Monolit Yogyakarta
Monolit Yogyakarta
Monolit Yogyakarta
Daftar Isi iv
Mendirikan Yogyakarta — 23
SEKAPUR SIRIH
Gula-Gula Yogyakarta — 25
SEKRETARIS DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM
Arsip Piyagem Sewa Tanah Pabrik Gula — 27 DAN EKOSISTEM
Kapur untuk Gula — 29
Buku ini disusun dengan tujuan memberikan informasi dan gambaran
Narasi Grafis: Ruwatan Gamping — 31 mengenai nilai penting dan nilai historis yang selama ini tersembunyi
Esai Foto: Upacara Bekakak — 37 di kawasan CA/TWA Batu Gamping. Diakui memang kawasan tersebut
secara keruangan sangat kecil dibanding kawasan konservasi lain yang
Esai Foto: Dokumentasi Upacara Bekakak 1957— 41 ada di Indonesia. Namun, luasan yang kecil itu menyimpan cerita besar
Infografis: Menuju Konservasi — 43 terkait sejarah pembentukan kota Yogyakarta, dengan ditemukannya
Petilasan Kraton Ambarketawang di sekitar kawasan.
Monolit Gunung Gamping, Dulu dan Sekarang — 44
Bongkahan monumen di kawasan CA/TWA Batu Gamping ini adalah salah satu pening-
Tantangan Balai KSDA Yogyakarta — 45 galan geologi penting dari zaman Eosen di Pulau Jawa, yang sepantasnya dapat dilindungi.
Gunung Gamping, A Journey to the Past — 47 Penambangan Gunung Gamping juga menyisakan cerita bernuansa budaya masyarakat,
yang masih terus dipertahankan hingga saat ini. Yaitu tradisi Bekakak (Saparan), yang meng-
Ucapan Terimakasih — 49 gunakan simbolisasi pasangan pengantin sebagai wujud tolak bala. Tradisi tersebut diyakini
dan dihidupi oleh masyarakat setempat, serta masih terus dilaksanakan setiap tahunnya.
Perpaduan informasi dari sudut keilmuan dan budaya yang dihasilkan dari kawasan CA/
TWA Batu Gamping membuktikan nilai penting kawasan ini. Buku Monolit Yogyakarta me-
maparkan informasi historis yang direpresentasikan oleh monumen di kawasan tersebut
dan tradisi yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Melalui buku ini, besar harapan
kami minat masyarakat untuk berkunjung ke kawasan konservasi CA/TWA Batu Gamping
dapat meningkat. Selamat membaca dan mengambil manfaat dari buku ini.
Balai KSDA Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Buku ini berisi gambaran sejarah dan budaya Gunung Gamping, yang diharapkan dapat
Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE), memberikan informasi kepada pembaca mengenai jejak sejarah perjalanan Gunung Gam-
yang diberi mandat untuk mengelola kawasan konservasi. Cagar Alam/ ping dan budaya yang melekat di dalamnya. Diharapkan, dengan mengetahui sejarah dan
Taman Wisata Alam Batu Gamping merupakan salah satu situs yang dikelola oleh Balai KSDA budaya Gunung Gamping, minat masyarakat untuk berkunjung dan belajar lebih banyak
Yogyakarta. Kawasan konservasi yang ditetapkan tahun 1989 ini terbilang unik, mengingat dari warisan alam yang sangat berharga ini dapat meningkat.
luasnya hanya 1,084 Ha, namun memiliki potensi khas yang berbeda jika dibandingkan de- Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusun-
ngan kawasan konservasi lain. Potensi CA/TWA Batu Gamping bernilai sangat besar dari sisi an buku ini. Semoga kita dapat mengambil manfaatnya.
sejarah, geologi, dan budaya.
Potensi sejarah dimiliki CA/TWA Batu Gamping karena lokasinya berdekatan dengan si-
tus petilasan Kraton Ambarketawang sebagai tempat “mesanggrah” Sultan Hamengku Bu-
wana I selama pembangunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pasca-Perjanjian Giyanti
(1755). Begitu juga sumbangsih kapur dari Gunung Gamping dalam pembangunan Kraton
Yogyakarta dan berbagai bangunan bersejarah lainnya. Selain itu, tidak dapat dipungkiri Ir. Junita Parjanti, M.T.
bahwa peranan kapur dari Gunung Gamping sebagai pemurni dalam proses produksi gula
pada masa itu turut berpengaruh terhadap kejayaan perekonomian di Yogyakarta.
Peranan CA/TWA Batu Gamping sangat melekat dan mengejawantah dalam budaya
masyarakat melalui tradisi Bekakak yang diselenggarakan setiap bulan Sapar. Di mana
puncak acara, yakni penyembelihan boneka pengantin (bekakak), dilaksanakan di altar Cagar
Alam Batu Gamping. Upacara adat ini, serta berbagai ritual dan mitos yang mengiringinya,
menjadi daya tarik tersendiri untuk mengunjungi TWA Batu Gamping.
Sebagai warisan geologi, bongkahan batu kapur setinggi kurang lebih 10 m tersebut me-
rupakan monumen geologi yang menggambarkan jejak biota awal Pulau Jawa. Terdapat
rejo
Jl. Rin
g Ro
ad U
rwo
tara
ten
- Pu
bupa
Jl. Monjali
ya
lang
Jl. Magelang
ran Ra
g
di
Jl. Ka
ran
age
ffan
Prambanan
aliu
Jl. M
Jl. A
Jl. Setu
Jl. K
Jl. Go Tugu Jogja
dean
Jl. Laksda Adisucipto Jl. Raya Solo
kroaminoto
St. Yogyakarta
St. Lempuyangan
Jl. Timoho
oro
Bandar Udara
ur
Jl. Mataram
Jl. H.O.S. Co
Jl. Malob
Adisutjipto
jo
Purwore
elang -
Jl. Mag Jl. Wates Jl. Kusumanegara
sis
Jl. Tam
Jl. Bu
Kraton
CA/TWA Batu Gamping
Jl. Bantul
Jl. Imogiri Ba
tis
Jl. Parangtri
Jl. Ring Road Selata
rat
n Terminal Giwangan
LINIMASA GUNUNG GAMPING 1. Peter Lunt, The Sedimentary Geology of Java. (Jakarta: Indonesian Petroleum Association, Spec.
Publ., 2013), 205-214.
2. Wawancara dengan Dr. Eng. Didit Hadi Barianto, S.T., M.T., Mei 2017.
3. Franz Wilhelm Junghuhn, Topographische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java [Penjelaja-
Secara dramatis, waktu dan peradaban mengubah wajah Gunung Gamping. han Topografis dan Ilmiah di Jawa]. (Magdeburg: E. Baensch, 1845), 76.
4. Budi Brahmantyo. “‘Gunung Gamping’ Contoh Buruk Eksploitasi Kars”. GeoMagz Vol. III no. 1 (2013):
Berdirinya Kesultanan Yogyakarta dan keberlangsungannya di masa kemudian, sebagian ditopang 65-66.
5. Merle Calvin Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi, 1749 – 1792: Sejarah Pembagian
oleh batu kapur dari kawasan ini. Jika di masa awal Kesultanan ia banyak dimanfaatkan sebagai Jawa. (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002).
sumber bahan bangunan, diterapkannya liberalisasi ekonomi dan masuknya industrialisasi ke 6. Alexandra van der Geer, Lyras, George, Vos, John de, Dermitzakis, Michael. Evolution of Island
Mammals: Adaptation and Extinction of Placental Mammals on Islands. (West Sussex: Wiley-Black-
kawasan vorstenlanden (wilayah-wilayah kerajaan pecahan Mataram Islam) seolah mengesahkan well, 2010)
massifnya penambangan gamping untuk produksi gula pasir. Eksploitasi telah menghabisi deretan
Gunung Gamping, hingga kini ia tersisa tak lebih dari kawasan seluas 0,03 Ha.
1,8 juta tahun lalu - 1755 1836 1855 – 1950 1956 – Sekarang
Kala Pliosen – Pendudukan Sultan HB I Kesinggahan Junghuhn Eksploitasi Besar Kawasan Dilindungi
Gunung Gamping terangkat menjadi daratan, setelah “Gunong Gambing, menjulang Lokasi yang aksesibel, 33 tahun setelah diusulkan
terlipat karena proses tektonik. Di kaki perbukitan inilah, hanya beberapa ratus langkah singkapan kapur yang tebal, menjadi kawasan suaka alam,
Sultan HB I mesanggrah sementara membangun Kraton dari sungai, rupa bentuknya dan kualitas kapur yang baik tahun 1989 akhirnya monolit
Yogyakarta. mengingatkan kita pada adalah sejumlah faktor di balik Gunung Gamping ditetapkan
dramatisnya perubahan alam,” massifnya penambangan sebagai cagar alam.
tulis Junghuhn dalam gamping untuk kebutuhan
catatannya. Dari Kraton bangunan dan industri gula
42,5 – 16 juta tahun lalu Yogyakarta, ia menyusur ke pasir.
barat dan singgah di sini.
Kala Eosen – Miosen
Lingkungan Gamping purba adalah ekosistem terumbu
yang terbentuk di laut dangkal, dengan ragam biota
foraminifera, ganggang, aneka koral, dan moluska.
Sumber:
1. Peter Lunt, The Sedimentary Geology of Java. (Jakarta: Indonesian Petroleum
Association, Spec. Publ., 2013), 205-214.
2. Willi A. Mohler. “Das Alter des Eozan-Kalkes von Gunung Gamping westlich Djok-
jakarta, Java.” Eclogae Geologciae Helvetiae 42 (1949): 519-521.
3. Wawancara dengan Dr. Eng. Didit Hadi Barianto, S.T., M.T., Mei 2017.
Sumber:
1. Franz Wilhelm Junghuhn, Topographische und naturwissen-
schaftliche Reisen durch Java [Penjelajahan Topografis dan
Ilmiah di Jawa]. (Magdeburg: E. Baensch, 1845), v.
2. Franz Wilhelm Junghuhn, Java Album: Landschafts-Ansicht-
en von Java, (Leipzig: Arnoldische Buchhandlung, 1853), 5.
1
Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw [Jawa: Bentuk, Vegetasi, dan Struktur Dalamnya] (1850 – 1853)
1839
1838 1840
1847 1838
1837 1844
1836
G. Merapi Kawah Putih Ciwidey G. Sumbing G. Gede G. Prau Kawah Hyang G. Slamet
G. Merbabu Telaga Patengan G. Lawu G. Pangrango G. Sindoro
G. Gamping
G. Sewu
Penggunaan Dinamit
Dikatakan bahwa dinamit turut digunakan dalam
penambangan untuk kepentingan industri gula.
Di tahun 1860 saja, Yogyakarta menghasilkan Sumber:
2.892 ton gula pasir. Volume produksi itu Pekerja Tambang 1. Peter Carey, The Power of Prophecy, 2nd ed. (Leiden: KITLV Press, 2008).
Gerobak Pengangkut Gamping 2. Vincent J.H Houben, Kraton and Kumpeni. (Leiden: KITLV Press, 1994).
melibatkan penggunaan sekira 361,5 ton kapur, Penambangan dilakukan oleh masyarakat setempat, 3. Auliawati, N.A (2016) Suntingan Teks Cariyosipun Pareden Gamping (skrip-
dalam proses pemurniannya. Gerobak yang ditarik kerbau atau sapi menjadi moda si). Tersedia dari Universitas Indonesia Library. (S63272).
warga tani yang lahan garapannya disewa untuk
pengangkutan yang digunakan untuk memindah batu 4. Inagurasi, L.H (2010) Pabrik Gula Cepiring di Kendal, Jawa Tengah tahun
kepentingan gula, atau oleh bujang alias numpang 1835 - 1930, Sebuah Studi Arkeologi Industri (tesis). Tersedia dari Universi-
gamping atau kapur tohor di masa itu.
(buruh berpindah). tas Indonesia Library. (T27311).
Pajek Selapermuja
Adhimas Pangeran Adipati Mangkubumi, Opisir dher Ordhe pan Oranye Nasau,
Opisir dher Ordhe pan dhe Krun di Siyem, Litnan Kolonel Ajidan Jindralen Setap.
Engkau memerintahkan tentang permintaan si Ngabehi Selapermuja, Demang
Tumpukan Pemajegan, maksudnya meminta ijin sawah Desa Bekang Gejuran
yang digadaikan ½ jung1 (yang masih digarap oleh) bekel2 Jawa, memiliki pajak
sebesar 55 rupiyah putih3 selama satu tahun termasuk kelengkapannya, pajak
tersebut hendak dibayarkan kepada Tuan We Ha Westen Bereh, Administratur
Babrik Gondhanglipura selama 20 tahun tanpa wewenang memanen setelah
perjanjian selesai, disanggupi membayar pajak 75 rupiyah putih selama satu
tahun. Si Selapermuja diberikan upah sebesar 300 rupiyah putih.
Hal tersebut maka sudah menjadi kesepakatan bersama kedua belah pihak
yang bertanggung jawab atas pajak dan yang membayarkan serta sawah
tersebut sudah masuk dalam batas milik Tuan Babrik Gundhang Lipura, bukan
milik Karang Kopek atau bukan milikku di Pamutiyan, tidak ada yang berada di
sebelah selatan Kali Opak, tidak dibenarkan bertanggung jawab atas sawah4
tersebut, aku sudah mengijinkan.
Kemudian jika sudah saling memasrahkan tanah desa dan lain-lainnya kepada
Dokumen yang dikeluarkan
tuan yang bertanggung jawab atas pajaknya, segeralah engkau memberikan
Sultan Hamengku Buwana VII,
kabar kembali, beritahukan kepadaku tentang hari dan waktu pemasrahan tanah
Desember 1907 ini memuat
tadi, seperti biasa yang sudah dilakukan.
ketentuan, termasuk hak dan
kewajiban, yang melekat pada Maka dari itu hendaklah engkau segera memerintahkan seperti biasa yang
sebidang tanah sewaan di sudah dilakukan, jangan sampai ada yang kurang. Aku percaya kepadamu.
Desa Bekang Gejuran. Dalam Kamis, 6 Dzulkaidah, tahun Jimawal 1837.
dokumen itu, ditegaskan
bahwa wewenang atas tanah
tidak lagi berada di tangan Alih bahasa:
Sultan, tetapi sepenuhnya Anggit Sasmito
dipegang oleh “Tuan Babrik
Gundhang Lipura”, termasuk 1
ukuran luas sawah, 1 jung = 28.386 m2
untuk memungut pajak. 2
orang yang mengurus sawah milik lurah
3
uang perak yang setara dengan 100 sen
4
Asal arsip: dalam transkripsi tertulis banang, kemungkinan kesalahan pentranskripsi atau penulis teksnya. Kata yang
Khasanah Arsip HB VII no. 610, Badan mendekati kata banang adalah bana yang artinya sawah/persawahan
Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.
Sumber:
Upacara Tradisional Saparan Daerah Gamping dan Wonolelo Daerah Istimewa Yogyakarta.
(1992). Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Diskusi terbatas bersama akademisi dan tokoh masyarakat setempat, 7 Juni 2017
Teriring terima kasih yang dalam, Monolit Yogyakarta kami haturkan untuk nama dan
lembaga berikut (dalam urutan abjad):
Abdul Wahid, S.S., M.Hum., M.Phil.; Abu Bakar S.Sos., M.Si.; Alida Szabo; Anggit Sasmito;
Anna Yushantarti, S.Si.; C. Prasetyadi, Dr., M.Sc.; Didit Hadi Barianto, S.T., M.T., Dr.
Eng.; Djoko Suryo, Prof. Dr.; Dwi Kristianto, M.Kesos.; Dyah Merta; Gito Wiyono; KGPH
Hadiwinoto; Hadi Suprapto; Harry Widianto, Dr.; Hastoro; Herry Subagiadi, Ir., M.Sc.;
Herman Darman, B.Sc., M.Sc.; Jahdi Zaim, Prof. Dr.; Jaswadi; J.T. (Han) van Gorsel, Dr.; M.
Chamami; Oman Abdurahman, Ir., M.T; Peter Lunt, B.Sc., M.Sc.; Ponidi; Putri Novita Taniardi;
Sri Margana, M.Hum., M.Phil., Dr.; Sudomo; Sugiman; Wusono; Yoyok.
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY; Balai Arkeologi Yogyakarta; Balai Pelestarian
Cagar Budaya Yogyakarta; Kecamatan Gamping; Kelurahan Ambarketawang; Kraton
Yogyakarta; Museum Geologi Bandung; Perpustakaan Universitas Sanata Dharma;
Universitas Gadjah Mada; UPN “Veteran” Yogyakarta
dan seluruh pihak yang telah membantu terujudnya buku ini.
49 Monolit Yogyakarta
Monolit Yogyakarta
Gunung Gamping dari Kesultanan Menuju Konservasi
Dalam lintasan sejarah, Gunung Gamping terkait sangat erat dengan berdirinya
nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Tak hanya menyumbang bahan baku untuk
pembangunan kota, kapur Gunung Gamping diperkirakan turut mengembalikan
kejayaan Kraton Yogyakarta, pada periode kembang-pesatnya industri gula di akhir
abad XIX hingga awal abad XX. Begitu massifnya penambangan terjadi di
perbukitan kapur yang konon membentang luas dan indah ini, hingga di atas
permukaan ia tersisa tak lebih dari kawasan seluas 0,03 Ha.
Kini, 261 tahun setelah berdirinya Yogyakarta, buku ini ditulis untuk mengingat
peran Gunung Gamping dalam lintasan sejarah. Cagar Alam Batu Gamping,
monumen geotapak di barat titik nol ini bukan hanya menandai berdirinya sebuah
kota. Tetapi juga menyaksikan peradaban berkembang, hingga dedikasinya
mencapai titik nadir.