Monolit Yogyakarta

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 31

Monolit Yogyakarta

Gunung Gamping dari Kesultanan Menuju Konservasi

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta


Monolit Yogyakarta
Gunung Gamping dari Kesultanan Menuju Konservasi

Balai KSDA Yogyakarta


Monolit Yogyakarta
Gunung Gamping dari Kesultanan Menuju Konservasi
Balai KSDA Yogyakarta

ISBN: 978-602-60593-1-4 DAFTAR ISI


Penanggung Jawab
Untung Suripto

Teks & Editorial


Dwi Nuryan Dani,
Griyabaskara, Miranda Harlan Daftar Isi — iii
Riset & Data Sekapur Sirih Sekditjen KSDAE, Herry Subagiadi, Ir., M.Sc. — v
Balai KSDA Yogyakarta,
Des Christy, Dyahning Retno Wati, Prakata Kepala Balai KSDA Yogyakarta, Junita Parjanti, Ir., M.T. — vi
Suharmanto, Taufiq Nur Rachman,
Titis Firtiyoso H.P, Wicak Baskoro

Foto Foto Udara Kawasan CA/TWA Batu Gamping — 2


Arsip Balai Desa Ambarketawang,
Kantor Arsip Daerah Kab. Sleman, Cagar Alam Batu Gamping — 3
Galatia Puspa, Prasetya Aditama
Peta Lokasi CA/TWA Batu Gamping — 4
Ilustrasi
Antonius Ipur, Irvan Noviansyah Linimasa Gunung Gamping — 5
Infografis Ilustrasi: Lingkungan Purba Gamping — 7
Irvan Noviansyah, Muhammad Angga Khoirurozi

Desain Sampul & Tata Letak


Dongeng dari Laut — 9
Irvan Noviansyah, Muhammad Angga Khoirurozi
Kraton Pesanggrahan di Kaki Ambar Tawang — 11
Penerbit & Distributor
Balai KSDA Yogyakarta Ilustrasi Kraton Pesanggrahan Ambarketawang — 13
Jl. Rajiman KM 0,4
Wadas, Tridadi, Sleman, Yogyakarta Sketsa Gunung Gamping — 15
Telp/Fax : 0274-864203, 864130
e-mail : [email protected] Biografi Franz Wilhelm Junghuhn — 17
Cetakan pertama, Juli 2017 Gunong Gambing, Batuan Kapur Dekat Djocjokarta — 18
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Perjalanan F.W Junghuhn — 19
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit dan/atau
distributor.
Infografis: Menghabisi Gunung Gamping — 21

Daftar Isi iv
Mendirikan Yogyakarta — 23
SEKAPUR SIRIH
Gula-Gula Yogyakarta — 25
SEKRETARIS DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM
Arsip Piyagem Sewa Tanah Pabrik Gula — 27 DAN EKOSISTEM
Kapur untuk Gula — 29
Buku ini disusun dengan tujuan memberikan informasi dan gambaran
Narasi Grafis: Ruwatan Gamping — 31 mengenai nilai penting dan nilai historis yang selama ini tersembunyi
Esai Foto: Upacara Bekakak — 37 di kawasan CA/TWA Batu Gamping. Diakui memang kawasan tersebut
secara keruangan sangat kecil dibanding kawasan konservasi lain yang
Esai Foto: Dokumentasi Upacara Bekakak 1957— 41 ada di Indonesia. Namun, luasan yang kecil itu menyimpan cerita besar
Infografis: Menuju Konservasi — 43 terkait sejarah pembentukan kota Yogyakarta, dengan ditemukannya
Petilasan Kraton Ambarketawang di sekitar kawasan.
Monolit Gunung Gamping, Dulu dan Sekarang — 44
Bongkahan monumen di kawasan CA/TWA Batu Gamping ini adalah salah satu pening-
Tantangan Balai KSDA Yogyakarta — 45 galan geologi penting dari zaman Eosen di Pulau Jawa, yang sepantasnya dapat dilindungi.
Gunung Gamping, A Journey to the Past — 47 Penambangan Gunung Gamping juga menyisakan cerita bernuansa budaya masyarakat,
yang masih terus dipertahankan hingga saat ini. Yaitu tradisi Bekakak (Saparan), yang meng-
Ucapan Terimakasih — 49 gunakan simbolisasi pasangan pengantin sebagai wujud tolak bala. Tradisi tersebut diyakini
dan dihidupi oleh masyarakat setempat, serta masih terus dilaksanakan setiap tahunnya.
Perpaduan informasi dari sudut keilmuan dan budaya yang dihasilkan dari kawasan CA/
TWA Batu Gamping membuktikan nilai penting kawasan ini. Buku Monolit Yogyakarta me-
maparkan informasi historis yang direpresentasikan oleh monumen di kawasan tersebut
dan tradisi yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Melalui buku ini, besar harapan
kami minat masyarakat untuk berkunjung ke kawasan konservasi CA/TWA Batu Gamping
dapat meningkat. Selamat membaca dan mengambil manfaat dari buku ini.

Ir. Herry Subagiadi, M.Sc.

v Monolit Yogyakarta Sekapur Sirih vi


PRAKATA fosil-fosil foraminifera Pellastipera orbitoidea, Discocylina dispansa, dan Nummulites gerthi,
menandakan batuan gamping pada CA Batu Gamping terbentuk pada periode Eosen. Se-
KEPALA BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM YOGYAKARTA hingga CA Batu Gamping merupakan rekaman sejarah lingkungan sebagian Jawa 40 juta
tahun lalu, yang patut dilestarikan.
Bahkan pada tahun 1836, Franz Wilhelm Junghun, seorang naturalis sekaligus geografer
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan YME karena atas rah- berkebangsaan Jerman (lalu Belanda) telah melukis dan mendeskripsikan Gunung Gam-
mat-Nya, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (Balai KSDA) Yogyakarta ping pada masa itu, bersamaan dengan deskripsinya tentang Gunung Merapi, Merbabu,
dapat menerbitkan buku Monolit Yogyakarta: Gunung Gamping dari Ke- dan Gunung Sewu. Hal ini menunjukkan arti penting Gunung Gamping dalam khasanah ilmu
sultanan Menuju Konservasi. pengetahuan yang selayaknya kita pelajari lebih lanjut.

Balai KSDA Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Buku ini berisi gambaran sejarah dan budaya Gunung Gamping, yang diharapkan dapat
Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE), memberikan informasi kepada pembaca mengenai jejak sejarah perjalanan Gunung Gam-
yang diberi mandat untuk mengelola kawasan konservasi. Cagar Alam/ ping dan budaya yang melekat di dalamnya. Diharapkan, dengan mengetahui sejarah dan
Taman Wisata Alam Batu Gamping merupakan salah satu situs yang dikelola oleh Balai KSDA budaya Gunung Gamping, minat masyarakat untuk berkunjung dan belajar lebih banyak
Yogyakarta. Kawasan konservasi yang ditetapkan tahun 1989 ini terbilang unik, mengingat dari warisan alam yang sangat berharga ini dapat meningkat.
luasnya hanya 1,084 Ha, namun memiliki potensi khas yang berbeda jika dibandingkan de- Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusun-
ngan kawasan konservasi lain. Potensi CA/TWA Batu Gamping bernilai sangat besar dari sisi an buku ini. Semoga kita dapat mengambil manfaatnya.
sejarah, geologi, dan budaya.
Potensi sejarah dimiliki CA/TWA Batu Gamping karena lokasinya berdekatan dengan si-
tus petilasan Kraton Ambarketawang sebagai tempat “mesanggrah” Sultan Hamengku Bu-
wana I selama pembangunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pasca-Perjanjian Giyanti
(1755). Begitu juga sumbangsih kapur dari Gunung Gamping dalam pembangunan Kraton
Yogyakarta dan berbagai bangunan bersejarah lainnya. Selain itu, tidak dapat dipungkiri Ir. Junita Parjanti, M.T.
bahwa peranan kapur dari Gunung Gamping sebagai pemurni dalam proses produksi gula
pada masa itu turut berpengaruh terhadap kejayaan perekonomian di Yogyakarta.
Peranan CA/TWA Batu Gamping sangat melekat dan mengejawantah dalam budaya
masyarakat melalui tradisi Bekakak yang diselenggarakan setiap bulan Sapar. Di mana
puncak acara, yakni penyembelihan boneka pengantin (bekakak), dilaksanakan di altar Cagar
Alam Batu Gamping. Upacara adat ini, serta berbagai ritual dan mitos yang mengiringinya,
menjadi daya tarik tersendiri untuk mengunjungi TWA Batu Gamping.
Sebagai warisan geologi, bongkahan batu kapur setinggi kurang lebih 10 m tersebut me-
rupakan monumen geologi yang menggambarkan jejak biota awal Pulau Jawa. Terdapat

vii Monolit Yogyakarta Prakata viii


Petilasan Pesanggrahan Ambarketawang
Foto: Galatia Puspa

Hampir pada ketinggian inilah,


agaknya, di salah satu puncak Gunung
Gamping, Sultan Hamengku Buwana
I dulu memandang lanskap wilayah
kekuasaannya yang baru. Kini, seperti
digambarkan oleh Junghuhn, sebagian
pohon kelapa masih tampak bersembulan
di antara dataran hijau, meski paparan
Gunung Gamping telah habis dan semak
bambu tergantikan oleh bangunan dan
permukiman. Kawasan Cagar Alam
dan Taman Wisata Alam Batu Gamping
berbatasan langsung dengan Petilasan
Kraton Pesanggrahan Ambarketawang
dan lahan milik warga.

Foto udara kawasan CA/TWA Batu Gamping


Foto: Prasetya Aditama

1 Monolit Yogyakarta Foto Udara Kawasan CA/TWA Batu Gamping 2


PETA LOKASI
CA/TWA BATU GAMPING Borobudur
Magelang
Gunung Merapi

rejo
Jl. Rin
g Ro
ad U

rwo
tara

ten
- Pu

bupa

Jl. Monjali

ya
lang

Jl. Magelang

ran Ra
g

di
Jl. Ka

ran
age

ffan
Prambanan

aliu
Jl. M

Jl. A

Jl. Setu
Jl. K
Jl. Go Tugu Jogja
dean
Jl. Laksda Adisucipto Jl. Raya Solo

kroaminoto
St. Yogyakarta
St. Lempuyangan

Jl. Timoho
oro
Bandar Udara

ur
Jl. Mataram
Jl. H.O.S. Co

Jl. Ring Road Tim


Internasional

Jl. Malob
Adisutjipto
jo
Purwore
elang -
Jl. Mag Jl. Wates Jl. Kusumanegara

Jl. Gedong Kuning


gisan

sis
Jl. Tam
Jl. Bu
Kraton
CA/TWA Batu Gamping

Jl. Bantul

Jl. Imogiri Ba
tis
Jl. Parangtri
Jl. Ring Road Selata

rat
n Terminal Giwangan

Pantai Pantai Pantai Y O G Y A K A R T A

3 Monolit Yogyakarta Foto: Prasetya Aditama Peta Lokasi CA/TWA


Monolit
BatuYogyakarta
Gamping 4
Sumber:

LINIMASA GUNUNG GAMPING 1. Peter Lunt, The Sedimentary Geology of Java. (Jakarta: Indonesian Petroleum Association, Spec.
Publ., 2013), 205-214.
2. Wawancara dengan Dr. Eng. Didit Hadi Barianto, S.T., M.T., Mei 2017.
3. Franz Wilhelm Junghuhn, Topographische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java [Penjelaja-
Secara dramatis, waktu dan peradaban mengubah wajah Gunung Gamping. han Topografis dan Ilmiah di Jawa]. (Magdeburg: E. Baensch, 1845), 76.
4. Budi Brahmantyo. “‘Gunung Gamping’ Contoh Buruk Eksploitasi Kars”. GeoMagz Vol. III no. 1 (2013):
Berdirinya Kesultanan Yogyakarta dan keberlangsungannya di masa kemudian, sebagian ditopang 65-66.
5. Merle Calvin Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi, 1749 – 1792: Sejarah Pembagian
oleh batu kapur dari kawasan ini. Jika di masa awal Kesultanan ia banyak dimanfaatkan sebagai Jawa. (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002).
sumber bahan bangunan, diterapkannya liberalisasi ekonomi dan masuknya industrialisasi ke 6. Alexandra van der Geer, Lyras, George, Vos, John de, Dermitzakis, Michael. Evolution of Island
Mammals: Adaptation and Extinction of Placental Mammals on Islands. (West Sussex: Wiley-Black-
kawasan vorstenlanden (wilayah-wilayah kerajaan pecahan Mataram Islam) seolah mengesahkan well, 2010)
massifnya penambangan gamping untuk produksi gula pasir. Eksploitasi telah menghabisi deretan
Gunung Gamping, hingga kini ia tersisa tak lebih dari kawasan seluas 0,03 Ha.

1,8 juta tahun lalu - 1755 1836 1855 – 1950 1956 – Sekarang

Kala Pliosen – Pendudukan Sultan HB I Kesinggahan Junghuhn Eksploitasi Besar Kawasan Dilindungi
Gunung Gamping terangkat menjadi daratan, setelah “Gunong Gambing, menjulang Lokasi yang aksesibel, 33 tahun setelah diusulkan
terlipat karena proses tektonik. Di kaki perbukitan inilah, hanya beberapa ratus langkah singkapan kapur yang tebal, menjadi kawasan suaka alam,
Sultan HB I mesanggrah sementara membangun Kraton dari sungai, rupa bentuknya dan kualitas kapur yang baik tahun 1989 akhirnya monolit
Yogyakarta. mengingatkan kita pada adalah sejumlah faktor di balik Gunung Gamping ditetapkan
dramatisnya perubahan alam,” massifnya penambangan sebagai cagar alam.
tulis Junghuhn dalam gamping untuk kebutuhan
catatannya. Dari Kraton bangunan dan industri gula
42,5 – 16 juta tahun lalu Yogyakarta, ia menyusur ke pasir.
barat dan singgah di sini.
Kala Eosen – Miosen
Lingkungan Gamping purba adalah ekosistem terumbu
yang terbentuk di laut dangkal, dengan ragam biota
foraminifera, ganggang, aneka koral, dan moluska.

5 Monolit Yogyakarta Linimasa Gunung Gamping 6


ILUSTRASI GAMPING PURBA
Kala Eosen – Miosen Tengah, 42,5 – 16 juta tahun lalu.

Lingkungan purba Gamping diperkirakan terbentuk di Kala Eosen Tengah,


pada laut dangkal tak jauh dari pantai. Suhu laut cukup hangat, berkisar antara
40-45° C. Berdasarkan penelitian paleomagnet, Gunung Gamping masa itu
terletak di 20° LS, atau setara dengan Benua Australia saat ini. Keberadaan
fosil Amphistegina yang berlimpah menandai perubahan lingkungan di masa
kepunahan, 38 juta tahun silam.

Sumber:
1. Peter Lunt, The Sedimentary Geology of Java. (Jakarta: Indonesian Petroleum
Association, Spec. Publ., 2013), 205-214.
2. Willi A. Mohler. “Das Alter des Eozan-Kalkes von Gunung Gamping westlich Djok-
jakarta, Java.” Eclogae Geologciae Helvetiae 42 (1949): 519-521.
3. Wawancara dengan Dr. Eng. Didit Hadi Barianto, S.T., M.T., Mei 2017.

7 Monolit Yogyakarta Ilustrasi lingkungan purba Gamping 8


DONGENG DARI LAUT
Kisah kehidupan paling awal di Jawa, sebagian, bermula di perairan.
Gunung Gamping purba diperkirakan terbentuk antara 42,5 – 36 juta silam, ketika sisi se-
latan Pulau Jawa masih terendam samudera. Pada lingkungan laut dangkal berombak, tak
jauh dari pantai, ekosistem terumbu yang terdiri dari foraminifera1 besar seperti Pellatispira,
Discocyclina, Nummulites, Asterocyclina, Heterostegina, Spiroclypeus dan Biplanispira, ter-
bentuk. Mereka hidup tak jauh dari dasar, bersama Rhodophyta (ganggang merah), gang-
gang hijau Codiacean, dan barangkali juga jenis-jenis Scaridae (ikan kakatua). Ekosistem
ini selanjutnya menciptakan endapan perbukitan bawah-laut yang kaya kalsium karbonat.
Dalam jutaan tahun, pergerakan tektonik lempeng Indo-Australia dan Eurasia kemudian
menggeser Paparan Sahul (Benua Australia) ke utara, hingga menumbuk Paparan Sunda.
Tumbukan ini mengangkat sisi selatan Jawa ke permukaan. Pada Kala Pliosen, bukit-bukit
bawah laut kaya kalsium karbonat itu diperkirakan telah menjadi daratan sepenuhnya. Ke-
lak, peradaban Jawa menyebutnya sebagai Gunung Gamping.
Seturut Verbeek dan Fennema (1896), hanya ada 0,5% singkapan batuan berusia Eosen di
Jawa. Di antara yang sedikit itu, Gunung Gamping adalah kawasan di mana jejak kehidupan
tersier terbentuk cukup tebal dan luas. Belakangan, pemanfaatan yang massif menyisakan
tak lebih dari monolit gamping permukaan setinggi 10 meter.
Gunung Gamping adalah salah satu bukti kehidupan paling awal di Jawa. Peran penting
inilah yang mendorong seorang geolog Swiss, Werner Rothpletz, bersama kolega Indone-
sianya, M.M Purbo Hadiwidjojo, untuk mengusulkan agar bongkah yang tertinggal dijadikan
kawasan suaka alam. Kini, tugu batu itu berstatus cagar alam, di bawah pengelolaan Balai
KSDA Yogyakarta. ■
Fosil Nummulites gerthi (Doornink), berbentuk Fosil Vacuolispira inflata (Umbgrove). Di akhir Kala
seperti kacang. Kanan bawah: Biplanispira mirabilis Eosen, genus-genus Vacuolispira, Pellatispira, dan
Sumber: (Umbgrove), sebentuk Pellatispira yang tengah Biplanispira memiliki relasi yang dekat dan saling
1. Peter Lunt, The Sedimentary Geology of Java. (Jakarta: Indonesian Petroleum Association, Spec. Publ., 2013), 205-214. berkembang menjadi Biplanispira. berkembang menuju bentuk satu sama lain.
2. Willi A. Mohler. “Das Alter des Eozan-Kalkes von Gunung Gamping westlich Djokjakarta, Java.” Eclogae Geologciae Helvetiae 42 (1949): 519-521.
3. Wawancara dengan Dr. Eng. Didit Hadi Barianto, S.T., M.T., Mei 2017.
4. Oman Abdurahman. “Geologi Linewatan: Dari Tasikmalaya hingga Banjarnegara”, GeoMagz Vol. III no. 1 (2013): 64.
Sumber:
Peter Lunt, The Sedimentary Geology of Java. (Jakarta: Indonesian Petroleum Association, Spec. Publ., 2013), 212.
1
Hewan bersel satu yang memiliki cangkang. Lunt, Peter. “Re: about historical records of Gunung Gamping, west of Jogjakarta”. Pesan ke penulis. 13 Juni 2017. E-mail.

9 Monolit Yogyakarta Dongeng dari Laut 10


KRATON PESANGGRAHAN sangat luas”. Sebagaimana ia membangun Kraton Yogyakarta, di masa itu pertahanan diya-
kini menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan masak-masak. Tak pelak, pengakuan
atas kedaulatan Ngayogyakarta adalah hasil yang ditukar dengan darah, setelah sedekade
DI KAKI AMBAR TAWANG perang panjang melawan VOC.
Dengan kapur dari Gunung Gamping ini pula, Sultan HB I mendirikan Yogyakarta. Di
Andai palihan nagari1 tak pernah terjadi.... samping itu, ia adalah tempat tinggi, di mana Sultan bisa memandang calon kraton sekaligus
lanskap wilayah kekuasaannya. Dari situlah nama Ambarketawang tercipta; ambar berarti
“Ketika kaki Gunung Gamping belum lagi dihuni manusia, buminya berbukit lembah, pepo-
tempat, tawang berarti memandang dari ketinggian. Tetapi, andai palihan nagari tak terjadi,
honan masih demikian rimbunnya, siang hari pun terlihat gelap menyeramkan”2 . Demikian-
dan Mataram tetap utuh satu, apakah Gunung Gamping akan menjalani nasib yang sama?
lah dulu perbukitan ini digambarkan R.M Jayeng Wiharja. Ia menyebut nama-nama delapan
gunung yang membentuk lanskap serupa benteng, sejarak 4-5 kilometer dari pusat kota Bagaimanapun, takdir telah menggariskan Gunung Gamping untuk turut menciptakan
Yogyakarta ini. Memanjang ke barat, dari timur urutannya adalah Gunung Ambar Tawang, Yogyakarta. Sebentuk wajah kota, yang kini kita kenal. ■
Gong, Gedhe, Buta, Petruk, Padasan, Tlaga, dan Kliling.
Di kaki perbukitan inilah, Pangeran Mangkubumi (bergelar Sultan Hamengku Buwana I
setelah Perjanjian Giyanti, 1755 M) bermukim selama setahun (9 Oktober 1755—catatan lain
menyebut 6 November 1755—s.d 7 Oktober 1756 M), sembari membangun Kraton Ngayo-
gyakarta di Hutan Beringan, Desa Pacethokan, pada tilas Pesanggrahan Ayogya. Alasan di
balik pemilihan tempat ini sebagai cratong passanggrahan3 belum dapat dipastikan. Se-
buah versi legenda menceritakan Gunung Gamping sebagai tempat pertapaan Sultan, di
mana ia mendapat penglihatan yang kemudian menuntunnya untuk membangun Kraton
Yogyakarta. Sedang dalam catatan perjalanan Junghuhn, dikatakan bahwa Sultan mendiri-
kan bangunan tinggi di dekat sungai, sebelah tenggara Gunung Gamping. Dari puncak ba-
ngunan itu, siapa pun akan melihat “pemandangan terindah: lanskap hijau berseling sungai
mengular, pohon kelapa dan semak bambu bersembulan di mana-mana.”
Sebagai ahli dalam berperang, sultan muda ini agaknya mendirikan kraton sementara di
lokasi yang strategis. Gunung Gamping menyerupai benteng yang melindungi posisinya
secara alamiah. Tetapi, di samping itu, Mangkubumi tetap menitahkan punggawanya un- Sumber:
tuk membuat kraton pesanggrahan yang “seperti loji bentuknya, parit diisi air, bentengnya 1. Auliawati, N.A (2016) Suntingan Teks Cariyosipun Pareden Gamping (skripsi). Tersedia dari Universitas Indonesia Library. (S63272).
2. Raden Ngabehi Yasadipura I, Babad Giyanti. (Yogyakarta: terjemahan Balai Pusataka – Batawi Sentrem jilid 18, 2006).
3. Merle Calvin Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi, 1749 – 1792: Sejarah Pembagian Jawa. (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002).
1
4. Ki Sabdacarakatama, Sejarah Kraton Yogyakarta. (Yogyakarta: Narasi, 2008).
Pembagian Mataram Islam menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta. 5. Peter Carey, Noorduyn, J., Ricklefs, M.C., Asal-Usul Nama Yogyakarta dan Malioboro. (Depok: Komunitas Bambu, 2015).
2
“Ing nalika sukunipun redi Gamping wau dereng dipunenggeni ing tiyang, sitinipun taksih legok geneng, wit-witanipun taksih rungkut sanget, ing 6. Sudrajat, A. (2007). Petilasan Kraton Pesanggrahan Ambarketawang sebagai Media Pembelajaran Rekonstruksi Sejarah. Diakses dari Universitas
wanci siyang kemawon katingal peteng angajrihi”; Cariyosipun Pareden Gamping, hal 6 Negeri Yogyakarta, tautan: http://staffnew.uny.ac.id/upload/131862252/penelitian/Petilasan+Kraton+Pesanggrahan+Ambarketawang.pdf.
7. Franz Wilhelm Junghuhn, Topographische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java [Penjelajahan Topografis dan Ilmiah di Jawa]. (Magde-
3
Sebutan pemimpin VOC di Yogyakarta untuk Kraton Pesanggrahan Ambarketawang, dalam surat-suratnya. burg: E. Baensch, 1845), 78.

11 Monolit Yogyakarta Kraton Pesanggrahan di Kaki Ambar Tawang 12


ILUSTRASI KRATON PESANGGRAHAN
AMBARKETAWANG

1755 M, Pesanggrahan Pura-Para di kaki Gunung Gamping


pun menjelma istana Ambarketawang. Kompleks seluas 12.000
m² ini dilengkapi cepuri (benteng dalam), kestalan (kandang
kuda), urung-urung (gorong-gorong sekaligus jalan keluar
darurat) dan gedung kereta, masih pula dikelilingi benteng dan
parit. Gapuranya menghadap timur. Selain mempunyai sifat-sifat
pertahanan karena letaknya dekat dengan Gunung Gamping
yang memberi perlindungan kuat kepada penghuni istana,
Pesanggrahan Ambarketawang tampaknya juga diperlengkapi
layaknya sebuah kraton sederhana.
Sumber:
1. Wawancara dengan KGPH Hadiwinoto, Mei 2017.
2. Sudrajat, A. (2007). Petilasan Kraton Pesanggrahan Ambarketawang sebagai Media
Pembelajaran Rekonstruksi Sejarah. Diakses dari Universitas Negeri Yogyakarta,
tautan: http://staffnew.uny.ac.id/upload/131862252/penelitian/Petilasan+Kraton+Pe-
sanggrahan+Ambarketawang.pdf.
3. Propinsi DIY. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Laporan Proyek Taman Geologi &
Peninggalan Sejarah Ambarketawang. Yogyakarta: 1980. Cetak.
4. Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman. (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1985), 39.

13 Monolit Yogyakarta Ilustrasi Kraton Pesanggrahan di Kaki Ambar Tawang 14


Sketsa Gunung Gamping dibuat
Junghuhn dalam perjalanannya
berkeliling Jawa, antara tahun 1836 –
1839.
Dikatakan bahwa ia menjelajah
gunung-gunung berketinggian 1.000-
3.000 meter bersama teman Jawa-nya,
hidup di hutan-hutan, dan lebih suka
berada di tempat-tempat itu untuk
menyelidiki tetumbuhan, mengukur
tekanan udara, menulis catatan, dan
menggambar dari berbagai sudut
pandang. Sketsa ini dimuat dalam Java
Album: Landschafts-Ansichten von
Java (1853), bersama 10 gambar lain.

Sumber:
1. Franz Wilhelm Junghuhn, Topographische und naturwissen-
schaftliche Reisen durch Java [Penjelajahan Topografis dan
Ilmiah di Jawa]. (Magdeburg: E. Baensch, 1845), v.
2. Franz Wilhelm Junghuhn, Java Album: Landschafts-Ansicht-
en von Java, (Leipzig: Arnoldische Buchhandlung, 1853), 5.

15 Monolit Yogyakarta Sketsa Gunung Gamping 16


Meski minat utamanya adalah botani, sesungguhnya ada-
lah pendidikan medis yang telah membawa Franz Wilhelm
GUNONG GAMBING,
Junghuhn ke Hindia Belanda. BATUAN KAPUR DEKAT DJOCJOKARTA
Oktober 1835, ia tiba di Batavia sebagai petugas kesehatan
kelas tiga militer kolonial Belanda. Namun, berkat dukungan Empat setengah kilometer di barat Djocjokarta, onggokan batu raksasa yang seolah tum-
atasannya, Dr. E. A. Fritze, ia bisa menelaah alam Jawa dan pang tindih tampak mencuat sendirian di tengah dataran. ... Gunong Gambing (... begitulah
Sumatera nyaris sepanjang tiga belas tahun berikutnya, dan orang-orang Jawa menyebutnya) tampak aneh dan menggelikan di antara lanskap seki-
diangkat sebagai anggota temporer Komite Ilmu Alam1, se- tarnya.
mentara hanya menaruh perhatian sepintas lalu pada peker-
Batu-batuan raksasa itu ... tampak seperti reruntuhan gunung yang ambruk ... Beberapa
jaan utamanya. Gairah pada gunung berapi membawanya FRANZ WILHELM berdiri tegak, sementara yang lain tergeletak melintang atau miring, menganjur tak bera-
naik-turun vulkan di Jawa. Ia bahkan mencatat kondisi kawah
Gunung Merapi dan menggambarnya secara teliti. JUNGHUHN turan. Celah-celahnya menyembunyikan rongga gua dan ceruk-ceruk yang teduh, jauh di
bawah. ... Dindingnya yang putih kekuningan tampak tandus, ... Tubir dan puncaknya yang
Tahun 1849, ia sempat menetap di Belanda karena alasan 1809-1864 hancur berselimut rimbunan belukar.
kesehatan. Juni 1852, dari Leiden, kepada kolega dokternya,
... Seluruh tumpukan batu dengan rongga-rongga, gua, dan celah itu tertutup suburnya
Pieter Bleeker, Junghuhn menulis: “Perhaps no one is longing for his homeland, like I long
jalinan semak dan tanaman merambat yang saling menyambung, ... secara menyesatkan
for the return to Java.” Di sana pula, ia menulis 4 volume Java, Zijne Gedaante, Zijn Plan-
menutupi kedalaman yang tak terjangkau cahaya. Ialah hamparan tebal tak tertembus, dari
tentooi en Inwendige Bouw2: salah satu dari sejumlah besar publikasi tentang Jawa dan
mana ratusan jenis bunga menyembul, wanginya membubung tak kenal musim. Teruta-
Sumatera, yang pernah dibuatnya, dan menerima penghargaan tertinggi yang bisa dicapai
ma beberapa jenis Piperaceae (sirih-sirihan) memeluk bebatuan dengan akar mereka dan
seorang naturalis: identifikasi spesies tanaman dengan namanya.
menyedapkan udara dengan kuntum-kuntumnya. Cecabang spesies Cissus (tikel balung)
Ia kembali ke Jawa, tahun 1855, dalam penugasan untuk mengupayakan penanaman yang lebat merambati tebing curam, sementara jenis-jenis tanaman penyimpan air seperti
pohon kina. Kelak keberhasilannya membuat Hindia Belanda sempat memegang monopoli begonia mengisi lubang dan retakan.
perdagangan kina di dunia. Junghuhn juga membuat peta Jawa yang cukup akurat. 24
... Pada sebuah ceruk di kaki selatan perbukitan, orang-orang Jawa memecah batu kapur
April 1864, hidupnya berakhir di Lembang, setelah kondisi kesehatan yang terus memburuk.
dan memuat bongkahannya ke gerobak yang dihela oleh kerbau. Terdapat pula reruntuhan
Di antara gerimis, dibisikkannya selamat tinggal kepada Gunung Tangkuban Perahu, yang
istana kecil Sultan Djocjokarta. Terlihat dinding-dindingnya yang sederhana, seolah bersan-
udara sejuknya tak akan lagi bisa dihirupnya, sebelum menutup mata dalam damai. ■
dar pada tebing batu yang gelap dan cekung, membentuk area segiempat, tampak men-
Sumber: colok dengan beberapa pintu masuk. ... Sungguh jelas para tetua Djocjokarta tahu benar
1. E.M Beekman, Fugitive Dreams: An Anthology of Dutch Colonial Literature Library of the Indies. (Amherst: University of Massachusetts Press,
1988), 97. memilih tempat yang pantas untuk tetirah. ■
2. Rousseau, F. (2016, 27 September). Gunung Gede by Franz Wilhem Junghuhn. Tulisan pada https://wanderingvertexes.blogspot.co.id/2016/09/
gunung-gede-by-franz-wilhuem-junghuhn.html (diakses pada 13 Juni 2017).
3. Passchier, Cor. “Franz Wilhelm Junghuhn 1809 - 1864: In service of the colonial government in the Dutch-Indies, Scholar and Freethinker”. Jung- Alih bahasa:
huhn Lecture. ‘s-Hertogenbosch: PAC architects and consultants B.V., 2009. 2. Digital. Alida Szabo, Miranda Harlan

Dikutip dan diterjemahkan dari:


1
Commission for Natural Sciences Franz Wilhelm Junghuhn, Topographische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java [Penjelajahan Topografis dan Ilmiah di Jawa]. (Magdeburg: E.
2
Jawa: Bentuk, Vegetasi, dan Struktur Dalamnya Baensch, 1845), 76-80.

17 Monolit Yogyakarta Gunong Gambing, Batuan Kapur Dekat Djocjokarta 18


PERJALANAN F.W JUNGHUHN Sumber:
1. E.M Beekman, Fugitive Dreams: An Anthology of Dutch Colonial
Literature Library of the Indies. (Amherst: University of Massachusetts
Press, 1988), 96-129.
Disebut sebagai “Alexander von Humboldt (naturalis terkemuka di zamannya) of Java”, talenta 2. Franz Wilhelm Junghuhn, Java: Seine Gestalt, Pflanzendecke und
Franz Wilhelm Junghuhn sebagai naturalis, geolog, penulis, dan kartografer seolah berjodoh Innere Bauart [Jawa: Bentuk, Vegetasi, dan Struktur Dalamnya].
(Leipzig: Arnold, 1857).
dengan Jawa. 3. Franz Wilhelm Junghuhn, Topographische und naturwissenschaftli-
che Reisen durch Java [Penjelajahan Topografis dan Ilmiah di Jawa].
Dalam volume pertama bukunya, Java1, Junghuhn memetakan "geografi" tanaman Jawa secara (Magdeburg: E. Baensch, 1845).
ilmiah sekaligus deskriptif, yang akurasi maupun keelokan narasinya belum tertandingi. Seperti
sosok von Humboldt yang dikaguminya, Junghuhn juga seorang pendaki gunung yang antusias. Ia
tak segan menjelajah kawah demi kawah, atas nama pengetahuan dan keingintahuan seorang
pecinta alam.

1
Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw [Jawa: Bentuk, Vegetasi, dan Struktur Dalamnya] (1850 – 1853)

1839
1838 1840
1847 1838
1837 1844

1836

1836 1837 1838 1839 1840 1844 1847

G. Merapi Kawah Putih Ciwidey G. Sumbing G. Gede G. Prau Kawah Hyang G. Slamet
G. Merbabu Telaga Patengan G. Lawu G. Pangrango G. Sindoro
G. Gamping
G. Sewu

19 Monolit Yogyakarta Perjalanan F.W Junghuhn 20


MENGHABISI GUNUNG GAMPING
Meski tak ada catatan pasti, periode penambangan agaknya dimulai bersamaan dengan
Tobong Gamping
dibangunnya Kraton Yogyakarta oleh Sultan Hamengku Buwana I.
Sebagian oven pembakaran batu gamping dimiliki oleh
Kraton memiliki dan mengelola tobongnya sendiri di Gunung Gamping. Dalam pembangunan, kapur kerajaan, sementara sebagian lain diusahakan oleh orang Cina.
tohor digunakan sebagai perekat (semen) atau untuk dijadikan labur (cat putih). Belakangan, Tahun 1820, tobong-tobong ini bisa menghasilkan 37 ton kapur
berkembangnya industri gula Yogyakarta di abad berikutnya juga disebut-sebut sebagai penyebab dalam sebulan, atau lebih dari 400 ton per tahun.
habisnya Gunung Gamping.

Penggunaan Dinamit
Dikatakan bahwa dinamit turut digunakan dalam
penambangan untuk kepentingan industri gula.
Di tahun 1860 saja, Yogyakarta menghasilkan Sumber:
2.892 ton gula pasir. Volume produksi itu Pekerja Tambang 1. Peter Carey, The Power of Prophecy, 2nd ed. (Leiden: KITLV Press, 2008).
Gerobak Pengangkut Gamping 2. Vincent J.H Houben, Kraton and Kumpeni. (Leiden: KITLV Press, 1994).
melibatkan penggunaan sekira 361,5 ton kapur, Penambangan dilakukan oleh masyarakat setempat, 3. Auliawati, N.A (2016) Suntingan Teks Cariyosipun Pareden Gamping (skrip-
dalam proses pemurniannya. Gerobak yang ditarik kerbau atau sapi menjadi moda si). Tersedia dari Universitas Indonesia Library. (S63272).
warga tani yang lahan garapannya disewa untuk
pengangkutan yang digunakan untuk memindah batu 4. Inagurasi, L.H (2010) Pabrik Gula Cepiring di Kendal, Jawa Tengah tahun
kepentingan gula, atau oleh bujang alias numpang 1835 - 1930, Sebuah Studi Arkeologi Industri (tesis). Tersedia dari Universi-
gamping atau kapur tohor di masa itu.
(buruh berpindah). tas Indonesia Library. (T27311).

21 Monolit Yogyakarta Menghabisi Gunung Gamping 22


MENDIRIKAN YOGYAKARTA Benteng Vredeburg
Tahun 1760, seizin Sultan HB I, VOC membangun benteng
sederhana berbahan jati dan bambu, tepat di utara kraton.
Beberapa sumber menyebut Yogyakarta di masa awal dipenuhi bangunan indah. Nyaris
Benteng ini diresmikan dengan nama Rustenberg. Tahun
seperempatnya didirikan dengan kapur Gunung Gamping. 1808, atas perintah H.W Daendels, Benteng Rustenberg
Seluruh jalan masuk menuju kompleks kraton dipagari tembok (pagar banon) setinggi 2 meter. Loji diperkuat menjadi bangunan batu segiempat, posisinya
itu bahkan dinamakan mergelburg, karena banyak menghabiskan batu gamping (mergel). Meski tak lebih tinggi, dindingnya tebal. Di setiap sudutnya dibangun
ada catatan pasti soal bangunan mana saja yang dibangun dengan kapur Gunung Gamping, kubu penjagaan. Oleh Daendels, ia dinamai Vredeburg
(benteng perdamaian).
bangunan-bangunan penting Yogyakarta abad XVIII - XX ini diduga juga memanfaatkan gamping
dalam pendiriannya.
Stasiun Tugu
Kraton Yogyakarta Tahun 1879 – 1887, di atas lahan pemberian Sultan HB VII,
dibangun stasiun untuk menghubungkan Yogyakarta
Secara keruangan, pusat pemerintahan yang dibangun
dengan Pelabuhan Cilacap. Jalur kereta dan stasiun saat itu
tahun 1755 ini terdiri atas sejumlah kompleks yang
sangat dibutuhkan, terutama karena perkembangan industri
tersusun berjajar utara-selatan. Masing-masing berupa
gula di Yogyakarta. Luas keseluruhan bangunan Stasiun
pelataran dilingkupi tembok keliling, dengan bangunan di
Tugu adalah 74.128 m², dengan bangunan induk yang
tengah maupun sepanjang tepiannya. Willem van
bergaya art deco seluas 992,2 m².
Hogendorp, dalam catatannya tahun 1828, mengatakan:
"Djocja (Yogyakarta) in its glory must have been the
Versailles of Java." Selokan van der Wijk
Saluran irigasi ini dibangun sebelum tahun 1910 oleh Pabrik
Benteng Baluwarti Gula Sendang Pitoe, untuk mendukung kepentingan
perkebunan tebu. Aliran airnya diambil dari Sungai Progo. Ia
Sebait tembang Mijil menuturkan, "...beteng tinggi yang dianggap unik karena posisinya lebih tinggi, berkisar antara
mengelilingi kraton. Plengkungnya lima buah, dan hanya 1 – 4 meter dari permukaan tanah, dengan kedalaman
empat yang terbuka." Dibangun tahun 1782, benteng sekitar 2 – 3 meter dan lebar 2,5 meter.
baluwarti (benteng terluar) membentang sepanjang 1.200
meter timur-barat dan 940 meter utara-selatan, kecuali di
Sumber:
sisi timur, di mana ia diperpanjang ke utara 200 meter. 1. Peter Carey, The Power of Prophecy, 2nd ed. (Leiden: KITLV Press, 2008).
Ketebalannya lebih kurang 55 cm, setinggi 5,2 meter. 2. Ki Sabdacarakata, Sejarah Keraton Yogyakarta. (Yogyakarta: Narasi, 2009).
3. Prabowo, R.D. (2013) Sejarah dan Perkembangan Stasiun Kereta Api Tugu di Yogyakarta 1887-1930 (skripsi). Tersedia dari Repository Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Taman Sari 4. Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya. Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/siteregnas/public/objek/detail-
cb/PO2015121500017/Stasiun-Kereta-Api-Tugu-Yogyakarta (diakses 28 Mei 2017).
Dibangun tahun 1758, kompleks istana air ini terdiri atas 57 5. Ensiklopedi Kraton Yogyakarta (cet. 2). (2014). Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.
bangunan di atas area seluas 12.600 m². Arsitekturnya 6. Rumah Belajar. Keraton Yogyakarta. https://belajar.kemdikbud.go.id/PetaBudaya/Repositorys/kraton_yogya/ (diakses 28 Mei 2017).
7. Mosaic of Cultural Heritage Yogyakarta (english ed.). (2014). Yogyakarta: Balai Pelestarian Cagar Budaya.
merupakan percampuran aliran Hindu-Buddha, Cina, 8. Marihandono, D. (2008) Perubahan Peran dan Fungsi Benteng dalam Tata Ruang Kota. Dalam Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya Vol. 10
Jawa-Islam, Portugis, dan Eropa. Selain digunakan sebagai no. 1 (hal. 147-148). Depok: FIB UI.
pemandian dan tempat rekreasi, kompleks ini diyakini juga 9. Bramantya, A.R., Effendhie, M. (....) Waterschappen (Irrigation Agencies) in Vorstenlanden Surakarta and Yogyakarta, 1900-1942 (penelitian). Terse-
dia dari ugm.academia.edu.
memiliki fungsi pertahanan dan peribadatan. Airnya 10. Noorcahyo, F. (2014) Resolusi Konflik Penggunaan Air Selokan Van Der Wijck Antara Aktivitas Perikanan Dan Pertanian Studi Kasus Kecamatan
dialirkan dari Sungai Winongo. Minggir Dan Kecamatan Moyudan Yogyakarta (tesis). Tersedia dari etd.repository.ugm.ac.id.
11. Tembi News. Buk Renteng: Akuaduk-nya Jogja. http://arsip.tembi.net/yogyakarta-yogyamu/buk-renteng-akuaduk-nya-jogja (diakses 28 Mei 2017).

23 Monolit Yogyakarta Mendirikan Yogyakarta 24


GULA-GULA YOGYAKARTA berjalan. Di atas tanah-tanah sewaan inilah, tebu disemai menggantikan padi dan cerobong
pabrik-pabrik gula mengepul. Pada masa pemerintahan Sultan HB VII, telah terdapat be-
lasan pabrik gula di Yogyakarta; sebagian besar dimiliki oleh pengusaha swasta Belanda/
Tahun-tahun pasca-1830 menjadi periode panjang pemulihan ekonomi, setelah Kesul- Eropa, sisanya milik Cina dan bangsawan kerajaan.
tanan Yogyakarta diguncang dua peristiwa: pendudukan Raffles tahun 1812 dan Perang Meski Depresi Besar yang melanda dunia “berhasil” memangkas jumlah pabrik gula yang
Jawa. Di masa itu, Gunung Gamping—sebagai salah satu aset utama monopoli Kesultanan— beroperasi di Yogyakarta hingga lebih dari separuhnya (pasca-1931, hanya 8 pabrik gula
tak hanya menopang kebutuhan kapur untuk pembangunan, tetapi juga menyediakan kom- yang dapat bertahan), penambangan kapur di Gunung Gamping masih terus terjadi sampai
ponen pendukung bagi salah satu komoditas ekspor Hindia Belanda, yang cukup penting tahun 1950-an. Dalam seabad perjalanannya, eksploitasi gamping untuk industri gula saja
selama paruh kedua abad XIX hingga masa Depresi Besar: gula. barangkali melampaui angka 50 ribu ton. Sebagian, kalau tak boleh dikatakan seluruhnya,
Bersama diberlakukannya kebijakan tanam paksa di Jawa, gula menjadi komoditas yang dari jumlah itu mesti ditanggung Gunung Gamping sendirian, karena letaknya yang relatif
menguntungkan Pemerintah Kolonial Belanda, terutama setelah 1845. Di masa itu, Jawa dekat dengan pabrik-pabrik gula, dan akses yang terbuka.
menjadi pengekspor gula terbesar nomor dua di dunia, setelah Kuba. Tetapi, di wilayah Ke- Di awal masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Yogyakarta mengukuhkan keistime-
sultanan Yogyakarta, penetrasi industri gula berjalan perlahan, dan baru menggeser usaha waannya. Sementara Gunung Gamping, dari mana Kesultanan ini didirikan, tersisa tak lebih
nila (indigo) setelah setengah abad. dari sebuah monumen, yang menyaksikan peradaban menggerogoti tubuhnya sampai ha-
Jika dirunut ke periode sebelumnya, perkembangan industri gula sesungguhnya dibidani bis. ■
oleh masuknya swasta ke wilayah Kesultanan Yogyakarta. Tahun 1816, Nahuys van Burgst,
residen saat itu, menggunakan kekuasaannya dalam urusan sewa menyewa tanah di vorsten-
landen. Sistem sewa memungkinkan pihak swasta Belanda untuk mengusahakan sebidang
tanah, dan dalam perjalanannya, memperkenalkan penggunaan teknologi modern. Pada
kasus gula, pengusaha Belanda membawa masuk mesin-mesin besar bertenaga air dan
uap, menggantikan penggiling tebu batu bertenaga kerbau, dan karenanya meningkatkan
volume produksi gula pasir secara signifikan.
Tahun 1855, industri gula di wilayah Yogyakarta memasuki skala medium. Eksploitasi un-
tuk keperluan gula pasir di Gunung Gamping mulai mendapat perhatian. Tahun 1862, Sultan
Hamengku Buwana VI mengeluarkan pranata seputar penambangan, bersamaan dengan
dilansirnya Pranatan Patuh (peraturan bagi para priyayi pemegang lungguh). Selanjutnya,
sementara Gunung Gamping kian terkikis, pusaran ekonomi di wilayah Yogyakarta bergerak
makin cepat. Sumber:
1. Bosma, U. (2007) The Cultivation System (1830-1870) and Its Private Entrepreneurs on Colonial Java. Dalam Journal of Southeast Asian Studies
Selain diuntungkan oleh pemasukan dari sewa tanah, liberalisasi membuka peluang bagi Vol. 38 No. 2 (hal. 275-291).
2. Vincent J.H Houben, Kraton and Kumpeni. (Leiden: KITLV Press, 1994).
Kesultanan untuk turut memiliki saham di sejumlah pabrik gula. Belum terhitung bekti, biaya 3. Sri Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769 – 1874. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
yang dibayarkan penyewa tanah di muka, untuk memuluskan kontrak sebelum masa sewa 4. Oman Abdurahman. “Geologi Linewatan: Dari Tasikmalaya hingga Banjarnegara”, GeoMagz Vol. III no. 1 (2013): 64.
5. Peter Carey, The Power of Prophecy, 2nd ed. (Leiden: KITLV Press, 2008).

25 Monolit Yogyakarta Gula-gula Yogyakarta 26


TRANSLITERASI

Pajek Selapermuja
Adhimas Pangeran Adipati Mangkubumi, Opisir dher Ordhe pan Oranye Nasau,
Opisir dher Ordhe pan dhe Krun di Siyem, Litnan Kolonel Ajidan Jindralen Setap.
Engkau memerintahkan tentang permintaan si Ngabehi Selapermuja, Demang
Tumpukan Pemajegan, maksudnya meminta ijin sawah Desa Bekang Gejuran
yang digadaikan ½ jung1 (yang masih digarap oleh) bekel2 Jawa, memiliki pajak
sebesar 55 rupiyah putih3 selama satu tahun termasuk kelengkapannya, pajak
tersebut hendak dibayarkan kepada Tuan We Ha Westen Bereh, Administratur
Babrik Gondhanglipura selama 20 tahun tanpa wewenang memanen setelah
perjanjian selesai, disanggupi membayar pajak 75 rupiyah putih selama satu
tahun. Si Selapermuja diberikan upah sebesar 300 rupiyah putih.
Hal tersebut maka sudah menjadi kesepakatan bersama kedua belah pihak
yang bertanggung jawab atas pajak dan yang membayarkan serta sawah
tersebut sudah masuk dalam batas milik Tuan Babrik Gundhang Lipura, bukan
milik Karang Kopek atau bukan milikku di Pamutiyan, tidak ada yang berada di
sebelah selatan Kali Opak, tidak dibenarkan bertanggung jawab atas sawah4
tersebut, aku sudah mengijinkan.
Kemudian jika sudah saling memasrahkan tanah desa dan lain-lainnya kepada
Dokumen yang dikeluarkan
tuan yang bertanggung jawab atas pajaknya, segeralah engkau memberikan
Sultan Hamengku Buwana VII,
kabar kembali, beritahukan kepadaku tentang hari dan waktu pemasrahan tanah
Desember 1907 ini memuat
tadi, seperti biasa yang sudah dilakukan.
ketentuan, termasuk hak dan
kewajiban, yang melekat pada Maka dari itu hendaklah engkau segera memerintahkan seperti biasa yang
sebidang tanah sewaan di sudah dilakukan, jangan sampai ada yang kurang. Aku percaya kepadamu.
Desa Bekang Gejuran. Dalam Kamis, 6 Dzulkaidah, tahun Jimawal 1837.
dokumen itu, ditegaskan
bahwa wewenang atas tanah
tidak lagi berada di tangan Alih bahasa:
Sultan, tetapi sepenuhnya Anggit Sasmito
dipegang oleh “Tuan Babrik
Gundhang Lipura”, termasuk 1
ukuran luas sawah, 1 jung = 28.386 m2
untuk memungut pajak. 2
orang yang mengurus sawah milik lurah
3
uang perak yang setara dengan 100 sen
4
Asal arsip: dalam transkripsi tertulis banang, kemungkinan kesalahan pentranskripsi atau penulis teksnya. Kata yang
Khasanah Arsip HB VII no. 610, Badan mendekati kata banang adalah bana yang artinya sawah/persawahan
Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.

27 Monolit Yogyakarta Arsip Piyagem Sewa Tanah Pabrik Gula 28


KAPUR UNTUK GULA DAFTAR PABRIK GULA
Peta Pabrik Gula di Masa Kolonial Belanda
1. Pabrik Gula Randugunting
2. Pabrik Gula Tanjungtirto
JAWA TENGAH
Tahun 1930, tak kurang dari 19 pabrik gula berdiri 3. Pabrik Gula Kedaton Pleret
gagah di Yogyakarta.
4. Pabrik Gula Wonocatur Tempel
Sebagian besar pabrik itu dimiliki oleh swasta Belanda, 5. Pabrik Gula Padokan
sementara sisanya milik Kesultanan, Pakualaman, 17
6. Pabrik Gula Bantul 18
dan pengusaha Cina, meskipun pengelolaannya 7. Pabrik Gula Barongan 19 Ngemplak
tetap didominasi oleh personel-personel Belanda. 8. Pabrik Gula Sewugalur
Sleman
Jumeneng 16
Sejak setengah abad sebelumnya, teknologi modern
9. Pabrik Gula Gondanglipuro 15 Mlati
semacam mesin turbin tenaga air dan uap mulai 1
10. Pabrik Gula Pundong
menggantikan penggunaan turbin tradisional yang Prambanan
11. Pabrik Gula Gesikan
digerakkan oleh kerbau. Nanggulan Godean Kalasan
12. Pabrik Gula Sedayu 13
Setiap pabrik lazimnya memiliki tungku 14
13. Pabrik Gula Rewulu 2
pembakarannya sendiri, untuk mengolah gamping 4
14. Pabrik Gula Demak Ijo
menjadi kapur. Agar nira jernih, larutan kapur 12
15. Pabrik Gula Cebongan dan Klaci
dicampur dengan sari tebu dan dipanaskan. Kapur
16. Pabrik Gula Beran Sentolo 5
akan mengikat kotoran dan ampas nira. Limbah ini Pengasih
dikenal sebagai blothong. Proses penyaringan akan 17. Pabrik Gula Medari
menghasilkan nira tebu yang jernih, sebelum diolah 18. Pabrik Gula Banjarharja 3
lebih lanjut menjadi gula pasir. 19. Pabrik Gula Sendangpitu
6
Sogan Bantul
11 7
9 Imogiri
Gunung Gamping
8 Galur
Pabrik Gula Srandakan
10 YOGYAKARTA
Jalur Kereta
Kreteg
Sumber: Jalur Kereta
1. Vincent J.H Houben, Kraton and Kumpeni. (Leiden: KITLV Press, 1994).
2. Inagurasi, L.H (2010) Pabrik Gula Cepiring di Kendal, Jawa Tengah tahun 1835 - 1930, Jalur Kereta
Sebuah Studi Arkeologi Industri (tesis). Tersedia dari Universitas Indonesia Library. (T27311).
3. G. Kolff & Co. Batavia. (1930) Suikerfabrieken (peta). Tersedia dari maps.library.leiden.edu.
(04643-2). Jalan Utama

29 Monolit Yogyakarta Kapur Untuk Gula 30


31 Monolit Yogyakarta Monolit Yogyakarta 32
33 Monolit Yogyakarta Monolit Yogyakarta 34
35 Monolit Yogyakarta Monolit Yogyakarta 36
UPACARA BEKAKAK
Di kaki Gunung Gamping, dua pasang pengantin
dipersembahkan setiap tahun.
Dipercaya, ritual itu akan membawa keselamatan
bagi penambang dan orang-orang yang tinggal di
sekitarnya.
Meski kini Gunung Gamping tak lagi ditambang,
selamatan tetap dilakukan oleh warga
Ambarketawang. Upacara tradisional masyarakat itu
dapat disaksikan di setiap bulan Sapar. Karenanya,
ia disebut tradisi Saparan atau Bekakak. Ritual ini
dihidupi untuk menghormati Kyai dan Nyai Wirasuta,
yang dipercaya adalah nenek moyang masyarakat
Ambarketawang. Melalui upacara Bekakak pula,
mereka mengencangkan ikatan tak kasat mata antara
tempat itu dengan Sultan Hamengku Buwana I dan
Kraton Yogyakarta.

Sumber:
Upacara Tradisional Saparan Daerah Gamping dan Wonolelo Daerah Istimewa Yogyakarta.
(1992). Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Diskusi terbatas bersama akademisi dan tokoh masyarakat setempat, 7 Juni 2017

Foto-foto: Dokumentasi Balai Desa Ambarketawang

37 Monolit Yogyakarta Monolit


UpacaraYogyakarta
Bekakak 38
Ada dua versi bentuk
boneka Bekakak, yaitu
versi Jogja dan versi Solo.
Perbedaannya terletak pada
pakaian dan tutup kepala.
Tempat penyembelihannya
pun berbeda. Pengantin
versi Jogja disembelih di
Gunung Gamping (Gunung
Kliling), sedangkan versi
Solo di Gunung Gong, yang
terletak di sebelah timur
Gunung Gamping.

Boneka Bekakak terbuat dari beras ketan yang dibentuk


menyerupai manusia dan dirias seperti sepasang pengantin.
“Darah”-nya dibuat dari air gula yang dibubuhi pewarna makanan.
Pembuatan boneka Bekakak dikerjakan oleh beberapa warga
setempat. Pembuatnya haruslah laki-laki. Dibutuhkan waktu satu
hari untuk membuat boneka Bekakak.

39 Monolit Yogyakarta Upacara Bekakak 40


DOKUMENTASI
UPACARA BEKAKAK
1957

Hiburan Tari Golek dan


pertunjukan Wayang Orang
pada acara Selamatan
Gunung Gamping di rumah
salah satu warga. (foto atas)

Bekakak dan sajian akan


diberangkatkan dari
rumah Djoko Sutomo ke
Gunung Gamping, tampak Arak-arakan pembawa Bekakak dan sajian
masyarakat berkumpul di dalam perjalanan menuju Gunung Gamping.
halaman rumah. (foto bawah) (foto atas)

Sepasang Bekakak telah sampai Gunung


Gamping dan ditempatkan di samping
gunung untuk dilakukan penyembelihan.
(foto bawah)

Tanggal foto: 22 Oktober 1957


Asal arsip: Djawatan Penerangan Kabupaten Sleman

41 Monolit Yogyakarta Dokumentasi Upacara Bekakak 1957 42


1956: Werner Rothpletz dan M.M
Purbo Hadiwidjojo mengusulkan 1975: Direktorat Geologi menyatakan telah
agar tinggalan Gunung Gamping meninjau Gunung Gamping. Disimpulkan bahwa
dilindungi. tinggalan itu berasal dari Kala Eosen.

1976: UPN Veteran


memohon kepada
Menristek agar Gunung
1989: SK Menhut Gamping mendapatkan
No.758/Kpts-II/1989 perlindungan.
tanggal 16 Desember Direktur Pertambangan
1989 menetapkan
kawasan seluas 1,084 Ha MENUJU KONSERVASI menyetujui usulan Direktur
Geologi untuk melindungi
sebagai Cagar Alam dan tinggalan Gamping
Taman Wisata Alam. sekaligus menjadikannya
Jalan panjang menuju laku
pusat wisata.
konservasi, seringkali, adalah setapak
birokrasi yang dinamis, makan waktu dan
Foto: Gunung Gamping, Sebelah Barat
energi. Serangkaian studi dan uji Yogyakarta. (1956). Bandung: Djawatan
kelayakan harus dijalankan. Geologi Bandung
Kini, monolit Gunung Gamping berstatus 5 Februari 1977: Menteri
1985: tata batas fungsi Pertambangan mengusul-
cagar alam. Setumpuk pekerjaan kan kepada Menteri
dilakukan. Hasilnya tertuang
dalam Berita Acara rumah pun menunggu, untuk Pertanian agar kawasan
Monolit Gunung Gamping
Pemeriksaan Tata Batas, 19 menjaganya tetap berdiri Gamping dijadikan suaka
Agustus 1985. alam, sesuai Nature tahun 1956, diteliti oleh
utuh. Werner Rothpletz, seorang
Bescherming Ordonansie
1941. geolog Swiss. (foto atas)

Cagar Alam Batu Gamping,


di bawah pengelolaan Balai
KSDA Yogyakarta. Foto
diambil Mei 2017. (foto kiri)
21 Juli 1982: melalui Surat Keputusan Menteri 6 April 1977: Direktorat Perlindungan dan
Pertanian No. 526/Kpts/Um/7/1982, area ini ditunjuk Pelestarian Alam bersurat kepada Pemda DIY,
sebagai cagar alam dengan luasan 0,015 Ha dan meminta persetujuan agar kawasan Gamping
sebagai taman wisata dengan luasan 1.102 Ha. 26 September 1977: Pengageng KHP ditetapkan sebagai Cagar Alam dan Taman
Wahana Sarta Kriya menyatakan Wisata Alam.
persetujuan Sultan HB IX atas usulan
tersebut. Foto: Prasetya Aditama

43 Monolit Yogyakarta Monolit Gunung Gamping, Dulu dan Sekarang 44


TANTANGAN
BALAI KSDA YOGYAKARTA

Dalam banyak kasus, kerja melindungi


sebuah situs tak selalu berjalan mulus,
terkadang bahkan berbenturan dengan
regulasi yang memayungi setiap
pekerjaan. Di Cagar Alam Batu Gamping,
dua disiplin dipertemukan dan teradu.
Dalam kacamata konservasi sumber daya
alam, setiap spesies hidup tak boleh
digugat keberadaannya. Sementara
dalam perspektif geologi, konservasi
mensyaratkan dibersihkannya setiap
organisme yang dapat merusak batu.
Balai KSDA Yogyakarta berupaya
menyinergikan berbagai cara pandang
dan kerja lintas disiplin dalam melestarikan
monolit Gunung Gamping. Ini dilakukan
dengan menilik kembali tujuan utama
penetapannya sebagai cagar alam.
Sedangkan peran pengawetan spesies
diterapkan dalam pengelolaan taman
wisata alam.

Petugas Balai KSDA Yogyakarta memeriksa kondisi


monolit Gunung Gamping
Foto: Galatia Puspa

45 Monolit Yogyakarta Tantangan Balai KSDA Yogyakarta 46


GUNUNG GAMPING, and generated great deal of income, especially
from land-leasing, for the kingdom. The King in
Eocene period is still quite large. Ecologically,
limestone rocks store water. It will be effective as
this period, Sultan Hamengku Buwana VII was long as the environment around it does not cover
A JOURNEY TO THE PAST even known as Sultan Sugih, the Rich Sultan, the soil and let water be absorbed.
because of his incredible wealth.
Now its remnant lies in the area of 0.037
Gunung Gamping, literally means limestone development of Yogyakarta city, it was almost Conservation hectare and surrounded by 1.046 hectare of
mountain, is one of precious remains of the certain that many prominent buildings there, natural garden completed with jogging track.
world limestone rock that the conservation such as Kraton Complex, Tamansari Water In 1956, Werner Rothpletz and M.M Purbo
Each year community hold cultural rite called
of it is a must. Located in Ambarketawang Castle, Kraton Fortress, and bridges were built Hadiwidjojo recommended that the remaining
Bekakak in this site. During Bekakak festival,
Yogyakarta, this 10 meter high-limestone heap using limestone from this quarry because it was heap should be conserved and in December
two pairs of ‘bride and groom’ dolls made from
was a massive limestone quarry stretching the closest in the region. 1989 a decree from Ministry of Forestry
sticky rice were slaughtered to deceive the
widely from east to west along with other seven was issued affirming the site to be a nature
When Junghuhn, a Dutch naturalist assigned evil beast. A tale told that the beginning of this
limestone mountains; Gunung Ambar Tawang, preservation and natural garden for tourism.
in Indonesia by Dutch Government, visited this tradition was the death of Ki and Nyi Wirasuta,
Gong, Gedhe, Buta, Petruk, Padasan, and Tlaga. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (Nature
place in 1836 he saw several parts of this mount the beloved servants of Hamengku Buwana I,
Existing remnant is believed to be part of Gunung Conservation Agency) Yogyakarta manages the
had been dredged. However, it was not until due to earthquake. However, another manuscript
Kliling. All of them had been stripped off since the act by preserving the existence of the monolith.
1860s under Hamengku Buwana VI reign that this by Jayeng Wiharja said that it was the expression
Dutch colonization in Indonesia in 17th century The main reason for this conservation is that of some man’s sadness witnessing many deaths
mountain was started to be intensively exploited
until just recently around 1950. Gunung Gamping is such an important geological of limestone miners. The man then got a spiritual
for sugar industry. The booming of sugar industry
In 1755, Hamengku Buwana, the First Sultan of in this era demanded tremendous amount of artifact of Eocene Epoch. It is a period of about sign to hold a ceremony to stop the falling of
Yogyakarta built Pesanggrahan Ambarketawang, limestone to clarify sugar. In the following period, 42 million years ago when the ancient Gamping other victims. Jayeng Wiharja also predicted that
a mansion for pleasure, in this area to stay in while nineteen sugar factories operated in Yogyakarta was shallow sea, near the shore, not more than this rite was started during the era of Hamengku
waiting for the completion of his ‘kraton’ –palace– alone. 50 meters deep, with warm temperature and Buwana IV. Whatever behind this rite and with the
construction. It was a sensible choice since it was could absorb sunlight. Various foraminifera lived awareness that puts this Gunung Gamping into
a safe and beautiful place, shadowed by rocks
Limestone for Sugar Industry in this kind of atmosphere, such as Pellastipera protection, it is expected that all of us learn one
and surrounded by some streams. It was with the The booming of sugar industry contributed to orbitoidea, Biplanispira absurda, Discocylina or two lessons from our history and the greatness
limestone from this mountain too, that the King the recovery of Yogyakarta Sultanate’s glory dispansa, Discocyclina fritschi, and Nummulites of our nature. ■
erected the kraton. The limestone functioned which was disrupted by British colonization and gerthi whose fossils were found in this artifact.
like cement and could be made into paint. The Java War. Both for construction material and Along with natural process those foraminifera
traces of the mansion itself are nowhere to be sugar-clarification agent, the chalky character made Gunung Gamping rich with calcium,
found now, however Gunung Gamping continues and its proximity with the administrative capital forming it as one of the high quality limestone.
to be an important part of Yogyakarta Sultanate made Gunung Gamping easy to be excavated. Those fossils in Gunung Gamping is a trace of the
property and culturally meaningful to the local In the second decade of 19th century, private early life in Java. It also shows that this Island was
community. companies started to invest and land leasing previously an undersea bed which was slowly
practices started to grow. Slowly sugar cane, as tectonically uplifted and moved north.
Although there were not any definite records
one of Cultivation System commodity, became On the surface, Gunung Gamping is just a heap
regarding the role of Gunung Gamping for the
one of the main industrial crops in Yogyakarta of rock, but underneath, the limestone layer from Teks: Niken Terate Sekar

47 Monolit Yogyakarta Gunung Gamping, A Journey to The Past 48


UCAPAN TERIMA KASIH

Teriring terima kasih yang dalam, Monolit Yogyakarta kami haturkan untuk nama dan
lembaga berikut (dalam urutan abjad):
Abdul Wahid, S.S., M.Hum., M.Phil.; Abu Bakar S.Sos., M.Si.; Alida Szabo; Anggit Sasmito;
Anna Yushantarti, S.Si.; C. Prasetyadi, Dr., M.Sc.; Didit Hadi Barianto, S.T., M.T., Dr.
Eng.; Djoko Suryo, Prof. Dr.; Dwi Kristianto, M.Kesos.; Dyah Merta; Gito Wiyono; KGPH
Hadiwinoto; Hadi Suprapto; Harry Widianto, Dr.; Hastoro; Herry Subagiadi, Ir., M.Sc.;
Herman Darman, B.Sc., M.Sc.; Jahdi Zaim, Prof. Dr.; Jaswadi; J.T. (Han) van Gorsel, Dr.; M.
Chamami; Oman Abdurahman, Ir., M.T; Peter Lunt, B.Sc., M.Sc.; Ponidi; Putri Novita Taniardi;
Sri Margana, M.Hum., M.Phil., Dr.; Sudomo; Sugiman; Wusono; Yoyok.
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY; Balai Arkeologi Yogyakarta; Balai Pelestarian
Cagar Budaya Yogyakarta; Kecamatan Gamping; Kelurahan Ambarketawang; Kraton
Yogyakarta; Museum Geologi Bandung; Perpustakaan Universitas Sanata Dharma;
Universitas Gadjah Mada; UPN “Veteran” Yogyakarta
dan seluruh pihak yang telah membantu terujudnya buku ini.

Tim Penyusun (dalam urutan abjad):


Antonius Ipur; Des Christy; Dwi Nuryan Dani; Dyahning Retno Wati; Galatia Puspa; Irvan
Noviansyah; Miranda Harlan; Muhammad Angga Khoirurozi; Niken Terate Sekar; Prasetya
Aditama; Suharmanto; Taufiq Nur Rachman; Titis Firtiyoso H.P; Untung Suripto; Wicak
Baskoro.

Balai KSDA Yogyakarta, Griyabaskara; 2017.

49 Monolit Yogyakarta
Monolit Yogyakarta
Gunung Gamping dari Kesultanan Menuju Konservasi

Dalam lintasan sejarah, Gunung Gamping terkait sangat erat dengan berdirinya
nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Tak hanya menyumbang bahan baku untuk
pembangunan kota, kapur Gunung Gamping diperkirakan turut mengembalikan
kejayaan Kraton Yogyakarta, pada periode kembang-pesatnya industri gula di akhir
abad XIX hingga awal abad XX. Begitu massifnya penambangan terjadi di
perbukitan kapur yang konon membentang luas dan indah ini, hingga di atas
permukaan ia tersisa tak lebih dari kawasan seluas 0,03 Ha.
Kini, 261 tahun setelah berdirinya Yogyakarta, buku ini ditulis untuk mengingat
peran Gunung Gamping dalam lintasan sejarah. Cagar Alam Batu Gamping,
monumen geotapak di barat titik nol ini bukan hanya menandai berdirinya sebuah
kota. Tetapi juga menyaksikan peradaban berkembang, hingga dedikasinya
mencapai titik nadir.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia

Buku Sejarah Budaya TWA Batu Gamping


Dicetak menggunakan dana DIPA 2017

Anda mungkin juga menyukai