Jurnal Metode Stifin
Jurnal Metode Stifin
Jurnal Metode Stifin
Abstrak
Metode STIFIn ini merupakan penerapan dari konsep STIFIn yang mengkompilasi dari teori-teori psikologi,
neuroscience, dan ilmu sumberdaya manusia. Cara mengetahui mesin kecerdasan ini dengan STIFIn Fingerprint,
sebuah tes yang dilakukan dengan cara men-scan kesepuluh ujung jari untuk mendapatkan sidik jari dengan alat
fingerprint. Sidik jari yang membawa informasi tentang komposisi susunan syaraf tersebut kemudian dianalisa dan
dihubungkan dengan belahan otak tertentu yang dominan berperan sebagai sistem operasi dan sekaligus menjadi
mesin kecerdasan seseorang yang diberinama STIFIn yang merupakan singkatan dari sensing (disingkat S),
thinking (disingkat T), intuiting (disingkat I), feeling (disingkat F), insting (disingkat In). Dengan menggunakan
metode kajian literatur menganalisis bahwa keberadaan mesin kecerdasan dan kepribadian genetik ini mendorong
pengembangan potensi kecerdasan manusia yang lebih efektif. Pandangan studi aksiologis metode STIFIn perlu
dipelajari secara lebih mendalam, terutama penggunaannya dalam bidang pendidikan.
PENDAHULUAN
Metode STIFIn ini merupakan penerapan dari konsep STIFIn yang mengkompilasi dari teori-teori
psikologi, neuroscience, dan ilmu sumberdaya manusia. Prinsip besarnya mengacu kepada konsep
kecerdasan tunggal dari Carl Gustaav Jung (Poniman, 2012). Cara mengetahui mesin kecerdasan ini
dengan STIFIn Fingerprint, sebuah tes yang dilakukan dengan cara men-scan kesepuluh ujung jari.
Sidik jari yang membawa informasi tentang komposisi susunan syaraf tersebut kemudian dianalisa dan
dihubungkan dengan belahan otak tertentu yang dominan berperan sebagai sistem operasi dan
sekaligus menjadi mesin kecerdasan seseorang. Tes ini juga disebut tes otak karena salah satu
komponen terpenting yang dianugerahkan terhadap manusia adalah otak. Ibarat sebuah mesin, otak
adalah sebuah mesin yang sangat mengagumkan dan tiada tandingannya (Ramly, 2010). Para
ilmuwan menganalisis dan mempelajari otak dengan kemampuan otak mereka. Sehingga muncullah
rumusan pembagian otak manusia berdasarkan dominasi kecerdasan. Kecerdasan yang paling dikenal
adalah Intelligence Quotient (IQ), yang hampir seratus tahun lalu diperkenalkan oleh William Stern telah
menyita perhatian yang tidak kecil (Pasiak, 2008).
Meskipun demikian, kecerdasan dalam STIFIn ini bukanlah mengenai IQ. STIFIn adalah uraian
dari sensing (disingkat S), thinking (disingkat T), intuiting (disingkat I), feeling (disingkat F), insting
(disingkat In). Menurut konsep STIFIn, bukan belahan otak yang memiliki kapasitas paling besar yang
dianggap dominan, melainkan yang kerap digunakan, paling aktif berfungsi, paling otomatis digunakan,
dan menjadi bawah sadar manusia (Poniman, 2012).
Dalam pemanfaatannya metode STIFIn saat ini telah banyak digunakan di berbagai bidang guna
pemetaan mesin kecerdasan manusia, terutama di bidang pendidikan. Namun demikian penggunaan
metode STIFIn dalam berbagai bidang ternyata masih menimbulkan kontroversi. Banyak ahli yang
masih mempertanyakan keabsahan metode yang digunakan, dan meminta perbandingan dengan jenis
tes kecerdasan lainnya yang telah teruji lebih dahulu, serta berbagai pertanyaan terkait dengan teknis
yang masih banyak dilontarkan.
Berkaitan dengan isu yang disampaikan pada paragraf sebelumnya, maka penulis akan
mengkaji perihal aksiologi metode STIFIn dalam pemetaan mesin kecerdasan manusia yang
sebenarnya memiliki banyak manfaat untuk berbagai tujuan. Kajian ini diharapkan memberikan
pandangan tentang kepantasan pemanfaatan metode STIFIn dalam pemetaan mesin kecerdasan dan
seberapa besar potensi atau manfaat yang diperoleh dari metode STIFIn tersebut.
METODE
Metode yang digunakan adalah metode studi kepustakaan. Penelaahan terhadap buku-buku,
literatur-literatur, dan artikel ilmiah dilakukan untuk memperkaya kajian tentang metode STIFIn. Data
sekunder dari berbagai hasil penelitian atau percobaan merupakan jenis data yang kemudian disintesis
hingga menjadi kesatuan dalam memberikan informasi.
doi: 10.30599/jti.v10i2.206
66 Titian Ilmu: Jurnal Ilmiah Multi Sciences, Vol. 10 No. 2, Juli 2018
Perbandingan konsep STIFIn dengan konsep Multiple Intelligence Howard Gardner dan MBTI
Menurut Gardner (2003) kecerdasan seseorang mempunyai sembilan aspek yang disebut
dengan istilah Multiple Intelligence atau kecerdasan majemuk. Kesembilan aspek itu adalah
kecerdasan verbal-linguistik, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan kinestetik-badani,
kecerdasan spasial (ruang-tempat), kecerdasan bermusik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan
intrapersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial. Setiap peserta didik memiliki
kecerdasan majemuk, tetapi pada masing-masing mereka ada aspek-aspek yang paling menonjol.
doi: 10.30599/jti.v10i2.206
Kajian Aksiologi Metode STIFIn dalam Pemetaan Mesin Kecerdasan Manusia 67
Afridha Laily Alindra
Menurut Gardner peserta didik ternyata lebih mudah belajar atau menangkap bahan yang diajarkan
pendidik bila bahan itu disajikan sesuai dengan kecerdasan peserta didik yang menonjol. Kecerdasan
matematis-logis lebih berkaitan dengan penggunaan bilangan dan logika secara efektif, kepekaan pada
pola logika, abstraksi, kategorisasi dan perhitungan.Kecerdasan verbal-linguistik adalah kemampuan
untuk menggunakan kata-kata secara efektif baik secara oral maupun tertulis. Kemampuan ini
berkaitan dengan penggunaan dan pengembangan bahasa secara umum. Kecerdasan kinestetik-
badani adalah kemampuan yang berkaitan dengan kegiatan fisik atau ragawi, kemampuan memainkan
peran, dan membentuk bangunan model serta keterlibatan dalam permainan olahraga. Karya Howard
Gardner ini memiliki dampak besar pada pemikiran dan praktik dalam pendidikan terutama di Amerika
Serikat. Teori kecerdasan majemuk Howard Gardner belum diterima sepenuhnya dalam psikologi
akademik. Namun, ia telah mendapatkan respon positif dari banyak pendidik. Teori ini telah dianut oleh
berbagai teori pendidikan dan secara signifikan, diterapkan oleh guru dan pembuat kebijakan sekolah.
Sejumlah sekolah di Amerika Utara memiliki struktur kurikulum menurut kecerdasan, dan merancang
ruang kelas dan bahkan seluruh sekolah untuk mencerminkan pemahaman tentang teori ini (Smith,
2002).
Beberapa perbandingan antara konsep STIFIn dengan konsep Multiple Intelligence (MI) Howard
Gardner menurut Poniman & Rahman (2013) sebagai berikut:
1. STIFIn mengacu kepada kecerdasan tunggal ala Jung, yang berarti meskipun kesemua
belahan otak berfungsi tetapi secara mutlak dikendalikan oleh satu belahan otak yang aktif
berperan sebagai pemimpin bagi keseluruhan otak. Sedangkan pada MI setiap belahan otak
dapat berfungsi secara bersamaan secara proporsional.
2. MI membagi kecerdasan menjadi 9, sedangkan pada STIFIn hanya 5. Pada STIFIn yang 9 itu
adalah personaliti genetik (selanjutnya disebut PG).
3. Perbandingan antara 9 PG STIFIn dengan 9 kecerdasan MI:
a. Kecerdasan Interpersonal setara dengan PG tipe Fe (Soc-Q)
b. Kecerdasan Intrapersonal setara dengan PG tipe Fi (EQ)
c. Kecerdasan Logika Matematika setara dengan PG tipe Te (LQ)
d. Kecerdasan Visual Spasial setara dengan PG tipe Ie (Spa-Q)
e. Kecerdasan Body Kinestetik setara dengan PG tipe Se (PQ)
f. Kecerdasan Verbal Linguistik setara dengan PG tipe Si (MQ)
g. Kecerdasan Musikal, Kecerdasan Naturalis, dan Kecerdasan Spiritual setara dengan PG
tipe In (AQ)
Selanjutnya, menurut Tyagi (2008) hari ini, di seluruh dunia, instrumen psikologis yang berbeda
digunakan menentukan berbagai atribut kepribadian manusia. Salah satu tes untuk memahami
kedalaman kepribadian adalah tes psikometri, yaitu MBTI (Myers Briggs Type Indicator). MBTI,
dikembangkan pada awal 1950-an oleh Katherine Cook Briggs dan Isabel Briggs Myers, dirancang
untuk membuat teori Jung lebih eksplisit dan praktis dalam penerapannya kehidupan sehari-hari. Sejak
publikasi pada tahun 1955, MBTI semakin banyak digunakan dalam pendidikan, konseling, bisnis,
pemerintah dan komunitas agama (McCaulley, 1987 dalam Tyagi, 2008). Campbell dan Davis (1988
dalam Tyagi, 2008) melaporkan bahwa lebih dari 1.100 disertasi, tesis, buku, dan artikel jurnal telah
dipublikasikan di MBTI. MBTI saat ini inventaris yang paling banyak digunakan jenis psikologis di dunia
(Hirsh & Kummerow, 1989 dalam Tyagi, 2008).
MBTI mengukur preferensi pada empat dimensi, yang telah dijelaskan oleh Hirsh dan Kummerow
(1989 dalam Tyagi, 2008). Mereka, mengklasifikasikan empat dimensi sebagai berikut:
1. Energizing: Bagaimana dan di mana anda dapatkan energi
2. Attending : Apa yang anda perhatikan ketika mengumpulkan informasi
3. Deciding: Sistem apa yang anda gunakan saat anda membuat keputusan.
4. Living: Apa jenis kehidupan yang akan anda adopsi.
Dimensi kedua dan ketiga mengacu pada kekuatan mental atau dimensi kognitif dan sering
dianggap dimensi yang paling penting. Dimensi yang pertama dan keempat kategori mengacu pada
doi: 10.30599/jti.v10i2.206
68 Titian Ilmu: Jurnal Ilmiah Multi Sciences, Vol. 10 No. 2, Juli 2018
sikap. Mereka menggambarkan di mana kita mendapatkan energi dan bagaimana kita berurusan
dengan dunia luar. Setiap dimensi memiliki dua kutub. Dimensi yang pertama, Energizing mengacu
pada orientasi seseorang terhadap dunia. Kedua kutub dimensi ini adalah introversi dan ekstroversi.
Dimensi kedua, Attending, merujuk bagaimana seseorang mempersepsikan informasi. Dua kutub dari
kategori ini sensing dan intuitiv. Dimensi ketiga, Deciding, mengacu pada bagaimana seseorang
membuat keputusan. Kedua kutub dimensi ini adalah feeling dan thinking. Feeling cenderung sangat
selaras dengan perasaan mereka sendiri dan perasaan orang lain. Mereka mendasarkan keputusan
mereka tentang apa yang penting untuk diri mereka sendiri dan orang lain. Thinking, di sisi lain,
mendasarkan keputusan mereka pada suatu tujuan, impersonal, dan analisis logis dari suatu situasi.
Mereka sering fokus pada sebab-akibat hubungan dan mencari standar obyektif kebenaran.
Adapun perbandingan STIFIn dengan MBTI menurut Poniman & Rahman (2013) dapat
dijelaskan sebagai berikut: MBTI terbagi dalam 16 jenis personaliti sedangkan STIFIn 9 personaliti.
Pertama, ke 16 personaliti MBTI itu diukur berdasar perilaku, sedangkan STIFIn memetakan secara
genetik dengan mengetahui dominasi belahan otak dan lapisan otak. Perbedaan kedua, unsur Judging
dan Perceiving pada MBTI berdiri sendiri sedangkan menurut STIFIn mereka melekat pada diagonal
produksi dan organisasi sehingga tidak perlu eksis sendiri. Perbedaan ketiga, pada STIFIn fungsi
introvert dan extrovert hanya sekedar drive (pengemudi) kepada fungsi dasar sedangkan pada MBTI
mereka berdiri setara dengan fungsi dasar yang lain. Perbedaan keempat, pada MBTI tidak
menyebutkan adanya fungsi dasar Insting (In).
doi: 10.30599/jti.v10i2.206
Kajian Aksiologi Metode STIFIn dalam Pemetaan Mesin Kecerdasan Manusia 69
Afridha Laily Alindra
yang mengelompokkan dalam 16 kotak. Lima mesin kecerdasan itu mencakup seluruh jenis
kecerdasan yang ada yang dimiliki manusia di muka bumi ini.
Konsep STIFIn disebut simpel karena bersifat multy-angle theory. Artinya, STIFIn dapat dipakai
untuk menjelaskan teori kecerdasan dan personaliti dari disiplin ilmu yang lain. Seperti konsep otak kiri
dan otak kanan (Roger W. Sperry) atau pembagian neokortek sebagai otak atas dan limbik sebagai
otak bawah (Paul Broca) atau pembagian 6 Hexagonal Holland (John Holland) juga konsep DISC (John
Geier dan Thomas International) atau bahkan teori lama Hippocrates dan Galenus dapat dengan
mudah dibedah menggunakan STIFIn. Uraian persamaannya sebagai berikut:
a. Otak kiri dan otak kanan sama dengan S + T dan I + F pada STIFIn.
b. Neokortek dan limbik sama dengan T + I dan S + F pada STIFIn
c. 6 Hexagonal Holland: Artistic-Realistic (identik dengan Kanan-Kiri STIFIn), Investigative-
Social (identik dengan Atas Bawah STIFIn), Conventional Enterprising (identik dengan
diagonal Organisasi- Produksi STIFIn).
d. D-I-S-C pada John Geier dan Thomas International identik dengan S-F-I-T pada STIFIn.
e. Kholeris, Flegmatis, Melancolis, dan Sanguinis sama dengan S, T, I, dan F pada STIFIn.
Penemuan sebuah teori kepribadian baru tidak terlepas dari teori-teori sebelumnya yang menjadi
pijakan dan landasan bagi pengembangan teori-teori tersebut. Penemu STIFIn meyakini bahwa segala
hal yang melekat pada diri individu terdapat belahan otak yang bekerja paling dominan. Belahan otak
tersebut yang memberikan kontribusi kepada diri individu seutuhnya. Sifat-sifat dari belahan otak
tersebut kemudian membuat konstitusi tubuh menjadi selaras dengan berbagai fungsi tubuh yang
melekat secara genetik pada jenis individu tertentu.
Aplikasi lain yang menarik adalah ketika konsep STIFIn digunakan untuk praktik
penggemblengan diri dengan prinsip fokus-satu-hebat. Konsep kecerdasan tunggal yang dianut STIFIn
lebih mampu menjelaskan realitas otak dalam keseharian. Itulah penjelasan kenapa konsep STIFIn
yang menganut kecerdasan tunggal lebih aplikatif dibandingkan konsep kecerdasan majemuk atau
Multiple Intelligence (MI) yang bisa digambarkan dengan menggunakan metafora sederhana:
kepemimpinan ayah dalam keluarga. Menurut konsep STIFIn setiap orang memiliki seluruh otak,
namun hanya ada satu yang memimpin (sebaliknya menurut MI ada dua, tiga, atau empat yang
dominan). “A specialist in the construction of the whole” kata Daoed Joesoef.
2. Akurat
Metoda STIFIn menguraikan cara kerja otak berdasarkan sistem operasinya, bukan kapasitas
hardware-nya. Yang dimaksud hardware adalah perangkat keras, sedangkan sistem operasi adalah
yang berfungsi menghubungkan antara perangkat keras dengan aplikasi, seperti Microsoft Windows,
Linux, Android, dan Macintosh. IQ (intelligence quotient) itu adalah perangkat keras. Dengan demikian,
mengukur IQ sama dengan mengukur kapasitas hardware, dan bukan untuk mengetahui jumlah
sambungan denrit antarsel otak yang sesungguhnya menentukan IQ seseorang.
Berbeda dengan konsep yang lain, STIFIn menggunakan sistem operasi yang berbicara tentang
jenis watak kecerdasan. Tiap jenis kecerdasan punya wataknya sendiri-sendiri. Jenis watak
kecerdasan itulah yang kemudian disebut sebagai mesin kecerdasan. Jadi, STIFIn memetakan otak
bukan berdasarkan belahan otak yang paling besar volumenya, melainkan berdasarkan belahan otak
yang paling kerap digunakan. Itulah yang disebut sebagai sistem operasi. Membagi otak berdasarkan
belahan otak yang berperan sebagai sistem operasi inilah yang membuat STIFIn akurat.
3. Aplikatif
Disebut aplikatif karena konsep STIFIn bercirikan multiangle field yang kurang lebih artinya,
STIFIn dapat dipakai untuk menjelaskan bidang apa saja. STIFIn dapat diaplikasikan pada bidang
learning, profession, parenting, couple, politic, human resources, dan bidang-bidang lainnya.
doi: 10.30599/jti.v10i2.206
70 Titian Ilmu: Jurnal Ilmiah Multi Sciences, Vol. 10 No. 2, Juli 2018
doi: 10.30599/jti.v10i2.206
Kajian Aksiologi Metode STIFIn dalam Pemetaan Mesin Kecerdasan Manusia 71
Afridha Laily Alindra
personality genetic inilah yang mendorong terwujudnya pengembangan atas seluruh aspek potensi
kecerdasan manusia yang lebih efektif dan adekuat terhadap semua bidang.
Dalam praktek di dunia pendidikan, menurut Nistiningtyas (2013) terdapat beberapa alasan
mengapa memilih metode STIFIn yaitu:
1. Guru bisa dengan mudah mengenali cara belajar masing- masing peserta didik yang berbeda-
beda. Mesin kecerdasan Sensing (S) bagus dalam menghafal, Thingking (T) hebat dalam
menghitung, Intuiting (I) jago dalam kreatifitas, Feeling (F) senang jika berdiskusi, dan Insting (In)
pembelajar serba-bisa namun memerlukan ketenangan untuk mengoptimalkan fungsi otak
tengahnya (naluri).
2. Memilih profesi secara jitu dengan mudah. Jika pilihan profesi sudah menyatu atau sesuai dengan
keinginan. Maka proses pengglembengan profesi menjadi mudah dan menyenangkan meskipun
digembleng dengan cara yang sangat berat (massif).
3. Memilih Tes STIFIn sama dengan menghindari spekulasi. Bukan pelabelan atau peramalan. Pada
setiap mesin kecerdasan dan personality terdapat kelebihan dan kelemahan dalam satu paket.
Tes STIFIn bukan melabelkan seseorang, karena paket kelebihan dan kelemahan seseorang itu
ditemukan kesejatiannya secara meyakinkan, tidak semu dan tidak nujum, atau tilikan.
Kesuksesan yang diraih dengan berusaha di jalan yang tepat menggunakan jalur mesin
kecerdasan, bukanlah ramalan sukses yang datang dari garis tangan (seperti pada palmistry).
Dengan demikian, peserta didik lebih merasa nyaman dan enjoy dalam proses pembelajaran.
Mereka bisa menyesuaikan gaya belajar yang sudah mereka ketahui melalui hasil test tersebut. Yang
terjadi selanjutnya adalah peserta didik lebih terkonsentrasi dan menekuni mesin kecerdasan yang
telah teridentifikasi pada dirinya. Sehingga guru pun akan lebih memaklumi dan lebih menaruh
perhatian yang maximal terhadap kemajemukan mesin kecerdasan tiap- tiap peserta didik. Hal ini akan
berdampak pada peningkatan prestasi belajar peserta didik. Rafianti & Pujiastuti (2017) juga
menyatakan dalam hasil penelitiannya dalam dunia pendidikan saat ini sudah dikenal berbagai metode
untuk memenuhi tuntutan perbedaan individu, salah satunya adalah STIFIn yaitu metode untuk
menentukan dominasi kecerdasan mesin untuk membuat siswa lebih nyaman dalam proses
pembelajaran sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya matematis siswa. Seiring dengan itu,
Gunadi (n.d) dalam kajian tentang pengembangan model kepemimpinan sekolah dengan pendekatan
metode STIFIn dinyatakan bahwa:
1. Mesin kecerdasan yang dimiliki oleh pemimpin/kepala sekolah dan guru/tenaga kependidikan
akan menentukan gaya dalam memimpin (bentuk interaksi komunikasi) yang dilakukan.
2. Dengan mesin kecerdasan dan personality genetic yang dimiliki kepala sekolah akan dengan
mudah mengendalikan bawahannya sesuai dengan mesin kecerdasan dan personalitiy genetic.
3. Proses interaksi – komunikasi efektif dilakukan dengan saling memahami masing-masing PG.
Kepala sekolah akan melakukan proses interaksi – komunikasi kepada bawahan (guru dan tenaga
kependidikan) sesuai dengan PG-nya. Demikian, pula sebaliknya, bawahan dapat
memperlakukan kepala sekolah dengan baik.
Seiring dengan itu, Mundiri & Irma (2017) berpendapat yang menjadi suatu permasalahan dalam
materi hapalan adalah ketika seseorang menghafal menggunakan cara yang tidak sesuai dengan
sistem kinerja otak, pada akhirnya akan menyebabkan hafalan mudah lupa bahkan orang tersebut
merasa tertekan selama proses menghafal. Ini dapat disebabkan karena setiap manusia memiliki
sistem kinerja otak dan kepribadian yang berbeda-beda, maka memerlukan penanganan yang
berbeda-beda pula sesuai dengan kinerja otak masing-masing dalam proses menghafal. Karenanya
metode STIFIn dapat membantu mengatasi permasalahan ini.
Selanjutnya menurut Ratna & Ridwan (2017) dalam hasil penelitian mereka tentang aplikasi
pengembangan karakter siswa, dilakukan oleh guru dengan terlebih dahulu memahami karakter pada
setiap peserta didik kemudian mengenali bakatnya dan selanjutnya menyalurkan bakatnya ke dalam
kegiatan pengembangan diri. Hal ini dilakukan dengan menggunakan tes STIFIn, untuk mengenali
minat, bakat, berpikir kreatif, logis, kerja otak kiri dan otak kanan seseorang, keseluruhannya ditinjau
doi: 10.30599/jti.v10i2.206
72 Titian Ilmu: Jurnal Ilmiah Multi Sciences, Vol. 10 No. 2, Juli 2018
dari psikometri seseorang yang prinsipnya diketahui dengan membaca sepuluh jari seseorang.
Adapun pemanfaatan metoda STIFIn di bidang yang lain seperti pada bidang managerial
berbagai instansi dan lembaga. Pola kepemimpinan dengan menggunakan metoda STIFIn dipercaya
dapat membangun pola hubungan antara pimpinan dengan bawahan yang lebih efektif dan kondusif
karena masing-masing pihak telah memahami karakter berdasarkan mesin kecerdasan dan personality
genetic masing-masing. Sehingga iklim yang terbangun semakin kondusif untuk mencapai tujuan
organisasi.
Sejauh ini memang masih banyak eksplanasi ilmiah yang masih diperlukan dari metoda STIFIn.
Peluang penelitian lebih lanjut amat terbuka untuk hal ini. Kajian ilmiah tentang kaitan pola genetika
dengan kecenderungan mesin kecerdasan masih sangat perlu dikembangkan. Keterlibatan neurosains
yang lebih mendalam tentu akan lebih diperlukan, sehingga kajian tentang metode STIFIn yang sedang
digunakan secara massif ini dapat lebih diterima secara ilmiah.
PENUTUP
Metode STIFIn ini merupakan penerapan dari konsep STIFIn yang mengkompilasi dari teori-teori
psikologi, neuroscience, dan ilmu sumberdaya manusia. Cara mengetahui mesin kecerdasan ini
dengan sebuah tes yang dilakukan dengan cara men-scan kesepuluh ujung jari untuk mendapatkan
sidik jari dengan alat fingerprint. Sidik jari yang membawa informasi tentang komposisi susunan syaraf
tersebut kemudian dianalisa dan dihubungkan dengan belahan otak tertentu yang dominan berperan
sebagai sistem operasi dan sekaligus menjadi mesin kecerdasan seseorang yang dikelompokkan
dalam lima yaitu sensing (disingkat S), thinking (disingkat T), intuiting (disingkat I), feeling (disingkat F),
insting (disingkat In).
Dalam perspektif kajian filsafat ilmu, aksiologi metoda STIFIn ini dibahas dari teori penggunaan
ilmu pengetahuan. Metoda yang telah melalui kajian cukup panjang dan mendasari pada teori-teori dari
ahli yang terlebih dahulu membuat metoda ini menjadi hal yang layak untuk dikaji aspek pemanfaatan
nya yang secara luas telah digunakan ditengah masyarakat.
REFERENSI
Firman, H. (2018). Filsafat Sains. Program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.
Gardner, H. (2003). Multiple Intelligences: The Theory in Practice. New York : John Wiley.
Gunadi, I. n.d. Pengembangan Model Kepemimpinan Sekolah dengan Pendekatan Konsep STIFIn. Di akses di:
https://www.academia.edu/34614271/Pengembangan_Model_Kepemimpinan_Sekolah_dengan_Pende
katan_Konsep_STIFIn. Tanggal akses: 4 April 2018.
Mundiri, A., & Zahra, I. (2017). Implementasi Metode STIFIn Dalam Meningkatkan Kemampuan Menghafal Al-
Qur’an Di Rumah Qur’an STIFIn Paiton Probolinggo. Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic
Education Studies), 5(2), 201-223.
http://dx.doi.org/10.15642/jpai.2017.5.2.201-223
Nistiningtyas. (2013) Tes STIFIn dalam Mencapai Prestasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Tarikh di Kelas ViiI
di SMP IT Al- Amri Probolinggo. Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya.
Pasiak, T. (2008). Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Quran dan Neurosains
Mutakhir. Bandung: Mizan.
Poniman, F. (2012). Penjelasan Hasil Tes STIFIn. Bekasi: PT. STIFIn Fingerprint.
Poniman, F. & Rahman, A.M. (2013). Konsep Palugada STIFIn. Jakarta: STIFIn Institute.
Rafianti, I., & Pujiastuti, H. (2017). Analysis of Students'mathematical Power in Terms of Stifin Test. Infinity
Journal, 6(1), 29-36.
https://doi.org/10.22460/infinity.v6i1.233
doi: 10.30599/jti.v10i2.206
Kajian Aksiologi Metode STIFIn dalam Pemetaan Mesin Kecerdasan Manusia 73
Afridha Laily Alindra
Ramly, N. (2010). Rahasia & Keajaiban Kekuatan Otak Tengah. Jakarta: Best Media Utama.
Ratna, S.D & Ridwan. A.S. (2017). Peran Guru Fisika Dalam Penguatan Pendidikan Karakter Siswa SMA. Seminar
Nasional Pendidikan dan Sains 2017. Prodi Pendidikan Fisika Pascasarjana Universitas Negeri Medan.
Suriasumantri, J.S. (2010). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Popular. Jakarta: Sinar Harapan.
Smith, M.K. (2002). Howard Gardner and Multiple Intelligences. The encyclopedia of informal education.
https://www.schols.smcdbs.on.ca. Diakses pada 3 April 2018
Tyagi, A. (2008). Personality profiles identification using MBTI test for management students: an empirical
study. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, 34(1), 151-162.
Wiramihardja, S. A. (2009). Pengantar Filsafat: Sistematika dan Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu
(Epistemologi), Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi. Bandung: PT. Refika Aditama.
doi: 10.30599/jti.v10i2.206