Buku PKB 62 PDF
Buku PKB 62 PDF
Buku PKB 62 PDF
Current Management
in Pediatric Allergy and
Respiratory Problems
Penyunting:
Hanifah Oswari
Mulyadi M. Djer
Hartono Gunardi
Rismala Dewi
Anita Juniatiningsih
Frida Soesanti
Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
ISBN 978-979-8271-40-3
ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM
iii
iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB IKA LXII
Assalaamu’alaikum ww,
v
dibahas berbagai topik yang relevan dengan tema PKB kali ini. Dan last but
not least, pemilihan obat yang tepat untuk kasus alergi merupakan suatu ilmu
yang sangat menunjang kemampuan layanan medis kita. Semoga dengan
mengikuti PKB ini, kita semua akan tersegarkan dan tercerahkan pemahaman
dan kemampuan kita di bidang alergi dan respiratori anak.
Wassalaamu’alaikum ww.
Darmawan B Setyanto
vi
Kata Pengantar
Salam sejahtera,
Penyunting
vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM
ix
Susunan Panitia
x
Daftar Penulis
xi
Dr. Lukman Edwar, Sp.M
Departemen Ilmu Penyakit Mata
FKUI-RSCM
xii
Daftar isi
xiii
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap....... 70
Darmawan B Setyanto
Peningkatan Pengenalan Pneumonia Atipik pada Anak....................... 84
Mardjanis Said
Konjungtivitis Alergi............................................................................ 92
Lukman Edwar
Hipertrofi Tonsil: Kapan harus Dirujuk?.............................................. 97
Nastiti Kaswandani
Peran Pencitraan dalam Tata laksana Penyakit Respiratorik............... 107
H F Wulandari
Respiratory Care for Children with Neurological Impairment................ 112
Luh Karunia Wahyuni
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi................................................... 121
Nia Kurniati
xiv
Infeksi Berulang Saluran Napas
pada Asma Bronkial
Arwin A.P. Akib
Tujuan:
1. Memahami peran respons imun spesisik dan non-spesik dalam infeksi
virus dan bakteri
2. Memahami peran keseimbangan sitokin pro-inflamasi dan anti-
inflamasi
3. Memahami peran sistem imun pada asma bronkial
Infeksi saluran napas dan asma bronkial sering ditemukan dalam praktek klinik
sehari-hari. Dalam telaah kepustakaan yang paling banyak dibahas adalah
peran infeksi saluran napas dalam patogenesis asma. Semula diduga peran
infeksi virus, terutama pada masa anak, yang dianggap merupakan pemicu
awal reaksi hiper-reaktivitas bronkus, bukan bakteri. Infeksi virus dihubungkan
dengan respons imun Th2 yang cenderung ke arah alergi, sedangkan infeksi
bakteri dihubungkan dengan respons imun Th1 yang cenderung anti-alergi.
Dengan pemahaman yang lebih dalam dan lengkap tentang respons innate
immunity maka peran infeksi bakterial menjadi sangat penting bagi pemahaman
tentang timbul dan berulangnya asma bronkial. Kita sekarang menjadi lebih
paham tentang peran molekul TLR (Toll-like receptors), NLR (Nucleotide-binding
oligomerization domain-like receptors), KFL (Krüppel-like transcription factors)
pada sel leukosit dalam pemicu reaksi inflamasi asma bronkial. Terlihat bahwa
mekanisme timbulnya asma awalnya justru ditentukan oleh respons imun
non-spesifik yang memicu reaksi inflamasi alergi.
Laporan dan bahasan tentang peran alergi terhadap infeksi berulang tidak
banyak ditemukandan tidak membahas sampai tingkat mekanisme molekular,
selular, maupun kerusakan jaringan. Makalah ini membahas sedikit temuan
pustaka tentang infeksi berulang pada asma bronkial. Akan dipaparkan tentang
kecenderungan individu untuk infeksi berulang, peran innate immunity pada
mekanisme asma, serta beberapa laporan kejadian infeksi pada asma bronkial.
1
Infeksi Berulang Saluran Napas pada Asma Bronkial
2
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
dan jaringan tertentu. Selanjutnya bila respons imun tubuh tidak mampu
mengeliminasinya akan terjadi kerusakan sel dan jaringan setempat akibat
proses invasi, kolonisasi, multiplikasi, atau bahkan kerusakan jaringan lain
karena produk toksin yang dilepaskan. Inflamasi akan lebih berat dan serius
akibat respons imun tubuh, kerusakan sel dan jaringan secara langsung,
pengaruh toksin, serta penyebaran mikroba ke organ lain. Infeksi serius mikroba
patogen seperti ini dapat terjadi di lingkungan rumah sakit akibat mikroba
nosokomial atau oleh bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotika.
Pada keadaan defisiensi imun atau imunokompromais terdapat kekurangan
atau penurunan kompetensi imun yang mempermudah mikroba menginvasi
pejamu dan berkolonisasi. Konsekuensi klinis yang timbul tergantung dari jenis
dan derajat berat defisiensi imun serta karakter mikroba yang menginvasi. Pada
keadaan defisiensi imun berat bahkan mikroba komensal dapat melakukan
invasi serta menimbulkan kerusakan jaringan hebat dalam waktu singkat.
Infeksi patogen pada keadaan defisiensi imun berat umumnya berakibat fatal.
Defisiensi imun dapat terjadi secara bawaan/kongenital atau didapat.
Gejala klinis defisiensi imun bawaan biasanya sudah terlihat sebagai penyakit
infeksi berulang sejak masa awal kehidupan atau beberapa saat setelah itu.
Defisiensi imun didapat timbul lebih kemudian akibat berbagai gangguan
sistem imun, misalnya oleh malnutrisi berat, penyakit keganasan, dan infeksi
HIV. Gangguan respons imun pada malnutrisi dan keganasan umumnya
terjadi pada imunitas non-spesifik yang menurunkan kemampuan fagositosis.
Bila gangguan tersebut berlanjut dapat merusak sistem imun spesifik seperti
contoh baku pada infeksi HIV.
Gejala klinis infeksi HIV pada awalnya timbul akibat respons imun yang
masih baik terhadap invasi dan kolonisasi, terutama di jaringan kelenjar getah
bening saluran cerna (GALT). Gejala klinis demam, malaise, penurunan
nafsu makan, mialgia, artralgia, akibat aktivitas respons innateimmunity sering
disebut sebagai flue-like syndrome. Invasi dan kolonisasi HIV pada sistem GALT
menimbulkan inflamasi lokal dengan gejala protein loosing enteropathy kronik
yang sangat mengganggu. Karena invasi HIV pada sel Th2 tidak dapat diatasi
maka kerusakan sel Th2 terus berlanjut sehingga terjadi defisiensi imun berat
yang mengakibatkan infeksi berulang atau menetap oleh berbagai mikroba,
baik patogen maupun komensal.
Dari uraian ini kita tetap akan kembali pada pemahaman awal bahwa
penyakit infeksi terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan antara agen
dengan pejamu. Bila sistem imun berfungsi dengan baik maka sedikit
kemungkinan bagi mikroba patogen untuk melakukan invasi dan kolonisasi
menimbulkan penyakit infeksi, apalagi menimbulkan penyakit infeksi berulang.
Sejauh ini belum kita temukan bukti terjadi defek imun, defisiensi imun, atau
imunokompromais pada asma bronkial.
3
Infeksi Berulang Saluran Napas pada Asma Bronkial
4
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
5
Infeksi Berulang Saluran Napas pada Asma Bronkial
III. Tidak jelas disebutkan apakah penyakit alergi akan memfasilitasi infeksi
rinovirus tetapi jelas bahwa infeksi rinovirus menyebabkan bangkitan asma.
Peneliti lain melaporkan hal serupa yang menekankan peran penting rinovirus
pada eksaserbasi asma ketimbang sebaliknya.
Bagaimana mekanisme hubungan asma dengan kekerapan infeksi virus
belum jelas benar tetapi makin sering teramati kecenderungan defek antivirus
pada asma, yang pada lingkaran selanjutnya meningkatkan inflamasi dan
heperreaktivitas saluran napas. Viremia yang terjadi pada masa akut infeksi
rinovirus (RV) lebih kerap terjadi pada eksaserbasi asma dibandingkan dengan
anak non-asma, yang menunjukkan kemungkinan penurunan kemampuan
mencegah penyebaran virus sistemik. Hal ini diperkuat lagi dengan bukti
penemuan RNA RV pada 40% anak asma beberapa minggu setelah eksaserbasi
akut, yang menandakan kelemahan kapasitas eliminasi RV dari saluran
napas atau mencegah infeksi selama masa konvalesen. Studi laboratorium
memperlihatkan penurunan relatif produksi IFN-β dan IFN-γ dari sel epitel
bronkus asma dibandingkan dengan kontrol sehat. Makrofag alveolar dan
leukosit sirkulasi juga menunjukkan penurunan kapasitas sintesis IFN tipe I
dan III. Hal ini menandakan bahwa penurunan respons antivirus pada asma
selain melibatkan sel struktural saluran napas juga terjadi pada sel dalam
sirkulasi darah. Mekanisme tingkat selular yang menyebabkan gangguan innate
immunity antivirus ini masih belum jelas.
Roponen dkk (2010) menemukan hal yang berlawanan dengan penulis
lain dengan menyatakan bahwa pada penderita asma adolesen terdapat
penurunan ekspresi TLR7 yang menandakan kelemahan innate immunty. Virus
RV terdeteksi oleh reseptor virus TLR7 dan TLR3 dalam endosom yang juga
mengenal virus RNA lain RSV dan influenza. Studi tersebut memperlihatkan
gangguan respons TLR7 untuk menangkap ssRNA RV yang berperan
terhadap melemahnya respons antiviral innate immunty. Tetapi studi ini juga
mencatat bahwa respons TLR3 tidak terganggu hingga kapasitas ligand TLR3
menginduksi molekul antiviral anak asma sama dengan kelompok kontrol.
Flitscher dkk (2011) mencatat bahwa pasien asma dewasa yang tidak
terkontrol atau dengan perburukan klinis berisiko tinggi untuk terinfeksi
mikobakterium non-tuberkulosis. Peningkatan risiko antara lain ditentukan
oleh pemakaian kortikostroid, remodeling saluran napas, serta penurunan
kapasitas sel epitel untuk memproduksi interferon. Risiko tersebut meningkat
pada pasien yang lebih tua. Sebaliknya penulis menyatakan pula kemungkinan
infeksi mikobakterium sebagai penyebab asma tidak terkontrol.
6
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Simpulan
Beberapa laporan klinis mencatat peningkatan risiko infeksi pada asma
bronkial walaupun mekanisme molekularnya tidak dapat dijelaskan. Terjadi
peningkatan kolonisasi H. influenza, pada saluran napas, peningkatan kejadian
infeksi pneumokokus invasif, peningkatan risiko infeksi mikobakterium non-
tuberkulosis, serta kekerapan viremia rinovirus pada eksaserbasi asma dan
ditemukannya RNA rinovirus beberapa minggu setelah eksaserbasi asma.
Laporan tersebut mengungkapkan gangguan innate immunity dengan penurunan
ekspresi TLR4 dan TLR7, tapi ekspresi dan fungsi TLR3 tetap baik.Para penulis
berpendapat bahwa hubungan penting antara infeksi dengan asma bronkial
adalah peran infeksi sebagi pencetus bangkitan asma. Terdapat kemungkinan
bahwa kekerapan infeksi yang terjadi, terutama infeksi bakteri, merupakan
akibat dari proses remodeling dan pemberian steroid pada asma kronik.
Daftar bacaan
1. Luzuriaga K, Sullivan JL. Immune mechanisms in infectious disease. Dalam:
Stiehm ER, Ochs HD, Winkelstein JA, penyunting. Immunologic disorders in
infants & children. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004.h.871-7.
2. Chapel H, Haeny M, Misbah S, Snowden N. Essentials of clinical immunology.
Edisi ke-5. Carlton: Blackwell; 2006.
3. Utomo H. Mekanisme imunoneuromodulasi terapi assisted drainage pada reaksi
tikus alergi yang dipapar lipopolisakarida Porphyriomonas gingivalis [disertasi].
[Surabaya (Indonesia)]:Program Psaca Sarjana Universitas Airlangga; 2009.
4. Cao Z, Sun X, Icli B, Wara AK, Feinberg MW. Role of Krüppel-like factors in
leukocyte development, function, and disease. Blood. 2010;116:4404-14.
5. Klemets P, Lyytikäinen O, Ruutu P, Ollgren J, Kaijalainen T, Leinonen M, et al.
Risk of invasive pneumococcal infections among working age adults with asthma.
Thorax. 2010;65:698-702.
6. Roponen M, Yerkovich ST, Hollams E, Sly PD, Holt PG, Upham JW. Toll-
like receptor 7 function is reduced in adolescents with asthma. EurRespirJ.
2010;35:64–71.
7. Preston JA, Thorburn AN, Starkey MR, Beckett EL, Horvat JC, Wade MA, et al.
Streptococcus pneumoniae infection suppresses allergic airways disease by inducing
regulatory T-cells. Eur Respir J.2011;37:53-64.
8. Fritscher LG, Marras TK, Bradi AC, Fritscher CC, Balter MS, Chapman KR.
Nontuberculous mycobacterial infection as a cause of difficult-to-control asthma.
A case-control study. Chest. 2011;139:23-7.
9. Miller EK, Hernandez JZ, Wimmenauer V, Shepherd BE, Hijano D, Libster R,
et al. A mechanistic role for type III IFN-λ1 in asthma exacerbations mediated
by human rhinoviruses.Am J Respir Crit Care Med. 2012;185:508-16.
10. Bauer RN, Diaz-Sanchez D, Jaspers I. Effects of air pollutants on innate immunity:
the role of Toll-like receptors and nucleotide-binding oligomerization domain-like
receptors. J Allergy Clin Immunol. 2012;129:14-24.
7
Efektivitas Tindakan Pencegahan
Penyakit Alergi
Zakiudin Munasir
Tujuan:
1. Menilai efektivitas berbagai macam tindakan pencegahan alergi supaya
mendapat hasil yang optimal
8
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
paling banyak terjadi pada usia sampai satu tahun. Angka kejadian dermatitis
atopik meningkat dengan pesat. Di Jakarta pada 635 pasien penyandang alergi
ditemukan 156 pasien (24,6%) dengan gejala pada kulit (dermatitis atopik).2
Suatu studi prospektif di Inggris mengenai insidens dan prevalensi dermatitis
atopik pada anak usia 0-42 bulan diperoleh insidens DA pada usia 0-6 bulan
adalah 21,%, pada usia 7-18 bulan adalah 11,2% dan 3,8% pada usia 19-30
bulan.5 Dermatitis atopik yang terjadi pada bulan-bulan pertama kehidupan
dapat mengakibatkan tekanan atau beban pada keluarga, memengaruhi
pola makan dan tidur bayi serta biaya kesehatan atau pengobatan. Selain itu
kejadian dermatitis atopik dapat menjadi faktor risiko terjadinya sensitisasi
alergen inhalan, asma, rinitis alergi, serta urtikaria di kemudian hari.6,7
Beberapa studi menunjang adanya masa kritis pada usia dini,
kemungkinan juga termasuk masa perinatal. Secara genetik bayi atopik
mempunyai risiko tinggi mengalami sensitisasi terhadap alergen makanan.
Intervensi sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada masa perinatal untuk
mendapatkan keberhasilan yang tinggi. Faktor penting risiko atopik yang
dapat dikendalikan adalah pemberian susu formula, pengenalan makanan
padat hiperalergenik pada usia dini, serta pajanan terhadap lingkungan asap
rokok serta ketidaktahuan tentang masalah penyakit alergi. 7
Hygiene hypothesis pertama kali diusulkan oleh David P Strachan pada
tahun 1989 saat melakukan studi epidemiologi mengenai hay fever pada
17.414 anak di Inggris.8 Strachan menyimpulkan dengan menurunnya jumlah
anggota keluarga dan membaiknya standar kebersihan anggota keluarga
mengakibatkan kejadian infeksi silang antar anggota keluarga berkurang tetapi
terjadi peningkatan kejadian penyakit atopik.8,9
Saat ini sudah diketahui dengan jelas bahwa ternyata neonatus dapat
menunjukkan respons imun terhadap antigen lingkungan. Sensitisasi sudah
terjadi sejak masa antenatal. Beberapa studi menunjukkan sensitivitas sel
mononuklear perifer terhadap alergen pada sampel darah neonatus dapat
memprediksi terjadinya alergi di kemudian hari. Hasil penelitian Prescott dan
kawan-kawan pada tahun 1998 mendapatkan adanya respons proliferatif sel-
sel darah talipusat terhadap tungau debu rumah pada 46% sampel, sedangkan
terhadap alergen utama yang dimurnikan dari tungau debu rumah adalah 73%
dan terhadap albumin telur ayam 42%.10 Dengan mempelajari respons sel
mononuklear darah perifer fetus selama masa kehamilan, dapat disimpulkan
bahwa respons terhadap alergen dapat terjadi sejak awal yaitu pada kehamilan
22 minggu (5-6 bulan).7,10
Beberapa studi membuktikan perbedaan profil sitokin sel mononuklear
darah tepi yang distimulasi dengan mitogen dan alergen pada neonatus yang
mempunyai risiko alergi. Semua penelitian ini menyokong adanya gangguan
keseimbangan antara sitokin yang menekan respons alergi yang ditandai oleh
9
Efektivitas Tindakan Pencegahan Penyakit Alergi
respons fenotip sel T-helper1 (Th-1) yaitu interleukin-12 (IL-12) dan interferon-
gamma (IFN-γ ) dengan sitokin yang berperan pada alergi dari sel Th-2 yaitu
IL-4, 5, 10 dan 13).
10
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Simpulan
Penyakit alergi adalah suatu penyakit dengan pencetus multifaktorial.
Mengingat insidensnya yang semakin meningkat, upaya pencegahan menjadi
sangat penting. Berbagai macam upaya pencegahan dini penyakit alergi antara
lain penghindaran asap rokok waktu hamil, pemberian ASI eksklusif dan/atau
pemberian formula terhidrolisis parsial dan ekstensif, penundaan makanan
hiperalergenik, danpenghindaran alergen lingkungan telah, namunhasilnya
masih kontroversial. Untuk ini masih perlu dilakukan penelitian tentang cara
terbaik untuk pencegahan alergi.
11
Efektivitas Tindakan Pencegahan Penyakit Alergi
Daftar pustaka
1. Halken S, Host A, Hansen LG, Osterballe O. Effect of an allergy prevention
program on incidence on incidence of atopic symptoms in infancy. Allergy.
1992;47:545-53
2. Munasir Z, Kurniati N, Akib A, Suyoko D, Siregar SP. Epidemiology asthma and
allergy in Jakarta. 2006 [belum dipublikasi]
3. Strobel S. dietary manipulation and induction of tolerance. J Pediatr. 1992;121:74-
9.
4. Prescott SL, Macaubas C, Holt BJ et al. Transplacental priming of the human
immune system to environtmental allergens: Universal skewing of initial T cell
responses towards the Th-2 cytokine profile. J Immunol. 1998;160:4730-7.
5. Zeiger RS. Food Allergen Avoidance in the Prevention of Food Allergy in Infants
and Children. Pediatrics. 2003;111:1662-71.
6. Tang MLK, Kemp AS, Thornburn J, Hildy J. Reduced IFN-γ and subsequent
atopy. Lancet. 1994;344:983-5.
7. Kartu Deteksi dini Alergi. Unit Kerja koordinasi Alergi Imunologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia. IDAI, 2006.
8. Yadav M, Yadav A. Prediction and Prevention of Allergy. In Causes and
Prevention: Allergy & Asthma. Pantai Holding Berhad, 2005.h.223-32.
9. Mutius Von Erika. Epidemiology of Allergic Diseases. Dalam: Donald YM Leung,
Hugh A Sampson, Raif S Geha, Stanley J Szefler, penyunting. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Missouri: Mosby, 2003.h.1-9.
10. Edfors-Lubs MI: Allergy in 7000 twin pairs. Acta Allergol. 1971;26:249-58.
11. Daniels SE, Bhattacharyya S, James A, et al. A genom wide search for quantitative
trait underlying asthma. Nature. 1996;383:247-50.
12. Ober C, Cox NJ, Abney M, et al. Genom wide search for asthma susceptibility
loci in a founder population. The collaborative study on the genetics of asthma.
Hum Mol Genet. 1998;7:1393-8.
13. Holm L, Bengtsson A, Van Hage Hamsten M, et al. Effectiveness of occlusive
bleeding in the treatment of atopic dermatitis-a placebo controlled trial of 12
months duration. Allergy. 2001;56:152-8.
12
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak
I. Boediman, Nastiti Kaswandani
Tujuan:
1. Mengetahui gejala klinis rinosinusitis pada anak
2. Mengetahui pemeriksaan penunjang rinosinusitis
3. Mengetahui tata laksana rinosinusitis yang tepat pada anak
4. Mengetahui kapan rinosinusitis memerlukan tindakan
13
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak
Pembagian rinosinusitis
Berdasarkan lamanya gejala, terdapat banyak versi mengenai pembagian
rinosinusitis. Secara mudah dalam klinis dikategorikan akut atau kronik. The
Consensus Panel for pediatric rhinosinusitis yang terdiri dari para ahli di Eropa
dan US, membaginya menjadi beberapa kategori:7
1. Rinosinositis akut, yaitu infeksi sinus dengan resolusi gejala yang komplit
dalam waktu 12 minggu. Rinosinusitis akut dapat dikategorikan menjadi
‘severe’ atau ‘nonsevere’ berdasarkan gejala klinis yang timbul. American
Academy of Pediatrics (AAP 2001) membagi kelompok ini menjadi akut
dan sub-akut. Akut apabila gejala kurang dari 30 hari dan sub-akut bila
gejalanya antara 30-90 hari (12 minggu)1.
2. Rinosinusitis kronik, yaitu infeksi sinus dengan gejala yang ringan-sedang
yang menetap lebih dari 12 minggu.
3. Rinosinusitis akut berulang, yaitu beberapa episod akut dengan diselingi
masa sembuh di antara 2 episod. Sebaliknya jika di antara 2 episod pasien
tidak pernah sembuh benar maka dikategorikan sebagai eksaserbasi akut
rinosinusitis kronik. (Gambar 1.)
14
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Diagnosis Rinosinusitis
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan penunjang. Tidak semua pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan secara rutin, terutama pada anak-anak. Rinitis ditandai oleh
adanya rinore, hidung tersumbat, bersin-bersin/ gatal. Sebagian besar literatur
atau konsensus ahli menyetujui bahwa penegakan diagnosis sinusitis akut
didasarkan atas gejala klinis. Gejala yang sering dikeluhkan berupa nyeri pada
wajah, hidung tersumbat, ingus purulen/postnasal drip, hiposmia/anosmia, dan
demam. Selain itu juga pasien dapat mengeluhkan sakit kepala, mulut berbau,
kelelahan, sakit pada gigi, batuk, dan sakit pada telinga. Ingus yang purulen
di dalam rongga hidung dapat menimbulkan post nasal drip yang pada anak
seringkali bermanifestasi sebagai ‘batuk berdehem-dehem’. Keluhan batuk
produktif juga dikaitkan dengan penjalaran infeksi/peradangan ke saluran
respiratorik di bawahnya. Pus kental akan mengalir ke bawah menuju paru,
dan merupakan rangsangan pada bronkus sehingga memperberat serangan
asma.1,4-6,9
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2007
merekomendasikan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk mendiagnosis
rinosinusitis akut maupun kronik, yaitu:10
yy Pemeriksaan hidung (adakah edema, kemerahan, pus)
yy Pemeriksaan rongga mulut untuk mendeteksi posterior discharge
yy Mengeksklusi infeksi gigi
yy Endoskopi hidung (bila memungkinkan)
15
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak
Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang digunakan dalam tata laksana rinosinusitis
adalah antibiotik, kortikosteroid topikal (intranasal), dekongestan
topikal, salin normal topikal dan anti histamin.4 Falagas melaporkan
dalam meta analisisnya bahwa antibiotik untuk rinosinusitis akut
menunjukkan perbaikan klinis yang lebih baik dibandingkan plasebo,
terutama pada kelompok pasien dengan kecurigaan kuat ke arah
infeksi bakteri.14 Berdasarkan rekomendasi AAP, antibiotik (inisial)
yang dapat digunakan adalah amoksisilin, biasanya selama 10−20
hari untuk kuman yang sensitif atau 7 hari setelah gejala menghilang.9
Dosis yang digunakan adalah dosis tinggi yaitu 80-90mg/kgBB/hari.11
Bila tidak ada reaksi dalam 3 hari, perlu diberikan obat alternatif, yaitu
β-lactamase-resistant agent selama 10−20 hari tambahan. Amoksisilin
klavulanat dan sefuroksim dapat digunakan, namun akhir-akhir ini
sefaklor tidak digunakan karena sebagian kuman mulai resisten.
Pada penderita tertentu dengan kuman anaerob, dapat diberikan
metronidazol atau klindamisin. Dalam alur tata laksana rinosinusitis
akut, EPOS 2007 merekomendasikan bahwa pada kondisi berat maka
16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
17
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak
18
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
19
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak
Simpulan
Rinosinusitis merupakan suatu kesatuan penyakit saluran respiratorik yang
sering didapatkan pada anak. Terdapat beberapa kondisi yang berhubungan
erat dengan rinosinobronkitis misalnya infeksi virus berulang, alergi, asma,
GER, imunodefisiensi dan lain-lain. Tata laksana meliputi medikamentosa dan
tindakan bedah serta menangani penyakit atau kondisi yang menyertainya. Tata
laksana medikamentosa terutama berupa antibiotik oral dan steroid intranasal.
Rinosinusitis pada anak umumnya sembuh dengan terapi konservatif, namun
20
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Daftar pustaka
1. AAP Subcommittee on Management of Sinusitis and Committee on Quality
Improvement. Clinical practice guideline: management of sinusitis. Pediatrics.
2001;108:798-807.
2. Hawthorne MR, Ahmad N. Acute sinusitis: pitfalls in diagnosis and management.
Clinical Risk. 2010;16:209-11.
3. Scadding GK, Durham SR, Mirakian R, Jones NS, Drake-Lee AB, Ryan D, et
al. BSACI guidelines for the management of rhinosinusitis and nasal polyposis.
Clin Exp Allergy. 2007;38:260–75.
4. Thomas M, Yawn B, Price D, Lund V, Mullol J, Fokkens W. European Position
Paper on the Primary Care Diagnosis and Management of Rhinosinusitis and
Nasal Polyps 2007 – a summary. Primary Care Resp J. 2008;17:79-89.
5. Friedman RL. Chronic sinusitis in children: a general overview. S Afr Fam Pract.
2011;53:230-9.
6. Ramadan HH. Chronic Rhinosinusitis in Children. Intl J Pediatr. 2011;2012:1-5.
7. Clement P, Bluestone CD, Gordts F, Lusk RP, Otten FW, Goossens H, et al.
Management of rhinosinusitis in children. Arch Otolaryngol Head Neck Surg.
1998;124:31-4.
8. Brook I. Microbiology of sinusitis. Pro Am Thorac Soc. 2011;8:90-100.
9. Ioannidis JP, Lau J. Technical report: evidence for the diagnosis and treatment
of acute uncomplicated sinusitis in children: a systematic overview. Pediatrics.
2001;108:e57.
10. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,
Supplement 20, 2007; www.rhinologyjournal.com; www.eaaci.net.
11. Acute Bacterial Sinusitis Guideline Team, Cincinnati Children’s Hospital
Medical Center: Evidence- based care guideline for medical management of
Acute Bacterial Sinusitis in children 1 through 17 years of age, http://www.
cincinnatichildrens.org/svc/alpha/h/health- policy/ev-based/sinus.htm , Guideline
16, pages 1-17, July 7, 2006.
12. Fufezan O, Asavoaie C, Chereches Panta P, et al. The Role Of Ultrasonography
In The Evaluation Of Maxillary Sinusitis In Pediatrics. Medical Ultrasonography.
2010;12:4-11.
13. Desrosiers M, Evans GA, Keith PK, Wright ED, Kaplan A, Bouchard J, et al.
Canadian clinical practice guideline for acute and chronic rhinosinusitis. Allergy
Asthma Clin Immunol. 2011;7:2.
14. Falagas ME, Giannopoulou KP, Vardakas KZ, Dimopoulos G, Karageorgopoulos
DE. Comparison of antibiotics with placebo for treatment of acute sinusitis: a
meta-analysis of randomised controlled trials. Infect Dis. 2008;8:543–52
21
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak
15. Jung YG, Kim HY, Min J, Dhong H, Chung S. Role of intranasal topical steroid in
pediatric sleep disordered breathing and influence of allergy, sinusitis, and obesity
on treatment outcome. Clin Exp Otorhinolaryngol. 2011;4:27-32.
16. Ramadan HH. Surgical management of chronic rhinosinusitis in children.
Laryngoscope. 2004;114:2103-9.
17. Becker DG. The minimally invasive, endoscopic approach to sinus surgery. J
Long-term Effect Med Implants. 2003;13:207-21.
18. Chang P, Lee L, Huang C, Lai C, Lee T. Functional endoscopic sinus surgery
in children using a limited approach. Arch Otolaryngol Head Neck Surg.
2004;130:1033-6.
22
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada
Anak di Bawah Usia 5 Tahun
Bambang Supriyatno
Tujuan:
1. Mampu mendiagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun
2. Mengetahui diagnosis banding mengi berulang pada anak di bawah
usia 5 tahun
3. Mampu menatalaksana asma pada anak di bawah usia 5 tahun
Asma merupakan penyakit yang sering dijumpai pada anak.1 Angka kejadian
asma di belahan dunia meningkat baik di negara maju maupun di negara
berkembang termasuk Indonesia. Prevalensi asma di Indonesia pada anak usia
6-7 tahun sekitar 10%, usia <14 tahun sekitar 6,5%, sedangkan anak dibawah
usia 5 tahun belum pernah diteliti.2 Diagnosis asma pada anak di atas usia
5 tahun, secara klinis maupun pemeriksaan penunjang telah dikenal luas.1,3
Beberapa ahli masih berbeda pendapat mengenai diagnosis asma pada anak
di bawah usia 5 tahun karena sulitnya menentukan diagnosis pasti. Berbagai
upaya dilakukan antara lain dengan sistim skor (IPA: indeks prediksi asma),
tata laksana percobaan sampai pemeriksaan penunjang uji fungsi paru.1,4,5
Salah satu gejala asma yang sering ditemukan pada anak di bawah
usia 5 tahun adalah mengi (wheezing), sehingga timbul perdebatan apakah
dengan ditemukannya mengi maka diagnosis asma dapat ditegakkan?. Di
sisi lain, gejala mengi dapat timbul pada infeksi saluran respiratorik bawah
(bronkiolitis) sehingga akan sulit membedakan antara diagnosis bronkiolitis
atau gejala awal asma.6,7
Berdasarkan hal tersebut di atas, makalah ini lebih menekankan pada
diagnosis dan tata laksana asma pada anak di bawah usia 5 tahun.
Definisi
Definisi asma bermacam-macam tergantung pada kriteria yang dianut. The
Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan
inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast,
23
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada Anak di bawah usia 5 Tahun
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode
mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, terutama pada malam
atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik
yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas saluran
respiratorik terhadap berbagai rangsangan.1 Definisi asma menurut GINA cukup
lengkap namun kurang praktis bila digunakan di lapangan, sehingga Unit
Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI membuat definisi operasional yang
praktis yaitu anak diduga menderita asma apabila menunjukkan gejala batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi
pada pasien atau keluarganya.2
Faktor risiko
Dahulu, diagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun tidak dipikirkan
pertama kali karena pada usia tersebut faktor infeksi lebih dominan. Namun
akhir-akhir ini berkembang cara menentukan diagnosis asma pada anak
di bawah usia 5 tahun dengan mengetahui faktor risiko, gejala klinis, dan
pengobatan yang diberikan.6,7 Beberapa faktor risiko yang berperan antara
lain sensitisasi terhadap aeroalergen, diet ibu selama hamil dan atau menyusui,
polutan (khususnya asap rokok), mikroba dan produknya, serta faktor
psikososial.8,9
Dikenal 2 kelompok alergen yaitu aeroallergen (inhalan/dihirup) dan
ingestion allergen (ingestan/ditelan). Alergen inhalan sangat berperan terhadap
kejadian asma karena berhubungan erat dengan saluran respiratorik. Sensitisasi
alergen inhalan pada awal kehidupan (terutama terjadi bersamaan dengan
infeksi saluran respiratorik) dapat meningkatkan kejadian asma di kemudian
hari. Beberapa alergen inhalan yang ditengarai berperan adalah tungau debu
rumah, “bulu” binatang, kecoa, dan jamur.1,10
Diet ibu selama hamil dan atau menyusui, pemberian ASI (air susu
ibu) ekslusif diduga dapat menurunkan kejadian asma, sedangkan pemberian
makanan padat secara dini dapat meningkatkan kejadian asma.8,9
Polutan indoor atau outdoor diduga berperan terhadap meningkatnya
kejadian asma baik di negara maju maupun negara berkembang. Beberapa
polutan yang sudah terbukti sebagai faktor risiko asma adalah asap rokok,
sulfur, dan sisa pembuangan gas kendaraan bermotor.8,9
Infeksi oleh mikroba khususnya RSV (Respiratory Syncitial Virus) dan
Rhinovirus dapat meningkatkan kejadian dan persistensi asma di kemudian
hari. Infeksi virus dapat menyebabkan rusaknya saluran respiratorik, kemudian
24
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Diagnosis
Diagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun cukup sulit karena gejala yang
timbul seperti batuk dan atau mengi dapat terjadi pada anak yang normal.4,5,7
Martinez dkk, melakukan pemantauan terhadap 826 bayi yang lahir sampai usia
6 tahun, dan mendapatkan 48,5% anak pernah mengalami mengi selama awal
kehidupannya dengan rincian sebagai berikut: transient wheezing (tidak pernah
wheezing lagi setelah usia 3 tahun) 19,9%, late onset (timbul wheezing setelah 3
tahun dan menghilang sebelum 6 tahun) 15,0%, dan persistent wheezing (yang
menetap sampai usia 6 tahun) sebesar 13,6%. Hal ini menyatakan bahwa
sangat sulit menentukan diagnosis asma di bawah usia 5 tahun apabila hanya
berdasarkan adanya mengi.7
Bila gejala yang ditemukan hanya batuk tanpa adanya mengi, maka
akan lebih sulit sulit lagi mendiagnosis asma karena batuk dapat dijumpai
pada keadaan selain asma. Pada usia tersebut kemungkinan batuk yang
berulang hanyalah akibat infeksi respiratorik saja.1,14 Dengan demikian kita
perlu berhati-hati dalam menegakkan diagnosis asma tetapi juga jangan
takut untuk mendiagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun. Untuk
itu diperlukan beberapa metode atau kriteria tertentu untuk membantu
mendiagnosis asma (meskipun bukan definitif) agar tidak terjadi underdiagnosis
dan undertreatment..1,3,5
Seperti umumnya penentuan diagnosis suatu penyakit, maka untuk
menentukan diagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun dapat dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yang
tepat. Pada anamnesis perlu diperhatikan riwayat keluarga berupa atopi
atau asma terutama pada orangtua. Selain itu dapat ditanyakan mengenai
keluhan batuk dan atau mengi. Batuk dan atau mengi pada asma mempunyai
karakteristik yaitu bersifat episodik (berulang), biasanya timbul terutama pada
malam hari (nokturnal), berhubungan dengan musim, aktivitas, dan adanya
faktor pencetus tertentu. Beberapa faktor pencetus yang sering diidentifikasi
adalah tungan debu rumah, cuaca, makanan yang mengandung MSG (mono
sodium glutamat), bahan pengawet dan lain-lain. Selain gejala di atas pada
serangan asma yang lebih berat dapat timbul sesak napas dan sianosis.1-3,5
25
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada Anak di bawah usia 5 Tahun
Pada pemeriksaan fisis dapat dijumpai adanya mengi, sesak napas, maupun
sianosis tergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan mungkin
hanya didapatkan keluhan batuk dan mengi saja, sedangkan sesak dan sianosis
dapat terjadi pada serangan berat akibat terjadinya hipoksia karena adanya
obstruksi saluran respiratorik. Pemeriksaan fisis lain yang dapat terlihat adalah
adanya dada yang cembung pada keadaan asma yang persisten.1,5
Pemeriksaan penunjang yang sering digunakan pada anak asma di atas
5 usia tahun seperti uji fungsi paru dan uji provokasi bronkus tidak dapat
dilakukan pada anak di bawah usia 5 tahun. Pemeriksaan foto Rontgent dada
dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis lain misalnya pneumonia aspirasi,
tuberkulosis, dan penyakit kongenital lainnya.1,5
Dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan penunjang yang
teliti maka diagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun dapat ditegakkan,
namun demikian hal tersebut tidak mudah sehingga beberapa ahli berpendapat
perlu ditambahkan kriteria lain. Castro-Rodriguez dkk, menyarankan untuk
mendiagnosis asma apabila ditemukan mengi berulang ditambah dengan
indeks prediksi asma (IPA) yaitu adanya kriteria mayor dan atau kriteria
minor. Kriteria mayor adalah riwayat asma pada orangtua dan dermatitis
atopi, sedangkan kriteria minor adalah hipereosinofilia (eosinofil darah tepi
>4%), rinitis alergika, dan tetap ada mengi di luar flu (selesma). Peneliti lain
menambahkan, perlu dipertimbangkan peran uji alergi skin prick test terhadap
alergen inhalan maupun alergen ingesti sehingga ditambahkan alergen inhalan
positif ke dalam kriteria mayor sedangkan alergen ingesti positif merupakan
kriteria minor. Diagnosis asma ditegakkan bila dijumpai 2 kriteria mayor ATAU
1 mayor dan 2 minor. Dengan dasar kriteria tersebut maka dapat ditatalaksana
sebagai asma.6,15,16
Beberapa ahli lain menambahkan terapi uji coba setelah diagnosis asma
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang
serta penggunaan indeks prediksi asma. Pada pasien dilakukan terapi dengan
SABA (short acting beta agonist) dan inhalasi kortikosteroid selama 8 minggu,
kemudian dilakukan pemantauan timbulnya gejala kembali setelah terapi
dihentikan sedangkan pada saat dalam terapi anak dalam kondisi yang baik
(tidak serangan).1,17
Beberapa diagnosis banding perlu difikirkan pada batuk kronik dan
atau yang berulang seperti RGE (refluks gastro-esofagus), fibrosis kistik,
dan gangguan motilitas mukosiliar. Untuk menyingkirkan diagnosis banding
tersebut diperlukan pemeriksaan penunjang lain seperti pH metri, uji keringat,
dan gangguan motilitas mukosiliar.1,2,5 Adanya mengi pada anak yang lebih
kecil (<3 tahun) harus pula difikirkan kemungkinan lain yaitu bronkiolitis
karena RSV atau virus lainnya.11,12,18
26
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Klasifikasi
Istilah asma ringan, asma sedang, dan asma berat sudah tidak digunakan lagi,
karena tidak mencerminkan kondisi pasien yang sebenarnya. Saat ini, klasifikasi
asma berdasarkan derajat penyakitnya dan serangannya sehingga tata laksana
tergantung pada kedua hal tersebut.1,2
Derajat penyakit asma dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu asma episodik jarang,
asma episodik sering, dan asma persisten (lihat tabel1). Sedangkan derajat
serangan asma dibagi menjadi serangan ringan, serangan sedang, dan serangan
berat (lihat lampiran1). Derajat serangan asma tidak tergantung pada derajat
penyakitnya demikian pula sebaliknya, misalnya seorang anak dengan asma
episodik jarang bisa mengalami serangan asma yang berat.1,2Klasifikasi ini sangat
penting karena akan menentukan langkah selanjutnya. Terdapat perbedaan
klasifikasi antara PNAA (Pedoman Nasional Asma Anak) dengan GINA, yang
mengklasifikasikan asma menjadi 4 kelompok yaitu asma intermiten, persisten
ringan, persisten sedang, dan persisten berat. Kedua klasifikasi tersebut dapat
disetarakan sebagai berikut: asma episodik jarang disetarakan dengan asma
intermiten, asma episodik sering setara dengan gabungan asma persisten
ringan dan sedang, sedangkan asma persisten setara dengan asma persisten
berat. Untuk pembagian derajat serangan asma, tidak ada perbedaan antara
PNAA dan GINA yaitu asma serangan ringan, sedang, dan berat.1,2
27
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada Anak di bawah usia 5 Tahun
Tata laksana
Prinsip tata laksana asma pada anak maupun dewasa adalah sama yaitu
mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidup yang sama dengan
normal sehingga semua upaya yang dilakukan bertujuan ke arah kualitas hidup.
Beberapa tata laksana dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu
farmakoterapi dan non farmakoterapi. Yang termasuk ke dalam farmakoterapi
adalah pemberian obat saat serangan maupun di luar serangan, sedangkan
yang dimaksud dengan non farmakoterapi adalah pendidikan (edukasi) kepada
keluarga, maupun perbaikan lingkungan.1,2
Pada asma anak di bawah usia 5 tahun, perlu dibedakan apakah anak
dalam serangan asma atau tidak sebelum dilakukan terapi. Terapi ini dikenal
sebagai terapi releaver (saat serangan) dan controller (di luar serangan) terutama
pada asma episodik sering dan asma persisten.1,2
28
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Di luar serangan
Asma episodik jarang pada anak di bawah usia 5 tahun tidak memerlukan obat
controller (pencegahan, rumatan), sedangkan pada asma episodik sering dan
persisten diperlukan controller. Obat controller ini diberikan setiap hari dalam
waktu yang cukup lama sehingga disebut juga tata laksana jangka panjang.
Tujuan pemberian controller adalah agar anak asma dapat terkontrol dengan
baik sehingga kualitas hidupnya dapat dipertahankan atau ditingkatkan seperti
anak normal. Beberapa obat controller yang digunakan adalah kortikosteroid
inhalasi, antileukotrien, teofilin, LABA (long-acting beta-2 agonist), kromolin
dan nedokromil, serta imunoterapi.1,2,6
Kortikosteroid inhalasi merupakan obat controller utama karena
mempunyai efek antiinflamasi yang paling baik diantara seluruh obat controller.
Hal ini sesuai dengan dasar penyakit asma yaitu proses inflamasi dan remodeling.
Pemberian kortikosteroid sebagai controller pada anak asma di atas usia 5 tahun
terbukti sangat efektif (level of evidence A) dalam mengendalikan asma, tetapi
pada anak asma di bawah 5 usia tahun perlu dibuktikan lebih lanjut. Satu
penelitian pada anak asma di bawah usia 5 tahun yang diberikan kortikosteroid
inhalasi selama 2 tahun, terdapat perbaikan gejala klinis saat obat diberikan
tetapi setelah penghentian obat maka proses asmanya timbul kembali. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian kortikosterid inhalasi selama 2
tahun dapat menurunkan gejala tetapi tidak menghentikan proses perjalanan
asma. Pemberian kortikosteroid inhalasi dengan dosis yang rendah dan cara
yang benar tidak menimbulkan efek samping yang bermakna pada anak asma
di bawah 5 usia tahun, meskipun pernah dilaporkan adanya suara serak dan
kandidiasis oral.1,3,6 Kortikosteroid sistemik (oral) jangka panjang (controller)
tidak dianjurkan untuk digunakan karena efek sampingnya seperti gangguan
pertumbuhan dan terganggunya aksis hipotalamus.2
Pemberian antileukotrien selama 3 bulan bermanfaat pada keadaan
asma yang diinduksi oleh virus tetapi tidak mempunyai efek terhadap proses
perjalanan alamiah asma. Pemberian antileukotrien ini bersifat add-on artinya
ditambahkan bersama dengan kortikosteroid inhalasi, bukan sebagai controller
tersendiri. Obat antileukotrien yang dipilih adalah jenis montelukas yang cukup
aman diberikan pada anak di bawah usia 5 tahun, sedangkan zavirlukas tidak
dapat digunakan pada anak di bawah 6 usia tahun.1
29
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada Anak di bawah usia 5 Tahun
Teofilin dapat dipakai sebagai controller pada anak asma di bawah usia 5
tahun, tetapi efektifitasnya di bawah kortikosteroid inhalasi dan efek samping
yang sering dijumpai berupa rasa berdebar-debar. Saat ini penggunaan teofilin
sebagai controller tidak direkomendasikan.1,2
Bronkodilator yang termasuk di dalam LABA sering digunakan sebagai
controller bersama-sama dengan kortikosteroid inhalasi. Efektifitas antara
kombinasi LABA dan kortikosteroid inhalasi lebih baik dibandingkan hanya
kortikosteroid sendiri meskipun dengan peningkatan dosis. Pemberian
kortikoseroid dosis tinggi mempunyai efek samping yang lebih sering
dibandingkan dengan kombinasi LABA dengan kortikosteroid inhalasi.
Pemberian LABA secara sendiri tidak direkomendasikan tanpa bersama-sama
dengan kortikosteroid inhalasi.1,2
Pemberian kromolin ataupun nedokromil tidak menunjukkan
efektifitas yang tinggi pada anak asma di bawah usia 5 tahun sehingga tidak
direkomendasikan untuk digunakan. Pada anak di atas usia 5 tahun pernah
dilaporkan penggunaan kromolin ini meskipun efektifitasnya masih kurang
baik dibandingkan kortikosteroid.1
Imunoterapi tidak direkomendasikan pada anak asma di bawah usia 5
tahun sebagai controller.1
Strategi pengobatan
Pada anak di bawah usia 5 tahun yang dicurigai asma yaitu batuk dan atau mengi
berulang disertai adanya kriteria 2 mayor atau 1 mayor dan 2 minor sesuai indeks
prediksi asma, maka harus ditatalaksana sebagai asma. Langkah pertama adalah
apabila anak datang dalam serangan asma maka tentukan derajat serangannya
(ringan, sedang, atau berat) dan tata laksana sesuai dengan derajatnya dengan
menggunakan reliever serta terapi suportif lain bila diperlukan.1,6 Setelah serangan
asmanya ditangani dan mengalami perbaikan maka perlu ditentukan derajat
penyakitnya (asma episodik jarang, episodik sering, asma persisten). Pada asma
episodik jarang tidak memerlukan obat controller sedangkan pada episodik sering
dan asma persisten diperlukan controller.1,2
Langkah awal pemberian controller adalah pemberian kortikosteroid dosis
rendah (budesonide 100ug) 2 kali sehari selama 3 bulan kemudian dievaluasi.
Bila dalam 3 bulan perbaikan maka dosis dapat diturunkan secara bertahap
sampai kortikosteroid tidak diperlukan lagi. Tetapi bila dalam evaluasi 3
bulan terjadi perburukan atau tidak ada perbaikan maka dosis kortikosteroid
dapat ditingkatkan menjadi 200ug atau dengan menambahkan LABA atau
antileukotrien (montelukas). Apabila perbaikan maka diteruskan sampai 6
bulan dan diturunkan secara perlahan (tappering off).1
30
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Simpulan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering terjadi pada
anak dan dapat terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun. Faktor risiko asma anak
di bawah usia 5 tahun adalah aerolergen, diet saat hamil dan atau menyusui,
dan faktor lingkungan. Diagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun sulit
karena gejala klinis berupa batuk dan atau mengi dapat dijumpai pada penyakit
lain seperti GERD, infeksi virus, dan kelainan kongenital. Pada anak dengan
mengi dan atau batuk berulang dapat didiagnosis dan ditatalaksana sebagai
asma apabila indeks prediksi asma atau anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang mendukung ke arah diagnosis. Tata laksana asma pada
anak di bawah usia 5 tahun dapat berupa non farmakoterapi dan farmakoterapi
yang terdiri dari reliever dan controller. Asma episodik jarang tidak memerlukan
controller sedangkan asma episodik sering dan persisten dibutuhkan controller.
Controller yang dianjurkan adalah kortikosteroid inhalasi dengan penambahan
antileukotrien atau LABA. Pemberian kortikosteroid inhalasi dengan cara dan
dosis yang benar tidak menimbulkan efek samping yang bermakna.
Daftar pustaka
1. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop
Report, 2008.
2. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta 2004
3. Fontes MJ, Fonseca MT, Camargos PA, Affonso AG, Calazans GM. Asthma
in children under five years of age: problems in diagnosis and in inhaled
corticosteroid treatment. J Bras Pneumol. 2005; 31:244-53.
4. Taussig LM, Wright AL, Holberg CJ, Halonen M, Morgan WJ, Martinez FD.
Tucson children’s respiratory study: 1980 to present. J Allergy Clin Immunol.
2003; 111:661-75.
5. Bush A. Diagnosis of asthma in children under five. Prim Care Resp J. 2006;16:7-
15.
6. Rodriguez JAC, Rodrigo GJ. Efficacy of inhaled corticosteroids in infants and
preschoolers with recurrent wheezing and asthma: A systematic review with
meta-analysis. Pediatrics. 2009;123:e519-25.
7. Martinez FD, Wrigiit AL, Taussig LM, Holberg CJ, Haloken M, Morgan WJ, et.al.
Asthma and wheezing in the first six years of life.. N Eng J Med. 1995;332:133-8.
8. Haby MM, Peat JK, Marks GB, Woolkock AJ, Leeder SR. Asthma in preschool
31
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada Anak di bawah usia 5 Tahun
32
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
33
Manifestasi Kulit pada Alergi
Titi Lestari Sugito
Tujuan:
1. Mengingatkan kembali mengenai manifestasi penyakit alergi pada kulit
Urtikaria
Urtikaria adalah suatu penyakit sistemik dengan manifestasi pada kulit,
± 15-20% orang pernah mengalaminya sepanjang hidupnya. Penyakit ini
ditandai dengan timbulnya urtika (wheals) berwarna merah dan gatal pada
kulit dan atau membran mukosa, biasanya bersifat transien. Urtikaria biasanya
disebabkan reaksi hipersensitivitas tipe I, misalnya terhadap lateks atau kacang
tanah, tetapi dapat pula disebabkan pemicu non-imunologik, misalnya media
radiokontras atau obat (aspirin, anti-inflamasi nonsteroid, opiat).
Lesi khas urtikaria mempunyai bagian tengah yang edematosa dikelilingi
halo eritematosa. Ukurannya bervariasi, mulai dari sebesar ujung jarum sampai
berdiameter beberapa sentimeter. Dapat terjadi penyembuhan di bagian tengah
(central clearing), perluasan ke perifer, atau bersatunya beberapa lesi (koalesen)
sehingga lesi dapat berbentuk oval, anular, atau kadang serpiginosa. Bentuk
anular atau serpiginosa dapat menyerupai eritema multiform.
34
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Angioedema
Angioedema adalah urtika yang mengenai dermis bagian bawah dan jaringan
subkutan. Urtika biasanya besar (giant wheals) disertai edema pada kelopak
mata, tangan, kaki, genitalia, bibir, saluran napas, dan saluran cerna. Sebagian
besar angioedema idiopatik, tetapi dapat pula disebabkan obat, alergen, atau
bahan fisik. Pada 50% pasien angioedema timbul pula urtikaria, sedangkan pada
10% bayi dan anak dengan urtikaria juga terdapat angioedema. Angioedema
dapat merupakan bagian dari reaksi anafilaktik.
35
Manifestasi Kulit pada Alergi
Erupsi eksantematosa
Erupsi eksantematosa merupakan erupsi obat alergik tersering, terbanyak dalam
bentuk erupsi morbiliformis, dapat pula makulopapular atau skarlatiniformis.
Risiko terjadinya erupsi ini meningkat dengan adanya infeksi viral, misalnya
pada hampir 100% pasien yang memakai penisilin dan terkena infeksi virus
Epstein-Barr timbul reaksi eksantematosa.
Biasanya erupsi eksantematosa timbul 7-14 hari setelah minum obat,
kadang dapat timbul setelah obat dihentikan. Bila diberikan lagi obat
tersebut, reaksi dapat timbul dalam beberapa hari. Erupsi berupa makula/
papula eritematosa, simetrik, biasanya mulai dari badan kemudian menjadi
generalisata. Membran mukosa biasanya tidak terkena, tetapi telapak tangan
dan kaki sering terkena. Erupsi dapat disertai gatal, kadang demam ringan.
Dalam 7-14 hari lesi menjadi coklat kemerahan dan terdapat deskuamasi.
36
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Penyebab tersering NET pada anak adalah obat, walaupun SSJ lebih
jarang disebabkan obat pada anak dibandingkan dengan orang dewasa. Infeksi
mikoplasma lebih sering sebagai pencetus SSJ pada anak dan biasanya lebih
ringan dibandingkan karena obat. Reaksi obat tersebut biasanya timbul dalam
8 minggu pertama pemakaian obat, jarang dalam beberapa hari pertama.
Sebagian besar pasien dengan SSJ/NET timbul 7-21 hari setelah pajanan
pertama dengan obat. Bila awitan lebih awal (2-3 hari), biasanya sudah pernah
terpajan obat tersebut atau terdapat reaksi silang dengan obat analognya.
Pada anak SSJ lebih sering terjadi daripada NET. Sindrom Steven-Johnson
dan NET lebih sering terjadi pada anak lebih besar dan orang dewasa, tetapi
dilaporkan juga terjadi pada bayi dan neonatus. Kelainan tersebut ditandai
dengan demam tinggi, gejala konstitusional berat, lesi generalisata berupa
lesi target, bula, epidermolisis, dan erosi mukosal. Seringkali terdapat masa
prodromal 1-14 hari sebelum erupsi timbul berupa demam, malese, nyeri
kepala, batuk, koriza, nyeri tenggorokan, muntah, diare, mialgia, dan artralgia.
Lesi kulit mulanya timbul di muka dan badan bagian atas, telapak tangan
dan kaki biasanya juga terkena. Makula eritematosa dan purpurik dapat
berkembang menjadi bula flasid berwarna abu-abu, menjadi konfluen, dan
kadang lepas meninggalkan dasar kemerahan. Bagian tengah makula dapat
berwarna gelap menyerupai target, tetapi tidak terdapat lingkaran konsentrik
seperti pada eritema multiform. Pada SSJ lesi target dan epidermolisis sangat
sedikit, sedangkan pada NET terdapat epidermolisis luas. Makula eritematosa
awal pada NET dapat terlokalisata, tetapi biasanya berupa eritroderma luas
dan nyeri. Tanda khas pada SSJ dan NET adalah tanda Nikolsky, yaitu bila
kulit ditekan ringan dengan jari pada daerah eritema, epidermis akan terlepas.
Tanda Nikolsky juga terdapat pada beberapa penyakit bulosa lainnya, misalnya
pemfigus, epidermolisis bulosa, dan staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS).
Diskromia kulit merupakan sekuele tersering dan dapat menetap bertahun-
tahun, juga sering dilaporkan distrofi kuku atau anonikia persisten. Parut
jarang terjadi, kecuali bila terdapat infeksi sekunder.
Lesi mukosa pada SSJ biasanya timbul 1-2 hari sebelum lesi kulit,
umumnya di bibir, lidah, mukosa bukal, mata, hidung, genitalia dan rektum,
berupa bula dengan membran putih keabuan, krusta hemoragik, serta erosi/
ulserasi yang nyeri. Mukosa oral selalu terkena, menyebabkan sulit makan
dan minum sehingga dapat berisiko dehidrasi. Konjungtivitis purulen berat
disertai fotofobia sering terjadi, dapat menyebabkan ulkus kornea, keratitis,
uveitis, dan panoftalmitis, dengan sekuele pada 40% pasien, bahkan dapat
menyebabkan buta.
37
Manifestasi Kulit pada Alergi
Lesi target pada SSJ dapat mirip eritema multiform (EM) yang biasanya
berkaitan dengan infeksi herpes simpleks pada anak. Pada EM juga dapat
timbul lepuh pada bibir dan mukosa oral walaupun biasanya jumlahnya sedikit
dan kurang simtomatik. Lesi kulit EM lebih sering pada ekstremitas dan atau
muka, sedangkan pada SSJ biasanya di badan.
Pada SSJ ringan perbaikan dapat terjadi dalam 5-15 hari, bila berat
dapat sampai lebih dari 1 bulan. Epidermolisis dapat sangat luas menyebabkan
kehilangan cairan, mirip luka bakar. Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain
adalah superinfeksi bakterial disertai sepsis, gangguan regulasi suhu, dehidrasi
berat, dan gangguan keseimbangan elektrolit. Pada orang dewasa, mortalitas
pada SSJ 5%, SSJ-NET 10-15%, dan NET 30-35%, sedangkan pada anak
biasanya lebih rendah.
38
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Eritema Multiformis
Eritema multiformis (EM) merupakan sindrom hipersensitivitas dengan
gambaran klinis khas, yaitu adanya lesi target. Keadaan ini tersering terjadi
pada dewasa muda, 20% kasus terjadi pada anak. Sebagian besar kasus pada
anak dicetuskan oleh infeksi virus herpes simpleks, disebut herpes-associated
erythema multiforme (HAEM), dapat pula oleh varisela atau virus Epstein-Barr.
Erupsi biasanya simetrik dengan predileksi pada telapak tangan dan
kaki, punggung tangan dan kaki, serta bagian ekstensor lengan dan tungkai
bawah. Lesi dapat berkelompok, terutama pada siku dan lutut, serta dapat
meluas ke badan, muka, dan leher, biasanya berlangsung selama 7 hari. Lesi
primer timbul mendadak tanpa masa prodromal berupa makula merah gelap
atau urtika (wheal) berbatas tegas, di tengahnya kemudian timbul papul atau
vesikel sehingga memberikan gambaran multiform. Bagian tengah kemudian
mendatar berwarna gelap karena nekrosis sel epidermis, akhirnya terbentuk lesi
target berupa beberapa lingkaran konsentrik berwarna merah berselang-seling
dengan lingkaran sianotik/keunguan. Lesi umumnya asimtomatik, kadang
disertai gatal atau rasa terbakar.
Lesi oral terlihat pada 25-50% anak, awalnya berupa bula yang cepat
pecah, disertai bibir bengkak berkrusta serta erosi mukosa bukal dan lidah.
Gejala sistemik biasanya ringan, berupa demam ringan, malese, mialgia, atau
artralgia. Erupsi umumnya sembuh dalam 2-3 minggu tanpa bekas, namun
dapat kambuh beberapa kali setahun.
Eritema nodosum
Eritema nodosum merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai dengan lesi
nodular berwarna merah dan nyeri, terbanyak pada pubertas dan jarang pada
usia < 2 tahun. Walaupun penyebabnya sangat banyak, pada anak seringkali
penyebabnya tidak dapat ditemukan, tersering adalah infeksi Streptococcus
β-hemolyticus.
Lesi terutama di daerah pretibial, tetapi pada anak lebih sering di paha,
lengan, badan, dan muka, jarang terdapat di telapak tangan dan kaki. Distribusi
lesi simetris, umumnya berdiameter 1-5 cm. Awalnya berupa nodus merah,
oval, teraba hangat, nyeri tekan, dan sedikit menonjol, kemudian berkembang
menjadi nodus berwarna merah kecoklatan atau keunguan. Lesi biasanya tidak
mengalami ulserasi dan tidak meninggalkan parut. Lesi dapat berlangsung
selama 3-6 minggu, dapat kambuh bila terjadi infeksi ulang streptokokal.
39
Manifestasi Kulit pada Alergi
Dermatitis atopik
Dermatitis atopik (DA) merupakan salah satu kelainan kulit yang sering
terdapat pada bayi dan anak, dimulai usia 6 bulan pertama pada 45% pasien,
usia 1 tahun pertama pada 60% pasien, dan sebelum usia 5 tahun pada 85%
pasien. Kelainan ini merupakan hasil interaksi kompleks antara disregulasi
imun, disfungsi sawar epidermal, dan interaksi lingkungan dengan kulit. Selain
itu juga ada faktor genetik dan farmakologik.
Tanda dan gejala penting pada DA adalah gatal, perjalanan penyakit
kronik, serta morfologi dan distribusi lesi yang spesifik berdasarkan usia.
Berdasarkan usia pasien dan distribusi lesi, DA dibagi menjadi tiga fase, yaitu
fase infantil (usia 0-2 tahun), anak (2 tahun-pubertas), dan dewasa.
40
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Fase infantil
Biasanya mulai di pipi, dahi, atau skalp, kemudian dapat meluas ke badan dan
bagian ekstensor ekstremitas. Terdapat gatal, eritema, papul, vesikel, eksudasi,
dan krusta, biasanya disertai xerosis kutis generalisata. Lesi pada muka,
terutama pipi dan dagu, dapat disebabkan iritasi air liur atau makanan. Pada
usia 8-10 bulan lesi dapat timbul di bagian ekstensor ekstremitas disebabkan
friksi karena merangkak serta pajanan terhadap iritan/alergen (misalnya pada
karpet). Daerah popok dan inguinal biasanya tidak terkena. Kadang dapat
diawali dengan dermatitis seboroik, terutama usia 1-2 bulan, dengan adanya
pruritus dan skuama kering kemungkinan merupakan kombinasi DA dengan
dermatitis seboroik (seboatopik). Pada usia 6-12 bulan komponen seboroik
biasanya hilang, sedangkan gambaran DA menetap.
Fase anak
Lesi biasanya kurang eksudatif dan berkrusta, cenderung kronik dan
likenifikasi, umumnya kering, papular dan lebih sirkumskrip. Tempat predileksi
di pergelangan tangan, pergelangan kaki, tangan, kaki, serta daerah antekubital
dan popliteal. Lesi di muka terutama di periorbital dan perioral. Kadang dapat
timbul lesi numular di muka, badan, dan ekstremitas atau gambaran inversa di
daerah ekstensor. Distrofi atau pitting kuku dapat timbul bila mengenai jari-jari.
Beberapa tanda klinis lain sering didapatkan pada DA, antara lain white
dermographism, hiperkeratosis folikularis/keratosis folikularis, liken spinulosus,
pitiriasis alba, lipatan di bawah mata (Dennie-Morgan fold), dan aksentuasi
garis palmar.
Simpulan
Erupsi/kelainan pada kulit merupakan manifestasi alergi yang sering dijumpai.
Gambaran klinisnya sangat bervariasi, mulai dari yang ringan sampai berat,
kadang mirip dengan kelainan kulit non-alergik sehingga memerlukan
pemeriksaan penunjang. Walaupun diagnosis kelainan tersebut umumnya
relatif mudah, seringkali sulit untuk menemukan/menentukan penyebabnya.
41
Manifestasi Kulit pada Alergi
Daftar pustaka
1. Paller AS, Mancini AJ. The hypersensitivity syndromes. Dalam: Paller AS,
Mancini AJ, penyunting. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi 4.
Edinburgh: Elsevier Sanders; 2011.h.454-75.
2. Lansang P, Weinstein M, Shear N. Drug reactions. Dalam: Schachner LA, Hansen
RC, penyunting. Pediatric Dermatology. Edisi 4. Edinburgh: Mosby Elsevier;
2011.h.1698-711.
3. Bailey E, Shaker M. An update on childhood urticaria and angioedema. Curr
Opin Pediatr 2008;20:425-30.
4. Koh MJ, Tay YK. An update on Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis. Curr Opin Pediatr 2009;21:505-10.
5. Segal AR, Doherty KM, Leggott J, et al. Cutaneous reactions to drugs in children.
Pediatrics 2007;120: e1082-183.
6. Grathan CEH, Black K. Urticaria and mastocytosis. Dalam: Burns T, Breathnack
S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi 8.
Oxford: Blackwell Publishing Ltd; 2010.h.22.1-30.
7. Orchard D, Burden D. Vascular reactions. Dalam: Schachner LA, Hansen
RC, penyunting. Pediatric Dermatology. Edisi 4. Edinburgh: Mosby Elsevier;
2011.h.1096-8.
8. Paller AS, Mancini AJ. Eczematous eruptions in children. Dalam: Paller AS,
Mancini AJ, penyunting. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi 4.
Edinburgh: Elsevier Sanders; 2011.h.37-52.
42
Masalah Alergi Obat pada Anak
E. M. Dadi Suyoko
Tujuan:
1. Mampu menegakkan diagnosis alergi obat
2. Mampu membedakan reaksi alergi obat ringan dengan berat
3. Mampu menatalaksana alergi obat
43
Masalah Alergi Obat pada Anak
Faktor risiko
Faktor risiko terpenting alergi obat adalah riwayat alergi sebelumnya dengan
obat yang sama. Pemberian topikal dan parenteral lebih sering menyebabkan
sensitisasi daripada pemberian secara oral. Dosis tunggal yang besar lebih
jarang menimbulkan sensitisasi daripada pemberian yang sering dan lama. Usia
dewasa muda lebih mudah bereaksi daripada bayi atau usia tua dan perempuan
lebih banyak dari laki-laki.
Predisposisi atopi tidak meningkatkan kemungkinan terjadinya alergi
obat, tetapi dapat menyebabkan manifestasi reaksi alergi yang lebih berat.
Infeksi virus tertentu seperti HIV, Herpes, EBV, dan CMV, yang menekan
sistem imun, meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi alergi obat.
Sebagian dari reaksi alergi obat pada anak berkaitan dengan infeksi virus atau
gangguan autoimun.
Etiologi
Jenis obat penyebab alergi pada anak sangat bervariasi dan berbeda menurut
waktu dan tempat serta jenis penelitian yang dilaporkan. Kejadian alergi obat
tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat tersebut. Pada
umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golonagan
penisilin, betalaktam, sulfa dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan
adalah analgetik lain (asam mefenamad), sedatif (terutama luminal),
tranquilizer (fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat), antikonvulsan
(karbamizepin). Alergi dengan gejala klinis berat paling sering dihubungkan
dengan obat golongan penisilin dan sulfa.
Patogenesis
Alergi obat biasanya tidak dihubungkan dengan efek farmakologis, tidak
tergantung dari dosis yang diberikan, dan tidak terjadi pada pajanan awal.
Sensitisasi imunologis memerlukan pajanan awal dan tenggang waktu beberapa
lama (masa laten) sebelum timbul reaksi hipersensitivitas.
Reaksi hipersensitivitas dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut Gell
& Coomb. Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke 4 tipe tersebut.
Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Sedangkan
alergi obat melalui tipe II dan III umumnya merupakan bagian dari kelainan
hematologis atau penyakit autoimun. Perlu diingat bahwa alergi obat dapat
saja terjadi melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat
secara bersamaan.
44
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Pada reaksi tipe III terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala
timbul, yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang
dapat mengaktifasi komplemen dan menarik sel-sel inflamasi. Reaksi terkadang
baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula berupa reaksi
setempat yang dikenal sebagai reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan
kemerahan setempat pada tempat antigen berada, misalnya pada imunisasi.
Manifestasi klinis
Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu.
Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala, dan pada seorang anak
dapat berbeda dengan anak yang lain. Gejala klinis tersebut kita sebut sebagai
alergi obat, bila terdapat antibodi atau sel limfosit T tersensitisasi yang spesifik
terhadap obat atau metabolitnya, serta konsisten dengan gambaran reaksi
inflamasi imunologis yang sudah dikenal. Gejala yang menyokong diagnosis
terjadinya alergi obat, antara lain:
1. Tidak ada hubungan antara gejala yang terjadi dengan efek farmakologis obat
2. Terdapat rentang waktu antara pajanan obat sampai munculnya gejala
3. Gejala yang muncul tidak berkaitan dengan dosis obat. Gejala dapat timbul
dengan pemakaian dosis yang kecil. Gejala akan hilang bila penggunaan
obat dihentikan
4. Gejala yang timbul berkaitan dengan reaksi imunologis seperti rash, serum
sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angioedema dan lain-lain
Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan sampai berat (lihat
Tabel 1). Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering terjadi, dapat
berupa gatal, urtika, purpura, dermatitis kontak, eritema multiforme, eritema
nodusum, erupsi obat fikstum, reaksi fotosensifitas, dermatitis eksfoliatif, erupsi
vesikobulosa, sindrom Steven Johnson dan nekrolisis epidermal toksis .
45
Masalah Alergi Obat pada Anak
Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering dilaporkan sebagai
manifestasi alergi obat. Namun penegakkan diagnosis alergi obat dengan
manifestasi erupsi kulit harus dilakukan dengan hati–hati, karena erupsi
kulit yang terjadi harus dibedakan dengan eksantema virus yang seringkali
terjadi pada anak, yang timbul bersamaan (coincidental) dengan pemberian
obat. Diagnosis alergi obat pada anak akan sangat mempengaruhi pemberian
obat sampai anak dewasa yang menyebabkan anak tidak bisa mendapatkan
obat baku dan memperoleh obat alternatif yang mungkin akan lebih toksik.
Penegakkan diagnosis segera terhadap terjadinya alergi obat juga sangat penting
untuk mencegah progresivitas reaksi alergi, identifikasi obat yang menyebabkan
alergi dan mencari obat alternatif yang dapat digunakan pada pasien.
Gejala klinis yang memerlukan pertolongan tepat dan segera adalah reaksi
anafilaksis, karena adanya hipotensi sampai syok, spasme bronkus, sembab
laring, angioedema atau urtikaria generalisata. Demam dapat merupakan gejala
tunggal alergi obat atau bersama gejala lain yang timbul beberapa jam setelah
pemberian obat tetapi biasanya terjadi pada hari ke 7-10 dan menghilang
dalam waktu 48 jam setelah penghentian obat atau beberapa hari kemudian.
Demam disebabkan oleh penglepasan sitokin. Beberapa obat seperti alupurinol,
azatioprim, barbiturat, produk darah, sefalosporin, hidroksiurea, yodida,
metildopa, penisilamin, penisilin, fenitoin, prokainamid dan kuinidin sering
menimbulkan demam tanpa disertai gejala alergi yang lain.
Diagnosis
Diagnosis alergi obat sering kali sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat.
Kesulitan terbesar adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara
manifestasi klinis dengan pemberian obat tertentu, dan apakah gejala klinis
tersebut bukan merupakan bagian dari perjalanan penyakitnya sendiri yang
sedang diobati. Banyak penulis yang melaporkan bahwa sebagian besar lesi
makulopapular dan urtikaria yang timbul pada anak yang sedang mendapat
pengobatan antibiotika sebetulnya berhubungan dan merupakan manifestasi
penyakit dasarnya.
Anamnesis yang terperinci merupakan tahap awal terpenting untuk
membuat diagnosis alergi obat. Anamnesis meliputi formulasi obat, dosis, rute,
dan waktu pemberian (Tabel 2).
46
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Tabel 2. Informasi penting yang dibutuhkan pada anak yang dicurigai mengalami alergi obat
Gambaran terperinci gejala reaksi alergi obat
• Lama dan urutan gejala
• Terapi yang telah diberikan
• Outcome
Hubungan antara waktu pemberian obat dan gejala
• Apakah penderita sudah pernah mendapatkan obat yang sama sebelum terapi sekarang?
• Berapa lama penderita telah mendapatkan obat sebelum munculnya reaksi?
• Kapan obat dihentikan?
• Apa efeknya?
Keterangan keluarga atau dokter yang merawat
Apakah ada foto pasien saat mengalami reaksi?
Apakah ada penyakit lain yang menyertai?
Daftar obat yang diminum pada waktu yang sama
Riwayat penyakit sebelumnya: termasuk riwayat penyakit dan alergi lainnya
Reaksi obat lainnya
Pemeriksaan penunjang
Tes kulit dapat memberikan bukti adanya sensitisasi obat, terutama yang
didasari oleh reaksi tipe I (IgE mediated). Namun demikian sebagian besar
obat tidak diketahui imunogen yang relevan sehingga nilai prediksi tes kulit
tidak dapat ditentukan.Tes kulit dapat berupa skin prick test (SPT) atau tes
intradermal. Tes intradermal lebih sensitif tapi kurang spesifik dibandingkan
SPT. Pemeriksaan penunjang lainnya antara lain: IgE spesifik, serum triptase,
dan cellular allergen stimulation test (CAST).
Penisilin merupakan obat yang sudah dapat ditentukan metabolit
imunogennya. Tes kulit untuk preparat penisilin diperlukan metabolit
imunogennya, major antigenic determinant yaitu penicylloil. Preparat penicylloil
untuk test kulit dijual dengan nama dagang Pre-Pen, sayangnya preparat
ini belum ada di Indonesia sehingga tes kulit terhadap penisilin tidak dapat
dilakukan di Indonesia.
Untuk obat dan antibiotika yang lain, belum ada preparat khusus untuk
tes kulit. Untuk beberapa jenis antibiotika yang sering digunakan, terutama
golongan betalaktam, dan kita ragu apakah pasien alergi atau tidak, dapat
dilakukan tes kulit dengan pengenceran yang tidak menimbulkan iritasi
(nonirritating concentration). Meskipun demikian, tes kulit untuk diagnosis
alergi obat terutama antibiotika tidak dianjurkan karena nilai prediksi rendah.
Kalau hasil tes positif, masih mungkin alergi terhadap obat tersebut, tetapi
kalau negatif belum tentu tidak alergi.
47
Masalah Alergi Obat pada Anak
Tata laksana
Tata laksana yang perlu dilakukan bila terjadi alergi obat adalah sebagai berikut:
1. Segera menghentikan obat yang dicurigai.
2. Mengobati reaksi yang terjadi sesuai manifestasi klinis.
3. Mengidentifikasi dan menghindari potential cross-reacting drugs.
4. Mencatat secara tepat reaksi yang terjadi dan pengobatannya.
5. Jika memungkinkan, identifikasi pilihan pengobatan lain yang lebih aman.
6. Jika obat tersebut sangat dibutuhkan, dan tidak ada obat pengganti,
dapat dilakukan desensitisasi secara oral maupun parenteral. Desensitisasi
dilakukan dengan memberikan alergen obat secara bertahap untuk
membuat sel efektor menjadi kurang reaktif. Protokol spesifik telah
dikembangkan untuk masing-masing obat. Prosedur ini harus dikerjakan di
rumah sakit dengan peralatan resusitasi yang tersedia lengkap berdasarkan
konsultasi dengan dokter konsultan alergi.
Simpulan
Masalah alergi obat pada anak masih seringkali membingungkan baik untuk
dokter maupun orangtua pasien. Diagnosis alergi obat pada anak sulit dilakukan
dan hal ini kerap menyebabkan overdiagnosis alergi obat. Dari seluruh anak
yang dicurigai alergi obat, ketika dilakukan evaluasi dengan akurat, ternyata
hanya sekitar 12,5% yang memang betul–betul mengalami alergi terhadap obat.
48
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Erupsi kulit adalah gejala yang sering dilaporkan sebagai manifestasi reaksi
alergi obat pada anak. Waktu yang ideal untuk mengevaluasi alergi obat pada
anak adalah pada waktu anak sehat dan tidak sedang memerlukan pengobatan.
Daftar bacaan
1. Suyoko EMD, Siregar SP, Sumadiono, Kumara Wati KD. Alergi Obat. Dalam:
Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
penyunting, Pedoman Pelayanan Medis: Ikatan Dokter Anak Indonesa. Jilid 1.
Jakarta: Balai Penerbit IDAI;2010.h. 1–4.
2. Solensky R, Mendelson LM. Drug Allergy. Dalam: Leung DYM, Sampson HA,
Geha R, Szefler SJ, penyunting, Pediatric allergy principles and practice. Edisi
ke-2. Edinburgh: Saunders;2010.h.616–30.
3. Segall A, Doherty K, Leggott J, Zlotoff B. Cutaneus reaction to drugs in children.
Pediatrics. 2007;120:e1082-96.
4. Akib AAP, Takumansang DS, Sumadiono, Satria CD. Alergi obat. Dalam: Akib
AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi-imunologi anak. Edisi
ke – 2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI;2007. h. 295–307.
5. Macy E, Mellon MH, Schatz M, Patterson R. Dalam: Adelman DC, Casale TB,
Corren J, penyunting. Manual of allergy and immunology. Edisi ke-4. Philadelphia:
Saunders;2002.h. 219–41.
6. Suyoko EMD, Palupi RD. Manifestasi erupsi kulit simpang obat pada anak.
Dalam: Akib AAP, Windiastuti E, Sekartini R, Kurniati N, Kadim M, penyunting.
Pediatric skin allergy and its problems. PKB LVIII Dept IKA FKUI dan IDAI
JAYA. Dept IKA FKUI;2010;57–63.
7. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR, Youlten LJF, Dugue P, Friedman PS, et al.
BSACI guidelines for the management of drug allergy. Clinical Experimental
Allergy. 2008;39:43–61.
49
Masalah Alergi Obat pada Anak
50
Perangkat Diagnostik pada Penyakit Alergi
Dina Muktiarti
Tujuan:
1. Mengetahui indikasi tes diagnostik alergi
2. Mengetahui jenis-jenis tes diagnostik alergi dan karakteristiknya
3. Memahami pemilihan tes diagnostik alergi dan jenis alergen yang tepat
4. Memahami interpretasi hasil tes alergi
51
Perangkat Diagnostik pada Penyakit Alergi
Metode tes alergi yang klasik adalah dengan uji kulit (skin prick test/SPT,
intradermal) dan pengukuran kadar imunogobulin E (IgE) spesifik di dalam
serum. Pengukuran kadar IgE ini bertujuan untuk menentukan adanya IgE
spesifik terhadap suatu alergen, yang merupakan komponen utama pada reaksi
hipersensitivitas tipe I. Tes alergi dapat dilakukan untuk berbagai alergen
makanan, alergen inhalan, venom dan beberapa macam obat.1-3 Namun, tidak
semuanya tersedia di Indonesia.
Skin prick test pertama kali diperkenalkan pada tahun 1867 dan masih
merupakan tes yang paling sering dikerjakan untuk menentukan adanya IgE
spesifik untuk beberapa alasan. Skin prick test tidak invasif, hasil dapat diperoleh
dengan cepat (15-20 menit), murah dan bila dilakukan dengan teknik yang
benar maka SPT mempunyai reprodusibilitas yang cukup baik.1-3,5
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil SPT adalah alat dan
kualitas alergen yang digunakan, tehnik SPT, kondisi kulit, usia, dan obat-
obatan seperti antihistamin.1-3 Skin prick test dapat dikerjakan sejak usia 1
bulan, tetapi perlu diingat bahwa pada bayi cenderung menghasilkan reaksi
kulit yang lebih kecil karena sel mast yang lebih sedikit dibandingkan anak
yang lebih besar. Kondisi kulit seperti dermatografisme dan dermatitis atopik
berat akan mempengaruhi hasil SPT.1 Antihistamin akan menekan reaksi kulit
pada SPT. Untuk itu, antihistamin generasi pertama harus dihentikan selama
minimal 3 hari dan antihistamin generasi kedua harus dihentikan minimal
5-7 hari.5 Imunoterapi yang efektif dapat menurunkan reaksi kulit pada SPT.1
Prosedur SPT dimulai dengan meneteskan satu tetes ekstrak alergen
di daerah volar lengan bawah atau daerah punggung. Selain ekstrak alergen
yang akan diuji, perlu ditambahkan 1 tetes kontrol positif (histamin) dan 1
tetes kontrol negatif. Untuk mencungkit/menusuk kulit pada lokasi alergen
52
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
dapat digunakan lanset atau jarum plastik khusus untuk SPT. Pada proses ini
tidak diperbolehkan adanya perdarahan. Saat pencungkitan/penusukan kulit
maka alergen masuk ke dalam kulit dan berinteraksi dengan IgE yang terikat
pada sel mast. Cross-linking IgE akan menghasilkan lepasnya histamin dan
mediator lainnya. Lepasnya histamin akan menyebabkan adanya wheal/urtika
dan eritema pada lokasi alergen tersebut. Pengukuran wheal dapat dilakukan
setelah 15-20 menit sesudah proses pencungkitan. Interpretasi hasil SPT harus
dimulai dengan pengukuran wheal pada kontrol positif dan negatif. Hasil tes
dinyatakan positif apabila terdapat wheal lebih besar atau sama dengan 3
mm dari kontrol negatif.1-3,5 Ekstrak alergen yang digunakan dapat berupa
ekstrak alergen yang telah terstandardisasi ataupun alergen dalam bentuk
segar (misalnya buah-buahan). Teknik dengan menggunakan makanan dalam
bentuk segar pada prosedur SPT dinamakan teknik prick to prick.2
Skin prick test sangat aman dikerjakan, kejadian reaksi alergi berat atau
anafilaksis sangat jarang terjadi. Namun risiko ini tidak dapat diabaikan begitu
saja terutama pada pasien dengan riwayat anafilaksis. Walaupun cukup aman,
obat-obatan untuk mengatasi anafilaksis tetap harus disiapkan sebelum SPT
dikerjakan.1,6
Uji intradermal dikerjakan apabila terdapat hubungan kausal yang
jelas antara reaksi alergi dengan suatu alergen namun hasil SPT negatif. Uji ini
merupakan baku emas untuk venom dan obat. Uji ini dilakukan dengan cara
menyuntikkan alergen tertentu ke dalam lapisan dermis kulit dan kemudian
akan dievaluasi 15-20 menit kemudian. Namun uji ini jarang dikerjakan pada
anak-anak karena tidak nyaman, lebih invasif, dan risiko terjadinya reaksi
alergi yang berat lebih besar bila dibandingkan dengan SPT.1,3,5-7
Pemeriksaan IgE spesifik dalam serum diperkenalkan pada tahun
1972 dan terdapat berbagai metode pemeriksaan. Salah satunya adalah teknik
ImmunoCAP yang banyak digunakan dalam penelitian maupun dalam praktik
sehari-hari. Pemeriksaan ini diindikasikan pada beberapa keadaan seperti pada
pasien yang tidak dapat lepas dari obat-obat antihistamin, riwayat penyakit
yang diperkirakan akan memperbesar risiko reaksi anafilaksis pada tindakan
SPT, dermatitis atopik yang berat dan generalisata sehingga tidak cukup daerah
kulit untuk dilakukan SPT.1,3,7
Dasar pemeriksaan ini adalah adanya ikatan antara IgE spesifik dalam
serum pasien dengan alergen. Antibodi anti-IgE yang telah dilabel akan terikat
pada IgE. Label berupa enzim yang terkonjungasi dengan antibody anti-IgE
akan bereaksi dengan substrat fluoresens. Hasil dari reaksi ini akan dihitung
dengan interpolasi kurva standar kalibrasi sesuai dengan standar World Health
Organization dan dilaporkan dengan satuan kilo International Units of allergen
specific antibody per unit volume sampel (kUA/L). Tes ini dinyatakan positif
bila kadar IgE spesifik > 0,35 kUA/L.8
53
Perangkat Diagnostik pada Penyakit Alergi
Skin prick test dan pemeriksaan IgE spesifik dinyatakan sama unggulnya
untuk pemeriksaan alergen makanan dalam suatu systematic review.9 Perbedaan
antara SPT dan kadar IgE spesifik dalam serum dapat dilihat pada Tabel 2.
Pemeriksaan dengan menggunakan atopy patch tidak rutin dilakukan.
Beberapa indikasi untuk atopy patch adalah kasus dermatitis kontak atau pada
kasus alergi makanan dengan manifestasi klinis dermatitis atopik. Namun hasil
beberapa penelitian atopy patch untuk alergen makanan belum mendapatkan
kesimpulan yang meyakinkan sehingga atopy patch belum digunakan secara
rutin.2,7,9 Penggunaan kombinasi SPT, kadar IgE spesifik dalam serum dan APT
tidak mempunyai kelebihan apabila dibandingkan dengan pemeriksaan SPT
atau kadar IgE spesifik saja.7
Pemeriksaan lain seperti kinesiologi, pemeriksaan IgG4, tes elektrodermal,
analisis rambut, analisis cairan lambung merupakan pemeriksaan yang tidak
standar dan tidak terbukti sebagai bagian pemeriksaan alergi. Pemeriksaan
IgE total juga tidak dapat digunakan untuk menentukan adanya sensitisasi
terhadap alergen tertentu.7 Dengan menggunakan beberapa panduan di
atas maka seorang dokter dapat menentukan jenis tes alergi apa yang harus
dilakukan untuk seorang pasien.
Tabel 2. Perbedaan penentuan IgE spesifik antara skin prick test dan IgE spesifik dalam serum5
Variabel Skin prick test IgE spesifik dalam serum
Risiko adanya reaksi alergi Ada, jarang Tidak ada
Dipengaruhi oleh antihistamin Ya Tidak
Dipengaruhi oleh kortikosteroid Biasanya tidak Tidak
Dipengaruhi oleh dermatitis yang luas atau dermatografisme Ya Tidak
Pilihan alergen yang luas Ya Tidak
Hasil pemeriksaan segera Ya Tidak
Harga yang mahal Tidak Ya
Dipengaruhi oleh labilitas alergen (kualitas) Ya Tidak
54
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Untuk obat-obatan pilihan tes alergi sangat terbatas. Satu hal yang
perlu diingat bahwa terdapat banyak mekanisme yang terkait dengan reaksi
simpang obat. Untuk itu penting untuk mengetahui mekanisme terjadinya
reaksi simpang obat pada kelompok obat tertentu. Pemeriksaan IgE spesifik
dalam darah dan SPT tersedia untuk beberapa obat seperti golongan penisilin
(benzylpenicilloyl polylysine, minor determinant mixture).8,10 Namun pemeriksaan
ini tidak tersedia di Indonesia.
55
Perangkat Diagnostik pada Penyakit Alergi
placebo control food challenge (DBPCFC). Double blind placebo control food
challenge merupakan baku emas alergi makanan namun karena prosedurnya
rumit, lama, dan mahal maka prosedur ini dilakukan untuk penelitian,
sedangkan dalam praktik sehari-hari dapat digunakan uji provokasi makanan
terbuka.1,7
Panduan untuk dilakukan uji provokasi makanan dapat dilihat pada
Tabel 4.11 Beberapa penelitian berusaha mencari nilai batas, baik untuk SPT
maupun kadar IgE spesifik dalam serum berbagai jenis makanan, untuk dapat
menyatakan suatu alergen makanan sebagai pencetus tanpa perlu dilakukannya
uji provokasi.11,12 Nilai berbagai penelitian berbeda, namun secara umum nilai
pada Tabel 5 dapat dijadikan pegangan.
Tabel 4. Skema yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan alergi makanan sebagai diagnosis11
Tabel 5. Perkiraan nilai prediksi IgE spesifik dan SPT berbagai alergen makanan12
PPV 50% PPV 95% (usia > 2 tahun) PPV 95% (usia < 2 tahun)
IgEs (kUA/L) SPT IgEs (kUA/L) SPT IgEs (kUA/L) SPT
(mm wheal) (mm wheal) (mm wheal)
Susu 2 TD 15 8 5 6
Telur 2 TD 7 7 2 5
Kacang 2 (riwayat jelas) TD 14 8 4
5 (riwayat tidak
jelas)
Ikan TD TD TD TD 20 TD
Keterangan:
IgEs: IgE spesifik; SPT: skin prick test; tergantung pada kualitas ekstrak dan teknik SPT; TD: tidak ada data
56
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
ini. Karena keterbatasan ini, maka pada panduan terakhir dinyatakan bahwa
SPT lebih baik digunakan untuk menilai alergen inhalan.11
Simpulan
Hasil tes alergi yang positif baik SPT maupun IgE spesifik hanya menandakan
adanya sensitisasi terhadap alergen terkait dan tidak selalu berkaitan dengan
gejala klinis alergi yang dialami pasien. Hasil tes alergi harus selalu dihubungkan
dengan kondisi klinis pasien, usia, pajanan alergen terkait, dan performa tes
alergi itu sendiri (sensitivitas, spesifisitas). Anamnesis yang teliti mengenai
gejala klinis pasien dan kemungkinan alergen pencetus akan sangat membantu
untuk memilih jenis tes diagnostik yang diperlukan, alergen yang akan diuji,
dan interpretasinya serta menggunakan informasi ini untuk merencanakan
tata laksana selanjutnya.
Daftar pustaka
1. Cox L, Williams B, Sicherer S, Oppenheimer J, Sher L, Hamilton R, dkk. Pearls
and pitfalls of allergy diagnostic testing: report from the American College
of Allergy, Asthma and Immunology/American Academy of Allergy, Asthma
and Immunology Specific IgE Test Task Force. Ann Allergy Asthma Immunol.
2008;101:580–92.
2. Host A, Andrae S, Charkin S, Diaz-Vazquez C, Dreborg S, Eigenmann PA, dkk.
Allergy testing in children: why, who, when and how? Allergy. 2003:58:559–69.
3. Cartwright RC, Dolen WK. Consultation with the specialist: who needs allergy
testing and how to get it done. Pediatr Rev. 2006;27:140-6.
4. Venter C, Pereira B, Voigt K, Grundy J, Clayton CB, Higgins B, dkk. Prevalence
and cumulative incidence of food hypersensitivity in the first 3 years of life.
Allergy. 2008;63:354–9.
5. Lasley MV, Shapiro GG. Testing for allergy. Pediatr Rev. 2000;21:39-43.
6. Liccardi G, D’Amato G, Canonica W, Salzillo A, Piccolo A, Passalacqua G.
Systemic reactions from skin testing: literature review. J Investig Allergol Clin
Immunol. 2006;16:75-8.
7. Boyce JA, Assa’ad A, Burks AW, Jones SM, Sampson HA, Wood RA. Guidelines
for the diagnosis and management of food allergy in the United States: report of
the NIAID-sponsored expert panel. J Allergy Clin Immunol. 2010;126:S1-S58.
8. Siles RI, Hsieh FH. Allergy blood testing: a practical guide for physician. Cleve
Clin J Med. 2011;78:585-92.
9. Chafen JJS, Newberry SJ, Riedl MA, Bravata DM, Maglione M, Suttorp MJ,
dkk. Diagnosing and managing common food allergies, a systemic review.
JAMA. 2010;303:1848-56.
10. Kranke B, Aberer W. Skin testing for IgE-mediated drug allergy. Immunol Allergy
Clin N Am. 2009;29:503-16.
57
Perangkat Diagnostik pada Penyakit Alergi
58
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis
Wahyuni Indawati
Tujuan:
1. Memahami epidemiologi pertusis
2. Memahami variasi spektrum klinis pertusis sesuai usia anak
3. Memahami tata laksana pertusis
Etiologi
Pertusis disebabkan oleh kuman Bordetella pertussis (95%) dan kadang-kadang
oleh Bordetella parapertusis, terdapat 9 spesies kuman dengan genus bordetella
namun hanya 5 jenis saja yang diketahui dapat menyebabkan infeksi di saluran
napas atas.1-4Kuman Bordetella pertussis memiliki berbagai komponen antigen
yang secara biologis aktif (Tabel 1).1,4Hampir semua komponen antigen pertusis
59
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis
kecuali tracheal cytotoxin (TCT) faktor virulensinya diatur oleh lokus genetik
tunggal yaitu bvgAS.4 Pada kondisi lingkungan tertentu misalnya pada suhu
370C, bvgAS akan menjadi aktif dan menghasilkan zat toksin dan adesin dan
organisme tersebut menjadi virulen (fase bvg+).4 Pada fase bvg-akan terjadi
ekspresi gen yang berbeda (gen represi vir) yang menyebabkan organisme
menjadi avirulen.4
Epidemiologi
Pertusis merupakan penyakit infeksi saluran napas yang menyebar di seluruh
dunia. Manusia merupakan satu-satunya host kuman Bordetella pertusis.1-4 Secara
global hampir 20-40 juta kasus pertusis terjadi setiap tahun, 90% diantaranya
terjadi di negara berkembang dan angka kematiannya mencapai 400.000
kasus per tahun terutama pada bayi usia muda.5,6 Target yang ditetapkan oleh
WHO bagi negara-negara eropa untuk insidens pertusis adalah sebesar <1
kasus/100.000 penduduk pada tahun 2000.5 Sayangnya bahkan untuk negara
maju pun target ini belum tercapai.
Epidemiologi pertusis sangat dipengaruhi oleh imunisasi. Pada awal tahun
1930 dan 1940 di Amerika Serikat (AS) terdapat 150/100.000 penduduk kasus
pertusis, dengan case fatality rate (CFR 4%).7 Setelah ditemukannya vaksin
pada tahun 1950 terjadi penurunan insidens pertusis yang sangat bermakna
60
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
yaitu 150 kali, sehingga pada pertengahan tahun 1970-an insidens pertusis di
AS hanya 1/100.000 dengan CFR 0.01/100.000.5-7 Pada era pravaksin, pertusis
telah menjadi endemi dengan kejadian epidemi setiap 2-5 tahun sekali.5-8
Dengan dilakukannya imunisasi pertusis rutin di seluruh dunia saat ini terdapat
kecenderungan penurunan insidens pertusis yang sangat bermakna, namun
demikian siklus epidemi penyakit ini cenderung menetap. Bahkan di beberapa
negara dilaporkan terjadinya peningkatan insidens terutama pada kelompok
usia remaja dan dewasa.5-8Data di Amerika Serikat antara tahun 1990-2010
menunjukkan proporsi terbesar pasien pertusis tetap pada anak usia < 1
tahun, sedangkan usia 11-19 tahun dan dewasa menunjukkan angka 44%.9
Hal ini menunjukkan masih terjadinya transmisi pertusis oleh pasien remaja
dan dewasa terhadap bayi yang belum terlindung imunisasi. 8,10
Patogenesis
Transmisi kuman pertusis terjadi melalui percik renik (droplet) yang berasal
dari percikan batuk atau bersin pasien pertusis yang terhirup ke saluran napas
atas oleh seseorang yang rentan.1-4 Proses transmisi ini terutama terjadi pada
saat awal penyakit yaitu pada fase kataral dan fase paroksismal awal.1-4 Masa
inkubasi pertusis umumnya 7-10 hari namun dapat berkisar antara 4-21 hari.
Pada kasus dengan kontak serumah seringkali didapatkan gejala klinis mulai
timbul hingga 4 minggu setelah awitan gejala pada sumber penularan.1-4
Setelah terpapar dengan kuman Bordetella pertusis, proses infeksi akan
berlanjut. Terdapat 4 tahapan penting dalam patogenesis infeksi pertusis
yaitu proses perlekatan (attachment), perubahan mekanisme pertahanan host
(evasion of host defenses), kerusakan lokal dan penyakit sistemik.4 Infeksi dimulai
dengan perlekatan kuman di saluran napas yaitu pada silia sel epitel bersilia.
Faktor adhesin yang dihasilkan kuman (FHA, PT, FIM, LPS, TcfA, Vag8, BrkA
dan PRN) akan memfasilitasi proses perlekatan ini.4,11,12Selanjutnya ACT dan
PT akan mempengaruhi fungsi sel imun sehingga infeksi akan berjalan terus
dan berlanjut. 4,11PT berfungsi mencegah migrasi limfosit dan makrofag ke
daerah infeksi dan mempengaruhi fungsi fagositosis. 1-4ACT akan memasuki
sel fagosit dan mengkatalisasi produksi cAMP yang berlebihan sehingga akan
menyebabkan intoksikasi netrofil dan menurunkan kemampuan fagositosis.4
Proses selanjutnya adalah terjadinya kerusakan lokal di saluran napas yang
difasilitasi oleh TCT, DNT dan ACT. TCT merupakan faktor yang paling
penting menyebabkan kerusakan pada sel bersilia di saluran napas.4,11 Pertusis
merupakan penyakit yang unik karena hanya memiliki satu manifestasi
klinissistemik pada kasus tanpa komplikasi yaitu terjadinya lekositosis dan
limfositosis yang disebabkan oleh PT.1-4 Peningkatan limfosit terjadi secara
61
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis
merata baik limfosit B maupun limfosit T.2,3 Pada infeksi Bordetella parapertusis
tidak terjadi limfositosis secara bermakna karena kuman ini tidak mengeluarkan
toksin PT.2,3
Gejala Klasik
Gejala klasik pertusis umumnya terjadi pada infeksi primer yang mengenai anak
usia 1-10 tahun yang tidak diimunisasi (tidak mempunyai kekebalan). Gejala
ini akan berlangsung 6-20 minggu dan terdiri dari 3 tahap/fase:1-4
62
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
63
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis
apnu dan sianosis lebih sering dijumpai pada pertusis dibandingkan dengan
infeksi virus di saluran napas, termasuk Respiratory Syncitial Virus (RSV). Fase
paroksismal dan konvalesen pada bayi muda umumnya lebih panjang. Berbeda
dengan gejala klasik pada umumnya, batuk dan whooping akan menjadi semakin
jelas, keras dan klasik pada fase konvalesen. Fase konvalesen dapat berupa
gejala batuk paroksismal yang timbul secara intermiten hingga usia 1 tahun,
termasuk terjadinya eksaserbasi yang berlanjut menjadi gejala respiratorik
namun tidak berhubungan dengan adanya kekambuhan infeksi atau reaktivasi
dari kuman Bordetella pertusis.
Komplikasi pertusis1-4
Komplikasi akibat pertusis juga sangat bervariasi dan umumnya terjadi pada
bayi usia muda. Komplikasi pada sistim respiratori adalah bronkopneumonia
dengan atau tanpa atelektasis, hipertensi pulmonal, otitis media (umumnya
disebabkan sekunder oleh patogen lain). Pertusis juga sering dihubungkan
dengan aktivasi tuberkulosis laten. Apnu, asfiksia, bronkiektasis, emfisema
interstisial dan subkutan serta pneumotoraks.
Komplikasi di susunan saraf pusat dilaporkan mencapai 14% kasus.
Komplikasi ini meliputi ensefalopati dengan kejang, meningoensefalitis yang
dapat memburuk menjadi stupor atau koma. Perdarahan dan edema serebral
dapat terjadi. Gejala sisa jangka panjang dapat terjadi yaitu paralisis spastik
dan retardasi mental.
64
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
65
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis
66
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Prognosis
Prognosis pertusis tergantung usia pasien, pada anak besar dan remaja
prognosis pertusis baik, sedangkan pada bayi memiliki risiko tinggi kematian
dan terjadinya ensefalopati.1-4 Adanya apnu dan kejang selama proses penyakit
menimbulkan gangguan intelektual pada pengamatan jangka panjang.2,3
Anak yang mengalami pertusis sebelum usia 2 tahun dilaporkan mengalami
abnormalitas pada fungsi parunya hingga saat dewasa.2,18
67
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis
Simpulan
Pertusis masih merupakan masalah kesehatan global di seluruh dunia
walaupun 95% nya terjadi di negara berkembang. Kasus pertusis seringkali
tidak terdiagnosis atau tidak dikenali karena tidak semua kasus menunjukkan
gejala klasik yang khas yaitu batuk paroksismal disertai whooping. Spektrum
klinis pertusis sangat bervariasi tergantung usia, riwayat infeksi dan imunisasi
sebelumnya. Tata laksana pertusis adalah pemberian antibiotik pilihan yaitu
golongan makrolid dan terapi suportif. Kecermatan dalam mengenali gejala
pertusis terutama pada fase awal penyakit akan mengurangi risiko terjadinya
komplikasi dan kematian.
Daftar pustaka
1. Heininger U. Pertussis and other bordetella infections of the respiratory tract.
Dalam: Chernick V, Boat TF, Willmott RW, Bush A, penyunting. Philadelphia
PA: Elsevier Saunders; 2006. h.543-50.
2. Long SS. Pertusis (bordetella pertussis and bordetella parapertussis). Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St Geme III JW, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-19. Philadelphia PA: Elsevier Saunders;
2011.h.944-8.
3. Shehab ZM. Pertussis. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric
respiratory medicine. Edisi ke-2. Philadelphia PA: Elsevier Mosby;2008.h.589-97.
4. Cherry JD, Heininger U. Pertussis and other bordetella infections. Dalam: Feigin
RD, Demmler-Harrison GJ, Kaplan SL, Cherry JD, penyunting. Feigin & Cherry’s
textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia PA: Elsevier
Saunders;2009.h.1683-1706.
5. Tan T, Trindade E, Skowronski. Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J.
2005;24: S10-18.
6. World Health Organization: Pertussis vaccines: WHO position paper. Weekly
epidemiological record. 2010;40:385-400.
7. Cherry JD. The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology
of the disease pertussis with the epidemiology of bordetella pertussis infection.
Pediatrics. 2005;115:1422-27.
8. Wood N, Mcintyre P. Pertussis: review of epidemiology, diagnosis, management
and prevention. Paediatr Resp Rev. 2008;9:201-12.
9. Centers for Disease Control and Prevention: Surveillance and Reporting. Trends
Pertussis USA 1990-2010.National Notifiable Diseases Surveillance System 2010.
10. Wendelboe AM, Njamkepo E, Bourillon A, Floret D, Gaudelus J, Gerber M,
dkk. Transmission of bordetella pertussis to young infants. Pediatr Infect Dis J.
2007;26:293-9.
11. Hewlett EL. Pertussis: current concept of pathogenesis and prevention. Pediatr
Infect Dis J. 1997;16:S78-84.
68
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
69
Strategi Terapi Tuberkulosis
dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap
Darmawan B Setyanto
Tujuan:
1. Memahami konsep dasar terapi Tuberkulosis (TB)
2. Memahami mekanisme dan bahaya terjadinya resistensi obat TB
3. Mengerti maksud obat dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap (KDT),
memahami kelebihan dan kekurangannya
Dalam tata kelola suatu penyakit, ada dua komponen utama yaitu diagnosis
dan tata laksana. Untuk penyakit TB pada anak, aspek diagnosis mempunyai
masalah yang lebih besar, yaitu sangat sulitnya menegakkan diagnosis pasti,
akibat berbagai keadaan yang khusus dijumpai pada pasien anak. Secara
umum, makin muda umur anak, makin sulit penegakan diagnosisnya. Masalah
utamanya adalah kesulitan mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan
mikrobiologi diagnostik. Walaupun dalam tata laksana TB anak tidak
menghadapi masalah sebesar aspek diagnosis, namun tetap harus diperhatikan
prinsip dasar terapi, berbagai potensi masalah yang dapat timbul dan kiat untuk
mengatasinya. Dalam aspek tata laksana TB, maka pemantauan terapi perlu
mendapat perhatian khusus. Pemantauan meliputi keteraturan terapi, respons
klinis, dan penilaian timbulnya efek samping obat.
Menurut Pedoman Tata kelola TB Anak yang diterbitkan oleh World
Health Organization (WHO) pertama kalinya pada tahun 2006, tujuan utama
tata laksana TB adalah:1
yy Menyembuhkan pasien TB, dengan mengeliminasi secara cepat sebagian
besar kuman TB
yy Mencegah kematian dan kecacatan
yy Mencegah kambuhnya TB, dengan meminimalkan kuman TB dorman
yy Mencegah terjadinya resistensi obat
yy Mencegah risiko penularan ke orang lain
Secara garis besar, tujuan akhir tata laksana TB adalah untuk
menyembuhkan pasien dan memperkecil risiko penularan kepada orang lain.
Dengan demikian keberhasilan tata laksana memberi manfaat untuk pasien
dan komunitas di sekitar pasien tinggal. Atas dasar itu, maka dokter yang
70
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
71
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap
72
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
73
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap
dikenal dengan sebutan the fall and rise phenomenon. Secara klinis, pasien
akan terlihat membaik pada beberapa minggu awal terapi, namun setelah itu
akan memburuk.7
74
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
75
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap
Kendali mutu
Sepanjang tahun 1980an dan 1990an, kualitas KDT menjadi perhatian
banyak pihak, karena di pasar global ditemukan KDT yang substandar dan
bioavailabilitas rifampisin yang tidak baik.13,14
Bioavailabilitas adalah jumlah yang terserap ke dalam darah dari obat
yang ditelan. Rifampisin merupakan obat yang paling rentan untuk mengalami
penurunan bioavailibiltas bila dicampur dengan obat lain dalam pembuatannya.
Dalam bentuk KDT, terutama yang berisi 3 dan 4 obat dapat mengakibatkan
rendahnya kadar rifampisin dalam darah, sehingga berikutnya akan terjadi
kegagalan terapi. Namun, bila bila KDT dibuat sesuai dengan baku pembuatan
obat yang baik (GMP – Good manufacturing practice) maka akan dihasilkan
76
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
bioavailabilitas yang setara dengan obat lepas.15,16 Hanya KDT yang sudah
diujicoba pada manusia yang seharusnya dipakai.17,18
WHO seperti berbagai lembaga TB dunia lain menentukan bahwa KDT
yang dipakai di suatu negara harus sudah melalui uji mutu yang menunjukkan
bahwa kualitasnya tidak lebih rendah dibanding obat lepas (non-inferiority).19
Obat KDT yang ada saat ini telah sepenuhnya bioekuivalen dengan obat
lepas sebagai pembanding,20,21,22 dengan efektivitas yang stabil bahkan hingga
6 bulan di daerah tropis.23,24
77
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap
Kelebihan KDT
Obat KDT mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan obat lepas.
Komponen keempat strategi DOTS adalah ketersediaan obat bermutu. Dalam
skala besar, misalnya dalam program TB nasional, penyediaan obat dalam
bentuk KDT akan mempermudah logistik (program friendly). Jenis sediaan
akan menjadi lebih sedikit, sehingga pengadaan, distribusi, dan penyimpanan
akan lebih sederhana. Dengan demikian penggunaan obat KDT akan
meningkatkan efisiensi penyediaan obat.26 Obat lepas, besar kemungkinannya
akan mempunyai masa daluarsa yang berbeda-beda sehingga berpotensi tidak
lengkapnya paduan obat TB yang harus diberikan bila salah satu obat telah
lebih dulu mencapai masa daluarsanya. Keadaan demikian tidak akan terjadi
pada obat dalam bentuk KDT.
Bagi penyedia layanan kesehatan, obat KDT juga akan mempermudah
dalam pemberian dan peresepan obat terutama untuk pasien anak. Dosis obat
pada anak dihitung berdasarkan berat badan. Dengan demikian untuk tiap
pasien, dokter harus menghitung dosis secara individual. Dalam bentuk KDT
anak, maka peresepan menjadi sederhana karena pasien hanya digolongkan
menjadi 4 kelompok berdasarkan rentang berat badan, yang masing-masing
mendapat 1, 2, 3 atau 4 tablet KDT. Hal ini akan meningkatkan terapi yang
tepat dan mengurangi kemungkinan kekeliruan peresepan oleh dokter.26
Bagi pasien, pemberian obat dalam bentuk KDT akan meningkatkan
keteraturan menjalani terapi.26,27 Untuk pasien anak, pemberian obat dilakukan
oleh orang tuanya. Dalam bentuk KDT anak, pemberian obat juga menjadi
lebih mudah, karena dengan sekali pemberian, sekaligus dua hingga tiga obat
dikonsumsi oleh anaknya. Dengan demikian obat KDT akan meningkatkan
keteraturan minum obat pada pasien, dan pasien lebih besar kemungkinannya
untuk menyelesaikan terapinya.26
Rifampisin terkadang digunakan untuk mengobati infeksi lain dan
dijual bebas di banyak negara. Penggabungan rifampisin dalam KDT akan
menghindarkan penggunaan rifampisin untuk infeksi lain, sehingga dapat
menjaga efektivitas rifampisin untuk tuberkulosis. 26 Pemberian obat dalam
78
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
bentuk KDT juga dengan sendirinya akan menghindarkan salah satu penyebab
utama timbulnya resistensi, yaitu pasien tidak mungkin mendapatkan
monoterapi, karena dalam obat KDT minimal mengandung dua macam
obat. Obat KDT akan memperkecil risiko terjadinya resistensi obat TB.
Walaupun sudah menggunakan obat KDT, komponen ketiga strategi DOTS
yaitu pengawasan langsung minum obat (DOT – directly observe therapy) tetap
perlu dilaksanakan.22,26
Kekurangan KDT
Sekalipun obat KDT mempunyai beberapa keunggulan, ada beberapa hal
yang dinilai sebagai kelemahan obat KDT. Pencampuran beberapa obat dalam
satu tablet/kapsul akan menyebabkan interaksi obat. Yang menjadi perhatian
utama adalah berkurangnya bioavailabilitas rifampisin dan instabilitas isoniazid.
Untuk mengatasi hal ini, WHO telah mengeluarkan aturan yang ketat untuk
menjaga kendali mutu obat KDT.
Obat KDT, karena dosisnya yang tetap, maka penggunaannya secara
berkelompok sesuai berat badannya. Dengan demikian, dosis untuk tiap anak
tidak akurat perhitungannya. Untuk anak dengan BB paling rendah dalam
kelompoknya, akan mendapat dosis yang lebih besar, sedangkan anak dengan
BB paling tinggi dalam kelompoknya akan mendapat dosis lebih kecil. Ini
memang merupakan konsekuensi dari pemberian obat secara massal. Keadaan
ini dapat diibaratkan seperti membuat baju dalam ukuran baku yaitu ukuran
kecil (S), sedang (M), dan besar (L). Hal ini berbeda dengan perhitungan
dosis secara individual yang ibarat membuat baju sesuai ukuran masing-masing
(tailor made). Namun hal ini sudah diperhitungkan, bahwa walaupun terdapat
variasi dosis obat, namun semua masih dalam rentang dosis yang dianjurkan.
Kelemahan lain adalah, bila timbul efek samping, maka akan sulit
mengidentifikasi komponen obat mana yang berperan, termasuk jika terjadi
alergi obat. Bila itu terjadi maka obat KDT harus dihentikan pemberiannya.
Berbeda dengan obat terpisah yang dapat lebih mudah diidentifikasi mana
yang bermasalah dan cukup obat tersebut yang dihentikan dan jika perlu
diganti. Oleh karena itu dalam penyediaan obat TB, di samping obat KDT
tetap diperlukan obat lepas dalam jumlah sedikit untuk kebutuhan tata laksana
reaksi simpang obat. Dari segi kekerapan terjadinya reaksi simpang obat TB,
ternyata pemberian dalam bentuk KDT tidak lebih tinggi daripada pemberian
dalam bentuk terpisah.22
Harga obat dalam bentuk KDT lebih mahal dibandingkan penjumlahan
biaya obat yang sama dalam bentuk terpish. Mahalnya harga obat KDT dapat
dipahami karena teknologi farmasi yang dibutuhkan untuk membuatnya
79
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap
memang lebih maju, dengan sendirinya memerlukan investasi biaya yang lebih
besar. Namun diharapkan dengan adanya pemakaian obat KDT dalam jumlah
besar disertai persaingan di antara farmasi pembuat KDT akan membuat
harganya berkurang, paling tidak mendekati harga obat dalam bentuk terpisah.
Sebagai tambahan, obat dalam bentuk KDT akan mengurangi biaya logistik
sehingga bisa berdampak mengurangi biaya obat secara keseluruhan.28 Dan
tidak boleh dilupakan, seperti telah dibahas di depan, penggunaan obat KDT
akan jauh mengurangi risiko terjadinya resistensi obat. Suatu masalah yang
jika terjadi akan memerlukan biaya penanggulangan yang sangat jauh lebih
besar dibandingkan selisih biaya obat KDT dibanding obat terpisah.
Simpulan
Tata laksana TB anak berupa terapi dengan paduan obat mempunyai beberapa
aspek yang perlu diperhatikan agar kesembuhan dapat dicapai dan tidak terjadi
resistensi obat TB. Beberapa hal pokok yang perlu mendapat perhatian:
yy Kuman TB merupakan kuman yang sangat spesial karena berbagai
karakteristik yang dimilikinya antara lain karena terdiri dari populasi yang
berbeda berdasarkan keaktifannya membelah diri. Hal ini terkait dengan
potensi terjadinya resistensi dan perlunya diberikan lebih dari satu obat
untuk terapinya.
yy Terapi TB diberikan dalam waktu relatif lama, minimal 6 bulan, terus
menerus , tidak putus sambung atau terhenti sebelum waktunya
yy Terapi TB harus dalam bentuk paduan obat minimal tiga obat dalam fase
awal, dan paduan dua obat dalam fase lanjutan, tidak boleh monoterapi
yy Resistensi terhadap obat TB dapat terjadi karena:
–– Monoterapi
–– Dosis tidak adekuat
–– Terapi terhenti sebelum waktunya
–– Terapi terputus cukup lama dan atau berulang
yy Strategi DOTS merupakan cara yang efektif untuk melakukan tata kelola
TB baik secara individu maupun secara program dalam skala besar
yy Obat TB dalam bentuk KDT mempunyai berbagai keunggulan yang dapat
meningkatkan keteraturan terapi dan menghindarkan atau mengurangi
risiko terjadinya resistensi obat
yy Obat KDT lebih nyaman (friendly) untuk pasien, dokter, maupun
pelaksana program TB
yy Bukti medis tentang keunggulan obat KDT cukup banyak, baik untuk
dewasa maupun anak
80
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Daftar pustaka
1. WHO Childhood TB Subgroup. Guidance for national tuberculosis programmes
on the management of tuberculosis in children. Geneva: WHO Press, 2006. h.
10-16.
2. American Thoracic Society, Centers for Disease Control and Prevention, and
Infectious Diseases Society of America. Treatment of Tuberculosis. Am J Respir
Crit Care Med. 2003; 167:603-62.
3. Guideline group. Rapid Advice, Treatment of tuberculosis in children. Geneva:
WHO Press, 2010. h.3-4.
4. Toman K. How does tuberculosis treatment work? Dalam: Toman’s tuberculosis,
case detection, treatment, and monitoring. Geneva WHO Press, 2004. h.102-105.
5. Yin Zhang. The magic bullets and tubeculosis drug targets. Ann Rev Pharmacol
Toxicol. 2005;45:529-64.
6. Pablos-Mendez A. How many drug-resistant tubercle bacilli can be found in the
sputum of patients who have never received treatment for tuberculosis? Dalam:
Toman’s tuberculosis, case detection, treatment, and monitoring. Geneva WHO
Press, 2004. h.203-6
7. Espinal M. What is the ‘fall and rise’ phenomenon and the ‘sequential regimen’
mechanism? Dalam: Toman’s tuberculosis, case detection, treatment, and
monitoring. Geneva WHO Press, 2004. h.200-2
8. Toman K. How does drug resistance develop? Dalam: Toman’s tuberculosis, case
detection, treatment, and monitoring. Geneva WHO Press, 2004. h.193-4.
9. Mitchison DA. How drug resistance emerges as a result of poor compliance during
short course chemotherapy for tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 1998;2:10–5.
10. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society. Chemotherapy
and management of tuberculosis in the United Kingdom: Recommendations
1998. Thorax. 1998;53:536–48.
11. Blomberg B, Spinaci S, Fouri B, Laing R. The rationale for recommending fixed-
dose combination tablets for treatment of tuberculosis. Bul WHO. 2001;79:61-8.
12. Maher D. What is DOTS? A Guide to Understanding the WHO-recommended
TB Control Strategy Known as DOTS. Geneva: WHO Press, 1999.
81
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap
82
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
28. Hong Kong Chest Service / British Medical Research Council. Acceptability,
compliance, and adverse reactions when isoniazid, rifampin, and pyrazinamide
are given as a combined formulation or separately during three-times-weekly
antituberculosis chemotherapy. Am Rev Resp Dis. 1989;140:1618-22.
29. Blomberg B,Spinaci S,Fourie B,Laing R. The rationale for recommending fixed-
dose combination tablets for treatment of tuberculosis. Bul WHO. 2001;79:61-8.
83
Peningkatan Pengenalan
Pneumonia Atipik pada Anak
Mardjanis Said
Tujuan:
1. Memahami Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae
sebagai penyebab utama pneumonia atipik pada anak.
2. Mengenal gambaran klinik, radiologik dan metode diagnostik
pneumonia atipik pada anak.
84
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
85
Peningkatan pengenalan Pneumonia Atipik pada Anak
banyak pada usia ≥ 5 tahun7. Namun bakteri atipik dapat juga dijumpai pada
anak yang lebih muda. Dengan berkembangnya metode deteksi seperti Micro-
immunofluorescence (MIF) dan Polymerase Chain Reaction (PCR), makin banyak
laporan tentang prevalensi pneumonia atipik pada anak yang dapat dipercaya.
Mycoplasma spp
Mycoplasma dan Ureaplasma merupakan mikroorganisme hidup bebas paling
kecil, termasuk famili Mycoplasmataceae, ordo Mycoplasmatales dan kelas
Molliculates. Kelas Molliculates terdiri dari 2 genus yaitu genus Mycoplasma yang
tidak menghidrolisis urea dan genus Ureaplasma yang menghidrolisis urea.
Mikroorganisme yang termasuk kedua genus ini tidak mempunyai dinding sel
sehingga cenderung berbentuk pleiomorphic. Mycoplasma spp mempunyai 10
spesies dan M. pneumoniae merupakan spesies yang paling sering menyebabkan
infeksi respiratorik pada manusia. M. pneumoniae ialah mikroorganisme Gram
negatif, tidak mempunyai dinding sel, terdiri dari membran sel dan sitoplasma.
Bentuknya polimorf mulai dari bulat sampai bentuk filamen dengan ukuran
Elementary Body nya berkisar antara 105 -120 nm dan sel yang matur berkisar
antara 690-750 nm.7
Chlamydia spp
Chlamydia atau disebut juga Chlamydophila ialah mikroorganisme yang
mempunyai siklus hidup biphasic: a) sebagai Elementary Body (EB) berukuran
lebih kecil (300-400 nm), ekstraseluler, infeksius dan b) sebagai Reticulate
Body (RB) berukuran lebih besar (800-1000 nm), intraseluler, tidak infeksius,
mempunyai aktivitas metabolik aktif, dan mempunyai daya untuk membelah
diri hingga disebut Reproductive form. Di samping itu ada bentuk-antara
yang disebut Intermediate Body (IB) yang merupakan suatu kondensasi DNA
(Condensing Form). Chlamydia adalah mikroorganisme Gram negatif, nonmotile,
nonciliated dan mempunyai permukaan sel yang sanggup menarik nutrien dari
sitoplasma pejamu. Invivo, Chlamydia yang berbentuk EB menempel pada
mikrovili sel pejamu dan secara aktif penetrasi ke dalam sel. Di dalam sel
pejamu Chlamydia berubah menjadi RB yang mampu mensitesa DNA, RNA
dan protein sel pejamu namun tidak mampu memproduksi ATP, oleh karena
itu Chlamydia selalu tergantung kepada sel pejamu untuk mendapatkan
ATP, sehingga Chlamydia disebut juga Energy Parasite. Di dalam sel pejamu
Chlamydia membelah diri dan dalam waktu 92 jam setelah infeksi, sel pejamu
mengeluarkan lagi Chlamydia dalam bentuk EB yang akan mencari sel pejamu
berikutnya. Chlamydia terdiri atas 3 spesies yang dapat menimbulkan penyakit
pada manusia yaitu C trachomatis, C psitacci dan C pneumoniae.7
86
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Gambaran klinik
Gambaran klinik pneumonia atipik mulai dari asimptomatik atau ringan dan
kadang-kadang dapat sembuh sendiri, sampai penyakit berat dan mengancam
jiwa. Perjalanan penyakit dan gejala klinik pneumonia Mycoplasma sulit
dibedakan dengan pneumonia Chlamydia. Prapphal N dkk, mendapatkan
bahwa gejala klinik pneumonia atipik (M. pneumoniae dan C. pneumoniae) yang
banyak ditemukan ialah batuk (100%), demam (95,3%) dan dispnu (65.1%).
Namun gejala dispnu secara bermakna lebih sedikit dijumpai dibandingkan
dengan pneumonia sebab-lain (65,1 vs 79.2 %; p=0.04). Karakteristik gejala
klinik lainnya tidak berbeda bermakna. Tabel 1, memperlihatkan perbandingan
karakteristik gejala klinik kelompok pneumonia atipik (+) dan kelompok
pneumonia yang tidak ditemukan bukti infeksi bakteri atipik7.
Gejala klinik infeksi M. pneumoniae biasanya ringan, dimulai secara gradual
dengan panas dan sakit kepala. Batuk mulai 3-5 hari setelah awitan, dapat
menetap sampai berminggu-minggu, mula-mula tidak produktif kemudian
menjadi produktif. Sputum mungkin berbercak darah. Pemeriksaan auskultasi
paru bervariasi, mengi dapat ditemukan pada 40% kasus. C. pneumoniae sering
menyebabkan infeksi saluran napas akut atas seperti faringitis, sinusitis dan
otitis. Namun dapat menyebabkan infeksi saluran napas akut bawah seperti
pneumonia, bronkitis dan eksaserbasi akut asma. Gejala klinik mula-mula
ditandai dengan gejala seperti flu: batuk kering, mialgia, sakit kepala, malaise,
pilek dan demam tidak tinggi pada pemeriksaan fisik dada sering tidak jelas
terdapat kelainan. Infeksi M. pneumoniae dapat menyebabkan penyakit berat
pada anak. Oermann C dkk, melaporkan seorang anak usia 5 tahun dengan
Severe Necrotizing Pneumonitis karena infeksi M. pneumoniae. Pada CT scan
dengan kontras ditemukan gambaran homogen masif lobus kanan, tengah dan
bawah; tidak terlihat aerasi dan vascular marking. Kasus ini mula-mula diobati
sebagai faringitis yang tidak responsif dengan amoksisilin. Pada perjalanan
penyakit timbul distres pernapasan yang tidak responsif dengan seftriakson
im. Diagnosis M. pneumoniae ditegakkan dengan pemeriksaan serologik dan
PCR. Dilakukan lobektomi dan terapi dengan eritromisin, anak dipulangkan
dalam keadaan baik setelah 17 hari perawatan.13
Di samping spesies C. Pneumonia, spesies C. trachomatis dapat
menyebabkan infeksi pada bayi. Bayi mendapat infeksi C trachomatis dari ibu
pada masa persalinan. Infeksi dapat berupa conjuctivitis dan infeksi saluran
napas. Infeksi saluran napas sebagian besar berupa infeksi nasofaring yang
umumnya asimptomatik. Hanya sekitar 30% bayi yang terinfeksi dengan C.
trachomatis yang menjadi pneumonia. Gejala baru timbul sekitar umur 4–12
minggu, pada beberapa kasus dilaporkan terjadi pada usia 2 minggu. Gejala
yang muncul jarang takipnu dan kadang-kadang terdengar ronki atau mengi.
Van den Borre dkk, melaporkan satu kasus infeksi C. trachomatis pada neonatus
87
Peningkatan pengenalan Pneumonia Atipik pada Anak
yang ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan foto rontgen torak
pra operasi elektif hernia inguinalis. Ditemukan gambaran infiltrat noduler
intersisial difus bilateral menyerupai gambaran tuberkulosis milier. Dengan
terapi eritromisin 50 mg/kgBB/hari, gejala menghilang dalam 2 minggu.14
Kasus ini menunjukkan ketidak sesuaian antara gambaran foto rontgen torak
dengan gejala klinik yang terjadi.
Tabel 1. Perbandingan karakteristik pneumonia atipik (+) dan atipik(-)
Pneumonia
Karakteristik
atipik (+) atipik (-)
n = 43 n = 202
Laki : perempuan 27 : 16 108 : 94
Umur rerata(tahun) ± SD 6.4 ± 3.6* 4.4±2.8*
Masuk ICU (%) 0 (0) 3 (1.5)
Gejala & tanda (%)
-Batuk 43 (100) 202 (100)
-Demam 41 (95.3) 198 (98.0)
-Menggigil 12 (27.9) 32 (15.8)
-Nyeri dada 7 (16.3) 14 (6.9)
-Dispnu 28 (65.1)** 160 (79.2)**
-Malaise 21 (48.8) 92 (45.5)
-Mialgia 8 (18.6) 24 (11.9)
-Diare 5 (11.6) 31 (15.3)
-Mengi 7 (16.3) 48 (23.8)
-Ronki halus nyaring 39 (90.7) 182 (90.1)
-Ronki kasar 18 (41.9) 99 (49.0)
-Suara napas bronkial 3 (7.0) 7 (3.5)
Ko-morbid (%)
-Asma 9 (20.9) 42 (20.8)
-COPD 0 (0) 0 (0)
-DM 0 (0) 0 (0)
-Gagal hepar 0 (0) 1 (0.5)
-Gagal ginjal 1 (2.3) 0 (0)
-Dapat antibiotik sebelumnya 35 (81.4) 154 (76.2)
*p-value=0.001;**p-value=0.04
(Prapphal N dkk, 2006)7
88
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
lobaris adalah gambaran paling umum terutama pada anak usia ≥ 5 tahun.
Prapphal dkk melaporkan bahwa konsolidasi lobaris satu-satunya gambaran
rontgen torak pneumonia atipik yang signifikan pada anak (13,9% vs 1,5%;
p=0.001). Konsolidasi lobaris pada foto rontgen torak dapat dijadikan prediksi
adanya pneumonia atipik pada anak (sensitivitas 13,9%, spesifisitas 98,5% dan
akurasi 83,7%)7. Sebaliknya Radskowsi dkk, melaporkan pada bayi dengan
pneumonia Chlamydia didapatkan gambaran hiperinflasi bilateral, berbagai
bentuk infiltrat difus seperti infiltrat intersisial, retikulonoduler, atelektasis
dan bronkopneumonia, tidak ditemukan konsolidasi lobaris dan efusi pleura.15
Diagnosis
Diagnosis etiologik infeksi bakteri atipik sulit dilakukan. Deteksi
mikroorganisme ini sukar karena patogen ini bersifat intrasel, biakan sulit
dilakukan, mahal dan time consuming. Infeksi bakteri atipik sering underdiagnosis
karena uji mikrobiologik tidak dapat dipakai sebagai alat diagnostik secara
rutin. Oleh karena itu dalam praktek sehari-hari diagnosis hanya berdasarkan
gejala klinis, radiologis dan konfirmasi serologik dan/atau PCR. Namun
tidak di semua laboratorium pemeriksaan serologik atau PCR tersedia dan
dapat melakukannya. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
tidak semua kasus tersangka infeksi bakteri atipik dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan serologik dan PCR, biasanya karena alasan pembiayaan.
Salah satu ilustrasi kasus tersangka pneumonia atipik di IKA FKUI RSCM
adalah seorang anak laki-laki umur 9 tahun, BB 25 kg, di rujuk dari RS lain,
dengan keluhan demam 5 hari, batuk makin hebat dan sesak-napas. Saat masuk
anak kompos mentis, dispnu ringan, sianosis (-), suhu badan 380C. Pada foto
rontgen torak terlihat konsolidasi lobaris paru kanan dengan air bronchogram
89
Peningkatan pengenalan Pneumonia Atipik pada Anak
(+) (gambar 1). Diberikan O2 dan terapi eritromisin 4 x 250 mg per oral. Pada
hari ke 2 perawatan batuk berkurang dan sudah tidak demam, pada hari ke
3 dispnu tidak terlihat lagi, pada hari ke 4 anak dipulangkan dan rawat jalan.
Pada saat kontrol dilakukan pemeriksaan foto rontgen torak didapat gambaran
konsolidasi lobaris sudah tidak terlihat (gambar 2).16
Diagnosis serologik berdasarkan peningkatan ≥ 4 x titer antibodi spesifik:
IgM anti M. pneumoniae atau IgM anti C. pneumoniae (dari serum akut dan
konvalesen). Titer antibodi spesifik dengan metode gel particle agglutination
dianggap positif adalah ≥ 1/16; atau titer antibodi spesifik tetap tinggi (≥
1/160 untuk M. pneumoniae; ≥ 1/512 untuk C. pneumoniae). Pemeriksaan
antibodi spesifik dapat juga dengan metode microimmunofluorescence (MIF).
Untuk mendeteksi DNA M. pneumoniae dengan metode PCR di pakai
primer p1 adhesin gen; deteksi DNA C. pneumoniae dipakai primer 16 S rRNA
gene. Spesimen didapat dari usap tenggorok, sputum, aspirat nasofaring, BAL
(bronchoalveolar lavage) atau cairan pleura. Ditemukannya 209 bp size atau
463 bp size pada gel elektroforesis di sebut positif untuk infeksi M. pneumoniae
atau C pneumoniae7.
Pengobatan
Umumnya bakteri atipik responsif terhadap makrolid seperti eritromisin.
Makrolid yang lebih baru misalnya klaritromisin menunjukkan efektifitas
klinik yang baik dan mampu mengeradikasi mikroorganisme. Makrolid baru
mempunyai daya penetrasi ke dalam sel yang lebih baik, konsentrasi dalam
jaringan dan sekret lebih tinggi, konsentrasi hambat minimum lebih rendah
dan waktu-paruh lebih panjang. Beberapa penelitian mendukung penggunaan
makrolid secara empiris pada pneumonia anak yang dicurigai terinfeksi
bakteri atipik7,8.
Simpulan
M. pneumoniae dan C. pneumoniae merupakan penyebab utama pneumonia
atipik pada anak. Pada umumnya gejala klinik ringan namun kasus berat yang
fatal dan mengancam jiwa dapat terjadi. Peningkatan pengenalan terhadap M.
pneumoniae dan C. pneumoniae sebagai penyebab potensial pneumonia atipik
pada anak, bahkan pada anak usia < 3 tahun, disertai dengan perkembangan
metode diagnostik yang lebih akurat (serologik dan PCR) dan pengobatan
dengan makrolid diharapkan akan menurunkan morbiditas penyakit.
90
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Daftar pustaka
1. Williams BG, Gouws E,Bosch-Pinto C, Bryce J, Dye C. Estimates of worldwide
distribution of child deaths from acute respiratory infections. Lancet. 2002:2:25-
32.
2. Denny FW, Loda FA. Acute Respiratory Infections are the Leading Cause of
Death in Children in Developing Countries. Am J Trop Med. 1986;35:1-2.
3. Shann F, Germer S, Hazlett D. Aetiology of Pneumonia in Children in Goroka
Hospital, Papua New Guinea. Lancet. 1984;11:537-41.
4. World Health Organization. Programme for the Control of Acute Respiratory
Infections. Unpublished document WHO/ARI/91.20 Geneva:1991.
5. Cunningham AF, Johnston SL, Julious SA, Lampe FC, Ward ME. Chronic
Chlamydia pneumoniae infection and asthma exacerbations in children. Eur
Respir J. 1998;11:345-49.
6. Principi N, Esposito S. Mycoplasma pneumoniae and Chlamydia pneumoniae
cause lower respiratory tract disease in paediatric patients. Curr Opin Infect Dis.
2002;15;295-300.
7. Prapphal N, Suwanjutha S, Durongkaveroj P, Lochindarat S, dkk. Prevalence
and Clinical
8. Presentation of Atypical Pathogens Infection in Community Acquired Pneumonia
in Thailand. J Med Assoc Thai. 2006;89:1412-9.
9. Samransamruajkit R, Jitchaiwat S, Wachirapaes W, Deerojanawong J, dkk.
Prevalence of Mycoplasma and Chlamydia Pneumonia in Severe Community
-Acquired Pneumonia among Hospitalized Children in Thailand. Jpn J Infect
Dis. 2008;61:36-9.
10. Oguz F, Unuvar E, Aydin D, Yilmaz K, Sidal M. Frequency of Mycoplasma
pneumoniae among atypical pneumonia of childhood. Turkish J of Pediatr.
2002;44:283-8.
11. Wirjodiardjo M, Sigarlaki JM, Said M, Boediman I, Rahajoe NN, Rahajoe N.
Mycoplasma pneumoniae sebagai penyebab infeksi saluran napas akut (ISNA)
pada anak. MKI. 1988;38: 518-24.
12. Likitnukul S, Nunthapisud P, Prapphal N. Prevalence of Chlamydia pneumoniae
infection in Thai children with community-acquired pneumonia. Pediatr Infect
Dis J. 2003;22:749-50.
13. Limudomporn S, Prapphal N, Nunthapisud P et al. A febrile pneumonia associated
with chlamydial infection in infants less than 6 months of age: initial results
of a three year prospective study. Southeast Asian J Trop Med Public Health.
1989;20:285-90.
14. Oermann C, Sockrider MM, Langston C. Severe Necrotizing Pneumonitis in a
Child with Mycoplasma pneumonia Infection. Pediat Pulmonol. 1997;24:61-5.
15. Van den Borre C, Dab I, Malfroot A, Naessens A. Subclinical Infantile Chlamydia
trachomatis Pulmonary Infection. Pediat Pulmonol. 1993;15:263-5.
16. Radskowsi dkk. Chlamydia Pneumoniae. Dalam: Chirwin K, Hammerschlag
MR, penyunting. Pediatric Infectious Diseases. Philadelphia: WB Saunders
Company. h.265-71.
17. Dokumentasi medik Departemen IKA FKUI RSCM, tidak dipublikasi, 2012.
91
Konjungtivitis Alergi
Lukman Edwar
Fakta menunjukkan bahwa mata adalah organ pertama yang sangat mudah
terpengaruh oleh lingkungan, sehingga penyakit alergi mata merupakan
masalah mata yang umum ditemukan. Jaringan mata yang pertama kali
terpapar oleh alergen adalah konjungtiva. Konjungtivitis alergi adalah
terminologi yang digunakan untuk menjelaskan proses inflamasi konjungtiva
yang dapat disebabkan oleh faktor alergi. Umumnya proses konjungtivitis alergi
melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe 1, di mana alergen bereaksi dengan
IgE, menstimulasi degranulasi sel mast (sel basofil jaringan) dan melepaskan
mediator-mediator inflamasi.
Konjungtivitis alergi itu sendiri cukup sering dijumpai pada anak-anak.
Spektrum penyakit sangat tergantung dengan lokasi geografis tiap-tiap
negara. Di negara maju, dilaporkan bahwa terdapat 15 sampai 20% anak-anak
menderita penyakit ini. Hasil survei America College of Allergy, Asthma and
Immunology di mendapatkan bahwa 35% keluarga yang diwawancarai pernah
menderita alergi, 50% dari responden berhubungan dengan gejala di mata.
Klasifikasi konjungtivitis alergi adalah keratokonjungtivitis atopik,
keratokonjungtivitis vernal, seassonal atau perennial conjunctivitis, konjungtivitis
alergi sederhana. Adapun giant papillary conjunctivitis sudah tidak dimasukkan
lagi ke dalam konjungtivitis alergi, karena faktor mekanik lebih dominan
menyebabkan inflamasi konjungtiva.
Keratokonjungtivitis atopik (AKC), adalah inflamasi konjungtiva yang
berat dan dihubungkan dengan dermatitis atopik. Timbul pada usia remaja
dan berlanjut hingga dekade 4 atau 5, di mana dapat sembuh secara spontan.
Keratokonjungtivitis vernal (VKC), suatu prose inflamasi alergi kronik
yang terjadi pada kedua mata, biasanya terjadi pada anak laki-laki. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis seperti gatal, fotofobia, sekret
yang mukoid, papil hingga cobblestones di konjungtiva tarsal superior, keratopati
superfisial dan shield ulcer. Mekanisme imunopatogenesis berdasarkan riwayat
atopi dalam keluarga, meningkatnya level IgE dan memberikan respon terapi
anti-alergi.
92
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
93
Konjungtivitis Alergi
dengan alergi okular, di mana pasien mempunyai riwayat atopi pada keluarga,
didapatkan peningkatan kadar alergen-IgE spesifik di serum dan air mata. Pada
fase lambat ini juga mulai terjadi kerusakan jaringan.
Bagaimana sel mast mempengaruhi respon alergi konjungtiva sebagai
bagian dari lepasnya faktor inflamasi? Sel mast telah diketahui menyimpan,
melepas dan mensintesis sitokin IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-13 dan tumor necrosis
factor (TNF)-a. Pada SAC, IL-4 dan IL-13 predominan terlokalisasi di sel
MCTC (sel mast yang mengandung tryptase dan chymase) dan IL-5 dan IL-6
terlokalisasi di sel MCT.
Keratokonjungtivitis vernal
VKC adalah keadaan alergi okular yang lebih berat karena kronisitasnya dan
dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan. VKC lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki di daerah kering dan hangat. VKC biasanya
berhubungan dengan asma, eksim dan rinitis. Mirip seperti rinokonjungtivitis
alergi, penyakit ini dapat musiman atau sepanjang tahun. Keparahan akan
berkurang saat usia semakin bertambah.
Gejala klinis yang timbul juga hampir sama dengan alergi okular lainnya,
seperti gatal, berair, fotofobia dan perasaan panas. Gangguan penglihatan
jarang terjadi, kecuali bila timbul komplikasi di kornea seperti epiteliopati
atau shield ulcer.
Gambaran klinis dapat dibagi dalam tiga tipe, yaitu tipe tarsal/palpebral,
limbal dan campur. Tipe papil terlihat berupa reaksi papil (papillary reaction)
di konjungtiva tarsal. Bila papil ini membesar pada kasus yang berat, dapat
terlihat sebagai cobblestone atau biasa juga disebut dengan giant papil. Pada
tipe limbal, sering bermanifestasi dalam bentuk nodul putih di sekitar limbus
(trantas dots). Keadaan berat yang melibatkan kornea berupa shield ulcer.
Keratokonjungtivitis atopi
Penyakit ini adalah yang paling serius dibandingkan alergi okular lainnya,
karena tidak berkurang seiring bertambahnya umur seperti VKC. Komplikasi
yang serius adalah keratokonus dan katarak. Kulit di sekitar mata umumnya
akan menebal dan terkadang dijumpai blefaritis. Sikatriks konjungtiva tarsal
dapat menyebabkan simblefaron pada keadaan yang berat. Ulkus dan sikatriks
kornea dapat menyerupai VKC.
94
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Tata laksana
Pendekatan tata laksana pasien dengan konjungtivitis alergi, terutama VKC
dapat dilakukan dengan pendekatan (1) komunikasi dan edukasi pasien
dan keluarga (orang tua) tentang perjalanan penyakit, lama penyakit dan
komplikasi yang mungkin terjadi, (2) pencegahan terhadap alergen dan
modifikasi lingkungan, seperti menghindari debu yang ada baik di luar rumah
maupun dalam rumah, mencegah sinar dan panas matahari secara langsung
dengan menggunakan pelindung mata (topi atau kacamata), (3) terapi
farmakalogi dan (4) kemungkinan tindakan operatif.
Secara holistik, tata laksana yang penting adalah dengan menghindari
kontak alergen yang bisa diidentifikasi, walaupun pada kenyataannya sulit
untuk diketahui. Pada kasus yang ringan, rasa gatal dan injeksi konjungtiva
yang ringan dapat diterapi dengan antihistamin topikal tanpa mast cell stabiliser.
Mast cell stabiliser sendiri tidak efektif pada tata laksana serangan akut,
tetapi dapat mempunyai efek pencegahan dengan penggunaan jangka panjang
di mana untuk mencegah efek samping akibat penggunaan kortikosteroid
topikal. Air mata buatan (artificial tears) dapat mengurangi jumlah alergen
dan membantu mengurangi gejala klinis walaupun kecil. Kompres dingin
mempunyai keuntungan dengan memberikan rasa nyaman dan sedikit
mengurangi rasa sakit. Antihistamin sistemik dapat diberikan bila dijumpai
adanya edema kelopak atau gejala pada hidung.
Daftar bacaan
1. Avunduk AM, Avunduk MC, Kapicioglu Z, Akyol N. Mechanism and comparison
of anti-allergic efficacy of topical lodoxamide and cromolyn sodium treatment in
vernal keratoconjunctivitis. Ophthalmology 2000;107:1333–37
2. Lam KM. Ocular allergy in children. Medical bulletin 2007;12:8-9
3. Leonardi A, Radice M, Fregona IA, Plebani M, Abatangelo G, Secchi AG.
Histamine effects on conjunctival fibroblast from patients with vernal
conjunctivitis. Exp Eye Res 1999;68:739-46
4. Leonardo A. Vernal keratoconjunctivitis: pathogenesis and treatment. Progress
in Ret and Eye Res 2002;21:319-39
5. Mantelli F, Santos MS, Petitti T, Sgrulletta R, Cortes M, Lambiase A, Bonini
S. Systematic review and meta-analysis of randomised clinical trials on tropical
treatments for vernal keratoconungtivitis. Br J Ophthalmol 2007;91:1656-61
6. Manzouri B, Flynn T, Ono SJ. Allergic eye disease: pathopgysiology. In Essentials
in ophthalmology: Cornea and external eye diseases. Reinhard T, Larkin DFP
(eds). Springer-Verlag Berli Heidelberg 2006;p 209-22
7. Metz DP, Hingorani M, Calder VL, Buckley RJ, Lightman SL. T-cell cytokines in
chronic allergic eye disease. J Allergy Clin Immunol 1997;100:817-24
95
Konjungtivitis Alergi
96
Hipertrofi Tonsil: Kapan harus Dirujuk?
Nastiti Kaswandani
Tujuan:
1. Memahami gejala tonsilofaringitis dan penyulitnya pada anak
2. Mengetahui kriteria infeksi rekuren pada hipertrofi tonsil
3. Mengetahui indikasi tonsilektomi pada anak
4. Mengetahui kapan harus merujuk anak dengan hipertrofi tonsil
97
Hipertrofi tonsil: kapan harus dirujuk?
98
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
99
Hipertrofi tonsil: kapan harus dirujuk?
100
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan anak
sebelumnya atau terkait dengan keluhan yang dideritanya saat ini.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
–– Laringospasme
–– Gelisah pasca operasi
–– Mual muntah
–– Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
–– Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan
henti jantung
–– Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau
dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien.
sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam
jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus
yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot
diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi
3. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velofaringeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia
101
Hipertrofi tonsil: kapan harus dirujuk?
102
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
103
Hipertrofi tonsil: kapan harus dirujuk?
Simpulan
Hipertrofi tonsil disertai dengan hipertrofi adenoid merupakan kondisi yang
sering dijumpai pada anak. Pembesaran tonsil saja bukan merupakan kelainan
jika tidak ada gejala klinis lain yang ditemukan. Permasalahan yang sering
dihadapi adalah infeksi tenggorok rekuren dan obstruksi saluran napas atas
yang menyebabkan SDB. Dokter yang menangani anak dengan hipertrofi
adenotonsil harus melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis serta pencatatan
rekam medis yang teliti untuk memperoleh indikasi yang tepat kapan harus
merujuk. Jika insidens infeksi tenggorok berulang melebihi toleransi yang
ditetapkan atau adanya gejala SDB maka sebaiknya anak segera dirujuk
untuk pemeriksaan lebih lanjut (polisomnografi) atau untuk tindakan
adenotonsilektomi.
104
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Daftar pustaka
1. Stuck BA, Windfuhr JP, Genzwürker H, Schroten H, Tenenbaum T, Götte K.
Tonsillectomy in Children. Dtsch Arztebl Int. 2008; 105:852–61.
2. Rosefsky JB. Tonsillectomies and Adenotonsillectomies : Will the Debate Never
Be Over?. Pediatrics 2003;112:205.
3. Van Lierop AC, Prescott CAJ, Fagan JJ, Sinclair-Smith CC. Is diagnostic
tonsillectomy indicated in all children with asymmetrically enlarged tonsils?
SAMJ.2007;97:367-70.
4. Baugh RF, Archer SM, Mitchell RB, Rosenfeld RR, Amin R, Burns JJ, et al.
Clinical Practice Guideline : Tonsillectomy in Children. Otolaryngol Head Neck
Surg. 2011;144:1-30.
5. Don DM, Goldstein NA, Crockett DM, Ward SD. Antimicrobial Therapy for
Children With Adenotonsillar Hypertrophy and Obstructive Sleep Apnea: A
Prospective Randomized Trial Comparing Azithromycin vs Placebo. Otolaryngol
Head Neck Surg 2005;133:562-8.
6. Blackley BW, Magit AE. The Role of Tonsillectomy in Reducing Recurrent
Pharyngitis : A Systematic Review. Otolaryngol Head Neck Surg. 2009;140:291-7.
7. Dayyat E, Kheirandish-Gozal L, Capdevila OS, Maarafeya MMA, Gozal D.
Obstructive Sleep Apnea in Children : Relative Contributions of Body Mass Index
and Adenotonsillar Hypertrophy. Chest. 2009;136:137-44.
8. Brodsky L. Modern assessment of tonsils and adenoids. Recent Adv Pediatr
Otolaryngol. 1989;36:1551–7.
9. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of sore throat and
indications for tonsillectomy A national clinical guideline. 2010.
10. Finnish Medical Society Duodecim. Sore throat and tonsillitis. In: EBM Guidelines.
Evidence-Based Medicine. Finland: Duodecim Medical Publications; 2005.
11. Escario JC, Martin FDC, Campdera JA, Albert JRG, Pinero BP, Sanz MAV.
Indications for tonsillectomy and adenoidectomy: consensus document by the
Spanish Society of ORL and the Spanish Society of Pediatrics. 2006; 57:59-65.
12. Harris MA, Coates Harvey, Harari M, et al. A joint Postion paper of the Paediatrics
& Child Health Division of The Royal Australasian College of Otolaringology
Head and Neck Surgery. 2008.
13. Robb PJ, Bew S, Kubba H. Tonsillectomy and adenoidectomy in children with
sleep-related breathing disorders: consensus statement of a UK multidisciplinary
working party. Ann R Coll Surg Engl. 2009;91:371–3.
14. Van Staaij BK, Van den Akker EH, Rovers MM. Effectiveness of adenotonsillectomy
in children with mild symptoms of throat infections or adenotonsillar hypertrophy:
open, a randomised controlled trial. BMJ. 2004:1-6
15. Van Staaij BK, Van den Akker EH, Van der Heijden GJ, Schilder AG, Hoes AW.
Arch Dis Child. 2005;90:19–25.
16. Buskens E, Van Staaij B, Van den Akker J, Hoes AW, Schilder AGM.
Adenotonsillectomy or Watchful Waiting in Patients With Mild to Moderate
Symptoms of Throat Infections or Adenotonsillar Hypertrophy. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg. 2007;133:1083-8.
105
Hipertrofi tonsil: kapan harus dirujuk?
17. Goldstein NA, Fatima M, Campbell TF, Rosenfeld RM. Child behavior and quality
of life before and after tonsillectomy and adenoidectomy. Arch Otolaryngol, Head
Neck Surg. 2002;128:770-5.
18. Beraldin BS, Rayes TR, Villela PH, Ranieri DM. Assessing the impact
adenotonsilectomy has on the lives of children with hypertrophy of palatine and
pharyngeal tonsils. Braz J Otorhinolaryngol. 2009;75(1):64-9.
19. Toh A, Mullin A, Grainger J, Uppal H. Indications for tonsillectomy: are we
documenting them? Ann R Coll Surg Eng. 2009;91:697–9.
106
Peran Pencitraan dalam Tata laksana
Penyakit Respiratorik
H F Wulandari
Tujuan:
1. Mengetahui kemampuan berapa modalitas pencitraan
2. Mengetahui indikasi penggunaan modalitas pencitraan
Sinusitis
Sinus paranasalis adalah rongga-rongga pneumatik yang berhubungan dengan
fossa nasalis dan terletak di dalam tulang paranasal; maksilaris, etmoidalis,
frontalis dan sfenoidalis. Ukuran dan bentuk rongga-rongga ini berbeda sesuai
usia, antar individu dan bahkan dalam 1 individu rongga yang sebelah kanan
dan kiri bisa berbeda.
Unit osteomeatal
Komponen dari unit osteomeatal (UOM) (pusat drainage sinus) sudah
terbentuk saat lahir. Kejelasan anatomi UOM penting untuk perencanaan
operasi. CT scan potongan koronal dapat dengan jelas memperlihatkan
anatomi OUM ini.
107
Peran Pencitraan dalam Tata laksana Penyakit Respiratorik
Sinusitis Akut
Berbagai pemeriksaan pencitraan pada sinusitis akut tanpa komplikasi tidak
dianjurkan. The American College of Radiology dan The American Academy
of Pediatrics memberikan arahan untuk menggunakan modalitas pencitraan
dengan bijak. Guideline yang ditetapkan oleh The American Academy of
Pediatrics menyatakan bahwa foto sinus paranasalis tidak diperlukan dalam
diagnosis sinusitis tanpa komplikasi pada anak di bawah usia 6 tahun.
Penggunaannya pada anak di atas 6 tahun mungkin bermanfaat.
Pemeriksaan pencitraan untuk sinus paranasalis tidak dapat membedakan
adanya sinusitis akibat virus atau bakteri serta tidak mengubah tata laksana
yang diberikan pada sinustitis akut tanpa komplikasi. Perubahan gambaran
jaringan lunak sinus paranasalis pada individu tanpa sinusitis yang dilakukan
foto radiografi, CT atau MRI karena alasan lain didapatkan sebesar 33-50
%. Insidens ini semakin besar pada bayi dan anak. Pada suatu penelitian
didapatkan sebanyak 97% bayi dan anak kecil yang menderita infeksi saluran
nafas akut 2 minggu sebelum dilakukan CT scan kepala karena alasan lain
menunjukkan perubahan gambaran jaringan lunak sinus paranasalis. Korelasi
klinis sangat penting dalam mengevaluasi signifikannya suatu gambaran
pencitraan. Selain itu sebagian besar anak yang didiagnosis sinusitis akan juga
menunjukkan perubahan gambaran pencitraan sinus paranasalis sehingga tidak
akan mengubah tata laksana yang diberikan.
108
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
jaringan lunak sekitar dan jalan udara yang tumpang tindih. Hal-hal tersebut
menjadikan CT scan sebagai modalitas pencitraan optimal untuk mengevaluasi
sinus paranasalis dan jalan drainage melalui ostium ke dalam kavum nasal.
CT scan juga merupakan alat terbaik untuk melihat komplikasi sinusitis
seperti: selulitis pre/post septal, abses periosteal, selulitis atau abses orbital,
osteomielititis tulang frontal, empiema subdural, meningitis, abses otak serta
trombosis sinus kavernosum. Kontras intra vena hanya digunakan untuk
mengevaluasi penyebaran infeksi ke intra kranial dan orbita.
Dengan adanya FESS (functional endoscopic sinus surgery) maka CT scan
dapat memberikan road map operasi yang akan dilakukan. CT scan preoperatif
dapat memperlihatkan ekstensi penyakit, perubahan UOM dan variasi anatomi
yang ada. Hematoma orbita sebagai komplikasi FESS juga baik dinilai dengan
CT.
Indikasi CT sebagai pemeriksaan pencitraan adalah untuk:
yy Kasus sinusitis akut yang tidak responsif dengan terapi medis.
yy Evaluasi preoperatif sinus paranasalis
yy Kecurigaan akan adanya komplikasi penyakit atau operasi.
Asma
Penggunaan foto toraks pada pasien asma ditujukan untuk menilai adanya
komplikasi. Pada ¾ pasien asma anak yang dirawat ditemukan gambaran
hiperinflasi dan penebalan dinding bronkus. Lima belas sampai 20% anak yang
dirawat tersebut menunjukkan kelainan tambahan berupa atelektasis atau
infiltrat. Pneumomediastimum ditemukan pada 0,3-5,4% kasus sedangkan
pneumotoraks lebih jarang ditemukan.
109
Peran Pencitraan dalam Tata laksana Penyakit Respiratorik
Aspirasi diagnostik
US dapat menunjukkan karakteristik cairan yang akan diaspirasi apakah
mengandung debris atau adanya septasi. Walaupun US mampu menentukan
lokasi cairan dengan baik, US tidak bisa membedakan apakah cairan itu adalah
pus, darah, empedu, limfe atau urin.
110
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Efusi pleura
Aspirasi cairan efusi pleura merupakan indikasi yang paling sering untuk
intervensi perkutan daerah dada. Akses ke daerah pleura didapat dengan
melakukan skanning melalui daerah subkostal atau interkostal.
Simpulan
Modalitas pencitraan dalam tata laksana penyakit respiratorik digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis, mendeteksi adanya komplikasi, evaluasi
pengobatan dan membantu dalam pelaksanaaan terapi. Pemilihan modalitas
pencitraan tergantung kepada kemampuan alat yang ada dan masalah klinis
pasien. Modalitas pencitraan tidak dianjurkan digunakan pada sinusitis akut
tanpa komplikasi. Foto toraks digunakan untuk melihat komplikasi pasien
asma yang dirawat. Foto lateral kepala dapat menilai adenoid dan tonsil
palatina. Untuk mendeteksi adanya pembesaran kelenjar hilus dan sub karinal
diperlukan fot toraks AP dan lateral. US guided intervensi umum digunakan
pada tata laksana efusi pleura.
Daftar Pustaka
1. American College of Radiology: Sinusitis in the pediatric population: ACR
appropriateness criteria. Radiology. 2000;215:811-8.
2. America College of Pediatrics, Subcommittee on Management of Sinusitis and
Committee on Quality Improvement: clinical practice guideline: management
of sinusitis. Pediatrics. 2001;108:798-808.
3. Cooper ML, Slovis TL. The sinuses. Dalam: Slovis TL, penyunting. Caffey’s
Pediatric diagnostic imaging. Edisi ke-11. Philadephia: Mosby; 2008.h.562-78.
4. Cervantes LF, Medina LS, Effmann EL. The head and neck. Dalam: Slovis TL,
penyunting. Caffey’s Pediatric diagnostic imaging. Edisi ke-11. Philadephia:
Mosby; 2008.h.1026-67.
5. Coley BR. Ultrasound-guided interventional procedures. Dalam: Siegel MJ,
penyunting. Pediatric sonography. Edisi ke-4. Philadelphia:Lippincott Williams
& Wilkins; 2011.h.675-700.
111
Respiratory Care for Children with
Neurological Impairment
Luh Karunia Wahyuni
112
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Aspirasi
Aspirasi merupakan penyebab utama masalah respirasi pada penderita palsi
serebral.6 Karena air liur, benda asing dan cairan lambung mengandung bakteri,
aspirasi menyebabkan masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas yang
seharusnya steril. Ada beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko aspirasi
diantaranya disfagia, refluk gastroesofagal, dan kejang.
113
Respiratory Care for Children with Neurological Impairment
114
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
fungsi sensorik yang adekuat untuk mendeteksi adanya iritasi dan sekresi
jalan napas, kemampuan untuk menghasilkan sebuah inspirasi dalam (yang
dipengaruhi oleh kekuatan otot inspirasi), penutupan glotis serta kekuatan
kontraksi otot ekspirasi. Batuk yang efektif menghasilkan kekuatan yang
cukup untuk membersihkan sekresi jalan napas sekaligus memberikan fungsi
pertahanan yang memadai. Batuk membutuhkan inspirasi sampai 85% -90%
dari kapasitas total paru, diikuti dengan penutupan glotis untuk sekitar 0,2
detik. Simultan dengan penutupan glottis maka otot-otot ekspirasi, yang
teregang oleh volume inspirasi, akan mengempis dari keadaan mengembang,
sehingga memungkinkan terbentuknya tekanan intra pleuralyang
optimal. Sebagai hasil dari tekanan ini, ketika glotis terbuka, lendir terlepas
dari dinding jalan napas oleh volume udara ekspirasi yang tinggi.15
Beberapa faktor yang menghambat fungsi batuk pada anak dengan palsi
serebral adalah: 1) kapasitas inspirasi tidak adekuat akibat dari kelemahan otot
diafragma atau kelainan bentuk tulang belakang 2) koordinasi yang buruk dari
otot bulbar, gangguan penutupan glotis dan ketidakmampuan membangun
tekanan intrapleural yang adekuat dan 3) buruknya koordinasi dan kekuatan
otot-otot ekspirasi sehingga mengurangi kekuatan pengeluaran lendir.
115
Respiratory Care for Children with Neurological Impairment
kapasitas vital dan menurunkan laju respirasi. Bagian atas rongga dada akan
terbuka dan menghasilkan bentuk segiempat, namun iga masih tersusun
horisontal karena otot interkostal belum aktif.
Usia 6-12 bulan bayi akan semakin sering bermain dengan suara (vokal)
dan bereksperimen dengan berbagai volume suara dan nada. Hal ini dapat
dilakukan karena posisi kepala yang semakin terdisosiasi dari bahu dan semakin
mampu untuk menegakkan badan (duduk), hal ini memerlukan kestabilan
tulang belakang untuk melawan gravitasi. Bersamaan dengan aktivitas tersebut,
otot interkostal akan memanjang dan teraktivasi, hal ini meningkatkan lingkar
rongga dada ke arah atas dan luar.16
Dengan semakin berlanjutnya proses tersebut dan juga dengan bantuan
gravitasi, otot obliqus abdominal akan menarik dan merotasi iga ke arah
bawah, ikut menarik diafragma ke bawah dan menjadikan diafragma berbentuk
kubah. Pada posisi ini diafragma memiliki posisi mekanik yang terbaik dalam
hal panjang, tonus, kontraksi dan kekuatannya. Dengan meningkatnya
kekuatan otot abdomen, semakin baik pula fungsinya menciptakan tekanan
intra abdominal yang efektif untuk kontraksi diafragma.
Pada usia 12 bulan, semua otot respirasi telah berfungsi dan menghasilkan
gerakan respirasi 3 dimensi pada rongga dada, seperti halnya pada orang dewasa
yakni gerakan vertikal (kontraksi diafragma mengakibatkan diafragma tertarik
ke bawah), transversal (kontraksi otot-otot interkostal melebarkan iga) dan
anteror-posterior (otot-otot asesorius menggerakkan sternum dan iga ke arah
luar). Perubahan sudut iga selanjutnya terjadi seiring dengan bertambahnya usia
dan kapasitas vital akan meningkat dan laju respirasi menurun. Peningkatan
kemampuan bicara akan membutuhkan ekspansi dinding dada dan pergerakan
ligamen laring yang lebih terkontrol.
Penyakit paru restriktif adalah gangguan bernapas akibat penurunan
sifat elastis paru-paru dan dinding dada dan ditandai dengan volume dan
kapasitas paru yang statis atau berkurang. Pada palsi serebral tulang iga
tetap berada pada posisi datar, sehingga tidak terjadi gerakan 3 dimensi pada
rongga dada, tulang belakang dan dada biasanya berubah bentuk menjadi
kiposkoliosis karena tonus otot yang tidak setara dengan keharusan melawan
gravitasi.4 Selain itu, pernapasan kurang terkoordinasi, mengandalkan otot
perut bukan otot dada.18,19 Akhirnya, gerakan dada terbatas dan otot dada
melemah. Selanjutnya, kemampuan untuk bernapas panjang, menghasilkan
kekuatan ekspirasi, dan batuk efektif menjadi terganggu. Selain itu skoliosis
dapat mengakibatkan ekspansi paru yang tidak sama (atelektasis basal pada
sisi cekung dan ekpansi berlebihan dari sisi cembung), menyebabkan ventilasi/
perfusi yang tidak sebanding. Faktor-faktor ini bersama-sama meningkatkan
kerja pernapasan dan menyebabkan rentan terhadap kegagalan pernafasan. Jika
skoliosis berkembang di awal masa kanak-kanak, pertumbuhan paru-paru juga
116
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Rekomendasi
Kesulitan dalam berkomunikasi dan kecenderungan memberi respon yang
terbatas terhadap berbagai masalah dapat mengakibatkan keterlambatan dalam
mengidentifikasi masalah pernapasan dan menyulitkan dalam penegakan
diagnosis yang tepat. Misalnya, anak menanggapi dengan pasif saja masalah
infeksi saluran kemih, konstipasi atau pneumonia Sebagai dokter yang
bijaksana tentu akan mendengarkan dan menghargai pendapat orang tua yang
117
Respiratory Care for Children with Neurological Impairment
118
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
Simpulan
Komplikasi pernapasan yang terkait dengan palsi serebral dapat dihindari
atau diobati. Kurangnya perhatian terhadap kesehatan paru pada individu
dengan palsi serebral mengakibatkan peningkatan morbiditas dan kematian
dini, meningkatkan biaya perawatan medis yang selanjutnya mengakibatkan
penurunan kualitas hidup.
Daftar pustaka
1. Plioplys AV, Kasnicka I, Lewis S, et al. Survival rates among children with severe
neurological disabilities. South Med J 1998;91:161–72.
2. Hollins S, Attard MT, von Fraunhofer N, et al. Mortality in people with learning disability:
risks, causes and death certification findings in London. Dev Med Child Neurol 1998;40:50–
3. Todor DS. Respiratory problems in the adolescent with developmental delay. Adolescent
Medicine: State of the Art Reviews,2000; 11 (3):617-31.
4. Seddon PC, Khan Y. Respiratory problems in children with neurological impairment.
Arch Dis Child 2003;88:75–78
5. Shaw B. The respiratory consequences of neurological deficit. In Sullivan PB, Rosenbloom
L.ed. Feeding the disabled child. Mc Keith Press, London, 1996;40-6
6. Arvedson J, Rogers B, Buck G, Smart P, Msall M. Silent aspiration prominent in children
with dysphagia. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 1994; 28 (2-3):173-181
7. Casas MJ, Kenny DJ, McPherson KA. Swallowing/ventilation interactionsn during oral
swallow in normal children and children with cerebral palsy. Dysphagia 1994;9:40–6.
8. Del Guidice E, Staiano A, Capano C, Romano A, Florimonte L, Miele E, Ciarla C,
Campanozzi A, Crisanti AF. Gastrointestinal manifestations in children with cerebral
palsy. Brain 1999; 21: 307-311.
9. Waterman ET, Koltai, Downey JC, Cacace AT. Swallowing disorders in a population of
children with cerebral palsy. Int J Ped Otorhinolaryngol 1992; 24:63-71.
10. Rogers B, Arvedson J, Buck G, Smart P, Msall M. Characteristics of dysphagia in children
with cerebral palsy. Dysphagia 1994; 9:69-73.
11. Drvaric DM, Roberts JM, Burke SW. Gastroesophageal evaluation in totally involve
cerebral palsy patients. J Ped Orthoped 1987; 7 (2): 187-190.
12. Sondheimer JM, Morris BA. Gastroesophageal reflux and respiratory disease among
severely retarded children. J Pediatr 1979; 94:710-714.
13. Bohmer CJM, Niezen-de Boer MC, Klinkenberg-Knol, EC, Deville WL, Nadorp JH
Meuweissen SG. The prevalence of gastroesophageal reflux disease in institutionalized
intellectually disabled individuals. Am JGastroenterol 1999; 94 (4): 804-810.
14. Remacle M, Marza L, Lawson G. A new epiglottoplasty procedure for the treatment of
intractable aspiration. Eur Arch Otorhinolaryngol 1998;255:64–7.
15. McCool FD, Leith DE. Pathophysiology of cough. Clin Chest Med 1987; 8(2):189-195.
16. Stomer M. Posture and movement of the child with cerebral palsy. Therapy skills builders,
USA, 2000.
17. Saito N, Ebara S, Ohotsuka K, et al. Natural history of scoliosis in spastic cerebral palsy.
Lancet 1998; 351:1687-1692.
18. Dias RC, Miller F, Dabney K, Lipton GE. Revision spine surgery in children with cerebral
palsy. J Spi Dis 1997; 10(2): 132-144.
119
Respiratory Care for Children with Neurological Impairment
19. Benditt JO. Management of pulmonary complications in neuromuscular disease. Phys Med
Rehabil Clin N Am 1998; 9 (1):167-185.
20. Bjure J, Berg K. Dynamic and static lung volumes of school children with cerebral palsy.
Acta Paediatr Scand Suppl. 1970; 204:Suppl 204:35-39.
21. Lundberg A. Maximal aerobic capacity of young people with spastic cerebral palsy. Dev
Med Child Neurol 1978; 20:205-210.
22. Wolff RK, Dolovivich MB, Obminski G, Newhouse MT. Effects of exercise and eucapnic
hyperventilation on bronchial clearance. J ApplPhysiol 1977;43 (1):46-50.
23. Brouillette RT, Thach BT. A neuromuscular mechanism maintaining extra-thoracic airway
patency. J Appl Physiol 1979;46:772–9.
24. Kortagal S, Gibbons VP, Stith JA. Sleep abnormalities in patients with severe cerebral
palsy. Dev Med Child Neurol 1994;36:304–11.
25. Schechter M. Airway clearance applications in infants and children. Respiratory Care
2007; 52(10): 1382-90
120
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi
Nia Kurniati
Tujuan:
1. Mengingatkan kembali berbagai golongan obat yang digunakan dalam
terapi alergi
Prevalens penyakit alergi (asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, alergi makanan,
urtikaria dan anafilaksis) bervariasi di berbagai negara, berdasarkan umur
maupun tingkat sosial ekonomi namun polanya menunjukkan peningkatan.
Penelitian International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) dan
European Community Respiratory Health Study (ECRHS) membuktikan bahwa
asma adalah kondisi yang sering ditemukan di hampir seluruh bagian dunia.
Kedua penelitian besar ini mengindikasikan bahwa lebih dari 300 juta orang
di dunia mengalami asma dan lebih banyak lagi yang mengalami rinitis alergi.
Beban penyakit alergi sangat besar di tingkat individual maupun keluarga, dan
secara tidak langsung menyebabkan tingginya beban kesehatan tersembunyi di
tingkat negara dan menjadikan alergi sebagai masalah kesehatan masyarakat.
Penyakit alergi adalah penyakit kompleks karena baik faktor genetik juga
lingkungan mempengaruhi perkembangan penyakitnya. Asma dan rinitis alergi
memiliki fenotip klinis yang mirip, keduanya menunjukkan pengelompokan
familial dan intra-individual yang mengindikasikan penyebab penyakit yang
tumpang tindih.
Rinitis alergi adalah penyakit kronik yang mayor karena sifat prevalensnya,
beban ekonomi dan hubungannya dengan asma dan komorbiditas lainnya.
Rinitis alergi merupakan bagian dari allergic march selama masa kanak-kanak,
tetapi rinitis alergi intermiten tidak biasa terjadi pada umur lebih muda dari
2 tahun dan paling sering ditemukan pada usia sekolah. Pada usia balita
diagnosis rinitis alergi tidak mudah ditegakkan. Interaksi antara saluran napas
atas dan bawah telah diteliti secara ekstensif sejak tahun 1990-an. Lebih dari
80% penderita asma juga menderita rinitis dan 10-40% pasien rinitis juga
menderita asma.
Dermatitis atopi adalah penyakit kronik rekuren/berulang yang ditandai
dengan rasa sangat gatal di kulit, terjadi pada keluarga dengan penyakit atopik
lainnya. Dengan prevalens sebesar 2–5% (15% pada anak dan dewasa muda),
dermatitis atopi merupakan penyakit kulit atopi yang sering ditemukan.
121
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi
Terapi Farmakologis
Pengobatan alergi merupakan kombinasi antara edukasi, farmakoterapi dan
imunoterapi yang dirancang secara individual. Manajemen penyakit menurut
panduan berbasis bukti menghasilkan respon pasien yang lebih baik. Beberapa
panduan global telah tersedia diantaranya untuk rinitis alergi, asma, dermatitis
atopi dan anafilaksis. Umumnya panduan tersebut menggunakan berbagai
kombinasi obat dan disesuaikan dengan berat-ringannya gejala serta naik-
turunnya kondisi penderita (step up-step down therapy).
Adapun tujuan pengobatan berbeda menurut jenis penyakitnya.
Contohnya adalah tujuan utama pengobatan rinitis adalah tidur tidak lagi
terganggu, mampu beraktivitas harian normal atau berolahraga tanpa gangguan
atau gangguan minimal efek samping obat yang digunakan. Tujuan pengobatan
asma adalah mempertahankan fungsi normal paru dan mengontrol gejala asma
di siang hari, tanpa disertai atau dengan keterbatasan minimal dalam berolah
raga, tidak ada gejala asma di malam hari dan tidak ada eksaserbasi.
Terapi farmakologi harus memperhitungkan efektivitas, keamanan, cost-
effectiveness, pilihan pasien dan adanya komorbiditas. Berikut ini obat-obat
yang sering digunakan untuk pengobatan alergi.
122
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
123
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi
124
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
dalam mengobati rinitis alergi musiman tetapi lebih inferior dari steroid intra
nasal. Penggunaannya aman dan dapat ditoleransi oleh anak, terutama pasien
rinitis yang juga mengalami asma. Penggunaan sebagai obat tambahan dapat
digunakan untuk pasien asma sedang hingga berat agar dosis ICS tidak tinggi.
Kromolin: Penggunaannya saat ini sangat terbatas untuk asma, dalam bentuk
preparat okular efektif untuk pengobatan konjungtivitis alergi. Penggunaanya
dilaporkan aman.
125
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi
Penggunaan
Penggunaan farmakoterapi dalam manajemen alergi tentu harus melihat lagi
panduan pengobatan masing-masing penyakit. Obat-obat yang disebutkan di
atas adalah yang lazim digunakan dan harus mampu diaplikasikan pada pasien
sesuai kompetensi dokter umum/anak. Jika respon pasien terhadap terapi yang
diberikan dinilai kurang maka perlu konsultasi lebih lanjut ke ahli alergi.
Secara umum panduan penggunaan kombinasi adalah sebagai berikut:
1. Asma. Saat serangan obat terpilih adalah β-agonis kerja cepat (salbutamol,
formoterol). Untuk populasi tertentu mungkin diperlukan anitkolinergik
dan steroid oral. Untuk lini selanjutnya teofilin intravena. Dalam hal
pengontrolan jangka panjang obat terpilih adalah ICS, baik tunggal
maupun kombinasi. Populasi tertentu (rinitis dan asma) mungkin dapat
digunakan montelukast. Lebih lengkapnya gunakan Panduan Tatalaksana
Asma Anak dari IDAI
2. Rinitis alergi dan komorbiditasnya. Obat utama adalah steroid intranasal
untuk mengontrol inflamasi sedangkan untuk simptomatik dapat
digunakan antihistamin, dekongestan nasal. Lebih lengkapnya gunakan
panduan rinitis alergi dari ARIA yang sudah diterjemahkan untuk
Indonesia. Berikut ini disampaikan panduan pengobatan dari ARIA.
3. Urtikaria. Obat utama adalah antihistamin. Panduan lama menggunakanan
antihistamin generasi pertama dikombinasi dengan vasokonstriktor lemah
seperti pseudoefedrin. Panduan baru hanya menyebutkan antihistamin
generasi 2. Kombinasi dengan obat lain hanya diperlukan untuk urtikaria
khusus atau non akut.
4. Anafilaksis. Obat terpilih adalah adrenalin. Penggunaan steroid dan
antihistamin efeknya tidak konsisten dalam berbagai penelitian observasi.
5. Dermatitis atopi. Obat terpilih tentu adalah topikal. Steroid hanya
digunakan pada kondisi akut, selanjutnya memerlukan kombinasi
calcineurin inhibitor topikal dan pemeliharan hidrasi kulit. Lebih
lengkapnya harus melihat berbagai panduan mengenai dermatitis atopi.
Obat oral hanya digunakan secara terbatas bila diperlukan.
126
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
127
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi
Simpulan
Penyakit alergi merupakan penyakit yang kompleks sehingga memerlukan
terapi yang sifatnya komprehensif. Terapinya tidak hanya dengan
medikamentosa tapi merupakan kombinasi antara edukasi, farmakoterapi, dan
imunoterapi yang dirancang secara individual. Pemilihan terapi farmakologi
harus mempertimbangkan efektivitas, keamanan,cost-effectiveness, pilihan
pasien dan adanya komorbiditas. Saat ini telah terdapat panduan global tata
laksana berbagai penyakit alergi seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi,
dan rinitis yang dapat dijadikan pedoman dalam pemilihan farmakoterapi bagi
anak-anak alergi untukmencegah ovetreatment atau undertreatment untuk
penyakit alergi.
Daftar pustaka
1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for the diagnosis and management
of asthma in children 5 years and younger [diakses tahun 2009]. Diunduh dari
http://www.ginaasthma.com.
2. National Heart Lung and Blood Institute. National asthma education and
prevention program: guidelines for the diagnosis and management of asthma
[diakses tahun 2009]. Diunduh dari http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/asthma.
3. Darsow U, Wollenberg A, Simon D, Taı¨eb A, Werfel T, Oranje A, et al. ETFAD/
EADV eczema task force 2009 position paper on diagnosis and treatment of
atopik dermatitis. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2010;24:317-28.
128
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII
129