasingawarman membuka tempat
pemukiman baru di dekat sungai Citarum. Pemukimannya oleh Jayasingawarman diberi nama
Tarumadesya (desa Taruma).
Sepuluh tahun kemudian desa ini banyak didatangi oleh penduduk dari desa lain, sehingga
Tarumadesya menjadi besar. Akhirnya dari wilayah setingkat desa berkembang menjadi
setingkat kota (Nagara). Semakin hari, kota ini semakin menunjukan perkembangan yang pesat,
karena itulah Jayasingawarman kemudian membentuk sebuah Kerajaan yang bernama
Tarumanagara.
Raja ke-12 Tarumanagara, Linggawarman, memiliki dua orang putri. Putri pertamanya
bernama Dewi Manasih yang kemudian menikah dengan Tarusbawa dan Sobakencana yang
kemudian menjadi isteri Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya. Tangku
kepemimpian Kerajaan Tarumanegara pun jatuh pada suami Manasih yaitu Tarusbawa. Pada
masa kepemerintahan Tarusbawa, pusat kerajaan Tarumanagara ke kerajaanya sendiri yaitu
Kerajaan Sunda (Kerajaan bawahan Tarumanagara) dan kemudian mengganti Kerajaan
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Selain dari prasasti, terdapat juga suber-sumber lain yang berasal dari Cina, diantarnya:
1. Berita dari Fa-Hien, seorang musafir Cina (pendeta Budha) yang terdampar di Yepoti
(Yawadhipa/Jawa) tepatnya Tolomo (Taruma) pada tahun 414. Dalam catatannya di
sebutkan rakyat Tolomo sedikit sekali memeluk Budha yang banyak di jumpainya adalah
Brahmana dan Animisme.
2. Berita dari Dinasti Soui yang menyatakan bahwa pada tahun 528 dan 535 datang utusan
dari negeri Tolomo (Taruma) yang terletak disebelah selatan.
3. Berita dari Dinasti Tang Muda yang menyebutkan tahun 666 dan tahun 669 M datang
utusan dari Tolomo.
Dari segi kebudayaan sendiri, Kerajaan Tarumanagara bisa dikatakan kebudayaan mereka
sudah tinggi. Terbukti dengan penggalian sungai untuk mencegah banjir dan sebagai saluran
irigasi untuk kepentingan pertanian. Terlihat pula dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf
pada prasasti yang ditemukan, menjadi bukti kebudayaan masyarakat pada saat itu tergolong
sudah maju.
KERAJAAN MATARAM KUNO
Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang, Ki Ageng Pemanahan dilantik menjadi bupati
di Mataram sebagai imbalan atas keberhasilannya membantu menumpas Aria Penangsang.
Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya. Setelah Ki
Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575, Sutawijaya diangkat menjadi bupati di Mataram.
Sutawijaya ternyata tidak puas menjadi bupati dan ingin menjadi raja yang menguasai seluruh
Jawa. Oleh karena itu, Sutawijaya mulai memperkuat sistem pertahanan Mataram. Hal itu
ternyata diketahui oleh Hadiwijaya sehingga ia mengirim pasukan untuk menyerang Mataram.
Peperangan sengit terjadi pada tahun 1582. Prajurit Pajang menderita kekalahan. Keadaan Sultan
Hadiwijaya sendiri pada saat itu sedang sakit. Beberapa waktu kemudian Sultan Hadiwijaya
mangkat. Setelah itu, terjadilah perebutan kekuasaan di antara para bangsawan Pajang. Pangeran
Pangiri (menantu Hadiwijaya yang menjabat Bupati Demak) datang menyerbu Pajang untuk
merebut takhta. Hal itu tentu saja ditentang keras oleh para bangsawan Pajang yang bekerja sama
dengan Sutawijaya, Bupati Mataram. Akhirnya, Pangeran Pangiri beserta pengikutnya dapat
dikalahkan dan diusir dari Pajang.
Setelah suasana aman, Pangeran Benawa (putra Hadiwijaya) menyerahkan takhtanya kepada
Sutawijaya yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Mataram pada tahun 1586.
Sejak saat itu berdirilah Kerajaan Mataram. Nah, pada kesempatan kali ini Zona Siswa akan
mencoba untuk menghadirkan sebuah penjelasan tentang Sejarah Kerajaan Mataram Islam dari
segi politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Semoga bermanfaat. Check this out!!!
A. Kehidupan Politik
Sutowijoyo mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati
(1586-1601) dengan ibukota kerajaan di Kota Gede. Tindakan-tindakan penting yang dilakukan
adalah meletakkan dasar-dasar Kerajaan Mataram dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan
ke timur, Surabaya, Madiun dan Ponorogo, dan ke barat menundukkan Cirebon dan Galuh.
Pengganti Panembahan Senopati adalah Mas Jolang. Ia gugur di daerah Krapyak dalam upaya
memperluas wilayah, sehingga disebut Panembahan Seda Krapyak. Raja terbesar Kerajaan
Mataram ialah Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Sultan
bercita-cita: (1) mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan (2) mengusir
kompeni (VOC) dari Batavia. Masa pemerintahan Sultan Agung selama 32 tahun dibedakan atas
dua periode, yaitu masa penyatuan negara dan masa pembangunan. Masa penyatuan negara
(1613-1629) merupakan masa peperangan untuk mewujudkan cita-cita menyatukan seluruh
Jawa. Sultan Agung menundukkan Gresik, Surabaya, Kediri, Pasuruan dan Tuban, selanjutnya
Lasem, Pamekasan, dan Sumenep. Dengan demikian seluruh Jawa telah tunduk di bawah
Mataram, dan luar Jawa kekuasaan meluas sampai Palembang, Sukadana (Kalimantan), dan Goa.
Setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon berhasil dikuasai, Sultan Agung merencanakan
untuk menyerang Batavia. Serangan pertama dilancarkan pada bulan Agustus 1628 di bawah
pimpinan Bupati Baurekso dari Kendal dan Dipati Ukur dari Sumedang. Batavia dikepung dari
darat dan laut selama 2 bulan, namun tidak mau menyerah bahkan sebaliknya akhirnya tentara
Mataram terpukul mundur. Dipersiapkan serangan yang kedua dan dipersiapkan lebih matang
dengan membuat pusat-pusat perbekalan makanan di Tegal, Cirebon dan Krawang serta
dipersiapkan angkatan laut. Serangan kedua dilancarkan bulan September 1629 di bawah
pimpinan Sura Agul-Agul, Mandurarejo, dan Uposonto. Namun nampaknya VOC telah
mengetahui lebih dahulu rencana tersebut, sehingga VOC membakar dan memusnahkan gudang-
gudang perbekalan. Serangan ke Batavia mengalami kegagalan, karena kurangnya perbekalan
makanan, kalah persenjataan, jarak Mataram–Jakarta sangat jauh, dan tentara Mataram terjangkit
wabah penyakit
Setelah Sultan Agung meninggal, penetrasi politik VOC di Mataram makin kuat. Akibat campur
tangan VOC dan adanya perang saudara dalam memperebutkan takhta pemerintahan menjadikan
kerajaan Mataram lemah dan akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil.
Perseturuan antara Paku Buwono II yang dibantu Kompeni dengan Pangeran Mangkubumi dapat
diakhiri dengan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755 yang isinya Mataram dipecah
menjadi dua, yakni:
1. Mataram Barat yakni KesultananYogakarta, diberikan kepada Mangkubumi dengan gelar
Sultan Hamengku Buwono I.
2. Mataram Timur yakni Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III.
Selanjutnya untuk memadamkan perlawanan Raden Mas Said diadakan Perjanjian Salatiga,
tanggal 17 Maret 1757, yang isinya Surakarta dibagi menjadi dua, yakni:
1. Surakarta Utara diberikan kepada Mas Said dengan gelar Mangkunegoro I, kerajaannya
dinamakan Mangkunegaran.
2. Surakarta Selatan diberikan kepada Paku Buwono III kerajaannya dinamakan Kasunanan
Surakarta.
Pada tahun 1813 sebagian daerah Kesultanan Yogyakarta diberikan kepada Paku Alam selaku
Adipati. Dengan demikian kerajaan Mataram yang satu, kuat dan kokoh pada masa pemerintahan
Sultan Agung akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yakni:
1. Kerajaan Yogyakarta
2. Kasunanan Surakarta
3. Pakualaman
4. Mangkunegaran
B. Kehidupan Ekonomi
Letak geografisnya yang berada di pedalaman didukung tanah yang subur, menjadikan kerajaan
Mataram sebagai daerah pertanian (agraris) yang cukup berkembang, bahkan menjadi daerah
pengekspor beras terbesar pada masa itu. Rakyat Mataram juga banyak melakukan aktivitas
perdagangan laut. Hal ini dapat terlihat dari dikuasainya daerah-daerah pelabuhan di sepanjang
pantai Utara Jawa. Perpaduan dua unsur ekonomi, yaitu agraris dan maritim mampu menjadikan
kerajaan Mataram kuat dalam percaturan politik di nusantara.
C. Kehidupan Sosial-budaya
Pada masa pertumbuhan dan berkaitan dengan masa pembangunan,maka Sultan Agung
melakukan usaha-usaha antara lain untuk meningkatkan daerahdaerah persawahan dan
memindahkan banyak para petani ke daerah Krawang yang subur. Atas dasar kehidupan agraris
itulah disusun suatu masyarakat yang bersifat feodal. Para pejabat pemerintahan memperoleh
imbalan berupa tanah garapan (lungguh), sehingga sistem kehidupan ini menjadi dasar
munculnya tuan-tuan tanah di Jawa.
Pada masa kebesaran Mataram, kebudayaan juga berkembang antara lain seni tari, seni pahat,
seni sastra dan sebagainya. Di samping itu muncul Kebudayaan Kejawen yang merupakan
akulturasi antara kebudayan asli, Hindu, Buddha dengan Islam. Upacara Grebeg yang bersumber
pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman
Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam, sehingga muncul Grebeg Syawal
pada hari raya idul Fitri.; Grebeg Maulud pada bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang
sebelumnya merupakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh Samsiah)
dan sejak tahun 1633 diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh
Kamariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru dan dikenal dengan Tahun
Jawa.
Adanya suasana yang aman, damai dan tenteram, maka berkembang juga Kesusastraan Jawa.
Sultan Agung sendiri mengarang Kitab Sastra Gending yang berupa kitab filsafat. Demikian juga
muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang bersumber
pada kitab Ramayana.