KEJANG
KEJANG
KEJANG
1 Pendahuluan
Kejang merupakan gejala yang timbul dari efek langsung atau tidak langsung dari
penyakit sistem saraf pusat ( SSP ). Obat – obat yang digunakan untuk terapi berbagai penyakit
vaskuler yang dapat mempengaruhi ambang kejang dan memyebabkan kejang , selain itu
penyakit dapat pula mendasari angka kejadian kejang pada pasien stress. Kejang didefiniskan
sebagai perubahan sementara dalam keadaan atau tanda – tanda lain atau gejala yang dapat
disebabkan oleh disfungsi otak. disfungsi otak tersebut dapat disertai dengan motorik, sensorik
dan gangguan otonom tergantung paad daerah otak yang terlibat baik organ itu sendiri atau pun
penyebaran ke organ yang lain.1
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat.
Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang
selama hidupnya.1 Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan
tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan
sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit berat, atau
cenderung menjadi status epileptikus.2 Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara
baik. Karena diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan
kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam
menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bukan. Selanjutnya
melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.2
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang demam,
hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis, ketidakseimbangan elektrolit, dan
overdosis obat. Meskipun penyebab dari kejang beragam namun pada fase awal tidak perlu
untuk melabelnya masuk pada kelompok mana, karena manajemen jalan nafas dan penghentian
kejang adalah prioritas awal pada pasien dengan kejang aktif.3
1.2 Kejang
1.2.1. Definisi Kejang
Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara dan tiba – tiba yang
merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal didalam otak. Jika gangguan aktivitas
listrik ini terbatas pada area otak tertentu , maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat
parsial, namun jika gangguan aktivitas listrik terjadi di seluruh area otak maka dapat
menimbulkan kejang yang bersifat umum.1 Perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran
nilai normal yang menyeimbangkan eksitasi dan inhibisi didalam susunan saraf pusat, karena
terlalu banyak faktor yang dapat mempengaruhi nilai normal eksibilitas susunan saraf pusat
maka ada banyak penyebab yang dapat menimbulkan kejang.2 Kejang dapat disertai dengan
gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia, hiperglikemia, dan gagal hati, toksik
seperti overdosis dan sindrom withdrawal, dan infeksi seperti meningitis dan ensepalitis,
kejang yang terjadi pada pasien dengan kondisi ini tidak selalu mengarah pada diagnosis
epilepsi, meskipun obat yang digunakan untuk menatalaksana kejangnya adalah obat
antiepilepsi dalam jangka pendek , obat umumnya tidak perlu di lanjutkan setelah pasiennya
sembuh dari kejang.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara
bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh; 1]
kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang
berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA];
atau 3] meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur
eksitasi yang berulang. 3,4,5 Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang
berlebihan berlangsung terus menerus, di samping akibat ilnhibisi yang tidak sempurna.
1.2.3 Klasifikasi
Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah berdasarkan Klasifikasi International
League Against Epilepsy of Epileptic Seizure [ILAE] 1981, yaitu dapat dilihat pada tabel 2
1.2.4 Etiologi
Menentukan faktor penyebab kejang sangat menentukan untuk tatalaksana selanjutnya,2 karena
kejang dapat diakibatkan berbagai macam etiologi. Adapun etiologi kejang yang tersering pada
anak dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Penyebab tersering kejang pada anak
Kejang demam
Infeksi: meningitis, ensefalitis
Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia, gangguan
elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan metabolik bawaan
Trauma kepala
Keracunan: alkohol, teofilin
Penghentian obat anti epilepsi
Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial, idiopatik
Sumber: 1
1.3 Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik
abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Sedangkan serangan atau
bangkitan Epilepsi dikenal dengan berbagai macam etiologi. 1
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 Epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang Epilepsi sebelumnya. 1
Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal,
yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (“unprovoked”). 1
1.4 Epidemiologi
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami Epilepsi. Setiap orang memiliki otak dengan
ambang bangkitan masing-masing, apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap munculnya
bangkitan. Selain itu, penyebab Epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan, strok, infeksi,
infestasi parasit, dan tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, umur
berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita Epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum,
diperoleh gambaran bahwa insidensi Epilepsi menunjukan pola bimodal: puncak insidensi terdapat
pada golongan anak dan usia lanjut. 2
1.5 Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70%
kasus Epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai Epilepsi idiopatik dan 30%
yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai Epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala,
infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik, dan metabolik.
Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya
West Syndrome dan Lennox-Gastaut Syndrome.
Bila salah satu orang tua Epilepsi (Epilepsi idiopatik), maka kemungkinan 4% anaknya
Epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya Epilepsi maka kemungkinan anaknya Epilepsi menjadi
20 – 30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan Epilepsi seperti hormon estrogen
dan tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan Epilepsi,
sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid, dan testosteron dapat menurunkan kepekaan
terjadinya serangan Epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami
perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan, dan
menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan Epilepsi. Epilepsi
mungkin disebabkan oleh 1:
1. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak.
2. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak pada
saat lahir atau cedera lain.
3. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksia atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi kongenital pada otak, atau infeksi.
4. Pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah Epilepsi idiopatik, sedangkan pada anak umur
5 – 6 tahun, disebabkan karena febris.
5. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi karena cedera kepala maupun tumor.
1.9.1.2 Minor
1.9.1.2.1 Petit mal
Epilepsi Petit Mal yang sering disebut Epilepsi Pykno ialah Epilepsi Umum Idiopatik.
Meliputi kira-kira 3 – 4% dari kasus Epilepsi. Umumnya timbul pada anak sebelum pubertas (4 – 5
tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap
berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan. Kadang-kadang terlihat gerakan alis,
kelopak, dan bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula.
Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan Petit Mal yang tak
ditanggulangi, 50%nya akan menjadi Grand Mal. Petit Mal yang tidak akan timbul lagi pada usia
dewasa dapat diprediksi berdasarkan 4 ciri :
1. Timbul pada usia 4 – 5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.
2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3 per detik.
1.9.1.2.2 Bangkitan Mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter, misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi
berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada
kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. 5
1.9.1.2.3 Bangkitan Akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot dengan tiba-
tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali.
Ketiga jenis bangkitan ini (Petit Mal, Mioklonus dan Akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita
dan disebut trias Lennox-Gastaut. 1,3
1.9.1.2.4 Spasme Infantil
Jenis Epilepsi ini juga dikenal sebagai Salaam Spasm atau Sindroma West. Timbul pada bayi
3 – 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun
selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat
trauma, infeksi, dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau
keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,
miosis atau midriasis pupil, sianosis, dan berkeringat.
1.9.2 Epilepsi Parsial (20% dari seluruh kasus Epilepsi)
1.9.2.1. Bangkitan Motorik
Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu atau
sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat
sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah
dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian Marche.4
1.9.2.2 Bangkitan Sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks sensorik.
Bangkitan somatosensorik dengan fokus terletak di Gyrus Post Centralis memberi gejala
kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal, atau perasaan kehilangan
salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya
dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang. 3
1.9.2.3 Epilepsi Lobus Temporalis
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas
sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di
lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan
asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini
bersifat psikomotorik dan oleh karena itu Epilepsi jenis ini dulu disebut Epilepsi Psikomotor.
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa automatisme.
Manifestasi klinik ialah sebagai berikut 3:
1. Kesadaran hilang sejenak.
2. Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam pikiran antara sadar dan mimpi
(Twilight State).
3. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan automatisme
yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang
mungkin timbul :
a. Halusinasi dengan automatisme pengecap.
b. Halusinasi dengan automatisme membaca.
c. Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran, atau perasaan aneh
1.10 Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis seseorang yang menderita Epilepsi, dapat dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung, maka Epilepsi (klinis) sudah dapat
ditegakkan. 3,5
1.10.1 Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir
tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang
terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan
informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan
metabolik, malformasi vaskuler, dan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis),
meliputi:
Pola atau bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama, dan paskaserangan
Frekuensi serangan
Faktor pencetus
Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan terjadinya pertama
Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit Epilepsi dalam keluarga
1.10.2 Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan Epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau
difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan
umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan
adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh
yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. 3,5
1.10.3 Pemeriksaan Penunjang
1.10.3.1 Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien Epilepsi dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis Epilepsi. Adanya kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
3,4
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal jika:.
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya,
misal gelombang delta.
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal. Bentuk Epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG
yang khas, misalnya Spasme Infantil mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,
Epilepsi Petit Mal dengan gambaran EEG berupa gelombang paku ombak 3 siklus
per detik, Epilepsi Mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku tajam
lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
1.10.3.2 Rekaman Video dan EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video dan
EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk
mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
Epilepsi Refrakter. Penentuan lokasi fokus Epilepsi Parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan
pada persiapan operasi. 5
1.10.3.4 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah Neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur
otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan, maka MRI lebih sensitif dan
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus
kanan dan kiri. 3
1.11 Tata Laksana
1.11 1 Obat-obat Anti Epilepsi
Obat Anti-Epilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen Epilepsi. Keputusan
untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan Epilepsi
selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi OAE. Politerapi seharusnya dihindari
sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30 – 50% pasien tidak berespon terhadap
monoterapi. Tujuan pengobatan Epilepsi dengan OAE adalah menghindari terjadinya kekambuhan
dengan efek buruk yang minimal (yang dapat ditoleransi). 3,4
Di Indonesia telah tersedia berbagai jenis OAE. Program jangka panjang, dosis obat terbagi,
dan kurangnya pengertian tentang program terapi Epilepsi merupakan faktor penghambat turunya
minum obat. Kepatuhan minum obat merupakan hal penting untuk menurunkan serangan.
1.11.2 Prinsip Terapi OAE
1.11.2.1 Menentukan Diagnosis yang Tepat
Diagnosis yang tepat sangat penting pada Epilepsi. Orang yang terdiagnosis Epilepsi
mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita Epilepsi akan meminum obat dalam jangka waktu
yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat OAE.
1.11.3 Menentukan Kapan Dimulainya Terapi dengan OAE
1.11.3.1 Setelah Kejang Pertama
Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama, menurut Leppik
(2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang selanjutnya, yaitu
Treat, Possibly Treat dan Probably Treat.
Tabel 4
A. Treat:
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteriovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat Epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola Epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau strok, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todd’s Postical Paresis
f. Status Epileptikus
B. Possibly:
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan OAE. Risiko pengobatan OAE umumnya
rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hidup pasien.
Pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai kendaraan,
mempunyai risiko besar, atau trauma jika mengalami bangkitan kedua.
C. Probably Not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
1. Putusnya alkohol
2. Penyalahgunaan obat
3. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi,
hipoglikemik
4. Kejang karena trauma (kejang tunggal dengan segera setelah pukulan
di kepala)
5. Sindrom Epilepsi Benigna Spesifik, seperti: Kejang Demam atau
Epilepsi Benigna dengan Spikes Sentrotemporal.
6. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam
waktu-waktu ujian
1.11.3.2 Setelah Kejang Dua Kali atau Lebih
Pada umumnya, pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih membutuhkan
pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang akibat putusnya alkohol,
penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik,
kejang karena trauma (kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), Sindrom Epilepsi
Benigna Spesifik, seperti: Kejang Demam atau Epilepsi Benigna dengan Spikes Sentrotemporal,
kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian, dan kejang
akibat penyebab nonepileptik lainnya. 3,4
1.11.4 Memilih Obat yang Sesuai
Pemilihan OAE didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik pasien.
1.11.4.1 Tipe Serangan
Tabel 5. Modifikasi Brodie et al (2005) dan Panayiotopoulos (2005)
Tipe Serangan First-Line Second-Line/Add Third Line/Add On
On
Parsial Sederhana &Karbamazepin Asam Valproat Tiagabin
Kompleks dengan atauFenitoin Levetiracetam Vigabatrin
Tanpa Sekunder UmumFenobarbital Zonisamid Felbamat
Okskarbazepin Pregabalin Pirimidon
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tonik-Klonik Asam Valproat Lamotrigin Topiramat
Karbamazepin Okskarbazepin Levetiracetam
Fenitoin Zonisamid
Fenobarbital Pirimidon
Mioklonik Asam Valproat Topiramat Lamotrigin
Levetiracetam Clobazam
Zonisamid Clonazepam
Fenobarbital
Absens (Tipikal danAsam Valproat Etosuksimid Levetiracetam
Atipikal) Lamotrigin Zonisamid
Atonik Asam Valproat Lamotrigin Felbamat
Topiramat
Tonik Asam Valproat Klonazepam -
Fenitoin Klobazam
Fenobarbital
Epilepsy Absence Asam Valproat Klonazepam -
Juvenile Etosuksimid
Epilepsy Mioclonic Asam Valproat Klonazepam -
Juvenile Fenobarbital Etosuksimid
1.11.5Karakteristik Pasien
Dalam pengobatan dengan OAE, karakteristik pasien harus dipertimbangkan secara
individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah: efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola
hidup, dan usia pasien. Suatu OAE mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada
kontraindikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat
dilakukan. Sebagai contoh, Asam Valproat pada wanita, khususnya wanita yang masih dalam usia
subur. 2,3
1.11.5.1 Optimalisasi Terapi dengan Dosis Individu
Ketika obat sudah dipilih untuk terapi, seharusnya dimulai dari dosis yang paling rendah
yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang terkontrol dengan efek
samping obat yang minimal (dapat ditoleransi). 3
1.11.5.2 Dosis Awal
Terapi OAE harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi untuk meminimalkan
efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan
OAE. Frekuensi efek samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena
dapat ditoleransi. Beberapa cara pemberian dosis awal :
1.11.5.2.1 Pemberian Obat Mulai dari Dosis Subterapetik
Sejumlah OAE memberikan efek samping yang dihubungkan dengan dosis awal, di
antaranya Karbamazepin, Etosuksimide, Felbamate, Lamotrigin, Pirimidon, Tiagabin, Topiramat
dan Asam Valproat. Munculnya ruam pada penggunaan Lamotrigin dihubungkan dengan dosis.
Untuk meminimalkan efek samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan
mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa minggu
tercapainya cakupan dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi selama proses
titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang dapat ditoleransi pasien. Setelah
simtom menghilang, proses titrasi dimulai kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil. 4,5
1.11.5.2.2 Pemberian Obat Mulai dari Dosis Terapetik
Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada OAE seperti Gabapentin, Fenitoin, dan
Fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga terapi dengan obat tersebut dapat diberikan
mulai dengan dosis terapetik yang direkomendasikan. 4
1.11.5.2.3 Evaluasi Ulang
Sebelum berpikir ke arah kegagalan OAE dan penggantian OAE dengan obat lain, faktor-
faktor berikut harus dievaluasi kembali:
1. Diagnosis Epilepsi
2. Klasifikasi tipe serangan atau sindrom Epilepsi
3. Adanya lesi aktif
4. Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi, misal: Apakah dosis terpaksa diberikan
dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi? Apakah pengaturan dosis yang diberikan
cukup waktu untuk mencapai kondisi optimal?
5. Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab yang paling umum
terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya bangkitan).
Table 6. Dosis OAE untuk dewasa
Obat Dosis Awal Dosis yang Dosis Frekuensi Efek Samping
(mg/hari) Paling Rumatan Pemberian
Umum (mg/hari) (kali/hari)
(mg/hari)
Fenitoin 200 300 100 – 700 1–2 Hirsutisme,
hipertrofi gusi,
distres lambung,
vertigo,
hiperglikemia,
anemia
makrositik
Karbamazepin 200 600 400 – 2000 2–4 Depresi sumsum
tulang, distress
lambung, sedasi,
penglihatan
kabur, konstipasi,
ruam kulit
Okskarbazepin 150 – 600 900 – 1800 900 – 2700 2–3 Gangguan GI,
sedasi, diplopia,
hiponatremia,
ruam kulit
Lamotrigin 12,5 – 25 200 – 400 100 – 800 1–2 Hepatotoksik,
ruam, sindrom
steven-johnson,
nyeri kepala,
pusing,
penglihatan kabur
Zonisamid 100 400 400 – 600 1–2 Somnolen,
ataksia,
kelelahan,
anoreksia, pusing,
batu ginjal,
leukopenia
Ethosuximid 500 1000 500 – 2000 1–2 Mual, muntah,
BB ↓, konstipasi,
diare, gangguan
tidur
1.1.1.4. Politerapi
Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt (1995)
mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik dan sedikit interaksi
dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut menggunakan Vigabatrin sebagai terapi tambahan
pada 19 kasus Epilepsi Parsial Refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi
rata-rata 1,5 macam obat. Dengan tambahan Vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih dari
70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah, sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan
mioklonik. Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam farmakologi klinik,
terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang sama, karena itu
interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek sampingnya aditif. 3
Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan, misalnya: Valproat dan
Etosuksimid dalam manajemen bangkitan absens refrakter. Dibandingkan dengan obat-obat lama,
obat-obat baru mempunyai mekanisme yang berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih
menguntungkan apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang rasional
memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar terapetik dan kadar
toksik, serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat
yang:
1. Mempunyai mekanisme aksi berbeda;
2. Efek samping relatif ringan;
3. Indeks terapi lebar; dan
4. Interaksi obat terbatas atau negatif.
Tujuan tercapainya terapi Epilepsi antara lain ialah bangkitan terkendali dengan efek
samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali.
1.1.2. Pemantauan Terapi
Manajemen umum Epilepsi:
o Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang tepat
o Menentukan dan mengobati penyebab
Mengobati serangan:
Menilai perlunya terapi obat:
o Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut yang reversibel
o Terapi obat tidak perlu untuk Epilepsi Benigna yang diketahui dengan pasti (Kejang
Demam, Rolandic Epilepsy)
o Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai apakah banyak
manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien dengan risiko tinggi.
o Pemberian OAE yang sesuai
o Temukan dan hindari faktor presipitat (alkohol, kurang tidur, stres emosional,
demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)
o Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan implantasi stimulator
nervus vagus pada pasien yang sulit diobati dengan OAE.
Mencegah komplikasi akibat serangan Epilepsi :
o Hentikan kejang
o Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien
o Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.
1.1.3. Ketaatan Pasien
Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat merupakan faktor
prediktor untuk tercapainya remisi pada Epilepsi, di mana pada penderita Epilepsi yang patuh
minum obat terbukti mengalami remisi 6, 12, dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka
yang tidak patuh minum obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley
(1997) cit Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4 hal
berikut:
1. Dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan
2. Durasi waktu minum obat di antara dosis sesuai yang dianjurkan
3. Jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan
4. Tidak mengganti dengan obat lain yang tidak dianjurkan. 5
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada penderita Epilepsi
dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh faktor motivasi, adanya efek
samping obat, pengobatan monoterapi, pengaruh biaya pengobatan, serta adanya pengaruh stigma
akibat Epilepsi. 3,4
1.1.4. Penghentian Pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan memulai pengobatan.
Di pihak lain, penderita atau orang tua pada umumnya menanyakan berapa lama atau sampai kapan
harus minum obat. Untuk memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belum, atau tidak
dapat dihentikan, atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tua tadi memang tak
mudah. Untuk itu, perlu memahami diagnosis (termasuk serangannya) dan prognosis Epilepsi. 1,2
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat kekambuhan apabila OAE
dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah adalah jenis serangan absens yang khas.
Kemudian berturut-turut makin tinggi tingkat kekambuhannya adalah klonik atau mioklonik, kejang
tonik-klonik primer, parsial, serangan yang lebih dari satu jenis, dan Epilepsy Jackson. 3
Konsep penghentian obat minimal dua tahun terbebas dari serangan pada umumnya dapat
diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan
keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas bahwa penghentian OAE memerlukan
pertimbangan yang cermat dan kepada penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian
secukupnya. 3