PKB 14
PKB 14
PKB 14
Penyunting:
Mulyadi M. Djer
Hanifah Oswari
Reni Wigati
Diterbitkan oleh:
Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tahun 2017
ISBN
Kata Sambutan
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia
Cabang DKI Jakarta
Bismillahirohmanirohim
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh
iv Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB XIV IDAI Jaya
vi Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Kata Pengantar Tim Penyunting
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah melimpahkan
rahmatnya kepada kami sehingga kami dapat menyunting buka pendidikan
berkala (PKB) IDAI Jaya yang ke XIV ini. Kami mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada semua penulis yang telah meluangkan waktu
dan pikirannya dalam membuat makalah PKB ini. Kami mengucapkan
terima kasih juga kepada teman-teman sejawat anggota IDAI Jaya yang
telah mempercayai kami untuk menyunting makalah ini.
Pada PKB IDAI Jaya yang ke XIV ini mengangkat topik “ Common
but difficult cases to treat in pediatric: learning from our neighbours”.
Pembicara berasal dari dokter spesialis anak sendiri juga dokter yang bukan
spesialis anak tapi berasal dari spesialis lain seperti spesialis mata, ortopedi,
bedah anak, psikiatri anak. Topik yang dibahas adalah topik yang sehari-hari
ditemukan pada praktik pediatrik di poli klinik anak, ruang rawat. Kami
berharap PKB ini dapat meningkatkan skil teman sejawat dalam menangani
kasus kasus yang sering menjadi masalah bagi pasien dan orangtua.
Dalam menyunting buku ini, kami tidak merubah konten dari
makalah. Kami hanya menyesuaikan tulisan sesuai dengan format yang
berlaku pada setiap PKB IDAI Jaya. Makalah kami bukukan secara resmi
lengkap dengan nomor ISBN sehingga setiap penulis dapat menggunakan
makalahnya untuk memambah angka kredit untuk kenaikan pangkat.
Sebagai tim penyunting kami mengucapkan mohon maaf apabila
masih didapat kesalahan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu kritik dan
saran dari teman sejawat masih kami perlukan untuk penyempurnaannya.
Selamat mengikuti PKB IDAI Jaya ke XIV.
Penanggung Jawab
DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K)
Ketua
DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)
Wakil Ketua
Dr. Tjatur K. Sagoro, Sp.A
Sekretaris
Dr. Trully Kusumawardhani, Sp.A
Bendahara
Dr. Retno Widyaningsih, Sp.A(K)
Seksi Ilmiah
Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)
DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)
Dr. Reni Wigati, Sp.A(K)
Seksi Acara
Dr. Fatima Safira Alatas,PhD, Sp.A(K)
Dr. Triana Darmayanti, Sp.A
Seksi Konsumsi
DR. Dr. Nita Ratna Dewanti, Sp.A
viii Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Daftar Penulis
x Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Daftar Isi
xii Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety
dalam Praktik Kedokteran
Deddy Ria Saputra
Tujuan:
1. Mengingatkan kembali peran Etika Kedokteran, Disiplin Kedokteran, dan Keselamatan
Pasien dalam praktek kedokteran
2. Mengingatkan bahwa komunikasi yang efektif merupakan upaya untuk mencegah
terjadinya tuntutan pasien
H
ubungan dokter dan pasien telah terjadi perubahan dari masa ke
masa. Pada zaman dahulu, penyakit dianggap sebagai hukuman
atau kutukan dari dewa sehingga dokter yang dapat menyembuhkan
penyakit dianggap sebagai titisan dewa. Hubungan dokter dan pasien
bersifat paternalistik, sehingga dokter dapat sepenuhnya melaksanakan
ilmunya tanpa campur tangan pasien. Dalam era global yang terjadi waktu
ini hubungan yang semula memperlihatkan superioritas terhadap pasien
bergeser menjadi hubungan yang saling mengisi dan saling ketergantungan
antara kedua belah pihak.1,2 Dokter dan pasien melakukan hubungan setara
dengan hak dan kewajiban masing-masing. Pasien yang tidak puas, dapat
melakukan dokter kritik karena tingginya biaya penanganan maupun karena
kegagalan, bahkan dapat dituntut secara perdata maupun pidana.3
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap
layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi
sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan masyarakat yang membuat
lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan
masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya informasi, (c)
komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga
masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna dan
(d) provokasi oleh ahli hukum dan/atau oleh tenaga kesehatan sendiri.4
Menyikapi perubahan yang terjadi dalam praktik kedokteran, untuk
melindungi kepentingan pasien dan dokter dalam berpraktik, beberapa
lembaga yang berkepentingan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah
menyusun kode etik kedokteran Indonesia (KEKI). Kode Etik Kedokteran
Contoh kasus 1
Sejawat dokter umum praktek di desa lalu datang anak 9 bulan (BPJS)
dengan demam. Pasien diberikan antibiotik dan obat panas parasetamol.
Panas pasien tersebut tidak turun, lalu diberikan Tempra 3 kali 160 mg.
2 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety dalam Praktik Kedokteran
Contoh kasus 2
Kepolisian Republik Indonesia memeriksa dokter dan perawat yang
membantu persalinan ibu dari bayi yang dicuri seseorang yang berpakaian
seperti seorang dokter di ruang bersalin A RSH.
Contoh kasus 3
Seorang anak 2 tahun menderita panas 2 hari dilakukan pemeriksaan uji
widal dan didiagnosis sebagai typhoid fever (demam tifoid). Pasien dirawat
dan mendapatkan pengobatan dengan antibiotik.
Disiplin kedokteran
Disiplin kedokteran adalah aturan aturan dan/atau ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter.
Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia (MKDKI) merupakan
suatu lembaga yang berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan/
pelanggaran yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin
ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi. Permasalahan
disiplin kedokteran yang dilaporkan sampai dengan tahun 2012 di
MKDKI terdiri dari masalah: komunikasi, ingkar janji (dishonesty/fraud),
penelantaran, pembiaran, standar pelayanan, pembiayaan, kompetensi, dan
iklan. Dari 136 kasus yang diadukan ke MKDKI pada tahun 2006-2012
terbukti 66,4 % melanggar disiplin kedokteran. Selain itu terdapat hubungan
antara pelanggaran etika kedokteran dengan pelanggaran disiplin kedokteran
atau hukum. Komunikasi tidak efektif dengan pasien merupakan pemicu
utama dokter diadukan dengan dugaan malpraktik medik.8,9
Berdasarkan Perkonsil no 4 tahun 2011,9 terdapat 28 butir bentuk
pelanggaran disiplin profesi kedokteran yaitu:
a) Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten
b) Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki
kompetensi yang sesuai
c) Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak
memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut
4 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety dalam Praktik Kedokteran
karena kesalahan pelayanan rumah sakit.12 Kesalahan medis pasien anak yang
terjadi di perawatan rumah sakit lebih tinggi dari pasien dewasa, terutama
risiko kematian bayi prematur selama masa pergantian tugas di rumah sakit.
Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi risiko, yaitu:15
a. Kesalahan medis (medical error)
Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan
atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien
b. Kejadian tidak diharapkan (KTD)/ adverst event
Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada
pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak bertindak
(omission), dan bukan karena “underlying disease”atau kondisi pasien
c. Nyaris cedera (NC)/ near miss
Suatu kejadian akibat melaksanankan suatu tindakan (commission) atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang
dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena :
• Keberuntungan, pasien menerima suatu obat kontra indikasi tetapi
tidak timbul reaksi obat
• Pencegahan, suatu obat dengan over-dosis lethal akan diberikan,
tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat
diberikan
• Peringanan, suatu obat dengan over-dosis lethal diberikan, diketahui
secara dini lalu diberikan antidote nya (penawar)
Keselamatan pasien bertujuan, untuk terciptanya budaya keselamatan
di rumah sakit, akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat,
menurunkan KTD di RS, dan terlaksananya program pencegahan sehingga
tidak terjadi pengulangan KTD.10-11
Dalam menjalankan patient safety, terdapat 7(tujuh) standar
keselamatan pasien, yaitu:10
1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan dan kesinambungan pasien
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evalusi dan
program peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien
6 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety dalam Praktik Kedokteran
4. Hak pasien.19
a) Pasal 32d Undang-undang No.44/2009
Setiap pasien mempunyai hak memperoleh kesehatan yang bermutu
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
b) Pasal 32e Unang-undang No.44/2009
Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif dan
efisien sehingga terhindar dari kerugian fisik dan materi
c) Pasal 32j Undang-undang No.44/2009
8 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety dalam Praktik Kedokteran
Etika kedokteran
Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi
kedokteran dalam hubungannya dengan klien/pasien, teman sejawat dan
masyarakat umumnya serta merupakan bagian dari keseluruhan proses
pengambilan keputusan dan tindakan medis ditinjau dari segi norma/
nilai moral. Tujuan etika profesi dokter adalah untuk mengantisipasi atau
mencegah terjadinya perkembangan yang buruk terhadap profesi dokter
dan mencegah agar dokter dalam menjalani profesinya dapat bersikap
profesional.5 Kode etik profesi kedokteran berfungsi untuk memberikan
pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang
digariskan dan sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi
yang bersangkutan.4,5
Etika profesi kedokteran mempunyai prinsip sebagai berikut:
beneficience (mengutamakan kepentingan pasien), autonomy (menghormati
hak pasien dalam memutuskan), non maleficence (tidak memperburuk
keadaan pasien), justice (tidak mendiskriminasikan pasien,apapun dasarnya),
dignity (pasien dan dokter keduanya bermartabat), dan honesty (pasien
mendapat keterangan yang benar tentang penyakit dan penanganannya).5
Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Dalam hubungan antara dokter dan pasien, dokter harus menyadari
bahwa terdapat kontrak hukum yang mengikat.
2. Sudah banyak tuntutan hukum yang dilakukan oleh pasien terhadap
dokter / rumah sakit.
3. Dalam praktik kedokteran, seorang dokter harus menunjukan sikap etis
dan profesional, seperti autonomy, beneficience, non maleficence, justice,
dignity, dan honesty.
4. Dokter harus mematuhi disiplin kedokteran menurut Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia no. 4 tahun 2011, serta memperhatikan
keselamatan pasien.
5. Sebagian besar penyebab tuntutan pasien adalah kompetensi dan
komunikasi. Dokter harus mempunyai kemampuan komunikasi yang
efektif.
Daftar pustaka
1. Anugrah D. Makalah hubungan dokter dan pasien-sosiologi dan antropologi
kesehatan. Diunduh dari ditaanugrah.blogspot.com/. Diakses pada tanggal
23 Januari 2017.
2. Haig KM, Sutton S, Whitington S. SBAR: A shared mental model for improving
communication between clinicians. Jt Comm J Qual Patient Saf. 2006;32:167-75.
3. Kertahusada A. Langgar etika kedokteran picu dokter melanggar disiplin dan
hukum. Diunduh dari: www.ugm.ac.id/id/newPdf/9955. Diakses pada 21
januari 2017
4. Sampurna B. Etika kedokteran Indonesia dan penanganan pelanggaran etika di
Indonesia. Diunduh dari www.scrib.com/document/320083707/Etika. Diakses
pada tanggal 23 Januari 2017.
10 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety dalam Praktik Kedokteran
Tujuan
1. Mengetahui jenis hordeolum dan penyebabnya
2. Mengetahui terapi inisial pada hordeolum
3. Mengetahui tanda klinis kapan pasien harus dikirim ke dokter mata
H
ordeolum adalah suatu peradangan akut pada kelopak mata yang
ditandai oleh rasa nyeri, bengkak, dan merah yang disebabkan
oleh infeksi bakteri stafilokokus. Haemophilus influenza juga dapat
menjadi penyebab hordeolum pada anak-anak. Infeksi dapat terjadi pada
kelenjar air mata yang terletak di sisi dalam (internum) yaitu pada kelenjar
meibom atau di sisi luar (eksternum) pada kelenjar Zeis atau Moll (Tabel
1 dan Gambar 1).1,2
Hordeoulum disebabkan oleh adanya obstruksi kelenjar di sepanjang
kelopak mata. Kelenjar tersebut menghasilkan minyak dan obstruksi pada
kelenjar akan menghambat drainase normal dari kelenjar. Jika bakteri
terperangkap dalam kelenjar, infeksi dapat terjadi dan terbentuk pus sehingga
area sekitar kelopak mengalami inflamasi.3
Pada beberapa kasus dapat sembuh secara spontan tanpa pengobatan,
namun infeksi dapat juga menyebar ke kelenjar lain atau ke jaringan sekitar
sehingga menimbulkan kekambuhan. Hordeolum internum dapat bersifat
kronik dan menjadi kalazion (cyst) yang biasanya tidak nyeri pada perabaan.1
Insiden dan prevalensi hordeolum tidak dapat ditemukan karena kebanyakan
kasus tidak dilaporkan.
Faktor Risiko
Hordeolum banyak ditemukan pada orang muda, tidak terbatas pada
kelompok usia tertentu, gender, atau pada ras tertentu. Kemunculan
hordeolum bersifat akut, spontan dan terkait dengan higienitas kelopak mata,
dan faktor sistemik seperti stress dan perubahan hormonal, penyakit kronis,
peningkatan lemak darah (kolesterol tinggi)6, riwayat hordeolum sebelumnya
dan kondisi kulit (dermatitis seboroik). Hubungan antara hordeolum dan
hiperkolesterolemia sampai saat ini belum jelas.
Besarnya pembengkakan merupakan indikator beratnya infeksi.
Hordeoulum internum biasanya lebih nyeri dan lama dibandingkan
hordeolum eksternum. Hordeolum yang berulang (rekuren) lebih banyak
disebabkan oleh kegagalan dalam eliminasi bakteri secara tuntas daripada
akibat munculnya infeksi baru.
Terapi
Umumnya hordeolum dapat sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan jarang
menimbulkan komplikasi. Terapi awal berupa terapi konservatif dengan
melakukan kompres hangat beberapa kali sehari, dan membersihkan
kelopak mata. Antibiotik topikal dapat diberikan. Jika kondisinya berat dan
resisten dengan antibiotik topikal, maka dapat dipertimbangkan pemberian
antibiotik sistemik atau tindakan insisi-kuretase.4
Perjalanan hordeolum internum umumnya sekitar 1-2 minggu. Terapi
inisial ditujukan untuk evakuasi pus dari abses. Kompres hangat ditujukan
untuk melunakan granuloma dan memfasilitasi drainase. Kompres dilakukan
selama 5-10 menit 3-4 kali sehari sampai hordeolum hilang.
Lid scrub atau tindakan membersihkan kelopak mata dilakukan dengan
cara mencuci daerah sekitar daerah yang terkena, bulu mata dan pangkal
bulu mata dengan menggunakan shampoo atau saline solutions yang tidak
pedih di mata, biasanya disarankan menggunakan shampoo bayi. Dasar
teori penggunaan lid scrub adalah untuk meningkatkan higienitas kelopak
mata dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk drainase dengan
membersihkan debris di tepi kelopak (lid margin).4 Epilasi atau pencabutan
bulu mata juga dapat dilakukan untuk kasus hordeolum eksternum untuk
membuka jalan drainase pus.3 Kandungan dalam shampoo dapat merusak
membran bakteri sehingga dapat mengurangi bakteri yang ada di sekitar
daerah infeksi.4
Penggunaan antibiotik dapat diberikan secara lokal atau sistemik.
Umumnya bakteri penyebab adalah stafilokokus sp., sehingga antibiotik
efektif diberikan untuk melawan bakteri. Pemberian antibiotik ini dapat
menurunkan waktu penyembuhan dengan cara melawan bakteri dan
menurunkan inflamasi.
Antibiotik topikal sebagai lini pertama yang biasa digunakan adalah
kloramfenikol salep mata atau asam fusidat (fucidic acid) salep mata sebagai
alternatif. Antibiotik topikal dapat digunakan sampai beberapa minggu.
Antibiotik sistemik diberikan apabila antibiotik topikal tidak efektif, dan
tidak respons, atau jika infeksi tidak terlokalisir secara jelas. Steroid topikal
berupa salep atau tetes mata dapat diberikan untuk memperpendek waktu
penyembuhan dan inflamasi.
Jika ada tanda-tanda selulitis preseptal, pasien sebaiknya dikonsulkan
ke ahli mata untuk pertimbangan pemberian terapi sistemik. Jika hordeolum
tidak membaik dengan terapi konservatif, atau ukuran besar yang disertai
nyeri maka pasien dikirim ke dokter mata untuk dilakukan insisi kuretase.
Tabel 2 menunjukan kondisi kondisi kapan sebaiknya pasien dirujuk ke
dokter mata.4
14 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Hordeolum pada Anak
Komplikasi
Lesi yang besar di kelopak mata atas dapat menyebabkan gangguan
penglihatan akibat timbulnya induced astigmatis atau hyperopia akibat
korena sentral mengalami penekanan.2
Tabel 2. Tanda klinis kapan pasien harus segera dirujuk ke dokter mata4
Rujuk segera, bila:
Terlihat tanda dan gejala selulitis preseptal
Terlihat tanda dan gejala selulitis orbital (meskipun jarang)
Tanda-tanda keganasan, dengan tanda atipikal, atau rekuren pada lokasi yang sama
Rawat inap segera bila:
Pembengkakan periorbital (lid/periorbital swelling)
Proptosis
Diplopia (double vision) atau gerakan bola mata terganggu (ophthalmoplegia)
Turunnya tajam penglihatan
Refleks cahaya turun atau abnormal
Kondisi sistemik yang kurang baik
Tanda dan gejala gangguan sistim saraf pusat (gangguan keseimbangan, sakit kepala, muntah,
kejang)
Jika pemeriksaan mata lengkap tidak dimungkinkan
Daftar pustaka
1. Lindsley K, Nichols JJ, Dickersin K. Intervention for acute internal hordeolum
(review). The Cochrane Collaboration. Published by John Wiley & sons,
Ltd.2010;2-3
2. Dutton JJ, Gayre GS, Proia AD. Diagnostic atlas of common eyelid diseases.
Informa healthcare Newyork, 2007;p133-135
3. American Academy of Ophthalmology. Classification and management of eyelid
disorders in Orbit, eyelids and lacrimal system.2010-2011; p.154.
4. Carr J, Fairman F. Hordeola (styes). Clinical Ophthalmology Referral Guidelines.
2010;19-20.
5. Mellick L. Pearls & pitfalls – Understanding eyelid infections. Diakses dari
https://www.acep.org/content.aspx?id=83292 pada tanggal 15 Januari 2017.
6. Ehrenhaus MP. Hordeolum clinical presentation. Diunduh dari http://www.
emedicine.medscape.com/article/1213080-clinical 15 Januari 2017.
Tujuan:
1. Mengetahui jenis, luas, derajat dan kedalaman luka bakar pada anak
2. Mampu menatalaksana awal luka bakar pada anak
L
uka bakar merupakan salah satu penyebab umum kecelakaan yang
terjadi pada pasien anak di seluruh dunia. Sebagian besar luka
bakar yang terjadi bukan terkait pekerjaan, tetapi sering disebabkan
peralatan di dalam rumah tangga seperti setrika, pengering rambut, air
panas, benda panas dan api. Semua bagian tubuh dapat mengalami luka
bakar, tetapi luka bakar daerah batang tubuh lebih sering menyebabkan
pasien di rawat di rumah sakit, sedangkan cedera ekstremitas lebih umum
di rawat jalan.1 Dalam penanganan luka bakar harus dipertimbangkan jenis,
lokasi, luas dan dalamnya luka bakar serta adanya kondisi khusus seperti
pada anak.2 . Luka bakar dapat mengakibatkan pasien menjalani rawat
inap yang berkepanjangan dan memerlukan intervensi bedah. Perawatan
luka bakar kompleks umumnya memerlukan pendekatan multidisiplin.,
dan merupakan tantangan besar bila hal tersebut terjadi pada anak. Anak-
anak yang mengalami luka bakar dan bertahan hidup dapat mengalami
peningkatan risiko untuk gangguan stres pasca-trauma. Selain itu, secara
anatomi kulit anak lebih tipis, lebih mudah terjadi kehilangan cairan dan
elektrolit serta kemungkinan terjadi hipotermi cukup besar.2-3
Epidemiologi
Luka bakar merupakan penyebab ketiga terbesar kecelakaan non-fatal di
Amerika Serikat, dan sekitar 2,5 juta orang mengalaminya setiap tahun.
Menurut perhitungan statistik dari World Health Organization (WHO),
diperkirakan 5-12% cedera di dunia berhubungan dengan luka bakar.4
Sebuah studi retrospektif di Inggris dalam kurun waktu 7 tahun didapatkan
data pasien anak dengan luka bakar berjumlah 1387 anak, usia median 2
{rentang antar kuartil (RAK), 1-8 tahun} dan 802 (57,8%) pasien berjenis
kelamin laki-laki. Sebanyak 1.192 (85,9%) dari semua luka bakar terjadi
di rumah pasien sendiri, dengan luka bakar termal yang paling banyak
dilaporkan yaitu 569 (41,0%) pasien. Luka bakar kontak dilaporkan pada
563 (40,6%) pasien, bahan kimia 128 (9,2%), radiasi 51 (3,7%), api 43 (3,1%),
listrik 17 (1,2%) dan gesekan luka bakar 16 (1,2%) pasien.5 Peneliti lain
mendapatkan penyebab tersering luka bakar adalah akibat air panas atau
uap panas sebesar 52,2%, diikuti oleh api 32,5 %, dengan angka kematian
0,9/100.000 anak per tahun.6 Laporan dari Pakistan pada 1725 anak usia
di bawah 15 tahun, dilaporkan usia terbanyak 3-6 tahun (67,5 %) dengan
rerata 5,04 {standar baku (SB) 2,78 tahun}, dan sekitar 70,3 % disebabkan
tersiram air panas. Daerah tangan dan lengan bawah merupakan bagian
tubuh yang sering terkena (36%), diikuti daerah muka dan leher (21,1 %).7
Di Indonesia belum banyak dilaporkan data yang tepat mengenai angka
kejadian luka bakar pada anak. Unit Luka Bakar (Burn Unit) Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo selama bulan Januari 2011 sampai Desember 2012,
menerima 275 pasien luka bakar dengan jumlah pasien anak 72 pasien (26
%).8
Mekanisme cedera9-11
Luka bakar termal
Luka bakar karena panas terjadi pada hampir 70% anak akibat tersiram air
panas yang akan membentuk luka lepuh. Biasanya luka terjadi superfisial
sampai dermis superfisial. Sumber panas yang lain adalah api dan kontak
langsung sumber panas yang cenderung menyebabkan luka yang lebih
dalam atau full thickness. Luka bakar api sering berhubungan dengan trauma
inhalasi.
asam. Hal ini karena basa menyatu dengan jaringan lemak di kulit sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih progresif, sedangkan luka bakar
akibat asam akan menyebabkan nekrosis koagulasi yang efektif membatasi
masuknya zat asam lebih dalam.
Patofisiologi
Kulit, juga dikenal sebagai kutis atau integumen, adalah organ terbesar
dan salah satu organ yang paling kompleks pada tubuh manusia. Kulit
memberikan dukungan struktural dan mempunyai fungsi penting dalam
kekebalan tubuh dan termoregulasi. Pada anak-anak, total luas permukaan
tubuh (total body surface area=TBSA) bervariasi tergantung usia, berat
badan, dan habitus tubuh, dengan kulit lebih tipis dibandingkan pada orang
dewasa. Kandungan air yang cukup menyebabkan kulit dapat bertahan
terhadap panas sampai suhu tertentu. Daerah dengan vaskularisasi yang
banyak, akan menghantarkan panas dari tempat luka bakar ke tempat lain
sehingga mengurangi kedalaman luka bakar. Beratnya luka bakar ditentukan
oleh 3 hal yaitu derajat panas, lamanya paparan jaringan dan luasnya kulit
yang terkena oleh sumber panas. Kerusakan jaringan pada luka bakar jarang
sekali homogen dan terbagi atas 3 zona yaitu zona koagulasi, stasis dan
hiperemia (Gambar 1). Zona ini dikenal sebagai teori Jackson (Jackson’s
thermal wound theory), yang terlihat sebagai bull’s-eye pattern.9,12
Zona koagulasi
Secara umum, kerusakan sel yang paling parah terjadi di pusat luka
bakar akibat kontak lebih lama atau lebih intens dengan sumber panas. Sel-sel
di daerah ini mati dan membentuk jaringan parut. Jaringan yang masih layak
mengelilingi daerah nekrotik disebut zona stasis ditandai dengan penurunan
perfusi didaerah tersebut. Edema yang berlangsung lama, infeksi, intervensi
bedah yang tidak perlu, dan hipotensi dapat mengkonversi zona ini ke zona
18 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Luka Bakar pada Anak: Apa yang Harus Dilakukan?
Luas luka bakar penting diketahui karena sangat menentukan prognosis
dan komplikasi yang terjadi. Gambar 2 menunjukkan luasnya luka bakar
menurut Lund Browder Chart. Grafik ini dianggap cukup akurat dalam
mengukur luas luka bakar dan dapat dipakai dalam praktek sehari-hari.13
Proses mendasar yang terjadi pada luka bakar dapat berupa reaksi
inflamasi lokal dan sistemik. Efek lokal yang terjadi adalah gangguan
integritas membran sel, aktivasi sitokin, dan penghentian aliran darah
lokal. Pada tingkat sel, komponen sitoskeletal terganggu, sehingga terjadi
peningkatan permeabilitas membran. Efek sistemik luka bakar akan jelas
terlihat bila luas luka bakar mencapai > 20%, dengan melepaskan sitokin dan
mediator inflamasi di tempat luka bakar. Respons inflamasi ini berlangsung
segera dan dapat bertahan hingga beberapa bulan. Beberapa keadaan yang
Tata laksana
Penilaian awal
Penilaian awal dan tata laksana anak dengan luka bakar harus
memperhitungkan pengalaman klinisi dan sumber daya yang tersedia.
Sebagian besar anak-anak dengan luka bakar ringan kurang dari 5% total
luas permukaan tubuh dapat diobati secara rawat jalan. Anak-anak dengan
luka bakar yang berat memerlukan perhatian pada airway, breathing,
circulation, disability, exposure, fluid resuscitation (ABCDEF). Penilaian
kedaruratan jalan napas, kecukupan ventilasi, oksigenasi, dan sirkulasi
sangat penting. Tindakan intubasi endotrakea mungkin diperlukan untuk
mengantisipasi adanya bronkospasme dan hipoksia. Perlu diperhatikan
juga adanya gangguan pernapasan dan sirkulasi, terutama bila luka bakar
mengenai bagian tubuh depan dan belakang.15,16
20 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Luka Bakar pada Anak: Apa yang Harus Dilakukan?
Kontrol infeksi
Pada anak-anak dengan luka bakar yang berat terjadi perubahan anatomi
dan imunologi yang dramatis yang secara signifikan akan meningkatkan
risiko komplikasi infeksi. Diagnosis infeksi pada pasien dengan luka bakar
merupakan tantangan tersendiri, karena adanya proses inflamasi dan kondisi
hipermetabolik yang terus-menerus. Berkembangnya tehnik antiseptik
dan antibiotik topikal dapat mengurangi jumlah bakteri dan risiko infeksi.
Pada luka bakar ringan, tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis
spektrum luas, cukup diberikan krim silver sulfadiazin untuk mencegah
infeksi. Perhatian khusus pada pasien dengan alergi sulfa, bayi kurang dari
2 bulan dan tidak boleh diberikan pada daerah wajah. Alternatif lain adalah
dengan menggunakan krim basitrasin. Pada luka bakar yang luas dan dalam
risiko infeksi dan sepsis cukup besar, dapat diberikan antibiotika spektrum
luas sampai didapatkan hasil kultur dan resistensi.21
22 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Luka Bakar pada Anak: Apa yang Harus Dilakukan?
Nutrisi
Mengurangi dampak hipermetabolik dan pemberian nutrisi yang adekuat
merupakan hal penting untuk mempercepat penyembuhan dan pemulihan
anak dengan luka bakar. Pemberian nutrisi enteral lebih diutamakan bila
anak dalam kondisi stabil yang dapat diberikan segera dalam beberapa jam
setelah terpapar luka bakar, kecuali hemodinamik tidak stabil. Pemantauan
klinis, kebutuhan nutrisi, tipe dan cara pemberian nutrisi sangat penting
pada pasien luka bakar untuk memenuhi kebutuhan medis dan surgikal.23
Simpulan
Perbedaan dalam fisiologi cairan dan elektrolit, kebutuhan energi dan
proporsi tubuh pada anak menyebabkan penatalaksaan luka bakar pada
anak sedikit berbeda dibandingkan orang dewasa. Pendekatan multidisiplin
harus dilakukan agar tata laksana yang dilakukan optimal. Tata laksana
meliputi tunjangan hidup dasar dan lanjut, perawatan luka, pemberian cairan
resusitasi, mengontrol nyeri dan infeksi, nutrisi yang adekuat dan mengatasi
respons metabolik yang terjadi, serta pemantauan sekuele jangka panjang.
Daftar pustaka
1. D’Souza AL, Nelson NG, McKenzie LB. Pediatric Burn Injuries Treated in US
Emergency Departments Between 1990 and 2006. Pediatrics. 2009;124:1424-30.
2. Hendry PL. Pediatric burns. Dalam: Schafermeyer RW, Tenenbein M, Macias
CG, Sharieff GQ, Yamamoto L, penyunting. Pediatric Emergency Medicine.
Edisi ke-4. New York: Mc Graw Hill;2015. h. 721-32.
3. Bakker A, Maertens KJP, Van Son MJM, Van Loey NEE. Psychological
consequences of pediatric burns from a child and family perspective: A review
of the empirical literature. Clin Psychol Rev. 2013;33:361-71.
4. Ahmadijouybari T, Najafi F, Moradinazar M, Karami-matin B, Karami-matin
R, Ataie M, dkk. Two-year hospital records of burns from a referral center in
Western Iran: March 2010-March 2012. J Inj Violence Res. 2014;6:31-6.
5. Battle CE, Evans V, James K, Guy K, Whitley J, Evans PA. Epidemiology of burns
and scalds in children presenting to the emergency department of a regional
burns unit: a 7-years retrospective study. Burns & Trauma. 2016;4:19-24.
6. Alaghehbandan R, Sikdar KC, Gladney N, Macdonald D, Collins KD.
Epidemiology of severe burn among children in Newfoundland and Labrador,
Canada. Burns. 2011;18:1-8.
7. Arslan H, Kul B, Derebaşinlioğlu H, Çetinkale O. Epidemiology of pediatric
burn injuries in Istanbul, Turkey. Turkish J Trauma Emerg Surg. 2013;19:123-6.
8. Martina NR, Wardhana A. Mortality analysis on adult burn patients. J Plast
Rekons. 2013;2:96-100.
9. Hettiaratchy S, Dziewulski P. ABC of burns: pathophysiology and types of
burns. BMJ. 2004;328:1427-9.
24 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Noisy Breathing pada Bayi.
Apa yang Perlu Diketahui?
Bambang Supriyatno
Tujuan
1. Mengetahui jenis-jenis noisy breathing pada bayi
2. Mampu mendiagnosis dan tata laksana stridor pada bayi
3. Mampu melakukan tindakan yang diperlukan setelah diagnosis ditegakkan
4. Mampu menetapkan waktu yang paling tepat untuk merujuk bayi dengan stridor
N
oisy breathing merupakan gejala respiratorik yang cukup sering
dijumpai pada bayi dan anak yang datang ke tempat praktik sehari-
hari, selain batuk dan sesak. Yang termasuk noisy breathing adalah
stridor, snoring (mendengkur) dan wheezing. Gejala ini dapat menyebabkan
keadaan darurat yang berakibat kematian, ataupun hanya merupakan
keadaan yang tidak mengkhawatirkan. Noisy breathing dapat terjadi pada
semua usia, tetapi yang tersering adalah usia balita khususnya bayi. Penyebab
noisy breathing bermacam-macam, yaitu kelainan bawaan, infeksi, ataupun
noninfeksi.1,2
Mengingat bahwa penyebab noisy breathing bermacam-macam, maka
mengetahui penyakit yang mendasarinya menjadi sangat penting untuk
penanganan yang tepat. Salah satu hal yang penting pada noisy breathing
adalah menentukan level atau lokasi kelainan dengan mengidentifikasi
jenis kelainannya. Misalnya pada bayi, penyebab stridor yang paling sering
adalah laringo-trakeomalasia dan hipertrofi kelenjar timus, sedangkan
penyebab mendengkur pada anak adalah hipertrofi adenoid dan/atau tonsil
serta obesitas.3,4 Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara
lain adalah pencitraan, barium meal, polisomnografi, uji fungsi paru, dan
lain-lain.4 Dengan pemeriksan tersebut dapat dibedakan kemungkinan
penyebabnya.4
Tata laksana noisy breathing sangat bergantung pada penyebab utamanya.
Umumnya, gejala stridor pada bayi tidak menyebabkan kegawatdaruratan,
sedangkan pada anak dapat membahayakan seperti keadaan difteri dan
epiglotitis. Mendengkur pada bayi dan anak dapat merupakan gejala yang
Definisi
Stridor adalah suara napas inspirasi yang keras, kasar, bernada sedang, yang
berhubungan dengan obstruksi di daerah laring atau trakea. Stridor dapat
terjadi karena adanya sumbatan jalan napas yang dapat terjadi mulai dari
hidung hingga bronkus. Stridor dapat terjadi akut maupun kronik. Tidak ada
batasan yang jelas antara akut dan kronik, beberapa kepustakaan menyatakan
bahwa termasuk akut bila berlangsung selama kurang dari 14 hari, sedangkan
termasuk kronik bila berlangsung selama lebih dari 14 hari. 3,7,8
Etiologi
Penyebab stridor bermacam-macam, dapat berupa kelainan bawaan, infeksi,
noninfeksi, dan pasca-intubasi. Beberapa pendekatan untuk mencari
etiologi adalah berdasarkan usia, lokasi kelainan, dan gejala-gejala Iainnya.
Pendekatan berdasarkan usia umumnya dibagi menjadi kelompok bayi,
anak muda (young child), dan anak yang lebih tua (older child). Pada bayi,
penyebab terbanyak adalah kelainan bawaan seperti laringo-trakeomalasia
dan pembesaran kelenjar timus. Pada young child, penyebab terbanyak
adalah croup dan epiglotitis, sedangkan pada older child umumnya adalah
infeksi respiratorik akut (IRA), hipertrofi adenoid, croup, epiglotitis, dan
benda asing.1,3,5,9
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pada stridor dikenal istilah SPECS-R (severity,
progression, eating problems, cyanosis, sleep: retraction, dan radiology).
Pada keadaan stridor harus dilakukan pendalaman dalam hal beratnya,
26 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Noisy Breathing pada Bayi. Apa yang Perlu Diketahui?
Tata laksana
Tata laksana stridor pada bayi harus ditentukan terlebih dahulu apakah
sumbatannya merupakan keadaan darurat (mengancam jiwa) atau tidak.
Ada beberapa cara yang dianjurkan pada keadaan yang mengancam jiwa,
yaitu dengan menduga level atau lokasi kelainannya. Bila diduga di daerah
laring dan glotis, maka dapat dilakukan intubasi sebagai pilihan utama,
sedangkan bila kelainannya di daerah trakea, maka trakeostomi menjadi
pilihan. Akan tetapi, umumnya tindakan pertama adalah melakukan
intubasi. Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa harus dicari dahulu
diagnosis yang paling mungkin berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan penunjang.11,12
Secara garis besar tata laksana stridor yang disebabkan oleh laringo-
trakeomalasia dan hipertrofi timus hampir sama. Pada saat dijumpai stridor
dengan diagnosis laringo-trakeomalasia atau hipertropfi timus maka yang
perlu diperhatikan adalah pemberian nutrisi yang cukup. Nutrisi ini sangat
diperlukan agar tidak terjadi failure to thrive yang menjadi masalah utama
dan terjadinya aspirasi pneumonia. Orangtua sering kuatir/takut dalam
memberikan asupan nutrisi karena sering terlihat sesak saat diberi makanan/
minuman sehingga proses pemberian nutrisi dihentikan. Pemberian nutrisi
menjadi tidak atau kurang optimal dengan akibat gagal tumbuh atau tidak
ada kenaikan berat badan. Di sisi lain pemberian nutrisi yang dipaksakan
akan menyebabkan aspirasi pneumonia yang dapat menyebabkan kematian.
Langkah yang dapat diambil agar tidak terjadi gagal tumbuh atau
pneumonia aspirasi adalah dengan memberi nutrisi melalui NGT (nasogastric
tube) atau OGT (orogastric tube) selama stridor masih terdengar. Cara ini
sangat efektif karena jumlah kalori yang dibutuhkan akan terpenuhi tanpa
terjadinya aspirasi saat pemberian makanan ataupun minuman.7,12
Usaha pemberian nutrisi melalui NGT/OGT tidak mudah dilakukan
karena penolakan dari orangtua akibat ketidaktahuan pentingnya nutrisi.
Orangtua beranggapan merasa tidak nyaman karena pemasangan tersebut
dan kekuatiran bayi akan merasa haus karena tidak minum. Dokter harus
meyakinkan bahwa cara pemberian nutrisi ini sangat efektif untuk mencegah
kelainan atau komplikasi di kemudian hari. Dokter harus menjelaskan
kepada orangtua secara komprehensif keuntungan dan kerugian pemasangan
NGT/OGT agar memahami secara mendalam. NGT/OGT dapat dihentikan
apabila proses makan/minum sudah baik dan tidak ada kekuatiran akan
terjadinya gagal tumbuh atau pneumonia aspirasi.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa diagnosis yang paling sering
pada bayi dengan stridor, seperti laringo-traeomalasia dan hiperplasia/
hipertrofi timus.
28 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Noisy Breathing pada Bayi. Apa yang Perlu Diketahui?
Laringo-trakeomalasia
Laringo-trakeomalasia merupakan keadaan melemahnya struktur
supraglotis dan dinding trakea yang mengakibatkan kolaps dan obstruksi
saluran respiratorik pada saat inspirasi. Pada keadaan ini struktur glotis
dan subglotis umumnya normal. Gejala stridor pada laringo-trakeomalasia
timbul pada saat lahir atau beberapa minggu setelah lahir. Keadaan laringo-
trakeomalasia dapat terjadi secara sendiri-sendiri ataupun bersamaan.
Kejadian laringomalasia adalah sekitar 65-75% pada bayi dengan stridor,
sedangkan trakeomalasia sekitar 45,7%.7,9,10
Penyebab laringomalasia tidak diketahui secara pasti, tetapi diduga
karena imaturitas laring yang menyebabkan hipotoni. Adanya abnormalitas
neuromuskular menyebabkan peningkatan flasiditas, sehingga struktur
supraglotis tidak tertopang. Kemungkinan lain adalah karena flasiditas
epiglotis akan mengakibatkan jatuh ke belakang (dinding posterior) laring,
sehingga terjadi penyumbatan (obstruksi).1,7
Penyebab trakeomalasia dapat bersifat primer ataupun sekunder.
Dikatakan primer apabila kelainannya akibat abnormalitas pada dinding
trakea sedangkan disebut sekunder apabila akibat penekanan dan luar
yang mengakibatkan menyempitan trakea. Salah satu bentuk trakeomalasia
sekunder yang sering adalah penekanan oleh pembuluh darah yaitu arteri
inominata dan arkus aorta serta penekanan massa.1
Manifestasi klinis pada laringomalasia dapat timbul saat lahir sampai
beberapa minggu setelah Iahir. Stridor yang terdengar berjenis high-pitched
dan bervibrasi pada saat inspirasi. Stridor dapat bertambah berat pada usia
sekitar 8-9 bulan tetapi dapat juga timbul hanya pada saat usaha napas
meningkat seperti menangis. Selain stridor gejala lain yang dapat terlihat
adalah pektus ekskavatum akibat usaha pernapasan yang berlebihan dan
berlangsung lama. Gejala lain yang sering dikeluhkan antara lain apnea
pada saat tidur.8
Pada pemeriksaan penunjang tidak jarang dijumpai keadaan aspirasi
pneumonia yang kronik akibat teraspirasi makanan. Hal ini mungkin karena
terdapat masalah pada saat makan dan diduga adanya tekanan negatif yang
tinggi pada saat inspirasi.13,14
Pada trakeomalasia gejala dapat timbul apabila sudah terjadi kolapsnya
anteroposterior lumen trakea mencapai lebih dan 40%. Pada trakeomalasia,
stridor yang terjadi dapat berupa stridor inspirasi dan ekspirasi bergantung
pada letak kelainannya. Apabila kelainannya pada ekstra-toraks maka
stridornya bersifat inspiratorik sedangkan apabila kelainannya intra-torakal
maka stridornya bersifat ekspiratorik. Pada keadaan kelainannya intra dan
ekstra torakal maka dapat dijumpai stridor inspiratorik dan ekspiratorik
bersama-sama atau dikenal sebagai stridor bifasik. Umumnya stridor
terdengar beberapa bulan kehidupan atau saat bayi lebih aktif. Stridor dapat
dicetuskan karena menangis, batuk, atau terjadinya infeksi respiratorik.
Gejala yang mungkin timbul adalah kesulitan saat makan karena sulitnya
koordinasi antara menelan dan bernapas sehingga tidak jarang dijumpainya
adanya aspirasi pneumonia yang kronis.10,13,14
Diagnosis laringomalasia dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto
leher dan laringoskopi fleksibel. Pada foto leher yang diambil saat inspirasi
dan ekspirasi dapat terlihat gambaran perubahan letak aritenoid dan
epiglottis ke arah medial dan inferior. Sebagai diagnosis utama menggunakan
laringoskopi fleksibel yaitu dengan melihat pasase hidung, nasofaring, dan
supraglotis. Umumnya pergerakan pita suara masih baik.8
Pada trakeomalasia diagnosis utama dengan melakukan
trakeobronkoskopi yaitu dengan melihat struktur trakea pada saat inspirasi
dan ekspirasi. Pada keadaan dicurigai adanya penekanan pada trakea perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti foto dada, barium enema,
dan lain-lain.4
Tata laksana pada laringomalasia umumnya tidak memerlukan
intervensi bedah. Sekitar 90% akan mengalami perbaikan pada usia 2
tahun. Yang perlu dilakukan adalah penerangan kepada orangtua tentang
keadaan laringomalasia dan kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi
sehingga orangtua menjadi lebih berhati-hati terutama dalam hal pemberian
makan. Sekitar 10% laringomalasia bermanifestasi sebagai sumbatan yang
berat sehingga memerlukan intervensi bedah antara lain dengan cara
trakeostomi.11
Pada trakeomalasia, sebagian besar dapat sembuh pada usia 2 tahun
seperti halnya laringomalasia tanpa tindakan bedah. Yang paling penting
adalah penjelasan kepada orangtua mengenai kesulitan-kesulitan yang timbul
terutama dalam pemberian makan sehingga tidak terjadi komplikasi seperti
aspirasi pneumonia atau bahkan gagal tumbuh. Tindakan trakeostomi pada
keadaan darurat dapat dipertimbangkan apabila kelainan trakeomalasianya
diperkirakan sampai batas tengah.11 Namun apabila sudah meluas sampai
bagian bawah maka tindakan trakeostomi kurang bermanfaat. Pada
keadaan ini pemberian CPAP (continuous positive airway pressure) dapat
membantu.12,15
Tata laksana laringomalasia dapat dibedakan dalam tindakan medis
dan bedah. Pada tindakan medis dapat diberikan obat untuk penanganan
refluks seperti antagonis reseptor H2 seperti ranitidin atau proton pump
inhibitor (PPI). Pemberian PPI didasarkan kepada sebagian besar bayi dengan
laringomalasia menderita refluks dan mendapatkan hasil yang cukup baik.
Lama pemberian PPI sekitar 9 bulan.13-15 Tata laksana bedah dapat berupa
tindakan supraglotoplasti dengan hasil yang cukup baik.16-18 Tindakan
supraglotoplasti merupakan tindakan dengan cara eksisi melewati ligament
30 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Noisy Breathing pada Bayi. Apa yang Perlu Diketahui?
Hiperplasia/hipertrofi timus
Timus terletak pada mediastinum anterior superior, namun kadang-kadang
dapat terletak di seluruh mediastinum. Hiperplasia timus merupakan
kelainan yang paling sering dijumpai di antara kelainan timus lainnya pada
anak seperti neoplasma, timoma, dan kista.1
Penyebab hiperplasia timus belum diketahui secara tepat. Ada yang
berpendapat bahwa hal itu hanya variasi besarnya ukuran timus pada masing-
masing individu atau dapat karena kemoterapi.19 Gambaran timus pada foto
Rontgent dada dapat terlihat pada usia 1-12 bulan. Sekitar 2% masih dapat
terlihat pada usia 4 tahun.19
Manifestasi klinis pada hiperplasia timus bergantung pada ukuran dan
letak timus. Apabila ukurannya besar dan letaknya pada daerah superior
thoracic inlet maka dapat menekan trakea sehingga menyebabkan suara
stridor. Umumnya dengan perubahan posisi yaitu posisi prone suara stridor
berkurang bahkan dapat menghilang.19,20
Tata laksana timus hiperplasia bergantung pada besarnya timus. Apabila
pembesarannya tidak menyebabkan gangguan obstruksi maka umumnya
diobservasi saja karena akan menghilang sesuai perkembangan usia.
Namun apabila menimbulkan gejala seperti stridor maka dapat dberikan
kortikosteroid selama 5-7 hari. Dengan pemberian kortikosteroid, timus
akan mengecil namun setelah dihentikan timus dapat membesar kembali
tetapi ukurannya lebih kecil. Tindakan eksisi dapat dilakukan apabila
sumbatan jalan napas cukup mengganggu dan gagal dengan pemberian
kortikosteroid.19,20
Prognosis hiperpasia timus umumnya baik. Apabila tidak ada
respons terhadap pemberian kortikosteroid maka perlu dipertimbangkan
neoplasma.20,21
Prognosis
Prognosis stridor pada bayi baik bergantung pada etiologinya namun secara
garis besar baik. Umumnya tanpa tindakan atau intervensi bedah dapat
sembuh dalam 2 tahun kehidupan. Pada keadaan berat dapat menimbulkan
komplikasi dan memerlukan tindakan bedah seperti trakeostomi,
supraglotoplasti, dan lain-lain.10,16,17
Simpulan
Stridor merupakan salah satu bentuk noisy breathing yang merupakan
gejala dari suatu penyakit yang sering dijumpai pada bayi. Diagnosis
yang paling sering pada bayi dengan gejala stridor adalah laringomalasia/
laringotrakeomalasia, hiperplasia timus dan vascular ring. Pada laringo
ataupun laringotrakeomalasia dan hiperplasia timus, stridor dapat
menghilang seiring perjalanan usia sebelum 2 tahun. Namun dalam
perjalannya stridor dapat menyebabkan kelainan yang dapat mengganggu
tumbuh kembang bayi seperti problem pemberian nutrisi (minum atau
makan) yang mengakibatkan failure to thrive dan pneumonia aspirasi.
Tindakan yang harus dilakukan sambil menunggu proses perbaikan sesuai
perjalanan alamiahnya, maka perlu dilakukan penanganan nutrisi yang
komprehensif dengan menggunakan NGT/OGT sehingga kebutuhan nutrisi
baik jenis maupun jumlah kalori dapat tepenuhi. Pada laringo-trakeomalasia
berat dapat terjadi refluks laring-faring sehingga pemberian obat anti-refluks
dapat dipertimbangkan meskipun masih terdapat kontroversi. Tindakan
operasi supraglotoplasti merupakan alternatif terakhir apabila tindakan non-
bedah tidak menghasilkan luaran yang lebih baik. Dokter maupun dokter
spesialis anak dapat menangani kasus laringo-trakeomalasia secara tuntas
tetapi apabila kurang respons maka dapat dirujuk ke spesialis anak konsultan
respirologi, nutrisi metabolik atau kepada spesialis THT-KL (telinga hidung
tenggorok dan kepala leher).
Daftar pustaka
1. Abel RM, Bush A, Chitty LS, Harcout J, Nicholson AG. Congenital lung disease.
Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendig’s
disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: WB
Saunders; 2006. h.280-95.
2. IB Masters. Congenital airway lessions and lung disease. Pediatr Clin N Am.
2009;56:227-42.
3. Zoumalan R, Maddalozzo J, Holinger LD. Etiology of stridor in infants. Ann
Otol Rhinol Laryngol. 2007;116:329-34.
32 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Noisy Breathing pada Bayi. Apa yang Perlu Diketahui?
Tujuan:
1. Mengetahui patogenesis hernia dan hidrokel
2. Mengetahui cara membedakan hernia dan hidrokel
3. Mengetahui saat operasi yang tepat
O
perasi hernia inguinal merupakan jenis operasi yang paling sering
dikerjakan oleh dokter spesialis bedah anak. Insidens hernia pada
anak dilaporkan antara 0,8-4,4%. Hernia Inguinal umumnya
dijumpai pada tahun pertama kehidupan anak, dengan puncaknya pada
bulan-bulan pertama. Insiden hernia inguinal didapatkan pada bayi prematur
adalah 16% sampai dengan 25%. Hal ini berhubungan dengan patensi
prosesus vaginalis. Laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan rasio 3:1,
kira-kira 60% terdapat di sebelah kanan, karena akibat terlambatnya testis
kanan turun dibandingkan testis kiri. Sekitar 11% dari pasien mempunyai
riwayat keluarga, dengan insidens 10%. Peningkatan tekanan intra-abdomen
dapat meningkatkan insidens hernia inguinal seperti penyakit fibrosis kistik,
hidrosefalus dengan pemasangan ventriculoperitoneal shunt, peritoneal
dialisis, cryptorchidism.
Patogenesis
Hernia inguinal dan hidrokel terjadi karena kegagalan penutupan prosesus
vaginalis peritoneum. Selama berkembangan fetus, testis terletak di bawah
ginjal dalam rongga peritoneum, Kemudian usia kehamilan 3 bulan
testis turun melalui cincin interna menyertakan prosesus vaginalis ini
bergerak turun masuk ke kanalis inguinalis menuju skrotum karena adanya
peningkatan tekanan intra-abdomen ketika terjadi kembalinya usus ke
rongga abdomen (proses rotasi usus), adanya kontraksi dari otot otot kanalis
inguinal dan adanya gubernakulum serta pengaruh hormonal. Proses
penutupan ini dimulai dari bagian atas cincin eksterna kemudian bagian
Diagnosis
Hernia inguinal dan hidrokel ini umum dijumpai ketika orangtua sedang
memandikan atau selama pemeriksaan rutin dokter anak. Adanya riwayat
benjolan yang hilang timbul di inguinal, labium dan skrotum. Paling umum
terjadi jika adanya peningkatan tekanan intra-abdomen (menangis atau
mengedan). Hernia inkarserata akibat terperangkapnya usus dalam kantong
hernia. Insidens terjadinya inkarserta 12-17%. Bayi dan prematur merupakan
faktor risiko untuk terjadi hernia inkarserata, laki dan perempuan sama
banyaknya, Hernia inkarserta mengakibatkan terjadinya gejala muntah
distensi dan obstruksi usus. Jika tidak segera dioperasi akan terjadi gangguan
vaskular, disebut dengan hernia inguinal strangulata. Bila terjadi strangulata
dapat terjadi shok, darah dalam feses dan peritonitis, proses ini terjadi dalam
2 jam. Hernia inkarserata umumnya terjadi pada 6 bulan pertama, dan jarang
terjadi setelah usia 5 tahun. Sedangkan hidrokel merupakan kumpulan
cairan yang berada di tunika vaginalis mengelilingi testis. Hidrokel dapat
berupa communicant dan non-communicant. Hidrokel communicant karena
gravitasi akan makin membesar. Pada anak adanya masa di atas skrotum
atau di lipat paha yang bulat, tegang dan tidak nyeri, disebut juga hidrokel
of cord (funikokel).
Pemeriksaan fisis hernia dan hidrokel, dilakukan observasi adanya
benjolan atau asimetris di inguinal. Pada hernia dapat dilakukan test valsava
atau perabaan di spermatic cord setinggi tuberkulum pubikum berupa lapisan
yang tebal (silk glove sign) dibandingkan dengan sebelahnya. Sedangkan
pada hidrokel didapatkan massa kistik di skrotum megelilingi testis dan
dibuktikan dengan transluminasi. Palpasi dapat pula dilakukan dengan
meraba spermatic cord di atas hidrokel berupa lapisan tipis. Aspirasi tidak
pernah dilakukan untuk diagnosis,
Diagnosis hernia dan hidrokel dapat dibuat berdasarkan riwayat
penyakit pasien dan pemeriksaan fisis. Ultrasonografi (US) inguinal dapat
digunakan sebagai pemeriksaan penunjang membedakan hernia inguinal
dengan hidrokel. Keuntungan dari US cepat, tidak invasif dan tidak ada
komplikasinya, US digunakan pada kedua inguinal dengan akurasi 97%.
US dapat juga digunakan untuk menilai perioperative hernia inguinal kontra
lateral bila pada pemeriksaan fisis tidak teraba.
Waktu operasi
Hernia inguinal tidak dapat menutup spontan, tindakan bedah diperlukan
untuk menutup persisten prosesus vaginalis. Saat ini ahli bedah
merekomendasi untuk segera melakukan tindakan operasi setelah diagnosis
ditegakkan karena dapat mencegah terjadinya komplikasi dari hernia inguinal
berupa inkarserata dan strangulasi, serta makin amannya pembiusan pada
anak. Bila terjadi hernia inguinal inkarserta perlu dilakukan observasi ketat
sebelum definitiv operasi, sekitar 90–95% dapat tereduksi spontan, hanya 8%
memerlukan operasi. Tindakan operasi emergensi dilakukan bila tindakan
reduksi gagal. Hidrokel pada sejumlah anak (80-89%) dapat menutup spontan
dalam usia 1 tahun dan tindakan operasi diindikasikan bila gagal menutup
sampai usia 2 tahun, adanya ketidaknyaman, makin membesar hidokel dan
adanya infeksi sekunder. Prinsip dasar operasi hernia dan hidrokel adalah
ligasi tinggi prosesus vaginalis (kantong hernia). Tindakan pembedahan
dapat dilakukan dengan herniotomi (Ladd and Gross) atau laparoskopi.
Tindakan herniotomi mempunyai komplikasi berupa pembengkakan pada
skrotum, cedera vas deferens, rekurensi, iatrogenic undescended testicle,
testis atropi, dan cedera usus. Sedangkan dengan laparoskopi dapat menilai
hernia kontra lateral.
Simpulan
Hernia inguinal dan hidrokel mempunyai patogenesis yang sama, hernia
inguinalis isi kantong berupa usus atau organ abdomen lainnya sedangkan
hidrokel berisi cairan rongga abdomen. Secara klinis dapat dibedakan dari
anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Waktu tindakan
pada hernia segera setelah diagnosis ditegakkan sedanglan hidrokel dapat
ditunda, kecuali ada indikasi,
Daftar Pustaka
1. Fraser JD, Snyder CL. Inguinal hernias and hydroceles. Dalam: Holcomb GW,
Murphy PJ, penyunting. Ashcraf ’s pediatric surgery. 6th ed. Philadelphia:
Elsevier-Saunders; 2014.
2. Glick PL, Boulanger SC. Inguinal Hernias and Hydroceles. Dalam: Coran
AG Adzick NS, penyunting. Pediatric surgery. 7th ed. Philadelphia: Elservier-
Sauders; 2012.
3. Medscape, Pediatric hydrocele and hernia surgery treatment & management.
Diunduh dari: http://www emedicine.medcape.com/article/1015147-treatment
Diakses pada tanggal 16 januari 2017.
4. Medscape. Pediatric hydrocele and hernia surgery, Diunduh dari: http://
emedicine, medcape,com/article/1015147-overview, Diakses pada tanggal 15
januari 2017.
36 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Picky Eater: Dokter Harus Bagaimana?
Yoga Devaera
Tujuan:
1. Mengidentifikasi keluhan picky eater dari orangtua sebagai masalah atau bukan
2. Memahami perkembangan dan faktor yang mempengaruhi selera makan anak (food
preference)
3. Memahami pendekatan klinis masalah makan selektif
M
asalah makan merupakan satu hal yang sering dikeluhkan
orangtua di berbagai belahan dunia. Salah satu keluhan yang
sering disampaikan orangtua ialah anaknya sering memilih-
milih jenis makanan sehingga variasi makanan menjadi terbatas atau picky
eater. Istilah lain dalam literatur adalah fussy, faddy or choosy eating. Dalam
kepustakaan tidak ada kesepakatan tentang definisi picky eater. Penelitian-
penelitian yang ada menggunakan kriteria berbeda untuk mendefinisikan
picky eater. Prevalens picky eater menjadi sangat bervariasi sesuai dengan
kriteria yang digunakan mulai dari 5,6% pada anak usia 4 tahun di Belanda
hingga 59% di Tiongkok pada anak usia 7-12 tahun. Kriteria yang digunakan
dapat berupa satu pertanyaan sederhana seperti apakah anak anda memilih-
milih dalam makan hingga bagian dari kuesioner yang kompleks seperti
kriteria derajat pemilihan makanan (high fussiness/high slowness in eating/
high satiety responsiveness/low food enjoyment/low food responsiveness) dalam
children’s eating behaviour questionnaire (CEBQ).1 Walaupun istilah picky
eater sering digunakan namun istilah ini tidak dikenal dalam international
statistical classification of diseases and related health problems, 10th revision
(ICD 10) maupun diagnostic and statistical manual of mental disorders
fifth edition (DSM-V). Dalam kedua pedoman tersebut terminologi yang
digunakan lebih ke arah kelainan yang serius yang mengakibatkan gangguan
gizi dan pertumbuhan atau emosional.2 Dalam ICD 10 digunakan istilah
feeding disorder of infancy and childhood (F98.2) yang meliputi masalah
penolakan makan (food refusal) atau keterbatasan variasi makan ekstrem
yang bukan disebabkan ketiadaan makanan atau masalah pengasuhan atau
kelainan organik .3
38 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Picky Eater: Dokter Harus Bagaimana?
Gambar 2. Faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan pada remaja dan dewasa
Pendekatan klinis
Seorang anak yang memilih makanan secara selektif dapat dikelompokkan
menjadi persepsi salah orangtua (food neophobia) hingga selektif ekstrim yang
merupakan bagian gangguan perilaku ataupun organik. Saat menghadapi
keluhan picky eater dari orangtua yang pertama dilakukan ialah melakukan
anamnesis terinci tentang kebiasaan makan anak, perlu dibedakan apakah
hanya makanan baru saja yang dihindari oleh anak atau termasuk juga
makanan yang sudah dikenalnya, serta jenis makanan apa saja yang dapat
diterima anak, adakah kaitannya dengan tekstur, warna atau kelompok
makanan tertentu. Gejala lain yang yang menyertai juga perlu diperhatikan
seperti tersedak, muntah atau diare, keterlambatan perkembangan dan
sebagainya. Tabel 1 menunjukkan red flag yang harus diperhatikan dan
menunjukkan masalah yang lebih serius. Pemeriksaan fisik dan antropometri
merupakan hal yang penting untuk menyingkirkan kelainan organik dan
gejala malnutrisi. Pemeriksaan laboratorium dikerjakan atas indikasi.2,10
40 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Picky Eater: Dokter Harus Bagaimana?
Simpulan
Anak yang selektif/memilih jenis makan merupakan hal sering dikhawatirkan
orangtua. Dokter anak perlu melakukan investigasi apakah hal tersebut
merupakan bagian perkembangan normal (food neophobia), masalah makan
selektif ringan atau bahkan masalah selektif makan berat yang berhubungan
dengan kelainan organik/perilaku. Penerapan feeding rules dan beberapa
nasehat sederhana dapat diterapkan pada kasus ringan sedangkan pada
kasus berat perlu pendekatan multidisiplin.
Daftar pustaka
1. Taylor CM, Wernimont SM, Northstone K, Emmett PM. Picky/fussy eating
in children: Review of definitions, assessment, prevalence and dietary intakes.
Appetite. 2015;95:349-59
2. Kerzner B, Milano K, MacLean WC, Berall G, Stuart S, Chatoor I. A Practical
Approach to Classifying and Managing Feeding Difficulties. Pediatrics.
2015;135:344-51
3. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems
10th. Diunduh dari: http://apps.who.int/classifications/icd10/browse/2016/en#/
F98 pada tanggal 11 januari 2017
4. T Dovey, Staples PA, Gibson EL, Halford JCG. Food neophobia and ‘picky/
fussy’ eating in children: A review. Appetite. 2008;50:181–93
5. Fisher MM, Rosen DS, Ornstein RM, Mammel KA, Katzman DK, Rome ES,
dkk. Characteristics of avoidant/restrictive food Intake disorder in children
and adolescents: A “New Disorder” in DSM-5. J Adolesc Health. 2014;55:49-52
6. Ventura AK, Worobey J. Early Influences on the Development of Food
Preferences. Curr Biol.2013;23:R401–408
7. Cooke LJ, Haworth CMA, Wardle J. Genetic and environmental influences on
children’s food neophobia. Am J Clin Nutr. 2007;86:428 –33
8. Smith AD, Fildes J, Cooke LJ, Herle M, Shakeshaft N Plomin R, dkk. Genetic
and environmental influences on food preferences in adolescence. Am J Clin
Nutr. 2016;104:446–53
9. Kaar JL, Shapiro ALB, Fell DM, Johnson SL. Parental feeding practices, food
neophobia, and child food preferences: What combination of factors results in
children eating a variety of foods? Food Qual Prefer. 2016;50:57–64
10. Ong C, Phuah KY, Salazar E, How CH. Managing the ‘picky eater’ dilemma.
Singapore Med J. 2014; 55: 184-90
11. van der Horst K. Overcoming picky eating. Eating enjoyment as a central aspect
of children’s eating behaviors. Appetite.2012;58:567–574
42 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Prolonged Jaundice: Bagaimana
selanjutnya?
Hanifah Oswari
Tujuan:
1. Mengetahui definisi kolestasis
2. Mengetahui terapi standard kolestasis
3. Mengetahui atresia bilier
4. Mengetahui diagnosis yang sering dan mudah diterapi
5. Mengetahui kapan saat merujuk pasien
K
etika Anda sedang berpraktek, seorang ibu datang membawa bayinya
berusia 3 minggu. Anda melihat bayi itu kuning dan sewaktu Anda
memeriksa darah bayi tersebut ternyata hasil bilirubin total bayi
bayi 8,5 mg/dL dan bilirubin direk 3,8 mg/dL. Apa yang perlu dilakukan
selanjutnya? Bayi yang mengalami kuning sebelum usia 2 minggu umumnya
bersifat fisiologis (hiperbilirubinemia indirek) dan akan menghilang pada
usia 14 hari, tetapi 2-15% bayi baru lahir tetap kuning pada usia 2 minggu.1
Bayi kuning setelah usia 2 minggu dapat terjadi karena bayi mengalami
kolestasis. Bila bayi terlihat kuning pada usia 2 minggu atau lebih, fraksi
bilirubin perlu diperiksa, yaitu bilirubin total dan bilirubin direk untuk
menentukan apakah bayi mengalami kolestasis. Tujuan artikel ini adalah
membahas tindakan yang perlu dilakukan setelah mengetahui bayi dengan
kolestasis, memberikan terapi yang diperlukan dan merujuk pada saat yang
tepat.
Tabel 1. Suplementasi vitamin yang larut dalam lemak untuk pasien kolestasis.4,5
Vitamin Dosis Gejala toksis
A 5000 IU/hari PO Hepatotoksitas, pseudotumor serebri,
dermatitis
D (kolekalsiferol) 800 IU/hari atau 25-hydroxyvitamin Hiperkalemia, letargi, aritmia jantung,
D3 50 g/kg/hari PO nefrokalsinosis
E 15-25 IU/kg/hari PO
K1 2-5 mg/kg IM tiap 4 minggu
44 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Prolonged Jaundice: Bagaimana selanjutnya?
kolestasis perlu dicari dan terapi spesifik diberikan untuk diagnosis etiologi
tersebut. Berikut ini pembahasan mengenai hal tersebut:
46 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Prolonged Jaundice: Bagaimana selanjutnya?
masih mungkin dilakukan prosedur Kasai setelah usia 2 bulan asalkan biopsi
hati belum menunjukkan adanya sirosis hati.
Bila bukan atresia bilier, bayi perlu dicari penyebabnya misalnya sepsis
atau post-sepsis, ISK, atau hipotiroid. Terapi untuk penyakit dasarnya
dapat dilakukan dan dinilai dalam 2 minggu apakah terdapat perbaikan.
Bila bayi mengalami perbaikan, terapi spesifik dan terapi standar kolestasis
dapat dilanjutkan sampai bayi tidak mengalami kolestasis. Bila bayi tidak
menunjukkan perbaikan, bayi perlu dirujuk ke dokter anak subspesialis
Gastroenterohepatologi untuk penatalaksanaan selanjutnya.
Simpulan
Bayi kuning yang berusia di atas 2 minggu perlu ditentukan apakah
mengalami kolestasis atau bukan. Selanjutnya, bayi dengan kolestasis perlu
segera diberikan terapi standar kolestasis. Terapi standar kolestasis adalah
pemberiaan asam ursodeoksikolat dan vitamin yang larut dalam lemak. Dari
semua terapi ini, pemberian vitamin K1 yang tidak boleh ditunda karena bila
ditunda dapat menyebabkan perdarahan intrakranial yang fatal. Bayi dengan
kecurigaan atresia bilier secepatnya perlu dirujuk. Bila tidak ada kecurigaan
atresia bilier, pencarian diagnosis etiologi tetap perlu dilakukan terutama
untuk diagnosis yang mudah dicari dan mudah diterapi. Terapi spesifik selain
terapi standar kolestasis perlu diberikan sesuai diagnosis etiologi kolestasis.
Terapi spesifik ini diharapkan akan memperbaiki keadaan kolestasis. Bila
tidak membaik dalam 2 minggu, sebaiknya bayi dirujuk ke dokter anak
subspesialis Gastroenterohepatologi.
Daftar Pustaka
1. Kelly DA, Stanton A. Jaundice in babies: implications for community screening
for biliary atresia. BMJ. 1995;310:1172-3.
2. Moyer V, Freese DK, Whitington PF, et al. Guideline for the evaluation of
cholestatic jaundice in infants: recommendations of the North American
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2004;39:115-28.
3. Danks DM, Smith AL. Hepatitis syndrome in infancy--an epidemiological
survey with 10 year follow up. Arch Dis Child. 1985;60:1204.
4. De Bruyne R, Van Biervliet S, Vande Velde S, Van Winckel M. Clinical practice:
neonatal cholestasis. Eur J Pediatr. 2011;170:279-84.
5. Venigalla S, Gourley GR. Neonatal cholestasis. Semin Perinatol. 2004;28:348-55.
6. Baudesson de Chanville A, Oudyi M, Bresson V, et al. [Vitamin K deficiency
bleeding: a case secondary to transient neonatal cholestasis]. Arch Pediatr.
2013;20:503-6.
7. Miyao M, Abiru H, Ozeki M, et al. Subdural hemorrhage: A unique case
involving secondary vitamin K deficiency bleeding due to biliary atresia.
Forensic Sci Int. 2012;221:e25-9.
8. Ngo B, Van Pelt K, Labarque V, et al. Late vitamin K deficiency bleeding leading
to a diagnosis of cystic fibrosis: a case report. Acta Clin Belg. 2011;66:142-3.
9. Shearer MJ. Vitamin K deficiency bleeding (VKDB) in early infancy. Blood
Rev. 2009;23:49-59.
10. Mihatsch WA, Braegger C, Bronsky J, et al. Prevention of Vitamin K Deficiency
Bleeding in Newborn Infants: A Position Paper by the ESPGHAN Committee
on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2016;63:123-9.
11. Witt M, Kvist N, Jorgensen MH, et al. Prophylactic Dosing of Vitamin K to
Prevent Bleeding. Pediatrics. 2016;137.
48 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Prolonged Jaundice: Bagaimana selanjutnya?
12. Raval MV, Dzakovic A, Bentrem DJ, et al. Trends in age for hepatoportoenterostomy
in the United States. Surgery. 2010;148:785-91.
13. Rendon-Macias ME, Villasis-Keever MA, Castaneda-Mucino G, Sandoval-Mex
AM. Improvement in accuracy of gamma-glutamyl transferase for differential
diagnosis of biliary atresia by correlation with age. Turk J Pediatr. 2008;50:253-9.
Tujuan:
1. Memahami makna kesulitan belajar
2. Memahami latar belakang kesulitan belajar
3. Memahami pendekatan tata laksana kesulitan belajar pada anak
K
emampuan anak untuk belajar merupakan suatu proses yang
kompleks serta membutuhkan harmonisasi antara perkembangan
otak dan fungsi tubuh yang optimal serta stimulasi yang
berkesinambungan. Selain itu, peran serta aktif anak diperlukan dalam
proses belajar tersebut sehingga akhirnya anak mampu untuk menguasai
keterampilan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor berikut berperan terhadap kemampuan
belajar seorang anak: (1) kematangan dan keutuhan dari struktur organ-
organ, termasuk otak besar, otak kecil serta berbagai sistem tubuh lainnya
seperti sistem indera, motorik halus dan kasar; (2) stimulasi yang optimal dan
berkesinambungan dari lingkungan, termasuk lingkungan rumah, sekolah
dan lingkungan lainnya; (3) peran aktif anak untuk mengolah setiap asupan
yang diterimanya, termasuk motivasi dan minat belajar anak.
Ketidakselarasan faktor-faktor di atas dapat memicu suatu kondisi
yang disebut sebagai kesulitan belajar (learning difficulties) serta gangguan
belajar (learning disorder). Kesulitan belajar merupakan istilah umum yang
menggambarkan bahwa anak mengalami masalah dalam proses belajarnya.
Kondisi ini merupa-kan masalah yang serius dan seringkali membuat anak
dan orangtua menjadi khawatir. Di samping itu, keluhan ‘sulit belajar’ juga
merupakan salah satu keluhan tersering yang membuat orangtua membawa
anaknya datang berkonsultasi. Anak dengan kesulitan belajar mengalami
masalah dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di dalam kelas dan tidak
jarang membuat mereka menjadi takut, cemas bahkan menolak saat harus
berangkat ke sekolah. The Individuals with Disabilities Education Acts
(IDEA)1 pada tahun 2004 memberikan penjelasan bahwa kesulitan belajar
adalah suatu kondisi yang membuat anak tidak mampu mencapai prestasi
akademik yang setara dengan tingkat intelektual yang dimilikinya. Kondisi
ini membuat anak seringkali gagal baik dalam satu mata ajar tertentu atau
sebagian besar mata ajar yang harus diikutinya jika dibandingkan dengan
teman-teman sekelasnya.
Dalam observasi klinis sehari-hari, seringkali dijumpai anak yang
mengalami kesulitan dalam membaca, menulis, berhitung atau masalah
belajar lainnya namun tidak serta merta mereka dikatakan mengalami
kesulitan belajar. Anak dikatakan mengalami kesulitan belajar jika kondisi
tersebut disertai dengan beberapa tanda lainnya serta bersifat menetap
sampai ada intervensi yang mengatasinya. Tanda-tanda kesulitan belajar
sangat bervariasi dan dapat berbeda antara satu anak dengan anak lainnya.
Beberapa tanda yang seringkali digunakan untuk menggambarkan anak
dengan kesulitan belajar adalah kesulitan membaca dan/menulis, masalah
dengan keterampilan berhitung (matematika), kesulitan dalam memori
kerja, kesulitan memusatkan perhatian, kesulitan mengikuti instruksi
verbal dan non-verbal, koordinasi motorik yang terganggu, kesulitan
untuk memahami konsep waktu, ketidakmampuan dalam organisasi diri.
Di samping itu juga dikenal istilah lain yaitu gangguan belajar spesifik
atau specific learning disorder. Berdasarkan Diagnostic Statistical Manual
for Mental Disorder 5 (DSM 5)2, gangguan belajar spesifik dikelompokan
sebagai gangguan neurodevelopmental yang meliputi gangguan membaca
(disleksia), gangguan berhitung (diskalkulia), gangguan menulis (disgrafia)
dan gangguan koordinasi motorik (dispraksia). Gangguan-gangguan ini
dapat menimbulkan kesulitan belajar pada anak sehingga mereka seringkali
mengalami kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab yang diberikan di
sekolah. Semua kondisi tersebut tentunya dapat membuat anak tidak mampu
bersaing dengan teman-teman sekelasnya dan membuat prestasi akademik
mereka jauh di bawah kapasitas intelektual yang ada.3,4
Dengan demikian, kesulitan belajar dapat dikatakan memiliki berbagai
latar belakang, dari masalah fisik sampai masalah psikososial. Masalah fisik
yang sering menjadi latar belakang kesulitan belajar adalah: (1) kelainan
otak akibat penyakit tertentu, seperti palsi serebral, dsb; (2) kelainan sistem
indera, seperti adanya rabun dekat, tuli, dsb; (3) penyakit fisik kronik seperti
diabetes tipe 1, keganasan, dsb; (4) kelainan fungsional seperti koordinasi
motorik halus dan kasar yang tidak optimal. Permasalahan lainnya yang
dapat menimbulkan kesulitan belajar adalah masalah atau gangguan emosi
dan perilaku pada anak seperti; (1) gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas (GPPH); (2) gangguan tingkah laku disruptif; (3) gangguan
mood, seperti gangguan depresi, gangguan bipolar; (4) gangguan cemas,
termasuk cemas perpisahan; (5) gangguan memori kerja. Selain itu, kondisi
kehidupan keluarga yang tidak menentu serta adanya kekerasan dalam
Pada anak yang berada di usia sekolah maka tanda berikut perlu
menjadi perhatian karena dapat meningkatkan risiko terjadinya kesulitan
belajar. Tanda-tanda tersebut adalah:
1. Daya ingatnya (relatif) kurang baik, termasuk memori kerja yang tidak
adekuat.
2. Sering melakukan kesalahan yang konsisten dalam mengeja dan
membaca, misalnya huruf d dibaca b, huruf w dibaca m. (buku dibaca
duku).
3. Lambat untuk mempelajari hubungan antara huruf dengan bunyi
pengucapannya.
4. Bingung dengan penggunaan tanda-tanda dalam pelajaran matematika,
misalnya tidak dapat membedakan antara tanda - (minus) dengan +
(plus), tanda + (plus) dengan x (kali), dan lain-lain.
5. Sulit dalam mempelajari keterampilan baru, terutama yang membutuhkan
kemampuan daya ingat.
52 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Memahami dan Mengatasi Kesulitan Belajar pada Anak
6. Sangat aktif dan tidak mampu menyelesaikan satu tugas atau kegiatan
tertentu dengan tuntas.
7. Impulsif (bertindak sebelum berpikir).
8. Sulit konsentrasi atau pehatiannya mudah teralih.
9. Sering melakukan pelanggaran baik di sekolah atau di rumah.
10. Tidak bertanggung jawab terhadap kewajibannya.
11. Tidak mampu merencanakan kegiatan sehari-harinya.
12. Problem emosional seperti mengasingkan diri, pemurung, mudah
tersinggung atau acuh terhadap lingkungannya.
13. Menolak bersekolah.
14. Mengalami kesulitan dalam mengikuti petunjuk atau rutinitas tertentu.
15. Ketidakstabilan dalam menggenggam pensil/pen.
16. Kesulitan dalam mempelajari pengertian tentang hari dan waktu.
17. Koordinasi diri yang tidak sesuai dengan anak seusianya, misalnya
kemampuan genggam yang buruk, mudah jatuh (limbung), perilaku
kikuk (clumsiness), dsb.
Simpulan
Kesulitan belajar pada anak merupakan masalah yang kompleks dan
membutuhkan perhatian kita semua yang bekerja bersama anak. Anak
dengan kesulitan belajar jika tidak ditangani dengan serius dapat memicu
penurunan kualitas hidupnya dan berdampak terhadap kualitas individu di
masa mendatang. Oleh karena itu, pusat penanganan anak dengan kesulitan
belajar sangat diperlukan agar dapat memberikan pelayanan yang lebih
komprehensif. Saat ini Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Departemen Medik
Ilmu Kesehatan Jiwa RSCM – FKUI sedang merancang pendirian Klinik
Kesulitan Belajar Terpadu bagi anak dan remaja di Pusat Kesehatan Mental
Terpadu RSCM – FKUI. Klinik ini diharapkan dapat dijadikan prototipe
untuk membantu anak dengan kesulitan belajar dan keluarganya.
Daftar pustaka
1. Lee AMI. How IDEA protects you and your child. Diunduh pada 5 Januari
2017 dari https://www.understood.org/en/school-learning/your-childs-rights/
basics-about-childs-rights/how-idea-protects-you-and-your-child.
2. American Psychiatric Association. Desk reference to Diagnostic Criteria from
Diagnostic Statistical Manual for Mental Disorders 5. American Psychiatric
Publishing. 2013.
3. American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. Children with learning
disabilities. Diunduh pada 5 Januari 2017 dari http://www.aacap.org
4. Learning Disabilities Association of America. Symptoms of learning disabilities.
Diunduh pada 5 Januari 2017 dari http://www.Idaamerica.us/aboutld/parents/
ld_basics/symptoms.asp
5. Lange SM, Thompson B. Early identification and interventions for children
at risk for learning disabilities. International Journal of Special Education.
2006;21:108-19.
6. Gersten R, Jordan NC, Flojo JR. Early identification and interventions for
students with mathematics difficulties. Journal of Learning Disabilities.
2005;34:293-304.
54 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Demam Tinggi pada Anak :
Perlukah Antibiotika?
Debbie Latupeirissa
Tujuan :
1. Menjelaskan tentang definisi demam tinggi
2. Menjelaskan tentang hubungan demam tinggi dan infeksi serius pada anak
3. Menjelaskan tentang indikasi pemberian antibiotik pada anak dengan demam tinggi
D
emam adalah keluhan tersering (20%) yang menyebabkan orangtua
membawa anaknya ke dokter.1,2 Suatu penelitian mencatat bahwa
selama 2 tahun pertama kehidupan seorang anak, terdapat 4-6
episode penyakit akut setiap tahunnya dengan gejala terbanyak adalah
demam.3 Walaupun infeksi merupakan penyebab tersering demam, demam
dapat juga ditemukan pada pasien dengan reaksi hipersentivitas, penyakit
autoimun dan keganasan.4
Demam tinggi atau hiperpireksia merupakan suatu keadaan gawat
darurat dan berhubungan dengan infeksi yang serius pada anak. Suatu
penelitian prospektif melaporkan bahwa anak sakit yang dibawa ke ruang
emergensi dengan keluhan hiperpireksia, risiko kemungkinan disebabkan
oleh infeksi bakteri yang serius dan virus sama besarnya.4 Dubois mengamati
keadaan hiperpireksi pada 1761 pasiennya, 5% diantaranya mengalami
infeksi bakteri yang serius.5
Kalangan dokter ternyata cenderung memikirkan adanya bakteremia
terselubung pada anak demam, sehingga mengakibatkan sering dilakukan uji
laboratorium dan terapi berlebihan.6 Terapi antimikroba sering digunakan
pada keadaan demam tinggi karena dipikirkan berhubungan dengan
penyakit infeksi, padahal beberapa infeksi yang serius tidak selalu disertai
dengan demam. Oleh karena itu, anamnesis, pemeriksaan, dan pengamatan
penampakan klinis anak yang sakit juga penting selain tingginya suhu pada
keadaan demam.
56 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Demam Tinggi pada Anak: Perlukah Antibiotika?
Pada anak usia 3 bulan atau lebih, antibiotik tidak diberikan pada
demam tinggi dengan kemungkinan infeksi virus.
Simpulan
Demam tinggi atau hiperpireksia pada anak dapat berhubungan dengan
infeksi yang serius, tetapi infeksi tersering adalah disebabkan oleh virus,
sehingga penggunaan antibiotik digunakan sesuai indikasi klinis dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
Daftar Pustaka
1. Alpern ER, Henretig FM. Fever. Fleisher GR, Ludwg S, Henretig FM, penyunting.
Textbook of Pediatric Emergency Medicine. Ed. 5. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2006. h. 295-306.
2. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. In: El-Radhi AS, Carroll J, Klein
N, penyunting. Clinical manual of fever in children. New York: Springer-Verlag
Berlin Heidelberg, 2009.
3. Dingle JH, Badger GF, Jordan WS. Illness in the home: A study of 25,000 illness
in a group of Cleveland families. Cleveland: The Press of Western Reserve
University; 1964. h. 19-96.
4. Demam : Patogenesis dan pengobatan. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H,
Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Jakarta: IDAI; 2008. h. 21-46.
5. Dubois EF. Why are fever temperatures over 106oF rare? Am J Med Sci
1949;217:361-8.
6. Karwowska A, Nijssen-Jordan C, Johnson D, Davies D. Parental and health care
provider understanding of childhood fever: a Canadian perspective. CJEM/
JCMU. 2002;4:1-10.
7. Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce TG,
penyunting. Moffet’s pediatric infectious diseases: A problem-oriented approach.
Ed. 4. New York: Lippincott William & Wilkins; 2005. h. 318-73.
58 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Demam Tinggi pada Anak: Perlukah Antibiotika?
Tujuan:
1. Mengetahui patogenesis sefalgia pada anak
2. Mengetahui klasifikasi sefalgia pada anak
3. Mengetahui pendekatan diagnosis sefalgia pada anak
4. Mengetahui tanda bahaya sefalgia pada anak
5. Mengetahui tata laksana komprehensif sefalgia pada anak
S
efalgia atau nyeri kepala pada anak kerap kita temukan dalam praktik
sehari-hari. Sebagian besar nyeri kepala pada anak tergolong nyeri
kepala primer yaitu migren dan tension-type headache (TTH), atau
keadaan akut yang ringan seperti infeksi virus.1 Meskipun demikian, seorang
dokter harus menyingkirkan penyebab sefalgia yang lain terutama keadaan
yang berat seperti perdarahan intrakranial atau tumor. Sefalgia meskipun
ringan sering menimbulkan kecemasan orangtua yang berlebihan sehingga
mereka meminta pemeriksaan penunjang yang sebenarnya tidak perlu dan
membawa anaknya berobat dari satu dokter ke dokter yang lain. Sefalgia
kerap menyebabkan anak tidak masuk sekolah berhari-hari dan membatasi
aktifitas anak. Keterbatasan waktu dokter dalam membuat anamnesis yang
baik juga merupakan kendala tersendiri, oleh karena hal itu penulis mencoba
membahas sefalgia pada anak dari segi pendekatan diagnosis dan tata laksana
yang dapat diterapkan dalam praktik sehari-hari.
Epidemiologi
Sefalgia akut dan kronik sering ditemukan pada anak dan remaja. Prevalens
sefalgia berkisar antara 37-51% pada anak usia 7 tahun dan meningkat
menjadi 57-82% pada usia 15 tahun. Sefalgia yang sering dan berulang
terjadi pada 2,5% anak usia 7 tahun dan 15% pada anak usia 15 tahun.
Sebelum pubertas anak laki-laki lebih banyak mengalami sefalgia daripada
perempuan, akan tetapi setelah pubertas sefalgia lebih sering dialami anak
perempuan.2,3 Prevalens migren relatif stabil, yaitu 3% pada usia 3-7 tahun,
4-11% pada usia 7-11 tahun dan 8-23% pada masa remaja. Usia rata-rata
awitan migren pada anak laki-laki adalah 7,2 tahun dan anak perempuan
10,9 tahun. Anak laki-laki lebih banyak mengalami migren pada usia < 7
tahun, rasio gender sama pada usia 7-11 tahun, sedangkan pada usia 15
tahun anak perempuan lebih banyak menderita migren.3,4
Patogenesis
Patogenesis sefalgia pada anak banyak merujuk pada patogenesis sefalgia
pada orang dewasa. Patogenesis yang banyak dibahas adalah migren dan
TTH. Patogenesis migren adalah gangguan vaskular kepala yang melibatkan
korteks otak sehingga terjadi kaskade yang mencetuskan serangan migren.
Dengan pemeriksaan neurofisiologi yaitu visual evoked potential (VEP),
somatosensoryevoked potentials (SEP) dan auditory cortex potentials (MMN),
dipikirkan migren berkaitan dengan proses informasi sentral yang abnormal
dan gangguan eksitabilitas korteks serebral. Diduga pada pasien dengan
migren, kurangnya habituasi korteks otak mengaktifasi sistem trigemino-
vaskular yang menyebabkan serangan nyeri.5-7
Patogenesis TTH diduga sebagai akibat interaksi antara perubahan
kontrol desenden nosiseptor trigeminal brainstem dan perubahan perifer,
seperti nyeri otot-otot wajah dan regangan di otot perikranial. Nyeri dapat
dicetuskan oleh stres fisik, stres psikis, kombinasi keduanya, posisi tubuh
yang tidak ergonomis dalam waktu lama. Stres emosi dapat mencetuskan
TTH melalui beberapa mekanisme yaitu peningkatan tonus otot melalui
sistem limbik, dan pada saat yang bersamaan terdapat penurunan tonus
sistem antinosiseptif endogen. Ketika sefalgia timbul lebih sering, perubahan
di sentral berperan penting. Sensitisasi saraf nosiseptif dalam waktu
lama bersama dengan penurunan aktifitas sistem anti nosiseptif dapat
menyebabkan sefalgia kronik. Perubahan di sentral berperan dalam TTH
episodik maupun kronik. Faktor sentral dan perifer mungkin berbeda pada
tiap pasien. Faktor genetik berperan dalam perubahan psikis dan sentral
pada TTH kronik, sedangkan faktor lingkungan berperan dalam timbulnya
TTH episodik.6,7
Klasifikasi
The International Headache Society mengemukakan klasifikasi terbaru untuk
nyeri kepala (lihat Tabel 1)
Klasifikasi lain yang masih dianut dan sangat bermanfaat secara klinis
adalah klasifikasi dari Rothner, yang membagi sefalgia berdasarkan waktu
yaitu akut, akut-berulang, kronik-progresif, kronik non-progresif dan
campuran.(lihat Tabel 3).
62 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-Hari
Pendekatan diagnosis
Evaluasi menyeluruh diperlukan untuk membuat diagnosis yang tepat dan
tata laksana awal. Evaluasi termasuk anamnesis (termasuk observasi orangtua
dan guru, relasi antara anak-pengasuh, relasi antar anggota keluarga, riwayat
penyakit anak dan orangtua) serta pemeriksaan fisik umum dan neurologis.10
Anamnesis
Anamnesis berperan penting dalam menegakkan diagnosis, diperlukan
waktu yang cukup dan kesabaran untuk menggali anamnesis yang baik.
Pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah: 11,12 (1)
deskripsi sefalgia, berapa macam tipe sefalgia yang dirasakan, (2) kapan dan
bagaimana mulai ada keluhan, (3) apakah sefalgia memburuk, membaik
atau tidak berubah, (4) frekuensi dan durasi sefalgia, (5) apakah sefalgia
timbul pada waktu atau saat-saat tertentu, (6) apakah sefalgia berhubungan
dengan makanan, situasi atau obat-obat tertentu, (7) apakah terdapat gejala
yang mendahului keluhan, (8) lokasi dan kualitas sefalgia, (9) gejala yang
menyertai keluhan, apakah gejala tersebut berlangsung terus di antara
serangan. Gejala ini dapat berupa mual, muntah, kelumpuhan, gangguan
penglihatan, pendengaran dll. (10) apa yang pasien kerjakan ketika sefalgia,
(11) keadaan yang membuat keluhan memburuk atau membaik, (12) adakah
penyakit lain yang diderita pasien, (13) obat-obat untuk penyakit lain yang
dikonsumsi secara teratur atau bila perlu, (14) apakah sefalgia menganggu
aktifitas sehari-hari, (15) apakah terdapat gejala lain seperti kesemutan,
kelemahan tungkai, dizziness, mual dan muntah
Riwayat keluarga
Riwayat sakit kepala, nyeri dan penyakit lain yang berhubungan perlu
ditanyakan karena migren berkaitan erat dengan faktor genetik. Hipertensi
yang berkaitan dengan keluhan sakit kepala juga faktor genetik. Riwayat
keluarga ditanyakan sampai kakek, nenek, saudara kandung, paman dan
bibi karena keluhan migren kadang tidak terdapat pada orangtua. Pola sakit
kepala juga bisa berbeda pada setiap anggota keluarga. 1
64 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-Hari
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis terutama ditujukan pada derajat kesadaran, tanda
rangsang meningeal, gangguan penglihatan, defisit neurologis fokal, saraf
kranial, gangguan koordinasi, gait dan bicara, gangguan pendengaran,
funduskopi, pengukuran lingkar kepala, adanya bruit palpasi kepala dan
seluruh bagian tubuh, kekuatan dan tonus otot, refleks fisiologis dan
patologis. Mayoritas pemeriksaan umum dan neurologis pada sefalgia primer
adalah normal.3,10,14,15 Tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial
perlu dicari dan disingkirkan terlebih dahulu.
Pemeriksaan psikologis
Nyeri kepala berulang berefek negatif pada aktifitas harian anak (pola tidur,
selera makan, atensi dll). Selama masa prapubertas dan pubertas perubahan
emosi dan kepribadian juga beperan penting. Harus dibedakan apakah
problem atau perubahan emosi tersebut merupakan komorbiditas atau
merupakan problem utama. Gejala lain seperti depresi, sedih, menarik diri
dari aktifitas sehari-hari, putus asa juga patut dicari.10
Red flags
Di bawah ini terdapat beberapa tanda-tanda yang perlu diwaspadai (red
flags) adanya kelainan struktural yang memerlukan intervensi bedah dan
pemeriksaan pencitraan. Tanda-tanda itu: (1) sefalgia makin berat dan
makin sering, (2) sefalgia bertambah hebat dengan batuk, bersin, mengedan,
(3) nyeri kepala yang akut dan berat (< 6 bulan), (4) disertai gejala sistemik
seperti demam, penurunan berat badan, ruam dan nyeri sendi, (5) faktor
risiko sekunder seperti imunosupresi, hiperkoagulasi, penyakit neurokutan,
keganasan, penyakit genetik dan rematik, (6) defisit neurologis seperti
penurunan kesadaran, edema papil, gerak bola mata yang abnormal,
kelumpuhan dan asimetri, (7) perubahan tipe nyeri kepala, peningkatan
frekuensi, derajat dan manifestasi klinis, (8) nyeri kepala berkaitan dengan
tidur.16 Penting diingat bahwa pemeriksaan pencitraan tidak rutin dilakukan
pada anak dengan nyeri kepala berulang dan pemeriksaan neurologis normal.
Saat menerima pasien di ruang praktek atau IGD, red flags tersebut dapat
dijadikan pegangan apakah kita menghadapi sefalgia yang memerlukan
tindakan segera atau tidak.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan MRI kepala adalah pilihan terbaik untuk mencari etiologi
abnormalitas struktur otak, infeksi, inflamasi dan iskemia. CT Scan
kepala dipakai untuk mendeteksi perdarahan atau fraktur. Rekomendasi
pemeriksaan pencitraan dari The American Academy of Neurology untuk
evaluasi anak dengan sefalgia berulang: (1) Pemeriksaan pencitraan secara
rutin tidak diindikasikan jika pemeriksaan neurologis normal, (2) Pencitraan
dianjurkan pada anak dengan pemeriksaan neurologis abnormal, kejang atau
keduanya, (3) Pencitraan dianjurkan pada anak dengan tipe sefalgia berubah,
nyeri kepala hebat atau jika terdapat disfungsi neurologis.17
Pemeriksaan penunjang lain atas indikasi sesuai penyakit yang
mendasari seperti meningitis, demam tifoid atau penyakit sistemik lain.
Migren
Migren dibahas tersendiri karena merupakan etiologi terbanyak sefalgia
pada anak. Kriteria migren dengan memakai kriteria orang dewasa hanya
menangkap 61,9% kasus, sedangkan jika disgnosis ditujukan khusus pada
66 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-Hari
anak maka cakupan diagnosis menjadi 73,9%.18 Secara praktis dapat dipakai
kriteria migren untuk di unit gawat darurat, sesuai kriteria Irma yaitu
terdapat episode sefalgia selama 1-72 jam dengan manifestasi klinis 4 dari
6 kriteria berikut:19
(1) Gangguan aktifitas sedang sampai berat
(2) Lokalisasi fokal dari sefalgia
(3) Nyeri berdenyut
(4) Mual atau muntah atau nyeri perut
(5) Fotofobia atau fonofobia atau menghindari suara dan cahaya
(6) Gejala bertambah dengan aktifitas yang menghilang dengan
istirahat.
Berikut ini adalah kriteria lain migren pada anak 20
D. Sakit kepala memenuhi kriteria B-D untuk migren yang mulai selama
aura atau setelah aura dalam waktu 60 menit
E. Tidak disebabkan penyakit lain.
Tata laksana
Tata laksana disini lebih ditujukan untuk primary headache disorders,
karena pada secondary headache disorders tata laksana tentu tergantung dan
ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya. Ketika diagnosis migren atau
TTH sudah ditegakkan dan penyebab sekunder sefalgia yang berat dapat
disingkirkan, maka edukasi pada pasien dan orangtua harus dilakukan.
Yakinkan bahwa tidak ada penyakit serius yang menyebabkan sefalgia. Tata
laksana sefalgia terdiri dari 4 cara :
68 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-Hari
3.Terapi penunjang
Terapi biofeedback, teknik relaksasi, hipnosis, akupunktur dan psikoterapi.
Fisioterapi dan terapi pijat bermanfaat pada sefalgia yang disertai nyeri atau
tegang otot.1
4.Terapi pencegahan
Pencegahan perlu dipertimbangkan jika pasien mengalami sefalgia > 4 hari
per bulan. Jenis dan dosis obat yang dapat diberikan tampak pada Tabel 5.3
Anti epilepsi
Topiramat 15-25 mg titrasi sampai 50 mg, 2 Sedasi, parestesia, anoreksia,
kali sehari perubahan mood, glaucoma, batu
ginjal
Asam valproat 20-40 mg/kg/hari BB naik, alopesia, lebam,
hepatotoksik, gangguan darah
Anti hipertensi
Propranolol 60-120 mg, 1 kali sehari Hipotensi, gangguan tidur,
4. Diet makanan
Tata laksana diet masih kontroversi, akan tetapi beberapa literatur dan
penaglaman klinis membuktikan sebaliknya. Dikatakan makanan yang
berperan sebagai pencetus antara lain keju, coklat, daging olahan, yoghurt,
makanan kering, monosodium glutamat, aspartamin, minuman berkafein,
soda dan minuman mengandung alkohol.3
Simpulan
Meskipun sebagian besar kasus sefalgia di tempat praktek adalah sefalgia
primer (primary headache disorders) yaitu migren dan tension-type headache,
dokter harus dapat mendiagnosis secondary headache disorders terutama
kasus sefalgia dengan etiologi penyakit sistemik yang berat atau kasus yang
memerlukan pemeriksaan pencitraan dan tindakan bedah segera. Aspek
penting dalam melakukan evaluasi dan tata laksana sefalgia pada anak
adalah: anamnesis yang teliti dan komprehensif, pemeriksaan fisis umum
dan neurologis untuk mencari adakah penyakit atau etiologi yang mendasari
sefalgia, pemeriksaan penunjang sesuai indikasi dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisis, tata laksana komprehensif baik medikamentosa dan non-
medikamentosa dengan melibatkan orangtua dan keluarga.
Daftar pustaka
1. Blume HK. Pediatric headache: A review. Pediatr Rev. 2012;33:562-75.
2. Abu Arafeh I, Razak S, Sivaraman B, Graham C. Prevalence of headache and
migraine in children and adolescents: a systematic review of population-based
studies. Dev Med Child Neurol. 2010;52:1088-97.
3. Lewis DW. Headaches in infants and children. Dalam: Swaiman KF, Ashwal
S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology principles & practices. Edisi
kelima. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. h. 880-99.
4. Stewart WF, Lipton RB, Celentano DD, Reed ML. Prevalence of migraine
headache in the United States. JAMA. 1992;267:64.
5. Genizi J, Srugo I, Kerem NC. Primary headache in children and adolescents:
From pathophysiology to diagnosis and treatment. J Headache Pain
Management.2016;1:11-20.
6. Steiner TJ, Stovner LJ, Katsarava Z, Lainez JM, Lmapi C. The impact of
headache in Europe: principal results of of the Eurolight project. J Headache
Pain. 2014;15:31.
7. Furnal A, Schoenen I. Tension-type headache: currtent research and clinical
management. Lancet Neurol. 2008;7:70-83.
8. Headache Classification Committee of The International Headache Society
(HIS). The International Classification of Headache Disorders. Edisi ke-3 (beta
version). Cephalgia. 2013;33:629-808.
9. Rothner AD. The evaluation of headaches in children and adolescents. Semin
Pediatr neurol. 1995;2:109-18.
10. Ozge A, Termine C, Antonaci F, Natriashvili S, Guidetti V, Wober-Bingol
C. Overview of diagnosis and management of paediatric headache. Part I:
diagnosis. J headache Pain. 2011;12:13-23.
11. Rothner AD. Evaluation of headache. Dalam: Winner P, Rothner AD,
penyunting. Headache in children and adolescents. Edisi ketujuh. London:
BC Decker; 2001. h. 21-3.
70 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-Hari
Tujuan
1. engetahui penyebab utama nyeri dada pada anak dan remaja
M
2. Memahami perbedaan nyeri dada kardiak dan non kardiak
3. Menjabarkan pemeriksaan yang diperlukan untuk diagnosis
4. Memahami rujukan yang diperlukan
N
yeri dada (ND) pada anak dan remaja sering membuat cemas
orangtua karena kadang gejala yang timbul cukup mengkawatirkan.
Nyeri dada dapat berlangsung lama dan berat sehingga menambah
kecemasan. Berbeda dengan dewasa, ND pada anak seringkali bukan
merupakan petanda penyakit yang serius. Pada anak, ND merupakan
Muskuloskeletal
Masalah muskuloskeletal dada merupakan penyebab ND tersering pada
anak dan remaja.2,3,4,7,8,9
Kostokondritis
Kostokondritis ditemukan pada 9-22 % anak dengan ND, bahkan ada yang
menyatakan hingga 79% dan lebih sering pada perempuan.9 Awitan bisa
didahului oleh penyakit pernapasan, tetapi etiologinya belum diketahui.
Biasanya nyeri terasa tajam dan berlangsung selama beberapa detik atau
menit di daerah sendi kostokondral atau kostosternal 2-4. Nyeri biasanya
bertambah dengan aktifitas fisik atau pernapasan dan gejala dapat hilang
sendiri. Meski tidak ditemukan tanda inflamasi di lokasi nyeri, namun
diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan nyeri tekan di sendi kostosternal
dan kostokondral tersebut.
Sindrom Tietze
Merupakan bentuk kostokondritis terlokalisasi yang ditandai oleh
pembengkakan sendi yang nyeri bila ditekan, biasanya pada iga bagian
atas terutama sendi kondrosternal iga 2-3. Sindrom ini relatif agak jarang
dijumpai pada anak. Nyeri dapat hilang sendiri dan berlangsung selama
beberapa minggu atau bulan.11
Precordial catch
Nyeri satu sisi berlangsung beberapa detik atau menit. Sering berhubungan
dengan postur yang buruk, mungkin akibat saraf yang terjepit.12
Gastrointestinal
Masalah gastrointestinal dapat merupakan penyebab ND pada sekitar
8%.14 Umumnya akibat refluks, ulkus peptikum, dan esofagitis. Gejala
sering sulit dibedakan dengan ND akibat kelainan dinding data. Jika nyeri
timbul berhubungan dengan pemberian makanan, akan menyokong ke arah
masalah gastrointestinal.
Saluran napas
Penyebab ND akibat gangguan saluran napas tersering adalah asma.7 Infeksi
saluran napas seperti bronkitis, pneumonia, pleuritis, efisi pleura, empiema,
bronkiektasis dan abses paru juga dapat meyebabkan ND.
Psikogenik
Gagguan psikogenik merupakan penyebab ND yang perlu dipikirkan
seandainya penyebab lain tidak ditemukan. Latar belakang anak serta
keluarga serta lingkungannya perlu diketahui untuk mencari penyebab
masalah psikogenik. Sering ditemukan faktor stres berat yang mendahului
misalnya kematian, kegagalan sekolah, disabilitas, perceraian dalam
keluarga, dsb. Kelainan psikogenik terjadi pada 5%-17% kasus ND dan angka
kejadiannya tidak berbeda baik pada lelaki maupun perempuan.9
74 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Nyeri Dada pada Anak dan Remaja: Kelainan Jantung atau Bukan?
Idiopatik
Sekitar 12-85% pasien dengan ND mangalami ND idiopatik yaitu tidak
ditemukan kelainan meski setelah pemeriksaan yang menyeluruh.9 Banyak
anak dengan ND kronik ternyata tidak ditemukan penyebab organik dan
pada sebagian pasien keluhan menghilang sendiri.
Diagnosis
Langkah awal dalam evaluasi pasien dengan ND adalah menyingkirkan
kemungkinan penyebab kardiak yang merupakan kecemasan orangtua.
Selanjutnya, kita dapat mencari 3 penyebab utama dari ND non kardiak
yaitu kostokondritis, muskuloskeletal dan respirasi yang jumlahnya mencapai
45%-65 % dari ND pada anak.9
76 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Nyeri Dada pada Anak dan Remaja: Kelainan Jantung atau Bukan?
Tata laksana
Setelah anamnesis yang cermat serta pemeriksaan fisis menyeluruh
dilakukan, tata laksana yang memadai sangat diperlukan. Tata laksana ND
bergantung pada kelainan yang mendasarinya, bahkan mungkin diperlukan
konsultasi ke ahli yang terkait. Pemeriksaan penunjang didasarkan pada
kecurigaan pada etiologi atau faktor penyebab ND. Untuk menyingkirkan
kemungkinan penyebab kardiak, langkah awal dilakukan pemeriksaan foto
toraks dan elektrokardiografi (EKG). Kardiolog anak mungkin juga akan
melakukan ekokardiogram. Foto toraks dapat melihat ukuran jantung, efusi,
dan kelainan di paru. EKG dikerjakan untuk melihat adakah kelainan irama
jantung. Ekokardiografi dapat diperlukan sesuai indikasi untuk menentukan
kelainan struktural jantung, efusi perikardium, kardiomiopati dan kelainan
koroner (Tabel 3.). Uji latihan dapat menentukan perubahan segmen
ST akibat latihan maupun aritmia atau ektopi akibat latihan. Pencitraan
jantung lebih lanjut dengan CT scan atau MRI dapat dilakukan jika hasil
ekokardiografi masih meragukan.
Nyeri karena muskuloskleletal (sebagai penyebab ND tersering) dapat
ditata laksana dengan istirahat serta analgetik golongan non-steroid. Jika ND
dicurigai akibat kelainan jantung, perlu segera dirujuk ke kardiolog anak.
Adapun indikasi rujukan adalah:6
1. Ditemukan kelainan kardiologis secara klinis, misalnya sianosis, bising
jantung, denyut jantung tidak teratur, kardiomegali pada foto torak, dsb
2. Nyeri dada yang timbul setelah latihan
3. Sinkop setelah latihan
4. Nyeri dada disertai palpitasi
5. Ditemukan kelainan pada EKG
6. Riwayat keluarga yang bermakna adanya aritmia, kematian mendadak
atau kelainan genetik
7. Riwayat operasi jantung atau tindakan intervensi jantung
8. Riwayat penyakit Kawasaki
9. Hiperkolesterolemia familial
10. Riwayat transplantasi jantung
Prognosis
Prognosis pasien dengan ND tegantung penyebabnya, tetapi pada umumnya
baik. Suatu penelitian mendapatkan resolusi ND pada 58% pasien saat
ditanyakan antara 4 minggu hingga 2 tahun setelah diagnosis awal.2
Penelitian lain yang melibatkan 3700 pasien anak dengan ND mendapatkan
25% pasien menderita ND rekuren setelah pengamatan selama 4,4 tahun. 16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 77
Najib Advani
Simpulan
Semua anak dan remaja dengan nyeri dada perlu dievaluasi dengan cermat.
Meskipun mayoritas nyeri dada tidak berbahaya, namun keluhan ini tidak
dapat diabaikan begitu saja karena dapat menimbulkan kecemasan baik pada
orangtua maupun pada anak besar. Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang
teliti umumnya sudah memadai untuk menentukan penyebabnya. Nyeri
dada akibat masalah muskuloskeletal merupakan penyebab yang tersering.
Jika masih ada keraguan, sebaiknya dilakukan konsultasi ke ahli yang terkait.
Penting untuk memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga bahwa hal
ini tidak berbahaya serta memberikan solusi penanganan sesuai dengan
masalah yang dihadapi.
Daftar pustaka
1. Fyfe DA. Chest pain in pediatric patients presenting to a cardiac clinic. Clin
Pediatr. 1984;321-4.
2. Driscoll DJ, Glicklich LB, Gallen WJ. Chest pain in children: A prospective
study. Pediatrics. 1976;57:648-51.
3. Selbst SM.Chest pain in children. Pediatrics.1985;75:1068–70.
4. Rowe BH, Dulberg CS, Paterson RG, Vlad P, Li MM. Characteristics of
children presenting with chest pain to a pediatric emergency department.
CMAJ.1990;143:388-94.
5. Selbst SM, Ruddy RM, Clark BJ, Henretig FM, Santulli T Jr. Pediatric chest pain:
A prospective study. Pediatrics. 1988;82:319–23.
6. Johnson JN, Driscoll DJ. Chest pain in children and adolescents. Dalam: Allen
HD, Shaddy RE, Penny DJ, Feltes TF, Cotta F, penyunting. Moss and Adams’
Heart disease in infants, children, and adolescents. Ed. 9. Philadelphia: Wolter
Kluwer; 2016. h. 1627-31.
78 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Nyeri Dada pada Anak dan Remaja: Kelainan Jantung atau Bukan?
7. Reddy SRV, Singh HR. Chest pain in children and adolescents. Pediatr Rev.
2010;31-9.
8. Pantell RH, Goodman BW Jr. Adolescent chest pain: a prospective study.
Pediatrics. 1983;71:881–87.
9. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Ed. 6. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2014. h. 495-504.
10. Haas NA, Kleideiter U, Pediatric Cardiology. Ed. 1. Rio de Janeiro: Thieme;
2015. h. 79-89.
11. Mukamel M, Kornreich L, Horev G, Zeharia A, Mimouni M. Tietze’s syndrome
in children and infants. J Pediatr. 1997;131:774-5.
12. Pickering D. Precordial catch syndrome. Arch Dis Child.1981;56:401–3.
13. Howell J. Xiphoidynia: A report of three cases. J Emerg Med. 1992;10:435-38.
14. Evangelista J, Parsons M, Renneburg AK. Chest pain in children: Diagnosis
through history and physical examination. J Pediatr Health Care. 2000;14:3-8.
15. Thull-Freedman J. Evaluation of chest pain in the pediatric patients. Med Clin
North Am. 2010;94:327-47.
16. Sleeb SF, Li WY, Warren SZ, Lock JE. Effectiveness of screening for life
threatening chest pain in children. Pediatrics. 2011:128:e1062-8.
Tujuan:
1. Memahami klasifikasi mengompol
2. Memahami tata laksana mengompol
S
ecara umum, mengompol (wetting) diartikan sebagai pengeluaran air
kemih yang tidak disadari atau tidak dapat dikendalikan pada saat
pengendalian kandung kemih sudah tercapai, atau berkemih terjadi
tidak pada saat berkemih dan di tempat yang tidak semestinya. Pengertian
enuresis masih berbeda-beda. Umumnya, gangguan berkemih yang
menyebabkan tempat tidur atau celana basah disebut dengan mengompol
atau enuresis atau wetting.1 Proses pengendalian kandung kemih tercapai
pada umur 1-5 tahun, sehingga seorang anak disebutkan mengalami enuresis
jika enuresis menetap minimal 1 kali seminggu untuk anak di atas 5 tahun2
untuk perempuan dan di atas 6 tahun untuk anak laki-laki.3
Mengompol dapat dibedakan menjadi enuresis (mengompol) dan
inkontinensia urin (beser), namun untuk kedua istilah ini sering digunakan
istilah mengompol atau wetting. Enuresis atau mengompol adalah keadaan
berkemih normal, tetapi pada waktu dan tempat yang tidak tepat atau yang
tidak diterima lingkungan sosial. Inkontinensia urin adalah keadaan proses
berkemih involunter, pengeluaran urin terjadi tanpa dapat dikendalikan
meskipun pasien berusaha menahannya, air kemih sering menetes dan tidak
lampias,4 dan pengosongan kandung kemih biasanya tidak sempurna karena
terdapat sisa urin dalam kandung kemih.1 Namun dalam praktik sehari-hari,
kedua keadaan ini sering sulit dibedakan.
Pada tahun 2006, International Children’s Continence Society (ICCS)
membagi mengompol atau wetting pada anak menjadi enuresis, daytime
lower urinay tract dysfunction (inkontinensia fungsional), dan inkontinensia
struktural.5 Enuresis dapat dibedakan menjadi enuresis primer jika sejak lahir
anak tidak pernah ada keadaan normal dalam pengendalian buang air kemih,
sedangkan enuresis sekunder, jika terjadi 6 bulan setelah keadaan normal
atau tanpa enuresis,3,6,7 Enuresis dapat terjadi pada malam hari sewaktu
tidur (enuresis nokturna, nighttime wetting, sleep wetting, bedwetting) atau
siang hari (enuresis diurnal, daytime wetting, awake wetting), atau keduanya.
Isolated enuresis nocturna (enuresis nokturna tersendiri) adalah enuresis yang
hanya terjadi selama tidur, sedangkan classical enuresis diurnal dapat terjadi
baik pada siang hari maupun malam hari.1 Enuresis nokturnal lebih sering
terjadi pada anak laki-laki, sedangkan enuresis diurnal lebih sering pada
anak perempuan. Enuresis nokturnal lebih sering dibandingkan enuresis
diurnal, dan diperkirakan kejadian enuresis nokturnal 80% sedangkan
enuresis diurnal 20%.3
Masalah berkemih pada anak sering ditemukan terutama bedwetting
atau enuresis nokturnal dan daytime urgency dengan atau tanpa wetting.
Gangguan berkemih ini sering menyebabkan keadaan yang tidak
menyenangkan terhadap pasien maupun keluarganya, sehingga biasanya
dilakukan berbagai upaya penyembuhan. Tata laksana gangguan berkemih
sering merupakan masalah karena biasanya memerlukan waktu lama,
sering membosankan atau membuat kesal baik pasien maupun dokter, dan
tidak memberikan jaminan untuk kesembuhan. Tata laksana yang baik
ditentukan oleh identifikasi simtomatologi yang sering memerlukan tata
laksana interdisiplin seperti nefrologis, urologis, terapis, dan ahli lainnya.6
Klasifikasi
Inkontinenisa urin diartikan dengan pengeluaran urin yang involunter
(tidak dapat dikendalikan). Inkontinensia dibedakan menjadi inkontinensia
kontinyu dan inkontinensia intermitten.
Inkontinensia kontinyu berarti terjadi pengeluaran urin pada siang dan
malam hari, biasanya karena kelainan kongenital (ureter ektopik, ekstrofi
kandung kemih), kehilangan fungsi sfingter uretra eksterna (sfingterektomi
eksterna), atau iatrogenik (fistula vesikovaginal).
Inkontinensia intermitten berarti terjadi pengeluaran urin dalam
jumlah tertentu. Inkontinensia intermitten dibedakan menjadi day-time
incontinence (awake incontinence) dan night-time incontinence (sleeping
incontinence) atau enuresis. Daytime incontinence dibedakan menjadi
inkontinensia fungsional dan inkontinensia struktural.7 Enuresis dibedakan
menjadi enuresis monosimtomatik dan enuresis non-monosimtomatik.
Enuresis monosimtomatik maupun non-monosimtomatik dapat terjadi
primer maupun sekunder.5,7
Inkontinensia fungsional terdiri atas overactive bladder, dysfunctional
voiding, voiding postponement, giggle incontinence, stress incontinence,
vesicovaginal entrapment, sindrom eliminasi.8
Terminologi
Terdapat berbagai terminologi tentang gangguan berkemih. Inkontinensia
urin: gangguan pasase urin involunter melalui uretra. Enuresis nokturnal
primer: enuresis ketika tidur yang timbul sejak umur < 5 tahun dan tidak
pernah kering (berhenti ngompol) selama 6 bulan atau lebih. Enuresis
nokturnal sekunder: Enuresis yang timbul kembali setelah tidak wetting atau
ngompol selama 6 bulan atau lebih. Enuresis nokturnal monosimtomatik
primer: enuresis tanpa gejala pada siang hari dan tidak ada kelainan fisik.
Enuresis nokturnal polisimtomatik: enuresis dengan komplikasi gejala
urgency dengan atau tanpa urge incontinence pada siang hari. Urge syndrome
(urge incontinence, overreactive bladder): urge yang sering ketika berkemih
yang dapat disertai enuresis. Disfungsi berkemih (voiding dysfunctional):
berkemih yang tidak terkoordinasi akibat overaktif sfingter uretra eksternal
dan otot dasar pelvis yang disertai pancaran urin terputus-putus, berkemih
yang lama, atau pengosongan yang tidak sempurna.6 Giggle incontinence:
proses berkemih yang timbul ketika anak tertawa terbahak-bahak,
dapat berupa pengosongan sebagian atau pengosongan lengkap. Stress
incontinence: inkontinensia atau keluarnya air kemih dalam jumlah sedikit
pada saat peningkatan tekanan intra-abdomen seperti mengedan atau batuk.
Vesicovaginal entrapment: keadaan dengan rembesan urin segera setelah
berkemih selesai, tanpa disertai keinginan berkemih, yang terjadi pada
anak perempuan. Sindrom eliminasi: gangguan pengosongan usus besar
dan atau kandung kemih yang menyebabkan aktivitas detrusor, konstipasi,
dan jarang berkemih.8,9
82 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?
84 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum: aktivitas, tekanan darah
b. Pemeriksaan abdomen
i. Massa feses, kandung kemih distended
ii. Perembesan urin ketika menekan suprapubik
c. Daerah genitalia
i. Kelainan anatomi
d. Tanda spinal dysraphism
i. Herald patch (tuft of hair, dimple, sinus, nevus)
e. Defek neurologis
i. Pes kavus, kelainan refleks lumbosakral
3. Pemeriksaan penunjang
a. Untuk enuresis nokturnal monosimtomatik primer: urinalisis, dan
jika perlu biakan urin
b. Untuk gejala yang ada pada siang hari: uroflowmeter dan scan
Tata laksana
Terapi inkontinensisia urin tergantung pada jenisnya, dapat berupa terapi
non-farmakologik, terapi farmakologik, dan terapi bedah. Beberapa obat
digunakan dalam terapi farmakologik meskipun tidak selalu digunakan.
Terapi farmakologik
Terapi farmakologik meliputi antikolinergik, stimulan adrenergik-α,
antidepresan trisiklat, penghambat adrenergik-α, dan stimulan susunan
saraf pusat. Terapi farmakologik dicadangkan untuk enuresis yang
dikaitkan dengan infeksi saluran kemih, atau terdapat gangguan sosial
yang memalukan secara bermakna. Pasien dengan konstipasi memerlukan
tata laksana konstipasi sebelum pemberian obat untuk enuresis. Obat
antikolinergik dan adrenergik-α merupakan indikasi kontra untuk pasien
dengan glaukoma atau penyakit jantung, sehingga memerlukan konsultasi
dengan ahlinya sebelum pemberian obat ini.10
Desmopresin
Deamino-delta-D-arginin vasopresin atau DDAVP adalah analog sintetik
arginin vasopresin atau hormon antidiuretik. Obat ini bekerja sebagai
antidiuretik dan menurunkan volume urin. Potensinya 5 kali lebih kuat
dibandingkan vasopresin, dan hampir selalu memperbaiki nokturia pada
enuresis nokturnal. Durasi kerja biasanya dalam waktu 10 jam sehingga
ideal selama tidur.13 Potensi DDAVP yang baik dan relatif aman menjadikan
DDAVP sebagai farmakoterapi lini pertama untuk enuresis dengan
keberhasilan terapi antara 60-70% dalam waktu pendek, dan sekitar 30%
dalam jangka lama. Desmopresin terdapat dalam sediaan tablet per oral
0,2-0,6 mg atau dalam bentuk liofilisat sublingual 120-240 µg.10 Terdapat
juga desmopresin dalam sediaan nasal spray pump dengan dosis 10 µg per
86 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?
spray. Obat ini diabsorbsi dengan cepat di mukosa hidung dan mencapai
kadar maksimal dalam plasma dalam waktu 45-55 menit.14
Antibiotik
Antibiotik diberikan jika terdapat infeksi saluran kemih yang ditandai
dengan bakteriuria bermakna. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain
kotrimoksazol, sefaleksin, sefiksim, amoksiklav, dan antibiotik lain yang
sensitif.10
Obat antikolinergik
Obat antikolinergik dan muskulotropik menghambat atau mengurangi
aktivitas berlebih (overactivity) kandung kemih dan meningkatkan ambang
potensial untuk kontraksi sel otot polos involunter yang memperbesar
volume kandung kemih sebelum kontraksi kandung kemih. Antikolinergik
juga mengurangi rasa nyeri dan rasa tidak menyenangkan akibat aktivitas
berlebih kandung kemih.1,2,10,14 Obat antiklonergik antara lain oksibutinin2,10,14
profantelin, hiosianin,10 tolterodin, propiverin yang tidak semuanya tersedia
di setiap negara. Antikolinergik tidak dapat digunakan sebagai terapi lini
pertama, tetapi dapat digunakan sebagai obat tambahan pada kasus yang
berkaitan dengan aktivitas berlebih kandung kemih, atau setelah kegagalan
terapi non-farmakologik.2 Antikolinergik yang sering digunakan adalah
oksibutinin 0,3 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis.1 Beberapa efek samping antara
lain mulut kering, flushing wajah, konstipasi, kepanasan, dan hiperpireksia.
Jika terjadi penglihatan kabur atau halusinasi, dosis obat harus diturunkan.2,10
Stimulan adrenergik-α
Adrenergik-α akan meningkatkan resistensi uretra melalui efek langsung
terhadap otot polos uretra atau dengan meningkatkan supply darah ke
submukosa uretra.1,10 Stres inkontinensia urin dapat ditemukan pada kelainan
anatomi leher kandung kemih. Obat adrenergik-α antara lain fenil efrin,
pseudoefedrin, efedrin.10
Antidepresan trisiklat
Trisiklat bekerja melalui efek antikolinergik yang menyebabkan relaksasi otot
detrusor dan efek adrenergik-α yang meningkatkan aktivitas otot sfingter.
Trisiklat hanya digunakan pada anak besar dan remaja karena waktu paruh
yang relatif lama dan efek samping. Antikolinergik merupakan terapi lini
Penghambat adrenergik-α
Reseptor adrenergik-α di susunan saraf pusat akan mengatur tonus otot
corak uretra. Efek sentral dapat dapat memengaruhi spastisitas atau aktivitas
dissinergi otot corak uretra. Pemberian penghambat adrenergik-α pada
enuresis didasarkan pada terdapatnya reseptor adrenergik-α pada sel otot
polos outlet kandung kemih baik pada laki-laki maupun perempuan. Pada
anak dengan enuresis, kemampuan mengosongkan kandung kemih jelek,
yang umumnya disebabkan relaksasi sfingter uretra eksterna yang tidak
sempurna dan bukan karena peningkatan tonus leher kandung kemih.
Pemberian doxazosin 0,5-1,0 mg per oral dapat mengurangi 80% episode
enuresis pada anak. 10 Penghambat reseptor adrenergik-α fentolamin
menurunkan resistensi uretra, klonidin atau fenoksibenzamin mempunyai
efek sentral sebab obat ini dapat melewati sawar darah otak.1
88 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?
primer, kecuali jika enuresis disebabkan infeksi saluran kemih, stres dan
faktor psikologis, atau keadaan poliuria misalnya karena diabetes melitus.6
Tata laksana enuresis nokturnal meliputi edukasi dan motivasi, alarm
enuresis, dan terapi medikamentosa. Indikasi tata laksana umumnya pada
anak > 5 tahun dengan bedwetting yang sering (2 kali atau lebih per minggu),
dengan objektifnya untuk memberikan kesembuhan kepada pasien hingga
< 80% dalam satu bulan, atau minimal terdapat perbaikan gejala klinis.
Terapinya adalah monoterapi menggunakan enuresis alarm sebagai terapi
keadaan untuk menaikkan arousal dalam respon terhadap distended bladder
atau desmopresin sebagai farmakoterapi untuk mengurangi pengeluaran
urin. Jika gagal dengan salah satu terapi ini, dapat digunakan terapi pilihan
lain.6
Pada terapi edukasi dan motivasi, kepada anak dan orangtua/keluarga
dijelaskan bahwa enuresis merupakan masalah yang sering terjadi pada
anak, dapat memengaruhi anggota keluarga lainnya, dan dapat ditata laksana
tetapi memerlukan waktu. Orangtua perlu melakukan pendekatan bersifat
positif terhadap anak penderita enuresis. Anak tidak mampu mengendalikan
keadaan enuresis, sehingga anak perlu dibantu dan tidak boleh dihukum.9,13
Perlu meyakinkan mereka bahwa tidak ada kelainan fisik, seberapa besar
masalah yang dihadapi, dan apa kira-kira faktor risiko yang ada. Perlu
disampaikan bahwa etiologi enuresis nokturnal bersifat multifaktor termasuk
masalah genetik, dan berbagai faktor risiko atau predisposisi enuresis
nokturnal.6
Tata laksana enuresis nokturnal harus berkelanjutan dan dapat
membutuhkan waktu lama, beberapa bulan hingga tahun, dan hal ini perlu
dijelaskan kepada keluarga dan pasien. Diupayakan agar tempat tidur anak
dekat ke toilet dan mudah dicapai, berkemih sebelum tidur, dan gunakan
matras/lampin supaya kasur tidak basah.13
Kepada anak perlu dijelaskan untuk mengonsumsi cairan yang cukup
pada siang hari, membatasi konsumsi cairan secara berlebihan pada malam
hari, menghindari konsumsi makanan-minuman yang menyebabkan diuresis
(kafein, diit tinggi protein dan garam) pada malam hari, serta menganjurkan
berkemih sebelum tidur. Membuat catatan harian sangat penting sebagai
tata laksana. Dalam catatan harian, perlu dicatat jumlah air yang diminum,
enuresis atau tidak, waktu enuresis, frekuensi, jumlah urin, terbangun atau
tidak, buang air besar. Dari catatan ini akan terlihat malam tanpa mengompol
(dry night) dan malam dengan mengompol (wet night) serta waktu dan
frekuensi enuresis.9,13 Pendekatan cara ini dapat menurunkan dampak
psikologis terhadap anak.13
Terapi alarm adalah memasang alat sedemikian rupa sehingga alarm
akan berbunyi jika pakaian basah oleh urin. Alarm enuresis adalah alat yang
dapat membantu anak mengatasi enuresis karena alarm akan membangunkan
90 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?
tata laksana infeksi saluran kemih dan kontipasi. Terapi giggle incontinence
dilakukan dengan latihan, obat antimuskarinik, metilfenidat, imipramin,
atau simpatomimetik alfa. Terapi vesicovaginal entrapment dilakukan dengan
perubahan posisi saat berkemih, sedangkan untuk terapi sindrom eliminasi
dilakukan dengan terapi konstipasi seperti disimpaksi feses, mencegah
penumpukan feses melalui kebiasaan buang air besar, dan pemberian serat.
Kemudian anak dilatih untuk mengenal rasa ingin berkemih dan berkemih
secara teratur.9
Inkontinensia struktural
Tata laksana inkontinensia struktural tergantung jenis kelainan, apakah
kelainan anatomi atau kelainan neurogenik. Kelainan anatomi dapat berupa
kelainan fungsi penyimpanan urin (ekstrofia kandung kemih, ekstrofia
kloaka, duplikasi kandung kemih), kelainan fungsi sfingter (epispadia,
uretrokel, malformasi sinus urogenital), dan kelainan mekanisme sfingter
(ureter ektopik, duplikasi uretra, vistula vesikovagina). Tata laksana kelainan
anatomi dapat dilakukan dengan terapi bedah, tergantung jenis kelainan
yang ditemukan.9
Kelainan neurologik dapat disebabkan kelainan saraf seperti spina
bifida, tethered spinal cord, kelainan vertebra, palsi serebral, trauma, tumor
medula spinalis. Kelainan neurologik dibedakan menjadi overactive detrusor,
underactive detrusor, overactive sphincter, dan underactive sphincter. Tata
laksana kelainan neurogenik dapat berupa clean intermitten catheterization,
terapi farmakologis dengan pemberian antikolinergik (oksibutinin,
tolterodin, trospium, propiverin), antibiotik untuk terapi atau profilaksis
infeksi saluran kemih, injeksi toksin botulinum ke dalam otot detrusor,
atau terapi bedah.9
Simpulan
Mengompol pada anak dapat berupa enuresis nokturnal (enuresis nokturnal
monosimtomatik dan non-monosimtomatik), inkontinensia fungsional,
dan inkontinensia struktural. Tata laksana mengompol tergantung jenis
kelainan, berupa edukasi dan motivasi, terapi alarm, dan terapi farmakologis
atau bedah.
Daftar pustaka
1. Van Gool JD. Disorders of micturition. Dalam: Postlehwaite RJ, penyunting.
Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-2. Oxford: Butterworth-Heinemann;
1994. h.59-74.
92 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?
2. Berard E. Pediatric bladder disorders. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet
P, Yoshikawa N, Emma F, Goldstein SL, penyunting, Pediatric nephrology.
Edisi ke-7. London: Springer Reference; 2016. h.1779-819.
3. Sekarwana N. Enuresis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2002. h. 291-308.
4. Tambunan T. Inkontinensia urin. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandyah
K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, dkk, penyunting. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2011. h. 141-4.
5. Neveus T, von Gontrad A, Hoebeke P, Hjalmas K, Bauer S, Bower W, dkk.
The standardization of terminology of lower urinary function in children and
adolescents: report from standardization Committee of International Childen’s
Continence Society. J Urol. 2006;176:314-24.
6. Chao SM. Enuresis and voiding disorders. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
penyunting. Practical paediatric nephrology. An update of current practices.
Edisi pertama. Hong Kong: Medcom Limited; 2005. h. 171-8.
7. Austin PF, Bauer SB, Bower W, Vhase J, Franco I, Hoebeke P, dkk. The
standardization of terminology of lower urinary tract function in children
and adolescents: Update report from the Standardization Committee of the
International Children’s Continence Society. J Urol. 2014;191:1863-5.e.13
8. Tekgul S, Nijman RJ, Hoebeke P, Canning D, Bower W, Gontard AV. Diagnosis
and management of urinary incontinence in childhood. Dalam: Abrams P,
Cardozo L, Khoury S, Wein A, penyunting. Incontinence. Edisi ke-4. Paris:
Health Publication; 2009. h. 701-92.
9. Pudjiastuti P, Rodjani A, Wahyuni LK, Laksmi E, Wahyudi I, Ambarsari CG.
Panduan tata laksana inkontinensia urin pada anak. Jakarta: Perkumpulan
Kontinensia Indonesia; 2013.
10. Pohl HG, Henderson CG. Voiding disorders. Dalam: Kher KK, Schnaper HW,
Makker SP, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-2. London:
Informa Healthcare; 2007. h. 519-37.
11. Kaeffer M, Zurakowsky D, Bauer SB, Retik AB, Peters CA, Atala A, dkk.
Estimating normal bladdercapacity in children. J Urol. 1997;158:2261-4.
12. Koff SA. Estimating bladder capacity in children. Urology. 1983;21:248-52.
13. Galea M, Sciberras C, Galea K. The management of nocturnal enuresis in
children. J Malta College Family Doctors. 2016;5:6-8.
14. Rushton HG, Enuresis. Dalam: Kher KK, Makker SP, penyunting. Cinical
pediatric nephrology. Edisi ke-1. New York: McGGraw Hill; 1992. h. 399-419.
15. Kamperis K, Hagstroem S, Faerch M, Mahler B, Rittig S, Djurhuus JC.
Combination treatment of nocturnal enuresis with desmopressin and
indomethacin, Pediatr Neprol. DOI 10.1007/s00467-016-3536-9. Publish
online Oktober 2016.