Sistem Politik Islam

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 63

SISTEM POLITIK ISLAM DALAM PERSPEKTIF ABU

AL-A’LA AL-MAUDUDY

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Dalam Ilmu Ushuluddin dan Studi Agama

Oleh:

Ahmad Saukat Ali


NPM : 1431040037

Jurusan : Pemikiran Politik Islam

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
RADEN INTAN LAMPUNG
1441 H / 2019 M
ABSTRAK

SISTEM POLITIK ISLAM DALAM PERSPEKTIF ABU AL-A’LA AL-


MAUDUDY
Oleh :

AHMAD SAUKAT ALI

Sungguhpun pemikiran Abu al-A’la al-Maududy Banyak ahli yang


mempertanyakan atau bahkan tidak setuju dengan statemen bahwa Islam
merupakan sistem komprehensif, mencakup segala persoalan duniawi dan/ atau
ukhrawi yang tercemin dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an atau Sunnah Nabi. Akan
tetapi dengan konsisten, pendiri Jama’at-i Islam ini mencoba merakit dan
menjalin seluruh pemikirannya menjadi satu sistem dan tata pikir terpadu.
Statemen dasar bahwa Islam merupakan sistem komprehensif , bagi kehidupan
manusia menjadi pijakan utama yang termuat di dalamnya sistem sosial, sistem
ekonomi, sistem politik, dan sebagainya. Baginya, Islam merupakan sebuah
sistem yang teratur rapi, suatu keseluruhan yang berdiri di atas postulat yang jelas
dan pasti. Segala kehidupan manusia telah diatur di dalamnya dengan tegas,
sehingga kaum muslim tidak perlu berpaling atau bahkan mencari sistem lain
dalam mengatur hidup dan kehidupannya. Sungguhpun pemikiran al-Maududy
sering mendapat kritik keras, akan tetapi kritik itu tidak sedikitpun menggoyahkan
kemantapan tata pikirnya yang begitu solid.Dengan argumentasi-argumentasinya
yang sistematis, ia mampu tetap bertahan dengan konsep dasar universalitas
Islam. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan (1) Bagaimanakah
system politik Islam menurut Abu A’la Al-Maududi? (2) Bagaimana hubungan
antara sistem politik Islam Abu A’la Al-Maududi dengan sistem politik modern?.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (Library Research) yang datanya
diperoleh dari hasil membaca dan pengumpulan buku-buku yang barkaitan dengan
penelitian, seperti data primer dan data sekunder. Setelah mendapatkan data,
kemudian data tersebut diolah dengan menggunakan metode membaca pada tahap
simbolik, yakni membaca yang dilakukan tidak menyeluruh melainkan
menangkap isi dari data tersebut, membaca pada tingkat semantik, yakni
membaca secara terinci, terurai, dan menangkap esensi dari data tersebut.
Kemudian data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan metode Holistika,
dan Interprentasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat diketahui
bahwa, dalam Sistem Politik Islam Dalam Perspektif Abu Al-A’la Al-Maududy.
sepertiAbu Al- A’la Al-Maududy menggagas persoalan utama berhubungan
dengan tauhid atau ketuhanan yang di aplikasikan dalam kemauan Tuhan bukan
kemauan makhluknya. Islam harus tunduk dan patuh terhadap kedaulatan Tuhan
sehingga dapat menjalankan dengan cara yang demokrastis. negara/lembaga
eksekutif.
SURAT PERNYATAAN ORISINAL

Assalamualaikum, Wr. Wb

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Ahmad Saukat Ali

Npm : 1431040037

Jurusan/Prodi : Pemikiran Politik Islam

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Sistem Politik Islam Dalam

Perspektif Abu Al-A’la Al-Maududy” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri

dan tidak ada unsur plagiat, kecuali beberapa bagian yang disebutkan sebagai

rujukan di dalamnya. Apabila dikemudian hari dalam skripsi ini ditemukan

ketidak sesuaian dalam pernyataan tersebut, maka seluruhnya menjadi tanggung

jawab saya dan saya siap menerima segala saksi yang diakibatkannya.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

Wassalamualaikum, Wr. Wb

Bandar Lampung, 20 Oktober 2019

Ahmad Saukat
Ali
NPM
1431040037

MOTTO
          

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu” (QS. An-Nisa:59)

PERSEMBAHAN
Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT, atas berkat rohmat dan

Inayah-Nya, dan shalawat serta salam semoga Allah tetap melmpah curahkan

kepada jujungan baginda Nabi Muhammad SAW. Dengan penuh rasa puji dan

segala syukur dan tulus ikhlas maka skripsi ini kupersembahkan kepada :

1. Kedua orang tuaku tercinta (Ayahanda Ahmad Bangsawan Ali dan Ibunda

Ratna Erlaeni), yang senantiasa membimbing penuh dengan kasih sayang

dan kelembutan hati, dan selau mendoakan akan kesuksesan demi

keberhasilan dalam mengapai sebuah cita-cita.

2. Untuk adik-adiku tercinta, yang selalu memberikan semangat dalam

memberikan arahan dan motivasi serta turut mendo’akan untuk mencapai

keberhasilanku.

3. Almamaterku tercinta UIN Raden Intan Lampung tempatku tholab ilmi

yang saya banggakan.

RIWAYAT HIDUP
Ahmad Saukat Ali. Lahir di Penengahan La’ay tanggal 06 juni 1996 putra

pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Ahmad Bangsawan Ali

dan Ibunda Ratna Erlaeni. Pendidikan pertama kali SDN 1 Penengahan La’ay

dan lulus pada tahun 2008. Kemudian melanjutkan sekolah di MTS NU Krui

lulus pada tahun 2011. Kemudian melanjutkan MAN Krui lulus pada tahun

2014,kemudian tepat pada tahun 2014 meneruskan pendidikan SI di

Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung terdaftar sebagai Mahasiswa

Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama Jurusan Pemikiran Politik Islam.

Selama aktif menjadi mahasiswa UIN RIL menjadi anggota PMII Rayon

Ushuluddin Dan Studi Agama.

KATA PENGANTAR
Hanyalah Allah jualah yang berhak segala puji, dan hanya Allahlah yang

maha Agung dan maha Kaya dengan segala ilmu. Selawat dan salam semoga

terlimpah kepada Nabi Muhammad, Rasuluallah SAW. Dan para pendukung-Nya

yang mau nyampaikan-Nya ilmu Allah kepada umat yang haus kebenaran serta

yang menggali ilmu Allah yang tertera dan tidak tertera. Seperti ayat kaunia dan

tanzil.

Alhamdulilah dalam pembuatan skripsi ini tidak ada hambatan atau kendala

yang berarti, sehingga pembuatan skripsi ini dapat terselesaikan degan baik dalam

hal ini saya selaku penulis. Dalam pembuatan skripsi ini memiliki kekurangangan

dalam penyusunan, maka harapan penulis kepada pembaca dapat memberika

kritik dan sarannya. Karya kecil ini tidak akan terealisasikan tanpa adanya

bantuan dari semua pihak. Untuk itu penulis ucapkan terimakasih yang sebanyak-

bannyaknya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Moh. Mukri M.Ag. Selaku rektor UIN Raden Intan

Lampung, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

tholab ilmi dikampus tercinta ini.

2. Bapak Dr. H. M. Afif Ansori M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

dan Studi Agama UIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan

kesempatan penulis untuk menimba ilmu di Fakultas Ushuluddin dan

Studi Agama Di Prodi Pemikiran Politik Islam.

3. Ibu Dr. Tin Amalia Fitri, S.Sos, M.Si, sebagai Ketua Jurusan Pemikiran

Politk Islam, dan Ibu Eska Prawisudawati Ulpa, M.Si selaku Sekertaris
Jurusan Pemikiran Politik Islam yang telah memberikan waktunya dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepada pembimbing I, Bapak Dr. H. Nadirsah Hawari, Lc., M.A dan

Bapak Abdul Qohar, M.Si selaku pembimbing II yang telah banyak

memberikan saran dan sumbangan pemikiran kepada penulis sehingga

dapat tersusunnya skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama UIN Raden

Intan Lampung yang telah membimbing penulis selama menimba ilmu di

Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama, khususnya di Jurusan Pemikiran

Politk Islam.

6. Teman-teman angkatan 2014 dan Khususnya sahabat–sahabat, zahrial,tri

sektiono,irma, yogi,imam,siddiq,dwi,lia,beni,lista,yusuf,apriansyah dan

lain-lain terimakasih atas dukungan dan semangat semuanya.

Demikianlah mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan kontribusi

positif, dan peneliti akhiri dengan memanjatkan do’a semoga Allah berkahi.

Aamiin.

Bandar Lampung, 20 Oktober 2019

Ahmad Saukat Ali


NPM 1431040037
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


ABSTRAK ......................................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iv
PERNYATAAN ORISINAL ............................................................................ v
MOTTO ............................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN .............................................................................................. vii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Penegasan Judul ..................................................................................... 1
B. Alasan Memilih Judul ............................................................................ 2
C. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 3
D. Rumusan Masalah .................................................................................. 5
E. Tujuan Penelitian ................................................................................... 5
F. Manfa’at Penelitian ................................................................................ 6
G. Metode Penelitian .................................................................................. 6
H. Tinjauan Pustaka. ................................................................................... 10

BAB II TEORI UMUM POLITIK ISLAM .................................................... 14

A. SISTEM POLITIK ISLAM


1. Teori Politik Islam ............................................................................... 16
2. Tujuan Negara Islam ............................................................................ 17
3. Kekhalifahan Dan Hakekat Demokrasi Dalam Politik Islam ............. 21
B. HUBUNGAN POLITIK ISLAM DENGAN ASPEK HUKUM DAN
EKONOMI............................................................................................. 24
1. Politik Dan Hukum.......................................................................... 24
2. Politik Dan Ekonomi ....................................................................... 35
BAB III BIOGRAFI ABU AL-A’LA AL-MAUDUDY ................................. 44

A. Riwayat Hidup Abu A’la Al-Maududy.............................................44


B. Riwayat Pendidikan Abu A’la Al-Maududy. .................................... 44
C. Karya-karya Abu A’la Al-Maududy.................................................. 45

BAB IV SISTEM POLITIK ISLAM DALAM PERSPEKTIF ABU AL-A’LA


AL-MAUDUDY ................................................................................................. 49

A. Prinsip Teori Politik Islam Menurut Abu A’la Al-Maudud .............. 49

B. Abu A’la Al-maududy dan Negara Islam .......................................... 60

C. Tujuan Negara Islam Menurut Abu Al-A’la Al-Maududy ................ 71

D. Prinsip Politik Islam .......................................................................... 83

E. Sistem Khilafah Menurut Abu Al-A’la Al-Maududy ........................ 85

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 91

A. Kesimpulan......................................................................................... 91

B. Saran-Saran......................................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

Dalam penegasan judul ini yang terpenting akan dipaparkan atau dijabarkan

pokok-pokok bahasan dalam penulisan proposal judul ini yang akan digunakan untuk

penulisan skripsi setelah dilaksanakannya seminar skripsi ini berjudul ” Sistem

Politik Islam Dalam Perspektif Abu Al-A’la Al-Maududy.”

Sistem politik Islam adalah sistem konstitusional yang dibentuk atas syarat-

syarat yang digariskan oleh syariah, yang merupakan sistem kehidupan yang lengkap

dan meliputi semua tatanan sosial. Syariah menurut al maududi adalah persoalan yang

meyentuh pada aspek ritual-ritual keagamaan, karakter pribadi, moral, kebiasaan-

kebiasaan, hubungan keluarga, unsur-unsur sosial dan ekonomi, hak-hak dan

kewajiban warga, sistem hukum, hukum perang dan damai serta hubungan

internasional.1 Sistem politik Islam dalam hal ini dikhususkan pada aspek ritual

keagamaan atau upacara yang dilakukan oleh berbagai macam agama antara lain

Islam,hindu,budha dan lain sebagainya. Dalam aspek ritualitas keagamaan diharapkan

tidak mencampur adukan antara keagamaan dan politik dalam arti lain Islam

memperbolehkan berpolitik akan tetapi tidak boleh mempolitisasi Islam

Perspektif dapat dimaknai sebagai sudut pandang baik dalam masyarakat

multikultural pandangan politik untuk menciptakan suatu perdamaian dalam

pemerintahan baik secara umum(berbagai negara), maupun secara khusus negara

Kesatuan Republik Indonesia yang mempunyai aset atau kekayaan dalam berbudaya,

berbangsa guna untuk menata suatu tatanan perekonomian yang sedang berkembang

1
Al-Maududi, Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Terjemahan Asep Hikmat,
(Bandung: Mizan, 1993), h.306.
pada saat ini. Suatu ikatan multikultural satu pandangan dan keinginan politik suatu

masyarakat. Dalam hal ini peranan para politikus sangat menentukan keinginan dan

cita-cita masyarakat.2 Setiap dalam penyelesaian masalah baik secara teori maupun

secara praktek hendaknya mengacu kepada sudut pandang para peneliti dalam mencari

solusi.

Abu Al-A’la Al-Maududy adalah Sayyid Abul A'la Maududi (Urdu: ٰ‫سید ابى االعلى‬

‫مىدودی‬- pengejaan alternatif nama akhir Maududi, dan Mawdudi) (25 September

1903 - 22 September 1979), juga dikenal sebagai Mawlana (Maulana) atau Syeikh

Sayyid Abul A'la Mawdudi, adalah jurnalis, teolog, dan filsuf politik Pakistan Sunni,

dan mayor pemikir Islam Ortodoks abad ke-20. Dia juga merupakan figur politik di

negaranya (Pakistan), di mana didirikan partai Islam Jamaat Al-Islami.3

Setelah dipaparkan dalam penulisan judul diatas maka penulis dapat

merangkum dalam pembahasan sistem politik Islam perspektif Abu Al-A’la Al-

Maududy ini, yaitu sistem ritualitas dalam keagamaan dan konstitusional yang

dibentuk atas syarat-syarat yang digariskan oleh syariah, yang merupakan sistem

kehidupan yang lengkap dan meliputi semua tatanan sosial digagas oleh Abu Al-A’la

Al-Maududy.

B. Alasan Memilih Judul

Adapun alasan penulis memilih judul di atas dalam “Sistem Politik Islam Dalam

Perspektif Abu Al-A’la Al-Maududy” ini adalah sebagai berikut:

1. Alasan secara Objektif

- Pengembangan teori kemungkinan yang berkaitan dengan pendekatan

pandangan Islam (perspektif Islam).


2
M Sidi Ritaudin Dosen Dan Ketua Prodi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin
IAIN Raden Intan Bandar Lampung Tahun 2015
3
Abu Al-A’la Al-Maududy” (on-line), tersedia di:
https://id.wikipedia.org/wiki/Abul_A%27la_Maududi (23 Oktober 2018)
- Sebagai bahan rujukan penelitian yang akan datang

2. Alasan secara Subjektif

- Secara subjektif bahwa dalam penelitian ini penulis menganggap masih

urgen untuk melakukan research (penelitian), secara library research.

- Pembahasan proposal judul ini sesuai dengan Prodi Pemikiran Politik

Islam.

C. Latar Belakang Masalah

Umat Islam, sebagai bagian integral dari manusia secara general, mau atau

tidak, pasti bersentuhan, baik secara pasif maupun aktif, dengan dunia politik dan

pemerintahan karena keduanya merupakan bagian yang tak terhindarkan dari hidup

dan kehidupan. Terlebih, tidak sedikit ayat al-Quran yang menyinggung masalah ini

meskipun pada tataran global dan interpretatif sehingga memunculkan ide-ide tentang

politik dan pemerintahan yang beragam di kalangan intelektual muslim.

Salah satu tokoh yang mempunyai perhatian cukup besar terhadap masalah ini

adalah seorang pemikir dari sub kontinen India (Pakistan) yang bernama Abu al-A’la

al-Maududy, yang lahir pada tanggal 3 Rajab 1321 H./25 September 1903 M. di

Aurangabad, sebuah kota terkenal dikesultanan Hyderabad (Deccan), sekarang

bernama Andhra Prades di India.4

Banyak ahli yang mempertanyakan atau bahkan tidak setuju dengan statemen

bahwa Islam merupakan sistem komprehensif, mencakup segala persoalan duniawi

dan/ atau ukhrawi yang tercemin dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an atau Sunnah Nabi. Akan

tetapi dengan konsisten, pendiri Jama’at-i Islam ini mencoba merakit dan menjalin

seluruh pemikirannya menjadi satu sistem dan tata pikir terpadu. Statemen dasar

4
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Bandung: Mizan, 1993),
h. 238.
bahwa Islam merupakan sistem komprehensif5 bagi kehidupan manusia menjadi

pijakan utama yang termuat di dalamnya sistem sosial, sistem ekonomi, sistem politik,

dan sebagainya. Baginya, Islam merupakan sebuah sistem yang teratur rapi, suatu

keseluruhan yang berdiri di atas postulat yang jelas dan pasti. Segala kehidupan

manusia telah diatur di dalamnya dengan tegas, sehingga kaum muslim tidak perlu

berpaling atau bahkan mencari sistem lain dalam mengatur hidup dan kehidupannya.

Sungguhpun pemikiran al-Maududy sering mendapat kritik keras, akan tetapi

kritik itu tidak sedikitpun menggoyahkan kemantapan tata pikirnya yang begitu solid.6

Dengan argumentasi-argumentasinya yang sistematis, ia mampu tetap bertahan

dengan konsep dasar universalitas Islam.

Meskipun, pada tataran aplikatif sulit diwujudkan terlebih dewasa ini yang

mengemuka adalah tidak lagi ideologi agama, an sich, tapi juga faktor lain baik

berupa nasionalisme, partai politik, atau untuk kasus tertentu kesukuan. Kajian

terhadap konsepsi politik dan pemerintahan al-Maududy tampaknya cukup urgen bila

dilihat dari segi konsep-konsep yang ditawarkan, meskipun terkesan tekstual dengan

banyak menggunakan pola piker deduktif, yang terpolarisasi oleh diktum wahyu Ilahi,

tapi pada sisi yang lain realitas sosial yang muncul belakangan juga tersentuh walau

dalam porsi yang tidak sama dengan yang disebut sebelumnya.

Pemikiran politik al-maududy bersifat independen tidak terkontaminasi oleh

kepentingan-kepentingan yang sedang terjadi. Realitas politik yang sedang

berkembangan kala itu bahkan banyak ditentang karena dinilai tidak sejalan dengan

misi diturunkannya ajaran Islam. Hal ini terlihat, pada satu sisi, misalnya, ia

mengkritik dan melawan kebijakan pemerintahan Pakistan, Negara di mana ia tinggal,

5
Harun Nasution, Studi Islamika, No. 17 Juli 1983, h. 4.
6
M. Amin Rais, “Kata Pengantar Khilafah dan Kerajaan”, Dalam Abu Al- A’la Al-
Maududy, al-Khlilafah wa al-Mulk (Bandung : Mizan, 1978), h. 6.
dan menuduh orang-orang yang berkuasa di negara itu gagal mengubah pakistan

menjadi negara Islam yang sesungguhnya.

Al-Maududy mengemukakan mengenai sistem politik Islam yang termakna

pada bukunya Al-Khalifah Wa Al-Mulk itulah pandangan beliau mengenai sistem

politik di negaranya bahwa jelas terdapat permasalahan antara realitas politik yang

sedang berkembangan kala itu.

Sistem politik Islam tentang dalam perspektif Abu Al-A’la Al-Maududy

dianggap masih sangat relevan untuk dijadikan sebagai penulisan proposal judul yang

selanjutnya akan dibahas dalam bentuk skripsi.

Inilah sebagai langkah awal yang dilakukan oleh penulis mengenai pembahasan

tentang sistem politik Islam dalam perspektif Abu Al-A’la Al-Maududy.

D. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis paparkan, maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hubungan sistem politik Islam dengan politik dan

hukum menurut Abu A’la Al-Maududi?

2. Bagaimana hubungan antara sistem politik Islam dengan politik dan

ekonomi menurut Abu A’la Al-Maududi?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan memahami apakah ada korelasi antara sistem

politik Islam dengan politik Abu A’la A-Maududi.

2. Untuk mengetahui bagaimana sistem politik Islam Abu A’la Al-

Maududi sistem politik modern.


F. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan terhadap

seorang yang ingin lebih dalam mentelaah, mempelajari, akan ilmu

pengetahuan, menegakakan kebenaran ilmu Allah terhadap khazanah

keilmuan Islam, khususnya tentang fungsi sistem politik Islam dalam

perspektif Abu Al-A’la Al-Maududy.

2. Untuk menambah pengetahuan dalam bidang Pemikiran Politik Islam

selain itu untuk memenuhi tugas ahir dalam memperoleh gelar S1

dalam prodi pemikiran politik Islam Fakultas Ushulludin dan Studi

Agama, UIN Raden Intan Lampung.

G. Metode Penelitian

Dalam metode penelitian disini penulis memahami suatu permasalahan

agar hasilnya optimal dan sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan sebagaimana

yang diharapkan maka dari itu perlu bagi seorang peneliti menggunakan suatu

metode dalam melaksanakan tugas penelitiannya agar dapat di pertanggung

jawabkan hasil dari yang di teliti.

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat kajian Kepustakaan (Library Research), yaitu suatu

penelitian yang dilakukan secara kepustakaan atau mengutip dari berbagai teori

dan pendapat yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diteliti.7

Jadi, dalam penelitian ini akan mengumpulkan data dari buku, serta karya-

7
M. Ahmad Anwar, Prinsip-prinsip Metodologi Research, (Yogyakarta: tt., 1975), h. 2.
karya lain yang berhubungan dengan pokok pembahasan, yaitu yang berkenaan

dengan, Sistem Politik Islam Dalam Perspektif Abu Al-A’la Al-Maududy.

2. Jenis Penelitian

Dalam jenis penelitian ini, pembahasan terhadap masalah yang diteliti

dilakukan dengan menghimpun pendapat para ahli yang telah dituangkan

dalam tulisan-tulisannya untuk mendapat data yang diperlukan akan diambil

dari berbagai Literatur yang berhubungan dengan masalah yang dibahas

sehingga dalam penelitian ini mendapat data–data yang benar (Valid) yang

sesuai dengan kajian Skripsi.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data peneliti menggunakan dokumentasi, yaitu

dengan mengumpulkan buku-buku dan literature yang berhubungan dengan

materi penelitian. Selanjutnya peneliti mengklasifikasi, yaitu mengelompokkan

data berdasarkan ciri khas masing-masing berdasarkan objek formal penelitian.

Adapun sumber data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu data primer

dan data skunder karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan,

maka sumber-sumber utama adalah buku-buku, jurnal dan lain-lain.Dalam .8

Sumber data dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber penelitian:

a. Sumber Data Primer

Data primer adalah literatur diperoleh secara langsung dari sumber

aslinya yaitu karya-karya Abul A’la Al-Maududi. Sebagai berikut:

1. Khilafah Dan Kerajaan

8
Kaelan M.S. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. (Jogyakarta: Paradigm, 2005),
h. 58
2. Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam

b. Data Sekunder

1. Dasar-dasar Ilmu Politik (Mariam Budiharjo)

2. Pengantar Ilmu Politik

3. Memahami Ilmu Politik (Ramlan subakti)

4. Pemikiran politik perpektif Abul A’la Al-Maududi (Arsyad Sobby)

5. Al-Qur’an Adalah Filsafat (Inu Kencana Syafiie) dan lain-lain.

Data sekunder adalah suatu referensi-referensi yang secara tidak langsung

berkaitan dengan judul yang diambil peneliti.9 Untuk melengkapi data-data

yang sulit didapati, maka data yang sudah diperoleh akan di lengkapi oleh

literatur- literatur yang menuliskan tentang tokoh ini kemudian

mengklasifikasikan tulisan-tulisan tersebut yang ada Relevansinya dengan

Judul yang akan dibahas oleh peneliti.

4. Metode analisa Data

Metode adalah berkaitan dengan pelaksanaan penelitian, yang dibahas

secara rinci mencakup langkah-langkah penelitian. Selain dari itu suatu

penelitian harus di tuju pada metode dan harus diterapkanpula metode analisa

data, yaitu penerapan metode pada saat pengumpulan data dan setelah

terkumpul data. Dalam menganalisa data , peneliti menggunakan beberapa

macam metode-metode analisa agar mudah di mengerti serta fahami

diantaranya:

9
.Chailid Narbuko, Abu Ahmad, Metodologi Penelitian, Cet-1, (Jakarta, Bumi Aksara,
1997), h. 43
a. Metode Holistika

Tinjauan secara mendalam untuk mencapai kebenaran secara utuh. Objek

dilihat interaksi dengan seluruh kenyataan. Dan identitas objek akan terlihat

bila ada kolerasi dan koamunikasi dengan lingkungannya. 10 Objek hanya dapat

dipahami dan dimegerti dengan mengamati seluruh kenyataan dalam

hubungannya dengan manusia dan manusia sendiri dalam segala macam yang

mencakup hubungan aksi-reaksi sesuai dengan tema zaman. Pandangan

menyeluruh ini juga disebut totalitas, semua dipandang dengan kesinambungan

dalam satu totalitas. Dalam hal ini peneliti menggunakan metode tersebut

untuk menganalisis istilah-istilah yang digunakan dan muatan yang terdapat

didalam data. Sehingga makna yang terdapat didalam data tersebut mudah

dipahami dan didapatkan informasi yang akurat.

b. Interpretasi

Metode ini adalah karya pemikiran tokoh agar peneliti mudah dalam di

memahami, serta hayati untuk menangkap makna dan nuansa yang dimaksut

oleh tokoh secara khas. Pada aplikasi hakikat dalam penelitian karya Abul A’la

Al-Maududi agar dengan mudah ditelaah dan dipahami secara mendalam,

komprehensif dan holistik, sehingga penelitian ini dapat menghasilkan

pemikiran yang khas terutama pada Sistem Politik Islam Dalam Perspektif Abu
11
Al-A’la Al-Maududy.

10
Sudarto, Metodologi Penelitian filsafat, (Grafindo Persada Jakarta, 1997), h. 45
11
Anton Bakker dan Achmad Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1983), h. 63
5. Metode penyimpulan

Untuk memperoleh Suatu kesimpulan yang akurat terutama dalam Sistem

Politik Islam Dalam Perspektif Abu Al-A’la Al-Maududy maka peneliti

menggunakan alur pemikiran lingkaran hermeneutis yakni suatu pola

pemahaman dari hal induksi dan deduksi tidak dapat dikatakan mana yang

terjadi lebih dahulu, yang individual dari semula dipahami dengan

dilatarbelakangi oleh yang umum seakan-akan yang umum telah diketahui

sebelumnya.12Maka antara induksi dan deduksi ada terdapat suatu lingkaran

hermeneutis dari umum ke khusus dan seterusnya.

H. Tinjauan Pustaka

Rujukan pustaka yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Abu Al- A’la Al-Maududy mengeluarkan statment disamping penegakan

hukum agama juga mengemukakan persoalan-persoalan yang berkaitan

dengan ketatanegaraan secara konprehensif yang diuraikan munawir

sjadzali dalam bukunya yang berjudul Islam dan tata negara : ajaran,

sejarah dan pemikiran.

2. Abu Al- A’la Al-Maududy dalam pemikiran lain mengemukakan bahwa

“Kedudukan Kepala Negara Dalam Perspektif Abul A’la Al-Maududi”

oleh Muhammad Silohan Jaya Fakultas Ushuluddin Lampung skripsi

tersebut mengulas tentang kedudukan yang sebenarnya terhadap kepala

negara dalam perspektif Abu Al- A’la Al-Maududy

12
23 Anton Bakker dan Achmad Chams Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, kanasius,
(Yogyakarta 1990), h. 45
3. Imam Yudhi Prasetya Dalam Jurnal Pergeseran Peran Ideologi Dalam

Partai Politik. Pasca reformasi gairah perpolitikan di Indonesia mulai

berkembang lagi, partai politik yang dulu tidak berdaya ketika berhadapan

dengan penguasa mulai saat itu mulai menampakkan kekuatanya sebagai

pengontrol jalannya kekuasaan. Sebenarnya gairah seperti ini pernah

muncul diawal kemerdekaan sebagai buah dari revolusi panjang sebuah

negara dalam melawan penindasan kolonial. Euforia kebebasan politik

waktu itu sangat tergambarkan oleh muncul banyak sekali partai politik

dengan segala identitasnya. Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilu

pertama merupakan pemilu yang paling demokratis, dengan banyaknya

peserta pemilu dan asas jurdil yang relatif bisa dipertanggung jawabkan

karena penguasaa belum mempunyai kekuasaan dalam mempengaruhi

jalannya pesta demokrasi dan hal seperti ini yang pada saat sekarang

menjadi persoalan tersendiri dimana penguasa masih dapat mempengaruhi

proses pemilu, baik melalui mobilisasi pemilih untuk memilih partai

penguasa, politik uang, permainan data pemilih dan juga permainan dari

penyelenggara pemilu sendiri dalam memenangkan kandidat (Pemilu

Legislatif) tertentu. Saat pemilu pertama pada tahun 1955 diikuti oleh 172

partai politik, hal ini menunjukan bagaimana eforia kebebasan berpolitik

benar-benar terjadi setelah lamanya terbelenggu oleh penjajahan..13

4. Abu Al- A’la Al-Maududy dalam pemikiran lain mengemukakan bahwa

“syura dan demokrasi menurut abu a’la al-maududi serta aplikasinya

13
Imam Yudhi Prasetya, Pergeseran Peran Ideologi Dalam Partai Politik
Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 201130
dalam politik modern” oleh Wiyadi Fakultas Ushuluddin skripsi tersebut

mengulas prinsip dasar yang menjadi pondasi pemikiran al-maududi

tentang konsep syura dan demokrasi Islam dan merelevansikan dalam

politik modern.

5. Dalam buku yang berjudul “Khalifah dan Kerajaan” menerangkan bahwa

khalifah disetarakan dengan pemimpin yang bernotabenekan keIslaman,

sedangkan kerajaan disetarakan kekuasaan wilayah yang merangkap

sebagai penguasa.14

6. pelaksanaan demokrasi pancasila dilandaskan atas mekanisme

konstitusional karena penyelenggaraan pemerintah Indonesia berdasarkan

konstitusi. Dari penjelasan demokrasi pancasila diatas menunjukkan

pemerintahan yang berdasarkan rakyat.Namun, berbeda dengan pemikiran

Al-Maududi yang menganggap demokrasi tidak seutuhnya di tangan

rakyat. Demokrasi yang dimaksud Al-Maududi adalah demokrasi

Ketuhanan atau Teo-Demokrasi15

7. Baihaqi, dalam Jurnal Hukum Dan Tata Negara Perspektif Abu A’la Al-

Maududi ia mengatakan Abu A'la al-Maududi merupakan salah seorang

ulama Pakistan yang hidup di abad ke-20 dan penggagas Jama‟at al-Islami

(Partai Islam). Maududi merupakan seorang ahli filsafat, sastrawan, dan

aktivis yang aktif dalam pergerakan dan perjuangan Islam di seluruh

dunia. Abu al-A‟la alMaududi mendapat ilham dari perjuangan Sayyid

14
Abu A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wal Mulk, Muhammad Al-Bafir, Khilafah dan
Kerajaan, (Bandung:Alfabeta, 1998), h.30
15
Muhammad Choiri, SKRIPSI, Relevansi Pemikiran Konsep Negara Ideal Menurut Abul
A’la Al –Maududi. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM JURUSAN SIYASAH TAHUN 2016-2017.h.56
Qutb di Mesir yaitu Jamaah al-Ikhwan al-Muslimun. Sebagaimana Sayyid

Qutb, Maududi merupakan tokoh perjuangan Islam seluruh dunia.

Maududi, lahir pada 3 Rajab 1321 H bertepatan 25 September 1903 M di

Aurangabad, India Tengah dan wafat pada tanggal 23 September 1979 di

salah satu rumah sakit di New York Amerika Serikat.1 Beliau lahir dalam

keluarga terpandang (keluarga tokoh Muslim India) dari Delhi. Keluarga

ini keturunan wali sufi besar tarekat Chisti yang membantu menanamkan

benih Islam di bumi India. Ia terkenal dengan konsistensi pemikirannya

yang melihat Islam sebagai suatu sistem yang komprehensif sehingga

ditemukan di dalamnya, antara lain sistem ekonomi Islam, politik Islam,

dan sistim sosial Islam.16

8. Hafidz Cahya Adiputra, dalam Skripsi, Analisis Pemikiran Abul A’la Al

Maududi Tentang Politik Pemerintahan, Ketiga, tidak ada satupun

makhluk yang diberi status berdaulat yang dengan mudah memiliki

kedaulatan tersebut dan memiliki kekuasaan tak terbatas. Dari ketiga

alasan tersebut dapat difahami bahwa manusia tidak berhak untuk

berdaulat, siapapun yang dijadikan berdaulat, tidak mungkin mampu

menggunakan kedaulatannya sebagaimana mestinya selain mengkorupny17

16
Baihaqi, Hukum Dan Tata Negara Perspektif Abu A’la Al-Maududi, Jurnal, Vol. I, No.
01, September 2013.h.24
Hafidz Cahya Adiputra, Skripsi, Analisis Pemikiran Abul A’la Al
17

Maududi Tentang Politik Pemerintahan,Jurusan Siyasah Jinayah Fakultas Syari’ah


Dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang 2016
BAB II

TEORI UMUM POLITIK ISLAM

A. SISTEM POLITIK ISLAM

Era Nabi Muhammad SAW adalah 14 abad yang silam (570-632 M), akan

tetapi ajaran yang dibawanya tetap berlaku hingga kini. Islam, apabila ditelaah secara

keseluruhan, ternyata bukan hanya menyangkut teologi, ritual dan etika, melainkan

mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Islam meliputi seluruh aspek

kebudayaan. Selain agama, juga terdapat prinsip-prinsip filosofis, sains dan teknologi,

termasuk sosial, ekonomi, hukum dan politik Dalam aspek politik selain membawa

ajaran, juga beliau melakoni sebagai praktisi, memimpin negara Madinah pada tahun

622 –632 M. Suatu hal yang menarik bahwa Nabi Muhammad SAW ketika

membangun pemerintahan yang berbeda dengan apa yang menjadi kebiasaan

kekuasaan pada umumnya yang bercorak monarki absolut. Jika dibandingkan dengan

bentuk pemerintahan yang ada di zaman modern, pemerintahan Beliau lebih bercorak

demokratis, suatu hal yang menakjubkan bagi para penulis sejarah politik. 18

Tidak diperkenankan orang islam beribadah digereja, pure, dan tempat-tempat

ibadah lain. Selain masjid, surau, mushola dan lain-lain, begitu pula sebaliknya.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kafirun 1-5 :

َ‫) َوال أَ ْنتُ ْم عَابِ ُدون‬٤( ‫) َوال أَنَا عَابِ ٌد َما َعبَ ْدتُ ْم‬٣( ‫) َوال أَ ْنتُ ْم عَابِ ُدونَ َما أَ ْعبُ ُد‬٢( َ‫)ال أَ ْعبُ ُد َما تَ ْعبُ ُدون‬١( َ‫قُلْ يَا أَيُّهَا ا ْل َكافِرُون‬
)٥( ‫َما أَ ْعبُ ُد‬

18
M. Basir Syam ,Kebijakan Dan Prinsip Prinsip Kenegaraan Nabi Muhammad Saw Di
Madinah (622-632 M) (Tinjauan Perspektif Pemikiran Politik Islam), KRITIS Jurnal Sosial
Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Vol. 1, No. 1, Juli 2015.h.157-158
(1). Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, (2). aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. (3). dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. (4). dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5). dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.19

Dalam Islam juga diperbolehkan berpolitik untuk mengatur stategi

kemenangan dalam pertempuran melawan penjajah pada saat merebut NKRI menjadi

negara yang merdeka. Upaya kelompok Islam Politik untuk menegakkan syariah di

Indonesia dapat dilihat sebagai sebuah upaya untuk menperhadapkan kembali Islam vs

Pancasila. Bagi kelompok Islam Politik, Pancasila dianggap sebagai sebuah ideologi

yang dimaksudkan untuk menghalangi penerapan syariah Islam di Indonesia.

Pandangan ini bersumbu pada nalar kuantitatif bahwa Islam adalah penduduk

mayoritas di Indonesia, sehingga penerapan syariat Islam bagi pemeluknya –

sebagaimana terangkum dalam “tujuh kata” pada Piagam Jakarta, adalah sebuah

keniscayaan. Nalar ini tampak mengenyampingkan realitas empiris masyarakat

Indonesia yang majemuk di mana koeksistensi agama, suku, ras dan golongan adalah

sebuah fenomena yang hidup. Selain itu, di dalam tubuh umat Islam sendiri, nalar

kuantitatif Islam Politik ini juga bersifat imparsial: mayoritas umat Islam (yang

diwakili Muhammadiyah dan NU) bersetuju hidup di dalam payung Negara

Pancasila.20

Islam mengajarka kepada agama untuk memberikan petunjuk/hidayah, baik yang

menyangkut ibadah rutinitas maupun sosial. Ataupun dalam politik Islam maupun

ibadah sosial harus mengedepankan etika, moralitas, peradab/adab, berdasarkan nilai-

nilai keimanan yang kuat, yang mengedepankan akhlak yang mulia dalam rangka

19
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,
Bandung:CV.Diponegoro,2005.h.484
20
Andar Nubowo,Islam Dan Pancasila Di Era Reformasi: Sebuah Reorientasi
Aksi,Jurnal Keamanan Nasional Vol. I No. 1 2015.H.62
mencapai kebersamaa, tidak memecah belah umat, baik umat islam maupun non

islam. Persoalan diatas perlu diterapkan guna menjaga persatuan dan kesatuan umat

baik dalam beribadah maupun sosial kemasyarakatan Akan tetapi, sejak mulai

tampilnya institusi negara yang menggantikan model monarki yang terjadi di Eropa,

berbagai bangsa di Eropa mulai menerapkan bentuk negara sebagai institusi

politiknya.21

Seorang politikus dalam islam sangat dibutuhkan untuk memberi manfaat

kepada orang banyak dalam maksa secara luas, sehingga bukan hanya untuk

kebutuhan golongan saja, namun untuk kemaslahatan umat Islam disegala sisi, baik

dibidang pemerintahan maupun kebangsaan yang meliputi ibadah baik secara vertikal

(kepada Allah) maupun secara horizontal (kepada sesama umat manusia) yakni ibadah

sosial sebagai alat pemersatu antar elit pokitik. Istilah ini muncul pertama kali di

kalangan agama Kristen, di Amerika Serikat. Istilah fundamentalisme sendiri baru

ditemukan dalamberbagai kamus dan encyclopediapada masa akhir-akhir ini. Ia belum

termuat dalam KamusBesar Robert edisi 1966 dan Encyclopedia Universalis edisi

1968. Kamus Kecil Petite Larousse Encyclopediquememuatnya dalam edisinya tahun

1966 dengan pengertian yang sangat umum sekali, yaitu ”Sikap orang-orang yang

menolak penyesuaian kepercayaan dengan kondisi-kondisi modern”.22

1. Teori politik Islam

Iman terhadap keesaan dan kekuasaan Allah merupakan landasan sistem sosial

dan moral yang ditanamkan oleh para Rosul. Dari sinilah filsafat politik Islam

21
Jaenudin,Hubungan Antara Agama Dan Negara Dalam Pemikiran Kontemporer
Menurut Abul A’la Al-Maududi, Al Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, Vol. I
No. 1 2015.H.227
22
Dwi Ratnasari, Fundamentalisme Islam, Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, Jurusan
Dakwah Stain Purwokerto Komunika Issn: 1978-1261 Vol.4 No.1 Januari-Juni 2010 Pp.40-
57.h.5
mengambil titik pijak. Prinsip dasar Islam adalah bahwa makhluk manusia, baik

secara individual maupun kelompok, harus menyerahkan semua hak atas kekuasaan,

legislatif serta penguasaan atas sesamanya. Tidak seorang pun yang akan

diperkenankan memberikan perintah atau aturan-aturan sekehendaknya sendiri dan

tidak seorang pun yang diperkenankan untuk mengakui kewajiban untuk

melaksanakan perintah atau aturan seperti ini. 23 Tidak seorang pun yang diberi hak

istimewa untuk membuat undang-undang sekehendak hatinya sendiri dan tidak

seorang pun yang wajib mengikatkan dirinya kepada undang-undang yang telah

dibentuk dengan cara seperti itu.24

2. Tujuan Negara Islam

Tujuan negara Islam yang dapat dibentuk berdasarkan Al-Quran dan Al-sunnah

juga telah diberikan tuhan. Umat Islam, sebagai bagian integral dari manusia secara

general, mau atau tidak, pasti bersentuhan, baik secara pasif maupun aktif, dengan

dunia politik dan pemerintahan karena keduanya merupakan bagian yang tak

terhindarkan dari hidup dan kehidupan. Terlebih, tidak sedikit ayat alQuran yang

menyinggung masalah ini meskipun pada tataran global dan interpretatif sehingga

memunculkan ide-ide tentang politik dan pemerintahan yang beragam di kalangan

intelektual muslim.25

Agaknya telah menjadi jelas bagi siapa pun yang merenungkan ayat-ayat Al-

Quran dan hadits-hadits Nabi bahwa tujuan negara yang dikonsepsikan oleh Al-Quran

Suci tidaklah negatif, tetapi positif. Tujuan negara tidak hanya mencegah rakyat hanya

23
Ibid.h.7
24
Sayyid Abul a’la al-Maududi, Sistem Politik Islam (Bandung:Penerbit
Mizan,1993),h.157
25
Idri , Sistem Politik Dan Pemerintahan Islam Dalam Perspektif ,Abu Al-A’la Al-
Maudu,Jurnal, Al-Qānūn, Vol. 11, No. 1, Juni 2008.h.95
untuk memeras untuk melindungi kebebasan mereka dan melindungi seluruh

bangsanya dari invasi asing. Negara ini bertujuan untuk mengembangkan sistem

keadilan sosial yang berkeseimbangan yang telah diketengahkan Allah dalam Kitab

Suci Al-Quran. Untuk tujuan ini, kekuasaan politik akan digunakan demi kepentingan

itu dan biloa mana diperlukan, semua sarana propaganda dan persuasi damai akan

digunakan, pendidikan moral rakyat juga akan dilaksanakan, dan pengaruh sosial

maupun pendapat umum akan diijinkan.26 Negara Islam itu universal dan

menyeluruh.27

Terbukti bahwa negara semacam ini tidaklah dapat membatasi ruang lingkup

kegiatannya. Cakrawala kegiatan ini hidup berdampingan dengan keseluruhan

kehidupan manusia. Negara ini berusaha meramu setiap sektor kehidupan dan

kegiatan masyarakat sejalan dengan norma-norma moralnya dan program reformasi

sosialnya.28 Dalam negara semacam ini, tidak ada seorang pun yang akan dapat

mengklaim urusan-urusan kehidupannya sebagai bersifat pribadi dan rahasia. Ditinjau

dari aspek ini, bisa jadi negara Islam mirip-mirip negara fasis dan komunis. Tetapi

nanti kita akan mengetahui bahwa dibalik sifatnya yang serba mencakup, negara ini

merupakan negara yang secara luas dan mendasar berbeda dengan negara-negara

totaliter dan otoriter tersebut. Di bawah lindungan negara ini, kebebasan pribadi atau

orang per orang tidaklah ditekan dan sama sekali tidak ada abu-abu kediktatoran.

Negara ini mengajukan jalan tengah dan mengejawantahkan segala yang terbaik yang

pernah dikembangkan masyarakat manusia. Peri-keseimbangan dan moderasi

sempurna yang menandai sistem pemerintahan islam, dan pemisahan yang tegas

antara yang benar dan yang salah dirumuskan sedemikian rupa sehingga sistem yang

26
Ibid, h,166
27
Ibid.h.96
28
Ibid.h.175
begitu seimbang ini tidak akan mampudibentuk oleh siap pun kecuali Tuhan yang

Maha kuasa dan Maha bijaksana. 29

Negara Islam adalah Negara Ideologis Dampak lebih konkret dari kedua tantangan

internal dan eksternal tersebut termanifestasikan ke dalam problem pengembangan

sistem ekonomi Islam. Di satu sisi umat Islam kekurangan ulama pakar syariah yang

bergiat mengembangkan konsep-konsep ekonomi syariah tapi juga memahami

ekonomi kontemporer. Di sisi lain ilmuwan Muslim kini kebanyakan telah diajari

disiplin ilmu dan praktik ekonomi konvensional (baca: kapitalis) sehingga menolak

syariah. Sementara itu praktik-praktik perbankan syariah, takaful, bursa syariah dan

lembaga keuangan syariah lainnya tidak berdasarkan pada kajian ilmiah akademik dan

metodologis di tingkat perguruan tinggi. Sebaliknya kajian ekonomi Islam di

perguruan tinggi tidak berkembang sepesat praktik-praktik ekonomi perbankan.30 Jadi

untuk mengembangkan sistem ekonomi Islam umat Islam terhadang oleh kondisi

internal umat dan juga tantangan eksternalnya.31

Karakteristik lain negara islam adalah bahwa ia merupakan negara ideologis. Dari

pengamatn yang cermat atas Al-Quran akan jelas bahwa negara islam ini berlandaskan

suatu ideologi dan bertujuan untuk menegakkan ideologi tersebut. Negara merupakan

instrumen reformasi dan harus berperan sebagai instrumen reformasi. Ketentuan dari

negara islam inilah yang menyebabkan negara tersebut wajhib diselenggarakan oleh

orang-orang yang meyakini ideologi islam serta hukum Ilahi yang dijunjung tinggi

oleh mereka. Penyelenggaraan suatu negara islam haruslah orang-orang yang seluruh

kehidupannya dibaktikan untuk menaati dan menegakkan hukum ini, yang tidak hanya

29
Ahmad Sholikin ,Pemikiran Politik Negara Dan Agama “Ahmad Syafii Maarif”, Jurnal
Politik Muda, Vol 2 No.1, Januari-Maret 2012, hal 194-203.h.196.
30
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis,Jurnal TSAQAFAH, Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430.h.2
31
Ibid.h.3
setuju dengan program reformasinya dan sepenuhnya yakin atas program itu,

melainkan juga sepenuhnya menghayati semangatnya serta memahami semua

rinciannya.

Dalam kaitan ini, islam tidaklah mengakui sepenuhnya perbedaan geografis,

bahasa maupun warna kulit. Islam mengetengahkan aturan-aturan tuntunannya serta

rancangan reformasinya kepada semua manusia. Sepanjang sejarah kelompok

minoritas menjadi entitas sosial yang tak dapat dinafikan keberadaannya. Hampir di

tiap negara, kehadiran minoritas jadi semacam keniscayaan yang tak terbantahkan di

tengah hegemoni kelompok mayoritas.3 Di lihat dari sisi historis, permasalahan

tentang hak-hak minoritas dalam Islam sebenarnya telah lama diperdebatkan oleh

generasi pertama Islam. Zaid bin Ali (w. 122 H) dalam karya al-Majmu’ al-Kabir

sudah membahas masalah itu, dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya. 32

Siapapun yang meyakini program initanpa mempedulikan rasanya, bangsa maupun

negaranya dapat bergabung dengan masyarakat yang menyelenggarakan negara islam.

Tetapi orang-orang yang tidak menerimanya tidaklah diberi hak istimewa untuk turut

campur dalam pembentukan politik dasar negara ini. Mereka dapat tinggal dalam

batas-batas negara itu sebagai warga non-muslim. Hak-hak khusus telah diberikan

kepada mereka dalam hukum islam. 33 Kehidupan minoritas ini kekayaan dan

kehormatannya akan sepenuhnya dilindungi dan jika dia mampu memberikan

sumbangsih, sumbangsih ini akan dimanfaatkan sepenuhnya. 34 Tetapi dia tidak akan

diperkenankan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pokok negara ideologis ini.

Negara Islam didasarkan pada ideologi tertentu dan hanya masyarakat yang meyakini

32
Havis Aravik, Hak Minoritas Dalam Konteks Islam1 (Minority Rights in the Context of
Islam), Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun (UIKA) BOGOR Vol. 5 No. 1
(2017), pp. 63-78,h.63
33
Ibid.h.64
34
Ida Noviant, Dilema Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam, Jurnal, YINYANG,
Vol.3 No.2 Jul-Des 2008 pp.h.255-261
kebenaran ideologi semacam itulah yang diperkenankan untuk menahkodainya. Di sini

juga kita mencatat beberapa kemiripannya dengan negara komunis. Tetapi, perlakuan

yang diberikan oleh negara-negara komunis terhadap orang orang yang menganut

keyakinan-keyakinan yang berbeda dengan keyakinan negara tidaklah dapat

dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan oleh negara Islam bagi orang yang

sama.35

Tidak seperti negara komunis, Islam tidak memaksakan prinsip-prinsip sosialnya

kepada pihak-pihak lain dengan cara kekerasan. Tidak pula merampas harta kekayaan

mereka atau menciptakan suasana teror dengan pemancungan massal rakyat serta

pengiriman mereka ke kamp-kamp konsentrasi di Siberia. Islam tidak berniat

membasmi minoritasnya tetapi justru melindungi mereka dan memberi mereka dan

memberi mereka kemerdekaan hidup sejalan dengan budaya mereka sendiri.

Perlakuan ramah dan adil yang diberikan Islam kepada kaum non-Muslim dalam suatu

negara islam (dzimmiy) dan perbedaan tegas yang ditarik antara keadilan dan

ketidakadilan serta antara yang benar dan yang salah, akan meyakinkan semua orang

yang tidak berprasangka terhadap negara islam: bahwa rasul-rasul diturunkan Tuhan

untu menunaikan tugasnya dengan cara yang sama sekali berbeda-suatu yang snagat

berbeda dan secara diametris bertentangan dengan jalan para reformer palsu yang

berkeliaran di mana-mana disetiap tahap sejarah. 36

3. Kekhalifahan dan Hakekat Demokrasi Dalam Politik Islam

(a) Suatu masyarakat yang didalamnya semua orang merupakan khalifah

Tuhan dan merupakan peserta yang setara dalam kekhalifahan ini, tidak dapat

35
Ibid, h,167
36
Havis Aravik, Hak Minoritas Dalam Konteks Islam1 (Minority Rights in the Context of
Islam),h.88
membiarkan adanya pembagi-bagian kelompok yang didasarkan pada perbedaan

kelahiran dan kedudukan sosial. Semuanya menikmati status dan kedudukan yang

sama dalam masyarakat semacam itu. Kriteria superioritas dalam tatanan sosial ini

adalah kemampuan pribadi dan karakteristiknya. 37 Inilah yang secara jelas dan

berulang-ulang disabdakan Rasulullah SAW:

Tidak ada seorang pun yang lebih mulia kedudukannya dibandingkan dengan orang

lainnya kecuali dari segi kesalehan dan ketakwaannya. Semua orang adalah keturunan

Adam, dan adam di ciptakan dari tanah.

Seorang arab tidak lebih mulia dibandingkan dengan seorang non-Arab, dan

seorang non-Arab tidak lebih mulia dibandingkan dengan seorang arab, seorang kulit

putih juga tidak lebih mulia dibandingkan dengan seorang kilt hitam, seorang kulit

hitang tidak lebih mulia dibandingkan dengan seorang kulit putih, kecuali dalam hal

kesalehannya.

Setelah penaklukan Makkah, saat seluruh Jazariah Atabiah di bawah kekuasaan

Negara Islam, Rasulullah SAW. Menyampaikan amanatnya kepada anggota-anggota

sukunya dan orang-orang yang pada masa sebelum Islam menikmati kedudukan yang

mirip dengan kedudukan kaum Brahmana di India, Beliau bersabda:

Wahay kaum Quraisy! Allah telah mencabut keangkuhan kalian di zaman jahiliyah

dan kebanggaan akan nenek moyang. Hai manusia, kalian semua adalah keturunan

Adam dan Adam di ciptakan dari tanah, jangan ada kebanggan apa pun mengenai

nenek moyang, tidak ada kelebihan kemuliaan dari seorang Arab atas non-Arab, atau

37
Muhammad Fakhry Ghafur, Agama Dan Demokrasi : Munculnya Kekuatan Politik
Islam Di Tunisia, Mesir Dan Libya1 Religion And Democracy : The Emergence Of The Power Of
Political Islam In Tunisia, Egypt And Libya, Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember
2014 | 85–100.h.97
dari seorang non-Arab dibandingkan dengan seorang Arab. Sesungguhnya orang yang

paling mulia di antara kalian di mata Allah adalah orang yang paling bertakwa.

(b) Dalam suatu masyarakat semacam ini, tidak ada seorang pun yang akan

mengalami ketiadaan kemampuan hanya disebabkan oleh perbedaan kelahiran, status

sosial, atau profesi yang dengan berbagai cara dapat mengakibatkan terhambatnya

pertumbuhan lahiriahnya atau merusak perkembangan kepribadiannya. Setiap orang

akan menikmati peluang kemajuan yang sama.

(c) Dalam masyarakat semacam ini, tidak ada ruang bagi kedikdatoran

seseorang atau kelompok tertentu atas yang lainnya, karena setiap orang adalah

khalifah Tuhan. Tidak ada seorang atau sekelompok orang pun yang diberi hak

isti,ewa untuk menjadi penguasa mutlak dengan merampas hak-hak asasi orang

kebanyakan. Kedudukan seseorang yang terpilih untuk melaksanakan urusan-urusan

kenegaraan tidak akan melampaui ketentuan ini sehingga semua muslim, atau tepatnya

semua khalifah tuhan, menyerahkan khalifahnya kepada pejabat itu demi

penyelenggaraan pemerintahannya. Di satu pihak, dia akan bertanggung jawab kepada

Allah, dan dilain pihak dia juga akan dimintai tanggung jawabnya oleh rekan-

rekannya yang telah mendelegasikan kekhalifahannya kepada mereka. Jadi jika tiba-

tiba dia mendaulat diri sebagai penguasa mutlak yang tidak bertanggung jawab, diktor,

maka sebenarnya dia tengah berperan sebagai pemeras ketimbang seorang khalifah,

karena kediktatoran merupakan penolakan atas kekhalifahan umum. Memang, pada

masa pemerintahan Zainal Abidin Ben Ali, sistem Pemilu multipartai sudah
berlangsung di Tunisia, namun politik otoritarianisme tetap mencolok dalam setiap

kebijakan rezim yang mendeskriditkan lawan politiknya.38

Oleh karenanya sudah dapat dipastikan bahwa Negara Islam merupakan negara

yang menyeluruh dan melindungi segenab sektor kehidupan, tetapi kemenyeluruhan

dan keuniversalan ini didasarkan pada keuniversalam Hukum Ilahi yang harus

ditegakkan dan ditaati oleh semua orang dan para pemimpinh Islam. 39 Tuntutan yang

telah diberikan Tuhan atas setiap sektor kehidupan pastilah akan ditegakkan

seutuhnya.40 Tetapi, seorang pemimpin muslimtidak dapat memisahkan diri dari

perintah-perintah ini serta menganut politik regimentasinya sendiri. Dia tidak dapat

memaksa orang untuk menjadikan profesi tertentu sebagai penganut, atau tidak

menjadikan profesi tertentu sebagai panutan, mempelajari atau tidak mempelajari seni

(politik) khusus, menggunakan atau tidak menggunakan suatu ajaran tertent, memakai

atau tidak memakai pakaian tertentu, mendidik atau tidak mendidik anak mereka

dengan cara tertentu. 41 Kekuasaan yang telah dimiliki para diktator Rusia, Jerman dan

Italia atau yang telah dikerahkan oleh Ataturk di Turki, tidak dianugerahkan Islam

kepada Amir-nya. Di samping itu, masalah penting lainnya adalah bahwa dalam Islam

setiap individu bertanggung jawab langsung kepada Allah. Pertanggung jawaban

pribadi ini sama sekali tidak dapat didelegasikan kepada orang lain. Oleh karenanya,

seorang individu menikmati kemerdekaan penuh untuk memilih jalan mana yang

sesuai dengan fitrahnya. Jika sang pemimpin mempengaruhinya, maka dia sendirilah

38
Muhammad Fakhry Ghafur, Agama Dan Demokrasi : Munculnya Kekuatan Politik
Islam Di Tunisia, Mesir Dan Libya1 Religion And Democracy : The Emergence Of The Power Of
Political Islam In Tunisia, Egypt And Libya, Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember
2014 | 85–100.h.86
39 39
Havis Aravik, Hak Minoritas Dalam Konteks Islam1 (Minority Rights in the Context
of Islam),h87
40
Ibid.h.38-39
41
Ida Noviant, Dilema Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam,
yang akan dihukum Tuhan karena tiraninya ini. Inilah alasan-alasan mengapa tidak

ada satu pun jejak regimentasi dalam hukum Rasulullah dan Al-Khulafa Al-Rasyidun.

(d) Dalam masyarakat semacam ini, setiap muslim yang telah mencapai cukup

umur, laki-laki maupun wanita, diberi hak dikalangan mereka adalah penjelma dari

kekhalifahan. Tuhan telah membuat kekhalifahan ini bersyarat, bukan atas norma

kekayaan atau kemampuan tertentu, tetapi hanya atas iman dan kesalehan. Oleh

karenanya, semua Muslim memiliki kebebasan yang sama untuk mengemukakan

pendapatnya.42

B. HUBUNGAN POLITIK ISLAM DENGAN ASPEK HUKUM DAN EKONOMI

1. Politik dan Hukum

Dalam dunia kontemporer dewasa ini, amat terasa sekali pengaruh

perubahan-perubahan sosial, sedangkan perubahan tersebut perlu mendapat kontrol

dan diberi arah yang tepat oleh hukum, pada akhirnyadapat memenuhi hajat dan

kemaslahatan manusia, terutama Indonesia sebagai sebuah negara yang mayoritas

penduduknya beragama Islam. 43

Oleh karena irtulah dalam keberadaannya, di samping juga mencakup

nilai-nilai akhlak, hukum islam juga senantiasa bertujuan untuk menciptakan

harmonisasi kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip hukum

islam yang terdiri dari : Pertama, menegakkan mashlahat (perolehan manfaat dan

penolakan terhadap kesulitan). Kedua, menegakkan keadilan, Ketiga, tidak

menyulitkan, Keempat menyedikitkan beban.

42
Ibid.h.
43
Sidi Ritaudin, Etika Politik Islam, (Bandar Lampung:FU IAIN raden intan Lampung,
2015), h. 127
Dalam kondisi seperti ini, hukum memegang dua peranan penting.

Pertama, hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau disebut dengan istilah

social engineering. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat mengatur prilaku

sosial, disebut dengan istilah social control.

Hukum islam sebagai suatu sistem hukum yang berlandaskan kepada wahyu

Illahi tidak terlepas dari dua peran diatas. Pada satu sisi, hukhm Islam merupakan alat

untuk mengubah masyarakat dalam menciptakan suatu tatanan baru. Pada posisi ini

atyran Illahi yang terdapat dalam hukum Islam bertujuan untuk mencapai kedilan

mutlak, yang diwujudkan dalam kemaslahatan manusia di sunia dan di akhirat. Pada

sisi lain, hukum Islam merupakan alat kontrol sosial yang mengatur hubungan

manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Pada posisi

kedua ini hukum Islam berfungsi untuk menjawab segala tantangan dan permasalahan

yang muncul dalam masyarakat dalam metode ijtihad.44

Dalam bidang hukum, umapamamya, Allah adalah hakim yang paling adil, dan

tidak pernah berbuat tidak adil, Dia tidak berlaku zalim kepada manusia, manusia

sendiri yang berbuat zalim kepada dirinya. Pada hari akhir, Dia akan menegakkan

neraca keadilandan perbuatan yang sekecil apapun tidak akan luput dari

perhitunganNya. Dia sangat cepat dalam perhitungan dan sangat pedih siksaNya. Dia

sangat cepat memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan mencintai orang-orang

yang berbuat adil. Kesemuanya itu selaras dengan ungkapan Allah SWT, sebagaimana

dijelaskan dalam firmannya berikut:

Artinya:"Sesungguhnya aku (berada) diatas hujjah yang nyata (Al-Quran) dari

Tuhanku13 sedangkan kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang

44
Sidi Ritaudin, Etika Politik Islam,h.321
kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum utu hanyalah

hak Allah. Dia menerangkan sebenarnya fan Dia Pemberi keputusan yang paling

baik" ( QS. Al-An'am/6:57)45

            

"Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah
memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya" ( Q.S
Yunus/10:109)46

Antara hukum, amanah dan keadilan, menurut konsepsi al-Quran, merupakan

satu kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh yang memperoleh amanat, memang tidak

bisa tidak, ia harus menegakkan hukum secara adil, umpamanya seorang halim, di

dalam menetapkan amar putusannya, ia benar-benar harus berlaku adil. Sebagai

landasannya, ialah surat al-Nisa', ayat 56 yang berbunyi:

             

             

Artinya"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada


yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat" (QS. an-Nisa'/4:58)47

45
Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 107
46
Ibid, h. 179
47
Sidi Ritaudin, Etika Politik Islam, Bandar Lampung: FU IAIN raden intan Lampung,
(2015), hal. 69.
Dari ayat ini, dapat dilihat maksut dan tujuan ayat, bahwa Allah SWT

memerintahkan kepada manusia supaya berlaku amanah di dalam menyampaikan

sesuatu kepada orang yang berhak menerimanya. Jangan ditambah dan janagn

dikurangi, karena ada maksut tertentu dibelakangnya. Demikian pula pada waktu

menetapkan hukum (keputusan), hendaklah ditetapkan dengan adil, jangan ada pilih

kasih dan timbang rasa. Katakanlah yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Qul

al-haqqa walau kana murram. Katakanlah yang benar meskipun hal itu pahit.

Secara yuridis, dari kandungan ayat tersebut, bahwa menyampaikan amanat

kepada orang yang berhak menerimanya hukumannya adalah wajib, karena perintah

Allah, berdosa bagi orang yang tidak amanah, umpamanya berdusta, dan menipu

orang lain. Menetapkan hukum (memberi keputusan tentang hukum) terhadap sesama

manusia hendaklah dengan adil, jika tidak, berarti menentang perintah Allah. Sebab

berbuat adil dan amanah adalah pengajaran dari Allah yang wajib ditaati oleh setiap

orang yang beriman. Manfaat atau mudarat pengajaran dari Allah akan jauh berbeda

akibatnya jika dibandingkan dengan manfaat atau mudlarat pengajaran dari sesama

manusia. Sesungguhnya Allah memberikan ancaman kepada orang-orang yang tidak

memtaati perintah dan pengajaranNya. Ancaman Allah itu tersembunyi di dalam kata-

kata: "Lagi Mendengar Lagi Maha Melihat" dalam arti, bahwa manusia tidak akan

berbuat dusta/bohong kepada Allah.

Ketika kekhalifahan memasuki era kemampuan yang ditopang oleh stabilitas di

bidang politik, hukum sangat diperlukan untuk mengatur, meliputi berbagai bidang

kehidupan, seperti hubungan antar negara, hukum ketatanegaraan atau administrasi

pemerintahan, termasuk juga bidang peradilan. Oleh karena itu, makan berbicara soal

hukum, sesungguhnya masih bicara dalam koridor etika sosial Islam. Terdorong oleh

kebutuhan aturan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, maka


dilakukanlah kodifikasi hadis yang di susul dengan lahirnya ilmu-ilmu hadis dan ilmu-

ilmu tafsir yang menjadi landasan utama bagi penetapan hukum-hukum tersebut. Oleh

karena itu, maka McDonald merupakan menggambarkan hukum Islam itu sebagai

"The Science of all things, human and diven" (pengetahuan tentang segala hal, baik

yang bersifat manusiawi maupun ketuhanan). 48

Dalam wacana etika sosial Islam, kedudukan hukum Islam menjadi amat

penting dan menentukan pandangan hidup serta tingkah laku para pemeluk Islam.

Bahkan menjadi penentu utama pandangan hidupnya itu. Betapapun pentingnya

kedudukan dan peran hukum Islam dalam sejarahnya, kini sebagian besar merupakan

proyeksi teoritis dan pengkajiannya lebih bersifat "pertahanan" dari kemusnahan.

Berkas-berkas dan pengaruhnya memang tampak di sana-sini, namun terdapat proses

yang mengharuskan penilaian ulang serta pengkajian yang mendalam kembali agar

hukum islam itu tidak kehilangan relevansinyadengan kehidupan yang terus menerus

berkembang. Munculnya imam-imam mazhab tidaklah dengan sendirinya dapat

memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Islam. Bahkan karena tungkat toleransi antar

mazhab itu begitu besar, hampir tidak dapat ditemukan kodifikasi hukum Islam yang

seragam untuk semua negara maupun wilayah yang berbeda dari sebuah negara

maupun wilayah yang berbeda dari sebuah negara Islam.

Oleh karena itulah dalam keberadaannya, di samping juga mencangkup nilai-

nilai akhlak, hukum islam juga senantiasa bertujuan untuk menciptakan harmonisasi

kehidupan masyarakat. Hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat, hukum

Islam dsan hukum Barat. Hukum Islam berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi dua,

pertama hukum islam yang berlaku secara yuridis formal dan yang kedua hukum islam

yang berlaku secara non formal. Dalam point yang terakhir ini hukum islam di

48
Sidi Ritaudin, Op.Cit. h. 132
pandang sebagai sitem yang bersifat teoritis saja, walaupun sebagian besar masyarakat

secara nominal beragama Islam Hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal

adalah (sebagian)hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan

benda yang dirangkum dalam istilah mu’amalah. Tentu yang dimaksud dengan

persoalan hukum disini adalah hukum yang berkenan dengan bidang mu’amalah dan

adat (tradisi lokal) dan tidak menyentuh persoalan hukum yang berkaitan dengan

ibadah.

Syari’ah dalam perspektif hukum, merupakan hukum-hukum Allah yang

terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah, artinya Al-Quran yang terdiri dari 114 surat,

mengandung lebih dari 6000 ayat dan sunah yang berfungsi untuk mengutamakan dan

menjabarkan (hukum) yang terkandung dalam Al-Quran, serta menetapkan hukum

yang belum terdapat di dalamnya mengandung aspek-aspek hukum yang harus

dipatuhi manusia secara imperatif, untuk menjamin kebahagiaan dan keselamatan

hidup mereka di dubnia dan akhirat. Aspek-aspek hukum yang harus dipatuhi manusia

tersebut selanjutnya disebut syari’ah. 49

Seiring dengan bergulirnya waktu, berkembanglah suatu filsafat yang

membahas dan memperinci dasar-dasar moral keagamaan dari hukum, diantara tujuan-

tujuanhukum atau intensi legislasi maqasidal-syari’ah, sebagai upaya untuk

menciptakan fondasi-fondasi rasional, moral dan spiritual dari sistem hukum Islam.

Substansi dan urat nadi kajian intensi legislasi (maqasid syari’ah) dalam

konteks etika sosial adalah maslahah (wefare, benefit and unitily). Artinya, tujuan

pokok dan utama pelambangan hukum dalam islam adalah untuk merealisir

kemaslahatan dan menghindarkan manusia dari berbagai macam kesulitan dan

49
Ibid, h. 134
kemudaratan. Untuk itu, Allah SWT, dalam mentransformasikan hukum islam (dalam

konteks syari’ah) kepada makhluknya mengandung maksud-maksud, motif-motif dan

tujuan-tujuan sebagai sasaran akhir yang ingin dicapai, yang kesemuanya itu adalah

untuk kepentingan dan kemaslahatan makhluknya baik di dunia maupun diakhirat. Al-

Syatibi mengembangkan konsep intensi legislasi dengan pijakan bahwa tujuan akhir

pelambangan hukum islam adalah untuk kemaslahatan manusia.

Kemaslahatan yang mejadi intensi legislasi bagi al-Syatibi adalah

kemaslahatan yang membicarakan substansi kehidupan manusia, dan pencapaian apa

yang di tuntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualitasnya dalam

pengertian yang mutlak. Tetapi dalam kesempatan lain juga mempertimbangkan

berbagai pengertian lain, seperti proteksi terhadap kepentingan-kepentingan dan

sebagai suatu sistem yang memiliki berbagai tingkatan. Secara hakiki konsepsi Al-

syatibi tentang intensi legislasi diarahkan untuk memberikan garansi dan proteksi

terhadap lima prinsip pokok dalam hukum Islam (al-usul al-khamsah), yaitu

pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.

Corak kepentingan sosial yang secara umum merupakan tujuan aturan

hukum, menentukan pula warna opini sosial terhadap kebijaksanaan penerapan hukum

pada masyarakat tertentu. Problemnya kepentingan sosial berbeda pada setiap bentuk

masyarakat. Pada masyarakat sederhana, terpencil dan relatif bersifat homogen,

konsepsi dalam “keadilan” relatif bersifat seragam. Keadaan tersebut akan berbeda

dirasakan oleh masyarakat modern, masyarakat massa dan masyarakat berlapis yang

menafsirkan “keadilan” relatif lebih subyektif. Artinya, suatu hal yang dianggap adil

oleh suatu kelompok sosial, akan dianggap tidak adil oleh kelompok lainnya. Dalam

hukum Islam, klaim keadilan didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban. Hak

dan kewajiban dalam Islam sangat erat kaitannya. Seseorang tidak akan pernah
memiliki hak tanpa dikaitkan dengan kewajiban tertentu, dan tidak ada orang yang

memiliki kewajiban tanpa dapat menikmati hak.

Filosogi dasar dari Hukum Islam adalah pengendalian atas tindakan pribadi-

pribadi. Oleh sebab itu, setiap orang bukan saja didorong untuk menuntut hak nya,

melainkan juga untuk menjalankan kewajibannya. Hak dan kewajiban tersebut pada

dasarnya dibagi pada dua kategori, yakni hak dan kewajiban untuk Allah. Di dalamnya

termasuk hak dan kewajiban publik atau kolektif yang pelaksanaannya dilakukan oleh

pemerintah. Kedua, hak dan kewajiban individu yang dilaksanakan oleh pribadi-

pribadi. 50

Setiap tindakan hukum pribadi, akan berdampak sosial yang tinggi pada

masyarakat, semua perbuatan buruk seseorang tertentu akan berpengaruh buruh pada

masyarakat, sedangkan semua perbuatan baiknya, juga akan memperoleh hasil yang

kontruktif bagi masyarakat. Al-Quran pernah mengisyaratkan ini dengan ungkapan

bahwa seseorang yang membunuh orang lain tanpa haq, maka seolah-olah ia telah

membunuh semua manusia, dan begitu juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa

perbuatan individu mempunyai implikasi sosial yang besar bagi masyarakat.

Di sisi lain, hukum Islam dengan elastisitasnya menunjukkan adaptasi yang

intens terhadap perubahan sosial. Hal ini ditunjukkan dengan, misalnya adaptasi al-

Quran itu diturunkan. Al-Quran misalnya tidak menyebutkan keharaman meminum

arak seketika di waktu ayat yang menyinggung tentang arak pertama kali diturunkan.

Ayat pertama tentang arak ini mendeskripsikan kurma dan anggur yang bisa menjadi

rizki dan juga bisa menjadi arak. Tahapan ini belum menunjukkan nuansa kehalalan

dan keharaman, dosa dan pahala atau benar dan salah. Tahapan ini hanyalah sekedar

50
Ibid, h. 136
deskripsi awal yang belum menunjukkan suatu nilai dari sebuah produk makanan dan

minuman.

Ketika keadaan sosial arab sudah kondusif untuk menerima ayat itu, maka

turunlah ayat yang menyebutkan perbedaan yang jelas tentang klasifikasi khamar.

Khamar ditunjukkan dengan dua klasifikasi yakni dosa besar di satu sisi dan manfaat

di sisi lainnya, dengan menyebut dosanya lebih banyak dari manfaatnya, namun belum

secara eksplisit dilarang atau diharamkan oleh al-Quran.

Di saat pengendapan paham bahwa mudlarat khamar lebih banyak dari pada

manfaatnya sudah merata dikalangan sahabat, barulah al-Quran melarang khamar

secara eksplitis, tapi itu pun hanya dalam kondisi alat. Sebelum ayat ini turun,

meminum arak masih menggejala di masyarakat arab, bahkan ketika mereka hendak

alatpun mereka masih meminum arak. Hal ini menyebabkan mereka mabuk dan

terkadang salah dalam membaca bacaan alat. Maka tutunlah ayat yang melarang

muslim untuk mendekati (tempat) alat ketika dalam keadaan mabuk. Pada tahapan

terakhir, barulah khamar diharamkan secara total oleh Al-Quran. Pengharaman

khamar ini di samakan dengan pengharaman judi, berhala dan sihir yang dalam

perspektif al-Quran disebut rijs (keji) dan perbuata Syaithan.

Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa ketertarikan antara etika sosial dengan

hukum itu laksana dua sisi satu mata uang, sama-sama seiring sejalan dan setujuan, di

satu sisi etika sosial ingin menegakkan mebaikan dan menjauhi keburukan dalam

masyarakat, (al-amru bilma'ruf wannahyu'anil munkar), sementara disisi lain, hukum

ingin menegakkan kebenaran dan keadilan, jadi sama-sama mambahas asas-asas

syurgawi dan manusiawi. Karena substansi dari hukum itu sendiri, menurut Stone

sebagaimana dikutip oleh Inu Kencana Syafi'i, adalah penyelidikan oleh para ahli
hukum tentang norma-norma, cita-cita, teknik-teknik hukum dengan menggunakan

pengetahuan yang diperoleh dari berbagai disiplin di luar hukum yang mutakhir.

Dengan kata lain, hukum memang saling terkait dengan ilmu-ilmu lainnya, dan untuk

memahami kebermaknaan hukum dalam konteks etika sosial, ada adgium yang

mengatakan bahwa etika itu bersifat abstrak, realisasinya adalah penegak hukum,

apabila semua orang berbuat baik, maka hukum tidak diperlukan. Ditinjau dari

kacamata teori politik modern atau teori politik sekuler, teori politik Islam seperti

yang dikembangkan oleh AlMaududi kelihatan unik, bahkan mungkin “ganjil.”

Keunikan atau katakanlah keganjilan teori politik Al-Maududi terletak pada konsep

dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan (souverenitas) ada di tangan Tuhan, bukan

di tangan manusia. Jadi berbeda dengan teori demokrasi dalam tatanan sistem politik

modern pada umumnya yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. 51

Dalam Al-Quran kita lihat bahwa sajian tentang hukum porsinya jauh lebih baik

banyak dari hal lainnya, karena al-Quran itu memang merupakan kumpulan aturan-

aturan dasar bagi manusia untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Jadi, konsep al-

Quran tentang hukum senantiasa berkaitan dengan Yang Maha Hakim, dan

mengkaitkan norma hukum dengan ranah ghaibiyah ini merupakan bagian dari akhlak.

Ironisnya, banyak negara yang mempunyai penduduk mayoritas islam namun masih

enggan atau belum menerapkan hukum Islam. Bahkan hingga kini ada beberapa

hukum Islam yang masih dinilai kontroversi, terutama bagi beberapa negara sekuler,

tetapi tetal bertahan sesuatu yang mewujudkan kebenaran.

Diantara hukum Islam yang dipandang kontroversial oleh sebagian negara

sekuler dimaksud tersebut adalah: pertama hukuman mati, islam memberikan

51
Baco Sarluf1 dan Usman Wally, Theo-Demokrasi Dalam Pandangan Abu A’la Al-
Maududi, Jurnal Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah IAIN Ambon.Vol,11 juni 2015.h.1
hukuman mati bagi kejahatan pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

Hukuman yang keras ini membuat para calon pembunuh diharapkan menjadi jera.

Tetapi perlu dipertimbangkan juga dalam hal ini pengaruh dari hukuman yang keras

tersebut, terhadap ketenangan masyarakat dan terhadap perlindungan jiwa sesama

manusia. Dewasa ini di Indonesia, yang terjadi adalah berkembangnya rasa tidak

aman, investor enggan menanamkan modal karena ketiadaan kepastian hukum,

beberapa peristiwa pembunuhan yang direncanakan tidak di usut tuntas, seperti kasus

pembunuhan wartawan dan Hakim Agung, kasus Marsinah dan sebagainya. 52

Kedua, hukum pencurian, sebagai telah diketahui bersama bahwa hukuman bagi

pencuri adalah potong tangan, hukuman semacam ini dianggap keras luar biasa, tetapi

perlu dicatat bahwa kejahatan pencurian, kebanyakan dilakukan dengan kekerasan

bahkan sering berakibat pembunuhan si korban. Dalam keadaan seperti tersebut,

apabila hukum Islam yang menerapkan potong tangan bagi pencuri masih dianggap

keras, apakah tangan si pencuri itu harus lebih disayangi daripada nyawa korban

pencurian tersebut. Mengapa ada istilah "keluar masuk penjara" dalam kasus serupa,

pada orang yang sama, tentu saja hukuman tersebut tidak sesuai, membuat dia

bukannya jera tetapi justru ketagihan. Bayangkan saja, terutama pencuri-pencuri

berdasi, berapa juga orang mati kelaparan akibat ulahnya melakukan penggelapan

uang me-mark up belanja negara, korupsi dan lain sebagainya. Apakah lebih sayang

kepada nyawa seseorang Lim Sio Liong dari pada jutaan rakyat jelata bangsa sendiri.

Ketiga, hukum perzinahan, akibat lemahnya hukuman perzinahan inilah para

orang tua merasa resah dan khawatir terhadap putrinya, terutama bila hendak

menyekolahkannya ke kota-kota besar. Ironisnya lagi, justru prostitusi malah

dilegalkan dengan membuka lokalisasi. Dengan hukuman rajam bagi pezinah,

52
Ibid, h. 139
membuat Islam berhasil mencegah kehancuran kehidupan keluarga dan

kesimpangsiuran, untuk menentukan bapak dari anak-anak seorang ibu.

Di balik dari apa yang telah diuraikan di atas, agaknya cukup signifikan untuk

meneropong atau menyoroti berbagai jenis kejahatan yang dilakukan manusia, mulai

dari pemerkosaan terhadap anak dibawah umur yabg dapat merusak fisik dan jiwanya

dimasa depan, sampai pada pembantaian ibu hamil yang jabang bayinya dikeluarkan

dan dijadikan mainan sasaran tembak di Bosnia. Kasus korupsi tidak kunjung henti,

pembunuhan dan berbagai jenis kejahatan lajnnya terjadi di mana-mana dan

merajalela, seperti disinyalir sebagai pelanggar HAM.

Contoh lain di Amerika Serikat, yang mengaku menjunjung tinggi kebebasan

individu, data statistik memperlihatkan bahwa setiap enam menit terjadi satu kali

perkosaan, bahkan National Victims Center pada tahun 1990 mencatat bahwa satu dari

delapan wanita Amerika Serikat adalah korban perkosaan. Jadi pelanggaran terhadap

harakat dan martabat sosial tidak tercegah lagi, sehingga mendorong terjadinya

berbagai jenis kejahatan yang lebih menyeramkan. Sedangkan dengan penerapan

hukum Islam, kejadian seperti di atas tidak terjadi, dengan Al-Quran dan Hadis, HAM

seharusnya memproklamirkan. Menjadi kewajiban bagi para ahli hukum Islam untuk

menegakkan kritik etika sosial dengan memberikan keterangan dan penjelasan kepada

dunia. Oleh karena ketidaktahuan yang menyebabkan musuh-musuh Islam menyerang

dan menjelek-jelekkan nama Islam dan kaum muslimin dan sistem masyarakat yabg

mengacu kepada etika sosial yabg berlandaskan al-Quran dan hadis.

2. Politik dan Ekonomi

Dalam bidang ekonomi, etika sosial yang ditegakkan harus bersifat

komprehensif dan holistik, oleh karenanya menjadi lebih rumit. Di samping banyak
terjadi penyelenggaraan, bidang ini berkaitan erat dengan hukum dan kekuasaan.

Sudah menjadi rahasia umum, ekonomi suka "mempermainkan" hukum dan

kekuasaan. Ekonomi berada dalam koridor hukum, sedang hukum dan kekuasaan

diberlakukan untuk mengatur lintas ekonomi. Tujuannya untuk kesejahteraan bukan

untuk menyengsarakan rakyat.

Menurut Din Syamsudin, watak keuniversalan Islam ini menuntut aktualisasi

nilai-nilai Islam dalam konteks dinamika kebudayaan (termasuk masalah-masalah

sosial, kenegaraan, politik, ekonomi dan hukum).53 Sementara, watak kemutlakan

Islam membawa implikasi bahwa Islam adalah siatem nilai yang absah dan mengatasi

sistem-sistem nilai yang lain yang dianggap absurd. Di sini signifikasi etika sosial

dalam upaya mencari titik temu antara idealitas Islam (nilai-nilai al-Quran) dengan

realitas empiris dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terlihat. Bahkan Fazlur

Rahman menegaskan bahwa "dimanapun" Islam hadir akan memberikan sikap moral

yang lebih baik lagi bagi manusia, karena memang islam adalah jalan hidup yang

lengkap. Ia merupakan sesuatu yang utuh yang menawarkan jalan keluar terhadap

segala persoalan hidup, yang bermuara kepada akidah dan akhlak.

Ada pandangan yang agak filosofis, bahwa manusia itu tidak mungkin selalu

benar. Karena itu, dalam konteks etika sosial, harus ada cara untuk saling

mengingatkan, apa yang tidak baik dan tidak benar. Dalam arti kata, jelas Fachy lebih

lanjut,:

"Interaksi berbagai kalangan dalam proses politik haruslah merupakan

pengejawantahan dari proyeksi teologis dan moralitas surat Al-Ashr yang menyerukan

saling menyampaikan kebenaran (Wa tawashaw bi al-haqq), karena dalam kenyataan

53
Ibid, h. 142
tidak seorang pun mampu merangkum kebenaran mutlak pada dirinya maka, dalam

konteks keharusan menyampaikan kebenara pada pihak lain...."

Moralitas surat Al-Ashr, sebagaimana telah dinyatakan Fachry, tidak saja

relevan dengan kajian etika sosial melainkan juga sebagai Moral Force yang

berlandaskan teologis. Nilai-nilai teologis seperti iman dalam surat ini sangat erat

dengan pertaliannya dengan amal saleh sebagai tindakan empiris yang harus ditopang

dengan etika sosial, yaitu berpesan tentang kebenaran dan berpesan dalam kesabaran.

Selanjutnya surat Al-Ashr ini sangat padat dengan pelajaran berharga. Imam Syafi'i

pernah mensinyalir bahwa "Seandainya manusia mau mengamalkan surat Al-Ashr ini,

maka cukuplah satu surah sajaditurunkan oleh Allah kepadanya". Karena implikasinya

amat dahsyat bagi perdamaian dan kemakmuran dibumi, di akhirat kelak pun

mendapat kedamaian yang abadi di syurga, sebab di dunia ia telah beriman dan

beramal saleh.

Etika sosial Islam bersumber dari makna substantif untuk kepentingan manusia

sebagai petunjuk (Way of Life) sebab al-Quran yang mencangkup seluruh aspek moral

kaum muslimin, kehidupan sosial keagamaan, tidak berisi teori-teori etika (ilmu)

dalam arti buku, sekalipun ia membentuk keseluruhan etos islam. Oleh karena itu

kajian ini menjadi signifikan karena hasil dari proses substansiasi (pemaknaan secara

hakiki etika dan moralitas) memiliki peran besar bagi pengembangan etika sosial,

yang digali dari sumbernya, al-Quran. Karena agama tidak sebatas masalah ritualistik

dan moralitas dalam kerangka ketaatan individu kepada Tuhannya, tetapi perlu terlibat

ke dalam proses transformasi sosial.

Adanya kesenjangan dan ketimpangan sosial dalam suatu masyarakat, hal itu

dilihat sebagai realitas sosial yang bertentangan dengan apa yang menjadi misi agama
itu sendiri, yaitu bahwa manusia mempunyai tugas di muka bumi sebagai

pemakmurnya dengan jabatan sebagai khlaifah. Dalam konteks Indonesia, umat islam

adalah yang paling tertimpa kesedihan, pasalnya adalah di dalam realitas empiris dan

historis umat Islamlah yang dulu berjuang mati-matian berjuang merebut

kemerdekaan dari tangan penjajah, akan tetapi daerah-daerah kantong Islam ternyata

paling tertinggal, paling miskin dan bodoh-bodoh. Ketimpangan sosial dan ekonomi

tersebut akan tampak lebih jelas lagi jika melihat, bagaimana kaum minoritas warga

keturunan, yang dalam kurun waktu tertentu pada era Orde Baru mendapat fasilitas

bisnis, kini seperti tuan penjajah baru di negeri multi etnis ini.

Ironis memang, rakyat Indonesia menangis! Negeri yang pernah dijuluki

zamrud khatulistiwa yang gemah ripah loh jinawi, kini tengah terpuruk di segala

bidang. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa

hidup dalam kemiskinan dan belasan juga kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, sekalipun

pemerintah telah berulang kali ganti, tetapi kestabilan politik belum juga kunjung

terwujud. Untuk menjelaskan akar persoalan, mengapa krisis terjadi, paling tidak ada

tiga perspektif yang dapat dipakai sebagai bahan analisis, yaitu pendapat Zaim (1999)

yang dinukil oleh Yusanto berikut:

Pertama, dalam perspektif teknis ekonomi krisis itu terjadi oleh karena

lemahnya fundamental ekonomi, hutang luar negeri yang luar biasa besar, terjadinya

defisit neraca transaksi berjalan dan sebagainya. Solusinya, meningkatkan ekspor,

restrukturisasi hutang dan sebagainya. Kedua, dalam perspektif politis, krisis itu

terjadi karena berkuasanya rezim yang korup dengan tatanannya yang tidak

demokratis. Solusinya, melancarkan proses demokratisasi hingga pergantian rezim

seperti yang sudah terjadi pada rezim Soeharto. Ketiga, dalam perspektif filosofis

radikal, krisis tersebut terjadi bukan karena itu semua. Tapi lebih oleh karena sistem
yang dipakai, yakni kapitalisme liberal, yang memang sudah cacat sejak awal dan

bersifat self-destructive.

Menurut hemat penulis, keterpurukan yang melanda Indonesia adalah

disebabkan akumulasi dari ketiga-tiganya, yang jika ditelusuri bermuara pada

kesalahan manusia. Manusia itu bodoh karena ia bodoh, dan manusia itu miskin

karena ia miskin. Bagaimana mungkin seorang yang bodoh akan bisa merubah

nasibnya jadi pintar, jika ia selalu jadi objek orang pintar, dan bagaimana mungkin

orang yang miskin dapat jadi kaya, jika ia sendiri tidak punya modal usaha, sudah

terlanjur jadi miskin, makan akan senantiasa miskin, hingga ajalnya menjemput. Dari

kondisi seperti inilah maka muncul motivasi kritik terhadap pemerintah. Karena

pemerintah itu bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya, maka perspektif

politis merupakan faktor utama

Jika iradah politik para penguasa adalah untuk mensejahterakan manusia,

memanusiakan manusia, sesuai dengan kapasitas tanggung jawab, maka pemimpinlah

yang "salah urus" negara ini, untuk itu perlu diidentifikasi secara cermat dan radikal

akar permasalahannya, kemudian dicarikan solusinya, sebagaimana telah ditawarkan

oleh Zaim di atas, maka agaknya memang perlu dilakukan pembersihan rezim dari

antek-antek koruptor. Kemudian menetapkan kebijakan ekonomi kerakyatan, bukan

ekonomi kapitalis konglomerasi. Selanjutnya menegakkan syariat Islam sebagai jalan

satu-satunya menyelesaikan problem kenegaraan.

Informasi al-Quran, yang diturunkan 15 abad yang lampau, cukup membuka

mata, bahwa berbagai krisis yang melanda merupakan fasad (kerusakan) yang

ditimbulkan oleh perbuatan manusia, yang serakah, korup, tamak, dan rakus,

sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran surat Ar-Rum ayat 41: "Telah
nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia".

Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab Syafwat al-Tafsir menyatakan bahwa yang di

maksud dengan bi ma kasabat ayai al-nas dalam ayat itu adalah "oleh karena

kemaksoatan-kemaksiatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia. Maksiat adalah

setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan

meninggalkan yang diwajibkan. Setiap bentuk kemaksiatan pasti menimbulkan dosa,

dan setiap dosa pasti menimbulkan kerusakan.

Setiap muslim, yang tahu akan ajaran agamanya, pasti tahu wewenang dan

tanggung jawabnya, yaitu menyuruh kepada yang benar dan melarang yang munkar.

Semua peristiwa yang menghantarkan bangsa Indonesia kepada keterpurukan adalah

munkar. Semua kemunkaran yang dilakukan oleh umat manusia itu adalah melanggar

etika sosial.

Hampir seluruh pakar berbagai bidang ilmu bependapat bahwa krisis ekonomi

yang telah melanda Indonesia dan berbagai negara Asia dewasa ini bermula dari krisis

moral. Dengan kata lain, krisis moral merupakan awal dari segala krisis yang lain.

Untuk itu, yang menjadi persoalan adalah bagaimana etika sosial Islam aspek ekonomi

bisa dipahami, tentunya dengan memperhatikan prinsip ekonomi yang secara

berulang-ulang ditekankan oleh al-Quran adalah alat produksi dan sumber daya

alamiah yang mendukung kehidupan manusia telah disediakan oleh Tuhan. Dialah

yang telah menciptakan berbagai benda itu sebagaimana adanya dan mengatur benda-

benda tersebut untuk patuh terhadap hukum alam agar bisa dimanfaatkan oleh

manusia. Dialah pemberi izin kepada manusia untuk mengelola benda-benda itu dan

Dia pulalah yang menyediakan semua itu untuk dimanfaatkan oleh manusia.
Pembahasan yang menyangkut modal, dalam al-Quran adalah larangan

membelanjakan hrta secara mubazir (al-Isra'/17 : 26-27) dan menumpuk-numpuk

harta (at-Taubah/9:34). Besi banyak digunakan untuk membuat barang modal, seperti

mesin perindustrian dan juga untuk barang konsumsi yang tahan lama. Al-Quran

mengingatkannya dengan memberikan nama surat ke-57 dengan al-Hadid yang beratti

besi, dan dalam ayat 25 mengingatkan bahwa besi mempunyai kekuatan hebat dan

benyak manfaatnya bagi manusia.

Mengenai jual beli sebagai transaksi yang dihalalkan, harus dengan suka sama

suka, dan jangan ada penipuan, di ungkapkan Al-Quran dalam surat Al-Baqarah /2

:275; dan an-Nisa'/4:29; dan al-Muthaffifin/83 : 1-3. Riba diharamkan Allah jual-beli

dihalalkanNya al-Baqarah/2: 275-279; Ali Imran/3:130. Dalam surah al-Baqarah

sebelum membicarakan fasal itu, disebutkan pahala bersedekah. Ayat 24

menyebutkan: "mereka yang menyedekahkan hartanya siang dan malam, dengan

diam-diam atau terang-terangan, akan diberi pahala oleh Allah".

Selanjutnya, ayat-ayat yang membicarakan soal riba: "Mereka yang memakan

riba tidak ada bedanya dengan orang gila yang dimasuki syaitan. Karena itu mereka

berkata, bahwa berniaga dan riba itu sama saja. Akan tetapi, Allah mengizinkan

berniaga dan mengharamkan riba". Allah melarang (mengharamkan) riba, tetapi

pahala bersedekah diperbanyakNya. Dan sebagai nasehat bagi orang yang beriman

(Surat Ali Imron/3:130) diperingatkan juga kejahatan riba itu: "Janganlah engkau

memakan riba yang berlipat ganda; dan takutlah engkau kepada Allah, supaya engkau

beroleh bahagia".

Mengenai riba ini, Faud Mohd Fachruddin mengatakan, sebagai berikut:


Riba sifatnya semata-mata konsumtif. Ia dinamakan dari orang meminjam uang

untuk melepaskan sesak hidupnya. Karena sangat susahnya, ia meminjam dengan

tiada mengindahkan beban yang dipikulnya. Asal ia dapat pinjaman, diterimanya

bayaran bunga sampai puluhan dan ratusan persen jumlahnya setahun. Sekalipun ia

tahu, bahwa pokok hutang serta bunganya yang begitu berat tidak akan terbayar

olehnya dengan tiada menghabiskan hartanya kelak, ia mau juga, sebab sesak

hidupnya tidak terkira. Tidak jarang terjadi, sawah ladang orang habis terjual dan

tergadai untuk membayar bunga hutang yang tidak kunjung berakhir... Riba, semata-

mata dipungut dari orang yanv miskin, yang meminjam uang untuk keperluan

kehidupannya sebentar itu, dengan tiada berpikir panjang tentang melaratnya

dikemudian hari. Tidak pernah ribadapat dipungut dari orang yang meminjam uang

buat membuka perusahaan...

Dari ilustrasi diatas, terlihat betapa peduli dan concern-nya Islam terhadap etika

sosial. Jauh sebelum marak dam berkembangnya LSM-LSM yang mempunyai

program mengentaskan kemiskinan seperti terlihat sekarang ini. Sebagai etika sosial,

ternyata tidak sedikit yayasan dan LSM atau apapun namanya yang

"mengatasnamakan" rakyat miskin, justru malah memperkeruh dan memperparah

suasana, contohnya sekarang sudah menjadi rahasia umum, yaitu "Yayasan Raudlatul

Jannah", yang menangani pembagian "Sembako" terkenal bologgatenya dengan

melibatkan Akbar Tanjung. Begitu pula kasus-kasus penyaluran dan bantuan bencana

alam, seperti: Gempa Liwa, Banjir Jakarta dan sebagainya.

Mengenai harta, menurut hasil investigasi yang dilakukan oleh Bustanuddin

Agus, Al-Quran mengungkapkan bahwa segala yang ada di alam adalah milik Allah

(al-Baqarah/2:255 ; al-Maidah/5:120; dan Thaha/20:6), pengakuan terhadap hak

milik pribadi yang di dapatkan secara halal akan dipergunakan untuk hal-hal yang
halal pula (al-Baqarah/:274; an-Nisa/4:32; an-Nahl/16:71; az-Zukhruf/43:32; dan at-

Taghabun/64:15), harta mempunyai fungsi sosial (at-Taubah/9:60; al-Isra/17:26; dan

adz-Dzariat/51:19), manusia mempunyai sifat keluh kesah sewaktu miskin dan kikir

sewaktu memperoleh harta (al-Ma'arij/70:19-25) ayat-ayat al-Quran memerintahkan

untuk memperhatikan sifat manusia secara umum, seperti sifat cinta kepada wanitadan

harta benda (ali Imran/3:14; at-Takatsur/102:1-2 dan al-Humazah/104:2-3).

Hal senada yang menganjurkan agar berusaha mencari nafkah, umpamanya soal

perdagangan, disebutkan pada bagian lain dalam Al-Quran:

          

              

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku

dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;

Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisa/4:29)54

Dalam kandungan ayat diatas terlihat betapa ajaran Islam menempatkan

kegiatan usaha perdagangan sebagai salah satu bidang penghidupan yang sangat

dianjurkan oleh agama, dan bahwa Islam juga menempatkan prinsip kebebasan pada

tempat yang begitu senetralnya guna mengejar tujuan keduniaab, umum serta merta

54
Departemen Agama RI. Op.Cit, h. 65
dengan itu sekaligus juga mengharuskan umat Islam bekerja secara etis menurut

norma-norma yang secara garis besar telah disurutkan dan disiratkan di dalam al-

Quran dan Hadis.

Dengan demikian, ada hubungan fungsional antara sistem nilai etika dengan

etos kerja hmat beragama. Terlepas dari kontroversi teori Max Weber mengenai hal

tersebut. Agaknya dapat disebutkan bahwa ketakwaan serta kesalehan dalam

menganut ajaran islam secara kaffah dalam kondisi tertentu akan mendinamiskan dan

mamacu serta mengagresifkan pemeluk Islam dalam melakukan kegiatan-kegiatan

yang bersifat keduniaan secara konsisten dan sistematis. Mengenai telri Weber dan

Yahya Muhaimin menejelaskan: Menurut kerangka pemikiran Weber, motivasi

kegiatan ekonomi sering terdapat pada kelompok tertentu pemelyk sesuatu agama,

yakni bersumber pada keyakinan pemeluk tersebut bahwa kehidupan mereka telah

ditentukan oleh takdir Allah kepada orang-orang yeng terpilih. Karena mereka, tidak

mengetahui apakah mereka termasuk orang yang terpilih, demikian jalan pemikiran itu

selanjutnya, maka kehidupan mereka di dunia senantiasa dikurangi oleh rasa

ketidakpastian yang terus menerus. Namun adalah kewajiban mereka, kata Weber,

untuk beranggapan sebagai orang-orang terpilih, dan menyingkirkan keraguan. Untuk

memupuk kepercayaan itulah maka orang harus bekerja keras. Inilah yang disebutkan

dengan Innerworldly ascesticim yakni kesungguha berbakti kepada Allah yang

mewujudkan dengan kerja keras.55

Menanggapi teori Innerworldly ascesticism di atas, agaknya dalam kerangka

doktrin islam, bukan terletak pada panggilan untuk menjadi manusia terpilih, namun

terletak pada kemutlakan Islam pada setiap Muslim untuk melaksanakan kewajiban

55
Muhammad Fakhry Ghafur, Agama Dan Demokrasi : Munculnya Kekuatan Politik
Islam Di Tunisia, Mesir Dan Libya1 Religion And Democracy : The Emergence Of The Power Of
Political Islam In Tunisia, Egypt And Libya, h.89
pada segi ibadah dan segi mu'amalah secara simultan, dan bahwa hanya kepada

mereka yang bekerja akan diberikan imbalan keduniaannya ( ‫)مما كسبىالهم نصىب‬

Di dalam kerangka nilai islam, maka konsep tekdir, seperti dimaksudkan oleh

Weber di atas, di sebutkan bahwa Allah SWT, memang telah menetapkan suratan

kepada setial manusia di kemudian hari, namun suratan takdir itu sendiri pada

hakikatnya bergantung kepada usaha dan tingkah laky manusia di dunia.

Sikap manusia dan jugaperilakunya dalam konteks ajaran Islam, dengan

demikian, merupakan sesuatu yang memberikan dimwnsi tertentu akan suratan

takdirnya. Oleh karenanya, kaum muslim dituntut untuk melaksanakan ajaran Islam

secara kaffah sehingga, meminjam istilah Harus Nasution, dapat merubah takdir

dengan takdir.
BAB III

BIOGRAFI INTLEKTUAL ABU AL-A'LA AL MAUDUDY

A. Riwayat Hidup Abu Al-A'la Al Maududy

Abu A'la dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321, bertepatan dengan 25

September 1903, di Aurangabad, suatu kota terkenal di daerah yang sekarang dikenal

sebagai Audra Pradesh, India. Ayahnya yang lahir pada 1844, adalah seorang ahli

hukum yang sangat taat kepada ajaran-ajaran agama islam.56 Al-Maududi anak

termuda dari ketiga putranya.

B. Riwayat Pendidikan Abu Al-A'la Al Maududy

Pandidikan awal al-Maududi diperoleh dari ayahnya sendiri di rumah, yang

kemudian diteruskannya di suatu sekolah lanjutan yang bernama Madrasah

Fauqaniyah, yakni suatu sekolah yang menggabungkan pendidikan modern barat

dengan pendidikan islam tradisional. Ketika Abu A'la sedang belajar di perguruan

tinggi Darul Ulum, Hydrabad, ayahnya sakit dan kemudian meninggal, setelah itu

pendidikan Abul A'la berhenti secara formal. Akan tetapi dengan metode otodidak ia

tetap menekuni pelajaran-pelajaran lnya diluar lembaga pendidikan formal. Pada awal

1920-an Maududi telah menguasai bahasa Arab, Persia dan Inggris di samping,

tentunya, bahasa Urdu, bahasa ibunya.

Sebagian besar ilmu yang diperoleh Maududi dapat dikatakan didapat dari

jerih payahnya ssndiri dengan bimbingan sarjana-sarjana yang tangguh pada waktu itu

dalam lingkungannya. Sejak muda Maududi telah menyukai jurnalisme dan pernah

56
Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, ( Bandung, Penerbit Mizan: 1996), h.
7
menjadi editor beberapa mass-media ketika usianya baru menginjak dua puluh tahun.

Minatnya pada politik juga tumbuh pada usia sekitar dua puluhan itu. Pada usia muda

inilah Maududi menerbitkan bukunya yang terkenal berjudul al-Jihad fil Islam, suatu

buku yang sangat cermat dan tajam mengenai hukum Islam dalam perang dan damai.

Tidak kurang dari Sir Muhammad Iqbal dan Maulana Muhammad Ali Jauhar, tokoh

terkenal gerakan khilafah dan kemerdekaan, memberikan pujian sangat tinggi pada

buku tersebut

C. Karya-karya Abu Al-A'la Al Maududy

Pada dasarwarsa 1930-an tulisan-tulisan Maududi "membanjiri" dan sebagian

besar tulisannya mencoba memecahkan masalah-masalah politik dan budaya yabg

dihadapi oleh kaum muslimin India, dan sudah tentu semuanya itu ditinjau dari sudut

pandang Islam. Berbagai ideologi modern yang mulai menguasai cara berpikir

sementara kaum muslimin diserang habis-habisan oleh Maududi sambil ditunjukkan

kekosongan dan kesesatan ideologi-ideologi man-made tersebut. Nasionalisme yang

mengarah pada jingo-isme dan xenophobisme tidak saja ditelanjangi oleh Maududi,

tetapi juga dibongkar seluruh bahaya yang terkandung di dalamnya serta ditunjukkan

ketidakserasian nasionalisme semacam itu dengan pandangan Islam.

Membaca gagasan-gagasan segar Maududi itu, Muhammad Iqbal kemudian

membujumnya agar pindah dari Hyderabad dan tinggal di distrik pthankot, suatu

daerah di bagian timur punjab. Di sana Maududid bekerja sama dengan Iqbal

mendirikan suatu pusat riset yang dinamakan Dar al-Islam dengan maksut untuk

mendidik sarjana-sarjana Islam agar mereka dapat berkarya secara positif dalam

berkhidmat pada Islam, terutama sekali untuk melakukan rekontruksi syariat Islam.

Pada awal 1940-an Maududi mendirikan suatu gerakan Islam yang dipimpinnya

sendir, yaitu Jamiati Islami. Gerakan Jamiati Islami pimpinan Maududi pada
hakikatnya merupakan gerakan kader-kader Islam dan tidak pernah menjadi gerakan

massa. Gerakan Jamiati Islami ini disegani terutama karena para pemimpinnya dan

anggota-anggotanya yang penuh kntegritas dan dedikasi terhadap Islam serta

kenyataan bahwa sebagian besar mereka menjadi muhsinin dalam kaliber masing-

masing.

Ketika Pakistan lahir pada tahun 1947, Maududi segera pi dah ke Pakistan dan

mulai memusatkan segala tenaga dan pikirannya untuk ikut mendirikan suatu negara

Islam yang benar-benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.57 Untuk mencapai tujuan

ini, untuk kesekian kalinya karangan-karangan Maududi "membanjir" menyoroti

berbagai dimensi ajaran Islam, terutama sekali yang berhubungan masalah-masalah

sosial dan politik. Resiko seorang pemikir dan pejuang seperti Maududi kiranya sudah

jelas. Gagasan-gagasannya berkali-kali bertabrakan dengan beberapa kebijaksanaan

pemerintahan Pakistan yang oleh Maududi dipandang sebagai meninggalkan cita-cita

didirikannya Pakistan. Oleh karena itu penjadi bagi Maududi bukanlah tempat tinggal

yang asing lagi. Tekad yang teguh membaja untuk mempertahankan pendiriannya

benar-benar dikagumi, baik oleh teman maupun lawan perjuangannya.

Pada tahun 1953Maududi dijatuhi hukuman mati karena tuduhan "subversif"

yang berkaitan dengan masalah sekte Ahmadiyah Qadiani. Namun Maududi bukannya

minta naik banding atau memohon pengampunan penguasa waktu itu. Dengan senang

gembiara ia memilih kematian daripada meminta pengampunan kepada mereka yang

memang ingin menggantungnya. Ia mengatakan kepada anaknyadan sahabat-

sahabatnya: "Jika ajal bagi saya telah datang, tidak seorangpun dapat

mengelakkannya, akan tetapi bila ajal itu memang belum datang, mereka tidak akan

dapat menggantung saya, walaupun mereka sampai menggantung diri mereka sendiri

57
Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, ( Bandung, Penerbit Mizan: 1996), h.9
untuk dapat menggantung saya". Keteguhan Maududi ini justru menggoncangkan

pemerintah dan di bawah tekanan-tekanan dari dalam dan luar negeri, pemerintah

Pakistan mengubah hukuman mati itu menjadi hukuman seumur hidup.

Abul A'la al-Maududi sepanjang hayatnya telah mengabdikan hidupnya untuk

agama dan umat Islam dunia. Selama kehidupan perjuangannya yang berkisar sekitar

60 tahun, Maududi tidak pernah "pensiun" dari kegiatan-kegiatannya untuk

menawarkan Islam sebagai alternatif bagi umat manusia modern yang dirundung

kebingungan ideologis, filsafi, dan sosial-politik. Ratusan buku, pamflet, dan ribuan

ceramah, semua didedikasikan untuk menggali ajaran-ajaran Islam yang sudah terlalu

lama tertindih oleh berbagai paham kehidupan dan ideologi asing yang telah lama

bercokol di dunia Islam selama masa penjajahan Barat yang panjang. Negara kesatuan

dengan asas desentralisasi menyerahkan sebagai kekuasaannya kepada daerah-daerah

yang ada di wilayah Negara tersebut.58

Dan jika kita berpindah dan melihat realita kontemporer kaum muslimin, kita

akan melihat sebuah kenyataan yang tentu saja sangat jauh berbeda dengan kondisi

Islam pada masa-masa sebelumnya. Perbedaan ini terwujud sangat nyata dalam

“kemenangan” kekuatan sekularisme dalam pentas kehidupan sehari-hari.Interaksi

kaum muslimin sendiri pun sangat jauh berubah terhadap Islam. Setelah sebelumnya

agama memiliki kekuatan yang nyaris sempurna terhadap perilaku individu dan

masyarakat, kini hampir dapat dikatakan bahwa kekuatan peran agama nyaris tidak

melewati batas individu saja kecuali jika ingin mengecualikan beberapa kalangan

masyarakat Islam, seperti sebagian masyarakat yang ada di Jazirah Arab misalnya,

58
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Gema Insani
Press, 1996), h. 36.
yang itupun memiliki tingkat kepatuhan dan keterpengaruhan pada Islam yang tidak

sama satu dengan yang lain.59

Kecualai Iqbal, pemikir-pemikir Islam dari sub kontinen Indo-Pakistan

mwnjadi kecilbila dihadapkan denagan Abul A'la al-Maududi . Pemikiran-pemikiran

radikal Maududid dewasa ini telah langsung atau tidak langsung menggerakkan

semangat kebangunan Islam di dunja Muslim. Bahkan tidak kurang dari Sayyid Qutb,

seorang musafir modern sangat terkemuka dari al-ikhwan, menyediakan beberapa

halaman dalam kitab tafsir Fi Dzalalil Quran untuk mengabadikan pendapat-pendapat

dan ijtihad Maududid tentang jihad dengan sangat jelas. Pendapat-pendapat Maududid

tentang jihad dapat kita baca dalam tafsir Qutb mengenai surat al-Anfal. Keluasaan

ilmu Maududit memang cukup mengagumkan. Perhatian pokok Maududit di bidang

tafsir, hadis, hukum, filsafat dan sejarah tidak mengurangi produktifitas karya-

karyanya di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi dan lain sebagainya.

Abu Al- A’la Al-Maududy, sebagaimana halnya Muhammad Natsir dari

Indonesia, juga menjadi salah seorang tokoh Rabithah al-'Alam al-Islami yabg

berpusat di Makkah. Ketika penulis kata pengantar ini berada di Amerika Serikat, di

beberapa negara Eropa Barat dan di Timur Tengah, penulis sempat menyaksikan

bagaimana gerakan-gerakan dikalangan mahasiswa Islam di sana menjadikan

Maududid sebagai salah seorang tokoh yang sangat dihormati karena wawasan-

wawasan segarnya mengenai Islam dan mengenai tugas-tugas kaum muslimin di

zaman modern. Tampaknya juga di Indonesia, para pelajar dan mahasiswa serta

cendikia-cendikia yang ingin mendalami Islam pada umumnya mempelajari karya-

karya Maududi yang dapat dibaca dalam berbagai bahasa.

59
Abdullah Zawawi, Politik Dalam Pandangan Islam ,Jurnal Ummul Qura Vol V, No 1,
Maret 2015 .h..86

Anda mungkin juga menyukai