Sejarah Wayang Kedu
Sejarah Wayang Kedu
Sejarah Wayang Kedu
Berdasarkan naskah "Riwayat Pertumbuhan/Kehidupan Wayang Kulit Gaya Kedu" yang disusun
oleh Sri Soedarsono, disebutkan bahwa seni pewayangan gaya Kedu dirintis oleh seorang
dalang bernama Ki Lebdajiwa atau Ki Panjangmas yang berasal dari Desa Kedu, Kecamatan
Kedu, Kabupaten Temanggung. Pada awal mulanya Ki Panjangmas dan anaknya yang bernama
Ki Marawangsa adalah dua tokoh seniman yang aktif membangun seni pewayangan di
daerahnya. Selain mendalang keduanya juga mengajar tentang cara membuat wayang dan
tehnik mementaskannya. Pembuatan wayang pada zaman kehidupan Ki Panjangmas masih
menggunakan cara dan alat yang sederhana. Wayang terbuat dari bahan dasar kulit kerbau yang
sudah dikeringkan, ditatah dengan pangot dan dibentuk sedemikian rupa sehingga mendapat
wujud yang dikehendaki. Kegiatan kedua seniman ini akhirnya diketahui oleh penguasa kerajaan
Surakarta yang waktu itu sedang mencari bentuk seni pewayangan; perlu diketahui saat itu
daerah Kedu berada dalam wilayah pemerintahan Surakarta. Maka dipanggilah keduanya untuk
mendapat pembenahan dan tambahan ilmu. Sepeninggal kedua seniman tersebut, muridmuridnya tetap melanjutkan kegiatan. Dari hasil kerja mereka terbentuk wayang-wayang yang
kemudian dikenal sebagai wayang Kedu. Perhatian kerajaan Surakarta masih berlanjut dengan
dikirimnya seorang ahli wayang bernama Ki Ajar Prabuanom untuk ikut membangun seni
pewayangan daerah Kedu. Sampai akhir hidupnya Ki Ajar Prabuanom dimakamkan di Desa
Tanggulanom, Kecamatan Tembarak, Temanggung. Rupanya ada perbedaan data yang
diperoleh Sri Soedarsono dengan keterangan Subakir (jurukunci makam Tanggulanom),
sehingga sejarah tersebut menjadi meragukan. Lebih-lebih Sri Soedarsono tidak menyebut
angka tahun atau setidaknya menyebut masa pemerintahan raja siapa ketika terjadi
pengembangan wayang Kedu. Berbeda dengan Subakir yang memberikan keterangan bahwa Ki
Ajar Prabuanom hidup pada masa pemerintahan Sultan Agung Herucakra di Mataram.
Keterangan ini lebih dekat dengan sumber-sumber lain yang lebih akurat kebenarannya.
Dalam Serat Centhini, disebutkan bahwa Ki Panjangmas adalah seorang dalang wayang gdhog
purwa dari Desa Kedu pada zaman pemerintahan Sri Surya Anyakrawati atau Pangeran Seda
Krapyak di Mataram tahun 1601-1613 Masehi. Keterangan ini terdapat pada pupuh ke 139
yaitu pupuh Salisir, pada pada ke 35-41, 53 dan 54, yang berbunyi sebagai berikut.
35. Ing sajumnngnya nata, Sri Surya Anyakrawatya, rama dalm Sri Narndra, ingkang
jumnng samangkya.
Ketika bertahtanya raja, Sri Surya Anyakrawatya ayahanda raja yang memerintah
sekarang.
36. Amamangun wayang purwa, babon Kidang Kncana, jinujud mung sawatara,
sasigaring palmahan.
Membuat wayang purwa bersumber Kidang Kencana yang dipanjangkan separuh
dari palmahan.
37. Arjunan pinaringan, panngran Kiyai Jimat, iku wiwit kang wayang, purwa lan
gdhog sinungan,
tokoh Arjuna diberi nama Kyai Jimat, inilah awal mula wayang purwa dan gedhog diberi
38. bau lan tangan pinisah, tangan cinampuritan, myang winuwuhan dhagl, myang
winuwuhan gagaman.
bahu dan tangan dipisah, tangan diberi cempurit serta ditambah wayang dhagel dan
senjata.
39. Panah kris sapadhanya, bangsaning landhp sadaya, paripurna karsa nata, banjur
ana uwong manca.
Panah keris dan sebagainya yang berupa senjata tajam, setelah selesai keinginan raja itu,
kemudian ada orang dari luar negara
40. Saka Kdu asalira, bisa dalang gdhog purwa, banjur kaabdkake dadya, dalang
sajroning nagara.
dari Kedu asalnya, mahir mendalang gdhog purwa, yang kemudian menjadi abdi dalang
kerajaan.
41. Kaparng Sri Narndra, wayang bbr pangruwatan, sinalinan wayang purwa,
katlah tkng samangkya.
Oleh
karena
perintah
raja,
wayang bbr
wayang purwa, berlaku hingga sekarang.
pangruwatan diganti
dengan
53. Lah mung niku kawruhingwang, crita witing ana wayang, kang miyarsa samya girang,
matur pundi turun dalang.
Hanya demikian pengetahuan saya mengenai cerita adanya wayang, yang mendengarkan
merasa gembira serta bertanya, yang mana dalang itu.
54. Ki Sumbaga astanira, anudingi lah ka ta, kang sndhn saka rawa, Ki Panjangmas
Ki Sumbaga tangannya menunjuk, itu orangnya yang bersandar saka rawa, namanya Ki
Panjangmas.
Kutipan di atas menerangkan, bahwa pada zaman pemerintahan Sri Surya Anyakrawati atau
Pangeran Seda Krapayak di Mataram tahun 1602-1613 Masehi, pernah hidup seorang dalang
dari
Kedu
bernama
Ki
Panjangmas
yang
kemudian
diangkat
menjadi
abdi
dengan Serat Centhini, walaupun tidak disebutkan siapa nama dalang itu, jelas yang
dimaksud Serat Pakem Sastra Miruda adalah Ki Panjangmas. Alasan itu berdasarkan dengan
mengkaitkan keterangan tersebut pada syair-syair Serat Centhini pada pupuh Salisir, pada ke 3541, 53 dan 54.
Menurut R. Tanaya seperti yang dikutip Groenendael menyebutkan, pada masa pemerintahan
Susuhunan Anyakrawati yang wafat di Krapyak, ada seorang bernama Pangeran Panjangmas
alias Mufti Mandika. Ia mempunyai tiga orang anak, seorang laki-laki dan dua perempuan. Pada
waktu itu seorang dalang dari Kedu bernama Lebdajiwa datang di istana dan didudukkan di
bawah pengayoman Pangeran Panjangmas. Kemudian Lebdajiwa dikawinkan dengan anak
Pangeran Panjangmas yang bernama Retna Juwita. Pada tahun 1627 Masehi dalam masa
pemerintahan Sultan Agung tahun 1613-1645 Masehi, dalang Lebdajiwa mendapat perintah
mendalang untuk Ratu Kidul (permaisuri gaib raja-raja Mataram yang berdiam di Laut Selatan).
Ketika itu anjang yang digunakan menaruh sesaji pertunjukkan berubah wujud menjadi emas.
Oleh karena itu Lebdajiwa diberi nama Anjangmas. Sesudah ayah mertuanya meninggal iapun
dikenal sebagai Kyai Panjangmas II.
Sumber sejarah di atas akan lebih simpang siur lagi untuk diluruskan, jika kita melihat sejarah
lisan yang berasal dari dalang pewaris tradisi Kedu. Berdasarkan cerita lisan, sejarah
perkembangan wayang kulit tradisi Kedu pada awal-mulanya diciptakan oleh Ki Lebdajiwa atau
Ki Panjangmas yang berasal dari Kedu. Sumber cerita lisan ini, seperti apa yang dituturkan oleh
Ki Wasana seorang dalang pewaris tradisi Kedu yang tinggal di Desa Kaligalang, Ngadireja,
Temanggung. Ki Wasana ini adalah satu-satunya dalang pewaris tradisi Kedu yang masih hidup
di Kabupaten Temanggung. Ia merupakan generasi ke sembilan dari Ki Panjangmas. Garis
keturunan tersebut, Ki Lebdajiwa atau Ki Panjangmas, Ki Marawangsa, Ki Patemon, Ki Maya
Trunagati, Ki Citragati atau Ki Ciptagati, Ki Resasana, Ki Karsana, Ki Ganda Hadiwirya, Ki
Wasana. Ki Wasana menuturkan awal-mula terjadinya bentuk wayang Kedu sebagai berikut.
Rikala Ki Lbdajiwa wontn ing Dmak, piyambakipun gadhah tkad agng nyinau bab
ringgit. Sangga sagt ngringgit lan daml ringgit cucal. Sadrng wangsul ing Kdu,
ringgit-ringgit Dmak kasbat dipun conto lan dipun gambar ing slumpring. Sasampun
ing Kdu gambar-gambar ringgit ing slumpring kasbat dipun wujudaken mawi cucal kbo,
wadn anggnipun daml corkan ngagm pangot, nyunggingipun ngagm tlutuh lan
ron-ronan. Pramila kathah para sanak-kadang ingkang kapngin sinau lan dados
muridipun. Lan ing wkdal salajngipun murid-murid ugi sagd daml ringgit lan ngringgit.
Ananging simbah-simbah rumiyin ugi nyariosaken bilih sakdrngipun ringgit Kdu punika
kadaml saking cucal kbo, langkung rumiyin dipun daml ngagm blabag utawi kajng
tipis, lajng ringgit blabag kasbat wontn ing Kdu katlah ringgit Gdhog.
(Ketika Ki Lebdajiwa berada di Demak, dia bertekad mempelajari wayang, sehingga ia
dapat memainkan dan membuat wayang. Sebelum kembali ke Kedu, wayang-wayang
Demak dicontohnya dengan digambar pada pelepah bambu. Setibanya di Kedu
diwujudkan pada kulit kerbau, adapun cara pembuatannya dengan menggunakan pangot,
serta pewarnaannya menggunakan getah dan daun-daunan. Akhirnya banyak sanak
saudaranya yang ingin mempelajari serta menjadi muridnya. Pada waktu selanjutnya
murid-muridnya dapat pula membuat dan memainkan wayang. Akan tetapi menurut nenek
moyang dulu juga menceritakan, bahwa sebelum wayang Kedu ini dibuat dari kulit kerbau,
lebih dahulu dibuat dari kayu tipis, kemudian wayang tersebut di Kedu disebut Wayang
Gedog....)
Berdasarkan keterangan Ki Wasana ini diperoleh keterangan bahwa sebelumnya wayang Kedu
dibuat dari bahan kayu, dan disebut wayang gdhog. Data lisan ini dapat dibandingkan
dengan Serat Centhini, yang keduanya menyebut wayang gdhog. Meskipun tidak terlalu akurat
dapat ditarik satu kesimpulan, bahwa apa yang dimaksud wayang gdhog purwa dalam Serat
Centhini sama dengan wayang gdhog menurut Ki Wasana.
Sumber dan data historis di atas rupanya perlu dicermati lebih lanjut dengan melibatkan ilmu
sejarah, sehingga pada penelitian selanjutnya akan didapatkan suatu kesimpulan yang lebih
akurat.
B. Bentuk dan Ciri Wayang
Wayang kulit merupakan bentuk langgam yang dibuat sedemikian rupa, sehingga terwujudlah
suatu bentuk boneka kulit yang sangat unik. Soedarso, Sp., mengatakan sebagai berikut:
..., bentuk manusia itu dalam wayang kulit dipilin-pilin sedemikian rupa sehingga disatu
pihak bentuk keseluruhannya menjadi pipih dan cocok untuk dimainkan di layar, dan di
lain pihak rupanya ada keinginan untuk mencari posisi yang memberikan kesempatan
kepada si pembuat agar dapat menunjukan tubuh manusia secara utuh; mata dua (kalau
dirasa perlu nyatanya dibuatlah begitu, seperti halnya yang tampak pada tokoh Hanoman
gaya Yogyakarta atau Bali), bahunya juga dua, kaki dua dengan telapak kaki yang
masing-masing mempunyai lima jari kaki, dan seterusnya.
Mengenai bentuk wayang kulit purwa gaya Kedu pada dasarnya hampir sama dengan gaya-gaya
lain, khususnya yang ada di Jawa. Adanya macam-macam gaya tersebut dikarenakan adanya
faktor-faktor tertentu yang mencampuri proses pembentukan dan perkembangannya, sehingga
munculah ciri-ciri dalam bentuk wayang yang antara daerah satu dengan lainya berbeda. Untuk
mengetahui ciri bentuk wayang Kedu, pada penelitian ini akan dibandingkan dengan bentuk yang
ada pada daerah Yogyakarta dan Surakarta.
Wayang kulit Kedu terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan, ditatah sesuai dengan
bentuk
yang
diinginkan.
sunggingan, warna
dan
satu
Unsur-unsur
hal
yang
yang
erat
membentuk
kaitannya
wayang
dengan
adalah tatahan,
keberadaan
wayang
ialah wanda. Untuk lebih jelasnya mengenai hal tersebut dapat diterangkan sebagai berikut.
1. Unsur tatahan
Istilah tatahan dalam seni wayang adalah hasil pahatan pada wayang itu sendiri. Istilah tersebut
berasal dari bahasa Jawa tatah yang berarti pahat. Jadi tatahan berarti hasil pahatan pada
wayang kulit. Ada beberapa jenis motif tatahanyang semuanya mempunyai nama. Menurut S.
Haryanto, jenis motif tatahan wayang gaya Surakarta, yaitu:
a. Bubukan b. Tratasan
c. Untu Walang d. Lanjuran
e. Bubuk Iring
f. mas-masan
g. Sumbulan
h. Gubahan
i. Intn-intnan
j. Srunn
k. Srunn Utuh
l. Kmbang Katu
m. Patran
n. Sritan
o. Smbulihan
Pada wayang kulit gaya Yogyakarta, sebagian besar motif tatahan sama dengan yang ada di
Surakarta. Namun demikian ada beberapa motif yang tidak terdapat di Surakarta, sehingga ini
merupakan ciri khas wayang gaya Yogyakarta. Motif tatahan itu adalah:
a. mas-masan
b. mas-masan Intn
c. Kmbang Cngkh
d. mas-masan Cucuk
e. Langgat Bubuk
f. Langgatan
g. Intn-intnan
h. Wajik
i. mas-masan Rangkp
j. Smutdulur
k. Smn
Tatahan yang
terdapat
pada
wayang
kulit
gaya
Kedu
pada
dasarnya
sama
dengan tatahan wayang kulit di Jawa pada umumnya. Secara tekhnis perbedaan itu terletak
pada bentuk tatahan yang dihasilkan dengan peralatan yang masih sederhana. Konon alat yang
digunakan untuk memahat adalah pangot, sehingga hasil pahatannya kelihatan besar-besar. Jika
dilihat dari bentuk fisik, wayang kulit gaya Kedu lebih cenderung dekat dengan gaya Yogyakarta,
namun bentuk dan susunan tatahan yang diterapkan lebih banyak kesamaannya dengan gaya
Surakarta, hanya saja tatahangaya Kedu jenisnya tidak selengkap seperti pada gaya Surakarta.
Sebagai contoh corak tatahan seperti bubuk manis pipil, intnan pipil, srunn pipil tidak ditemui
pada wayang kulit gaya Kedu. Selain itu belum banyak penerapan dan perlengkapan busana
wayang.
2. Unsur sunggingan dan warna
Sunggingan adalah hasil pewarnaan pada wayang kulit. Melihat secara langsung dari dekat
wujud wayang kulit gaya Kedu, akan diketahui yang sebenarnya mengenai sunggingan dan
warna yang diterapkan pada wayang tersebut. Pengerjaan sunggingan dan pewarnaan belum
halus dan rapi. Sunggingan byor (gradasi warna) pada perpindahan tingkatan warnanya sangat
tegas, sebab sebagian besar bentuk sunggingan byor hanya terdiri dari dua tingkatan saja,
bahkan ada bidang yang seharusnya dibyor hanya disungging polos dengan satu warna (tidak
bergradasi).
Pada
wayang
kulit
gaya
Kedu
tidak
ada
unsur sunggingan
drnjman dan cawn. Menurut para pengamat dan ahli wayang, bahwa wayang kulit yang tidak
memiliki drnjman dan cawn menandakan wayang tersebut berusia tua. Hal ini menegaskan
secara fisik wayang gaya Kedu lebih tua dari pada gaya Yogyakarta maupun Surakarta.
Bahan
pewarna
yang
digunakan
menggunakan
bahan-bahan
tradisional. Ki Wasana memperoleh warisan resep bahan-bahan pewarna tradisional. Bahanbahan tersebut antara lain:
a. Warna hitam terbuat dari oyan (langs, Jw.).
b. Warna merah terbuat dari bijih gndhulak yang dijadikan tepung.
c. Warna hijau terbuat daun kara yang diambil sari warna daunnya dengan cara ditumbuk.
d. Warna kuning terbuat dari serbuk batu-batuan.
e. Warna prada terbuat dari serbuk emas.
f. Warna putih terbuat dari tepung bijih cplikan, atau dari abu tulang kerbau.
g. Warna
biru
kurang
bisa
dijelaskan,
sedangkan
untuk
warna
lain
merupakan
C. Perlengkapan Pertunjukan
Pementasan
wayang
gaya
Kedu,
diperlukan
perlengkapan-perlengkapan
lain
sebagai
dahulugawangan dipersiapkan
pertunjukkan
wayang
pada
secara
masa-masa
mendadak.
itu
masih
Ini
dapat
sederhana,
dimengerti,
serta
karena
perlengkapan
pembuatan gawangan mudah di dapat di setiap tempat. Berbeda dengan pertunjukkan wayang
masa sekarang yang segalanya telah dipersiapkan matang-matang, sehingga gawanganbanyak
yang bersifat permanen. Ukuran gawangan, panjang kurang lebih 3 meter dan tingginya 2,5
meter. Ukuran ini disesuaikan dengan ukuran pintu gbyog perumahan zaman dahulu. Klir atau
layar terbuat
dari
putih
dengan
ukuran
menyesuaikan
ukuran gawangan, bagian tepi klir diberi kain berwarna merah atau hitam selebar kira-kira 20
cm
pada gawangan. Di
bawahnya dibujurkan gdbog yang disusun sedemikian rupa untuk menancapkan wayang.
Penataan semcam ini dalam tradisi pedalangan disebut panggungan.
2. Blncong
Blncong yaitu sebuah lampu berbentuk seperti crt terbuat dari bahan kuningan dengan
sumbu benang law, dan untuk
digantungkan,
rupa
di
diatur
sedemikian
sehingga
posisinya
berada
antara
dalang
dan klir. Selain untuk alat penerangan, cahaya blncong diarahkan menuju klir sehingga
wayang yang dimainkan dalang jika dilihat dari balik klir akan menghasilkan suatu pertunjukan
bayangan. Pada masa sekarang nyala api blncong telah digantikan oleh lampu listrik.
3. Kothak
Kothak adalah kotak penyimpanan wayang terbuat dari kayu. Ada beberapa jenis kayu yang
dianggap memiliki kualitas bagus untuk kotak wayang. Kualitas ini berdasarkan kekuatan kayu
dan suara yang dihasilkan ketika kotak dipukul dengan cmpala. Jenis kayu ideal yang
memenuhi standar adalah kayu surn dan nangka. Ukuran kotak kira-kira panjang 2 meter, lebar
0,75 meter dan tinggi 0,5 meter. Dalam pertunjukan kothak ini diletakkan di sisi kiri dalang,
sedangkan tutupnya diletakkan di sisi kanan. Wayang-wayang yang akan digunakan dalam
pementasan diletakkan dalam kothak dan di atas tutup kothak.
4. Cmpala dan Kprak
Cmpala adalah alat yang digunakan dalang untuk memukul kothak. Cmpala dibuat dari bahan
kayu, tanduk atau besi sebanyak dua buah. Satu untuk cmpala tangan yang lain
untuk cmpala kaki. Cmpala tangan
lebih
besar
dari
digunakan untuk platukan, cmpala kaki untuk memukul kotak dan kprak. Kprak terbuat dari
bahan baja atau kuningan berjumlah tiga keping. Kedua alat ini dimainkan oleh dalang untuk
mendukung suasana adegan pada pakliran.
5. Ricikan Gamlan
Gamlan yang digunakan sebagai iringan, yatiu satu perangkat gamlan Laras Slndro dengan
instrumen sejumlah 14 buah, yaitu sebuah kndhang, gambang, rbab, dmung, saron, bonang
barung, bonang pnrus, slnthm, gong laras nm, kmpul laras nm, kthuk, knong laras
nm,
instrumen
tersebut
dimainkan
oleh
sebelas
orang pngrawit, masing-masing memainkan satu instrumen. Tiga orang pngrawit masing
memainkan
dua
instrumen,
yaitu gong
laras
nm dan kmpul
laras
nm,
pedoman pelaksanaan sebuah pakliransatu malam. Urutannya terbagi menjadi tujuh jjr yang
dirangkai dengan delapan adgan yang keseluruhannya terbagi dalam tiga patht.
1. Pembagian dan Peralihan Patht
Arti patht di sini adalah pembagian waktu dalam sebuah pakliran satu malam. Pakliran dibagi
menjadi tiga bagianpatht, yaitu:
a. Patht Nm, dimulai dari pukul 21.00 sampai dengan pukul 24.00.
b. Patht Sanga, dimulai dari pukul 24.00 sampai dengan pukul 03.00.
c. Patht Manyura, dimulai dari pukul 03.00 sampai dengan pukul 06.00.
Tanda
Pada
waktu Patht
Nm posisi kayon miring ke kiri, Patht Sanga posisi kayon tegak lurus, dan pada waktu
menginjak Patht
ke
kanan.
penting
diinginkan
patht yang
Selain
untuk
memulai
sebelum
dalang
melagukan sulukan.
2. Urutan Jjr dan Adgan
Pakliran satu malam, biasanya terdapat tujuh jjr yang terangkai dengan delapan adgan.
Sebelum pertunjukkan dimulai, lebih dahulu pngrawit memainkan gndhing talu yaitu Ladrang
Ggr Skutho. Pakeliran diawali oleh jjrsuatu negara, di mana seorang raja dihadap para
pegawainya membicarakan satu masalah. Terjadi dialog untuk memecahkan masalah tersebut.
Akhirnya raja memutuskan untuk mengambil langkah pemecahan masalah, kemudian pertemuan
dibubarkan dengan masing-masing tugasnya. Raja pulang masuk ke istananya. Kepulangan raja
disambut permaisuri. Raja mengabarkan hasil pertemuan. Kemudian raja bersama permaisuri
menuju ruang makan atau raja menuju tempat semedi. Adegan ini diakhiri oleh dialog abdi
permaisuri (Cangik dan Limbuk). Patih raja tersebut menuju pasban jawi untuk mengabarkan
hasil pertemuan kepada para panglima, dilanjutkan penggambaran keberangkatan para prajurit.
Jjr kedua melukiskan suatu negara di mana seorang raja dan patihnya sedang membicarakan
suatu masalah. Biasanya masalah itu berkaitan dengan jjr pertama. Kemudian diputuskan
untuk
memberangkatkan
prajurit
menuju
suatu
tempat.
Perjalanan
prajurit
dari
negara jjr pertama berpapasan dengan prajurit dari jjr kedua. Kedua belah pihak saling
berebut jalan yang menyebabkan pertempuran. Pertempuran ini tidak ada yang menang.
Akhirnya
prajurit
mencari
jalan
lain.
Pertempuran
ini
diistilahkan
seorang
yang
menggambarkan
satria
menghadap pendeta atau satria sedang berkelana di hutan. Selanjutnya satria bertemu prajurit
dari jjr kedua (biasanya prajurit raksasa). Terjadi perang antara satria melawan raksasa.
Perang ini disebut prang bgal.
Jjr kelima melukisakan suatu tempat. Tokoh pada jjr ini kemudian bertemu dengan satria.
Terjadi perang yang disebut prang panggah.
Jjr keenam melukiskan suatu tempat di mana ada permasalahan berkaitan dengan masalah
pada jjrsebelumnya. Akhirnya pihak-pihak yang bersangkutan pada masalah cerita bertemu
yang menyebabkan perang besar. Perang ini dimenangkan oleh pihak satria. perang ini
disebut prang agng. Akhir perang ditutup tayungan,yaitu tarian yang dilakukan pihak
pemenang. Tayungan biasanya dilakukan oleh tokoh Werkudara untuk cerita yang mengambil
siklus Mahabharata, Batara Bayu untuk siklus dewa-dewa, dan Anoman untuk siklus Ramayana.
Jika dalam cerita tidak menampilkan tokoh-tokoh tersebut, tayungan dilakukan oleh Petruk.
Jjr ketujuh melukiskan negara yang berhasil dalam perebutan kepentingan pada cerita
tersebut. Jjr ini ditutup dengan golkan, yaitu tarian wayang yang terbuat dari kayu dan
bentuknya seperti boneka.
Pola rangkaian ini tidak selalu berlaku pada setiap pakliran. Penerapannya disesuaikan dengan
jalan
ceritera lakonyang
dipentaskan.
Secara
urutan jjr dan adgan pada pakliran Kedu dapat dirangkum sebagai berikut.
ringkas
a. Jjr pertama, merupakan penggambaran satu istana, di mana pada waktu itu raja dihadap
segenap
hulubalang
membicarakan
suatu
masalah.dirangkai
dengan adgan
ini
akan
menampakkan
ciri
Kedu
jika
dibandingkan
dengan
yang
ada
pada pakliran Surakarta dan Yogyakarta. Pada pakliran Surakarta istilah jjr hanya menunjuk
pada adegan pertama. Istilah jjr Yogyakarta pengertiannya sama dengan gaya Kedu, yaitu
suatu penggambaran suatu tempat atau negara yang diiringi dengangndhing tertentu dan
dalang memberikan narasi pada adegan tersebut saat gndhing sirp. Untuk lebih jelasnya lihat
tabel perbedaan struktur pakliran dibawah:
Tabel 1. Perbedaan Struktur Pakliran Yogyakarta, Kedu, dan Surakarta.
Pakliran Yogyakarta
Pakliran Kedu
Pakliran Surakarta
Jjr pertama:
Jjr pertama:
Jjr:
- adgan kdhatonan
- adgan kdhatonan
- adgan kdhatonan
- adgan kapalan
- adgan bidhalan
Jjr kedua
Jjr kedua
Jjr ketiga
Jjr ketiga
Gara-gara
Gara-gara
Gara-gara (tidak
setiap lakon)
Jjr keempat
Jjr keempat
Adgan pandhita
Jjr kelima
Jjr kelima
Prang kmbang
Jjr keenam
Jjr keenam
Adgan prang
Sintrn
agng,tayungan
Jjr ketujuh
Adgan
Tancp kayon
golkan.
Tancp kayon.
Tancp kayon.
Struktur adegan pada ketiga gaya di atas berdasarkan pada pedoman umum, namun pada
penerapannya disesuaikan dengan lakon yang disajikan. Pada masa sekarang struktur adegan
seperti itu hampir tidak ada lagi dalang yang menerapkan, baik itu dalang Kedu, Yogyakarta
maupun Surakarta. Umumnya mereka mulai berani merubah. Hal ini dikarenakan kehendak
masing-masing seniman dalang untuk memuaskan selera seninya dan menuruti minat penonton.
E. Unsur-unsur Pakliran
Unsur-unsur pakliran tradisi Kedu hampir sama dengan yang ada pada pakliran tradisi
Surakarta dan Yogyakarta. Ada beberapa perbedaan untuk menyebut suatu istilah, misalnya
istilah kandha yang
menyangkut
semua
tradisi
ucapan
Kedu,
di
dalang
Yogyakarta
pada
tradisi
Surakarta
lebih
semua
yang
diucapkan
dalang. Kandha meliputi janturan dan pocapan. Janturan adalah semua narasi dalang untuk
menggambarkan suatu keadaan, sedangkan pocapan adalah dialog antar tokoh wayang. Pada
tradisi Yogyakarta, istilah kandha disebut carita yang meliputi, a) janturan, yaitu narasi dalang
dengan
disertaigndhing
narasi
dalang
disertai
penggambaran
di klir, c) carita, yaitu narasi dalang sebagai penggambaran cerita sebelum atau sesudahnya,
dan
d) pocapan, yaitu
dialog
antar
tokoh
wayang.
Pada
tradisi
Surakarta,
meliputi,
Hong Wilahng awigna mastuti purnama sidhm. Suh rp data pitana annggih ngari pundi
ingkang kaka adi dasa purwa. Adi linuwih, dasa spuluh, purwa wiwitan. Snajan kathah
titahing dwa ingkang kasangga ing prtiwi, kasongsongan ing ngakasa, kapit ing samodralaya,
sami anggana raras, botn wontn kados ngari pundi ta ingkang kinarya bbukaning cariyos,
inggih ngari ing ...........Dhasar wgig tur awingit, bbasan angin apiyak mga, ngmpr
angungkuli Kraton Praja ing ....... bbasan manuk mabur angungkuli kraton, dhawah luntak ludira
dadi lan sirnan.
Pramila ngupaya ngari satus datan antuk kalih, swu tan antuk sadasa ingkang kados ing
ngari .......... Dhasar ngari panjang apunjung, pasir wukir, loh jinawi, gmah aripah, karta
raharja. Panjang dawa pocapan, punjung luhur kawibawan. Pasir samodralaya, wukir gunung.
Tata rakiting praja angungkurakn pagunungan, angringakn patgilan, nngnakn
psabinan, ngayunakn bandaran agung. Loh tulus kang sarwa tinandur, jinawi murang kang
sarwa tinuku. Gmah kang sarwa lampah dagang labt tan wontn kasangsayaning margi. Ripah
jalma ingkang samya ggriya salbting praja, jjl pipit cukit tpung tritis. Papan wiyar katingal
rupak, saking aripahing praja.
Karta tntrm pangulahing ttann, bapa tani biyung tani samya mungkul siyang pantara ratri.
Botn wontn ingkang samya kekirangan. Bbasan randha kwr madhp smungkm sad
godhong lan dhdhak, cukup rina lan wengin. Kbo sapi, pitik iwn yn rina aglar ing
pangonan, wanci dalu mulih marang kandhang dhw-dhw. Raharja tbih ing parangmuka,
saking punggawa mantri, bupati, samya skti sudibya mandraguna. Putus wajib pangrhing
praja. Datan wontn sulayng batos. Dhasar ngara padhang jagad, dhuwur kukus, adoh
kuncaran, gdh obore. Ugi-ugi ngari kanan kringipun ingkang cakt samya manglung
ingkang tbih tumiying, awit kayungyun pepoyaning kautaman. Samya asok bulu bkti glondhong
pngarng-arng asok putri kinarya panungkul, kpngin dados sudarmaning prajurit.
Pinunggl smantn caritan ngari ing ..... Gantya ingkang winursita anuju ari ..... wanci jam
sdasa ingkang sinuwun karsa miyos siniwaka. Apa prtandhan. Angunglakn bndh, gong,
bri, tambur, suling, slomprt. Swara gumuruh. Krsa lnggah wontn dhampar dhnta.
Dhampar palnggahan, dhnta gadhing. Lnggah kursi gadhing linmkan babud prang wdani,
sinbaran ganda wida. Ngagm busana kprabon. Jamang mas sungsun tiga, makutha mas
bungkul intn, gurda ngarah gurda mungkur, badhong bandawara sinung tali pkak sinangga
praba kncana. Ngagm sumping ukl tlal. Ulur-ulur naga mangsa klat bahu naga
ngangrangan. Ngagm nyamping dara muluk sabuk lakn kamalon abang, nyngklat duwung
ladrang, ukir tangis plok tinata, pndhok mas, gamparan waja, bungkul kncana, ngagm
ganda jbat kasturi, angambar-ambar gandanya. Yn sinawang saking mandrawa sirna
kamanungsan lir Bathara Wisnu angjawantah.
Sintn ta jejulukipun nata ing ngari ..... Kadherkaken mban cthi manggung ktanggung,
bocah bucu, bocah dhmpt, bocah wandan, bocah bul, ingkang samya ngampil upacaraning
kprabon, banyak dhalang, sawunggaling, banyak modang, paidon kncana, sawunggaling,
hardawalka.
Rp sidhem prmanm tan wontn sabawan walang alisik. Amung kapirng swaran
ppthtan dalm pksi knari, gurdaya, putr sabrang, jalak menco, prkutut manggung. Pating
jarngglng swaran gmblak kmasan.
Sintn ta ingkang kparng marak sba pasowanan, inggih ....... Jjl uyl ingkang samya mara
sba mblabar munggwing pasban jawi andhoyongna ringin kurung sakmbaran. Ngagm
busana manka warna. Ingkang busana cmng jajar cmng pindah gagak llumbungan.
Busana abrit jajar abrit pindha giri pawaka. Giri gunung, pawaka gni. Kaya gunung gni.
Busana pthak jajar pthak pindha krndha wirawa. Krndha kuntul wirawa llran. Pindha
kuntul nba llran. Yn sinawang saking mandrawa pindha klana kukila pujangga. Klana paksi,
kukila glathik, pujangga alap-alap. Pating rpph munggwing ngarsa dalm. Ingkang wontn
wingking njawil ingkang wontn ngajngipun, badh mangertosi wontn karsa punapa ta
ngawontnakn pasowanan agung.
Wau ta sang nata badra irawan. Badra mndhung, irawan wulan. Pindha wulan kahirip
mndhung. Rmu-rmu pnggalihira Sang Prabu ......
b. Janturan kondur ngdhaton
Purna sabdan ingkang sinuwun, sabda pandhita ratu mandi mawali-wali. Tandhan narndra
nyabda sakcap warata sangara. Sabda pandhita saklimah pindha mangsi tumamng
dlancang tan kna wola-wali. Sang prabu arsa kondur ngdhaton. Mulat ngiwa mulat nngn.
Mulat ngiwa tinampi Tumnggung Styanama, mulat manngn tinampnan Tumnggung
Sdhamirah. Jlog tdhak saking dhampar dhnta ora mantra-mantra narndra angdhaton.
Kadya pngantn dn bojakramani, gumrubyug swaranya ingkang samya andherkaken tindak
ingkang sinuwun.
c. Janturan kdhatonan
Kocapa sri narndra wontn salbting dhatulaya, lukar busana kprabon, ngrasuk busana
kapandhitan gya minggah sanggar palanggatan. Ndya muja smadi ngs karsan bathara.
Sdhakp saluku tunggal. Mpti babahan hawa sanga. Nglarung ponang pancadriya watak
sanga, papat njaba, lima ing njro. Punapa ta ingkang dn krsakakn. Tlasing cipta plnging
pandulu. Sinarngan mbsmi dupa ratus ingkang saklapa dalah tabon. Gngira kukusing dupa
ngalad-alad sumundhul angkasa, tandha katarimah ingkang dados sdyanira.
d. Janturan badh pasban njawi
Kocapa pasban njawi. Budhaling para wadyabala kna cinandra kadya pinusus pindha gabah
dn interi. Pindha sapu sada pdhot suh. Kmlawn asta rkyana patih ...... Kumlap
wadyabala pindha kukila mandraguna. Kukila paksi, mandra barat, pujangga alap-alap. Pindha
paksi alap-alap katmpuhing marura, pating blbr kang wadyabala.
e. Janturan ssampunipun prang ampyak
Wau ta yn cinandra budhaling wadyabala saking ngari .... lumusup tpining wana bana wasa,
andadosakn ggring para buron wana. Panggmpranging sima, panggbanging kidang
nyabrang jurang curi, ajrih pangaribawaning para wadyabala. Wadyabala ingkang nitih dipangga
kadya angg-angg katoyan. Ingkang nitih turangga pindha masa sapangnan. Kandhg
tpining bngawan kalikuda tuksipari glis. Nngna gupita cinkak ponang kandha. Gancange
carita, amngkrakn ngari ing ..... ngayunaken ngari ..... Minangka sambeting carita tunggal
tanah sj kandha. Spira doh panggung kiwa lawan tngn. Sintn ta ingkang nuwangani, ya
prabu .... kaadhp ......
f. Janturan badh gara-gara
Kocapa, anggnipun samya pasulayan wadyabala saking ngari ...... miwah wadyabala saking
ngari ...... saklangkung ram dnira ngtok sudibya. Datan kuwawa ngmbat kasudibyan
wadya saking ngari ..... pramila samya nyimpang marga, saking sungkawaning para ingkang
kalindhih yuda, andadosakn gara-gara.
Apa ta pratandhan gara-gara. Langit kndho kncngana, lindhu sdina kaping pitu, grahana
srengng grahana rmbulan. Horging bawana anjalari risaking pasabinan tuwin pkarangan,
anjalari larang sandhang klawan pangan. Katamaning pagblug dadi ddring pepati. Horging
bumi mahanani tarung gunung padha gunung. Watu tarung padha watu. Saka wantring garagara, nganti nyundhul Kahyangan Suralaya. Kataman gara-gara dadya moyag-mayig. Bal
Marcukundha Kaya njomplang-njomplanga. Rant banaspati kaya pdhot-pdhota. Ggr para
widadara-widadari, samya ngungsi ing ngarsanira Sang Hyang Lodrapati. Sangga krodha Sang
Hyang Nilakantha kalindhih gara-gara. Ingkang dumunung ing Kahyangan Rnyptala,
kahyangan Sang Hyang Anantaboga. Krodha ngakak tutukira, kumitir pthitira.
Gara-gara anmbusi Guwa Sigangga, kahyanganira mina. Tirta samodralaya umob
sakalangkung bntr. Para mina, lodan, cucut, mangut, jaka tambra, yuyu kangkang ingkang
botn sagt mijah lan nla dados lan sirnanira.
Krodha Sang Hyang Baruna, ngubk sawiyaring jaladri. Wantring gara-gara ingkang dumunung
wontn samodralaya, ngancik minggah pucaking hardi Merapi. Manggut-manggut dhdht
rawati ngakak Hyang Baruna.
g. Janturan ngajngaken jjr pertapan
Kacarita, para wadyabala danawa ingkang samya munasika satriya lan panakawan sampun
samya sirna marga layu. Ingkang taksih gsang sami lumajar gmbrung jurang curi. Kandhg
datan kacarita. Nngna gupita, cinkak kandha gancanging carita, mngkraken jroning wana,
ngayunakn pacrabakan. Annggih ing prtapan ...... Sintn ta ingkang anglnggahi
prtapan ..... Apparab Sang Begawan ..... Pandhita sidik paningalira. Pana pangandikanira.
Wikan jroning nala, buntasing kawruh nyata, wasis ulahing tapa, putus wajib ulahing tata
kapandhitan. Hamung sajuga ingkang datan linampahan kridhaning ppt loka. ..... Lnggah
munggwing pacrabakan, kasowanan para cantrik puthut manguyu jjanggan, ingkang samya
ngudi ulah kapriglan, kasampurnan, ing tmb yn wus ngancik mancating ariloka, ingajab wus
datan kasamaran. Pramila sidhm tan ana sabawan nggnya para cantrik ngadhp ngarsan
sang bgawan. Bawan pandhita ingkang lagya winongwong jawata, prsasat saciptan tansah
smbada.
h. Janturan satriya kandhg tngahing wana
Kocapa tindakira satriya ing ..... ingkang kadherkaken para panakawan, kandhg praptan
wana. Anulya kndl sangandhaping wrksa agung. Wrksa kayu agung gdh. Kndl
sangandhaping kajng gendhayaan. Kukila samya macar woh-wohan dn dhawahakn
munggwing ngrasan sang bagus kinarya asung pakurnmatan. Namung amung tansah dn
kndlaken kabkta saking mnging panggalih. Slaning panakawan agung daml suka
rnaning ingkang bandara. Mgr jumnng kndl, sanalika katmpuhing sara maruta. Sara
landhp, maruta barat. Barat tmpuk sangka wtan, kulon, lor lawan kidul llumbungan ana
ngarsan sang abagus. Ilang psat barat. Kocapa wadyabala saking .....
i. Janturan jjr pindhah patht manyura
Kacarita plajnging para wadya ingkang sami kasoring pancakara, sigg datan kinocap. Gantya
ingkang winursita nnggih ngari ing.... ingkang ndhpani praja ajjuluk ..... animbali sagung
para wadyanira, sumdya ......
2. Sulukan
Pengertian sulukan adalah nyanyian yang dilakukan dalang pada pakliran untuk mendukung
suasana
adegan
waktu
dari suluk,
ada. Syair sulukan disebut kawin. Isisnya disesuaikan dengan tokoh wayang yang sedang
beraksi,
sebagai
contoh
ketika
adegan
menekankan
tokoh
Kresna
maka
digunakan kawinKresna.
Krsna rumekeping cakranira, gelar, jana, ring wang wang, Wisnumurti Narayana, o
Lagu dari suluk, sndhon dan ada-ada terdapat pada masing-masing patht, seperti yang ditulis
Sri Soedarsono.Macam sulukan pada patht Nm, sebagai berikut.
a. Suluk Patht Nm Wetah.
3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 123 216 2.123
Sudana tri suka ngalkasi prang a - pa - muk, o
2 2 2 23 35 5 5 5 5 5 5 5 5
tumbak wargu songkokira kadi lumiyat
3 3 3 3 35 2 1 6 1.2
Pandhuputra ngntnana o
6 6 6 6 6 6 6 6 61 6.5
dina kasihan banjaran sa-ri
35 32 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 1 6.5
lintang tinira gung tinira gung abancana
1 1 1 1 1 1 1 2 2 2.3 1.6
Sngkuni jinambaka rikmanira
3 3 3 3 3 35 2 1.653
dinugang ala baskara
6 6 6 6 6 6 2 2 2 2 2 1 6.5
bidman ngarabi Bima nglangga ludira
3 3 3 3 3 35 2 1.6
sudirng andudut usus
1 1 1 1 6 53 5 3.2
awh ujar si dhusta wo
b. Sndhon Lasm Jugag
3 3 3 3 2 2 2 21 2 1 6 2 . 3
Bogadhnta satru llayungan
2 2 2 2 2 23 3 . 5
ndmakaken turangga
3 3 3 3 5 2 16 6 6
risang Bima Gathutkaca
11111113221.6
Sadwa Nakula mara tan kari
c. Ada-ada Pasban Njawi
6 6 1 5 5 5 56 6
Karna pamingit narpati
2 2 2 2 2 2 2 2 26 12
tabo longgar Bomandratmaja
35 5 5 5 5 5 5 5 53 3
ntra dhadahutan Suryaputra
2 2 2 2 2 2 21 6
Jayajatra layap layon
d. Ada-ada Patht Nm
23 5 5 5 5 5 5 5
njang budhal wadya bala
2 2 2 2 2 2 26 12
gong kndhang klawan bri
1 1 1 1 1 1 15
ttg kadya butula
55315
untab wor suh, o
Macam lagu sulukan Patht Sanga, sebagai berikut.
a. Suluk Patht Sanga
2222222221
Loganggo walungsunganira, o
1 1 1 61
ana naga
3 3 3 3 56 1 53 2
ana naga mawa wisa
23 5 5 5 5 5 5 5 1
kacaryan lungsunganira, o
2 2 2 2 2 2 2 21 6
Abimanyu rbut nusula
235 5 5 5 5 5 5 5 23 21
mballa lawan sanjatanira
2 2 2 2 216 6 5
hangajab Hudawa, o
b. Sndhon patht Sanga jugag
666666666
Mulat mara risang Harjuna
2 2 2 2 2 2 2 21
trenyuh manah ing tumingal
2 2 2 2 2 2 21 16 5
mungsuh lawan sami kadang, o
c. Ada-ada Sanga
2 2 2 2 2 2 2 1 12
Ww gung tumandanga tarung
5 5 5 5 5 5 23 32
kblak malang ngadhang dalan
6 6 6 6 6 1 65
cicir nmbanga titir
2 2 2 2 1 1 6 65
ilu-ilu banaspati
11115
ancak ogra, o
Macam lagu sulukan patht Manyura, sebagai berikut.
a. Suluk Manyura wtah
333333333
Pacar banyu skaring taman
35 32 2 2 2 2 2 12
taman thathit sumrlaya
5 5 5 5 5 6 616 53
kayu mati babar wit -
3 5 6 6 6 6 6 6 216
ssmi anng galih, o
3 3 3 3 3 21 1
ron mawur nng karangan
32 2 2 2 2 2 2 2 3216
nng karangan slarata, o
1 1 1 1 1 1 1 1 21653 6
kasiliring samirana, o o
b. Sndhon Manyura jugag
1111111
Ascarya Parta wkas
3333332
makatana yku
3 3 3 3 32 21 6
Wisanggni Sang Hyang, o
1 1 1 1 1 21653 6
Basu pratipta, o o
c. Ada-ada Manyura
3 3 3 3 3 35 32
Scaka nora pksa
1 1 1 1 26 3 5 32
ing mayang sampun kanglan
3 3 3 3 3 3 3 3 35 32
Dhsthajumna milang milajng
1 1 1 12 6 6 3 1 236
sar-saran mawurahan o o
d. Sndhon Galong
63532 6 3 5 5 5 5 5 5
o sariginging bang-bang hawa
333322222
katiga ktali bbayu
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 21 1 5
sing nonton mulih ing asal kamulyanira, o
1111111
sing tuwa mulih mukti
2 2 2 2 2 2 232 16 3 3
sing anom priya lan putri, bandon
666666666
ram ngarp spn mburi
2 2 2 2 2 2 2 12 65
ram mburi spn ngarp
3 3 3 3 3 3 3 532 16
spn sabuwana kabh
1 1 1 1 12
dhandhangan layung
2 2 2 12 6 6 35 5
sumiyatan mga mndhung
3 3 3 3 3 3 21 6 1653
mangsan ganti rahina, o
3. Gndhing
Arti gndhing di sini adalah permainan lagu pada gamlan. Gndhing dalam pertunjukkan
wayang berfungsi sebagai pendukung suasana adegan. Macam gndhing yang digunakan
sebagai iringan pementasan wayang Kedu masih sangat terbatas, tidak seperti yang ada pada
gaya Surakarta maupun Yogyakarta. Sebelum pementasan dimulai, dimainkan Ladrang Ggr
Sekutha,
Ladrang
namagndhingnya
sama,
namun
alur
melodinya
berbeda.
semua gndhing memiliki perbedaan alur melodi. Sebagai contoh srpgan Lasm.
Notasi balungan srpgan Lasm gaya Kedu.
Buka kndhang: 5
65656523565165
2121231235652356
1616[532365325653
5653652652351232
5653535352351653
Hampir
5353123266125235
232121326356]
suwuk: 1 1 2 1 3 2 1 6
Notasi balungan srpgan Lasm gaya Yogyakarta
Buka kndhang: 5
65656561561656
2353212135652356
1656[53236532
5653565365265235
1232652353535235
1653653266123565
2 3 2 1 2 1 3 2 6 3 5 6 ] suwuk: 1 1 3 2 1 6
Notasi balungan srpgan Lasm gaya Surakarta:
Buka kndhang: 5
[6565235353535235
1653653232323565
2121321256161653
232132653235]
Contoh notasi ini, secara jelas dilihat hanya ada sedikit perbedaan alur melodi srpg
Lasm Kedu dengan srpg Lasm Yogyakarta. Srpg Lasm Surakarta melodinya lebih
pendek.
4. Dhodhogan dan kprakan
tehnik
Gathutkaca
dalam
perang
besar
sebagian
aslinya
dari
berjudul Gathutkaca
besar
India.
mengambil
Lakon-lakon tersebut
dalam
pewayangan telah mengalami berbagai saduran maupun perubahan sehingga lebih bersifat
kejawaan.
Lakon-lakon
Kedu
bersumber
pada
Ada
pula
beberapa lakon yang bersumber pada mitologi daerah setempat, misalnya lakon Sri Mulih.
Lakon ini bersumber dari mitologi Dewi Sri dewi kesuburan.Lakon jenis ini banyak ditemui di
Jawa. Seperti tradisi wayang Jawa pada umumnya, lakon wayang tradisi Kedu bersumber pada
epos Ramayana dan Mahabharata. Selain bersumber pada kedua epos tersebut, wayang tradisi
Kedu mempunyai lakon khusus sebagai ciri khas daerah Kedu yang disebut lakon Kedu.
Kekhususan ini berhubungan erat dengan tradisi kehidupan masyarakat setempat dan ada pula
kaitannya dengan perkembangan seni dan budaya pada zaman kerajaan Islam di
Demak Beberapa lakon Kedu yang masih terlihat, seperti lakon Dewi Laraupas, mengisahkan
terjadinya kelapa muda yang dapat digunakan sebagai penawar bisa. Lakon Semar
Khitan,mengisahkan Semar melakukan supit. Lakon Makukuhan, mengisahkan peperangan Ki
Ageng Kedu melawan Prabu Juragan Dampoawang. Mengenai Lakon Makukuhan ini akan
dibahas secara khusus pada bab selanjutnya.
Sri Soedarsono, Sekilas Pengertian dan Tata Cara Pokok-pokok Pedalangan Gaya
Kedu, Depdikbud., Temanggung, 1988, pp. 6-8.
Kamajaya, Serat Centhini Latin 2, Yayasan Centhini, Yogyakarta, 1986, pp. 202-203.
Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun, Kota Jogjakarta 200 Tahun, Sub Panitya
Penerbitan, Jogjakarta, 1956, pp. 132-133.
p. 97.
Victoria M. Clara van Groenendael, Dalang di Balik Wayang, Grafiti Press, Jakarta, 1987,