Pemikiran Nurholis Majid

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 107

ANALISIS PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID

TENTANG POLITIK ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Program Strata I (S1) Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh:
Muhammad Jawahir
092211025

JURUSAN JINAYAH SIYASAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

i
Dr. H. Agus Nurhadi, MA.
NIP. 19660407 199103 1 004
Alamat: Jl. Wismasari V/02, Ngaliyan, Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks. Kpd Yth.


Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
an. Sdr. Muhammad Jawahir UIN Walisongo Semarang
Di Semarang

Assalamu'alaikum. Wr. Wb.


Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya
kirim naskah skripsi saudara:

Nama : Muhammad Jawahir


NIM : 092211025
Judul Skripsi : Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Politik
Islam

Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosyahkan. Atas perhatian bapak/ibu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Semarang, 10 Juni 2016


Pembimbing

Dr. H. Agus Nurhadi, MA.


NIP. 19660407 199103 1 004

ii
iii
MOTTO

               

              

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al Nisa’: 59)

iv
PERSEMBAHAN

Alhamdulillah, dengan segenap rasa syukur yang mendalam kepada Allah

SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Karya ini penulis

persembahkan untuk:

1. Bapak dan Alm Ibu yang telah mengajarkan penulis untuk selalu semangat

dalam menjalani kehidupan, untuk selalu melakukan kebaikan dan

meninggalkan keburukan. Beliau adalah sosok orang tua yang tak pernah

tergantikan.

2. Dr. H. Agus Nurhadi MA., yang tak hentinya mengingatkan ketika penulis

lupa, memarahi ketika penulis malas, memberi semangat ketika penulis

putus asa, dan dalam keadaan tersebut akirnya penulis bisa menyelesaikan

penulisan sekripsi ini. Dia adalah sahabat kehidupan.

3. Seluruh keluarga besar yang penulis miliki, dengan dorongan motivasi yang

selalu terucap sehingga penulis tergugah untuk selalu bangkit dalam

melakukan kewajiban untuk menyelesaikan penulisan skripsi.

4. Teman-teman kos keho, L, yang selalu menyemangatiku dalam penyusunan

skripsi ini.

5. Teman-teman seperjuangan SJ angkatan 2009, yang selalu menjadi

motivasiku.

6. Semuanya yang telah membuat hidupku berguna dan memiliki arti hidup.

v
DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,

penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi

materi yang pernah ditulis orang lain atau

diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi

satupun pemikiran-pemikiran orang lain, kecuali

informasi yang terdapat dalam referensi yang

dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 09 Juni 2016


Deklarator

Muhammad Jawahir
NIM. 092211025

vi
ABSTRAK

Nurcholish Madjid menyatakan bahwa munculnya gagasan politik Islam


atau Islam sebagai dasar poitik karena bentuk kecenderungan apologetis. Apologi
ini, tumbuh dari dua jalur. Pertama, apologi karena ideologi Barat, seperti
demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain sebagainya. Kedua, karena legalisme
yaitu apresiasi serba legalistis kepada Islam. Dalam persepsi legalistis, Islam itu
dipandang semata-mata sebagai struktur dan kumpulan hukum. Kecenderungan
legalisme ini bagi Nurcholis Madjid, tidak lain berakar dari fiqihisme. Dengan
demikian, secara prinsipil, konsep politik Islam, menurut keyakinan Nurcholish
Madjid, adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara politik dan agama.
Politik adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya rasional dan
kolektif. Sedangkan agama, menurutnya adalah aspek kehidupan lain, yang
dimensinya spiritual dan pribadi.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah 1) Bagaimana pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik
Islam? 2) Apa dasar-dasar pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik Islam?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research),
di mana data-data yang dipakai adalah data kepustakaan. Data primer dalam
penelitian ini adalah buku Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam
Wacana Sosial Politik Kontemporer karya Nurcholis Madjid. Metode analisis
yang digunakan penulis adalah metode deskriptif kualitatif.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Politik Islam menurut Nurcholis
Madjid adalah bahwa orientasi keislaman yang kuat selalu dikaitkan dengan
oposisi terhadap pemerintah. Menurutnya, hal ini disebabkan Islam memainkan
suatu peranan konsisten sebagai sebuah ideologi (rallying ideology) terhadap
kolonialisme. Peranan ini menghasilkan kemerdekaan nasional, karena kaum
muslim mengemukakan gagasan politik yang tidak sesuai dan tidak sebangun
dengan tuntunan praktis era sekarang, sehingga tumbuhlah prasangka politik yang
berorientasi Islam dengan pemerintah yang berorientasi nasional. Nurcholis
Madjid menjelaskan bahwa Islam itu sendiri bukan sebuah teori atau ideologi,
lebih jauh ia mengatakan, dalam bidang politik Islam berada pada posisi yang
mengiringi syariah dan lebih dekat dengan filsafat dengan dinamika dan wataknya
sendiri. Konsep Negara Islam adalah sebuah distorsi hubungan proporsional
antara agama dan Negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang
dimenensinya adalah rasional dan kolektif, sementara agama adalah aspek
kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. Politik Islam menurut
Nurcholis Madjid tidak dimaksudkan sebagai penerapan politik dan mengubah
kaum Muslimin menjadi politikus. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan
nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi, dan melepaskan umat Islam dari
kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental
untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan

vii
kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis, menjadi sifat kaum
Muslimin.

Kata Kunci: Nurcholis Madjid, Politik Islam

viii
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tiada kata yang pantas diucapkan selain ucapan syukur kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid tentang

Politik Islam”, disusun sebagai kelengkapan guna memenuhi sebagian dari

syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Syari’ah dan Hukum

UIN Walisongo Semarang.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak dapat

berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhibbin, M. Ag. selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang

2. Dr. H. Akhmad Arif Junaidi, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan

Hukum, yang telah memberi kebijakan teknis di tingkat fakultas.

3. Dr. H. Agus Nurhadi, MA., selaku Pembimbing yang dengan penuh

kesabaran dan keteladanan telah berkenan meluangkan waktu dan

memberikan pemikirannya untuk membimbing dan mengarahkan peneliti

dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.

ix
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Semarang yang

telah memberi bekal ilmu pengetahuan serta staf dan karyawan Fakultas

Syari’ah dan Hukum dengan pelayanannya.

5. Bapak, Ibu, Kakak-kakak dan saudara-saudaraku semua atas do’a restu

dan pengorbanan baik secara moral ataupun material yang tidak mungkin

terbalas.

6. Segenap pihak yang tidak mungkin disebutkan, atas bantuannya baik moril

maupun materiil secara langsung atau tidak dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga semua amal dan kebaikannya yang telah diperbuat akan mendapat

imbalan yang lebih baik lagi dari Allah Swt. dan penulis berharap semoga skripsi

ini dapat bermanfaat. Amin…

Semarang, 09 Juni 2016

Penyusun

Muhammad Jawahir
NIM. 092211025

x
DAFTAR ISI

Halaman Cover ..........................................................................................


Halaman Persetujuan Pembimbing........................................................... ii
Halaman Motto .......................................................................................... iii
Halaman Persembahan .............................................................................. iv
Halaman Deklarasi .................................................................................... v
Halaman Abstrak ....................................................................................... vi
Halaman Kata Pengantar .......................................................................... vii
Daftar Isi ..................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 7
D. Tinjauan Pustaka .............................................................. 8
E. Metodologi Penelitian ...................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ....................................................... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG POLITIK ISLAM


A. Pengertian Politik Islam ............................................. 16
B. Tujuan dan Landasan Politik Islam ........................... 23
C. Relasi Agama dan Negara .......................................... 28

BAB III PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID TENTANG


POLITIK ISLAM
A. Biografi Nurcholis Madjid ................................................ 42
B. Corak Pemikiran dan Karya-Karya .................................. 46
C. Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Poltik Islam ........... 49

xi
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID
TENTANG POLITIK ISLAM
A. Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Politik
Islam .................................................................................. 66
B. Analisis Dasar-Dasar Pemikiran Nurcholis Madjid
tentang Politik Islam .......................................................... 75

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 80
B. Saran-Saran ....................................................................... 81
C. Penutup.............................................................................. 82

DAFTAR PUSTAKA

DAFTRA RIWAYAT HIDUP

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemikiran politik Islam membentuk suatu bagian penting dalam

sejarah intelektual manusia secara umum. pemikiran ini terdiri atas sebuah

tradisi yang koheren dan berkelanjutan, terpisah dari tradisi Barat dan

memiliki logikanya sendiri.1

Era kenabian merupakan era pertama dalam sejaran Islam yang

dimulai sejak Nabi Saw. memulai dakwah mengajak manusia untuk

menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini terbagi menjadi

dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. kedua fase itu tidak

memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh

beberapa orientalis. Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi

titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio masyarakat Islam mulai

tumbuh dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara

general.kemudia pada fase kedua, bangunan masyarakat Islam itu berhasil

dibentuk dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai

dijabarkan secara mendetai. Syariat Islam disempurnakan dengan

mendeklarasikan prinsip-prinsip baru dan dimulailah pengaplikasian serta

1
Antony Black, The History of Islamic Political Thought; From the Prophet to the
Present, terj. Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi
Hingga Masa Kini, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006, hlm. 21.

1
2

pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut seluruhnya. sehingga tampillah Islam

dalam bentuk sosialnya secara integral dan aktif.2

Sejarah dalam pandangan politik lebih terpusat pada fase kedua

dibandingkan dengan fase pertama. Karena saat itu jamaah Islam telah

menguasai urusannya sendiri dan telah hidup dalam era kebebasan dan

independensi. Mereka telah meraih kedaulatannya secara penuh sehingga

prinsip-prinsip Islam sudah dapat diletakkan dalam langkah-langkah praktis.

Namun ciri utama yang menandai kedua fase tersebut adalah sifatnya sebagai

fase pembentukan dan fase permulaan.3

Islam sebagai agama menuntun manusia ke jalan yang benar baik

untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat bahkan negara. Islam bukan

sekedar ajaran ritualitas melainkan juga memberi petunjuk yang fundamental

tentang bagaimana hubungan manusia dengan masyarakat bahkan dengan

negara. Sehubungan dengan itu, di kalangan umat Islam sampai sekarang

terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan.

Pertama, berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam

pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan

Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap

dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan

bernegara.4

2
Muhammad Dhiauddin Rais, al Nadhariyyah al Siyasiyah al Islamiyyah, terj. Abdul
Hayyi al Kattani, dkk., Teori Politik Islam, Jaskarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 2-3.
3
Ibid., hlm. 3.
4
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan pemikiran, UI Press,
Jakarta, 1993, hlm. 2.
3

Kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian

Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Ketiga

menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan

bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga

menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang

hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini

berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi

terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.5

Salah satu akibat yang paling parah dirasakan dari kemunduran umat

Islam adalah mandeg nya perkembangan intelektual umat Islam, sampai

munculnya tokoh-tokoh modernis. Namun dalam hal politik, sampai lahirnya

tokoh-tokoh modernis yang menyerukan kembali kepada al Qur'an dan

Sunnah seperti Muhammad ibn Abdul Wahab misalnya, belum juga

ditemukan pembahasan tentang konsep yang jelaS tentang negara

berdasarkan Islam.6

Indonesia sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya

beragama Islam, tidak luput dari kemunduran itu. Bahkan, menurut Fazlur

Rahman puncak kemunduran intelektual terjadi terutama pada tahun 1945.

Hal ini terjadi karena umat Islam lebih terkonsentrasi untuk perjuangan

melawan penjajahan, atau karena belum adanya kesadaran tentang betapa

pentingnya pembangunan intelektual agar Islam mampu diterjemahkan untuk

5
Ibid., hlm. 9-10
6
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan
Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1987, him. 42.
4

mengatasi berbagai persoalan kehidupan seperti ekonomi, pendidikan,

keadilan, dan sosio politik.7

Menjelang diraihnya kemerdekaan, umat Islam baik fundamentalis

maupun modernis, yang berada dalam BPUPKI berjuang agar Islam dijadikan

dasar negara di Indonesia. Perjuangan ini merupakan bentuk kesungguhan

dalam menjadikan Islam sebagai fondasi tertulis bagi kehidupan bernegara,

yang didalamnya mengandung berbagai agama. Perjuangan nyata umat Islam

adalah dengan mengemukakan kata syariat Islam dalam dasar negara. Dari

seluruh angggdta BPUPKI yang berjumlah 68 orang, ternyata hanya 15 orang

saja yang benar-benar mewakili aspirasi politik Islam.8

Perdebatan tentang dasar negara melahirkan dua aliran politik, yaitu

Islam dan aliran pemisahan antara negara dan agama, yang memiliki dasar

pemikiran berbeda. Kelompok Islam berdalih bahwa dari seluruh ayat al-

Qur'an, hanya sekitar 600 ratus ayat yang berisi tentang kehidupan akherat.

Ini membuktikan bahwa Islam memperhatikan kehidupan dunia, maka Islam

mestinya menjadi dasar bagi berdirinya Indonesia. Sementara itu kaum

nasionalis berpendapat bahwa Indonesia memiliki keistimewaan khas, maka

gagasan negara Islam harus ditolak.9

Bachtiar Effendy menyatakan bahwa Islam adalah sebuah agama yang

multi interpretatif, maka Islam dapat berjalan seiring dengan politik modern,

7
Ibid., hlm. 32.
8
Heni Wahyu Widayati, Dialog Pemikiran tentang Islam dan Negara di Indonesia Masa
Aval Kemerdekaan, Jurnal Dakwah, Vol. X No. 2, Juli-Descmber, 2009, hlm. 215.
9
Ibid., hlm. 216.
5

dan bisa pula sebaliknya, tergantung dari jenis Islam manakah yang diajukan

untuk dianalisis.10

Harun Nasution, berkesimpulan bahwa dalam al Qur’an tidak

ditemukan ayat yang dengan tegas membicarakan soal pembentukan negara

dan sistem pemerintahan yang harus berlaku dalam Islam. Yang penting

adalah dilaksanakannya ajaran Islam dalam masyarakat.11

M. Amin Rais, lebih tegas lagi mengatakan bahwa dalam al Qur’an

dan Sunnah tidak ada perintah yang menyatakan unutk mendirikan negara

Islam.12 Hal ini menunjukkan keabadian wahyu yang di dalamnya memuat

etik dasar, serta norma-norma kemudian menyerahkan hal detail pada akal

manusia dengan jalan ijtihad.

Keyakinan Nurcholish Madjid terhadap prinsip-prinsip universal

dalam al Qur’an adalah puncak spiritual dalam mencari solusi atas

ketimpangan Islam dan keadilan serta krisis kemanusiaan (human crisis). Ia

menggunakan istilah tauhid terhadap tema-tema yang dirujuk dari al Qur’an

seperti ibadah, zakat, dzikir atau Islam, iman dan ihsan sebagai metode

pendekatan diri terhadap Tuhan. Prinsip ini akan memberikan dua implikasi.

Pertama, memperkokoh kesadaran batin manusia, menumbuhkan spiritualitas

yang mendalam dan juga menjadi basis etika pribadi. Kedua, penekanan

10
Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 16.
11
Harun Nasution, Hubungan Islam dan Negara, Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama Depag RI, 1992, hlm. 222.
12
M. Amin Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1989, hlm.
41.
6

kepada kesatuan universal umat manusia sebagai umat yang satu, berdasarkan

persamaan, keadilan, kasih sayang, toleransi dan kesabaran.13

Nurcholish Madjid menyatakan bahwa munculnya gagasan politik

Islam atau Islam sebagai dasar poitik karena bentuk kecenderungan

apologetis. Apologi ini, tumbuh dari dua jalur. Pertama, apologi karena

ideologi Barat, seperti demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain

sebagainya. Kedua, karena legalisme yaitu apresiasi serba legalistis kepada

Islam. Dalam persepsi legalistis, Islam itu dipandang semata-mata sebagai

struktur dan kumpulan hukum. Kecenderungan legalisme ini bagi Nurcholis

Madjid, tidak lain berakar dari fiqihisme. Padahal pandangan yang muncul

dari kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana Islam pada abad-abad kedua

dan ketiga hijriah, bukan mustahil akan menyebabkan fiqih kehilangan

relevansinya dengan pola kehidupan masyarakat mutakhir yang terus berubah

dan berkembang dalam berbagai dimensinya.14

Dengan demikian, secara prinsipil, konsep politik Islam, menurut

keyakinan Nurcholish Madjid, adalah suatu distorsi hubungan proporsional

antara politik dan agama. Politik adalah salah satu segi kehidupan duniawi,

yang dimensinya rasional dan kolektif. Sedangkan agama, menurutnya adalah

aspek kehidupan lain, yang dimensinya spiritual dan pribadi. Karena itu tidak

heran kalau Nurcholis tidak setuju Islam dipandang sebagai ideologi. Baginya

Islam bukanlah sebuah ideologi. Sebab pandangan langsung kepada Islam

13
Ahmad A. Sofyan & M. Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara dan
Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003, hlm. 67.
14
Ibid., hlm. 169.
7

sebagai ideologi, dapat berarti merendahkan agama itu menjadi setaraf

dengan berbagai ideologi yang ada di dunia.15

Lebih lanjut Nurcholis Madjid menyatakan bahwa:

“….Agama kita mengajarkan bahwa formalitas ritual belaka tidaklah


cukup sebagai wujud keagamaan yang benar. Karena itu juga tidak pula
segi-segi lahiriah itu akan menghantarkan kita menuju kebahagiaan,
sebelum kita mengisinya dengan hal-hal yang lebih esensial. Justru sikap
membatasi diri hanya kepada hal-hal ritualistik dan formal akan sama
dengan peniadaan tujuan agama yang hakiki.”

Pernyataan tersebut sesuai dengan spektrum teoritik lainnya yang

melihat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori politik

atau sistem praktik yang harus diselenggarakan oleh umatnya, dan bahwa al

Qur’an berhubung bukan sebagai kitab politik sama sekali tidak menyediakan

istilah negara (dawlah) ataupun istilah-istilah teknis politik lainnya, kecuali

nilai-nilai dan prinsip-prinsip etis tentang keadilan, egalitarianisme,

persaudaraan, dan kebebasan yang justru bersifat universal, yang akhirnya

sepanjang suatu negara tetap berpegang dan menyelenggarakan prinsip-

prinsip universal itu, maka baik sistem maupun mekanisme yang dijalankan

adalah benar menurut Islam.16

Berdasarakan uraian latar belakang di atas, tulisan ini akan membahas

permasalahan politik Islam dengan fokus pada pemikiran Nurcholis Madjid

tentang politik Islam yang kemudian penulis kemas dalam skripsi dengan

judul “Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Politik Islam”.

15
Ibid.,
16
Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet ke II,
Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995, hlm. 454.
8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik Islam?

2. Apa dasar-dasar pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan

dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ini adalah:

1. Untuk mengetahui pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik Islam.

2. Untuk mengetahui dasar-dasar pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik

Islam.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat sebagai tolok ukur dari wacana

keilmuan yang selama ini penulis terima dan pelajari dari institusi

pendidikan tempat penulis belajar, khususnya pada masalah politik Islam.

2. Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai penambah pengetahuan tentang

teori-teori politik Islam, khususnya yang berkaitan dengan pemikiran

politik Islam Nurcholis Madjid.

D. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penelusuran penulis, dijumpai adanya beberapa skripsi

yang pembahasannya relevan dengan penelitian ini, skripsi tersebut antara

lain adalah sebagai berikut:


9

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Handy Setiyo Nugroho

(2199153) Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dengan judul

“Hubungan Agama dan Negara dalam Islam (Studi Terhadap Pemikiran M.

Din Syamsuddin)”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menurut M. Din

Syamsuddin relasi agama-negara hendaknya saling menguntungkan dan

mendukung, seperti di Indonesia. Program dan kebijakan negara tentunya

sangat memerlukan keterlibatan agama, dan sebaliknya dengan adanya negara

maka agama akan mudah berkembang. Din menganggap bahwa negara

Indonesia secara subtantif adalah negara Islami. Alasannya, dalam Pancasila

terkandung substansi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam seperti tauhid,

kemanusiaan, persaudaraan, demokrasi, dan keadilan, dan agama menempati

rating tinggi. Agama juga mendapat pengakuan instrumental dan menjadi

landasan spiritual, etiaka dan moral bagi pembangunan. Pandangan Din

tersebut dapat dikelompokan pada kecenderungan simbioistik-mutualistik,

yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan antara agama-negara..

Gagasan simbioistik-mutualistik dapat menjadi jalan tengah antara

kecenderungan integralistik vis a vis sekularistik. Pendekatan yang digunakan

dalam relasi simbioistik-mutualisitik ini adalah substantivistik, yaitu

pendekatan yang menekankan isi daripada bentuk dengan memusatkan

perhatian pada bagaimana mengisi negara dengan etika dan moralitas agama

menjadi ruh pembangunan. Namun demikian, kelemahan dari hubungan

simbioistik-mutualistik adalah sering terjadi kendala dalam

mengaktualisasikan agama dalam proses perubahan sosial. Penekanan


10

lambanglambang keagamaan dalam kehidupan hanya akan menampilkan

politisasi agama dan menguatkan solidaritas keagamaan yang sangat terbatas,

yang pada gilirannya agama akan kehilangan fungsinya sebagai pengatur

segala aspek kehidupan. Beberapa prinsip moralitas Islam seperti pemerataan

ekonomi, keadilan juga jauh menjelma dalam kenyataan.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Midia Tulus Lusiyana

(1198109) Fakultas Da’wah IAIN Walisongo Semarang dengan judul

“Analisis Terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika Politik

dalam Buku Fatsoen Ditinjau dari Perspektif Dakwah”. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Etika Politik

dalam buku Fatsoen bila dikaitkan dengan dakwah Islam akan bersesuaian.

Dengan pesanpesan etika politiknya Nurcholis Madjid telah melaksanakan

tugasnya sebagai subyek dakwah (da’i) yaitu hubungan masyarakat yang

berperan sebagai konsultan agama, dalam rangka ikut serta memecahkan

problema kehidupan masyarakat yang multi kompleks. Adapun metode

dakwahnya Nurcholis Madjid menggunakan metode pengajaran dan

pendidikan. Karena pesan dalam Buku Fatsoen intinya adalah pengajaran

kepada pembacanya tentang Etika dalam hidup. Bila ditinjau dari bentuk

komunikasi buku Fatsoen pada tabloid Tekad termasuk dalam bentuk

komunikasi massa dimana pesan komunikasi yang ditampilkan Nurcholis

Madjid menggunakan media pers. Dalam berkomunikasi, bahasa memegang

peran penting. Banyak kesalahan informasi dan kesalahan interpretasi

disebabkan oleh bahasa. Sedangkan bahasa sendiri terdiri dari kata atau
11

kalimat yang mengandung pengertian denotatife dan pengertian konotatif.

Dalam melancarkan komunikasi, kita harus berupaya menghindarkan

pengucapan kata-kata yang mengandung pengertian konotatif. Jika melihat

tulisan-tulisan Nurcholis Madjid dalam buku Fatsoen dapat diketahui bahwa

Nurcholish Madjid menggunakan bahasa yang denotatife. Dari sini dapat

disimpulkan dari segi efektifitas berkomunikasi bahwa tulisan dalam buku

Fatsoen efektif.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ulil Amri

(2101258) Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dengan judul

“Hubungan Islam dan Negara (Studi Analisis terhadap Pemikiran Politik

Mohammad Natsir)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman

Mohammad Natsir tentang Nash al Qur’an dan Sunnah serta Ijma’ menjadi

dasar pemikirannya. Lapangan ijtihad memungkinkan masyarakat Islam dapat

merumuskan cita-cita dan program sosial politik mereka dengan

memperhatikan keadaan lingkungan dan kebutuhankebutuhan mereka sendiri.

Sebagai landasan, jelas agama (Metode Syura dalam Nash al Qur’an dan

Sunnah) dengan sifat ketauhidannya akan secara otomatis menyediakan jalur

(track) yang harus dilalui oleh negara, sekaligus "mengingatkannya" ketika

negara keluar dari track tersebut. Jalur yang dimaksud disini terkait dua hal.

Pertama; pembangunan kesadaran mental bagi setiap individu, yang pada

akhirnya akan berubah menjadi kesadaran mental kolektif. Kedua; terdapat

beberapa tata aturan tertentu yang tidak diperbolehkan untuk merubahnya.

Dengan metode inilah Muhammad Natsir menghasilkan pemikiran-pemikiran


12

tentang kehidupan khususnya dalam wacana politik Islam. Sosio-kultur

sangat mempengaruhi terhadap konsep pemikiran hubungan Agama dan

Negara yang dikembangkan oleh Natsir. Pemikirannya memiliki relevansi

dengan “paradigma simbiotik”, yang memandang hubungan Agama dan

Negara sebagai reciprocal relation. Paradigma ini telah menawarkan

formalisasi Islam. Namun di dalamnya terdapat nilainilai demokratis.

Meskipun Syari’at agama harus ditegakkan dalam sebuah negara, tetapi tidak

membatasi secara mutlak kepada masyarakat muslim untuk ikut andil dalam

menentukan kondisi sosial politik negara.

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Hamsah Hasan Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo Sulawesi Selatan tahun 2015 dengan

tema “Hubungan Islam dan Negara; Merespons Wacana Politik Islam

Kontemporer di Indonesia”. penelitian ini bertujuan untuk mendiskusikan

kembali isu tentang hubungan Islam dan negara dalam perspektif politik

Islam di Indonesia. Kajian ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk

mengkritisi perkembangan serta pasang-surut hubungan Islam dan negara

yang sangat dinamis mewarnai peta perpolitikan di Indonesia yang kental

dengan tradisi Islam. Pembahasan ini menyimpulkan bahwa: Pemahaman

terhadap hubungan agama dan negara dengan pendekatan politik Islam tidak

dimaksudkan untuk mendirikan negara agama atau negara Islam Indonesia,

tetapi lebih pada pengisian ruang-ruang agama secara fungsional dalam

tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hubungan Islam

dan negara dapat terintegrasi dalam sebuah relasi fungsional yang sama-sama
13

mencita-citakan keluhuran. Baik relasi integralistik, simbiosis maupun

sekularistik, masing-masing harus dipandang sebagai bentuk yang saling

melengkapi. Menghadapi perkembangan modernitas, hubungan Islam dan

negara harus diartikulasikan sebagai upaya untuk selalu menyesuaikan

dengan perkembangan masyarakat dari berbagai aspeknya, seperti: globalisasi

ekonomi-politik dunia, sains dan teknologi, perkembangan isu-isu demokrasi,

gender, HAM, pluralisme, secara nasional maupun internasional.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas, penelitian ini berbeda dengan

penelitian sebelumnya, karena apa yang penulis teliti adalah pemikiran politik

Islam Nurcholis Madjid. Oleh karena itu, penulis yakin untuk tetap

melanjutkan penelitian ini tanpa ada asusmsi plagiasi.

E. Metode Penelitian

Dalam penyusunan sekripsi ini penulis menggunakan berbagai macam

metode untuk memperoleh data yang akurat. Adapun metode penelitian yang

penulis gunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library

research), di mana data-data yang dipakai adalah data kepustakaan yang ada

kaitannya dengan permasalahan politik Islam. Adapun bentuk penyajian

datanya adalah dengan deskriptif-kualitatif. Deskriftif yaitu dengan


14

memaparkan data secara keseluruhan, sedangkan kualitatif adalah bentuk

pemaparan data dengan kata-kata, bukan dalam bentuk angka.17

2. Sumber Data

Data adalah sekumpulan informasi yang akan digunakan dan

dilakukan analisis agar tercapai tujuan penelitian. Sumber data dalam

penelitian dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

a. Data primer

Data primer adalah data utama atau data pokok penelitian yang

diperoleh secara langsung dari sumber utama yang menjadi obyek

penelitian.18 Data primer dalam penelitian ini adalah buku-buku karya

Nurcholis Madjid yang membahas tentang politik, seperti Islam

Kemodernan dan Keindonesiaan karya Nurcholis Madjid.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.19

Sumber-sumber data sekunder dalam penelitian ini mencakup bahan-

bahan tulisan yang berhubungan dengan pemikiran politik Islam, sperti

Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam karya Ahmad A. Sofyan

& M. Roychan Madjid, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik

Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais karya Idris Thaha, Zaman Baru

17
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004,
hlm. 3.
18
Adi Riyanto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, cet. ke-1, 2004,
hlm. 57.
19
Amirudin Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, cet. 1, 2006, hlm. 30.
15

Islam Indonesia; Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M.

Amien Rais, Nurcholis Madjid dan Jalaluddin Rakmat karya Dedy

Djamaluddin Malik dan Jalaluddin Rakhmat, Teori Politik Islam karya

Dr. Dhiauddin Rais, dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan

standar untuk memperoleh data yang diperlukan.20 Dalam penulisan skripsi

ini, penulis melakukan pengumpulan data lewat studi dokumen atau

penelitian kepustakaan terhadap buku-buku yang berkaitan dengan

permasalahan yang sedang penulis kaji.

4. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode

deskriptif yang berusaha menggambarkan, menganalisa dan menilai data

yang terkait dengan pemikiran politik Islam. Metode ini digunakan untuk

memahami pemikiran dan konsep dasar yang dipakai oleh Nurcholis Madjid

tentang politik Islam. Sedangkan langkah-langkah yang digunakan oleh

penulis adalah dengan mendeskripsikan baik yang berkaitan dengan

pemikiran maupun konsep dasar yang dipakai oleh Nurcholis Madjid.

F. Sistemtika Penulisan

Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana

dalam setiap bab terdiri dari sub-sub bab permasalahan. Maka penulis

menyusunnya dengan sistematika sebagai berikut:

20
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. ke-3, 1988, hlm. 211.
16

Bab I pendahuluan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistemtika

penulisan.

Bab II tinjauan umum tentang politik Islam pengertian politik Islam

dasar-dasar politik Islam tujuan politik islam relasi agama dan negara.

Bab III pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik Islam biografi

Nurcholis Madjid, pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik Islam, dasar-

dasar pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik Islam.

Bab IV analisis pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik Islam

analisis pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik Islam dan analisis dasar-

dasar pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik Islam.

Bab V penutup kesumpulan, saran-saran dan penutup.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG POLITIK ISLAM

A. Pengertian Politik Islam

Kata politik sebenarnya berasal dari kata Yunani, yaitu Polis yang

berarti kota yang berdaulat, seperti Athena, Sparta, dan Korihthus sebagai

lawan daerah yang takluk dan wajib membayar pajak kepadanya. Dalam

bahasa Inggris disebut dengan politic yang menunjukkan sifat pribadi atau

perbuatan. Secara leksikal, kata tersebut berarti acting or judging wisely, well

judged, prudent (bijaksana). Kata politic itu terambil dari kata Latin politicus

dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to citizen, yang

kesemua itu merujuk pada kata Polis.1

Pengertian ini berdasarkan pemikiran filsafat mengenai negara yang

terjalin dengan definisi-definisi yang berasal dari zaman kuno. Negara adalah

masyarakat politik, yaitu masyarakat yang berurusan dengan politik dalam

maupun luar negeri.2 Menurut bangsa Yunani Kuno, politik sama artinya

dengan kecakapan bernegara. Dengan kata lain, aturan tentang kehidupan

bersama dalam negara. Plato dan Aristoteles memandang politik terutama

dalam tema-tema tujuan moral yang dicari oleh para pembuat keputusan. Bagi

1
Abdul Mun‟im Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 34.
2
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013,
hlm. 47-48.

17
18

keduanya, keberadaan polis adalah untuk mencari kebaikan warga secara

umum dan kesempurnaan moral.3

Oleh karena itu, pembahasan tentang politik sebagai bagian dari

kehidupan manusia sangat erat kaitannya dengan pembahasan tentang negara-

negara. Namun berdasarkan pemaknaan para pelaku politik, politik dimaknai

sebagai perkara yang yang berkaitan dengan kekuasaan, baik pencapaian

kekuasaan maupun upaya mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan sangat

berkaitan dengan kepentingan. Oleh karena itu dalam politik, kepentingan

menjadi penentu. Dari sinilah muncul idiom politik tidak ada musuh abadi

yang ada adalah kepentingan abadi.4

Secara terminologis, kata politik pertama kali dikenal dari buku Plato

yang berjudul Politeia, yang dikenal juga dengan Republik. Berikutnya

muncul karya Aristoteles yang berjudul politia. Kedua karya itu dipandang

sebagai pangkal pemikiran yang berkembang kemudian. Dari karya tersebut

dapat diketahui bahwa istilah politik merupakan kata yang dipergunakan

untuk konsep pengaturan masyarakat. sebab yang dibahas dalam kedua buku

itu merupakan soal-soal yang berkaitan dengan masalah bagaiomaan

pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah masyarakat politik atau negara

yang paling baik.5

Kamus besar Bahasa Indonesia, mengartikan kata politik sebagai

segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai

3
Abdul Rased Moten, Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka Amani, 2001, hlm. 2.
4
Ibid.,
5
Jeje Abdul Rojak, Politik Kenegaraan: Pemikiran-Pemikiran al Ghazali Dan Ibnu
Taimiyyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1999, hlm. 40
19

pemerintahan negara atau terhadap Negara lain. Juga dalam arti kebijakan,

cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).6

Ustman Abdul Mu‟iz Ruslan, mempunyai beberapa konsep mengenai

definisi politik ini, yaitu: Pertama, politik menurut para filosof Yunani,

khususnya Aristoteles, adalah segala sesuatu yang sifatnya dapat

merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat. Ia meliputi semua urusan

yang ada dalam masyarakat. Pembatasan ini mengkategorikan politik sebagai

bagian dari akhlak atau moral. Meski Aristoteles menekankan politik pada

persoalan moral, tetapi bukan berarti mengabaikan pentingnya struktur-

struktur politik. Kedua, perspektif yang melihat bahwa politik adalah

aktivitasaktivitas yang secara prinsip afiliasinya terbatas pada negara. Ketiga,

mengaitkan politik dengan konotasi kekuatan (power). Konsep ini sama

sekali terlepas dari muatan akhlak.7

Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya

diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari kata sasa-yasusu

yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur dan sebagainya.

Dalam al Qur‟an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa

yasusu, namun hal itu bukan berarti bahwa al Qur‟an tidak menguraikan

persoalan politik. Uraian al Qur‟an tentang politik secara sepintas dapat

ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya

berarti menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan. Dari akar kata

6
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, hlm. 687.
7
Ustman Abdul Mu‟iz Ruslan, Tarbiyah Siyasah: Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin,
terj. Salafudin Abu Sayyid & Hawin Murtadlo, Solo: Era Intermedia, 2000, hlm. 68-69.
20

yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna

ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais-siyasat yang berarti

mengemudi, mengendalikan, pengendali dan cara pengendalian. Kata siyasat

sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga

sebagaimana terbaca sama dengan hikmat.8

Yusuf al Qardlawi menjelaskan bahwa politik dalam kosa kata Arab

adalah al siyasah, merupakan masdar dari kata sasa yasusu, dan pelakunya

adalah sa’is. Istilah ini menekankan aspek kepemimpinan. Politik Islam

menurut Yusuf al Qardlawi disebut dengan istilah al siyasah al syar’iyyah.

Sebab makna al syar’iyyah dalam konteks ini adalah yang menjadi pangkal

tolak dan sumber bagi al siyasah (politik) dan menjadikannya sebagai tujuan

bagi siyasah. Pengertian ini berkaitan dengan pandangan ulama terdahulu

yang mengartikan politik pada dua makna. Pertama, makna umum, yaitu

mengenai urusan manusia dan masalah kehidupan dunia mereka berdasarkan

syari‟at agama. Kedua, makna khusus, yaitu pendapat yang dinyatakan

pemimpin, hukum dan ketetapan-ketetapan yang dikelurakannya untuk

menangkal kerusakan atau memecahkan masalah khusus, yang terbatas dalam

lingkup pemerintahan dan negara tertentu.9

Dalam memahami politik Islam tak luput dari kata-kata bahasa politik

Islam karena kata-kata tersebut mengandung denotasi dan konotasi yang

berhubungan dengan nilai Islam. Memang bahasa politik Islam seperti kata

8
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 416-
417.
9
Yusuf Qardlawi, Pedomena Bernegara dalam Perspektif Islam, (terj), Jakarta: Pustaka
al Kautsar, 1999, hlm. 38.
21

Bernard Lewis sendiri mempunyai akar yang dapat dilacak dalam al Qur‟an

dan Sunnah Nabi, dan praktek kaum muslimin.

Bahasa politik Islam mempunyai dua fungsi, yaitu penafsiran terhadap

nilai-nilai Islam dan pengarahan terhadap cita-cita sosial Islam. Dalam hal ini

terdapat hubungkan antara doktrin dan konsepsi. Bahasa politik berfungsi

sebagai instrumen untuk merumuskan konsepsi yang merupakan terjemahan

dari doktrin. perpaduan antara doktrin-doktrin dan cita-cita sosial (konsepsi)

sangat mungkin terjadi terutama jika doktrin-doktrin tersebut dipahami secara

komprehensif sebagai suatu keseluruhan.

Kendati terdapat hubungan antara doktrin dan konsepsi, tidak dapat

disimpulkan bahwa bahasa politik Islam yang berkembang dalam proses

sejarah merupakan penafsiran terhadap konsep-konsep al Qur‟an atau Sunnah

Nabi yang berdiri sendiri. Tapi perkembangan tersebut juga dipengaruhi oleh

factor-faktor sosiologis: sosial, budaya, politik. Sebagai akibatnya, satu kata

mempunyai arti yang berbeda, atau satu konsep diungkapkan dengan istilah-

istilah yang beragam, dalam konteks perbedaan ruang dan waktu.

Secara teoritis pengertian Islam politik10 meliputi dimensi ajaran

Islam yang terkait dengan kegiatan politik (hubungan manusia dengan

kekuasaan yang diilhami petunjuk Islam) yang telah bersinggungan dengan

berbagai kepentingan manusia11 Islam politik terkait dengan teori,12 praktek,

Landasan, nilai-nilai Islam dalam berpolitik. Kajian terhadap Islam Politik

10
Istilah Islam Politik digunakan oleh banyak pihak antara lain Andre felliard, Bahtiar
Effendy, M. Rusli Karim dalam berbagai karya-karya.
11
M. Din Syamsudin, Religion and politik in Islam, the case of Muhammadiyah in
Indonesia New Orde. Disertasi Universiti of California, Los Angelfes, 1991, hlm 34-30.
12
Dhiauddin Rais Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001,
22

merupakan upaya mempelajari perilaku politik seseorang, kelompok, atau

umat Islam yang didorong kesadaran keagamaan yang tinggi.

Dalam konteks syari‟ah hubungan antara yang memerintah dan yang

diperintah disebut ‘siyasah’ dari konsep siyasah ini kemudian lahir gagasan–

gagasan yang dikenal sebagai Islam politik di dalam tradisi ilmu-ilmu

keislaman, kaitan relasional antara pemerintah dan rakyat menjadi bahan

kajian dari disiplin siyasah syar‟iyyah, atau politik yang berbasis syar‟i13.

disiplin ini bukanlah hal yang baru dalam Islam secara empiris studi tersebut

sudahlah dimulai sejak risalah ke Nabi-an dan telah mengalami kodifikasi

secara luas seiring suksesi politik pasca Nabi Saw dengan perihal semacam

ini, kemudian Islam dipandang sebagai hal yang tidak bisa dipisahkan dari

politik (Negara) bahkan Schatt, seperti dikutip Yusuf Musa14 mengingat

Islam bukan sekedar sebagai Agama ia juga menyebabkan hukum dan politik.

Sementara Imam Syafi‟i mengatakan bahwa tidak ada politik kecuali

bersendikan syara‟. Ibnu Taimiyah sendiri menandaskan bahwa Islam pada

dasarnya menghendaki berdirinya sebuah tata politik yang kuat untuk

mewujudkan tujuan-tujuannya.15

Dalam sebuah konferensi pelajar Ihwanul Muslimin yang diadakan

pada bulan Muharram 1357 H. Hasan al Banna mengatakan: dapat aku

sampaikan dengan tegas bahwa seorang Muslim tidak akan sempurna

agamanya kecuali ia menjadi politikus sebab dia memiliki pandangan yang

13
Abdul Azis, Politik Islam dan Politik, Yogyakarta: Tiara wacana, 2006, hlm. 18.
14
Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, Surabaya: Al Ihlas, 1990, hlm. 26.
15
Qomqruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, Bandung: Bandung ITB Pustaka
1973, hlm.
23

jauh tentang problematika umatnya, memperhatikan urusan-urusan mereka

dan bersedia untuk membantu mencari jalan keluarnya. Dapat aku katakan

bahwa pembatasan dan pembuangan agama ini adalah sikap yang tidak diakui

oleh agama Islam maka kepada sikap organisasi Islam agar menjadikan

prioritas program nya adalah memperhatikan urusan politik umat Islam, kalau

tidak maka ia sendiri perlu untuk memahami kembali akan makna Islam,

sehingga tidak ada kebaikan dalam agama yang tidak ada politik nya, dan

tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya.16

Perkataan politik telah mengalami pasang naik dan pasang surut

dalam kehidupan bernegara di tanah air kita, malah sebelum kita bernegara di

abad kedua puluh ini, yaitu ketika belanda masih mencengkram kukunya di

Indonesia, istilah politik sudah menimbulkan pengertian yang beragam bagi

pihak-pihak yang mempergunakan atau memperkatakannya. Bagi seorang

ahli atau peserta pergerakan kebangsaan ini umpamanya. Politik dianggap

sebagai semacam kelezatan, dan ahli-ahli pun semua mengharapkan agar

siapapun yang menyebutkan dirinya bangsa Indonesia turut terjun ke dalam

kancah perjuangan politik itu. Sehingga para pemimpin-pemimpin perjuangan

kita mengatakan Jangan takut politik, jangan buta politik, jangan berdiam diri

dengan keadaan politik yang dihadapi.17

16
Moh. Abdul Kadir Alfaris, Feqih Politik Hasan al Banna, Solo: Media Insani, 2003,
hlm. 28.
17
Delier Noer, Pengantar Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1985, hlm. 1
24

B. Tujuan dan Landasan Politik Islam

Dikalangan umat Islam ada pendapat bahwa Islam adalah agama yang

komprehensif. Di dalam terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem

ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Misalnya Rasyid Ridha, Hasan al

Banna dan al Maududi meyakini bahwa Islam adalah agama yang serba

lengkap. Di dalam ajarannya antara lain terdapat sistem ketatanegaraan atau

politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali

kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu dan bahkan jangan

meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau politik islami

yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar

Muhammad saw dan oleh empat al Khulafa al Rosyidin.18

Sistem yang dibangun Rasulullah saw dan kaum mu‟min yang hidup

bersama beliau di madinah jika dilihat dari segi praktis dan diukur dengan

variabel-variabel politik era modern tidak disangsikan lagi dapat dikatakan

bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence dalam waktu yang

sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem

religius jika dilihat dari tujuan-tujuannya motif-motif nya dan fundamental

maknawi tempat sistem itu berpijak.19

Al Qur‟an dan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam mempunyai nilai-

nilai praktis yang dapat diaplikasikan kedalam setiap aspek kehidupan

manusia, baik manusia sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial

(anggota masyarakat). Maka dalam menjabarkan ajaran Islam dalam aspek


18
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah,dan Pemikiran, Jakarta: UI
Press, 1990, hlm. 1 dan 47.
19
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 5.
25

kehidupan diperlukan adanya usaha sungguh-sungguh oleh setiap Muslim

untuk mempelajari dan menghayati nilai Islam kemudian dirumuskan ke

dalam kerangka kehidupan yang sesuai dengan kondisi aktual suatu

masyarakat tersebut.20

Politik dan siyasah bukan perkara yang baru dalam khazanah sejarah

dan pemikiran Islam. Politik lahir bersama dengan dimulainya pembelaan dan

penyebaran Islam baik pada periode Makkah maupun Madinah baik yang

berkaitan dengan kehidupan akhirat maupun dunia, karena Islam secara

sistematis tidak memisahkan kedua dimensi ini, hanya titik tekan antara yang

satu dan yang lainnya tidaklah sama. Setelah Rasulullah saw wafat politik

bergulir bagai bola salju terus membesar sehingga banyak persoalan politik

yang menimbulkan korban dari kalangan sahabat.21

Wacana politik Indonesia merdeka mewariskan kebingungan tertentu,

khususnya dalam hal pemahaman atas apa yang disebut politik Islam. Dalam

hal ini, sejak awal 1930-an sampai akhir 1960-an, sebagian diskursus politik

Nusantara diramaikan dengan polarisasi golongan agama dan golongan

nasional/ sekuler, atau setidak-tidaknya netral agama. Kelompok pertama

sering dilihat sebagai kelompok yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar

negara sebagai sesuatu yang diperjuangkan baik di BPU PKI atau di Sidang

Konstituante.22

20
Adnan, Islam Sosial, Yogyakarta: Menara Kudus Yogya, 2003, hlm. 36-37.
21
M. Abdur Rahman, Dinamika Masyarakat Islam, dalam Wawasan Fiqh, Bandung:
Remaja Karya, 2002, hlm. 3.
22
Abu Zahra (ed) Politik Demi Tuhan, Nasionalisme Relgius di Indonesia, Bandung:
Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 38.
26

Sejarah politik Islam Indonesia baik pada masa pra modern dan masa

modern, tidak luput dari kecenderungan rekayasa. Penggunaan kata khalifah,

umpamanya, mengalami transformasi arti yang cukup berarti. Jika masa Abu

Bakar kata khalifah (dalam khalifatu Rasul Allah) membawa pengertian netral

yakni pengganti Nabi, pada Muawiyah dan Abbasiyah mengandung

pengertian berpihak (subyektif) seperti dalam ungkapan khalifat Allah yang

berarti wakil Tuhan.

Adapun dalam hal ini pencarian konsep tentang negara merupakan

salah satu isu sentral dalam sejarah pemikiran politik, tidak terkecuali

pemikiran politik Islam. Pemikiran politik Islam sesungguhnya merefleksikan

upaya pencarian landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara atau

pemerintah sebagai faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan

kesejahteraan masyarakat, baik lahiriyah maupun batiniah. Pemikiran politik

Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan

nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang

terjadi.23

Sehubungan dengan itu, rezim Orde Baru telah berorientasi perhatian

permasalahan bangsa dari nations and charakter building yang memper-

bincangkan masalah, bagaimana meletakkan basis kebangsaan menuju

economic building yang sarat bergelimangan dengan persoalan-persoalan

pembangunan ekonomi sebagai masalah masa depan bangsa. Karena

pembangunan ekonomi hanya dapat dilakukan dengan baik jika terdapat

23
Ibid., hlm 43.
27

tingkat kesetabilan dan ketertiban politik yang mapan. Di negara-negara yang

baru ( developing countries) pembangunan politik dalam bentuk partisipasi

dan mobilisasi politik yang cepat justru akan menimbulkan pertikaian dan

kekacauan politik. Karena itu adalah penting untuk meningkatkan integrasi

bangsa dan institusional building.

Untuk itu pemerintah Orde Baru berusaha meyakinkan rakyat dan

para pendukungnya, bahwa masa depan Indonesia haruslah bebas dari politik

yang didasarkan pada idiologi. Konflik idiologi dianggap sebagai warisan

masa lalu yang harus disingkirkan. Sebagai gantinya, aparat birokrasi dan

intelektual yang mendukung Orde Baru mengajukan argumen tentang

perlunya pembentukan suatu masyarakat yang bebas dari konflik idiologis

dan memperioritaskan pembangunan ekonomi yang berorientasi keluar dan

hal ini pun mendapat sambutan hangat di kalangan kaum intelektual, yang

memang sudah sejak lama menghendaki terwujudnya pembaharuan sistem

politik setelah demokrasi terbelenggu oleh rezim Orde Lama 24

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya banyak terjadi

penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan rezim Orde Baru dalam hal ini

politik Islam menginginkan terciptanya masyarakat yang adil makmur dan

sejahtera, dan mencakup gambaran yang jelas tentang kebebasan politik dan

berpolitik, partai politik, oposisi politik, kebebasan pers, quota perempuan,

undang-undang masyarakat, ekonomi, subsidi, dan kebebasan ber ekspresi.25

24
M. Syafi‟i Anwar. Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Moslem Indonesia, Jakarta: Paramadina, hlm. 20.
25
Mustafa Moh Thaha, Tantangan Politik Negara Islam, Malang: Pustaka Zamzani.2003,
hlm. 25.
28

Sehingga dalam hai ini para tokoh-tokoh Islam selalu bergerak dan

akan menegakkan sistem politik Islam, maka sistem politik itu harus jelas.

Bagaimana jadinya jika sistem dan batasan-batasan itu tidak jelas, dan pada

saat inilah para intelektual muslim dipanggil untuk ikut andil dalam

membangun sistem politik Islam yang layak bagi umat, bagi peradaban

mereka, bagi sejarah mereka dan bagi aqidah mereka.26

Bagi kalangan ini, Syariat Islam adalah pemecah kebuntuan (problem

solving) atas segala masalah umat Islam, terlebih dalam membangun sebuah

negara. Dalam pandangan semacam ini, mereka tidak dapat lagi membedakan

mana yang Islam (ajaran universal) dengan pemahaman terhadap Islam.

Pada hakekatnya Syariat Islam bertujuan untuk membangun

kehidupan manusia berdasarkan nilai-nilai kebajikan (ma’rufat), dan

membersihkannya dari berbagai kejahatan munkarot. Konsekuensi logis dari

pemahaman ini adalah agama Islam yang bersumber dari pada al Qur‟an dan

Sunnah harus selalu mengatur kehidupan individual dan kolektif manusia.27

Islam mengandung nilai-nilai kebenaran yang universal yang harus

dilaksanakan oleh setiap manusia tanpa adanya prioritas dalam

pelaksanaannya dan juga merupakan kerangka yang lengkap untuk menjamin

energi kreatif yang maksimal dari umat manusia dan untuk menjaga agar

kreatifitas yang maksimal dari ummat manusia tetap berada pada saluran

moralitas yang benar. Dengan jelas dan tegas al Qur‟an telah menerangkan

hal-hal yang diperlukan untuk tujuan hidup manusia. Al Qur‟an dengan keras

26
Ibid., hlm. 26.
27
Adan, op. cit., hlm 36
29

memperingatkan manusia terhadap kecenderungan nihil yang menyebabkan

manusia memandang dirinya sebagai hukum bagi dirinya sendiri. Yaitu

kecenderungan yang dapat dikatakan bersifat takabur dan menyerukan agar

manusia mentaati hukum moral.28

Jadi, segala sesuatu yang telah ditulis para ulama terdahulu adalah

suatu kebenaran final yang tidak dapat diganggu gugat. Adanya pembakuan

terhadap pemahaman Islam atau yang sering kita sebut sebagai fiqh kerap kali

menjadi perangkap yang akan menjatuhkan dalam jurang kefanatikan

(fanatical attitude), sikap keberagamaan yang sempit (narrow religiousity)

dan fundamentalisme.29

C. Relasi Agama dan Negara

Perbincangan mengenai hubungan agama dan negara merupakan

persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus

berkepanjangan di kalangan para ahli.30 Hal ini disebabkan oleh perbedaan

pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau

negara merupakan bagian dari dogma agama. Bahkan, menurut Syafi‟i Maarif

(1935 M.), Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998 M.), seorang ahli teologi

Islam pernah mengatakan, bahwa persoalan yang telah memicu konflik

28
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Muhyiddin, Bandung: Pustaka,
1984, hlm. 149.
29
Dedi M Sodik, Islam dan Humanisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007, hlm. 6.
30
Dede Rosyada, et al., Pendidikan Kewargaan (Civil Education): Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Cet. Ke-1, 2000, hlm.
58.
30

intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan umat Islam adalah berkait

dengan masalah hubungan agama dengan negara.31

Menurut Deliar Noer (1926 M.), Islam setidaknya meliputi dua aspek

pokok yaitu agama dan masyarakat (politik).32 Akan tetapi untuk

mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata merupakan

suatu problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak

holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah

untuk memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari

mereka malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama

dan negara.33

Perdebatan dan diskusi mengenai hal ini sesungguhnya lebih terletak

pada tataran konseptualisasi dan pola-pola hubungan antara keduanya.

Dimana perdebatan ini muncul dilatar belakangi oleh teks-teks agama sendiri

yang pola hubugannya dikotomis. Agama dan negara seringkali dikesankan

sebagai dua wilayah yang saling berhadapan. Misalnya, hubungan dunia

akhirat atau al dunya wa al din. Baik al Qur‟an maupun hadits banyak

menyebut dua hal tersebut. Bahkan sering dijumpai ungkapan al Islam huwa

al din wa al daulah.34

31
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, cet. Ke-1, 1999, hlm. ix.
32
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesi 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-
8, 1996, hlm.1.
33
Ahmad Syafi‟i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-1, 1996, hlm. 15.
34
Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, Yogyakarta: LKiS, cet. ke-1,
2000, hlm. 88.
31

Memang dalam Islam, negara bisa diterjemahkan dengan berbagai

cara. Perbedaan ini bukan saja disebabkan oleh faktor sosio-budaya-historis,

tetapi bersumber juga dari aspek teologis-doktrinal. Menurut Karim,

walaupun Islam mempunyai konsep khalifah, daulah, hukumah tetapi al

Qur‟an belum menjelaskan secara rinci tentang bentuk dan konsepsi tentang

negara Islam.35

Negara dipahami sebagai lembaga politik yang merupakan manifestasi

dari kebersamaan dan keberserikatan sekelompok manusia untuk

mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Eksistensi negara, dalam

hal ini meniscayakan adanya perpaduan, meminjam istilah Hegel, antar

kebebasan subyektif (subyektif liberti), yaitu kesadaran dan kehendak

individual untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan kebebasan objektif

(objective liberty), yaitu kehendak umum yang bersifat mendasar . sebagai

faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, negara

memerlukan pemberlakuan hukum (law enforcement). Oleh karena itu,

doktrin dasar negara, seperti diungkapkan Immanuel Kant, adalah negara

berdasarkan hukum dan bertujuan untuk menciptakan perdamaian abadi.36

Opini tentang teori politik Islam seperti di atas kiranya telah dikenal

oleh masyarakat luas, kalangan muslim khususnya. Berkenaan tentang

hubungan agama dan negara tersebut, setidaknya lebih dikenal dengan istilah

“tiga paradigmatik pola hubungan agama dan negara”, yang diutarakan dan

35
M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 1.
36
Din Samsudin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, ( Jakarta :
Logos Wacana Ilmu, 2002 ), hlm. 57
32

dipertahankan oleh tokoh inspiratornya masing-masing. Dengan wacana

inilah, akan dijelaskan secara lebih terang mengenai konsepsi Islam tentang

negara. Adapun ketiga paradigma tersebut yaitu; integralistik, simbiostik, dan

sekularistik.

1. Paradigma Integralistik

Paradigma pertama ini mengajukan konsep bersatunya agama dan

neagra. Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini tidak bisa dipisahkan

(integrated), wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya,

menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan

sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi

(devine cofereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di

tangan Tuhan.26 Jadi, pandangan ini bersifat teokratis.27

Konsekuensi lebih lanjut dari pandangan ini adalah bahwa aturan

kenegaraan harus dijalankan menurut hukum-hukum Tuhan (syari‟ah). Ayat-

ayat al Qur‟an yang sering dikumandangkan sebagai legitimasi bagi

penerapan hukum Tuhan ini misalnya:

         


Artinya: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. al
Maidah: 44)37

Bagi kelompok ini, syari‟ah selalu dipahami sebagi totalitas yang par

exellent (kaffah kamilah) bagi tatanan kehidupan kemasyarakatan dan

kemanusiaan. Sementara negara berfungsi untuk menjalankan syari‟ah.

37
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al Qur‟an Depag RI, al Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang: al Waah, 1993, hlm. 167.
33

Karena legitimasi politik negara harus berdasarkan syari‟ah, maka sistem

kenegaraan menurut sistem ini bersifat teokratis.38

Pandangan ini kebanyakan dianut oleh kelompok Syi‟ah. Paradigma

pemikiran politik Syi‟ah memandang bahwa negara (istilah yang relevan

dangan hal ini adalah Imamah) atau kepemimpinan adalah lembaga

kenegaraan dan mempunyai fungsi keagamaan. Menurut Syi‟ah juga,

hubungan legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat

garis keturunan Nabi Muhammad, legitimasi garis berdasarkan pada hukum

Allah, dan hal ini hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi.39

Penyatuan agama dan negara, juga menjadi anutan kelompok

fundamentalis Islam yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai Islam yang

dianggapnya mendasar dan prinsipil. Paradigma fundamentalisme

menekankan totalitas Islam, yakni bahwa Islam meliputi seluruh aspek

kehidupan. 40 Tokoh kelompok ini yang menonjol adalah, al Maududi (1903-

1979 M.). Menurut al Maududi syari‟ah tidak mengenal pemisahan antara

agama dan negara. Syari‟ah adalah skema kehidupan yang sempurna dan

meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan. Sehingga menurutnya, Islam harus

dibangun di atas perundang-undangan syari‟ah yang dibawa Nabi dari Tuhan

dan harus diterapkan dalam kondisi apapun.41

38
Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, Yogyakarta: LKiS, Cet. Ke-1,
2000, hlm. 90.
39
Andito (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung:
Pustaka Hidayah, Cet. Ke-1, 1999, hlm. 47.
40
Ibid.
41
Ahmad Suaedy (ed.), op. cit., hlm. 91.
34

Syari‟ah inilah yang mengatur manusia, perilakunya dan hubungan-

hubungan satu sama lain di dalam segala aspek, baik bersifat individu,

keluarga, masyarakat, serta hubungannya dengan negara.42

Karena memandang wajib ditegakkannya hukum Allah, maka demi

tercapainya misi tersebut haruslah ditegakkan negara Islam. Dan dalam hal

ini, menurut al Maududi, harus didasarkan pada empat prinsip dasar, yaitu

mengakui kedaulatan Tuhan, menerima otoritas Nabi Muhammad, memiliki

status wakil Tuhan, dan menerapkan musyawarah.43

Demikian kentalnya ragam pemikiran tersebut dengan otoritas

kedaulatan Tuhan, serta menganggap ajaran Rosulullah sebagai agama yang

komprehensif, maka kemudian muncullah istilah al Islam huwa al-din wa al-

daulah dalam pelataran politik Islam. Dan sebagai komitmen logis dari

paradigma integralistik ini, negara Islam harus ditegakkan demi terlaksananya

hukum-hukum Allah dengan dipimpin seorang imam atau khalifah.

2. Paradigma Simbiotik

Konsep hubungan agama dan negara dalam pandangan ini terdapat

interaksi timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam hal ini, agama

memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang.44

Agama akan berjalan baik dengan melalui institusi negara, sementara pada

posisi lain negara juga tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama,

42
M. Yusuf Musa, Nidhamul Hukmi fil Islam, terj. M. Thalib, “Politik dan Negara dalam
Islam”, Kairo, cet. ke-2, 1963, hlm. 23.
43
Andito (ed.), op. cit.,
44
Abdul Mun‟im D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas, Cet. Ke-1,
2000, hlm. 8.
35

karena keterpisahan agama dari negara dapat menimbulkan kekacauan dan a-

moral.45

Ibnu Taimiyah (1263-1328 M.), mengatakan bahwa agama dan negara

benar-benar berkelindan; tanpa kekuasan negara yang bersifat memaksa

agama dalam keadaan bahaya. Dan negara tanpa disiplin hukum wahyu pasti

menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Ia juga mengatakan bahwa wilayah

organisasi politik bagi persoalan kahidupan sosial manusia merupakan

keperluan agama yang terpenting. Karena tanpanya, agama tidak akan tegak

kokoh.46 Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara agama

dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan

dan tidak dapat dipisahkan.

Pandangan simbiostik tentang agama dan negara ini juga dapat

dipahami dalam pemikiran al Mawardi (975-1059 M.). Dalam kitabnya Al

Ahkaam al sulthaniyyah wa al wilaayah al diiniyyah, ia menegaskan bahwa

kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan

misi kenabian guna memelihara agama dan pengaturan dunia. Pemeliharaan

agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda,

namun berhubungan secara simbiostik. Keduanya merupakan dua dimensi

dari misi kenabian. Ia memposisikan negara sebagai lembaga politik dengan

sanksi-sanksi kegamaan.47

45
Ahamad Suaedy (ed.), op. cit., hlm. 92.
46
Ahmad Syafi‟i Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin, Jakarta: Gema Insani Press, cet. ke-1, 1996, hlm. 180.
47
Imam al-Mawardi, Al Ahkam al Sulthaniyyah wa al wilaayah al Diiniyyah, terj. Abdul
Hayyie al Kattani dan Kamaluddin Nurdin “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam
Takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, cet. ke-1, 2000, hlm. 15.
36

Menurut al Mawardi dalam negara tersebut harus ada satu pemimpin

tunggal sebagai penganti Nabi untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama

dan memegang kendali politik, serta membuat kebijakan yang berdasarkan

syari‟at agama.48

Pemikir lain yang senada ialah al Ghozali (1058-1111 M.). Ia

mengisyaratkan hubungan pararel antara agama dan negara, seperti

dicontohkan pararelisme Nabi dan raja. Menurut al Ghozali, Jika Tuhan telah

mengirim nabi-nabi dan memberi wahyu pada mereka, maka Dia juga telah

mengirim raja-raja dan memberi mereka kakuatan Ilahi. Keduanya memiliki

tujuan yang sama: kemaslahatan kehidupan manusia.49

Pararelisme antara Nabi dengan raja menunjukkan adanya hubungan

simbiostik antara keduanya. Seorang raja atau pemimpin negara mempunyai

status yang tinggi dalam hubungannya dengan Nabi. Ini berarti bahwa

pemimpin negara mempunyai kedudukan yang strategis dalam menciptakan

nuansa kegamaan dalam lembaga negara.

Pandangan yang dianut oleh sebagian besar kaum Sunni ini

memperlihatkan secara jelas bahwa kekuasaan kepala negara adalah

pemberian dan berasal dari Tuhan. Kekuasaan otoritatif kepala negara ini

tidak hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan agama, melainkan juga

urusan keduniawian yang berdimensi politik.50

48
Ibid.,
49
Andito (ed.), op. cit., hlm. 48.
50
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, Cet. Ke-2, 1995, hlm. 10.
37

Jadi, pandangan simbiostik tetap memberi peluang bagi hak-hak

masyarakat, meskipun dibatasi dengan norma-norma agama. Perlu

dikemukakan bahwa hak-hak rakyat untuk menentukan kepala negara dalam

pandangan paradigma ini ditempuh melalui lembaga representasi yang

disebut ahl halli wal aqdi, dengan syarat-syarat tertentu yaitu adil, ahli ra‟yi

(ilmuwan) dan memiliki kualifikasi moral seorang pemimpin. Menurut al-

Mawardi juga harus memenuhi syarat khusus, misalnya; baik panca indra,

tiada cacat anggota tubuhnya, dan mempunyai buah pikiran yang bagus yang

mengembangkan rakyat.51

Paradigma ini telah menawarkan formalisasi Islam. Namun di

dalamnya terdapat nilai-nilai demokratis. Meskipun syari‟at agama harus

ditegakkan dalam sebuah negara, tetapi tidak membatasi secara mutlak

kepada masyarakat muslim untuk ikut andil dalam menentukan kondisi sosial

politik negara.

3. Paradigma Sekularistik

Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan

simbiostik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik

mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam,

paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam atau paling

tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.52 Menurut

paradigma ini Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.

Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan


51
Ahmad Shalaby, Studi Komprehensif Tentang Agama Islam, Surbaya: PT. Bina Ilmu,
Cet. Ke-1, 1988, hlm. 252.
52
Abdul Mun‟im DZ. (ed.), op. cit., hlm. 9.
38

bernegara pengaturannya diserahkan sepenuhnya kepada umat manusia.

Masing-masing entitas dari keduanya mempunyai garapan dalam bidangnya

sendiri. Sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama

lain melakukan intervensi.

Berdasarkan pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum

positif yang berlaku adalah hukum yang benar benar berasal dari kesepakatan

manusia malalui social contrac dan tidak ada kaitannya dengan hukum agama

(syari‟ah).53

Salah satu pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abdul Raziq (1888-

1966 M.), seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Pada tahun 1925, Ali

Abdul Raziq menerbitkan sebuah risalah yang berjudul al Islam wa Usul al

Ahkam. Dia menyatakan bahwa Islam tidak mempunyai kaitan apa pun

dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk kekhalifahan Khulafaur

Rasyidin, bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi

sebuah sistem yang duniawi.54

Dalam kaitan di atas, Ali Abdur Raziq bermaksud membedakan antara

agama dan politik. Dia memberikan alasan yang cukup panjang dari

perspektif teologis dan historis untuk membuktikan bahwa tindakan-tindakan

politik Nabi Muhammad seperti melakukan perang, tidak berhubungan dan

tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan Tuhan.55

53
Dede Rosyada, et al., op. cit., hlm. 63-64.
54
Ali Abdurraziq, Al Islam wa Usul al Ahkam, terj.Penerbit Jendela “Islam dan Dasar-
Dasar Pemerintahan”, Yogyakarta: Jendela, 2000, hlm. 50.
55
Ibid.,
39

Maka dari itu, menurut Ali Abdur Raziq, asumsi yang menyatakan

perlunya mendirikan negara dengan sitem, peraturan perundang-undangan

serta pemerintahan yang „Islami‟ adalah sesuatu yang keliru dan melenceng

jauh dari sejarah. Apa yang misalnya dikatakan sebagai sistem khilafah,

sistem ‟imamah‟ itu semua bukanlah keharusan bagi kaum muslimin untuk

mendirikannya, karena bukan bagian dari Islam.

Ia juga menyatakan bahwa Nabi tidak membangun negara ketika di

Madinah. Otoritas murni bersifat spiritual. Nabi Muhammad, menurutnya

semata-mata utusan Tuhan, bukan sebagai kepala negara. Walaupun dalam

realitasnya Nabi menjadi kepala negara di Madinah, semata-mata karena

tuntutan situasi yang wajar dan manusiawi saja.

Bagi Abdur Raziq, pembentukan negara tidak disarankan oleh agama

(syari‟at) melainkan berdasarkan pertimbangan akal umat. Pada Zaman Nabi

di Madinah, dilihat dari sudut apapun, menurutnya, bukanlah persatuan

politik. Di sana tidak terkandung makna daulah ataupun pemerintahan, tetapi

murni persatuan agama yang tidak dicampuri noda-noda politik. Persatuan

iman dan pandangan agama

Bukan persatuan daulah dan pandangan kekuasaan, semua ajaran yang

dibawa Islam menurutnya adalah murni aturan agama dan demi kemaslahatan

religius manusia semata. Karena memang nabi tidak pernah menyinggung

atau menyebutkan tentang ketatanegaraan. Sepanjang hayatnya ia tidak

pernah menyebut istilah daulah islamiyyah atau daulah „Arabiyyah.56

56
Ibid., hlm. 101.
40

Adapun indikasi pola pikiran dalam paradigma ini, bila dipahami dari

tesis Abdur Raziq ialah; Islam tidak mewajibkan kepada umat untuk

mengangkat imam atau pemimpin tertinggi yang mengatur kepentingan

mereka. Hal ini dikarenakan memang dalam al Qur‟an, hadits maupun ijma‟

tidak ada yang mengatakan hal tersebut, sebagai dalil dan landasan yang

jelas; Melaksanakan syi‟ar keagamaan, hukum-hukum syari‟at dan

kemaslahatan masyarakat, seluruhnya itu tidaklah tergantung pada ada atau

tidaknya imamah atau khalifah, tetapi bergantung pada wujudnya suatu

pemerintahan model apapun konstitusinya maupun sistemnya. Karena Islam

tidak dengan khusus menentukan bentuk tertentu dalam urusan

pemerintahan.57

Pandangan ini jelas kontroversi dengan kebanyakan ulama-ulama

yang ada. Sehingga tidak sedikit kritikan yang tertuju kepadanya dan

menunjukkan kelemahan-kelemahannya. Karena dalam kenyataan banyak

urusan agama keputusannya memerlukan campur tangan pemerintah (negara)

dan demikian pula sebaliknya.

Model teori politik Islam (integralistik) sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya, cenderung menekankan aspek legal dan formal ajaran Islam

sebagai konstitusi dalam negara. Sebaliknya model kedua dan ketiga lebih

menekankan substansi dari pada bentuk formal. Bahkan dalam paradigma

sekularistik, menolak secara tegas penerapan ajaran islam secara simbolis.

Karena sifatnya yang simbolis, maka kecenderungan ini mempunyai potensi

57
M.Yusuf Musa, op. cit., hlm. 101.
41

untuk berperan sebagi pendekatan yang dapat mengembangkan Islam dengan

sistem politik modern, dimana negara-bangsa merupakan salah satu unsur

utamanya.58

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya

tradisi pemikiran politik Islam itu kaya dan beraneka ragam. Sehingga

berbicara mengenai konsepsi tentang negara Islam tidak akan mudah diklaim

atas suatu konstruk tertentu. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya,

pandangan kelompok terakhir beranggapan bahwa Nabi tidak mencalonkan

atau pun menunjuk penggantinya, juga tidak menetapkan prosedur atau

kerangka untuk mengangkat atau menurunkan pengganti beliau. Demikian

pula selama periode empat khalifah khulafaur rasyidin, metode yang

berlainan telah dipergunakan dalam pengangkatan khalifah.

Sistem khalifah itu pun tidak bisa dipertahankan eksistensinya oleh

umat Islam. Pada tanggal 3 Maret 1924 sistem khalifah ini berakhir setelah

pembentukan negara nasionalis sekuler Republik Turki pada bulan Oktober

1923 oleh Mustafa Kemal Attaruq (1881-1938 M.). Sejak itu institusi

khalifah yang dipandang sebagai supremasi politik dan simbol kesatuan umat

Islam lenyap. Akhirnya, sampai masa sekarang umat Islam hidup di bawah

berbagai bentuk pemerintahan yang merdeka dan berdaulat.59

Dengan melihat realitas di atas menunjukkan bahwa di dalam ajaran

Islam tidaklah terdapat konsepsi tentang ketatanegaraan secara kongkrit.

Tidak adanya penjelasan tentang sistem pemerintahan baik di dalam al


58
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, Jakarta: Paramadina, cet. ke-1, 1998, hlm. 15.
59
J. Suyuti Pulungan, op. cit., hlm. 48.
42

Qur‟an maupun hadits nabi, serta berbedanya praktik dan metode

pemerintahan baik dalam pengangkatan, pergantian, maupun bentuk suatu

negara dari masing-masing khalifah terdahulu semakin memperjelas bahwa di

dalam Islam tidak terdapat konsepsi yang spesifik dan definitif tentang

negara.
BAB III

PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID TENTANG POLITIK ISLAM

A. Biografi Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur lahir di Mojoagung,

Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M (26 Muharram 1358 H). Ia adalah

seorang cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal dengan gagasannya

tentang pembaharuan Islam. Lahir di kalangan keluarga pesantren. Ayahnya

H. Abdul Madjid, seorang kiai jebolan pesantren Tebu Ireng, Jombang yang

juga merupakan salah satu murid kesayangan pendiri NU KH. Hasyim

Asy‟ari. Ibunya adalah anak dari Kiai Abdullah Sadjad yang juga teman baik

KH. Hasyim Asy‟ari.1

Pendidikan Cak Nur dimulai dari Sekolah Rakyat (SR), sekolah

resmi pertama yang didirikan pemerintah Indonesia, dan Madrasah Ibtidaiyah

(sore hari) yang didirikan oleh ayahnya. Setelah tamat SR pada tahun 1952 Ia

melanjutkan ke pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Di sini Cak Nur

hanya dapat bertahan selama dua tahun dengan menyelesaikan Ibtidaiyah dan

sedang melanjutkan Tsanawiyah. Selama dua tahun di pesantren ini, Cak Nur

merasa tidak kerasan karena dua alasan; pertama, karena alasan kesehatan,

kedua, karena alasan ideologi politik, sebab ayah Cak Nur meski orang NU

tetapi aktifis masyumi. Dengan menyitir pendapat fatwa KH. Hasyim Asy‟ari

sebagai ijtihad politik “Masyumi merupakan satu-satunya wadah aspirasi

1
Nur Khalid Ridwan, Pluralisme Borjuis; Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur,
Yogyakarta: Galang Press, 2002, hlm. 37-38.

43
44

umat Islam Indonesia”, sehingga meskipun saat itu NU sudah keluar dari

masyumi, ayah Cak Nur tetap mendukung kepentingan politik masyumi.

Akibatnya banyak teman santri di Darul Ulum yang meledeknya dengan

julukan “anak masyumi yang kesasar”. Akibatnya Ia tidak betah dan

kemudian pindah ke pesantren modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa

Timur.2

Di Pondok Gontor, Cak Nur menemukan suasana yang lain dari

sebelumnya, suasana lebih terbuka, liberal tidak tersekat oleh golongan

tertentu dan terikat dengan madzhab imam tertentu. Di Gontor, Cak Nur

selalu menunjukkan prestasi yang baik, sehingga dari kelas satu Ia bisa

langsung loncat naik ke kelas tiga. Karena prestasinya yang cukup baik,

ketika tamat pada tahun 1960 sang guru bermaksud mengirimnya ke

Universitas al Azhar Mesir. Namun rencana tersebut gagal akibat kesulitan

mendapat visa sebagai dampak dari kegoncangan yang sedang terjadi di

Mesir. Sebagai gantinya Cak Nur masuk ke Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.3

Pendidikan yang diperoleh Cak Nur di Gontor sangat berpengaruh

terhadap perkembangan intelektualnya, sehingga menghasilkan keluasan

wawasan yang dijadikan bekal saat pergi ke Jakarta. Di IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Cak Nur mengambil Fakultas Adab Jurusan Sejarah dan

Kebudayaan Islam. Untuk menambah wawasan kebahasaannya Ia mengikuti

kursus bahasa perancis dan beberapa bahasa lain, serta mulai menulis di
2
Ibid., hlm. 48.
3
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hlm.
iii.
45

beberapa media massa. Dunia tulis menulis dimulai ketika artikel berbahasa

arab tentang Fiqh Umar yang diterjemahkannya dimuat dalam majalah Gema

Islam, majalah milik Hamka. Sejak itu tulisannya banyak menghiasi majalah

Gema Islam. Cak Nur meraih gelar sarjana tahun 1968 dengan skripsi

berjudul Al-Qur‟an „Arabiyyun Lughatan wa „Alamaiyyun Ma‟nan (Al-

Qur‟an secara bahasa adalah arab, secara makna adalah universal).4

Setelah tamat dari IAIN Jakarta, Pada tahun 1978 atas prakarsa

Leonard Binder, Fazlur Rahman dan Ford Foundation, Ia mendapat

kesempatan studi lanjut di universitas Chicago, Amerika Serikat, sampai

meraih gelar doktor dalam bidang kalam dan filsafat dengan desertasi “Ibn

Taymiya on Kalam and Falasafah; a Problem of Reason and Revelation”

(Ibnu Taimiyyah dalam kalam dan filsafat; masalah akal dan wahyu dalam

Islam) pada tahun 1984.5

Kemudian pada tanggal 10 Agustus 1998, tepatnya ketika iklim

politik Indonesia sedang menghangat disebabkan gerakan reformasi yang

digerakkan oleh para mahasiswa dan kalangan perguruan tinggi termasuk Cak

Nur sendiri terlibat didalamnya. Ketika itulah Ia dikukuhkan sebagai guru

besar luar biasa dalam bidang ilmu filsafat Islam di IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, judul pidatonya; “Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi

Bumi”.

Cak Nur selama menjadi mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Islam

4
Nur Khalid Ridwan, op. cit, hlm. 55.
5
Ibid., hlm. 60.
46

(HMI). Puncaknya menjadi ketua umum PBHMI (1966-1969 dan 1969-

1971). Sedangkan di organisasi luar, Ia menjadi Presiden Persatuan

Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969, asisten Sekjen IIFSO

(International Islamic Federation of Students Organization/ Federasi

Organisasi-Organisasi Mahasiswa Islam Internasional) 1968-1971.6 Selama

aktif HMI, Ia banyak mengembangkan pandangan tentang jawaban Islam

terhadap masalah modernisasi yang dinilai sebagai pandangan seorang

muslim yang idealis, yang setelah disempurnakan oleh Endang Saifudin

Anshori dan Sakip Muhammad, menjadi dokumen resmi HMI yang berjudul

Nilai-nilai Perjuangan HMI. Karena pandangan inilah yang menyebabkan Ia

dijuluki “Natsir Muda”.

Cak Nur pernah menjadi Peneliti Lembaga Penelitian Ekonomi dan

Sosial (LEKNAS-LIPI) Jakarta (1978-1984), Peneliti Senior Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta (mulai tahun 1984), Dosen Fakultas

Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta (mulai tahun 1985), Anggota MPR-RI (1987-1992 dan 1992-1997),

Anggota Dewan Pers Nasional (1990-1998), Anggota KOMNAS HAM

(mulai tahun 1993), Profesor Tamu McGill University Montreal Canada

(1991-1992), Wakil Ketua Dewan Penasehat ICMI (1990-1995), Anggota

Dewan Penasehat ICM (1996), pendiri dan ketua Yayasan Paramadina, juga

sebagai Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta. Disinilah dimulai

kajian-kajian Islam secara intensif, dengan menggunakan beberapa

6
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan..., op. cit.
47

pendekatan yang menonjol, diantaranya; pendekatan filosofis, empiris-

sosiologis dan spiritual.7 Dan inilah yang akhirnya menjadi studi di

Paramadina dengan sistem ke-Islam-an yang menumbuhkan prinsip-prinsip

pluralisme, toleransi, keadilan keterbukaan dan demokrasi.

B. Corak Pemikiran dan Karya-Karya

Selain pengaruh lingkungan keluarga, pendidikan di Gontor dan

pendidikan dari Amerika, ada sedikitnya tiga hal penting yang mempengaruhi

pemikiran Cak Nur; pertama, faktor sosial keagamaan yakni semakin

transparannya disintegrasi keagamaan dan pertikaian intern umat Islam yang

dikarenakan tidak adanya satu otoritas kepemimpinan. Kedua, faktor

kehidupan politik yang mengenal tiga tahap utama proses perkembangan

Indonesia, ketiga tahap itu yakni tahap orde baru, orde lama dan orde

reformasi. Pada orde lama dan orde baru iklim perpolitikan negara

memandang sinis terhadap aktivitas umat Islam. Ketiga, faktor ekonomi,

realitas menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, akan

tetapi umat Islam-lah yang paling miskin dan terbelakang, ditambah

hegemoni perputaran ekonomi yang dikuasai oleh sekelompok golongan yang

dekat dengan kekuasaan.8

Beberapa hal yang disampaikan di atas merupakan faktor-faktor

yang mempengaruhi corak pemikiran Cak Nur, tapi lebih lanjut menurut

Azumardi Azra, Cak Nur merupakan sosok pemikir yang sulit untuk

7
Nurcholish Madjid, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1,
1997, hlm. xii-xiii.
8
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun; Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Cak Nur,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 2001, hlm. 25-26.
48

“dikotakkan” dalam satu tipologi yang mutlak, Ia terlalu sulit untuk dikaitkan

pada satu sumber atau faktor, boleh saja dipengaruhi Fazlur Rahman atau

Ibnu Taimiyyah, pada saat yang sama Ia juga bisa berbeda dengan mereka

secara sangat kreatif dan imajinatif. Inilah yang memungkinkan adanya

perbedaan dalam menentukan tipologinya.9

Menurut Sufyanto tipologi pemikiran Cak Nur sebelum tahun 1970

metode yang digunakan adalah bercirikan idealistik, Sedangkan setelah tahun

1970 metode yang digunakan bercirikan realistic, Ini dapat dilihat

sebagaimana sebelumnya Nurchlish Madjid sebagai aktivis HMI dikenal

sebagai “Natsir Muda”, tetapi ide pembaharuannya tentang perlunya wajah

sekularisme di Indonesia dengan metode shock therapi-nya, yang kemudian

Ia di pandang sebagai seorang yang realistik.10

Dalam perjalanan selanjutnya Cak Nur dikategorikan oleh M Syafi‟i

Anwar sebagai seorang yang substantivistik yakni refleksinya adalah

melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik

yang menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam (Islamic

injunctions) dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam penampilan, tetapi juga

dalam format pemikiran dan kelembagaan politik mereka. Perlu diperjelas

bahwa setiap kali Cak Nur melontarkan pemikiran-pemikirannya pastilah

tidak akan pernah lepas dari masalah-masalah politik, inilah yang menjadi ciri

9
Azumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani; Gagasan, Fakta Dan Tantangan, Badung:
PT. Rosdakarya, cet. ke-1, 1999, hlm. 159.
10
Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama Dan Krisis Modernisme,
Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1, 1998, hlm. 18.
49

khas (manhaj fikr) Cak Nur dalam setiap gagasannya sebagai seorang tokoh

pemikiran dan pengamat politik.11

Cak Nur merupakan penulis yang produktif, Ia banyak menulis

artikel maupun essay, dan sebagian sudah dibukukan. Sebagian karya-

karyanya yang telah dibukukan antara lain:

1. The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant


point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture
(Athens, Ohio, Ohio University, 1978) “Issue tentang modernisasi di
antara Muslim di Indonesia, titik pandang seorang peserta dalam Gloria
Davies, ed. Apakah kebudayaan Indonesia Modern (Athens, Ohio,
Universitas Ohio, 1978)”.
2. Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities, in Cyriac K. Pullabilly,
ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
“Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang, dalam Cyriac K. Pullapilly,
ed. Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads,
1982)”.
3. Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam), (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986).
4. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and
Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1987, 1988).
5. Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations),
(Jakarta: Paramadina, 1992).
6. Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan (Islam, Populism and
Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1993).
7. Pintu-pintu Menuju Tuhan (Gates to God) (Jakarta: Paramadina, 1994).
8. Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta:
Paramadina, 1995).
9. Islam, Agama Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta:
Paramadina, 1995).
10. “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian
Experiences.” In Mark Woodward ed. Toward a new Paradigm, Recent
Developments in Indonesian Islamic Thoughts (Teme, Arizona: Arizona
State University, 1996) “Pencarian akar-akar Islam bagi pluralisme
Modern: Pengalaman Indonesia”, dalam Mark Woodward ed, menuju
suatu dalam paradigma baru, Perkembangan terkini dalam pemikiran Islam
Indonesia (Teme, Arizona: Universitas Arizona, 1996).
11. Dialog Keterbukaan (Dialogues of Openness), (Jakarta, Paramadina,
1997).

11
Syafi‟i Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1, 1995, hlm. 155-184.
50

12. Cendekiawan dan Religius Masyarakat (Intellectuals and Community‟s


Religiously), (Jakarta: Paramadina, 1999).

C. Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Politik Islam

Pemikiran-pemikiran Cak Nur, seringkali melingkupi dua tema

sekaligus, yaitu menyangkut persoalan agama dan negara. Dalam cakupan

negara Cak Nur seringkali mencoba mengumpulkan beberapa pikiran tercecer

yang seringkali diabaikan para politisi. Politik Islam adalah satu di antaranya,

yang merupakan sikap kritis Cak Nur sebagai intelektual yang gandrung akan

perlunya menggairahkan proses demokrasi bergerak di sekitar kita. Proses

demokrasi yang dimaksudkan adalah jika ia mampu membuka dinamika

pengawasan dan pengimbangan (check and balance) masyarakat.12

Cak Nur dengan pikiran jernih menjelaskan hubungan tak langsung

antara agama dan negara, yaitu pada level pemikiran politik. Agama memberi

dukungan keabsahan nilai-nilai politik yang membawa kepada kemaslahatan

bersama. Karena sifat negara seharusnya netral-agama, maka bahasa-bahasa

politik itu pun harus bersifat umum. Cak Nur mengklasifikasikan pemikiran

politik tersebut dalam beberapa tema pemikiran yaitu demokrasi, keadilan dan

keterbukaan.13

1. Pemikiran Tentang Demokrasi

Salah satu pemikiran Cak Nur adalah menyoroti tentang

persoalan demokratisasi di Indonesia. Demokrasi yang dimaksudkan

12
Edy A. Effendi, Dialog dan wacana keterbukaan, pengantar dalam Nurcholish Madjid,
Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta:
Paramadina, Cet. ke-1, 1998, hlm. xvi.
13
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Refoemasi, Jakarta: Paramadina, 1999,
hlm. xiv.
51

adalah jika ia membuka dinamika pengawasan dan pengimbangan (check

and balance) masyarakat. Demokrasi yang dirumuskan “sekali untuk

selamanya” sehingga tidak memberi ruang bagi adanya perkembangan

dan perubahan sesungguhnya adalah bukan demokrasi, melainkan

kediktatoran. Dalam alur demokrasi yang disampaikan Cak Nur terasa

perlunya partisipasi politik yang luas dan otonom dari masyarakat. 14

Di bawah ini akan diuraikan beberapa tema pemikiran Cak Nur

yang berkaitan dengan persoalan demokratisasi di Indonesia, antara lain:

a. Oposisi

Pada dasarnya orang tidak bisa mengembangkan demokrasi,

kalau tidak terbiasa berfikir alternatif, karena itu akan berkaitan

dengan kesediaan untuk berbeda pendapat, mendengarkan pendapat

orang lain, dan menyatakan pikiran. Untuk itu salah satu lembaga

yang diperlukan adalah lembaga oposisi. Yang sebetulnya hanyalah

kelembagaan dari suatu kecenderungan yang selalu ada dalam

masyarakat, yaitu adanya sekelompok orang yang tidak setuju kepada

hal yang sudah mapan.15

Oposisi menurut Cak Nur tidak perlu dipahami sebagai sikap

menentang (to oppose memang berarti menentang), sebab dalam

oposisi ada pula segi to support-nya, sehingga dalam konteks politik

oposisi lebih merupakan kekuatan penyeimbang, suatu check and

balance yang bisa membuat perasaan-perasaan tersumbat tersalurkan.


14
Edy A. Effendi, op. cit.
15
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1, 1998, hlm.72.
52

Pada dasarnya, perlunya oposisi bisa dimulai dengan suatu

postulat yang sederhana sekali, yaitu bahwa masalah sosial dan politik

tidak bisa dipertaruhkan dengan itikad baik, betapapun klaim orang itu

mempunyai itikad baik, sebab yang dipertaruhkan adalah kehidupan

orang banyak. Dan kalau sesuatu itu sudah bersifat sosial yang

menyangkut orang banyak, maka itu harus dipersepsi, dipahami, dan

di pandang sebagai persoalan yang terbuka, dimana partisipasi

menjadi suatu bentuk keharusan. Salah satu bentuk partisipasi adalah

oposisi, yakni suatu kegiatan sosial-politik yang mengingatkan, jangan

sampai kita menjadi korban yang fatal untuk suatu kenyataan yang

sederhana; bahwa manusia itu bisa selalu salah.

Ditambahkan oleh Cak Nur oposisi itu juga bersifat

kekeluargaan, tetapi tidak berarti dalam keluarga itu tidak saling

mengingatkan, ingat mengingatkan adalah bentuk sederhana dari

check and balance. Sehingga oposisi tidak bertentangan dengan asas

musyawarah-mufakat.16

b. Prinsip Musyawarah

Pada dasarnya prinsip musyawarah tidak akan berjalan

produktif tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, yang dalam

tatanan modern kehidupan bermasyarakat dan bernegara

dilembagakan antara lain dalam kebebasan akademik dan kebebasan

pers, tapi prinsip musyawarah itu juga akan di rusak oleh sikap-sikap

16
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan..., op. cit., hlm. 27.
53

absolutistic dan keinginan mendominasi wacana karena tidak adanya

perasaan cukup rendah hati untuk melihat kemungkinan orang lain

berada di pihak yang lebih baik atau lebih benar. Musyawarah yang

benar adalah musyawarah yang terjadi atas dasar kebebasan dan

tanggungjawab kemanusiaan: dasar tatanan masyarakat dan negara

demokratis.

Oleh karena itu pula demokrasi dengan musyawarah yang

benar sebagai landasannya itu tidak akan terwujud tanpa pandangan

persamaan manusia atau egalitarianisme yang kuat dan akan kandas

oleh adanya stratifikasi sosial yang kaku dan a priori dalam sistem-

sistem paternalistik dan feodalistik.

c. Pluralisme

Pluralisme menjadi tema penting yang banyak mendapat

sorotan dari sejumlah cendekiawan muslim, termasuk Cak Nur.

Karena dilihat dari segi geografis, Indonesia adalah negara kepulauan.

Di samping itu secara sosial, Indonesia terdiri dari beragam suku,

bahasa, dan adat istiadat yang menunjukkan tingkat kemajemukan

yang sangat tinggi. Di sisi lain, kebudayaan Indonesia tidak dapat

dilepaskan dari sentuhan pengaruh kepercayaan dan agama-agama

yang berkembang didalamnya. sehingga diperlukan kedewasaan

politik, kesanggupan menerima perbedaan, dan menyelesaikan

perbedaan tersebut dalam batas-batas keadaban politik, karena semua

ini merupakan hal yang penting bagi demokrasi.


54

Menurut Cak Nur, pluralisme haruslah dipahami sebagai

pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine

engagement of diversities within the bonds of civility). Artinya

pluralisme adalah suatu tatanan masyarakat di mana kita harus

bersedia untuk terlibat dalam keanekaragaman dan menyelesaikan

persoalan dengan suatu keadaban.17

d. Kedaulatan Rakyat

Kedaulatan rakyat adalah inti dari partisipasi umum rakyat

dalam kehidupan bernegara. Adanya kesempatan melakukan

partisipasi umum secara efektif adalah wujud sebenarnya dari

kebebasan dan kemerdekaan. Oleh karena itu, seluruh cita-cita

kemasyarakatan dan kenegaraan sebagaimana dinyatakan dalam nilai-

nilai kesepakatan luhur dalam muqoddimah UUD 1945, akan sirna tak

bermakna tanpa adanya partisipasi umum rakyat. Bahkan kedaulatan

negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain pun adalah

kelanjutan kedaulatan rakyat. Hal ini terbukti dengan nyata sekali

dalam saat-saat kritis negara menghadapi ancaman.18

2. Pemikiran Tentang Keadilan

Pada prinsipnya semua manusia ingin diperlakukan secara adil,

baik bidang hukum, politik maupun ekonomi. Di negara kita Indonesia,

kalau kita mau melihat ke belakang persoalan ketidakadilan inilah yang

17
Ibid., hlm. 172.
18
Ibid., hlm. 191.
55

seringkali menjadi penyebab terjadinya konflik dan pertikaian dalam

masyarakat bangsa Indonesia.

Di bawah ini akan diuraikan beberapa tema pemikiran Cak Nur

yang berkaitan dengan persoalan keadilan, antara lain:

a. Keadilan sosial

Kedaulatan ekonomi adalah kedaulatan yang diharapkan lahir

dari adanya keadilan sosial, yang merupakan tujuan sebenarnya kita

dalam bernegara, sebab dengan adanya keadilan sosial akan tumbuh

rasa ikut punya dan rasa ikut serta oleh semua. Komitmen kepada usaha

untuk mewujudkan keadilan sosial, dengan ketegasan memperhatikan

kepentingan hidup rakyat secara nyata. Pelajaran paling pahit dari

pengalaman kita bernegara masa-masa terakhir ini muncul karena

diabaikannya nilai keadilan sosial, dibiarkannya praktek-praktek

kezaliman sosial berjalan dengan bebas dan merajalela.19

Demi itu semua, pembangunan ekonomi harus diubah dari pola

dan orientasi yang terlalu lebar membuka kerawanan terhadap

kedaulatan rakyat, menjadi pola dan orientasi ekonomi rakyat patriotik.

Ketangguhan ekonomi rakyat itu akan terwujud apabila kita mampu

secara mandiri mengolah kekayaan alam kita, dengan tingkat kreatifitas

setinggi-tingginya. Kemandirian ekonomi nasional diwujudkan dengan

handalan ekonomi pertanian rakyat yang maju dan modern, dan dengan

basis industri rakyat. Dalam sistem ekonomi global -suatu hal yang

19
Ibid., hlm. 192.
56

tidak dapat dihindari- hanya dengan ketangguhan ekonomi nasional itu

kita akan mampu bersaing secara sehat, dengan hasil akhir kemenangan

untuk semua, tanpa merugikan pihak manapun juga. Dan ketangguhan

ekonomi nasional itu pula, kita akan lebih terlindung dari unsur

destruktif keserakahan para petualang ekonomi internasional.20

b. Ketaatan hukum

Komitmen pribadi kepada nilai-nilai hidup yang luhur tidak

akan bermakna apa-apa jika tidak diwujudkan secara nyata dalam

tindakan sehari-hari. Komitmen pribadi kepada nilai-nilai luhur dapat

diwujudkan dalam bentuk ketaatan pribadi kepada aturan hukum yang

berlaku. Semua anggota masyarakat harus tunduk dan patuh kepada

hukum dengan sikap teguh, konsekuen, berdisiplin dan penuh

kesabaran dan ketabahan. Sekali suatu ketentuan aturan atau hukum di

tawar untuk dilanggar, maka prinsip rule of law sudah dirusak,

betapapun kecilnya ketentuan aturan yang di langgar itu, biarpun

misalnya “sekedar” ketentuan harus berhenti pada lampu merah di

jalan.21

c. Pemberantasan korupsi

Gunnar Midral, seorang ahli ekonomi Swedia pemenang

hadiah Nobel –sebagaimana dikutip Cak Nur- memasukkan Indonesia

ke dalam kelompok negara berkembang, sebagai kelompok “negara-

negara lunak”. Yang di maksud dengan “lunak” ialah tidak adanya

20
Ibid., hlm. 193.
21
Ibid., hlm. 189.
57

disiplin sosial, dan menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan

pribadi oleh orang-orang yang mempunyai kekuatan ekonomi, sosial

dan politik. Kesempatan penyalahgunaan dalam ukuran besar itu

terbuka untuk kelas atas, tetapi orang-orang dari kelas bawah pun sering

mendapat kesempatan untuk keuntungan-keuntungan kecil, dan ini

disebut sebagai gejala korupsi.22

Korupsi adalah suatu sistem politik, yang bisa diarahkan oleh

mereka yang berkuasa dengan tingkat ketepatan yang bisa ditenggang.

Efek paling buruk meningkatnya korupsi ialah menyebarnya sikap sinis

dalam kalangan masyarakat luas serta turunnya kemauan untuk

bertahan melawan godaan menerima suap pada semua lapisan birokrasi.

Korupsi juga mengintroduksi elemen tak rasional dalam perencanaan

dan pelaksanaan rencana (misalnya pembangunan) dengan

menyimpangkan rencana itu.23

Karena sudah sedemikian kompleksnya kenyataan tentang

korupsi, dan sedemikian rusaknya dampak-dampak yang dihasilkannya,

maka tidak ada jalan bagi usaha memberantas korupsi selain dari pada

kemauan politik yang kuat dan keteladanan pemimpin. Kemauan politik

yang kuat dan keteladanan pemimpin itu harus sejalan seiring dan

bersama-sama.24

22
Ibid., hlm. 199.
23
Ibid., hlm. 200.
24
Ibid., hlm. 201.
58

3. Pemikiran Tentang Keterbukaan

Suatu hal yang patut kita terima dengan penuh syukur kepada

Tuhan ialah kesepakatan bahwa pancasila adalah sebuah idiologi terbuka.

Pancasila merupakan idiologi modern, yang diwujudkan dalam zaman

yang modern dan ditampilkan oleh seorang atau sekelompok orang

dengan wawasan modern yaitu bapak pendiri republik Indonesia, dan

dimaksudkan untuk memberi landasan filosofi bersama sebuah

masyarakat plural yang modern, yaitu masyarakat Indonesia. Karena

sebagai produk pikiran modern, pancasila merupakan sebuah idiologi

yang dinamis, karena watak dinamis tersebut membuat Pancasila

dipahami dan di pandang sebagai idiologi terbuka. Oleh karena itu tidak

mungkin ia dibiarkan mendapat tafsiran sekali jadi untuk selama-

lamanya (one of all), pancasila juga tidak mengijinkan adanya badan

tunggal yang memonopoli hak untuk menafsirkannya.25

Menurut Cak Nur, masyarakat dengan keanekaragamannya harus

diberi kebebasan mengambil bagian aktif dalam usaha-usaha

menjabarkan nilai-nilai idiologi nasional dan mengaktualkannya dalam

kehidupan masyarakat. Setiap usaha yang menghalanginya akan menjadi

sumber malapetaka, tidak saja bagi negara dan masyarakat Indonesia

sebagai masyarakat majemuk tetapi juga bagi idiologi nasional itu sendiri

sebagai titik tolak pengembangan pola hidup bersama. Jadi pancasila

25
Ibid., hlm. 193.
59

harus menjadi idiologi terbuka, sesuai dengan rancangannya sebagai

landasan kehidupan sosial-politik yang plural dan modern.26

Dibawah ini akan di uraikan beberapa tema pemikiran Cak Nur

yang berkaitan dengan persoalan keterbukaan, antara lain:

a. Pandangan Sosial Politik

Inti dari gerakan reformasi adalah kritik terhadap bentuk

keadaan yang sedang berlaku, dan usaha untuk mendapatkan bentuk

keadaan yang lebih baik. Karena logika itu maka suatu reformasi tidak

mungkin dimulai dari nol atau ketiadaan, betapapun radikal dan

fundamentalnya perbaikan yang diusahakan. Gerakan reformasi harus

di pandang sebagai kelanjutan wajar dan alamiah dari tingkat

kemajemukan masyarakat dan dinamika perkembangannya.27 Menurut

Nurcholish Madjid, pandangan sosial politik ini absah belaka,

sepanjang tidak secara kategoris melawan dan menghalangi semangat

titik temu kebaikan bersama antara semua golongan tanpa diskriminasi

atau pembedaan satu dari yang lain.28

b. Prinsip Bimbingan Hidup

Prinsip bimbingan hidup yang diperlukan oleh sebuah

masyarakat bebas dan merdeka ialah kesetiaan kepada hati nurani.

Karena suara hati nurani selamanya bersifat individual, maka kesetiaan

kepada hati nurani melibatkan perlindungan kepada kebebasan hati

nurani (freedom of conscience). Dalam urutannya, kebebasan hati


26
Ibid., hlm. 194.
27
Ibid., hlm. 183.
28
Ibid., hlm. 184.
60

nurani mengambil bentuk nyata dalam kebebasan beragama. Sebab

dengan ajaran agama, melalui keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan

Yang Maha Esa, kesucian hati nurani dikukuhkan.29

Setiap jiwa manusia pada hakekatnya memiliki sifat, kebaikan

dan kebenaran sebelum terbukti adalah sebaliknya. Penyimpangan dari

fitrah harus di pandang sebagai faktor pengaruh negatif dari luar

dirinya, yang sempat merusak fitrah itu akibat kelemahan

kemakhlukannya. Karena faktor fitrah itu, maka setiap orang harus di

jamin haknya untuk menyatakan pendapat. Tapi karena unsur

kelemahan kemakhlukannya itu, maka setiap orang dituntut untuk

cukup merasa rendah hati agar melihat kemungkinan dirinya salah, dan

agar bersedia mendengarkan dan memperhatikan pendapat orang lain.

Interaksi positif dalam semangat optimisme kemanusiaan antara hak

diri pribadi untuk menyatakan pendapat dan kerendahan hati

mendengarkan pendapat orang lain itu melahirkan ajaran dasar

musyawarah.30

Dalam cara berpolitik, Cak Nur mengatakan bahwa orientasi

keislaman yang kuat selalu dikaitkan dengan oposisi terhadap

pemerintah. Menurutnya, hal ini disebabkan islam memainkan suatu

peranan konsisten sebagai sebuah ideologi (rallying ideology) terhadap

kolonialisme. peranan ini menghasilkan kemerdekaan nasional. karena

kaum muslim mengemukakan gagasan politik yang tidak sesuai dan tidak

29
Ibid., hlm. 185.
30
Ibid., hlm. 186.
61

sebangun dengan tuntunan praktis era sekarang, sehingga tumbuhlah

prasangka politik yang berorientasi islam dengan pemerintah yang

berorientasi nasional.

Nurcholis Madjid juga mengutip pendapat Marshall G.S.

Hodgson tentang praktik politik orang muslim, Hodgson mengungkapkan

bahwa sebenarnya perhatian terlalu cepat para pemodern bersifat politis

jika sesuatu yang khas Muslim dimaksudkan sebagai daya pendorong

pertahanan dan perubahan social, maka Islam tentu berorientasi politis

dan sosial. Maka mereka yang syariat yang peduli sejarah dan tatanan

social seperti itu. Memang mereka yang hadis yang paling tegar

mengkritik status quo, seperti para pembahru semisal kaum Hanabilah.

terlebih lagi, sisi Islam yang paling tampak konsisten dengan masyarakat

modern yaitu yang paling mencerminkan cosmopolitanisme merkantil,

individualistis, dan pragmatis, bertentangan dengan norma norma

aristokratik tatanan msyarakat agraris. pramodern telah dibawa ulama

syar‟i. Sebaliknya kaum Islam sufi yang menekan dimensi batiniah

keimanan yang lebih memperhatikan hubungan antar pribadi, telah

memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam lembaga-lembaga

sosial pada masa masa pramodern, dan sekarang cenderung secara politis

bersifat konservatif.31

Nurcholis Madjid juga menolak konsep Negara Islam, hal itu

dipertegasnya dalam ceramah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki

31
Nurchalis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan Pustaka, 2008,
hlm. 31.
62

yang kedua tahun 1972, yang mana sebagian isi ceramah itu sebenarnya

merupakan pemikirannya terhadap epistimologi Islam, khususnya

menyangkut dua pendekatan, yaitu pendekatan imani yang menyangkut

masalah-masalah keagamaan yang ukhrawi dan pendekatan ilmiah ynag

meliputi masalah-masalah keduniaan, baik tentang alam materi maupun

sosial. Pendekatan imani menghasilkan ibadah kepada Allah yang akan

berdampak pada penyempurnaan budi luhur manusia. Sementara

pendekatan ilmiah harus bersifat rasional empiris yang mengahsilkan

konsep amal-amal sholeh.

Cak Nur juga mengkritik konsep Negara Islam yang

dianggapnya sebagai sebuah apologia saja. menurutnya ada sebab

mengapa umat Islam bersiakap apologi terhadap pemikiran-pemikiran

mereka. Pertama, sikap defensive mereka terhadap serbuan ideologi-

ideologi barat (modern), seperti demokrasi, sosialisme dan sebagainya

yang bersifat totaliter. Umat Islam menjawab serbuan itu dengan kosep al

din yang mencakup kesatuan agama dan Negara, namun tidak didasarkan

kepada kajian ilmiah, hanya merupakan apologia ilusif saja. kedua,

paham legalisme yang yang hanya dihasilkan oleh tuntunan pendekatan

fiqh, sehingga Negara dinilai sebagai susunan hukum yang disebut

syariat. Menurutnya, kajian kajian fiqh di zaman modern telah

kehilangan relevansinya terhadap persoalan-persoalan masyarakat yang

senantiasa berubah.
63

Negara misalnya, adalah suatu gejala yang berdimensi nasional

objektif, sedangkan agama berdimensi spiritual yang bersifat pribadi,

keduanya memang saling berkaitan, namun tetap dibedakan. jika Negara

ikut mengatur masalah agama dan kepercayaan, maka hal ini tidak sesuai

dengan ajaran Islam sendiri yang tidak mengenal otoritas keagamaan (la

rahbaniyyah fi al Islam) tidak ada otoritas kependetaan atau otoritas

ulama dalam Islam.32

Dalam masalah kepemimpinan menurut Islam, Nurcholis

Madjid juga mengatakan bahwa kerja sama yang harmonis antara

masyarakat dan pemimpin merupakan suatu keharusan, sebab pada diri

manusia juga terdapat kekuatan dan kelemahan sekaligus. Kekuatan

diperoleh karena hakikat kesucian asalnya berada dalam fitrah, yang

membuatnya senantiasa berpotensi untuk benar dan baik. Adapun

kelemahannya diakibatkan oleh kenyataan bahwa manusia diciptakan

Tuhan sebagai makhluk yang lemah, pendek pikiran dan sempit

pandangan serta mudah mengeluh. Manusia dapat meningkatkan

kekuatannya dalam kerja sama, dan dapat memperkecil kelemahannya

juga melalui kerja sama.

Cak Nur juga menyebutkan dalam konteks kekinian, syarat

pokok bagi pemimpin adalah harus mampu mengembangkan tradisi

dialog dua arah, tidak menggurui dan juga tidak provokatif, maka

suasana keterbuakaan akan menjadi sebuah keniscayaan. Cak Nur

32
M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Berkebangsaan,
Jakarta: Kencana Media, 2010, hlm. 47.
64

membandingkan model kepemimpinan orde lama dengan zaman

reformasi, Cak Nur menyebutkan bahwa konsep kepemimpinan orde

lama yang cenderung dictator seperti halnya orde baru sudah tidak layak

lagi digunakan di zaman sekarang maupun di masa yang akan datang.33

Dalam pemikirannya tentang politik Islam, Cak Nur

menyebutkan ada tiga pokok permasalahan yang harus dihadapi oleh

umat Islam, yaitu:

1. Perlunya cara pemahaman yang lebih maju terhadap ajaran islam

dengan cara tidak terjebak dalam paham tradisonalisasi islam, yakni

dengan konsep sekularisasi yang menurut beliau tidak menjurus ke

konsep sekularime.

2. Perlunya cara berpikir yang lebih bebas, sehingga umat islam tidak

lagi terkungkung dalam kekangan doktrin yang membatasi umat

islam mengembangkan wawasan mereka dalam bidang politik.

3. Perlunya idea of progress dan sikap yang lebih terbuka erhadap umat

lain.

Ia mengatakan bahwa muatan ideologis pada Islam hendaknya

dibuang, dengan demikian, Islam sebagai al din tidak akan mengalami

reduksi maknanya. menurut Nurchalis Madjid, Islam harus didefinisikan

lebih inklusif- yang mencakup siapa saja dalam sistem keimanannya,

termasuk muslim.

33
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Politik; Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholis Madjid, Jakarta: Rajawali Press, 2004, hlm. 63.
65

Menurut Nurcholish Madjid, agama bernilai mutlak, tidak

berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, dapat

berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Agama

merupakan sesuatu yang primer, sementara budaya menggambarkan

yang sekunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan,

karena itu sub-ordinate terhadap agama, namun tidak pernah terjadi

sebaliknya, yaitu agama berdasarkan budaya. Maka, agama adalah

absolut, berlaku untuk setiap ruang dan waktu, dan budaya adalah relatif,

terbatasi oleh ruang dan waktu.34 Persoalannya buka terletak perkara

apakah suatu hasil dialog antara keuniversalan Islam dengan kekhasan

suatu kawasan dan zaman itu absah atau tidak, melainkan setiap hasil

dialog kultural dari kedua aspek: universal-partikular ataukulli-juz‟i,

tidak absah, tetapi juga merupakan kreativitas kultural yang berharga.

Dengan kreativitas itulah suatu sistem ajaran universal seperti agama

menemukan relevansinya dengan tuntutan khusus yang nyata para

pemeluknya, menurut ruang dan waktu, serta dengan begitu menemukan

dinamika dan vitalitasnya.35

Nilai keberlakuan sebuah manifestasi atau ekspresi keagamaan

tidaklah mutlak, tetapi diletakkan seberapa kuat relevansinya dengan

tuntutan zaman dan tempat. Karena itu, dimungkinkan upaya

meningkatkan atau mengubahnya atau menggantikannya sama sekali,

dalam semangat kesadaran dan kenisbian spasial dan temporalnya ruang

34
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 45.
35
Ibid., hlm. 39
66

dan waktu. Ini menggambarkan apa yang disebut Nurcholish Madjid

sebagai adanya suatu kontinuitas dan kezamanan (al Shalah wa al

mu‟asharah), sekaligus tuntutan untuk senantiasa belajar dari masa lalu

dalam rangka mempertahankan mana saja unsur-unsur positif dan

membuang unsur-unsur negatif, kemudian menggunakannya untuk

meningkatkan kecakapan mengambil apa saja unsur-unsur yang lebih

baik dari masa kini dan masa depan yang diperkirakan. Dengan begitu,

suatu pandangan memiliki tidak saja keabsahan yang diperlukan sebagai

sumber dinamika pengembangannya tapi juga keterkaitan dengan

tuntutan nyata menurut perkembangan zaman. Dan hanya dengan begitu

Nurcholish Madjid, mengklaim tentang suatu sistem ajaran seperti Islam

sebagai rahmatan lil „alamin dan cocok untuk segala zaman dan tempat

(shahih li kulli zaman wa makan).36

36
Ibid., hlm. 41.
BAB IV

ANALISIS PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID

TENTANG POLITIK ISLAM

A. Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Politik Islam

Syariah Islam pada dasarnya merupakan syariah yang universal,

berlaku tanpa dibatasi oleh batas teritorial seperti negara dan kerajaan. syariah

juga tidak ditujukan untuk sekelompok ras dan bangsa tertentu. Karena Islam

bersifat universal maka hukum-hukum Islam bersifat applicable di setiap

negara di dunia, namun demikian, dalam realitanya tidak semua negara di

dunia menerapkan hukum Islam.

Usaha pencarian konsep tentang negara merupakan salah satu isu

sentral dalam sejarah pemikiran politik. Tak terkecuali pemikiran politik

Islam. Pemikiran politik Islam sesungguhnya merefleksikan upaya pencarian

landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara atau pemerintah sebagai

faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan

masyarakat, baik lahiriah maupun batiniah. Pemikiran politik dalam hal ini

merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam

konteks sistem dan proses politik yang sedang berlangsung.1

Di kalangan masyarakat Islam, pada umumnya kurang melihat

hubungan masalah politik dan agama. Hal ini antara lain disebabkan karena

pemahaman kurang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri.

1
Abu Zahro ( ed), Politik Demi Tuhan,: Nasionalisme Relejius Di Indonesia, Bandung:
Bandung ITB Press1998, hlm 43

67
68

Kuntowijoyo misalnya mengatakan bahwa banyak orang, bahkan pemeluk

Islam sendiri tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah

komunitas (ummat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan,

dan tujuan politik. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap

Islam sebagai agama individual dan lupa kalau Islam juga merupakan

kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur dan

mampu melakukan aksi bersama.2

Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan ikon

pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang

politik, khususnya politik Islam telah mengundang reaksi kontroversi dari

berbagai kalangan.

Nurcholis Madjid merupakan salah satu tokoh pemikir pembaharuan

dalam dunia politik Islam di Indonesia. Pengakuan atas perannya dalam dunia

politik tampak dalam kenyataan pada pemikiran dan tulisannya di berbagai

media di tanah air. Dalam menggambarkan peta pemikiran politik Islam,

Nurchalis madjid lebih banyak berkaca pada pemikiran para pemikir teologis

filosofis barat sehingga pemikiran politik yang ia kembangkan cenderung

liberal dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam cara berpolitik, Cak Nur mengatakan bahwa orientasi

keislaman yang kuat selalu dikaitkan dengan oposisi terhadap pemerintah.

Menurutnya, hal ini disebabkan Islam memainkan suatu peranan konsisten

sebagai sebuah ideologi (rallying ideology) terhadap kolonialisme. Peranan

2
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raga Grafindo Persada, 2002, hlm. 269.
69

ini menghasilkan kemerdekaan nasional, karena kaum muslim

mengemukakan gagasan politik yang tidak sesuai dan tidak sebangun dengan

tuntunan praktis era sekarang, sehingga tumbuhlah prasangka politik yang

berorientasi Islam dengan pemerintah yang berorientasi nasional.

Dalam pemikirannya tentang politik Islam, Cak Nur menyebutkan ada

tiga pokok permasalahan yang harus dihadapi oleh umat Islam, yaitu:

1. Perlunya cara pemahaman yang lebih maju terhadap ajaran Islam dengan

cara tidak terjebak dalam paham tradisonalisasi Islam, yakni dengan

konsep sekularisasi yang menurut beliau tidak menjurus ke konsep

sekularime.

2. Perlunya cara berpikir yang lebih bebas, sehingga umat Islam tidak lagi

terkungkung dalam kekangan doktrin yang membatasi umat Islam

mengembangkan wawasan mereka dalam bidang politik.

3. Perlunya idea of progress dan sikap yang lebih terbuka terhadap umat

lain.

Ketika Nurchalis madjid mengatakan bahwa konsep pembentukan

Negara Islam adalah apologia semata, ia melihat bahwa watak dasar

nasionalisme, sosialisme dan paham paham modern yang lain adalah paham

yang bersifat totaliter, yang berarti secara menyeluruh ingin mengatur atau

merekayasa kehidupan masyarakat. ia memperkirakan bahwa konsep Negara

Islam dimunculkan untuk menandingi paham paham sosialis, demokrasi atau

lainnya. Dalam hal ini, Islam telah diapresiasikan secara atau bersifat

ideology politik yang juga berwatak totaliter.


70

Dalam hal ideologi, Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa Islam itu

sendiri bukan sebuah teori atau ideologi, lebih jauh ia mengatakan, dalam

bidang politik Islam berada pada posisi yang mengiringi syariah dan lebih

dekat dengan filsafat dengan dinamika dan wataknya sendiri.3

Tentang konsep Negara Islam, Nurcholis Madjid menyebutkan bahwa

konsep Negara Islam adalah sebuah distorsi hubungan proporsional antara

agama dan Negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang

dimenensinya adalah rasional dan kolektif, sementara agama adalah aspek

kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. lebih lanjut ia

menyebutkan, memang antara Negara dan agama tidak dapat dipisahkan,

yaitu terdapat pertalian tak terpisahkan antara motivasi (sifat kebatinan

iman)dan sikap bernegara melalui individu warga negara. namun antara

keduanya tetap harus dibedakan dalam dimensi dan metodologinya. Karena

suatu Negara tidak mungkin menembus dimensi spiritual guna mengatur dan

mengawasi serta mengurus sikap bathin warga Negara, maka tak mungkin

pula memberikan predikat keagamaan pada Negara tersebut.4 Ini

menunjukkan bahwa nurchalis madjid bukanlah pendukung politik Islam, ini

dibuktikan dengan pernyataannya bahwa Islam bukanlah system politik.

Nurcholis Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan

diantara semua agama. Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban

manusia hanya akan menyempitkan Islam sendiri, sebagai cara hidup bagian

cukup besar dari ummat manusia. Inklusivitas Islam haruslah dipertahankan


3
Faridi, Agama Jalan Kedamaian, Jakarta: Ghalia Indonesia.2002, hlm. 47.
4
Hartono Ahmad Jaiz, Kursi Panas Pencalonan Nurcholis Madjid Sebagai Presiden,
Jakarta: Darul Falah, 2003, hlm. 78.
71

kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan

mengembangkan inklusivitas Islam itu, dalam pandangan Nurcholis Madjid

hanya dapat terwujud dalam lembaga politik Islam. Terkenal sekali semboyan

Nurcholis: “Islam Yes Partai Politik Islam No”.

Begitu banyak sekali hasil kontemplasi Cak Nur dalam khazanah

keilmuan. Pemikirasn Cak Nur memang sangat relevan dengan keadaan sosial

para pelaku politik, terutama para prilaku para elit politik. Dalam bukunya

yang lain, yang berjudul “Islam Doktrin dan Peradaban”, Cak Nur terkesan

mengenyampingkan Partai Islam. Pemikiran Cak Nur dalam kancah politik

perlu dikritisi lagi. Meskipun Cak Nur menyadur prilaku etika politik yang

dilakukan oleh nabi dan sahabat, namun itu hanya sebatas nilai-nilainya saja.

Sehingga disini pemikiran politik Cak Nur sangatlah lemah jika dikaitkan

dengan politik Islam dan pranata-pranata sosial Islam lainnya dalam tradisi

keilmuan Islam merupakan bagian dari syariah (al ahkam al amaliah). Itu

juga karena Cak Nur hanya mengambil sebagian saja baik dari waktu maupun

segi cakupannya. Piagam Madinah yang sering disebut Cak Nur sebagai

Nuktah-Nuktah kesepakatan antar golongan untuk mewujudkan politik

bersama.

Sementara itu, aspek yang dikemukakan Cak Nur hanya dari segi

nilai-nilai dan etikanya saja, padahal yang dominan pada masa Madinah

justru legislasi dalam bentuk syari’ah, yang menjadikan sebagian prinsip-

prinsip dalam piagam Madinah itu berlaku lagi, seperti persamaan (penuh)

diantara kelompok-kelompok masyarakat karena kelompok Yahudi kemudian


72

menjadi dzimmi (non-muslim yang mendapatkan perlindungan), yang hak

dan kewajibannya sama dengan muslim.

Cak Nur kecewa dengan partai-partai Islam yang dianggapnya

strukturalis, legalistik dan formalistik. Sehingga Cak Nur mendeklarasikan

pada perjuangan kulturasi nilai-nilai ke-islaman dalam sosio kultural

masyarakat, bukan ke wilayah partai Islam. Disamping itu, sebagai agama,

Islam tidak akan kalah, orang Islam lebih efektif menjadi oposisi sambil

belajar untuk menjadi berkuasa. Dengan begitu Cak Nur telah mengingkari

adanya partai Islam secara struktural.

Jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak

diperjuangkan berdasarkan Islam, telah jelas bahwa ide-ide tersebut sudah

tidak menarik untuk masa sekarang. Karena ide-ide tersebut sekarang sedang

menjadi absolut, memfosil, dan kehilangan dinamika. Kenyataannya, partai-

partai Islam yang ada gagal dalam membangun citra positif dan simpatik dan

bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya semakin banyaknya umat

Islam yang melakukan korupsi. Madjid tidak setuju dijadikannya Islam

sebagai ideologi politik. Baginya yang terpenting adalah membentuk

masyarakat yang sudah ada ini menjadi lebih Islami dengan pendekatan-

pendekatan kultural yang bisa dilakukan.

Sebagaimana telah diketahui, partai Islam yang bermunculan setelah

Indonesia merdeka. Partai-partai tersebut bertarung pada pemilu tahun 1955

dan banyak yang mengalami kegagalan. Hingga akhirnya pada masa Suharto

partai-partai tersebut difusikan dalam satu partai, yaitu PPP. Setelah


73

terbukanya pintu reformasi, partai Islam bermunculan kembali, namun tetap

kalah oleh partai nasionalis. Posisi yang lebih baik diterima oleh PKB dan

PAN yang menggunakan Pancasila sebagai ideologi partainya. Meskipun di

satu sisi keduanya diuntungkan dengan adanya basis massa yang besar (NU

dan Muhammadiyah), namun di sisi lain penggunaan ideologi Pancasila pada

dua partai tersebut menunjukkan sikap terbuka keduanya dalam menyikapi

keberagaman Indonesia.

Di lain pihak dia mendukung adanya Partai Golkar karena kaitannya

alumni HMI yang duduk di kursi DPR akan hilang. Padahal bila kita

menengok sejarah politik rasul, rasul telah menjalankan politik secara kultural

maupun struktural. Sehingga dapat dikatakan bahwa. Kalau memang Islam

diartikan sebagai nilai kultural semata, akan dikemanakan identitas Islam

tersebut?. Padahal agama Islam sebagai agama yang sempurna, yang

mengatur setiap aspek kehidupan, semenjak awal mula, para ulama dan para

ahli hukum Islam telah merinci agama Islam sebagai; aqidah (keimanan atau

keyakinan), syari’at (ibadah) dan akhlaq (prilaku manusia terhadap tuhan

maupun sesamanya).

Dapat dikatakan pada zaman Nabi adalah Islam Yes Politik Islam

Yes. Dari pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik di atas, sangat kurang

relevan dengan konsep politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Itu

dapat dilihat dari latar belakang sejarah, yaitu sebagai negara yang heterogen,

negara Madinah sama dengan Indonesia. Meskipun diberlakukan sistem

politik secara struktural dan kultural kenyataannya banyak golongan yang


74

menerima. Sehingga perjuangan ummat Islam dalam menanamkan nilai-nilai

keislaman adalah dengan partai Islam.

Disamping itu Cak Nur kelihatan tidak berani mengatakan partai

Islam yes, karena waktu itu takut dengan kekuasaan Soeharto. Yang pada

tahun 70-an cengkramannya sangat terasa. Apalagi statemennya yang

mengatakan bahwa kekalahan Partai Islam adalah karena simbol Islam ini

sangat tidak beralasan seharusnya yang dikritik adalah ummat Islam yang

berpolitik bukan masalah simbol.

Dalam tradisi keilmuan Islam, pemikiran politik, itu tidak terlepas dari

siyasah syari’ah (pengaturan negara) dan ilmu siyasah syari’ah (ilmu tentang

pengaturan agama) yang juga disebut sebagai fiqh siyasah. Artinya tidak

mungkin membahas pemikiran politik Islam secara komprehensif tanpa

menyinggung aspek syariah.

Pemikiran Cak Nur juga kehilangan semangat ideologisnya, karena

sejalan dengan santrinisasi dalam masyarakat indonesia, mereka berusaha

melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara komprehensif. Hal ini, tentu

membutuhkan adanya kebijakan negara atau peraturan perundang-undangan

yang mendukung. Dalam kondisi demikian ini, aspirasi umat baik dari segi

subatansi atau cara untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Tidak hanya

bersifat kultural, melainkan juga bersifat struktural.

Munculnya kembali partai-partai Islam pada era reformasi baik yang

dengan tegas memakai asas Islam maupun tidak, menunjukkan kecendrungan

aspirasi ini. Orientasi ini, memang tidak pernah pudar dalam masyarakat
75

Islam di manapun berada, karena secara doktriner Islam memang tidak bisa

dipisahkan dengan persoalan kenegaraan. Agama dan negara memiliki

hubungan timbal balik yang saling membutuhkan, keduanya berbeda, tidak

menyatu tapi saling memerlukan. Maka dari itu Islam dilihat sebagai satu

sistem kehidupan yang lengkap, meliputi sistem spiritual, sistem moral,

sistem politik, sistem ekonomi dan sistem ekonomi.

Dari beberapa uraian di atas dapat diambil sebuah implikasi bahwa ide

Cak Nur tentang ummat Islam lebih efektif menjadi oposisi sambil belajar

untuk menjadi berkuasa adalah kurang relevan dengan prilaku politik yang

telah dilaksanakan oleh Nabi. Di kota Madinah, selain menjalankan nilai-nilai

Islam secara kultural, nabi juga menjalankan Islam secara struktural. Keadaan

sosiologis di kota Madinah tidak jauh beda dengan Indonesia, yaitu

masyarakatnya sama-sama heterogen. Banyak perbedaan suku maupun

budaya di Madinah. Namun, kennyataannya Nabi mampu membawa Islam

secara kultural maupun struktural.

Selain itu, yang dijadikan bahan perhatian adalah bukan masalah

partai membawa nama Islam, namun bagaimana ummat Islam membuktikan

bahwa partai Islam merupakan representasi dari etika perpolitikan nabi.

Bagaimana mungkin ummat Islam belajar kalau tidak secara struktural.

Meskipun waktu itu partai Islam gagal. Dengan kegagalan itu diharapkan

partai Islam mampu instrospeksi diri agar lebih berhati-hati dan waspada

dalam berpolitik.
76

B. Analisis Dasar-Dasar Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Politik Islam

Seseorang yang terjun dalam bidang politik pasti memiliki

kepentingan kekuasaan. Kekuasaan di mata Islam bukanlah barang terlarang,

sebaliknya kekuasaan dan politik dianjurkan selama tujuannya untuk

menjalankan visi-misi kekhalifahan. Untuk itu kekuasaan harus didapatkan

dengan tetap berpegang pada etika Islam. Sebagai agama yang sempurna,

Islam telah memberikan panduan etika dalam kehidupan manusia. Karena itu

etika dalam politik menjadi suatu keharusan.

Salah satu pemikiran Nurcholish Madjid yang mendapatkan banyak

reaksi keras adalah tentang politik Islam. Cak Nur mengatakan bahwa yang

dimaksudkan tidaklah diarahkan untuk mencampurkan antara agama dan

negara. Menurutnya, antara negara dan agama harus dipisahkan, agar tidak

terjadi percampuran kepentingan. Proses pemisahan ini diperlukan karena

umat Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak sanggup lagi membedakan

nilai-nilai Islami, mana yang transendental dan mana yang sifatnya temporal.

Oleh karena itu, politik harus dipahami sebagai sebuah proses perkembangan

yang membebaskan, yang menginginkan umat Islam melaksanakan upaya

mereka mengaitkan universalisme Islam dengan kenyataan-kenyataan.

Relevan pula dengan fungsi mereka sebagai khalifah Allah di atas bumi.

Pembedaan negara dan agama tersebut tidaklah bertujuan untuk

menghilangkan tradisi politik umat Islam, tidak pula membunuh intelektual

politik umat Islam. Tetapi lebih dimaksudkan untuk memurnikan agama dari

semua kepentingan yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat


77

Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Di sini, agama hanya

digunakan sebagai kendaraan politik. Dengan demikian, kesediaan mental

untuk selalu menguji kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan

moral, material, ataupun historis, menjadi sifat kaum muslimin.

Pemisahan urusan negara dan agama yang telah dipaparkan di atas

mengarah kepada ketelitian dan kecerdasan kaum Muslim dalam mengatasi

persoalan-persoalan yang dihadapi. Mereka harus mampu membedakan mana

urusan dunia dan mana urusan akhirat. Umat Islam harus dapat berfikir secara

bebas dan kreatif, karena dengan begitu memungkinkan umat Islam untuk

mampu berijtihad dalam mengatasi permasalahan politik yang ada.

Dari penegasan tersebut, Nurcholis Madjid ingin menjelaskan bahwa

antara politik dan Islam merupakan dua hal yang berbeda. politik cenderung

kepada urusan duniawi, sedangkan Islam merupakan bentuk kepercayaan

yang dianggap sebagai sesuatu yang sakral-ukhrawi. Islam yang hakiki bukan

semata merupakan struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang tegak

berdiri di atas formalisme negara dan pemerintahan. Tetapi Islam sebagai

pengejawantahan tauhid, yang merupakan kekuatan spiritual yang mampu

melahirkan jiwa yang hanif, inklusif, demokratis serta menghargai pluralisme

masyarakat. Jadi konsep negara Islam adalah suatu distorsi hubungan

proporsional antara negara dan agama. Negara baginya, merupakan aspek

kehidupan duniawi yang dimensinya rasional dan kolektif. Sedangkan agama

merupakan segi lain yang dimensinya spiritual dan individual. Antara agama

dan negara memang tidak bisa dipisahkan, namun antara keduanya itu tetap
78

harus dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya.Dari sinilah

Nurcholis Madjid menolak Islam dipandang sebagai ideologi sebab akan

merendahkan dan mendiskreditkan agama sebagai sesuatu yang setara dengan

ideologi dunia.5

Dengan mengutip pandapat Talcoot Parson, Nurcholis Madjid

menunjukkan bahwa sekularisasi sebagai suatu proses sosiologis, lebih

banyak mengisyaratkan pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu

takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan tidak berarti penghapusan

orientasi keagamaan dalam norma dan nilai kemasyarakatan.

Islam tidak perlu menuntut negara atau pemerintah Indonesia menjadi

negara atau pemerintah Islam. Baginya adalah substansi atau esensi-

esensinya, bukan bentuk formalnya yang sangat simbolis. Pembentukan

negara adalah suatu kewajiban bagi umat manusia dalam bentuk demokratis,

meskipun tidak ada keharusan dari Islam dalam bentuk negara Islam, karena

membentuk negara itu dapat memberikan beberapa pirnsip yang dipakai

dalam mewujudkan masyarakat dimaksud, yaitu: Pertama, pemerintahan yang

adil dan demokratis (musyawarah), kedua, organisasi pemerintah yang

dinamis, ketiga, kedaulatan.

Politik Islam menurut Nurcholis Madjid tidak dimaksudkan sebagai

penerapan politik dan mengubah kaum Muslimin menjadi politikus. Tetapi

dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya

duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-

5
Bosco Carillo dan Dasrizal, Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1983,
hlm. 4.
79

ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji

dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan

material, moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut,

sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas dunawi manusia

sebagai khalifah Allah di bumi. Fungsi sebagai khalifah Allah itu

memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan

memilih sendiri cara dan tindakan-tidakan dalam rangka perbaikan-perbaikan

hidupnya di atas bumi ini.

Pemahaman keagamaan menurut Nurcholis Madjid lahir dari pada

usaha-usaha keras (ijtihad) manusia terhadap pesan-pesan yang di sampaikan

Tuhan, sehingga jelas mengisyaratkan adanya intervensi manusia dalam

mamahami agama itu sendiri. Pemahaman terhadap agama itu sendiri, oleh

Nurcholis Madjid tidak boleh disaklarkan, sehingga diperlukan secara

kontinyu usaha-usaha membangkitkan kembali ilmu pengetahuan yang telah

hilang di masa-masa kejayaan masyarakat salaf untuk memahami kembali

pesan-pesan agama.

Matinya ilmu pengetahuan dalam Islam menurut Nurcholis Madjid

adalah akibat melemahnya kondisi sosial politik dan ekonomi dunia Islam,

disebabkan percekcokan yang tidak habis-habisnya dikalangan mereka tidak

dalam bidang-bidang pokok melainkan dalam bidang-bidang kecil seperti

masalah fiqih dan peribadatan. Perdebatan itu justru diakhiri dengan menutup

sama sekali pintu ijtihad, dan mewajibkan setiap orang taqlid kepada para
80

pemimpin atau pemikir keagamaan yang telah ada, yang berakibat mematikan

kreatifitas individual dan sosial kaum Muslim.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa Nurcholis Madjid

menyesalkan keputusan para pemuka Islam untuk menutup pintu ijtihad.

Sehingga yang terjadi adalah umat Islam kehilangan kreatifitas dalam

kehidupan duniawi, dan mengesankan seolah-olah mereka telah memilih

untuk tidak berbuat, dengan kata lain mereka telah kehilangan semangat

ijtihad.

Umat Islam sekarang, cenderung memahami Islam hanya dari satu sisi

ilmu tradisional Islam saja, yakni ilmu fiqih yang hanya membidangi segi-

segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat

eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah. Sementara ilmu-ilmu tradisional Islam

lain, yakni Falsafah, Kalam, dan Tasawuf masih kalah mendalam dan meluas.

Nurcholis Madjid menginginkan umat Islam tidak secara parsial

memahami Islam dengan hanya menakankan pada masalah fiqhiyah. Apalagi

fiqih itu sendiri tak lebih merupakan usaha-usaha ulama dalam

mengkontektualisaikan ajaran Islam. Secara logis karena ulama itu sendiri

adalah manusia, maka tafsiran ulama tersebut tidak bisa dilepaskan dari sifat

kemanuisaannya, dan tak pantas dianggap absolut. Karena mengabsolutkan

pikiran ulama, sama artinya mengobsolutkan sesuatu selain Tuhan, secara

theologis bisa berakibat pada kesyirikan kepada Allah, Tuhan yang maha

absolut.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah penulis paparkan dalam bab-bab

sebelumnya tentang pemikiran politik Islam Nurcholis Madjid, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Politik Islam menurut Nurcholis Madjid adalah bahwa orientasi

keislaman yang kuat selalu dikaitkan dengan oposisi terhadap

pemerintah. Menurutnya, hal ini disebabkan Islam memainkan suatu

peranan konsisten sebagai sebuah ideologi (rallying ideology) terhadap

kolonialisme. Peranan ini menghasilkan kemerdekaan nasional, karena

kaum muslim mengemukakan gagasan politik yang tidak sesuai dan tidak

sebangun dengan tuntunan praktis era sekarang, sehingga tumbuhlah

prasangka politik yang berorientasi Islam dengan pemerintah yang

berorientasi nasional. Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa Islam itu

sendiri bukan sebuah teori atau ideologi, lebih jauh ia mengatakan, dalam

bidang politik Islam berada pada posisi yang mengiringi syariah dan

lebih dekat dengan filsafat dengan dinamika dan wataknya sendiri.

Konsep Negara Islam adalah sebuah distorsi hubungan proporsional

antara agama dan Negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan

duniawi yang dimenensinya adalah rasional dan kolektif, sementara

81
82

agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan

pribadi.

2. Politik Islam menurut Nurcholis Madjid tidak dimaksudkan sebagai

penerapan politik dan mengubah kaum Muslimin menjadi politikus.

Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah

semestinya duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan

untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk

selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan

kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis, menjadi sifat

kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih

memantapkan tugas dunawi manusia sebagai khalifah Allah di bumi.

Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya

kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan

tindakan-tidakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas

bumi ini.

B. Saran-saran

Adapun saran penulis terkait pemikiran Nurcholis Madjid tentang

politik Islam adalah sebagai berikut:

1. Semua pemikiran tokoh pembaruan Islam khususnya Nurcholis Madjid

menunjukkan agar umat Islam bisa lebih maju dan bisa menerima hal

yang rasional untuk menghadapi perkembangan manusia dan zaman.


83

2. Dalam mengakaji suatu pendapat, sebaiknya menyandingkan dengan

pendapat-pendapat lain, kemudian dipilih pendapat yang relevan

dengan kondisi dan situasi yang sedang berkembang.

C. Penutup

Alhamdulillahirabbil ‘alamin dengan ucapan tahmid sebagai wujud

rasa syukur kepada Allah SWT akhirnya penulis mampu menyelesaikan

skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena

itu kritik dan saran konstruktif sangat penulis harapkan guna kesempurnaan

skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan

bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya hanya dengan Ridha dan Hidayah

dari Allah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurraziq, Ali, Al Islam wa Usul al Ahkam, terj.Penerbit Jendela “Islam dan


Dasar-Dasar Pemerintahan”, Yogyakarta: Jendela, 2000.

Adnan, Islam Sosial, Yogyakarta: Menara Kudus Yogya, 2003.

Al Mawardi, Imam, Al Ahkam al Sulthaniyyah wa al wilaayah al Diiniyyah,


terj. Abdul Hayyie al Kattani dan Kamaluddin Nurdin “Hukum Tata
Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema
Insani Press, cet. ke-1, 2000.

Al Qardlawi, Yusuf, Pedomena Bernegara dalam Perspektif Islam, (terj),


Jakarta: Pustaka al Kautsar, 1999.

Alfaris, Moh. Abdul Kadir, Feqih Politik Hasan al Banna, Solo: Media Insani,
2003.

Andito (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia,


Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. Ke-1, 1999.

Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Sebuah Kajian


Politik Tentang Cendekiawan Moslem Indonesia, Jakarta:
Paramadina, 1995.

Asikin, Amirudin Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja


Grafindo Persada, cet. 1, 2006.

Azis, Abdul, Politik Islam dan Politik, Yogyakarta: Tiara wacana, 2006.

Azra, Azumardi, Menuju Masyarakat Madani; Gagasan, Fakta Dan


Tantangan, Badung: PT. Rosdakarya, cet. ke-1, 1999.

Black, Antony, The History of Islamic Political Thought; From the Prophet to
the Present, terj. Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati, Pemikiran
Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2006.

Budiharjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama, 2013.

Carillo, Bosco dan Dasrizal, Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta:


Leppenas, 1983.

Effendi, Edy A., Dialog dan wacana keterbukaan, pengantar dalam Nurcholish
Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana
Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1, 1998.
Effendy, Bachtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.

Faridi, Agama Jalan Kedamaian, Jakarta: Ghalia Indonesia.2002.

Hidayat, Komarudin, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama Dan Krisis


Modernisme, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1, 1998.

Jaiz, Hartono Ahmad, Kursi Panas Pencalonan Nurcholis Madjid Sebagai


Presiden, Jakarta: Darul Falah, 2003.

Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT.


Tiara Wacana, cet. Ke-1, 1999.

Khan, Qomqruddin, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, Bandung: Bandung ITB


Pustaka 1973.

Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam


dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1987.

-------, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam


Konstituante, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-1, 1996.

Madjid, Nurchalis, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan


Pustaka, 2008.

------, Cita-cita Politik Islam Era Refoemasi, Jakarta: Paramadina, 1999.

------, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1, 1998.

------, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987.

------, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1,
1997.

------, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995.

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2004.

Moten, Abdul Rased, Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka Amani, 2001.

Mun’im, Abdul D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas,
Cet. Ke-1, 2000.

Musa, M. Yusuf, Nidhamul Hukmi fil Islam, terj. M. Thalib, “Politik dan
Negara dalam Islam”, Kairo, cet. ke-2, 1963.
Musa, Yusuf, Politik dan Negara dalam Islam, Surabaya: Al Ihlas, 1990.

Nasution, Harun, Hubungan Islam dan Negara, Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama Depag RI, 1992.

Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raga Grafindo Persada, 2002.

Nazir, Moh., Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. ke-3, 1988.

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesi 1900-1942, Jakarta: LP3ES,


Cet. Ke-8, 1996.

-----, Pengantar Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1985.

Pulungan, J. Suyuti, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-2, 1995.

Rachman, Budhy Munawar, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet


ke II, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995.

Rahardjo, M. Dawam, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan


Berkebangsaan, Jakarta: Kencana Media, 2010.

Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Muhyiddin, Bandung:


Pustaka, 1984.

Rahman, M. Abdur, Dinamika Masyarakat Islam, dalam Wawasan Fiqh,


Bandung: Remaja Karya, 2002.

Rais, M. Amin, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan,
1989.

Rais, Muhammad Dhiauddin, al Nadhariyyah al Siyasiyah al Islamiyyah, terj.


Abdul Hayyi al Kattani, dkk., Teori Politik Islam, Jaskarta: Gema
Insani Press, 2001.

Ridwan, Nur Khalid, Pluralisme Borjuis; Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak
Nur, Yogyakarta: Galang Press, 2002.

Riyanto, Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, cet.
ke-1, 2004.

Rojak, Jeje Abdul, Politik Kenegaraan: Pemikiran-Pemikiran al Ghazali Dan


Ibnu Taimiyyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1999

Rosyada, Dede, et al., Pendidikan Kewargaan (Civil Education): Demokrasi,


Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN
Syarif Hidayatullah, Cet. Ke-1, 2000.
Ruslan, Ustman Abdul Mu’iz, Tarbiyah Siyasah: Pendidikan Politik Ikhwanul
Muslimin, terj. Salafudin Abu Sayyid & Hawin Murtadlo, Solo: Era
Intermedia, 2000.

Sadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan pemikiran, UI
Press, Jakarta, 1993.

Salim, Abdul Mun’im, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-
Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

Samsudin, Din, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta:


Logos Wacana Ilmu, 2002.

Shalaby, Ahmad, Studi Komprehensif Tentang Agama Islam, Surbaya: PT.


Bina Ilmu, Cet. Ke-1, 1988.

Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al Qur’an, Bandung: Mizan, 1998.

Sodik, Dedi M., Islam dan Humanisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007.

Sofyan, Ahmad A. & M. Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara
dan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003.

Suaedy, Ahmad (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, Yogyakarta: LKiS,


cet. ke-1, 2000.

Suaedy, Ahmad (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, Yogyakarta: LKiS,


Cet. Ke-1, 2000.

Sufyanto, Masyarakat Tamaddun; Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani


Cak Nur, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 2001.

Syamsudin, M. Din, Religion and politik in Islam, the case of Muhammadiyah


in Indonesia New Orde. Disertasi Universiti of California, Los
Angelfes, 1991.

Thaha, Mustafa Moh, Tantangan Politik Negara Islam, Malang: Pustaka


Zamzani.2003.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2005.

Widayati, Heni Wahyu, Dialog Pemikiran tentang Islam dan Negara di


Indonesia Masa Aval Kemerdekaan, Jurnal Dakwah, Vol. X No. 2,
Juli-Descmber, 2009.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah al Qur’an Depag RI, al Qur’an dan


Terjemahnya, Semarang: al Waah, 1993.
Zahra, Abu (ed) Politik Demi Tuhan, Nasionalisme Relgius di Indonesia,
Bandung: Pustaka Hidayah, 2000.

Zahro, Abu (ed), Politik Demi Tuhan,: Nasionalisme Relejius Di Indonesia,


Bandung: Bandung ITB Press1998.

Zamharir, Muhammad Hari, Agama dan Politik; Analisis Kritis Pemikiran


Politik Nurcholis Madjid, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Jawahir

Tempat / Tanggal Lahir : Jepara, 17 September 1988

Alamat : Trengguli, Bangsri, Jepara

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri Trengguli Bangsri Jepara Lulus Tahun 2000

2. MTs Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara Lulus Tahun 2005

3. MAK Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara Lulus Tahun 2008

Demikian riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya dan untuk dapat

dipergunakan sebagaimana mestinya.

Penulis,

Muhammad Jawahir
NIM. 092211025

Anda mungkin juga menyukai