Proposal Tugas Akhir
Proposal Tugas Akhir
Proposal Tugas Akhir
Disusun Oleh :
I
II
III
DAFTAR ISI
IV
BAB 3. DASAR TEORI ..................................................................................... 11
3.1 Definisi Batubara ............................................................................................ 11
3.2 Tahap Pembentukan Batubara ........................................................................ 12
3.3 Faktor Pembentuk Batubara............................................................................ 13
3.4 Genesa Batubara ............................................................................................. 13
3.4.1 Coalification........................................................................................... 14
3.5 Tipe Pola Sebaran dan Kemenerusan Batubara .............................................. 16
3.7 Bentuk Lapisan Batubara ............................................................................... 17
3.8 Faktor Kendali Geologi terhadap sebaran Batubara ...................................... 17
5.1 Penutup.................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
V
DAFTAR GAMBAR
VI
DAFTAR TABEL
VII
DAFTAR LAMPIRAN
VIII
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah penelitian untuk tugas akhir ini berada di PT. Anugerah Agung
Kencana, dimana perusahaan pertambangan batubara ini melakukan kegiatan
penambangan di daerah Kecamatan Pinang Raya, Kecamatan Ketahun dan Sekitarnya,
Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.
Daerah telitian termasuk kedalam fisiografi Cekungan Bengkulu, dimana
cekungan ini merupakan salah satu cekungan batuan sedimen Tersier di Pulau Sumatera
yang termasuk ke dalam cekungan busur muka. Stratigrafi Cekungan Bengkulu terdiri dari
Lajur Barisan, Lajur Bengkulu, Batuan Terobosan, dan Endapan Permukaan. Daerah Telitian
termasuk ke dalam Lajur Bengkulu (Formasi Seblat, Lemau, Simpangaur, dan Bintunan,
serta satuan batuan gunung api Kuarter). Menurut para peneliti terdahulu Howles (1986),
Mulhadiono dan Asikin (1989), Hall et al. (1993) dan Yulihanto et al. (1995) menyepakati
bahwa Pegunungan Barisan (volcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada
Miosen Tengah, sehingga diyakini bahwa sebelum Miosen Tengah tidak ada forearc basin
Bengkulu sebab pada saat itu arc-nya sendiri tidak ada. Sebelum Miosen Tengah atau
Paleogen, cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera
Selatan, lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan
Naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan, saat itulah
Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc (depan busur) dan Cekungan Sumatera
Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur). Pada Paleogen stratigrafi cekungan
Bengkulu dan cekungan Sumatera Selatan hampir sama, keduanya mengembangkan system
graben di beberapa tempat, di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-
Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan Sumatera Selatan saat itu ada
graben-graben Jambi, Palembang, Lematang, dan Kepahiang). Namun setelah Neogen,
cekungan Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera
Selatan, dilihat dari berkembangnya terumbu-terumbu karbonat yang massif, pada saat yang
sama, Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimen-sedimen regresif
(Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena
cekungan sedang mengalami pengangkatan dan inversi.
Secara tektonik, terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan
Bengkulu yaitu Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan
1
Sumatera Selatan sedang terangkat. Pada saat Neogen inilah Cekungan Bengkulu menjadi
diapit oleh dua system sesar besar yang memanjang di sebelah barat Sumatera, yaitu Sesar
Sumatera (Semangko) di daratan dan Sesar Mentawai di wilayah offshore (Lautan). Kedua
sesar ini bersifat dextral, sifat pergeseran (slip) yang sama dari dua sesar mendatar yang
berpasangan (couple strike-slip atau duplex) akan bersifat trans-tension atau membuka
wilayah yang diapitnya, dengan cara itulah semua cekungan forearc disebelah barat
Sumatera yang diapit dua sesar besar ini menjadi terbuka oleh sesar mendatar (trans-
tension pull-apart opening) yang mengakibatkan cekungan-cekungan ini tenggelam
sehingga punya ruang untuk mengembangkan terumbu karbonat Neogen yang massif
asalkan tidak terlalu dalam. Cekungan Bengkulu terbentuk seiring dengan pembentukan
Sundaland dan Sumatra Fault System (Sesar Ketaun-Tanjung Sakti dan Sesar Manna)
menghasilkan transtensional duplex berarah baratlaut – tenggara dan tensional fault
berarah utara – selatan. Menurut Pulunggono (1984) cekungan ini berasal dari
microcontinental plate bagian barat Sumatera. Kemudian, Yulihanto dkk. (1995)
menjelaskan akibat gaya tensional yang bekerja terjadi penarikan cekungan yang
melampaui batas elastisitasnya, sehingga regangan tersebut membentuk blok-blok sesar
berupa graben, dan half-graben yang menyebabkan penurunan cekungan pada Miosen.
Cekungan Bengkulu mengalami 2 (dua) fase pembentukan system graben, yaitu system
graben Paleogen – Eosen yang memiliki arah timurlaut – baratdaya berupa Sesar Napalan
dan system graben Oligosen Akhir – Miosen dengan arah utara – selatan (Yulihanto dkk,
1995).
Batubara merupakan hasil akumulasi tumbuh-tumbuhan yang berlangsung
selama jutaan tahun. Proses akumulasi ini dapat berupa proses pembusukan, pemampatan,
dan proses pengendapan sebagai akibat berbagai macam pengaruh kimia dan fisika
misalnya suhu, tekanan, kelembaban dan oksidasi. Geometri lapisan batubara merupakan
hal yang sangat penting di dalam penentuan sumber daya atau cadangan batubara. Pola
sebaran dan kemenerusan lapisan batubara merupakan salah satu parameter di dalam
geometri lapisan batubara.
Menurut Kuncoro (2000), pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara dapat
hadir bervariasi, bahkan pada jarak dekat sekalipun yang dikendalikan oleh proses-proses
geologi, baik yang berlangsung bersamaan atau setelah pembentukan batubara.
2
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi lokasi
penelitian, serta menghimpun data geometri lapisan batubara yang terdiri dari pola sebaran
lapisan batubara.
Tujuan penelitian adalah untuk membangun model kendali geologi terhadap
pola sebaran lapisan batubara di lokasi penelitian sekitar dan regional dengan cara
menghubung-hubungkan kondisi geologi terhadap pola sebaran lapisan batubara di lokasi
penelitian dengan sekitar lokasi penelitian dan regional.
• Geomorfologi
3
• Litologi
• Struktur Geologi
Struktur geologi akan berhubungan dengan proses-proses
pembentukan batubara. Struktur geologi merupakan salah satu penyebab
metamorfosis organik yang terjadi pada proses evolusi batubara.
4
terdahulu yang telah melakukan penelitian geologi yang sifatnya regional pada
daerah telitian, sebagai berikut :
- De Coster (1974) Heidrick dan Aulia (1993), Membahas Pola Struktur
Cekungan Sumatra Tengah yang merupakan hasil dari fase tektonik selama
terpisah, yaitu Orogenesa Mesozoikum Tengah, Tektonik Kapur Akhir-
Tersier Awal dan Orogenesa Plio-Plistosen.
- Fatimah dan Soleh Basuki (2005), Membahas Inventarisasi Batubara
Marginal Daerah Seginim dan Sekitarnya.
- Heryanto,R. dan Suyoko (2007), Karakteristik batubara di cekungan
Bengkulu, Jurnal Geologi Indonesia, Vol.2 No.4 Desember 2007:247-259.
- Heryanto, R. (2007), Kemungkinan Keterdapatan Hidrokarbon di
Cekungan Bengkulu, Jurnal Geologi Indonesia, Vol.2 No.3 September
2007:119-131.
- Kusnama, dkk (1993) melakukan penelitian geologi daerah telitian
secara regional dan membagi Cekungan Bengkulu menjadi 2 (dua) fisiografi
yaitu, kerucut gunungapi dan pegunungan.
- S.Gafoer, T C, dan R.Pardede (1992), Peta Geologi Regional Lembar
Bengkulu, Lembar Sungai Penuh dan Ketahun, Sumatra, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi (P3G), Bandung.
5
2. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran “ Yogyakarta
3. Mahasiswa
6
BAB 2
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah dengan metode deskriptif yaitu
metode pengamatan pengukuran aktual di lapangan dan analitik yaitu metode
pemprosesan data untuk memberikan gambaran aaktual di lapangan dengan
mengintegrasikan data lapangan dan uji laboratorium. Berikut merupakan tahapan–
tahapan dalam penelitian.
Tahapan penelitian terdiri dari 4 (empat) tahapan yang meliputi sebagai berikut :
• Tahap Pra-Lapangan/Persiapan
• Tahap Penelitian Lapangan
• Tahap Pasca Lapangan
• Tahap Penyusunan Laporan dan Penyajian Data
Pada tahap ini terdiri dari Literatur Studi Pustaka dan Perizinan, serta
Persiapan Perlengkapan, tahap studi pustaka dimaksudkan untuk mengetahui
keadaan geologi daerah telitian dari studi literatur, jurnal, makalah, dan laporan
penelitian terdahulu. Pada tahap ini juga sebagai referensi terhadap tahapan-
tahapan yang akan dilakukan dikemudian hari. Pada tahap perizinan dan
persiapan perlengkapan merupakan tahap awal yang dilakukan sebelum
melakukan penelitian secara langsung dilapangan yang meliputi perizinan dan
penentuan lokasi, studi pustaka, serta persiapan perlengkapan lapangan yang
dibutuhkan untuk mengetahui keadaan geologi daerah penelitian.
7
• Obervasi lapangan yang bertujuan untuk mengetahui kondisi morfologi
daerah penelitian.
• Pemetaan geologi dengan lintasan geologi.
• Pengambilan data-data geologi berupa data litologi, struktur geologi
(kekar, sesar, lipatan, kedudukan lapisan batuan, dan struktur sedimen),
dan kontak antar litologi.
• Pengambilan sampel batuan yang bertujuan untuk melakukan analisa
batuan (analisa petrografi). Dokumentasi data-data lapangan (sketsa dan
foto).
• Pengumpulan data pemboran dan pengumpulan data untuk mengetahui
tipe pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara.
8
2.2.4 Tahap Penyusunan Laporan dan Penyajian Data
Tahap ini merupakan tahap akhir dari penyusunan laporan tugas akhir
hasil dari pengolahan data-data yang diperoleh di lapangan kemudian dianalisis dan
diinterpretasi dalam satu kesimpulan. Hasil dari penelitian ini disajikan dalam bentuk
antara lain peta geologi beserta penampang geologi, peta geomorfologi beserta
penampang, penampang stratigrafi terukur, peta lintasan, serta peta pola sebaran dan
kemenerusan lapisan batubara.
9
2.4. Bagan Alir Penelitian
• Akuisisi data merupakan tahapan perolehan data yang terdiri dari studi
pustaka regional, pemetaan geologi permukaan, dan beberapa data log
bor.
• Analisa merupakan tahapan pemrosesan data terhadap hal yang
menyangkut dengan geologi dan batubara lokasi penelitian.
• Sintesa merupakan penyimpulan dari berbagai Analisa tersebut dan
mewujudkan dari tujuan yang ingin dicapai.
10
BAB 3
DASAR TEORI
11
b. Teori Drift
12
a. Suhu dan temperatur
b. Tekanan
c. Waktu geologi
d. Penurunan dasar cekungan
e. Flora
f. Tempat terbentuknya
g. Struktur cekungan batubara
h. Topografi ( morfologi )
i. Posisi geotektonik
3.4 Genesa Batubara
Apabila ada suatu tumbuhan atau pohon yang mati, kemudian jatuh ke
tanah yang kering, maka tumbuhan tersebut akan membusuk dan akhirnya hilang
tidak meninggalkan sisa organik, karena diuraikan oleh bakteri pengurai. Akan
tetapi apabila suatu tumbuhan atau pohon yang sudah mati kemudian jatuh di daerah
yang berair seperti rawa, sungai, atau danau, maka tumbuhan tersebut tidak akan
mengalami pembusukan secara sempurna, karena pada kedalaman tertentu bakteri
tidak lagi bisa menguraikan tumbuhan tersebut baik bakteri aerob maupun anaerob.
Akibatnya sisa tumbuhan tersebut akan terus mengendap membentuk
suatu sedimen fosil tumbuhan yang selanjutnya mengalami perubahan fisik dan
biokimia serta di pengaruhi oleh waktu, tekanan, dan temperatur, sehingga
membentuk batubara. Proses pembentukan batubara disebut coalification. Proses
coalification tersebut dimulai dari peat sampai antrasit. Peringkat batubara
merupakan tahapan dari pada pembatubaraan. Berikut adalah peringkat dari
batubara itu sendiri :
- Peat ( Gambut )
- Lignit ( Batubara coklat Brown coal )
- Sub-Bituminus
- Bituminus
- Antrasit
13
Genesa batubara berdasarkan tempat dibedakan menjadi dua (Sukandarrumidi,
1995) yaitu :
A. Teori Insitu
Bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terbentuk di tempat dimana
tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian setelah tumbuhan itu mati,
sebelum terjadi proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan
mengalami proses coalification. Batubara dengan proses ini penyebarannya luas,
merata dan kualitasnya baik.
B. Teori Drift
Bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadi di tempat yang
berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan demikian
tumbuhan yang telah mati mengalami transportasi oleh media air dan terakumulasi
di suatu tempat, tertutup oleh batuan sediment dan terjadi proses coalification.
Batubara dengan proses drift penyebarannya tidak luas tetapi banyak dan kualitasnya
kurang baik.
3.4.1 Coalification
14
Gambar 3.1. Skema tahapan pembentukan batubara (peatification and coalification)
15
Pola sebaran dan kemenerusan batubara ditentukan oleh kondisi geologi
pada lapangan batubara. Penelitian pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara
dilakukan untuk menentukan endapan batubara yang memiliki cadangan ekonomis.
Pola sebaran ini sangat berkaitan dengan penaksiran cadangan batubara
sebagai evaluasi potensi batubara. Pada pembuatan peta tematik cadangan batubara,
pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara mempunyai pengaruh dalam
penentu ukuran tingkat ketidakpastian (nilai data tersebut). Informasi ketidakpastian
suatu nilai (variable/data) sangat penting bagi para pengambil keputusan untuk
memperkirakan output apa yang mungkin didapat dari setiap lokasi yang
diinterpolasi (Indarto, 2013).
3.6 Bentuk Lapisan Batubara
Bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan
sesudah proses coalification akan menentukan bentuk lapisan batubara dan sangat
menentukan dalam memperkirakan sebaran, menghitung cadangan dan
merencanakan cara penambangan batubara.
Beberapa bentuk lapisan batubara adalah sebagai berikut :
a. Bentuk Horse Back
Horse Back adalah bentuk lapisan batubara yang perlapisan batubara dan batuan
yang menutupinya melengkung keatas oleh karena adanya gaya kompresi. Semakin
kuat gaya kompresi yang berpengaruh, maka akan semakin besar tingkat
pelengkungannya. Akibat dari perlengkungan ini lapisan batubara terlihat pecah-
pecah sehingga batubara menjadi tidak kompak.
16
b. Bentuk Clay Vein (Urat Lempung)
Bentuk ini dikarenakan oleh 2 bagian deposit batubara terdapat urat lempung.
bentuk ini ditandai oleh adanya patahan pada 1 seri deposit batubara, dan pada
bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung
ataupun pasir. Pada saat penambangannya bentuk clay vein ini akan ikut tertambang
dan merupakan pengotor organik.
17
d. Bentuk Pinch
Bentuk lapisan pinch, perlapisan ini menipis pada bagian tengah. Pada
umumnya bagian bawah (dasar) dari lapisan batubara merupakan batuan yang
plastis misalnya batulempung sedang di atas lapisan batubara secara setempat
ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur. Sangat
dimungkinkan, bentuk pinch ini bukan merupakan penampakan tunggal,melainkan
merupakan penampakan yang berulang-ulang. Ukuran bentuk pinch bervariasi dari
beberapa meter sampai puluhan meter. Dalam proses penambangan batubara,
batupasir yang mengisi pada alur-alur tersebut tidak terhindarkan ikut tergali,
sehingga keberadaan fragmen-fragmen batupasir tersebut juga dianggap sebagai
pengotor anorganik. Keberadaan pengotor ini tidak diinginkan apabila batubara
tersebut akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
18
f. Bentuk Fold (Lipatan)
Bentuk ini dikarenakan adanya proses tektonik sehingga terjadi lipatan pada
daerah dimana deposit batubara. Semakin sering gaya yang bekerja pada pembentuk
perlipatan maka akan semakin kompleks bentuk perlipatan tersebut.
19
(a) lapisan horisontal, (b) lapisan landai, bila kemiringannya kurang dari 25°, (c)
lapisan miring, kemiringannya berkisar 25°-45°, (d) lapisan miring curam,
kemiringannya berkisar 45°-75°, dan (e) vertikal. c. Pola kedudukan lapisan
batubara atau sebarannya: (a) teratur dan (b)tidak teratur. d. Kemenerusan lapisan
batubara: (a) ratusan meter, (b) ribuan meter 5-10 km, dan menerus sampai lebih
dari 200 km.
Selanjutnya agar geometri lapisan batubara menjadi berarti dan menunjang
untuk perhitungan cadangan, bahkan sampai pada tahap perencanaan tambang,
penambangan, pencucian, pengangkutan, penumpukan, maupun pemasaran, maka
menurut B. Kuncoro (2000) parameternya adalah :
1. Ketebalan
Ketebalan lapisan batubara adalah unsur penting yang langsung
berhubungan dengan perhitungan cadangan, perencanaan produksi, sistem
penambangan dan umur tambang. Oleh karena itu perlu diketahui faktor
pengendali terjadinya kecenderungan arah perubahan ketebalan, penipisan,
pembajian, splitting dan kapan terjadinya. Apakah terjadi selama proses
pengendapan, antara lain akibata perubahan kecepatan akumulasi batubara,
perbedaan morfologi dasar cekungan, hadirnya channel, sesar, dan proses karst
atau terjadi setelah pengendapan, antara lain karena sesar atau erosi permukaan.
Pengertian tebal lapisan batubra tersebut termasuk parting, (bgross coal thickness),
tebal lapisan batubara tidak temasuk parting (net coal thickness).tebal lapisan
batubara yang ditambang (mineable thickness).
2. Kemiringan
21
6. Bentuk lapisan batubara
Kondisi roof dan floor, meliputi jenis batuannya, kekerasan, jenis kontak,
kandungan karbonannya, bahkan sampai tingkat kerekatannya dalam kondisi
kering maupun basah. Kontak batubara dengan roof merupakan fungsi dari proses
pengendapannya.pada kontak yang tegas menunjukan proses yang tiba-tiba,
sebaliknya pada proses yang berlangsung lambat diperlihatkan oleh kontak yang
berangsur kandungan karbonnya. Roof banyak mengandung fosil, sehingga baik
untuk korelasi. Litologi pada floor lebih bervariasi, seperti serpih, batulempung,
bataulanau, batupasir, batugamping, atau soil yang umumnya masif. Bila berupa
seatearth umumnya mengandung akar tumbuhan, berwarna abu-abu cerah sampai
coklat, plastis, merupakan tanah purba tempat tumbuhan hidup, tidak mengandung
alkali, kandungan kalium dan besi rendah. Terjadi karaena proses perlindihan oleh
air yang jenuh asam humik dari pembusukan tanaman. Seatearth untuk istilah
umum untuk batuan berbutir kasar maupun halus yang mengandung akar tumbuhan
dalam posisi tumbuh dan berada di bawah lapisan batubara. Beberapa istilah lain
untuk seatearth antara lain seatrock, underclay, fireclay, atau gannister dengan
ketebalan bervariasi, dari beberapa cm sampai beberapa meter.
8. Cleat
22
yang tabular. b. Exogenic cleat, dibentuk oleh gaya ekternal yang berhubungan
dengan kejadian tektonik. Mekanismenya tergantung tergantung dari karakteristik
lapisan pembawa batubara. Cleat ini terorientasi pada arah tegasan utama dan
terdiri dari dua pasang kekar yang saling memebentuk sudut. c. Induced cleat,
bersifat lokal akibat proses penambangan dengan adanya perpindahan beban
kedalam struktur tambang. Frekuensi induced cleat tergantung pada tata letak
tambang dan macam teknologi penambangan yang digunakan.
Berdasarkan bentuknya dapat dikelompokan menjadi lima, yaitu :
Besarnya pengaruh cleat menjadi penting untuk dipelajari dan diketahui karena
kehadiran dan orientasi cleat antara lain akan mempengaruhi pemilihan tata letak
tambang, arah penambangan, penerapan teknologi penambangan, proses
pengolahan batubara, penumpukan batubara, dan bahkan pemasaran batubara
(mulai fine coal sampai lumpy coal). Oleh karena itu, perekaman data cleat tidak
hanya terbatas pada kedudukan dan kisaran jarak antar cleat, tetapi perlu
dilengkapi dengan merkam jenis, pengisi, pengendali terbentuknya, karakteristik
karakternya, dan jarak dominan cleat.
9. Pelapukan
23
marin. Material pirit khususnya yang berbentuk framboidal, banyak melimpah
pada lapisan-lapisan yang ditutupi secara langsung oleh stratum marine (William
& Keith, 1963 dalam B. Kuncoro 1996). Lapisan yang terakumulasi pada daerah
yang berkondisi marin, seperti lingkungan back barrier dan lower delta plain yang
lebih banyak ditumpangi oleh sedimen-sedimen marin atau brackish daripada
lingkungan upper delta plain atau lingkungan fluviatil dan sebagian terdiri dari pirit
framboidal.Menurut Caruccio et al (1977) dalam B. Kuncoro 1996 kandungan
sulfur yang hadir sebagai markasit atau firit terjadi dalam bentuk butiran euhedral,
massa berbutir kasar (lebih besar dari 25 mikron) yang menggantikan material asli
tanaman, berupa massa lembaran (platy) yang mengisi cleat atau rekahan dan
framboidal pirit. Dari hasil penelitian sulfur pirit berbentuk framboidal dihasilkan
karena pengurangan sulfur oleh mikroba organisma yang dijumpai di lingkungan
marin hingga air payau dan tidak pada air tawar.
24
BAB 4
GEOLOGI REGIONAL
- Zona Semangko
Daerah Penelitian
25
Berdasarkan posisi geografisnya, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona
Fisiografi Jajaran Barisan (Gambar 4.1.) yang menempati 30% Pulau Sumatera, secara
umum daerah penelitian disusun oleh morfologi perbukitan bergelombang dengan
elevasi 650-800 m diatas permukaan laut dan dataran antiklin dengan elevasi 600-650
m diatas permukaan laut.
Pardede dkk, (1993) membagi daerah Sumatera bagian selatan menjadi tiga
zona fisiografi, yaitu :
- Zona Bengkulu
- Zona Barisan
- Cekungan Antargunung
Zona Bengkulu berada pada bagian barat Sumatera yang meliputi daerah pantai
sampai ke dataran rendah Perbukitan Barisan. Zona ini berupa dataran rendah yang
dibatasi oleh samudera Indonesia dan bagian barat Perbukitan Barisan. Zona Barisan
meliputi bagian tengah Pulau Sumatera. Zona ini berada pada Perbukitan Barisan yang
memanjang dari utara sampai selatan pulau Sumatera. Sedangkan Cekungan Antargunung
berada di daerah Lembar Bengkulu, berada pada Provinsi Jambi dan terbentuk berupa
dataran rendah yang dibatasi oleh gunung-gunung sekitar sehingga membentuk cekungan.
26
Gambar 4.2. Korelasi stratigrafi darat di Cekungan Bengkulu Yulihanto dkk. (1995) dan
Kusnama dkk. (1993).
- Batuan Dasar
Batuan dasar Cekungan Bengkulu memiliki kesetaraan dengan Formasi Lahat
pada Cekungan Sumatera Selatan. Penyusun litologi terbentuk bersamaan dengan
fase awal graben Paleogen – Eosen yang mengisi bagian dasar cekungan berupa
endapan sedimen vulkanik dan lempung abu-abu kehijauan dengan lingkungan
pengendapan lacustrine fluvial (Yulihanto dkk, 1996).
- Formasi Hulusimpang
Formasi Hulusimpang merupakan proses awal dari pengendapan pada
Cekungan Bengkulu yang selaras dengan Formasi Talang Akar pada Cekungan
Sumatera Selatan. Proses terbentuknya berlangsung pada fase transisi dari darat – laut
yang memiliki ciri dengan kehadiran material karbonatan pada bagian atas formasi,
sedangkan pada bagian bawah formasi terdapat kehadiran produk gunungapi,
sedimentasi yang berlangsung mengindikasikan adanya pengaruh perubahan air laut
sebagai fase awal transgresi dengan lingkungan pengendapan beralih dari darat-
transisi. Formasi Hulusimpang terdiri dari lava, breksi gunungapi dan tuff terubah,
bersusunan andesit sampai basalt. Secara stratigrafi satuan batuan ini menjemari
dengan Formasi Seblat pada Miosen Awal (Yulihanto dkk, 1996).
27
- Formasi Bal
Formasi Bal berumur Miosen Tengah, penyebaran litologinya terdiri atas breksi
gunungapi dan batupasir. Breksi gunungapi bersifat epiklastik, dasitan, serta terdapat
sisipan batupasir. Pada umumnya komponen breksi berupa dasit-andesit, batupasir
sering terdapat pada bagian bawah breksi sebagai sisipan, struktur perlapisan sejajar
dan silang siur dapat dijumpai kenampakan yang kurang tegas. Formasi Bal berada
tidak selaras diatas Formasi Seblat dan menjemari dengan Formasi Lemau.
- Formasi Seblat
- Formasi Lemau
Formasi Lemau merupakan fase transisi dari penurunan muka air dengan
lingkungan laut dalam menuju laut dangkal yang memiliki endapan lagoon pada
Miosen Tengah – Miosen Akhir. Bagian bawah Formasi Lemau terdiri dari breksi
dengan sisipan batupasir tufan yang mengandung moluska. Bagian atas terdiri dari
batupasir dan batupasir tufan dengan sisipan batugamping dan batulempung. Bagian
bawah satuan batuan ini menjemari dengan Formasi Bal ditindih selaras oleh Formasi
Simpangaur. Satuan ini diendapkan di lingkungan laut dangkal pada Miosen Tengah
– Miosen Akhir.
28
- Formasi Simpang Aur
- Formasi Bintunan
- Endapan Permukaan
Endapan permukaan terdiri atas Aluvium dan endapan rawa, terdiri atas
material-material lepas tak terkonsolidasi, berupa bongkah, kerakal, pasir, dan lumpur
yang mengandung organik.
29
4.3 Kerangka Tektonik dan Struktur Geologi Regional
Gambar 4.3. Model Ellipsoid Sumatera dari Jura Akhir – Resen (modifikasi dari
Pulunggono, 1992).
30
memanjang baratlaut – tenggara pada bagian barat Sumatera, dibatasi oleh Tinggian
Mentawai – Enggano dibagian Barat, Tinggian Bukit Barisan dibagian timur, Busur
Keanpini dibagian baratlaut dan ditenggara berbatasan langsung dengan Selat Sunda.
Wilayah cekungan melebar dari Batasan Cekungan Sumatera Selatan sampai Mentawai
yang berada diantara dua sistem sesar utama Sumatera yaitu Sesar Mentawai dan Sesar
Semangko. Cekungan Bengkulu terbagi menjadi dua cekungan akibat adanya Tinggian
Masmambang yang memisahkan antar cekungan dengan arah utara – selatan yang
menjadi Sub-Cekungan Pagarjati dan Ipuh pada bagian utara dan Sub-Cekungan
Kedurang pada bagian selatan.
Pada Oligosen Akhir – Miosen Awal sedimentasi di Cekungan Bengkulu
berlangsung pada kondisi perubahan lingkungan dari daratan berupa produk vulkanik
yang dominan menuju genang laut dengan kehadiran batuan-batuan sedimen pencari
lingkungan laut dangkal – dalam, yang berlangsung pada fase transgresi sepanjang
Daratan Padang – Bengkulu (Mukti dkk, 2011) pada Miosen Tengah – Miosen Akhir
sedimentasi terus berlangsung dengan penciri sedimen klastik laut dangkal dan terdapat
kehadiran batugamping yang berlangsung pada perubahan fase transgresi menuju fase
regresi, sehingga terjadi perubahan pengendapan dari sedimen laut dangkal menuju
transisi. Pada Miosen Akhir terjadi peningkatan tektonik yang menyebabkan terjadinya
pengangkatan blok-blok sesar, sehingga muncul zona accretionary complex di atas jalur
subduksi yang membentuk pulau-pulau kecil sepanjang sisi barat pantai Sumatera (Mukti
dkk, 2011). Akibat letusan gunungapi yang terjadi pada Plio-Plistosen sepanjang jalur
Bukit Barisan menyebabkan cekungan yang ada di Sumatera termasuk cekungan muka
busur mengandung produk vulkanik yang dominan pada akhir pengendapan.
Cekungan Bengkulu terbentuk seiring dengan pembentukan Sundaland dan
Sumatera Fault System (Sesar Ketahun – Tanjung Sakti dan Sesar Manna) menghasilkan
transtentional duplex berarah baratlaut – tenggara dan tensional fault berarah utara –
selatan. Menurut Pulunggono (1984) cekungan ini berasal dari microcontinental plate
pada bagian barat Sumatera. Kemudian, Yulihanto dkk. (1995) menjelaskan akibat gaya
tensional yang bekerja terjadi penarikan cekungan yang melampau batas elastisitasnya,
sehingga regangan tersebut membentuk blok-blok sesar berupa graben dan half-graben
yang menyebabkan penurunan cekungan pada Miosen. Cekungan Bengkulu mengalami
dua fase pembentukan sistem graben, yaitu sistem graben Paleogen – Eosen yang
memiliki arah timurlaut – baratdaya berupa Sesar Napalan dan sistem graben Oligosen
Akhir – Miosen dengan arah utara – selatan (Yulihanto dkk, 1995).
31
Gambar 4.4. Konfigurasi struktur Paleogen – Eosen Graben System yang bekerja pada
Cekungan Bengkulu (modifikasi dari Yulihanto dkk, 1995)
32
BAB 5
PENUTUP
5.1 Penutup
Demikian proposal Penelitian Tugas Akhir ini penulis buat sebagai bahan
referensi umum atas Penelitian Tugas Akhir yang akan kami laksanakan dengan harapan
semoga proposal ini disampaikan pada pihak-pihak yang berkepentingan dan dapat
membantu serta membimbing kami sebagai Mahasiswa Program Studi Teknik Geologi,
Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
dalam pelaksanaan Tugas Akhir.
Penulis menyadari bahwa Penyusunan Proposal Penelitian Tugas Akhir ini
tidak mampu kami wujudkan sendiri mengingat berbagai keterbatasan kami sebagai
mahasiswa. Dengan segala kerendahan hati, kami sangat mengharapkan bantuan dan
dukungan baik moral maupun material dari PT. Anugerah Agung Kencana untuk
melancarkan Tugas Akhir ini.
Bantuan yang sangat kami harapkan dalam pelaksanaan Tugas Akhir ini adalah
sebagai berikut :
❖ Bimbingan dan arahan oleh pembimbing selama Penelitian Tugas Akhir.
❖ Kemudahan mengadakan penelitian atau mengambil data yang diperlukan.
Dan selama Penelitian Tugas Akhir mahasiswa akan patuh terhadap peraturan-peraturan
yang telah diterapkan di perusahaan. Dengan diberikanya kesempatan terhadap mahasiswa
untuk menjalankan skripsi diperusahaan maka akan sangat baik sekali dalam
pengembangan diri mahasiswa, sehingga akan dipergunakan semaksimal mungkin untuk
menambah perbendaharaan ilmu.
Demikian usulan skripsi di PT. Anugerah Agung Kencana. Segenap bantuan serta
dukungan dari semua pihak sangat kami harapkan. Atas perhatiannya kami mengucapkan
banyak terimakasih.
33
DAFTAR PUSTAKA
Anggayana, K., 2002. Genesa Batubara, Departemen Teknik Pertambangan, FIKTM. Institut
Teknologi Bandung.
Ardianto Febri (2012), Geologi dan Pola Sebaran Lapisan Batubara Daerah Tabapenanjing,
Kecamatan Pengambir, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu (Tidak
dipublikasikan).
Cook, C. Alan., 1999, Coal Geology and Coal Properties. Keira Ville Konsultants.
Australia.
Fajrul Islamy. 2016. Geologi dan Pola Sebaran Serta Kemenerusan Lapisan Batubara
Daerah Gunung Megang, Kecamatan Gunung Megang, Kabupaten Muara Enim, Provinsi
Sumatera Selatan.
Fatimah dan Soleh Basuki (2005), Membahas Inventarisasi Batubara Marginal Daerah
Seginim dan Sekitarnya.
Gafoer, T.C. S dan R.Pardede (1992). Peta Geologi Regional Lembar Bengkulu, Sumatera,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G). Bandung.
34
Rahmad, Basuki. 2007. Struktur Geologi dan Sedimentasi Lapisan Batubara Formasi Berau,
(Unpublished)
Step. Nalendra Jati. 2011. Tipe Pola Sebaran dan Kemenerusan Lapisan Batubara di Lokasi
Penelitian, Sekitar Lokasi, dan Regional. Mahasiswa Pascasarjana. Magister Teknik
Geologi. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Sukadarrumidi, 2008. Batubara dan Gambut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
35
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP (CURRICULUM VITAE)
DATA PRIBADI
PENGALAMAN KEPANITIAN
KEMAMPUAN LAINNYA