Definisi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Nasal, Sinus paranasalis, Nasopharynx dan Tractus respiratorius inferior

merupakan suatu kesatuan anatomis dan fungsional yang saling berhubungan

timbal-balik. Hal ini menyebabkan setiap gangguan nafas yang terjadi pada

Tractus respiratorius superior dapat menyebabkan atau disertai oleh gangguan

pada Tractus inferior-nya ataupun sebaliknya. Hubungan yang kompleks pada

gangguan Tractus respiratorius ini pertama kali ditemukan pada awal tahun 1900.

Thompson (1914) menyatakan bahwa,” Bronchorrhea dan Bronchitis kronik

dapat menyebabkan infeksi kronik Sinus paranasal. Pada tahun 1929, Wasson

melaporkan kasus kejadian Bronchosinusitis disease dan pada tahun-tahun

selanjutnya peneliti-peneliti lainnya melaporkan bahwa terdapat hubungan antara

kejadian Sinusitis dan Bronchiectasis. Istilah Sinobronchial syndrome (SBS)

pertama kali diperkenalkan oleh Greenberg (1966), yang menunjukkan adanya

infeksi Sinus paranasalis dan Tractus respiratorius inferior secara bersamaan.

Sinobronchial syndrome ini selanjutnya juga dikenal dengan nama

Bronchosinusitis atau Sinobronchitis.1, 2

Terdapat berbagai penyebab yang dapat menimbulkan gangguan pada Tractus

respiratorius, dalam hal ini yang menyebabkan Sinobronchial syndrome, antara

lain:3

 Infeksi bakteri (Streptococcus pneumoniae dan Haemophylus influenza),

 Infeksi virus (virus Influenza)

1
 Infeksi jamur

 Cystic fibrosis .

Sinobronchial syndrome dapat mengenai segala usia, baik anak maupun dewasa,

namun pada anak peluang terjadinya penyakit tersebut lebih besar. Menurut

Gwaltney (1981), anak-anak diperkirakan setiap tahun rata-rata mengalami 6-8

kali infeksi Tractus respiratorius superior, sedangkan pada dewasa hanya

sebanyak 2-3 kali. Diperkirakan 0,5-5 % atau 5-10 % infeksi pada Tractus

respiratorius superior anak akan mengalami komplikasi sebagai Sinusitis,

sehingga keadaan Sinobronchial syndrome akan sering muncul pada anak.1

Dalam referat ini penulis akan mencoba menjelaskan lebih rinci mengenai

Sinobronchial syndrome (SBS) mulai dari definisi, etiologi, epidemiologi,

manifestasi, patogenesis, diagnosis, tatalaksana.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

1. Nasal

Pada bagian luar Nasal yang berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari

atas ke bawah, yaitu 1) pangkal hidung, 2) batang hidung, 3) puncak hidung,

4) Ala nasi, 5) Columnela, dan 6) lubang hidung (Nares anterior). Nasal

bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil. Kerangka tulang yang

membentuk hidung luar terdiri dari 1) Os nasal, 2) Procesus frontalis os

maksila, dan 3) Proccesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang

rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan pada bagian bawah hidung,

yaitu 1) sepasang Cartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang Proccesus

frontalis os maxilla (Ala major), dan 4) Cartilago septi nasii. 4, 5

Gambar 1. Rangka hidung; pandangan frontal dari sisi kanan. 6

3
Cavum nasi yang berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan

oleh Septum nasi pada bagian tengahnya sehingga menjadi Cavum nasi dextra

dan sinistra. Tiap Cavum nasi memiliki 4 buah dinding, yaitu dinding medial,

lateral, inferior dan superior.4, 5


Cartilago septi nasi membentuk bagian

frontal dari septum nasi dan meluas sepanjang Proc. posterior diantara bagian-

bagian tulang penyusun Septum nasi (atas), yang terdiri dari Lamina

perpendicularis ossis ethmoidalis, dan Os vomer (bawah).6

Gambar 2. Septum nasi; dilihat dari dextra 6

Pada dinding lateral terdapat 4 buah Conchae, yang paling besar dan

letaknya paling bawah ialah Conchae nasalis inferior, kemudian Conchae

nasalis media dan yang lebih kecil ialah Conchae nasalis superior. Di antara

Conchae nasalis dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

disebut Meatus nasi.1 Pada bagian bawah sepertiga Conchae nasalis inferior

4
terdapat muara Duktus nasolacrimalis yang membuka ke dalam Meatus nasi

inferior. Di bawah Conchae nasalis media terdapat muara Sinus frontalis,

Sinus maxlla, dan Sinus etmoid anterior. Pada bagian bawah Conchae nasalis

superior terdapat muara Sinus ethmoid posterior dan Sinus sphenoid.6

Gambar 3. Dinding lateral Cavum nasi.6

Vaskularisasi bagian atas Cavum nasi berasal dari cabang A. opthalmica

diantaranya ialah A. ethmoid anterior dan A. ethmoid posterior. Sedangkan

pada bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari ujung A. palatina

major dan A. sphenopalatina yang merupakan cabang dari A. maxillaris

interna. Vaskularisasi bagian depan Nasal didapat dari cabang-cabang A.

facialis. Pada bagian depan Septum nasi terdapat Plexus Kiesselbach (Little’s

area) yang merupakan anastomosis dari cabang-cabang A. Sphenopalatina, A.

ethmoid anterior, A. labialis superior dan A. palatina major. Plexus

Kiesselbach terletak pada superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga

sering menjadi sumber perdarahan hidung (epistaksis, mimisan).4, 5, 6

5
Gambar 4. Arteri-arteri rongga hidung; a) dinding lateral Cavitas nasi dextra,
b) Septum nasi pada Cavitas nasi dextra.6

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan

dengan arterinya. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke

intrakranial.4

Gambar 5. Vena-vena Cavum nasi.6

6
Persarafan sensorik bagian depan dan atas Cavum nasi didapat dari N.

etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari N. Nasociliaris, yang berasal

dari N. opthalmicus (N. V/1). Selain itu, Cavum nasi juga dipersarafi oleh N.

maxillaris melalui Ganglion sphenopalatina. Fungsi penghidu berasal dari N.

olfactorius yang turun melalui Lamina cribrosa os ethmoidalis dan berakhir

pada Bulbus olfactorius.4, 5

Gambar 6. Persarafan Cavum nasi; a) dinding lateral Cavitas nasi dextra, b)


Septum nasi pada Cavitas nasi dextra.6

2. Sinus paranasalis

Sinus paranasalis merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala

sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Bagian dalamnya dilapisi oleh

Mucoperiosteum, berisi udara dan berhubungan dengan Cavum nasi melalui

Apertura.4 Semua Sinus bermuara ke dalam Cavum nasi. Struktur penyusun

7
Sinus khusus pada Sinus anterior (Maxilla, Frontal dan Ethmoidal), dibentuk

oleh suatu saluran sempit menyerupai labirin. Area tersebut disebut sebagai

Osteomeatal complex (OMC). Struktur tersebut terdiri atas Infundibulum,

Proc. Ucinatus, Hiatus semilunaris, Recessus frontal, Ager nasi dan Bullae

etmoid. 4

Gambar 7. Lokasi Sinus maxillaris dan Frontalis.7

Sinus paranasalis terdiri atas 4 pasang yang diurutkan dari yang terbesar, yaitu

Sinus maxillaris, Sinus frontalis, Sinus ethmoidalis dan Sinus sphenoidalis.

 Sinus maxillaris

Terdapat dua sinus, Dextra dan Sinistra. Terletak didalam Corpus maxillaris,

sinus ini memiliki bentuk menyerupai piramida. Basis-nya membentuk

dinding lateral dari Nasal sedangkan bagian apeksnya berada didalam

8
Processus zygomatico-maxillae. Atap sinus ini dibentuk oleh Fossa orbita

sedangkan dasarnya dibentuk oleh Proc. Alveolaris. Akar Pre-molar 1 dan 2,

Molar 3, serta kadang-kadang Caninus dapat menonjol kedalam sinus ini.

Ekstraksi dari gigi dapat menimbulkan adanya Fistula, yang berujung pada

infeksi sinus (Sinusitis). 7

Sinus maxillaris bermuara kedalam Meatus nasi media melalui Hiatus

semilunar. Inervasi Sinus maxillaris diperankan oleh Nervus alveolaris

superior dan Nervus infraorbitalis.7

 Sinus frontalis

Ada dua buah, terdapat didalam Os frontale dan dipisah satu sama lainnya

dengan Septum tulang yang sering menyimpang dari median. Setiap sinusnya

berbentuk seperti segitiga dan meluas kearah atas pada ujung medial dan

kebelakang, ke bagian medial atap orbita.7

Masing-masing Sinus frontalis akan bermuara kedalam Cavum nasi, tepatnya

pada Meatus nasi media. Membran Mucosa sinus in di inervasi oleh Nervus

supraorbitalis.7

 Sinus ethmoidalis

Terdapat didalam Os ethmoid, Os ethmoid, diantara Nasal dan Orbita. Sinus

ini terpisah dari Orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga apabila terjadi

peradangan pada Sinus ethmoidalis akan sangat mudah menyebar kedalam

Orbita. Sinus ini dibagi menjadi tiga kelompok yakni Anterior, Media dan

Posterior. Kelompok anterior akan bermuara kedalam Infundibulum,

kelompok kedua akan bermuara di Meatus nasi media, pada atau diatas Bullae

9
ethmoidalis. Kelompok Posterior akan bermuara pada Meatus nasi superior.

Membran Mucosa sinus ini di inervasi oleh Nervus ethmoidalis anterior dan

Posterior.

 Sinus sphenoidalis

Terdapat dua buah sinus yang terletak didalam Corpus ossis spenoidalis.

Setiap sinus ini akan bermuara ke kedalam Recessus sphenoethmoidalis di atas

Conchae nasalis superior. Membran mucosa diinervasi oleh Nervus

ethmoidalis posterior.

Gambar 8. Potongan Coronal Cavum nasi memperlihatkan Osteomeatal


complex (OMC), Sinus maxillaris, Sinus ethmoidalis dan Sinus frontalis. 7

3. Pharynx

Pharynx adalah bagian sistem pencernaan yang meluas ke superior, terletak di

posterior Cavitas nasi dan Oris, yang memanjang ke inferior melewati Larynx.

Pharynx meluas dari Basis cranii ke Margo inferior cartilago cricoidea di

10
Anterior dan Margo inferior Vertebrae C6 di Posterior. Pada ujung Inferior-

nya berlanjut dengan Oesophagus.5

Pharynx terbagi menjadi tiga bagian yaitu Nasopharynx di Posterior Nasal,

Oropharynx di Posterior Oris, dan Laryngopharynx di Posterior Larynx.

Nasopharynx memiliki fungsi untuk Respiratorius. Cavum nasi bermuara ke

dalam Nasopharynx melalui dua Choanae. Oropharynx berfungsi untuk

pencernaan.5

Gambar 9. Bagian Pharynx; potongan Midsagital.6

Saraf yang menyuplai ke Pharynx berasal dari Plexus pharyngeus. Serat

motorik pada Plexus berasal dari N. vagus (N.X) melalui R. pharyngeus. Serat

sensorik pada Plexus berasal dari N. glossopharyngeus (IX). Saraf sensorik

yang menyuplai selaput lendir Nasopharynx anterior dan superior terutama

dari N. maxillaris (N V/II).5

11
Gambar 10. Persarafan sensorik Pharynx.6

4. Trachea

Trachea adalah tabung Fibrocartilaginosa yang mengisi posisi median leher.

Trachea memanjang dari ujung inferior Larynx setinggi Vertebrae C6 ke

dalam Thorax, berakhir di Inferior pada level Angulus sterni atau Discus IV

T4-T5 dan terbagi menjadi Bronchus utama dextra dan sinistra. Trachea

membawa udara ke dan dari Pulmo, dan epitelnya mengeluarkan mucus

bermuatan debris ke arah Pharynx untuk dikeluarkan dari mulut.4, 5, 6

5. Bronchus

Merupakan saluran lanjutan dari Trachea untuk menyalurkan udara menuju

Pulmo. Saluran ini akan bercabang menjadi dua saluran utama yang dikenal

dengan istilah Bronchus principalis dextra dan Sinistra. Bronchus principalis

dextra memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan Bronchus principalis

sinistra. Panjangnya kurang-lebih 2,5 cm dan berjalan lebih vertikal ketika

12
menuju Hilum pulmonal bila dibandingkan dengan Bronchus principalis

sinistra.7

Bronchus principalis sinistra memiliki diameter yang lebih kecil, lebih

panjang (5 cm) dan arahnya lebih horizontal. Saluran ini berjalan di

Inferolateral, di sebelah Inferior Arcus aorta dan di Anterior Oesophagus dan

Aorta thoracica untuk mencapai Hilum pulmonal.7, 8

Gambar 10. Percabangan Tracheobronchial. 8

Didalam Pulmo, Bronchus principalis akan bercabang secara konstan

membentuk gambaran seperti akar pohon (Tracheobronchial tree) yang terdiri

dari percabangan Arteri, Vena dan Bronchus. Setiap Bronchus principalis

akan bercabang mejadi Bronchus lobaris (Secundus) yakni 2 cabang pada

Sinistra dan 3 cabang pada Dextra. Selanjutnya setiap Bronchus lobaris akan

13
bercabang lagi menjadi Bronchus segmentalis (Tertius) yang akan menyuplai

udara ke segmen-segmen Tracheobronchial.8

Bronchus segmentalis akan bercabang menjadi lebih kecil menjadi 20-25

cabang Bronchiolus terminalis. Selanjutnya beberapa cabang Bronchiolus

terminalis akan menghasilkan beberapa Bronchiolus respiratorius. Setiap

Bronchiolus respiratorius akan membentuk 2-11 Ductus alveolaris, masing-

masing Ductus tersebut akan berakhir menjadi 5-6 Saccus alveolus yang

dilapisi oleh Alveolus.8

Sinobronchial Syndrome (SBS)

B. Definisi

Sinobronchial Syndrome (SBS) merupakan suatu tipe Sinusitis yang muncul

pada gangguan Tractus respiratorius inferior, seperti Bronchitis atau Asthma.

SBS juga digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan hubungan antara

sinus dan gejala Tractus respiratorius inferior, yang sering dialami oleh anak-

anak dengan Tractus respiratorius yang reaktif, Cysctic fibrosis,

imunodefisiensi dan Diskinetic cilia. SBS juga didefinisikan sebagai

peradangan kronik yang melibatkan Rhino-sinus dan Tractus respiratorius

inferior ( penyebab tersering adalah Bronchitis). 9, 10 , 11

C. Etiologi

Peradangan pada Sinus paranasalis lebih sering disebabkan oleh infeksi

bakteri patogen, patogen yang terbanyak adalah: Streptococcus pneumoniae,

Haemophylus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Selain kelompok

14
patogen tersebut proses infeksi dapat pula disebabkan oleh infeksi bakteri

anaerob dan virus (Rhinovirus dan Influeza virus). alergen berupa tungau,

debu rumah, zat iritan, spora jamur, susu, dan lain-lain diketahui juga dapat

memicu terjadinya Sinusitis.3

Rahajoe (2000) dalam penelitiannya mengemukaan dalam penelitiannya,

patogen penyebab infeksi sinusitis akut dan kronis tertinggi adalah

Streptococcus pneumoniae, Branhamella catarrhalis dan Haemophylus

influenza. Sedangkan patogen terbanyak yang menyebabkan infeksi Sinus

paranasalis dan Bronchus secara bersamaan adalah Pseudomonas,

Streptococcus hemolyticus dan Streptococcus anhemolyticus.1

Berbagai keadaan lainnya yang dapat menyebabkan atau meningkatkan risiko

terjadi SBS antara lain Cystic fibrosis, Kartagener syndrome, Cilia immotile

syndrome, Young syndrome, Sinobronchial allergic mycosis (SAM) dan

Wagener granulomatous.12

D. Epidemiologi

Suzaki dkk (1990) dalam penelitiannya melaporkan dari 307 pasien dengan

penyakit Rhinosinusitis kronik, setelah dilakukan pemeriksaan kembali

ditemukan 32 (10,4 %) pasien mengalami SBS. Penemuan SBS ini juga terjadi

pada kelompok pasien dengan peradangan kronik Tractus respiratorius

inferior, dimana dari 74 pasien, ditemukan 41 (55,4 %) pasien mengalami

SBS.11

Gwaltney (1981), dalam penelitiannya menyatakan bahwa setiap tahunnya

anak-anak, rata-rata mengalami 6-8 kali infeksi saluran nafas atas, sedangkan

15
dewasa hanya sebanyak 2-3 kali. Dimana 5-10 % infeksi yang terjadi pada

anak akan berkembang menjadi Sinusitis. Keadaan ini menyebabkan anak-

anak akan lebih sering mengalami SBS. Dalam penelitian lainnya menyatakan

bahwa sekitar 20 sampai 70 % pasien dewasa dengan Asthma akan disertai

oleh peradangan pada Sinus (SBS). 1, 9

E. Manifestasi

SBS merupakan suatu peradangan kronik yang melibatkan Sinus paranasalis

dan Tractus respiratorius inferior, maka manifestasi yang akan muncul juga

mengikuti lokasi peradangan tersebut. Pada Sinusitis gejala yang muncul dapat

dibedakan menjadi gejala mayor dan minor. Gejala mayor dapat berupa nyeri

pada wajah, rasa tersumbat, ingus purulen/postnasal drip, hiposmia/anosmia,

dan demam. Sedangkan gejala minor dapat berupa mulut berbau, sakit kepala,

kelelahan, sakit pada gigi, batuk, penurunan pendengaran dan sakit pada

telinga .3

Manifestasi akibat peradangam kronik Tractus respiratorius inferior secara

umum adalah munculnya bunyi nafas abnormal seperti wheezing dan ronchi,

nafas menjadi memendek, batuk, takipnue, dan pada kasus berat dapat

menyebabkan distress pernafasan.9

F. Patogenesis

Sampai sekarang, SBS masih belum jelas diketahui penyakit manakah yang

mendasarinya. Apakah itu Sinustis ataukah peradangan kronik Tractus

respiratorius inferior? Terdapat beberapa penelitian yang dilakukan untuk

mengetahui hal tersebut. Quinn dan Meyer melaporkan bahwa, ketika Iodize

16
oil dimasukan kedalam Cavum nasi seseorang yang tidur, tanpa diindentifikasi

ada gangguan Tractus respiratorius superior, 50 % kontras tersebut ternyata

dapat mencapai percabangan Tracheobronchial dipagi hari, hal tersebut

dikonfirmasi melalui foto X-ray. Penelitian ini menunjukan bahwa Suppuratif

nasal discharge yang mengandung banyak bakteri memiliki peluang untuk

menyebabkan infeksi pada Trachea dan Broncus. Selain rute aspirasi Trachea

ini, jalur limfatik dan rute hematogen juga dapat menjadi rute penyebaran

infeksi pada SBS. Chew dan Bursen juga menjelaskan dalam penelitiannya,

bahwa obstruksi Nasal yang kronik dapat menyebabkan perubahan fungsi

refleks pulmonal dan hal tersebut cukup kuat untuk menyebabkan SBS.

Keadaan ini juga didukung oleh fakta bahwa Tractus respiratorius superior

maupun inferior memiliki struktur yang sama, sehingga penyebaran infeksi

dan peradangan mudah terjadi.2, 12

Beberapa literatur menyebut bahwa patogenesis dari SBS dipengaruhi oleh

tiga hal yakni inflamasi, infeksi dan obstruksi, dimana ketiga hal itu saling

akan berinteraksi satu sama lain. Proses infeksi sinus, sebagian besar

ditentukan oleh patensi Ostium, fungsi Cilia dan kualitas sekret. Apabila

infeksi (dapat juga disebabkan alergi atau iritasi) terjadi, maka daerah mukosa

akan mengalami peradangan. Sehingga terjadi edema mukosa, transudasi

serum, dan berkurangnya pertukaran gas di dalam sinus sehingga PO2 lebih

rendah. Dampak yang terjadi selanjutnya adalah obtruksi dari Osteomeatal

complex (OMC)/ Ostium ductus excretorius sinus, yang menyebabkan

terjadinya retensi dari sekret, peradangan makin bertambah, berkurangnya

17
jumlah silia atau gangguan fungsi, berlebihannya produksi, atau perubahan

pada viskositas sekret. 1, 3

Kombinasi dari retensi sekret dan suatu lingkungan anaerob menyebabkan

bakteri tumbuh dengan cepat. Infeksi menyebabkan pula penurunan tekanan

oksigen lebih lanjut, peningkatan PCO2, dan penurunan pH. Semuanya

menghalangi gerakan silia dan fungsi granulosit. Gerakan silia penting untuk

memperlancar drainase sinus dan mencegah infeksi pada sinus.10

Literatur menjelaskan bahwa pada anak-anak kejadian SBS lebih mudah

terjadi. Hal dikarenakan pada anak-anak sistem imunologi belum sempurna.

Diketahui sistem imun mencapai efisiensi lengkap pada anak-anak berusia 10-

12 tahun. Itulah sebabnya infeksi saluran pernapasan pada anak-anak lebih

sering terjadi. Selama tahun-tahun pertama kehidupan, imunodefisiensi relatif

diamati pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Tingkat IgG telah

matang pada usia sekitar 3 tahun dan tingkat IgA pada usia 7 hingga 8 tahun.

Anak-anak juga memiliki 6 hingga 7 infeksi virus per tahun. Infeksi virus

yang sering dapat mempengaruhi respon imunologi dan menyebabkan reaksi

imunologi yang abnormal. Infeksi virus berulang juga dapat mengganggu

transportasi mukosiliar.10

Pada beberapa anak dengan SBS, hipertrofi Adenoid dan deviasi Septum juga

terdiagnosis. Keadaan patologis ini diketahui dapat mengganggu ventilasi

normal Sinus dan menyebabkan perpanjangan proses peradangan.10

18
G. Diagnosis

Diagnosis SBS ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Karena SBS selalu melibatkan gangguan Sinus

paranasalis dan Tractus respiratorius inferior, maka gejala dan tanda dari

kedua penyakit tersebut harus digali, baik melalui anamnesis maupun

pemeriksaan fisik. Untuk menegakan adanya Sinusitis pada pasien SBS maka

perlu kita mengidentifikasi gejala mayor dan minor yang sering muncul pada

Sinusitis. Gejala mayor dapat berupa nyeri pada wajah, obstruksi Nasal, sekret

purulen/postnasal drip, hiposmia/anosmia, dan demam. Gejala minor berupa

sakit kepala, mulut berbau, kelelahan, sakit pada gigi, batuk, dan sakit pada

telinga. Dua gejala mayor atau lebih, atau satu gejala mayor ditambah dua

gejala minor, dapat dicurigai sebagai Sinusitis. Diagnosis dikonfirmasi dengan

pemeriksaan radiologi. 3

Pada peradangan Tractus respiratorius dalam hal ini adalah Bronchus gejala

dan tanda yang dapat muncul adalah batuk produktif, purulent dan mudah

memburuk dengan pajanan iritan atau udara dingin, produksi mucus

meningkat dan dipsneu. Sedangkan tanda yang dapat muncul adalah Barrel

chest, retraksi otot bantu nafas, fremitus melemah, ronchi/wheezing, blue

bloater, ekspirasi memanjang dan bunyi jantung menjauh.13

19
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil

anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah:

1. Sinus

 Radiologi Sinus

Posisi yang rutin digunakan adalah posisi Waters, Posteroanterior (PA)

dan lateral. Posisi digunakan untuk menilai Sinus maxillaris, frontalis dan

ethmoidalis. Posisi PA untuk menilai Sinus frontalis, sedangkan foto

lateral untuk menilai Sinus frontalis, sphenoidalis dan ethmoidalis.

Pemeriksaan ini dapat ditentukan apakah ditemukan perkabutan parsial

atau komplit di rongga sinus, atau adanya air fluid level.3, 14

Metode yang lebih mutakhir sekarang adalah CT-Scan Sinus paranasalis.

Potong yang biasanya digunakan adalah potongan Coronal dan Axial. CT-

Scan Sinus diindikasikan apabila terjadinya Sinusitis kronik, trauma dan

tumor. 3, 14

 Transiluminasi

Pemeriksaan ini memiliki manfaat yang terbatas hanya pada Sinus

maxillaris dan frontalis, sehingga hanya akan dilakukan jika tidak

tersedianya fasilitas radiologi. Transluminasi dilakukan untuk mengetahui

adanya cairan di sinus yang sakit, yang akan terlihat lebih gelap bila

dibandingkan dengan sinus yang normal. 3, 14

20
 USG

Dengan pemeriksaan ini dapat dibedakan antara cairan dalam rongga sinus

dan penebalan mukosa. 3

 Sinoskopi

Merupakan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan alat endoskop,

dimana endoskop akan dimasukan melalui lubang yang dibuat kedalam

Meatus nasi inferior. Menggunakan pemeriksaan ini dapat diindetifikasi

apakah kelain Sinus disebabkan oleh polip, sekret, jaringan granulasi,


14
tumor atau kista, keadaan mucosa dan kondisi dari Ostium.

 Pemeriksaan mikrobiologi

Bahan pemeriksaan berasal dari sekret di rongga hidung, dan dapat

ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal hidung

atau kuman patogen. 3

2. Tractus respiratorius inferior

Pemeriksaan radiologis paru/bronkoskopi, seringkali hasilnya tidak khas

karena dipengaruhi oleh luas dan lamanya penyakit berlangsung. Pada

gambaran rontgen akan tampak corakan Bronchovasculer yang kasar,

namun juga dapat berupa atelektasi atau fibrosis Pulmo (khas Bronchitis).

Pada Bronchiectasis, hasil foto rontgen akan tampak seperti sarang lebah

(Honey comb).3

21
H. Tatalaksana

Tatalaksana pada SBS adalah medikamentosa dan tindakan operatif.

Antibiotik merupakan pilihan utama dalam terapi medikamentosa pasien

dengan SBS. Terapi antibiotik awal yang dapat digunakan adalah Amoxicilin

yang diberikan selama 10-20 hari. Selain itu obat pilihan pertama lainnya

adalah Cotrimoksazole (gabungan Trimetoprim dan Sulfametoxazole),

biasanya dengan antibiotik 70-80 % pasien SBS akan membaik pada hari ke 2-

3 pengobatan Bila tidak ada reaksi dalam 3 hari, perlu diberikan obat

alternatif, yaitu β-lactamase-resistant agent selama 10−20 hari tambahan.

Pada penderita tertentu dengan kuman anaerob, dapat diberikan Metronidazole

atau Clindamisin. 3

Pemberian Antihistamin tidak selalu harus diberikan pada Sinusitis, namun

penggunaannya dapat bermanfaat pada Rhinitis yang dipicu oleh Allergen

(Rhinitis alergica). Kunci dari pengobatan adalah menghilangkan obstruksi

nasal sehingga pemberian Mucolitic sangat dianjurkan.3, 8

Terapi operatif diindikasikan apabila SBS berulang pasca pemberian

antibiotik. Metode operatif yang dikembangkan adalah teknik Functional

Endoscopy Surgery yang bersifat minimal invasive dengan tingkat

keberhasilan kurang-lebih 80 %. 3, 10

22
BAB III

KESIMPULAN

Sinobronchial syndrome (SBS) merupakan suatu peradangan kronik yang

melibatkan Sinus paranasalis dan Tractus respiratorius inferior (Bronchus).

Peradangan paling banyak disebabkan oleh proses infeksi dengan patogen

yang tersering menyebabkan infeksi adalah Streptococcus pneumoniae,

Haemophylus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Selain infeksi, penyebab

seperti alergi dan zat iritan juga dapat mengakibat terjadi SBS.

SBS lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa. Hal ini

dikarena sistem imun pada anak masih belum matang dan sempurna, sehingga

anak-anak biasanya akan mengalami 6 hingga 7 infeksi virus per tahun

Beberapa literatur menyebut bahwa patogenesis dari SBS dipengaruhi oleh

tiga hal yakni inflamasi, infeksi dan obstruksi, dimana ketiga hal itu saling

akan berinteraksi satu sama lain.

Diagnosis Rinosinobronkitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisis, dan pemeriksaan penunjang. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah

terapi medikamentosa dan operatif. Terapi medikamentosa pilihan adalah

pemberian antibiotik seperti Amoxicilin, Cotrimoxazole dll, jika tidak ada

perkembangan pemberian golongan beta-lactamase turut dipertimbangkan.

Pada infeksi oleh bakteri anaerob, perlu untuk diberikan antibiotik

Metronidazol atau Clindamicyn. Pemberian Mucolitic juga dianjurkan untuk

mengurangi obstruksi Nasal. Terapi operatif dilakukan apabila SBS rekuren.

23

Anda mungkin juga menyukai