HPPT Kedelai
HPPT Kedelai
HPPT Kedelai
Oleh : Kelompok 7
Erni Kasanah 165040200111006
Damai Krissara 165040200111179
Adam Brahmantyo Y 165040201111076
Maratus Sholihatul A 165040207111053
1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari pengamatan dan pembuatan laporan ini di
antaranya yaitu:
1. Menambah pengetahuan mengenai hama dan hewan lain yang terdapat
pada tanaman kedelai.
2. Mampu menentukan strategi pengendalian hama yang tepat bagi tanaman
kedelai.
BAB 2
Hasil Pengamatan Lapang
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub-divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rosales
Famili : Leguminosae
Genus : Glycine
Spesies : Glycine max L. (Kanaji et. al, 2013)
2.3.2 Botani Tanaman
Menurut Sofia (2007), erdapat dua tipe perakaran kedelai yaitu tunggang
dan serabut. Selain itu seringkali tumbuh akar adventif akibat adanya cekaman
tertentu seperti kadar air tanah yang terlalu tinggi. Biji kedelai berkeping dua
yang memiliki warna beragam dari kuning, hijau, coklat hingga hitam. Bentuk
dari biji sebagian besar bulat lonjong dan terkadang bulat agak pipih. Besar dan
berat biji sangat beragam bergantung variasi, untuk di Indonesia sendiri berat
kedelai berkisar 6 gr – 30 gr. Pertumbuhan batang kedelai bisa berupa
determinate dan indeterminate bergantung lokasi dari bunga. Selanjutnya
Adisarwanto (2005) menambahkan, bahwa bunga kedelai termasuk bunga
sempurna, dimana dalam satu bunga terdapat alat kelamin jantan dan betina.
Penyerbukan bunga terjadi saat masih kuncup, sehingga kemungkinan
menyerbuk silang sangat kecil berkisar 0,1%. Potensi tumbuhnya bunga pada
tiap tanaman kedelai berkisar 40 hingga 200 buah bergantung dari varietas.
2.3.3 Varietas
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan narasumber, bahwa varietas
kedelai yang ditanam ada 4 jenis, yaitu anjasmoro, wilis, grobogan, dan dipon.
Pemilihan varietas anjasmoro, wilis, dan grobogan, karena menurut narasumber
hasil panen dari ketiganya dianggap lebih tinggi dibanding varietas yang lain.
Sedangkan untuk varietas dipon masih dalam tahap uji coba untuk ditanam
pada UPT Pengembangan Palawija Singosari sehingga tidak begitu banyak
dibudidayakan.
Berdasarkan data yang diambil dari Balai Penelitian Tanaman Aneka
Kacang dan Umbi (2016), diketahui bahwa sifat unggul ketiga varietas baik
anjasmoro, wilis dan grobogan adalah sebagai berikut :
a. Anjasmoro
Merupakan varietas yang dilepas pada 22 oktober 2001. Daya hasil kedelai
ini berkisar 2,03 – 2,25 t/ha dengan bobot 100 biji 14,8 – 15,3 gr, umur
berbunga berkisar 36 – 40 hari, dan protein berkisar 42%. Sifat ketahanan
yang dimiliki adalah moderat terhadap karat daun, sifat lainnya polong tidak
mudah pecah.
b. Wilis
Merupakan varietas yang dilepas pada 21 Juli 1983. Daya hasil kedelai
berkisar 1,6 t/ha dengan bobot 100 biji kurang lebih 10 gr,umur berbunga 39
hari, dan kadar protein berkisar 37%. Sifat ketahanan yang dimiliki adalah
tahan rebah, sedikit tahan terhadap karat dan virus.
c. Grobogan
Dilepas pada tahun 2008.daya hasil berkisar 2,8 t/ha dan dimungkinkan
hingga mencapai 3,4 t/ha dengan bobot 100 biji 18 gr, umur berbunga 30 –
32 hari, dan kadar protein berkisar 44%. Sifat ketahanan yang dimiliki adalah
polong yang tidak mudah pecah.
2.4 Sistem Pertanian dan Pola Tanam
Menurut Elisa (2011), sistem pertanian terbagi atas :
Sistem pertanian sawah, yaitu usaha pertanian yang dilaksanakan pada
sebidang tanah yang dibatasi oleh pematang/galengan.
Sistem pertanian ladang, yaitu usaha pertanian yang dilaksanakan di daerah-
daerah yang imbangan tanah dan penduduknya masih memadai. Biasanya
ladang ini dilaksanakan secara berpindah-pindah dan kembali ke tanah
semula setelah 5 atau 10 tahun.
Sistem pertanian pekarangan, yaitu usaha pertanian yang dilaksanakan di
sekitar rumah, umumnya merupakan usaha samping/sambilan dengan hasil
berupa pangan tambahan, bumbu-bumbu, bahan bangunan, kayu bakar,
bahan kerajinan, keperluan pribadi.
Sistem pertanian lahan kering, yaitu usaha pertanian yang dilaksanakan di
sebidang tanah tanpa batas pematang dan tidak mendapat pengairan kecuali
dari air hujan, biasanya curah hujannya hanya 250 mm/th.
Sistem pertanian pasang surut, yaitu usaha pertanian yang diusahakan pada
sebidang tanah yang keadaan airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air
sungai atau laut. Jenis-jenis padi lokal pasang surut peka terhadap
fotoperiodisitas.
Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan pertanaman dalam kurun
waktu tertentu atau merupakan suatu urutan tanam pada sebidang lahan dalam
satu periode atau satu tahun, dimaksud di dalamnya masa pengolahan tanah.
Pola tanam ini diterapkan dengan tujuan memanfaatkan sumber daya secara
optimal dan untuk menghindari resiko kegagalan (Harahap. 2015), Menurut Elisa
(2011), pola tanamterbagi atas monokultur, polikultur dan rotasi penanaman.
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan narasumber bahwa sistem
pertanian yang digunakan pada UPT Pengembagan Palwija Singosari adalah
sistem pertanian sawah, dimana untuk pembatas masing – masing lahan terdapat
galengan sebagai jalan atau penghubung antar lahan. Selain itu ketika dating
musim hujan, pertanian dilangsungkan pada daerah tegalan yang memiliki sedikit
air, sehingga termasuk dalam sistem pertanian kering. Sedangkan untuk pola
tanam menggunakan pola monokultur. Dari cara penanaman kedelai, ditanam
serempak seluas 4 – 6 hektar per 3 hingga 4 bulan. Selama setahun,
dilaksanakan 3 kali penanaman kedelai yaitu pada MP, MKI dan MKII. Irigasi
lahan menggunakan air yang telah ditampung saat musim hujan dan
pengambilan jatah air yang didapat pukul 00.00 hingga 06.00 dari senin hingga
sabtu.
2.5 Aset Pertanian
Aset didefinisikan sebagai saham kekayaan dalam rumah tangga atau
unit lainnya (sherraden 2006). Definisi lain adalah bahwa aset merupakan yang
berguna atau berharga, berkualitas, orang atau hal yang merujuk pada kelebihan
atau sumber daya.
Menurut (Sajogyo, 1990) ada beberapa aset yang perlu untuk dipahami,
yaitu:
1. Aset Manusia (Human Capital)
Modal ini mewakili unsur pengetahuan, perspektif, mentalitas, keahlian,
pendidikan, kemampuan kerja, dan kesehatan.
2. Aset Fisik (Physical Capital)
Modal ini mewakili unsur bangunan dan infrastruktur yang merupakan sarana
pembantu.
3. Aset Finansial (Financial Capital)
Modal ini mewakili unsur sumber-sumber keuangan.
4.Aset Teknologi (Technological Capital)
Modal ini mewakili sistem atau peranti lunak (software) yang melengkapi
modal fisik.
5. Aset Lingkungan (Environmental Capital)
Modal ini mewakili sumber daya alam dan sumber daya hayati.
6. Aset Sosial (Social Capital)
Modal ini mewakili sumber daya sosial seperti jaringan sosial, dan
kepercayaan masyarakat.
Dari hasil wawancara dengan narasumber terdapat modal atau aset yang
dimiliki oleh UPT Pengembangan Palawija Singosari yang terdeskripsi sebagai
berikut :
Aset manusia : Terdapat 20 orang pekerja (masa tanam hingga panen)
Aset fisik : Bangunan dan kantor UPT ex-Jepang
Aset finansial : Bantuan dana dari APBN dan APBD
Aset teknologi : Peralatan dan alsintan ex-Jepang
Aset lingkungan : Tanah yang cukup subur, dengan sumber air yang lumayan
terjaga
Aset sosial : Tempat yang sudah dipercayai oleh kementrian pertanian
2.6 Benih Kedelai
Menurut Mulawarman dkk (2002), yang dimaksud dengan benih adalah suatu
bagian dari tanaman yang digunakan sebagai perbanyakan atau
perkembangbiakan yang dihasilkan dari suatu pohon atau tanaman baik secara
alami maupun dengan penanaman.Benih yang digunakan untuk kebun benih
berasal dari sumber benih yang baik yang jelas asal usulnya. Berdasarkan hasil
wawancara yang telah kami lakukan, benih yang ditanaman pada UPT
Pengembangan Palawija Singosari diperoleh dari kementrian pertanian untuk
dilakukan uji coba pengembangbiakan. Bila hasil yang didapat baik dan sesuai
standard mutu, maka benih yang sama akan dipasok terus menerus. Bila hasil
yang diperoleh tidak begitu memuaskan maka uji coba akan dihentikan. Varietas
tanaman kedelai yang berhasil dikembangbiakan di lahan tersebut selanjutnya
akan di rekayasa dalam pola tanam, dan hal – hal lain sehingga hasil produksi
bisa terus meningkat. Biji kedelai yang dihasilkan kemudian akan digunakan
sebagai benih kembali yang mana akan disebarkan kepada balitkabi di Indonesia
khususnya area Jawa Timur.
2.7 Pupuk dan Pemupukan
Dari hasil wawancara kami dengan narasumber, pemakaian pupuk yang
digunakan dalam budidaya kedelai adalah pupuk dasar NPK yang diaplikasikan
sekitar 14 hst dan merk pupuk yang digunakan oleh petani adalah pupuk
phonska. Menurut Suwandi dan Sulistiyono (2017), bahwa kandungan pupuk
phoska adalah unsur majemuk NPK, dimana persentase N 15%, Fosfat (P2O5)
15%, Kalium (K2O) 15%. Selain itu pupuk ini mengandung unsur pengaya seperti
Sulfur sebanyak 10%.
2.8 Identifikasi Arthropoda
1. Kutu Kebul (Bemisia tabaci)
A. Klasifikasi
Kingdom : Metazoa
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Uniramia
Class : Insecta
Order : Hemiptera
Suborder : Sternorrhyncha
Superfamily : Aleyrodoidea
Family : Aleyrodidae
Genus : Bemisia
Species : Bemisia tabaci (Roques, 2006)
B. Gejala Serangan
Di Indonesia, kutu kebul dianggap sebagai hama penting pada
tanaman kedelai karena telah menyebabkan kerugian yang besar.
Kehilangan hasil pada tanaman kedelai terserang kutu kebul dilaporkan
mencapai 80% (Tengkano et al. 1991). Kutu kebul merusak tanaman secara
langsung dengan cara mengisap cairan floem pada daun dan secara tidak
langsung, karena banyak mem- produksi embun madu yang merupakan
media tumbuh cendawan jelaga (Perring 2001, Hequet et al. 2007).
Cendawan jelaga selanjutnya akan menutup permukaan daun, menghalangi
proses fotosintesis dan akhirnya berpengaruh terhadap hasil tanaman
(Hequet et al. 2007). Selain itu kerusakan tanaman yang terserang kutu kebul
akan semakin parah karena kutu kebul bertindak sebagai vektor beberapa
penyakit virus (Morin et al. 1999; Briddon dan Markham, 2000; Hunter dan
Woolley, 2001; Fukuta et al. 2003; Valverde et al. 2004; Byamukama et al.
2004). Kutu kebul merupakan vektor utama penyakit virus dari golongan
geminivirus dan lebih dari 192 jenis virus kelompok ini ditularkan oleh kutu
kebul (Brown et al. 2011). Pada kedelai dan kacang- kacangan lain, kutu
kebul dapat menularkan virus Cowpea Mild Mottle Virus (CPMMV).
Di Jawa Timur terdapat enam strain virus yang menyerang tanaman
kedelai yaitu CPMMV, BICMV, BYMV, SSV, PStV dan SMV, dimana semua
virus tersebut ditransmisikan oleh vektor serangga, salah satunya adalah
kutu kebul. Infeksi virus pada tanaman kedelai pada umumnya menghasilkan
gejala yang serupa yakni klorosis, belang dan mosaik pada daun, daun
keriting sehingga sulit dibedakan (Saleh dan Hardaningsih, 2007).
Kompleksnya hama kutu kebul ini menyebabkan sulitnya cara pengendalian
yang benar- benar efektif untuk mengendalikan kutu kebul. Terlebih lagi di
Indonesia, informasi tentang kompleks hama kutu kebul sangat kurang
sehigga tindakan pengendalian yang dilakukan belum memberikan hasil yang
memuaskan.
Gejala kerusakan tanaman akibat serangan kutu kebul adalah
terdapatnya kutu-kutu berwarna pucat sampai kuning kehijauan pada bagian
bawah daun atau daun bagian pucuk. Kadang-kadang juga terdapat
cendawan jelaga yang hidup dari ekskreta kutu yang berupa embun madu.
Serangan berat menyebabkan daun tanaman tampak terhambat
pertumbuhannya, mengerupuk, dan lebih kaku
C. Bio-Ekologi Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae)
D. Pengendalian
Pada tanaman kedelai, komponen teknik pengendalian secara kultur
teknis yang dapat di lakukan adalah sebagai berikut:
Mengatur waktu tanam dan panen
Mengatur waktu tanam dapat dilakukan dengan menanam lebih awal
atau menunda waktu tanam. Strategi ini dimaksudkan untuk menghindari
periode migrasi dan serangan yang lebih besar, tumpang tindihnya waktu
tanam, serta mengatur periode tidak adanya tanaman inang kutu kebul
(Stansly dan Natwick, 2010). Pada kedelai yang ditanam pada musim kema-
rau II, antara bulan Juli – November, populasi kutu kebul paling rendah
dibanding ketika kutu kebul di tanam pada musim hujan dan kemarau I.
Dengan mengatur waktu tanam sesuai pola perkembangan kutu kebul maka
kerusakan yang disebabkan oleh kutu kebul dapat dihindari. Penanaman lebih
akhir juga dapat dilakukan untuk menghindari serangan kutu kebul dikombinasi
dengan tindakan sanitasi lahan (Hilje et al. 2001).
Penanaman varietas umur genjah dapat menghindarkan tanaman dari
serangan kutu kebul. Kedelai varietas Grobogan, Malabar dan Tidar yang
mempunyai umur panen sekitar 74– 78 hari, dapat dijadikan salah satu usaha
untuk menghindarkan tanaman dari serangan hama, mengurangi kesesuaian
ekosistem dan meng- ganggu penyediaan makanan atau keperluan hidup
hama.
Penanaman varietas tahan
Tanaman yang tahan terhadap investasi kutu kebul atau yang dapat
menghambat perkembangan nimfa kerena mengandung zat tertentu dapat
membatasi pertumbuhan popu- lasi kutu kebul, mengurangi kerusakan akibat
serangan kutu kebul dan mengurangi migrasi masal kutu kebul ke tanaman
lain (Stansly dan Natwick, 2010). Kutu kebul juga merupakan vektor virus bagi
penyakit yang bersifat tidak dapat disembuhkan, sehingga pencegahan
tersebarnya virus dengan varietas tahan kutu kebul menjadi komponen
pengendalian yang penting (Horowitz et al. 2011). Ketahanan varietas unggul
kedelai yang telah dilepas di Indonesia terhadap serangan kutu kebul ber-
variasi, namun varietas kedelai yang tahan terhadap kutu kebul hanya varietas
Tengger (Balitkabi, 2016), Gema, Detam I, Gepak Ijo, dan Kaba (Sulistyo dan
Inayati, 2014). Varietas Gepak Kuning, Gepak Ijo, Wilis, Kaba dan Argomulyo
termasuk toleran terhadap kutu kebul dengan hasil biji kering mencapai 1,3
t/ha pada serangan yang berat sedang varietas Anjasmoro termasuk varietas
rentan hanya mampu meng- hasilkan 0,15 t/ha. Dengan penanaman varietas
tahan, kehilangan hasil dapat ditekan sampai 80% (Inayati dan Marwoto,
2012). Upaya pera- kitan varietas kedelai yang tahan kutu kebul di Indonesia
penting dilakukan karena varietas tahan merupakan salah satu strategi penting
dalam upaya mencegah dan menanggulangi serangan hama karena dapat
dikombinasikan dengan teknik pengendalian lain (Sulistyo, 2014).
Penanaman tanaman penghalang
Tanaman penghalang merupakan salah satu upaya untuk menghalagi
penyebaran, migrasi, dan membatasi mobilisasi hama ke tanaman. Tanaman
penghalang juga dapat berperan sebagai pelindung alami terhadap vektor
virus yang non persisten seperti aphis dan telah terbukti efektif melindungi
tanaman dari infeksi virus. Idealnya tanaman penghalang mengguna- kan
tanaman bukan inang dari hama target. Selain itu juga perlu pemahaman
tentang peri- laku hama seperti kebiasaan terbangnya dan bagaimana
tanaman penghalang mempengaruhi perilaku hama dan musuh alaminya.
Pemahaman yang baik tentang hal tersebut akan membantu dalam
merancang strategi pengendalian dengan manipulasi habitat hama yang
ramah lingkungan (Hooks dan Careres, 2006). Pemanfaatan tana- man
penghalang untuk mengendalikan kutu telah dilakukan, di antaranya penelitian
Moreau (2010) menunjukkan kombinasi tanaman perangkap dan yellow sticky
traps mampu menurunkan populasi kutu kebul pada pertanaman cabai sampai
53%. Pada pertanaman kedelai di KP Muneng Probolinggo, dengan tanaman
jagung yang ditanam rapat di sekeliling pertanaman kedelai menjadi
penghalang migrasi hama kutu kebul (Marwoto, 2017). Populasi kutu kebul
pada tanaman kedelai yang tidak diberi tanaman penghalang rata-rata 50%
lebih tinggi dibanding tanaman kedelai yang diberi penghalang sejak 35 hari
setelah tanam. Pada 63 HST, populasi kutu kebul pada petak dengan tanaman
penghalang hanya sepertiga dari populasi kutu kebul pada petak tanpa
penghalang. Tanaman jagung selain bermanfaat sebagai penghalang fisik
masuknya kutu kebul ke pertanaman kedelai juga dapat berfungsi sebagai
inang bagi serangga preda- tor bagi kutu kebul seperti kumbang Coccinellidae
(Menochilus sexmaculatus Fab.). Dengan adanya tanaman jagung di sekeliling
tanaman kedelai diharapkan juga dapat melestarikan dan meningkatkan
musuh alami yang telah ada dengan memanipulasi lingkung- an sehingga
menguntungkan kemampuan bertahan hidupnya. Penanaman jagung lebih
awal yaitu 3 minggu sebelum tanaman kedelai dapat mencegah masuknya
kutu kebul dari luar ke petak pertanaman kedelai.
Sistem pengairan yang teratur
Ketersediaan air berpengaruh terhadap siklus hidup kutu kebul,
perkembangbiakannya, dan kemampuannya untuk bertahan hidup. Air yang
berlimpah serta aplikasi pupuk nitrogen memperparah serangan kutu kebul
pada tana- man kapas (Bi et al. 2005). Sejalan dengan penelitian Abd-Rabou
dan Simmons (2012) bahwa metode pengairan yang berbeda yaitu irigasi
tetes, sprinkler, dan penyiraman melalui saluran/got berpengaruh terhadap
populasi kutu kebul dan tersebarnya penyakit akibat virus yang ditularkan oleh
kutu kebul pada pertanaman sayur. Karena itu integrasi teknik pengairan
dengan cara pengendalian lain perlu untuk meningkatkan keberhasilan
pengenda- lian hama kutu kebul secara berkelanjutan. Telah banyak dilakukan
penelitian tentang pengaruh ketersediaan air disekitar pertanaman terhadap
populasi kutu kebul antara lain; (1) cekaman air di sekitar pertanaman menye-
babkan meningkatnya populasi kutu kebul (Flint et al. 1996 Byrne 1999), (2) air
hujan berlebih yang disertai angin dapat mengurangi populasi kutu kebul, (3)
pengairan yang kon- sisten dengan interval pengairan irigasi singkat sesuai
kebutuhan tanaman dapat membatasi perkembangan kutu kebul (Legget
1993, Flint et al. 1996), (4) pengairan tambahan dengan sprinkler dapat
mengurangi populasi dan serangan kutu kebul pada tanaman kapas dan tomat
(Castle et al. 1996, Hilje et al. 2001). Populasi B.tabaci berkurang secara
signifikan pada kapas yang diairi dengan sprinkler dibanding pada pengairan
dengan irigasi tanpa mengu- rangi populasi musuh alaminya (Gencsoylu et al.
2003). Penelitian Latheef et al. (2009) menggu- nakan pengairan dengan
sprinkler elektrostatik dipadukan insektisida dapat menekan populasi kutu
kebul karena dengan metode ini dapat me- ningkatkan efikasi insektisida yang
diaplika- sikan secara bersamaan untuk mengendalikan kutu kebul. Penelitian
pengairan dengan sprin- kler mampu menekan intensitas serangan kutu kebul
di KP Muneng, Probolinggo, meskipun tidak berpengaruh terhadap penekanan
populasi hama kutu kebul.
Pergiliran tanam dan pengaturan pola tanam
Pergiliran tanaman dan pengaturan pola tanam dengan menanam
tanaman bukan inang dapat memutus kesinambungan penyediaan makanan
bagi kutu kebul di suatu tempat, dan mengurangi migrasi hama antarjenis
tanaman yang dapat mengurangi populasi awal hama di suatu tempat (Hilje et
al. 2001, Ellsworth dan Carillo 2001). Rotasi tanaman paling efektif untuk
mengendalikan hama yang memiliki kisaran makanan sempit dan kemampuan
migrasi terbatas terutama pada fase yang aktif makan. Mengingat luasnya
sebaran inang kutu kebul maka perlu perhatian pada tanaman yang akan
digunakan sebagai tanaman rotasi. Pada lahan sawah tadah hujan, rotasi
dengan tanaman padi dapat dilakukan karena padi tidak termasuk inang kutu
kebul, sedangkan untuk lahan kering pergiliran tanaman dapat di lakukan
dengan jagung. Pergiliran dengan tanaman hortikultura seperti cabai, tomat,
terong, dan melon serta kacang tanah tidak dianjurkan pada daerah endemik
kutu kebul karena kedua tanaman ini termasuk inang kutu kebul. Pengaturan
pola tanam dengan tumpang sari juga dapat dilakukan untuk memanipulasi
habi- tat dalam upaya mengendalikan kutu kebul. Tumpang sari ubikayu
dengan jarak pagar dan kapas secara signifikan menurunkan populasi kutu
kebul (telur, larva, dan dewasa) pada per tanaman ubikayu (Ewusie et al.
2010).
Sanitasi sisa tanaman atau tanaman lain yang dapat dipakai sebagai inang
Teknik sanitasi atau pembersihan lahan pada areal bekas
pertanaman merupakan cara pengendalian bercocok tanam yang paling tua
dan cukup efektif menurunkan populasi hama. Banyak hama yang bertahan
hidup atau berdiapause di sisa- sisa tanaman. Dengan membersihkan sisa-
sisa tanaman dapat dikurangi laju peningkatan populasi hama dan ketahanan
hidup hama. Pada prinsipnya teknik sanitasi dilakukan dengan membersihkan
lahan dari sisa-sisa tanaman singgang, tunggul tanaman atau bagian-bagian
tanaman lain yang tertinggal setelah masa panen. Bagian tanaman tersebut
seringkali merupakan tempat berlindung hama, tempat berdiapouse, atau
tempat tinggal sementara sebelum tanaman utama kembali ditanam. Tindakan
sanitasi dapat dilakukan dengan penghancuran: (1) sisa-sisa tanaman yang
masih hidup, (2) tanaman atau bagian tanaman yang terserang hama, (3) sisa
tanaman yang sudah mati, (4) jenis tanaman lain yang dapat menjadi inang
pengganti, dan (5) sisa-sisa bagian tanaman yang jatuh atau tertinggal di
permukaan tanah seperti buah dan daun. Sanitasi lahan untuk pengendalian
hama kutu kebul telah memberikan hasil yang me- muaskan dan berhasil
mengurangi populasi kutu kebul yang ada di lapang (Stansly dan Schuster
1990, Hilje et al. 2001).
Pengelolaan musuh alami
A. Klasifikasi
Class :Insecta
Order :Lepidoptera
Family :Pyralidae
Subfamily :Phycitinae
Genus :Etiella
Species :Etiella zinckenella
Tanam serempak
Tanaman perangkap
Insektisida nabati
B. Morfologi
Menurut Kalshoven (1981), kumbang dari superfamily Lamellicornia
memiliki tubuh yang gemuk, yang memiliki ciri penting 3 ruas antena terkahir
melebar ke satu arah. Bagian kepala dari larva superfamily ini memiliki
mandible yang kuat, selain itu bentuk tubuhnya membentuk huruf C, bagian
abdomennya berbentuk kantung – kantung dan berwarna putih.
Secara khusus, pada L. stigma memiliki warna putih coklat keabuan,
yang mana terdapat sisik – sisik renik yang mana bila lepas tubuh dari larva
tersebut akan berubah menjadi coklat mengkilap. Panjang dari uret L. stigma
bisa mencapai 7,5 cm. Panjang tubuh kumbang betina berkisar 4,3 – 5,3 cm
dengan lebar 2,2 – 2,7 cm. sedangkan panjang pada kumbang jantan adalah
4,2 - 5,3 cm dengan lebar 2,0 – 2,6 cm (Intari dan Natawiria, 1973)
C. Bioekologi
Menurut Tjahjadi (1989), ordo coleoptera atau kumbang – kumbangan
memiliki daur hidup holometabola (telur – larva – pupa – imago). Sebagian
hidupnya dihabiskan didalam tanah, bergantung dari jenis uret dan keadaan
lingkungan setempat. Menurut Intari dan Natawawiria (1973) siklus hidup uret
berlangsung kurang lebih satu tahun dan terdiri dari lima stadia yaitu telur,
larva aktif, larva pasif, pupa, dan imago. Fase larva aktif berkisar 5 – 9 bulan
dan hanya pada stadia kumbang yang muncul di atas permukaan tanah.
- Telur
Telur diletakkan dalam tanah sedalam 35 – 50 cm dan kumbang betina dapat
bertelur25 – 35 butir berwarna putih kekuningan dan stadium telur berlangsung
sekitar 2 minggu.
- Larva
Dianggap stadium paling merusak, dan berlangsung sekitar 9 bulan yang
terbagi atas 4 instar yang masing – masing berkembang 1 – 2 bulan.
- Pre-Pupa
Pada tahap ini larva instar terakhir membuat dinding keras dan licin dengan
kedalaman 15 – 50 cm. Stadium ini berkisar 12 hari.
- Pupa
Stadium ini berlangsung kurang lebih 1 bulan, pada kelembapan yang sesuai
kumbang akan keluar dari pupa pada awal musim hujan.
- Imago
Kumbang yang baru keluar dari pupa tidak akan segera langsung keluar dari
tanah, melainkan untuk beberapa saat masih tetap di dalam tanah. Keluarnya
kumbang dari tanah biasanya pada sore hari yang merupakan penerbangan
massal. Setelah keluar, kumbang akan memakan bagian daun – daun muda
tanaman. Fase imago berlangsung sekitar 1 bulan. Dan setelah peletakkan
telur tidak lama kumbang dewasa akan mati.
D. Gejala Serangan
E. Pengendalian
- Kultur Teknis
Dimana terdiri atas pemilihan dan pengolahan lahan yang lebih baik sebelum
penanaman komoditas. Selain itu bisa dilakukan rotasi tanam untuk memutus
rantai hidup dari uret. Untuk daerah dengan endemic uret, sebaiknya penanam
inang dihindari dan memilih untuk penanaman komoditas lain
- Mekanis
Pemasangan perangkap lampu di daerah sekitar pertanaman yang dimulai
sejak fase penerbangan. Setelah itu, imago atau kumbang yang terperangkap
bisa dikumpulkan dan kemudian dimusnahkan. Cara lain bisa dengan
melakukan gropyokan pada saat pembalikan tanah, larva diambil satu persatu
untuk kemudian dimusnahkan.
- Hayati
Pengendalian hayati uret dapat menggunakan nematoda patogen serangga
Steinernema sp. Serta cendawan Metarhizium sp. yang disebar di sekitar
tanah. Dari kedua agens tersebut, akan menyerang uret yang berada di dalam
tanah sehingga mampu menyebabkan mortalitas.
A B
C D
Gambar A merupakan NPS Steinerma sp. dan gambar B merupakan
cendawan Metarhizium sp. yang diisolasi menggunakan uret pada perlakuan
lab. Dari hasil yang di dapatkan terlihat pada gambar D, serangan dari
cendawan mampu menyebabkan kematian pada uret (Alfarizi dkk, 2011)
4. Ulat Penggulung Daun (Lamprosema indicata F)
Sumber: inpn.mnhn.fr
Kingdom : Animalia
Divisio : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Family : Pyralidae
Genus : Lamprosema
Spesies : Lamprosema indicata F.
B. Gejala Serangan
Gejala serangan hama ulat penggulung daun kedelai adalah adanya
daun-daun yang tergulung menjadi satu dan apabila gulungan dibuka, akan
dijumpai ulat atau kotorannya yang berwarna coklat hitam. Ulat ini membentuk
gulungan daun dengan merekatkan daun yang satu dengan yang lainnya dari
sisi bagian dalam dengan zat perekat yang dihasilkannya. Di dalam gulungan
daun, ulat memakan daun hingga tinggal tulang daunnya. Ngengat betina
berukuran kecil, berwarna coklat kekuningan dengan lebar rentangan sayap
sekitar 20 mm. Ngengat betina meletakkan telur secara berkelompok pada
daun-daun muda yang setiap kelompoknya terdiri dari 2-5 butir. Ulat yang baru
saja menetas berwarna hijau, licin, transparan dan agak mengkilap serta pada
bagian punggung (toraks) terdapat bintik hitam dan setelah tumbuh penuh
panjang tubuhnya sekitar 20 mm. Kepompong terbentuk di dalam gulungan
daun. Kadang-kadang ulat jenis Tortricidae dijumpai dalam gulungan daun.
Selain menyerang kedelai, ulat ini juga menyerang kacang hijau, kacang tolo,
kacang panjang, Calopogonium sp. dan kacang tanah.
C. Bioekologi
Ngengat bertelur dibawah permukaan daun. Telur diletakkan secara
berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 2-5 telur (Balitbang, 2006). Telur
menetas setelah 7-8 hari kemudian (Singh, 1990). Larva yang keluar dari telur
berwarna hijau, licin, transparan dan agak mengkilap. Pada bagian punggung
(toraks) terdapat bintik hitam. Panjang tubuh ulat yang telah tumbuh penuh 20
mm (Balitbang, 2006). Stadia larva berlangsung selama 22-28 hari (Singh,
1990). Larva yang keluar dari telur berwarna hijau, licin, transparan dan agak
mengkilap. Pada bagian punggung (toraks) terdapat bintik hitam. Panjang
tubuh ulat yang telah tumbuh penuh 20 mm (Balitbang, 2006). Stadia larva
berlangsung selama 22-28 hari (Singh, 1990). Ngengat berukuran kecil dan
sayapnya berwarna kuning kecoklatan dengan tiga garis coklat hitam. Panjang
rentangan sayap 20 mm (Rahayu, dkk, 2009).
D. Pengendalian
Pengendalian hama ulat penggulung daun pada tanaman kedelai telah
dilakukan melalui penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yaitu
penerapan semua teknik atau komponen pengendalian secara kompatibel
yang didasarkan pada asas ekologi dan ekonomi. Prinsip operasional dalam
PHT meliputi: 1) Budidaya tanaman sehat yaitu tana himan yang mempunyai
ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan hama. Penggunaan paket-
paket teknologi produksi dalam praktek budidaya harus diarahkan pada
terwujudnya tanaman sehat; 2) Pelestarian musuh alami (parasit, predator dan
patogen) yang merupakan faktor pengendalian hama yang perlu dilestarikan
dan dikelola agar mampu berperan secara maksimal dalam pengaturan
populasi hama di lapang; 3) Pemantauan ekosistem secara terpadu yaitu
pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif oleh petani. Hasil
pemantauan ini menjadi dasar analisis ekosistem untuk pengambilan
keputusan dan melakukan tindakan pengendalian; dan 4) Petani sebagai ahli
PHT yang berarti bahwa petani sebagai pengambil keputusan mempunyai
keterampilan dalam menganalisis ekosistem serta mampu menetapkan
keputusan pengendalian hama secara tepat.
Komponen pengendalian hama ulat penggulung daun kedelai adalah:
(Prayogo, 2005)
5.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Hemiptera
Super family : Coreoidea
Family : Alydidae
Genus : Riptortus
Species : Riptortus linearis (Fabricius, 1775)
5.4 Bioekologi
Siklus hidup R. linearis meliputi stadium telur, nimfa yang terdiri atas lima
instar, dan stadium imago. Imago (Gambar 1a) berbadan panjang dan
berwarna kuning kecokelatan dengan garis putih kekuningan di sepanjang sisi
badannya (Tengkano dan Dunuyaali 1976). Imago datang pertama kali di
pertanaman kedelai saat tanaman mulai berbunga dengan meletakkan telur
satu per satu pada permukaan atas dan bawah daun. Seekor imago betina
mampu bertelur hingga 70 butir selama 4– 47 hari. Imago jantan dan betina
dapat dibedakan dari bentuk perutnya, yaitu imago jantan ramping dengan
panjang 11–13 mm dan betina agak gemuk dengan panjang 13–14 mm. Telur
R. linearis berbentuk bulat dengan bagian tengah agak cekung, ratarata
berdiameter 1,20 mm. Telur berwarna biru keabuan kemudian berubah
menjadi cokelat suram (Gambar 1b). Setelah 6–7 hari, telur menetas dan
membentuk nimfa instar I selama 3 hari (Gambar 1c). Pada stadium nimfa, R.
linearis berganti kulit (moulting) lima kali. Setiap berganti kulit terlihat
perbedaan bentuk, warna, ukuran, dan umur. Rata-rata panjang tubuh nimfa
instar I adalah 2,60 mm, instar II 4,20 mm, instar III 6 mm, instar IV 7 mm, dan
instar V 9,90 mm (Tengkano dan Dunuyaali 1976). Nimfa maupun imago
mampu menyebabkan kerusakan pada polong kedelai dengan cara mengisap
cairan biji di dalam polong dengan menusukkan stiletnya. Tingkat kerusakan
akibat R. linearis bervariasi, bergantung pada tahap perkembangan polong
dan biji. Tingkat kerusakan biji dipengaruhi pula oleh letak dan jumlah tusukan
pada biji (Todd dan Turnipseed 1974). Serangan R. linearis pada fase
pembentukan polong menyebabkan polong kering dan gugur. Serangan pada
fase pertumbuhan polong dan perkembangan biji menyebabkan polong dan
biji kempes kemudian polong mengering dan akhirnya gugur. Serangan pada
fase pengisian biji menyebabkan biji berwarna hitam dan busuk, sedangkan
pada fase pematangan polong mengakibatkan biji keriput. Serangan pada
polong tua menjelang panen menyebabkan biji berlubang (Todd dan
Turnipseed 1974; Tengkano 1985).
5.5 Pengendalian
2.9 Insektisida
Dalam hal ini hama yang paling berbahaya adalah hama penghisap polong
yang menyebabkan kerugian terbesar dibandingkan hama-hama yang lain, dan
merupakan salah satu hama yang sulit untuk dikendalikan, dengan pertumbuhan
yang cepat serta fase imago yang cukup lama. Sehingga perlu adanya solusi dalam
mengendalikan hama ini agar meningkatkan hasil produksi kedelai. Dari
permasalahan hama penghisap polong ini dihasilkan sebuah pemikiran mengenai
pengendaliannya, yang menggunakan tanaman transgenic yang disisipi dengan
sebuah gen bakteri pathogen yang akan menginfeksi tubuh hama ketika hama
menyerang tanaman kedelai, sehinga tanaman kedelai mampu bertahan dari
serangan hama penghisap polong, serta mampu menigkatkan jumlah hasil produksi
tanaman kedelai. Peningkatan hasil produksi biji kedelai mampu menigkatkan
produktivitas dari UPT pengembangan palawija, karena UPT ini fokus pada
pengembangan biji-bijian. Selain itu, dapat pula dengan cara konservasi musuh
alami hama kedelai seperti Menochilus sp, Mantis sp, dan sebagainya sebagai
upaya pengurangan intensitas pemakaian insektisida.
3.2 Saran
Tengkano, W., M. Arifin, dan A.M. Tohir. 1992. Bioekologi, serangan dan
pengendalian
hama pengisap dan penggerek polong kedelai. Dalam Marwoto, N. Saleh,
Sunardi,
dan A. Winarto (Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu
Tanaman
Kedelai, Malang 8−10 Agustus 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan
Malang. hlm.117−153.