Pemikiran Nurholis Majid
Pemikiran Nurholis Majid
Pemikiran Nurholis Majid
SKRIPSI
Oleh:
Muhammad Jawahir
092211025
i
Dr. H. Agus Nurhadi, MA.
NIP. 19660407 199103 1 004
Alamat: Jl. Wismasari V/02, Ngaliyan, Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosyahkan. Atas perhatian bapak/ibu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
ii
iii
MOTTO
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al Nisa’: 59)
iv
PERSEMBAHAN
SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Karya ini penulis
persembahkan untuk:
1. Bapak dan Alm Ibu yang telah mengajarkan penulis untuk selalu semangat
meninggalkan keburukan. Beliau adalah sosok orang tua yang tak pernah
tergantikan.
2. Dr. H. Agus Nurhadi MA., yang tak hentinya mengingatkan ketika penulis
putus asa, dan dalam keadaan tersebut akirnya penulis bisa menyelesaikan
3. Seluruh keluarga besar yang penulis miliki, dengan dorongan motivasi yang
skripsi ini.
motivasiku.
6. Semuanya yang telah membuat hidupku berguna dan memiliki arti hidup.
v
DEKLARASI
Muhammad Jawahir
NIM. 092211025
vi
ABSTRAK
vii
kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis, menjadi sifat kaum
Muslimin.
viii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tiada kata yang pantas diucapkan selain ucapan syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat
berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
2. Dr. H. Akhmad Arif Junaidi, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
ix
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Semarang yang
telah memberi bekal ilmu pengetahuan serta staf dan karyawan Fakultas
dan pengorbanan baik secara moral ataupun material yang tidak mungkin
terbalas.
6. Segenap pihak yang tidak mungkin disebutkan, atas bantuannya baik moril
maupun materiil secara langsung atau tidak dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga semua amal dan kebaikannya yang telah diperbuat akan mendapat
imbalan yang lebih baik lagi dari Allah Swt. dan penulis berharap semoga skripsi
Penyusun
Muhammad Jawahir
NIM. 092211025
x
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 7
D. Tinjauan Pustaka .............................................................. 8
E. Metodologi Penelitian ...................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ....................................................... 14
xi
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID
TENTANG POLITIK ISLAM
A. Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Politik
Islam .................................................................................. 66
B. Analisis Dasar-Dasar Pemikiran Nurcholis Madjid
tentang Politik Islam .......................................................... 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 80
B. Saran-Saran ....................................................................... 81
C. Penutup.............................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA
xii
BAB I
PENDAHULUAN
sejarah intelektual manusia secara umum. pemikiran ini terdiri atas sebuah
tradisi yang koheren dan berkelanjutan, terpisah dari tradisi Barat dan
menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini terbagi menjadi
dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. kedua fase itu tidak
memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh
beberapa orientalis. Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi
titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio masyarakat Islam mulai
1
Antony Black, The History of Islamic Political Thought; From the Prophet to the
Present, terj. Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi
Hingga Masa Kini, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006, hlm. 21.
1
2
dibandingkan dengan fase pertama. Karena saat itu jamaah Islam telah
menguasai urusannya sendiri dan telah hidup dalam era kebebasan dan
Namun ciri utama yang menandai kedua fase tersebut adalah sifatnya sebagai
untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat bahkan negara. Islam bukan
Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap
bernegara.4
2
Muhammad Dhiauddin Rais, al Nadhariyyah al Siyasiyah al Islamiyyah, terj. Abdul
Hayyi al Kattani, dkk., Teori Politik Islam, Jaskarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 2-3.
3
Ibid., hlm. 3.
4
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan pemikiran, UI Press,
Jakarta, 1993, hlm. 2.
3
menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan
bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga
menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang
hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini
Salah satu akibat yang paling parah dirasakan dari kemunduran umat
berdasarkan Islam.6
beragama Islam, tidak luput dari kemunduran itu. Bahkan, menurut Fazlur
Hal ini terjadi karena umat Islam lebih terkonsentrasi untuk perjuangan
5
Ibid., hlm. 9-10
6
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan
Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1987, him. 42.
4
maupun modernis, yang berada dalam BPUPKI berjuang agar Islam dijadikan
adalah dengan mengemukakan kata syariat Islam dalam dasar negara. Dari
Islam dan aliran pemisahan antara negara dan agama, yang memiliki dasar
pemikiran berbeda. Kelompok Islam berdalih bahwa dari seluruh ayat al-
Qur'an, hanya sekitar 600 ratus ayat yang berisi tentang kehidupan akherat.
multi interpretatif, maka Islam dapat berjalan seiring dengan politik modern,
7
Ibid., hlm. 32.
8
Heni Wahyu Widayati, Dialog Pemikiran tentang Islam dan Negara di Indonesia Masa
Aval Kemerdekaan, Jurnal Dakwah, Vol. X No. 2, Juli-Descmber, 2009, hlm. 215.
9
Ibid., hlm. 216.
5
dan bisa pula sebaliknya, tergantung dari jenis Islam manakah yang diajukan
untuk dianalisis.10
dan sistem pemerintahan yang harus berlaku dalam Islam. Yang penting
dan Sunnah tidak ada perintah yang menyatakan unutk mendirikan negara
etik dasar, serta norma-norma kemudian menyerahkan hal detail pada akal
seperti ibadah, zakat, dzikir atau Islam, iman dan ihsan sebagai metode
pendekatan diri terhadap Tuhan. Prinsip ini akan memberikan dua implikasi.
yang mendalam dan juga menjadi basis etika pribadi. Kedua, penekanan
10
Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 16.
11
Harun Nasution, Hubungan Islam dan Negara, Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama Depag RI, 1992, hlm. 222.
12
M. Amin Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1989, hlm.
41.
6
kepada kesatuan universal umat manusia sebagai umat yang satu, berdasarkan
apologetis. Apologi ini, tumbuh dari dua jalur. Pertama, apologi karena
Madjid, tidak lain berakar dari fiqihisme. Padahal pandangan yang muncul
dari kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana Islam pada abad-abad kedua
antara politik dan agama. Politik adalah salah satu segi kehidupan duniawi,
aspek kehidupan lain, yang dimensinya spiritual dan pribadi. Karena itu tidak
heran kalau Nurcholis tidak setuju Islam dipandang sebagai ideologi. Baginya
13
Ahmad A. Sofyan & M. Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara dan
Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003, hlm. 67.
14
Ibid., hlm. 169.
7
melihat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori politik
atau sistem praktik yang harus diselenggarakan oleh umatnya, dan bahwa al
Qur’an berhubung bukan sebagai kitab politik sama sekali tidak menyediakan
prinsip universal itu, maka baik sistem maupun mekanisme yang dijalankan
tentang politik Islam yang kemudian penulis kemas dalam skripsi dengan
15
Ibid.,
16
Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet ke II,
Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995, hlm. 454.
8
B. Rumusan Masalah
Islam.
1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat sebagai tolok ukur dari wacana
keilmuan yang selama ini penulis terima dan pelajari dari institusi
D. Tinjauan Pustaka
perhatian pada bagaimana mengisi negara dengan etika dan moralitas agama
dalam buku Fatsoen bila dikaitkan dengan dakwah Islam akan bersesuaian.
kepada pembacanya tentang Etika dalam hidup. Bila ditinjau dari bentuk
disebabkan oleh bahasa. Sedangkan bahasa sendiri terdiri dari kata atau
11
Fatsoen efektif.
Mohammad Natsir tentang Nash al Qur’an dan Sunnah serta Ijma’ menjadi
Sebagai landasan, jelas agama (Metode Syura dalam Nash al Qur’an dan
negara keluar dari track tersebut. Jalur yang dimaksud disini terkait dua hal.
Meskipun Syari’at agama harus ditegakkan dalam sebuah negara, tetapi tidak
membatasi secara mutlak kepada masyarakat muslim untuk ikut andil dalam
Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo Sulawesi Selatan tahun 2015 dengan
kembali isu tentang hubungan Islam dan negara dalam perspektif politik
terhadap hubungan agama dan negara dengan pendekatan politik Islam tidak
dan negara dapat terintegrasi dalam sebuah relasi fungsional yang sama-sama
13
penelitian sebelumnya, karena apa yang penulis teliti adalah pemikiran politik
Islam Nurcholis Madjid. Oleh karena itu, penulis yakin untuk tetap
E. Metode Penelitian
metode untuk memperoleh data yang akurat. Adapun metode penelitian yang
1. Jenis Penelitian
research), di mana data-data yang dipakai adalah data kepustakaan yang ada
2. Sumber Data
a. Data primer
Data primer adalah data utama atau data pokok penelitian yang
b. Data sekunder
Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam karya Ahmad A. Sofyan
Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais karya Idris Thaha, Zaman Baru
17
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004,
hlm. 3.
18
Adi Riyanto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, cet. ke-1, 2004,
hlm. 57.
19
Amirudin Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, cet. 1, 2006, hlm. 30.
15
yang terkait dengan pemikiran politik Islam. Metode ini digunakan untuk
memahami pemikiran dan konsep dasar yang dipakai oleh Nurcholis Madjid
F. Sistemtika Penulisan
Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana
dalam setiap bab terdiri dari sub-sub bab permasalahan. Maka penulis
20
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. ke-3, 1988, hlm. 211.
16
penulisan.
dasar-dasar politik Islam tujuan politik islam relasi agama dan negara.
analisis pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik Islam dan analisis dasar-
Kata politik sebenarnya berasal dari kata Yunani, yaitu Polis yang
berarti kota yang berdaulat, seperti Athena, Sparta, dan Korihthus sebagai
lawan daerah yang takluk dan wajib membayar pajak kepadanya. Dalam
bahasa Inggris disebut dengan politic yang menunjukkan sifat pribadi atau
perbuatan. Secara leksikal, kata tersebut berarti acting or judging wisely, well
judged, prudent (bijaksana). Kata politic itu terambil dari kata Latin politicus
dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to citizen, yang
terjalin dengan definisi-definisi yang berasal dari zaman kuno. Negara adalah
maupun luar negeri.2 Menurut bangsa Yunani Kuno, politik sama artinya
dalam tema-tema tujuan moral yang dicari oleh para pembuat keputusan. Bagi
1
Abdul Mun‟im Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 34.
2
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013,
hlm. 47-48.
17
18
menjadi penentu. Dari sinilah muncul idiom politik tidak ada musuh abadi
Secara terminologis, kata politik pertama kali dikenal dari buku Plato
muncul karya Aristoteles yang berjudul politia. Kedua karya itu dipandang
untuk konsep pengaturan masyarakat. sebab yang dibahas dalam kedua buku
3
Abdul Rased Moten, Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka Amani, 2001, hlm. 2.
4
Ibid.,
5
Jeje Abdul Rojak, Politik Kenegaraan: Pemikiran-Pemikiran al Ghazali Dan Ibnu
Taimiyyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1999, hlm. 40
19
pemerintahan negara atau terhadap Negara lain. Juga dalam arti kebijakan,
definisi politik ini, yaitu: Pertama, politik menurut para filosof Yunani,
bagian dari akhlak atau moral. Meski Aristoteles menekankan politik pada
diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari kata sasa-yasusu
Dalam al Qur‟an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa
yasusu, namun hal itu bukan berarti bahwa al Qur‟an tidak menguraikan
ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya
berarti menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan. Dari akar kata
6
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, hlm. 687.
7
Ustman Abdul Mu‟iz Ruslan, Tarbiyah Siyasah: Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin,
terj. Salafudin Abu Sayyid & Hawin Murtadlo, Solo: Era Intermedia, 2000, hlm. 68-69.
20
yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna
adalah al siyasah, merupakan masdar dari kata sasa yasusu, dan pelakunya
Sebab makna al syar’iyyah dalam konteks ini adalah yang menjadi pangkal
tolak dan sumber bagi al siyasah (politik) dan menjadikannya sebagai tujuan
yang mengartikan politik pada dua makna. Pertama, makna umum, yaitu
Dalam memahami politik Islam tak luput dari kata-kata bahasa politik
berhubungan dengan nilai Islam. Memang bahasa politik Islam seperti kata
8
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 416-
417.
9
Yusuf Qardlawi, Pedomena Bernegara dalam Perspektif Islam, (terj), Jakarta: Pustaka
al Kautsar, 1999, hlm. 38.
21
Bernard Lewis sendiri mempunyai akar yang dapat dilacak dalam al Qur‟an
nilai-nilai Islam dan pengarahan terhadap cita-cita sosial Islam. Dalam hal ini
Nabi yang berdiri sendiri. Tapi perkembangan tersebut juga dipengaruhi oleh
mempunyai arti yang berbeda, atau satu konsep diungkapkan dengan istilah-
10
Istilah Islam Politik digunakan oleh banyak pihak antara lain Andre felliard, Bahtiar
Effendy, M. Rusli Karim dalam berbagai karya-karya.
11
M. Din Syamsudin, Religion and politik in Islam, the case of Muhammadiyah in
Indonesia New Orde. Disertasi Universiti of California, Los Angelfes, 1991, hlm 34-30.
12
Dhiauddin Rais Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001,
22
diperintah disebut ‘siyasah’ dari konsep siyasah ini kemudian lahir gagasan–
kajian dari disiplin siyasah syar‟iyyah, atau politik yang berbasis syar‟i13.
disiplin ini bukanlah hal yang baru dalam Islam secara empiris studi tersebut
secara luas seiring suksesi politik pasca Nabi Saw dengan perihal semacam
ini, kemudian Islam dipandang sebagai hal yang tidak bisa dipisahkan dari
Islam bukan sekedar sebagai Agama ia juga menyebabkan hukum dan politik.
mewujudkan tujuan-tujuannya.15
13
Abdul Azis, Politik Islam dan Politik, Yogyakarta: Tiara wacana, 2006, hlm. 18.
14
Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, Surabaya: Al Ihlas, 1990, hlm. 26.
15
Qomqruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, Bandung: Bandung ITB Pustaka
1973, hlm.
23
dan bersedia untuk membantu mencari jalan keluarnya. Dapat aku katakan
bahwa pembatasan dan pembuangan agama ini adalah sikap yang tidak diakui
oleh agama Islam maka kepada sikap organisasi Islam agar menjadikan
prioritas program nya adalah memperhatikan urusan politik umat Islam, kalau
tidak maka ia sendiri perlu untuk memahami kembali akan makna Islam,
sehingga tidak ada kebaikan dalam agama yang tidak ada politik nya, dan
dalam kehidupan bernegara di tanah air kita, malah sebelum kita bernegara di
abad kedua puluh ini, yaitu ketika belanda masih mencengkram kukunya di
kita mengatakan Jangan takut politik, jangan buta politik, jangan berdiam diri
16
Moh. Abdul Kadir Alfaris, Feqih Politik Hasan al Banna, Solo: Media Insani, 2003,
hlm. 28.
17
Delier Noer, Pengantar Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1985, hlm. 1
24
Dikalangan umat Islam ada pendapat bahwa Islam adalah agama yang
Banna dan al Maududi meyakini bahwa Islam adalah agama yang serba
kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu dan bahkan jangan
yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar
Sistem yang dibangun Rasulullah saw dan kaum mu‟min yang hidup
bersama beliau di madinah jika dilihat dari segi praktis dan diukur dengan
bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence dalam waktu yang
sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem
masyarakat tersebut.20
Politik dan siyasah bukan perkara yang baru dalam khazanah sejarah
dan pemikiran Islam. Politik lahir bersama dengan dimulainya pembelaan dan
penyebaran Islam baik pada periode Makkah maupun Madinah baik yang
sistematis tidak memisahkan kedua dimensi ini, hanya titik tekan antara yang
satu dan yang lainnya tidaklah sama. Setelah Rasulullah saw wafat politik
bergulir bagai bola salju terus membesar sehingga banyak persoalan politik
khususnya dalam hal pemahaman atas apa yang disebut politik Islam. Dalam
hal ini, sejak awal 1930-an sampai akhir 1960-an, sebagian diskursus politik
sering dilihat sebagai kelompok yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar
negara sebagai sesuatu yang diperjuangkan baik di BPU PKI atau di Sidang
Konstituante.22
20
Adnan, Islam Sosial, Yogyakarta: Menara Kudus Yogya, 2003, hlm. 36-37.
21
M. Abdur Rahman, Dinamika Masyarakat Islam, dalam Wawasan Fiqh, Bandung:
Remaja Karya, 2002, hlm. 3.
22
Abu Zahra (ed) Politik Demi Tuhan, Nasionalisme Relgius di Indonesia, Bandung:
Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 38.
26
Sejarah politik Islam Indonesia baik pada masa pra modern dan masa
umpamanya, mengalami transformasi arti yang cukup berarti. Jika masa Abu
Bakar kata khalifah (dalam khalifatu Rasul Allah) membawa pengertian netral
salah satu isu sentral dalam sejarah pemikiran politik, tidak terkecuali
upaya pencarian landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara atau
Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan
nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang
terjadi.23
23
Ibid., hlm 43.
27
dan mobilisasi politik yang cepat justru akan menimbulkan pertikaian dan
para pendukungnya, bahwa masa depan Indonesia haruslah bebas dari politik
masa lalu yang harus disingkirkan. Sebagai gantinya, aparat birokrasi dan
hal ini pun mendapat sambutan hangat di kalangan kaum intelektual, yang
sejahtera, dan mencakup gambaran yang jelas tentang kebebasan politik dan
24
M. Syafi‟i Anwar. Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Moslem Indonesia, Jakarta: Paramadina, hlm. 20.
25
Mustafa Moh Thaha, Tantangan Politik Negara Islam, Malang: Pustaka Zamzani.2003,
hlm. 25.
28
Sehingga dalam hai ini para tokoh-tokoh Islam selalu bergerak dan
akan menegakkan sistem politik Islam, maka sistem politik itu harus jelas.
Bagaimana jadinya jika sistem dan batasan-batasan itu tidak jelas, dan pada
saat inilah para intelektual muslim dipanggil untuk ikut andil dalam
membangun sistem politik Islam yang layak bagi umat, bagi peradaban
solving) atas segala masalah umat Islam, terlebih dalam membangun sebuah
negara. Dalam pandangan semacam ini, mereka tidak dapat lagi membedakan
pemahaman ini adalah agama Islam yang bersumber dari pada al Qur‟an dan
energi kreatif yang maksimal dari umat manusia dan untuk menjaga agar
kreatifitas yang maksimal dari ummat manusia tetap berada pada saluran
moralitas yang benar. Dengan jelas dan tegas al Qur‟an telah menerangkan
hal-hal yang diperlukan untuk tujuan hidup manusia. Al Qur‟an dengan keras
26
Ibid., hlm. 26.
27
Adan, op. cit., hlm 36
29
Jadi, segala sesuatu yang telah ditulis para ulama terdahulu adalah
suatu kebenaran final yang tidak dapat diganggu gugat. Adanya pembakuan
terhadap pemahaman Islam atau yang sering kita sebut sebagai fiqh kerap kali
dan fundamentalisme.29
negara merupakan bagian dari dogma agama. Bahkan, menurut Syafi‟i Maarif
(1935 M.), Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998 M.), seorang ahli teologi
28
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Muhyiddin, Bandung: Pustaka,
1984, hlm. 149.
29
Dedi M Sodik, Islam dan Humanisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007, hlm. 6.
30
Dede Rosyada, et al., Pendidikan Kewargaan (Civil Education): Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Cet. Ke-1, 2000, hlm.
58.
30
intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan umat Islam adalah berkait
Menurut Deliar Noer (1926 M.), Islam setidaknya meliputi dua aspek
untuk memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari
mereka malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama
dan negara.33
Dimana perdebatan ini muncul dilatar belakangi oleh teks-teks agama sendiri
menyebut dua hal tersebut. Bahkan sering dijumpai ungkapan al Islam huwa
al din wa al daulah.34
31
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, cet. Ke-1, 1999, hlm. ix.
32
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesi 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-
8, 1996, hlm.1.
33
Ahmad Syafi‟i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-1, 1996, hlm. 15.
34
Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, Yogyakarta: LKiS, cet. ke-1,
2000, hlm. 88.
31
Qur‟an belum menjelaskan secara rinci tentang bentuk dan konsepsi tentang
negara Islam.35
Opini tentang teori politik Islam seperti di atas kiranya telah dikenal
hubungan agama dan negara tersebut, setidaknya lebih dikenal dengan istilah
“tiga paradigmatik pola hubungan agama dan negara”, yang diutarakan dan
35
M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 1.
36
Din Samsudin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, ( Jakarta :
Logos Wacana Ilmu, 2002 ), hlm. 57
32
inilah, akan dijelaskan secara lebih terang mengenai konsepsi Islam tentang
sekularistik.
1. Paradigma Integralistik
neagra. Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini tidak bisa dipisahkan
Bagi kelompok ini, syari‟ah selalu dipahami sebagi totalitas yang par
37
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al Qur‟an Depag RI, al Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang: al Waah, 1993, hlm. 167.
33
Allah, dan hal ini hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi.39
agama dan negara. Syari‟ah adalah skema kehidupan yang sempurna dan
38
Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, Yogyakarta: LKiS, Cet. Ke-1,
2000, hlm. 90.
39
Andito (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung:
Pustaka Hidayah, Cet. Ke-1, 1999, hlm. 47.
40
Ibid.
41
Ahmad Suaedy (ed.), op. cit., hlm. 91.
34
hubungan satu sama lain di dalam segala aspek, baik bersifat individu,
tercapainya misi tersebut haruslah ditegakkan negara Islam. Dan dalam hal
ini, menurut al Maududi, harus didasarkan pada empat prinsip dasar, yaitu
daulah dalam pelataran politik Islam. Dan sebagai komitmen logis dari
2. Paradigma Simbiotik
interaksi timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam hal ini, agama
Agama akan berjalan baik dengan melalui institusi negara, sementara pada
posisi lain negara juga tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama,
42
M. Yusuf Musa, Nidhamul Hukmi fil Islam, terj. M. Thalib, “Politik dan Negara dalam
Islam”, Kairo, cet. ke-2, 1963, hlm. 23.
43
Andito (ed.), op. cit.,
44
Abdul Mun‟im D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas, Cet. Ke-1,
2000, hlm. 8.
35
moral.45
agama dalam keadaan bahaya. Dan negara tanpa disiplin hukum wahyu pasti
keperluan agama yang terpenting. Karena tanpanya, agama tidak akan tegak
dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan
agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda,
sanksi-sanksi kegamaan.47
45
Ahamad Suaedy (ed.), op. cit., hlm. 92.
46
Ahmad Syafi‟i Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin, Jakarta: Gema Insani Press, cet. ke-1, 1996, hlm. 180.
47
Imam al-Mawardi, Al Ahkam al Sulthaniyyah wa al wilaayah al Diiniyyah, terj. Abdul
Hayyie al Kattani dan Kamaluddin Nurdin “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam
Takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, cet. ke-1, 2000, hlm. 15.
36
syari‟at agama.48
dicontohkan pararelisme Nabi dan raja. Menurut al Ghozali, Jika Tuhan telah
mengirim nabi-nabi dan memberi wahyu pada mereka, maka Dia juga telah
status yang tinggi dalam hubungannya dengan Nabi. Ini berarti bahwa
pemberian dan berasal dari Tuhan. Kekuasaan otoritatif kepala negara ini
48
Ibid.,
49
Andito (ed.), op. cit., hlm. 48.
50
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, Cet. Ke-2, 1995, hlm. 10.
37
disebut ahl halli wal aqdi, dengan syarat-syarat tertentu yaitu adil, ahli ra‟yi
Mawardi juga harus memenuhi syarat khusus, misalnya; baik panca indra,
tiada cacat anggota tubuhnya, dan mempunyai buah pikiran yang bagus yang
mengembangkan rakyat.51
kepada masyarakat muslim untuk ikut andil dalam menentukan kondisi sosial
politik negara.
3. Paradigma Sekularistik
tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.52 Menurut
sendiri. Sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama
positif yang berlaku adalah hukum yang benar benar berasal dari kesepakatan
manusia malalui social contrac dan tidak ada kaitannya dengan hukum agama
(syari‟ah).53
Salah satu pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abdul Raziq (1888-
1966 M.), seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Pada tahun 1925, Ali
Ahkam. Dia menyatakan bahwa Islam tidak mempunyai kaitan apa pun
agama dan politik. Dia memberikan alasan yang cukup panjang dari
53
Dede Rosyada, et al., op. cit., hlm. 63-64.
54
Ali Abdurraziq, Al Islam wa Usul al Ahkam, terj.Penerbit Jendela “Islam dan Dasar-
Dasar Pemerintahan”, Yogyakarta: Jendela, 2000, hlm. 50.
55
Ibid.,
39
Maka dari itu, menurut Ali Abdur Raziq, asumsi yang menyatakan
serta pemerintahan yang „Islami‟ adalah sesuatu yang keliru dan melenceng
jauh dari sejarah. Apa yang misalnya dikatakan sebagai sistem khilafah,
sistem ‟imamah‟ itu semua bukanlah keharusan bagi kaum muslimin untuk
dibawa Islam menurutnya adalah murni aturan agama dan demi kemaslahatan
56
Ibid., hlm. 101.
40
Adapun indikasi pola pikiran dalam paradigma ini, bila dipahami dari
tesis Abdur Raziq ialah; Islam tidak mewajibkan kepada umat untuk
mereka. Hal ini dikarenakan memang dalam al Qur‟an, hadits maupun ijma‟
tidak ada yang mengatakan hal tersebut, sebagai dalil dan landasan yang
pemerintahan.57
yang ada. Sehingga tidak sedikit kritikan yang tertuju kepadanya dan
sebagai konstitusi dalam negara. Sebaliknya model kedua dan ketiga lebih
57
M.Yusuf Musa, op. cit., hlm. 101.
41
utamanya.58
tradisi pemikiran politik Islam itu kaya dan beraneka ragam. Sehingga
berbicara mengenai konsepsi tentang negara Islam tidak akan mudah diklaim
umat Islam. Pada tanggal 3 Maret 1924 sistem khalifah ini berakhir setelah
1923 oleh Mustafa Kemal Attaruq (1881-1938 M.). Sejak itu institusi
khalifah yang dipandang sebagai supremasi politik dan simbol kesatuan umat
Islam lenyap. Akhirnya, sampai masa sekarang umat Islam hidup di bawah
dalam Islam tidak terdapat konsepsi yang spesifik dan definitif tentang
negara.
BAB III
Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M (26 Muharram 1358 H). Ia adalah
H. Abdul Madjid, seorang kiai jebolan pesantren Tebu Ireng, Jombang yang
Asy‟ari. Ibunya adalah anak dari Kiai Abdullah Sadjad yang juga teman baik
(sore hari) yang didirikan oleh ayahnya. Setelah tamat SR pada tahun 1952 Ia
hanya dapat bertahan selama dua tahun dengan menyelesaikan Ibtidaiyah dan
sedang melanjutkan Tsanawiyah. Selama dua tahun di pesantren ini, Cak Nur
merasa tidak kerasan karena dua alasan; pertama, karena alasan kesehatan,
kedua, karena alasan ideologi politik, sebab ayah Cak Nur meski orang NU
tetapi aktifis masyumi. Dengan menyitir pendapat fatwa KH. Hasyim Asy‟ari
1
Nur Khalid Ridwan, Pluralisme Borjuis; Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur,
Yogyakarta: Galang Press, 2002, hlm. 37-38.
43
44
umat Islam Indonesia”, sehingga meskipun saat itu NU sudah keluar dari
Timur.2
tertentu dan terikat dengan madzhab imam tertentu. Di Gontor, Cak Nur
selalu menunjukkan prestasi yang baik, sehingga dari kelas satu Ia bisa
langsung loncat naik ke kelas tiga. Karena prestasinya yang cukup baik,
Mesir. Sebagai gantinya Cak Nur masuk ke Institut Agama Islam Negeri
Hidayatullah Jakarta, Cak Nur mengambil Fakultas Adab Jurusan Sejarah dan
kursus bahasa perancis dan beberapa bahasa lain, serta mulai menulis di
2
Ibid., hlm. 48.
3
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hlm.
iii.
45
beberapa media massa. Dunia tulis menulis dimulai ketika artikel berbahasa
arab tentang Fiqh Umar yang diterjemahkannya dimuat dalam majalah Gema
Islam, majalah milik Hamka. Sejak itu tulisannya banyak menghiasi majalah
Gema Islam. Cak Nur meraih gelar sarjana tahun 1968 dengan skripsi
Setelah tamat dari IAIN Jakarta, Pada tahun 1978 atas prakarsa
meraih gelar doktor dalam bidang kalam dan filsafat dengan desertasi “Ibn
(Ibnu Taimiyyah dalam kalam dan filsafat; masalah akal dan wahyu dalam
digerakkan oleh para mahasiswa dan kalangan perguruan tinggi termasuk Cak
besar luar biasa dalam bidang ilmu filsafat Islam di IAIN Syarif Hidayatullah
Bumi”.
4
Nur Khalid Ridwan, op. cit, hlm. 55.
5
Ibid., hlm. 60.
46
Anshori dan Sakip Muhammad, menjadi dokumen resmi HMI yang berjudul
Dewan Penasehat ICM (1996), pendiri dan ketua Yayasan Paramadina, juga
6
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan..., op. cit.
47
pendidikan dari Amerika, ada sedikitnya tiga hal penting yang mempengaruhi
Indonesia, ketiga tahap itu yakni tahap orde baru, orde lama dan orde
reformasi. Pada orde lama dan orde baru iklim perpolitikan negara
yang mempengaruhi corak pemikiran Cak Nur, tapi lebih lanjut menurut
Azumardi Azra, Cak Nur merupakan sosok pemikir yang sulit untuk
7
Nurcholish Madjid, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1,
1997, hlm. xii-xiii.
8
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun; Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Cak Nur,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 2001, hlm. 25-26.
48
“dikotakkan” dalam satu tipologi yang mutlak, Ia terlalu sulit untuk dikaitkan
pada satu sumber atau faktor, boleh saja dipengaruhi Fazlur Rahman atau
Ibnu Taimiyyah, pada saat yang sama Ia juga bisa berbeda dengan mereka
injunctions) dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam penampilan, tetapi juga
tidak akan pernah lepas dari masalah-masalah politik, inilah yang menjadi ciri
9
Azumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani; Gagasan, Fakta Dan Tantangan, Badung:
PT. Rosdakarya, cet. ke-1, 1999, hlm. 159.
10
Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama Dan Krisis Modernisme,
Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1, 1998, hlm. 18.
49
khas (manhaj fikr) Cak Nur dalam setiap gagasannya sebagai seorang tokoh
11
Syafi‟i Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1, 1995, hlm. 155-184.
50
yang seringkali diabaikan para politisi. Politik Islam adalah satu di antaranya,
yang merupakan sikap kritis Cak Nur sebagai intelektual yang gandrung akan
antara agama dan negara, yaitu pada level pemikiran politik. Agama memberi
politik itu pun harus bersifat umum. Cak Nur mengklasifikasikan pemikiran
politik tersebut dalam beberapa tema pemikiran yaitu demokrasi, keadilan dan
keterbukaan.13
12
Edy A. Effendi, Dialog dan wacana keterbukaan, pengantar dalam Nurcholish Madjid,
Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta:
Paramadina, Cet. ke-1, 1998, hlm. xvi.
13
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Refoemasi, Jakarta: Paramadina, 1999,
hlm. xiv.
51
a. Oposisi
orang lain, dan menyatakan pikiran. Untuk itu salah satu lembaga
postulat yang sederhana sekali, yaitu bahwa masalah sosial dan politik
tidak bisa dipertaruhkan dengan itikad baik, betapapun klaim orang itu
orang banyak. Dan kalau sesuatu itu sudah bersifat sosial yang
sampai kita menjadi korban yang fatal untuk suatu kenyataan yang
musyawarah-mufakat.16
b. Prinsip Musyawarah
pers, tapi prinsip musyawarah itu juga akan di rusak oleh sikap-sikap
16
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan..., op. cit., hlm. 27.
53
berada di pihak yang lebih baik atau lebih benar. Musyawarah yang
demokratis.
oleh adanya stratifikasi sosial yang kaku dan a priori dalam sistem-
c. Pluralisme
d. Kedaulatan Rakyat
nilai kesepakatan luhur dalam muqoddimah UUD 1945, akan sirna tak
17
Ibid., hlm. 172.
18
Ibid., hlm. 191.
55
a. Keadilan sosial
rasa ikut punya dan rasa ikut serta oleh semua. Komitmen kepada usaha
handalan ekonomi pertanian rakyat yang maju dan modern, dan dengan
basis industri rakyat. Dalam sistem ekonomi global -suatu hal yang
19
Ibid., hlm. 192.
56
kita akan mampu bersaing secara sehat, dengan hasil akhir kemenangan
ekonomi nasional itu pula, kita akan lebih terlindung dari unsur
b. Ketaatan hukum
jalan.21
c. Pemberantasan korupsi
20
Ibid., hlm. 193.
21
Ibid., hlm. 189.
57
terbuka untuk kelas atas, tetapi orang-orang dari kelas bawah pun sering
maka tidak ada jalan bagi usaha memberantas korupsi selain dari pada
yang kuat dan keteladanan pemimpin itu harus sejalan seiring dan
bersama-sama.24
22
Ibid., hlm. 199.
23
Ibid., hlm. 200.
24
Ibid., hlm. 201.
58
Suatu hal yang patut kita terima dengan penuh syukur kepada
dipahami dan di pandang sebagai idiologi terbuka. Oleh karena itu tidak
sebagai masyarakat majemuk tetapi juga bagi idiologi nasional itu sendiri
25
Ibid., hlm. 193.
59
keadaan yang lebih baik. Karena logika itu maka suatu reformasi tidak
cukup merasa rendah hati agar melihat kemungkinan dirinya salah, dan
musyawarah.30
kaum muslim mengemukakan gagasan politik yang tidak sesuai dan tidak
29
Ibid., hlm. 185.
30
Ibid., hlm. 186.
61
berorientasi nasional.
dan sosial. Maka mereka yang syariat yang peduli sejarah dan tatanan
social seperti itu. Memang mereka yang hadis yang paling tegar
terlebih lagi, sisi Islam yang paling tampak konsisten dengan masyarakat
sosial pada masa masa pramodern, dan sekarang cenderung secara politis
bersifat konservatif.31
31
Nurchalis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan Pustaka, 2008,
hlm. 31.
62
yang kedua tahun 1972, yang mana sebagian isi ceramah itu sebenarnya
yang bersifat totaliter. Umat Islam menjawab serbuan itu dengan kosep al
din yang mencakup kesatuan agama dan Negara, namun tidak didasarkan
senantiasa berubah.
63
ikut mengatur masalah agama dan kepercayaan, maka hal ini tidak sesuai
dengan ajaran Islam sendiri yang tidak mengenal otoritas keagamaan (la
dialog dua arah, tidak menggurui dan juga tidak provokatif, maka
32
M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Berkebangsaan,
Jakarta: Kencana Media, 2010, hlm. 47.
64
lama yang cenderung dictator seperti halnya orde baru sudah tidak layak
konsep sekularime.
2. Perlunya cara berpikir yang lebih bebas, sehingga umat islam tidak
3. Perlunya idea of progress dan sikap yang lebih terbuka erhadap umat
lain.
termasuk muslim.
33
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Politik; Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholis Madjid, Jakarta: Rajawali Press, 2004, hlm. 63.
65
absolut, berlaku untuk setiap ruang dan waktu, dan budaya adalah relatif,
suatu kawasan dan zaman itu absah atau tidak, melainkan setiap hasil
34
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 45.
35
Ibid., hlm. 39
66
baik dari masa kini dan masa depan yang diperkirakan. Dengan begitu,
sebagai rahmatan lil „alamin dan cocok untuk segala zaman dan tempat
36
Ibid., hlm. 41.
BAB IV
berlaku tanpa dibatasi oleh batas teritorial seperti negara dan kerajaan. syariah
juga tidak ditujukan untuk sekelompok ras dan bangsa tertentu. Karena Islam
landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara atau pemerintah sebagai
masyarakat, baik lahiriah maupun batiniah. Pemikiran politik dalam hal ini
hubungan masalah politik dan agama. Hal ini antara lain disebabkan karena
1
Abu Zahro ( ed), Politik Demi Tuhan,: Nasionalisme Relejius Di Indonesia, Bandung:
Bandung ITB Press1998, hlm 43
67
68
Islam sendiri tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah
dan tujuan politik. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap
Islam sebagai agama individual dan lupa kalau Islam juga merupakan
berbagai kalangan.
dalam dunia politik Islam di Indonesia. Pengakuan atas perannya dalam dunia
Nurchalis madjid lebih banyak berkaca pada pemikiran para pemikir teologis
2
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raga Grafindo Persada, 2002, hlm. 269.
69
mengemukakan gagasan politik yang tidak sesuai dan tidak sebangun dengan
tiga pokok permasalahan yang harus dihadapi oleh umat Islam, yaitu:
1. Perlunya cara pemahaman yang lebih maju terhadap ajaran Islam dengan
sekularime.
2. Perlunya cara berpikir yang lebih bebas, sehingga umat Islam tidak lagi
3. Perlunya idea of progress dan sikap yang lebih terbuka terhadap umat
lain.
nasionalisme, sosialisme dan paham paham modern yang lain adalah paham
yang bersifat totaliter, yang berarti secara menyeluruh ingin mengatur atau
lainnya. Dalam hal ini, Islam telah diapresiasikan secara atau bersifat
sendiri bukan sebuah teori atau ideologi, lebih jauh ia mengatakan, dalam
bidang politik Islam berada pada posisi yang mengiringi syariah dan lebih
agama dan Negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang
suatu Negara tidak mungkin menembus dimensi spiritual guna mengatur dan
mengawasi serta mengurus sikap bathin warga Negara, maka tak mungkin
manusia hanya akan menyempitkan Islam sendiri, sebagai cara hidup bagian
kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan
hanya dapat terwujud dalam lembaga politik Islam. Terkenal sekali semboyan
keilmuan. Pemikirasn Cak Nur memang sangat relevan dengan keadaan sosial
para pelaku politik, terutama para prilaku para elit politik. Dalam bukunya
yang lain, yang berjudul “Islam Doktrin dan Peradaban”, Cak Nur terkesan
perlu dikritisi lagi. Meskipun Cak Nur menyadur prilaku etika politik yang
dilakukan oleh nabi dan sahabat, namun itu hanya sebatas nilai-nilainya saja.
Sehingga disini pemikiran politik Cak Nur sangatlah lemah jika dikaitkan
dengan politik Islam dan pranata-pranata sosial Islam lainnya dalam tradisi
keilmuan Islam merupakan bagian dari syariah (al ahkam al amaliah). Itu
juga karena Cak Nur hanya mengambil sebagian saja baik dari waktu maupun
segi cakupannya. Piagam Madinah yang sering disebut Cak Nur sebagai
bersama.
Sementara itu, aspek yang dikemukakan Cak Nur hanya dari segi
nilai-nilai dan etikanya saja, padahal yang dominan pada masa Madinah
prinsip dalam piagam Madinah itu berlaku lagi, seperti persamaan (penuh)
Islam tidak akan kalah, orang Islam lebih efektif menjadi oposisi sambil
belajar untuk menjadi berkuasa. Dengan begitu Cak Nur telah mengingkari
tidak menarik untuk masa sekarang. Karena ide-ide tersebut sekarang sedang
partai Islam yang ada gagal dalam membangun citra positif dan simpatik dan
masyarakat yang sudah ada ini menjadi lebih Islami dengan pendekatan-
dan banyak yang mengalami kegagalan. Hingga akhirnya pada masa Suharto
kalah oleh partai nasionalis. Posisi yang lebih baik diterima oleh PKB dan
satu sisi keduanya diuntungkan dengan adanya basis massa yang besar (NU
keberagaman Indonesia.
alumni HMI yang duduk di kursi DPR akan hilang. Padahal bila kita
menengok sejarah politik rasul, rasul telah menjalankan politik secara kultural
mengatur setiap aspek kehidupan, semenjak awal mula, para ulama dan para
ahli hukum Islam telah merinci agama Islam sebagai; aqidah (keimanan atau
maupun sesamanya).
Dapat dikatakan pada zaman Nabi adalah Islam Yes Politik Islam
Yes. Dari pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik di atas, sangat kurang
relevan dengan konsep politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Itu
dapat dilihat dari latar belakang sejarah, yaitu sebagai negara yang heterogen,
Islam yes, karena waktu itu takut dengan kekuasaan Soeharto. Yang pada
mengatakan bahwa kekalahan Partai Islam adalah karena simbol Islam ini
sangat tidak beralasan seharusnya yang dikritik adalah ummat Islam yang
Dalam tradisi keilmuan Islam, pemikiran politik, itu tidak terlepas dari
siyasah syari’ah (pengaturan negara) dan ilmu siyasah syari’ah (ilmu tentang
pengaturan agama) yang juga disebut sebagai fiqh siyasah. Artinya tidak
yang mendukung. Dalam kondisi demikian ini, aspirasi umat baik dari segi
aspirasi ini. Orientasi ini, memang tidak pernah pudar dalam masyarakat
75
Islam di manapun berada, karena secara doktriner Islam memang tidak bisa
menyatu tapi saling memerlukan. Maka dari itu Islam dilihat sebagai satu
Dari beberapa uraian di atas dapat diambil sebuah implikasi bahwa ide
Cak Nur tentang ummat Islam lebih efektif menjadi oposisi sambil belajar
untuk menjadi berkuasa adalah kurang relevan dengan prilaku politik yang
Islam secara kultural, nabi juga menjalankan Islam secara struktural. Keadaan
Meskipun waktu itu partai Islam gagal. Dengan kegagalan itu diharapkan
partai Islam mampu instrospeksi diri agar lebih berhati-hati dan waspada
dalam berpolitik.
76
dengan tetap berpegang pada etika Islam. Sebagai agama yang sempurna,
Islam telah memberikan panduan etika dalam kehidupan manusia. Karena itu
reaksi keras adalah tentang politik Islam. Cak Nur mengatakan bahwa yang
negara. Menurutnya, antara negara dan agama harus dipisahkan, agar tidak
nilai-nilai Islami, mana yang transendental dan mana yang sifatnya temporal.
Oleh karena itu, politik harus dipahami sebagai sebuah proses perkembangan
Relevan pula dengan fungsi mereka sebagai khalifah Allah di atas bumi.
politik umat Islam. Tetapi lebih dimaksudkan untuk memurnikan agama dari
urusan dunia dan mana urusan akhirat. Umat Islam harus dapat berfikir secara
bebas dan kreatif, karena dengan begitu memungkinkan umat Islam untuk
antara politik dan Islam merupakan dua hal yang berbeda. politik cenderung
yang dianggap sebagai sesuatu yang sakral-ukhrawi. Islam yang hakiki bukan
semata merupakan struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang tegak
merupakan segi lain yang dimensinya spiritual dan individual. Antara agama
dan negara memang tidak bisa dipisahkan, namun antara keduanya itu tetap
78
ideologi dunia.5
negara adalah suatu kewajiban bagi umat manusia dalam bentuk demokratis,
meskipun tidak ada keharusan dari Islam dalam bentuk negara Islam, karena
5
Bosco Carillo dan Dasrizal, Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1983,
hlm. 4.
79
material, moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut,
mamahami agama itu sendiri. Pemahaman terhadap agama itu sendiri, oleh
pesan-pesan agama.
adalah akibat melemahnya kondisi sosial politik dan ekonomi dunia Islam,
masalah fiqih dan peribadatan. Perdebatan itu justru diakhiri dengan menutup
sama sekali pintu ijtihad, dan mewajibkan setiap orang taqlid kepada para
80
pemimpin atau pemikir keagamaan yang telah ada, yang berakibat mematikan
untuk tidak berbuat, dengan kata lain mereka telah kehilangan semangat
ijtihad.
Umat Islam sekarang, cenderung memahami Islam hanya dari satu sisi
ilmu tradisional Islam saja, yakni ilmu fiqih yang hanya membidangi segi-
lain, yakni Falsafah, Kalam, dan Tasawuf masih kalah mendalam dan meluas.
adalah manusia, maka tafsiran ulama tersebut tidak bisa dilepaskan dari sifat
theologis bisa berakibat pada kesyirikan kepada Allah, Tuhan yang maha
absolut.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
kaum muslim mengemukakan gagasan politik yang tidak sesuai dan tidak
sendiri bukan sebuah teori atau ideologi, lebih jauh ia mengatakan, dalam
bidang politik Islam berada pada posisi yang mengiringi syariah dan
antara agama dan Negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan
81
82
pribadi.
bumi ini.
B. Saran-saran
menunjukkan agar umat Islam bisa lebih maju dan bisa menerima hal
C. Penutup
skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu kritik dan saran konstruktif sangat penulis harapkan guna kesempurnaan
skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya hanya dengan Ridha dan Hidayah
Alfaris, Moh. Abdul Kadir, Feqih Politik Hasan al Banna, Solo: Media Insani,
2003.
Azis, Abdul, Politik Islam dan Politik, Yogyakarta: Tiara wacana, 2006.
Black, Antony, The History of Islamic Political Thought; From the Prophet to
the Present, terj. Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati, Pemikiran
Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2006.
Effendi, Edy A., Dialog dan wacana keterbukaan, pengantar dalam Nurcholish
Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana
Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1, 1998.
Effendy, Bachtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
------, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1, 1998.
------, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1,
1997.
Moten, Abdul Rased, Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka Amani, 2001.
Mun’im, Abdul D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas,
Cet. Ke-1, 2000.
Musa, M. Yusuf, Nidhamul Hukmi fil Islam, terj. M. Thalib, “Politik dan
Negara dalam Islam”, Kairo, cet. ke-2, 1963.
Musa, Yusuf, Politik dan Negara dalam Islam, Surabaya: Al Ihlas, 1990.
Nasution, Harun, Hubungan Islam dan Negara, Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama Depag RI, 1992.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raga Grafindo Persada, 2002.
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. ke-3, 1988.
Pulungan, J. Suyuti, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-2, 1995.
Rais, M. Amin, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan,
1989.
Ridwan, Nur Khalid, Pluralisme Borjuis; Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak
Nur, Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Riyanto, Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, cet.
ke-1, 2004.
Sadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan pemikiran, UI
Press, Jakarta, 1993.
Salim, Abdul Mun’im, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-
Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Sodik, Dedi M., Islam dan Humanisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007.
Sofyan, Ahmad A. & M. Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara
dan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2005.
Agama : Islam
Riwayat Pendidikan :
Demikian riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya dan untuk dapat
Penulis,
Muhammad Jawahir
NIM. 092211025