Analisa Biaya Tenaga Kerja Pada Perkebunan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 113

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS IMPLEMENTASI BIAYA TENAGA KERJA PADA


PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (STUDI PADA PT X)

SKRIPSI

NATALIA DIANA CANDRA DEWI


1006817265

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI
KEKHUSUSAN ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
JUNI 2012

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS IMPLEMENTASI BIAYA TENAGA KERJA PADA


PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (STUDI PADA PT X)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di


bidang Ilmu Administrasi

NATALIA DIANA CANDRA DEWI


1006817265

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI
KEKHUSUSAN ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
JUNI 2012

ii

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Natalia Diana Candra Dewi


NPM : 1006817265
Tanda Tangan :

Tanggal : 27 Juni 2012

iii

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :


Nama : Natalia Diana Candra Dewi
NPM : 1006817265
Program Studi : Ilmu Administrasi Fiskal
Judul Skripsi : Analisis Implementasi Biaya Tenaga Kerja pada
Perkebunan Kelapa Sawit (Studi pada PT X)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Administrasi pada Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak.

Penguji : Dr. Haula Rosdiana, M.Si.

Ketua Sidang : Drs. Asrori, M.A., FLMI

Sekretaris Sidang : Erwin Harinurdin, S.Sos., MS.Ak.

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 27 Juni 2012

iv

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Implementasi
Biaya Tenaga Kerja pada Perkebunan Kelapa Sawit (Studi pada PT X)”.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Ilmu Administrasi Jurusan Administrasi Fiskal pada
Fakultas Ilmu Sosial dan lmu Politik Universitas Indonesia. Saya menyadari
bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
(1) Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik;
(2) Drs. Asrori, M.A., FLMI, selaku Ketua Program Ilmu Administrasi;
(3) Dr. Ning Rahayu, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Fiskal Sarjana Ekstensi Departemen Ilmu Administrasi;
(4) Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, pikiran, dan ilmu untuk mengarahkan saya
dalam penyusunan skripsi ini;
(5) Dr. Haula Rosdiana, M.Si., yang telah bersedia menjadi penguji dalam
sidang skripsi;
(6) Erwin Harinurdin, S.Sos., MS.Ak., yang telah bersedia menjadi sekretaris
sidang skripsi;
(7) Murwendah, S.IA., yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam
penulisan skripsi ini;
(8) Pihak PT X yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data
dan informasi (Bapak Markian Gunawan, Bapak Budi, Ibu Ida Manggarita,
Ibu Ida Sumintar, Bapak Iksan, Mba Diana);
(9) Para informan yang telah bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan
oleh penulis untuk melengkapi data dalam penyelesaian penulisan skripsi
ini;

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


(10) Bapak, mama, dan adik yang telah memberikan doa serta dukungan kepada
penulis dari awal, proses, hingga akhir kuliah ini;
(11) Bapak Johan Yanto, yang selalu memberikan energi positif kepada penulis;
(12) Stefanus Binawan Utama dan keluarga, yang memberikan doa dan
dukungan kepada penulis dari awal, proses, hingga akhir kuliah ini;
(13) Teman seperjuangan Naela, Nineung, Sari, Made Ariasta, dan Mba Anggita;
(14) Semua teman Administrasi Fiskal 2010 yang tidak dapat disebutkan satu per
satu.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi semua pihak.

Tangerang, Juni 2010


Penulis

vi

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama : Natalia Diana Candra Dewi


NPM : 1006817265
Program Studi : Administrasi Fiskal
Departemen : Ilmu Administrasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
ANALISIS IMPLEMENTASI BIAYA TENAGA KERJA PADA
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (STUDI PADA PT X)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 27 Juni 2012

Yang menyatakan

(Natalia Diana Candra Dewi)

vii

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


ABSTRAK

Nama : Natalia Diana Candra Dewi


Program Studi : Administrasi Fiskal
Judul :Analisis Implementasi Biaya Tenaga Kerja pada Perkebunan
Kelapa Sawit (Studi pada PT X)

Skripsi ini membahas perbedaan perlakuan atas biaya tenaga kerja di perkebunan
kelapa sawit antara pajak (Kebijakan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 249/PMK.03/2008) dengan akuntasi (Standar Akuntansi Keuangan Nomor
16), dampak implementasi dan solusi alternatif. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian eksplanatif. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa berdasarkan konsep aset yang dibangun sendiri, biaya dan
penghasilan, implementasi biaya tenaga kerja berdasarkan Kebijakan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 249/PMK.03/2008 tidak sesuai diterapkan
di industri perkebunan kelapa sawit.

Kata Kunci:
Biaya Tenaga Kerja, Perkebunan Kelapa Sawit, Dampak Implementasi Kebijakan,
Akuntasi.

viii

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


ABSTRACT

Name : Natalia Diana Candra Dewi


Study Program: Fiscal Administration
Tittle : Labor Cost Implementation Analysis on palm plantations ( case
study on PT X)

The focus in this research is about the difference treatment of labor cost in palm
plantations between tax regulation ( Republic of Indonesia finance ministerial
policy number 249/PMK.03/2008) and accounting ( Financial Accounting
Standart number 16), implementation impact and alternative solution in PT X.
This research using explanative research for qualitative approach. This research
result conclude by the concept of asset self-construction, cost and income, labor
cost implementation base on Republic of Indonesia Finance Ministerial Policy
number 249/PMK.03/2008 is not appropriate on palm plantations industry
implementation.

Keyword:
Labor cost, Palm Plantations , Policy Implementation Impact, Accounting.

ix

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................................. vi
ABSTRAK ................................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xiv
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xv

1. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Pokok Permasalahan ....................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6
1.4 Signifikansi Penelitian .................................................................................... 6
1.5 Sistematika Penulisan ..................................................................................... 7

2. KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................................. 9


2.1 Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 9
2.2 Kerangka Teori ............................................................................................... 10
2.2.1 Konsep Biaya ....................................................................................... 10
2.2.1.1 Konsep Biaya dalam Akuntansi ............................................... 10
2.2.1.2 Konsep Biaya dalam Pajak ...................................................... 13
2.2.2 Konsep Penghasilan ............................................................................. 14
2.2.2.1 Konsep Penghasilan dalam Akuntansi ..................................... 14
2.2.2.2 Konsep Penghasilan dalam Pajak ............................................ 15
2.2.3 Capital Expenditure and Revenue Expenditure ................................... 17
2.2.4 Kapitalisasi Biaya ................................................................................. 18

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


2.2.5 Biaya dalam Proses Tanaman .............................................................. 18
2.2.6 Aset Tetap ............................................................................................ 19
2.2.6.1 Aset Tetap yang Dibangun Sendiri (Self-Construction) ......... 20
2.2.7 Penyusutan ........................................................................................... 20
2.3 Kerangka Pemikiran ....................................................................................... 20

3. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................ 22


3.1 Pendekatan Penelitian ..................................................................................... 22
3.2 Jenis Penelitian ............................................................................................... 23
3.2.1 Jenis Penelitian Berdasarkan Tujuan Penelitian ................................... 23
3.2.2 Jenis Penelitian Berdasarkan Manfaat Penelitian ................................. 23
3.2.3 Jenis Penelitian Berdasarkan Dimensi Waktu ...................................... 24
3.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................. 24
3.4 Teknis Analisis Data ...................................................................................... 25
3.5 Informan ......................................................................................................... 25
3.6 Proses Penelitian ............................................................................................. 26
3.7 Pembatasan Penelitian .................................................................................... 26
4. GAMBARAN UMUM DAN PENCATATAN AKUNTANSI
PERKEBUNAN DI PT X ................................................................................... 28
4.1 Profil PT X ..................................................................................................... 28
4.1.1 Pendirian Perusahaan ........................................................................... 28
4.1.2 Kegiatan Usaha .................................................................................... 28
4.1.3 Tenaga Kerja ........................................................................................ 31
4.2 Pencatatan Akuntansi Perkebunan Kelapa Sawit ........................................... 32
4.2.1 International Accounting Standard (IAS) 41 ....................................... 32
4.2.2 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 16 ......................... 32
4.2.3 Pencatatan dan Perlakuan Akuntansi Akun Tanaman .......................... 33
4.2.3.1 Bibitan (Nursery) ..................................................................... 33
4.2.3.1.1 Pengukuran dan Pengakuan Biaya Terkait Bibitan . 34

xi

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


4.2.3.1.2 Reklasifikasi Bibitan Menjadi Tanaman Belum
Menghasilkan .......................................................... 34
4.2.3.2 Tanaman Belum Menghasilkan (Immature Plant) .................. 35
4.2.3.2.1 Pengukuran dan Pengakuan Biaya Terkait
Tanaman Belum Menghasilkan ............................... 35
4.2.3.2.2 Reklasifikasi Tanaman Belum Menghasilkan
Menjadi Tanaman Menghasilkan ............................ 37
4.2.3.3 Tanaman Menghasilkan (Mature Plant) .................................. 37
4.2.3.3.1 Pengukuran dan Pengakuan Biaya Terkait
Tanaman Menghasilkan ........................................... 38
4.2.3.3.2 Penyusutan Tanaman Menghasilkan ....................... 38
4.2.3.4 Hasil Panen Tanaman Kelapa Sawit ........................................ 39
4.2.3.5 Hasil Olahan Panen Tanaman Kelapa Sawit ........................... 40
4.2.3.5.1 Pengukuran dan Pengakuan Biaya Terkait Hasil
Olahan Panen Tanaman Kelapa Sawit .................... 40
4.3 Penyajian pada Laporan Posisi Keuangan ...................................................... 41
4.3.1 Klasifikasi Akun Tanaman ................................................................... 41
4.3.2 Pengakuan dan Pengukuran Akun Tanaman ........................................ 42
4.3.3 Penyusutan Akun Tanaman .................................................................. 43
4.3.4 Pengungkapan Akun Tanaman ............................................................. 43

5. ANALISIS IMPLEMENTASI BIAYA TENAGA KERJA PADA PT X ...... 45


5.1 Analisis Biaya Tenaga Kerja dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
249/PMK.03/2008 yang Tidak Diperbolehkan Dikapitalisasi pada
Perkebunan Kelapa Sawit seperti yang Dilakukan oleh PSAK Nomor 16 ... 45
5.2 Analisis Dampak atas Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor
249/PMK.03/2008 Mengenai Biaya Tenaga Kerja yang Tidak
Diperbolehkan Dikapitalisasi pada PT X ...................................................... 53
5.2.1 Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor
249/PMK.03/2008 di PT X .................................................................. 53
5.2.1.1 Implementasi Biaya Tenaga Kerja Sebelum Terbit Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 di PT X ........... 54
5.2.1.2 Implementasi Biaya Tenaga Kerja Setelah Terbit Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 di PT X ........... 56

xii

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


5.2.2 Dampak Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor
249/PMK.03/2008 di PT X .................................................................. 57
5.2.2.1 Kerugian Fiskal Semakin Besar ............................................... 58
5.2.2.2 Timing Difference Menjadi Permanent Difference ................. 60
5.2.2.3 Lain-lain ................................................................................... 65
5.3 Analisis Solusi yang Dapat Dilakukan oleh PT X untuk Mengantisipasi
Dampak Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor
249/PMK.03/2008 ......................................................................................... 66
5.3.1 Pengendalian Tenaga Kerja .................................................................. 66

6. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 68


6.1 Simpulan ......................................................................................................... 68
6.2 Saran ............................................................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 70


DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiii

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alur Pemikiran Penelitian ..................................................................... 21

xiv

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia ............................... 1
Tabel 1.2 Luas Areal Pengusahaan dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit
Seluruh Indonesia .................................................................................. 2
Tabel 1.3 Biaya Umum dan Biaya Tenaga Kerja untuk Lahan Kelapa Sawit
Seluas 1 ha .............................................................................................. 3
Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ............................................................... 9
Tabel 5.1 Rincian Biaya Tenaga Kerja PT X ......................................................... 56
Tabel 5.2 Laporan Perkembangan Tanaman Kelapa Sawit PT X .......................... 57
Tabel 5.3 Posisi Keuangan PT X ............................................................................ 58

xv

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


xvi

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sekitar 85% lebih pasar dunia minyak sawit dikuasai oleh Indonesia dan
Malaysia (Pahan, 2008, hal.1). Kini kelapa sawit menjadi salah satu komoditas
primadona ekspor Indonesia. Kontribusi kelapa sawit dapat dilihat dari volume
dan nilai ekspor setiap tahun. Volume dan nilai ekspor minyak sawit dari tahun
2005 disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1
Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia
Ekspor
Tahun
Volume (Ton) Nilai (000 US$)
2005 11,418,987 4,344,303

2006 11,745,954 4,139,286

2007 13,210,742 8,866,445

2008 18,141,006 14,110,229

2009 21,151,127 11,605,431

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan


Berdasarkan data pada Tabel 1.1, perbandingan nilai ekspor minyak sawit dari tahun
2007 ke tahun 2008 cukup signifikan dari 8,86 juta USD di tahun 2007 menjadi 14,11
juta USD atau naik lebih kurang 59,14%.

Cerahnya prospek komoditi minyak sawit dalam perdagangan minyak


nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu
pengembangan areal perkebunan kelapa sawit (Pertumbuhan, 2012). Dalam
pengembangan areal perkebunan dan produksi kelapa sawit pemerintah tidak
berperan sendiri, karena petani (rakyat) dan swasta pun ikut berperan. Luas areal
pengusahaan dan produksi perkebunan kelapa sawit seluruh Indonesia dari tahun
2005 disajikan pada Tabel 1.2.

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


Tabel 1.2
Luas Areal Pengusahaan dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit
Seluruh Indonesia
Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)
Tahun Petani Petani
Pemerintah Swasta Total Pemerintah Swasta Total
(rakyat) (rakyat)

2005 2,356,895 529,854 2,567,068 5,453,817 4,500,769 1,449,254 5,911,592 11,861,615

2006 2,549,572 687,428 3,357,914 6,594,914 5,783,088 2,313,729 9,254,031 17,350,848

2007 2,752,172 606,248 3,408,416 6,766,836 6,358,389 2,117,035 9,189,301 17,664,725

2008 2,881,898 602,963 3,878,986 7,363,847 6,923,042 1,938,134 8,678,612 17,539,788

2009 3,013,973 608,580 3,885,470 7,508,023 7,247,979 1,961,813 9,431,089 18,640,881

2010 3,314,663 616,575 3,893,385 7,824,623 7,774,036 2,089,908 9,980,957 19,844,901

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan

Berdasarkan data Tabel 1.2 dapat diketahui luas pengembangan areal berbanding
lurus dengan peningkatan jumlah produksi.
Kelapa sawit merupakan salah satu usaha perkebunan yang banyak diminati
investor (Hartanto, 2011, hal. 29). Salah satu faktor pendorong investasi adalah dengan
adanya permintaan sawit dunia yang meningkat seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk dunia, permintaan akan sawit terus meningkat seiring dengan banyaknya
negara maju yang beralih dari penggunaan lemak-trans ke alternatif yang lebih sehat yaitu
minyak sawit. Dikemukakan bahwa sekitar 80% produksi minyak sawit dunia digunakan
untuk makanan (World Growth. Palm Oil Green Development Campaign Februari. 2011).
Selain itu, minyak sawit digunakan sebagai bahan dalam produk nonmakanan, termasuk
produksi bahan bakar hayati, sabun, detergen dan surfaktan, komestik, obat-obatan, serta
beraneka ragam produk rumah tangga dan industri lainnya. Berinvestasi di bidang ini
tidaklah sedikit dan tidak langsung dapat dinikmati. Produksi sawit dimulai pada tahun ke
4 dan terus berproduksi sampai pohon sawit berusia 25 tahun. Di samping itu, perkebunan
kelapa sawit cukup banyak menggunakan tenaga kerja yang memiliki peranan yang
sangat penting sebagai pelaku (aktor) dalam mencapai tujuan (Ketenagakerjaan, 2012).
Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja tidaklah sedikit dan berbeda
tiap tahunnya. Gambaran mengenai biaya umum dan biaya untuk tenaga kerja dari tahun
ke-1 sampai dengan tahun ke-4 untuk lahan kelapa sawit seluas 1 hektare (ha) disajikan
pada Tabel 1.3.

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


Tabel 1.3

Biaya Umum dan Biaya Tenaga Kerja

untuk Lahan Kelapa Sawit Seluas 1 ha

Jumlah Biaya (Rp,-)


Tahun Ke -
Umum Tenaga Kerja Total

1 4.780.250 2.340.000 7.120.250

2 1.423.600 2.743.600 4.167.200

3 1.881.200 1.320.000 3.201.200

4 1.385.200 6.120.000 7.505.200

Sumber: Hartanto, Sukses Besar Budidaya Kelapa Sawit, 2011, hal. 32-39.

Biaya umum yang dimaksud adalah biaya yang dikeluarkan untuk bibit, pupuk, alat, dan
perlengkapan, sedangkan yang dimaksud biaya tenaga kerja adalah biaya yang
dikeluarkan untuk tenaga kerja yang langsung berhubungan dengan tanaman sawit. Dari
Tabel 1.3 biaya umum dan biaya tenaga kerja untuk lahan kelapa sawit seluas 1 ha setiap
tahun berbeda. Pada tahun ke-1 biaya umum lebih tinggi daripada tahun setelahnya sebab
pada tahun ke-1 perusahaan membeli bibit. Tahun ke-4 biaya yang dikeluarkan untuk
tenaga kerja lebih besar daripada tahun sebelumnya sebab pada tahun ke-4 perusahaan
membutuhkan banyak tenaga kerja untuk persiapan panen.

Pada tahun ke-1 sampai dengan ke-3 merupakan masa pengembangan. Berdasarkan
PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) Nomor 6 reformat 2007 paragraf 5
prinsip akuntansi yang berlaku umum bagi setiap perusahaan dalam tahap pengembangan,
baik dalam pengakuan pendapatan maupun dalam menentukan apakah biaya dibukukan
sebagai beban pada periode berjalan, atau ditangguhkan pembebanannya (dikapitalisasi)
untuk disusutkan/diamortisasi selama beberapa periode sesuai dengan pemulihan
manfaatnya di masa depan. Penangguhan pembebanan tersebut hanya terbatas pada
biaya-biaya yang memiliki manfaat di masa depan yang antara lain meliputi beban
pendirian perusahaan. Selanjutnya dalam PSAK Nomor 16 revisi 2007 tentang Aset
Tetap paragraf 15 suatu aset tetap yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai aset
pada awalnya harus diukur sebesar biaya perolehan. Dalam paragraf 16 huruf (b) biaya
perolehan aset tetap meliputi biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


membawa aset ke kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan
keinginan maksud manajemen, dalam paragraf 17 huruf (a) contoh biaya yang dapat
diatribusikan secara langsung adalah biaya imbalan kerja yang timbul secara langsung
dari pembangunan atau akuisisi aset tetap. Berangkat dari pernyataan-pernyataan tersebut
maka atas biaya umum dan biaya tenaga kerja yang terjadi selama dalam tahap
pengembangan oleh perusahaan dikapitalisasi ke dalam nilai tanaman yang nanti akan
menjadi aset dan disusutkan ketika tanaman tersebut mulai menghasilkan sampai dengan
masa manfaatnya habis.

Terhadap biaya penyusutan yang terjadi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (untuk selanjutnya disebut UU PPh) Pasal 6 ayat
(1) huruf b penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A. Dilihat dari penggolongan harta seperti diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UU PPh
penyusutan atas tanaman sawit tidak diatur oleh UU PPh, maka berdasarkan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-19 /PJ.313/1991 tentang Penggolongan Harta untuk
Menghitung Penyusutan Tanaman Keras dan Ternak, tanaman keras serta ternak (selain
ternak potong) dapat dimasukkan dalam penggolongan harta Golongan 1, 2 atau 3
tergantung dari masa manfaat dari tanaman keras dan ternak yang bersangkutan.
Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit adalah PT X. PT X
mendapat izin usaha di Tenggarong, Kalimantan Timur. Luas lahan sampai dengan 31
Desember 2011 adalah 10.796,66 ha, dimana seluas 10.049,28 ha merupakan lahan yang
sudah ditanami, sedangkan sisanya seluas 747,38 ha merupakan lahan yang belum
ditanami. Perusahaan ini baru saja berdiri, memulai membuka lahan di tahun 2006, tahun
2007 dimulai pembibitan, dan tahun tanam pertama di 2008. Terkait dengan biaya tenaga
kerja yang telah diuraikan di atas, setiap tahunnya PT X mengeluarkan biaya untuk
tenaga kerja rata-rata 19,82 milyar.
Sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
249/PMK.03/2008 (untuk selanjutnya disebut PMK 249) yang berlaku 1 Januari 2009, PT
X mengacu pada penjelasan Pasal 28 ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2007 (untuk selanjutnya disebut UU KUP) pembukuan harus
diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang
perpajakan menentukan lain. Dengan demikian, atas biaya tenaga yang dikeluarkan

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


selama Tanaman Belum Menghasilkan (untuk selanjutnya disebut TBM) oleh PT X
dikapitalisasi dalam nilai aset yaitu Tanaman Menghasilkan (untuk selanjutnya disebut
TM). Atas nilai TM tersebut akan disusutkan selama masa manfaat TM, untuk
pengelompokan masa manfaatnya secara pajak mengacu pada Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-19 /PJ.313/1991 tentang Penggolongan Harta untuk
Menghitung Penyusutan Tanaman Keras dan Ternak.

Setelah terbitnya PMK 249, atas biaya tenaga kerja yang dikeluarkan selama TBM
tidak dapat dikapitalisasi dalam nilai TM. Jumlah biaya tenaga kerja yang tidak dapat
dikapitalisasi oleh PT X pada tahun 2010 dan 2011 masing-masing 18, 14 miliar rupiah
dan 17,51 miliar rupiah. Selama masa TBM posisi keuangan perusahaan dalam keadaan
rugi. Dengan dibebankan sekaligus atas biaya gaji tersebut akan mengakibatkan rugi
perusahaan bertambah besar.

1.2 Pokok Permasalahan


Berkenaan dengan kontroversi PMK 249 dengan PSAK Nomor 16 revisi 2007
seperti yang telah diuraikan di atas, perlu dilakukan analisis objektif dan menyeluruh
terhadap seluruh aspek dari kebijakan untuk sepenuhnya dipertimbangkan oleh pembuat
kebijakan. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, rumusan masalah yang diangkat peneliti,
antara lain:
1. Mengapa biaya tenaga kerja dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 249/PMK.03/2008 tidak diperbolehkan untuk dikapitalisasi pada
perkebunan sawit seperti halnya yang dilakukan oleh PSAK Nomor 16?
2. Bagaimana dampak atas implementasi Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 249/PMK.03/2008 mengenai biaya tenaga kerja yang tidak
diperbolehkan dikapitalisasi pada PT X?
3. Bagaimana solusi alternatif yang dapat dilakukan PT X untuk mengantisipasi
dampak implementasi Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
249/PMK.03/2008 mengenai biaya tenaga kerja yang tidak diperbolehkan
dikapitalisasi?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini, adalah:

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


1. Untuk menganalisis mengapa atas biaya tenaga kerja dalam Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 249/PMK.03/2008 tidak diperbolehkan
dikapitalisasi pada perkebunan sawit seperti halnya yang dilakukan oleh PSAK
Nomor 16.
2. Untuk menganalisis dampak atas implementasi Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 249/PMK.03/2008 mengenai biaya tenaga kerja yang
tidak diperbolehkan dikapitalisasi pada PT X.
3. Untuk menganalisis solusi alternatif yang dapat dilakukan PT X untuk
mengantisipasi dampak implementasi Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 249/PMK.03/2008 mengenai biaya tenaga kerja yang tidak
diperbolehkan dikapitalisasi.

1.4 Signifikansi Penelitian


Signifikansi penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Signifikansi akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas
pengetahuan peneliti dan pembaca tentang mengapa atas biaya tenaga kerja
dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
249/PMK.03/2008 yang tidak diperbolehkan untuk dikapitalisasi pada
perkebunan sawit seperti halnya yang dilakukan oleh PSAK Nomor 16.
2. Signifikansi Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran
kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka perumusan kebijakan
perpajakan atas biaya tenaga kerja yang dikapitalisasi pada perusahaan
kelapa sawit dan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak lain yang
memiliki kepentingan perihal ini.

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan dalam penyusunan laporan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah, pokok
permasalahan, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan
sistematika penelitian.
BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


Bab ini akan membahas tinjauan pustaka dan teori-teori yang
relevan dengan penelitian ini.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Dalam bab ini akan dijelaskan pula mengenai metode penelitian
yang digunakan dalam penyusunan penulisan yang terdiri dari
pendekatan penelitian, jenis penelitian, metode penelitian, informan
penelitian, proses penelitian dan pembatasan penelitian.
BAB 4 GAMBARAN UMUM PT X
Bab ini akan menjelaskan mengenai tahapan-tahapan usaha
perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT X. Selain itu juga
akan dijelaskan mengenai kapitalisasi biaya tenaga kerja pada PT
X.
BAB 5 ANALISIS IMPLEMENTASI BIAYA TENAGA KERJA PADA
PT X

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai, pertama analisis mengapa


atas biaya tenaga kerja dalam Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 249/PMK.03/2008 tidak diperbolehkan
dikapitalisasi pada perkebunan sawit seperti halnya yang dilakukan
oleh PSAK Nomor 16, kedua analisis dampak atas implementasi
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
249/PMK.03/2008 mengenai biaya tenaga kerja yang tidak
diperbolehkan dikapitalisasi di PT X, dan yang terakhir analisis
solusi alternatif yang dapat dilakukan PT X untuk mengantisipasi
dampak implementasi Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 249/PMK.03/2008 mengenai biaya tenaga kerja
yang tidak diperbolehkan dikapitalisasi.
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memberikan simpulan mengenai kebijakan perlakuan pajak
dan standar akuntansi keuangan terkait dengan biaya tenaga kerja
bagi perusahaan kelapa sawit dan memberikan saran terkait dengan
permasalahan yang ada.

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


8

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


BAB 2

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai “Analisis Implementasi Biaya Tenaga Kerja pada


Perkebunan Kelapa Sawit Studi pada PT X” yang dilakukan oleh peneliti,
diperlukan peninjauan terhadap penelitian-penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya. Dalam melakukan peninjauan penelitian, peneliti mengambil dua
hasil penelitian yang relevan dengan akuntansi keuangan terkait dengan aset tetap.
Tinjauan pustaka penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Keterangan Deden Riyadi, tahun 2010 Subagyo, tahun 2002
Judul Karya Analisis Nilai Wajar Implikasi Perubahan
Ilmiah Tanaman Kelapa Sawit Ketentuan Perpajakan tentang
Berdasarkan International Harta Berwujud dan
Accounting Standard 41 Penyusutan Perpajakan harta
Agriculture Dibandingkan Berwujud dan Penyusutan
dengan Berdasarkan Terhadap Laporan Keuangan
Penyataan Standar Akuntansi Komersial dan Laporan
Keuangan 16 Aset Tetap Keuangan Fiskal (Suatu Studi
Studi pada PT Agro Perbandingan antara
Indonesia Ketentuan Perpajakan dengan
Standar Akuntan Keuangan)

Fokus Kajian Meneliti dan mengetahui Menguraikan mengenai


perbedaan nilai tercatat, berbagai hal tentang harta
akun-akun lain, tingkat berwujud dan penyusutan
pengungkapan, potensi pajak dengan merujuk pada SAK
penghasilan terutang dan ketentuan perpajakan,
tanaman kelapa sawit akibat termasuk membahas berbagai
perbedaan nilai wajar antara aspek perlakuan
pengukuran berbasis harga

9 Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


10

pasar sesuai dengan IAS 41,


dengan nilai wajar berbasis
biaya perolehan sesuai
dengan PSAK 16 model
biaya;
Temuan Pengukuran nilai wajar Terdapat persamaan dan
berdasarkan IAS 41 perbedaan perlakuan
menghasilkan nilai wajar akuntansi harta berwujud
yang berbeda dibandingkan antara SAK dengan ketentuan
dengan pengukuran nilai perpajakan. Perbedaan
wajar berdasarkan PSAK 16 perlakuan akuntansi
dengan model biaya; Hal-hal utamanya ada pada:
yang diungkapkan dalam klasifikasi dan cara
laporan keuangan sesuai penyajian; biaya perolehan
dengan IAS 41 memiliki dan cara perolehan;
kesamaan dengan penghentian, penarikan atau
pelepasan;penyusutan;

Keterangan Deden Riyadi, tahun 2010 Subagyo, tahun 2002

ketentuan pengungkapan Ketentuan perpajakan dalam


dalam PSAK 16 jika basis Undang-Undang Nomor 10
pengukurannya menggunakan Tahun 1994, khususnya yang
biaya perolehan dikurangi mengatur masalah harta
akumulasi depresiasi dan berwujud dan penyusutan,
penurunan nilai. Walaupun tidak terdapat lagi kesalahan
demikian, sesuai dengan mendasar dan dalam berbagai
sifatnya yang spesifik hal telah terdapat banyak
mengatur perlakuan akuntansi kesesuaian dengan Standar
untuk aset biolojik, ketentuan Akuntasi Keuangan.
pengungkapan dalam IAS 41 Perbedaan yang terjadi dapat
lebih rinci dibandingkan dikategorikan sebagai
dengan ketentuan dalam perbedaan yang bersifat
PSAK 16; Keuntungan akibat sementara atau beda waktu
perubahan nilai wajar dan ini dapat dijembatani
potensial untuk dikenai pajak dengan melakukan
penghasilan karena rekonsiliasi antara laporan
keuntungan ini dapat keuangan komersial dan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


11

dipandang sebagai hasil laporan keuangan fiskal.


penerapan konsep akrual
dalam akuntansi, dan
keuntungan ini dapat
dianggap sebagai tambahan
kemampuan ekonomis entitas
perkebunan kelapa sawit
sehingga dapat dianggap
sebagai obyek pajak sesuai
dengan undang-undang pajak
penghasilan; Adopsi IAS 41
menjadi standar akuntansi
keuangan agrikultur di
Indonesia berpotensi masalah
karena prinsip pengukuran
berbasis biaya perolehan
(model biaya) yang selama
ini digunakan dalam PSAK
16. Jika tidak direncanakan
dengan baik, adopsi IAS 41
dapat menjadikan
perbandingan laporan
keuangan entitas kelapa sawit
antar entitas atau antar
periode untuk satu entitas
akan menjadi sulit dipahami.

Sumber: Diolah Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian yang berbeda dengan


penelitian sebelumnya. Peneliti menganalisis tentang perbedaan perlakuan antara
pajak dan akuntansi mengenai biaya tenaga kerja merujuk pada Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 249/PMK.03/2008 dan PSAK 16 di PT X.

2.2 Kerangka Teori


2.2.1 Konsep Biaya

2.2.1.1 Konsep Biaya dalam Akuntansi

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


12

Dalam tata praktik keuangan dan akuntansi terlebih dalam pengertian


ekonomi, pengertian kedua hal tersebut berbeda. Biaya identik dengan
pengeluaran yang mengharapkan kontraprestasi dari tujuannya dan biasanya
kontraprestasi tersebut terjadi pada masa yang akan datang. Sedangkan ongkos
merupakan sejumlah pengeluaran yang terjadi akibat adanya imbal jasa karena
telah memanfaatkan barang atau jasa tertentu dan mendapatkan manfaatnya
langsung pada saat pengeluaran itu terjadi (Putong, 2010, hal. 193). Bustami dan
Nurlela (2006, hal. 4) juga mengemukakan bahwa biaya dalam akuntansi biaya
diartikan dalam dua (2) pengertian yang berbeda, yaitu:

1. Biaya (cost) adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam


satuan uang yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk
mencapai tujuan tertentu.

2. Beban (expense) adalah biaya yang telah memberikan manfaat dan


sekarang telah habis.
Weygandt, Kieso dan Kimmel (1998, hal.15) berpendapat bahwa “Expenses are
the decrease in owner's equity that result from operating the business. They are
the cost of assets consumed or services used in the process of earning revenue”.
Ditambahkan oleh Solomon (2004, hal.98) yang berpendapat bahwa “Expense
represents the cost of goods or services used up or consumed to produce
revenue”.

Di dalam akuntansi, dikenal matching principle. Prinsip ini melihat


kecocokan antara biaya yang terjadi pada suatu periode dengan penghasilan yang
dihasilkan pada periode. Herist, Rollins, dan Perri (2011, hal.26) menyatakan
bahwa all expenses directly associated with the production of the reported
revenue must be reported within the same period on the income statement.
Revenue is then realized when it is earned and the sale has been completed or a
service has been provided. Accordingly, all of the expenses necessary to get the
product into sale condition, or for service to be completely provided, must be
matched to this realized revenue in order to obtain the correct profit from the
transaction.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


13

Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008, hal.41) pun mengemukakan bahwa


In recognizing expenses, the approach is "Let the expenses follow the revenues".
Companies recognize expenses not when they pay wages or make a product, but
when the work (service) or the product actually contributes to revenue. Thus,
companies tie expense recognition to revenue recognition. This practice is
referred to as matching principle, because it dictates that efforts (expenses) be
matched with accomplishment (revenues) whenever it is reasonable and
practicable to do so.

Biaya harus dibebankan sesuai dengan pengakuan dan periode


penghasilan (Riahi dan Belakoui, 2011, hal.244). Semua biaya itu dibebankan
kepada produk barang dan jasa yang akan dijual untuk mendapatkan penghasilan.
Apabila ditemukan kesulitan dalam menerapkan konsep matching, maka
pembebanan biayanya dapat dilakukan secara rasional dan sistematis. Apabila di
dalam biaya yang dikeluarkan tersebut masih terdapat potensi penghasilan di masa
yang akan datang, maka pembebanannya dapat ditunda. Sebaliknya, jika tidak ada
lagi kemungkinan diperolehnya penghasilan dari biaya tersebut, maka
pembebanannya dapat langsung dilakukan. Hery (2009, hal.142) membagi
pengakuan beban ke dalam 3 kategori:

1. Penandingan langsung (direct matching), mengaitkan beban dengan


pendapatan tertentu sering dikenal sebagai proses penandingan. Contoh:
harga penjualan pokok merupakan yang dapat ditandingkan dengan
pendapatan yang dihasilkan dari penjualan barang. Beban ini akan
dilaporkan dalam periode yang sama sebagaimana pendapatan penjualan
diakui.

2. Alokasi secara sistematis dan rasional, melibatkan pengeluaran modal


yang memiliki masa manfaat lebih dari satu periode. Pengeluaran modal
(capital expenditure) adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka
memperoleh aktiva tetap, meningkatkan efisiensi operasional dan kapasitas
produktif aktiva tetap, serta memperpanjang masa manfaat aktiva tetap.
Dengan kata lain, pengeluaran modal adalah pengeluaran-pengeluaran
yang tidak dibebankan langsung sebagai beban dalam laporan laba rugi,

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


14

melainkan dikapitalisasi terlebih dahulu sebagai aktiva di neraca. Ketika


aktiva tetap tersebut sudah memberikan manfaat maka atas pengeluaran
modal tersebut dibebankan melalui alokasi yang sistematis yaitu dengan
penyusutan.

3. Pengakuan segera, dilakukan atas beban-beban yang hanya memberikan


manfaat dalam periode ketika beban tersebut dibayarkan atau terjadi, dan
tidak terkait dengan pendapatan tertentu, tetapi secara tidak langsung
membantu menciptakan pendapatan.

2.2.1.2 Konsep Biaya dalam Pajak

Rosdiana dan Irianto mengemukakan bahwa dalam menghitung


penghasilan kena pajak, tidak selalu pengeluaran yang diperkenankan sebagai
pengurang mengikuti konsepsi akuntansi “matching concept” (2012, hal. 186-
187). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pajak tidak mengatur bagaimana
seseorang menjalankan manajemen perusahaannya. Dalam keperluan perpajakan
terdapat ketentuan-ketentuan mengenai biaya-biaya yang diperbolehkan untuk
dijadikan pengurang (deductible expenses), antara lain:

1. Biaya-biaya tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan


penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak, atau yang dikenal di
Indonesia dengan istilah biaya mendapatkan, menagih dan memelihara
(3M) penghasilan. Dengan demikian, pengeluaran yang bersifat pribadi
maupun tidak berhubungan langsung dengan 3M penghasilan tidak bisa
dijadikan deductible expenses .
2. Pajak mengutamakan prinsip substance over form. Dengan kata lain tidak
menjadi masalah istilah atau nama biaya tersebut, yang terpenting hakikat
dari biaya tersebut, yaitu untuk apa biaya tersebut dikeluarkan. Sepanjang
biaya tersebut dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan, maka boleh
dijadikan sebagai deductible expenses.

Menurut Gunadi (2005, hal. 156), untuk dapat dikurangi dari penghasilan
kena pajak, biaya harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi, yaitu:

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


15

1. Penghasilan yang diperoleh atau diterima sehubungan dengan biaya yang


dimaksud harus merupakan penghasilan kena pajak. Jika penghasilan yang
diperoleh bukan merupakan objek pajak, maka biaya yang dikeluarkan
perusahaan untuk memperoleh penghasilan tersebut tidak dapat dijadikan
sebagai pengurang penghasilan menurut pajak.
2. Jika penghasilan dikenakan pajak maka pemajakan akan bersifat final atau
tidak final. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah mengenai biaya-
biaya yang terkait dalam usaha mendapat, menagih dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan Final. Atas biaya
tersebut tidak boleh menjadi pengurang dalam perhitungan Penghasilan
Kena Pajak, dan atas labanya pun tidak menjadi penambah dalam
perhitungan dasar Penghasilan Kena Pajak.
Selain biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan, kerugian pada
periode sebelumnya pun dapat menjadi pengurang penghasilan. Dikatakan oleh
Lewis (1984, hal. 110) if capital gains should be included in regular income for
purposes of corporation income taxes, then capital losses should be fully
deductible from income for tax purposes. Ditekankan pula oleh Lewis the basic
principle in the carry over of losses from one taxable period to another is that the
tax accounting period is, to some extent, arbitrary, and some from of averaging is
necessary if income is to be defined in a consistent way among individuals and
firms over a period longer than one tax accounting period. Loss carry over to
other tax periods is allowed to avoid discriminating againts risk-taking on the
part of firms; taxing income in profitable years gives the government a share in
successful investments, but unsuccessful ventures are carried by the investor
alone unless losses can be transferred to profitable years. This is particulary
important to new ventures and to new industries; risks of losses in early years are
higher in new ventures than in expanding operations of established enterprises.
Dengan demikian secara fiskal kerugian fiskal yang terjadi pada periode
sebelumnya dapat mengurangi laba bersih fiskal, hal ini dimaksudkan untuk
adanya pemerataan penghasilan bagi perusahaan.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


16

2.2.2 Konsep Penghasilan


2.2.2.1 Konsep Penghasilan dalam Akuntansi
Penghasilan setiap perusahaan berbeda, tergantung dari jenis usaha
perusahaan. Jika perusahaan bergerak pada bidang jasa, maka penghasilan yang
dihasilkan adalah dari pemberian jasa. Jika perusahaan bergerak dalam bidang
perdagangan atau manufaktur, maka penghasilan yang didapatkan berasal dari
penjualan produk perusahaan tersebut.

Weygandt, Kieso dan Kimmel (1998, hal.14) memberikan pengertian


penghasilan adalah the gross increase in owner's equity resulting from business
activities entered into for the purpose of earning income. Generally revenue result
from the sale of merchandise, the performance of service, the rental of property
and the lending money. Salomon (2004, hal. 96) juga berpendapat bahwa Revenue
increases the retained earnings component of owner’s equity. This increase in
retained earnings occurs whenever one of the following three types of operating
activities or transactions occurs: merchandise sales; services rendered; Interest
or dividends received or receivable. Penghasilan juga didefinisikan oleh Smith
dalam Soemarso adalah jumlah yang dapat dikonsumsi tanpa harus
mengakibatkan penurunan modal, termasuk modal tetap (fixed capital) maupun
modal berputar (circulating capital). (Soemarso, 2007, hal. 165).

2.2.2.2 Konsep Penghasilan dalam Pajak

Konsep penghasilan untuk tujuan pajak penghasilan dapat berbeda dari


konsep penghasilan pada akuntansi komersial, karena perpajakan umumnya
berkaitan dengan ketersedian uang untuk membayar pajak (wherewithal to pay),
kemudahan, penagihan pajak, kepastian, keadilan vertikal dan horizontal serta
dapat dipakai sebagai suatu instrumen kebijakan ekonomi dan sosial dengan nama
dan dalam bentuk apapun (Gunadi, 2005, hal.148). Schanz dan Davidson dalam
Mansury (1996, hal. 62) mengemukakan penghasilan untuk keperluan perpajakan
seharusnya tidak membedakan sumbernya dan tidak menghiraukan
pemakaiannya, melainkan lebih menekankan kepada kemampuan ekonomis yang

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


17

dapat dipakai untuk menguasai barang dan jasa, hal ini disebut accretion theory of
income. Jadi apa yang dipakai untuk konsumsi ataukah disimpan untuk konsumsi
dikemudian hari tidak penting, yang penting adalah bahwa penerimaan atau
perolehan tersebut merupakan tambahan kemampuan ekonomis. Haig dalam
Mansury (1996, hal.62) memiliki definisi yang mirip dengan Schanz. Haig
merumuskan penghasilan itu sebagai the increase or accreation in one’s power to
satisfy his wants in a given period in so far as that power consists of (a) money
itself, or, (b) anything susciptible of valuation in terms of money”. Selanjutnya
Haig menekankan bahwa hakekat penghasilan itu adalah kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan, jadi bukan kepuasan itu
sendiri. Oleh karena itu penghasilan itu didapat pada saat tambahan kemampuan
itu didapat dan bukan pada saat kemampuan dipakai guna menguasai barang dan
jasa pemuas kebutuhan dan bukan juga pada saat barang dan jasa tersebut dipakai
untuk memuaskan kebutuhan. Simons (Mansury, 1996, hal. 63) juga
mengembangkan definisi penghasilan untuk keperluan perpajakan sebagaimana
telah diuraikan oleh Haig. Simons mengemukakan bahwa penghasilan sebagai
Objek Pajak haruslah bisa dikwantifikasikan, jadi harus bisa diukur dan
mengandung konsep perolehan (acquisitive concept). Acquisitive concept
mengandung makna, bahwa menyangkut perolehan kemampuan untuk menguasai
barang dan jasa yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan. Simons
pada dasarnya mengajukan ide tentang keadilan pengenaan pajak yang didasarkan
atas hal-hal yang dapat diukur secara obyektif dan bukan atas dasar perasaan yang
subyektif. Dengan demikian tema pokok dari Schanz, Haig dan Simons tersebut
adalah the accretion theory itu adalah satu-satunya teori yang menelorkan konsep
penghasilan yang memungkinkan untuk menerapkan the ability-to-pay approach.

Dalam pengenaan pajak dikenal konsep Ability to Pay Principle. Gans,


King, dan Mankiw (2011, hal. 267) mengatakan the idea that tax should be levied
on a person according to how well that person can shoulder the burden. Dengan
demikian pajak akan dikenakan sesuai dengan seberapa besar kemampuan orang
atau badan dalam menanggung beban pajaknya. Goode dalam Holmes
menyatakan bahwa the belief that the individual tax is the fairnest of all taxes
arises from conviction that it accords best with ability to pay. Net income is a

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


18

measure of a person’s capacity to command economic resource, and, intuitively, it


seems to be a good indicator of ability to help finance government. (Holmes,
2001, hal. 21). Merujuk pada Goode dalam Holmes cara terbaik dalam pengenaan
pajak adalah dengan melihat kemampuan membayar seseorang atau badan, laba
bersih merupakan indikator yang baik dalam penentuan pengenaan pajak.

Mansury (1992, hal.37) juga berpendapat mengenai prinsip pajak ini the
ability to pay principle would distribute tax burdens according to the taxpayer’s
ability to contribute to the financing of government. The yardstick to measure
one’s ability to pay might be net income, property or wealth, expenditures, or
some combination of two or all three of these indexes. Hal yang sama juga
dikatakan oleh Maslove (2000, hal. 80), income, expenditure and wealth, an
increase in any of these suggests an increase in ability to pay, bahwa kemampuan
seseorang atau badan dalam membayar pajak dapat dilihat dari peningkatan
beberapa hal seperti: pendapatan, pengeluaran, dan kekayaan. Maslove juga
menegaskan sama seperti yang dikatakan oleh Goode in practice, the net income
concept has remained the prime basis for taxation based on ability to pay.

Menurut Gunadi (2005, hal.132) untuk keperluan perpajakan terdapat dua


pendekatan pendefinisian penghasilan, yaitu:

a. Pendekatan sumber (source concept of income)


Pendekatan sumber membatasi untuk kepentingan pajak, sehingga
pendekatan ini berpendapat bahwa pengertian penghasilan adalah
gunggungan penghasilan dari usaha dan tenaga, harta tak bergerak, harta
bergerak dan hak atas pembayaran berkala. Menurut konsep sumber,
terdapat beberapa penghasilan yang diakui oleh akuntansi tapi dianggap
bukan penghasilan bagi ketentuan perpajakan (bukan objek pajak).

b. Pendekatan pertambahan (accretion concept of income).


Pendekatan pertambahan, mendefinisikan penghasilan secara lebih meluas,
yang meliputi unsur pertambahan kekayaan dan pengeluaran konsumsi
tanpa memperhatikan adanya sumber dan kontinuitas aliran kemampuan
ekonomis yang dimaksud.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


19

2.2.3 Capital Expenditure and Revenue Expenditure

Penghitungan penghasilan, Gunadi mengatakan total biaya meliputi semua


biaya atau pengurang terhadap penghasilan. Sehubungan dengan periode
akuntansi pemanfaatannya, pengeluaran dipisahkan antara pengeluaran kapital
(capital expenditure, yaitu setiap pengeluaran yang memberi manfaat lebih dari
satu periode dan dibuku atau dicatat sebagai aktiva) dan pengeluaran penghasilan
(revenue expenditure, yaitu pengeluaran yang dapat memberi manfaat hanya satu
periode yang bersangkutan dan dibuku atau dicatat sebagai beban). Pembedaan
antara pengeluaran penghasilan (beban) menjadi penting untuk dapat menetapkan
besarnya penghasilan dan beban yang tepat (proper matching) dan ketelitian
penghitungan laba suatu periode.( 1997, hal.153)

2.2.4 Kapitalisasi Biaya

Semua pengeluaran yang diperlukan dalam mengakuisisi dan menyiapkan


aset untuk digunakan harus dicatat sebagai biaya aset atau dikapitalisasi (Libby,
Libby, dan Short, 2007, hal. 397). Biaya yang dikapitalisasi tersebut tidak dicacat
sebagai biaya dalam periode saat ini. Seperti yang diungkapkan oleh Hery dalam
sub bab 2.2.1.1 bahwa pengeluaran modal adalah pengeluaran-pengeluaran yang
tidak dibebankan langsung sebagai beban dalam laporan laba rugi, melainkan
dikapitalisasi terlebih dahulu sebagai aktiva di neraca, karena pengeluaran ini
akan memberikan manfaat bagi penciptaan pendapatan di masa mendatang.
Pengeluaran-pengeluaran dalam kategori ini akan dicatat dengan cara mendebit
akun aktiva terkait. Nantinya, secara sistematis dan rasional, bagian dari harga
perolehan aktiva akan dialokasikan menjadi beban pada masing-masing periode
yang menerima manfaat atas pengeluaran modal tadi. Secara berkala, bagian dari
biaya atau harga perolehan (cost) ini akan dialokasikan menjadi beban (expense),
yaitu beban penyusutan aktiva tetap (2009, hal 143-144). Capitalized cost
menurut Horngren, Foster, dan Datar (1994, hal.41) adalah biaya yang mula-mula
dicatat sebagai aktiva dan selanjutnya menjadi beban.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


20

Kieso, Weygandt, dan Warfield (2009, hal.7) mengemukakan bahwa


periode kapitalisasi (capitalization period) adalah periode waktu dimana biaya
harus dikapitalisasi, yang dimulai apabila ketiga kondisi berikut terjadi:

1. Pengeluaran untuk aktiva telah dilakukan;


2. Aktivitas yang diperlukan untuk mempersiapkan aktiva agar dapat
digunakan sedang berjalan;
3. Biaya atas pengeluaran tersebut telah terjadi.

2.2.5 Biaya dalam Proses Tanaman

Reksohadiprodjo dalam bukunya Akuntansi Management Perkebunan,


mengatakan biaya langsung atau prime cost adalah biaya tenaga kerja langsung
dan biaya bahan mentah langsung. Biaya tidak langsung atau biaya overhead
adalah biaya pabrik selain biaya tenaga kerja langsung dan biaya bahan mentah
langsung. (1982, hal.20)

Biaya pada perkebunan budidaya, adalah sebagai berikut


(Reksohadiprodjo, 1982, hal. 21):

1. Proses persemaian, proses ini merupakan investasi. Biaya untuk proses ini
terdiri dari upah buruh, clon, alat-alat pelindung dan supervisi. Biaya
langsung disini adalah upah karyawan penggarap tanah, penabur,
pembibit.

2. Proses pembukaan tanaman baru/ulangan, hasil persemaian yaitu bibit


akan ditanam di atas persiapan tanah tertentu. Tahap ini pun merupakan
investasi. Biaya terdiri dari upah langsung, alat-alat, bahan-bahan kimia,
alat-alat pertanian kecil, penyusutan traktor dan lain-lain, plus harga bibit
dan biaya pemeliharaan.

3. Proses pemeliharaan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), setelah


selesai ditanam dan mulai tumbuh, perlu dipelihara. Biaya langsung disini
adalah upah karyawan yang melakukan pemupukan, pengobatan,
pemberantasan alang-alang, dan lain-lain beserta dengan pupuk, obat,

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


21

pembasmi hama, dan lain-lain. Tujuan untuk menjaga potensi investasi


sehingga menghasilkan dalam waktu 3 tahun

4. Proses pemindahan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) ke Tanaman


Menghasilkan (TM), setelah pemeliharaan TBM ini cukup matang dan
menjadi pohon-pohon yang dapat dipetik perlu dilakukan usaha-usaha
“pemindahan” sehingga jelas: nilai persemaian, nilai TBM dan nilai TM.

2.2.6 Aset Tetap

Aset tetap misalnya tanah, bangunan, mesin dan peralatan harus memenuhi
kriteria untuk dapat disebut aset tetap, yaitu: digunakan untuk operasi dan tidak
dijual, digunakan dalam jangka panjang dan disusutkan, dan memiliki substansi
fisik. Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh Kieso, Weygandt, dan Warfield
(2008, hal.472) the major characteristics of property, plant, and equipment are as
follows: they are acquired for use in operations and not for sale, they are long-
term in nature and usually depreciated, they possess physical substance. Godfrey
et al. (2010, hal.228) assets defined in relation to three essential characteritics:
future economic benefits, control by an entity, and past events.

2.2.6.1 Aset Tetap yang Dibangun Sendiri (Self-Construction)

Harahap mengatakan semua biaya langsung yang digunakan untuk


membangun suatu aktiva harus dikapitalisasi (2002, hal.30). Perusahaan sering
membangun sendri aktiva yang dibutuhkan, hal ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
menekan biaya, memanfaatkan fasilitas yang tidak terpakai (idle capacity),
keinginan untuk mendapatkan mutu yang lebih baik.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


22

2.2.7 Penyusutan

Aset tetap yang digunakan dalam usaha dibebankan melalui penyusutan.


Definisi penyusutan kembali disampaikan oleh Kieso, Weygandt, dan Warfield
(2008, hal.521) depreciation is the accounting process of allocating process the
cost of tangible assets to expense in a systematic and rational manner to those
periods expected to benefit from the use of the asset. Selanjutnya, Weygandt,
Kieso, & Kimmel (2005, hal.406) menuturkan bahwa dalam menghitung
penyusutan ditentukan oleh beberapa faktor, three factors affect the computation
of depreciation: cost, useful life (is an estimate of the expected productive life),
and salvage value (is an estimate of the asset’s value at the end of its useful life).

2.3 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini berangkat dari adanya perbedaan perlakuan antara pajak


dengan akuntansi mengenai biaya tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit.
Perbedaan perlakuan terletak pada perbedaan pengakuan biaya. Dampak dari
adanya perbedaan tersebut adalah menyebabkan kerugian perusahaan bertambah
besar pada tahun awal, adanya kemungkinan kerugian pajak di tahun lalu tidak
dapat dikompensasikan di masa sekarang atau mendatang.

Berdasarkan uraian di atas, alur pemikiran peneliti dalam penelitian ini


adalah sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


23

Biaya Tenaga Kerja di


Perkebunan Kelapa Sawit

Standar Akuntansi Pasal 2 (ayat) 2 Peraturan


Keuangan (PSAK 16) Menteri Keuangan Nomor
KONTRADIKSI
249/PMK.03/2008

Tax fairness equal treatment


tidak tercapai karena tidak
sesuai dengan karakteristik
perkebunan kelapa sawit,
tidak terdapat prinsip
matching cost againts
revenue, tidak dapat
mencerminkan ability to pay.

Menyebabkan kerugian perusahaan bertambah


Matching Cost Againts Revenue Tax Fairness Ability to Pay
besar pada tahun awal, adanya kemungkinan
kerugian pajak di tahun lalu tidak dapat
dikompensasikan di masa sekarang atau
mendatang.

Biaya atas tenaga kerja dikapitalisasi selama masa


tanaman belum menghasilkan, akan dibebankan
melalui penyusutan setelah tanaman menghasilkan.
Akibat dari dibebankannya sekaligus atas tenaga kerja
Tetapi secara pajak, harus dibebankan sekaligus
pada awal tanam mengakibatkan kerugian
akan karena dianggap biaya rutin mengacu pada
perusahaan membesar. Perlakukan ini mengakibatkan
ketentuan pasal 6 dan 11 UU PPh No. 36 th 2008.
tidak adanya averaging penghasilan untuk tahun
Hal ini tidak sesuai dengan tax fairness equal
tanam yang sudah mulai menghasilkan, bahkan ada
treatment, karena aturan tersebut mengatur hal
kemunginkan kerugian di awal tahun yang tidak dapat
yang normal, sedangkan perkebunan kelapa sawit
dimanfaatkan di masa sekarang atau mendatang.
memiliki karakteristik yang khusus.

Gambar 2.1
Alur Pemikiran Penelitian
Sumber: Diolah Peneliti

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


24

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan


kualitatif. Digunakan pendekatan kualitatif karena bermula dari fenomena yang
muncul dari perbedaan perlakuan antara pajak dengan standar akuntansi keuangan
mengenai biaya atas tenaga kerja yang tidak dapat dikapitalisasi pada perusahaan
kepala sawit. Oleh karena itu, penulis ingin menjelaskan secara menyuluruh
mengenai fenomena tersebut.

Creswell (1994, hal. 1) penelitian kualitatif didefinisikan sebagai sebuah


proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia,
berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan
kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam
sebuah latar alamiah. Denzim dan Lincoln menyatakan bahwa penelitian kualitatif
adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan
fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode
yang ada (Moleong, 2005, hal.5)

Marshall dan Rossman ( 1989, hal.45-46), ada beberapa alasan mengapa


penulis menggunakan pendekatan kualitatif, yakni:

a. Research that cannot be done experimentally for practical or ethical reason


b. Research that delves in depth into complexities and processes
c. Research that seeks to explore where and why policy, folk wisdom, and
practice do not work
d. Research on unknown societies or innovative systems
e. Research on informal and unstructured linkages and processes in
organizations
f. Research on real, as opposed to stated, organizational goals.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


25

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan alasan merujuk kepada


Marshall dan Rosman bahwa penelitian ini tidak dapat dilaksanakan secara
eksperimental, selain itu penelitian ini juga menggali secara mendalam tentang
perbedaan perlakuan antara pajak dengan akuntansi mengenai biaya tenaga kerja
di perkebunan kelapa sawit.

3.2 Jenis Penelitian

3.2.1 Jenis Penelitian Berdasarkan Tujuan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian


eksplanatif. Tujuan penulis menggunakan penelitian eksplanatif yaitu untuk
mencari penjelasan yang lebih tentang mengapa terdapat perbedaan perlakuan
antara pajak dengan standar akuntansi keuangan mengenai biaya atas tenaga kerja
pada perusahaan kelapa sawit. Seperti dikatakan oleh Neuman penelitian
eksplanatif yaitu: “Research in which the primary purpose is to explain why
events occur and to build, elaborate, extend or test theory” (Neuman, 2006,
hal.35), penelitian ini merujuk pada Neuman bertujuan untuk menjelaskan
mengapa terdapat perbedaan perlakuan antara pajak dengan akuntansi mengenai
biaya tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit menggunakan teori yang relevan.

3.2.2 Jenis Penelitian Berdasarkan Manfaat Penelitian

Dari sisi manfaat, penelitian ini adalah penelitian murni. Menurut Neuman
(2006, hal. 24), definisi dari penelitian ini adalah “Basic research advances
fundamental knowledge about the social world. It focuses on refuting or
supporting theories that explain how the social world operates, what make things
happen, why social relation are a certain way, and why society changes.”
Penelitian murni merupakan dasar dari kemajuan pengetahuan tentang dunia
sosial. Penelitian murni berfokus pada menyangkal atau mendukung teori-teori
yang menjelaskan bagaimana sesuatu hal terjadi, sehingga penelitian ini
bermaksud untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang menjadi fokus pada

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


26

penelitian yang telah ditentukan, yaitu untuk memahami mengapa terdapat


perbedaan perlakuan antara pajak dengan akuntansi mengenai biaya tenaga kerja
di perkebunan kelapa sawit, untuk mengetahui dampak dari perbedaan perlakuan
tersebut, dan bagaimana solusi untuk menghadapi adanya perbedaan perlakuan
tersebut.

3.2.3 Jenis Penelitian Berdasarkan Dimensi Waktu

Neuman membedakan tiga dimensi penelitian yang terkait dengan waktu,


yakni yang pertama adalah cross-sectional, yang kedua adalah longitudinal yang
terdiri dari panel, time series, dan cohort analysis, serta yang ketiga adalah case
study. Berdasarkan dimensi waktu yang digunakan, penelitian ini merupakan
penelitian case study. Sejalan dengan yang diungkapkan Neuman mengenai case
study research adalah “Case study research, research that is an in-depth
examination of an extensive amount of information about very few units or cases
for one period or across multiple periods of time.” (Neuman, 2006, hal.40).

Melalui penelitian case study ini, peneliti akan mencari tahu bagaimana
pengimplementasian Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
249/PMK.03/2008 pada perusahaan. Di samping itu juga peneliti dapat
menganalisis dampak dari diimplementasikan peraturan tersebut.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dalam teknik pengumpulan datanya menggunakan data


kualitatif, yaitu:

1. Studi Literatur
Studi literatur yang dilakukan dalam mengumpulkan data penelitian ini
adalah mempelajari beberapa literatur-literatur seperti buku, skripsi atau
tesis terdahulu, majalah, artikel, serta dokumen lain yang mendukung.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


27

2. Field Research
Informasi dan data penelitian dapat diperoleh melalui penelitian lapangan
(field research). Seperti dikatakan oleh Neuman, field research adalah
“qualitative research in which the researcher directly observes and records
notes on people in natural setting for an extended period of time” (Neuman,
2006, hal. 46). Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
studi lapangan dengan melakukan wawancara mendalam (in dept interview)
dengan beberapa informan yang kompeten di bidang perpajakan dan
akuntansi.

3.4 Teknik Analisis Data


Ditinjau dari teknik analisis data, dalam penelitian ini menggunakan teknik
analisis data kualitatif. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Moleong (2006, hal.
248) analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceriterakan kepada orang lain. Dalam penelitian kualitatif data merupakan
sesuatu hal yang sangat penting, sebab dalam analisa data yang dilakukan dalam
penelitian ini dengan cara membandingkan data-data yang didapat di lapangan
dengan wawancara beberapa narasumber dan memastikan keabsahan data
tersebut. Oleh karena itu, penulis membandingkannya dengan teori-teori yang
terkait dengan data tersebut. Adanya perbedaan perlakuan mengenai biaya tenaga
kerja antara pajak dengan standar akuntansi keuangan memiliki dampak terhadap
laporan keuangan perusahaan kelapa sawit.

3.5 Informan
Pemberi informasi dalam penelitian ini disebut sebagai informan. Peneliti
harus menentukan siapa yang akan dijadikan informan. Neuman berpendapat
informan yang baik harus memenuhi 4 karakteristik (2006, hal.411), antara lain:
“1. The informant who is totally familiar with the culture

2. The individual I currently involved in the field.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


28

3. The person can spend time with the researcher.


4. Nonanalytic individuals make better informants.”
Berdasarkan kriteria tersebut, maka informan yang akan diwawancarai oleh
penulis, sebagai berikut:
1. Direktorat Jenderal Pajak
Peneliti melakukan wawancara dengan Direktorat Peraturan Perpajakan II.
Wawancara dilakukan dengan Arief Santoso dan Hendra, Staf Peraturan
PPh Badan.

2. PT X
Wawancara dilakukan dengan Markian Gunawan, Direktur PT X dan Iksan,
Manajer Budgeting untuk PT X.
3. Kantor Konsultan Pajak
Wawancara dilakukan dengan Sonny Triharsono, SH., MSc. Partner FA.
Jaja Zakaria, Sonny Triharsono, Budiharto & Rekan.
4. Kantor Akuntan Publik
Wawancara dilakukan dengan Andy Santoso., Manajer Kantor Akuntan
Publik Tanudiredja, Wibisana & Rekan (Price Water Coopers).
5. Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK)
Wawancara dilakukan dengan Dr. Sylvia Veronica Nalurita Purnama
Siregar S.E., Ak. Salah satu anggota DSAK.
6. Akademisi
Wawancara dilakukan kepada pihak akademisi selaku pihak independen
yang menguasai konsep pajak dan akuntansi. Peneliti melakukan wawancara
dengan Dr. Tafsir Nurchamid Ak., M.Si dan Christine S.E., Ak., M.Int.Tax.

3.6 Proses Penelitian


Proses penelitian dalam penulisan skripsi ini berawal ketika melihat laporan
deffered tax tahun 2011 milik PT X. Dalam laporan tersebut terdapat perbedaan
temporer dari rugi yang nilainya material. Ternyata dalam komponen kerugian
tersebut terdapat biaya atas tenaga kerja yang tidak dapat dikapitalisasi selama
PT X belum menghasilkan. Perihal itu merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


29

Republik Indonesia Nomor 249/PMK.03/2008. Dari hal yang ditemukan peneliti,


terdapat kontroversi antara peraturan pajak tersebut dengan Standar Akuntansi
Keuangan Nomor 16. Oleh karena itu, selanjutnya peneliti mengumpulkan
beberapa literatur terkait dengan permasalahan tersebut.

3.7 Pembatasan Penelitian


Penelitian ini terbatas pada perusahaan kelapa sawit dalam tahap
pengembangan yaitu PT X. Hal yang dibahas mengenai biaya atas tenaga kerja
selama belum menghasilkan. Berkenaan dengan itu, terkait dengan Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 249/PMK.03/2008 tentang
Penyusutan Atas Pengeluaran untuk Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki
dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu Pasal 2 ayat (2) dengan Peraturan
Standar Akuntansi Keuangan Nomor 6 tentang Perusahaan dalam Tahap
Pengembangan, Nomor 16 tentang Aset Tetap, dan Nomor 46 tentang Akuntansi
Pajak Penghasilan.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


30

BAB 4

GAMBARAN UMUM DAN PENCATATAN AKUNTANSI PERKEBUNAN


DI PT X

4.1 Profil PT X

4.1.1 Pendirian Perusahaan

PT X didirikan pada tanggal 13 September 2005 dihadapan Ni Putu Sri


Sunardewi, SH dengan Akta Notaris Nomor __, terdapat susunan Direksi dan
Komisaris Perusahaan, berkedudukan di Jakarta. Anggaran dasar perusahaan telah
disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI No. ------------------
-------------. Telah mengalami perubahan anggaran dasar perseroan yang disetujui
dan disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. ------------------
-------------. Pembangunan di bidang perkebunan telah mendapat izin lokasi dari
Bupati Kabupaten Kutai Kertanegara No. ------------------------------- dan No. ------
-------------------------.

Perkebunan PT X berlokasi di desa Lebaho Ulaq, Benua Puhun, Rantau


Hempang, Muara Kaman, Bukit Jering, Loleng, Muara Wis, dan Lebak Mantan –
kecamatan Muara Kaman, Kota Bangun, dan Muara Wis, kabupaten Kutai
Kertanegara, propinsi Kalimantan Timur. Pabrik kelapa sawit (untuk selanjutnya
disebut PKS) terletak di desa Benua Puhun, kecamatan Muara Kaman. Sedangkan
tangki timbun dan dermaga berada di desa Rantau Hempang, kecamatan Muara
Kaman. Luas lahan untuk perkebunan sampai dengan 31 Desember 2011 adalah
10.796,66 ha, total seluas 10.049,28 ha merupakan lahan yang sudah ditanami,
sedangkan sisanya seluas 747,38 ha belum ditanami.

4.1.2 Kegiatan Usaha

Seperti yang terdapat dalam Surat Edaran Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal Nomor SE-02/PM/2002 Tanggal 27 Desember 2002 Lampiran 13 tentang

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


31

Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau


Perusahaan Publik Industri Perkebunan (untuk selanjutnya disebut SE 02),
industri perkebunan memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan
sektor industri lain, yang ditunjukkan oleh adanya aktivitas pengelolaan dan
transformasi biolojik atas tanaman untuk menghasilkan produk yang akan
dikonsumsi atau diproses lebih lanjut. Kegiatan industri perkebunan pada
umumnya dapat digolongkan menjadi:

1. Pembibitan dan penanaman, yaitu proses pengelolaan bibit tanaman agar


siap untuk ditanam dan diikuti dengan proses penanaman.
2. Pemeliharaan, berupa pemeliharaan tanaman melalui proses pertumbuhan
dan pemupukan hingga dapat menghasilkan produk.
3. Pemungutan hasil, yaitu proses pengambilan atau panen atas produksi
tanaman untuk kemudian dijual atau dibibitkan kembali.
4. Pengemasan dan pemasaran, yaitu proses lebih lanjut yang dibutuhkan agar
produk tersebut siap dijual.
Kegiatan perusahaan perkebunan seringkali bekerja sama dengan
masyarakat setempat dan pihak terkait lainnya. Bentuk kerja sama meliputi
pengadaan proyek kebun plasma di atas lahan milik masyarakat atau penyediaan
lahan perusahaan yang dikelola oleh masyarakat.

Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT X adalah menjalankan usaha dalam


bidang perkebunan kelapa sawit yaitu menyelenggarakan dan mengelola usaha
perkebunan kelapa sawit terpadu dengan unit pengolahannya menjadi minyak
kasar dari nabati, memasarkan, menjual serta mendistribusikan minyak kasar dari
nabati atau produk-produknya di dalam negeri, mendirikan pabrik untuk
memproduksi minyak kelapa sawit dari nabati dan produk yang berhubungan.

Tahapan-tahapan kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT X sama seperti


perusahaan perkebunan kelapa sawit lain, seperti yang dikemukakan oleh
Pardamean (2008), antara lain:

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


32

1. Membuka kebun kelapa sawit, hal-hal yang perlu dilakukan, seperti: survei
(pendahuluan dan kelayakan); perizinan usaha perkebunan kelapa sawit;
kemitraan dalam pembangunan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

2. Mengelola kebun, meliputi:

1. Pembibitan, merupakan langkah awal yang sangat menentukan


keberhasilan penanaman di lapangan;

2. Tanaman Baru (untuk selanjutnya disebut TB), hasil kegiatan mulai dari
pengadaan dan pengembangan benih sampai bibit ditanam di lapangan
sebagai tanaman budidaya. Kegiatan dari TB, seperti: survei dan
blocking area; pembukaan lahan; pengawetan tanah; memancang;
penataan afdeling dan blok; penanaman tanaman penutup tanah;
membuang lubang tanam dan penanaman; parit dan drainase; jaringan
jalan.

3. Pemeliharaan Tanaman Belum Menghasilkan (untuk selanjutnya disebut


TBM), tanaman baru yang sudah tumbuh dengan baik di lapangan dan
statusnya ditetapkan telah memasuki masa TBM. TBM dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu:

1. TBM 1 : tanaman pada tahun ke I (0-12 bulan)

2. TBM 2 : tanaman pada tahun ke II (13-24 bulan)

3. TBM 3 : tanaman pada tahun ke III (25-30 bulan)

Intensitas kerja dan biaya pada masing-masing kelompok tersebut


berbeda. Kegiatan pada TBM, meliputi: konsolidasi; pemeliharaan
infrastruktur kebun; penyisipan; pemberantasan ilalang; pemeliharaan
tanaman penutup tanah; membuka dan merawat piringan; pemupukan;
kastrasi; pemberantasan hama dan penyakit; persiapan panen pada
tanaman muda (panen pada umumnya dimulai setelah tanaman sawit
berumur 3-4 tahun dan buahnya telah masak (5-6 bulan setelah
penyerbukan)).

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


33

4. Pemeliharaan Tanaman Menghasilkan (untuk selanjutnya disebut TM),


tanaman kelapa sawit mulai menghasilkan pada umur 24-30 bulan.
Buah yang pertama keluar masih dinyatakan sebagai buah pasir.
Artinya, buah tersebut belum dapat diolah di PKS, karena kandungan
minyaknya masih rendah. Pemeliharaan TM harus dilakukan dengan
cara intensif, termasuk pengawasan yang terus-menerus terhadap
serangan hama dan penyakit. Pemeliharaan pada TM dapat dibagi
berdasarkan kelompok umur, sebagai berikut:

a. Tanaman muda : 4-5 tahun

b. Tanaman remaja : 6-12 tahun

c. Tanaman tua : > 13 tahun

Hal-hal yang dilakukan pada tahapan ini, antara lain: pembasmian


alang-alang, pemberantasan gulma, pemupukan, pembasmian hama dan
penyakit, penunasan (pemangkasan) pelepah daun, konsolidasi dan
inventarisasi, pemeliharaan infrastruktur kebun, pemeliharaan saluran
drainase.

5. Panen, suatu areal tanaman sudah dapat disebut sebagai TM dan dapat
dipanen apabila 60% atau lebih buahnya telah matang; tanaman telah
berumur ± 31 bulan; berat janjangan (tandan) telah mencapai 3 kg atau
lebih; atau penyebaran panen telah mencapai 1:5, yaitu setiap 5 pohon
terdapat 1 tandan buah yang matang panen. Kebun yang memenuhi
persyaratan tersebut dapat mulai dipanen dan disebut dengan kebun
TM. Pekerjaan panen adalah memotong, mengumpulkan, dan
mengangkut tandan matang ke pabrik. Kegiatan panen juga termasuk
memelihara kondisi tanaman agar tetap baik.

6. Membangun dan mengelola PKS, pengembangan tanaman kelapa sawit


selalu disertai dengan pembangunan pabrik. Hal ini disebabkan minyak
sawit mudah mengalami perubahan kimia dan fisika selama berada
dalam tandan dan pengolahan. Oleh sebab itu, pengembangan kelapa

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


34

sawit tanpa disertai dengan pabrik merupakan usaha sia-sia. Dalam


pembangunan PKS harus mempertimbangkan beberapa faktor, antara
lain: lokasi, kapasitas olah, tata letak, rancangan, dan organisasi.

4.1.3 Tenaga Kerja

Di PT X tenaga kerja yang berhubungan langsung dengan tanaman dikenal


dengan dua istilah, Buruh Harian Lepas ( untuk selanjutnya disebut BHL) dan
Buruh Harian Tetap ( untuk selanjutnya disebut BHT). Perbedaan kedua jenis
tenaga kerja tersebut adalah sistem penggajian. BHL penentuan gaji berdasarkan
kehadiran seorang pekerja, jika seorang pekerja tidak hadir maka ia kehilangan
hak untuk digaji karena ia tidak melakukan kewajiban sebagaimana telah
dijadualkan. Berbeda dengan BHT, meskipun seorang pekerja itu tidak hadir, ia
berhak menerima upah dengan syarat ia dapat memberikan alasan dan bukti
pendukung sesuai dengan aturan perusahaan.

4.2 Pencatatan Akuntansi Perkebunan Kelapa Sawit

4.2.1 International Accounting Standard (IAS) 41

Hlaciuc, Mihalciuc, dan Iancu (2008) mengatakan The International


Accounting Standard IAS 41 – Agriculture prescribes accounting treatment,
financial sheet drawing and information related to biological assets and
agricultural activities from the harvesting point. Agricultural activity is the
management by an entity of the biological transformation and harvest of
biological assets for sale or for conversion into agricultural produce or into
additional biological assets. A biological asset is a living animal or plant.
Dengan demikian, pencatatan akuntansi untuk perkebunan kelapa sawit mengacu
pada International Accounting Standard (IAS) 41 (untuk selanjutnya disebut IAS
41). Aktivitas agrikultural dipertanggungjawabkan menggunakan kerangka biaya
historis. Aktivitas ini meliputi pemeliharaan hewan ternak, budidaya tumbuhan
dan pemanenan hasil aktivitas tersebut. Aturan ini mengakui pendapatan pada saat

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


35

hasil yang dipanen terjual, selama periode pertumbuhan ternak dan tanaman,
semua biaya yang terjadi diakumulasikan sebagai work in progress, dan
persediaan hasil panen yang dicatat sesuai biayanya dikurangi dengan penurunan
nilai aset.

4.2.2 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 16

IAS 41 Agriculture belum diadopsi sebagai PSAK yang khusus mengatur


aktivitas agrikultural. Oleh karena itu, pengaturan untuk aset yang berasal
aktivitas agrikultural menerapkan PSAK 16 karena adanya beberapa kesamaan
sifat antara aset biolojik dengan aset tetap. Definisi aset tetap berdasarkan PSAK
16 dalam paragraf 6 adalah aset berwujud yang: (a) dimiliki untuk digunakan
dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak
lain, atau untuk tujuan administratif; dan (b) diharapkan untuk digunakan selama
lebih dari satu periode. Paragraf 15 suatu aset tetap yang memenuhi kualifikasi
untuk diakui sebagai aset pada awalnya harus diukur sebesar biaya perolehan.
Biaya perolehan (cost) yang dimaksud sesuai dalam paragraf 6 yaitu jumlah kas
atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar dari imbalan lain yang diserahkan
untuk memperoleh suatu aset pada saat perolehan atau konstruksi atau, jika dapat
diterapkan, jumlah yang diatribusikan ke aset pada saat pertama kali diakui sesuai
dengan persyaratan tertentu dalam PSAK lain. Biaya perolehan aset tetap dalam
paragraf 16 meliputi: (a) harga perolehannya, termasuk bea impor dan pajak
pembelian yang tidak boleh dikreditkan setelah dikurangi diskon pembelian dan
potongan-potongan lain; (b) biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung
untuk membawa aset ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap
digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen; (c) estimasi awal
biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi aset.
Kewajiban atas biaya tersebut timbul ketika aset tersebut diperoleh atau karena
entitas menggunakan aset tersebut selama periode tertentu untuk tujuan selain
untuk menghasilkan persediaan. Kemudian dalam PSAK 16 nilai tercatat adalah
nilai yang disajikan dalam neraca setelah dikurangi akumulasi penyusutan dan
akumulasi penurunan nilai.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


36

4.2.3 Pencatatan dan Perlakuan Akuntansi Akun Tanaman

4.2.3.1 Bibitan (Nursery)

Bibit kelapa sawit yang merupakan cikal bakal tanaman kelapa sawit
dicatat sebagai bibitan ketika proses pembibitan dimulai. Proses pembibitan yang
dilakukan oleh PT X menggunakan tahapan pekerjaan, yaitu pembibitan awal (pre
nursery) dan pembibitan utama (main nursery). Pembibitan awal dilakukan
selama 3 bulan, dimana bibit ditempatkan di dalam polybag berukuran kecil dan
selanjutnya dipindahkan ke pembibitan utama dengan polybag berukuran besar
selama 9 bulan.

4.2.3.1.1 Pengukuran dan Pengakuan Biaya Terkait Bibitan

Selama proses pembibitan tersebut, ada beberapa biaya terkait yang


akan dikapitalisasi sehingga akan meningkatkan nilai bibitan. Biaya-biaya
tersebut antara lain biaya pembelian bibit, upah pekerja yang mengurus bibit,
biaya pembelian polybag, serta biaya pemeliharaan dan biaya lain. Biaya tersebut
diukur berdasarkan historical cost yaitu sebesar biaya yang dikeluarkan untuk
melakukan transaksi tersebut dan diakui saat terjadinya. Misalnya, biaya
pembelian bibit diakui saat bibit tersebut diterima oleh perusahaan, upah pekerja
diakui setiap pembayaran upah bulanan, biaya pembelian polybag diakui saat
polybag tersebut diterima oleh perusahaan, serta biaya pemeliharaan dan biaya
lainnya diakui saat terjadinya.

Pada awalnya, biaya-biaya tersebut diklasifikasikan sebagai biaya


administrasi umum. Setelah biaya tersebut diakui, biaya tersebut akan
dikapitalisasi ke dalam akun bibitan oleh sistem yang digunakan perusahaan
dengan memberikan kode tertentu. Misalnya, biaya tersebut diberi kode. Setiap

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


37

sistem melihat kode tersebut, maka akan otomatis mengkapitalisasi biaya tersebut
ke akun bibitan.

Pencatatan yang dilakukan:

Nursery xxx

Biaya xxx

4.2.3.1.2 Reklasifikasi Bibitan Menjadi Tanaman Belum Menghasilkan

Selain kapitalisasi biaya terkait, nilai bibitan juga dipengaruhi dengan


adanya proses reklasifikasi dari bibitan menjadi TBM. Reklasifikasi ini dilakukan
ketika bibitan telah melalui proses pembibitan utama, yaitu sekitar 12 bulan
setelah dilakukan pembibitan. Reklasifikasi ini akan mengurangi nilai bibitan dan
akan menambah nilai TBM.

Reklasifikasi ini akan dicatat dengan jurnal sebagai berikut:

TBM xxx

Nursery xxx

(jurnal ini akan mengurangi nilai bibitan dan menambah nilai TBM
dengan jumlah yang sama)

Secara keseluruhan, berikut adalah pergerakan yang terjadi pada akun bibitan
PT X selama tahun 20xx akibat adanya kapitalisasi biaya terkait dan reklasifikasi
ke TBM:

Saldo awal xxx

Penambahan:

Penambahan biaya xxx

Pengurangan:

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


38

Reklasifikasi ke TBM (xxx)

Saldo akhir xxx

4.2.3.2 Tanaman Belum Menghasilkan (Immature Plant)

Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai TBM pada saat


pemindahan dan penanaman bibitan ke area perkebunan, yaitu saat 12 bulan
setelah pembibitan mulai dilakukan. Pada saat ini, tanaman kelapa sawit
memasuki tahap pemeliharaan yaitu proses pertumbuhan dan pemupukan hingga
tanaman tersebut menghasilkan produk. Walaupun pada tahap ini tanaman kelapa
sawit mungkin untuk terkena beberapa risiko terkait industri perkebunan kelapa
sawit seperti risiko kebakaran, wabah penyakit, dan risiko lainnya.

4.2.3.2.1 Pengukuran dan Pengakuan Biaya Terkait Tanaman Belum


Menghasilkan

TBM dicatat sebesar biaya perolehannya. Biaya perolehan awal tersebut


terdiri dari akumulasi biaya pembukaan lahan (land clearing), penanaman bibit
(plantation), pemupukan (manuring), pemeliharaan, dan alokasi biaya tidak
langsung lainnya sampai dengan tanaman yang bersangkutan dinyatakan
menghasilkan dan dapat dipanen. Biaya tidak langsung yang dimaksud seperti
beban pinjaman yang timbul dari pendanaan dan biaya lain yang digunakan untuk
membiayai pengembangan TBM.

Dalam pembukaan lahan (land clearing), ada beberapa pekerjaan yang


dilakukan. Pekerjaan itu antara lain meliputi pembuatan jalan, jembatan, teras, dan
infrastruktur, pembersihan (felling), pemetakan (stacking), serta pematangan.
Perusahaan mengerjakan pekerjaan tersebut dengan menyewa kontraktor. Biaya
pembukaan lahan merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk persiapan area
perkebunan. Biaya-biaya itu diakui ketika timbul kewajiban pembayaran atas
pekerjaan tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


39

Biaya terkait dengan pekerjaan pembukaan lahan menurut kebijakan


perusahaan dapat dikapitalisasi ke dalam akun aset dalam penyelesaian
(construction in process/CIP)-infrastruktur dan akun tanaman belum
menghasilkan. Biaya yang dikapitalisasi ke dalam akun CIP-infrastruktur antara
lain biaya terkait pembuatan jalan, jembatan, teras, dan infrastruktur. Sedangkan,
biaya yang dikapitalisasi ke dalam akun TBM antara lain biaya terkait
pembersihan, pemetakan, dan pematangan termasuk biaya rental bulldozer yang
digunakan untuk pembersihan lahan. Jurnal yang dicatat untuk mencatat
kapitalisasi biaya terkait yaitu:

TBM xxx

Biaya xxx

(akibat jurnal kapitalisasi ini, TBM akan bertambah nilainya sebesar


biaya terkait)

Berdasarkan PSAK 26, beban bunga, selisih kurs yang merupakan


penyesuaian atas beban bunga, dan biaya lainnya yang terjadi sehubungan dengan
pinjaman yang digunakan untuk pembiayaan pengembangan TBM dan
pembukaan lahan dikapitalisasi. Kapitalisasi biaya pinjaman dihentikan pada saat
tanaman yang bersangkutan dinyatakan menghasilkan. Biaya pinjaman ini
merupakan alokasi biaya tidak langsung yang dapat dikapitalisasi. Contoh jurnal
yang digunakan untuk mencatat kapitalisasi biaya pinjaman ini yaitu:

TBM xxx

Beban bunga xxx

(akibat jurnal kapitalisasi ini, TBM akan bertambah nilainya sebesar


beban bunga pinjaman terkait)

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


40

4.2.3.2.2 Reklasifikasi Tanaman Belum Menghasilkan Menjadi Tanaman


Menghasilkan

Nilai tercatat TBM tidak hanya dipengaruhi oleh reklasifikasi dari


bibitan dan kapitalisasi biaya pinjaman, tetapi juga dipengaruhi oleh reklasifikasi
dari TBM ke TM. Reklasifikasi ini akan mengurangi nilai tercatat TBM dan
menambah nilai tercatat TM. Tanaman kelapa sawit memerlukan waktu 4 tahun
sejak penanaman bibit di area perkebunan untuk menjadi tanaman menghasilkan.
Atau dengan kata lain, reklasifikasi ini dilakukan ketika tanaman telah berumur 4
tahun sejak dicatat sebagai TBM.

Jurnal yang dicatat terkait reklasifikasi TBM menjadi TM adalah:

TM xxx

TBM xxx

(reklasifikasi ini akan mengurangi nilai TBM dan menambah nilai TM


dengan jumlah yang sama)

Secara keseluruhan, berikut adalah pergerakan yang terjadi pada akun TBM PT X
selama 20xx akibat adanya kapitalisasi biaya, reklasifikasi dari bibitan, dan
reklasifikasi ke TBM:

Saldo awal xxx

Penambahan:

Reklasifikasi dari bibitan xxx

Kapitalisasi biaya xxx

Pengurangan:

Reklasifikasi ke TM (xxx)

Saldo akhir xxx

Jurnal penyesuaian

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


41

CIP-infrastruktur xxx

TBM xxx

(jurnal ini akan mengurangi nilai TBM dan menambah nilai CIP-
infrastruktur sebesar biaya pembukaan lahan yang salah pencatatannya).

4.2.3.3 Tanaman Menghasilkan (Mature Plant)

Setelah diklasifikasikan dalam TBM selama 4 tahun, tanaman kelapa


sawit akan direklasifikasi ke dalam akun TM. Pada saat ini, tanaman kelapa sawit
memasuki tahap pemungutan hasil dimana hasil panen tersebut bisa langsung
dijual atau diolah terlebih dahulu. Hasil panen yang belum diolah disebut Tandan
Buah Segar (TBS). Sedangkan, hasil panen yang telah diolah dapat berupa Crude
Palm Oil (CPO) ataupun Palm Kernel (PK).

4.2.3.3.1 Pengukuran dan Pengakuan Biaya Terkait Tanaman


Menghasilkan

TM dicatat sebesar akumulasi biaya perolehannya sampai dengan


reklasifikasi dari TBM. Nilai TM ini akan bertambah hanya ketika TBM telah
berumur 4 tahun dan direklasifikasi ke dalam akun TM. Reklasifikasi ini
dilakukan karena tanaman telah menghasilkan secara komersial dan menurut
ketentuan bersama dalam industri perkebunan kelapa sawit, hal itu terjadi setelah
tanaman berumur 4 tahun. Biaya pemeliharaan dan pemupukan serta biaya lain
yang terjadi terkait dengan TM akan langsung dibebankan dan dimasukkan ke
dalam perhitungan Harga Pokok Penjualan (HPP).

Pada tahun 20xx, reklasifikasi dari TBM ke TM menghasilkan sejumlah


Rp xx. Jurnal yang dicatat terkait reklasifikasi tersebut adalah:

TM xxx

TBM xxx

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


42

(jurnal ini akan menambah nilai TM dan mengurangi TBM dengan


jumlah yang sama).

4.2.3.3.2 Penyusutan Tanaman Menghasilkan

Selain reklasifikasi dari TBM, nilai TM juga disusutkan selama taksiran


masa produktif tanaman yang bersangkutan yaitu selama 20 tahun. Metode
penyusutan yang digunakan yaitu metode garis lurus. Penyusutan ini dilakukan
karena tanaman kelapa sawit lama kelamaan akan kehilangan kemampuan untuk
berproduksi dan akan tidak bermanfaat lagi secara ekonomis bagi perusahaan.
Jadi, perusahaan harus menyesuaikan nilai tanaman tersebut selama masa
manfaatnya dengan melakukan penyusutan. Pada akhir masa manfaatnya,
tanaman tersebut dihentikan pengakuannya dengan cara ditebang atau diganti
dengan tanaman lain.

Beban penyusutan TM yang terjadi selama tahun 20xx yaitu sebesar Rp


xxx. Jurnal yang digunakan untuk mencatat beban penyusutan tersebut yaitu:

Beban penyusutan-TM xxx

Akumulasi penyusutan-TM xxx

Terkait penyusutan tanaman ini, perusahaan harus mengelola


pencatatan beban penyusutan setiap kelompok tanaman sejak tanaman tersebut
direklasifikasi, karena tidak semua tanaman secara serempak direklasifikasi
menjadi TM. Tiap tahun perusahaan melakukan reklasifikasi tersebut dengan nilai
tanaman yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, untuk menjaga supaya nilai
TM yang dilaporkan sesuai dengan kenyataan perusahaan perlu mengelola
pencatatan biaya penyusutan ini dengan sebaik-baiknya.

Secara keseluruhan, berikut pergerakan yang terjadi pada akun TM


PT X selama tahun 20xx akibat adanya kapitalisasi biaya dan penyusutan:

Saldo awal tahun xxx

Reklasifikasi dari TBM xxx

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


43

Saldo akhir tahun xxx

Akumulasi penyusutan

Saldo awal tahun xxx

Penyusutan tahun berjalan xxx

Saldo akhir penyusutan xxx

Nilai buku xxx (saldo akhir tahun-saldo akhir


penyusutan)

4.2.3.4 Hasil Panen Tanaman Kelapa Sawit

Setelah tanaman diklasifikasikan sebagai TM, tanaman tersebut memasuki


tahap pemungutan hasil atau panen. Panen merupakan salah satu kegiatan yang
penting pada pengelolaan TM. Keberhasilan panen akan menunjang pencapaian
produktivitas tanaman. Begitu pula sebaliknya, kegagalan panen akan
menghambat pencapaian produktivitas tanaman. Pengelolaan tanaman yang baik
tidak ada artinya jika panen tidak dilakukan secara optimal.

Panen adalah proses pemotongan tandan dari pohon hingga pengangkutan


ke pabrik. Tandan yang sudah dipanen disebut TBS. Tanaman kelapa sawit akan
menghasilkan TBS selama 20 tahun. Dalam proses selanjutnya, TBS ini akan
diproses lebih lanjut menjadi minyak kelapa sawit dan inti sawit. TBS yang
sebaiknya dipanen yaitu yang memenuhi kriteria sebagai buah matang.

4.2.3.5 Hasil Olahan Panen Tanaman Kelapa Sawit

Hasil panen kelapa sawit berupa TBS kemudian langsung diolah menjadi
CPO dan PK. Oleh karena itu, TBS setelah dipanen tidak diklasifikasikan sebagai
persediaan, tetapi TBS langsung diproses di pabrik dan dianggap sebagai bahan
baku dimana langsung dimasukkan ke dalam perhitungan HPP bagi minyak

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


44

kelapa sawit maupun inti sawit. Hasil olahan inilah yang nanti akan dijual dan
menjadi sumber pendapatan bagi perusahaan.

4.2.3.5.1 Pengukuran dan Pengakuan Biaya Terkait Hasil Olahan Panen


Tanaman Kelapa Sawit

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, TBS yang dipanen akan


langsung diolah menjadi CPO dan PK pada hari yang sama. Nilai persediaan
barang jadi CPO dan PK dihitung berdasarkan biaya-biaya yang dikeluarkan
selama proses produksi dari TBS menjadi CPO atau PK baik biaya produksi
langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung terdiri dari pemupukan dan
pemeliharaan TM. Sedangkan, biaya tidak langsung terdiri dari biaya penyusutan
aset tetap, TM, dan hak guna usaha atau hak guna bangunan.

1. Biaya pembelian TBS, biaya ini merupakan biaya yang timbul dari
transaksi pembelian TBS dari perusahaan lain. Jadi, selain menggunakan
TBS yang dihasilkan sendiri, perusahaan juga membeli TBS dari
perusahaan lain.
2. Biaya pabrikasi, meliputi biaya overhead atas proses produksi CPO dan
PK.
3. Biaya panen dan pengumpulan, yaitu biaya yang timbul selama
mengumpulkan hasil panen tanaman kelapa sawit. Biaya tersebut antara
lain biaya terkait peralatan panen, biaya gaji permanen, biaya transportasi
dari tempat panen ke pabrik kelapa sawit, dan biaya bongkar muat TBS di
pabrik kelapa sawit.
4. Biaya pemupukan dan pemeliharaan, yaitu biaya pemupukan dan
pemeliharaan yang terjadi setelah aset tanaman diklasifikasikan sebagai
tanaman menghasilkan. Biaya tersebut meliputi biaya pemeliharaan
infrastruktur seperti jalan dan jembatan, biaya pemberantasan hama, biaya
pemupukan, biaya sanitasi kelapa sawit, biaya transportasi terkait kegiatan
pemeliharaan tanaman, dan biaya pengawasan terkait pemeliharaan dan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


45

pemupukan. Biaya ini juga mencakup biaya gaji pekerja terkait kegiatan
pemupukan dan pemeliharaan tanaman.
5. Biaya tidak langsung, terdiri dari biaya penyusutan aset tetap, biaya
penyusutan TM, dan biaya amortisasi hak guna usaha (HGU) atau hak
guna bangunan (HGB). Biaya penyusutan aset tetap terkait kegiatan
perkebunan dialokasikan berdasarkan luas area tanam. Biaya tersebut
dialokasikan ke HPP berdasarkan luas area tanam TM, sedangkan yang
dialokasikan ke biaya administrasi umum berdasarkan luas area tanam
TBM. Biaya administrasi umum itu kemudian akan dikapitalisasi ke dalam
nilai TBM. Jadi, ketika perusahaan belum memiliki TM, semua biaya
penyusutan aset tetap terkait kegiatan perkebunan akan dicatat sebagai
bagian dari nilai TBM. Secara keseluruhan berikut komponen-komponen
yang masuk ke dalam perhitungan HPP PT X:
Biaya pembelian TBS xxx

Biaya pemupukan dan pemeliharaan xxx

Biaya pabrikasi xxx

Penyusutan dan amortisasi xxx

Biaya panen dan pengumpulan xxx

Beban Pokok Produksi xxx

Persediaan barang jadi awal tahun xxx

Persediaan barang jadi akhir tahun (xxx)

Beban Pokok Penjualan xxx

4.3 Penyajian pada Laporan Posisi Keuangan


4.3.1 Klasifikasi Akun Tanaman

PSAK 16

Penyajian akun tanaman pada laporan posisi keuangan terletak pada aset
tidak lancar. Klasifikasi akun tanaman tidak dijelaskan secara khusus dalam
Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


46

PSAK 16. Namun dilihat dari karakteristiknya, TBM dapat diklasifikasikan


sebagai aset biolojik dalam proses karena TBM belum dapat digunakan dalam
kegiatan operasi perusahaan sampai menjadi TM. Sedangkan, TM diklasifikasikan
sebagai aset biolojik memiliki kemiripan karakteristik seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya.

IAS 41

Penyajian akun tanaman pada laporan posisi keuangan diletakkan pada aset
tidak lancar. Sedangkan klasifikasi akun tanaman dibagi menjadi 2 yaitu
immature dan mature.

4.3.2 Pengakuan dan Pengukuran Akun Tanaman

PSAK 16

Pengakuan awal aset tetap sebesar biaya perolehan pada saat pengakuan
awal yaitu kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar dari imbalan lain
yang diserahkan untuk memperoleh suatu aset pada saat perolehan atau konstruksi
atau, jika diterapkan, jumlah yang diatribusikan ke aset pada saat pertama kali
diakui sesuai dengan persyaratan tertentu dalam PSAK lain. Setelah pengakuan
awal, perusahaan dapat memilih metode biaya atau model revaluasi. Model biaya
yaitu pencatatan aset tetap sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi
penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset. Sedangkan model revaluasi
yaitu metode pencatatan aset tetap menggunakan nilai wajar pada tanggal
revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai
yang terjadi setelah tanggal revaluasi.

IAS 41

Aset biolojik diukur berdasarkan nilai wajarnya dikurangi estimasi biaya


point of sales pada saat panen, kecuali jika nilai wajarnya tidak dapat diukur
secara andal. Apabila terdapat pasar aktif, nilai wajar dari suatu aset biolojik atau
produk agrikultur ditentukan dari harga kuotasi pada pasar tersebut. Namun, jika

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


47

tidak ada pasar yang aktif untuk aset biolojik atau produk agrikultur, nilai wajar
dapat ditentukan dari harga transaksi pasar yang terakhir dari suatu aset biolojik,
harga pasar untuk aset yang sejenisnya dengan penyesuaian untuk merefleksikan
perbedaan, atau menggunakan perbandingan sektor. Dalam beberapa kasus, nilai
wajar aset biolojik dapat dihitung dengan mendiskontokan nilai sekarang dari arus
kas bersih yang diharapkan dari suatu aset pada tarif pasar saat ini sebelum pajak
apabila harga yang ditentukan oleh pasar tidak tersedia pada kondisinya saat ini.
Jika nilai wajarnya tidak dapat diukur secara andal, aset biolojik dapat diukur
berdasarkan biayanya dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi kerugian
atas penurunan nilai.

4.3.3 Penyusutan Akun Tanaman

PSAK 16

Penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan
kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan
maksud manajemen. Aset tetap disusutkan sebesar jumlah tercatatnya dikurangi
nilai residu selama masa manfaat aset tersebut. Penyusutan dapat menggunakan
metode garis lurus, saldo menurun , dan metode jumlah unit.

IAS 41

IAS 41 tidak mengatur secara khusus mengenai penyusutan aset biolojik. PT


X melakukan penyusutan aset biolojik menurut IAS 41 mengikuti ketentuan
penyusutan aset tetap seperti di atur dalam IAS 16. Penyusutan dimulai ketika aset
siap untuk digunakan atau berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar
aset siap digunakan. Metode penyusutan yang dapat digunakan yaitu metode garis
lurus, metode saldo menurun, dan metode jumlah unit produksi.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


48

4.3.4 Pengungkapan Akun Tanaman

PSAK 16

Pengungkapan yang diperlukan terkait aset tetap yaitu dasar pengukuran


yang digunakan dalam menentukan jumlah tercatat bruto, metode penyusutan
yang digunakan, umur manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan, jumlah
tercatat bruto dan akumulasi penyusutan awal dan akhir periode, dan rekonsiliasi
jumlah tercatat pada awal dan akhir periode.

IAS 41

IAS 41 menyatakan bahwa suatu entitas harus mengungkapkan mengenai


akumulasi keuntungan atau kerugian yang timbul selama periode berjalan saat
pengakuan awal aset biolojik dan produk agrikultur dan dari perubahan nilai pasar
dikurangi estimasi biaya point of sales dari aset tersebut. Perusahaan juga harus
memberikan penjelasan mengenai tiap kelompok aset biolojik, metode dan asumsi
dalam menentukan nilai pasar dari setiap kelompok produk agrikultur pada saat
panen dan setiap kelompok aset biolojik. Namun, apabila nilai wajar dari aset
biolojik tidak dapat diukur secara andal, pengungkapan yang perlu dilakukan oleh
perusahaan meliputi deskripsi aset biolojik, penjelasan mengapa nilai wajar tidak
dapat diukur secara andal, metode penyusutan yang digunakan, masa manfaat atau
tarif penyusutan yang digunakan, nilai buku dan akumulasi penyusutan pada awal
dan akhir periode serta keuntungan atau kerugian pada saat penghapusan aset.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


49

BAB 5

Analisis Implementasi Biaya Tenaga Kerja pada PT X

5.1 Analisis Biaya Tenaga Kerja dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
249/PMK.03/2008 yang Tidak Diperbolehkan Dikapitalisasi pada Perkebunan
Kelapa Sawit seperti yang Dilakukan oleh PSAK Nomor 16

Industri perkebunan memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan


sektor industri lain, yang ditunjukkan oleh adanya aktivitas pengelolaan dan
transformasi biolojik atas tanaman untuk menghasilkan produk yang akan dikonsumsi
atau diproses lebih lanjut. Kekhasan dalam industri perkebunan kelapa sawit adalah
tanaman kelapa sawit tersebut merupakan aset bagi perusahaan. Dalam pencatatan
secara akuntansi mengacu kepada IAS 41 yaitu tanaman tersebut termasuk dalam aset
biolojik, namun di Indonesia aturan tersebut belum diadopsi sehingga atas pencatatan
dan pengakuan nilai mengacu kepada PSAK 16.

Praktik industri perkebunan kelapa sawit dalam kegiatannya adalah melakukan


proses menanam dan merawat tanaman sampai dengan menghasilkan, kemudian atas
hasil tanaman tersebut diolah lebih lanjut di pabrik kelapa sawit sehingga dihasilkan
produk yang siap untuk dijual. Proses menanam membutuhkan waktu yang tidak sedikit,
lebih kurang 3-4 tahun tanaman tersebut mulai menghasilkan. Selain waktu yang tidak
sedikit, diperlukan pula jumlah tenaga kerja yang tidak sedikit untuk mengurus tanaman.
Perusahaan menggunakan tenaga kerja sendiri, untuk memperoleh kualitas yang baik
dari tanaman tersebut sebab diawasi oleh pihak perusahaan sendiri.

Selama proses menanam sampai dengan tanaman tersebut menghasilkan,


perusahaan tidak memiliki pendapatan usaha sebab belum ada bahan kelapa sawit yang
dapat diolah kemudian dijual. Dengan demikian atas segala biaya yang dikeluarkan
dikapitalisasi. Dalam melakukan kapitalisasi biaya, tidak serta merta seluruh biaya
dikapitalisasi, tetapi mengacu pada aturan yang berlaku. Perusahaan melakukan
kapitalisasi atas seluruh biaya yang berhubungan langsung dengan tanaman ke dalam
nilai aset, sedangkan biaya yang tidak berhubungan langsung dibebankan sekaligus pada

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


50

tahun terjadinya. Contoh biaya yang berhubungan langsung dengan tanaman yang
dikapitalisasi ke dalam nilai tanaman, seperti: bibit, pupuk, sewa alat berat, upah tenaga
kerja, biaya pembukaan lahan, dan lain sebagainya. Kapitalisasi biaya-biaya tersebut
berhenti setelah tanaman mulai menghasilkan.

Berdasarkan penjelasan Pasal 28 ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 28 Tahun 2007 (untuk selanjutnya disebut UU KUP) pembukuan harus
diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang
perpajakan menentukan lain. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008
(untuk selanjutnya disebut PMK 249) adalah salah satu peraturan perpajakan yang
mengatur lain. PMK 249 mengatur penyusutan untuk bidang usaha tertentu, salah
satunya industri tanaman keras yaitu perkebunan kelapa sawit. Perbedaan pengaturan
dengan Standar Akuntansi Keuangan (untuk selanjutnya disebut SAK) terletak pada pasal
2 ayat (2) tidak termasuk sebagai pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah biaya yang berhubungan dengan tenaga kerja. Maksud dari aturan ini adalah atas
biaya yang berhubungan dengan tenaga kerja tidak boleh dikapitalisasi dalam nilai aset.

Dasar pertimbangan terbitnya PMK 249 ialah ketentuan Pasal 11 ayat (7) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (untuk selanjutnya
disebut UU PPh), hal ini terdapat dalam konsideran PMK 249 bagian menimbang. Seperti
dikatakan oleh Arief Santoso:

“Dalam UU PPh Pasal 11 ayat (7) dinyatakan bahwa atas


penyusutan harta berwujud yang dimiliki atau digunakan dalam
bidang usaha tertentu diatur dalam peraturan menteri keuangan, jadi
ini memang mengatur penyusutan usaha di bidang tertentu. Bisa
dilihat di bagian konsideran menimbang. Jadi, PMK 249 diterbitkan
untuk melaksanakan Pasal 11 ayat (7) UU PPh.” (Wawancara dengan
Arief Santoso, tanggal 24 Mei 2012)

Seperti yang dikatakan oleh Indrati (2007, hal. 55) peraturan pelaksanaan
(verordung) merupakan peraturan-peraturan yang terletak di bawah undang-
undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-
undang peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi. Dengan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


51

demikian, PMK 249 terbit bukan dilatarbelakangi oleh UU PPh tetapi atas
delegasi dari UU PPh.

PMK 249 mengatur penyusutan secara khusus untuk industri-industri yang


memiliki karakteristik khusus seperti kehutanan, perkebunan tanaman keras, dan
peternakan. Kekhususan tersebut terletak pada kegiatan usaha dan terdapat aset
biolojik yang perlu untuk disusutkan. Penyusutan didasarkan atas nilai perolehan.
Dalam pasal 2 ayat (2) PMK 249 dinyatakan bahwa atas pengeluaran untuk tenaga
kerja harus dikeluarkan dalam komponen aset yang disusutkan. Arief Santoso
mengungkapkan:
“Kan harus diperhatikan juga ketentuan umumnya. Di penjelasan
Pasal 6 ayat (1) sudah dijelaskan bahwa pembebanan biaya dibagi 2
yaitu mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 tahun dan lebih
dari 1 tahun (melalui penyusutan atau amortisasi). Untuk biaya gaji
termasuk dalam biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari
1 tahun, sehingga harus dibebankan di tahun pengeluaran.
Untuk tambahan bisa juga dilihat di penjelasan Pasal 11A ayat (6).
Kapitalisasi biaya tidak diperkenankan untuk biaya operasional yang
bersifat rutin seperti gaji.” (Wawancara dengan Arief Santoso,
tanggal 24 Mei 2012)

Maksud dari pernyataan Arief Santoso adalah biaya tenaga kerja dikeluarkan
dalam komponen nilai aset berdasarkan ketentuan perpajakan mengacu kepada
penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU PPh beban-beban yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang
mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya
pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin
pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau
melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian
karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto. Selanjutnya diperjelas dalam huruf a ayat tersebut
biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh
dibebankan pada tahun pengeluaran.
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


52

mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan
objek pajak. Jadi biaya tenaga kerja merupakan biaya yang mempunyai masa manfaat
tidak lebih dari satu tahun maka harus dibebankan sekaligus pada tahun terjadinya.

Di samping itu juga diatur dalam penjelasan pasal 11A ayat (6) UU PPh dalam
pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya
yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya
produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin,
seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk
pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan
sekaligus pada tahun pengeluaran.

Tidak diperbolehkannya biaya atas tenaga kerja dikapitalisasi secara pajak


dikarenakan biaya atas tenaga kerja dianggap sebagai biaya rutin berdasarkan
ketentuan umum UU PPh. PMK 249, merupakan aturan khusus yang diterapkan
untuk industri khusus. Dengan demikian, PMK 249 tidak dapat diterapkan dalam
industri khusus jika mengacu pada ketentuan umum. Jika PMK 249 diterapkan
dalam industri ini, maka secara pajak tidak akan tercapai asas keadilan horizontal
Equal treatment for the equal (Mansury, 1996, hal. 12), yaitu industri dengan
karakteristik khusus harus diperlakukan secara khusus tidak dapat diperlakukan
sama dengan industri lainnya. Menurut Tafsir Nurachmid:
“Penetapan SK Menteri Keuangan yang mengatur itu dibebankan
sebagai biaya khusus untuk industri-industri yang sifatnya adalah
normal accounting/operating cycle lebih dari satu tahun.”
(Wawancara dengan Tafsir Nurachmid, tanggal 22 Mei 2012)

Seperti telah diuraikan sebelumnya, kegiatan di industri perkebunan kelapa


sawit adanya proses menanam dan untuk menghasilkan membutuhkan waktu
lebih kurang 3-4 tahun, maka atas biaya-biaya (yang berhubungan langsung
dengan tanaman) yang dikeluarkan selama masa itu harus dikapitalisasi, sebab
bukan merupakan biaya yang bersifat rutin. Dengan dikapitalisasi biaya tenaga
kerja tersebut selama masa belum menghasilkan asas keadilan dapat tercapai.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


53

Selain dasar pertimbangan melalui peraturan perundangan ada dasar lain


mengapa biaya tenaga kerja tidak diperbolehkan untuk dikapitalisasi. Menurut
Hendra:
“Terkait dengan biaya tenaga kerjanya, sulit dipisahkan antara mana
yang benar-benar khusus untuk petani yang mengurusi tanaman sawit
dengan pekerjaan lain. Maka dibuat mudah dengan dibebankan
sekaligus.” (Wawancara dengan Hendra, tanggal 24 Mei 2012)

Hal itu senada dituturkan oleh Sonny Triharsono:


“Sebenarnya ini merupakan kepentingan praktisasi DJP saja.
Kebanyakan masalah yang dihadapi selalu ditanyakan berapa jumlah
biaya tenaga kerja dan berapa PPh Pasal 21-nya. Jika dikapitalisasi
otomatis biaya tersebut tidak matching antara SPT Tahunan Badan
dengan SPT PPh Pasal 21, dan atas selisihnya sulit dilacak. Dalam
praktik susah untuk mem membedakan mana yang merupakan benar-
benar tenaga kerja yang melekat dengan tanaman itu.” (Wawancara
dengan Sonny Triharsono, tanggal 25 Mei 2010)

Selain karena ketentuan umum dasar terbitnya PMK 249 adalah untuk
kepraktisan pihak DJP dalam pemeriksaan di industri perkebunan kelapa sawit.
Sesuai dengan tujuan utama dari sistem pajak dan lembaga pelaksanaanya adalah
untuk menghimpun sejumlah penerimaan yang cukup untuk membiayai komitmen
pemerintah (Rosdiana dan Irianto, 2012, hal. 46), hal ini dimaksudkan agar tidak
hilangnya potensi penerimaan negara. Dengan dibebankan sekaligus atas biaya
tenaga kerja, maka dapat diketahui dengan jelas berapa PPh Pasal 21 yang harus
disetorkan kepada kas negara.

Di Indonesia, pengaturan mengenai akuntansi perkebunan secara umum


belum ada. Namun, pedoman akuntansi perkebunan yang dikeluarkan oleh
regulator dan asosiasi industri, sudah ada yaitu Pedoman Akuntansi Perkebunan
BUMN yang disusun oleh Perkebunan PTPN dan PT RNI. Sementara untuk
industri perkebunan yang dikelola oleh selain BUMN mengacu kepada Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (untuk selanjutnya disebut PSAK). IAS 41
Agriculture belum diadopsi sebagai PSAK yang khusus mengatur aktivitas
agrikultural. Oleh karena itu, pengaturan untuk aset yang berasal aktivitas
agrikultural menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 16

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


54

(untuk selanjutnya disebut PSAK 16) karena adanya beberapa kesamaan sifat
antara aset biolojik dengan aset tetap.
Tanaman kelapa sawit bagi industri perkebunan kelapa sawit merupakan
aset tetap, sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Nomor 16 Revisi 2007
(untuk selanjutnya disebut PSAK 16) definisi aset tetap adalah aset berwujud
yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa,
untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan
diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu tahun. Senada dengan Godfrey
et al. (2009, hal.228) assets defined in relation to three essential characteritics:
future economic benefits, control by an entity, and past events. Tanaman kelapa
sawit memiliki manfaat di masa mendatang selama 20-25 tahun, tidak untuk dijual
melainkan diusahakan untuk dapat berproduksi diolah menjadi sesuatu sesuai
dengan kemauan manajemen. Hasil olahan utama dari tanaman kelapa sawit
adalah Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK).

Nilai perolehan suatu aset tetap tergantung dari biaya perolehan (cost).
Menurut PSAK 16 adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai
wajar dari imbalan lain yang diserahkan untuk memperoleh suatu aset pada saat
perolehan atau konstruksi atau, jika dapat diterapkan, jumlah yang diatribusikan
ke aset pada saat pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan tertentu dalam
PSAK lain. Komponen biaya perolehan aset tetap meliputi:

1. harga perolehannya, termasuk bea impor dan pajak pembelian yang tidka
boleh dikreditkan setelah dikurangi diskon pembelian dan potongan-
potongan lain;

2. biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa aset


ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai
dengan keinginan dan maksud manajemen; dan

3. estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi
lokasi aset. Kewajiban atas biaya tersebut timbul ketika aset tersebut
diperoleh atau karena entitas menggunakan aset tersebut selama periode
tertentu untuk tujuan selain menghasilkan persediaan.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


55

Merujuk kepada Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN atas aset tanaman


yang merupakan aset tetap disebut Aset Tanaman, yaitu aset tanaman perkebunan
yang belum menghasilkan (aset pembibitan). Biaya perolehan awal aset tanaman
antara lain:

1. Biaya yang diakui sebagai bagian dari pembibitan, yaitu:

a. Biaya input adalah harga perolehan bibit dan biaya lainnya yang
dikeluarkan entitas sampai dengan bibit siap tanam.

b. Biaya proses adalah biaya-biaya yang dikeluarkan setelah biaya input


sampai menjadi bibit tanaman berikutnya yang terdiri dari:

1. Biaya tenaga kerja langsung di unit/kebun untuk pemeliharaan aset


tanaman belum menghasilkan meliputi imbalan kerja yang terkait
langsung dengan pembudidayaan tanaman seperti upah tenaga kerja;

2. Biaya-biaya lainnya yang terjadi di unit/kebun yang dapat


diatribusikan secara langsung ke aset tanaman seperti:

a. biaya penyiapan lahan (land clearing);

b. biaya handling dan pengangkutan bibit tanaman;

c. biaya penanaman, pemupukan, dan pemeliharaan;

d. biaya pengujian aset tanaman;

e. biaya komisi profesional yang menangani aset tanaman

c. Alokasi biaya tidak langsung, biaya tidak langsung yang dapat


dikapitalisasi ke aset tanaman semusim antara lain biaya pinjaman.

2. Biaya penyisipan, antara lain:

a. biaya penyisipan/sulaman suatu aset tanaman dalam areal pembibitan


diakui sebagai penambah jumlah tercatat aset tanaman.

b. biaya penyisipan/sulaman suatu aset tanaman dalam areal kebun diakui


sebagai beban.
Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


56

Biaya tenaga kerja dikatakan oleh Usry dan Matz (1984, hal. 382)
merupakan sumbangan tenaga manusia pada perusahaan. Biaya tenaga kerja pada
perkebunan kelapa sawit yang dimasukkan ke dalam komponen harga perolehan
tanaman aset karena merupakan biaya yang diatribusikan secara langsung.
Reksohadiprodjo (1982, hal.21) menyebutkan biaya upah karyawan penggarap
tanah, penabur, pembibit, pemelihara merupakan biaya langsung dan masuk
kedalam komponen nilai Tanaman Belum Menghasilkan (untuk selanjutnya
disebut TBM). Biaya tenaga kerja yang dikapitalisasi oleh perusahaan merupakan
biaya tenaga kerja yang berhubungan langsung dengan tanaman, bukan
merupakan biaya administrasi atau biaya rutin seperti yang dimaksud dalam
ketentuan perundang-undangan perpajakan. Seperti dikatakan Andy Santoso:

“Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan selama tanaman belum


menghasilkan itu akan dikumulatifkan terus, sampai dengan tanaman
itu menghasilkan, jadi kita melihatnya sebagai bagian dari harga
perolehan aset. Sebenarnya di Indonesia belum memiliki aturan
tersendiri untuk mengatur perkebunan. Secara internasional
sebenarnya sudah ada yaitu IAS 41. Nah, disitu ada historical cost.
Nilai aset itu dicatat sebagai nilai tanaman. Sampai dengan saat ini di
Indonesia khusus untuk perkebunan atas nilai tanaman yang
merupakan aset, melihat ke aturan yang diatur dalam PSAK 16. Jika
dianalogikan, mungkin aset sebelum dipakai dilakukan instalasi, nah
biaya instalasi itu merupakan bagian dari harga perolehan dari aset
itu. Biaya tenaga kerja di perkebunan sawit bukan merupakan biaya
rutin sampai dengan tanaman menghasilkan.” (Wawancara dengan
Andy Santoso, tanggal 1 Juni 2012)

Mulyadi (1978, hal. 7) menerangkan bahwa biaya administrasi dan umum adalah
biaya-biaya yang terjadi dalam hubungannya dengan kegiatan yang tidak dapat
diidentifikasikan dengan aktivitas produksi, contoh dari biaya administrasi dan
umum adalah gaji direksi, gaji eksekutif, biaya rapat pemegang saham,
sumbangan, dan lain-lain. Dalam PSAK 16 disebutkan pula contoh biaya-biaya
yang bukan merupakan biaya perolehan aset tetap adalah: (a) biaya pembukaan
fasilitas baru; (b) biaya pengenalan produk baru (termasuk biaya iklan dan
aktivitas promosi); (c) biaya penyelenggaraan bisnis di lokasi baru atau kelompok

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


57

pelanggan baru (termasuk biaya pelatihan staf); dan (d) administrasi dan biaya
overhead umum lainnya. Atas biaya tenaga kerja yang merupakan biaya
administrasi tidak masukan ke dalam nilai aset tetap.

Dengan demikian biaya tenaga kerja yang berhubungan langsung dengan


tanaman secara akuntansi dikapitalisasi dan tidak dibebankan sekaligus selama
tanaman belum menghasilkan. Sama dengan pendapat Tafsir Nurchamid :

“Beban kepegawaian dibebankan sebagai unsur biaya yang harus


dikapitalisir, secara accounting sendiri tidak tepat kalo tidak
dikapitalisir. Biaya yang harus dikapitalisir sampai dengan
menghasilkan. PSAK 16 sudah tepat. SAK itu dipikirkan oleh pihak
yang kompeten, independen tetapi juga memperhatikan perhitungan
biaya dan pendapatan yang tepat dan juga untuk keselamatan
perusahaan.” (Wawancara dengan Tafsir Nurchamid , tanggal 22 Mei
2012)

5.2 Analisis Dampak atas Implementasi Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 249/PMK.03/2008 Mengenai Biaya Tenaga Kerja yang Tidak
Diperbolehkan Dikapitalisasi di PT X

5.2.1 Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008


di PT X

Perlakuan aset tetap secara umum diatur dalam PSAK 16, demikian pula
untuk industri kelapa sawit dapat mengacu pada aturan ini. Aset tetap pada
perkebunan kelapa sawit dapat dianalogikan seperti suatu aset yang dibangun
sendiri (self-construction). Manajemen perlu menanam tanaman tersebut sampai
dengan mulai menghasilkan dan merawat sampai masa manfaat habis. Merujuk
pada Harahap dalam buku Akuntansi Aktiva Tetap (2002, hal.30) semua biaya
langsung yang digunakan untuk membangun suatu aktiva harus dikapitalisasi.
Harahap juga mengatakan salah satu alasan mengapa perusahaan membangun
sendiri aktiva yang dibutuhkan karena keinginan untuk mendapatkan mutu yang
lebih baik. PT X dalam penanaman tanaman dilakukan oleh karyawan sendiri,

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


58

kecuali untuk pembuatan parit, pembuatan jalan, dan lain-lain yang memerlukan
alat berat PT X menggunakan kontraktor lokal. Dengan demikian, biaya tenaga
kerja yang langsung berhubungan dengan tanaman dapat dikapitalisasi ke dalam
nilai aset. Dikatakan oleh Sylvia Veronika:

“PSAK 16 jika dikaitkan dengan self constructed asset (aset yang


dibangun sendiri) semua biaya yang terkait masuk. Misalkan kita
bangun gedung, biaya tenaga kerja, material, biaya bunga untuk
bayar pinjaman, semua masuk ke dalam total cost. Jika disamakan
dengan self constructed asset ya biaya tenaga kerja masuk ke dalam
harga perolehannya. Tenaga kerja langsung boleh masuk kedalam
harga perolehan, namun tenaga kerja yang duduk di kantoran tidak
boleh.” (Wawancara dengan Sylvia Veronika, tanggal 5 Juni 2012)

Semua pengeluaran yang diperlukan untuk menyiapkan tanaman sehingga


dapat menghasilkan oleh PT X dikapitalisasi. Sejalan dengan prinsip biaya, semua
pengeluaran yang diperlukan dalam mengakuisisi dan menyiapkan aset untuk
digunakan harus dicatat sebagai biaya aset atau dikapitalisasi (Libby, Libby, dan
Short, 2007, hal. 397), maka biaya tenaga kerja tersebut tidak dicacat sebagai
biaya dalam periode saat ini. Heri (2009, hal.142) mengungkapkan bahwa
pengeluaran modal adalah pengeluaran-pengeluaran yang tidak dibebankan
langsung sebagai beban dalam laporan laba rugi, melainkan dikapitalisasi terlebih
dahulu sebagai aktiva di neraca, karena pengeluaran ini akan memberikan manfaat
bagi penciptaan pendapatan di masa mendatang. Dengan demikian, biaya tenaga
kerja merupakan capital expenditure (Gunadi, 1997, hal. 153).

5.2.1.1 Implementasi Biaya Tenaga Kerja Sebelum Terbit Peraturan


Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 di PT X

Sebelum diterbitkannya PMK 249, PT X mengacu pada penjelasan Pasal


28 ayat (7) UU KUP, bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau
sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi
Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


59

Dengan demikian, atas biaya tenaga kerja yang dikeluarkan selama TBM oleh PT
X dikapitalisasi dalam nilai aset, yaitu tanaman kelapa sawit sampai dengan
menjadi TM. Biaya tenaga kerja yang masuk ke dalam nilai aset akan dibebankan
melalui penyusutan selama masa manfaat, sebab biaya tenaga kerja tersebut
merupakan capitalized cost. Horngren, Foster, dan Datar (1994, hal.41)
mengemukakan capitalized cost adalah biaya yang mula-mula dicatat sebagai
aktiva dan selanjutnya menjadi beban.

PT X melakukan penyusutan atas TM selama masa manfaat TM habis.


Seperti yang dikemukakan oleh Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008, hal.521)
depreciation is the accounting process of allocating process the cost of tangible
assets to expense in a systematic and rational manner to those periods expected to
benefit from the use of the asset. Penyusutan yang dilakukan dengan
menggunakan metode garis lurus. Secara komersial manajemen memutuskan
bahwa masa manfaat dari aset tersebut adalah 20 tahun. Sementara secara fiskal
diatur dalam ketentuan khusus di Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-19 /PJ.313/1991 tentang Penggolongan Harta untuk Menghitung Penyusutan
Tanaman Keras dan Ternak. Berdasarkan aturan tersebut dalam nomor 3
disebutkan dilihat dari penggolongan harta seperti diatur dalam Pasal 11 ayat (3)
UU PPh maka tanaman keras serta ternak (selain ternak potong) dapat
dimasukkan dalam penggolongan harta golongan 1, 2 atau 3 tergantung dari masa
manfaat dari tanaman keras dan ternak yang bersangkutan, maka secara fiskal atas
aset tanaman tersebut di PT X masuk ke dalam kelompok 3 yang berarti
penyusutan secara fiskal selama 16 tahun dan juga menggunakan garis lurus.

PT X dalam melakukan pembebanan atas biaya tenaga kerja, selama ini


konsisten. Ketika masa tanaman masih belum belum menghasilkan, maka atas
biaya tenaga kerja yang berhubungan langsung dengan tanaman tersebut akan
dikapitalisasi menambah nilai tanaman. Saat memasuki masa menghasilkan, atas
biaya tenaga kerja yang berhubungan langsung dengan tanaman tersebut tidak lagi
dikapitalisasi namun dibebankan sekaligus ke Harga Pokok Penjualan (untuk
selanjutnya disebut HPP). Jika kondisi dalam suatu blok terdapat tanaman yang
belum menghasilkan dan yang sudah menghasilkan, atas biaya tenaga kerja yang

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


60

berhubungan langsung dengan tanaman oleh PT X akan biayakan sesuai proporsi.


Hal ini seperti yang diutarakan oleh Markian Gunawan:

“Untuk kebun yang menghasilkan seluruhnya dibiayakan, untuk


yang belum menghasilkan dikapitalisasi ke aktiva tanaman yang
berhubungan. Kalo ada sebagian yang belum dan sudah
diproporsi.” (Wawancara dengan Markian Gunawan, tanggal 7
Mei 2012)

Pembebanan atas tenaga kerja yang dilakukan oleh PT X sudah sesuai


dengan PSAK 16 dan konsep asset self construction, yaitu biaya-biaya yang
berhubungan langsung untuk membangun suatu aset dapat dimasukan ke dalam
nilai aset. Pembebanan atas biaya tersebut akan dilakukan melalui penyusutan
selama masa manfaat.

5.2.1.2 Implementasi Biaya Tenaga Kerja Setelah Terbit Peraturan Menteri


Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 pada PT X

Setelah terbitnya PMK 249, PT X sebagai WP yang patuh pada peraturan


perundang-undangan melakukan apa yang dimaksudkan oleh peraturan tersebut.
Secara fiskal PT X tidak melakukan kapitalisasi atas biaya tenaga kerja yang
berhubungan langsung dengan tanaman yang belum menghasilkan. Berikut
rincian biaya tenaga kerja PT X disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1
Rincian Biaya Tenaga Kerja
PT X
Biaya Tenaga Kerja (miliaran rupiah)
Tahun
Kapitalisasi Administratif HPP Total

2007 7,87 0,63 0 8,50

2008 10,86 0,75 0 11,61

2009 19,78 1,08 0 20,86

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


61

2010 18,14 0,38 2,93 21,45

2011 17,51 0,29 18,88 36,68

Sumber: Diolah Peneliti

Penerapan PMK 249 dilakukan di PT X mulai di tahun 2010, padahal peraturan


tersebut berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2009. Hal ini dikarenakan PT X
tidak mengetahui adanya PMK 249. PT X mengetahui adanya PMK 249 dari
eksternal audit, sebagaimana yang dikatakan oleh Markian Gunawan:

“Saya diberitahu oleh eksternal audit.” (Wawancara dengan


Markian Gunawan, tanggal 7 Mei 2012)

Sesuai data yang terdapat dalam Tabel 5.1, diketahui bahwa PT X dalam
melakukan kapitalisasi biaya tenaga kerja tidak atas semua biaya tenaga kerja,
tetapi dipisahkan sesuai dengan pos-pos terkait. Biaya tenaga kerja dialokasikan
ke 3 pos. Pos 1 merupakan pos biaya yang dikapitalisasi, biaya-biaya yang
terdapat dalam pos ini merupakan biaya-biaya yang berhubungan langsung
dengan tanaman yang belum menghasilkan (nursery dan TBM). Pos 2 biaya
administratif, atas biaya ini pembebanannya langsung karena ini merupakan biaya
yang tidak berhubungan langsung dengan tanaman yang belum menghasilkan.
Terakhir di pos 3, ini merupakan biaya yang berhubungan langsung dengan
tanaman yang sudah menghasilkan. Dengan menerapkan PMK 249 di tahun 2010
oleh PT X maka total biaya tenaga kerja yang tidak dapat dikapitalisasi sebesar
35,92 miliar rupiah.

Telah dijelaskan di atas bahwa biaya tenaga kerja yang masuk ke dalam
pos HPP dikarenakan adanya tanaman yang sudah menghasilkan. Pada tahun
2007 – 2009 tanaman kelapa sawit yang dimiliki oleh PT X belum menghasilkan.
Laporan perkembangan tanaman kelapa sawit PT X disajikan dalam Tabel 5.2.

Tabel 5.2

Laporan Perkembangan
Tanaman Kelapa Sawit PT X

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


62

Tahun
Uraian Satuan
2007 2008 2009 2010 2011
Nursery Ha - 214 119 95 75
TBM Ha 738 3.890 7.771 6.388 6.410
TM Ha - - - 2.720 3.639
Jumlah Orang 423 482 1.532 1.818 2.475
Karyawan
Sumber: Diolah Peneliti

Laporan ini menyajikan seberapa luas lahan nursery (pembibitan), TBM, dan TM.
Selain itu, jumlah tenaga kerja yang langsung menangani hal-hal tersebut. Dari
Tabel 5.2 dapat diketahui jumlah tenaga kerja setiap tahunnya meningkat sesuai
dengan perkembangan dari tanaman kelapa sawit. TM dimulai pada tahun tanam
ke 3, yaitu tahun 2010, maka atas biaya tenaga kerja yang berhubungan langsung
dengan TM secara komersial dibebankan sekaligus sejumlah nilai yang masuk ke
dalam pos HPP.

5.2.2 Dampak Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor


249/PMK.03/2008 di PT X

Implementasi peraturan yang telah dilakukan pasti memiliki dampak, baik


positif maupun negatif. Sama dengan PMK 249 yang pasti juga memiliki dampak
bagi perusahaan bidang usaha perkebunan kelapa sawit yang menerapkan aturan
tersebut. Permasalahan yang timbul dari pengimplementasian PMK 249 adalah
biaya tenaga kerja tidak boleh dikapitalisasi. Kondisi yang terjadi baik perusahaan
swasta maupun perusahaan yang dimiliki negara (BUMN) dalam bidang
perkebunan kelapa sawit adalah mengkapitalisasi biaya tenaga kerja yang
berhubungan langsung dengan tanaman yang belum menghasilkan. Setelah
tanaman menghasilkan biaya tenaga kerja yang berhubungan langsung tersebut
akan langsung dibebankan pada tahun terjadinya.

PT X merupakan perusahaan dibidang perkebunan kelapa sawit yang berdiri


di tahun 2006. Tahun tanam pertama PT X dilakukan di 2008. Sesuai laporan
perkembangan tanaman kelapa sawit PT X pada Tabel 5.2, di tahun 2010 yang

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


63

merupakan tahun tanam ke 3 tanaman kelapa sawit mulai menghasilkan. Dengan


keadaan demikian dampak terhadap laporan keuangan PT X adalah rugi. Keadaan
posisi keuangan PT X sebelum pajak disajikan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3

Posisi Keuangan PT X

Tahun Nilai laba / rugi miliaran


rupiah
2007 (4,950)
2008 (29,254)
2009 37,611
2010 (10,720)
2011 (56,572)
Sumber: Diolah Peneliti

Dari Tabel 5.3 dapat diketahui posisi keuangan PT X sebelum pajak dalam
keadaan rugi, meskipun pada tahun 2009 posisi keuangan PT X mengalami laba.
Laba tersebut diakibatkan adanya keuntungan selisih kurs sebesar 40, 057 miliar
rupiah bukan berasal dari kegiatan pokok perusahaan. Di tahun 2010 dan 2011
posisi keuangan kembali dalam keadaan rugi dikarenakan penjualan di tahun
tersebut belum signifikan, meskipun tahun 2010 dan 2011 tanaman sudah
menghasilkan namun buah dari tanaman tersebut belum dapat diolah. Seperti yang
dikemukakan oleh Pardamean buah yang pertama keluar masih dinyatakan
sebagai buah pasir, artinya buah tersebut belum dapat diolah di pabrik kelapa
sawit (PKS) karena kandungan minyaknya masih rendah (Pardamean, 2011, hal.
90). Selain itu, biaya-biaya atas tanaman yang sudah menghasilkan dibebankan
sekaligus masuk ke dalam pos HPP dan tidak dikapitalisasi.

5.2.2.1 Kerugian Fiskal Semakin Besar

Dampak pertama dari pengimplementasian PMK 249 di PT X adalah


membuat rugi fiskal PT X semakin besar. Sesuai dengan penjelasan di atas pada
Tabel 5.3 dan penjabaran, PT X mengalami rugi. Biaya atas tenaga kerja yang
berhubungan langsung dengan tanaman dibebankan sekaligus mengakibatkan
kerugian PT X bertambah besar. Seperti dikatakan oleh Andy Santoso:

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


64

“Jika posisi keuangan rugi, kemudian atas biaya tenaga kerja


dibebankan maka rugi akan semakin besar.” (Wawancara dengan
Andy Santoso, tanggal 1 Juni 2012)

Berikut ilustrasi kerugian PT X secara fiskal semakin besar (dalam miliaran


rupiah:

Tahun 2010

Rugi komersial (10,720)

Koreksi fiskal:

Biaya tenaga kerja dibebankan sekaligus (18,14 )

Rugi fiskal (28,860)

Tahun 2011

Rugi komersial (56,572)

Koreksi fiskal:

Biaya tenaga kerja dibebankan sekaligus (17,51 )

Rugi fiskal (74,082)

Dikaitkan dengan matching principle, penerapan PMK 249 tidak sesuai


dengan prinsip tersebut, sebab matching principle melihat kecocokan antara biaya
yang terjadi pada suatu periode dengan penghasilan yang dihasilkan pada periode.
Herist (2011, hal. 26) menyatakan bahwa all expenses directly associated with the
production of the reported revenue must be reported within the same period on
the income statement. Revenue is then realized when it is earned and the sale has
been completed or a service has been provided. Accordingly, all of the expenses
necessary to get the product into sale condition, or for service to be completely
provided, must be matched to this realized revenue in order to obtain the correct
profit from the transaction. Biaya tenaga kerja yang berhubungan langsung
dengan tanaman dibebankan sekaligus mengakibatkan pendapatan di masa yang

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


65

akan datang tidak cocok dengan biaya pada tahun terjadinya penghasilan. Biaya
harus dibebankan sesuai dengan pengakuan dan periode penghasilan (Riahi dan
Belakoui, 2011, hal 244).

Seperti disampaikan oleh Markian Gunawan:

“Dalam hal kesesuaian antara pendapatan dan biaya. Dengan


standar akuntansi yang berlaku umum dan yang sangat
berhubungan adalah PSAK 16, maka sebenarnya WP itu
melakukan konsistensi antara pendapatan yang dihasilkan dengan
bebannya. Kalo untuk biaya yang berhubungan dengan tenaga
kerja, biaya gaji yang berhubungan dengan aktiva untuk tanaman
yang belum menghasilkan itu konsisten harus dikapitalisasi karena
juga belum ada penghasilannya. Dan ketika aktiva tanaman itu
mulai menghasilkan maka, biaya tenaga kerja itu dibiayakan
ditambah biaya depresiasi yang tadi dikapitalisasi sebelumnya,
justru kalo engga dikapitalisasi atau dibiayakan langsung tidak
ada kesesuaian antara pendapatan dengan biaya gitu.”
(Wawancara dengan Markian Gunawan, tanggal 7 Mei 2012)

Sama seperti yang diutarakan oleh Tafsir Nurchamid:

“Secara pajak tidak tepat. Pengenaan pajak itu harus obyeknya


ada, tapi pertemuan biaya dan pendapatan itu dipotong-potong
demikian mengakibatkan yang obyeknya belum tentu ada
dikenakan pajak. Harus matching cost againts revenue adalah
yang pas. Biaya yang harus dikapitalisir sampai dengan
menghasilkan, mau rugi atau laba itu urusan lain. Secara hukum
tidak salah, biaya boleh dibebankan asal immaterial, yang paling
tepat adalah dikapitalisir sampai dengan menghasilkan.Tidak
boleh biaya berjalan pendapatan belum masuk. Mempertemukan
pendapatan dan biaya dalam accounting dikenal dengan konsep
matching cost itu harus jalan. Tidak boleh biaya dicatat tapi
pendapat belum ada. Jadi dari pajak pun nggak tepat itu bisa
mematikan, malah obyek pajak yang bisa jangka panjang menjadi
lebih pendek.” (Wawancara dengan Tafsir Nurchamid , tanggal 22
Mei 2012)

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


66

Biaya tenaga kerja yang tidak dapat dikapitalisasi oleh PT X masing-masing


untuk tahun 2010 dan 2011 sebesar 18,14 miliar dan 17,51 miliar. Menurut
pendapat Tafsir Nurchamid atas nilai tersebut yang paling tepat adalah
dikapitalisasi sampai dengan menghasilkan.

5.2.2.2 Timing Difference Menjadi Permanent Difference

Dampak adanya perubahan dari timing difference menjadi permanent


difference merupakan akibat dari dampak kerugian fiskal yang membesar.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU PPh Jika pengeluaran-pengeluaran yang
diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari
penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai
sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut. Jika rugi
fiskal tidak dapat dimanfaatkan atau digunakan selama 5 tahun berturut-turut
maka, secara fiskal kerugian tersebut tidak dapat mengurangi laba bersih fiskal.

Melihat karakteristik dari tanaman kelapa sawit atas tanaman yang


menghasilkan pada tahun 2010 dan 2011 belum dapat memberikan hasil yang
maksimal. Sekitar mulai tahun tanam ke 7 tanaman menghasilkan tersebut akan
mulai terlihat memberikan hasil lebih maksimal. Seperti telah diuraikan di bab 1
bahwa luas lahan PT X sampai dengan 31 Desember 2011 adalah 10.796, 66 ha,
total luas 10.049, 29 ha merupakan lahan yang sudah ditanami, sedangkan sisa
seluas 747, 38 ha belum ditanami, maka tidak dapat diseragamkan pada tahun
tanam ke 7 atas semua lahan tersebut menghasilkan. Dengan demikian PT X akan
kehilangan tax loss carry forward. Seperti dituturkan oleh Markian Gunawan atas
dampak dari penerapan PMK 249:

“Secara jangka pendek mungkin tidak banyak, secara jangka


panjang ada. PMK membebankan secara langsung artinya WP
hanya diberikan kesempatan dalam 5 tahun untuk menggunakan
kerugiannya tersebut akibat dari biaya yang dibebankan sekaligus
tadi. Praktis untuk industri kelapa sawit yang jangka menengah
dan jangka panjang waktu 5 tahun itu tidak berarti. Karena

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


67

sebetulnya BEP itu terjadi pada tahun ke 7. Dengan dibiayakan


langsung, artinya kesempatan untuk menggunakan kerugian pajak
itu bisa terlewati karena batasnya 5 tahun. Apakah itu menjadi
tujuan dari PMK 249 saya ngga tahu. Itu salah satu yang
mendorong usaha tidak kondusif.” (Wawancara dengan Markian
Gunawan, tanggal 7 Mei 2012)

Andy Santoso pun berpendapat sama dengan Markian Gunawan, bahwa kerugian
dari perusahaan yang memiliki tax loss besar kemungkinan tidak dapat
menggunakan atau memanfaatkan kompensasi rugi fiskal.

Christine juga berpendapat mengenai dampak implementasi PMK 249:

“Terjadi timing missed match antara expense sama revenuenya. Itu


risiko sisi negatif bagi perusahaan. Beban sudah diakui terlebih
dahulu dan tidak bisa dibawa ke depan, sementara revenue
diakui.” (Wawancara dengan Christine, tanggal 29 Mei 2012)

Hal yang sama diutarakan oleh Tafsir Nurchamid:

“Ada rugi akibat kompensasi kerugian yang tidak bisa di carry


forward ke tahun berikutnya, itu secara accounting dibuang ke
laba rugi. Pasti ga diakui oleh pajak. Berubah dari timing
difference jadi permanent difference.” (Wawancara dengan Tafsir
Nurchamid, tanggal 22 Mei 2012)

Konsep penghasilan, untuk tujuan pajak seperti yang dikatakan Gunadi


(2005, hal 148) dapat berbeda dari konsep penghasilan pada akuntansi komersial,
karena perpajakan umumnya berkaitan dengan ketersedian uang untuk membayar
pajak (wherewithal to pay), kemudahan, penagihan pajak, kepastian, keadilan
vertikal dan horizontal serta dapat dipakai sebagai suatu instrumen kebijakan
ekonomi dan sosial dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dalam pengenaan
pajak dikenal konsep ability to pay principle, Goode dalam Holmes menyatakan
bahwa the belief that the individual tax is the fairnest of all taxes arises from
conviction that it accords best with ability to pay. Net income is a measure of a

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


68

person’s capacity to command economic resource, and, intuitively, it seems to be


a good indicator of ability to help finance government. (Holmes, 2001, hal. 21).

Merujuk pada Goode dalam Holmes cara terbaik dalam pengenaan pajak
adalah dengan melihat kemampuan membayar seseorang atau badan, dari laba
bersih yang merupakan indikator yang baik dalam penentuan pengenaan pajak.

Penerapan PMK 249 di perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan konsep


ini, diilustrasikan sebagai berikut:

Asumsi rugi fiskal tahun ke-1sampai dengan tahun ke-6 masing-masing 1.000

Tahun tanam ke 7

Komersial

Pendapatan 10.000

HPP (2.500)

Laba kotor 7.500

Biaya Administrasi (5.000)

Depresiasi TM (2.500)

Laba bersih 0

Laba bersih menunjukkan kondisi break even point (untuk selanjutnya disebut
BEP). Alim (2011, hal.28) mengatakan bahwa kondisi BEP terjadi jika total
revenue sama dengan total cost, dalam terminologi ekonomi hal ini disebut laba
normal.

Pajak

Pendapatan 10.000

HPP (2.500)

Laba kotor 7.500

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


69

Biaya Administrasi (5.000)

Depresiasi TM 0

Laba bersih 2.500

Kompensasi kerugian:

- Tahun Tanam 2 (1.000)

- Tahun Tanam 3 (1.000)

- Tahun Tanam 4 (500)

Penghasilan Kena Pajak 0

Tahun tanam ke 8

Komersial

Pendapatan 20.000

HPP ( 5.000)

Laba kotor 15.000

Biaya Administrasi ( 5.000)

Depresiasi TM ( 5.000)

Laba bersih 5.000

Penghasilan Kena Pajak 5.000

Pajak
Pendapatan 20.000
HPP (5.000)
Laba kotor 15.000
Biaya Administrasi (5.000)
Depresiasi TM 0
Laba bersih 10.000

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


70

Kompensasi kerugian:

- Tahun Tanam 4 (500)

- Tahun Tanam 5 (1.000)

- Tahun Tanam 6 (1.000)

Penghasilan Kena Pajak 7.500

Dari ilustrasi di ambil tahun tanam ke 7, karena posisi keuangan tahun berjalan
tersebut adalah impas atau BEP, seperti yang dikatakan oleh Markian Gunawan di
atas. Iksan menambahkan:

“Perusahaan mulai mencapai posisi Break Even Point itu pas


tahun tanam ke 7 secara komersial, artinya pada tahun tanam ke 7
total pendapatan = total beban.” (Wawancara dengan Iksan,
tanggal 31 Mei 2012)

Secara fiskal tahun tanam 7 perusahaan tidak membayar pajak karena laba
bersihnya sudah dipakai untuk kompensasi kerugian selama tahun awal. Lewis
(1984, hal.110) mengatakana the basic principle in the carry over of losses from
one taxable period to another is that the tax accounting period is, to some extent,
arbitrary, and some from of averaging is necessary if income is to be defined in a
consistent way among individuals and firms over a period longer than one tax
accounting period. Loss carry over to other tax periods is allowed to avoid
discriminating againts risk-taking on the part of firms; This is particulary
important to new ventures and to new industries: risks of losses in early years are
higher in new ventures than in expanding operations of established enterprises.
Kerugian fiskal diperbolehkan untuk menjadi pengurang penghasilan neto fiskal.
Seperti dikatakan Lewis di atas, kerugian fiskal dapat dibawa sampai dengan batas
tertentu, kerugian pada tahun tanam pertama tidak dapat dikompensasikan karena
sudah melewati batas kompensasi rugi yaitu 5 tahun, hal inilah yang merupakan
perubahan dari timing difference menjadi permanent difference atau terjadi
missed match.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


71

Melihat ilustrasi pada tahun tanam ke 8 di atas, PMK 249 tidak


mencerminkan konsep ability to pay. Keadaan sebenarnya, perusahaan mampu
membayar pajak dengan dasar pengenaan 5.000 bukan 7.500.

5.2.2.3 Lain-lain

Secara umum, pengimplementasian PMK 249 pada perkebunan kelapa


sawit sangatlah merugikan. Sebab industri ini merupakan industri yang padat
karya. Industri perkebunan kelapa sawit diharapkan dapat menjadi salah satu
ujung tombak bagi kerangka dasar pembangunan Indonesia menyondong era
globalisasi dan pasar bebas pasca 2020 seperti yang dinyatakan dalam program
ekonomi yang pro-pertumbuhan, pro-orang kecil, dan pro kesempatan kerja milik
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akibat tahun 2005 persentase kontribusi
sektor pertanian terhadap Gross Domestic Product (GDP) Indonesia semakin
menurun (Pahan, 2008, hal.1). Senada dengan penuturan Markian Gunawan:

“Menurut hemat saya bicara yang lebih luas pemerintah harusnya


bukan saja kelapa sawit, pemerintah harus mendorong riil sector
yang akan membawa manfaat GDP yang pada akhirnya akan
membawa manfaat tingkat kemakmuran rakyat itu secara
berimbang. Saya setuju jika pemerintah harus mengeluarkan
aturan-aturan yang memperoleh manfaat untuk banyak stakeholder
banyak pihak bukan sebaliknya dalam hal ini, PMK 249 tidak
sejalan tidak sesuai usaha pemerintah untuk meningkatkan GDP.”
(Wawancara dengan Markian Gunawan, tanggal 7 Mei 2012)

Dikemukakan oleh Tafsir Nurchamid, dampak implementasi PMK 249 pada


industri perkebunan kelapa sawit:

“Akibatnya adalah dengan diterapkannya PMK 249, maka


akibatnya yang. perkembangan perusahaan menjadi lambat,
penyerapan tenaga kerja lambat, harga cenderung naik, yang
mengakibatkan harga menjadi tidak kompetitif. Kemungkinan
perusahaan akan melakukan pelanggaran-pelanggaran,seperti
memasukan biaya gaji ke dalam akun yang bisa dikapitalisir misal
sewa traktor, atas sewa traktor kan bisa dikapitalisir. Agak

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


72

ekstreme yaitu perusahaan berpikir jangan pakai tenaga manusia,


pakai alat-alat yang canggih.” (Wawancara dengan Tafsir
Nurchamid, tanggal 22 Mei 2012)

Berdasarkan penjelasan dari Tafsir Nurchamid, dampak lain dari


implementasi PMK 249, antara lain:

1. Perkembangan perusahaan menjadi lambat, yang mengakibatkan


penyerapan tenaga kerja lambat, harga cenderung naik sehingga harga
menjadi tidak kompetitif.

Pembebanan biaya tenaga kerja sekaligus, secara accounting akan masuk


ke dalam komponen HPP, semakin tinggi HPP maka semakin kecil laba
yang diperoleh. Dengan laba yang kecil kemungkinan perusahaan tidak
dapat berkembang sehingga tidak ada pembukaan lapangan pekerjaan.
Agar mendapatkan laba yang diinginkan maka harga jual akan dinaikkan.
Efek dari kenaikan harga jual, perusahaan tidak dapat bersaing secara
kompetitif.

2. Perusahaan kemungkinan akan melakukan tax evasion, seperti:


memasukan biaya gaji ke dalam akun yang bisa dikapitalisasi, misal sewa
traktor;

3. Secara ekstreme perusahaan akan lebih menggunakan tenaga mesin dari


pada tenaga manusia.

5.3 Analisis Solusi yang Dapat Dilakukan oleh PT X untuk Mengantisipasi


Dampak Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor
249/PMK.03/2008

5.3.1 Pengendalian Biaya Tenaga Kerja

Pengendalian biaya tenaga kerja yang dimaksudkan disini adalah bukan


dengan cara membatasi produktivitas tetapi dengan lebih kepada pengawasan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


73

kerja seorang pekerja. Pengendalian biaya buruh diawali dengan suatu skedul
perencanaan bekerja, yaitu dimana lahan yang akan ditanami, berapa luas lahan,
berapa tenaga kerja yang diperlukan. Jadi dengan menyusun skedul, diharapkan
hal-hal yang berhubungan dengan proses tanam menjadi lebih terarah dan tidak
terganggu karena kelebihan atau kekurangan sesuatu hal.

Memaksimalkan fungsi departemen personalia, yaitu menangani


sumberdaya-sumberdaya manusia dalam organisasi perusahaan, mencakup
prosedur penerimaan pegawai baru, program pendidikan/latihan, penyusunan
tugas (job description), evaluasi dan telaah waktu dan gerak. Pemberian perhatian
yang lebih pada pekerja akan memberikan hal yang positif bagi pekerja. Perhatian
bisa diberikan misal dengan pelatihan. Seseorang yang telah terlatih maka load
pekerjaan bisa ditambah sehingga tidak memerlukan banyak tenaga kerja, namun
tetap diperhitungkan dalam upah pekerja tersebut.

Perhitungan dan pembuatan daftar upah serta distribusi beban upah. Daftar
upah disusun berdasarkan kartu hadir. Perhitungan upah yang telah selesai dapat
dicatat pada suatu buku harian pembayaran upah. Catatan tersebut harus
menunjukkan penghasilan total, potongan upah dan upah bersih. Diperlukan pula
diselenggarakan catatan mengenai penghasilan dan potongan upah masing-masing
karyawan. Selain itu dalam catatan harus bisa menunjukkan pekerjaan dan jenis
upah buruh langsung dan tidak langsung agar bisa dapat didistribusikan dengan
jelas. Di PT X sendiri dilakukan melalui sistem Lintramax, jadi dapat dengan
mudah diketahui penyebaran biaya tersebut. Namun, tetap catatan tersebut
diperlukan sebagai alat cross check dengan sistem.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


74

BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka simpulan yang diperoleh peneliti antara lain:

1. Biaya tenaga kerja baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung
dengan tanaman tidak diperbolehkan dikapitalisasi atau dibebankan
sekaligus di perkebunan kelapa sawit dikarenakan secara pajak dianggap
sebagai biaya yang bersifat rutin sesuai dengan ketentuan umum dan untuk
kepraktisan dalam pemeriksaan pajak. Berbeda dengan akuntansi pengakuan
biaya tenaga kerja yang berhubungan langsung dengan tanaman yang belum
menghasilkan dikapitalisasi ke dalam nilai tanaman sampai dengan tanaman
menghasilkan dan dibebankan melalui penyusutan, sesuai dengan konsep
self construction, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset
tetap sehingga dapat dipergunakan dikapitalisasi.
2. Dampak dari implementasi PMK 249 bagi PT X adalah menyebabkan
kerugian fiskal yang semakin besar, hal ini menyebabkan tidak adanya
kecocokan antara biaya yang dikeluarkan dengan pendapatan yang
diperoleh, atau dengan kata lain tidak sesuai dengan konsep matching cost
againts revenue. Selain itu juga, terjadi perubahan perbedaan pengakuan
rugi fiskal dari timing difference ke permanent difference yaitu atas rugi
fiskal di tahun awal tidak dapat di carry forward sebab melebihi batas
waktu 5 tahun, dengan demikian ability to pay PT X tidak sesuai dengan
keadaan sebenarnya.
3. Cara efektif yang dapat dilakukan oleh PT X untuk mengantisipasi dampak
dari implementasi PMK 249, melakukan antisipasi dengan cara
pengendalian tenaga kerja .

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


75

6.2 Saran
Melalui penelitian ini, saran yang dapat penulis berikan, antara lain:
1. Bagi Direktorat Jenderal Pajak selaku pembuat kebijakan, agar dalam
membuat suatu kebijakan dilakukan survei pada bidang yang akan
ditetapkan kebijakan, bahkan perlu untuk mengundang pihak yang ahli
dalam kebijakan tersebut, sehingga kebijakan yang diputuskan dapat tepat
sasaran. Selain itu, untuk tingkatan implementasi sangat diperlukan
peningkatan komunikasi secara langsung oleh pihak yang ahli, agar tepat
pada sasaran.
2. Bagi PT X, harus diperhatikan secara mendalam mengenai alokasi
pembebanan biaya tenaga kerja. Serta, segala pencatatan didasarkan pada
aturan yang berlaku serta dokumentasi dilakukan secara lengkap dan jelas.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


76

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Alim, Moch. Rum. Dasar-Dasar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Ind Hill Co. 2011.

Bustami, Bastian dan Nurlela. Akuntansi Biaya: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
Graha Ilmu. 2006.

Creswell, John W. Research Design Qualitative & Quantitative Approaches. Terj.


Oleh Angkatan III & IV KIK – UI . Jakarta: KIK Press. 2002.

Gans, Joshua., Stephen King dan M. Gregory Mankiw. Principles of


Macroeconomics. Australia: Cengange Learning. 2011.

Godfrey et.al. Accounting Theory 7th Edition. Australia: John Wiley & Sons, Ltd.
2010.

Gunadi. Akuntansi Pajak Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Baru. Jakarta:


Grasindo. 1997.

______. Akuntansi Pajak. Jakarta: Grasindo. 2005.

Harahap, Sofyan Syafri. Akuntansi Aktiva Tetap Akuntansi, Pajak, Revaluasi,


Leasing. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002.

Hartanto, Heri. Sukses Besar Budidaya Kelapa Sawit. Yogyakarta: Citra Media
Publishing. 2011.

Herist, Keith N., Brent L. Rollins and Matthew Perri. Financial Analysis in
Pharmacy Practice. Pharmaceutical Press. 2011.

Hery. Teori Akuntansi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2009.

Holmes, Kevin. The Concept of Income A Multi-Disciplinary Analysis. The


Netherlands: IBFD. 2001.

Horngren, Charles T., George Foster dan Srikant M. Datar. Akuntansi Biaya
dengan Penekanan Manajerial Edisi Kedelapan Edisi Indonesia. Jakarta:
Salemba Empat. 1994.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan 1 Jenis, Fungsi, dan Materi


Muatan. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

Kieso, Donald E., Jerry J. Weygandt and Terry D. Warfield. Intermediate


Accounting 12th Edition. Canada: John Wiley & Sons Inc. 2008.
Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


77

________, Jerry J. Weygandt dan Terry D. Warfield. Akuntansi Intermediate


Edisi 12 Jilid 2. Jakarta: Erlangga. 2009.

Libby, Robert., Praticia A. Libby dan Daniel G. Short. Akuntansi Keuangan.


Yogyakarta: Andi. 2008.

Mansury. The Indonesian Income Tax A Case Study in Tax Reform of A


Developing Country. Singapore: Asian-Pacific Tax and Investment
Research Centre. 1992

_______. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Ind-Hill Co. 1996.

Marshall, Catherine. Gretchen B. Rossman. Designing Qualitative Research.


United States of America: Sage Publications, Inc. 1989.

Maslove, Allan M. The Economic and Social Environment for Tax Reform.
England: Pearson Education Limited. 2000.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.2005.

Mulyadi. Akuntansi Biaya Penentuan Harga Pokok dan Pengendalian Biaya.


Yogyakarta: Program Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan Fakultas
Ekonomi Universitas Gadjah Mada. 1978.

Neuman, W. Laurance. Social Research Method (Qualitative and Quantitative


Approach) Sixth Edition. United States of America: Pearson Education Inc.
2006.

Pahan, Iyung. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir. Depok: Penebar Swadaya. 2008.

Pardamean, Maruli. Sukses Membuka Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit. Depok:
Penebar Swadaya. 2011.

Putong, Iskandar. Economics:Pengantar Mikro dan Makro. Jakarta: Mitra


Wacana Media. 2010.

Riahi, Ahmad dan Belkaoui. Teori Akuntansi Edisi 5 Buku 1. Jakarta: Salemba
Empat. 2011.

Reksohadiprodjo, Sukanto. Akuntansi Management Perkebunan Edisi Revisi.


Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. 1982.

Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. Pengantar Ilmu Pajak Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2012.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


78

Somarso, S.R. Perpajakan:Pendekatan komprehensif. Jakarta: Salemba Empat.


2007.

Usry, Milton F., Adolph Matz. Akuntansi Biaya Perencanaan dan Pengendalian
Jilid 1 Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga. 1986.

Weygandt, Jerry J., Donald E. Kieso and Paul D. Kimmel. Accounting Principles
5th Edition. Canada: John Wiley & Sons Inc. 1998.

Karya Ilmiah:

Hlaciuc, Elena., Camelia Mihalciuc and Eugenia Iancu. “Recognition of The


Biological Assets According to The IAS-41-Agriculture.” Bulletin UASVM,
Horticulture 65:2 (2008): 186-191.

Riyadi, Deden. 2010. Analisis Nilai Wajar Tanaman Kelapa Sawit Berdasarkan
International Accounting Standard 41 Agriculture Dibandingkan dengan
Berdasarkan Penyataan Standar Akuntansi Keuangan 16 Aset Tetap Studi
pada PT Agro Indonesia. Fakultas Ekonomi (tidak diterbitkan).

Subagyo. 2002. Implikasi Perubahan Ketentuan Perpajakan tentang Harta


Berwujud dan Penyusutan Perpajakan harta Berwujud dan Penyusutan
Terhadap Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal
(Suatu Studi Perbandingan antara Ketentuan Perpajakan dengan Standar
Akuntan Keuangan). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (tidak
diterbitkan).

Peraturan:

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan


Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
133.

Republik Indonesia, Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007


tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4740.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


79

Direktorat Jenderal Pajak, Surat Edaran Nomor SE-38/PJ.22/1987 tentang


Penyusutan atas Harta Berwujud berupa Tanaman Keras dan
Penghitungan Penyesuaiannya (Revaluasinya) berdasarkan Peraturan
Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 1986.

Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor


249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran untuk Memperoleh
Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha
Tertentu.

Ikatan Akuntan Indonesia. Standar Akuntansi Keuangan Per 1 Juli 2009. Jakarta:
Salemba 4.

Badan Pengawas Pasar Modal, Surat Edaran Ketua Nomor SE-02/PM/2002


tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten
atau Perusahaan Publik Industri Perkebunan.

PT Perkebunan Nusantara I-XIV (persero) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia.


Pedoman Akuntansi BUMN Perkebunan Berbasis IFRS.

Sumber lainnya:

Ketenagakerjaan. http://repository.usu.ac.id. Diunduh pada tanggal 03 Maret


2012. Pukul 14:17.
Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Seluruh Indonesia.
http://ditjenbun.deptan.go.id. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2012. Pukul
16:16.
Palm Oil Green Development Campaign. Manfaat Minyak Sawit bagi
Perekonomian Indonesia. Laporan World Growth Februari 2011.

Pertumbuhan Produksi Minyak Sawit Indonesia 1964-2007.


http://strategika.wordpress.com. Diunduh pada tanggal 17 Maret 2012.
Pukul 15:25.

Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia. http://ditjenbun.deptan.go.id.


Diunduh pada tanggal 18 Maret 2012. Pukul 16:11.

Menteri Pertanian: Peranan Perkebunan Tetap Penting.


http://ditjenbun.deptan.go.id. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2012. Pukul
16:05.
Ayon Suherman & Rekan. Laporan Final Studi Kelayakan Pembangunan Pabrik
Kelapa Sawit, Tangki Timbun & Dermaga PT X. Jakarta. 2011.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


80

LAMPIRAN 1

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 19/PJ.313/1991

TENTANG

PENGGOLONGAN HARTA UNTUK MENGHITUNG PENYUSUTAN TANAMAN


KERAS DAN TERNAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Berhubung masih banyaknya pertanyaan yang menyangkut masalah Penggolongan harta


untuk menghitung penyusutan tanaman keras dan ternak serta untuk menghindari keragu-
raguan dan terjadinya perbedaan penafsiran atas ketentuan/peraturan yang berlaku, maka
perlu diberikan penjelasan sebagai berikut :
1. Ketentuan yang mengatur tentang Penyusutan dan Amortisasi secara Umum
diatur dalam :
1.1.Pasal 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983;

1.2.Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985;

1.3.Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 961/KMK.04/1983 Tanggal


31 Desember 1983 yang kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor: 826/KMK.04/1984 Tanggal 9 Agustus 1984.

2. Pada prinsipnya, penggolongan harta sebagai dasar untuk menghitung


Penyusutan atau Amortisasi didasarkan atas masa manfaat atau umur ekonomis
harta yang bersangkutan.
Mengenai pedoman penggolongan harta untuk menghitung penyusutan tanaman
keras maupun ternak, memang belum diberikan pengaturan khusus baik pada
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 maupun pada Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 1985 serta pada Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor
: 961/KMK.04/1983 dan Nomor : 826/KMK.04/1984.
3. Dilihat dari penggolongan harta seperti diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 maka tanaman keras serta ternak (selain ternak
potong) dapat dimasukkan dalam penggolongan harta Golongan 1, 2 atau 3
tergantung dari masa manfaat dari tanaman keras dan ternak yang bersangkutan.
4. Sesuai dengan Penjelasan Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 1985 serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-
38/PJ.22/1987 Tanggal 20 November 1987, penyusutan dapat dimulai pada tahun
pengeluaran, tetapi dapat juga dimulai pada tahun pertama tanaman keras atau
ternak tersebut mulai menghasilkan dengan syarat harus mendapatkan
persetujuan Direktorat Jenderal Pajak.
Demikian untuk dilaksanakan.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


ttd

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


81

Drs. MAR'IE MUHAMMAD


Lampiran 2

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 249/PMK.03/2008

TENTANG

PENYUSUTAN ATAS PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH HARTA


BERWUJUD
YANG DIMILIKI DAN DIGUNAKAN DALAM BIDANG USAHA TERTENTU

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (7) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud yang
Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893)
2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYUSUTAN ATAS


PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH HARTA BERWUJUD YANG DIMILIKI
DAN DIGUNAKAN DALAM BIDANG USAHA TERTENTU.

Pasal 1

(1) Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang usaha tertentu dapat melakukan penyusutan
atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dalam bagian-bagian yang sama
besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


82

(2) Bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan
setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun.
b. bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang
tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah
ditanam lebih dari 1 (satu) tahun.
c. bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat
berproduksi berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sekurang-
kurangnya 1 (satu) tahun.

(3) Harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa aktiva tetap yang
dimiliki dan digunakan serta merupakan komoditas pokok dalam bidang usaha
tertentu, yaitu :

a. bidang usaha kehutanan, meliputi tanaman kehutanan, kayu;


b. bidang usaha industri perkebunan tanaman keras meliputi tanaman keras;
c. bidang usaha peternakan meliputi ternak, termasuk ternak sapi pejantan.

(4) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dimulai pada bulan produksi komersial.

(5) Bulan produksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah bulan dimana
penjualan mulai dilakukan.

Pasal 2

(1) Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
termasuk biaya pembelian bibit, biaya untuk membesarkan dan memelihara bibit.

(2) tidak termasuk sebagai pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah biaya
yang berhubungan dengan tenaga kerja.

Pasal 3

Dalam hal harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dijual, maka harga jual
merupakan penghasilan dan nilai sisa buku merupakan kerugian.

Pasal 4

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,
ttd.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


83

SRI MULYANI INDRAWATI

Lampiran 3

HASIL WAWANCARA

Transkip Wawancara dengan Subdit PPh Badan Peraturan Perpajakan II


Direktorat Jenderal Pajak

Nama : Bapak Arief Santoso dan Bapak Hendra


Tanggal dan Waktu : 24 Mei 2012, pukul 09.30
Tempat :Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak
Lt.11

Hasil Wawancara :
Pertanyaan (P) : Apa dasar pertimbangan diterbitkannya PMK Nomor
249/PMK.03/2008 ?
Jawaban (J) : Dalam UU PPh Pasal 11 ayat (7) dinyatakan bahwa atas
penyusutan harta berwujud yang dimiliki atau digunakan dalam bidang usaha
tertentu diatur dalam peraturan menteri keuangan, jadi ini memang mengatur
penyusutan usaha di bidang tertentu. Bisa dilihat di bagian konsideran
menimbang. Jadi, PMK 249 diterbitkan untuk melaksanakan Pasal 11 ayat (7) UU
PPh.
P: Dalam peraturan tersebut dikhususkan hanya untuk bidang usaha kehutanan,
perkebunan tanaman keras, dan peternakan. Mengapa demikian?
J: Karena memang sifatnya khusus. Perkebunan kelapa sawit ngga bisa disamakan
dengan aktiva tetap. Tapi perlu ada penyusutan maka perlu diatur khusus. Dalam
penjelasan Pasal 11 ayat (7) disebut usaha tertentu itu misalnya perkebunan
tanaman keras, kehutanan, dan peternakan. Jadi PMK 249 dibuat sesuai dengan
itu. Namun demikian, jika nanti ada bidang usaha tertentu lainnya yang perlu
diatur khusus sesuai dengan karakteristik usaha dimaksud, tentunya PMK 249
bisa diubah.
P: Mengapa atas biaya gaji terkait dengan bidang usaha kehutanan, perkebunan
tanaman keras, dan peternakan tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan
sekaligus berdasarkan pasal 2 ayat (2) PMK Nomor 249/PMK.03/2008?

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


84

J: Terkait dengan biaya tenaga kerjanya, sulit dipisahkan antara mana yang benar-
benar khusus untuk petani yang mengurusi tanaman sawit dengan pekerjaan lain.
Maka dibuat mudah dengan dibebankan sekaligus. Selain itu juga, kan harus
diperhatikan juga ketentuan umumnya. Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) sudah
dijelaskan bahwa pembebanan biaya dibagi 2 yaitu mempunyai masa manfaat
tidak lebih dari 1 tahun dan lebih dari 1 tahun (melalui penyusutan atau
amortisasi). Untuk biaya gaji termasuk dalam biaya yang mempunyai masa
manfaat tidak lebih dari 1 tahun, sehingga harus dibebankan di tahun pengeluaran.
Untuk tambahan bisa juga dilihat di penjelasan Pasal 11A ayat (6). Kapitalisasi
biaya tidak diperkenankan untuk biaya operasional yang bersifat rutin seperti gaji.
P: Potensi apa yang dilihat oleh pemerintah dari tidak diperkenankannya
pengkapitalisasian biaya tenaga kerja ?
J: Sebenarnya tidak melihat keuntungan atau kerugiannya, tapi lebih dari sifat
biaya tersebut. Tapi kalau mau dicari-cari ya bisa dari masalah kompensasi
kerugian yang hanya 5 tahun.
P: Bagaimana perlakuan perbedaan pembebanan biaya gaji antara perpajakan
dengan Standar Akuntansi Keuangan (PSAKNo. 16) ?
J: Yang jelas, perpajakan melihat biaya gaji tetap diperkenankan untuk
dibebankan (3M), yang mengatur pembebanannya tidak bisa dikapitalisasi.Kalau
SAK mengatur lain, itu masalah beda waktu saja.
P: Apakah ada pihak lain yang terlibat dalam perumusan PMK Nomor
249/PMK.03/2008 ? Sejauh mana pihak lain tersebut terlibat?
J: Untuk penyusunan peraturan apalagi yang menyangkut instansi lain tentu
melibatkan instansi terkait. Kalau tidak salah, untuk tanaman keras --> Ditjen
Perkebunan, kehutanan --> Kementerian Kehutanan, peternakan --> Ditjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
P: Bagaimana proses komunikasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Fiskus
dalam penyosialisasian PMK Nomor 249/PMK.03/2008?
J: Sosialisasi peraturan baru pasti dilakukan oleh DJP melaui Kantor Pusat,
Kanwil, atau KPP/KP2KP. Seingatku sudah beberapa kali sosialisasi, bisa
ditanyakan langsung di Kantor Pusat.
Digambarkan:

Direktorat P2 KANWIL

KPP

Universitas Indonesia
AR

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


85

Proses sosialisasi peraturan secara langsung tidak diikuti oleh semua AR (karena
jika semua ikut sosialisasi maka kantor dalam keadaan kosong, dan itu tidak
diperbolehkan), diharapkan kepada AR yang mengikuti sosialisasi dapat
memberitahukan kepada AR lainnya yang tidak mengikuti sosialisasi. Namun,
setiap AR pasti diberitahukan mengenai setiap peraturan-peraturan baru melalui
media digital. (Sharing seperti reminder dalam e-mail).

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


86

Transkip Wawancara dengan PT X


Nama : Bapak Markian Gunawan
Tanggal dan Waktu : 07 Mei 2012, pukul 08.05
Tempat : PT X

Hasil Wawancara :
P: Bagaimana mekanisme pembebanan biaya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk
memperoleh harta berwujud berupa tanaman sawit?
J: Untuk kebun yang menghasilkan seluruhnya dibiayakan, untuk yang belum
menghasilkan dikapitalisasi ke aktiva tanaman yang berhubungan. Kalo ada
sebagian yang belum dan sudah diproporsi. Perlakuan ini sama dengan yang
diakui Standar Akuntansi Indonesia, dalam hal pembebanan biaya yang
berhubungan dengan aktiva yang dibangun PSAK 16.
P: Seberapa besar biaya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memperoleh harta
berwujud berupa tanaman sawit?
J: Besar lumayan. Ini industri yang padat karya.
P:Apakah besarnya biaya yang dikeluarkan tersebut sebanding dengan
penghasilan yang diterima / diperoleh?
J: Ini menarik, konsep. Dalam hal kesesuaian antara pendapatan dan biaya.
Dengan standar akuntansi yang berlaku umum dan yang sangat berhubungan
adalah PSAK 16, maka sebenarnya WP itu melakukan konsistensi antara
pendapatan yang dihasilkan dengan bebannya. Kalo untuk biaya yang
berhubungan dengan tenaga kerja, biaya gaji yang berhubungan dengan aktiva
untuk tanaman yang belum menghasilkan itu konsisten harus dikapitalisasi karena
juga belum ada penghasilannya. Dan ketika aktiva tanaman itu mulai
menghasilkan maka, biaya tenaga kerja itu dibiayakan ditambah biaya depresiasi
yang tadi dikapitalisasi sebelumnya, justru kalo engga dikapitalisasi atau
dibiayakan langsung tidak ada kesesuaian antara pendapatan dengan biaya gitu.
P: Setelah diterbitkannya PMK Nomor 249/PMK.03/2008, bagaimana mekanisme
pembebanan biaya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memperoleh harta
berwujud berupa tanaman sawit?
J: Mekanisme setelah terbit PMK 249, secara akuntansi dikapitalisasi itu
konsisten. Sebetulnya pajak seharusnya ikut akuntansi ketika tidak ada pengaturan
yang jelas. Nah, entah kenapa saya tidak melihat ada dasar yang kuat dari PMK
249 untuk mengharuskan dibebankan. Di industri perkebunan itu bergejolak.
PMK 249 ditengarai oleh banyak pihak suatu peraturan yang tidak konsisten dan
juga tidak mendorong investor luar untuk menanamkan investasinya di Indonesia.
Karena seperti yang kita ketahui, pajak itu punya tujuan untuk banyak hal, salah
satunya untuk menarik investasi. Bukan artinya merugikan negara
Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


87

menguntungkan investor, tidak. Tapi memberikan keuntungan kepada kedua belah


pihak sesuai dengan koridor yang berlaku. PSAK 16 mengatur seperti itu.
Menurut hemat saya memang seharusnya ada kesesuaian antara pendapatan dan
biaya harusnya memang dilakukan treatment-nya sesuai SAK yang berlaku umum
dan pajak keluar dari koridor itu.
P: Menurut Bapak bagaimana proses sosialisasi dan komunikasi yang dilakukan
oleh pemerintah dalam penerbitan PMK Nomor 249/PMK.03/2008?
J: Sebetulnya, menurut hemat saya ada sosialisasi seperti itu, tapi saya diberitahu
oleh eksternal audit.
P: Apakah terdapat kendala dalam pelaksanaan PMK Nomor 249/PMK.03/2008?
J: Kendalanya saya ada dua, dari sisi kondusif lingkungan usaha jadi memacu
investor untuk usaha lebih jauh lagi untuk menekan modalnya di Indonesia,
karena sangat tidak berimbang antara peraturan untuk kepentingan satu golongan
dengan investor. Kedua, tentunya dari sisi administrasi artinya kejelasan
mengenai pajaknya nah apakah aktiva tanaman itu harus mengkapitalisasi atau
dibiayakan langsung sementara dikomersial sesuai dengan PSAK dikapitalisasi.
Juklak belum jelas, menurut saya perlu diperjelas.
P: Apa dampak dari diberlakukannya PMK Nomor 249/PMK.03/2008 terhadap
PT X?
J: Secara jangka pendek mungkin tidak banyak, secara jangka panjang ada. PMK
membebankan secara langsung artinya WP hanya diberikan kesempatan dalam 5
tahun untuk menggunakan kerugiannya tersebut akibat dari biaya yang
dibebankan sekaligus tadi. Praktis untuk industri kelapa sawit yang jangka
menengah dan jangka panjang waktu 5 tahun itu tidak berarti. Karena sebetulnya
BEP itu terjadi pada tahun ke 7. Dengan dibiayakan langsung, artinya kesempatan
untuk menggunakan kerugian pajak itu bisa terlewati karena batasnya 5 tahun.
Apakah itu menjadi tujuan dari PMK 249 saya ngga tahu. Itu salah satu yang
mendorong usaha tidak kondusif.
P: Apakah PT X setuju dengan pembebanan menurut PMK 249?
J: PT X sebagai salah satu WP tentunya akan setuju jika manfaat yang berimbang
antara pemerintah sebagai regulator dan PT X sebagai investor. Kalo PT X
melihat belum ada kejelasan manfaat yang berimbang antara regulator dengan
investor, kita bisa melihat bahwa kepentingan untuk regulator lebih tinggi dari
yang kita bicarakan sebelumnya. Karena menurut hemat PT X, aktiva-aktiva
diumur muda membutuhkan perawatan dan ini merupakan industri yang padat
karya artinya biaya tenaga kerja mempunyai manfaat bukan jangka pendek tetapi
jangka panjang maka pada tahun itu harus dikapitalisasi. Karena seyogyanya kan
tanaman itu membutuhkan usaha-usaha untuk dipupuk dirawat tidak menjadi hal
yang umum biaya tersebut menurut pajak dibebankan langsung. Sepanjang saya
ketahui pajak menggunakan konsep yang sama sepanjang itu memiliki manfaat
lebih dari satu tahun harus dikapitalisasi. Contoh kongkrit aktiva tetap, pajak
sudah menggolongkan untuk gedung, alat berat, untuk komputer furniture, kenapa

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


88

pajak ngga langsung membebankan sebagai biaya? Nah saya melihat itu tidak ada
konsistensinya di pajak sendiri.
P: Kebijakan yang seperti apa yang seharusnya diambil oleh pemerintah untuk
memajukan industri khusunya kelapa sawit?
J: Menurut hemat saya bicara yang lebih luas pemerintah harusnya bukan saja
kelapa sawit, pemerintah harus mendorong riil sector yang akan membawa
manfaat GDP yang pada akhirnya akan membawa manfaat tingkat kemakmuran
rakyat itu secara berimbang. Saya setuju jika pemerintah harus mengeluarkan
aturan-aturan yang memperoleh manfaat untuk banyak stakeholder banyak pihak
bukan sebaliknya dalam hal ini, PMK 249 tidak sejalan tidak sesuai usaha
pemerintah untuk meningkatkan GDP.

Nama : Bapak Iksan


Tanggal dan Waktu : 31 Mei 2012, pukul 17.00
Tempat : PT X

Hasil Wawancara :
P: Bagaimana perlakuan pembebanan biaya tenaga kerja di PT X?

J: Tenaga kerja di kebun?

P: Iya Pak

J: Kalo yang ngurusin tanaman masuk nilai tanaman sampai TM, itu kan investasi.
Kalo udah TM dibebanin langsung.

P: Bagaimana pendapat Bapak mengenai penerapan PMK 249 di PT X, yaitu


biaya tenaga kerja yanng tidak dapat dikapitalisasi?

J: Secara accounting dan budgeting itu tidak mungkin, kalo pajak saya ngga
ngerti. Tapi seharusnya ngga gitu karena kan itu sama aja kita bangun aset sendiri,
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset itu sampai bisa
dimanfaatkan harus dikapitalisasi. Bayangin aja untuk biaya tenaga kerja sendiri
yang di kebun itu bisa 50% sendiri, belum lagi PT X mau buka lahan lagi tambah
gede itu.

P: Itu untuk biaya tenaga kerja yang berhubungan langsung dengan tanaman ya
Pak?

J: Iya, lagian juga praktik dimana-mana yang perkebunan begitu, coba aja kamu
bandingin sama kehutanan, itu lebih gede lagi biayanya.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


89

P: PT X merupakan WP yang melakukan implementasi PMK 249, yang


berdampak pada kerugian fiskal yang menjadi besar, bagaimana menurut Bapak?

J: Seperti tadi saya bilang, kalo biaya tenaga kerja yang berhubungan langsung
dengan tanaman itu dikapitalisasi ke dalam nilai aset, jadi dia masuk investasi
jatuhnya, bukan beban. Jadi seharusnya ga ada rugi, kan investasi. Kalo pun rugi
itu karena operasional aja. Perusahaan mulai mencapai posisi Break Even Point
itu pas tahun tanam ke 7 secara komersial ya, artinya pada tahun tanam ke 7 total
pendapatan = total beban.

P: Kalau begitu bagaimana cara PT X mengantisipasi dampak dari implementasi


PMK 249 ?

J: Ya, lebih dikontrol, ngawasin lagi sistem penggajiannya supaya emang bisa pas
tidak kurang dan tidak lebih dan tentunya sesuai budget.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


90

Transkip Wawancara dengan Praktisi


Nama : Bapak Andy Santoso
Tanggal dan Waktu : 01 Juni 2012, pukul 14.15
Tempat : Kantor Akuntan Publik Tanudiredja, Wibisana dan
Rekan (PwC) Plaza 89 , Jl. HR. Rasuna Said Kav.X-7
No.6 Jakarta 12940, Bali Meeting Room Lt. 12.

Hasil Wawancara :
P: Bagaimana pendapat Bapak mengenai pembebanan biaya tenaga kerja yang
dikeluarkan untuk memperoleh harta berwujud berupa tanaman sawit berdasarkan
Pasal 2 ayat (2) PMK Nomor 249/PMK.03/2008?
J: Di industri perkebunan biaya itu pasti ada, tidak mungkin tidak ada. Jika tidak
ada bagaimana tanaman bisa tumbuh? Tanaman sawit itu tidak mungkin bisa
tumbuh tanpa ada campur tangan manusia. Secara akuntansi atau komersial biaya
itu dikapitalisasi, namun secara peraturan tersebut tidak boleh. Secara personality,
saya tidak setuju, sebab secara komersial tidak mungkin tidak ada biaya itu. Pajak
terlalu kaku, seolah-olah peraturan itu dibuat tidak melihat prinsip cost matching
againts revenue.

P: Secara akuntansi itu mengacu kemana ya Pak?

J: Perkebunan, secara akuntansi lebih mengacu ke PSAK 16 yah. Sebab,


perkebunan itu sebenarnya asset tetap yang memberikan masa manfaat lebih dari
setahun. Jadi biaya seperti itu berhubungan langsung untuk memperoleh asset.
Sampai dengan aset itu menghasilkan benefit, biaya itu harus dikapitalisasi.

P: Saya baca PSAK 16 ya pak , biaya tenaga kerja merupakan biaya rutin dan
biaya rutin merupakan biaya adm, biaya adm tidak bisa dimasukkan ke dalam
komponen harga perolehan seharusnya biaya tenaga kerja ngga boleh
dikapitalisasi dong ya?

J: Tidak seperti itu. Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan selama tanaman belum
menghasilkan itu akan dikumulatifkan terus, sampai dengan tanaman itu
menghasilkan, jadi kita melihatnya sebagai bagian dari harga perolehan aset.
Sebenarnya di Indonesia belum memiliki aturan tersendiri untuk mengatur
perkebunan. Secara internasional sebenarnya sudah ada yaitu IAS 41. Nah, disitu
ada historical cost. Nilai aset itu dicatat sebagai nilai tanaman. Sampai dengan
saat ini di Indonesia khusus untuk perkebunan atas nilai tanaman yang merupakan
aset, melihat ke aturan yang diatur dalam PSAK 16. Jika dianalogikan, mungkin
aset sebelum dipakai dilakukan instalasi, nah biaya instalasi itu merupakan bagian

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


91

dari harga perolehan dari aset itu. Biaya tenaga kerja di perkebunan sawit bukan
merupakan biaya rutin sampai dengan tanaman menghasilkan.

P: Bagaimana prinsip akuntansi memandang aturan pajak tersebut?

J: Belum sesuai dengan prinsip akuntansi. Akan timbul perbedaan antara pajak
dengan akuntansi.

P: Setelah diterbitkannya PMK Nomor 249/PMK.03/2008, bagaimana


menerapkannya dalam laporan keuangan?

J: Dalam laporan keuangan tetap pake komersial. Akan berdampak ke pajaknya,

pajak tangguhan.

P: Apakah setelah diterbitkannya PMK Nomor 249/PMK.03/2008, Bapak setuju


dengan mekanisme pembebanan demikian? Apa alasannya?
J: Berdasarkan pengalaman saya, jika tidak mengikuti aturan itu ya pasti ada
risiko di challenge oleh pihak pajak. Jadi, menurut saya idealnya dilakukan saja.
Saya juga memiliki pengalaman, ada juga perusahaan yang tidak mengikuti aturan
itu, kenapa? Karena secara komersial tanpa ada labour tidak mungkin bisa
tumbuh tanaman itu. Mereka cenderung melihat UU PPh, ada satu pasal yang
mereka jadikan alasan untuk melakukan itu yaitu pasal 11. That’s why mereka
tidak mau melakukan pembebanan tenaga kerja secara langsung seperti yang
dimaksudkan oleh PMK 249. Menurut mereka, UU lebih tinggi daripada PMK,
jadi seharusnya payungnya adalah UU. Pendapat lain, lex specialis lex generalis
peraturan khusus mengalahkan yg umum. Secara pribadi, untuk menghindari
risiko itu kita meng-encourage untuk melakukan PMK tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


92

Nama : Bapak Sonny Triharsono


Tanggal dan Waktu : 25 Mei 2012, pukul 11.50
Tempat : Kantor Konsultan Pajak, FA. Jaja Zakaria, Sonny
Triharsono, Budiharto & Rekan. Gd. Graha Pratama
Lt.16 Jl. MT. Haryono Tebet.

Hasil Wawancara :
P: Bagaimana pendapat Bapak dengan terbitnya PMK Nomor 249/PMK.03/2008?
J: Wajar jika biaya tersebut dikeluarkan dalam nilai tanaman, sebab saat
pemeriksaan nantu sulit dibuktikan untuk PPh Pasal 21-nya. Saya telah pelajari,
memang sulit untuk melacak berapa biaya yang dibebankan termasuk tenaga kerja
itu. Namun, memang agak susah bagi manajemen menerima hal ini, sebab
manajemen berpendapat biaya tenaga kerja harus dikapitalisasi sebab untuk
membangun aset sampai dengan menghasilkan. Ya, inilah adanya kontroversi.
P: Sebenarnya apa yang ingin ditegaskan dalam PMK Nomor 249/PMK.03/2008?
Apa alasannya?
J: Sebenarnya ini merupakan kepentingan praktisasi DJP saja. Kebanyakan
masalah yang dihadapi selalu ditanyakan berapa jumlah biaya tenaga kerja dan
berapa PPh Pasal 21-nya. Jika dikapitalisasi otomatis biaya tersebut tidak
matching antara SPT Tahunan Badan dengan SPT PPh Pasal 21, dan atas
selisihnya sulit dilacak. Dalam praktik susah untuk mem membedakan mana yang
merupakan benar-benar tenaga kerja yang melekat dengan tanaman itu.
Kemungkinan ada tujuan lain dari terbitnya PMK 249 tersebut, karena saya
melihat mengapa tenaga kerja yang dipisahkan mengapa tidak yang lain.
P: Apakah setelah diterbitkannya PMK Nomor 249/PMK.03/2008, Bapak setuju
dengan mekanisme pembebanan demikian? Apa alasannya?
J: Saya setuju, sebab dalam praktik saat proses di pengadilan selalu ditanyakan
berapa yang dibiayakan untuk tenaga kerja selalu begitu. Saya setuju dipisahin,
karena lebih mudah menghitungnya, dan bisa melacak. Maksudnya dipisahin itu
dibebankan sekaligus.

Transkip Wawancara dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


93

Nama : Ibu Veronika Sylvia


Tanggal dan Waktu : 05 Juni 2012, pukul 14.00
Tempat : Departemen Akuntansi FE UI Depok, Ruang Salemba
4

Hasil Wawancara :
P: Peraturan untuk industri perkebunan kelapa sawit mengenai pencatatan
tanaman mengacu kemana Bu?
J: PSAK 16
P: Apakah atas biaya tenaga kerja yang berhubungan dengan tanaman
dikapitalisasi?
J: Sebenarnya, kita belum mengadopsi IAS 41. Sepengetahuan saya, industri
membuat pedoman sendiri sesuai dengan insdutrinya, seperti kehutanan. Saya
terus terang belum melihat pedoman akuntansi kehutanan, bagaiman mereka
memperlakukan untuk berbagai transaksi yang ada didalamnya.
PSAK 16 jika dikaitkan dengan self constructed asset (aset yang dibangun
sendiri) semua biaya yang terkait masuk. Misalkan kita bangun gedung, biaya
tenaga kerja, material, biaya bunga untuk bayar pinjaman, semua masuk ke dalam
total cost. Jika disamakan dengan self constructed asset ya biaya tenaga kerja
masuk ke dalam harga perolehannya. Tenaga kerja langsung boleh masuk
kedalam harga perolehan, namun tenaga kerja yang duduk di kantoran tidak
boleh. Namun, secara definisi tidak menutup kemungkinan adanya pelanggaran-
pelanggaran.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


94

Transkip Wawancara dengan Akademisi


Nama : Ibu Christine
Tanggal dan Waktu : 29 Mei 2012, pukul 11.30
Tempat : Gd. Maksi FE UI Salemba, Ruang Rapat.

Hasil Wawancara :
P: Bagaimana pendapat Ibu mengenai pembebanan biaya tenaga kerja yang
dikeluarkan untuk memperoleh harta berwujud berupa tanaman sawit dalam usaha
bidang perkebunan tanaman keras berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PMK Nomor
249/PMK.03/2008?
J: Pendapat saya mungkin itu make sense ya kenapa tidak boleh dicapitalize
karena itu pengeluaran yang sifatnya rutin. Secara pajak konsep pengeluaran tidak
rutin termasuk ke dalam harga perolehan. Peraturan pajak ini dengan peraturan
accounting sejalan. Aset karena memberikan future economic benefit di masa
mendatang makanya disini kayak perolehan bibit karena akan memberikan future
economic benefit di masa mendatang makanya boleh dicapitalize.
P: Apa dampak yang terjadi akibat pelaksanaan peraturan tersebut?
J: Dampaknya jika memang belum menghasilkan, expense pasti akan tambah
besar dibandingkan dengan revenue, berarti posisinya pasti loss. Jika loss secara
pajak muncul tax loss, dan itu bisa di carry forward sampai dengan 5 tahun ke
depan. Muncul deffered tax asset tax loss. Jika tidak bisa dibawa lagi ke tahun
depan, risikonya tidak bisa offset biaya dengan pendapatan. Terjadi timing missed
match antara expense sama revenuenya. Itu risiko sisi negatif bagi perusahaan.
Beban sudah diakui terlebih dahulu dan tidak bisa dibawa ke depan, sementara
revenue diakui.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


95

Nama : Bapak Tafsir Nurchamid


Tanggal dan Waktu : 22 Mei 2012, pukul 11.30
Tempat : Gd. Rektorat UI Lt.2

Hasil Wawancara :
P: Bagaimana pendapat Bapak mengenai pembebanan biaya tenaga kerja yang
dikeluarkan untuk memperoleh harta berwujud berupa tanaman sawit dalam usaha
bidang perkebunan tanaman keras berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PMK Nomor
249/PMK.03/2008?
J: Jadi saya berpendapat bahwa penetapan SK Menteri Keuangan yang mengatur
itu dibebankan sebagai biaya itu khusus untuk industri-industri yang sifatnya
adalah normal accounting/operating cycle lebih dari satu tahun. Suatu kegiatan
dari sejak dia menanam di industri perkebunan sampai dipetik hasilnya itu biasa
lebih dari satu tahun. Perlakuan demikian dari segi akuntansi sebagai alat untuk
mengambil keputusan akan menjadi bias tidak tepat, kenapa? Akuntansi itu untuk
menyelamatkan perusahaan jangan sampai dengan sistem akuntansi
perhitungannya perusahaan jadi hancur. Nah ini bisa demikian kenapa beban
kepegawaian dibebankan sebagai unsur biaya yang harus dikapitalisir, secara
accounting sendiri tidak tepat kalo tidak dikapitalisir. Secara pajak tidak tepat.
Pengenaan pajak itu harus obyeknya ada, tapi pertemuan biaya dan pendapatan itu
dipotong-potong demikian mengakibatkan yang obyeknya belum tentu ada
dikenakan pajak. Harus matching cost againts revenue adalah yang pas. Biaya
yang harus dikapitalisir sampai dengan menghasilkan, mau rugi atau laba itu
urusan lain. Secara hukum tidak salah, biaya boleh dibebankan asal immaterial,
yang paling tepat adalah dikapitalisir sampai dengan menghasilkan.Tidak boleh
biaya berjalan pendapatan belum masuk. Mempertemukan pendapatan dan biaya
dalam accounting dikenal dengan konsep matching cost itu harus jalan. Tidak
boleh biaya dicatat tapi pendapat belum ada. Jadi dari pajak pun ngga tepat itu
bisa mematikan, malah obyek pajak yang bisa jangka panjang menjadi lebih
pendek.

P: Peraturan untuk industri perkebunan kelapa sawit mengenai pencatatan


tanaman mengacu kemana Pak?
J: PSAK 16 sudah tepat. SAK itu dipikirkan oleh pihak yang kompeten,
independen tetapi juga memperhatikan perhitungan biaya dan pendapatan yang
tepat dan juga untuk keselamatan perusahaan. Contoh: gedung disewakan 10
tahun. Diterima dimuka, saat diakui bukan saat diterima seluruhnya diawal tapi
dibagi 10 tahun.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


96

P: Apa dampak yang terjadi akibat pelaksanaan peraturan tersebut?


J: Akibatnya adalah dengan diterapkannya PMK 249, maka akibatnya yang
pertama perusahaan sudah kena pajak padahal belum tentu ada obyeknya. Kedua
perkembangan perusahaan menjadi lambat, penyerapan tenaga kerja lambat, harga
cenderung naik, yang mengakibatkan harga menjadi tidak kompetitif.Ketiga
kemungkinan perusahaan akan melakukan pelanggaran-pelanggaran,seperti
memasukan biaya gaji ke dalam akun yang bisa dikapitalisir misal sewa traktor,
atas sewa traktor kan bisa dikapitalisir. Keempat agak ekstreme yaitu perusahaan
berpikir jangan pakai tenaga manusia, pakai alat-alat yang canggih.
Ada rugi akibat kompensasi kerugian yang tidak bisa di carry forward ke tahun
berikutnya, itu secara accounting dibuang ke laba rugi. Pasti ngga diakui oleh
pajak. Berubah dari timing difference jadi permanent difference.

Dikapitalisir menambah dari nilai tanaman dan nanti munculnya diamortisasi atau
didepresiasi sebagai expenses. Pengertian daripada produksi semua cost itu harus
dikapitalisir sampai produk itu bisa dijual. Jadi, yang dilakukan oleh menteri
keuangan hanya mementingkan budgetair saja pokoknya saya bisa mungut pajak
tapi melanggar asas matching cost.

Menteri keuangan memiliki wewenang namun harus diperhatikan dampaknya.


Jadi saya cenderung secara teori tidak bisa diaplikasikan, memberatkan. Karena
suatu saat obyeknya tidak ada kena pajak menjadi rugi. Sumbangan itu okelah,
tapi kalo hal ini tidak bisa dihindari , perkebunan harus menggunakan tenaga
buruh yang jumlahnya sangat banyak. Bukan tidak mau membayar pajak namun
perlakukannya tidak benar.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012


97

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Natalia Diana Candra Dewi


Tempat Tanggal Lahir : Sukabumi, 22 Desember 1989
Alamat : Kp. Manggis Hilir RT 05 / RW 03 Benda
Cicurug – Sukabumi 43359
Nomor Telepon : 0819-1185-3489
Surat Elektronik : [email protected]

Pendidikan formal
 SD Negeri Benda, Cicurug – Sukabumi
 SMP Budi Mulia Bogor
 SMA PL Van Lith Muntilan
 D3 Administrasi Perpajakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia
 Sarjana Ekstensi Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Natalia Diana Candra Dewi, FISIP UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai