Buku PKB 62 PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 143

PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXII

Current Management
in Pediatric Allergy and
Respiratory Problems

Penyunting:
Hanifah Oswari
Mulyadi M. Djer
Hartono Gunardi
Rismala Dewi
Anita Juniatiningsih
Frida Soesanti

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit

Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Cetakan Pertama 2012

ISBN 978-979-8271-40-3

ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Para Sejawat yang budiman,
Persoalan alergi dan respirologi di bidang pediatri selalu menjadi tantangan
dalam praktik klinis sehari-hari. Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat
dan semakin kritisnya pasien/masyarakat terhadap praktik profesi kedokteran
menuntut kita untuk selalu meningkatkan dan memperbaharui kompetensi
dalam menangani masalah alergi dan respirologi. Melalui penyelenggaraan
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) IKA LXII dengan tema Current
management in pediatric allergy and respiratory problems, Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM berusaha memfasilitasi proses pengembangan
profesionalitas berkelanjutan khususnya di bidang alergi dan respirologi.
Untuk kesinambungan penyebarluasan ilmu, kami menerbitkan buku
kumpulan makalah ini yang merangkum pembahasan berbagai penatalaksanaan
terkini alergi dan respirologi di bidang pediatri.
Saya mengucapkan terima kasih dan memberi penghargaan sebesar-
besarnya pada tim PKB IKA, ketua dan segenap jajaran panitia, serta berbagai
pihak yang telah memberi kontribusi besar dalam pelaksanaan PKB IKA LXII
dan penerbitan buku ini. Besar harapan kami, buku ini bermanfaat bagi para
pembaca khususnya dan kesejahteraan anak Indonesia pada umumnya. Semoga
Allah senantiasa memudahkan segala urusan dan meridhai usaha kita semua.

Wassalamu’aikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, April 2012


Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno SpA(K)


NIP: 19601122986011001

iii
iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB IKA LXII

Assalaamu’alaikum ww,

Pada acara Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) Departemen Ilmu


Kesehatan FKUI-RSCM sebelumnya kita telah membahas masalah Kegawatan
pada Bayi dan Anak secara luas dan cukup dalam. Pada PKB kali ini kita akan
meninjau masalah alergi dan masalah respiratori pada anak yang umumnya
terjadi di tempat layanan rawat jalan yang mencakup bagian terbesar dari
pasien yang kita layani. Sistem respiratori merupakan salah satu dari tiga sistem
organ yang paling banyak terpajan dengan dunia luar, selain sistem integumen
(kulit, rambut, kuku) dan sistem gastro-intestinal. Keluhan respiratori pada
anak secara umum merupakan keluhan terbanyak yang membuat orang tua
membawa anaknya mencari pertolongan medis. Dua insult yang paling sering
menimbulkan masalah adalah alergi dan infeksi, yang di antar keduanya juga
dapat terjadi interaksi yang kompleks. Berbagai hal di atas yang menjadi
pertimbangan kami untuk menyajikan tema Current management in pediatric
allergy and respiratory problems pada PKB kali ini.
Interaksi antara alergi dan infeksi merupakan bahasan pembuka pada
PKB ini, diikuti dengan kajian tentang pentingnya aspek pencegahan dalam
tatakelola penyakit alergi pada anak. Yang perlu ditekankan adalah pemahaman
bahwa sistem respiratori merupakan kesatuan anatomik, fungsional serta
kesatuan respons terhadap berbagai insults dari luar. Fakta ini yang mendasari
konsep kesatuan sistem respiratori atau United airway concept. Tata kelola
masalah medis di berbagai bagian sistem respiratori tidak dapat dilakukan
secara terpisah, seperti tercermin dalam topik rinosinusitis. Seperti disebutkan
di depan, selain sistem respiratori, maka sistem integumen juga paling sering
terpajan dengan dunia luar, sehingga risiko terjadinya alergi di kulit cukup
tinggi. Untuk itu manifestasi alergi di kulit kita kaji dalam kesempatan ini,
selain obat sebagai salah satu penyebab utama terjadinya alergi. Penentuan
alergi sebagai dasar terjadinya suatu penyakit tidak selalu mudah untuk
dilakukan, karena itu pemilihan diagnostik penunjang sangat penting untuk
penegakan diagnosis yang tepat.
Selanjutnya aspek diagnosis dan tata laksana berbagai infeksi di sistem
respiratori menjadi topik kajian lain yang yang sangat menarik. Peranan disiplin
lain di luar pediatri juga perlu kita ketahui dan pahami agar tata kelola yang kita
lakukan tepat dan adekuat. Selain itu, dalam acara break & lunch symposium

v
dibahas berbagai topik yang relevan dengan tema PKB kali ini. Dan last but
not least, pemilihan obat yang tepat untuk kasus alergi merupakan suatu ilmu
yang sangat menunjang kemampuan layanan medis kita. Semoga dengan
mengikuti PKB ini, kita semua akan tersegarkan dan tercerahkan pemahaman
dan kemampuan kita di bidang alergi dan respiratori anak.

Wassalaamu’alaikum ww.

Darmawan B Setyanto

vi
Kata Pengantar

Salam sejahtera,

Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM pada tanggal 1-2 April


2012 ini menyelenggarakan Pendidikan kedokteran berkelanjutan (PKB)
ke 62 bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta. Tema PKB ini adalah Current
Management in Pediatric Allergy and Respiratory Problems. Angka PKB ke-62
ini menunjukkan bahwa Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM
telah secara terus menerus melakukan PKB sejak tahun 1980 sampai sekarang.
Tema yang dipilih mengenai alergi dan respiratori karena dalam praktek
dokter sehari-hari banyak ditemukan kasus mengenai tema ini. Kemajuan
pengetahuan di bidang ini perlu kita bicarakan untuk secara bersama-sama
dapat digunakan dalam menatalaksana pasien yang dihadapi.
Alergi merupakan salah satu masalah medis yang banyak dijumpai pada
anak. Dengan perkembangan ilmu saat ini, peran pencegahan alergi penting
diperhatikan. Efektivitas pencegahan penyakit alergi dibahas dalam buku ini.
Masalah alergi kulit, konjungtivitis alergi, alergi obat, dan pemilihan obat alergi
yang benar juga dipaparkan dalam buku ini yang diharapkan memberikan
penyegaran ilmu dan mungkin tata laksana pasien para teman sejawat
Di bidang respirologi konsep united airway perlu dipahami kita
bersama agar sebagai dokter kita dapat mengatasi problem respiratori secara
komprehensif. Berbagai perkembangan ilmu di bidang respirologi seperti tata
laksana terbaru rinosinusitis, asma, pertusis, TB, pneumonia atipikal dan peran
pencitraan juga dibahas dalam buku ini.
Kami mengucapkan terima kasih atas kepada seluruh penulis yang
merupakan para pakar dalam bidangnya, dalam waktu mereka yang sempit
telah memberikan kontribusi menulis artikel untuk buku ini. Kami memberikan
penghargaan untuk semua para penulis dalam buku ini.

Penyunting

vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM

Ketua : Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)


Wakil Ketua : Dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)
Sekretaris : Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)
Bendahara : Dr. Bernie Endyarni, Sp.A(K)
Anggota : 1. DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)
2. Dr. H. F. Wulandari, Sp.A(K), MMed(Imaging)
3. DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K)
4. Dr. Muzal Kadim, Sp.A(K)
5. Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)
6. Dr. R. Setyo Handryastuti, Sp.A(K)

ix
Susunan Panitia

Pembina Dekan FKUI


Direktur RSCM
Penasehat Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM
Pengarah DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)
Koord. Litbang Departemen IKA FKUI-RSCM
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K)
Ketua Tim PKB
Dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(paed)
Wakil Ketua Tim PKB
Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)
Sekretaris Tim PKB
PANITIA PELAKSANA
Ketua Dr. Darmawan B. Setyanto, Sp.A(K)
Wakil Ketua Dr. Piprim B. Yanuarso, Sp.A(K)
Sekretaris Dr. Eka Laksmi Hidayati, Sp.A(K)
Bendahara Dr. Mulya R. Karyanti, Sp.A(K)
Seksi Dana Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K)
Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Jose R.L. Batubara, Sp.A(K)
DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)
Dr. Abdul Latief, Sp.A(K)
Seksi Ilmiah DR.Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)
DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)
DR. Dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K)
Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)
Dr. Anita Juniatiningsih, Sp.A
Dr. Frida Soesanti, Sp.A
Seksi Pameran Dr. Ari Prayitno, Sp.A
Dr. Lily Rundjan, Sp.A(K)
Seksi Perlengkapan & Dr. Muzal Kadim, Sp.A(K)
Dokumentasi Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K)
Seksi Sidang Dr. R.A. Setyo Handryastuti, Sp.A(K)
Dr. Nikmah Salamia, Sp.A
Seksi Konsumsi Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K)
Dr. Yoga Devaera, Sp.A

x
Daftar Penulis

Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)


Divisi Respirologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI - RSCM

Dr. Darmawan B Setyanto, Sp.A(K)


Divisi Respirologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI - RSCM

Dr. Dina Muktiarti, Sp.A


Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI - RSCM

Dr. E. M. Dadi Suyoko, Sp.A(K)


Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI - RSCM

Dr. H.F. Wulandari, Sp.A(K), MMed(Imaging)


Divisi Pencitraan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI - RSCM

Dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.RM(K)


Departemen Rehabilitasi Medik
FKUI-RSCM

xi
Dr. Lukman Edwar, Sp.M
Departemen Ilmu Penyakit Mata
FKUI-RSCM

Prof. Dr. Mardjanis Said, Sp.A(K)


Divisi Respirologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI - RSCM

Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K)


Divisi Respirologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI - RSCM

Dr. Nia Kurniati, Sp.A(K)


Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI - RSCM

Dr. Titi L. Sugito, Sp.KK(K)


Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUI - RSCM

Dr. Wahyuni Indawati, Sp.A


Divisi Respirologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI - RSCM

DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)


Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI - RSCM

xii
Daftar isi

Kata Sambutan Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM........................ iii


Kata Sambutan Ketua Panitia PKB IKA LXII........................................ v
Kata Pengantar..................................................................................... vii
Tim PKB FKUI-RSCM......................................................................... ix
Susunan Panitia..................................................................................... x
Daftar Penulis....................................................................................... xi

Infeksi Berulang Saluran Napas pada Asma Bronkial............................ 1


Arwin A.P. Akib
Efektivitas Tindakan Pencegahan Penyakit Alergi.................................. 8
Zakiudin Munasir
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak..................................... 13
I. Boediman, Nastiti Kaswandani
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada Anak di Bawah Usia 5 Tahun. 23
Bambang Supriyatno
Manifestasi Kulit pada Alergi............................................................... 34
Titi Lestari Sugito
Masalah Alergi Obat pada Anak.......................................................... 43
E. M. Dadi Suyoko
Perangkat Diagnostik pada Penyakit Alergi.......................................... 51
Dina Muktiarti
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis.......................................... 59
Wahyuni Indawati

xiii
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap....... 70
Darmawan B Setyanto
Peningkatan Pengenalan Pneumonia Atipik pada Anak....................... 84
Mardjanis Said
Konjungtivitis Alergi............................................................................ 92
Lukman Edwar
Hipertrofi Tonsil: Kapan harus Dirujuk?.............................................. 97
Nastiti Kaswandani
Peran Pencitraan dalam Tata laksana Penyakit Respiratorik............... 107
H F Wulandari
Respiratory Care for Children with Neurological Impairment................ 112
Luh Karunia Wahyuni
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi................................................... 121
Nia Kurniati

xiv
Infeksi Berulang Saluran Napas
pada Asma Bronkial
Arwin A.P. Akib

Tujuan:
1. Memahami peran respons imun spesisik dan non-spesik dalam infeksi
virus dan bakteri
2. Memahami peran keseimbangan sitokin pro-inflamasi dan anti-
inflamasi
3. Memahami peran sistem imun pada asma bronkial

Infeksi saluran napas dan asma bronkial sering ditemukan dalam praktek klinik
sehari-hari. Dalam telaah kepustakaan yang paling banyak dibahas adalah
peran infeksi saluran napas dalam patogenesis asma. Semula diduga peran
infeksi virus, terutama pada masa anak, yang dianggap merupakan pemicu
awal reaksi hiper-reaktivitas bronkus, bukan bakteri. Infeksi virus dihubungkan
dengan respons imun Th2 yang cenderung ke arah alergi, sedangkan infeksi
bakteri dihubungkan dengan respons imun Th1 yang cenderung anti-alergi.
Dengan pemahaman yang lebih dalam dan lengkap tentang respons innate
immunity maka peran infeksi bakterial menjadi sangat penting bagi pemahaman
tentang timbul dan berulangnya asma bronkial. Kita sekarang menjadi lebih
paham tentang peran molekul TLR (Toll-like receptors), NLR (Nucleotide-binding
oligomerization domain-like receptors), KFL (Krüppel-like transcription factors)
pada sel leukosit dalam pemicu reaksi inflamasi asma bronkial. Terlihat bahwa
mekanisme timbulnya asma awalnya justru ditentukan oleh respons imun
non-spesifik yang memicu reaksi inflamasi alergi.
Laporan dan bahasan tentang peran alergi terhadap infeksi berulang tidak
banyak ditemukandan tidak membahas sampai tingkat mekanisme molekular,
selular, maupun kerusakan jaringan. Makalah ini membahas sedikit temuan
pustaka tentang infeksi berulang pada asma bronkial. Akan dipaparkan tentang
kecenderungan individu untuk infeksi berulang, peran innate immunity pada
mekanisme asma, serta beberapa laporan kejadian infeksi pada asma bronkial.

1
Infeksi Berulang Saluran Napas pada Asma Bronkial

Kerentanan terhadap infeksi


Dunia kedokteran modern telah mengungkap beberapa kecenderungan
terjadinya penyakit infeksi pada individu yang pada dasarnya adalah
keseimbangan antara agen (mikroba) dan pejamu. Awalnya virulensi mikroba
dianggap memegang peran penting untuk kejadian penyakit infeksi tapi
kemudian kompetensi sistem imun dianggap lebih berperan, dan kelemahan
respons imun dianggap menjadi penentu untuk kekerapan penyakit infeksi
pada seseorang.
Pada saat ini kita mengerti bahwa virulensi mikroba lebih ditentukan oleh
alienitas (keasingan) mikroba ketimbang oleh daya rusak mikroba tersebut.
Pertahanan individu terhadap infeksi mikroba terutama diperankan oleh
innate immunity yang mengawali rangkaian proses pengenalan, fagositosis dan
eliminasi antigen. Rangkaian proses imun tersebut akan menginduksi produksi
berbagai mediator dan sitokin yang menimbulkan reaksi inflamasi. Semakin
asing sifat antigenik mikroba akan semakin kuat pula respons imun dan
inflamasi yang terjadi. Reaksi inflamasi akibat aktivitas mediator dan sitokin
respons imun menimbulkan gejala dan tanda serta kerusakan jaringan dalam
bentuk sindrom klinis.
Gejala sistemik penyakit infeksi umumnya berupa tanda inflamasi yang
disebabkan oleh aktivitas sitokin produk kelompok makrofag tipe 1 (M1) yang
selanjutnya akan menginduksi respons imun spesifik kelompok sel limfosit Th1.
Sitokin yang dihasilkan akibat rangsangan infeksi ini kemudian dikenal sebagai
sitokin pro-inflamasi. Pada keadaan homeostasis normal aktivitas sel dan sitokin
pro-inflamasi akan dapat diatasi dengan baik oleh aktivitas sel dan kelompok sel
M2 dan Th2 yang menghasilkan sitokin anti-inflamasi. Terminologi pro-inflamasi
dan anti-inflamasi sebetulnyaharus dipandang dari sudut patofisiologi inflamasi
yang terjadi karena keduanya bekerjasama dalam keseimbangan yang baik.
Aktivitas M2/Th2 juga menimbulkan reaksi inflamasi yang dapat diatasi oleh
aktivitas M1/Th1 sebagai penyeimbangnya. Bila penyebab inflamasi tidak dapat
dieliminasi dengan baik maka aktivitas respons imun akan meningkat, demikian
pula aktivitas respons imun di pihak lain sebagai penyeimbangnya. Pada tahap
selanjutnya aktivitas respons imun M1/Th1 dan M2/Th2 secara bersama akan
menimbulkan inflamasi berat dan sulit diatasi, apapun pencetusnya. Keadaan
klinis demikian dapat kita lihat antara lain pada penyakit SLE berat, asma berat,
dan sepsis. Aktivitas respons imun selular, humoral, serta mediator dan sitokin
saling mengaktivasi menimbulkan gejala klinis berat, yang sering kita sebut
sebagai akibat oleh badai sitokin (cytokines storm).
Beberapa mikroba mempunyai predileksi spesies dan jaringan. Bila
oleh suatu sebab, misalnya terjadi defek imun, mikroba mampu menerobos
pertahanan tubuh maka mereka akan menginvasi serta berkolonisasi di sel

2
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

dan jaringan tertentu. Selanjutnya bila respons imun tubuh tidak mampu
mengeliminasinya akan terjadi kerusakan sel dan jaringan setempat akibat
proses invasi, kolonisasi, multiplikasi, atau bahkan kerusakan jaringan lain
karena produk toksin yang dilepaskan. Inflamasi akan lebih berat dan serius
akibat respons imun tubuh, kerusakan sel dan jaringan secara langsung,
pengaruh toksin, serta penyebaran mikroba ke organ lain. Infeksi serius mikroba
patogen seperti ini dapat terjadi di lingkungan rumah sakit akibat mikroba
nosokomial atau oleh bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotika.
Pada keadaan defisiensi imun atau imunokompromais terdapat kekurangan
atau penurunan kompetensi imun yang mempermudah mikroba menginvasi
pejamu dan berkolonisasi. Konsekuensi klinis yang timbul tergantung dari jenis
dan derajat berat defisiensi imun serta karakter mikroba yang menginvasi. Pada
keadaan defisiensi imun berat bahkan mikroba komensal dapat melakukan
invasi serta menimbulkan kerusakan jaringan hebat dalam waktu singkat.
Infeksi patogen pada keadaan defisiensi imun berat umumnya berakibat fatal.
Defisiensi imun dapat terjadi secara bawaan/kongenital atau didapat.
Gejala klinis defisiensi imun bawaan biasanya sudah terlihat sebagai penyakit
infeksi berulang sejak masa awal kehidupan atau beberapa saat setelah itu.
Defisiensi imun didapat timbul lebih kemudian akibat berbagai gangguan
sistem imun, misalnya oleh malnutrisi berat, penyakit keganasan, dan infeksi
HIV. Gangguan respons imun pada malnutrisi dan keganasan umumnya
terjadi pada imunitas non-spesifik yang menurunkan kemampuan fagositosis.
Bila gangguan tersebut berlanjut dapat merusak sistem imun spesifik seperti
contoh baku pada infeksi HIV.
Gejala klinis infeksi HIV pada awalnya timbul akibat respons imun yang
masih baik terhadap invasi dan kolonisasi, terutama di jaringan kelenjar getah
bening saluran cerna (GALT). Gejala klinis demam, malaise, penurunan
nafsu makan, mialgia, artralgia, akibat aktivitas respons innateimmunity sering
disebut sebagai flue-like syndrome. Invasi dan kolonisasi HIV pada sistem GALT
menimbulkan inflamasi lokal dengan gejala protein loosing enteropathy kronik
yang sangat mengganggu. Karena invasi HIV pada sel Th2 tidak dapat diatasi
maka kerusakan sel Th2 terus berlanjut sehingga terjadi defisiensi imun berat
yang mengakibatkan infeksi berulang atau menetap oleh berbagai mikroba,
baik patogen maupun komensal.
Dari uraian ini kita tetap akan kembali pada pemahaman awal bahwa
penyakit infeksi terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan antara agen
dengan pejamu. Bila sistem imun berfungsi dengan baik maka sedikit
kemungkinan bagi mikroba patogen untuk melakukan invasi dan kolonisasi
menimbulkan penyakit infeksi, apalagi menimbulkan penyakit infeksi berulang.
Sejauh ini belum kita temukan bukti terjadi defek imun, defisiensi imun, atau
imunokompromais pada asma bronkial.

3
Infeksi Berulang Saluran Napas pada Asma Bronkial

Respons imun penyakit alergi


Makalah ini tidak berpretensi untuk menguraikan patofisiologi penyakit alergi
atau asma bronkial. Secara ringkas dapat disebutkan bahwa penyakit alergi
ditimbulkan oleh dua komponen utama, yaitu bakat atopi serta faktor lingkungan
sebagai pencetus. Belakangan ini banyak sekali bahasan tentang peran innate
immuity dalam mekanisme asma bronkial yang menunjukkan peran infeksi pada
patogenesis asma. Imunitas nonspesifik sangat menentukan pada pertahanan
tubuh terhadap infeksi mikroba dengan mengenal, menangkap, ‘memakan’,
membunuh, menahan, dan mengeliminasi mikroba invasif. Aktivitas imun
terhadap infeksi melalui melalui reseptor pada sel innate immunity (TLR, NLR,
KFL) juga akan menimbulkan rangsang untuk bangkitan asma.
Selama hampir 100 tahun ini imunitas non-spesifik dianggap sebagai
sistem imun “kelas 2” dengan fungsi terbatas ketimbang sistem imun spesifik
sebagai garda terdepan primadona respons imun. Berbagai temuan dalam
dekade terakhir kemudian menunjukkan peran penting innate immunity dalam
respons imun dengan mengenal komponen antigenik mikroba secara langsung
melalui ekspresi reseptor spesifik pattern recognition receptors (PRR) pada sel
imun. TLR merupakan salah satu PRR yang diekspresikan secara luas pada
berbagai sel innate immunity seperti sel dendrit, makrofag, sel mast, neutrofil,
dan sel endotel. Telaah awal menunjukkan peran penting TLR merangsang
respons Th1, tetapi kemudian terbukti bahwa TLR memediasi juga respons
imun Th2. Sinyal pada TLR2 menimbulkan respons Th2 dan T-regulator.
Molekul PRR lain adalah kelompok nukleotida NLR berupa reseptor
sitosol yang membentuk wadah fungsional inflamasom bersama kelompok
protein lain. Ikatan pada reseptor ini memicu kaskade sinyal intrasel memulai
respons innate immunity. Materi partikel dan nanopartikel menginduksi aktivitas
innate immunity melalui ikatan dengan TLR dan NLR. Pembentukan formasi
pro-sitokin oleh sel innate immunity membutuhkan kerja sama antara TLR
dan NLR tersebut mengarah pada aktivitas pro-inflamasi atau anti-inflamasi.
Kelompok KLF berperan dalam orkestrasi fungsi biologis leukosit
dalam pematangan sel (cell lineage) dan fungsi leukosit dalam berbagai aspek
pertumbuhan, perkembangan, diferensiasi, dan aktivasi sel, serta hubungannya
dengan respons leukosit pada keadaan fisilogis maupun penyakit. Selain itu KLF
merupakan target perangsangan dan sinyal untuk aktivitas lintas (trafficking)
limfosit, diferensiasi sel Treg, fungsi Ts, aktivasi atau restorasi monosit/makrofag,
serta maturasi dan aktivasi sel B memori. Jadi KLF berperan dalam regulasi sel
T, manosit/makrofag dalam keadaan homeostasis maupun sakit.
Pada saat ini terdapat pemaham yang relatif baru bahwa berbagai
fungsi molekul TLR, NLR, dan KFL pada leukosit, terutama makrofag dan
dendrit, sebagai komponen innate immunitymembuat kecenderungan ke arah

4
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

penyakit alergi. Utomo (2009) dalam disertasinya mengungkapkan bahwa


ikatan endotoksin lipopolisakarida (LPS) bakteri Porphyromonas gingivalis
dengan reseptor TLR2 dan TLR4 menimbulkan sensitisasi alergi.TLR4 diduga
mempunyai peran pada respons penderita asma terhadap ozon.
Dari uraian ini kita dapat memahami bahwa kompetensi sistem imun non-
spesifik pada asma bronkial tidak terganggu. Mekanisme innate immunity pada
asma bronkial tidak menurun, bahkan meningkat sehingga dapat mengatasi
infeksi dengan baik, tetapi dilain pihak respons imun non-spesifik terhadap
infeksi akan menimbulkan pula sensitisasi alergi.

Infeksi saluran napas dan asma bronkial


Beberapa laporan menunjukkan bahwa sekitar 20–30% pasien asma
memperlihatkan inflamasi neutrofilik dan penurunan respons terhadap
terapi steroid. Sebagian pasien tersebut menunjukkan kolonisasi bakteri
kronik saluran napas, terutama Haemophilus influenzae, dengan mekanisme
yang belum jelas. Percobaan hewan menunjukkanterjadi penurunan ekspresi
TLR4 dan aktivasi makrofag, dan influks neutrofil serta makrofag ke saluran
napas terhambat. Gabungan antara infeksi dan alergi saluran napas yang
menimbulkan masalah resistensi steroid berasal dari disfungsi innate immunity.
Terdapat penekanan pada laporanini bahwa kekerapan infeksi H. influenzae
pada asma bronkial berhubungan dengan penurunan fungsi innate immunity.
Klemets dkk (2010) mencari hubungan risiko infeksi peneumokokus
invasif pada pasien asma. Dari 1282 pasien penderita infeksi pneumokokus
invasif terdapat 7,1% penderita asma, sedangkan pada 12.785 kelompok
kontrol 2,5% di antaranyamenderita asma, yang memperlihatkan peningkatan
risiko infeksi pneumokokus invasif pada asma.Preston dkk (2011) menjelaskan
dari sudut berlawanan, bahwainfeksi atau pemberian S. pneumoniaemati
akan menekan gejala alergi saluran napas, termasuk sitokin Th2 dan respons
antibodi, akumulasi eosinofil perifer dan pulmonal, serta hiperreaktivitas
saluran napas. Pengaruh infeksi terhadap alergi saluran napas tergantung pada
saat infeksi yang berhubungan dengan sensitisasi dan paparan alergen. Infeksi
S. pneumoniae meningkatkan jumlah sel T-regulator (Treg) dalam kelenjar limfe
yang berhubungan dengan supresi alergi saluran napas. Treg menurunkan
proliferasi sel Th yang melepas sitokin Th2.Karena terdapat hubungan kausal
timbal balik antara infeksi pneumokokus invasif dengan asma maka para
peneliti menyarankan pemberian vaksin pneumokokus pada penderita asma.
Rhinovirus merupakan penyebab tersering infeksi saluran napas atas pada
anak dan kerap menyertai eksaserbasi asma. Miller dkk (2012) menjelaskan
peran rinovirus memediasi eksaserbasi asma dengan menginduksi IFN-λ1 tipe

5
Infeksi Berulang Saluran Napas pada Asma Bronkial

III. Tidak jelas disebutkan apakah penyakit alergi akan memfasilitasi infeksi
rinovirus tetapi jelas bahwa infeksi rinovirus menyebabkan bangkitan asma.
Peneliti lain melaporkan hal serupa yang menekankan peran penting rinovirus
pada eksaserbasi asma ketimbang sebaliknya.
Bagaimana mekanisme hubungan asma dengan kekerapan infeksi virus
belum jelas benar tetapi makin sering teramati kecenderungan defek antivirus
pada asma, yang pada lingkaran selanjutnya meningkatkan inflamasi dan
heperreaktivitas saluran napas. Viremia yang terjadi pada masa akut infeksi
rinovirus (RV) lebih kerap terjadi pada eksaserbasi asma dibandingkan dengan
anak non-asma, yang menunjukkan kemungkinan penurunan kemampuan
mencegah penyebaran virus sistemik. Hal ini diperkuat lagi dengan bukti
penemuan RNA RV pada 40% anak asma beberapa minggu setelah eksaserbasi
akut, yang menandakan kelemahan kapasitas eliminasi RV dari saluran
napas atau mencegah infeksi selama masa konvalesen. Studi laboratorium
memperlihatkan penurunan relatif produksi IFN-β dan IFN-γ dari sel epitel
bronkus asma dibandingkan dengan kontrol sehat. Makrofag alveolar dan
leukosit sirkulasi juga menunjukkan penurunan kapasitas sintesis IFN tipe I
dan III. Hal ini menandakan bahwa penurunan respons antivirus pada asma
selain melibatkan sel struktural saluran napas juga terjadi pada sel dalam
sirkulasi darah. Mekanisme tingkat selular yang menyebabkan gangguan innate
immunity antivirus ini masih belum jelas.
Roponen dkk (2010) menemukan hal yang berlawanan dengan penulis
lain dengan menyatakan bahwa pada penderita asma adolesen terdapat
penurunan ekspresi TLR7 yang menandakan kelemahan innate immunty. Virus
RV terdeteksi oleh reseptor virus TLR7 dan TLR3 dalam endosom yang juga
mengenal virus RNA lain RSV dan influenza. Studi tersebut memperlihatkan
gangguan respons TLR7 untuk menangkap ssRNA RV yang berperan
terhadap melemahnya respons antiviral innate immunty. Tetapi studi ini juga
mencatat bahwa respons TLR3 tidak terganggu hingga kapasitas ligand TLR3
menginduksi molekul antiviral anak asma sama dengan kelompok kontrol.
Flitscher dkk (2011) mencatat bahwa pasien asma dewasa yang tidak
terkontrol atau dengan perburukan klinis berisiko tinggi untuk terinfeksi
mikobakterium non-tuberkulosis. Peningkatan risiko antara lain ditentukan
oleh pemakaian kortikostroid, remodeling saluran napas, serta penurunan
kapasitas sel epitel untuk memproduksi interferon. Risiko tersebut meningkat
pada pasien yang lebih tua. Sebaliknya penulis menyatakan pula kemungkinan
infeksi mikobakterium sebagai penyebab asma tidak terkontrol.

6
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Simpulan
Beberapa laporan klinis mencatat peningkatan risiko infeksi pada asma
bronkial walaupun mekanisme molekularnya tidak dapat dijelaskan. Terjadi
peningkatan kolonisasi H. influenza, pada saluran napas, peningkatan kejadian
infeksi pneumokokus invasif, peningkatan risiko infeksi mikobakterium non-
tuberkulosis, serta kekerapan viremia rinovirus pada eksaserbasi asma dan
ditemukannya RNA rinovirus beberapa minggu setelah eksaserbasi asma.
Laporan tersebut mengungkapkan gangguan innate immunity dengan penurunan
ekspresi TLR4 dan TLR7, tapi ekspresi dan fungsi TLR3 tetap baik.Para penulis
berpendapat bahwa hubungan penting antara infeksi dengan asma bronkial
adalah peran infeksi sebagi pencetus bangkitan asma. Terdapat kemungkinan
bahwa kekerapan infeksi yang terjadi, terutama infeksi bakteri, merupakan
akibat dari proses remodeling dan pemberian steroid pada asma kronik.

Daftar bacaan
1. Luzuriaga K, Sullivan JL. Immune mechanisms in infectious disease. Dalam:
Stiehm ER, Ochs HD, Winkelstein JA, penyunting. Immunologic disorders in
infants & children. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004.h.871-7.
2. Chapel H, Haeny M, Misbah S, Snowden N. Essentials of clinical immunology.
Edisi ke-5. Carlton: Blackwell; 2006.
3. Utomo H. Mekanisme imunoneuromodulasi terapi assisted drainage pada reaksi
tikus alergi yang dipapar lipopolisakarida Porphyriomonas gingivalis [disertasi].
[Surabaya (Indonesia)]:Program Psaca Sarjana Universitas Airlangga; 2009.
4. Cao Z, Sun X, Icli B, Wara AK, Feinberg MW. Role of Krüppel-like factors in
leukocyte development, function, and disease. Blood. 2010;116:4404-14.
5. Klemets P, Lyytikäinen O, Ruutu P, Ollgren J, Kaijalainen T, Leinonen M, et al.
Risk of invasive pneumococcal infections among working age adults with asthma.
Thorax. 2010;65:698-702.
6. Roponen M, Yerkovich ST, Hollams E, Sly PD, Holt PG, Upham JW. Toll-
like receptor 7 function is reduced in adolescents with asthma. EurRespirJ.
2010;35:64–71.
7. Preston JA, Thorburn AN, Starkey MR, Beckett EL, Horvat JC, Wade MA, et al.
Streptococcus pneumoniae infection suppresses allergic airways disease by inducing
regulatory T-cells. Eur Respir J.2011;37:53-64.
8. Fritscher LG, Marras TK, Bradi AC, Fritscher CC, Balter MS, Chapman KR.
Nontuberculous mycobacterial infection as a cause of difficult-to-control asthma.
A case-control study. Chest. 2011;139:23-7.
9. Miller EK, Hernandez JZ, Wimmenauer V, Shepherd BE, Hijano D, Libster R,
et al. A mechanistic role for type III IFN-λ1 in asthma exacerbations mediated
by human rhinoviruses.Am J Respir Crit Care Med. 2012;185:508-16.
10. Bauer RN, Diaz-Sanchez D, Jaspers I. Effects of air pollutants on innate immunity:
the role of Toll-like receptors and nucleotide-binding oligomerization domain-like
receptors. J Allergy Clin Immunol. 2012;129:14-24.

7
Efektivitas Tindakan Pencegahan
Penyakit Alergi
Zakiudin Munasir

Tujuan:
1. Menilai efektivitas berbagai macam tindakan pencegahan alergi supaya
mendapat hasil yang optimal

Berbagai usaha tindakan pencegahan terjadinya penyakit alergi telah banyak


dilakukan dalam rangka menurunkan angka kejadian penyakit alergi yang
semakin meningkat, tetapi belum banyak peneliti yang melakukan evaluasi
hasil penelitian secara keseluruhan. Beberapa studi dilakukan tetapi hasilnya
masih kontroversial. Sebagian menunjukkan keberhasilan yang baik sebagian
masih mengecewakan. Berbagai metode yang dilakukan antara lain pemberian
ASI eksklusif, penghindaran faktor pencetus baik alergen di udara maupun
alergen makanan, penghindaran asap rokok serta pemberian probiotik
telah banyak dilakukan, tetapi hasilnya belum semua sama. Evaluasi hanya
dilakukan terhadap masing-masing cara sedangkan alergi adalah penyakit
yang multifaktor.

Sensitisasi usia dini


Banyak penelitian membuktikan bahwa sensitisasi alergi pada usia dini
memegang peran penting pada perkembangan penyakit alergi, terutama alergi
makanan dan dermatitis atopik. Perkembangan penyakit alergi ditentukan
oleh sedikitnya 3 hal yaitu latar belakang genetik, pajanan terhadap alergen,
serta diperkuat oleh faktor yang berasal dari lingkungan. Faktor prediksi
yang paling baik dalam menentukan apakah anak akan mengalami penyakit
alergi di kemudian hari adalah riwayat atopi dalam keluarga terutama pihak
ibu. Penanda (marker) genetik mungkin akan lebih menjanjikan dalam
menentukan penyakit alergi di kemudian hari. Penelitian Kiyohara dkk. di
Jepang menemukan kandidat gen dermatitis atopik (DA), salah satunya
adalah interleukin 4 pada lokus 5q31.1.4 Dermatitis atopik merupakan
penyakit inflamasi kronik yang mencapai awitan puncak pada masa bayi dan

8
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

paling banyak terjadi pada usia sampai satu tahun. Angka kejadian dermatitis
atopik meningkat dengan pesat. Di Jakarta pada 635 pasien penyandang alergi
ditemukan 156 pasien (24,6%) dengan gejala pada kulit (dermatitis atopik).2
Suatu studi prospektif di Inggris mengenai insidens dan prevalensi dermatitis
atopik pada anak usia 0-42 bulan diperoleh insidens DA pada usia 0-6 bulan
adalah 21,%, pada usia 7-18 bulan adalah 11,2% dan 3,8% pada usia 19-30
bulan.5 Dermatitis atopik yang terjadi pada bulan-bulan pertama kehidupan
dapat mengakibatkan tekanan atau beban pada keluarga, memengaruhi
pola makan dan tidur bayi serta biaya kesehatan atau pengobatan. Selain itu
kejadian dermatitis atopik dapat menjadi faktor risiko terjadinya sensitisasi
alergen inhalan, asma, rinitis alergi, serta urtikaria di kemudian hari.6,7
Beberapa studi menunjang adanya masa kritis pada usia dini,
kemungkinan juga termasuk masa perinatal. Secara genetik bayi atopik
mempunyai risiko tinggi mengalami sensitisasi terhadap alergen makanan.
Intervensi sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada masa perinatal untuk
mendapatkan keberhasilan yang tinggi. Faktor penting risiko atopik yang
dapat dikendalikan adalah pemberian susu formula, pengenalan makanan
padat hiperalergenik pada usia dini, serta pajanan terhadap lingkungan asap
rokok serta ketidaktahuan tentang masalah penyakit alergi. 7
Hygiene hypothesis pertama kali diusulkan oleh David P Strachan pada
tahun 1989 saat melakukan studi epidemiologi mengenai hay fever pada
17.414 anak di Inggris.8 Strachan menyimpulkan dengan menurunnya jumlah
anggota keluarga dan membaiknya standar kebersihan anggota keluarga
mengakibatkan kejadian infeksi silang antar anggota keluarga berkurang tetapi
terjadi peningkatan kejadian penyakit atopik.8,9
Saat ini sudah diketahui dengan jelas bahwa ternyata neonatus dapat
menunjukkan respons imun terhadap antigen lingkungan. Sensitisasi sudah
terjadi sejak masa antenatal. Beberapa studi menunjukkan sensitivitas sel
mononuklear perifer terhadap alergen pada sampel darah neonatus dapat
memprediksi terjadinya alergi di kemudian hari. Hasil penelitian Prescott dan
kawan-kawan pada tahun 1998 mendapatkan adanya respons proliferatif sel-
sel darah talipusat terhadap tungau debu rumah pada 46% sampel, sedangkan
terhadap alergen utama yang dimurnikan dari tungau debu rumah adalah 73%
dan terhadap albumin telur ayam 42%.10 Dengan mempelajari respons sel
mononuklear darah perifer fetus selama masa kehamilan, dapat disimpulkan
bahwa respons terhadap alergen dapat terjadi sejak awal yaitu pada kehamilan
22 minggu (5-6 bulan).7,10
Beberapa studi membuktikan perbedaan profil sitokin sel mononuklear
darah tepi yang distimulasi dengan mitogen dan alergen pada neonatus yang
mempunyai risiko alergi. Semua penelitian ini menyokong adanya gangguan
keseimbangan antara sitokin yang menekan respons alergi yang ditandai oleh

9
Efektivitas Tindakan Pencegahan Penyakit Alergi

respons fenotip sel T-helper1 (Th-1) yaitu interleukin-12 (IL-12) dan interferon-
gamma (IFN-γ ) dengan sitokin yang berperan pada alergi dari sel Th-2 yaitu
IL-4, 5, 10 dan 13).

Kontribusi lingkungan terhadap timbulnya penyakit


alergi
Hal yang menarik tentang kontribusi kehamilan yang berhubungan dengan
lingkungan dalam timbulnya penyakit alergi adalah melalui 3 faktor. Pertama,
peningkatan kadar imunoglobulin-E total darah tali pusat yang kemudian
ternyata bukan petanda yang sensitif dalam timbulnya penyakit alergi di
kemudian hari. Penelitian membuktikan bahwa pajanan fetus terhadap alergen
di dalam kandungan, kemungkinan merupakan faktor yang lebih bermakna
dalam timbulnya penyakit alergi. Terbukti bahwa fetus telah mampu membentuk
IgE spesifik sebelum lahir yang diinduksi oleh IL-4. Kedua, reaktivitas spesifik
neonatus pada saat lahir terhadap alergen yang umum seperti tungau debu
rumah (TDR), susu sapi, dan telur ayam mendukung konsep adanya pajanan
fetus oleh diet makanan dan alergen inhalan ibu, serta bergantung kepada
maturitas sistem imun dalam kesanggupannya berrespons terhadap antigen
spesifik. Ketiga, risiko timbulnya penyakit alergi, terutama pada awal masa
bayi, ditentukan oleh kedua orangtuanya. Bila kedua orangtuanya mempunyai
penyakit alergi, maka masa kehamilan cenderung merupakan masa kritis dalam
menentukan timbulnya penyakit alergi di kemudian hari. Risiko timbulnya
alergi pada anak yang lahir dari ibu yang alergi dibuktikan 4 kali lebih tinggi
dibandingkan bila ayah yang alergi.10-2
Walaupun banyak studi membuktikan peran berbagai sel dan sitokin
dalam reaksi alergi, tetapi penelitian mengenai perannya untuk memprediksi
timbulnya penyakit alergi di kemudian hari masih mengecewakan.12 Prediktor
yang paling baik saat ini adalah riwayat alergi dalam keluarga terutama pada
ibu. Untuk menentukan risiko alergi pada bayi baru lahir dilakukan dengan
menanyakan riwayat alergi dalam keluarga yaitu ibu, ayah dan saudara
kandung. Ada 3 jenis penyakit alergi utama yang ditanyakan yaitu asma, rinitis
alergi,dan dermatitis.13,14

Pencegahan dini sebelum terjadi gejala alergi


Saat ini banyak diupayakan pencegahan timbulnya gejala alergi pada anak yang
lahir dari keluarga yang mempunyai bakat atopik/alergi, di antaranya adalah
pencegahan dini yaitu dimulai pada saat anak masih dalam kandungan. Ibu
hamil yang mempunyai riwayat alergi dalam keluarga tidak perlu melakukan

10
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

diet pencegahan terhadap makanan yang sering menimbulkan alergi untuk


mencegah terjadinya reaksi alergi pada bayi yang dilahirkan. Hal ini penting
untuk mencegah terjadinya kekurangan gizi dalam kandungan. Selain itu
hindari asap rokok baik sebagai perokok aktif maupun pasif. Pemberian air
susu ibu (ASI) eksklusif dilaporkan dapat mencegah terjadinya alergi di
kemudian hari. ASI menghambat peningkatan penyerapan antigen makanan
pasca natal pada hewan. Jumlah antibodi IgAs dan IgA spesifik terhadap susu
sapi dan kasein lebih rendah secara signifikan pada ASI dan kolustrum ibu
yang mempunyai anak dengan alergi susu sapi dibanding pada ibu yang tidak
mempunyai anak yang alergi terhadap susu sapi. Akan tetapi suatu penelitian
prospektif tidak menunjukkan adanya efek protektif antibodi spesifik pada ASI
terhadap sensitisasi yang dialami bayi. Faktor imun pada susu yang meliputi
kadar antibodi IgE yang rendah (meskipun lebih tinggi pada ibu atopik
dibanding nonatopik) dan kemokin (yang berbeda pada ibu yang atopik dan
non atopik) tidak terlalu mempengaruhi perkembangan alergi.
Tindakan pencegahan terhadap makanan yang menimbulkan alergi tidak
perlu dilakukan ibu menyusui kecuali bila sudah timbul alergi pada bayi yang
disusuinya. Tindakan pencegahan hanya terhadap makanan yang menjadi
faktor pencetus dan ini diteruskan sampai usia 1-2 tahun, dengan harapan bila
makanan diberikan pada usia tersebut, tidak akan menimbulkan alergi lagi.
Selain penghindaran makanan yang hiperalergenik, terhadap ibu menyusui
perlu juga dilakukan penghindaran alergen yang berasal dari lingkungan
misalnya TDR (pembersihan berkala, hindari pemakaian karpet), polusi asap
rokok dan lain-lain.
Bila anak tidak mendapat ASI, dapat diberikan susu formula yang
hipoalergenik. Tetapi bila sudah terjadi alergi terhadap susu sapi, anak tidak
boleh mendapat formula susu sapi biasa, tetapi harus diberi susu formula yang
khusus untuk alergi atau formula kedelai.

Simpulan
Penyakit alergi adalah suatu penyakit dengan pencetus multifaktorial.
Mengingat insidensnya yang semakin meningkat, upaya pencegahan menjadi
sangat penting. Berbagai macam upaya pencegahan dini penyakit alergi antara
lain penghindaran asap rokok waktu hamil, pemberian ASI eksklusif dan/atau
pemberian formula terhidrolisis parsial dan ekstensif, penundaan makanan
hiperalergenik, danpenghindaran alergen lingkungan telah, namunhasilnya
masih kontroversial. Untuk ini masih perlu dilakukan penelitian tentang cara
terbaik untuk pencegahan alergi.

11
Efektivitas Tindakan Pencegahan Penyakit Alergi

Daftar pustaka
1. Halken S, Host A, Hansen LG, Osterballe O. Effect of an allergy prevention
program on incidence on incidence of atopic symptoms in infancy. Allergy.
1992;47:545-53
2. Munasir Z, Kurniati N, Akib A, Suyoko D, Siregar SP. Epidemiology asthma and
allergy in Jakarta. 2006 [belum dipublikasi]
3. Strobel S. dietary manipulation and induction of tolerance. J Pediatr. 1992;121:74-
9.
4. Prescott SL, Macaubas C, Holt BJ et al. Transplacental priming of the human
immune system to environtmental allergens: Universal skewing of initial T cell
responses towards the Th-2 cytokine profile. J Immunol. 1998;160:4730-7.
5. Zeiger RS. Food Allergen Avoidance in the Prevention of Food Allergy in Infants
and Children. Pediatrics. 2003;111:1662-71.
6. Tang MLK, Kemp AS, Thornburn J, Hildy J. Reduced IFN-γ and subsequent
atopy. Lancet. 1994;344:983-5.
7. Kartu Deteksi dini Alergi. Unit Kerja koordinasi Alergi Imunologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia. IDAI, 2006.
8. Yadav M, Yadav A. Prediction and Prevention of Allergy. In Causes and
Prevention: Allergy & Asthma. Pantai Holding Berhad, 2005.h.223-32.
9. Mutius Von Erika. Epidemiology of Allergic Diseases. Dalam: Donald YM Leung,
Hugh A Sampson, Raif S Geha, Stanley J Szefler, penyunting. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Missouri: Mosby, 2003.h.1-9.
10. Edfors-Lubs MI: Allergy in 7000 twin pairs. Acta Allergol. 1971;26:249-58.
11. Daniels SE, Bhattacharyya S, James A, et al. A genom wide search for quantitative
trait underlying asthma. Nature. 1996;383:247-50.
12. Ober C, Cox NJ, Abney M, et al. Genom wide search for asthma susceptibility
loci in a founder population. The collaborative study on the genetics of asthma.
Hum Mol Genet. 1998;7:1393-8.
13. Holm L, Bengtsson A, Van Hage Hamsten M, et al. Effectiveness of occlusive
bleeding in the treatment of atopic dermatitis-a placebo controlled trial of 12
months duration. Allergy. 2001;56:152-8.

12
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak
I. Boediman, Nastiti Kaswandani

Tujuan:
1. Mengetahui gejala klinis rinosinusitis pada anak
2. Mengetahui pemeriksaan penunjang rinosinusitis
3. Mengetahui tata laksana rinosinusitis yang tepat pada anak
4. Mengetahui kapan rinosinusitis memerlukan tindakan

Hampir setiap kepustakaan menyatakan bahwa rinosinusitis sering dijumpai


pada anak sebagai kelanjutan penyakit common cold.1 Meski demikian, pada
prakteknya rinosinusitis pada anak sering under-diagnosed. Hal ini disebabkan
oleh karena gejala rinositis yang mirip dengan common cold itu sendiri atau
dengan gejala alergi. Tidak jarang gejala rinosinusitis seperti sakit kepala dan
nyeri wajah dikaitkan dengan diagnosis lain.2
Istilah rinitis dan sinusitis sering kita gunakan secara terpisah berdasarkan
gejala yang ditunjukan oleh pasien. Rinitis adalah radang pada mukosa hidung.
Rinitis biasanya didasarkan atas adanya keluhan rinore, hidung tersumbat
dan bersin-bersin/ hidung gatal. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada
sekurang-kurangnya satu sinus paranasal. Bukti-bukti mutakhir mendapatkan
bahwa mukosa hidung dan rongga sinus (bahkan hingga saluran napas bagian
bawah) merupakan satu kesatuan sehingga inflamasi di rongga sinus hampir
pasti melibatkan juga rongga sinus, sehingga saat ini terminologi rinosinusitis
lebih sering digunakan.3
Gejala rinosinusitis bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat. Pasien
anak dengan rinosinusitis biasanya datang dengan keluhan batuk kronik, post
nasal drip, sakit kepala dan kadang disertai demam. Rinosinusitis dengan gejala
yang berat atau rinosinusitis kronik dapat menyebabkan gangguan kualitas
hidup, pemakaian antibiotik kronis, ketidakhadiran di sekolah, perubahan pola
tidur, gangguan penampilan di sekolah, dan mudah tersinggung. Komplikasi
serius seperti selulitis orbita dan komplikasi intrakranial sangat mungkin
terjadi. Dokter umum dan dokter spesialis anak diharapkan mampu mengenali
rinosinusitis pada anak dan memberikan tata laksana yang sesuai untuk
mencegah komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup anak.1,4-6

13
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak

Pembagian rinosinusitis
Berdasarkan lamanya gejala, terdapat banyak versi mengenai pembagian
rinosinusitis. Secara mudah dalam klinis dikategorikan akut atau kronik. The
Consensus Panel for pediatric rhinosinusitis yang terdiri dari para ahli di Eropa
dan US, membaginya menjadi beberapa kategori:7
1. Rinosinositis akut, yaitu infeksi sinus dengan resolusi gejala yang komplit
dalam waktu 12 minggu. Rinosinusitis akut dapat dikategorikan menjadi
‘severe’ atau ‘nonsevere’ berdasarkan gejala klinis yang timbul. American
Academy of Pediatrics (AAP 2001) membagi kelompok ini menjadi akut
dan sub-akut. Akut apabila gejala kurang dari 30 hari dan sub-akut bila
gejalanya antara 30-90 hari (12 minggu)1.
2. Rinosinusitis kronik, yaitu infeksi sinus dengan gejala yang ringan-sedang
yang menetap lebih dari 12 minggu.
3. Rinosinusitis akut berulang, yaitu beberapa episod akut dengan diselingi
masa sembuh di antara 2 episod. Sebaliknya jika di antara 2 episod pasien
tidak pernah sembuh benar maka dikategorikan sebagai eksaserbasi akut
rinosinusitis kronik. (Gambar 1.)

Gambar 1. Pembagian rinosinusitis pada anak7

Kuman patogen terbanyak yang menyebabkan kelainan yang melibatkan


sinus paranasalis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophylus influenzae,
dan Moraxella catarrhalis. Kadang-kadang ditemukan kuman anaerob, dan
sedangkan virus yang sering menjadi penyebab sinusitis adalah rinovirus dan
virus influenza. Infeksi virus biasanya muncul pada permulaan penyakit. Pada
rinosinusitis dengan penyakit dasar alergi, yang mencetuskan reaksi alergi
adalah alergen yang dapat berupa tungau debu rumah, spora jamur, susu, dan
lain-lain.8

14
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Insidens rinosinusitis biasanya diawali oleh infeksi respiratorik akut


oleh virus yang mengenai mukosa hidung. Pada sinus, terdapat struktur
anatomik yang khas yaitu ostiomeatal complex (OMC). Pada patogenesis
rinosinusitis, sebagian literatur menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang
saling mempengaruhi, yaitu inflamasi, infeksi, dan obstruksi anatomi. Retensi
sekret yang menyebabkan peningkatan suseptibilitas terhadap infeksi di
dalam sinus paranasalis biasanya disebabkan oleh salah satu atau lebih dari
adanya: obstruksi ostium, berkurangnya jumlah atau gangguan fungsi silia,
berlebihannya produksi, atau perubahan pada viskositas sekret.3

Diagnosis Rinosinusitis
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan penunjang. Tidak semua pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan secara rutin, terutama pada anak-anak. Rinitis ditandai oleh
adanya rinore, hidung tersumbat, bersin-bersin/ gatal. Sebagian besar literatur
atau konsensus ahli menyetujui bahwa penegakan diagnosis sinusitis akut
didasarkan atas gejala klinis. Gejala yang sering dikeluhkan berupa nyeri pada
wajah, hidung tersumbat, ingus purulen/postnasal drip, hiposmia/anosmia, dan
demam. Selain itu juga pasien dapat mengeluhkan sakit kepala, mulut berbau,
kelelahan, sakit pada gigi, batuk, dan sakit pada telinga. Ingus yang purulen
di dalam rongga hidung dapat menimbulkan post nasal drip yang pada anak
seringkali bermanifestasi sebagai ‘batuk berdehem-dehem’. Keluhan batuk
produktif juga dikaitkan dengan penjalaran infeksi/peradangan ke saluran
respiratorik di bawahnya. Pus kental akan mengalir ke bawah menuju paru,
dan merupakan rangsangan pada bronkus sehingga memperberat serangan
asma.1,4-6,9
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2007
merekomendasikan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk mendiagnosis
rinosinusitis akut maupun kronik, yaitu:10
yy Pemeriksaan hidung (adakah edema, kemerahan, pus)
yy Pemeriksaan rongga mulut untuk mendeteksi posterior discharge
yy Mengeksklusi infeksi gigi
yy Endoskopi hidung (bila memungkinkan)

Pedoman atau literatur sebagian besar sepakat untuk tidak menggunakan


foto radiologi sinus paranasal polos sebagai dasar penegakan diagnosis sinusitis.
AAP 2001 juga sepakat dengan menyatakan bahwa radiologi tidak diperlukan
untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis sinusitis pada anak kurang dari 6 tahun.
Gambaran yang sugestif untuk mengkonfirmasi sinusitis adalah perkabutan

15
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak

komplit (complete opacification), penebalan mukosa sedikitnya 4 mm, atau


adanya air fluid level.1
Pemeriksaan CT scan sinus paranasal menyajikan gambaran yang lebih
akurat dibandingkan foto polos, namun pada anak dengan rinosinusitis tanpa
komplikasi bukan merupakan hal yang rutin harus dikerjakan. Pemeriksaan
CT scan dilakukan untuk anak yang akan menjalani pengobatan bedah,
untuk mengetahui anatomi sinus secara mendasar, sebagai panduan untuk
pengobatan bedah dan memperoleh informasi komplikasi yang terjadi pada
sinus. CT scan juga diindikasikan pada kondisi yang sangat berat dan pada
anak dengan imunokompromais.1,3,11 Pemeriksaan USG dapat menunjukkan
adanya cairan dalam rongga sinus sehingga USG dapat mendeteksi sinusitis
dengan air-fluid level, namun sulit jika hanya terjadi penebalan mukosa saja.12

Tata laksana Rinosinusitis


Tata laksana rinosinusitis pada anak dapat berupa terapi medikamentosa dan
non medikamentosa (tindakan operatif). Terapi medikamentosa merupakan
terapi awal yang diberikan, jika terapi medikamentosa tidak berhasil atau sejak
awal pasien menunjukkan komplikasi yang berat maka baru akan dilakukan
tindakan bedah.1,3,7,11,13

Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang digunakan dalam tata laksana rinosinusitis
adalah antibiotik, kortikosteroid topikal (intranasal), dekongestan
topikal, salin normal topikal dan anti histamin.4 Falagas melaporkan
dalam meta analisisnya bahwa antibiotik untuk rinosinusitis akut
menunjukkan perbaikan klinis yang lebih baik dibandingkan plasebo,
terutama pada kelompok pasien dengan kecurigaan kuat ke arah
infeksi bakteri.14 Berdasarkan rekomendasi AAP, antibiotik (inisial)
yang dapat digunakan adalah amoksisilin, biasanya selama 10−20
hari untuk kuman yang sensitif atau 7 hari setelah gejala menghilang.9
Dosis yang digunakan adalah dosis tinggi yaitu 80-90mg/kgBB/hari.11
Bila tidak ada reaksi dalam 3 hari, perlu diberikan obat alternatif, yaitu
β-lactamase-resistant agent selama 10−20 hari tambahan. Amoksisilin
klavulanat dan sefuroksim dapat digunakan, namun akhir-akhir ini
sefaklor tidak digunakan karena sebagian kuman mulai resisten.
Pada penderita tertentu dengan kuman anaerob, dapat diberikan
metronidazol atau klindamisin. Dalam alur tata laksana rinosinusitis
akut, EPOS 2007 merekomendasikan bahwa pada kondisi berat maka

16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

pasien sebaiknya dirawat di RS dan diberikan antibiotik intra vena.


(gambar 2)

Gambar 2. Bagan tata laksana rhinosinusitis akut pada anak10

Modalitas antibiotika dan terapi medikamentosa lainnya memiliki bukti-


bukti efikasinya dalam tingkatan sebagai berikut:

Tabel 1. Bukti dan rekomendasi terapi rinosinusitis akut pada anak10


Terapi Level Tingkat Relevansi
Rekomendasi
Antibiotik oral Ia A Ya, setelah 5 hari atau
pada kasus berat
Steroid topical IV D Ya
Steroid topikal lebih baik dibandingkan antibiotik oral Ib A Ya
Dekongestan topikal III (-) C Tidak
Saline douching IV D Ya
Keterangan: III (-) studi dengan ‘negative outcome’

17
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak

Antihistamin tidak selalu harus diberikan pada sinusitis, namun


bermanfaat pada rinitis alergika. Kunci dari pengobatan adalah menghilangkan
obstruksi nasal dan mengatasi superinfeksi.
Rinosinusitis kronik didefinisikan jika gejala menetap sampai 12 minggu.
Rinosinusitis kronik biasanya terjadi karena pasien memiliki beberapa faktor
komorbid seperti alergi, kelainan anatomis saluran napas atas, kondisi
imunokompromais atau gangguan klirens mukosilier.13 Kondisi-kondisi yang
berhubungan erat dengan rinosinusitis seperti asma dan refluks gastrointestinal
harus ditangani secara bersama-sama.5,6
Pada rinosinusits kronik dengan asma, pemberian obat pengendali asma
berupa steroid inhalasi harus diberikan pada pasien dengan asma episodik
sering atau persisten. Penanganan rinosinusitis yang adekuat akan memperbaiki
asmanya demikian juga sebaliknya. Pemberian intranasal steroid pada pasien
rinosinusitis yang juga mengalami hipertrofi adenoid dapat memperbaiki
keluhan sleep-disorder breathing.15 Pada pasien yang mempunyai GER atau
imunokompromais juga tetap diperlukan penanganan yang tepat untuk

Gambar 3. Bagan tata laksana rinosinusitis kronik pada anak10

18
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

penyakit yang mendasarinya. Penanganan GER terbukti meningkatkan


kesembuhan klinis pada rinosinusitis kronik, meskipun level of evidence-nya
lebih rendah.

Tabel 2. Bukti dan rekomendasi terapi rinosinusitis kronik pada anak10


Terapi Level Tingkat Rekomendasi Relevansi
Antibiotik oral Ia A Ya, small-effect
Steroid topical IV D Ya
Saline douching III C Ya
Terapi GER (gastroesofageal refluks) III C Ya

Komplikasi sinusitis akut bakteri biasanya melibatkan mata atau saraf


pusat atau keduanya. Walaupun jarang, komplikasi diakibatkan oleh etmoiditis
akut dapat berupa buta menetap, meninggal, inflamasi periorbital, dan
intraorbital. Klasifikasi orbital dapat berupa 1). Selulitis periorbital, 2). Abses
subperiosteal, 3). Abses orbital, 4). Selulitis orbital, 5). Trombosis kavernosus.
Selulitis periorbita mungkin dapat diobati dengan antibiotik oral. Apabila tidak
terjadi penyembuhan dalam waktu 24-48 jam dan apabila infeksi berkembang
secara cepat, penderita dibawa ke rumah sakit untuk memperoleh seftriakson
intravena (100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis) atau ampisilin- sulbaktam (200
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis). Apabila penyebabnya S pneumoniae diberikan
vancomycin (60 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis). Adanya gejala peninggian
tekanan intrakranial (sakit kepala dan muntah) atau kaku kuduk secepatnya
memerlukan pemeriksaan CT scan dengan kontras orbita dan sinus untuk
memastikan adanya komplikasi intrakranial seperti trombosis sinus kavernus,
ostiomyelitis pada tulang frontal (Pott’s puffy tumor), meningitis, empyema sub
dural , absas epidural, dan abses otak.5,6

Tata laksana bedah


Rinosinusitis akut pada anak umumnya membaik dengan pengobatan
medikamentosa. Sinusitis kronik pada anak juga umumnya tidak memerlukan
tindakan pembedahan. Namun, pada kasus rinosinusitis kronik yang tidak
berespons dengan terapi medikamentosa, tindakan pembedahan akan
menghasilkan perbaikan secara klinis. Ada beberapa macam tindakan operatif
terhadap rinosinusitis. Aspirasi dan bilasan antral pada anak memerlukan
tindakan anestesi umum dan diindikasikan pada kondisi yang berat, tidak
respons dengan medikamentosa atau munculnya komplikasi. Tindakan ini
tidak bermanfaat pada rinosinusitis kronik pada anak-anak yang lebih kecil.
Pada anak yang mengalami rinosinusitis kronik dengan obstruksi nasal
sedang sampai berat akibat adanya hipertrofi adenoid, adenoidektomi terbukti

19
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak

bermanfaat. Adenoidektomi hampir selalu merupakan intervensi bedah


lini pertama bagi kelompok usia prasekolah. Ramadan (2004) menyatakan
bahwa adenoidektomi saja direkomendasi untuk anak di bawah 6 tahun
yang mengalami sinusitis ringan. Sedangkan pada yang berat, atau yang
disertai dengan asma pada anak yang lebih besar, sebaiknya dipertimbangkan
adenoidektomi dengan endoscopic sinus surgery (ESS).16
Tata laksana bedah terkini untuk rinosinusitis adalah functional endoscopic
sinus surgery (FESS). Teknik yang sering dilakukan adalah dengan membuka
osteomeatal complex and menyingkirkan masalah penyakit sinusitis dengan
manipulasi yang minimal terhadap jaringan normal di sekitarnya.17,18
The Consensus Panel for pediatric rhinosinusitis yang terdiri dari para ahli di
Eropa dan US mencantumkan beberapa keadaan yang dikatakan mempunyai
indikasi absolut untuk FESS:4
1) obstruksi nasal komplit sehubungan dengan polyposis massif atau
tertutupnya hidung akibat deviasi septum
2) polip antrochoanal
3) komplikasi intrakranial
4) mukokel atau mukopyokel
5) abses orbital
6) luka trauma pada kanal optik
7) dakriosistorinitis dan resisten terhadap terapi standar
8) sinusitis fungal
9) meningoensefalokel atau neoplasma

Indikasi relatif untuk anak dengan rinosinusitis kronik adalah apabila


gejala menetap setelah 2-6 minggu terapi medikamentosa dengan antibiotik
yang adekuat, mengobati penyakit penyerta serta telah menyingkirkan
adanya penyakit sistemik lain. Para ahli di Eropa dan US menyatakan bahwa
anak dengan rinosinusitis kronik yang memerlukan tindakan operatif hanya
merupakan sebagian kecil saja dari secara keseluruhan pasien.

Simpulan
Rinosinusitis merupakan suatu kesatuan penyakit saluran respiratorik yang
sering didapatkan pada anak. Terdapat beberapa kondisi yang berhubungan
erat dengan rinosinobronkitis misalnya infeksi virus berulang, alergi, asma,
GER, imunodefisiensi dan lain-lain. Tata laksana meliputi medikamentosa dan
tindakan bedah serta menangani penyakit atau kondisi yang menyertainya. Tata
laksana medikamentosa terutama berupa antibiotik oral dan steroid intranasal.
Rinosinusitis pada anak umumnya sembuh dengan terapi konservatif, namun

20
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

bila tidak berespons dengan terapi medikamentosa yang adekuat, atau


timbul komplikasi intra orbita/intra kranial perlu dilakukan tindakan bedah.
Functional endoscopic sinus surgery (FESS) merupakan teknik yang efektif
dilakukan dengan manipulasi yang minimal terhadap jaringan normal di
sekitarnya.

Daftar pustaka
1. AAP Subcommittee on Management of Sinusitis and Committee on Quality
Improvement. Clinical practice guideline: management of sinusitis. Pediatrics.
2001;108:798-807.
2. Hawthorne MR, Ahmad N. Acute sinusitis: pitfalls in diagnosis and management.
Clinical Risk. 2010;16:209-11.
3. Scadding GK, Durham SR, Mirakian R, Jones NS, Drake-Lee AB, Ryan D, et
al. BSACI guidelines for the management of rhinosinusitis and nasal polyposis.
Clin Exp Allergy. 2007;38:260–75.
4. Thomas M, Yawn B, Price D, Lund V, Mullol J, Fokkens W. European Position
Paper on the Primary Care Diagnosis and Management of Rhinosinusitis and
Nasal Polyps 2007 – a summary. Primary Care Resp J. 2008;17:79-89.
5. Friedman RL. Chronic sinusitis in children: a general overview. S Afr Fam Pract.
2011;53:230-9.
6. Ramadan HH. Chronic Rhinosinusitis in Children. Intl J Pediatr. 2011;2012:1-5.
7. Clement P, Bluestone CD, Gordts F, Lusk RP, Otten FW, Goossens H, et al.
Management of rhinosinusitis in children. Arch Otolaryngol Head Neck Surg.
1998;124:31-4.
8. Brook I. Microbiology of sinusitis. Pro Am Thorac Soc. 2011;8:90-100.
9. Ioannidis JP, Lau J. Technical report: evidence for the diagnosis and treatment
of acute uncomplicated sinusitis in children: a systematic overview. Pediatrics.
2001;108:e57.
10. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,
Supplement 20, 2007; www.rhinologyjournal.com; www.eaaci.net.
11. Acute Bacterial Sinusitis Guideline Team, Cincinnati Children’s Hospital
Medical Center: Evidence- based care guideline for medical management of
Acute Bacterial Sinusitis in children 1 through 17 years of age, http://www.
cincinnatichildrens.org/svc/alpha/h/health- policy/ev-based/sinus.htm , Guideline
16, pages 1-17, July 7, 2006.
12. Fufezan O, Asavoaie C, Chereches Panta P, et al. The Role Of Ultrasonography
In The Evaluation Of Maxillary Sinusitis In Pediatrics. Medical Ultrasonography.
2010;12:4-11.
13. Desrosiers M, Evans GA, Keith PK, Wright ED, Kaplan A, Bouchard J, et al.
Canadian clinical practice guideline for acute and chronic rhinosinusitis. Allergy
Asthma Clin Immunol. 2011;7:2.
14. Falagas ME, Giannopoulou KP, Vardakas KZ, Dimopoulos G, Karageorgopoulos
DE. Comparison of antibiotics with placebo for treatment of acute sinusitis: a
meta-analysis of randomised controlled trials. Infect Dis. 2008;8:543–52

21
Tata Laksana Terkini Rinosinusitis pada Anak

15. Jung YG, Kim HY, Min J, Dhong H, Chung S. Role of intranasal topical steroid in
pediatric sleep disordered breathing and influence of allergy, sinusitis, and obesity
on treatment outcome. Clin Exp Otorhinolaryngol. 2011;4:27-32.
16. Ramadan HH. Surgical management of chronic rhinosinusitis in children.
Laryngoscope. 2004;114:2103-9.
17. Becker DG. The minimally invasive, endoscopic approach to sinus surgery. J
Long-term Effect Med Implants. 2003;13:207-21.
18. Chang P, Lee L, Huang C, Lai C, Lee T. Functional endoscopic sinus surgery
in children using a limited approach. Arch Otolaryngol Head Neck Surg.
2004;130:1033-6.

22
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada
Anak di Bawah Usia 5 Tahun
Bambang Supriyatno

Tujuan:
1. Mampu mendiagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun
2. Mengetahui diagnosis banding mengi berulang pada anak di bawah
usia 5 tahun
3. Mampu menatalaksana asma pada anak di bawah usia 5 tahun

Asma merupakan penyakit yang sering dijumpai pada anak.1 Angka kejadian
asma di belahan dunia meningkat baik di negara maju maupun di negara
berkembang termasuk Indonesia. Prevalensi asma di Indonesia pada anak usia
6-7 tahun sekitar 10%, usia <14 tahun sekitar 6,5%, sedangkan anak dibawah
usia 5 tahun belum pernah diteliti.2 Diagnosis asma pada anak di atas usia
5 tahun, secara klinis maupun pemeriksaan penunjang telah dikenal luas.1,3
Beberapa ahli masih berbeda pendapat mengenai diagnosis asma pada anak
di bawah usia 5 tahun karena sulitnya menentukan diagnosis pasti. Berbagai
upaya dilakukan antara lain dengan sistim skor (IPA: indeks prediksi asma),
tata laksana percobaan sampai pemeriksaan penunjang uji fungsi paru.1,4,5
Salah satu gejala asma yang sering ditemukan pada anak di bawah
usia 5 tahun adalah mengi (wheezing), sehingga timbul perdebatan apakah
dengan ditemukannya mengi maka diagnosis asma dapat ditegakkan?. Di
sisi lain, gejala mengi dapat timbul pada infeksi saluran respiratorik bawah
(bronkiolitis) sehingga akan sulit membedakan antara diagnosis bronkiolitis
atau gejala awal asma.6,7
Berdasarkan hal tersebut di atas, makalah ini lebih menekankan pada
diagnosis dan tata laksana asma pada anak di bawah usia 5 tahun.

Definisi
Definisi asma bermacam-macam tergantung pada kriteria yang dianut. The
Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan
inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast,

23
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada Anak di bawah usia 5 Tahun

eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode
mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, terutama pada malam
atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik
yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas saluran
respiratorik terhadap berbagai rangsangan.1 Definisi asma menurut GINA cukup
lengkap namun kurang praktis bila digunakan di lapangan, sehingga Unit
Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI membuat definisi operasional yang
praktis yaitu anak diduga menderita asma apabila menunjukkan gejala batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi
pada pasien atau keluarganya.2

Faktor risiko
Dahulu, diagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun tidak dipikirkan
pertama kali karena pada usia tersebut faktor infeksi lebih dominan. Namun
akhir-akhir ini berkembang cara menentukan diagnosis asma pada anak
di bawah usia 5 tahun dengan mengetahui faktor risiko, gejala klinis, dan
pengobatan yang diberikan.6,7 Beberapa faktor risiko yang berperan antara
lain sensitisasi terhadap aeroalergen, diet ibu selama hamil dan atau menyusui,
polutan (khususnya asap rokok), mikroba dan produknya, serta faktor
psikososial.8,9
Dikenal 2 kelompok alergen yaitu aeroallergen (inhalan/dihirup) dan
ingestion allergen (ingestan/ditelan). Alergen inhalan sangat berperan terhadap
kejadian asma karena berhubungan erat dengan saluran respiratorik. Sensitisasi
alergen inhalan pada awal kehidupan (terutama terjadi bersamaan dengan
infeksi saluran respiratorik) dapat meningkatkan kejadian asma di kemudian
hari. Beberapa alergen inhalan yang ditengarai berperan adalah tungau debu
rumah, “bulu” binatang, kecoa, dan jamur.1,10
Diet ibu selama hamil dan atau menyusui, pemberian ASI (air susu
ibu) ekslusif diduga dapat menurunkan kejadian asma, sedangkan pemberian
makanan padat secara dini dapat meningkatkan kejadian asma.8,9
Polutan indoor atau outdoor diduga berperan terhadap meningkatnya
kejadian asma baik di negara maju maupun negara berkembang. Beberapa
polutan yang sudah terbukti sebagai faktor risiko asma adalah asap rokok,
sulfur, dan sisa pembuangan gas kendaraan bermotor.8,9
Infeksi oleh mikroba khususnya RSV (Respiratory Syncitial Virus) dan
Rhinovirus dapat meningkatkan kejadian dan persistensi asma di kemudian
hari. Infeksi virus dapat menyebabkan rusaknya saluran respiratorik, kemudian

24
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

terjadi remodeling yang memudahkan terjadinya penyempitan saluran


respiratorik. Di sisi lain beberapa mikroba atau produknya seperti probiotik,
endotoksin di daerah pertanian dapat menurunkan kejadian asma meskipun
hal itu perlu dibuktikan lebih lanjut.11,12
Faktor psikososial seperti stres pada awal kehidupan dapat meningkatkan
kejadian asma di kemudian hari, tetapi masih diperlukan penelitian lebih
lanjut.13

Diagnosis
Diagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun cukup sulit karena gejala yang
timbul seperti batuk dan atau mengi dapat terjadi pada anak yang normal.4,5,7
Martinez dkk, melakukan pemantauan terhadap 826 bayi yang lahir sampai usia
6 tahun, dan mendapatkan 48,5% anak pernah mengalami mengi selama awal
kehidupannya dengan rincian sebagai berikut: transient wheezing (tidak pernah
wheezing lagi setelah usia 3 tahun) 19,9%, late onset (timbul wheezing setelah 3
tahun dan menghilang sebelum 6 tahun) 15,0%, dan persistent wheezing (yang
menetap sampai usia 6 tahun) sebesar 13,6%. Hal ini menyatakan bahwa
sangat sulit menentukan diagnosis asma di bawah usia 5 tahun apabila hanya
berdasarkan adanya mengi.7
Bila gejala yang ditemukan hanya batuk tanpa adanya mengi, maka
akan lebih sulit sulit lagi mendiagnosis asma karena batuk dapat dijumpai
pada keadaan selain asma. Pada usia tersebut kemungkinan batuk yang
berulang hanyalah akibat infeksi respiratorik saja.1,14 Dengan demikian kita
perlu berhati-hati dalam menegakkan diagnosis asma tetapi juga jangan
takut untuk mendiagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun. Untuk
itu diperlukan beberapa metode atau kriteria tertentu untuk membantu
mendiagnosis asma (meskipun bukan definitif) agar tidak terjadi underdiagnosis
dan undertreatment..1,3,5
Seperti umumnya penentuan diagnosis suatu penyakit, maka untuk
menentukan diagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun dapat dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yang
tepat. Pada anamnesis perlu diperhatikan riwayat keluarga berupa atopi
atau asma terutama pada orangtua. Selain itu dapat ditanyakan mengenai
keluhan batuk dan atau mengi. Batuk dan atau mengi pada asma mempunyai
karakteristik yaitu bersifat episodik (berulang), biasanya timbul terutama pada
malam hari (nokturnal), berhubungan dengan musim, aktivitas, dan adanya
faktor pencetus tertentu. Beberapa faktor pencetus yang sering diidentifikasi
adalah tungan debu rumah, cuaca, makanan yang mengandung MSG (mono
sodium glutamat), bahan pengawet dan lain-lain. Selain gejala di atas pada
serangan asma yang lebih berat dapat timbul sesak napas dan sianosis.1-3,5

25
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada Anak di bawah usia 5 Tahun

Pada pemeriksaan fisis dapat dijumpai adanya mengi, sesak napas, maupun
sianosis tergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan mungkin
hanya didapatkan keluhan batuk dan mengi saja, sedangkan sesak dan sianosis
dapat terjadi pada serangan berat akibat terjadinya hipoksia karena adanya
obstruksi saluran respiratorik. Pemeriksaan fisis lain yang dapat terlihat adalah
adanya dada yang cembung pada keadaan asma yang persisten.1,5
Pemeriksaan penunjang yang sering digunakan pada anak asma di atas
5 usia tahun seperti uji fungsi paru dan uji provokasi bronkus tidak dapat
dilakukan pada anak di bawah usia 5 tahun. Pemeriksaan foto Rontgent dada
dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis lain misalnya pneumonia aspirasi,
tuberkulosis, dan penyakit kongenital lainnya.1,5
Dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan penunjang yang
teliti maka diagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun dapat ditegakkan,
namun demikian hal tersebut tidak mudah sehingga beberapa ahli berpendapat
perlu ditambahkan kriteria lain. Castro-Rodriguez dkk, menyarankan untuk
mendiagnosis asma apabila ditemukan mengi berulang ditambah dengan
indeks prediksi asma (IPA) yaitu adanya kriteria mayor dan atau kriteria
minor. Kriteria mayor adalah riwayat asma pada orangtua dan dermatitis
atopi, sedangkan kriteria minor adalah hipereosinofilia (eosinofil darah tepi
>4%), rinitis alergika, dan tetap ada mengi di luar flu (selesma). Peneliti lain
menambahkan, perlu dipertimbangkan peran uji alergi skin prick test terhadap
alergen inhalan maupun alergen ingesti sehingga ditambahkan alergen inhalan
positif ke dalam kriteria mayor sedangkan alergen ingesti positif merupakan
kriteria minor. Diagnosis asma ditegakkan bila dijumpai 2 kriteria mayor ATAU
1 mayor dan 2 minor. Dengan dasar kriteria tersebut maka dapat ditatalaksana
sebagai asma.6,15,16
Beberapa ahli lain menambahkan terapi uji coba setelah diagnosis asma
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang
serta penggunaan indeks prediksi asma. Pada pasien dilakukan terapi dengan
SABA (short acting beta agonist) dan inhalasi kortikosteroid selama 8 minggu,
kemudian dilakukan pemantauan timbulnya gejala kembali setelah terapi
dihentikan sedangkan pada saat dalam terapi anak dalam kondisi yang baik
(tidak serangan).1,17
Beberapa diagnosis banding perlu difikirkan pada batuk kronik dan
atau yang berulang seperti RGE (refluks gastro-esofagus), fibrosis kistik,
dan gangguan motilitas mukosiliar. Untuk menyingkirkan diagnosis banding
tersebut diperlukan pemeriksaan penunjang lain seperti pH metri, uji keringat,
dan gangguan motilitas mukosiliar.1,2,5 Adanya mengi pada anak yang lebih
kecil (<3 tahun) harus pula difikirkan kemungkinan lain yaitu bronkiolitis
karena RSV atau virus lainnya.11,12,18

26
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Klasifikasi
Istilah asma ringan, asma sedang, dan asma berat sudah tidak digunakan lagi,
karena tidak mencerminkan kondisi pasien yang sebenarnya. Saat ini, klasifikasi
asma berdasarkan derajat penyakitnya dan serangannya sehingga tata laksana
tergantung pada kedua hal tersebut.1,2
Derajat penyakit asma dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu asma episodik jarang,
asma episodik sering, dan asma persisten (lihat tabel1). Sedangkan derajat
serangan asma dibagi menjadi serangan ringan, serangan sedang, dan serangan
berat (lihat lampiran1). Derajat serangan asma tidak tergantung pada derajat
penyakitnya demikian pula sebaliknya, misalnya seorang anak dengan asma
episodik jarang bisa mengalami serangan asma yang berat.1,2Klasifikasi ini sangat
penting karena akan menentukan langkah selanjutnya. Terdapat perbedaan
klasifikasi antara PNAA (Pedoman Nasional Asma Anak) dengan GINA, yang
mengklasifikasikan asma menjadi 4 kelompok yaitu asma intermiten, persisten
ringan, persisten sedang, dan persisten berat. Kedua klasifikasi tersebut dapat
disetarakan sebagai berikut: asma episodik jarang disetarakan dengan asma
intermiten, asma episodik sering setara dengan gabungan asma persisten
ringan dan sedang, sedangkan asma persisten setara dengan asma persisten
berat. Untuk pembagian derajat serangan asma, tidak ada perbedaan antara
PNAA dan GINA yaitu asma serangan ringan, sedang, dan berat.1,2

Tabel 1. Klasifikasi derajat penyakit asma pada anak2


Parameter klinis, Asma episodik jarang Asma episodik sering Asma persisten
kebutuhan obat, dan
faal paru
Frekuensi serangan < 1 x / bulan > 1 x / bulan Sering
Lama serangan < 1 minggu > 1 minggu Hampir sepanjang tahun,
hampir tidak ada remisi
Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Pemeriksaan fisis di luar Normal (tidak ditemu- Mungkin terganggu Tidak pernah normal
serangan kan kelainan) (ditemukan kelainan)
Obat pengendali (anti Tidak perlu Perlu, steroid*) Perlu, steroid
inflamasi)
Uji faal paru (di luar PEF / FEV1 >80% PEF / FEV1 60-80% PEF / FEV1 <60% variabilitas
serangan) 20-30%
Variabilitas faal paru Variabilitas >15% Variabilitas >30% Variabilitas >50%
(bila ada serangan)
*)Pada saat PNAA dibuat masih menggunakan non steroid, tetapi saat ini penggunaan controller dengan non
steroid tidak dianjurkan karena kurang efektif.

27
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada Anak di bawah usia 5 Tahun

Tata laksana
Prinsip tata laksana asma pada anak maupun dewasa adalah sama yaitu
mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidup yang sama dengan
normal sehingga semua upaya yang dilakukan bertujuan ke arah kualitas hidup.
Beberapa tata laksana dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu
farmakoterapi dan non farmakoterapi. Yang termasuk ke dalam farmakoterapi
adalah pemberian obat saat serangan maupun di luar serangan, sedangkan
yang dimaksud dengan non farmakoterapi adalah pendidikan (edukasi) kepada
keluarga, maupun perbaikan lingkungan.1,2
Pada asma anak di bawah usia 5 tahun, perlu dibedakan apakah anak
dalam serangan asma atau tidak sebelum dilakukan terapi. Terapi ini dikenal
sebagai terapi releaver (saat serangan) dan controller (di luar serangan) terutama
pada asma episodik sering dan asma persisten.1,2

Pada saat serangan


Asma serangan ringan diberikan beta-2 agonis secara inhalasi atau oral
(sebaiknya diberikan secara inhalasi). Pemberian inhalasi lebih menguntungkan
dibandingkan pemberian oral (sistemik) karena bekerja lebih cepat, langsung
menuju sasaran, dosis minimal, dan efek samping lebih minimal. Pemberian
melalui inhalasi dapat dengan cara MDI (metered dose inhaler) dengan spacer
atau bila tidak memungkinkan dapat dengan nebulizer.1,2
Pada asma serangan sedang, selain pemberian beta-2 agonis secara inhalasi
juga ditambahkan kortikosteroid oral (sistemik) yaitu metil prednisolon atau
triamsinolon selama 3-5 hari tanpa tappering off. Pemberian kortikosteroid
injeksi kurang dianjurkan. Bila terdapat dehidrasi atau sesak, diberikan
cairan intravena atau oksigen. Setelah serangannya mereda dapat dilakukan
perawatan di rumah.1,2
Pada asma serangan berat diberikan inhalasi beta-2 agonis ditambahkan
ipratropium bromida secara inhalasi, kortikosteroid sistemik (intravena
atau peroral), aminofilin, dan terapi suportif lainnya seperti oksigen, cairan
intravena, koreksi asam-basa dan elektrolit apabila terjadi kelainan. Aminofilin
diberikan secara bolus (3-4 mg/kgBB) diencerkan terlebih dahulu dengan
cairan fisiologis dan dilanjutkan 0,5-1 mg/kgBB/jam secara drip. Pada keadaan
serangan berat diperlukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgent dada
untuk melihat adanya komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum
atau atelektasis. Pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit dilakukan atas
indikasi dan koreksi diberikan apabila terdapat kelainan.2

28
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Saat terjadi serangan asma, pemberian intubasi (pemasangan ventilator)


tidak dilarang tetapi perlu pertimbangan yang sangat hati-hati karena
kemungkinan komplikasi yang akan timbul berupa pneumotoraks dan atau
pneumomediatinum. Sebelum dilakukan intubasi ada beberapa obat pilihan
lain seperti MgSO4 yang diberikan 20 mg/kg secara drip. Dengan cara ini angka
keberhasilannya cukup tinggi.1,2

Di luar serangan
Asma episodik jarang pada anak di bawah usia 5 tahun tidak memerlukan obat
controller (pencegahan, rumatan), sedangkan pada asma episodik sering dan
persisten diperlukan controller. Obat controller ini diberikan setiap hari dalam
waktu yang cukup lama sehingga disebut juga tata laksana jangka panjang.
Tujuan pemberian controller adalah agar anak asma dapat terkontrol dengan
baik sehingga kualitas hidupnya dapat dipertahankan atau ditingkatkan seperti
anak normal. Beberapa obat controller yang digunakan adalah kortikosteroid
inhalasi, antileukotrien, teofilin, LABA (long-acting beta-2 agonist), kromolin
dan nedokromil, serta imunoterapi.1,2,6
Kortikosteroid inhalasi merupakan obat controller utama karena
mempunyai efek antiinflamasi yang paling baik diantara seluruh obat controller.
Hal ini sesuai dengan dasar penyakit asma yaitu proses inflamasi dan remodeling.
Pemberian kortikosteroid sebagai controller pada anak asma di atas usia 5 tahun
terbukti sangat efektif (level of evidence A) dalam mengendalikan asma, tetapi
pada anak asma di bawah 5 usia tahun perlu dibuktikan lebih lanjut. Satu
penelitian pada anak asma di bawah usia 5 tahun yang diberikan kortikosteroid
inhalasi selama 2 tahun, terdapat perbaikan gejala klinis saat obat diberikan
tetapi setelah penghentian obat maka proses asmanya timbul kembali. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian kortikosterid inhalasi selama 2
tahun dapat menurunkan gejala tetapi tidak menghentikan proses perjalanan
asma. Pemberian kortikosteroid inhalasi dengan dosis yang rendah dan cara
yang benar tidak menimbulkan efek samping yang bermakna pada anak asma
di bawah 5 usia tahun, meskipun pernah dilaporkan adanya suara serak dan
kandidiasis oral.1,3,6 Kortikosteroid sistemik (oral) jangka panjang (controller)
tidak dianjurkan untuk digunakan karena efek sampingnya seperti gangguan
pertumbuhan dan terganggunya aksis hipotalamus.2
Pemberian antileukotrien selama 3 bulan bermanfaat pada keadaan
asma yang diinduksi oleh virus tetapi tidak mempunyai efek terhadap proses
perjalanan alamiah asma. Pemberian antileukotrien ini bersifat add-on artinya
ditambahkan bersama dengan kortikosteroid inhalasi, bukan sebagai controller
tersendiri. Obat antileukotrien yang dipilih adalah jenis montelukas yang cukup
aman diberikan pada anak di bawah usia 5 tahun, sedangkan zavirlukas tidak
dapat digunakan pada anak di bawah 6 usia tahun.1

29
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada Anak di bawah usia 5 Tahun

Teofilin dapat dipakai sebagai controller pada anak asma di bawah usia 5
tahun, tetapi efektifitasnya di bawah kortikosteroid inhalasi dan efek samping
yang sering dijumpai berupa rasa berdebar-debar. Saat ini penggunaan teofilin
sebagai controller tidak direkomendasikan.1,2
Bronkodilator yang termasuk di dalam LABA sering digunakan sebagai
controller bersama-sama dengan kortikosteroid inhalasi. Efektifitas antara
kombinasi LABA dan kortikosteroid inhalasi lebih baik dibandingkan hanya
kortikosteroid sendiri meskipun dengan peningkatan dosis. Pemberian
kortikoseroid dosis tinggi mempunyai efek samping yang lebih sering
dibandingkan dengan kombinasi LABA dengan kortikosteroid inhalasi.
Pemberian LABA secara sendiri tidak direkomendasikan tanpa bersama-sama
dengan kortikosteroid inhalasi.1,2
Pemberian kromolin ataupun nedokromil tidak menunjukkan
efektifitas yang tinggi pada anak asma di bawah usia 5 tahun sehingga tidak
direkomendasikan untuk digunakan. Pada anak di atas usia 5 tahun pernah
dilaporkan penggunaan kromolin ini meskipun efektifitasnya masih kurang
baik dibandingkan kortikosteroid.1
Imunoterapi tidak direkomendasikan pada anak asma di bawah usia 5
tahun sebagai controller.1

Strategi pengobatan
Pada anak di bawah usia 5 tahun yang dicurigai asma yaitu batuk dan atau mengi
berulang disertai adanya kriteria 2 mayor atau 1 mayor dan 2 minor sesuai indeks
prediksi asma, maka harus ditatalaksana sebagai asma. Langkah pertama adalah
apabila anak datang dalam serangan asma maka tentukan derajat serangannya
(ringan, sedang, atau berat) dan tata laksana sesuai dengan derajatnya dengan
menggunakan reliever serta terapi suportif lain bila diperlukan.1,6 Setelah serangan
asmanya ditangani dan mengalami perbaikan maka perlu ditentukan derajat
penyakitnya (asma episodik jarang, episodik sering, asma persisten). Pada asma
episodik jarang tidak memerlukan obat controller sedangkan pada episodik sering
dan asma persisten diperlukan controller.1,2
Langkah awal pemberian controller adalah pemberian kortikosteroid dosis
rendah (budesonide 100ug) 2 kali sehari selama 3 bulan kemudian dievaluasi.
Bila dalam 3 bulan perbaikan maka dosis dapat diturunkan secara bertahap
sampai kortikosteroid tidak diperlukan lagi. Tetapi bila dalam evaluasi 3
bulan terjadi perburukan atau tidak ada perbaikan maka dosis kortikosteroid
dapat ditingkatkan menjadi 200ug atau dengan menambahkan LABA atau
antileukotrien (montelukas). Apabila perbaikan maka diteruskan sampai 6
bulan dan diturunkan secara perlahan (tappering off).1

30
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Selain pemberian controller, tata laksana non farmakoterapi juga diberikan


secara bersamaan yaitu edukasi kepada keluarga dan faktor lingkungan.
Tanpa edukasi tata laksana asma kurang efektif dan akan memperberat
penyakitnya.1,2,6

Simpulan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering terjadi pada
anak dan dapat terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun. Faktor risiko asma anak
di bawah usia 5 tahun adalah aerolergen, diet saat hamil dan atau menyusui,
dan faktor lingkungan. Diagnosis asma pada anak di bawah usia 5 tahun sulit
karena gejala klinis berupa batuk dan atau mengi dapat dijumpai pada penyakit
lain seperti GERD, infeksi virus, dan kelainan kongenital. Pada anak dengan
mengi dan atau batuk berulang dapat didiagnosis dan ditatalaksana sebagai
asma apabila indeks prediksi asma atau anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang mendukung ke arah diagnosis. Tata laksana asma pada
anak di bawah usia 5 tahun dapat berupa non farmakoterapi dan farmakoterapi
yang terdiri dari reliever dan controller. Asma episodik jarang tidak memerlukan
controller sedangkan asma episodik sering dan persisten dibutuhkan controller.
Controller yang dianjurkan adalah kortikosteroid inhalasi dengan penambahan
antileukotrien atau LABA. Pemberian kortikosteroid inhalasi dengan cara dan
dosis yang benar tidak menimbulkan efek samping yang bermakna.

Daftar pustaka
1. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop
Report, 2008.
2. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta 2004
3. Fontes MJ, Fonseca MT, Camargos PA, Affonso AG, Calazans GM. Asthma
in children under five years of age: problems in diagnosis and in inhaled
corticosteroid treatment. J Bras Pneumol. 2005; 31:244-53.
4. Taussig LM, Wright AL, Holberg CJ, Halonen M, Morgan WJ, Martinez FD.
Tucson children’s respiratory study: 1980 to present. J Allergy Clin Immunol.
2003; 111:661-75.
5. Bush A. Diagnosis of asthma in children under five. Prim Care Resp J. 2006;16:7-
15.
6. Rodriguez JAC, Rodrigo GJ. Efficacy of inhaled corticosteroids in infants and
preschoolers with recurrent wheezing and asthma: A systematic review with
meta-analysis. Pediatrics. 2009;123:e519-25.
7. Martinez FD, Wrigiit AL, Taussig LM, Holberg CJ, Haloken M, Morgan WJ, et.al.
Asthma and wheezing in the first six years of life.. N Eng J Med. 1995;332:133-8.
8. Haby MM, Peat JK, Marks GB, Woolkock AJ, Leeder SR. Asthma in preschool

31
Diagnosis dan Tata laksana Asma pada Anak di bawah usia 5 Tahun

children: prevalence and risk factors. Thorax. 2001;56:589-95


9. Peroni DG, Piacentini GL, Bodini A, Boner AL. Preschool asthma in Italy:
prevalence, risk factors and health resource utilization. Respir Med. 2009;
103:104-8
10. Mills TA. Asthma severity and prevalence: an ongoing interaction between
exposure, hygiene, and lifestyle. Plos Med. 2005; 2:122-126.
11. Lazzaro T, Hogg G, Barnett P. Respiratory syncytial virus infection and recurrent
wheeze/asthma in children under five years: an epidemiological survey. J Paed
Child Health. 2007;43:29-33.
12. Jartti T, Makela MJ, Vanto T, Ruuskanen O. The link between bronchiolitis and
asthma. Infect Dis Clin N Am. 2005;19:667-89.
13. Horwood LJ, Fergusson DM, Hons BA, Shannon FT. Social and familial factors
in the development of early childhood asthma. Pediatrics. 1985;75:859-68.
14. Gern JE, Lemanske RF. Infectious triggers of pediatric asthma. Pediatr Clin N
Am. 2003;50:555-75
15. Castro-Rodriguez JA, Holberg CJ, Wright AL, Martinez FD. A clinical index to
devine risk of asthma in young children with recurrent wheezing. Am J Respir
Crit Care Med. 2000;162:1403-6
16. Guilbert TW, Morgan WJ, Zeiger RS, Bacherier LB, Boehmer SJ, Krawiec M, et
al. Atopic characteristics of children with recurrent wheezing at high risk for the
development of childhood asthma. J Allergy Clin Immunol. 2004; 114:1282-7
17. Zuidgeest MG, Smit HA, Bracke M, Wijha AH, Brunekreef B, Hoekstra MO,
et.al. Persistence of asthma medication use in preschool children. Respir Med.
2008;102:1446-51.
18. Jackson DJ, Gangnon RE, Evans MD, Roberg KA, Anderson EL, Pappas TE.
Wheezing rhinovirus Illnesses in early life predict asthma development in high
risk children. Am J Respir Crit Care Med. 2008;178:667-72.

32
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Lampiran 1. Penilaian derajat serangan asma1,2


Parameter klinis, Ancaman
fs. Paru, Ringan Sedang Berat henti
Laboratorium napas
Aktivitas Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi: menangis Bayi: -tangispendek Bayi: berhenti
keras dan lemah makan
-kesulitan makan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk bertopang
lengan
Kesadaran Mungkin teragitasi Biasanya teragitasi Biasanya teragitasi Kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit /tidak
hanya pada akhir sepanjang ekspir. terdengar tanpa terdengar
ekspirasi + inspirasi stetoskop
Sesak napas minimal sedang berat
Otot bantu napas Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradok
torako-abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/hilang
retraksi interkostal ditambah retraksi ditambah napas
suprasternal cuping hidung
Laju napas Meningkat Meningkat Meningkat Menurun
Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:
Usia Laju napas normal
< 2 bulan < 60x / menit
2-12 bln. < 50x / menit
1-5 thn. < 40x / menit
6-8 tahun < 30x / menit
Laju nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku laju nadi pada anak:
Usia Laju nadi normal
2-12 bulan < 160x / mnt
1-2 tahun < 120x / mnt
3-8 tahun < 110x / mnt
Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada, tanda
(pemeriksaannya < 10 mmHg 10-20 mmHg > 20 mmHg kelelahan otot
tidak praktis) napas
PEFR atau FEV1 (% nilai dugaan / % nilai terbaik)
- pra > 60% 40-60% < 40%
bronkodilator > 80% 60-80% < 60%,
- pasca respons < 2 jam
bronkodilator
SaO2 % > 95% 91-95% < 90%
PaO2 Normal > 60 mmHg < 60 mmHg
(biasanya tidak
perlu diperiksa)
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg

33
Manifestasi Kulit pada Alergi
Titi Lestari Sugito

Tujuan:
1. Mengingatkan kembali mengenai manifestasi penyakit alergi pada kulit

Alergi merupakan perubahan spesifik kemampuan seseorang untuk bereaksi


terhadap suatu antigen yang diperantarai oleh antibodi selular maupun
humoral (circulating). Reaksi alergi dapat terjadi terhadap berbagai protein
asing, misalnya makanan, obat, mikroba, imunisasi,dan keganasan. Reaksi
alergi terdiri atas reaksi tipe I (hipersensitivitas yang diperantarai IgE), tipe II
(sitotoksik), tipe III (reaksi kompleks imun toksik), dan tipe IV (hipersensitivitas
tipe lambat). Kulit merupakan salah satu organ yang paling sering merupakan
sasaran reaksi hipersensitivitas sehingga menimbulkan berbagai kelainan/erupsi
kulit. Jenis reaksi alergik yang dapat menimbulkan kelainan kulit terutama
adalah tipe I (urtikaria, angioedema) dan tipe IV (dermatitis kontak alergik,
erupsi obat bentuk likenoid/eksantema fikstum/ vesikobulosa).

Urtikaria
Urtikaria adalah suatu penyakit sistemik dengan manifestasi pada kulit,
± 15-20% orang pernah mengalaminya sepanjang hidupnya. Penyakit ini
ditandai dengan timbulnya urtika (wheals) berwarna merah dan gatal pada
kulit dan atau membran mukosa, biasanya bersifat transien. Urtikaria biasanya
disebabkan reaksi hipersensitivitas tipe I, misalnya terhadap lateks atau kacang
tanah, tetapi dapat pula disebabkan pemicu non-imunologik, misalnya media
radiokontras atau obat (aspirin, anti-inflamasi nonsteroid, opiat).
Lesi khas urtikaria mempunyai bagian tengah yang edematosa dikelilingi
halo eritematosa. Ukurannya bervariasi, mulai dari sebesar ujung jarum sampai
berdiameter beberapa sentimeter. Dapat terjadi penyembuhan di bagian tengah
(central clearing), perluasan ke perifer, atau bersatunya beberapa lesi (koalesen)
sehingga lesi dapat berbentuk oval, anular, atau kadang serpiginosa. Bentuk
anular atau serpiginosa dapat menyerupai eritema multiform.

34
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Urtikaria dapat terlokalisasi atau menjadi generalisata, bila meluas ke


jaringan subkutan menyebabkan urtika yang besar (giant wheals). Pada bayi
dan anak kecil sering terdapat pembengkakan di ekstremitas distal disertai
akrosianosis, kadang dapat pula timbul bula di tengah urtika, biasanya di
tungkai bawah dan bokong. Setiap urtika jarang menetap lebih dari 12-24 jam.
Bila bertahan >24-36 jam, kemungkinan bukan urtikaria, tetapi merupakan
kelainan vaskular lainnya, misalnya vaskulitis urtikarial atau eritema multiform.
Bila urtikaria berlangsung kurang dari 6 minggu disebut urtikaria akut.
Pada 80% anak, urtikaria akut disebabkan infeksi (seringkali viral), sedangkan
pada pubertas lebih sering disebabkan makanan dan obat. Bila disebabkan
makanan, pada anak lebih kecil lebih sering karena dairy products, sedangkan
pada anak lebih besar karena kacang, makanan laut, buah berri, dan grains.
Kurang lebih 10% urtikaria berhubungan dengan obat, biasanya bersifat akut,
tersering adalah golongan penisilin, dapat pula oleh sefalosporin, sulfonamid,
antikonvulsan, dan anti-inflamasi nonsteroid/NSAIDs (terutama ibuprofen).
Urtikaria yang sering kambuh dan berlangsung lebih dari 6 minggu
disebut urtikaria kronik, lebih sering pada dewasa, dapat berlangsung terus-
menerus atau hampir setiap hari (chronic continuous urticaria) atau diselingi
masa bebas lesi sampai beberapa minggu (chronic recurrent/intermittent urticaria).
Penyebabnya dapat makanan/bahan tambahan makanan (food additives), obat,
penyebab fisik, imunisasi, gigitan serangga, alergen kontak/hirup, kelainan
autoimun, dan infeksi. Bila tidak jelas pencetusnya, kemungkinan karena
idiopatik atau urtikaria autoimun/ autoreaktif.
Urtikaria kontak dapat timbul karena pajanan kulit terhadap antigen.
Lesi biasanya terlokalisasi pada tempat kontak, walaupun dapat timbul lesi
satelit atau menjadi generalisata. Penyebab urtikaria kontak, misalnya lateks,
ikan, dan air (aquagenic urticaria). Urtika dapat pula timbul karena rangsangan
fisik (urtikaria fisis), misalnya dermografisme, tekanan, kolinergik, akuagenik,
solar, dan dingin.

Angioedema
Angioedema adalah urtika yang mengenai dermis bagian bawah dan jaringan
subkutan. Urtika biasanya besar (giant wheals) disertai edema pada kelopak
mata, tangan, kaki, genitalia, bibir, saluran napas, dan saluran cerna. Sebagian
besar angioedema idiopatik, tetapi dapat pula disebabkan obat, alergen, atau
bahan fisik. Pada 50% pasien angioedema timbul pula urtikaria, sedangkan pada
10% bayi dan anak dengan urtikaria juga terdapat angioedema. Angioedema
dapat merupakan bagian dari reaksi anafilaktik.

35
Manifestasi Kulit pada Alergi

Erupsi eksantematosa
Erupsi eksantematosa merupakan erupsi obat alergik tersering, terbanyak dalam
bentuk erupsi morbiliformis, dapat pula makulopapular atau skarlatiniformis.
Risiko terjadinya erupsi ini meningkat dengan adanya infeksi viral, misalnya
pada hampir 100% pasien yang memakai penisilin dan terkena infeksi virus
Epstein-Barr timbul reaksi eksantematosa.
Biasanya erupsi eksantematosa timbul 7-14 hari setelah minum obat,
kadang dapat timbul setelah obat dihentikan. Bila diberikan lagi obat
tersebut, reaksi dapat timbul dalam beberapa hari. Erupsi berupa makula/
papula eritematosa, simetrik, biasanya mulai dari badan kemudian menjadi
generalisata. Membran mukosa biasanya tidak terkena, tetapi telapak tangan
dan kaki sering terkena. Erupsi dapat disertai gatal, kadang demam ringan.
Dalam 7-14 hari lesi menjadi coklat kemerahan dan terdapat deskuamasi.

Drug hypersensitivity syndrome


Bila erupsi eksantematosa karena obat disertai demam, perlu dipikirkan drug
hypersensitivity syndrome (DHS), disebut juga drug reaction with eosinophilia and
systemic signs (DRESS). Keadaan ini mempunyai angka mortalitas tinggi (10%),
terdiri atas triad: demam, erupsi kulit, dan kelainan organ dalam. Seringkali
timbul setelah pajanan pertama dengan obat penyebabnya (tersering obat
antikonvulsan), biasanya 1-6 minggu setelah pajanan. Umumnya diawali
dengan demam dan malaise, kadang disertai limfadenopati dan faringitis.
Erupsi kulit timbul pada ± 75% pasien, diawali dengan edema muka, terutama
periorbital, kemudian diikuti eritema dan gatal yang meluas secara kaudal.
Erupsi DRESS dapat berlangsung selama beberapa minggu sampai beberapa
bulan setelah obat dihentikan dan dapat timbul kembali (flare) 3-4 minggu
setelah awitan. Bila diberikan lagi obat tersebut, reaktivasi akan terjadi dalam
beberapa jam.

Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis epidermal toksik


Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrosis epidermal toksik (NET) dianggap
sebagai varian dari kelainan hipersensitivitas yang sama. Patomekanisme dan
pencetusnya sama, pasien dapat awalnya memperlihatkan gejala SSJ, kemudian
menjadi NET. Klasifikasinya berdasarkan derajat terlepasnya epidermis
(epidermolisis): bila < 10% permukaan tubuh total dianggap SSJ; bila > 30%
adalah NET; antara 10-30% merupakan transisi/overlap SSJ-NET. Terkenanya
jaringan mukosa yang luas lebih sering pada SSJ dibandingkan dengan NET.

36
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Penyebab tersering NET pada anak adalah obat, walaupun SSJ lebih
jarang disebabkan obat pada anak dibandingkan dengan orang dewasa. Infeksi
mikoplasma lebih sering sebagai pencetus SSJ pada anak dan biasanya lebih
ringan dibandingkan karena obat. Reaksi obat tersebut biasanya timbul dalam
8 minggu pertama pemakaian obat, jarang dalam beberapa hari pertama.
Sebagian besar pasien dengan SSJ/NET timbul 7-21 hari setelah pajanan
pertama dengan obat. Bila awitan lebih awal (2-3 hari), biasanya sudah pernah
terpajan obat tersebut atau terdapat reaksi silang dengan obat analognya.
Pada anak SSJ lebih sering terjadi daripada NET. Sindrom Steven-Johnson
dan NET lebih sering terjadi pada anak lebih besar dan orang dewasa, tetapi
dilaporkan juga terjadi pada bayi dan neonatus. Kelainan tersebut ditandai
dengan demam tinggi, gejala konstitusional berat, lesi generalisata berupa
lesi target, bula, epidermolisis, dan erosi mukosal. Seringkali terdapat masa
prodromal 1-14 hari sebelum erupsi timbul berupa demam, malese, nyeri
kepala, batuk, koriza, nyeri tenggorokan, muntah, diare, mialgia, dan artralgia.
Lesi kulit mulanya timbul di muka dan badan bagian atas, telapak tangan
dan kaki biasanya juga terkena. Makula eritematosa dan purpurik dapat
berkembang menjadi bula flasid berwarna abu-abu, menjadi konfluen, dan
kadang lepas meninggalkan dasar kemerahan. Bagian tengah makula dapat
berwarna gelap menyerupai target, tetapi tidak terdapat lingkaran konsentrik
seperti pada eritema multiform. Pada SSJ lesi target dan epidermolisis sangat
sedikit, sedangkan pada NET terdapat epidermolisis luas. Makula eritematosa
awal pada NET dapat terlokalisata, tetapi biasanya berupa eritroderma luas
dan nyeri. Tanda khas pada SSJ dan NET adalah tanda Nikolsky, yaitu bila
kulit ditekan ringan dengan jari pada daerah eritema, epidermis akan terlepas.
Tanda Nikolsky juga terdapat pada beberapa penyakit bulosa lainnya, misalnya
pemfigus, epidermolisis bulosa, dan staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS).
Diskromia kulit merupakan sekuele tersering dan dapat menetap bertahun-
tahun, juga sering dilaporkan distrofi kuku atau anonikia persisten. Parut
jarang terjadi, kecuali bila terdapat infeksi sekunder.
Lesi mukosa pada SSJ biasanya timbul 1-2 hari sebelum lesi kulit,
umumnya di bibir, lidah, mukosa bukal, mata, hidung, genitalia dan rektum,
berupa bula dengan membran putih keabuan, krusta hemoragik, serta erosi/
ulserasi yang nyeri. Mukosa oral selalu terkena, menyebabkan sulit makan
dan minum sehingga dapat berisiko dehidrasi. Konjungtivitis purulen berat
disertai fotofobia sering terjadi, dapat menyebabkan ulkus kornea, keratitis,
uveitis, dan panoftalmitis, dengan sekuele pada 40% pasien, bahkan dapat
menyebabkan buta.

37
Manifestasi Kulit pada Alergi

Lesi target pada SSJ dapat mirip eritema multiform (EM) yang biasanya
berkaitan dengan infeksi herpes simpleks pada anak. Pada EM juga dapat
timbul lepuh pada bibir dan mukosa oral walaupun biasanya jumlahnya sedikit
dan kurang simtomatik. Lesi kulit EM lebih sering pada ekstremitas dan atau
muka, sedangkan pada SSJ biasanya di badan.
Pada SSJ ringan perbaikan dapat terjadi dalam 5-15 hari, bila berat
dapat sampai lebih dari 1 bulan. Epidermolisis dapat sangat luas menyebabkan
kehilangan cairan, mirip luka bakar. Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain
adalah superinfeksi bakterial disertai sepsis, gangguan regulasi suhu, dehidrasi
berat, dan gangguan keseimbangan elektrolit. Pada orang dewasa, mortalitas
pada SSJ 5%, SSJ-NET 10-15%, dan NET 30-35%, sedangkan pada anak
biasanya lebih rendah.

Fixed drug eruption (Eksantema fikstum)


Eksantema fikstum merupakan erupsi kulit yang timbul di tempat yang sama
setiap kali obat penyebabnya diminum, terdapat pada 22% anak dengan
reaksi kulit terhadap obat minum. Erupsi tersebut merupakan reaksi tipe IV,
disebabkan sel T memori CD8+ yang menetap intraepidermal pada lesi dan
saat pajanan ulang obat penyebab terjadi pelepasan IFN-γ yang menimbulkan
inflamasi.
Lesi berupa plak eritematosa/kecoklatan/abu-abu kebiruan/keunguan,
berbentuk oval atau bulat, batas tegas, disertai nyeri/rasa terbakar. Warna
kehitaman yang ditinggalkan seringkali persisten. Lesi pertama kali timbul 1-2
minggu setelah awal minum obat, tetapi selanjutnya 30 menit - 8 jam setelah
obat diminum lagi. Awalnya hanya timbul satu lesi, tetapi dengan berulangnya
pajanan obat dapat timbul lesi baru dan lesi lama dapat membesar hingga
diameter 10 cm. Lesi dapat timbul di mana saja, tetapi tempat predileksi adalah
di daerah perioral, bibir, tangan, badan, dan genitalia.

Acute generalized exanthemtous pustulosis (AGEP)


Patogenesis kelainan ini belum diketahui pasti, lebih sering terjadi pada orang
dewasa, tersering disebabkan obat. Pada anak seringkali tidak berkaitan dengan
pemberian obat tetapi dipicu oleh infeksi viral atau vaksinasi. Awitannya akut
berupa eritroderma generalisata dengan pustul nonfolikular steril di atasnya,
umumnya disertai demam > 380C. Pada 50% pasien dapat disertai edema
muka, lesi target, purpura, vaskulitis, lepuh, atau erosi mukosal. Erupsi biasanya
hilang spontan setelah 4-10 hari, meninggalkan deskuamasi.

38
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Eritema Multiformis
Eritema multiformis (EM) merupakan sindrom hipersensitivitas dengan
gambaran klinis khas, yaitu adanya lesi target. Keadaan ini tersering terjadi
pada dewasa muda, 20% kasus terjadi pada anak. Sebagian besar kasus pada
anak dicetuskan oleh infeksi virus herpes simpleks, disebut herpes-associated
erythema multiforme (HAEM), dapat pula oleh varisela atau virus Epstein-Barr.
Erupsi biasanya simetrik dengan predileksi pada telapak tangan dan
kaki, punggung tangan dan kaki, serta bagian ekstensor lengan dan tungkai
bawah. Lesi dapat berkelompok, terutama pada siku dan lutut, serta dapat
meluas ke badan, muka, dan leher, biasanya berlangsung selama 7 hari. Lesi
primer timbul mendadak tanpa masa prodromal berupa makula merah gelap
atau urtika (wheal) berbatas tegas, di tengahnya kemudian timbul papul atau
vesikel sehingga memberikan gambaran multiform. Bagian tengah kemudian
mendatar berwarna gelap karena nekrosis sel epidermis, akhirnya terbentuk lesi
target berupa beberapa lingkaran konsentrik berwarna merah berselang-seling
dengan lingkaran sianotik/keunguan. Lesi umumnya asimtomatik, kadang
disertai gatal atau rasa terbakar.
Lesi oral terlihat pada 25-50% anak, awalnya berupa bula yang cepat
pecah, disertai bibir bengkak berkrusta serta erosi mukosa bukal dan lidah.
Gejala sistemik biasanya ringan, berupa demam ringan, malese, mialgia, atau
artralgia. Erupsi umumnya sembuh dalam 2-3 minggu tanpa bekas, namun
dapat kambuh beberapa kali setahun.

Eritema nodosum
Eritema nodosum merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai dengan lesi
nodular berwarna merah dan nyeri, terbanyak pada pubertas dan jarang pada
usia < 2 tahun. Walaupun penyebabnya sangat banyak, pada anak seringkali
penyebabnya tidak dapat ditemukan, tersering adalah infeksi Streptococcus
β-hemolyticus.
Lesi terutama di daerah pretibial, tetapi pada anak lebih sering di paha,
lengan, badan, dan muka, jarang terdapat di telapak tangan dan kaki. Distribusi
lesi simetris, umumnya berdiameter 1-5 cm. Awalnya berupa nodus merah,
oval, teraba hangat, nyeri tekan, dan sedikit menonjol, kemudian berkembang
menjadi nodus berwarna merah kecoklatan atau keunguan. Lesi biasanya tidak
mengalami ulserasi dan tidak meninggalkan parut. Lesi dapat berlangsung
selama 3-6 minggu, dapat kambuh bila terjadi infeksi ulang streptokokal.

39
Manifestasi Kulit pada Alergi

Dermatitis kontak alergik


Dermatitis kontak alergik (DKA) merupakan 20% dari semua dermatitis pada
anak. Penyebab utama pada anak adalah reaksi terhadap alergen kontak famili
Rhus (misalnya poison ivy), dapat pula disebabkan logam (terutama nikel dan
kobalt), bahan pengawet, pewangi, antibiotik topikal, dan produk karet. Anak
perempuan, terutama pada pasa pubertas, lebih berisiko menderita alergi
kontak karena pajanan lebih sering, misalnya karena tindik (nikel), kosmetik
(pengawet, pewangi), dan produk rambut. Kelainan ini merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe IV (delayed hypersensitivity/cell-mediated). Sensitisasi awal
dan kadang dermatitis kontak alergik dapat terjadi saat bayi.
Diagnosis DKA didasarkan atas gambaran dan distribusi lesi kulit serta
bila mungkin dari anamnesis adanya kontak dengan alergen yang sesuai.
Lesi pada daerah terpajan, gambaran linear, dan pinggir yang tajam dapat
merupakan tanda DKA. Contohnya, vesikel/bula di atas dasar eritematosa
tersusun linear di kelopak mata, tangan, kaki, dan tungkai bawah khas untuk
reaksi terhadap poison ivy. Dermatitis pada kelopak mata dapat disebabkan
pengawet pada kosmetik, pewangi, atau emolien. Dermatitis sepatu (karena
kulit, karet, atau pewarna) dapat dicurigai bila lesi terdapat di dorsum pedis.
Dermatitis pada telinga atau subumbilikus khas untuk alergi nikel, sedangkan
pada aksila dapat disebabkan deodoran atau pewangi.
Lesi akut DKA ditandai dengan eritema, edema, papul, vesikel, kadang
bula, eksudasi, dan batas tegas antara lesi dengan kulit normal. Pada lesi
subakut vesikel berkurang, terdapat krusta, skuama, dan penebalan kulit.
Lesi kronik ditandai dengan likenifikasi, fisura, skuama, dan sedikit/tidak ada
vesikel.

Dermatitis atopik
Dermatitis atopik (DA) merupakan salah satu kelainan kulit yang sering
terdapat pada bayi dan anak, dimulai usia 6 bulan pertama pada 45% pasien,
usia 1 tahun pertama pada 60% pasien, dan sebelum usia 5 tahun pada 85%
pasien. Kelainan ini merupakan hasil interaksi kompleks antara disregulasi
imun, disfungsi sawar epidermal, dan interaksi lingkungan dengan kulit. Selain
itu juga ada faktor genetik dan farmakologik.
Tanda dan gejala penting pada DA adalah gatal, perjalanan penyakit
kronik, serta morfologi dan distribusi lesi yang spesifik berdasarkan usia.
Berdasarkan usia pasien dan distribusi lesi, DA dibagi menjadi tiga fase, yaitu
fase infantil (usia 0-2 tahun), anak (2 tahun-pubertas), dan dewasa.

40
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Fase infantil
Biasanya mulai di pipi, dahi, atau skalp, kemudian dapat meluas ke badan dan
bagian ekstensor ekstremitas. Terdapat gatal, eritema, papul, vesikel, eksudasi,
dan krusta, biasanya disertai xerosis kutis generalisata. Lesi pada muka,
terutama pipi dan dagu, dapat disebabkan iritasi air liur atau makanan. Pada
usia 8-10 bulan lesi dapat timbul di bagian ekstensor ekstremitas disebabkan
friksi karena merangkak serta pajanan terhadap iritan/alergen (misalnya pada
karpet). Daerah popok dan inguinal biasanya tidak terkena. Kadang dapat
diawali dengan dermatitis seboroik, terutama usia 1-2 bulan, dengan adanya
pruritus dan skuama kering kemungkinan merupakan kombinasi DA dengan
dermatitis seboroik (seboatopik). Pada usia 6-12 bulan komponen seboroik
biasanya hilang, sedangkan gambaran DA menetap.

Fase anak
Lesi biasanya kurang eksudatif dan berkrusta, cenderung kronik dan
likenifikasi, umumnya kering, papular dan lebih sirkumskrip. Tempat predileksi
di pergelangan tangan, pergelangan kaki, tangan, kaki, serta daerah antekubital
dan popliteal. Lesi di muka terutama di periorbital dan perioral. Kadang dapat
timbul lesi numular di muka, badan, dan ekstremitas atau gambaran inversa di
daerah ekstensor. Distrofi atau pitting kuku dapat timbul bila mengenai jari-jari.
Beberapa tanda klinis lain sering didapatkan pada DA, antara lain white
dermographism, hiperkeratosis folikularis/keratosis folikularis, liken spinulosus,
pitiriasis alba, lipatan di bawah mata (Dennie-Morgan fold), dan aksentuasi
garis palmar.

Simpulan
Erupsi/kelainan pada kulit merupakan manifestasi alergi yang sering dijumpai.
Gambaran klinisnya sangat bervariasi, mulai dari yang ringan sampai berat,
kadang mirip dengan kelainan kulit non-alergik sehingga memerlukan
pemeriksaan penunjang. Walaupun diagnosis kelainan tersebut umumnya
relatif mudah, seringkali sulit untuk menemukan/menentukan penyebabnya.

41
Manifestasi Kulit pada Alergi

Daftar pustaka
1. Paller AS, Mancini AJ. The hypersensitivity syndromes. Dalam: Paller AS,
Mancini AJ, penyunting. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi 4.
Edinburgh: Elsevier Sanders; 2011.h.454-75.
2. Lansang P, Weinstein M, Shear N. Drug reactions. Dalam: Schachner LA, Hansen
RC, penyunting. Pediatric Dermatology. Edisi 4. Edinburgh: Mosby Elsevier;
2011.h.1698-711.
3. Bailey E, Shaker M. An update on childhood urticaria and angioedema. Curr
Opin Pediatr 2008;20:425-30.
4. Koh MJ, Tay YK. An update on Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis. Curr Opin Pediatr 2009;21:505-10.
5. Segal AR, Doherty KM, Leggott J, et al. Cutaneous reactions to drugs in children.
Pediatrics 2007;120: e1082-183.
6. Grathan CEH, Black K. Urticaria and mastocytosis. Dalam: Burns T, Breathnack
S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi 8.
Oxford: Blackwell Publishing Ltd; 2010.h.22.1-30.
7. Orchard D, Burden D. Vascular reactions. Dalam: Schachner LA, Hansen
RC, penyunting. Pediatric Dermatology. Edisi 4. Edinburgh: Mosby Elsevier;
2011.h.1096-8.
8. Paller AS, Mancini AJ. Eczematous eruptions in children. Dalam: Paller AS,
Mancini AJ, penyunting. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi 4.
Edinburgh: Elsevier Sanders; 2011.h.37-52.

42
Masalah Alergi Obat pada Anak
E. M. Dadi Suyoko

Tujuan:
1. Mampu menegakkan diagnosis alergi obat
2. Mampu membedakan reaksi alergi obat ringan dengan berat
3. Mampu menatalaksana alergi obat

Walaupun pengertian dan pengetahuan mengenai alergi obat pada anak


sudah semakin meningkat, tetapi masalah alergi obat masih seringkali
membingungkan baik untuk dokter maupun orangtua pasien. Dokter seringkali
dihadapkan pada pasien dengan riwayat alergi terhadap berbagai macam obat.
Pada anak sejauh ini, yang seringkali dikaitkan dengan alergi obat adalah
antibiotika. Seringkali diagnosis alergi obat pada anak sulit dilakukan, hal
ini kerap menyebabkan overdiagnosis alergi obat pada anak. Pemberian label
alergi obat yang berlebihan pada anak sering menyebabkan penghindaran obat
tertentu sepanjang hidup, yang mungkin tidak perlu.
Erupsi kulit adalah gejala yang sering dilaporkan sebagai manifestasi
reaksi alergi obat pada anak. Erupsi kulit yang dianggap sebagai manifestasi
reaksi simpang obat pada anak mempunyai dampak yang bermakna dalam hal
pemilihan obat pada anak, baik sekarang maupun untuk selanjutnya. Dokter
seringkali takut untuk meresepkan suatu obat bagi seorang pasien dengan
anamnesis pernah mengalami ruam merah setelah mendapatkan suatu obat
pada masa anak. Dari seluruh anak yang dicurigai alergi obat, ketika dilakukan
evaluasi dengan akurat, ternyata hanya sekitar 12,5% yang memang betul-betul
mengalami alergi terhadap obat .
Alergi obat merupakan salah satu reaksi simpang obat yang diperantarai
oleh mekanisme imunologis. Mekanisme yang mendasari alergi obat dapat
berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1,2,3 atau 4. Alergi obat memerlukan
pajanan sebelumnya dengan obat yang sama atau terjadi reaksi silang.
Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui pendekatan dan diagnosis dini,
membedakan reaksi ringan dan berat, serta tata laksana yang tepat alergi obat
pada anak.

43
Masalah Alergi Obat pada Anak

Faktor risiko
Faktor risiko terpenting alergi obat adalah riwayat alergi sebelumnya dengan
obat yang sama. Pemberian topikal dan parenteral lebih sering menyebabkan
sensitisasi daripada pemberian secara oral. Dosis tunggal yang besar lebih
jarang menimbulkan sensitisasi daripada pemberian yang sering dan lama. Usia
dewasa muda lebih mudah bereaksi daripada bayi atau usia tua dan perempuan
lebih banyak dari laki-laki.
Predisposisi atopi tidak meningkatkan kemungkinan terjadinya alergi
obat, tetapi dapat menyebabkan manifestasi reaksi alergi yang lebih berat.
Infeksi virus tertentu seperti HIV, Herpes, EBV, dan CMV, yang menekan
sistem imun, meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi alergi obat.
Sebagian dari reaksi alergi obat pada anak berkaitan dengan infeksi virus atau
gangguan autoimun.

Etiologi
Jenis obat penyebab alergi pada anak sangat bervariasi dan berbeda menurut
waktu dan tempat serta jenis penelitian yang dilaporkan. Kejadian alergi obat
tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat tersebut. Pada
umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golonagan
penisilin, betalaktam, sulfa dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan
adalah analgetik lain (asam mefenamad), sedatif (terutama luminal),
tranquilizer (fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat), antikonvulsan
(karbamizepin). Alergi dengan gejala klinis berat paling sering dihubungkan
dengan obat golongan penisilin dan sulfa.

Patogenesis
Alergi obat biasanya tidak dihubungkan dengan efek farmakologis, tidak
tergantung dari dosis yang diberikan, dan tidak terjadi pada pajanan awal.
Sensitisasi imunologis memerlukan pajanan awal dan tenggang waktu beberapa
lama (masa laten) sebelum timbul reaksi hipersensitivitas.
Reaksi hipersensitivitas dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut Gell
& Coomb. Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke 4 tipe tersebut.
Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Sedangkan
alergi obat melalui tipe II dan III umumnya merupakan bagian dari kelainan
hematologis atau penyakit autoimun. Perlu diingat bahwa alergi obat dapat
saja terjadi melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat
secara bersamaan.

44
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Pada reaksi tipe III terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala
timbul, yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang
dapat mengaktifasi komplemen dan menarik sel-sel inflamasi. Reaksi terkadang
baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula berupa reaksi
setempat yang dikenal sebagai reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan
kemerahan setempat pada tempat antigen berada, misalnya pada imunisasi.

Manifestasi klinis
Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu.
Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala, dan pada seorang anak
dapat berbeda dengan anak yang lain. Gejala klinis tersebut kita sebut sebagai
alergi obat, bila terdapat antibodi atau sel limfosit T tersensitisasi yang spesifik
terhadap obat atau metabolitnya, serta konsisten dengan gambaran reaksi
inflamasi imunologis yang sudah dikenal. Gejala yang menyokong diagnosis
terjadinya alergi obat, antara lain:
1. Tidak ada hubungan antara gejala yang terjadi dengan efek farmakologis obat
2. Terdapat rentang waktu antara pajanan obat sampai munculnya gejala
3. Gejala yang muncul tidak berkaitan dengan dosis obat. Gejala dapat timbul
dengan pemakaian dosis yang kecil. Gejala akan hilang bila penggunaan
obat dihentikan
4. Gejala yang timbul berkaitan dengan reaksi imunologis seperti rash, serum
sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angioedema dan lain-lain
Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan sampai berat (lihat
Tabel 1). Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering terjadi, dapat
berupa gatal, urtika, purpura, dermatitis kontak, eritema multiforme, eritema
nodusum, erupsi obat fikstum, reaksi fotosensifitas, dermatitis eksfoliatif, erupsi
vesikobulosa, sindrom Steven Johnson dan nekrolisis epidermal toksis .

Tabel 1. Klasifikasi alergi obat menurut gejala klinis


Anafilaksis edema laring, hipotensi, syok, bronkospasme
Erupsi kulit urtikaria/angioedema, pruritus, ruam makulopapular morbiliform, erupsi obat
fikstum, dermatitis kontak, vaskulitis, eritema nodosum, eritema multiform, sindrom
Steven-Johnson (SJS), nekrolisis epidermal toksik-toxic epidermal necrolysis (TEN),
dermatitis eksoliatif, reaksi fotosensitivitas
Kelainan hematologis anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia
Kelainan pulmonal pneumonitis interstisialis/alveolar, edema paru, fibrosis paru
Kelainan hepatik reaksi kolestasis, destruksi hepatoselular
Kelainan renal nefritis interstisialis, glomerulonefritis, sindrom nefrotik
Penyakit serum
Demam obat
Vaskulitis sistemik
Limfadenopati

45
Masalah Alergi Obat pada Anak

Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering dilaporkan sebagai
manifestasi alergi obat. Namun penegakkan diagnosis alergi obat dengan
manifestasi erupsi kulit harus dilakukan dengan hati–hati, karena erupsi
kulit yang terjadi harus dibedakan dengan eksantema virus yang seringkali
terjadi pada anak, yang timbul bersamaan (coincidental) dengan pemberian
obat. Diagnosis alergi obat pada anak akan sangat mempengaruhi pemberian
obat sampai anak dewasa yang menyebabkan anak tidak bisa mendapatkan
obat baku dan memperoleh obat alternatif yang mungkin akan lebih toksik.
Penegakkan diagnosis segera terhadap terjadinya alergi obat juga sangat penting
untuk mencegah progresivitas reaksi alergi, identifikasi obat yang menyebabkan
alergi dan mencari obat alternatif yang dapat digunakan pada pasien.
Gejala klinis yang memerlukan pertolongan tepat dan segera adalah reaksi
anafilaksis, karena adanya hipotensi sampai syok, spasme bronkus, sembab
laring, angioedema atau urtikaria generalisata. Demam dapat merupakan gejala
tunggal alergi obat atau bersama gejala lain yang timbul beberapa jam setelah
pemberian obat tetapi biasanya terjadi pada hari ke 7-10 dan menghilang
dalam waktu 48 jam setelah penghentian obat atau beberapa hari kemudian.
Demam disebabkan oleh penglepasan sitokin. Beberapa obat seperti alupurinol,
azatioprim, barbiturat, produk darah, sefalosporin, hidroksiurea, yodida,
metildopa, penisilamin, penisilin, fenitoin, prokainamid dan kuinidin sering
menimbulkan demam tanpa disertai gejala alergi yang lain.

Diagnosis
Diagnosis alergi obat sering kali sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat.
Kesulitan terbesar adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara
manifestasi klinis dengan pemberian obat tertentu, dan apakah gejala klinis
tersebut bukan merupakan bagian dari perjalanan penyakitnya sendiri yang
sedang diobati. Banyak penulis yang melaporkan bahwa sebagian besar lesi
makulopapular dan urtikaria yang timbul pada anak yang sedang mendapat
pengobatan antibiotika sebetulnya berhubungan dan merupakan manifestasi
penyakit dasarnya.
Anamnesis yang terperinci merupakan tahap awal terpenting untuk
membuat diagnosis alergi obat. Anamnesis meliputi formulasi obat, dosis, rute,
dan waktu pemberian (Tabel 2).

46
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Tabel 2. Informasi penting yang dibutuhkan pada anak yang dicurigai mengalami alergi obat
Gambaran terperinci gejala reaksi alergi obat
• Lama dan urutan gejala
• Terapi yang telah diberikan
• Outcome
Hubungan antara waktu pemberian obat dan gejala
• Apakah penderita sudah pernah mendapatkan obat yang sama sebelum terapi sekarang?
• Berapa lama penderita telah mendapatkan obat sebelum munculnya reaksi?
• Kapan obat dihentikan?
• Apa efeknya?
Keterangan keluarga atau dokter yang merawat
Apakah ada foto pasien saat mengalami reaksi?
Apakah ada penyakit lain yang menyertai?
Daftar obat yang diminum pada waktu yang sama
Riwayat penyakit sebelumnya: termasuk riwayat penyakit dan alergi lainnya
Reaksi obat lainnya

Pemeriksaan penunjang
Tes kulit dapat memberikan bukti adanya sensitisasi obat, terutama yang
didasari oleh reaksi tipe I (IgE mediated). Namun demikian sebagian besar
obat tidak diketahui imunogen yang relevan sehingga nilai prediksi tes kulit
tidak dapat ditentukan.Tes kulit dapat berupa skin prick test (SPT) atau tes
intradermal. Tes intradermal lebih sensitif tapi kurang spesifik dibandingkan
SPT. Pemeriksaan penunjang lainnya antara lain: IgE spesifik, serum triptase,
dan cellular allergen stimulation test (CAST).
Penisilin merupakan obat yang sudah dapat ditentukan metabolit
imunogennya. Tes kulit untuk preparat penisilin diperlukan metabolit
imunogennya, major antigenic determinant yaitu penicylloil. Preparat penicylloil
untuk test kulit dijual dengan nama dagang Pre-Pen, sayangnya preparat
ini belum ada di Indonesia sehingga tes kulit terhadap penisilin tidak dapat
dilakukan di Indonesia.
Untuk obat dan antibiotika yang lain, belum ada preparat khusus untuk
tes kulit. Untuk beberapa jenis antibiotika yang sering digunakan, terutama
golongan betalaktam, dan kita ragu apakah pasien alergi atau tidak, dapat
dilakukan tes kulit dengan pengenceran yang tidak menimbulkan iritasi
(nonirritating concentration). Meskipun demikian, tes kulit untuk diagnosis
alergi obat terutama antibiotika tidak dianjurkan karena nilai prediksi rendah.
Kalau hasil tes positif, masih mungkin alergi terhadap obat tersebut, tetapi
kalau negatif belum tentu tidak alergi.

47
Masalah Alergi Obat pada Anak

Graded Challenge test


Graded challenge test, tes provokasi dengan dosis yang ditingkatkan, dilakukan
dengan hati-hati pada pasien yang diragukan apakah alergi terhadap sesuatu obat
atau tidak. Tes provokasi ini biasanya dilakukan secara oral. Anak yang jelas
dan nyata menunjukkan reaksi yang berat setelah terpajan dengan obat misal;
anafilaksis berat, SJS, TEN, tidak dilakukan tes provokasi ini. Graded challenge
test biasanya cukup aman untuk dikerjakan, tetapi tetap dengan persiapan
untuk mengatasi bila terjadi reaksi anafilaksis. Biasanya dosis dimulai dengan
1/10 sampai 1/100 dari dosis penuh dan dinaikkan 2 sampai 5 kali setiap
setengah jam, sampai mencapai dosis penuh. Bila pada waktu peningkatan
dosis terjadi reaksi alergi, maka tes dihentikan dan pasien ditata laksana seperti
prosedur pengatasan reaksi alergi obat.
Tes provokasi dilakukan bila pemeriksaan lain negatif dan diagnosis alergi
obat masih meragukan. Waktu yang ideal untuk mengevaluasi alergi obat pada
anak adalah pada waktu anak sehat dan tidak sedang dalam pengobatan. .

Tata laksana
Tata laksana yang perlu dilakukan bila terjadi alergi obat adalah sebagai berikut:
1. Segera menghentikan obat yang dicurigai.
2. Mengobati reaksi yang terjadi sesuai manifestasi klinis.
3. Mengidentifikasi dan menghindari potential cross-reacting drugs.
4. Mencatat secara tepat reaksi yang terjadi dan pengobatannya.
5. Jika memungkinkan, identifikasi pilihan pengobatan lain yang lebih aman.
6. Jika obat tersebut sangat dibutuhkan, dan tidak ada obat pengganti,
dapat dilakukan desensitisasi secara oral maupun parenteral. Desensitisasi
dilakukan dengan memberikan alergen obat secara bertahap untuk
membuat sel efektor menjadi kurang reaktif. Protokol spesifik telah
dikembangkan untuk masing-masing obat. Prosedur ini harus dikerjakan di
rumah sakit dengan peralatan resusitasi yang tersedia lengkap berdasarkan
konsultasi dengan dokter konsultan alergi.

Simpulan
Masalah alergi obat pada anak masih seringkali membingungkan baik untuk
dokter maupun orangtua pasien. Diagnosis alergi obat pada anak sulit dilakukan
dan hal ini kerap menyebabkan overdiagnosis alergi obat. Dari seluruh anak
yang dicurigai alergi obat, ketika dilakukan evaluasi dengan akurat, ternyata
hanya sekitar 12,5% yang memang betul–betul mengalami alergi terhadap obat.

48
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Erupsi kulit adalah gejala yang sering dilaporkan sebagai manifestasi reaksi
alergi obat pada anak. Waktu yang ideal untuk mengevaluasi alergi obat pada
anak adalah pada waktu anak sehat dan tidak sedang memerlukan pengobatan.

Daftar bacaan
1. Suyoko EMD, Siregar SP, Sumadiono, Kumara Wati KD. Alergi Obat. Dalam:
Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
penyunting, Pedoman Pelayanan Medis: Ikatan Dokter Anak Indonesa. Jilid 1.
Jakarta: Balai Penerbit IDAI;2010.h. 1–4.
2. Solensky R, Mendelson LM. Drug Allergy. Dalam: Leung DYM, Sampson HA,
Geha R, Szefler SJ, penyunting, Pediatric allergy principles and practice. Edisi
ke-2. Edinburgh: Saunders;2010.h.616–30.
3. Segall A, Doherty K, Leggott J, Zlotoff B. Cutaneus reaction to drugs in children.
Pediatrics. 2007;120:e1082-96.
4. Akib AAP, Takumansang DS, Sumadiono, Satria CD. Alergi obat. Dalam: Akib
AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi-imunologi anak. Edisi
ke – 2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI;2007. h. 295–307.
5. Macy E, Mellon MH, Schatz M, Patterson R. Dalam: Adelman DC, Casale TB,
Corren J, penyunting. Manual of allergy and immunology. Edisi ke-4. Philadelphia:
Saunders;2002.h. 219–41.
6. Suyoko EMD, Palupi RD. Manifestasi erupsi kulit simpang obat pada anak.
Dalam: Akib AAP, Windiastuti E, Sekartini R, Kurniati N, Kadim M, penyunting.
Pediatric skin allergy and its problems. PKB LVIII Dept IKA FKUI dan IDAI
JAYA. Dept IKA FKUI;2010;57–63.
7. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR, Youlten LJF, Dugue P, Friedman PS, et al.
BSACI guidelines for the management of drug allergy. Clinical Experimental
Allergy. 2008;39:43–61.

49
Masalah Alergi Obat pada Anak

Lampiran 1. Manifestasi klinis reaksi obat


Reaksi sistemik • Anafilaksis • Drug rash with eosinophilia systematic
• Serum sickness • Symptoms (DRESS)
• SLE like • Nekrolisis epidermal toksik
• Sclerodermalike • Sindrom Steven Johnson
• Microscopic polyangiitis
Reaksi pada Organ kulit • Urtikaria/angio-edema • Foto-dermatitis
• Pemphigus • Acute generalized
• Purpura exanthematouspustulosis (AGEP)
• Ruam macula papular • Fixed drug eruption (FDE)
• Dermatitis kontak • Erythema multiforme
• Nephrogenic systemic fibrosis
Paru • Asma • Organizing pneumonia (timbulnya
• Batuk jaringan granulasi pada saluran napas
• Pneumonitis interstisial distal)
Hati • Cholestatic hepatitis • Hepato-cellular hepatitis
Ginjal • Interstitial nephritis • Membranous nephritis
Darah • Anemia hemolitik • Nepropenia
• Trombositopenia
Jantung Valvular disease
Muskulo-skeletal/ Polymyositis
neurologis Myasthenia gravis
Aseptic meningitis

50
Perangkat Diagnostik pada Penyakit Alergi
Dina Muktiarti

Tujuan:
1. Mengetahui indikasi tes diagnostik alergi
2. Mengetahui jenis-jenis tes diagnostik alergi dan karakteristiknya
3. Memahami pemilihan tes diagnostik alergi dan jenis alergen yang tepat
4. Memahami interpretasi hasil tes alergi

Angka kejadian penyakit alergi semakin meningkat dalam 3 dekade terakhir


dan merupakan salah satu masalah yang cukup sering ditemui dalam praktik
sehari-hari. Walaupun demikian, sejumlah pasien yang dicurigai menderita
penyakit alergi, ternyata mempunyai gejala yang tidak berhubungan dengan
alergi dalam evaluasi lebih lanjut.1,2 Satu penelitian di Inggris menemukan
bahwa dari 33,7% orangtua yang melaporkan anaknya mempunyai reaksi
terhadap makanan, hanya 16,1% yang dinyatakan mengalami hipersensitivitas
terhadap makanan setelah anamnesis yang teliti dan uji provokasi makanan
terbuka.4 Untuk itu, sangat penting untuk melakukan penegakan diagnosis
penyakit alergi secara tepat agar tata laksananya optimal.1-3
Penelusuran terhadap penyakit alergi dimulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisis dan dilanjutkan dengan tes diagnostik alergi bila diperlukan.
Secara umum, tes alergi dibutuhkan pada pasien dengan gejala yang dicurigai
sebagai reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang berat, persisten, atau berulang
tanpa anamnesis yang menyakinkan terkait alergen pencetusnya (Tabel 1).1-
3
Tes alergi dibutuhkan untuk mengetahui faktor pencetusnya dan bukan
untuk mendiagnosis penyakit alergi. Pada kasus-kasus yang sudah dapat
diketahui faktor pencetusnya dari anamnesis dan terdapat hubungan kausal
yang jelas antara faktor pencetus dan timbulnya gejala, maka tes alergi tidak
harus dilakukan. Tes alergi juga diperlukan untuk tata laksana spesifik seperti
penghindaran faktor pencetus atau imunoterapi.1-3

Tes Diagnostik Alergi

51
Perangkat Diagnostik pada Penyakit Alergi

Metode tes alergi yang klasik adalah dengan uji kulit (skin prick test/SPT,
intradermal) dan pengukuran kadar imunogobulin E (IgE) spesifik di dalam
serum. Pengukuran kadar IgE ini bertujuan untuk menentukan adanya IgE
spesifik terhadap suatu alergen, yang merupakan komponen utama pada reaksi
hipersensitivitas tipe I. Tes alergi dapat dilakukan untuk berbagai alergen
makanan, alergen inhalan, venom dan beberapa macam obat.1-3 Namun, tidak
semuanya tersedia di Indonesia.
Skin prick test pertama kali diperkenalkan pada tahun 1867 dan masih
merupakan tes yang paling sering dikerjakan untuk menentukan adanya IgE
spesifik untuk beberapa alasan. Skin prick test tidak invasif, hasil dapat diperoleh
dengan cepat (15-20 menit), murah dan bila dilakukan dengan teknik yang
benar maka SPT mempunyai reprodusibilitas yang cukup baik.1-3,5

Tabel 1. Indikasi tes alergi2


Gejala gastrointestinal Gejala yang persisten tanpa penyebab lain yang diketahui, teru-
tama bila terdapat tanda atopik yang lain.
Dermatitis atopik Gejala yang persisten terutama bila disertai tanda atopik lain.
Urtikaria akut/angioedema Gejala yang berat atau dicurigai adanya alergen tertentu sebagai
pencetus
Anak-anak di bawah usia 3-4 tahun Gejala yang berat dan persisten dan memerlukan terapi rumatan.
dengan asma/mengi berulang
Anak-anak di atas usia 3-4 tahun Tes alergi untuk mencari alergen pencetus.
dengan asma
Rinitis Kasus yang tidak membaik dengan pengobatan yang optimal
Konjungtivitis Kasus yang tidak membaik dengan pengobatan yang optimal
Reaksi gigitan serangga Bila terdapat reaksi sistemik yang berat
Anafilaksis Bila tidak terdapat pencetus yang jelas dan harus selalu dalam
observasi ketat

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil SPT adalah alat dan
kualitas alergen yang digunakan, tehnik SPT, kondisi kulit, usia, dan obat-
obatan seperti antihistamin.1-3 Skin prick test dapat dikerjakan sejak usia 1
bulan, tetapi perlu diingat bahwa pada bayi cenderung menghasilkan reaksi
kulit yang lebih kecil karena sel mast yang lebih sedikit dibandingkan anak
yang lebih besar. Kondisi kulit seperti dermatografisme dan dermatitis atopik
berat akan mempengaruhi hasil SPT.1 Antihistamin akan menekan reaksi kulit
pada SPT. Untuk itu, antihistamin generasi pertama harus dihentikan selama
minimal 3 hari dan antihistamin generasi kedua harus dihentikan minimal
5-7 hari.5 Imunoterapi yang efektif dapat menurunkan reaksi kulit pada SPT.1
Prosedur SPT dimulai dengan meneteskan satu tetes ekstrak alergen
di daerah volar lengan bawah atau daerah punggung. Selain ekstrak alergen
yang akan diuji, perlu ditambahkan 1 tetes kontrol positif (histamin) dan 1
tetes kontrol negatif. Untuk mencungkit/menusuk kulit pada lokasi alergen

52
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

dapat digunakan lanset atau jarum plastik khusus untuk SPT. Pada proses ini
tidak diperbolehkan adanya perdarahan. Saat pencungkitan/penusukan kulit
maka alergen masuk ke dalam kulit dan berinteraksi dengan IgE yang terikat
pada sel mast. Cross-linking IgE akan menghasilkan lepasnya histamin dan
mediator lainnya. Lepasnya histamin akan menyebabkan adanya wheal/urtika
dan eritema pada lokasi alergen tersebut. Pengukuran wheal dapat dilakukan
setelah 15-20 menit sesudah proses pencungkitan. Interpretasi hasil SPT harus
dimulai dengan pengukuran wheal pada kontrol positif dan negatif. Hasil tes
dinyatakan positif apabila terdapat wheal lebih besar atau sama dengan 3
mm dari kontrol negatif.1-3,5 Ekstrak alergen yang digunakan dapat berupa
ekstrak alergen yang telah terstandardisasi ataupun alergen dalam bentuk
segar (misalnya buah-buahan). Teknik dengan menggunakan makanan dalam
bentuk segar pada prosedur SPT dinamakan teknik prick to prick.2
Skin prick test sangat aman dikerjakan, kejadian reaksi alergi berat atau
anafilaksis sangat jarang terjadi. Namun risiko ini tidak dapat diabaikan begitu
saja terutama pada pasien dengan riwayat anafilaksis. Walaupun cukup aman,
obat-obatan untuk mengatasi anafilaksis tetap harus disiapkan sebelum SPT
dikerjakan.1,6
Uji intradermal dikerjakan apabila terdapat hubungan kausal yang
jelas antara reaksi alergi dengan suatu alergen namun hasil SPT negatif. Uji ini
merupakan baku emas untuk venom dan obat. Uji ini dilakukan dengan cara
menyuntikkan alergen tertentu ke dalam lapisan dermis kulit dan kemudian
akan dievaluasi 15-20 menit kemudian. Namun uji ini jarang dikerjakan pada
anak-anak karena tidak nyaman, lebih invasif, dan risiko terjadinya reaksi
alergi yang berat lebih besar bila dibandingkan dengan SPT.1,3,5-7
Pemeriksaan IgE spesifik dalam serum diperkenalkan pada tahun
1972 dan terdapat berbagai metode pemeriksaan. Salah satunya adalah teknik
ImmunoCAP yang banyak digunakan dalam penelitian maupun dalam praktik
sehari-hari. Pemeriksaan ini diindikasikan pada beberapa keadaan seperti pada
pasien yang tidak dapat lepas dari obat-obat antihistamin, riwayat penyakit
yang diperkirakan akan memperbesar risiko reaksi anafilaksis pada tindakan
SPT, dermatitis atopik yang berat dan generalisata sehingga tidak cukup daerah
kulit untuk dilakukan SPT.1,3,7
Dasar pemeriksaan ini adalah adanya ikatan antara IgE spesifik dalam
serum pasien dengan alergen. Antibodi anti-IgE yang telah dilabel akan terikat
pada IgE. Label berupa enzim yang terkonjungasi dengan antibody anti-IgE
akan bereaksi dengan substrat fluoresens. Hasil dari reaksi ini akan dihitung
dengan interpolasi kurva standar kalibrasi sesuai dengan standar World Health
Organization dan dilaporkan dengan satuan kilo International Units of allergen
specific antibody per unit volume sampel (kUA/L). Tes ini dinyatakan positif
bila kadar IgE spesifik > 0,35 kUA/L.8

53
Perangkat Diagnostik pada Penyakit Alergi

Skin prick test dan pemeriksaan IgE spesifik dinyatakan sama unggulnya
untuk pemeriksaan alergen makanan dalam suatu systematic review.9 Perbedaan
antara SPT dan kadar IgE spesifik dalam serum dapat dilihat pada Tabel 2.
Pemeriksaan dengan menggunakan atopy patch tidak rutin dilakukan.
Beberapa indikasi untuk atopy patch adalah kasus dermatitis kontak atau pada
kasus alergi makanan dengan manifestasi klinis dermatitis atopik. Namun hasil
beberapa penelitian atopy patch untuk alergen makanan belum mendapatkan
kesimpulan yang meyakinkan sehingga atopy patch belum digunakan secara
rutin.2,7,9 Penggunaan kombinasi SPT, kadar IgE spesifik dalam serum dan APT
tidak mempunyai kelebihan apabila dibandingkan dengan pemeriksaan SPT
atau kadar IgE spesifik saja.7
Pemeriksaan lain seperti kinesiologi, pemeriksaan IgG4, tes elektrodermal,
analisis rambut, analisis cairan lambung merupakan pemeriksaan yang tidak
standar dan tidak terbukti sebagai bagian pemeriksaan alergi. Pemeriksaan
IgE total juga tidak dapat digunakan untuk menentukan adanya sensitisasi
terhadap alergen tertentu.7 Dengan menggunakan beberapa panduan di
atas maka seorang dokter dapat menentukan jenis tes alergi apa yang harus
dilakukan untuk seorang pasien.

Tabel 2. Perbedaan penentuan IgE spesifik antara skin prick test dan IgE spesifik dalam serum5
Variabel Skin prick test IgE spesifik dalam serum
Risiko adanya reaksi alergi Ada, jarang Tidak ada
Dipengaruhi oleh antihistamin Ya Tidak
Dipengaruhi oleh kortikosteroid Biasanya tidak Tidak
Dipengaruhi oleh dermatitis yang luas atau dermatografisme Ya Tidak
Pilihan alergen yang luas Ya Tidak
Hasil pemeriksaan segera Ya Tidak
Harga yang mahal Tidak Ya
Dipengaruhi oleh labilitas alergen (kualitas) Ya Tidak

Pemilihan alergen yang akan diuji


Setelah kita menentukan jenis tes alergi yang akan digunakan maka langkah
selanjutnya adalah menentukan jenis alergen yang akan diuji. Pemilihan
alergen yang akan diuji sangat penting karena terdapat ratusan jenis ekstrak
alergen. Penentuan jenis alergen harus didasarkan oleh usia, gejala klinis,
riwayat pajanan terhadap alergen sebelumnya, dan kemungkinan reaksi
silang dengan alergen lain.1 Sebagai contoh, makanan yang dapat ditoleransi
oleh pasien tidak perlu diujikan atau panel alergen makanan tidak perlu
diperiksakan untuk seorang anak usia sekolah dengan asma.
Pemilihan alergen dengan suatu panel alergen tertentu untuk semua
kasus sangat tidak dianjurkan, karena tidak hanya berimplikasi pada biaya

54
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

yang bertambah mahal namun juga dapat menyesatkan kesimpulan akhir


bila tidak dilakukan interpretasi yang tepat.3 Panel alergen makanan yang
sangat banyak dan tidak terarah mempunyai nilai positif palsu mencapai
50%.8 Panduan pilihan alergen makanan dan inhalan yang dapat diuji dapat
dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Panel alergen berdasarkan usia dan gejala2


Penyakit/gejala Panel alergen yang perlu dites
Dermatitis atopik Di bawah usia 3-4 tahun: Di atas 3-4 tahun:
Makanan (pada dermatitis atopik yang berkaitan Makanan (pada dermatitis
dengan alergi makanan, terutama pada dermatitis atopik berat dan persisten)
atopik derajat sedang-berat Susu sapi
Susu sapi Putih telur
Putih telur
(Kedelai, gandum, kacang, dll, tergantung pada Alergen inhalan
anamnesis) Tungau debu rumah
Alergen inhalan Bulu kucing, anjing
Tungau debu rumah
Bulu kucing, anjing
Rintis dan/atau Alergen inhalan
mengi/batuk yang Tungau debu rumah
persisten Bulu kucing, anjing

Untuk obat-obatan pilihan tes alergi sangat terbatas. Satu hal yang
perlu diingat bahwa terdapat banyak mekanisme yang terkait dengan reaksi
simpang obat. Untuk itu penting untuk mengetahui mekanisme terjadinya
reaksi simpang obat pada kelompok obat tertentu. Pemeriksaan IgE spesifik
dalam darah dan SPT tersedia untuk beberapa obat seperti golongan penisilin
(benzylpenicilloyl polylysine, minor determinant mixture).8,10 Namun pemeriksaan
ini tidak tersedia di Indonesia.

Interpretasi hasil tes alergi


Hasil tes alergi yang positif atau terdeteksinya IgE spesifik baik pada uji kulit
maupun dalam darah hanya menandakan adanya sensitisasi dan tidak selalu
menandakan bahwa alergen tersebut menjadi pencetus gejala alergi yang
dialami pasien. Sedangkan hasil negatif juga tidak langsung meniadakan
alergen ini sebagai pencetus.1
Untuk itu hasil tes alergi ini perlu digabungkan dengan anamnesis yang
cermat untuk dapat menentukan alergen pencetus. Dokter yang menganalisis
hasil harus menemukan relevansi klinis antara hasil tes alergi dan gejala yang
timbul.1
Konfirmasi dapat dilakukan dengan provokasi alergen. Pada alergen
makanan dapat dilakukan uji provokasi makanan terbuka atau double blind

55
Perangkat Diagnostik pada Penyakit Alergi

placebo control food challenge (DBPCFC). Double blind placebo control food
challenge merupakan baku emas alergi makanan namun karena prosedurnya
rumit, lama, dan mahal maka prosedur ini dilakukan untuk penelitian,
sedangkan dalam praktik sehari-hari dapat digunakan uji provokasi makanan
terbuka.1,7
Panduan untuk dilakukan uji provokasi makanan dapat dilihat pada
Tabel 4.11 Beberapa penelitian berusaha mencari nilai batas, baik untuk SPT
maupun kadar IgE spesifik dalam serum berbagai jenis makanan, untuk dapat
menyatakan suatu alergen makanan sebagai pencetus tanpa perlu dilakukannya
uji provokasi.11,12 Nilai berbagai penelitian berbeda, namun secara umum nilai
pada Tabel 5 dapat dijadikan pegangan.

Tabel 4. Skema yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan alergi makanan sebagai diagnosis11

Rendah Kemungkinan alergi berdasarkan IgE spesifik (kUA/L)


(< 0,35)
Sedang Tinggi
(0,35-<15) (> 15)
Kemungkinan Tinggi Possible allergy Probable allergy Alergi
alergi (contoh: urtikaria dan mengi
berdasarkan pada 2 kali pajanan)
anamnesis
Sedang (contoh: urtikaria pada 1 Possible allergy Possible allergy Probable allergy
kali pajanan)
Rendah (contoh: gejala non-IgE) Tidak alergi Possible allergy Possible allergy
Keterangan: anak yang berada dalam kolom possible allergy memerlukan uji provokasi makanan terbuka untuk
diagnosis. Kadar IgE spesifik berdasarkan kadar IgE spesifik untuk kacang, sedangkan kadar untuk susu sapi dan
telur lebih rendah (Tabel 5)

Tabel 5. Perkiraan nilai prediksi IgE spesifik dan SPT berbagai alergen makanan12
PPV 50% PPV 95% (usia > 2 tahun) PPV 95% (usia < 2 tahun)
IgEs (kUA/L) SPT IgEs (kUA/L) SPT IgEs (kUA/L) SPT
(mm wheal) (mm wheal) (mm wheal)
Susu 2 TD 15 8 5 6
Telur 2 TD 7 7 2 5
Kacang 2 (riwayat jelas) TD 14 8 4
5 (riwayat tidak
jelas)
Ikan TD TD TD TD 20 TD
Keterangan:
IgEs: IgE spesifik; SPT: skin prick test; tergantung pada kualitas ekstrak dan teknik SPT; TD: tidak ada data

Berbagai penelitian dilakukan untuk menentukan nilai batas kadar IgE


spesifik untuk alergen inhalan yang dapat memprediksi kemungkinan adanya
relevansi klinis. Namun sayangnya, banyak faktor yang mempengaruhi gejala
klinis di saluran napas termasuk inflamasi, infeksi, dan pajanan terhadap
iritan. Faktor-faktor ini menyebabkan variasi dalam menentukan nilai batas

56
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

ini. Karena keterbatasan ini, maka pada panduan terakhir dinyatakan bahwa
SPT lebih baik digunakan untuk menilai alergen inhalan.11

Simpulan
Hasil tes alergi yang positif baik SPT maupun IgE spesifik hanya menandakan
adanya sensitisasi terhadap alergen terkait dan tidak selalu berkaitan dengan
gejala klinis alergi yang dialami pasien. Hasil tes alergi harus selalu dihubungkan
dengan kondisi klinis pasien, usia, pajanan alergen terkait, dan performa tes
alergi itu sendiri (sensitivitas, spesifisitas). Anamnesis yang teliti mengenai
gejala klinis pasien dan kemungkinan alergen pencetus akan sangat membantu
untuk memilih jenis tes diagnostik yang diperlukan, alergen yang akan diuji,
dan interpretasinya serta menggunakan informasi ini untuk merencanakan
tata laksana selanjutnya.

Daftar pustaka
1. Cox L, Williams B, Sicherer S, Oppenheimer J, Sher L, Hamilton R, dkk. Pearls
and pitfalls of allergy diagnostic testing: report from the American College
of Allergy, Asthma and Immunology/American Academy of Allergy, Asthma
and Immunology Specific IgE Test Task Force. Ann Allergy Asthma Immunol.
2008;101:580–92.
2. Host A, Andrae S, Charkin S, Diaz-Vazquez C, Dreborg S, Eigenmann PA, dkk.
Allergy testing in children: why, who, when and how? Allergy. 2003:58:559–69.
3. Cartwright RC, Dolen WK. Consultation with the specialist: who needs allergy
testing and how to get it done. Pediatr Rev. 2006;27:140-6.
4. Venter C, Pereira B, Voigt K, Grundy J, Clayton CB, Higgins B, dkk. Prevalence
and cumulative incidence of food hypersensitivity in the first 3 years of life.
Allergy. 2008;63:354–9.
5. Lasley MV, Shapiro GG. Testing for allergy. Pediatr Rev. 2000;21:39-43.
6. Liccardi G, D’Amato G, Canonica W, Salzillo A, Piccolo A, Passalacqua G.
Systemic reactions from skin testing: literature review. J Investig Allergol Clin
Immunol. 2006;16:75-8.
7. Boyce JA, Assa’ad A, Burks AW, Jones SM, Sampson HA, Wood RA. Guidelines
for the diagnosis and management of food allergy in the United States: report of
the NIAID-sponsored expert panel. J Allergy Clin Immunol. 2010;126:S1-S58.
8. Siles RI, Hsieh FH. Allergy blood testing: a practical guide for physician. Cleve
Clin J Med. 2011;78:585-92.
9. Chafen JJS, Newberry SJ, Riedl MA, Bravata DM, Maglione M, Suttorp MJ,
dkk. Diagnosing and managing common food allergies, a systemic review.
JAMA. 2010;303:1848-56.
10. Kranke B, Aberer W. Skin testing for IgE-mediated drug allergy. Immunol Allergy
Clin N Am. 2009;29:503-16.

57
Perangkat Diagnostik pada Penyakit Alergi

11. Stiefel G, Roberts G. How to use serum-specific IgE measurements in diagnosing


and monitoring food allergy. Arch Dis Child Educ Pract Ed.2012;97:29-36.
12. Wang J, Sampson HA. Food allergy. J Clin Invest. 2011;121:827–35.

58
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis
Wahyuni Indawati

Tujuan:
1. Memahami epidemiologi pertusis
2. Memahami variasi spektrum klinis pertusis sesuai usia anak
3. Memahami tata laksana pertusis

Pertusis (whooping cough) merupakan infeksi bakterial akut di saluran napas.1-4


Penyakit ini menyebar ke seluruh dunia dan dapat menyerang semua usia,
namun demikian semakin muda usia saat terkena akan semakin berat
gejala klinisnya terutama pada bayi.1 Penyakit ini telah dikenal sejak tahun
1500an, pertama kali dilaporkan sebagai epidemi di Paris pada tahun 1578
oleh Guillaume de Baillou.2Mikroorganisme penyebab pertusis pertama kali
diidentifikasi dan diisolasi oleh Jules Bordet dan Octave Gengou di Pasteur
institute pada tahun 1906.3
Pada awal perkembangannya pertusis sering kali disebut sebagai whooping
cough, karena pada pertusis ditemukan karakteristik batuk yang khas yaitu
batuk paroksismal yang tiap episodenya cukup panjang dan pada akhir episode
diakhiri dengan bunyi whoop akibat proses inspirasi dalam.1-3 Dengan adanya
karakteristik batuk tersebut tersebut seringkali diagnosis pertusis hanya
didasarkan adanya gambaran klinis batuk yang khas dengan whooping. Padahal
pada pertusis dapat ditemukan gejala klinis yang bervariasi sesuai usia dan
tidak selalu disertai gejala whooping cough. Hal inilah yang sering menimbulkan
keterlambatan diagnosis atau bahkan tidak terdiagnosisnya pertusis. Oleh
karena itu makalah ini akan membahas berbagai variasi spektrum klinis pertusis
sehingga kita dapat lebih memahaminya.

Etiologi
Pertusis disebabkan oleh kuman Bordetella pertussis (95%) dan kadang-kadang
oleh Bordetella parapertusis, terdapat 9 spesies kuman dengan genus bordetella
namun hanya 5 jenis saja yang diketahui dapat menyebabkan infeksi di saluran
napas atas.1-4Kuman Bordetella pertussis memiliki berbagai komponen antigen
yang secara biologis aktif (Tabel 1).1,4Hampir semua komponen antigen pertusis

59
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis

kecuali tracheal cytotoxin (TCT) faktor virulensinya diatur oleh lokus genetik
tunggal yaitu bvgAS.4 Pada kondisi lingkungan tertentu misalnya pada suhu
370C, bvgAS akan menjadi aktif dan menghasilkan zat toksin dan adesin dan
organisme tersebut menjadi virulen (fase bvg+).4 Pada fase bvg-akan terjadi
ekspresi gen yang berbeda (gen represi vir) yang menyebabkan organisme
menjadi avirulen.4

Tabel 1. Komponen Antigen Bordetella pertussis1,4


Komponen Karakteristik Fungsi
Faktor adhesi
Fimbrae (FIM) Terdapat 2 tipe serologi (tipe 2 Faktor adhesi terutama di trakea,
dan 3); protein filamen kecil aglutinogens
Filamentous hemagglutinin (FHA) Protein filamen besar Faktor adhesi terutama di trakea
Pertactin (PRN) Protein membran luar Faktor adhesi terpenting, induksi
(69kd) antibodi spesifik
Vag8 (Virulence-activated gene 8) Protein membran luar Faktor adhesi (?)
(32 kd)
BrkA (Bordetella resistance to killing Protein membran luar Faktor adhesi , resistan terhadap
factor) (95 kd) komplemen
SphB1 (subtilisin-like Ser protease) Lipoprotein Membantu maturasi FHA
Faktor Toksin
Toksin pertusis (PT; lymphocytosis- Protomer A dan Subunit B Penyebab lekositosis dan limfositosis
promoting factor)
Toksin adenilat siklase (ACT) Toksin yang diaktivasi Antifagositik
calmodulin
Toksin dermonekrotik (DNT) Toksin heat-labile (160 kd) Induksi nekrosis
Sitotoksin trakeal Monomer tetrapeptida- Merusak tight junction, merusak silia,
disakarida produksi interleukin 1 alfa dan NO
Lipopolisakarida (LPS/endotoksin) Envelope toxin Adhesi, aglutinogen

Epidemiologi
Pertusis merupakan penyakit infeksi saluran napas yang menyebar di seluruh
dunia. Manusia merupakan satu-satunya host kuman Bordetella pertusis.1-4 Secara
global hampir 20-40 juta kasus pertusis terjadi setiap tahun, 90% diantaranya
terjadi di negara berkembang dan angka kematiannya mencapai 400.000
kasus per tahun terutama pada bayi usia muda.5,6 Target yang ditetapkan oleh
WHO bagi negara-negara eropa untuk insidens pertusis adalah sebesar <1
kasus/100.000 penduduk pada tahun 2000.5 Sayangnya bahkan untuk negara
maju pun target ini belum tercapai.
Epidemiologi pertusis sangat dipengaruhi oleh imunisasi. Pada awal tahun
1930 dan 1940 di Amerika Serikat (AS) terdapat 150/100.000 penduduk kasus
pertusis, dengan case fatality rate (CFR 4%).7 Setelah ditemukannya vaksin
pada tahun 1950 terjadi penurunan insidens pertusis yang sangat bermakna

60
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

yaitu 150 kali, sehingga pada pertengahan tahun 1970-an insidens pertusis di
AS hanya 1/100.000 dengan CFR 0.01/100.000.5-7 Pada era pravaksin, pertusis
telah menjadi endemi dengan kejadian epidemi setiap 2-5 tahun sekali.5-8
Dengan dilakukannya imunisasi pertusis rutin di seluruh dunia saat ini terdapat
kecenderungan penurunan insidens pertusis yang sangat bermakna, namun
demikian siklus epidemi penyakit ini cenderung menetap. Bahkan di beberapa
negara dilaporkan terjadinya peningkatan insidens terutama pada kelompok
usia remaja dan dewasa.5-8Data di Amerika Serikat antara tahun 1990-2010
menunjukkan proporsi terbesar pasien pertusis tetap pada anak usia < 1
tahun, sedangkan usia 11-19 tahun dan dewasa menunjukkan angka 44%.9
Hal ini menunjukkan masih terjadinya transmisi pertusis oleh pasien remaja
dan dewasa terhadap bayi yang belum terlindung imunisasi. 8,10

Patogenesis
Transmisi kuman pertusis terjadi melalui percik renik (droplet) yang berasal
dari percikan batuk atau bersin pasien pertusis yang terhirup ke saluran napas
atas oleh seseorang yang rentan.1-4 Proses transmisi ini terutama terjadi pada
saat awal penyakit yaitu pada fase kataral dan fase paroksismal awal.1-4 Masa
inkubasi pertusis umumnya 7-10 hari namun dapat berkisar antara 4-21 hari.
Pada kasus dengan kontak serumah seringkali didapatkan gejala klinis mulai
timbul hingga 4 minggu setelah awitan gejala pada sumber penularan.1-4
Setelah terpapar dengan kuman Bordetella pertusis, proses infeksi akan
berlanjut. Terdapat 4 tahapan penting dalam patogenesis infeksi pertusis
yaitu proses perlekatan (attachment), perubahan mekanisme pertahanan host
(evasion of host defenses), kerusakan lokal dan penyakit sistemik.4 Infeksi dimulai
dengan perlekatan kuman di saluran napas yaitu pada silia sel epitel bersilia.
Faktor adhesin yang dihasilkan kuman (FHA, PT, FIM, LPS, TcfA, Vag8, BrkA
dan PRN) akan memfasilitasi proses perlekatan ini.4,11,12Selanjutnya ACT dan
PT akan mempengaruhi fungsi sel imun sehingga infeksi akan berjalan terus
dan berlanjut. 4,11PT berfungsi mencegah migrasi limfosit dan makrofag ke
daerah infeksi dan mempengaruhi fungsi fagositosis. 1-4ACT akan memasuki
sel fagosit dan mengkatalisasi produksi cAMP yang berlebihan sehingga akan
menyebabkan intoksikasi netrofil dan menurunkan kemampuan fagositosis.4
Proses selanjutnya adalah terjadinya kerusakan lokal di saluran napas yang
difasilitasi oleh TCT, DNT dan ACT. TCT merupakan faktor yang paling
penting menyebabkan kerusakan pada sel bersilia di saluran napas.4,11 Pertusis
merupakan penyakit yang unik karena hanya memiliki satu manifestasi
klinissistemik pada kasus tanpa komplikasi yaitu terjadinya lekositosis dan
limfositosis yang disebabkan oleh PT.1-4 Peningkatan limfosit terjadi secara

61
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis

merata baik limfosit B maupun limfosit T.2,3 Pada infeksi Bordetella parapertusis
tidak terjadi limfositosis secara bermakna karena kuman ini tidak mengeluarkan
toksin PT.2,3

Variasi spektrum klinis pertusis


Manifestasi klinis infeksi Bordetella pertusis sangat bervariasi tergantung usia,
riwayat imunisasi atau infeksi sebelumnya. 3,4,13

Gejala Klasik
Gejala klasik pertusis umumnya terjadi pada infeksi primer yang mengenai anak
usia 1-10 tahun yang tidak diimunisasi (tidak mempunyai kekebalan). Gejala
ini akan berlangsung 6-20 minggu dan terdiri dari 3 tahap/fase:1-4

1. Fase Kataral (1-2 minggu)


Karakteristik fase kataral adalah adanya pilek, mata merah, lakrimasi,
malaise dan batuk ringan yang menyerupai selesma. Suhu tubuh dapat
normal atau demam ringan. Intensitas dan frekuensi batuk akan semakin
memberat dalam 1-2 minggu

2. Fase Paroksismal (1-4 minggu)


Fase ini didominasi oleh gejala batuk yang berat dan terjadi secara
paroksismal. Setiap serangan batuk terdiri dari 5-10 kali batuk yang keras
tanpa diawali inspirasi dan diakhiri oleh satu tarikan napas (inspirasi)
panjang yang menyebabkan bunyi whoop. Selama episode batuk, mukus
dalam jumlah besar akan dikeluarkan dan sering menimbulkan muntah.
Sianosis, bulging eyes, salivasi, protrusi lidah, lakrimasi dan distensi vena-
vena leher terjadi selama serangan batuk. Serangan ini dapat terjadi
beberapa kali dalam satu jam dan terjadi siang dan malam. Episode
paroksimal ini sangat melelahkan dan kadang-kadang menyebabkan pasien
menjadi apatis. Penurunan berat badan dapat terjadi akibat muntah dan
anak yang sulit makan dan minum. Serangan batuk dapat dipicu oleh
minum, menghisap, menguap, bersin dan aktivitas fisik. Diantara episode
serangan biasanya pasien tampak normal dan tidak ada sesak.

3. Fase Konvalesen (1-2 minggu)


Fase ini ditandai dengan intensitas dan frekuensi batuk yang secara
bertahap berkurang, termasuk episode muntah dan suara whoop. Batuk
non paroksismal dapat menetap selama beberapa bulan.

62
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Gejala pertusis ringan dan asimtomatik4


Gejala klinis nonklasik ringan cukup sering dijumpai pada infeksi kuman
pertusis. Umumnya hal ini terjadi pada anak yang telah diimunisasi sebelumnya,
namun dapat juga terjadi pada infeksi primer anak yang belum imunisasi.
Penelitian di Jerman pada kasus anak dengan batuk dan diperiksakan spesimen
swab nasofaringnya menunjukkan dari 1860 kasus dengan kultur Bordetella
pertusis yang positif didapatkan 38% kasus dengan gejala batuk < 28 hari,
18% dengan gejala batuk non paroksismal, 21% tanpa whoop dan 47% tanpa
gejala muntah pasca batuk. Pada penelitian kontak serumah sering didapatkan
infeksi asimtomatik pada anggota keluarga. Deen dkk mendapatkan 52 (46%)
dari 114 kontak serumah yang secara klinis sehat ternyata dalam pemeriksaan
labortoriumnya ditemukan infeksi Bordetella pertusis.14 Kasus pertusis yang
ringan dengan lama sakit yang singkat juga ditemukan pada infeksi Bordetella
parapertussis.

Gejala pertusis pada bayi1-4


Spektrum klinis pertusis pada bayi bervariasi tergantung usia, imunisasi serta
ada tidaknya antibodi yang didapat secara transplasenta. Angka kematian
tertinggi akibat pertusis umumnya terjadi pada saat neonatus atau pada
awal masa bayi. Pada usia neonatus, gejala pertusis diawali dengan kesulitan
minum, napas cepat dan batuk. Fase kataral sangat singkat atau bahkan
tidak ada. Umumnya neonatus tidak menunjukkan gejala batuk paroksismal
atau batuk yang khas untuk pertusis. Apnu, tampak seperti tersedak, sianosis
dan bradikardia seringkali menjadi gejala awal pertusis pada masa neonatus.
Gejala-gejala tersebut kadang-kadang tidak berhubungan dengan batuk. Gejala
ini umumnya dapat muncul saat usia 1 minggu dan kemudian memerlukan
perawatan di rumah sakit saat usia 2-3 minggu dan kadang-kadang memerlukan
intubasi endotrakeal dan bantuan ventilasi mekanik.
Bayi yang berusia < 3 bulan juga tidak menunjukkan gejala klasik. Fase
kataral biasanya berlangsung beberapa hari dan seringkali tidak diperhatikan.
Selanjutnya dipicu oleh suara, cahaya, gerakan menghisap atau gerakan
stretching, bayi yang awalnya normal akan tiba-tiba tampak seperti tersedak,
gasping, dan menunjukkan gerakan seperti mengayuh disertai wajah yang
memerah. Gejala batuk tidak dominan terutama pada fase awal penyakit.
Suara whoop jarang terjadi pada serangan paroksismal. Hal ini disebabkanpada
bayi usia < 3 bulan belum memiliki otot-otot napas yang kuat sehingga sulit
membuat tekanan intratorakal menjadi negatif secara tiba-tiba. Apnu dan
sianosis dapat mengikuti gejala batuk paroksismal, namun dapat juga apnu
merupakan gejala tunggal yang tidak berhubungan dengan batuk. Gejala

63
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis

apnu dan sianosis lebih sering dijumpai pada pertusis dibandingkan dengan
infeksi virus di saluran napas, termasuk Respiratory Syncitial Virus (RSV). Fase
paroksismal dan konvalesen pada bayi muda umumnya lebih panjang. Berbeda
dengan gejala klasik pada umumnya, batuk dan whooping akan menjadi semakin
jelas, keras dan klasik pada fase konvalesen. Fase konvalesen dapat berupa
gejala batuk paroksismal yang timbul secara intermiten hingga usia 1 tahun,
termasuk terjadinya eksaserbasi yang berlanjut menjadi gejala respiratorik
namun tidak berhubungan dengan adanya kekambuhan infeksi atau reaktivasi
dari kuman Bordetella pertusis.

Gejala pertusis pada remaja1-4


Remaja dan anak yang telah diimunisasi sebelumnya akan mengalami gejala
pertusis yang lebih singkat untuk setiap fase. Gejala klasik yang dijumpai
pada remaja dapat berupa rasa tercekik yang tiba-tiba diikuti oleh batuk yang
terus menerus (uninterrupted cough), rasa sufokasi, sakit kepala yang hebat,
kehilangan kesadaran tiba-tiba atau napas yang gasping, biasanya tanpa disertai
suara whoop. Muntah pasca batuk dan batuk paroksismal umumnya diselingi
jeda waktu beberapa jam. Remaja dengan pertusis biasanya tampak baik-baik
saja. Sekitar 30% remaja dengan pertusis memiliki gejala batuk yang tidak
spesifik, hanya ditandai dengan lama batuk yang > 21 hari. Keadaan inilah
yang seringkali membuat pertusis pada remaja tidak dikenali dan akhirnya
remaja ini menjadi sumber penularan bagi bayi dan anak usia muda. Pada
pemeriksaan fisis tidak dijumpai tanda infeksi saluran napas bawah, kecuali
jika diperberat dengan pneumonia bakterial sekunder. Perdarahan konjungtiva
dan petekie pada bagian atas tubuh lazim dijumpai.

Komplikasi pertusis1-4
Komplikasi akibat pertusis juga sangat bervariasi dan umumnya terjadi pada
bayi usia muda. Komplikasi pada sistim respiratori adalah bronkopneumonia
dengan atau tanpa atelektasis, hipertensi pulmonal, otitis media (umumnya
disebabkan sekunder oleh patogen lain). Pertusis juga sering dihubungkan
dengan aktivasi tuberkulosis laten. Apnu, asfiksia, bronkiektasis, emfisema
interstisial dan subkutan serta pneumotoraks.
Komplikasi di susunan saraf pusat dilaporkan mencapai 14% kasus.
Komplikasi ini meliputi ensefalopati dengan kejang, meningoensefalitis yang
dapat memburuk menjadi stupor atau koma. Perdarahan dan edema serebral
dapat terjadi. Gejala sisa jangka panjang dapat terjadi yaitu paralisis spastik
dan retardasi mental.

64
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Komplikasi lainnya meliputi kejang tetani akibat alkalosis berat karena


muntah hebat dan persisten, ruptur diafragma, fraktur tulang iga, ulkus pada
frenulum lidah, epistaksis, hernia inguinalis atau umbilikalis, prolaps rekti,
dehidrasi, SIADH, melena, perdarahan subkonjungtiva dan gangguan nutrisi.
Komplikasi yang jarang adalah sindrom hemolitik uremik dan paru hiperlusen
unilateral. Kematian umumnya disebabkan oleh pneumonia, hipertensi
pulmonal atau kematian mendadak akibat hipoksemia berat.

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Pertusis harus dicurigai pada individu dengan hanya gejala batuk atau dengan
gejala utama batuk, terutama jika tidak ada demam, malaise atau mialgia,
eksantem atau enantem, nyeri menelan, suara sesak, takipnea, mengi maupun
ronki. Pada kasus sporadik definisi kasus klinis adalah batuk > 14 hari dengan
minimal salah satu gejala, paroksismal, suara whoop, atau muntah pasca
batuk memiliki sensitivitas 81% dan spesifisitas 58% untuk diagnosis pertusis
dibandingkan dengan kultur.13,15 Pertusis harus dicurigai pada anak besar
dengan batuk yang semakin memberat pada 7-10 hari dimana gejala batuknya
tidak terus-menerus. Pertusis juga perlu dicurigai pada bayi< 3 bulan dengan
tampak seperti tersedak, gasping, apnu dan sianosis atau apparent life-threatening
event (ALTE).1,2
Infeksi adenovirus memiliki gejala yang mirip dengan pertusis, namun
dapat dibedakan dengan adanya demam, nyeri menelan dan kojungtivitis.2,3
Infeksi mikoplasma dapat menyebabkan episode batuk yang protracted namun
pasien umumnya memiliki gejala demam, sakit kepala dan gejala sistemik
sejak awal penyakit hingga timbul gejala batuk yang terus menerus serta
pada pemeriksaan fisis sering ditemukan ronki basah pada auskultasi dada.2,3
Walaupun demikian seringkali sulit membedakan infeksi pertusis dengan
mikoplasma hanya berdasarkan gejala klinis saja. Infeksi Chlamydia trachomatis
juga menjadi diagnosis banding pertusis.2-4 Pada infeksi Chlamydia didapatkan
batuk staccato, konjungtivitis purulen, napas cepat, ronki atau mengi.2
Pada pertusis didapatkan lekositosis (15.000-100.000 sel/ul) yang
disebabkan oleh limfositosis terutama pada fase kataral.1-4 Limfositosis yang
terjadi merata antara sel T dan sel B dengan bentuk sel normal, berbeda
dengan limfositosis akibat infeksi virus yang umumnya jenis limfositnya
atipikal dengan sel yang besar.2 Peningkatan netrofil menunjukkan adanya
infeksi bakterial sekunder. Kematian biasanya berhubungan dengan jumlah
lekositosis (94 vs 18 x 103 sel/uL) maupun trombositosis yang sangat tinggi
(782 vs 556 x 103 sel/uL).2 Hipoglikemia ringan kadang-kadang terjadi akibat
hiperinsulinemia ringan. Gambaran foto dada umumnya hanya menunjukkan
kelainan minimal atau infiltrat perihilar (butterfly appearance) dan gambaran

65
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis

atelektasis yang bervariasi.2,3 Gambaran konsolidasi parenkim umumnya jika


disertai infeksi bakterial sekunder, gambaran komplikasi dapat ditemukan
berupa pneumotoraks, pneumomediastinum, dan emfisema subkutan.2
Berbagai metode untuk konfirmasi pasti infeksi B.pertusis memiliki
keterbatasan dalam sensitivitas, spesifisitas maupun kepraktisan.2,12 Metode
diagnostik yang menjadi baku emas adalah kultur kuman. Kesulitan metode
ini adalah harus memperhatikan cara pengambilan, transportasi, dan tehnik
isolasi sampel.2,12 Spesimen diambil dengan aspirasi nasofaring atau swab
nasofaring. Spesimen dimasukkan ke media transpor khusus dan di kultur
(hasil kultur 7 hari).1-4 Polymerase chain reaction (PCR) terhadap spesimen
bilasan nasofaring memiliki sensitivitas yang sama dengan kultur.2,12 Rapid test
dengan menggunakan Direct Fluorescent Antibody (DFA) cukup baik untuk
mendeteksi antibodi B.pertussis dan B.parapertussis.2 Hasil positif pada PCR
dan DFA umumnya didapatkan fase kataral dan awal fase paroksismal untuk
anak yang belum diimunisasi. Tes serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap
antigen pertusis pada fase akut dan konvalesen merupakan metode diagnostik
yang paling sensitif untuk dilakukan pada anak yang sudah diimunisasi.2 Tes
diagnostik untuk mendeteksi IgA dan IgM pertusis atau antibodi terhadap
antigen lain selain PT bukan merupakan metode diagnostik yang baik untuk
pertusis.2

Tata laksana pertusis


Tujuan tata laksana pertusis adalah mengurangi jumlah serangan paroksismal,
mengevaluasi derajat keparahan batuk, memberikan bantuan saat serangan
paroksismal, memaksimalkan asupan nutrisi, istirahat yang cukup dan proses
penyembuhan tanpa gejala sisa.2,4
Indikasi rawat pertusis adalah usia < 3 bulan, usia 3-6 bulan kecuali
jika gejala saat paroksismal tidak berat, pasien dengan komplikasi dan
pasien dengan penyakit dasar tertentu seperti kelainan jantung, kelainan
neromuskular dan kelainan paru.1-4 Tujuan tata laksana di rumah sakit
adalah menilai progresifitas penyakit dan ancaman kematian saat serangan
paroksismal, mencegah dan mengatasi komplikasi dan mengedukasi orangtua
mengenai perjalanan penyakit dan perawatan yang akan diberikan di rumah.2
Selama perawatan perlu pemantauan laju nadi, laju napas dan pulse oxymetry,
sehingga derajat keparahan serangan paroksismal dapat dinilai. Karakteristik
serangan paroksismal yang tidak mengancam jiwa adalah lama <45 detik,
pasien tidak tampak biru, takikardia, bradikardia (tidak < 60x/menit pada
bayi), desaturasi yang secara spontan membaik di akhir serangan, adanya
kemampuan untuk whooping atau melakukan inspirasi yang adekuat di akhir
serangan dan mampu mengeluarkam sputum/mucous plug.2,3

66
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Pemberian antibotik terindikasi pada pasien tersangka pertusis atau


pertusis yang telah terbukti secara laboratoris. Antibiotik pilihan untuk pertusis
adalah golongan makrolid (tabel 2).2,3,16 Pasien yang dirawat dapat dipulangkan
jika dalam periode 48 jam derajat keparahan penyakit membaik atau tidak
bertambah buruk, tidak ada intervensi yang perlu dilakukan saat serangan,
asupan nutrisi baik, tidak ada komplikasi dan orangtua telah dipersiapkan
untuk perawatan di rumah.1-4 Pasien dengan pertusis sebaiknya dirawat di
ruang isolasi hingga 5 hari setelah pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik
profilaksis pada kontak serumah masih kontroversial. Namun American
Academy of Pediatric menganjurkan pemberian profilaksis pada semua kontak
serumah tanpa memandang usia atau status imunisasi.17

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Antibiotik pada Pertusis berdasarkan Usia2,3

Usia Azitromisin Eritromisin Klaritromisin TMP-SMZ


(Alternatif)
< 1 bulan 10mg/kg/hari;dosis Berhubungan Tidak Kontraindikasi pada
tunggal; 5 hari dengan hipertrofi direkomendasikan < 2 bulan
stenosis
pilorik,gunakan jika
azitromisin tidak
tersedia. 40-50 mg/
kg/hari dibagi 4
dosis;14hari
1-5 bulan 10mg/kg/hari;dosis 40-50 mg/kg/hari 15mg/kg/hari Kontraindikasi pada
tunggal; 5 hari dibagi 4 dosis;14 hari dibagi2 dosis;7 < 2 bulan. Pada
hari bayi≥ 2 bulan: TMP 8
mg/kg/hari plus SMZ
40 mg/kg/hari dibagi
2 dosis;14 hari
≥ 6 bulan dan 10mg/kg/hari dosis 40-50 mg/kg/hari 15mg/kg/hari TMP 8 mg/kg/hari
anak tunggal pada (maks 2 g/hari) dibagi dibagi2 dosis;7 plus SMZ 40 mg/kg/
hari pertama dan 4 dosis;14 hari hari (maks 1g/hari) hari dibagi 2 dosis;14
selanjutnya 5mg/kg/ hari
hari (maks 250 mg)
pada hari 2-5

Prognosis
Prognosis pertusis tergantung usia pasien, pada anak besar dan remaja
prognosis pertusis baik, sedangkan pada bayi memiliki risiko tinggi kematian
dan terjadinya ensefalopati.1-4 Adanya apnu dan kejang selama proses penyakit
menimbulkan gangguan intelektual pada pengamatan jangka panjang.2,3
Anak yang mengalami pertusis sebelum usia 2 tahun dilaporkan mengalami
abnormalitas pada fungsi parunya hingga saat dewasa.2,18

67
Mengenal Variasi Spektrum Klinis Pertusis

Simpulan
Pertusis masih merupakan masalah kesehatan global di seluruh dunia
walaupun 95% nya terjadi di negara berkembang. Kasus pertusis seringkali
tidak terdiagnosis atau tidak dikenali karena tidak semua kasus menunjukkan
gejala klasik yang khas yaitu batuk paroksismal disertai whooping. Spektrum
klinis pertusis sangat bervariasi tergantung usia, riwayat infeksi dan imunisasi
sebelumnya. Tata laksana pertusis adalah pemberian antibiotik pilihan yaitu
golongan makrolid dan terapi suportif. Kecermatan dalam mengenali gejala
pertusis terutama pada fase awal penyakit akan mengurangi risiko terjadinya
komplikasi dan kematian.

Daftar pustaka
1. Heininger U. Pertussis and other bordetella infections of the respiratory tract.
Dalam: Chernick V, Boat TF, Willmott RW, Bush A, penyunting. Philadelphia
PA: Elsevier Saunders; 2006. h.543-50.
2. Long SS. Pertusis (bordetella pertussis and bordetella parapertussis). Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St Geme III JW, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-19. Philadelphia PA: Elsevier Saunders;
2011.h.944-8.
3. Shehab ZM. Pertussis. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric
respiratory medicine. Edisi ke-2. Philadelphia PA: Elsevier Mosby;2008.h.589-97.
4. Cherry JD, Heininger U. Pertussis and other bordetella infections. Dalam: Feigin
RD, Demmler-Harrison GJ, Kaplan SL, Cherry JD, penyunting. Feigin & Cherry’s
textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia PA: Elsevier
Saunders;2009.h.1683-1706.
5. Tan T, Trindade E, Skowronski. Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J.
2005;24: S10-18.
6. World Health Organization: Pertussis vaccines: WHO position paper. Weekly
epidemiological record. 2010;40:385-400.
7. Cherry JD. The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology
of the disease pertussis with the epidemiology of bordetella pertussis infection.
Pediatrics. 2005;115:1422-27.
8. Wood N, Mcintyre P. Pertussis: review of epidemiology, diagnosis, management
and prevention. Paediatr Resp Rev. 2008;9:201-12.
9. Centers for Disease Control and Prevention: Surveillance and Reporting. Trends
Pertussis USA 1990-2010.National Notifiable Diseases Surveillance System 2010.
10. Wendelboe AM, Njamkepo E, Bourillon A, Floret D, Gaudelus J, Gerber M,
dkk. Transmission of bordetella pertussis to young infants. Pediatr Infect Dis J.
2007;26:293-9.
11. Hewlett EL. Pertussis: current concept of pathogenesis and prevention. Pediatr
Infect Dis J. 1997;16:S78-84.

68
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

12. Matto S, Cherry JD. Molecular pathogenesis, epidemiology and clinical


manifestation of respiratory infections due to bordetella pertussis and other
bordetella subspecies. Clin Microbiol Rev. 2005;18:326-82.
13. Cherry JD, Grimprel E, Guiso N, Heininger U, Mertsola J. Defining pertussis
epidemiology, clinical, microbiologic and serologic perspectives. Pediatr Infect
Dis J. 2005;24:S25-S34.
14. Deen JL, Mink CM, Cherry JD, dkk. A household contact study of bordetella
pertussis infections in adults. Clin Infect Dis. 1995;21:1211-9.
15. Ghanaie RM, Sadeghi H, Esteghamati A, Falah F, Shamsiri A, Karimi A.
Sensitivity and specificity of world health organization proposed symptoms for
pertussis. Am J Respir Crit Care Med. 2010;181:A3267.
16. Von Konig CHW. Use of antibiotics in the prevention and treatment of pertussis.
Pediatr Infect Dis. 2005;24:S66-8.
17. American Academy of Pediatrics: Active immunization. Pertussis. Dalam:
Pickering LK, penyunting: 2003 Red Book. Report of the Committee on Infectious
Disease. Elk Grove Village, III: American Academy of Pediatrics, 2003. h.472-86.
18. De Greeff SC, Van Buul LW, Westerhof A, Wijga AH, De Kassteele JV, Oostvogels
B. Pertussis in infancy and the association with respiratory and cognitive disorders
at toddler age. Vaccine. 2011;29:8275-8.

69
Strategi Terapi Tuberkulosis
dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap
Darmawan B Setyanto

Tujuan:
1. Memahami konsep dasar terapi Tuberkulosis (TB)
2. Memahami mekanisme dan bahaya terjadinya resistensi obat TB
3. Mengerti maksud obat dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap (KDT),
memahami kelebihan dan kekurangannya

Dalam tata kelola suatu penyakit, ada dua komponen utama yaitu diagnosis
dan tata laksana. Untuk penyakit TB pada anak, aspek diagnosis mempunyai
masalah yang lebih besar, yaitu sangat sulitnya menegakkan diagnosis pasti,
akibat berbagai keadaan yang khusus dijumpai pada pasien anak. Secara
umum, makin muda umur anak, makin sulit penegakan diagnosisnya. Masalah
utamanya adalah kesulitan mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan
mikrobiologi diagnostik. Walaupun dalam tata laksana TB anak tidak
menghadapi masalah sebesar aspek diagnosis, namun tetap harus diperhatikan
prinsip dasar terapi, berbagai potensi masalah yang dapat timbul dan kiat untuk
mengatasinya. Dalam aspek tata laksana TB, maka pemantauan terapi perlu
mendapat perhatian khusus. Pemantauan meliputi keteraturan terapi, respons
klinis, dan penilaian timbulnya efek samping obat.
Menurut Pedoman Tata kelola TB Anak yang diterbitkan oleh World
Health Organization (WHO) pertama kalinya pada tahun 2006, tujuan utama
tata laksana TB adalah:1
yy Menyembuhkan pasien TB, dengan mengeliminasi secara cepat sebagian
besar kuman TB
yy Mencegah kematian dan kecacatan
yy Mencegah kambuhnya TB, dengan meminimalkan kuman TB dorman
yy Mencegah terjadinya resistensi obat
yy Mencegah risiko penularan ke orang lain
Secara garis besar, tujuan akhir tata laksana TB adalah untuk
menyembuhkan pasien dan memperkecil risiko penularan kepada orang lain.
Dengan demikian keberhasilan tata laksana memberi manfaat untuk pasien
dan komunitas di sekitar pasien tinggal. Atas dasar itu, maka dokter yang

70
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

menatalaksana pasien TB, baik di layanan publik maupun swasta, mengemban


fungsi kesehatan masyarakat. Tanggung jawab dokter bukan hanya meresepkan
obat dengan paduan dan dosis yang sesuai, tetapi juga ikut mengawal tuntasnya
terapi yang dijalani pasien. Penting diperhatikan bahwa tata laksana pasien
sebaiknya dilakukan secara individual, disesuaikan dengan keadaan klinis
dan sosial masing-masing pasien yaitu pelayanan yang berpusat pada pasien
(patient-centered care).2

Obat TB pada anak


Mayoritas kuman TB ditemukan dalam jumlah besar di dalam kavitas di paru.
Pada pasien TB paru dewasa seringkali ditemukan kavitas di apeks paru, namun
relatif jarang ditemukan pada anak di bawah usia13 tahun, yaitu hanya sekitar
6% atau kurang. Anak-anak yang mengalami TB paru biasanya mempunyai
jumlah kuman yang sedikit dalam tubuhnya (pauci-bacillary). Sebaliknya, anak
lebih sering mengalami TB ekstraparu dibanding pasien dewasa. TB berat dan
TB diseminata seperti meningitis TB dan TB milier biasanya terjadi pada anak
di bawah usia 3 tahun. 1
Jumlah kuman dan jenis penyakit TB dapat memengaruhi keberhasilan
tata laksana. Hasil terapi TB pada anak biasanya baik, bahkan pada anak yang
lebih kecil dan imunokompromais yang mempunyai risiko lebih tinggi untuk
mengalami perburukan penyakit dan penyakit TB diseminata, asalkan terapi
diberikan dengan segera. Efek samping obat TB relatif jarang ditemui sejauh
paduan dan dosis obat yang diberikan mengikuti pedoman.1
Obat TB yang dianjurkan oleh WHO dan berbagai lembaga otoritatif di
bidang TB, dibagi menjadi 2 lini. Lini pertama adalah obat TB yang digunakan
pertama kali pada seorang pasien, terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R),
pirazinamid (Z), dan etambutol (E). Obat lini kedua adalah obat yang
digunakan pada pasien yang telah mengalami resistensi terhadap obat lini
pertama. Terapi TB berlangsung dalam waktu relatif lama, minimal 6 bulan,
terdiri dari fase awal/inisial/intensif selama 2 bulan dan fase lanjutan/rawatan
selama 4 bulan berikutnya. Fase awal pada anak biasanya cukup dengan 3
obat, berbeda dengan pasien dewasa yang memerlukan 4 obat, hal ini karena
pada anak populasi kuman biasanya rendah dan anak umumnya tidak dapat
meminum terlalu banyak obat.2

Dosis dan paduan obat TB anak


Pada tahun 2010 WHO menerbitkan sebuah publikasi berjudul RAPID
ADVICE Treatment of tuberculosis in children. Publikasi ini berisi rekomendasi

71
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap

pemutakhiran dosis obat TB khusus untuk anak. Rekomendasi ini mengoreksi


dosis obat yang sebelumnya tercantum dalam pedoman yang diterbitkan tahun
2006. Secara umum dosis obat TB anak perkilogram berat badan lebih besar
daripada pasien dewasa.3
Mempertimbangkan risiko hepatotoksitas obat, WHO merekomendasikan
dosis untuk obat TB anak sebagai berikut: 3
yy Isoniazid (H) – 10 mg/kg (10–15 mg/kg); maksimum 300 mg/hari
yy Rifampisin (R) – 15 mg/kg (10–20 mg/kg); maksimum 600 mg/hari
yy Pirazinamid (Z) – 35 mg/kg (30–40 mg/kg)
yy Etambutol (E) – 20 mg/kg (15–25 mg/kg)
Anak dengan TB paru atau limfadenitis TB serta negatif HIV, berada
di daerah dengan prevalens HIV rendah atau prevalens resistensi isoniazid
rendah, dapat diobati dengan paduan tiga obat (HRZ) selama 2 bulan diikuti
paduan dua obat (HR) selama 4 bulan. Anak yang tinggal di daerah dengan
prevalens HIV tinggi dan/atau resisten isoniazid tinggi, yang didiagnosis TB
paru atau limfadenitis TB, atau anak dengan TB paru luas (extensive) harus
diobati dengan paduan empat obat (HRZE) selama 2 bulan diikuti dengan
paduan dua obat (HR) selama 4 bulan.3

Konsep dasar terapi TB


Mycobacterium tuberculosis merupakan organisme aerobik yang tumbuh lambat
dan dapat berada dalam keadaan dorman dalam jangka waktu lama. Akibatnya
perlu dilakukan terapi obat kombinasi dalam jangka relatif lama untuk
mencegah terjadinya kekambuhan dan mencegah berkembangnya resistensi
kuman.4 Salah satu sifat kuman TB adalah membelah dengan lambat. Dari
kecepatan pembelahannya secara hipotetis kuman TB dibagi menjadi empat
populasi kuman. Populasi A adalah kuman yang membelah dengan relatif
cepat, populasi kuman B membelah lambat, populasi kuman C membelah
sangat lambat atau sporadik, sedangkan populasi D tidak membelah diri atau
dalam keadaan dorman. Antibiotik - termasuk obat TB - efektif bekerja pada
kuman yang sedang tumbuh atau aktif membelah, namun tidak efektif pada
kuman yang tidak tumbuh. Semakin aktif suatu kuman membelah, semakin
mudah dibunuh dengan obat, begitu juga sebaliknya. Itu sebabnya kuman
dalam keadaan dorman tidak dapat atau sulit dimatikan dengan obat.4,5
Terapi TB harus diberikan dalam bentuk paduan (regimen) obat kombinasi
(multitherapy) tidak boleh obat tunggal (monotherapy). Terapi diberikan dalam
waktu yang relatif lama, minimal 6 bulan yang terbagi menjadi 2 fase yaitu
fase awal selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 4 bulan. Tujuan fase awal
atau fase intensif adalah untuk mengeliminasi dengan cepat mayoritas kuman

72
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

TB dan mencegah terjadinya resistensi obat. Fase ini menggunakan jumlah


obat yang lebih banyak yaitu minimal paduan tiga macam obat. Tujuan fase
lanjutan adalah untuk mengeradikasi kuman dorman, sehingga menekan risiko
terjadinya kekambuhan. Jumlah obat yang digunakan pada fase ini lebih sedikit
karena risiko terjadinya resistensi obat rendah dan sebagian besar kuman sudah
dieliminasi dalam fase awal.4
Paduan obat diberikan dalam kombinasi dengan dua alasan. Alasan
pertama adalah masing-masing obat TB mempunyai efektivitas yang berbeda
untuk masing-masing populasi kuman TB. Untuk populasi A maka urutan
efektivitasnya adalah yang pertama isoniazid, diikuti rifampisin dan etambutol.
Untuk populasi B, urutannya adalah rifampisin diikuti isoniazid. Sedangkan
untuk populasi C, pirazinamid paling efektif diikuti isoniazid dan rifampisin.

Secara skematik dapat digambarkan sebagai berikut:5

Alasan kedua adalah pemberian obat tunggal untuk terapi TB akan


menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut. Penyakit TB adalah hasil
interaksi antara imunitas tubuh dengan kuman TB dalam hal ini adalah
jumlah dan virulensinya. Jumlah kuman TB yang dapat menyebabkan sakit
TB minimal 106. Secara mikrobiologi, dalam setiap 106 hingga 108 populasi
kuman, akan ada 1 kuman yang bermutasi spontan, dan sejak awal resisten
terhadap 1 jenis obat TB tertentu.4,6
Bila kita memberikan monoterapi untuk pasien sakit TB, maka pada
masa awal terapi, kuman yang sensitif akan mati, tapi 1 kuman yang resisten
akan terus berbiak dan bertambah banyak. Pada fase awal, jumlah kuman
TB secara keseluruhan akan menurun, karena sebagian besar kuman yang
sensitif akan mati secara bertahap. Namun setelah beberapa waktu jumlah
kuman yang resisten akan bertambah banyak atau meningkat. Hal ini yang

73
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap

dikenal dengan sebutan the fall and rise phenomenon. Secara klinis, pasien
akan terlihat membaik pada beberapa minggu awal terapi, namun setelah itu
akan memburuk.7

Masalah dalam terapi TB


Paduan obat untuk pasien dewasa agak kompleks karena dibedakan antara
kategori 1 yaitu untuk pasien yang ditemukan basil tahan asam (BTA) dalam
dahaknya, kategori 2 untuk yang BTA-nya negatif. Kemudian ada obat untuk
pasien yang mengalami putus obat, obat sisipan dan beberapa hal lain terkait
dengan terapi TB dewasa. Paduan obat TB anak relatif lebih sederhana.
Lama terapi 6 bulan disebut sebagai terapi jangka pendek (short-course
therapy) karena dibandingkan dengan terapi di masa lalu, TB memerlukan
waktu terapi lebih lama yaitu 9-12 bulan, bahkan hingga 18 bulan.5 Walau
demikian, 6 bulan bukan waktu yang pendek, terutama bagi yang menjalaninya.
Itu sebabnya keteraturan (adherence) atau dulu disebut kepatuhan (compliance)
dalam menjalani terapi menjadi masalah utama. Pada pasien anak, orang tua
atau anaknya tidak jarang merasa bosan untuk minum obat tiap hari selama
berbulan-bulan. Terapi terkadang berhenti setelah dua bulan terapi karena
biasanya dalam dua bulan pertama terjadi perbaikan klinis yang nyata yang
oleh pasien keliru dianggap sebagai sudah sembuh. Banyaknya jumlah dan
jenis obat juga sering menjadi penyebab terhenti atau tidak teraturnya terapi.
Apapun alasannya: pemberian monoterapi, terhentinya terapi, terapi putus
sambung, terapi tidak teratur akan berdampak sebagai gagal terapi, dan yang
paling ditakutkan adalah terjadinya resistensi, apalagi resistensi mutipel (multi-
drug resistance – MDR).8

74
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Mengelola pasien TB yang resisten obat merupakan kesulitan yang


sangat besar. Sulit bagi pasien dan keluarganya, dokter dan penyedia
layanan kesehatan, masyarakat secara keseluruhan, serta pemerintah sebagai
penanggung-jawab masalah kesehatan masyarakat. Kesulitan yang harus
dihadapi sungguh luar biasa, dan mungkin tidak tertanggungkan. Tata kelola
pasien MDR memerlukan obat yang sangat banyak, waktu terapi lebih panjang
(24 bulan), risiko terjadinya efek samping lebih besar, dan membutuhkan
biaya puluhan kali bahkan bisa ratusan kali lipat dibanding TB yang tidak
resisten obat. Oleh karena itu pentingnya pencegahan terjadinya TB resisten
obat harus disadari oleh semua pihak terkait, yang kemudian bekerjasama
melakukan pencegahan.
Terkait dengan luar biasa besarnya biaya penanggulangan TB resisten
obat, prioritas tertinggi harus diberikan kepada usaha pencegahan timbulnya
resistensi obat. Langkah paling penting untuk itu adalah menjamin tata
laksana yang adekuat untuk semua pasien TB. Resistensi obat didapat biasanya
sebagai dampak dari terapi yang tidak teratur, misalnya sering terputus yang
berlangsung cukup lama sehingga kuman yang belum sepenuhnya berhasil
dimusnahkan mulai tumbuh lagi. Hal ini yang disebut dengan ‘sequential
regimen’.7 Penyebab lain adalah pemberian obat tunggal (monoterapi) yang
juga berujung pada resistensi. Terapi yang terputus berulang terbukti sebagai
penyebab utama timbulnya resistensi terhadap obat.9,10 Bila menggunakan obat
dalam bentuk lepas/terpisah, pasien lebih berpotensi untuk menggunakan satu
obat dan menghentikan obat yang lain sehingga berlangsung monoterapi dan
mengarah ke resistensi.11

Strategi DOTS (Directly observe treatment short-course


therapy strategy)
Untuk mengatasi berbagai masalah dalam tata kelola TB dan meningkatkan
keberhasilan pengendalian TB secara nasional di tiap negara, maka pada
awal tahun 1990-an, WHO bersama dengan lembaga lainnya yang terkait
TB mengembangkan dan menggunakan strategi DOTS yang terdiri dari 5
komponen utama:
1. Komitmen dari pemerintah, dan berbagai pihak yang terkait dalam tata
kelola TB
2. Tersedianya sarana diagnostik bermutu yaitu dengan tersedianya sarana
dan prasarana pemeriksaan dahak dengan mikroskopik bermutu
3. Pengawasan langsung minum obat (Directly observe therapy – DOT)
4. Ketersediaan obat bermutu
5. Sistem rekam-lapor (recording & reporting)yang berjalan baik

75
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap

Strategi ini sudah mengalami berbagai penelitian dan dinilai merupakan


strategi yang padan biaya (cost effective) untuk mengendalikan TB secara
nasional di suatu negara. Strategi DOTS secara keseluruhan meningkatkan
keberhasilan tatakelola TB secara individu dan secara keseluruhan/nasional
di suatu negara. Untuk tingkat individu, komponen ketiga yaitu pengawasan
langsung minum obat meningkatkan keteraturan pasien dalam menjalani
terapi TB.12

Obat kombinasi dosis tetap (KDT)


Paduan obat TB dapat diberikan dalam bentuk terpisah (separate drugs) = obat
lepas (loose drugs) = obat tunggal (single drug) dalam pengertian yang sama,
yaitu dalam satu sediaan tablet/kapsul hanya berisi satu obat saja. Paduan obat
juga dapat diberikan dalam bentuk KDT (fixed dose combination – FDC). Obat
KDT adalah dua atau lebih obat yang dibuat dalam satu tablet/ kapsul, dengan
formula dosis yang tetap. Obat KDT umumnya digunakan pada penyakit kronik
yang memerlukan lebih dari satu obat dalam jangka waktu lama, misalnya
hipertensi dan diabetes melitus. Dalam makalah ini yang dimaksud KDT
adalah obat TB dalam bentuk KDT.
Untuk menjaga mutu kandungan kadar obat TB, dalam penyediaannya
tidak boleh dicampur dalam satu racikan. Terutama rifampisin tidak boleh
diracik menjadi satu dengan isoniazid dalam bentuk puyer atau dikapsulkan.
Pencampuran demikian akan menyebabkan penurunan bioavailabilitas
(bioavailability) rifampisin dan juga isoniasid menjadi tidak stabil. Hal ini yang
menjadi salah satu perhatian dalam pembuatan KDT. Diperlukan kecanggihan
teknologi farmasi untuk dapat membuat dua atau lebih obat dalam satu sediaan
tanpa mengganggu bioavailabilitas maupun stabilitas dari tiap komponen obat.

Kendali mutu
Sepanjang tahun 1980an dan 1990an, kualitas KDT menjadi perhatian
banyak pihak, karena di pasar global ditemukan KDT yang substandar dan
bioavailabilitas rifampisin yang tidak baik.13,14
Bioavailabilitas adalah jumlah yang terserap ke dalam darah dari obat
yang ditelan. Rifampisin merupakan obat yang paling rentan untuk mengalami
penurunan bioavailibiltas bila dicampur dengan obat lain dalam pembuatannya.
Dalam bentuk KDT, terutama yang berisi 3 dan 4 obat dapat mengakibatkan
rendahnya kadar rifampisin dalam darah, sehingga berikutnya akan terjadi
kegagalan terapi. Namun, bila bila KDT dibuat sesuai dengan baku pembuatan
obat yang baik (GMP – Good manufacturing practice) maka akan dihasilkan

76
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

bioavailabilitas yang setara dengan obat lepas.15,16 Hanya KDT yang sudah
diujicoba pada manusia yang seharusnya dipakai.17,18
WHO seperti berbagai lembaga TB dunia lain menentukan bahwa KDT
yang dipakai di suatu negara harus sudah melalui uji mutu yang menunjukkan
bahwa kualitasnya tidak lebih rendah dibanding obat lepas (non-inferiority).19
Obat KDT yang ada saat ini telah sepenuhnya bioekuivalen dengan obat
lepas sebagai pembanding,20,21,22 dengan efektivitas yang stabil bahkan hingga
6 bulan di daerah tropis.23,24

Sediaan obat KDT anak


Obat KDT tersedia untuk pasien dewasa maupun untuk pasien anak. Obat
KDT anak tersedia dalam bentuk tablet yang dapat larut sendiri dalam air
(dispersible tablet). Sesuai dengan fase terapi TB, tersedia obat KDT anak untuk
fase awal dan obat KDT untuk fase lanjutan. Untuk fase awal, 1 tablet KDT
anak berisi isoniazid (H) 50 mg, rifampisin (R) 75 mg, dan pirazinamid (Z)
150 mg. Untuk fase lanjutan, 1 tablet KDT anak berisi isoniazid (H) 50 mg,
dan rifampisin (R) 75 mg. Jadi formula KDT anak untuk fase lanjutan sama
dengan KDT anak fase awal namun tanpa pirazinamid. Formulasi KDT anak
ini berasal dari UKK Respirologi IDAI.25
Secara internasional pada awalnya tersedia formulasi KDT anak menurut
WHO yang agak berbeda dengan formulasi IDAI. Perbedaannya adalah pada
dosis H dan R yang lebih rendah. Tahun 2006 WHO menerbitkan Pedoman
Tata kelola TB Anak (Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children). Dalam pedoman tersebut disebutkan
bahwa dosis isoniazid 4-6 mg/kgBB dan dosis rifampisin 8-12 mg/kgBB.
Berdasarkan pedoman tersebut, formulasi KDT versi awal WHO dosis
isoniazid hanya 30 mg dan dosis rifampisin hanya 60 mg untuk tiap tabletnya,
sedangkan dosis pirazinamid sama yaitu 150 mg. Dosis tersebut mengacu pada
dosis pasien dewasa.1
Dosis obat TB untuk anak perlu lebih tinggi karena tingkat metabolisme
obat pada anak lebih tinggi. Untunglah WHO kemudian menyadari
kekeliruannya dan memperbaikinya dengan menerbitkan RAPID ADVICE
seperti telah disebutkan di depan. Berdasarkan formula IDAI, maka penggunaan
KDT anak dibagi menurut kelompok berat badan seperti berikut ini:

77
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap

Tabel 1. Daftar jumlah obat KDT anak perkelompok berat badan


Berat badan (kg) Fase awal H50,R75,Z150 Fase lanjutan
H50,R75
05 - 09 1 tablet 1 tablet
10 - 14 2 tablet 2 tablet
15 - 19 3 tablet 3 tablet
20 - 30 4 tablet 4 tablet

Kelebihan KDT
Obat KDT mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan obat lepas.
Komponen keempat strategi DOTS adalah ketersediaan obat bermutu. Dalam
skala besar, misalnya dalam program TB nasional, penyediaan obat dalam
bentuk KDT akan mempermudah logistik (program friendly). Jenis sediaan
akan menjadi lebih sedikit, sehingga pengadaan, distribusi, dan penyimpanan
akan lebih sederhana. Dengan demikian penggunaan obat KDT akan
meningkatkan efisiensi penyediaan obat.26 Obat lepas, besar kemungkinannya
akan mempunyai masa daluarsa yang berbeda-beda sehingga berpotensi tidak
lengkapnya paduan obat TB yang harus diberikan bila salah satu obat telah
lebih dulu mencapai masa daluarsanya. Keadaan demikian tidak akan terjadi
pada obat dalam bentuk KDT.
Bagi penyedia layanan kesehatan, obat KDT juga akan mempermudah
dalam pemberian dan peresepan obat terutama untuk pasien anak. Dosis obat
pada anak dihitung berdasarkan berat badan. Dengan demikian untuk tiap
pasien, dokter harus menghitung dosis secara individual. Dalam bentuk KDT
anak, maka peresepan menjadi sederhana karena pasien hanya digolongkan
menjadi 4 kelompok berdasarkan rentang berat badan, yang masing-masing
mendapat 1, 2, 3 atau 4 tablet KDT. Hal ini akan meningkatkan terapi yang
tepat dan mengurangi kemungkinan kekeliruan peresepan oleh dokter.26
Bagi pasien, pemberian obat dalam bentuk KDT akan meningkatkan
keteraturan menjalani terapi.26,27 Untuk pasien anak, pemberian obat dilakukan
oleh orang tuanya. Dalam bentuk KDT anak, pemberian obat juga menjadi
lebih mudah, karena dengan sekali pemberian, sekaligus dua hingga tiga obat
dikonsumsi oleh anaknya. Dengan demikian obat KDT akan meningkatkan
keteraturan minum obat pada pasien, dan pasien lebih besar kemungkinannya
untuk menyelesaikan terapinya.26
Rifampisin terkadang digunakan untuk mengobati infeksi lain dan
dijual bebas di banyak negara. Penggabungan rifampisin dalam KDT akan
menghindarkan penggunaan rifampisin untuk infeksi lain, sehingga dapat
menjaga efektivitas rifampisin untuk tuberkulosis. 26 Pemberian obat dalam

78
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

bentuk KDT juga dengan sendirinya akan menghindarkan salah satu penyebab
utama timbulnya resistensi, yaitu pasien tidak mungkin mendapatkan
monoterapi, karena dalam obat KDT minimal mengandung dua macam
obat. Obat KDT akan memperkecil risiko terjadinya resistensi obat TB.
Walaupun sudah menggunakan obat KDT, komponen ketiga strategi DOTS
yaitu pengawasan langsung minum obat (DOT – directly observe therapy) tetap
perlu dilaksanakan.22,26

Kekurangan KDT
Sekalipun obat KDT mempunyai beberapa keunggulan, ada beberapa hal
yang dinilai sebagai kelemahan obat KDT. Pencampuran beberapa obat dalam
satu tablet/kapsul akan menyebabkan interaksi obat. Yang menjadi perhatian
utama adalah berkurangnya bioavailabilitas rifampisin dan instabilitas isoniazid.
Untuk mengatasi hal ini, WHO telah mengeluarkan aturan yang ketat untuk
menjaga kendali mutu obat KDT.
Obat KDT, karena dosisnya yang tetap, maka penggunaannya secara
berkelompok sesuai berat badannya. Dengan demikian, dosis untuk tiap anak
tidak akurat perhitungannya. Untuk anak dengan BB paling rendah dalam
kelompoknya, akan mendapat dosis yang lebih besar, sedangkan anak dengan
BB paling tinggi dalam kelompoknya akan mendapat dosis lebih kecil. Ini
memang merupakan konsekuensi dari pemberian obat secara massal. Keadaan
ini dapat diibaratkan seperti membuat baju dalam ukuran baku yaitu ukuran
kecil (S), sedang (M), dan besar (L). Hal ini berbeda dengan perhitungan
dosis secara individual yang ibarat membuat baju sesuai ukuran masing-masing
(tailor made). Namun hal ini sudah diperhitungkan, bahwa walaupun terdapat
variasi dosis obat, namun semua masih dalam rentang dosis yang dianjurkan.
Kelemahan lain adalah, bila timbul efek samping, maka akan sulit
mengidentifikasi komponen obat mana yang berperan, termasuk jika terjadi
alergi obat. Bila itu terjadi maka obat KDT harus dihentikan pemberiannya.
Berbeda dengan obat terpisah yang dapat lebih mudah diidentifikasi mana
yang bermasalah dan cukup obat tersebut yang dihentikan dan jika perlu
diganti. Oleh karena itu dalam penyediaan obat TB, di samping obat KDT
tetap diperlukan obat lepas dalam jumlah sedikit untuk kebutuhan tata laksana
reaksi simpang obat. Dari segi kekerapan terjadinya reaksi simpang obat TB,
ternyata pemberian dalam bentuk KDT tidak lebih tinggi daripada pemberian
dalam bentuk terpisah.22
Harga obat dalam bentuk KDT lebih mahal dibandingkan penjumlahan
biaya obat yang sama dalam bentuk terpish. Mahalnya harga obat KDT dapat
dipahami karena teknologi farmasi yang dibutuhkan untuk membuatnya

79
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap

memang lebih maju, dengan sendirinya memerlukan investasi biaya yang lebih
besar. Namun diharapkan dengan adanya pemakaian obat KDT dalam jumlah
besar disertai persaingan di antara farmasi pembuat KDT akan membuat
harganya berkurang, paling tidak mendekati harga obat dalam bentuk terpisah.
Sebagai tambahan, obat dalam bentuk KDT akan mengurangi biaya logistik
sehingga bisa berdampak mengurangi biaya obat secara keseluruhan.28 Dan
tidak boleh dilupakan, seperti telah dibahas di depan, penggunaan obat KDT
akan jauh mengurangi risiko terjadinya resistensi obat. Suatu masalah yang
jika terjadi akan memerlukan biaya penanggulangan yang sangat jauh lebih
besar dibandingkan selisih biaya obat KDT dibanding obat terpisah.

Simpulan
Tata laksana TB anak berupa terapi dengan paduan obat mempunyai beberapa
aspek yang perlu diperhatikan agar kesembuhan dapat dicapai dan tidak terjadi
resistensi obat TB. Beberapa hal pokok yang perlu mendapat perhatian:
yy Kuman TB merupakan kuman yang sangat spesial karena berbagai
karakteristik yang dimilikinya antara lain karena terdiri dari populasi yang
berbeda berdasarkan keaktifannya membelah diri. Hal ini terkait dengan
potensi terjadinya resistensi dan perlunya diberikan lebih dari satu obat
untuk terapinya.
yy Terapi TB diberikan dalam waktu relatif lama, minimal 6 bulan, terus
menerus , tidak putus sambung atau terhenti sebelum waktunya
yy Terapi TB harus dalam bentuk paduan obat minimal tiga obat dalam fase
awal, dan paduan dua obat dalam fase lanjutan, tidak boleh monoterapi
yy Resistensi terhadap obat TB dapat terjadi karena:
–– Monoterapi
–– Dosis tidak adekuat
–– Terapi terhenti sebelum waktunya
–– Terapi terputus cukup lama dan atau berulang
yy Strategi DOTS merupakan cara yang efektif untuk melakukan tata kelola
TB baik secara individu maupun secara program dalam skala besar
yy Obat TB dalam bentuk KDT mempunyai berbagai keunggulan yang dapat
meningkatkan keteraturan terapi dan menghindarkan atau mengurangi
risiko terjadinya resistensi obat
yy Obat KDT lebih nyaman (friendly) untuk pasien, dokter, maupun
pelaksana program TB
yy Bukti medis tentang keunggulan obat KDT cukup banyak, baik untuk
dewasa maupun anak

80
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

yy WHO dan berbagai lembaga otoritatif lain di bidang TB merekomendasikan


penggunaan obat KDT
yy Untuk TB anak, di Indonesia tersedia obat TB dalam bentuk KDT
dengan formulasi dari IDAI yang pengelompokannya sederhana dan
mudah diingat.
Dengan memahami pentingnya pemberian terapi TB yang benar akan
mendorong kita melakukannya dengan benar dan berarti kita melaksanakan
tanggung jawab kita sebagai dokter secara medis individual dan kesehatan
masyarakat.

Daftar pustaka
1. WHO Childhood TB Subgroup. Guidance for national tuberculosis programmes
on the management of tuberculosis in children. Geneva: WHO Press, 2006. h.
10-16.
2. American Thoracic Society, Centers for Disease Control and Prevention, and
Infectious Diseases Society of America. Treatment of Tuberculosis. Am J Respir
Crit Care Med. 2003; 167:603-62.
3. Guideline group. Rapid Advice, Treatment of tuberculosis in children. Geneva:
WHO Press, 2010. h.3-4.
4. Toman K. How does tuberculosis treatment work? Dalam: Toman’s tuberculosis,
case detection, treatment, and monitoring. Geneva WHO Press, 2004. h.102-105.
5. Yin Zhang. The magic bullets and tubeculosis drug targets. Ann Rev Pharmacol
Toxicol. 2005;45:529-64.
6. Pablos-Mendez A. How many drug-resistant tubercle bacilli can be found in the
sputum of patients who have never received treatment for tuberculosis? Dalam:
Toman’s tuberculosis, case detection, treatment, and monitoring. Geneva WHO
Press, 2004. h.203-6
7. Espinal M. What is the ‘fall and rise’ phenomenon and the ‘sequential regimen’
mechanism? Dalam: Toman’s tuberculosis, case detection, treatment, and
monitoring. Geneva WHO Press, 2004. h.200-2
8. Toman K. How does drug resistance develop? Dalam: Toman’s tuberculosis, case
detection, treatment, and monitoring. Geneva WHO Press, 2004. h.193-4.
9. Mitchison DA. How drug resistance emerges as a result of poor compliance during
short course chemotherapy for tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 1998;2:10–5.
10. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society. Chemotherapy
and management of tuberculosis in the United Kingdom: Recommendations
1998. Thorax. 1998;53:536–48.
11. Blomberg B, Spinaci S, Fouri B, Laing R. The rationale for recommending fixed-
dose combination tablets for treatment of tuberculosis. Bul WHO. 2001;79:61-8.
12. Maher D. What is DOTS? A Guide to Understanding the WHO-recommended
TB Control Strategy Known as DOTS. Geneva: WHO Press, 1999.

81
Strategi Terapi Tuberkulosis dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap

13. Pillai G, Fourie P B, Padayatchi N, et al. Recent bioequivalence studies on fixed-


dose combination anti-tuberculosis drug formulations available on the global
market. Int J Tuberc Lung Dis 1999; 3 (Suppl 3): S309–S316; discussion S17–S21.
14. Laserson K F, Kenyon A S, Kenyon T A, Layloff T, Binkin N J. Substandard
tuberculosis drugs on the global market and their simple detection. Int J Tuberc
Lung Dis. 2001;5: 448–54.
15. Acocella G et al. Comparative bioavailability of isoniazid, rifampin, and
pyrazinamide administered in free combination and in a fixed triple formulation
designed for daily use in tuberculosis hemotherapy. I. Single-dose study. Am Rev
Respir Dis. 1988; 138:882–5.
16. Acocella G et al. Comparative bioavailability of isoniazid, rifampin, and
pyrazinamide administered in free combination and in a fixed triple formulation
designed for daily use in antituberculosis chemotherapy. II. Two-month, daily
administration study. Am Rev Respir Dis. 1988;138:886–90.
17. Panchagnula R, Agrawal S, Kaur K J, Singh I, Kaul C L. Evaluation of
rifampicin bioequivalence in fixed-dose combinations using the WHO/IUATLD
recommended protocol. Int J Tuberc Lung Dis. 2000;4:1169–72.
18. Panchagnula R et al. Evaluation of rifampicin bioequivalence in fixed-dose
combinations using the WHO/IUATLD recommended protocol. International
Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 2000;4:1169–72.
19. Blomberg B, Evans P, Phanouvong S, Nunn P. Meeting report: Informal
consultation on 4-drug Fixed-Dose Combinations (4FDCs) compliant with the
WHO Model List of Essential Drugs.WHO Press 2002; 299.
20. Agrawal S, Singh I, Kaur K J, Bhade S R, Kaul C L, Panchagnula R. Comparative
bioavailability of rifampicin, isoniazid and pyrazinamide from a four drug fixed
dose combination with separate formulations at the same dose levels. Int J Pharm.
2004;276: 41–9.
21. Agrawal S, Kaur K J, Singh I, Bhade S R, Kaul C L, Panchagnula R. Assessment
of bioequivalence of rifampicin, isoniazid and pyrazinamide in a four drug fixed
dose combination with separate formulations at the same dose levels. Int J Pharm.
2002;233: 169–77.
22. Blomberg B, Fourie B. Fixed-dose combination drugs for tuberculosis: application
in standardised treatment regimens. Drugs. 2003;63:535–53.
23. Bhutani H, Mariappan T T, Singh S. The physical and chemical stability of
anti-tuberculosis fixed-dose combination products under accelerated climatic
conditions. Int J Tuberc Lung Dis. 2004;8:1073-80.
24. Gabriels G A, McIlleron H, Smith P J, Folb PI, Fourie P B. Modification to improve
efficiency of sampling schedules for BA/BE testing of FDC anti-tuberculosis drugs.
Int J Tuberc Lung Dis. 2007;11:181–8.
25. Bangalore S, Kamalakkannan G, Parkar S, Messerli FH. Fixed-dose combinations
improve medication compliance: a meta-analysis. Am J Med. 2007;120:713-9.
26. UKK Respirologi IDAI. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak edisi 2. Jakarta:
UKK Respirologi IDAI, 2008. h.52-3
27. Laserson K, Iademaco M. What are the advantages and disadvantages of fixed-
dose combinations of anti-tuberculosis drugs? Dalam: Toman’s tuberculosis, case
detection, treatment, and monitoring. Geneva: WHO 2004. h.189-92

82
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

28. Hong Kong Chest Service / British Medical Research Council. Acceptability,
compliance, and adverse reactions when isoniazid, rifampin, and pyrazinamide
are given as a combined formulation or separately during three-times-weekly
antituberculosis chemotherapy. Am Rev Resp Dis. 1989;140:1618-22.
29. Blomberg B,Spinaci S,Fourie B,Laing R. The rationale for recommending fixed-
dose combination tablets for treatment of tuberculosis. Bul WHO. 2001;79:61-8.

83
Peningkatan Pengenalan
Pneumonia Atipik pada Anak
Mardjanis Said

Tujuan:
1. Memahami Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae
sebagai penyebab utama pneumonia atipik pada anak.
2. Mengenal gambaran klinik, radiologik dan metode diagnostik
pneumonia atipik pada anak.

Pneumonia adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak


di seluruh dunia, dengan angka kejadian yang sangat tinggi di negara
berkembang1. Pneumonia dikenal sebagai pembunuh balita nomor satu
(no1 killer of children)2. Bakteri penyebab pneumonia paling sering adalah
Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae dan Staphylococcus aureus3,4
Infeksi berat dengan bakteri ini ditandai dengan gejala klinis akut seperti
demam tinggi, sesak-napas, batuk produktif, menggigil dan gambaran klasik
lainnya. Gambaran foto rontgen toraks meliputi infiltrat bercak-bercak (patchy)
atau konsolidasi difus segmental atau lobaris (lobar consolidation). Umumnya
infeksi bakteri ini responsif terhadap antibiotik beta-laktam.
Pada praktek sehari-hari dapat ditemukan kasus dengan gambaran foto
rontgen toraks tidak selalu disertai gambaran klinik seperti di atas dan
tidak responsif terhadap antibiotik beta-laktam. Profil pneumonia seperti itu
dikenal sebagai pneumonia atipik. Mikroorganisme penyebabnya digolongkan
sebagai bakteri atipik. Kadang-kadang ditemukan istilah walking pneumonia
karena gejala klinik yang terjadi bersifat ringan. Yang termasuk bakteri atipik
adalah Mycoplasma pneumoniae (M. pneumoniae), Chlamydia spp., Legionella
pneumophila dan Ureaplasma urealyticum. Mycoplasma pneumoniae dan
Chlamydia pneumoniae (C. pneumoniae) sering ditemukan dan merupakan
penyebab potensial pneumonia pada anak. Infeksi C. trachomatis pada bayi
berlangsung melalui transmisi vertikal dari ibu pada masa persalinan. Legionella
pneumophila dan Ureaplasma urealyticum jarang dilaporkan menyebabkan
infeksi pada anak. Di samping gejala klinik yang bersifat ringan, bakteri
atipik dapat menyebabkan penyakit berat, dan beberapa kasus berat serta fatal


84
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

pernah dilaporkan. Dengan kemajuan metode diagnostik serta meningkatnya


pengenalan terhadap bakteri ini diharapkan meningkatkan deteksi pneumonia
atipik pada anak, baik kasus rawat jalan maupun pneumonia berat yang perlu
perawatan di Rumah Sakit.
Beberapa penelitian menunjukkan infeksi C. pneumoniae berperan dalam
patogenesis asma. Cunningham dkk, melaporkan adanya hubungan infeksi C.
pneumoniae kronik dan asma; yaitu didapatkan prevalensi yang tinggi infeksi
kronik C. pneumoniae pada anak dengan asma. Walaupun terdapat hubungan
kausal tetapi patogenesis yang pasti belum diketahui. Diduga terjadi respons
imun terhadap bakteri ini yang berperan sebagai pemicu inflamasi yang kuat
(potent inflammatory trigger) dan menyebabkan respons terhadap Ig E.5
Makalah ini membahas pengenalan terhadap M. pneumoniae dan C pneumoniae
sebagai penyebab pneumonia atipik tersering pada anak.

Etiologi dan Prevalensi


Penyebab tersering pneumonia atipik pada anak ialah M. pneumoniae dan
bersama-sama dengan C. pneumoniae diperkirakan prevalensinya mencapai
lebih 40 %. Selain sebagai penyebab tunggal ditemukan bakteri campuran
sebagai penyebab pneumonia atipik. Principi N, dkk. melaporkan penelitian
pada anak dengan infeksi saluran napas bawah menemukan 34,3 % disebabkan
M. pneumoniae, 14,1% oleh C. pneumoniae dan 6,8% oleh infeksi campuran.6
Penelitian di Thailand juga mendapatkan bahwa penyebab terbanyak adalah
M pneumoniae diikuti C. pneumoniae dan infeksi campuran sebagai berikut:
M. pneumoniae 14,0%7, 25%8; C pneumoniae 3,4%7, 15%8 dan infeksi
campuran 1,0%7, 7,6 %8. Oguz F dkk, pada penelitian anak dengan pneumonia
menemukan penyebab M. pneumoniae 34,5%9. Di Jakarta, 24 tahun yang lalu
Wirjodiardjo M dkk telah melaporkan 41% kasus seropositif terhadap M
pneumoniae pada anak dengan infeksi saluran napas akut dan batuk kronik
berulang10. Penelitian Likitnukul dkk, mendapatkan persentase tinggi infeksi
C. pneumoniae (39,2 -57,0%) pada anak dengan pneumonia pada semua
kelompok umur11. Limudomporn dkk, melaporkan infeksi Chlamydia pada
bayi umur < 6 bulan dengan pneumonia12. Secara umum diduga prevalensi
pneumonia atipik yang disebabkan M. pneumonia bisa mencapai lebih dari 40
% dan oleh C. pneumoniae mencapai lebih dari 20 % baik sebagai penyebab
tunggal maupun sebagai ko-patogen pada infeksi campuran. Perbedaan
prevalensi diduga disebabkan karena perbedaan metode laboratorium dan
kriteria diagnostik yang dipakai di setiap institusi.
Angka kejadian pneumonia atipik tertinggi didapatkan pada usia 5-15
tahun. Prapphal N dkk, melaporkan bahwa pneumonia atipik ditemukan lebih

85
Peningkatan pengenalan Pneumonia Atipik pada Anak

banyak pada usia ≥ 5 tahun7. Namun bakteri atipik dapat juga dijumpai pada
anak yang lebih muda. Dengan berkembangnya metode deteksi seperti Micro-
immunofluorescence (MIF) dan Polymerase Chain Reaction (PCR), makin banyak
laporan tentang prevalensi pneumonia atipik pada anak yang dapat dipercaya.

Mycoplasma spp
Mycoplasma dan Ureaplasma merupakan mikroorganisme hidup bebas paling
kecil, termasuk famili Mycoplasmataceae, ordo Mycoplasmatales dan kelas
Molliculates. Kelas Molliculates terdiri dari 2 genus yaitu genus Mycoplasma yang
tidak menghidrolisis urea dan genus Ureaplasma yang menghidrolisis urea.
Mikroorganisme yang termasuk kedua genus ini tidak mempunyai dinding sel
sehingga cenderung berbentuk pleiomorphic. Mycoplasma spp mempunyai 10
spesies dan M. pneumoniae merupakan spesies yang paling sering menyebabkan
infeksi respiratorik pada manusia. M. pneumoniae ialah mikroorganisme Gram
negatif, tidak mempunyai dinding sel, terdiri dari membran sel dan sitoplasma.
Bentuknya polimorf mulai dari bulat sampai bentuk filamen dengan ukuran
Elementary Body nya berkisar antara 105 -120 nm dan sel yang matur berkisar
antara 690-750 nm.7

Chlamydia spp
Chlamydia atau disebut juga Chlamydophila ialah mikroorganisme yang
mempunyai siklus hidup biphasic: a) sebagai Elementary Body (EB) berukuran
lebih kecil (300-400 nm), ekstraseluler, infeksius dan b) sebagai Reticulate
Body (RB) berukuran lebih besar (800-1000 nm), intraseluler, tidak infeksius,
mempunyai aktivitas metabolik aktif, dan mempunyai daya untuk membelah
diri hingga disebut Reproductive form. Di samping itu ada bentuk-antara
yang disebut Intermediate Body (IB) yang merupakan suatu kondensasi DNA
(Condensing Form). Chlamydia adalah mikroorganisme Gram negatif, nonmotile,
nonciliated dan mempunyai permukaan sel yang sanggup menarik nutrien dari
sitoplasma pejamu. Invivo, Chlamydia yang berbentuk EB menempel pada
mikrovili sel pejamu dan secara aktif penetrasi ke dalam sel. Di dalam sel
pejamu Chlamydia berubah menjadi RB yang mampu mensitesa DNA, RNA
dan protein sel pejamu namun tidak mampu memproduksi ATP, oleh karena
itu Chlamydia selalu tergantung kepada sel pejamu untuk mendapatkan
ATP, sehingga Chlamydia disebut juga Energy Parasite. Di dalam sel pejamu
Chlamydia membelah diri dan dalam waktu 92 jam setelah infeksi, sel pejamu
mengeluarkan lagi Chlamydia dalam bentuk EB yang akan mencari sel pejamu
berikutnya. Chlamydia terdiri atas 3 spesies yang dapat menimbulkan penyakit
pada manusia yaitu C trachomatis, C psitacci dan C pneumoniae.7

86
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Gambaran klinik
Gambaran klinik pneumonia atipik mulai dari asimptomatik atau ringan dan
kadang-kadang dapat sembuh sendiri, sampai penyakit berat dan mengancam
jiwa. Perjalanan penyakit dan gejala klinik pneumonia Mycoplasma sulit
dibedakan dengan pneumonia Chlamydia. Prapphal N dkk, mendapatkan
bahwa gejala klinik pneumonia atipik (M. pneumoniae dan C. pneumoniae) yang
banyak ditemukan ialah batuk (100%), demam (95,3%) dan dispnu (65.1%).
Namun gejala dispnu secara bermakna lebih sedikit dijumpai dibandingkan
dengan pneumonia sebab-lain (65,1 vs 79.2 %; p=0.04). Karakteristik gejala
klinik lainnya tidak berbeda bermakna. Tabel 1, memperlihatkan perbandingan
karakteristik gejala klinik kelompok pneumonia atipik (+) dan kelompok
pneumonia yang tidak ditemukan bukti infeksi bakteri atipik7.
Gejala klinik infeksi M. pneumoniae biasanya ringan, dimulai secara gradual
dengan panas dan sakit kepala. Batuk mulai 3-5 hari setelah awitan, dapat
menetap sampai berminggu-minggu, mula-mula tidak produktif kemudian
menjadi produktif. Sputum mungkin berbercak darah. Pemeriksaan auskultasi
paru bervariasi, mengi dapat ditemukan pada 40% kasus. C. pneumoniae sering
menyebabkan infeksi saluran napas akut atas seperti faringitis, sinusitis dan
otitis. Namun dapat menyebabkan infeksi saluran napas akut bawah seperti
pneumonia, bronkitis dan eksaserbasi akut asma. Gejala klinik mula-mula
ditandai dengan gejala seperti flu: batuk kering, mialgia, sakit kepala, malaise,
pilek dan demam tidak tinggi pada pemeriksaan fisik dada sering tidak jelas
terdapat kelainan. Infeksi M. pneumoniae dapat menyebabkan penyakit berat
pada anak. Oermann C dkk, melaporkan seorang anak usia 5 tahun dengan
Severe Necrotizing Pneumonitis karena infeksi M. pneumoniae. Pada CT scan
dengan kontras ditemukan gambaran homogen masif lobus kanan, tengah dan
bawah; tidak terlihat aerasi dan vascular marking. Kasus ini mula-mula diobati
sebagai faringitis yang tidak responsif dengan amoksisilin. Pada perjalanan
penyakit timbul distres pernapasan yang tidak responsif dengan seftriakson
im. Diagnosis M. pneumoniae ditegakkan dengan pemeriksaan serologik dan
PCR. Dilakukan lobektomi dan terapi dengan eritromisin, anak dipulangkan
dalam keadaan baik setelah 17 hari perawatan.13
Di samping spesies C. Pneumonia, spesies C. trachomatis dapat
menyebabkan infeksi pada bayi. Bayi mendapat infeksi C trachomatis dari ibu
pada masa persalinan. Infeksi dapat berupa conjuctivitis dan infeksi saluran
napas. Infeksi saluran napas sebagian besar berupa infeksi nasofaring yang
umumnya asimptomatik. Hanya sekitar 30% bayi yang terinfeksi dengan C.
trachomatis yang menjadi pneumonia. Gejala baru timbul sekitar umur 4–12
minggu, pada beberapa kasus dilaporkan terjadi pada usia 2 minggu. Gejala
yang muncul jarang takipnu dan kadang-kadang terdengar ronki atau mengi.
Van den Borre dkk, melaporkan satu kasus infeksi C. trachomatis pada neonatus

87
Peningkatan pengenalan Pneumonia Atipik pada Anak

yang ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan foto rontgen torak
pra operasi elektif hernia inguinalis. Ditemukan gambaran infiltrat noduler
intersisial difus bilateral menyerupai gambaran tuberkulosis milier. Dengan
terapi eritromisin 50 mg/kgBB/hari, gejala menghilang dalam 2 minggu.14
Kasus ini menunjukkan ketidak sesuaian antara gambaran foto rontgen torak
dengan gejala klinik yang terjadi.

Tabel 1. Perbandingan karakteristik pneumonia atipik (+) dan atipik(-)
Pneumonia
Karakteristik
atipik (+) atipik (-)
n = 43 n = 202
Laki : perempuan 27 : 16 108 : 94
Umur rerata(tahun) ± SD 6.4 ± 3.6* 4.4±2.8*
Masuk ICU (%) 0 (0) 3 (1.5)
Gejala & tanda (%)
-Batuk 43 (100) 202 (100)
-Demam 41 (95.3) 198 (98.0)
-Menggigil 12 (27.9) 32 (15.8)
-Nyeri dada 7 (16.3) 14 (6.9)
-Dispnu 28 (65.1)** 160 (79.2)**
-Malaise 21 (48.8) 92 (45.5)
-Mialgia 8 (18.6) 24 (11.9)
-Diare 5 (11.6) 31 (15.3)
-Mengi 7 (16.3) 48 (23.8)
-Ronki halus nyaring 39 (90.7) 182 (90.1)
-Ronki kasar 18 (41.9) 99 (49.0)
-Suara napas bronkial 3 (7.0) 7 (3.5)
Ko-morbid (%)
-Asma 9 (20.9) 42 (20.8)
-COPD 0 (0) 0 (0)
-DM 0 (0) 0 (0)
-Gagal hepar 0 (0) 1 (0.5)
-Gagal ginjal 1 (2.3) 0 (0)
-Dapat antibiotik sebelumnya 35 (81.4) 154 (76.2)
*p-value=0.001;**p-value=0.04
(Prapphal N dkk, 2006)7

Gambaran foto rontgen torak


Gambaran foto rontgen torak bervariasi mulai pembesaran kelenjar hilus,
infiltrat intersisial, retikuler, retikulonoduler sampai konsolidasi segemental
atau lobaris. Kadang-kadang terjadi komplikasi seperti fibrosis , pneumatocele,
pneumotoraks, atau efusi pleura. Gambaran foto rontgen torak biasanya
jauh lebih berat dibandingkan dengan gejala klinik yang terjadi. Konsolidasi

88
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

lobaris adalah gambaran paling umum terutama pada anak usia ≥ 5 tahun.
Prapphal dkk melaporkan bahwa konsolidasi lobaris satu-satunya gambaran
rontgen torak pneumonia atipik yang signifikan pada anak (13,9% vs 1,5%;
p=0.001). Konsolidasi lobaris pada foto rontgen torak dapat dijadikan prediksi
adanya pneumonia atipik pada anak (sensitivitas 13,9%, spesifisitas 98,5% dan
akurasi 83,7%)7. Sebaliknya Radskowsi dkk, melaporkan pada bayi dengan
pneumonia Chlamydia didapatkan gambaran hiperinflasi bilateral, berbagai
bentuk infiltrat difus seperti infiltrat intersisial, retikulonoduler, atelektasis
dan bronkopneumonia, tidak ditemukan konsolidasi lobaris dan efusi pleura.15

Diagnosis
Diagnosis etiologik infeksi bakteri atipik sulit dilakukan. Deteksi
mikroorganisme ini sukar karena patogen ini bersifat intrasel, biakan sulit
dilakukan, mahal dan time consuming. Infeksi bakteri atipik sering underdiagnosis
karena uji mikrobiologik tidak dapat dipakai sebagai alat diagnostik secara
rutin. Oleh karena itu dalam praktek sehari-hari diagnosis hanya berdasarkan
gejala klinis, radiologis dan konfirmasi serologik dan/atau PCR. Namun
tidak di semua laboratorium pemeriksaan serologik atau PCR tersedia dan
dapat melakukannya. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
tidak semua kasus tersangka infeksi bakteri atipik dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan serologik dan PCR, biasanya karena alasan pembiayaan.
Salah satu ilustrasi kasus tersangka pneumonia atipik di IKA FKUI RSCM
adalah seorang anak laki-laki umur 9 tahun, BB 25 kg, di rujuk dari RS lain,
dengan keluhan demam 5 hari, batuk makin hebat dan sesak-napas. Saat masuk
anak kompos mentis, dispnu ringan, sianosis (-), suhu badan 380C. Pada foto
rontgen torak terlihat konsolidasi lobaris paru kanan dengan air bronchogram

Gambar 1. Sebelum terapi Gambar 2. Sesudah terapi

89
Peningkatan pengenalan Pneumonia Atipik pada Anak

(+) (gambar 1). Diberikan O2 dan terapi eritromisin 4 x 250 mg per oral. Pada
hari ke 2 perawatan batuk berkurang dan sudah tidak demam, pada hari ke
3 dispnu tidak terlihat lagi, pada hari ke 4 anak dipulangkan dan rawat jalan.
Pada saat kontrol dilakukan pemeriksaan foto rontgen torak didapat gambaran
konsolidasi lobaris sudah tidak terlihat (gambar 2).16
Diagnosis serologik berdasarkan peningkatan ≥ 4 x titer antibodi spesifik:
IgM anti M. pneumoniae atau IgM anti C. pneumoniae (dari serum akut dan
konvalesen). Titer antibodi spesifik dengan metode gel particle agglutination
dianggap positif adalah ≥ 1/16; atau titer antibodi spesifik tetap tinggi (≥
1/160 untuk M. pneumoniae; ≥ 1/512 untuk C. pneumoniae). Pemeriksaan
antibodi spesifik dapat juga dengan metode microimmunofluorescence (MIF).
Untuk mendeteksi DNA M. pneumoniae dengan metode PCR di pakai
primer p1 adhesin gen; deteksi DNA C. pneumoniae dipakai primer 16 S rRNA
gene. Spesimen didapat dari usap tenggorok, sputum, aspirat nasofaring, BAL
(bronchoalveolar lavage) atau cairan pleura. Ditemukannya 209 bp size atau
463 bp size pada gel elektroforesis di sebut positif untuk infeksi M. pneumoniae
atau C pneumoniae7.

Pengobatan
Umumnya bakteri atipik responsif terhadap makrolid seperti eritromisin.
Makrolid yang lebih baru misalnya klaritromisin menunjukkan efektifitas
klinik yang baik dan mampu mengeradikasi mikroorganisme. Makrolid baru
mempunyai daya penetrasi ke dalam sel yang lebih baik, konsentrasi dalam
jaringan dan sekret lebih tinggi, konsentrasi hambat minimum lebih rendah
dan waktu-paruh lebih panjang. Beberapa penelitian mendukung penggunaan
makrolid secara empiris pada pneumonia anak yang dicurigai terinfeksi
bakteri atipik7,8.

Simpulan
M. pneumoniae dan C. pneumoniae merupakan penyebab utama pneumonia
atipik pada anak. Pada umumnya gejala klinik ringan namun kasus berat yang
fatal dan mengancam jiwa dapat terjadi. Peningkatan pengenalan terhadap M.
pneumoniae dan C. pneumoniae sebagai penyebab potensial pneumonia atipik
pada anak, bahkan pada anak usia < 3 tahun, disertai dengan perkembangan
metode diagnostik yang lebih akurat (serologik dan PCR) dan pengobatan
dengan makrolid diharapkan akan menurunkan morbiditas penyakit.

90
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Daftar pustaka
1. Williams BG, Gouws E,Bosch-Pinto C, Bryce J, Dye C. Estimates of worldwide
distribution of child deaths from acute respiratory infections. Lancet. 2002:2:25-
32.
2. Denny FW, Loda FA. Acute Respiratory Infections are the Leading Cause of
Death in Children in Developing Countries. Am J Trop Med. 1986;35:1-2.
3. Shann F, Germer S, Hazlett D. Aetiology of Pneumonia in Children in Goroka
Hospital, Papua New Guinea. Lancet. 1984;11:537-41.
4. World Health Organization. Programme for the Control of Acute Respiratory
Infections. Unpublished document WHO/ARI/91.20 Geneva:1991.
5. Cunningham AF, Johnston SL, Julious SA, Lampe FC, Ward ME. Chronic
Chlamydia pneumoniae infection and asthma exacerbations in children. Eur
Respir J. 1998;11:345-49.
6. Principi N, Esposito S. Mycoplasma pneumoniae and Chlamydia pneumoniae
cause lower respiratory tract disease in paediatric patients. Curr Opin Infect Dis.
2002;15;295-300.
7. Prapphal N, Suwanjutha S, Durongkaveroj P, Lochindarat S, dkk. Prevalence
and Clinical
8. Presentation of Atypical Pathogens Infection in Community Acquired Pneumonia
in Thailand. J Med Assoc Thai. 2006;89:1412-9.
9. Samransamruajkit R, Jitchaiwat S, Wachirapaes W, Deerojanawong J, dkk.
Prevalence of Mycoplasma and Chlamydia Pneumonia in Severe Community
-Acquired Pneumonia among Hospitalized Children in Thailand. Jpn J Infect
Dis. 2008;61:36-9.
10. Oguz F, Unuvar E, Aydin D, Yilmaz K, Sidal M. Frequency of Mycoplasma
pneumoniae among atypical pneumonia of childhood. Turkish J of Pediatr.
2002;44:283-8.
11. Wirjodiardjo M, Sigarlaki JM, Said M, Boediman I, Rahajoe NN, Rahajoe N.
Mycoplasma pneumoniae sebagai penyebab infeksi saluran napas akut (ISNA)
pada anak. MKI. 1988;38: 518-24.
12. Likitnukul S, Nunthapisud P, Prapphal N. Prevalence of Chlamydia pneumoniae
infection in Thai children with community-acquired pneumonia. Pediatr Infect
Dis J. 2003;22:749-50.
13. Limudomporn S, Prapphal N, Nunthapisud P et al. A febrile pneumonia associated
with chlamydial infection in infants less than 6 months of age: initial results
of a three year prospective study. Southeast Asian J Trop Med Public Health.
1989;20:285-90.
14. Oermann C, Sockrider MM, Langston C. Severe Necrotizing Pneumonitis in a
Child with Mycoplasma pneumonia Infection. Pediat Pulmonol. 1997;24:61-5.
15. Van den Borre C, Dab I, Malfroot A, Naessens A. Subclinical Infantile Chlamydia
trachomatis Pulmonary Infection. Pediat Pulmonol. 1993;15:263-5.
16. Radskowsi dkk. Chlamydia Pneumoniae. Dalam: Chirwin K, Hammerschlag
MR, penyunting. Pediatric Infectious Diseases. Philadelphia: WB Saunders
Company. h.265-71.
17. Dokumentasi medik Departemen IKA FKUI RSCM, tidak dipublikasi, 2012.

91
Konjungtivitis Alergi
Lukman Edwar

Fakta menunjukkan bahwa mata adalah organ pertama yang sangat mudah
terpengaruh oleh lingkungan, sehingga penyakit alergi mata merupakan
masalah mata yang umum ditemukan. Jaringan mata yang pertama kali
terpapar oleh alergen adalah konjungtiva. Konjungtivitis alergi adalah
terminologi yang digunakan untuk menjelaskan proses inflamasi konjungtiva
yang dapat disebabkan oleh faktor alergi. Umumnya proses konjungtivitis alergi
melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe 1, di mana alergen bereaksi dengan
IgE, menstimulasi degranulasi sel mast (sel basofil jaringan) dan melepaskan
mediator-mediator inflamasi.
Konjungtivitis alergi itu sendiri cukup sering dijumpai pada anak-anak.
Spektrum penyakit sangat tergantung dengan lokasi geografis tiap-tiap
negara. Di negara maju, dilaporkan bahwa terdapat 15 sampai 20% anak-anak
menderita penyakit ini. Hasil survei America College of Allergy, Asthma and
Immunology di mendapatkan bahwa 35% keluarga yang diwawancarai pernah
menderita alergi, 50% dari responden berhubungan dengan gejala di mata.
Klasifikasi konjungtivitis alergi adalah keratokonjungtivitis atopik,
keratokonjungtivitis vernal, seassonal atau perennial conjunctivitis, konjungtivitis
alergi sederhana. Adapun giant papillary conjunctivitis sudah tidak dimasukkan
lagi ke dalam konjungtivitis alergi, karena faktor mekanik lebih dominan
menyebabkan inflamasi konjungtiva.
Keratokonjungtivitis atopik (AKC), adalah inflamasi konjungtiva yang
berat dan dihubungkan dengan dermatitis atopik. Timbul pada usia remaja
dan berlanjut hingga dekade 4 atau 5, di mana dapat sembuh secara spontan.
Keratokonjungtivitis vernal (VKC), suatu prose inflamasi alergi kronik
yang terjadi pada kedua mata, biasanya terjadi pada anak laki-laki. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis seperti gatal, fotofobia, sekret
yang mukoid, papil hingga cobblestones di konjungtiva tarsal superior, keratopati
superfisial dan shield ulcer. Mekanisme imunopatogenesis berdasarkan riwayat
atopi dalam keluarga, meningkatnya level IgE dan memberikan respon terapi
anti-alergi.

92
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Seassonal/perennial allergic conjunctivitis (SAC/PAC), proses inflamasi


okular yang terjadi berdasarkan keadaan musim di negara-negara 4 musim yang
umumnya terjadi karena paparan polen. Pada SAC, inflamasi akan berkurang
dan bahkan hilang setelah musim pollen berakhir. Tetapi pada PAC, gejala akan
timbul terus, dan debu rumah (mite) dianggap bertanggung jawab. Alergen
lain yang terlibat adalah bulu binatang (seperti anjing dan kucing).
Konjungtivitis alergi sederhana, timbul sebagai akibat paparan alergen,
seperti obat mata topikal, larutan pembersih lensa kontak, debu dan benda-
benda yang tidak spesifik.
Terkadang tidak mudah untuk melakukan suatu tata laksana yang baik
karena bisa ditemukan kekurahan kornea atau sikatriks kornea. Anak-anak
yang mengalami konjungtivitis dapat mempengaruhi kualitas hidup anak dan
orang tua. Secara psikologis, anak-anak akan terganggu dalam melukakan
akitvitas sehari-hari.

Mekanisme Alergi Okular


Respon alergi dimulai ketika alergen dikenali oleh antigen precenting cell
(APC) di mana APC akan mempresentasikan alergen ke sel T CD4. Sel T ini
kemudian akan berpolarisasi ke T helper type 1 (Th1) dan T helper type 2
(Th2). Th2 akan memproduksi beberapa interleukin, seperti IL-4 dan IL-13
yang menstimulasi sel B untuk memproduksi IgE dari IgM. Aktivasi sel mast
sebagai hasil multivalent allergen cross-linking cell surface IgE dengan reseptor
sel mast FceRI. Sel mast yang ada di konjungtiva melepaskan histamin dan
mensintesis secara lokal mediator seperti prostaglandin D2, leukotrien C4,
tryptase, chymase, carboxypeptidase A, cathepsin G dan platelet-activating factor,
suatu agen kemotaksis eosinofil yang sangat kuat.
Pada semua bentuk alergi mata, respon klinis terjadi karena aktivasi
sel mast, baik melalui reaksi antigen-sel mast atau melaui sel limfosit T yang
melepaskan mediator-mediator inflamasi. Pada bentuk yang lebih ringan
seperti SAC dan PAC, jumlah sel mast saja yang meningkat, sementara pada
VKC dan AKC, terjadi peningkatan sel mast dan sel T.
Alergen yang menginduksi alergi pada pasien atopik dimulai dengan fase
respon awal yang timbul pada menit ke-15 hingga 30 dengan meningkatnya
kadar histamin, triptase, leukotrien dan esosinofil di air mata. Enam hingga
24 jam (fase lambat) setelah paparan, timbul puncak kedua kadar histamin
dan eosinofil. Molekul adhesi jaringan E-selectin dan ICAM-1 juga meningkat,
konsisten dengan peningkatan granulosit dan eosinofil di konjungtiva. IgE
diproduksi oleh konjungtiva di bawah kontrol sel mast. Kebanyakan pasien

93
Konjungtivitis Alergi

dengan alergi okular, di mana pasien mempunyai riwayat atopi pada keluarga,
didapatkan peningkatan kadar alergen-IgE spesifik di serum dan air mata. Pada
fase lambat ini juga mulai terjadi kerusakan jaringan.
Bagaimana sel mast mempengaruhi respon alergi konjungtiva sebagai
bagian dari lepasnya faktor inflamasi? Sel mast telah diketahui menyimpan,
melepas dan mensintesis sitokin IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-13 dan tumor necrosis
factor (TNF)-a. Pada SAC, IL-4 dan IL-13 predominan terlokalisasi di sel
MCTC (sel mast yang mengandung tryptase dan chymase) dan IL-5 dan IL-6
terlokalisasi di sel MCT.

Keratokonjungtivitis vernal
VKC adalah keadaan alergi okular yang lebih berat karena kronisitasnya dan
dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan. VKC lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki di daerah kering dan hangat. VKC biasanya
berhubungan dengan asma, eksim dan rinitis. Mirip seperti rinokonjungtivitis
alergi, penyakit ini dapat musiman atau sepanjang tahun. Keparahan akan
berkurang saat usia semakin bertambah.
Gejala klinis yang timbul juga hampir sama dengan alergi okular lainnya,
seperti gatal, berair, fotofobia dan perasaan panas. Gangguan penglihatan
jarang terjadi, kecuali bila timbul komplikasi di kornea seperti epiteliopati
atau shield ulcer.
Gambaran klinis dapat dibagi dalam tiga tipe, yaitu tipe tarsal/palpebral,
limbal dan campur. Tipe papil terlihat berupa reaksi papil (papillary reaction)
di konjungtiva tarsal. Bila papil ini membesar pada kasus yang berat, dapat
terlihat sebagai cobblestone atau biasa juga disebut dengan giant papil. Pada
tipe limbal, sering bermanifestasi dalam bentuk nodul putih di sekitar limbus
(trantas dots). Keadaan berat yang melibatkan kornea berupa shield ulcer.

Keratokonjungtivitis atopi
Penyakit ini adalah yang paling serius dibandingkan alergi okular lainnya,
karena tidak berkurang seiring bertambahnya umur seperti VKC. Komplikasi
yang serius adalah keratokonus dan katarak. Kulit di sekitar mata umumnya
akan menebal dan terkadang dijumpai blefaritis. Sikatriks konjungtiva tarsal
dapat menyebabkan simblefaron pada keadaan yang berat. Ulkus dan sikatriks
kornea dapat menyerupai VKC.

94
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Tata laksana
Pendekatan tata laksana pasien dengan konjungtivitis alergi, terutama VKC
dapat dilakukan dengan pendekatan (1) komunikasi dan edukasi pasien
dan keluarga (orang tua) tentang perjalanan penyakit, lama penyakit dan
komplikasi yang mungkin terjadi, (2) pencegahan terhadap alergen dan
modifikasi lingkungan, seperti menghindari debu yang ada baik di luar rumah
maupun dalam rumah, mencegah sinar dan panas matahari secara langsung
dengan menggunakan pelindung mata (topi atau kacamata), (3) terapi
farmakalogi dan (4) kemungkinan tindakan operatif.
Secara holistik, tata laksana yang penting adalah dengan menghindari
kontak alergen yang bisa diidentifikasi, walaupun pada kenyataannya sulit
untuk diketahui. Pada kasus yang ringan, rasa gatal dan injeksi konjungtiva
yang ringan dapat diterapi dengan antihistamin topikal tanpa mast cell stabiliser.
Mast cell stabiliser sendiri tidak efektif pada tata laksana serangan akut,
tetapi dapat mempunyai efek pencegahan dengan penggunaan jangka panjang
di mana untuk mencegah efek samping akibat penggunaan kortikosteroid
topikal. Air mata buatan (artificial tears) dapat mengurangi jumlah alergen
dan membantu mengurangi gejala klinis walaupun kecil. Kompres dingin
mempunyai keuntungan dengan memberikan rasa nyaman dan sedikit
mengurangi rasa sakit. Antihistamin sistemik dapat diberikan bila dijumpai
adanya edema kelopak atau gejala pada hidung.

Daftar bacaan
1. Avunduk AM, Avunduk MC, Kapicioglu Z, Akyol N. Mechanism and comparison
of anti-allergic efficacy of topical lodoxamide and cromolyn sodium treatment in
vernal keratoconjunctivitis. Ophthalmology 2000;107:1333–37
2. Lam KM. Ocular allergy in children. Medical bulletin 2007;12:8-9
3. Leonardi A, Radice M, Fregona IA, Plebani M, Abatangelo G, Secchi AG.
Histamine effects on conjunctival fibroblast from patients with vernal
conjunctivitis. Exp Eye Res 1999;68:739-46
4. Leonardo A. Vernal keratoconjunctivitis: pathogenesis and treatment. Progress
in Ret and Eye Res 2002;21:319-39
5. Mantelli F, Santos MS, Petitti T, Sgrulletta R, Cortes M, Lambiase A, Bonini
S. Systematic review and meta-analysis of randomised clinical trials on tropical
treatments for vernal keratoconungtivitis. Br J Ophthalmol 2007;91:1656-61
6. Manzouri B, Flynn T, Ono SJ. Allergic eye disease: pathopgysiology. In Essentials
in ophthalmology: Cornea and external eye diseases. Reinhard T, Larkin DFP
(eds). Springer-Verlag Berli Heidelberg 2006;p 209-22
7. Metz DP, Hingorani M, Calder VL, Buckley RJ, Lightman SL. T-cell cytokines in
chronic allergic eye disease. J Allergy Clin Immunol 1997;100:817-24

95
Konjungtivitis Alergi

8. Ono SJ. Abelson MB. Allergic conjunctivitis: update on pathophysiology and


prospects for future treatments. J Allergy Clin Immunolo 2005;115:118-22
9. Siddique M, Manzouri Bm FlynnTH, Ono SJ. Allergy and contact lens. In
Immune response and the eye. 2nd revised ed. Niederkorn JY, Kaplan HJ (Eds).
Karger 2007;p 166-73

96
Hipertrofi Tonsil: Kapan harus Dirujuk?
Nastiti Kaswandani

Tujuan:
1. Memahami gejala tonsilofaringitis dan penyulitnya pada anak
2. Mengetahui kriteria infeksi rekuren pada hipertrofi tonsil
3. Mengetahui indikasi tonsilektomi pada anak
4. Mengetahui kapan harus merujuk anak dengan hipertrofi tonsil

Faringitis atau tonsilofaringitis termasuk infeksi respiratorik akut tersering


yang menyebabkan anak dibawa ke dokter. Faringitis merupakan peradangan
akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya, termasuk hidung
dan tonsil. Oleh karena jarang terjadi hanya infeksi lokal faring atau tonsil,
maka pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan
tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya sering ditandai
dengan keluhan nyeri tenggorok.
Tonsilofaringitis/infeksi tenggorok berulang atau hipertrofi tonsil telah
menjadi alasan utama dokter umum atau dokter spesialis anak merujuk
pasien ke dokter THT untuk dilakukan tindakan tonsilektomi. Tonsilektomi,
dengan ataupun tanpa adenoidektomi merupakan tindakan bedah tersering
yang dilakukan pada anak, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Tonsilektomi diyakini dapat mengurangi infeksi tenggorok berulang,
mengatasi gejala sleep-disorder breathing serta dapat meningkatkan kualitas
hidup anak.1 Di lain pihak, pada dekade terakhir telah banyak studi yang
mempublikasi tentang efektivitas tonsiloadenoidektomi dan mendapati bahwa
tindakan bedah yang dilakukan pada kasus yang ringan atau sedang tidak
membawa manfaat klinis melainkan hanya menaikkan biaya kesehatan.2,3
Jumlah tindakan tonsilektomi atau adenotonsilektomi di Amerika Serikat
terus menurun. Demikian pula data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 1993-2003 menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus)
dan terus menurun sampai tahun 2003 ( 152 kasus).
Selain tindakan tonsilektomi itu sendiri, tindakan anestesi yang dilakukan
pada pasien anak juga mepunyai risiko terjadinya komplikasi. Kasus hipertrofi
adenotonsil yang disertai komorbiditas tertentu juga memiliki risiko yang lebih

97
Hipertrofi tonsil: kapan harus dirujuk?

tinggi, sehingga jika akan dilakukan tindakan sebaiknya dilakukan di RS dengan


ahli dan fasilitas kesehatan penunjang yang lebih lengkap.4 Oleh sebab itu
penting bagi dokter umum atau dokter spesialis anak untuk memahami kapan
seorang anak dengan tonsilofaringitis berulang atau hipertrofi tonsil dirujuk
untuk pemeriksaan lebih khusus (misalnya polisomnografi, ekokardiografi)
dan untuk tindakan bedah ke fasilitas kesehatan yang sesuai.

Tonsilofaringitis / hipertrofi tonsil


Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-­0,2% dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada
tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-­75%:15-­30%. Pada tonsil terdapat
sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit
dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen
ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik juga terdapat sel
limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ
limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang
sudah di sensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
Hipertrofi tonsil telah menjadi alasan tersering tonsilektomi pada anak
beberapa dekade yang lalu. Ukuran tonsil dan adenoid bukanlah indikator
yang tepat. Hiperplasia sendiri sebenarnya bukan merupakan kelainan tetapi
merupakan hasil dari peningkatan aktivitas imunologi dan tidak otomatis
dihubungkan dengan inflamasi atau tonsillitis. Fase paling aktif dari tonsil
terjadi pada usia 3-10 tahun dan setelah itu dimulai proses involusi. Meskipun
hiperplasia bukan suatu kelainan, namun pembesaran tonsil mempunyai
insidens yang lebih tinggi untuk ditemukannya bakteri group A–βhemolytic
streptococcus terutama pada kripta tonsil. Ini penting dicermati untuk tata laksana
pemberian antibiotik.5,6
Evaluasi terhadap kelainan pada adenotonsil diawali dengan anamnesis
yang baik dan cermat. Gejala yang sugestif ke arah hipertrofi adenotonsilar
termasuk di dalamnya adalah kesulitan makan pada anak yng lebih muda
usianya, bernapas dengan menggunakan mulut, noisy breathing, mendengkur,
sering terbangun pada malam hari, hipersomnolen, enuresis, mimpi buruk
serta penurunan prestasi akademik dan perubahan perilaku.7
Pada pemeriksaan fisis, anak biasanya datang dengan adenoid face
dengan mimik wajah yang datar, lipatan nasolabial mendatar, mulut terbuka
dan gigi seri bagian atas menonjol ke luar. Gangguan pertumbuhan bahkan
gagal tumbuh dapat dijumpai, oleh sebab itu kurva pertumbuhan anak harus
dievaluasi.1,4

98
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Pemeriksaan rongga mulut harus dikerjakan dengan cermat. Ukuran


dan persentase obstruksi harus dicatat dengan menggunakan skala 0 sampai
+4. Skala 0 artinya tonsil berada di dalam fossa; +1 artinya obstruksi kurang
dari 25%, +2 menunjukkan obstruksi 25-50%, +3 artinya obstruksi 50-75%
sedangkan +4 menunjukkan obstruksi lebih dari 75%. Pemeriksaan rongga
hidung juga penting untuk dikerjakan sebagai upaya untuk melihat adanya
hipertrofi konka yang bisa memperberat obstruksi saluran napas atas.

Gambar 1. Skala Hipertrofi Tonsil (Brodsky)8

Indikasi dan komplikasi tonsilektomi


Tonsilektomi didefinisikan sebagai prosedur bedah baik dengan ataupun tanpa
adenoidektomi untuk membuang tonsil, termasuk kapsul dengan cara diseksi
ruang peritonsilar antara kapsul tonsil dan dinding otot. Indikasi tersering
dilakukannya tonsilektomi adalah infeksi tenggorok berulang/rekuren dan
sleep-disorder breathing. Indikasi lainnya yang lebih jarang ditemukan adalah
kecurigaan akan keganasan pada tonsil.1,4,9-12
Infeksi tenggorok rekuren merupakan alasan yang sering membuat pasien
berobat ke dokter umum / dokter anak dan akhirnya sering mendapat terapi
antibiotik. Biaya berobat ke dokter dan peresepan antibiotik merupakan faktor
yang harus dipertimbangkan, selain biaya tak langsung yang terbuang karena
anak tidak masuk sekolah dan orangtua juga absen dari pekerjaannya.
Sleep disorder breathing (SDB) merupakan spektrum yang melingkupi
primary snoring sampai obstructive sleep apneu (OSA). Sekitar 30-40% anak
dengan gambaran klinis SDB menunjukkan gangguan perilaku seperti enuresis,

99
Hipertrofi tonsil: kapan harus dirujuk?

hiperaktivitas, agresif, cemas, depresi dan gangguan somatisasi. OSA juga


dikaitkan dengan gangguan prestasi akademik dan penurunan kualitas hidup.
Indikasi tonsilektomi/adenotonsilektomi pada anak, meskipun berbeda-
beda tergantung institusi yang mengeluarkan panduannya, namun memiliki
kemiripan dalam hal menjadikan rekurensi infeksi dan obstruksi sebagai
patokan. Children’s Hospital of Pittsburgh Study misalnya mengemukakan
beberapa indikator klinis yang digunakan, salah satunya adalah: tujuh atau
lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik pada tahun
sebelumnya, lima atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan
antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih episode
infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik setiap tahun selama 3
tahun sebelumnya.

Tabel 1. Indikasi Tonsilektomi dari Beberapa Institusi


Guideline/ Institusi Indikasi
Finnish Medical Society Duo-
Berulangnya tonsilitis bakterial yang terkonfirmasi (>4x/tahun),apapun jenis
decim. National Guideline bakterinya
Clearing. EBM Guidelines.10Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsilar, sepsis yang berasal dari tonsil
Abses peritonsilar pada pasien di bawah umur 40 tahun ditangani dengan
tonsilektomi akut tanpa sayatan sebelumnya
Dicurigai adanya keganasan ( ditandai dengan asimetri dan ulserasi)
Obstruksi jalan napas (tonsil hampir saling bertemu), sleep apnoea, kelainan
pada oklusi dental
Scottish Intercollegiate Nyeri tenggorok karena tonsilitis akut
Guidelines Network (SIGN)9 Nyeri tenggorok yang mengganggu kualitas hidup
Pada 1 tahun lalu dalam setahun terkena tujuh kali atau lebih nyeri tenggorok
Dalam dua tahun terakhir terkena lima kali nyeri tenggorok
Dalam tiga tahun terakhir terkena tiga kali nyeri tenggorok
The Spanish Society of ORL Tonsilitis berulang
and the Spanish Society of Gejala klinis di bawah ini menggambarkan tonsilitis berulang
Peditarics11 Pada 1 tahun lalu dalam setahun terkena tujuh kali atau lebih tonsilitis akut
Dalam dua tahun terakhir terkena lima kali tonsilitis akut
Dalam tiga tahun terakhir terkena tiga kali tonsilitis akut
Gejala yang menetap paling tidak dalam setahun
Abses peritonsilar berulang/PTA/Quinsy
Dua kali berturut-turut terkena abses peritonsilar berulang adalah indikasi
untuk bedah
Adenitis servikal berulang
Gejala-gejala dari adenitis servikal:
Akut inflamasi dari beberapa adenopati servikal
Malaise dan demam > 38˚ C
Lebih dari 3 hari
Tidak ada infeksi saluran napas bawah
Infeksi saluran napas atas dan akut tonsilitis yang bersamaan
The Australian Society of Obstruksi jalan napas atas pada anak dengan obstructive sleep apnoe
Otolaryngology Head and Frekuensi Tonsilitis akut berulang
Neck Surgery12 Abses peritonsilar
Terdapat dugaan keganasanà indikasi absolut untuk tonsilektomi
Indikasi yang tidak biasa:
Difteri kronik dengan status karir yang gagal pengobatan dengan antibiotik
Tonsiloliths yang besar dan berulang atau kista tonsilar
Perdarahan tonsilar yang berulang

100
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

American Academy Otolaryngology and Head and Neck Surgery menetapkan


didapatkannya tiga atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dalam
setahun sebagai bukti yang cukup untuk melakukan tindakan pembedahan.
Berikut ini adalah beberapa panduan tentang indikasi tonsilektomi pada anak
dari berbagai pedoman/institusi.
Salah satu pertimbangan yang penting dalam memutuskan perlu atau
tidaknya tonsilektomi adalah tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang
pada anak umumnya dilakukan dengan anestesi umum, sehingga komplikasi
yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan
anestesi. Komplikasi yang terjadi dapat berupa:1,4,9-12

1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan anak
sebelumnya atau terkait dengan keluhan yang dideritanya saat ini.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
–– Laringospasme
–– Gelisah pasca operasi
–– Mual muntah
–– Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
–– Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan
henti jantung
–– Hipersensitif terhadap obat anestesi.

2. Komplikasi Bedah
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau
dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien.
sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam
jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus
yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot
diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi

3. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velofaringeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia

101
Hipertrofi tonsil: kapan harus dirujuk?

Meskipun adenotonsilektomi merupakan prosedur yang sering


dikerjakan, namun pada kondisi anak dengan penyulit, tindakan ini bisa
sangat berisiko. Perkumpulan ahli bedah, THT, anak dan anestesi di UK
membuat konsensus tentang adenotonsilektomi pada anak dengan risiko
tinggi. Untuk anak-anak ini, tindakan adenotonsilektomi harus dikerjakan
di RS atau fasilitas pelayanan kesehatan yang lengkap (Polisomnografi,
PICU) dan dokter ahli yang biasa menangani kasus tersebut (pediatric
pulmonologist, pediatric anesthesiologist, pediatric intensivist dan larynx-
pharynx ENTs)
Anak dengan risiko komplikasi respiratorik pasca adenotonsilektomi:13
1. Usia kurang dari 2 tahun
2. Berat badan kurang dari 15 kg
3. Gagal tumbuh
4. Obesitas
5. Cerebral palsi berat
6. Hipotonia atau gangguan neuromuskular sedang – berat
7. Anomali kraniofasial yang signifikan
8. Mukopolisakaridosis atau sindrom-sindrom yang memiliki gangguan
saluran napas
9. Ko-morbiditas yang signifikan (penyakit jantung bawaan, chronic lung
disease, ASA > 3)
10. Kelainan pada EKG / ekokardiografi
11. OSA berat (menurut hasil polisomnografi)

Panel ahli di Amerika Serikat yang tergabung dalam American - Academy


of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Fondation telah mengeluarkan
panduan klinis praktis terbarunya di tahun 2011 tentang tonsilektomi pada
anak. Panel tersebut merekomendasikan beberapa hal, yaitu:4
1. Watchful waiting untuk anak yang mengalami infeksi berulang :
a. kurang dari 7 episode pada 1 tahun terakhir ATAU
b. kurang dari 5 episode per tahun pada 2 tahun terakhir ATAU
c. kurang dari 3 episode per tahun pada 3 tahun terakhir
Adapun panel juga mendefinisikan bahwa infeksi rekuren ini dihitung
berdasarkan catatan medis jika terdapat episode nyeri tenggorok disertai
minimal 1 atau lebih gejala: demam > 38.3 0C, adenopati leher, eksudat
tonsilar, atau tes yang positif terhadap bakteri β-hemolytic streptococcus group
A.
2. Mengevaluasi anak dengan infeksi berulang yang tidak memenuhi kriteria
di atas, namun terdapat faktor penyulit seperti alergi terhadap banyak
antibiotik, demam periodik, stomatitis aphtosa, faringitis dengan adenitis
atau dengan riwayat abses peritonsilar.

102
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

3. Menanyakan kepada orangtua dari anak dengan sleep-disorder breathing


dan hipertrofi tonsil tentang kondisi komorbid yang kemungkinan
akan membaik setelah dilakukan tonsilektomi, termasuk retardasi
pertumbuhan, performa akademik di sekolah yang kurang, dan masalah
perilaku.
4. Melakukan KIE tentang tonsilektomi ditujukan untuk meningkatkan
kesehatan pada anak yang polisomnografinya abnormal karena hipertrofi
tonsil dan sleep disorder breathing.
5. Mengedukasi orangtua bahwa sleep disorder breathing mungkin akan
menetap atau rekuren setelah tindakan tonsilektomi dan memerlukan
tata laksana lebih lanjut.
6. Mengadvokasi tentang penanganan nyeri setelah tonsilektomi dan
pentingnya mengetahui keadaan nyeri yang timbul
7. Dokter yang mengerjakan tonsilektomi dihimbau untuk mengevaluasi
angka kejadian perdarahan primer maupun sekunder pasca-tonsilektomi
sedikitnya sekali setahun.

WATCHFUL WAITING versus ADENOTONSILEKTOMI


Watchful waiting, atau yang dapat diartikan sebagai upaya menunggu dengan
mengobservasi secara ketat; telah dituliskan di dalam banyak pedoman bagi
seorang anak dengan hipetrofi tonsil. Dalam kurun waktu terakhir saat
insidens tonsilektomi cenderung menurun, banyak studi yang membandingkan
outcome anak-anak yang menjalani tonsilektomi dengan kelompok anak yang
diobservasi ketat atau “watchful waiting”.
Van Staaij dkk pada tahun 2004 melakukan sebuah RCT yang melibatkan
300 pasien anak berusia 2 sampai 8 tahun yang mengalami infeksi tenggorok
berulang, obstruksi saluran napas atau infeksi saluran napas atas berulang
dan membutuhkan tonsiloadenoidektomi. Pada 6 bulan pertama observasi,
jumlah episode demam lebih sedikit pada kelompok tonsiloadenoidektomi,
namun setelah 6 bulan tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok.
Dibandingkan dengan kelompok watchful waiting, pasien pada kelompok
tonsiloadenoidektomi memiliki episode infeksi tenggorok yang lebih rendah
(0.21, 95% CI 0.06-­0.36), episode nyeri tenggorok yang lebih rendah (0.60,
95% CI 0.30-­0.90) dan episode infeksi saluran napas atas yang lebih rendah
(0.5,95% CI 0.08-­0.97) Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tindakan
tonsiloadenoidektomi pada pasien dengan keluhan infeksi tenggorok atau
hipertrofi adenotonsiler ringan hanya memberikan sedikit manfaat klinis
dibandingkan dengan observasi ketat. Perbedaan klinis hanya nampak pada
6 bulan pertama setelah tindakan dilakukan.14

103
Hipertrofi tonsil: kapan harus dirujuk?

Kelompok peneliti yang sama kemudian juga melaporkan hasil systemati


review tentang peran adenotonsilektomi terhadap episode nyeri tenggorok,
infeksi respiratorik akut dan absensi dari sekolah. Dari 6 RCT dan 7 non-
randomized controlled studies, didapatkan hasil bahwa frekuensi episode nyeri
tenggorok dan infeksi respiratorik akut berkurang seiring dengan berjalannya
waktu pada kedua kelompok. Kelompok adenotonsilektomi menunjukkan
penurunan insidens yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
kontrol.15
Suatu studi multi senter di Belanda oleh Buskens melakukan analisis
tentang cost-effectiveness adenotonsilektomi dibandingkan dengan hanya
mengobservasi secara ketat dan mendapatkan bahwa adenotonsilektomi pada
anak-anak dengan gejala infeksi tenggorok atau hipertrofi tonsil ringan-sedang
hanya meningkatkan biaya tanpa manfaat klinis yang relevan.16
Studi lain oleh Goldstein melaporkan hasil pengamatan sebelum dan
sesudah operasi tonsilektomi yang dilakukan. Studi tersebut mendapatkan
bahwa kelainan perilaku dan emosional yang ditemukan pada anak dengan
sleep-­disordered breathing preoperasi membaik setelah dilakukan operasi dan
nilai dari pegukuran standar perilaku (the Child Behavior Checklist/CBCL)
berhubungan bermakna dengan nilai survei kualitas hidup.17
Dari studi-studi tersebut serta dari rekomendasi para ahli maka dapat
diyakini bahwa pada adenotonsilektomi memiliki efektivitas klinis yang nyata
pada anak dengan infeksi tenggorok rekuren yang frekuen dan/atau dengan
SDB, sedangkan pada yang ringan-sedang tindakan tersebut tidak memiliki
manfaat klinis yang signifikan.18 Indikasi tonsilektomi perlu didokumentasikan
dengan baik untuk bisa mengevaluasi jika terjadi infeksi rekuren atau penyulit
lainnya.19

Simpulan
Hipertrofi tonsil disertai dengan hipertrofi adenoid merupakan kondisi yang
sering dijumpai pada anak. Pembesaran tonsil saja bukan merupakan kelainan
jika tidak ada gejala klinis lain yang ditemukan. Permasalahan yang sering
dihadapi adalah infeksi tenggorok rekuren dan obstruksi saluran napas atas
yang menyebabkan SDB. Dokter yang menangani anak dengan hipertrofi
adenotonsil harus melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis serta pencatatan
rekam medis yang teliti untuk memperoleh indikasi yang tepat kapan harus
merujuk. Jika insidens infeksi tenggorok berulang melebihi toleransi yang
ditetapkan atau adanya gejala SDB maka sebaiknya anak segera dirujuk
untuk pemeriksaan lebih lanjut (polisomnografi) atau untuk tindakan
adenotonsilektomi.

104
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Daftar pustaka
1. Stuck BA, Windfuhr JP, Genzwürker H, Schroten H, Tenenbaum T, Götte K.
Tonsillectomy in Children. Dtsch Arztebl Int. 2008; 105:852–61.
2. Rosefsky JB. Tonsillectomies and Adenotonsillectomies : Will the Debate Never
Be Over?. Pediatrics 2003;112:205.
3. Van Lierop AC, Prescott CAJ, Fagan JJ, Sinclair-Smith CC. Is diagnostic
tonsillectomy indicated in all children with asymmetrically enlarged tonsils?
SAMJ.2007;97:367-70.
4. Baugh RF, Archer SM, Mitchell RB, Rosenfeld RR, Amin R, Burns JJ, et al.
Clinical Practice Guideline : Tonsillectomy in Children. Otolaryngol Head Neck
Surg. 2011;144:1-30.
5. Don DM, Goldstein NA, Crockett DM, Ward SD. Antimicrobial Therapy for
Children With Adenotonsillar Hypertrophy and Obstructive Sleep Apnea: A
Prospective Randomized Trial Comparing Azithromycin vs Placebo. Otolaryngol
Head Neck Surg 2005;133:562-8.
6. Blackley BW, Magit AE. The Role of Tonsillectomy in Reducing Recurrent
Pharyngitis : A Systematic Review. Otolaryngol Head Neck Surg. 2009;140:291-7.
7. Dayyat E, Kheirandish-Gozal L, Capdevila OS, Maarafeya MMA, Gozal D.
Obstructive Sleep Apnea in Children : Relative Contributions of Body Mass Index
and Adenotonsillar Hypertrophy. Chest. 2009;136:137-44.
8. Brodsky L. Modern assessment of tonsils and adenoids. Recent Adv Pediatr
Otolaryngol. 1989;36:1551–7.
9. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of sore throat and
indications for tonsillectomy A national clinical guideline. 2010.
10. Finnish Medical Society Duodecim. Sore throat and tonsillitis. In: EBM Guidelines.
Evidence-Based Medicine. Finland: Duodecim Medical Publications; 2005.
11. Escario JC, Martin FDC, Campdera JA, Albert JRG, Pinero BP, Sanz MAV.
Indications for tonsillectomy and adenoidectomy: consensus document by the
Spanish Society of ORL and the Spanish Society of Pediatrics. 2006; 57:59-65.
12. Harris MA, Coates Harvey, Harari M, et al. A joint Postion paper of the Paediatrics
& Child Health Division of The Royal Australasian College of Otolaringology
Head and Neck Surgery. 2008.
13. Robb PJ, Bew S, Kubba H. Tonsillectomy and adenoidectomy in children with
sleep-related breathing disorders: consensus statement of a UK multidisciplinary
working party. Ann R Coll Surg Engl. 2009;91:371–3.
14. Van Staaij BK, Van den Akker EH, Rovers MM. Effectiveness of adenotonsillectomy
in children with mild symptoms of throat infections or adenotonsillar hypertrophy:
open, a randomised controlled trial. BMJ. 2004:1-6
15. Van Staaij BK, Van den Akker EH, Van der Heijden GJ, Schilder AG, Hoes AW.
Arch Dis Child. 2005;90:19–25.
16. Buskens E, Van Staaij B, Van den Akker J, Hoes AW, Schilder AGM.
Adenotonsillectomy or Watchful Waiting in Patients With Mild to Moderate
Symptoms of Throat Infections or Adenotonsillar Hypertrophy. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg. 2007;133:1083-8.

105
Hipertrofi tonsil: kapan harus dirujuk?

17. Goldstein NA, Fatima M, Campbell TF, Rosenfeld RM.  Child  behavior  and  quality
of life before and after tonsillectomy  and adenoidectomy. Arch Otolaryngol, Head 
Neck Surg. 2002;128:770-5.
18. Beraldin BS, Rayes TR, Villela PH, Ranieri DM. Assessing the impact
adenotonsilectomy has on the lives of children with hypertrophy of palatine and
pharyngeal tonsils. Braz J Otorhinolaryngol. 2009;75(1):64-9.
19. Toh A, Mullin A, Grainger J, Uppal H. Indications for tonsillectomy: are we
documenting them? Ann R Coll Surg Eng. 2009;91:697–9.

106
Peran Pencitraan dalam Tata laksana
Penyakit Respiratorik
H F Wulandari

Tujuan:
1. Mengetahui kemampuan berapa modalitas pencitraan
2. Mengetahui indikasi penggunaan modalitas pencitraan

Modalitas pencitraan umum digunakan dalam tata laksana penyakit respiratorik,


baik untuk membantu menegakkan diagnosis, evaluasi pengobatan, melihat
adanya komplikasi ataupun dalam pelaksanaan terapi. Pemilihan modalitas
yang digunakan perlu didasari oleh pengetahuan tentang kemampuan
masing-masing modalitas yang ada serta pertimbangan tentang risiko dan
keuntungannya bagi pasien. Modalitas pencitraan yang banyak digunakan
dalam tata laksana penyakit respiratorik adalah radiografi konvensional, CT
scan dan ultrasonografi (US). Di bawah ini akan sedikit diuraikan beberapa
penyakit respiratorik dan peran modalitas pencitraan dalam tata laksananya.

Sinusitis
Sinus paranasalis adalah rongga-rongga pneumatik yang berhubungan dengan
fossa nasalis dan terletak di dalam tulang paranasal; maksilaris, etmoidalis,
frontalis dan sfenoidalis. Ukuran dan bentuk rongga-rongga ini berbeda sesuai
usia, antar individu dan bahkan dalam 1 individu rongga yang sebelah kanan
dan kiri bisa berbeda.

Unit osteomeatal
Komponen dari unit osteomeatal (UOM) (pusat drainage sinus) sudah
terbentuk saat lahir. Kejelasan anatomi UOM penting untuk perencanaan
operasi. CT scan potongan koronal dapat dengan jelas memperlihatkan
anatomi OUM ini.

107
Peran Pencitraan dalam Tata laksana Penyakit Respiratorik

Sinusitis Akut
Berbagai pemeriksaan pencitraan pada sinusitis akut tanpa komplikasi tidak
dianjurkan. The American College of Radiology dan The American Academy
of Pediatrics memberikan arahan untuk menggunakan modalitas pencitraan
dengan bijak. Guideline yang ditetapkan oleh The American Academy of
Pediatrics menyatakan bahwa foto sinus paranasalis tidak diperlukan dalam
diagnosis sinusitis tanpa komplikasi pada anak di bawah usia 6 tahun.
Penggunaannya pada anak di atas 6 tahun mungkin bermanfaat.
Pemeriksaan pencitraan untuk sinus paranasalis tidak dapat membedakan
adanya sinusitis akibat virus atau bakteri serta tidak mengubah tata laksana
yang diberikan pada sinustitis akut tanpa komplikasi. Perubahan gambaran
jaringan lunak sinus paranasalis pada individu tanpa sinusitis yang dilakukan
foto radiografi, CT atau MRI karena alasan lain didapatkan sebesar 33-50
%. Insidens ini semakin besar pada bayi dan anak. Pada suatu penelitian
didapatkan sebanyak 97% bayi dan anak kecil yang menderita infeksi saluran
nafas akut 2 minggu sebelum dilakukan CT scan kepala karena alasan lain
menunjukkan perubahan gambaran jaringan lunak sinus paranasalis. Korelasi
klinis sangat penting dalam mengevaluasi signifikannya suatu gambaran
pencitraan. Selain itu sebagian besar anak yang didiagnosis sinusitis akan juga
menunjukkan perubahan gambaran pencitraan sinus paranasalis sehingga tidak
akan mengubah tata laksana yang diberikan.

Foto sinus paranasalis


Foto sinus paranasalis standar (4 posisi: Waters, Caldwell, posteroanterior dan
lateral) sulit dilakukan pada anak kecil. Foto sinus paranasalis memang lebih
murah dan mudah didapat dibandingkan CT scan, tetapi kemampuannya
untuk memperlihatkan detil anatomi dan UOM terbatas. Underdiagnosis dan
overdiagnosis kelainan jaringan lunak sinus paranasalis juga lebih tinggi terjadi
pada foto radiografi dibandingkan CT.
Pada keadaan khusus pada anak yang lebih tua foto sinus paranasalis
dengan posisi Waters mungkin bermanfaat. Gambaran air–fluid level tanpa
riwayat trauma sebelumnya berhubungan dengan adanya sinusitis akut.

CT scan sinus paranasalis


Foto sinus paranasalis tidak adekuat memperlihatkan sel-sel udara etmoid
bagian anterior, 2/3 bagian atas kavum nasal, frontal recess dan sinus sfenoidalis.
CT potongan koronal mampu memberikan gambar sinus paranasalis dengan
baik dan dapat mendeteksi perubahan yang terjadi pada tulang yang tipis,

108
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

jaringan lunak sekitar dan jalan udara yang tumpang tindih. Hal-hal tersebut
menjadikan CT scan sebagai modalitas pencitraan optimal untuk mengevaluasi
sinus paranasalis dan jalan drainage melalui ostium ke dalam kavum nasal.
CT scan juga merupakan alat terbaik untuk melihat komplikasi sinusitis
seperti: selulitis pre/post septal, abses periosteal, selulitis atau abses orbital,
osteomielititis tulang frontal, empiema subdural, meningitis, abses otak serta
trombosis sinus kavernosum. Kontras intra vena hanya digunakan untuk
mengevaluasi penyebaran infeksi ke intra kranial dan orbita.
Dengan adanya FESS (functional endoscopic sinus surgery) maka CT scan
dapat memberikan road map operasi yang akan dilakukan. CT scan preoperatif
dapat memperlihatkan ekstensi penyakit, perubahan UOM dan variasi anatomi
yang ada. Hematoma orbita sebagai komplikasi FESS juga baik dinilai dengan
CT.
Indikasi CT sebagai pemeriksaan pencitraan adalah untuk:
yy Kasus sinusitis akut yang tidak responsif dengan terapi medis.
yy Evaluasi preoperatif sinus paranasalis
yy Kecurigaan akan adanya komplikasi penyakit atau operasi.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Komplikasi operasi sinus paranasalis yang menimbulkan kebocoran cairan
serebrospinalis dapat dievaluasi menggunakan MRI sisternografi.

Asma
Penggunaan foto toraks pada pasien asma ditujukan untuk menilai adanya
komplikasi. Pada ¾ pasien asma anak yang dirawat ditemukan gambaran
hiperinflasi dan penebalan dinding bronkus. Lima belas sampai 20% anak yang
dirawat tersebut menunjukkan kelainan tambahan berupa atelektasis atau
infiltrat. Pneumomediastimum ditemukan pada 0,3-5,4% kasus sedangkan
pneumotoraks lebih jarang ditemukan.

Adenoid dan tonsil


Adenoid dan tonsil palatina dapat dievaluasi menggunakan foto kepala
posisi lateral. Adenoid mulai tampak pada foto radiografi saat usia 3-6 bulan.
Pembesaran adenoid ataupun tonsil palatina dapat menyebabkan obstruksi
jalan nafas.

109
Peran Pencitraan dalam Tata laksana Penyakit Respiratorik

Pembesaran kelenjar getah bening (adenopati)


mediastinal-hilus
Adenopati dapat disebabkan oleh suatu infeksi respiratorik dan lebih banyak
terjadi pada tuberkulosis dan histoplasmosis.
Pembesaran kelenjar paratrakeal pada foto toraks dapat diidentifikasi pada
sebelah kanan dengan adanya massa jaringan lunak yang mengobliterasi garis
paratrakeal kanan. Pembesaran kelenjar paratrakeal lebih mudah dideteksi
pada anak yang lebih tua. Pada anak yang lebih tua timus sudah mengecil
dan struktur normal mediatinum dan hilus sudah lebih jelas. Pada anak yang
lebih kecil foto toraks kadang sulit membedakan antara timus dan adenopati.
Dalam hal ini diperlukan pemeriksaan pencitraan dengan tehnik cross -sectional.
Pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks AP sulit dibedakan dengan
pembuluh darah yang prominen di daerah hilus. Adanya peningkatan opasitas
daerah hilus dapat dicurigai adanya suatu adenopati. Foto toraks lateral sangat
membantu untuk melihat adanya adenopati. Obliterasi garis atau penebalan
dinding posterior bronkus intermedius menunjukkan adanya massa atau
pembesaran kelenjar hilus.
Pada foto toraks lateral pembuluh darah di daerah hilus akan tampak
sebagai opasitas berbentuk seperti “telapak kaki kuda” di daerah distal trakea.
Seharusnya daerah di distal trakea ini dan antara pembuluh-pembuluh darah
tersebut tampak “bersih”. Perubahan opasitas bentuk “telapak kaki kuda”
menjadi “bulat” menunjukkan adanya adenopati subkarinal.

Ultrasound guided intervention


US merupakan modalitas yang tepat untuk suatu prosudur intervensi pada
anak karena umumnya habitus tubuh anak tipis. Beberapa keuntungan
US dibandingkan modalitas pencitraan lain adalah: bersifat mobile, relatif
tidak mahal dan tidak menggunakan sinar pengion. Tidak seperti CT yang
memerlukan potongan aksial untuk visualisasi jarum intervensi, maka US
bisa memvisualisasi jarum dari berbagai arah. Biopsi atau drainage juga dapat
dilakukan dengan pasien dalam berbagai posisi.

Aspirasi diagnostik
US dapat menunjukkan karakteristik cairan yang akan diaspirasi apakah
mengandung debris atau adanya septasi. Walaupun US mampu menentukan
lokasi cairan dengan baik, US tidak bisa membedakan apakah cairan itu adalah
pus, darah, empedu, limfe atau urin.

110
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Efusi pleura
Aspirasi cairan efusi pleura merupakan indikasi yang paling sering untuk
intervensi perkutan daerah dada. Akses ke daerah pleura didapat dengan
melakukan skanning melalui daerah subkostal atau interkostal.

Simpulan
Modalitas pencitraan dalam tata laksana penyakit respiratorik digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis, mendeteksi adanya komplikasi, evaluasi
pengobatan dan membantu dalam pelaksanaaan terapi. Pemilihan modalitas
pencitraan tergantung kepada kemampuan alat yang ada dan masalah klinis
pasien. Modalitas pencitraan tidak dianjurkan digunakan pada sinusitis akut
tanpa komplikasi. Foto toraks digunakan untuk melihat komplikasi pasien
asma yang dirawat. Foto lateral kepala dapat menilai adenoid dan tonsil
palatina. Untuk mendeteksi adanya pembesaran kelenjar hilus dan sub karinal
diperlukan fot toraks AP dan lateral. US guided intervensi umum digunakan
pada tata laksana efusi pleura.

Daftar Pustaka
1. American College of Radiology: Sinusitis in the pediatric population: ACR
appropriateness criteria. Radiology. 2000;215:811-8.
2. America College of Pediatrics, Subcommittee on Management of Sinusitis and
Committee on Quality Improvement: clinical practice guideline: management
of sinusitis. Pediatrics. 2001;108:798-808.
3. Cooper ML, Slovis TL. The sinuses. Dalam: Slovis TL, penyunting. Caffey’s
Pediatric diagnostic imaging. Edisi ke-11. Philadephia: Mosby; 2008.h.562-78.
4. Cervantes LF, Medina LS, Effmann EL. The head and neck. Dalam: Slovis TL,
penyunting. Caffey’s Pediatric diagnostic imaging. Edisi ke-11. Philadephia:
Mosby; 2008.h.1026-67.
5. Coley BR. Ultrasound-guided interventional procedures. Dalam: Siegel MJ,
penyunting. Pediatric sonography. Edisi ke-4. Philadelphia:Lippincott Williams
& Wilkins; 2011.h.675-700.

111
Respiratory Care for Children with
Neurological Impairment
Luh Karunia Wahyuni

Anak dengan hendaya neurologis seperti palsi serebral beresiko tinggi


mengalami gangguan fungsi respirasi. Fungsi respirasi memegang peran penting
dalam menentukan kualitas dan harapan hidup anak ini. Dari penelitian
terhadap anak yang mengalami disabilitas berat di 3 institusi di Amerika Serikat
tahun 19981 didapatkan 77% kematian disebabkan oleh pneumonia, dan pada
tahun yang sama dilakukan pula survei pada komunitas yang lebih luas terhadap
anak dan dewasa dengan kesulitan belajar didapatkan 52% kematiannya
disebabkan oleh masalah respirasi.2 Seringkali kondisi penyakitnya sendiri
tidak secara langsung menyebabkan komplikasi fungsi respirasi, tapi justru
konsekuensi dari disfungsi neuromuskularlah yang lebih berperan.3 Komplikasi
respirasi yang berkaitan dengan palsi serebral sesungguhnya dapat dihindari
atau diatasi. Hanya saja keterbatasan anak dalam berkomunikasi seringkali
menyebabkan keterlambatan dalam mengenali gangguan ini disamping karena
kesulitan untuk menetapkan diagnosis yang tepat. Kurang diperhatikannya
perawatan yang bersifat preventif menyebabkan meningkatnya morbiditas
dan mortalitas dini, meningkatnya biaya perawatan medis, serta mengurangi
kualitas hidup.

Faktor-faktor yang berperan terhadap gangguan


respirasi
Proses menelan, mekanisme kontrol postural, kontrol bicara dan aktifitas
regulasi akan terintegrasi dengan proses respirasi pada saat yang tepat yaitu
pada saat pola bernapas yang efisien dan terkoordinasi dengan proses menelan
telah terjadi. Ada berbagai faktor yang berkontribusi terhadap kecenderungan
anak palsi serebral lebih rentan mengalami gangguan respirasi. Sejumlah faktor
saling berinteraksi satu sama lain dan sangat bervariasi pada setiap individu,
diantaranya:4,5

112
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

1. Aspirasi berulang karena komplikasi dari disfagia dan gastro-esophageal


reflux
2. Batuk yang tidak efektif sebagai akibat dari koordinasi yang tidak adekuat
antara otot bulbar dan kelemahan otot–otot abdomen dan diafragma
3. Gangguan pengembangan paru (Penyakit paru restriktif) akibat dari
kelemahan otot pernapasan dan deformitas tulang belakang (misalnya
kiposkoliosis)
4. Imobilisasi sebagai akibat dari diskoordinasi dan kesulitan mengontrol
postur, diperberat oleh adanya gangguan kognisi
5. Kecenderungan tonus motorik nasofaringeal yang buruk yang mengarah
kepada obstruksi saluran nafas atas dan sindrom obstructive sleep apneu

Aspirasi
Aspirasi merupakan penyebab utama masalah respirasi pada penderita palsi
serebral.6 Karena air liur, benda asing dan cairan lambung mengandung bakteri,
aspirasi menyebabkan masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas yang
seharusnya steril. Ada beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko aspirasi
diantaranya disfagia, refluk gastroesofagal, dan kejang.

Disfagia (Kesulitan menelan)


Proses pemberian makan pada anak bukanlah sekedar untuk pemenuhan gizi
semata. Pada setiap tahapan pemberian makan terkandung proses belajar.
Melalui makan anak belajar mempraktekkan ketrampilan oromotor untuk
memanipulasi dan menelan makanan; ketrampilan motorik kasar dan halus
untuk eksplorasi lingkungan, menjaga stabilitas, kesegarisan dan kesimetrisan
kepala dan batang tubuh; serta ketrampilan berkomunikasi dengan orang tua
atau pengasuh anak. Sedangkan menelan adalah suatu proses rumit yang
melibatkan manuver dimana dibutuhkan koordinasi gerakan neuromuskuler
yang komplek dari sejumlah otot mulai dari mulut, faring, laring, esophagus,
diafragma dan otot pernafasan lain. Respirasi sangat terkait dengan aktivitas
menelan karena pada saat proses menelan, respirasi harus dihentikan sementara
untuk menghindari aspirasi benda asing ke saluran napas. Tidak mengherankan
bahwa proses pembelajaran dan rangkaian maneuver ini bisa sangat terganggu
oleh kondisi neuromuskular dan koordinasi gerak yang tidak adekuat pada
palsi serebral.7 Hampir 60% pasien dengan palsi serebral mengalami komplikasi
ini.8,9 Kesulitan menelan dapat disebabkan oleh koordinasi dan kontrol
oromotor yang buruk, elevasi dan adduksi laring tidak adekuat, reflek menelan
lambat, koordinasi yang tidak optimal antara fungsi menelan dan bernafas,
serta ketidakmampuan menjaga postur yang adekuat. Diskoordinasi pada
proses menelan inilah yang mengakibatkan terjadinya aspirasi.10 Kondisi ini

113
Respiratory Care for Children with Neurological Impairment

diperberat oleh ketidakmampuan pasien memproteksi jalan nafas melalui


batuk yang efektif.

Gastro-oesophageal reflux (GER).


Gastro-esophageal reflux (GER) terjadi saat fungsi sfingter esophagus bagian
bawah yang terganggu memungkinkan isi atau cairan lambung masuk kembali
ke dalam esophagus.11 Prevalensi GER pada palsi serebral sangat tinggi; lebih
dari 90% penderita menunjukkan beratnya GER pada beberapa tingkatan.
Walaupun penjelasan tepat yang melatarbelakangi insiden GER yang tinggi
masih kurang, salah satu faktor yang dianggap berperan adalah akibat
abnormalitas postural dan/atau spasitisitas otot abdomen yang menyebabkan
tingginya tekanan intra abdominal. Karena cairan refluks tidak dapat
dibersihkan secara aktif akibat gangguan peristalsis maka terjadilah aspirasi.
Selain sebagai predisposisi untuk infeksi paru, refluks dapat menimbulkan
henti napas dan/atau spasme laring.12 Penyebab lainnya berkaitan dengan
tonus otot yang terganggu karena efek samping obat seperti antikolinergik
dan obat penenang.13
Aspirasi berulang cairan lambung yang mengandung bakteri dan substansi
yang asam dan pedas, merupakan faktor penting yang berkaitan dengan
kerusakan paru. Aspirasi baik yang disebabkan maupun tidak disebabkan
oleh mekanisme tersebut diatas, mengakibatkan inflamasi dan infeksi saluran
napas bawah. Selanjutnya proses kerusakan berjalan terus terkadang tidak
disadari, lambat laun menyebabkan bronkiektasis dan kerusakan parenkim
paru. Pada saat sudah terjadi bronkiektasis, selanjutnya akan terjadi gangguan
pembersihan sekresi saluran napas dan predisposisi infeksi saluran napas
bawah lebih lanjut. Aspirasi pada anak dengan serebral palsi seringkali muncul
“diam–diam” atau tidak nyata, tanpa adanya tersedak atau batuk.6
Hubungan antara aspirasi dan kerusakan paru bukanlah hubungan
yang berbanding linear, mengingat adanya faktor lain yang terlibat (termasuk
yang akan didiskusikan selanjutnya) disamping beberapa anak terlihat dapat
mentoleransi aspirasi tanpa berkembang menjadi kerusakan paru yang
berat. Walaupun 2 mekanisme yang mendasari terjadinya aspirasi itu dapat
hadir bersamaan, penting untuk membedakan kontribusi mereka, karena
penatalaksanaannya berbeda.

Batuk dan kemampuan membersihan jalan napas yang tidak


adekuat
Batuk merupakan komponen penting dari kesehatan pernapasan. Pengeluaran
udara yang kuat dari paru-paru selama batuk, akan memobilisasi, dan
membersihkan sekresi lendir. Batuk yang efektif memiliki 4 komponen14 yaitu

114
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

fungsi sensorik yang adekuat untuk mendeteksi adanya iritasi dan sekresi
jalan napas, kemampuan untuk menghasilkan sebuah inspirasi dalam (yang
dipengaruhi oleh kekuatan otot inspirasi), penutupan glotis serta kekuatan
kontraksi otot ekspirasi. Batuk yang efektif menghasilkan kekuatan yang
cukup untuk membersihkan sekresi jalan napas sekaligus memberikan fungsi
pertahanan yang memadai. Batuk membutuhkan inspirasi sampai 85% -90%
dari kapasitas total paru, diikuti dengan penutupan glotis untuk sekitar 0,2
detik. Simultan dengan penutupan glottis maka otot-otot ekspirasi, yang
teregang oleh volume inspirasi, akan mengempis dari keadaan mengembang,
sehingga memungkinkan terbentuknya tekanan intra pleuralyang
optimal. Sebagai hasil dari tekanan ini, ketika glotis terbuka, lendir terlepas
dari dinding jalan napas oleh volume udara ekspirasi yang tinggi.15
Beberapa faktor yang menghambat fungsi batuk pada anak dengan palsi
serebral adalah: 1) kapasitas inspirasi tidak adekuat akibat dari kelemahan otot
diafragma atau kelainan bentuk tulang belakang 2) koordinasi yang buruk dari
otot bulbar, gangguan penutupan glotis dan ketidakmampuan membangun
tekanan intrapleural yang adekuat dan 3) buruknya koordinasi dan kekuatan
otot-otot ekspirasi sehingga mengurangi kekuatan pengeluaran lendir. 

Gangguan pengembangan paru


Stabilitas jalan napas akan mempengaruhi postur kepala dan leher yang
akhirnya akan mempengaruhi pola postur dan pergerakan. Perlu diketahui
bahwa semua otot yang menghubungkan kepala ke bahu, bahu ke panggul, iga
ke vertebra, iga ke pelvis dan sternum ke pelvis, terlibat secara efisien dalam
pola respirasi fungsional. Otot-otot ini adalah otot-otot yang sama dengan otot-
otot yang mengatur keseimbangan, kontol kepala, stabilitas bahu, dan kontrol
serta stabilisasi pelvis. Otot-otot tersebut harus berfungsi dengan benar untuk
dapat mengatur stabilitas tubuh dan juga mobilisasinya. Secara biomekanika,
pengembangan paru-paru tergantung pada pengembangan rongga dada.
Bentuk dada pada neonatus adalah triangular. Sesuai dengan posisi fleksi
fisiologis, vertebra servikal dan torakal dalam posisi fleksi, iga-iga tersusun
secara horisontal, tanpa ruang interkostal dan stabilitas sternal. Neonatus
melakukan pernapasan diafragma dengan cadangan respirasi yang terbatas.
Pada usia 3-5 bulan, saat bayi telah dapat mengontrol gerakan kepala
maka tonus ekstensor akan meningkat di sepanjang tulang belakang, mulai
memiliki kemampuan menumpu pada ekstremitas atas. Melalui cara ini, bayi
mengaktifkan dan memperkuat otot-otot torakal untuk pernapasan torak/
abdomen. Bergerak dengan dada sebagai titik tumpu membantu perkembangan
otot torak bagian bawah dan otot abdomen serta memindahkan pusat gravitasi
ke arah pelvis dan menurunkan rongga dada sehingga akan meningkatkan

115
Respiratory Care for Children with Neurological Impairment

kapasitas vital dan menurunkan laju respirasi. Bagian atas rongga dada akan
terbuka dan menghasilkan bentuk segiempat, namun iga masih tersusun
horisontal karena otot interkostal belum aktif.
Usia 6-12 bulan bayi akan semakin sering bermain dengan suara (vokal)
dan bereksperimen dengan berbagai volume suara dan nada. Hal ini dapat
dilakukan karena posisi kepala yang semakin terdisosiasi dari bahu dan semakin
mampu untuk menegakkan badan (duduk), hal ini memerlukan kestabilan
tulang belakang untuk melawan gravitasi. Bersamaan dengan aktivitas tersebut,
otot interkostal akan memanjang dan teraktivasi, hal ini meningkatkan lingkar
rongga dada ke arah atas dan luar.16
Dengan semakin berlanjutnya proses tersebut dan juga dengan bantuan
gravitasi, otot obliqus abdominal akan menarik dan merotasi iga ke arah
bawah, ikut menarik diafragma ke bawah dan menjadikan diafragma berbentuk
kubah. Pada posisi ini diafragma memiliki posisi mekanik yang terbaik dalam
hal panjang, tonus, kontraksi dan kekuatannya. Dengan meningkatnya
kekuatan otot abdomen, semakin baik pula fungsinya menciptakan tekanan
intra abdominal yang efektif untuk kontraksi diafragma.
Pada usia 12 bulan, semua otot respirasi telah berfungsi dan menghasilkan
gerakan respirasi 3 dimensi pada rongga dada, seperti halnya pada orang dewasa
yakni gerakan vertikal (kontraksi diafragma mengakibatkan diafragma tertarik
ke bawah), transversal (kontraksi otot-otot interkostal melebarkan iga) dan
anteror-posterior (otot-otot asesorius menggerakkan sternum dan iga ke arah
luar). Perubahan sudut iga selanjutnya terjadi seiring dengan bertambahnya usia
dan kapasitas vital akan meningkat dan laju respirasi menurun. Peningkatan
kemampuan bicara akan membutuhkan ekspansi dinding dada dan pergerakan
ligamen laring yang lebih terkontrol.
Penyakit paru restriktif adalah gangguan bernapas akibat penurunan
sifat elastis paru-paru dan dinding dada dan ditandai dengan volume dan
kapasitas paru yang statis atau berkurang. Pada palsi serebral tulang iga
tetap berada pada posisi datar, sehingga tidak terjadi gerakan 3 dimensi pada
rongga dada, tulang belakang dan dada biasanya berubah bentuk menjadi
kiposkoliosis karena tonus otot yang tidak setara dengan keharusan melawan
gravitasi.4  Selain itu, pernapasan kurang terkoordinasi, mengandalkan otot
perut bukan otot dada.18,19 Akhirnya, gerakan dada terbatas dan otot dada
melemah. Selanjutnya, kemampuan untuk bernapas panjang, menghasilkan
kekuatan ekspirasi, dan batuk efektif menjadi terganggu.  Selain itu skoliosis
dapat mengakibatkan ekspansi paru yang tidak sama (atelektasis basal pada
sisi cekung dan ekpansi berlebihan dari sisi cembung), menyebabkan ventilasi/
perfusi yang tidak sebanding. Faktor-faktor ini bersama-sama meningkatkan
kerja pernapasan dan menyebabkan rentan terhadap kegagalan pernafasan. Jika
skoliosis berkembang di awal masa kanak-kanak, pertumbuhan paru-paru juga

116
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

terganggu.4 Tidak seperti skoliosis idiopatik, pada palsi serebral kelengkungan


dapat terus berkembang bahkan ketika pertumbuhan telah berhenti. Sindrom
tulang belakang yang kaku menyebabkan kontraktur otot-otot ekstensor
postspinal atau postservikal yang membatasi fleksi/ekstensi normal dari tulang
belakang. Kekakuan tersebut mengurangi ekspansi dinding dada dan dapat
menyebabkan cacat pernapasan restriktif yang nyata. 

Imobilitas (ketidakmampuan untuk bergerak)


Pada palsi serebral, disfungsi neuromotor dapat membatasi aktifitas dan latihan
fisik, menurunkan kemampuan untuk mempertahankan kapasitas aerobik,
fungsi respirasi, dan volume paru.20,21 Latihan fisik merupakan komponen
penting pada mekanisme normal pembersihan jalan napas, meningkatkan
eliminasi lendir sebanyak 40% dibandingkan dengan bernapas pada saat
istirahat.20 Untuk jalan nafas perifer yang tidak dapat dibersihkan secara efektif
dengan batuk, latihan dan aktifitas fisik merupakan faktor yang sangat penting
dalam mekanisme pembersihan. Obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh
gumpalan lendir merupakan penyebab utama atelektasis pada anak dengan
gangguan/kecacatan neuromuskular.4,19

Henti Napas Saat Tidur


Otot-otot faring memegang peranan yang kompleks dan penting untuk
mempertahankan potensi jalan napas selama terjadi perubahan tekanan pada
siklus pernapasan yang normal. Normalnya, pusat pernapasan menstimulasi
kontraksi otot-otot faring untuk membuat faring menjadi kaku sesaat sebelum
kontraksi diafragma, jika tidak maka tekanan negatif dalam faring dapat
menyebabkan faring menjadi kolaps.23 Pada anak-anak dengan palsi serebral,
proses tersebut terganggu. Obstruksi saluran napas atas sering ditandai dengan
nafas berisik walau anak dalam keadaan sadar, semakin menjadi-jadi selama
tidur. Obstructive sleep apnoea (OSA) umumnya ditemukan pada anak dengan
palsi serebral24 (walaupun prevalansi pasti tidak diketahui), dengan gejala sisa
seperti gangguan tidur, gagal tumbuh, dan hipertensi pulmonal.

Rekomendasi
Kesulitan dalam berkomunikasi dan kecenderungan memberi respon yang
terbatas terhadap berbagai masalah dapat mengakibatkan keterlambatan dalam
mengidentifikasi masalah pernapasan dan menyulitkan dalam penegakan
diagnosis yang tepat. Misalnya, anak menanggapi dengan pasif saja masalah
infeksi saluran kemih, konstipasi atau pneumonia Sebagai dokter yang
bijaksana tentu akan mendengarkan dan menghargai pendapat orang tua yang

117
Respiratory Care for Children with Neurological Impairment

lebih berpengalaman dalam mengasuh anak , tetapi juga akan berhati-hati


untuk membedakan mana yang hasil pengamatan langsung, dan mana yang
hasil interpretasi. Pemeriksaan respirasi, seperti pengukuran spirometri, sulit
untuk dilakukan, membuat diagnosis dan pemantauan menjadi sulit. Ada
beberapa rekomendasi yang dapat dianjurkan :
yy Setiap anak, apapun tingkat kecacatannya, layak mendapatkan pengkajian
individual masalah pernapasannya.
yy Penilaian didasarkan pada  gejala dan faktor yang berkontribusi terhadap
kecacatan yang mendasari. Penilaian dari berbagai segi seringkali
dibutuhkan untuk menegakkan etiologi multifaktorial.
yy Intervensi terutama ditujukan untuk mengoptimalkan kualitas hidup
anak. Pandangan dan kondisi sosialekonomi dari orang tua juga harus
diperhitungkan.
yy Beberapa intervensi dapat bermasalah secara etika dan perlu
dipertimbangkan dengan cermat.
Pada akhirnya, respon klinis harus memperhatikan prognosis penyakit,
tingkat pemahaman dan ekspektasi orangtua serta kualitas hidup anak.4

Tahapan tata laksana


1. Dimulai dengan menggali riwayat penyakit yang teliti dan rinci, yang
sebanyak mungkin didapatkan dari orangtua yang meliputi sifat alami
masalah pernapasan (misalnya, episode mengi, infeksi berulang saluran
pernapasan bawah, sleep apnea dan lain-lain).
2. Membuat daftar faktor yang mungkin berkontribusi (misalnya aspirasi
dengan atau tanpa refluks dan skoliosis).
3. Rencana pengobatan ditetapkan berdasarkan permasalahan yang
teridentifikasi. Terapi fisik dada merupakan salah satu komponen
penting dalam pengelolaan komplikasi pernapasan yang terkait dengan
palsi serebral berat. Untuk mencapai hasil yang optimal, bagaimanapun,
sangat penting untuk mengidentifikasi  bentuk pengobatan mana yang
paling efektif untuk tiap individu. Program latihan yang mengoptimalkan
kontrol postural, pernapasan diafragma, meningkatkan kekuatan aliran
udara saluran napas, dan merangsang batuk dapat meningkatkan proses
pembersihan sekresi.25
4. Diperlukan kejujuran penyampaian tentang prognosis yang mungkin
terjadi, dan tentang seberapa jauh pengobatan harus dijalani oleh
anak. Akan lebih baik jika masalah ini dibahas terlebih dahulu sebelum
terjadi krisis. Diskusi ini (dan beberapa langkah yang telah dilakukan)
perlu ditinjau kembali jika kondisi dan kualitas hidup anak memburuk.4

118
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

Simpulan
Komplikasi pernapasan yang terkait dengan palsi serebral dapat dihindari
atau diobati. Kurangnya perhatian terhadap kesehatan paru pada individu
dengan palsi serebral mengakibatkan peningkatan morbiditas dan kematian
dini, meningkatkan biaya perawatan medis yang selanjutnya mengakibatkan
penurunan kualitas hidup. 

Daftar pustaka
1. Plioplys AV, Kasnicka I, Lewis S, et al. Survival rates among children with severe
neurological disabilities. South Med J 1998;91:161–72.
2. Hollins S, Attard MT, von Fraunhofer N, et al. Mortality in people with learning disability:
risks, causes and death certification findings in London. Dev Med Child Neurol 1998;40:50–
3. Todor DS. Respiratory problems in the adolescent with developmental delay. Adolescent
Medicine: State of the Art Reviews,2000; 11 (3):617-31.
4. Seddon PC, Khan Y. Respiratory problems in children with neurological impairment.
Arch Dis Child 2003;88:75–78
5. Shaw B. The respiratory consequences of neurological deficit. In Sullivan PB, Rosenbloom
L.ed. Feeding the disabled child. Mc Keith Press, London, 1996;40-6
6. Arvedson J, Rogers B, Buck G, Smart P, Msall M. Silent aspiration prominent in children
with dysphagia. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 1994; 28 (2-3):173-181
7. Casas MJ, Kenny DJ, McPherson KA. Swallowing/ventilation interactionsn during oral
swallow in normal children and children with cerebral palsy. Dysphagia 1994;9:40–6.
8. Del Guidice E, Staiano A, Capano C, Romano A, Florimonte L, Miele E, Ciarla C,
Campanozzi A, Crisanti AF. Gastrointestinal manifestations in children with cerebral
palsy. Brain 1999; 21: 307-311.
9. Waterman ET, Koltai, Downey JC, Cacace AT. Swallowing disorders in a population of
children with cerebral palsy. Int J Ped Otorhinolaryngol 1992; 24:63-71.
10. Rogers B, Arvedson J, Buck G, Smart P, Msall M. Characteristics of dysphagia in children
with cerebral palsy. Dysphagia 1994; 9:69-73.
11. Drvaric DM, Roberts JM, Burke SW. Gastroesophageal evaluation in totally involve
cerebral palsy patients. J Ped Orthoped 1987; 7 (2): 187-190.
12. Sondheimer JM, Morris BA. Gastroesophageal reflux and respiratory disease among
severely retarded children. J Pediatr 1979; 94:710-714.
13. Bohmer CJM, Niezen-de Boer MC, Klinkenberg-Knol, EC, Deville WL, Nadorp JH
Meuweissen SG. The prevalence of gastroesophageal reflux disease in institutionalized
intellectually disabled individuals. Am JGastroenterol 1999; 94 (4): 804-810.
14. Remacle M, Marza L, Lawson G. A new epiglottoplasty procedure for the treatment of
intractable aspiration. Eur Arch Otorhinolaryngol 1998;255:64–7.
15. McCool FD, Leith DE. Pathophysiology of cough. Clin Chest Med 1987; 8(2):189-195.
16. Stomer M. Posture and movement of the child with cerebral palsy. Therapy skills builders,
USA, 2000.
17. Saito N, Ebara S, Ohotsuka K, et al. Natural history of scoliosis in spastic cerebral palsy.
Lancet 1998; 351:1687-1692.
18. Dias RC, Miller F, Dabney K, Lipton GE. Revision spine surgery in children with cerebral
palsy. J Spi Dis 1997; 10(2): 132-144.

119
Respiratory Care for Children with Neurological Impairment

19. Benditt JO. Management of pulmonary complications in neuromuscular disease. Phys Med
Rehabil Clin N Am 1998; 9 (1):167-185.
20. Bjure J, Berg K. Dynamic and static lung volumes of school children with cerebral palsy.
Acta Paediatr Scand Suppl. 1970; 204:Suppl 204:35-39.
21. Lundberg A. Maximal aerobic capacity of young people with spastic cerebral palsy. Dev
Med Child Neurol 1978; 20:205-210.
22. Wolff RK, Dolovivich MB, Obminski G, Newhouse MT. Effects of exercise and eucapnic
hyperventilation on bronchial clearance. J ApplPhysiol 1977;43 (1):46-50.
23. Brouillette RT, Thach BT. A neuromuscular mechanism maintaining extra-thoracic airway
patency. J Appl Physiol 1979;46:772–9.
24. Kortagal S, Gibbons VP, Stith JA. Sleep abnormalities in patients with severe cerebral
palsy. Dev Med Child Neurol 1994;36:304–11.
25. Schechter M. Airway clearance applications in infants and children. Respiratory Care
2007; 52(10): 1382-90

120
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi
Nia Kurniati

Tujuan:
1. Mengingatkan kembali berbagai golongan obat yang digunakan dalam
terapi alergi

Prevalens penyakit alergi (asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, alergi makanan,
urtikaria dan anafilaksis) bervariasi di berbagai negara, berdasarkan umur
maupun tingkat sosial ekonomi namun polanya menunjukkan peningkatan.
Penelitian International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) dan
European Community Respiratory Health Study (ECRHS) membuktikan bahwa
asma adalah kondisi yang sering ditemukan di hampir seluruh bagian dunia.
Kedua penelitian besar ini mengindikasikan bahwa lebih dari 300 juta orang
di dunia mengalami asma dan lebih banyak lagi yang mengalami rinitis alergi.
Beban penyakit alergi sangat besar di tingkat individual maupun keluarga, dan
secara tidak langsung menyebabkan tingginya beban kesehatan tersembunyi di
tingkat negara dan menjadikan alergi sebagai masalah kesehatan masyarakat.
Penyakit alergi adalah penyakit kompleks karena baik faktor genetik juga
lingkungan mempengaruhi perkembangan penyakitnya. Asma dan rinitis alergi
memiliki fenotip klinis yang mirip, keduanya menunjukkan pengelompokan
familial dan intra-individual yang mengindikasikan penyebab penyakit yang
tumpang tindih.
Rinitis alergi adalah penyakit kronik yang mayor karena sifat prevalensnya,
beban ekonomi dan hubungannya dengan asma dan komorbiditas lainnya.
Rinitis alergi merupakan bagian dari allergic march selama masa kanak-kanak,
tetapi rinitis alergi intermiten tidak biasa terjadi pada umur lebih muda dari
2 tahun dan paling sering ditemukan pada usia sekolah. Pada usia balita
diagnosis rinitis alergi tidak mudah ditegakkan. Interaksi antara saluran napas
atas dan bawah telah diteliti secara ekstensif sejak tahun 1990-an. Lebih dari
80% penderita asma juga menderita rinitis dan 10-40% pasien rinitis juga
menderita asma.
Dermatitis atopi adalah penyakit kronik rekuren/berulang yang ditandai
dengan rasa sangat gatal di kulit, terjadi pada keluarga dengan penyakit atopik
lainnya. Dengan prevalens sebesar 2–5% (15% pada anak dan dewasa muda),
dermatitis atopi merupakan penyakit kulit atopi yang sering ditemukan.

121
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi

Konsekuensi dan dampak sosial ekonomi penyakit alergi seringkali


kurang diperhitungkan dan penyakit alergi sering kurang diterapi dengan
tepat sehingga menyebabkan peningkatan biaya kesehatan langsung dan
tidak langsung. Pengontrolan gejala akan menyebabkan peningkatan kualitas
hidup penderitanya dan memberikan kontribusi untuk tercapainya manusia
yang sehat.

Terapi Farmakologis
Pengobatan alergi merupakan kombinasi antara edukasi, farmakoterapi dan
imunoterapi yang dirancang secara individual. Manajemen penyakit menurut
panduan berbasis bukti menghasilkan respon pasien yang lebih baik. Beberapa
panduan global telah tersedia diantaranya untuk rinitis alergi, asma, dermatitis
atopi dan anafilaksis. Umumnya panduan tersebut menggunakan berbagai
kombinasi obat dan disesuaikan dengan berat-ringannya gejala serta naik-
turunnya kondisi penderita (step up-step down therapy).
Adapun tujuan pengobatan berbeda menurut jenis penyakitnya.
Contohnya adalah tujuan utama pengobatan rinitis adalah tidur tidak lagi
terganggu, mampu beraktivitas harian normal atau berolahraga tanpa gangguan
atau gangguan minimal efek samping obat yang digunakan. Tujuan pengobatan
asma adalah mempertahankan fungsi normal paru dan mengontrol gejala asma
di siang hari, tanpa disertai atau dengan keterbatasan minimal dalam berolah
raga, tidak ada gejala asma di malam hari dan tidak ada eksaserbasi.
Terapi farmakologi harus memperhitungkan efektivitas, keamanan, cost-
effectiveness, pilihan pasien dan adanya komorbiditas. Berikut ini obat-obat
yang sering digunakan untuk pengobatan alergi.

H1-antihistamin: H1-blockers atau H1-antihistamin adalah obat yang


memblok histamin di reseptornya. Terdapat antihistamin generasi 1 dan generasi
2. Antihistamin generasi 2 menginduksi sedikit sedasi atau ketidakmampuan
bekerja, juga tidak memiliki komponen antikolinergik sehingga tidak ada efek
samping ke jantung. Pengobatan jangka panjang dengan antihistamin cukup
aman. Beberapa antihistamin oral dimetabolisme di hati melalui sitokrom P450
dan mungkin terjadi interaksi dengan obat lainnya. Meskipun kardiotoksisitas
bukan merupakan efek samping antihistamin, tetapi beberapa tahun yang
lalu diperkirakan efek aritmogenik terfenadin, astemizol dan penggunaan
difenhidramin dosis tinggi menyebabkan situasi klinis yang fatal.
Antihistamin oral telah dibuktikan aman dan efektif pada anak-anak.
Cetirizin dapat menunda atau mencegah perkembangan ke arah asma hingga

122
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

umur tertentu bila dibandingkan dengan placebo pada sekelompok anak


dengan dermatitis atopi yang sensitif terhadap serbuk sari rumput-rumputan
dan tungau debu rumah. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk
memastikan efek proteksi ini dan memfokuskan pada kelompok dengan
sensitisasi alergen tertentu.
Antihistamin oral efektif dalam mengobati rinitis intermiten atau
persisten dalam hal obstruksi nasal, gejala okular, dan secara tidak langsung
mengurangi terjadinya asma. Antihistamin juga efektif dan aman digunakan
sebagai obat lini pertama dalam pengobatan urtikaria karena dapat mengatasi
gejala kulit dan mengurangi gatal.
Antihistamin generasi dua memiliki awitan kerja yang cepat dan efek
klinis persisten sampai 24 jam sehingga hanya diperlukan pemberian sekali
sehari. Tidak ditemukan efek takifilaksis serta jangkauan terapeutik yang lebar.
Antihistamin intranasal efektif secara lokal mengurangi gatal, bersin, hidung
berair dan kongesti nasal. Dosis tinggi azelastine mungkin lebih efektif dari
antihistamin oral tetapi efek sampingnya tidak disukai pasien yaitu mengantuk
dan meninggalkan rasa tidak enak serta tidak terlihat perbaikan gejala okular.
Bila diberikan sebagai tetes mata obat ini cukup efektif mengurangi gejala
alergi. Contoh antihistamin yang digunakan adalah olopatadin dan ketotifen,
yang memberikan efek setelah pemberian 20 menit. Antihistamin topikal
memerlukan pemberian 2 kali sehari karena efeknya yang lebih tidak bertahan
lama dibandingkan pemakaian oral.
Meskipun dikatakan efektif, untuk rinitis alergi pemakaian steroid
intranasal lebih efektif dari oral maupun antihistamin topikal.

Glukokortikosteroid. Glukokortikosteroid intra nasal merupakan pengobatan


antiinflamasi paling efektif untuk rinitis alergi dan non alergi. Dasarnya adalah
konsentrasi obat yang tinggi dapat dicapai langsung di daerah reseptor mukosa
nasal dengan risiko efek samping sistemik yang minimal. Karena mekanisme
kerjanya anti inflamasi, efektifitasnya baru terlihat 7–8 jam setelah pemberian,
tetapi diperlukan waktu 2 minggu agar tercapai efek maksimal. Penggunaan
intra nasal ditoleransi dengan baik dan efek samping sangat sedikit dilaporkan,
ringan dan tidak berbeda dengan penggunaan placebo. Namun demikian
terdapat perbedaan keamanan berdasarkan ukuran besar molekulnya, yang
paling aman adalah yang memiliki bioavailabilitas rendah. Penggunaannya
saat ini untuk rinitis persisten dan intermiten, utamanya semua gejala nasal,
okular, poliposis dan sinusitis.
Pada asma inhaled corticosteroids (ICS) merupakan pengobatan lini
pertama pada asma persisten sedang hingga berat. Inhaled corticosteroids efektif

123
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi

dalam mengurangi gejala asma, menurunkan hiperresponsif jalan napas,


memperbaiki fungsi paru, mengontrol inflamasi jalan napas, mengurangi
frekuensi dan keparahan serangan, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi
mortalitas. Inhaled corticosteroids merupakan obat pengontrol terbaik saat ini.
Akan tetapi penambahan penggunaan obat kelas lain sebagai pengontrol
(terutama B agonis kerja panjang dan montelukast) direkomendasikan
untuk mempertahankan kontrol klinis. Strategi ini dipandang lebih aman
dibandingkan dengan penggunaan ICS dosis besar, meskipun penelitian
terakhir yang membandingkan kombinasi atau ICS tunggal dengan dosis yang
lebih besar efektif secara klinis dan aman. Pada dosis yang direkomendasikan
ICS memiliki efek samping lokal yang minimal, tanpa penekanan pada aksis
hipotalamik-pituitari-adrenal dan tanpa efek gangguan pertumbuhan pada
anak-anak.
Penggunaan ICS jangka panjang diperlukan untuk asma berat yang tidak
terkontrol, terutama di negara berkembang. Tetapi penggunaan jangka panjang
juga meningkatkan risiko timbulnya efek samping. Dalam hal eksaserbasi
serangan asma, penggunaan awal kortikosteroid oral direkomendasikan dalam
manajemen asma.
Untuk dermatitis atopi penggunaan steroid topikal adalah pengobatan terpilih
untuk situasi akut. Penggunaannya singkat, terutama pada bayi karena
efek samping hambatan pertumbuhan stratum korneum akan potensial
menghambat penyembuhan di masa yang akan datang. Jenis yang dipilih untuk
anak-anak adalah yang potensinya paling ringan, dalam bahan dasar krim yang
mudah larut di kulit. Untuk lesi kulit yang lanjut (tebal, kasar, likenifikasi)
maka penggunaan steroid topikal dalam bahan dasar salep lebih diutamakan
meskipun lama penggunaannya tetap harus dibatasi.

Dekongestan: Penggunaan dekongestan intranasal efektif untuk obstruksi


nasal pada rinitis alergi maupun non alergi. Penggunaannya disarankan untuk
waktu yang singkat karena dapat timbul efek samping rebound dan rinitis
medikamentosa sebagai efek samping yang berat. Penggunaan dekongestan
nasal tidak efektif untuk mengurangi gejala hidung gatal, bersin ataupun
hidung berair. Efek samping sistemik yang harus diwaspadai adalah irritability,
dizziness, nyeri kepala, tremor, insomnia, takikardi dan hipertensi.

Anti-leukotrien: antagonis reseptor leukotrien atau anti-leukotrien banyak


digunakan di negara lain sejak 15 tahun terakhir. Penelitian pada penderita
rinitis alergi musiman dan asma, montelukast dapat memperbaiki gejala nasal dan
bronkial. Frekuensi penggunaan ß-agonis juga berkurang bila dikombinasi dengan
montelukast. Penggunaan obat golongan ini sebanding dengan antihistamin oral

124
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

dalam mengobati rinitis alergi musiman tetapi lebih inferior dari steroid intra
nasal. Penggunaannya aman dan dapat ditoleransi oleh anak, terutama pasien
rinitis yang juga mengalami asma. Penggunaan sebagai obat tambahan dapat
digunakan untuk pasien asma sedang hingga berat agar dosis ICS tidak tinggi.

Bronkodilator: Terdapat dua jenis bronkodilator yaitu β2-agonis


kerja singkat dan kerja panjang. Long acting β2-agonis (LABA), diantaranya
formoterol dan salmeterol, tidak dianjurkan digunakan sebagai obat
tunggal dalam pengobatan asma. Keduanya lebih efektif digunakan dalam
kombinasi dengan ICS. Salmeterol and formoterol memberikan durasi efek
bronkodilatasi yang serupa, tetapi awitan kerja formoterol lebih cepat sehingga
dapat digunakan untuk serangan maupun pengontrolan asma. Efek samping
LABA inhalasi lebih sedikit (stimulasi kardiovaskular, tremor otot lurik dan
hipokalemia) dari penggunaan oral. Penggunaan rutin β-agonis mungkin dapat
menyebabkan efek refrakter relatif terhadap penggunaan selanjutnya.
Penggunaan β-agonis kerja singkat seperti salbutamol atau LABA
formoterol adalah untuk mengatasi obstruksi bronkus dengan cepat
pada serangan akut asma atau sebelum terjadi bronkokonstriksi pada
penderita bronkokonstriksi yang diinduksi oleh latihan (exercise induced
bronchoconstriction). Penggunaannya hanya bila diperlukan saja, dan bila respon
pada penggunaan eksaserbasi akut tidak adekuat maka perlu penggunaan
steroid oral jangka pendek.

Antikolinergik: Penggunaannya terbatas pada anak-anak. Salah satunya


adalah sebagai terapi tambahan pada penggunaan β-agonis kerja singkat
selama terapi eksaserbasi akut.

Kromolin: Penggunaannya saat ini sangat terbatas untuk asma, dalam bentuk
preparat okular efektif untuk pengobatan konjungtivitis alergi. Penggunaanya
dilaporkan aman.

Anti IgE: Anti-IgE (omalizumab) merupakan terapi alternatif untuk pasien


dengan peningkatan kadar IgE dalam serum. Saat ini indikasinya adalah untuk
asma dan rinitis alergi yang tidak terkontrol oleh steroid.

Teofilin: Teofilin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengurangi


gejala asma tetapi efek samping potensialnya perlu diperhitungkan. Teofilin
lepas lambat dosis rendah menunjukkan efek anti inflamasi dan diusulkan
sebagai kombinasi dengan ICS. Teofilin digunakan sebagai alternatif untuk
negara berpendapatan rendah.

125
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi

Adrenalin (Epinephrine): Anafilaksis adalah reaksi alergi yang dapat


mematikan dengan awitan penyakit yang cepat. Semua kasus anafilaksis
harus ditata laksana sebagai kegawatan. Setelah tata laksana ABCDE (airway,
breathing, circulation, disability, exposure), maka adrenalin harus segera diberikan
secara subkutan atau intramuskular. Adrenalin autoinjeksi adalah pilihan
terbaik untuk mereka yang memiliki bahaya anafilaksis (Epipen®, untuk
anafilaksis kacang tanah dan sengatan lebah).

Penggunaan
Penggunaan farmakoterapi dalam manajemen alergi tentu harus melihat lagi
panduan pengobatan masing-masing penyakit. Obat-obat yang disebutkan di
atas adalah yang lazim digunakan dan harus mampu diaplikasikan pada pasien
sesuai kompetensi dokter umum/anak. Jika respon pasien terhadap terapi yang
diberikan dinilai kurang maka perlu konsultasi lebih lanjut ke ahli alergi.
Secara umum panduan penggunaan kombinasi adalah sebagai berikut:
1. Asma. Saat serangan obat terpilih adalah β-agonis kerja cepat (salbutamol,
formoterol). Untuk populasi tertentu mungkin diperlukan anitkolinergik
dan steroid oral. Untuk lini selanjutnya teofilin intravena. Dalam hal
pengontrolan jangka panjang obat terpilih adalah ICS, baik tunggal
maupun kombinasi. Populasi tertentu (rinitis dan asma) mungkin dapat
digunakan montelukast. Lebih lengkapnya gunakan Panduan Tatalaksana
Asma Anak dari IDAI
2. Rinitis alergi dan komorbiditasnya. Obat utama adalah steroid intranasal
untuk mengontrol inflamasi sedangkan untuk simptomatik dapat
digunakan antihistamin, dekongestan nasal. Lebih lengkapnya gunakan
panduan rinitis alergi dari ARIA yang sudah diterjemahkan untuk
Indonesia. Berikut ini disampaikan panduan pengobatan dari ARIA.
3. Urtikaria. Obat utama adalah antihistamin. Panduan lama menggunakanan
antihistamin generasi pertama dikombinasi dengan vasokonstriktor lemah
seperti pseudoefedrin. Panduan baru hanya menyebutkan antihistamin
generasi 2. Kombinasi dengan obat lain hanya diperlukan untuk urtikaria
khusus atau non akut.
4. Anafilaksis. Obat terpilih adalah adrenalin. Penggunaan steroid dan
antihistamin efeknya tidak konsisten dalam berbagai penelitian observasi.
5. Dermatitis atopi. Obat terpilih tentu adalah topikal. Steroid hanya
digunakan pada kondisi akut, selanjutnya memerlukan kombinasi
calcineurin inhibitor topikal dan pemeliharan hidrasi kulit. Lebih
lengkapnya harus melihat berbagai panduan mengenai dermatitis atopi.
Obat oral hanya digunakan secara terbatas bila diperlukan.

126
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

6. Konjungtivitis alergi. Obat terpilih adalah kromolin topikal. Steroid


sebaiknya dihindari.

Gambar 1. Step up/down therapy untuk asma.

Gambar 2. Step up/down therapy untuk rinitis

127
Farmakoterapi pada Penyakit Alergi

Gambar 3. Bagan pengobatan dermatitis atopik.

Simpulan
Penyakit alergi merupakan penyakit yang kompleks sehingga memerlukan
terapi yang sifatnya komprehensif. Terapinya tidak hanya dengan
medikamentosa tapi merupakan kombinasi antara edukasi, farmakoterapi, dan
imunoterapi yang dirancang secara individual. Pemilihan terapi farmakologi
harus mempertimbangkan efektivitas, keamanan,cost-effectiveness, pilihan
pasien dan adanya komorbiditas. Saat ini telah terdapat panduan global tata
laksana berbagai penyakit alergi seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi,
dan rinitis yang dapat dijadikan pedoman dalam pemilihan farmakoterapi bagi
anak-anak alergi untukmencegah ovetreatment atau undertreatment untuk
penyakit alergi.

Daftar pustaka
1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for the diagnosis and management
of asthma in children 5 years and younger [diakses tahun 2009]. Diunduh dari
http://www.ginaasthma.com.
2. National Heart Lung and Blood Institute. National asthma education and
prevention program: guidelines for the diagnosis and management of asthma
[diakses tahun 2009]. Diunduh dari http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/asthma.
3. Darsow U, Wollenberg A, Simon D, Taı¨eb A, Werfel T, Oranje A, et al. ETFAD/
EADV eczema task force 2009 position paper on diagnosis and treatment of
atopik dermatitis. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2010;24:317-28.

128
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXII

4. Sicherer S, Leung D. Advances in allergic skin disease, anaphylaxis, and


hypersensitivity reactions to foods, drugs, and insects in 2009. J Allergy Clin
Immunol. 2010;125:85-97.
5. Zuberbier T, Asero R, Bindslev-Jensen C, Walter Canonica G, Church M K,
Gimnez-Arnau A, et al. EAACI/GA2LEN/EDF/WAO guideline: definition,
classification and diagnosis of urticaria. Allergy. 2009:64:1417–26.
6. Brozek JL, Bousquet J, Baena-Cagnani CE, Bonini S, Canonica GW, Casale TB,
et al. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA) 2010 revision. J Allergy
Clin Immunol. 2010;126:466-76.

129

Anda mungkin juga menyukai