PKB 14

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 106

COMMON but DIFFICULT CASES to TREAT in PEDIATRIC: LEARNING FROM OUR NEIGHBOURS

CABANG DKI JAKARTA

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIV


Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta

COMMON but DIFFICULT CASES to


TREAT in PEDIATRIC: LEARNING FROM
OUR NEIGHBOURS

PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN


IDAI CABANG DKI JAKARTA

PKB I 1-2 Oktober 2004 Hot Topics in Pediatrics


PKB II 12-13 Januari 2005 Pediatrics Update 2005
PKB III 26-27 Juli 2006 Nutrition Growth Development
PKB IV 20-21 Agustus 2007 Menghadapi Kedaruratan Pediatrik di Poliklinik
PKB V 10-11 Agustus 2008 Manajemen Penyakit Pediatri di Poliklinik
PKB VI 4-5 Oktober 2009 Frequently Asked Questions in Pediatrics
PKB VII 23-24 Mei 2010 Common Problems in Daily Pediatric Practice
PKB VIII 8-9 Mei 2011 State of the art: Common Problem in Hospitalized
Children
PKB IX 18-19 Maret 2012 Pediatric Practices
PKB X 17-18 Februari 2013 Best Practice in Pediatrics
PKB XI 13 - 14 April 2014 Practical Management in Pediatrics
PKB XII 3-4 Mei 2015 Knowledge and Soft Skill Update to Improve Child
Health Care
PKB XIII 27-28 November 2016 Kiat Membuat Anak Sehat, Tinggi, dan Cerdas
PeNDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XIV
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta

Common but Difficult Cases to


Treat in Pediatric: Learning From
Our Neighbours

Penyunting:
Mulyadi M. Djer
Hanifah Oswari
Reni Wigati

CABANG DKI JAKARTA

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA CABANG DKI JAKARTA


2017
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh
buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit

Diterbitkan oleh:
Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tahun 2017

ISBN
Kata Sambutan
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia
Cabang DKI Jakarta

Bismillahirohmanirohim
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas perkenannya


kita dapat melaksanakan kegiatan pendidikan kedokteran berkelanjutan
dibidang Ilmu Kesehatan Anak, paparan pakar yang disampaikan pada
kegiatan ini kami terbitkan dalam bentuk kumpulan materi simposium
bertemakan “Common but Difficult cases to treat in Pediatric: learning
from our neighbours “
Pada kesempatan pertama akan dipaparkan materi mengenai etika
dan keselamatan pasien dalam praktek sehari-hari yang disampaikan
oleh anggota BP2A IDAI Jaya. Pada kegiatan ini kami mengundang para
pakar dari berbagai bidang ilmu pengetahuan untuk menjawab berbagai
permasalahan yang sering ditemukan di ruang praktek para sejawat. Kasus-
kasus tersebut tidak berat, tetapi terkadang kita mengalami kesulitan dalam
melakukan tatalaksana secara maksimal.
Paparan pakar dibidang Ilmu Kesehatan Mata, akan membahas
mengenai hordeolum, kasus ini bukan merupakan kasus gawat darurat
tetapi sering menjadi kasus yang terjadi berulang kali dan pada akhirnya
harus dilakukan rujukan untuk mencegah kekambuhan. Peran kita sebagai
dokter spesialis anak adalah melakukan deteksi dini kasus-kasus sehari-hari,
melakukan tatalaksana awal, dan selanjutnya melakukan rujukan bila tidak
dapat teratasi dengan baik. Oleh sebab itu paparan pakar terkait kasus bedah
anak dan bedah ortopedi akan meyampaikan A-Z kasus-kasus tersebut,
sehingga dapat dilakukan tatalaksana secara optimal. Masalah lain yang
sering dikonsultasikan adalah masalah kesulitan belajar pada anak, kali ini
pakar kesehatan jiwa anak akan memberikan kiat-kiat untuk melakukan
deteksi dan intervensi.
Beberapa masalah kesehatan dan penyakit anakpun akan dibahas
kali ini oleh para pakar di bidangnya masing-masing. Paparan para pakar
diharapkan dapat menjadi bekal kita untuk dapat melakukan tatalaksana secara
menyeluruh bagi anak dan keluarga. Pada acara break dan lunch symphosia
akan dibahas mengenai vaksin demam berdarah, kesehatan saluran cerna,
penanganan asma, dan pentingnya nutrisi bagi kehidupan anak.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV iii
Pada kesempatan ini kami menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya
kepada pihak panitia yang berkenan menyiapkan seluruh rangkaian acara
dengan sebaik-baiknya. Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk
para moderator, para pembicara terutama para pembicara tamu dari berbagai
disiplin ilmu atas kesediaan waktunya untuk bicara pada forum PKB kali ini
serta mitra kerja IDAI yang membantu mensukseskan acara ini.
Tak ada gading yang tak retak, demikian pula pada kegiatan pelaksanaan
PKB kali ini. Kami panitia pelaksana mohon maaf atas kekurangan pada
kegiatan ini, mohon diberikan kritik dan saran yang bersifat membangun
agar kegiatan ini dapat memenuhi harapan dan keinginan seluruh anggota
IDAI khususnya cabang DKI Jakarta
Selamat mengikuti PKB ini, semoga ilmu yang kita dapat berguna dalam
menunjang kesehatan dan kesejahteraan anak-anak Indonesia.

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

DR. Dr. Rini sekartini, Sp.A(K)

iv Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB XIV IDAI Jaya

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Salam sejahtera untuk kita semua

Selamat datang kami ucapkan kepada para peserta Pendidikan Kedokteran


Berkelanjutan Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta ke XIV.
Tema yang diangkat di awal tahun ini adalah Common but Difficult cases
to treat in Pediatric: Learning from Our Neighbours. Tema ini diambil
didasarkan atas seringnya kita menemui kasus yang umum dalam praktik
dokter anak sehari-hari tetapi masih dirasakan sulit ditatalaksana. Materi
tentang noisy breathing, mengompol, atau prolonged jaundice, dan lain-lain
merupakan masalah yang sering kita hadapi dengan berbagai kendalanya.
Dengan mengetahui dari para ahli/subspesialis secara langsung kita dapat
menangani lebih komprehensif.
Selain itu kita perlu mempelajari kasus yang sebenarnya berhubungan
dengan disiplin ilmu di luar ilmu kesehatan anak sehingga perlu belajar dari
‘tetangga’ kita seperti seperti ilmu bedah, ilmu penyakit kulit dan kelamin,
ilmu kesehatan mata, dan psikiatri. Topik seperti hordeolum, bentuk kaki
normal atau tidak, membedakan hidrokel atau hernia, dan kesulitan belajar
merupakan kasus yang sering ditanyakan orangtua yang membuat dokter
spesialis anak merasa ‘kebingungan’. Dengan mengetahui dari ahlinya maka
kita dapat menjelaskan kepada orangtua dengan baik dan mengetahui kapan
harus dikonsulkan.
Pada PKB XIV kali ini juga diadakan workshop yang berhubungan
dengan masalah nutrisi pada bayi prematur dengan berbagai masalahnya,
pemantauan pertumbuhan dan tata laksana praktis imbalans cairan
dan elektrolit. Mengulangi sukses yang sebelumnya, PKB ke XIV ini
menyelenggarakan workshop di luar bidang ilmu kesehatan anak tetapi
turut menunjang praktik sehari-hari seperti bagaimana handling complain
bekerjasama dengan lembaga pelatihan pengembangan kepribadian ternama
di Indonesia.
Atas nama panitia PKB XIV, kami mengucapkan terima kasih kepada
seluruh peserta yang telah berpartisipasi dan selamat mengikuti seluruh
rangkaian acara ini. Semoga ilmu yang didapat bermanfaat bagi sejawat dan
pasien yang sejawat tangani. Harapan kami topik yang disampaikan dapat

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV v


memuaskan sejawat dan kami mohon maaf apabila terdapat kekurangan
dalam penyelenggaraan kali ini. Selamat berseminar.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 5 Februari 2017

DR. dr. Rismala Dewi Sp.A(K)


Ketua Panitia

vi Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Kata Pengantar Tim Penyunting

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah melimpahkan
rahmatnya kepada kami sehingga kami dapat menyunting buka pendidikan
berkala (PKB) IDAI Jaya yang ke XIV ini. Kami mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada semua penulis yang telah meluangkan waktu
dan pikirannya dalam membuat makalah PKB ini. Kami mengucapkan
terima kasih juga kepada teman-teman sejawat anggota IDAI Jaya yang
telah mempercayai kami untuk menyunting makalah ini.
Pada PKB IDAI Jaya yang ke XIV ini mengangkat topik “ Common
but difficult cases to treat in pediatric: learning from our neighbours”.
Pembicara berasal dari dokter spesialis anak sendiri juga dokter yang bukan
spesialis anak tapi berasal dari spesialis lain seperti spesialis mata, ortopedi,
bedah anak, psikiatri anak. Topik yang dibahas adalah topik yang sehari-hari
ditemukan pada praktik pediatrik di poli klinik anak, ruang rawat. Kami
berharap PKB ini dapat meningkatkan skil teman sejawat dalam menangani
kasus kasus yang sering menjadi masalah bagi pasien dan orangtua.
Dalam menyunting buku ini, kami tidak merubah konten dari
makalah. Kami hanya menyesuaikan tulisan sesuai dengan format yang
berlaku pada setiap PKB IDAI Jaya. Makalah kami bukukan secara resmi
lengkap dengan nomor ISBN sehingga setiap penulis dapat menggunakan
makalahnya untuk memambah angka kredit untuk kenaikan pangkat.
Sebagai tim penyunting kami mengucapkan mohon maaf apabila
masih didapat kesalahan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu kritik dan
saran dari teman sejawat masih kami perlukan untuk penyempurnaannya.
Selamat mengikuti PKB IDAI Jaya ke XIV.

Hormat kami tim Penyunting:

Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, SpA(K)


DR. Dr. Hanifah Oswari, SpA(K)
Dr. Reni Wigati, SpA(K)

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV vii


Susunan Panitia

Penanggung Jawab
DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K)

Ketua
DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)

Wakil Ketua
Dr. Tjatur K. Sagoro, Sp.A

Sekretaris
Dr. Trully Kusumawardhani, Sp.A

Bendahara
Dr. Retno Widyaningsih, Sp.A(K)

Seksi Ilmiah
Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)
DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)
Dr. Reni Wigati, Sp.A(K)

Seksi Acara
Dr. Fatima Safira Alatas,PhD, Sp.A(K)
Dr. Triana Darmayanti, Sp.A

Seksi Pameran dan Perlengkapan


Dr. Firmansyah Chatab, Sp.A
Dr. Harijadi, Sp.A
Dr. Hendratno Halim, Sp.A(K)

Seksi Konsumsi
DR. Dr. Nita Ratna Dewanti, Sp.A

viii Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Daftar Penulis

Dr. Ahmad Yani, SpBA(K)


Departemen Bedah Anak
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusummo Jakarta

DR. Dr. Aryadi Kurniawan, SpOT(K)


Departemen Ortopedi dan Traumatologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)


Unit Kerja Respirologi
IDAI Cabang DKI Jakarta

DR. Dr. Debbie Latupeirissa, Sp.A(K)


Unit Kerja Infeksi dan Penyakit Tropis
IDAI Cabang DKI Jakarta

DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)


Unit Kerja Gastrohepatologi
IDAI Cabang DKI Jakarta

Dr. Julie Dewi Barliana, Sp.M


Divisi Pediatrik Ophthalmology
RSCM Kirana

DR. Dr. Najib Advani, Sp.A(K)


Unit Kerja Kardiologi
IDAI Cabang DKI Jakarta

DR. Dr. RA. Setyo Handryastuti, Sp.A(K)


Unit Kerja Neurologi
IDAI Cabang DKI Jakarta

DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)


Unit Kerja Pediatri Gawat Darurat
IDAI Cabang DKI Jakarta

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV ix


Dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)
Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa/Psikiatri
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo

DR. Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)


Unit Kerja Nefrologi
IDAI Cabang DKI Jakarta

Dr. Yoga Devaera, Sp.A(K)


Unit Kerja Nutrisi dan Penyakit Metabolik
IDAI Cabang DKI Jakarta

x Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Daftar Isi

Kata Sambutan Ketua IDAI Cabang DKI Jakarta................................. iii


Kata Sambutan Ketua Panitia PKB XIV IDAI Jaya................................. v
Kata Pengantar Tim Penyunting............................................................vii
Susunan Panitia.................................................................................... viii
Daftar Penulis..........................................................................................ix

Etika, Disiplin, dan Patient Safety dalam Praktik Kedokteran...............1


Deddy Ria Saputra
Hordeolum pada Anak...........................................................................12
Julie Dewi Barliana
Luka Bakar pada Anak: Apa yang Harus Dilakukan?...........................16
Rismala Dewi
Noisy Breathing pada Bayi Apa yang Perlu Diketahui?.........................25
Bambang Supriyatno
Hidrokel dan Hernia: Bagaimana Membedakannya ?..........................34
Ahmad Yani
Picky Eater: Dokter Harus Bagaimana?................................................37
Yoga Devaera
Prolonged Jaundice: Bagaimana selanjutnya?........................................43
Hanifah Oswari
Memahami dan Mengatasi Kesulitan Belajar pada Anak.....................50
Tjhin Wiguna
Demam Tinggi pada Anak: Perlukah Antibiotika?...............................55
Debbie Latupeirissa

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV xi


Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek
Sehari-Hari ............................................................................................60
Setyo Handryastuti
Nyeri Dada pada Anak dan Remaja: Kelainan Jantung atau Bukan?...72
Najib Advani
Mengompol pada Anak: Diobati atau Tidak?.......................................80
Sudung O. Pardede

xii Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety
dalam Praktik Kedokteran
Deddy Ria Saputra

Tujuan:
1. Mengingatkan kembali peran Etika Kedokteran, Disiplin Kedokteran, dan Keselamatan
Pasien dalam praktek kedokteran
2. Mengingatkan bahwa komunikasi yang efektif merupakan upaya untuk mencegah
terjadinya tuntutan pasien

H
ubungan dokter dan pasien telah terjadi perubahan dari masa ke
masa. Pada zaman dahulu, penyakit dianggap sebagai hukuman
atau kutukan dari dewa sehingga dokter yang dapat menyembuhkan
penyakit dianggap sebagai titisan dewa. Hubungan dokter dan pasien
bersifat paternalistik, sehingga dokter dapat sepenuhnya melaksanakan
ilmunya tanpa campur tangan pasien. Dalam era global yang terjadi waktu
ini hubungan yang semula memperlihatkan superioritas terhadap pasien
bergeser menjadi hubungan yang saling mengisi dan saling ketergantungan
antara kedua belah pihak.1,2 Dokter dan pasien melakukan hubungan setara
dengan hak dan kewajiban masing-masing. Pasien yang tidak puas, dapat
melakukan dokter kritik karena tingginya biaya penanganan maupun karena
kegagalan, bahkan dapat dituntut secara perdata maupun pidana.3
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap
layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi
sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan masyarakat yang membuat
lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan
masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya informasi, (c)
komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga
masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna dan
(d) provokasi oleh ahli hukum dan/atau oleh tenaga kesehatan sendiri.4
Menyikapi perubahan yang terjadi dalam praktik kedokteran, untuk
melindungi kepentingan pasien dan dokter dalam berpraktik, beberapa
lembaga yang berkepentingan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah
menyusun kode etik kedokteran Indonesia (KEKI). Kode Etik Kedokteran

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIII 1


Deddy Ria Saputra

Indonesia disesuakan dengan kondisi terkini dan dilengkapi dengan


sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi melalui lembaga
kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran ) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Di
tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan
Panitia Etik di dalamnya. Ditingkat perhimpunan rumah sakit didirikan
Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).4-6
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) membuat peraturan konsil
kedokteran Indonesia (Perkonsil) no 4 tahun 2011 yang memuat aturan
disiplin profesional dokter dan dokter gigi, serta membentuk Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang didirikan
atas mandat UU no 29 tahun 2004. MKDKI merupakan majelis yang
menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran. Domain
atau yurisdiksi MKDKI adalah” disiplin profesi “ yaitu permasalahan yang
timbul sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan internal profesinya,
yang menyimpang dari apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang
(profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata rata. MKDKI
bertujuan menegakkan disiplin dokter/dokter gigi dalam penyelanggaraan
praktik kedokteran.7,8
Kementerian Kesehatan membuat peraturan menteri kesehatan
(Permenkes) Republik Indonesia, nomor 1691/menkes/VIII/2001 berisi
tentang keselamatan rumah sakit yang memuat tentang ketentuan umum,
organisasi, standar keselamatan pasien, sasaran keselamatan pasien rumah
sakit, penyelenggaraan keselamatan pasien rumah sakit, pelaporan insiden,
analisis dan solusi, pembinaan dan pengawasan, serta peraturan peralihan.9
Dalam melakukan praktik kedokteran seorang dokter hendaknya
memahami adanya landasan hukum dalam transaksi terapetik antara dokter
dan pasien (kontrak terapetik), menjunjung etika kedokteran, mentaati
disiplin kedokteran dan mengerti, memahami serta berperilaku sesuai
dengan keselamatan pasien (patient safety). 10,11

Contoh kasus tuntutan pasien


Pada bagian ini dipaparkan contoh kasus tuntutan pasien terhadap dokter
yang didasari oleh pelanggaran disiplin, keselamatan pasien, dan etika
kedokteran yang dilakukan dokter/rumah sakit.

Contoh kasus 1
Sejawat dokter umum praktek di desa lalu datang anak 9 bulan (BPJS)
dengan demam. Pasien diberikan antibiotik dan obat panas parasetamol.
Panas pasien tersebut tidak turun, lalu diberikan Tempra 3 kali 160 mg.

2 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety dalam Praktik Kedokteran

Setelah itu pasien kejang dan dibawa ke klinik, kemudian dibawa ke RS


swasta dengan jarak 1 jam perjalanan menggunakan ambulan didampingi
perawat. Pasien dirujuk ke RSUD dengan alasan tempat di ruang intensif anak
(ICU) penuh. Menurut keluarga, dokter di RS swasta memberi komentar,
bahwa parasetamol over dosis. Setelah dirawat beberapa hari di RSUD,
pasien meninggal dunia. Atas dugaan over dosis parasetamol, masyarakat
desa merusak klinik tempat dokter bekerja.

Contoh kasus 2
Kepolisian Republik Indonesia memeriksa dokter dan perawat yang
membantu persalinan ibu dari bayi yang dicuri seseorang yang berpakaian
seperti seorang dokter di ruang bersalin A RSH.

Contoh kasus 3
Seorang anak 2 tahun menderita panas 2 hari dilakukan pemeriksaan uji
widal dan didiagnosis sebagai typhoid fever (demam tifoid). Pasien dirawat
dan mendapatkan pengobatan dengan antibiotik.

Disiplin kedokteran
Disiplin kedokteran adalah aturan aturan dan/atau ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter.
Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia (MKDKI) merupakan
suatu lembaga yang berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan/
pelanggaran yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin
ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi. Permasalahan
disiplin kedokteran yang dilaporkan sampai dengan tahun 2012 di
MKDKI terdiri dari masalah: komunikasi, ingkar janji (dishonesty/fraud),
penelantaran, pembiaran, standar pelayanan, pembiayaan, kompetensi, dan
iklan. Dari 136 kasus yang diadukan ke MKDKI pada tahun 2006-2012
terbukti 66,4 % melanggar disiplin kedokteran. Selain itu terdapat hubungan
antara pelanggaran etika kedokteran dengan pelanggaran disiplin kedokteran
atau hukum. Komunikasi tidak efektif dengan pasien merupakan pemicu
utama dokter diadukan dengan dugaan malpraktik medik.8,9
Berdasarkan Perkonsil no 4 tahun 2011,9 terdapat 28 butir bentuk
pelanggaran disiplin profesi kedokteran yaitu:
a) Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten
b) Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki
kompetensi yang sesuai
c) Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak
memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 3


Deddy Ria Saputra

d) Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak


memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan
pemberitahuan perihal penggantian tersebut
e) Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik
ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat
membahayakan pasien
f) Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi
tertentu yang dapat membahayakan pasien
g) Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan pasien
h) Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate
information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik
kedokteran
i) Melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari
pasien atau keluarga dekat, wali, atau pengampunya
j) Tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis dengan sengaja
k) Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
l) Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas
permintaan sendiri atau keluarganya
m) Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan,
keterampilan, atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara
praktik kedokteran yang layak
n) Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan
manusia sebagai subjek penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik
(ethical clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah
o) Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya
p) Menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis atau tindakan
pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai
dengan ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku
q) Membuka rahasia kedokteran
r) Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil
pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut
s) Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan
(torture) atau eksekusi hukuman mati

4 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety dalam Praktik Kedokteran

t) Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika,


dan zat adiktif lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan etika profesi
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku
u) Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi, atau tindakan
kekerasan terhadap pasien dalam penyelenggaraan praktik kedokteran
v) Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya
w) Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk, meminta pemeriksaan,
atau memberikan resep obatlalat kesehatan
x) Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/
pelayanan yang dimiliki baik lisan ataupun tulisan yang tidak benar atau
menyesatkan
y) Adiksi pada narkotika, psikotropika, alkohol, dan zat adiktif lainnya
z) Berpraktik dengan menggunakan surat tanda registrasi, surat izin
praktik dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah atau berpraktik
tanpa memiliki surat izin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
aa) Tidak jujur dalam menentukan jasa medis
ab) Tidak memberikan informasi, dokumen, dan alat bukti lainnya yang
diperlukan MKDKI/MKDKI-P untuk pemeriksaan atas pengaduan
dugaan pelanggaran disiplin profesional dokter dan dokter gigi

Keselamatan pasien (patient safety)


Keselamatan pasien telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah
sakit. Lima isu penting yang terkait dengan keselamatan rumah sakit
yaitu: keselamatan pasien, keselamatan pekerja atau petugas kesehatan,
keselamatan bangunan dan peralatan rumah sakit yang bisa berdampak
terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green
productivity), yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan, dan
keselamatan bisnis rumah sakit. Keselamatan pasien merupakan prioritas
utama yang harus dilaksanakan dan hal tersebut berkaitan dengan isu mutu
dan citra perumah-sakitan.12-14
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/Menkes/Per/
VIII/2011,9 keselamatan rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tidak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanankan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Institute Of Medicine (IOM) mencatat 98.000 pasien di Amerika meninggal

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 5


Deddy Ria Saputra

karena kesalahan pelayanan rumah sakit.12 Kesalahan medis pasien anak yang
terjadi di perawatan rumah sakit lebih tinggi dari pasien dewasa, terutama
risiko kematian bayi prematur selama masa pergantian tugas di rumah sakit.
Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi risiko, yaitu:15
a. Kesalahan medis (medical error)
Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan
atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien
b. Kejadian tidak diharapkan (KTD)/ adverst event
Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada
pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak bertindak
(omission), dan bukan karena “underlying disease”atau kondisi pasien
c. Nyaris cedera (NC)/ near miss
Suatu kejadian akibat melaksanankan suatu tindakan (commission) atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang
dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena :
• Keberuntungan, pasien menerima suatu obat kontra indikasi tetapi
tidak timbul reaksi obat
• Pencegahan, suatu obat dengan over-dosis lethal akan diberikan,
tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat
diberikan
• Peringanan, suatu obat dengan over-dosis lethal diberikan, diketahui
secara dini lalu diberikan antidote nya (penawar)
Keselamatan pasien bertujuan, untuk terciptanya budaya keselamatan
di rumah sakit, akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat,
menurunkan KTD di RS, dan terlaksananya program pencegahan sehingga
tidak terjadi pengulangan KTD.10-11
Dalam menjalankan patient safety, terdapat 7(tujuh) standar
keselamatan pasien, yaitu:10
1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan dan kesinambungan pasien
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evalusi dan
program peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien

6 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety dalam Praktik Kedokteran

Sasaran keselamatan pasien


Maksud dan sasaran leselamatan pasien adalah mendorong perbaikan
spesifik dalam keselamatan pasien. Desain sistem yang baik secara intrinsik
adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu
tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi yang
menyeluruh. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada nine life saving patient
safety solutions dari WHO patient safety tahun 2007 yang digunakan juga
oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan
Joint Commission International (JCI).11,16,17
Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal sebagai
berikut:10,17
1. Sasaran I : Ketepatan identifikasi pasien
2. Sasaran II : Peningkatan komunikasi yang efektif
3. Sasaran III : Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-
alert)
4. Sasaran IV : Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi
5. Sasaran V : Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6. Sasaran VI : Pengurangan risiko pasien jatuh
Kejadian tidak diharapkan dapat disebabkan karena masalah
komunikasi, termasuk di bagian keperawatan berupa sentinel event sebesar
65 % dengan sebagian besar (90%) penyebabnya adalah komunikasi.2
Rumah sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang
ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.10,15
Untuk mencapai keselamatan pasien di rumah sakit, terdapat 7 (tujuh)
langkah yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut:10,17
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Memimpin dan mendukung staf
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Mengembangkan sistem pelaporan
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien

Aspek hukum terhadap keselamatan pasien


di bawah ini disajikan beberapa aspek hukum yang terkait dengan
keselamatan pasien.18,19

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 7


Deddy Ria Saputra

1. Keselamatan pasien sebagai isu hukum.18,19


a) Pasal 53 (3) Undang-undang No.36/2009
Pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahului keselamatan
nyawa pasien
b) Pasal 32n Undang-undang No.44/2009
Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya
selama dalam perawatan perawatan di rumah sakit
c) Pasal 58 Undang-undang No. 36/2009
1. Setiap orang berhak menuntut tenaga kesehatan dan atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya
2. Tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang
dalam keadaan darurat

2. Tanggung jawab hukum rumah sakit.19


a) Pasal 29b Undang-undang No 44/2009
Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti
diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit
b) Pasal 46 Undang-undang No.44/2009
Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan di rumah sakit

3. Bukan tanggung jawab rumah sakit.19


a) Pasal 45(1) Undang-undang No.44/2009
Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien
dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang
dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis
yang komprehensif

4. Hak pasien.19
a) Pasal 32d Undang-undang No.44/2009
Setiap pasien mempunyai hak memperoleh kesehatan yang bermutu
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
b) Pasal 32e Unang-undang No.44/2009
Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif dan
efisien sehingga terhindar dari kerugian fisik dan materi
c) Pasal 32j Undang-undang No.44/2009

8 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety dalam Praktik Kedokteran

Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan medis, alternatif


tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis
terhadap tindakan yang akan dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan
d) Pasal 32q Undang-undang No.44/2009
Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut rumah
sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak
sesuai dengan standarbaik secara perdata maupun pidana

5. Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien.19


a) Pasal 43 Undang-undang no. 44/2009
1. Rumah sakit wajib menetapkan standar keselamatan pasien
2. Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan
insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah
dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak
diharapkan
3. Rumah sakit melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada
komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan
oleh menteri
4. Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan
ditujukan untuk mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan
keselamatan pasien

Etika kedokteran
Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi
kedokteran dalam hubungannya dengan klien/pasien, teman sejawat dan
masyarakat umumnya serta merupakan bagian dari keseluruhan proses
pengambilan keputusan dan tindakan medis ditinjau dari segi norma/
nilai moral. Tujuan etika profesi dokter adalah untuk mengantisipasi atau
mencegah terjadinya perkembangan yang buruk terhadap profesi dokter
dan mencegah agar dokter dalam menjalani profesinya dapat bersikap
profesional.5 Kode etik profesi kedokteran berfungsi untuk memberikan
pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang
digariskan dan sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi
yang bersangkutan.4,5
Etika profesi kedokteran mempunyai prinsip sebagai berikut:
beneficience (mengutamakan kepentingan pasien), autonomy (menghormati
hak pasien dalam memutuskan), non maleficence (tidak memperburuk
keadaan pasien), justice (tidak mendiskriminasikan pasien,apapun dasarnya),
dignity (pasien dan dokter keduanya bermartabat), dan honesty (pasien
mendapat keterangan yang benar tentang penyakit dan penanganannya).5

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 9


Deddy Ria Saputra

Kode etik kedokteran Indonesia terdiri beberapa pasal tentang


kewajiban dokter antara lain kewajiban umum (13 pasal), kewajiban terhadap
pasien (4 pasal), kewajiban terhadap teman sejawat (2 pasal), dan kewajiban
terhadap diri sendiri (2 pasal)
Selain berisi tentang kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter, kode
etik kedokteran Indonesia juga berisi tentang hak yang dimiliki oleh seorang
dokter diantaranya : hak mendapat imbalan jasa yang sesuai, melakukan
usaha terbaik untuk menjaga dokter dalam profesinya, diperlakukan secara
adil, memiliki kebebasan profesional, serta dokter harus memiliki kebebasan
medis untuk mewakili dan membela kebutuhan kesehatan pasien.4,5

Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Dalam hubungan antara dokter dan pasien, dokter harus menyadari
bahwa terdapat kontrak hukum yang mengikat.
2. Sudah banyak tuntutan hukum yang dilakukan oleh pasien terhadap
dokter / rumah sakit.
3. Dalam praktik kedokteran, seorang dokter harus menunjukan sikap etis
dan profesional, seperti autonomy, beneficience, non maleficence, justice,
dignity, dan honesty.
4. Dokter harus mematuhi disiplin kedokteran menurut Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia no. 4 tahun 2011, serta memperhatikan
keselamatan pasien.
5. Sebagian besar penyebab tuntutan pasien adalah kompetensi dan
komunikasi. Dokter harus mempunyai kemampuan komunikasi yang
efektif.

Daftar pustaka
1. Anugrah D. Makalah hubungan dokter dan pasien-sosiologi dan antropologi
kesehatan. Diunduh dari ditaanugrah.blogspot.com/. Diakses pada tanggal
23 Januari 2017.
2. Haig KM, Sutton S, Whitington S. SBAR: A shared mental model for improving
communication between clinicians. Jt Comm J Qual Patient Saf. 2006;32:167-75.
3. Kertahusada A. Langgar etika kedokteran picu dokter melanggar disiplin dan
hukum. Diunduh dari: www.ugm.ac.id/id/newPdf/9955. Diakses pada 21
januari 2017
4. Sampurna B. Etika kedokteran Indonesia dan penanganan pelanggaran etika di
Indonesia. Diunduh dari www.scrib.com/document/320083707/Etika. Diakses
pada tanggal 23 Januari 2017.

10 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Etika, Disiplin, dan Patient Safety dalam Praktik Kedokteran

5. Purwadianto A, Soetedjo, Gunawan S, dkk. Kode Etik Kedokteran Indonesia.


Jakarta: IDI Wilayah DKI Jakarta. 2013.
6. Digdowirogo HS, Firmansyah A, Pusponergoro HD, dkk. Pedoman Praktik
Dokter Spesialis Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010.
7. Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan konsil kedokteran Indonesia no. 4
tahun 2011. Diunduh dari: http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/Perkonsil_
No_4_Tahun_2011%5Bsmallpdf.com%5D_.pdf . Diakses pada tanggal 22
Januari 2017.
8. Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia, Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran. Diunduh dari: www.academia.edu/Disiplin Kedokteran Etik
Kedokteran. Diakses pada 21 Januari 2017.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 1691 tahun 2001 tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit
10. Pedoman Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (patient safety).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Ed. 3. 2015.
11. World Health Orgnization (WHO). Human factors in patient safety review of
topis and tools. 2009.
12. Ulrich B, Kear T. Patient safety and patient safety culture: Foundations of
excellent health care delivery. Nephrol Nur J. 2014; 41:447-56.
13. Bates D W, Gawande A A. Improving safety with information technology. N
Engl J Med. 2003;348:2526-34.
14. Kachalia A. Improving patient safety through transparency. N Engl J Med.
2013;369: 1677-9.
15. Yahya, A. Integrasikan kegiatan manajemen risiko. Workshop keselamatan
pasien dan manajemen risiko klinis. PERSI: KKP-RS. 2009.
16. Napper C, Battles J, Fargason C. Pediatrics and patient safety. J Pediatr.
2003;142:359-60.
17. Joint Commission International: JCI accreditationsStandards for hospital 4thed.
Illinois: Joint Commission Resources. 2011
18. Undang-undang no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
19. Undang-undang no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 11


Hordeolum pada Anak
Julie Dewi Barliana

Tujuan
1. Mengetahui jenis hordeolum dan penyebabnya
2. Mengetahui terapi inisial pada hordeolum
3. Mengetahui tanda klinis kapan pasien harus dikirim ke dokter mata

H
ordeolum adalah suatu peradangan akut pada kelopak mata yang
ditandai oleh rasa nyeri, bengkak, dan merah yang disebabkan
oleh infeksi bakteri stafilokokus. Haemophilus influenza juga dapat
menjadi penyebab hordeolum pada anak-anak. Infeksi dapat terjadi pada
kelenjar air mata yang terletak di sisi dalam (internum) yaitu pada kelenjar
meibom atau di sisi luar (eksternum) pada kelenjar Zeis atau Moll (Tabel
1 dan Gambar 1).1,2
Hordeoulum disebabkan oleh adanya obstruksi kelenjar di sepanjang
kelopak mata. Kelenjar tersebut menghasilkan minyak dan obstruksi pada
kelenjar akan menghambat drainase normal dari kelenjar. Jika bakteri
terperangkap dalam kelenjar, infeksi dapat terjadi dan terbentuk pus sehingga
area sekitar kelopak mengalami inflamasi.3
Pada beberapa kasus dapat sembuh secara spontan tanpa pengobatan,
namun infeksi dapat juga menyebar ke kelenjar lain atau ke jaringan sekitar
sehingga menimbulkan kekambuhan. Hordeolum internum dapat bersifat
kronik dan menjadi kalazion (cyst) yang biasanya tidak nyeri pada perabaan.1
Insiden dan prevalensi hordeolum tidak dapat ditemukan karena kebanyakan
kasus tidak dilaporkan.

Tabel 1. Perbedaan klinis hordeolum internum dan eksternum4


Hordeolum eksternum Hordeolum internum
Bengkak di tepi kelopak atas atau bawah Bengkak di konjungtiva, yang menonjol kearah
anterior
Letak di sekitar folikel bulu mata Letak di balik kelopak mata, nyeri saat dieversi
Benjolan terlihat dibawah kulit, kecil, Bengkak, merah, terlokalisir
kuning, tampak pus
Nyeri pada palpasi Lebih nyeri, terutama saat disentuh, lebih lama

12 Kiat Membuat Anak Sehat, Tinggi, dan Cerdas


Hordeolum pada Anak

Gambar 1. Kelenjar Meibom, dan Zeiss.5

Gambar 2. Hordeolum eksternum dan hordeolum internum.2

Faktor Risiko
Hordeolum banyak ditemukan pada orang muda, tidak terbatas pada
kelompok usia tertentu, gender, atau pada ras tertentu. Kemunculan
hordeolum bersifat akut, spontan dan terkait dengan higienitas kelopak mata,
dan faktor sistemik seperti stress dan perubahan hormonal, penyakit kronis,
peningkatan lemak darah (kolesterol tinggi)6, riwayat hordeolum sebelumnya
dan kondisi kulit (dermatitis seboroik). Hubungan antara hordeolum dan
hiperkolesterolemia sampai saat ini belum jelas.
Besarnya pembengkakan merupakan indikator beratnya infeksi.
Hordeoulum internum biasanya lebih nyeri dan lama dibandingkan
hordeolum eksternum. Hordeolum yang berulang (rekuren) lebih banyak
disebabkan oleh kegagalan dalam eliminasi bakteri secara tuntas daripada
akibat munculnya infeksi baru.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 13


Julie Dewi Barliana

Terapi
Umumnya hordeolum dapat sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan jarang
menimbulkan komplikasi. Terapi awal berupa terapi konservatif dengan
melakukan kompres hangat beberapa kali sehari, dan membersihkan
kelopak mata. Antibiotik topikal dapat diberikan. Jika kondisinya berat dan
resisten dengan antibiotik topikal, maka dapat dipertimbangkan pemberian
antibiotik sistemik atau tindakan insisi-kuretase.4
Perjalanan hordeolum internum umumnya sekitar 1-2 minggu. Terapi
inisial ditujukan untuk evakuasi pus dari abses. Kompres hangat ditujukan
untuk melunakan granuloma dan memfasilitasi drainase. Kompres dilakukan
selama 5-10 menit 3-4 kali sehari sampai hordeolum hilang.
Lid scrub atau tindakan membersihkan kelopak mata dilakukan dengan
cara mencuci daerah sekitar daerah yang terkena, bulu mata dan pangkal
bulu mata dengan menggunakan shampoo atau saline solutions yang tidak
pedih di mata, biasanya disarankan menggunakan shampoo bayi. Dasar
teori penggunaan lid scrub adalah untuk meningkatkan higienitas kelopak
mata dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk drainase dengan
membersihkan debris di tepi kelopak (lid margin).4 Epilasi atau pencabutan
bulu mata juga dapat dilakukan untuk kasus hordeolum eksternum untuk
membuka jalan drainase pus.3 Kandungan dalam shampoo dapat merusak
membran bakteri sehingga dapat mengurangi bakteri yang ada di sekitar
daerah infeksi.4
Penggunaan antibiotik dapat diberikan secara lokal atau sistemik.
Umumnya bakteri penyebab adalah stafilokokus sp., sehingga antibiotik
efektif diberikan untuk melawan bakteri. Pemberian antibiotik ini dapat
menurunkan waktu penyembuhan dengan cara melawan bakteri dan
menurunkan inflamasi.
Antibiotik topikal sebagai lini pertama yang biasa digunakan adalah
kloramfenikol salep mata atau asam fusidat (fucidic acid) salep mata sebagai
alternatif. Antibiotik topikal dapat digunakan sampai beberapa minggu.
Antibiotik sistemik diberikan apabila antibiotik topikal tidak efektif, dan
tidak respons, atau jika infeksi tidak terlokalisir secara jelas. Steroid topikal
berupa salep atau tetes mata dapat diberikan untuk memperpendek waktu
penyembuhan dan inflamasi.
Jika ada tanda-tanda selulitis preseptal, pasien sebaiknya dikonsulkan
ke ahli mata untuk pertimbangan pemberian terapi sistemik. Jika hordeolum
tidak membaik dengan terapi konservatif, atau ukuran besar yang disertai
nyeri maka pasien dikirim ke dokter mata untuk dilakukan insisi kuretase.
Tabel 2 menunjukan kondisi kondisi kapan sebaiknya pasien dirujuk ke
dokter mata.4

14 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Hordeolum pada Anak

Komplikasi
Lesi yang besar di kelopak mata atas dapat menyebabkan gangguan
penglihatan akibat timbulnya induced astigmatis atau hyperopia akibat
korena sentral mengalami penekanan.2

Tabel 2. Tanda klinis kapan pasien harus segera dirujuk ke dokter mata4
Rujuk segera, bila:
Terlihat tanda dan gejala selulitis preseptal
Terlihat tanda dan gejala selulitis orbital (meskipun jarang)
Tanda-tanda keganasan, dengan tanda atipikal, atau rekuren pada lokasi yang sama
Rawat inap segera bila:
Pembengkakan periorbital (lid/periorbital swelling)
Proptosis
Diplopia (double vision) atau gerakan bola mata terganggu (ophthalmoplegia)
Turunnya tajam penglihatan
Refleks cahaya turun atau abnormal
Kondisi sistemik yang kurang baik
Tanda dan gejala gangguan sistim saraf pusat (gangguan keseimbangan, sakit kepala, muntah,
kejang)
Jika pemeriksaan mata lengkap tidak dimungkinkan

Daftar pustaka
1. Lindsley K, Nichols JJ, Dickersin K. Intervention for acute internal hordeolum
(review). The Cochrane Collaboration. Published by John Wiley & sons,
Ltd.2010;2-3
2. Dutton JJ, Gayre GS, Proia AD. Diagnostic atlas of common eyelid diseases.
Informa healthcare Newyork, 2007;p133-135
3. American Academy of Ophthalmology. Classification and management of eyelid
disorders in Orbit, eyelids and lacrimal system.2010-2011; p.154.
4. Carr J, Fairman F. Hordeola (styes). Clinical Ophthalmology Referral Guidelines.
2010;19-20.
5. Mellick L. Pearls & pitfalls – Understanding eyelid infections. Diakses dari
https://www.acep.org/content.aspx?id=83292 pada tanggal 15 Januari 2017.
6. Ehrenhaus MP. Hordeolum clinical presentation. Diunduh dari http://www.
emedicine.medscape.com/article/1213080-clinical 15 Januari 2017.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 15


Luka Bakar pada Anak: Apa yang Harus
Dilakukan?
Rismala Dewi

Tujuan:
1. Mengetahui jenis, luas, derajat dan kedalaman luka bakar pada anak
2. Mampu menatalaksana awal luka bakar pada anak

L
uka bakar merupakan salah satu penyebab umum kecelakaan yang
terjadi pada pasien anak di seluruh dunia. Sebagian besar luka
bakar yang terjadi bukan terkait pekerjaan, tetapi sering disebabkan
peralatan di dalam rumah tangga seperti setrika, pengering rambut, air
panas, benda panas dan api. Semua bagian tubuh dapat mengalami luka
bakar, tetapi luka bakar daerah batang tubuh lebih sering menyebabkan
pasien di rawat di rumah sakit, sedangkan cedera ekstremitas lebih umum
di rawat jalan.1 Dalam penanganan luka bakar harus dipertimbangkan jenis,
lokasi, luas dan dalamnya luka bakar serta adanya kondisi khusus seperti
pada anak.2 . Luka bakar dapat mengakibatkan pasien menjalani rawat
inap yang berkepanjangan dan memerlukan intervensi bedah. Perawatan
luka bakar kompleks umumnya memerlukan pendekatan multidisiplin.,
dan merupakan tantangan besar bila hal tersebut terjadi pada anak. Anak-
anak yang mengalami luka bakar dan bertahan hidup dapat mengalami
peningkatan risiko untuk gangguan stres pasca-trauma. Selain itu, secara
anatomi kulit anak lebih tipis, lebih mudah terjadi kehilangan cairan dan
elektrolit serta kemungkinan terjadi hipotermi cukup besar.2-3

Epidemiologi
Luka bakar merupakan penyebab ketiga terbesar kecelakaan non-fatal di
Amerika Serikat, dan sekitar 2,5 juta orang mengalaminya setiap tahun.
Menurut perhitungan statistik dari World Health Organization (WHO),
diperkirakan 5-12% cedera di dunia berhubungan dengan luka bakar.4
Sebuah studi retrospektif di Inggris dalam kurun waktu 7 tahun didapatkan
data pasien anak dengan luka bakar berjumlah 1387 anak, usia median 2

16 Kiat Membuat Anak Sehat, Tinggi, dan Cerdas


Luka Bakar pada Anak: Apa yang Harus Dilakukan?

{rentang antar kuartil (RAK), 1-8 tahun} dan 802 (57,8%) pasien berjenis
kelamin laki-laki. Sebanyak 1.192 (85,9%) dari semua luka bakar terjadi
di rumah pasien sendiri, dengan luka bakar termal yang paling banyak
dilaporkan yaitu 569 (41,0%) pasien. Luka bakar kontak dilaporkan pada
563 (40,6%) pasien, bahan kimia 128 (9,2%), radiasi 51 (3,7%), api 43 (3,1%),
listrik 17 (1,2%) dan gesekan luka bakar 16 (1,2%) pasien.5 Peneliti lain
mendapatkan penyebab tersering luka bakar adalah akibat air panas atau
uap panas sebesar 52,2%, diikuti oleh api 32,5 %, dengan angka kematian
0,9/100.000 anak per tahun.6 Laporan dari Pakistan pada 1725 anak usia
di bawah 15 tahun, dilaporkan usia terbanyak 3-6 tahun (67,5 %) dengan
rerata 5,04 {standar baku (SB) 2,78 tahun}, dan sekitar 70,3 % disebabkan
tersiram air panas. Daerah tangan dan lengan bawah merupakan bagian
tubuh yang sering terkena (36%), diikuti daerah muka dan leher (21,1 %).7
Di Indonesia belum banyak dilaporkan data yang tepat mengenai angka
kejadian luka bakar pada anak. Unit Luka Bakar (Burn Unit) Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo selama bulan Januari 2011 sampai Desember 2012,
menerima 275 pasien luka bakar dengan jumlah pasien anak 72 pasien (26
%).8

Mekanisme cedera9-11
Luka bakar termal
Luka bakar karena panas terjadi pada hampir 70% anak akibat tersiram air
panas yang akan membentuk luka lepuh. Biasanya luka terjadi superfisial
sampai dermis superfisial. Sumber panas yang lain adalah api dan kontak
langsung sumber panas yang cenderung menyebabkan luka yang lebih
dalam atau full thickness. Luka bakar api sering berhubungan dengan trauma
inhalasi.

Luka bakar listrik


Luka bakar listrik terjadi sekitar 3-4% kasus akibat aliran listrik yang diubah
menjadi panas dan menjalar dari satu titik masuk ke titik luar lainnya,
yang menyebabkan kerusakan jaringan diantaranya. Jumlah panas yang
dihasilkan, dan tingkat kerusakan jaringan, sama dengan 0,24 dikalikan
dengan tegangan pangkat dua dan resistan. Listrik untuk keperluan domestik
biasanya bertegangan rendah dan cenderung menyebabkan luka bakar kecil.
Aliran listrik yang lebih besar dari 1000 Volt dapat menyebabkan kerusakan
otot, rabdomiolosis, dan gagal ginjal.

Luka bakar kimiawi


Luka bakar kimiawi dapat disebabkan paparan zat asam atau basa. Luka
bakar akibat paparan zat basa umumnya lebih dalam dibandingkan zat
Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 17
Rismala Dewi

asam. Hal ini karena basa menyatu dengan jaringan lemak di kulit sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih progresif, sedangkan luka bakar
akibat asam akan menyebabkan nekrosis koagulasi yang efektif membatasi
masuknya zat asam lebih dalam.

Patofisiologi
Kulit, juga dikenal sebagai kutis atau integumen, adalah organ terbesar
dan salah satu organ yang paling kompleks pada tubuh manusia. Kulit
memberikan dukungan struktural dan mempunyai fungsi penting dalam
kekebalan tubuh dan termoregulasi. Pada anak-anak, total luas permukaan
tubuh (total body surface area=TBSA) bervariasi tergantung usia, berat
badan, dan habitus tubuh, dengan kulit lebih tipis dibandingkan pada orang
dewasa. Kandungan air yang cukup menyebabkan kulit dapat bertahan
terhadap panas sampai suhu tertentu. Daerah dengan vaskularisasi yang
banyak, akan menghantarkan panas dari tempat luka bakar ke tempat lain
sehingga mengurangi kedalaman luka bakar. Beratnya luka bakar ditentukan
oleh 3 hal yaitu derajat panas, lamanya paparan jaringan dan luasnya kulit
yang terkena oleh sumber panas. Kerusakan jaringan pada luka bakar jarang
sekali homogen dan terbagi atas 3 zona yaitu zona koagulasi, stasis dan
hiperemia (Gambar 1). Zona ini dikenal sebagai teori Jackson (Jackson’s
thermal wound theory), yang terlihat sebagai bull’s-eye pattern.9,12

Zona stasis Zona hiperemia

Zona koagulasi

Gambar 1. Zona luka bakar menurut Jackson.9

Secara umum, kerusakan sel yang paling parah terjadi di pusat luka
bakar akibat kontak lebih lama atau lebih intens dengan sumber panas. Sel-sel
di daerah ini mati dan membentuk jaringan parut. Jaringan yang masih layak
mengelilingi daerah nekrotik disebut zona stasis ditandai dengan penurunan
perfusi didaerah tersebut. Edema yang berlangsung lama, infeksi, intervensi
bedah yang tidak perlu, dan hipotensi dapat mengkonversi zona ini ke zona

18 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Luka Bakar pada Anak: Apa yang Harus Dilakukan?

koagulasi. Pada zona hiperemia terjadi peningkatan perfusi dan merupakan


daerah dengan kerusakan minimal.,9,12

Gambar 2. Klasifikasi kedalaman luka bakar sesuai lapisan anatomi kulit9

Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalamannya dibagi dalam 4


derajat, dengan pembagian sebagai berikut: (Tabel 1).

Tabel 1. Derajat luka bakar.9


Kedalaman Gambaran Melepuh Sensasi Waktu penyembuhan
luka bakar
Epidermis merah tidak ada sangat nyeri 1 minggu
Superficial partial merah jambu, basah, melepuh sangat nyeri 2-3 minggu
thickness waktu pengisian kapiler
cepat
Deep partial pucat, merah menetap, mungkin nyeri 3 minggu, skin graft, eksisi
thickness waktu pengisian kapiler melepuh berkurang
kurang
Full thickness kulit putih atau coklat tidak tidak eksisi dan skin graft


Luas luka bakar penting diketahui karena sangat menentukan prognosis
dan komplikasi yang terjadi. Gambar 2 menunjukkan luasnya luka bakar
menurut Lund Browder Chart. Grafik ini dianggap cukup akurat dalam
mengukur luas luka bakar dan dapat dipakai dalam praktek sehari-hari.13
Proses mendasar yang terjadi pada luka bakar dapat berupa reaksi
inflamasi lokal dan sistemik. Efek lokal yang terjadi adalah gangguan
integritas membran sel, aktivasi sitokin, dan penghentian aliran darah
lokal. Pada tingkat sel, komponen sitoskeletal terganggu, sehingga terjadi
peningkatan permeabilitas membran. Efek sistemik luka bakar akan jelas
terlihat bila luas luka bakar mencapai > 20%, dengan melepaskan sitokin dan
mediator inflamasi di tempat luka bakar. Respons inflamasi ini berlangsung
segera dan dapat bertahan hingga beberapa bulan. Beberapa keadaan yang

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 19


Rismala Dewi

Gambar 3. Persentase luas luka bakar.13

perlu diperhatikan pada luka bakar adalah inflamasi, edema, kehilangan


cairan dan elektrolit, infeksi.pembengkakan sel.12,14

Tata laksana
Penilaian awal
Penilaian awal dan tata laksana anak dengan luka bakar harus
memperhitungkan pengalaman klinisi dan sumber daya yang tersedia.
Sebagian besar anak-anak dengan luka bakar ringan kurang dari 5% total
luas permukaan tubuh dapat diobati secara rawat jalan. Anak-anak dengan
luka bakar yang berat memerlukan perhatian pada airway, breathing,
circulation, disability, exposure, fluid resuscitation (ABCDEF). Penilaian
kedaruratan jalan napas, kecukupan ventilasi, oksigenasi, dan sirkulasi
sangat penting. Tindakan intubasi endotrakea mungkin diperlukan untuk
mengantisipasi adanya bronkospasme dan hipoksia. Perlu diperhatikan
juga adanya gangguan pernapasan dan sirkulasi, terutama bila luka bakar
mengenai bagian tubuh depan dan belakang.15,16

Penilaian patensi jalan napas dan pernapasan


Penilaian patensi jalan napas adalah prioritas pertama dalam pengelolaan
anak dengan luka bakar, terutama bila melibatkan luka bakar luas di wajah

20 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Luka Bakar pada Anak: Apa yang Harus Dilakukan?

dan leher. Anak yang terperangkap dalam kebakaran di ruang tertutup,


berisiko mengalami gangguan jalan napas atas yang memerlukan intubasi
segera. Edema laring dapat terjadi dalam 24-48 jam pertama setelah terhisap
asap atau uap panas. Tanda klinis cedera inhalasi diantaranya gangguan
pernapasan, hipoksemia, suara serak, stridor, mengi, pembengkakan lidah,
alis dan rambut hidung hangus. Intubasi bisa ditunda sementara dengan
melakukan pemantauan yang ketat kecuali ada kecurigaan edema jalan
napas karena jalan napas anak jauh lebih kecil dan lebih mudah tersumbat
oleh edema. Penilaian saturasi harus dilakukan dengan menggunakan pulse
oksimetri untuk memantau kecukupan oksigenasi, tetapi perlu hati-hati pada
pasien anak dengan kadar karboksihemoglobin yang tinggi dapat terlihat
saturasi “normal”. Pemberian oksigen 100% diperlukan pada anak dengan
luka bakar berat.12,17

Penilaian luka bakar


Penilaian luas dan derajat luka bakar merupakan hal yang perlu dilakukan
setelah fase stabilisasi fungsi vital. Perhitungan luasnya permukaan luka
bakar dengan menggunakan the rule of nine kurang akurat pada anak karena
perbedaan proporsi tubuh antara anak dan dewasa. Area kepala lebih besar
pada anak sedangkan area ekstremitas lebih kecil sehingga diperlukan
pengukuran luas permukaan tubuh yang lebih akurat pada anak < 15
tahun, yaitu dengan mempergunakan Lund-Browder chart. Penilaian luas
permukaan luka bakar ini harus dilakukan berulang-ulang.13

Pemberian cairan resusitasi


Tujuan utama tata laksana cairan pada anak dengan luka bakar adalah untuk
mempertahankan perfusi jaringan pada fase awal syok, yang terjadi akibat
ekstravasasi cairan dari intravaskular. Luka bakar yang ringan meliputi 10-15
% luas permukaan tubuh cukup diberikan cairan rehidrasi oral atau cairan
rumatan intravena. Tetapi pada luka bakar yang luasnya > 15 % diperlukan
cairan resusitasi dengan 2 jalur intravena. Loading cairan Ringer laktat 20
ml/kgBB secepatnya bila ditemukan tanda-tanda renjatan, setelah itu dapat
diberikan cairan kristaloid sesuai formula Parkland yaitu: 4 mL/kgBB/%
BSA untuk luka bakar derajat dua dan tiga. Setengahnya diberikan dalam 8
jam, sisanya dilanjutkan dalam 16 jam kemudian. Pada anak < 5 tahun dapat
ditambahkan rumatan dengan dekstrosa 5 %. Kebocoran dan akumulasi
protein plasma terjadi dalam 12-24 jam pertama pasca luka bakar, sehingga
pemberian cairan koloid pada resusitasi awal tidak dianjurkan karena akan
memperberat edema di jaringan, sedangkan pemberian albumin 5 % dapat
dipertimbangkan setelah 24 jam pertama. Hal penting yang perlu dilakukan
adalah pemantauan pemberian cairan untuk menghindari kelebihan cairan,

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 21


Rismala Dewi

dengan menilai pengeluaran urin 1 mL/kgBB/jam untuk anak < 10 tahun


dan 0,5 mL/kgBB/jam untuk anak > 10 tahun.18-20

Kontrol infeksi
Pada anak-anak dengan luka bakar yang berat terjadi perubahan anatomi
dan imunologi yang dramatis yang secara signifikan akan meningkatkan
risiko komplikasi infeksi. Diagnosis infeksi pada pasien dengan luka bakar
merupakan tantangan tersendiri, karena adanya proses inflamasi dan kondisi
hipermetabolik yang terus-menerus. Berkembangnya tehnik antiseptik
dan antibiotik topikal dapat mengurangi jumlah bakteri dan risiko infeksi.
Pada luka bakar ringan, tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis
spektrum luas, cukup diberikan krim silver sulfadiazin untuk mencegah
infeksi. Perhatian khusus pada pasien dengan alergi sulfa, bayi kurang dari
2 bulan dan tidak boleh diberikan pada daerah wajah. Alternatif lain adalah
dengan menggunakan krim basitrasin. Pada luka bakar yang luas dan dalam
risiko infeksi dan sepsis cukup besar, dapat diberikan antibiotika spektrum
luas sampai didapatkan hasil kultur dan resistensi.21

Perawatan luka bakar


Perawatan luka bakar dini sangat penting untuk pencegahan infeksi dan
mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tujuan dari perawatan luka bakar
adalah dengan mengurangi kehilangan cairan, mencegah pengeringan
jaringan yang masih layak, pemberian analgesia, dan menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur. Penanganan awal luka bakar meliputi
pembersihan dan debridemen kulit non-vital dengan menggunakan sabun
lembut dan air atau klorheksidin dan normal salin. Antimikroba topikal
dipakai pada luka untuk mengontrol kolonisasi, mencegah infeksi, dan
memberikan barier pelindung. Eksisi dan skingraft pada luka bakar yang
dalam menjadi pilihan yang utama walaupun belum ada penelitian terkontrol
yang membuktikannya.21

Tata laksana nyeri


Tujuan dari penilaian nyeri adalah untuk mendeteksi adanya nyeri,
memperkirakan dampak dari rasa nyeri ini, dan menentukan dampak dari
intervensi yang diberikan untuk menghilangkan rasa nyeri. Analgesia yang
diberikan sebaiknya multimodal dengan mempertimbangkan antagonis jalur
nosiseptif dan neuropatik nyeri. Selain analgesia, kadang diperlukan juga
sedasi untuk mengurangi kecemasan yang dialami anak dengan memberikan
golongan narkotik analgesia seperti morfin atau fentanil. Morfin dengan
dosis 0,1-0,15 mg/kgBB merupakan obat pilihan utama pada anak dengan
luka bakar yang berat.22

22 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Luka Bakar pada Anak: Apa yang Harus Dilakukan?

Nutrisi
Mengurangi dampak hipermetabolik dan pemberian nutrisi yang adekuat
merupakan hal penting untuk mempercepat penyembuhan dan pemulihan
anak dengan luka bakar. Pemberian nutrisi enteral lebih diutamakan bila
anak dalam kondisi stabil yang dapat diberikan segera dalam beberapa jam
setelah terpapar luka bakar, kecuali hemodinamik tidak stabil. Pemantauan
klinis, kebutuhan nutrisi, tipe dan cara pemberian nutrisi sangat penting
pada pasien luka bakar untuk memenuhi kebutuhan medis dan surgikal.23

Simpulan
Perbedaan dalam fisiologi cairan dan elektrolit, kebutuhan energi dan
proporsi tubuh pada anak menyebabkan penatalaksaan luka bakar pada
anak sedikit berbeda dibandingkan orang dewasa. Pendekatan multidisiplin
harus dilakukan agar tata laksana yang dilakukan optimal. Tata laksana
meliputi tunjangan hidup dasar dan lanjut, perawatan luka, pemberian cairan
resusitasi, mengontrol nyeri dan infeksi, nutrisi yang adekuat dan mengatasi
respons metabolik yang terjadi, serta pemantauan sekuele jangka panjang.

Daftar pustaka
1. D’Souza AL, Nelson NG, McKenzie LB. Pediatric Burn Injuries Treated in US
Emergency Departments Between 1990 and 2006. Pediatrics. 2009;124:1424-30.
2. Hendry PL. Pediatric burns. Dalam: Schafermeyer RW, Tenenbein M, Macias
CG, Sharieff GQ, Yamamoto L, penyunting. Pediatric Emergency Medicine.
Edisi ke-4. New York: Mc Graw Hill;2015. h. 721-32.
3. Bakker A, Maertens KJP, Van Son MJM, Van Loey NEE. Psychological
consequences of pediatric burns from a child and family perspective: A review
of the empirical literature. Clin Psychol Rev. 2013;33:361-71.
4. Ahmadijouybari T, Najafi F, Moradinazar M, Karami-matin B, Karami-matin
R, Ataie M, dkk. Two-year hospital records of burns from a referral center in
Western Iran: March 2010-March 2012. J Inj Violence Res. 2014;6:31-6.
5. Battle CE, Evans V, James K, Guy K, Whitley J, Evans PA. Epidemiology of burns
and scalds in children presenting to the emergency department of a regional
burns unit: a 7-years retrospective study. Burns & Trauma. 2016;4:19-24.
6. Alaghehbandan R, Sikdar KC, Gladney N, Macdonald D, Collins KD.
Epidemiology of severe burn among children in Newfoundland and Labrador,
Canada. Burns. 2011;18:1-8.
7. Arslan H, Kul B, Derebaşinlioğlu H, Çetinkale O. Epidemiology of pediatric
burn injuries in Istanbul, Turkey. Turkish J Trauma Emerg Surg. 2013;19:123-6.
8. Martina NR, Wardhana A. Mortality analysis on adult burn patients. J Plast
Rekons. 2013;2:96-100.
9. Hettiaratchy S, Dziewulski P. ABC of burns: pathophysiology and types of
burns. BMJ. 2004;328:1427-9.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 23


Rismala Dewi

10. Karimi H, Motevalian SA, Momeni M, Ghadarjani M. Etiology, outcome and


mortality risk factors in children burn. Surg Sci. 2015;6:42-9.
11. Akansel N, Yilmaz S, Aydin N, Kahveci R. Etiology of Burn Injuries Among
0-6 Aged Children in One University Hospital Burn Unit, Bursa, Turkey. Int J
of Car Sci. 2013;6:208-17.
12. Duffy BJ, McLaughlin PM, Eichelberger MR. Assessment, Triage, and Early
Management of Burns in Children. Clin Ped Emerg Med. 2006;7:82-93.
13. Minimas DA. A critical evaluation of the Lund and Browder chart. Wound.
2007;3:58-68.
14. Krishnamoorthy V, Ramaiah R, Bhananker SM. Pediatric burn injuries. Int J
Crit Illn Inj Sci. 2012;2:128–34.
15. Jamshidi R, Sato TT. Initial assessment and management of thermal burn
injuries in children. Pediatr Rev. 2013;34:395-44.
16. Bezuhly M, Fish JS. Acute burn care. Plast Reconstr Surg. 2012;130:349e-58e.
17. Alharbi Z, Piatkowski A, Dembinski R, Reckort S, Grieb G, Kauczok J, dkk.
Treatment of burns in the first 24 hours: simple and practical guide by answering
10 questions in a step-by-step form. World J Emerg Surg. 2012;7:13-23.
18. Kraft R, Herndon D, Branski L, finnerty C. Optimized fluid management
improves outcomes of pediatric burn patients. J Surg Research. 2014;181:121-8.
19. Boldt J. Use of albumin: an update. Br J Anaesth. 2010;104:276–84.
20. Haberal M, Abali ES, Karakayali H. Fluid management in major burn injuries.
Indian J Plast Surg. 2010;43:S29-37.
21. Tran S, Chin AC. Burn sepsis in children. Tran and Chin. 2014;15:149-58.
22. Gandhi M, Thomson C, Lord D, Enoch S. Management of pain in children
with burns. Int J Pediatr. 2010;4:1-9.
23. Rousseau AF, Losser MR, Ichai C, Berger MM. ESPEN endorsed
recommendations: nutritional therapy in major burns. Clin Nutr. 2013;32:497-
502.

24 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Noisy Breathing pada Bayi.
Apa yang Perlu Diketahui?
Bambang Supriyatno

Tujuan
1. Mengetahui jenis-jenis noisy breathing pada bayi
2. Mampu mendiagnosis dan tata laksana stridor pada bayi
3. Mampu melakukan tindakan yang diperlukan setelah diagnosis ditegakkan
4. Mampu menetapkan waktu yang paling tepat untuk merujuk bayi dengan stridor

N
oisy breathing merupakan gejala respiratorik yang cukup sering
dijumpai pada bayi dan anak yang datang ke tempat praktik sehari-
hari, selain batuk dan sesak. Yang termasuk noisy breathing adalah
stridor, snoring (mendengkur) dan wheezing. Gejala ini dapat menyebabkan
keadaan darurat yang berakibat kematian, ataupun hanya merupakan
keadaan yang tidak mengkhawatirkan. Noisy breathing dapat terjadi pada
semua usia, tetapi yang tersering adalah usia balita khususnya bayi. Penyebab
noisy breathing bermacam-macam, yaitu kelainan bawaan, infeksi, ataupun
noninfeksi.1,2
Mengingat bahwa penyebab noisy breathing bermacam-macam, maka
mengetahui penyakit yang mendasarinya menjadi sangat penting untuk
penanganan yang tepat. Salah satu hal yang penting pada noisy breathing
adalah menentukan level atau lokasi kelainan dengan mengidentifikasi
jenis kelainannya. Misalnya pada bayi, penyebab stridor yang paling sering
adalah laringo-trakeomalasia dan hipertrofi kelenjar timus, sedangkan
penyebab mendengkur pada anak adalah hipertrofi adenoid dan/atau tonsil
serta obesitas.3,4 Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara
lain adalah pencitraan, barium meal, polisomnografi, uji fungsi paru, dan
lain-lain.4 Dengan pemeriksan tersebut dapat dibedakan kemungkinan
penyebabnya.4
Tata laksana noisy breathing sangat bergantung pada penyebab utamanya.
Umumnya, gejala stridor pada bayi tidak menyebabkan kegawatdaruratan,
sedangkan pada anak dapat membahayakan seperti keadaan difteri dan
epiglotitis. Mendengkur pada bayi dan anak dapat merupakan gejala yang

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIII 25


Bambang Supriyatno

tidak memerlukan penanganan khusus hingga keadaan yang serius. Tata


laksana occasional snoring cukup dengan observasi dan mencari penyakit
primernya, sedangkan pada habitual snoring memerlukan penanganan
khusus, karena mungkin sudah terjadi OSAS (obstructive sleep apnea
syndrome).5,6 Wheezing dapat menyebabkan kegawatdaruratan bergantung
pada beratnya derajat wheezing.1
Prognosis noisy breathing bergantung pada penyebabnya. Pada
laringo-trakeomalasia dapat sembuh dengan sendirinya pada usia dua
tahun pertama, sedangkan wheezing pada bayi dapat berkembang menjadi
asma.1 Pada makalah ini lebih ditekankan pada apa yang harus diketahui
oleh seorang dokter maupun dokter spesialis anak tentang stridor. Stridor
bukanlah diagnosis tetapi gejala yang harus dicari diagnosisnya dan dikelola
dengan baik agar tidak terjadi kelainan di kemudian hari.

Definisi
Stridor adalah suara napas inspirasi yang keras, kasar, bernada sedang, yang
berhubungan dengan obstruksi di daerah laring atau trakea. Stridor dapat
terjadi karena adanya sumbatan jalan napas yang dapat terjadi mulai dari
hidung hingga bronkus. Stridor dapat terjadi akut maupun kronik. Tidak ada
batasan yang jelas antara akut dan kronik, beberapa kepustakaan menyatakan
bahwa termasuk akut bila berlangsung selama kurang dari 14 hari, sedangkan
termasuk kronik bila berlangsung selama lebih dari 14 hari. 3,7,8

Etiologi
Penyebab stridor bermacam-macam, dapat berupa kelainan bawaan, infeksi,
noninfeksi, dan pasca-intubasi. Beberapa pendekatan untuk mencari
etiologi adalah berdasarkan usia, lokasi kelainan, dan gejala-gejala Iainnya.
Pendekatan berdasarkan usia umumnya dibagi menjadi kelompok bayi,
anak muda (young child), dan anak yang lebih tua (older child). Pada bayi,
penyebab terbanyak adalah kelainan bawaan seperti laringo-trakeomalasia
dan pembesaran kelenjar timus. Pada young child, penyebab terbanyak
adalah croup dan epiglotitis, sedangkan pada older child umumnya adalah
infeksi respiratorik akut (IRA), hipertrofi adenoid, croup, epiglotitis, dan
benda asing.1,3,5,9

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pada stridor dikenal istilah SPECS-R (severity,
progression, eating problems, cyanosis, sleep: retraction, dan radiology).
Pada keadaan stridor harus dilakukan pendalaman dalam hal beratnya,

26 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Noisy Breathing pada Bayi. Apa yang Perlu Diketahui?

progresifitas kelainan, adakah gangguan dalam nutrisi yang mengakibatkan


terjadinya failure to thrive, adanya sianosis, retraksi pada saat tidur atau
adanya tanda-tanda penyempitan saluran respiratorik atas, dan dapat
ditunjang oleh pemeriksaan radiologis.1,4,10
Selain pendekatan di atas, pada anamnesis sebaiknya ditanyakan
mulai kapan gejala timbul, adakah gejala lain yang menyertainya seperti
demam, sesak napas, dan lain-lain. Selain itu, usia saat timbul gejala (onset)
merupakan hal yang tidak boleh dilupakan. Pada pemeriksaan fisis harus
diidentifikasi jenis suara stridornya apakah menyerupai snoring, gurgling,
atau high­-pitched. Pada bunyi yang mendekati snoring kemungkinan
kelainannya di daerah hidung atau nasofaring, sedangkan gurgling mungkin
di daerah faring. Bunyi high-pitched diduga kelainannya terletak di daerah
laring, sedangkan bunyi yang timbul kasar dan terjadi pada saat inspirasi
sangat mungkin kelainannya di daerah trakea. Pada pemeriksaan fisis dapat
dijumpai adanya ’pectus excavatus’ akibat usaha napas yang berlebihan akibat
adanya penyempitan pada respiratorik atas yang berlangsung lama.10,11
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah pencitraan. Pada foto
Rontgen leher AP (antero-posterior) dan lateral dapat dilihat kemungkinan
adanya penyempitan pada trakea yang terjadi pada trakeomalasia. Selain
itu, dapat dilihat adanya penekanan dari luar pada trakea, sehingga terjadi
penyempitan yang dapat menimbulkan suara stridor. Untuk mendapatkan
hasil yang maksimal, sebaiknya pada saat pemeriksaan foto leher pasien
dalam posisi ekstensi leher dan inspirasi maksimal.4,10
Pada foto Rontgen dada (CXR, chest x-ray) dapat dilihat adanya suatu
keadaan atelektasis, baik pada satu hemitoraks atau sebagian lobus saja.
Aspirasi benda asing dapat menyebabkan obstruksi pada satu sisi (bronkus),
sehingga gambaran radiologisnya berupa hiperaerasi pada satu sisi karena
adanya trapping pada sisi yang sakit.4 Dengan CXR AP dan lateral dapat
didiagnosis adanya pembesaran (hipertrofi) kelenjar timus.4,10 Pemeriksaan
penunjang lainnya adalah penggunaan barium meal. Dengan cara ini dapat
dideteksi adanya penekanan saluran respiratorik dari luar, yaitu berupa
penekanan pada esofagus.4

Tabel 1. Pendekatan diagnosis stridor berdasarkan onset.1


Akut Kronik
Dengan demam Tanpa demam
• Adenotonsilitis • Benda asing • Laringomalasia
• Croup • Angioneurotic oedema • Trakeomalasia
• Epiglotitis • Kelainan vaskular
• Benda asing
• Hipertrofi adenoid
• Hiperplasia timus

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 27


Bambang Supriyatno

Tata laksana
Tata laksana stridor pada bayi harus ditentukan terlebih dahulu apakah
sumbatannya merupakan keadaan darurat (mengancam jiwa) atau tidak.
Ada beberapa cara yang dianjurkan pada keadaan yang mengancam jiwa,
yaitu dengan menduga level atau lokasi kelainannya. Bila diduga di daerah
laring dan glotis, maka dapat dilakukan intubasi sebagai pilihan utama,
sedangkan bila kelainannya di daerah trakea, maka trakeostomi menjadi
pilihan. Akan tetapi, umumnya tindakan pertama adalah melakukan
intubasi. Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa harus dicari dahulu
diagnosis yang paling mungkin berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan penunjang.11,12
Secara garis besar tata laksana stridor yang disebabkan oleh laringo-
trakeomalasia dan hipertrofi timus hampir sama. Pada saat dijumpai stridor
dengan diagnosis laringo-trakeomalasia atau hipertropfi timus maka yang
perlu diperhatikan adalah pemberian nutrisi yang cukup. Nutrisi ini sangat
diperlukan agar tidak terjadi failure to thrive yang menjadi masalah utama
dan terjadinya aspirasi pneumonia. Orangtua sering kuatir/takut dalam
memberikan asupan nutrisi karena sering terlihat sesak saat diberi makanan/
minuman sehingga proses pemberian nutrisi dihentikan. Pemberian nutrisi
menjadi tidak atau kurang optimal dengan akibat gagal tumbuh atau tidak
ada kenaikan berat badan. Di sisi lain pemberian nutrisi yang dipaksakan
akan menyebabkan aspirasi pneumonia yang dapat menyebabkan kematian.
Langkah yang dapat diambil agar tidak terjadi gagal tumbuh atau
pneumonia aspirasi adalah dengan memberi nutrisi melalui NGT (nasogastric
tube) atau OGT (orogastric tube) selama stridor masih terdengar. Cara ini
sangat efektif karena jumlah kalori yang dibutuhkan akan terpenuhi tanpa
terjadinya aspirasi saat pemberian makanan ataupun minuman.7,12
Usaha pemberian nutrisi melalui NGT/OGT tidak mudah dilakukan
karena penolakan dari orangtua akibat ketidaktahuan pentingnya nutrisi.
Orangtua beranggapan merasa tidak nyaman karena pemasangan tersebut
dan kekuatiran bayi akan merasa haus karena tidak minum. Dokter harus
meyakinkan bahwa cara pemberian nutrisi ini sangat efektif untuk mencegah
kelainan atau komplikasi di kemudian hari. Dokter harus menjelaskan
kepada orangtua secara komprehensif keuntungan dan kerugian pemasangan
NGT/OGT agar memahami secara mendalam. NGT/OGT dapat dihentikan
apabila proses makan/minum sudah baik dan tidak ada kekuatiran akan
terjadinya gagal tumbuh atau pneumonia aspirasi.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa diagnosis yang paling sering
pada bayi dengan stridor, seperti laringo-traeomalasia dan hiperplasia/
hipertrofi timus.

28 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Noisy Breathing pada Bayi. Apa yang Perlu Diketahui?

Laringo-trakeomalasia
Laringo-trakeomalasia merupakan keadaan melemahnya struktur
supraglotis dan dinding trakea yang mengakibatkan kolaps dan obstruksi
saluran respiratorik pada saat inspirasi. Pada keadaan ini struktur glotis
dan subglotis umumnya normal. Gejala stridor pada laringo-trakeomalasia
timbul pada saat lahir atau beberapa minggu setelah lahir. Keadaan laringo-
trakeomalasia dapat terjadi secara sendiri-sendiri ataupun bersamaan.
Kejadian laringomalasia adalah sekitar 65-75% pada bayi dengan stridor,
sedangkan trakeomalasia sekitar 45,7%.7,9,10
Penyebab laringomalasia tidak diketahui secara pasti, tetapi diduga
karena imaturitas laring yang menyebabkan hipotoni. Adanya abnormalitas
neuromuskular menyebabkan peningkatan flasiditas, sehingga struktur
supraglotis tidak tertopang. Kemungkinan lain adalah karena flasiditas
epiglotis akan mengakibatkan jatuh ke belakang (dinding posterior) laring,
sehingga terjadi penyumbatan (obstruksi).1,7
Penyebab trakeomalasia dapat bersifat primer ataupun sekunder.
Dikatakan primer apabila kelainannya akibat abnormalitas pada dinding
trakea sedangkan disebut sekunder apabila akibat penekanan dan luar
yang mengakibatkan menyempitan trakea. Salah satu bentuk trakeomalasia
sekunder yang sering adalah penekanan oleh pembuluh darah yaitu arteri
inominata dan arkus aorta serta penekanan massa.1
Manifestasi klinis pada laringomalasia dapat timbul saat lahir sampai
beberapa minggu setelah Iahir. Stridor yang terdengar berjenis high-pitched
dan bervibrasi pada saat inspirasi. Stridor dapat bertambah berat pada usia
sekitar 8-9 bulan tetapi dapat juga timbul hanya pada saat usaha napas
meningkat seperti menangis. Selain stridor gejala lain yang dapat terlihat
adalah pektus ekskavatum akibat usaha pernapasan yang berlebihan dan
berlangsung lama. Gejala lain yang sering dikeluhkan antara lain apnea
pada saat tidur.8
Pada pemeriksaan penunjang tidak jarang dijumpai keadaan aspirasi
pneumonia yang kronik akibat teraspirasi makanan. Hal ini mungkin karena
terdapat masalah pada saat makan dan diduga adanya tekanan negatif yang
tinggi pada saat inspirasi.13,14
Pada trakeomalasia gejala dapat timbul apabila sudah terjadi kolapsnya
anteroposterior lumen trakea mencapai lebih dan 40%. Pada trakeomalasia,
stridor yang terjadi dapat berupa stridor inspirasi dan ekspirasi bergantung
pada letak kelainannya. Apabila kelainannya pada ekstra-toraks maka
stridornya bersifat inspiratorik sedangkan apabila kelainannya intra-torakal
maka stridornya bersifat ekspiratorik. Pada keadaan kelainannya intra dan
ekstra torakal maka dapat dijumpai stridor inspiratorik dan ekspiratorik
bersama­-sama atau dikenal sebagai stridor bifasik. Umumnya stridor

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 29


Bambang Supriyatno

terdengar beberapa bulan kehidupan atau saat bayi lebih aktif. Stridor dapat
dicetuskan karena menangis, batuk, atau terjadinya infeksi respiratorik.
Gejala yang mungkin timbul adalah kesulitan saat makan karena sulitnya
koordinasi antara menelan dan bernapas sehingga tidak jarang dijumpainya
adanya aspirasi pneumonia yang kronis.10,13,14
Diagnosis laringomalasia dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto
leher dan laringoskopi fleksibel. Pada foto leher yang diambil saat inspirasi
dan ekspirasi dapat terlihat gambaran perubahan letak aritenoid dan
epiglottis ke arah medial dan inferior. Sebagai diagnosis utama menggunakan
laringoskopi fleksibel yaitu dengan melihat pasase hidung, nasofaring, dan
supraglotis. Umumnya pergerakan pita suara masih baik.8
Pada trakeomalasia diagnosis utama dengan melakukan
trakeobronkoskopi yaitu dengan melihat struktur trakea pada saat inspirasi
dan ekspirasi. Pada keadaan dicurigai adanya penekanan pada trakea perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti foto dada, barium enema,
dan lain-lain.4
Tata laksana pada laringomalasia umumnya tidak memerlukan
intervensi bedah. Sekitar 90% akan mengalami perbaikan pada usia 2
tahun. Yang perlu dilakukan adalah penerangan kepada orangtua tentang
keadaan laringomalasia dan kemungkinan­kemungkinan yang dapat terjadi
sehingga orangtua menjadi lebih berhati-hati terutama dalam hal pemberian
makan. Sekitar 10% laringomalasia bermanifestasi sebagai sumbatan yang
berat sehingga memerlukan intervensi bedah antara lain dengan cara
trakeostomi.11
Pada trakeomalasia, sebagian besar dapat sembuh pada usia 2 tahun
seperti halnya laringomalasia tanpa tindakan bedah. Yang paling penting
adalah penjelasan kepada orangtua mengenai kesulitan-kesulitan yang timbul
terutama dalam pemberian makan sehingga tidak terjadi komplikasi seperti
aspirasi pneumonia atau bahkan gagal tumbuh. Tindakan trakeostomi pada
keadaan darurat dapat dipertimbangkan apabila kelainan trakeomalasianya
diperkirakan sampai batas tengah.11 Namun apabila sudah meluas sampai
bagian bawah maka tindakan trakeostomi kurang bermanfaat. Pada
keadaan ini pemberian CPAP (continuous positive airway pressure) dapat
membantu.12,15
Tata laksana laringomalasia dapat dibedakan dalam tindakan medis
dan bedah. Pada tindakan medis dapat diberikan obat untuk penanganan
refluks seperti antagonis reseptor H2 seperti ranitidin atau proton pump
inhibitor (PPI). Pemberian PPI didasarkan kepada sebagian besar bayi dengan
laringomalasia menderita refluks dan mendapatkan hasil yang cukup baik.
Lama pemberian PPI sekitar 9 bulan.13-15 Tata laksana bedah dapat berupa
tindakan supraglotoplasti dengan hasil yang cukup baik.16-18 Tindakan
supraglotoplasti merupakan tindakan dengan cara eksisi melewati ligament

30 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Noisy Breathing pada Bayi. Apa yang Perlu Diketahui?

glosoepiglotika untuk menarik epiglotis ke depan dan menjahitkan sebagian


dari epiglotis ke dasar lidah.
Pada keadaan trakeomalasia berat yang tidak respons dengan tindakan
di atas dapat dilakukan pemasangan stent eksternal atau internal. Pada
keadaan trakeomalasia sekunder akibat penekanan oleh arteri inominata
perlu dilakukan tindakan arteriopeksi yaitu pengikatan dinding luar aorta
ke sternum.15
Prognosis laringomalasia dan trakeomalasia umumnya baik karena
sekitar 90% kasus akan mengalami perbaikan pada usia 2 tahun. Pada
keadaan tertentu dapat mengakibatkan komplikasi berupa aspirasi
pneumonia kronik sehingga terjadi infeksi respiratorik berulang dan gagal
tumbuh akibat permasalahan pemberian makan.13,14

Hiperplasia/hipertrofi timus
Timus terletak pada mediastinum anterior superior, namun kadang-kadang
dapat terletak di seluruh mediastinum. Hiperplasia timus merupakan
kelainan yang paling sering dijumpai di antara kelainan timus lainnya pada
anak seperti neoplasma, timoma, dan kista.1
Penyebab hiperplasia timus belum diketahui secara tepat. Ada yang
berpendapat bahwa hal itu hanya variasi besarnya ukuran timus pada masing-
masing individu atau dapat karena kemoterapi.19 Gambaran timus pada foto
Rontgent dada dapat terlihat pada usia 1-12 bulan. Sekitar 2% masih dapat
terlihat pada usia 4 tahun.19
Manifestasi klinis pada hiperplasia timus bergantung pada ukuran dan
letak timus. Apabila ukurannya besar dan letaknya pada daerah superior
thoracic inlet maka dapat menekan trakea sehingga menyebabkan suara
stridor. Umumnya dengan perubahan posisi yaitu posisi prone suara stridor
berkurang bahkan dapat menghilang.19,20
Tata laksana timus hiperplasia bergantung pada besarnya timus. Apabila
pembesarannya tidak menyebabkan gangguan obstruksi maka umumnya
diobservasi saja karena akan menghilang sesuai perkembangan usia.
Namun apabila menimbulkan gejala seperti stridor maka dapat dberikan
kortikosteroid selama 5-7 hari. Dengan pemberian kortikosteroid, timus
akan mengecil namun setelah dihentikan timus dapat membesar kembali
tetapi ukurannya lebih kecil. Tindakan eksisi dapat dilakukan apabila
sumbatan jalan napas cukup mengganggu dan gagal dengan pemberian
kortikosteroid.19,20
Prognosis hiperpasia timus umumnya baik. Apabila tidak ada
respons terhadap pemberian kortikosteroid maka perlu dipertimbangkan
neoplasma.20,21

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 31


Bambang Supriyatno

Prognosis
Prognosis stridor pada bayi baik bergantung pada etiologinya namun secara
garis besar baik. Umumnya tanpa tindakan atau intervensi bedah dapat
sembuh dalam 2 tahun kehidupan. Pada keadaan berat dapat menimbulkan
komplikasi dan memerlukan tindakan bedah seperti trakeostomi,
supraglotoplasti, dan lain-lain.10,16,17

Simpulan
Stridor merupakan salah satu bentuk noisy breathing yang merupakan
gejala dari suatu penyakit yang sering dijumpai pada bayi. Diagnosis
yang paling sering pada bayi dengan gejala stridor adalah laringomalasia/
laringotrakeomalasia, hiperplasia timus dan vascular ring. Pada laringo
ataupun laringotrakeomalasia dan hiperplasia timus, stridor dapat
menghilang seiring perjalanan usia sebelum 2 tahun. Namun dalam
perjalannya stridor dapat menyebabkan kelainan yang dapat mengganggu
tumbuh kembang bayi seperti problem pemberian nutrisi (minum atau
makan) yang mengakibatkan failure to thrive dan pneumonia aspirasi.
Tindakan yang harus dilakukan sambil menunggu proses perbaikan sesuai
perjalanan alamiahnya, maka perlu dilakukan penanganan nutrisi yang
komprehensif dengan menggunakan NGT/OGT sehingga kebutuhan nutrisi
baik jenis maupun jumlah kalori dapat tepenuhi. Pada laringo-trakeomalasia
berat dapat terjadi refluks laring-faring sehingga pemberian obat anti-refluks
dapat dipertimbangkan meskipun masih terdapat kontroversi. Tindakan
operasi supraglotoplasti merupakan alternatif terakhir apabila tindakan non-
bedah tidak menghasilkan luaran yang lebih baik. Dokter maupun dokter
spesialis anak dapat menangani kasus laringo-trakeomalasia secara tuntas
tetapi apabila kurang respons maka dapat dirujuk ke spesialis anak konsultan
respirologi, nutrisi metabolik atau kepada spesialis THT-KL (telinga hidung
tenggorok dan kepala leher).

Daftar pustaka
1. Abel RM, Bush A, Chitty LS, Harcout J, Nicholson AG. Congenital lung disease.
Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendig’s
disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: WB
Saunders; 2006. h.280-95.
2. IB Masters. Congenital airway lessions and lung disease. Pediatr Clin N Am.
2009;56:227-42.
3. Zoumalan R, Maddalozzo J, Holinger LD. Etiology of stridor in infants. Ann
Otol Rhinol Laryngol. 2007;116:329-34.

32 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Noisy Breathing pada Bayi. Apa yang Perlu Diketahui?

4. Ayari S, Aubertin G, Girschig H, van Den Abbeele T, Mondain M.


Pathophysiology and diagnostic approach of laryngomalacia in infants. Eur
Ann Otolaryngol Head Neck Dis. 2012;129:257-69.
5. Marcus CL, Brooks LJ, Draper KA, Gozal D, Halbower AC, Jones J, et al.
Diagnosis and management of childhood obstructive sleep apnea syndrome.
Pediatrics. 2012;130:576-84.
6. Rosen CL, Wang R, Taylor HG, Marcus CL, Katz ES, Paruthi S, et al. Utility of
symptoms to predict treatment outcome in obstructive sleep apnea syndrome.
Pediatrics. 2015;135:e662-71.
7. Sherrington CA, Crameri JA, Coleman LT, Sawyer SM. Stridor in infant. Eur
Respir J. 1999;14:717-9.
8. Fauroux B, Pigeot J, Polkey MI, Roger G, Boule M, Clement A, et al. Chronic
stridor caused by laryngomalacia in children. Work Breathing and effects of
noninvasive ventilatory assistance. Am J Respir Crit Care Med. 2001;164:1874-8.
9. Sathyamoorthy M, Lerman J, Lakhsminrusimha S, Feldman D. Inspiratory
stridor after tracheal intubation with a Microcuff & reg; tracheal tube in three
young infants. Anesthesiology. 2013;118:748-50
10. Ida JB, Thomson DM. Pediatric stridor. Otolaryngol Clin N Am. 2014;47:795-
819.
11. Durbin CG. Indications for and timing of tracheostomy. Respir Care.
2005;50:483-7.
12. Landry AM, Thompson DM. Laryngomalacia: Disease presentation, spectrum
and management. Int J Pediatr. 2011;120:99-103.
13. Venkatesan NN, Pine HS, Underbrink M. Laryngopharyngeal reflux disease
in children. Pediatr Clin N Am. 2013;60:865-78.
14. Hartl HH, Chada NK. A systematic review of laryngomalacia and acid reflux.
Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;147:619-26.
15. Faria J, Behar P. Medical and Surgical management of congenital laryngomalacia:
A case control study. Otolaryngol Head Neck Surg. 2014;1:1-7.
16. Preciado D, Zalzal G. A systematic review of supraglottoplasty outcomes. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;138:718-21.
17. Cheng J, Smith LP. Endoscopic surgical management of inspiratory stridor in
newborns and infants. Am J Otolaryngol Head Neck Med Surg. 2015;36:697-
700.
18. Thomson DM. Laryngomalacia: factors that influence disease severity
and outcomes of management. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg.
2010;18:564-70
19. Polgreen L, Stemer M, Dietz CA, Manivel JC, Petryk A. Thymic hyperplasia in a
child treated with growth hormone. Growth Hormone & IGF Res. 2007;17:41-6.
20. Sauter ER, Arensman RM, Falterman KW. Thymic enlargement in children.
Am Surg. 1991;57:21-3.
21. Ocal T, Turken A, Ciftci AO, Senocak ME, Tanyel FC, Buyukpamukcu N.
Thymic enlargement in childhood. Turk J Pediatr. 2000;42:298-303.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 33


Hidrokel dan Hernia: Bagaimana
Membedakannya ?
Ahmad Yani

Tujuan:
1. Mengetahui patogenesis hernia dan hidrokel
2. Mengetahui cara membedakan hernia dan hidrokel
3. Mengetahui saat operasi yang tepat

O
perasi hernia inguinal merupakan jenis operasi yang paling sering
dikerjakan oleh dokter spesialis bedah anak. Insidens hernia pada
anak dilaporkan antara 0,8-4,4%. Hernia Inguinal umumnya
dijumpai pada tahun pertama kehidupan anak, dengan puncaknya pada
bulan-bulan pertama. Insiden hernia inguinal didapatkan pada bayi prematur
adalah 16% sampai dengan 25%. Hal ini berhubungan dengan patensi
prosesus vaginalis. Laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan rasio 3:1,
kira-kira 60% terdapat di sebelah kanan, karena akibat terlambatnya testis
kanan turun dibandingkan testis kiri. Sekitar 11% dari pasien mempunyai
riwayat keluarga, dengan insidens 10%. Peningkatan tekanan intra-abdomen
dapat meningkatkan insidens hernia inguinal seperti penyakit fibrosis kistik,
hidrosefalus dengan pemasangan ventriculoperitoneal shunt, peritoneal
dialisis, cryptorchidism.

Patogenesis
Hernia inguinal dan hidrokel terjadi karena kegagalan penutupan prosesus
vaginalis peritoneum. Selama berkembangan fetus, testis terletak di bawah
ginjal dalam rongga peritoneum, Kemudian usia kehamilan 3 bulan
testis turun melalui cincin interna menyertakan prosesus vaginalis ini
bergerak turun masuk ke kanalis inguinalis menuju skrotum karena adanya
peningkatan tekanan intra-abdomen ketika terjadi kembalinya usus ke
rongga abdomen (proses rotasi usus), adanya kontraksi dari otot otot kanalis
inguinal dan adanya gubernakulum serta pengaruh hormonal. Proses
penutupan ini dimulai dari bagian atas cincin eksterna kemudian bagian

34 Kiat Membuat Anak Sehat, Tinggi, dan Cerdas


Hidrokel dan Hernia: Bagaimana Membedakannya ?

bawah cincin interna. Kegagalan proses penutupan ini menyebabkan hernia


inguinal (jika usus atau organ lain yang masuk ke dalam proses vaginalis ini)
atau hidrokel (hanya cairan rongga abdomen). Kanal Nuck pada perempuan
berhubungan dengan labio mayora. Proses penutupan prosesus vaginalis ini
80-100% terjadi ketika lahir.

Diagnosis
Hernia inguinal dan hidrokel ini umum dijumpai ketika orangtua sedang
memandikan atau selama pemeriksaan rutin dokter anak. Adanya riwayat
benjolan yang hilang timbul di inguinal, labium dan skrotum. Paling umum
terjadi jika adanya peningkatan tekanan intra-abdomen (menangis atau
mengedan). Hernia inkarserata akibat terperangkapnya usus dalam kantong
hernia. Insidens terjadinya inkarserta 12-17%. Bayi dan prematur merupakan
faktor risiko untuk terjadi hernia inkarserata, laki dan perempuan sama
banyaknya, Hernia inkarserta mengakibatkan terjadinya gejala muntah
distensi dan obstruksi usus. Jika tidak segera dioperasi akan terjadi gangguan
vaskular, disebut dengan hernia inguinal strangulata. Bila terjadi strangulata
dapat terjadi shok, darah dalam feses dan peritonitis, proses ini terjadi dalam
2 jam. Hernia inkarserata umumnya terjadi pada 6 bulan pertama, dan jarang
terjadi setelah usia 5 tahun. Sedangkan hidrokel merupakan kumpulan
cairan yang berada di tunika vaginalis mengelilingi testis. Hidrokel dapat
berupa communicant dan non-communicant. Hidrokel communicant karena
gravitasi akan makin membesar. Pada anak adanya masa di atas skrotum
atau di lipat paha yang bulat, tegang dan tidak nyeri, disebut juga hidrokel
of cord (funikokel).
Pemeriksaan fisis hernia dan hidrokel, dilakukan observasi adanya
benjolan atau asimetris di inguinal. Pada hernia dapat dilakukan test valsava
atau perabaan di spermatic cord setinggi tuberkulum pubikum berupa lapisan
yang tebal (silk glove sign) dibandingkan dengan sebelahnya. Sedangkan
pada hidrokel didapatkan massa kistik di skrotum megelilingi testis dan
dibuktikan dengan transluminasi. Palpasi dapat pula dilakukan dengan
meraba spermatic cord di atas hidrokel berupa lapisan tipis. Aspirasi tidak
pernah dilakukan untuk diagnosis,
Diagnosis hernia dan hidrokel dapat dibuat berdasarkan riwayat
penyakit pasien dan pemeriksaan fisis. Ultrasonografi (US) inguinal dapat
digunakan sebagai pemeriksaan penunjang membedakan hernia inguinal
dengan hidrokel. Keuntungan dari US cepat, tidak invasif dan tidak ada
komplikasinya, US digunakan pada kedua inguinal dengan akurasi 97%.
US dapat juga digunakan untuk menilai perioperative hernia inguinal kontra
lateral bila pada pemeriksaan fisis tidak teraba.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 35


Ahmad Yani

Waktu operasi
Hernia inguinal tidak dapat menutup spontan, tindakan bedah diperlukan
untuk menutup persisten prosesus vaginalis. Saat ini ahli bedah
merekomendasi untuk segera melakukan tindakan operasi setelah diagnosis
ditegakkan karena dapat mencegah terjadinya komplikasi dari hernia inguinal
berupa inkarserata dan strangulasi, serta makin amannya pembiusan pada
anak. Bila terjadi hernia inguinal inkarserta perlu dilakukan observasi ketat
sebelum definitiv operasi, sekitar 90–95% dapat tereduksi spontan, hanya 8%
memerlukan operasi. Tindakan operasi emergensi dilakukan bila tindakan
reduksi gagal. Hidrokel pada sejumlah anak (80-89%) dapat menutup spontan
dalam usia 1 tahun dan tindakan operasi diindikasikan bila gagal menutup
sampai usia 2 tahun, adanya ketidaknyaman, makin membesar hidokel dan
adanya infeksi sekunder. Prinsip dasar operasi hernia dan hidrokel adalah
ligasi tinggi prosesus vaginalis (kantong hernia). Tindakan pembedahan
dapat dilakukan dengan herniotomi (Ladd and Gross) atau laparoskopi.
Tindakan herniotomi mempunyai komplikasi berupa pembengkakan pada
skrotum, cedera vas deferens, rekurensi, iatrogenic undescended testicle,
testis atropi, dan cedera usus. Sedangkan dengan laparoskopi dapat menilai
hernia kontra lateral.

Simpulan
Hernia inguinal dan hidrokel mempunyai patogenesis yang sama, hernia
inguinalis isi kantong berupa usus atau organ abdomen lainnya sedangkan
hidrokel berisi cairan rongga abdomen. Secara klinis dapat dibedakan dari
anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Waktu tindakan
pada hernia segera setelah diagnosis ditegakkan sedanglan hidrokel dapat
ditunda, kecuali ada indikasi,

Daftar Pustaka
1. Fraser JD, Snyder CL. Inguinal hernias and hydroceles. Dalam: Holcomb GW,
Murphy PJ, penyunting. Ashcraf ’s pediatric surgery. 6th ed. Philadelphia:
Elsevier-Saunders; 2014.
2. Glick PL, Boulanger SC. Inguinal Hernias and Hydroceles. Dalam: Coran
AG Adzick NS, penyunting. Pediatric surgery. 7th ed. Philadelphia: Elservier-
Sauders; 2012.
3. Medscape, Pediatric hydrocele and hernia surgery treatment & management.
Diunduh dari: http://www emedicine.medcape.com/article/1015147-treatment
Diakses pada tanggal 16 januari 2017.
4. Medscape. Pediatric hydrocele and hernia surgery, Diunduh dari: http://
emedicine, medcape,com/article/1015147-overview, Diakses pada tanggal 15
januari 2017.

36 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Picky Eater: Dokter Harus Bagaimana?
Yoga Devaera

Tujuan:
1. Mengidentifikasi keluhan picky eater dari orangtua sebagai masalah atau bukan
2. Memahami perkembangan dan faktor yang mempengaruhi selera makan anak (food
preference)
3. Memahami pendekatan klinis masalah makan selektif

M
asalah makan merupakan satu hal yang sering dikeluhkan
orangtua di berbagai belahan dunia. Salah satu keluhan yang
sering disampaikan orangtua ialah anaknya sering memilih-
milih jenis makanan sehingga variasi makanan menjadi terbatas atau picky
eater. Istilah lain dalam literatur adalah fussy, faddy or choosy eating. Dalam
kepustakaan tidak ada kesepakatan tentang definisi picky eater. Penelitian-
penelitian yang ada menggunakan kriteria berbeda untuk mendefinisikan
picky eater. Prevalens picky eater menjadi sangat bervariasi sesuai dengan
kriteria yang digunakan mulai dari 5,6% pada anak usia 4 tahun di Belanda
hingga 59% di Tiongkok pada anak usia 7-12 tahun. Kriteria yang digunakan
dapat berupa satu pertanyaan sederhana seperti apakah anak anda memilih-
milih dalam makan hingga bagian dari kuesioner yang kompleks seperti
kriteria derajat pemilihan makanan (high fussiness/high slowness in eating/
high satiety responsiveness/low food enjoyment/low food responsiveness) dalam
children’s eating behaviour questionnaire (CEBQ).1 Walaupun istilah picky
eater sering digunakan namun istilah ini tidak dikenal dalam international
statistical classification of diseases and related health problems, 10th revision
(ICD 10) maupun diagnostic and statistical manual of mental disorders
fifth edition (DSM-V). Dalam kedua pedoman tersebut terminologi yang
digunakan lebih ke arah kelainan yang serius yang mengakibatkan gangguan
gizi dan pertumbuhan atau emosional.2 Dalam ICD 10 digunakan istilah
feeding disorder of infancy and childhood (F98.2) yang meliputi masalah
penolakan makan (food refusal) atau keterbatasan variasi makan ekstrem
yang bukan disebabkan ketiadaan makanan atau masalah pengasuhan atau
kelainan organik .3

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIII 37


Yoga Devaera

Dalam menghadapi orangtua yang mengeluhkan picky eater, seorang


dokter anak perlu menelusuri lebih lanjut apakah keluhan tersebut dapat
merupakan persepsi orangtua yang salah atau merupakan bagian dari
masalah makan yang serius. Masalah makan sendiri merupakan suatu
spektrum seperti yang tercantum dalam Gambar 1.
Ada istilah lain yang mirip dengan picky eater yaitu food neophobia
dan selective eating disorder. Food neophobia merupakan suatu keadaan
yang dianggap normal dalam perkembangan anak. Food neophobia ialah
keengganan untuk mencoba atau perilaku menghindar terhadap makanan
baru. Hal ini berbeda dengan picky eater yang juga menolak makanan
yang familiar. Sedangkan selective eating disorder merupakan bentuk
ekstrim kesulitan makan, biasanya variasi makanan sangat terbatas yang
mengakibatkan masalah gizi dan gangguan psikososial.4 Dalam DSM
V hal ini dimasukkan ke dalam avoidant/restrictive food intake disorder.
Berbeda dengan anoreksia nervosa dan bulimia, pasien dengan ARFID
tidak mempunyai keinginan untuk mendapatkan body image atau citra
tubuh tertentu.5

Gambar 1. Piramida masalah makan pada anak2

Pembentukan selera (food preference)


Selera (food preference) dan pola makan dibentuk sejak usia dini. Masa
awal kehidupan termasuk saat dalam kandungan merupakan periode
sensitif pembentukan selera dan kebiasaan makan yang sehat yang akan
mempengaruhi kesehatan selanjutnya. Pembentukan selera merupakan
interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Penelitian pada anak
dan remaja kembar secara konsisten menunjukkan kembar monozigot
mempunyai kemiripan selera yang lebih tinggi dibandingkan kembar
dizigot. Faktor genetik memegang peranan yang cukup besar, namun hal ini
dapat dimodifikasi dengan pengaruh lingkungan. Kepekaan terhadap rasa

38 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Picky Eater: Dokter Harus Bagaimana?

berhubungan dengan reseptor di membran sel (G-coupled protein receptor)


yang dikode oleh gen TAS1R dan TAS2R. Polimorfisme pada gen TAS1R
dan TAS2R menentukan varians fungsional persepsi rasa manis, pahit
dan umami. Kepadatan papil pengecap di lidah juga menentukan derajat
sensitivitas seseorang terhadap rasa7,8
Dalam kandungan janin menelan dan menghirup cairan amnion.
Dalam cairan amnion terlarut zat gizi dan juga tastant dan flavor dari
makanan dan lingkungan ibu. Sistem gustatory dan olfactory tertentuk
trimester 1 kehamilan. Papil pengecap di lidah (fungiform, foliate dan
circumvalata) terbentuk pada minggu minggu ke 10 dan sinaptogenesis sel
sel pengecap meningkat pembentukannya pada minggu ke 8-13. Di akhir
kehamilan fungsi, jumlah dan distribusi papil pengecap di lidah sama dengan
yang ada pada anak dan dewasa. Demikian pula dengan sistem olfaktorius
telah mencapai maturasi pada minggu ke 23-36. Hal ini memungkinkan bayi
merasakan cairan amnion sesuai jenis makanan ibu. Gerakan menelan cairan
ketuban terlihat lebih sering bila cairan ketuban diinjeksi dengan sesuatu
yang manis dan sebaliknya gerakan terhenti saat diinjeksikan sesuatu yang
pahit.6
Saat lahir bayi dibekali kecenderungan terhadap rasa manis dan
menolak rasa pahit. Penolakan rasa pahit dan asam akan berkurang seiring
bertambahnya usia. Nenek moyang kita bertahan hidup dengan kemampuan
membedakan makanan yang diperlukan tubuh dan makanan yang berbahaya.
Rasa manis merupakan petunjuk kandungan kalori yang tinggi, rasa asin
berhubungan dengan mineral yang dibutuhkan dan umami terhadap
kandungan protein, rasa pahit menandai adanya racun, asam berhubungan
dengan makanan basi. Food neophobia umumnya timbul di usia 2 tahun
dan menurun setelah usia 6 tahun. Saat balita sudah mulai mengeksplorasi
lingkungan, penolakan terhadap makanan baru akan melindungi terhadap
makanan berbahaya.4,6
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pembentukan selera anak
ialah kebiasaan makan orangtua, pola pengasuhan, pengenalan dan pajanan
berulang berbagai jenis makanan. Orangtua terutama ibu yang mempunyai
kebiasaan makan terbatas akan menyajikan jenis makanan yang terbatas
pula. Perilaku memaksa baik untuk makan ataupun mencoba makanan
baru berhubungan dengan penolakan makan pada anak. Sedangkan
penyajian makanan baru tanpa tekanan pada anak untuk makan-makanan
tersebut mempunyai korelasi negatif dengan neophobia. Penyajian berulang
meningkatkan kemauan anak untuk makan makanan tersebut.9
Pada masa remaja dan dewasa pemilihan makan lebih kompleks dan
dipengaruhi oleh banyak hal termasuk sosial ekonomi dan status kesehatan
seperti tercantum dalam Gambar 2.6

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 39


Yoga Devaera

Gambar 2. Faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan pada remaja dan dewasa

Pendekatan klinis
Seorang anak yang memilih makanan secara selektif dapat dikelompokkan
menjadi persepsi salah orangtua (food neophobia) hingga selektif ekstrim yang
merupakan bagian gangguan perilaku ataupun organik. Saat menghadapi
keluhan picky eater dari orangtua yang pertama dilakukan ialah melakukan
anamnesis terinci tentang kebiasaan makan anak, perlu dibedakan apakah
hanya makanan baru saja yang dihindari oleh anak atau termasuk juga
makanan yang sudah dikenalnya, serta jenis makanan apa saja yang dapat
diterima anak, adakah kaitannya dengan tekstur, warna atau kelompok
makanan tertentu. Gejala lain yang yang menyertai juga perlu diperhatikan
seperti tersedak, muntah atau diare, keterlambatan perkembangan dan
sebagainya. Tabel 1 menunjukkan red flag yang harus diperhatikan dan
menunjukkan masalah yang lebih serius. Pemeriksaan fisik dan antropometri
merupakan hal yang penting untuk menyingkirkan kelainan organik dan
gejala malnutrisi. Pemeriksaan laboratorium dikerjakan atas indikasi.2,10

Tabel 1. Red flag pada anak dengan masalah makan2


Organic red flag Behavioural red flag
Disfagia Food fixation
Aspirasi Noxiuos feeding
Menangis saat makan yang mengindikasikan nyeri Stop makan tiba tiba setelah suatu kejadian
Diare dan muntah Anticipatory gagging
Keterlambatan perkembangan Gagal tumbuh
Gangguan kardio-respirasi kronik
Gagal tumbuh

40 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Picky Eater: Dokter Harus Bagaimana?

Food neopbobia merupakan fase normal perkembangan anak, orangtua


perlu dijelaskan bahwa ini akan menghilang seiring dengan pengenalan
berulang makanan baru tanpa paksaan. Tawarkan anak untuk mencoba
hingga tiga kali, bila masih menolak kenalkan kembali beberapa hari
kemudian. Hal ini akan membutuhkan hingga 8-15 kali pengulangan
sebelum anak dapat menerima.2,10 Anak dengan picky eater mempunyai
variasi makan lebih terbatas tapi masih dalam tahap ringan dan biasanya
mempunyai status gizi baik, pajanan berulang tidak akan menghilangkan
sifat pemilihnya.4 Pada anak seperti ini yang menjadi masalah ialah konflik
yang terjadi saat makan antara orangtua dan anak. Masalah seperti gangguan
cemas, depresi dan agresivitas lebih tinggi pada anak dengan picky eater.
Namun hal ini juga bisa disebabkan karena perilaku yang bermasalah
menyebabkan orangtua menjalankan pola pemberian makan yang mengikuti
kemauan anak, perilaku ini dan pola pengasuhannya secara umum akan
menimbulkan masalah perilaku dalam jangka panjang.2
Beberapa trik dapat dilakukan orangtua untuk mengurangi selektivitas
anak antara lain: menyembunyikan sayuran dalam makanan lain,
menggunakan saos untuk meningkatkan rasa, menyajikan makanan dengan
cara yang menarik, menjadi role model, menyertakan anak dalam persiapan
makan dan lain-lain. Pada anak dengan picky eater membuat suasana makan
menjadi menyenangkan adalah kunci utama, dengan tetap memperhatikan
feeding rules.2,10,11
Pada anak dengan masalah makan selektif berat, misalnya anak hanya
mau kurang dari 10 jenis makanan, diperlukan terapi khusus yang sistematik
seperti food chaining. Anak dengan masalah organik atau berkebutuhan
khusus serperti autis biasanya tidak respon dengan terapi dan memerlukan
tim multidiplin serta dukungan nutrisi khusus karena berisiko malnutrisi
dan defisiensi mikronutrien tertentu.2

Simpulan
Anak yang selektif/memilih jenis makan merupakan hal sering dikhawatirkan
orangtua. Dokter anak perlu melakukan investigasi apakah hal tersebut
merupakan bagian perkembangan normal (food neophobia), masalah makan
selektif ringan atau bahkan masalah selektif makan berat yang berhubungan
dengan kelainan organik/perilaku. Penerapan feeding rules dan beberapa
nasehat sederhana dapat diterapkan pada kasus ringan sedangkan pada
kasus berat perlu pendekatan multidisiplin.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 41


Yoga Devaera

Daftar pustaka
1. Taylor CM, Wernimont SM, Northstone K, Emmett PM. Picky/fussy eating
in children: Review of definitions, assessment, prevalence and dietary intakes.
Appetite. 2015;95:349-59
2. Kerzner B, Milano K, MacLean WC, Berall G, Stuart S, Chatoor I. A Practical
Approach to Classifying and Managing Feeding Difficulties. Pediatrics.
2015;135:344-51
3. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems
10th. Diunduh dari: http://apps.who.int/classifications/icd10/browse/2016/en#/
F98 pada tanggal 11 januari 2017
4. T Dovey, Staples PA, Gibson EL, Halford JCG. Food neophobia and ‘picky/
fussy’ eating in children: A review. Appetite. 2008;50:181–93
5. Fisher MM, Rosen DS, Ornstein RM, Mammel KA, Katzman DK, Rome ES,
dkk. Characteristics of avoidant/restrictive food Intake disorder in children
and adolescents: A “New Disorder” in DSM-5. J Adolesc Health. 2014;55:49-52
6. Ventura AK, Worobey J. Early Influences on the Development of Food
Preferences. Curr Biol.2013;23:R401–408
7. Cooke LJ, Haworth CMA, Wardle J. Genetic and environmental influences on
children’s food neophobia. Am J Clin Nutr. 2007;86:428 –33
8. Smith AD, Fildes J, Cooke LJ, Herle M, Shakeshaft N Plomin R, dkk. Genetic
and environmental influences on food preferences in adolescence. Am J Clin
Nutr. 2016;104:446–53
9. Kaar JL, Shapiro ALB, Fell DM, Johnson SL. Parental feeding practices, food
neophobia, and child food preferences: What combination of factors results in
children eating a variety of foods? Food Qual Prefer. 2016;50:57–64
10. Ong C, Phuah KY, Salazar E, How CH. Managing the ‘picky eater’ dilemma.
Singapore Med J. 2014; 55: 184-90
11. van der Horst K. Overcoming picky eating. Eating enjoyment as a central aspect
of children’s eating behaviors. Appetite.2012;58:567–574

42 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Prolonged Jaundice: Bagaimana
selanjutnya?
Hanifah Oswari

Tujuan:
1. Mengetahui definisi kolestasis
2. Mengetahui terapi standard kolestasis
3. Mengetahui atresia bilier
4. Mengetahui diagnosis yang sering dan mudah diterapi
5. Mengetahui kapan saat merujuk pasien

K
etika Anda sedang berpraktek, seorang ibu datang membawa bayinya
berusia 3 minggu. Anda melihat bayi itu kuning dan sewaktu Anda
memeriksa darah bayi tersebut ternyata hasil bilirubin total bayi
bayi 8,5 mg/dL dan bilirubin direk 3,8 mg/dL. Apa yang perlu dilakukan
selanjutnya? Bayi yang mengalami kuning sebelum usia 2 minggu umumnya
bersifat fisiologis (hiperbilirubinemia indirek) dan akan menghilang pada
usia 14 hari, tetapi 2-15% bayi baru lahir tetap kuning pada usia 2 minggu.1
Bayi kuning setelah usia 2 minggu dapat terjadi karena bayi mengalami
kolestasis. Bila bayi terlihat kuning pada usia 2 minggu atau lebih, fraksi
bilirubin perlu diperiksa, yaitu bilirubin total dan bilirubin direk untuk
menentukan apakah bayi mengalami kolestasis. Tujuan artikel ini adalah
membahas tindakan yang perlu dilakukan setelah mengetahui bayi dengan
kolestasis, memberikan terapi yang diperlukan dan merujuk pada saat yang
tepat.

Memberi terapi kolestasis secara umum


Seorang bayi yang terlihat kuning dikatakan mengalami kolestasis bila kadar
bilirubin terkonjugasi (direk) > 1,0 mg/dL pada kadar bilirubin total serum
< 5,0 mg/dL, atau kadar bilirubin direk > 20% dari bilirubin total bila kadar
bilirubin total > 5,0 mg/dL.2 Bayi dalam ilustrasi kasus di atas sesuai definisi
kolestasis, sehingga diagnosis kerja kolestasis dapat ditegakkan. Perlu diingat,
bila ditemukan peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi (kolestasis), bayi
perlu dianggap mengalami keadaan abnormal dan bayi perlu diperiksa

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIII 43


Hanifah Oswari

lebih lanjut untuk mencari penyebab kolestasis. Kolestasis terjadi karena


terganggunya aliran empedu dan/atau ekskresinya. Kolestasis neonatal
mengenai kurang lebih 1: 2500 bayi.3 Etiologi kolestasis perlu dicari setelah
bayi diketahui mengalami kolestasis. Hal yang pertama yang perlu dilakukan
setelah mengonfirmasi bayi mengalami kolestasis adalah memberikan terapi
umum untuk kolestasis.

Terapi kolestasis standar adalah sebagai berikut.


1. Asam ursodeoksikolat: berikan dosis 10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis.
Umumnya gunakan 30 mg/kg/hari, dibagi menjadi 3 dosis. Untuk
mudahnya berikan 10 mg/kg/kali, diberikan 3 kali sehari.
2. Vitamin yang larut dalam lemak. Terapi ini penting dilakukan karena
pada kolestasis karena kadar garam/asam empedu yang masuk ke dalam
duodenum terganggu, sehingga emulsifikasi lemak kurang optimal.
Akibatnya absorpsi lemak akan terganggu, termasuk absorpsi vitamin
yang larut dalam lemak. Untuk mencegah defisiensi vitamin yang larut
dalam lemak, maka bayi perlu diberikan vitamin-vitamin tersebut.
Vitamin yang larut dalam lemak tersebut dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 1. Suplementasi vitamin yang larut dalam lemak untuk pasien kolestasis.4,5
Vitamin Dosis Gejala toksis
A 5000 IU/hari PO Hepatotoksitas, pseudotumor serebri,
dermatitis
D (kolekalsiferol) 800 IU/hari atau 25-hydroxyvitamin Hiperkalemia, letargi, aritmia jantung,
D3 50 g/kg/hari PO nefrokalsinosis
E 15-25 IU/kg/hari PO
K1 2-5 mg/kg IM tiap 4 minggu

Dari bermacam-macam jenis terapi di atas, yang perlu segera diberikan


dan jangan ditunda adalah vitamin K1. Keterlambatan pemberian vitamin K1
dapat berakibat fatal yaitu perdarahan intrakranial.6-9 Pemberian vitamin K1
secara intramuskular lebih dianjurkan mengingat efisiensi dan realibilitasnya
yang lebih baik.10,11 Pemberian vitamin K1 secara oral absorpsinya akan
bergantung asam/garam empedu sehingga kadar vitamin K1 dalam darah
belum tentu cukup. Alangkah baiknya bila dokter anak menyediakan injeksi
vitamin K1 di tempat praktek atau di rumah sakit tempat berpraktek. Terapi
lain di atas dapat menyusul diberikan yaitu asam ursodeoksikolat dan vitamin
larut dalam lemak lainnya.

Hal-hal yang perlu dilakukan setelah ditentukan


adanya kolestasis
Setelah bayi dikonfirmasi mengalami kolestasis, maka diagnosis penyebab

44 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Prolonged Jaundice: Bagaimana selanjutnya?

kolestasis perlu dicari dan terapi spesifik diberikan untuk diagnosis etiologi
tersebut. Berikut ini pembahasan mengenai hal tersebut:

Singkirkan kemungkinan atresia bilier


Terdapat berbagai penyebab kolestasis neonatal, tetapi hanya satu penyakit
yang perlu diwaspadai dan perlu cepat diketahui yaitu atresia bilier.
Atresia bilier (AB) adalah suatu penyakit yang disebabkan kerusakan
progresif saluran empedu ekstrahepatik, sehingga dengan cepat akan terjadi
kerusakan hati yang berat, bayi menjadi sirosis bilier. Terapi atresia bilier
yaitu hepatoportoenterostomi (Kasai) perlu dilakukan secepatnya agar hati
dapat dicegah untuk mengalami sirosis bilier.12
Pada usia 3 bulan, hati bayi dengan AB telah dapat mengalami sirosis
bilier. Bayi perlu didiagnosis cepat sebelum usia 2 bulan, sebelum terjadi
sirosis bilier, agar prosedur Kasai (portoenterostomi) dapat dilakukan dan
memperbaiki kerusakan hati. Secara klinis akan terlihat BAB yang tadinya
dempul menjadi kuning atau hijau kembali. Untuk dapat membuat diagnosis
atresia bilier yang cepat, kewaspadaan terhadap kemungkinan bayi yang
mengalami kolestasis mengalami atresia bilier perlu ditingkatkan.
Hal yang penting, tetapi kadang-kadang masih dilupakan adalah
menanyakan warna feses bayi dengan kolestasis. Lebih baik lagi bila Anda
sendiri meminta ibu mengumpulkan feses 3 porsi ( dalam 3 periode masing-
masing 8 jam) dan melihat sendiri feses yang dikumpulkan. Bila warna feses
seluruhnya dempul, maka perlu dipikirkan kemungkinan besar diagnosisnya
atresia bilier. Apalagi bila ditemukan kadar gamma glutamyl transferase
(GGT) di atas 250 mg/dL.13 Bila menemukan bayi dengan keadaan ini,
sebaiknya bayi dirujuk secepat mungkin. Bayi dengan keadaan ini biasanya
akan segera dilakukan biopsi hati. Bila belum terjadi sirosis hati, maka
prosedur portoenterotomi (Kasai) akan dilakukan untuk menolong bayi.
Namun demikian, bayi dipersiapkan untuk transplantasi hati bila sirosis
bilier telah terjadi.

Mencari diagnosis yang sering dijumpai dan mudah diterapi


Bila feses tidak berwarna dempul, maka masih ada waktu untuk memeriksa
penyebab kolestasis yang lain, yaitu sepsis, infeksi saluran kemih, dan
hipotiroid. Umumnya bayi dengan sepsis atau post-sepsis dapat mengalami
atau masih mengalami kuning. Bayi yang sedang mengalami sepsis dapat
diberikan terapi antibiotik yang sesuai. Bila sepsis telah sembuh tetapi bayi
masih mengalami kolestasis, bayi tidak memerlukan terapi antibiotik tetapi
dapat diberikan terapi standar untuk kolestasis. Walaupun telah diterapi,
keadaan ini dapat berlangsung berbulan-bulan. Kuncinya adalah keadaan
kolestasis mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, yaitu bila kadar
bilirubin terus menurun terus saat kontrol berikutnya.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 45


Hanifah Oswari

Bayi dengan infeksi saluran kemih (ISK) seringkali gejalanya hanya


kuning yang memanjang, dapat berupa peningkatan bilirubin indirek
maupun direk (kolestasis). Untuk menegakkan ISK perlu diminta
pemeriksaan kultur urin. Bila akan mengambil sampel urin perlu
diperhatikan cara mengumpulkan urin. Daerah kemaluan sekitar uretra tidak
boleh dibersihkan dengan sabun, cukup dengan air bersih dan matang dan
jangan terkontaminasi saat penampungan urinnya. Bila ditemukan bakteri
dengan jumlah lebih dari 100.000 koloni/L, maka bayi dianggap mengalami
infeksi saluran kemih. Bayi perlu diterapi dengan antibiotik yang sesuai,
selain terapi standar untuk kolestasis. Bila ISK telah diterapi dengan baik,
maka umumnya keadaan kolestasis akan membaik dari waktu ke waktu.
Bayi baru lahir umumnya saat ini telah diperiksa rutin darahnya
untuk skrining TSHs. Perhatikan bayi yang kuning tersebut apakah sudah
diperiksa kadar TSHs atau belum. Bila belum dilakukan, pemeriksaan fungsi
tiroid (TSHs dan FT4) diperlukan untuk mendeteksi hipotiroid yang dapat
menimbulkan kolestasis.2 Bila sesuai dengan hipotiroid, maka bayi perlu
dirujuk ke dokter anak subspesialis endokrinologi untuk terapi hormon tiroid
selanjutnya. Tata laksana lengkap kolestasis dapat dilihat pada Gambar 1.

Melakukan terapi spesifik


Walaupun semua bayi yang mengalami kolestasis telah mendapat terapi
standar untuk kolestasis, bayi tetap perlu diterapi untuk penyebab kausalnya.
Bayi dengan atresia bilier memerlukan prosedur Kasai bila belum terlambat.
Bila telah terjadi sirosis bilier, bayi dipersiapkan untuk langsung dilakukan
transplantasi hati tanpa melalui prosedur Kasai. Terapi antibiotik yang
adekuat akan menghilangkan kolestasis pada bayi yang mengalami
kolestasis karena sepsis. Antibiotik juga diperlukan pada ISK. Sedangkan
pada hipotiroid, pemberian hormon tiroid akan mempercepat hilangnya
kolestasis.

Kapan bayi perlu dirujuk?


Bayi kolestasis dengan BAB dempul perlu dirujuk secepat mungkin untuk
didiagnosis pasti sebagai atresia bilier atau bukan, dan kemungkinan akan
dilakukan prosedur Kasai. Bayi yang dicurigai mengalami atresia bilier
umumnya akan menjalani biopsi hati. Dari biopsi hati, akan diketahui
apakah hati bayi telah mengalami sirosis hati. Dokter bedah anak akan
melakukan prosedur Kasai pada bayi yang belum mengalami sirosis bilier.
Bila sebaliknya, yaitu telah terjadi sirosis bilier, maka bayi perlu disiapkan
untuk dilakukan transplantasi hati. Secara umum, prosedur Kasai dilakukan
sebelum bayi berusia 2 bulan agar belum terjadi sirosis. Pada beberapa bayi

46 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Prolonged Jaundice: Bagaimana selanjutnya?

Gambar 1. Algoritma tatalaksana kolestasis untuk bayi


Gambar 1. Algoritma tatalaksana kolestasis untuk bayi

masih mungkin dilakukan prosedur Kasai setelah usia 2 bulan asalkan biopsi
hati belum menunjukkan adanya sirosis hati.
Bila bukan atresia bilier, bayi perlu dicari penyebabnya misalnya sepsis
atau post-sepsis, ISK, atau hipotiroid. Terapi untuk penyakit dasarnya
dapat dilakukan dan dinilai dalam 2 minggu apakah terdapat perbaikan.
Bila bayi mengalami perbaikan, terapi spesifik dan terapi standar kolestasis
dapat dilanjutkan sampai bayi tidak mengalami kolestasis. Bila bayi tidak
menunjukkan perbaikan, bayi perlu dirujuk ke dokter anak subspesialis
Gastroenterohepatologi untuk penatalaksanaan selanjutnya.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 47


Hanifah Oswari

Simpulan
Bayi kuning yang berusia di atas 2 minggu perlu ditentukan apakah
mengalami kolestasis atau bukan. Selanjutnya, bayi dengan kolestasis perlu
segera diberikan terapi standar kolestasis. Terapi standar kolestasis adalah
pemberiaan asam ursodeoksikolat dan vitamin yang larut dalam lemak. Dari
semua terapi ini, pemberian vitamin K1 yang tidak boleh ditunda karena bila
ditunda dapat menyebabkan perdarahan intrakranial yang fatal. Bayi dengan
kecurigaan atresia bilier secepatnya perlu dirujuk. Bila tidak ada kecurigaan
atresia bilier, pencarian diagnosis etiologi tetap perlu dilakukan terutama
untuk diagnosis yang mudah dicari dan mudah diterapi. Terapi spesifik selain
terapi standar kolestasis perlu diberikan sesuai diagnosis etiologi kolestasis.
Terapi spesifik ini diharapkan akan memperbaiki keadaan kolestasis. Bila
tidak membaik dalam 2 minggu, sebaiknya bayi dirujuk ke dokter anak
subspesialis Gastroenterohepatologi.

Daftar Pustaka
1. Kelly DA, Stanton A. Jaundice in babies: implications for community screening
for biliary atresia. BMJ. 1995;310:1172-3.
2. Moyer V, Freese DK, Whitington PF, et al. Guideline for the evaluation of
cholestatic jaundice in infants: recommendations of the North American
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2004;39:115-28.
3. Danks DM, Smith AL. Hepatitis syndrome in infancy--an epidemiological
survey with 10 year follow up. Arch Dis Child. 1985;60:1204.
4. De Bruyne R, Van Biervliet S, Vande Velde S, Van Winckel M. Clinical practice:
neonatal cholestasis. Eur J Pediatr. 2011;170:279-84.
5. Venigalla S, Gourley GR. Neonatal cholestasis. Semin Perinatol. 2004;28:348-55.
6. Baudesson de Chanville A, Oudyi M, Bresson V, et al. [Vitamin K deficiency
bleeding: a case secondary to transient neonatal cholestasis]. Arch Pediatr.
2013;20:503-6.
7. Miyao M, Abiru H, Ozeki M, et al. Subdural hemorrhage: A unique case
involving secondary vitamin K deficiency bleeding due to biliary atresia.
Forensic Sci Int. 2012;221:e25-9.
8. Ngo B, Van Pelt K, Labarque V, et al. Late vitamin K deficiency bleeding leading
to a diagnosis of cystic fibrosis: a case report. Acta Clin Belg. 2011;66:142-3.
9. Shearer MJ. Vitamin K deficiency bleeding (VKDB) in early infancy. Blood
Rev. 2009;23:49-59.
10. Mihatsch WA, Braegger C, Bronsky J, et al. Prevention of Vitamin K Deficiency
Bleeding in Newborn Infants: A Position Paper by the ESPGHAN Committee
on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2016;63:123-9.
11. Witt M, Kvist N, Jorgensen MH, et al. Prophylactic Dosing of Vitamin K to
Prevent Bleeding. Pediatrics. 2016;137.

48 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Prolonged Jaundice: Bagaimana selanjutnya?

12. Raval MV, Dzakovic A, Bentrem DJ, et al. Trends in age for hepatoportoenterostomy
in the United States. Surgery. 2010;148:785-91.
13. Rendon-Macias ME, Villasis-Keever MA, Castaneda-Mucino G, Sandoval-Mex
AM. Improvement in accuracy of gamma-glutamyl transferase for differential
diagnosis of biliary atresia by correlation with age. Turk J Pediatr. 2008;50:253-9.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 49


Memahami dan Mengatasi Kesulitan
Belajar pada Anak
Tjhin Wiguna

Tujuan:
1. Memahami makna kesulitan belajar
2. Memahami latar belakang kesulitan belajar
3. Memahami pendekatan tata laksana kesulitan belajar pada anak

K
emampuan anak untuk belajar merupakan suatu proses yang
kompleks serta membutuhkan harmonisasi antara perkembangan
otak dan fungsi tubuh yang optimal serta stimulasi yang
berkesinambungan. Selain itu, peran serta aktif anak diperlukan dalam
proses belajar tersebut sehingga akhirnya anak mampu untuk menguasai
keterampilan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor berikut berperan terhadap kemampuan
belajar seorang anak: (1) kematangan dan keutuhan dari struktur organ-
organ, termasuk otak besar, otak kecil serta berbagai sistem tubuh lainnya
seperti sistem indera, motorik halus dan kasar; (2) stimulasi yang optimal dan
berkesinambungan dari lingkungan, termasuk lingkungan rumah, sekolah
dan lingkungan lainnya; (3) peran aktif anak untuk mengolah setiap asupan
yang diterimanya, termasuk motivasi dan minat belajar anak.
Ketidakselarasan faktor-faktor di atas dapat memicu suatu kondisi
yang disebut sebagai kesulitan belajar (learning difficulties) serta gangguan
belajar (learning disorder). Kesulitan belajar merupakan istilah umum yang
menggambarkan bahwa anak mengalami masalah dalam proses belajarnya.
Kondisi ini merupa-kan masalah yang serius dan seringkali membuat anak
dan orangtua menjadi khawatir. Di samping itu, keluhan ‘sulit belajar’ juga
merupakan salah satu keluhan tersering yang membuat orangtua membawa
anaknya datang berkonsultasi. Anak dengan kesulitan belajar mengalami
masalah dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di dalam kelas dan tidak
jarang membuat mereka menjadi takut, cemas bahkan menolak saat harus
berangkat ke sekolah. The Individuals with Disabilities Education Acts
(IDEA)1 pada tahun 2004 memberikan penjelasan bahwa kesulitan belajar

50 Kiat Membuat Anak Sehat, Tinggi, dan Cerdas


Memahami dan Mengatasi Kesulitan Belajar pada Anak

adalah suatu kondisi yang membuat anak tidak mampu mencapai prestasi
akademik yang setara dengan tingkat intelektual yang dimilikinya. Kondisi
ini membuat anak seringkali gagal baik dalam satu mata ajar tertentu atau
sebagian besar mata ajar yang harus diikutinya jika dibandingkan dengan
teman-teman sekelasnya.
Dalam observasi klinis sehari-hari, seringkali dijumpai anak yang
mengalami kesulitan dalam membaca, menulis, berhitung atau masalah
belajar lainnya namun tidak serta merta mereka dikatakan mengalami
kesulitan belajar. Anak dikatakan mengalami kesulitan belajar jika kondisi
tersebut disertai dengan beberapa tanda lainnya serta bersifat menetap
sampai ada intervensi yang mengatasinya. Tanda-tanda kesulitan belajar
sangat bervariasi dan dapat berbeda antara satu anak dengan anak lainnya.
Beberapa tanda yang seringkali digunakan untuk menggambarkan anak
dengan kesulitan belajar adalah kesulitan membaca dan/menulis, masalah
dengan keterampilan berhitung (matematika), kesulitan dalam memori
kerja, kesulitan memusatkan perhatian, kesulitan mengikuti instruksi
verbal dan non-verbal, koordinasi motorik yang terganggu, kesulitan
untuk memahami konsep waktu, ketidakmampuan dalam organisasi diri.
Di samping itu juga dikenal istilah lain yaitu gangguan belajar spesifik
atau specific learning disorder. Berdasarkan Diagnostic Statistical Manual
for Mental Disorder 5 (DSM 5)2, gangguan belajar spesifik dikelompokan
sebagai gangguan neurodevelopmental yang meliputi gangguan membaca
(disleksia), gangguan berhitung (diskalkulia), gangguan menulis (disgrafia)
dan gangguan koordinasi motorik (dispraksia). Gangguan-gangguan ini
dapat menimbulkan kesulitan belajar pada anak sehingga mereka seringkali
mengalami kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab yang diberikan di
sekolah. Semua kondisi tersebut tentunya dapat membuat anak tidak mampu
bersaing dengan teman-teman sekelasnya dan membuat prestasi akademik
mereka jauh di bawah kapasitas intelektual yang ada.3,4
Dengan demikian, kesulitan belajar dapat dikatakan memiliki berbagai
latar belakang, dari masalah fisik sampai masalah psikososial. Masalah fisik
yang sering menjadi latar belakang kesulitan belajar adalah: (1) kelainan
otak akibat penyakit tertentu, seperti palsi serebral, dsb; (2) kelainan sistem
indera, seperti adanya rabun dekat, tuli, dsb; (3) penyakit fisik kronik seperti
diabetes tipe 1, keganasan, dsb; (4) kelainan fungsional seperti koordinasi
motorik halus dan kasar yang tidak optimal. Permasalahan lainnya yang
dapat menimbulkan kesulitan belajar adalah masalah atau gangguan emosi
dan perilaku pada anak seperti; (1) gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas (GPPH); (2) gangguan tingkah laku disruptif; (3) gangguan
mood, seperti gangguan depresi, gangguan bipolar; (4) gangguan cemas,
termasuk cemas perpisahan; (5) gangguan memori kerja. Selain itu, kondisi
kehidupan keluarga yang tidak menentu serta adanya kekerasan dalam

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 51


Tjhin Wiguna

rumah tangga juga memberikan kontribusi negatif terhadap timbulnya


kesulitan belajar pada anak.

Deteksi dini kesulitan belajar pada anak5,6


Kesulitan belajar pada umumnya terdeteksi saat anak duduk di sekolah
dasar (SD), namun beberapa tanda dan gejala sebenarnya sudah muncul saat
anak berada pada usia pra-sekolah tetapi tidak disadari oleh orangtua atau
pengasuhnya. Tanda-tanda yang perlu diwaspadai terhadap kemungkinan
terjadinya kesulitan belajar pada anak di usia pra-sekolah adalah:
1. Keterlambatan bicara jika dibandingkan dengan anak seusianya.
2. Adanya kesulitan dalam pengucapan kata.
3. Kemampuan penguasaan jumlah kata yang minim.
4. Seringkali tidak mampu menemukan kata yang sesuai untuk suatu
kalimat.
5. Kesulitan untuk mempelajari dan mengenali angka, huruf dan nama-
nama hari.
6. Mengalami kesulitan dalam menghubung-hubungkan kata dalam suatu
kalimat.
7. Kegelisahan yang sangat ekstrim dan mudah teralih perhatiannya.
8. Kesulitan berinteraksi dengan anak seusianya.
9. Menunjukkan kesulitan dalam mengikuti suatu petunjuk atau rutinitas
tertentu.
10. Menghindari pekerjaan tertentu seperti menggunting, menggambar, dan
aktivitas lain yang memerlukan konsentrasi berkesinambungan.

Pada anak yang berada di usia sekolah maka tanda berikut perlu
menjadi perhatian karena dapat meningkatkan risiko terjadinya kesulitan
belajar. Tanda-tanda tersebut adalah:
1. Daya ingatnya (relatif) kurang baik, termasuk memori kerja yang tidak
adekuat.
2. Sering melakukan kesalahan yang konsisten dalam mengeja dan
membaca,  misalnya huruf d dibaca b, huruf w dibaca m. (buku dibaca
duku).
3. Lambat untuk mempelajari hubungan antara huruf dengan bunyi 
pengucapannya.
4. Bingung dengan penggunaan tanda-tanda dalam pelajaran matematika, 
misalnya tidak dapat membedakan antara tanda - (minus) dengan +
(plus),  tanda + (plus) dengan x (kali), dan lain-lain.
5. Sulit dalam mempelajari keterampilan baru, terutama yang membutuhkan 
kemampuan daya ingat.

52 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Memahami dan Mengatasi Kesulitan Belajar pada Anak

6. Sangat aktif dan tidak mampu menyelesaikan satu tugas atau kegiatan 
tertentu dengan tuntas.
7. Impulsif (bertindak sebelum berpikir).
8. Sulit konsentrasi atau pehatiannya mudah teralih.
9. Sering melakukan pelanggaran baik di sekolah atau di rumah.
10. Tidak bertanggung jawab terhadap kewajibannya.
11. Tidak mampu merencanakan kegiatan sehari-harinya.
12. Problem emosional seperti mengasingkan diri, pemurung, mudah   
tersinggung atau acuh terhadap lingkungannya.
13. Menolak bersekolah.
14. Mengalami kesulitan dalam mengikuti petunjuk atau rutinitas tertentu.
15. Ketidakstabilan dalam menggenggam pensil/pen.
16. Kesulitan dalam mempelajari pengertian tentang hari dan waktu.
17. Koordinasi diri yang tidak sesuai dengan anak seusianya, misalnya
kemampuan genggam yang buruk, mudah jatuh (limbung), perilaku
kikuk (clumsiness), dsb.

Sedangkan pada remaja maka tanda-tanda di bawah ini perlu menjadi


perhatian bagi orangtua maupun tenaga profesional kesehatan yang
bekerjasama dengan anak dan remaja karena dapat mengindikasikan adanya
kesulitan belajar bagi mereka:
1. Membuat kesalahan dalam mengeja berlanjut hingga remaja.
2. Sering menghindar dari tugas membaca dan menulis.
3. Kesulitan dalam menyimpulkan suatu bacaan.
4. Kesulitan menjawab suatu pertanyaan yang membutuhkan penjelasan 
lisan dan/atau tulisan.
5. Kemampuan daya ingat lemah dan memori kerja yang terus menurun
kapasitasnya.
6. Kesulitan dalam menyerap konsep yang abstrak.
7. Bekerja lamban jika dibandingkan dengan remaja seusianya.
8. Seringkali kurang perhatian pada hal-hal yang rinci atau bisa juga terlalu 
fokus kepada hal-hal yang rinci sehingga menimbulkan hendaya bagi
remaja dalam kehidupan sehari-hari.
9. Seringkali salah dalam membaca informasi sehingga mengganggu tugas
aktivitas sehari-harinya termasuk belajar.

Pendekatan intervensi untuk kesulitan belajar pada


anak
Bila dilihat dari latar belakang permasalahan kesulitan belajar pada anak
serta gejala dan dampak yang ditimbulkannya, maka pendekatan intervensi

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 53


Tjhin Wiguna

terbaik adalah bersifat multidisiplin yang melibatkan: (1) psikiater anak


untuk deteksi dini, memperbaiki kualitas perkembangan psikososial anak
serta menetapkan diagnosis kesulitan belajar dan intervensi psikososial dan
psikofarmakologi jika diperlukan, remediasi kognitif anak dengan kesulitan
belajar, serta psikoedukasi orangtua; (2) dokter anak untuk memperbaiki
kualitas tumbuh kembang fisik anak; (3) dokter rehabilitasi medik anak
dalam kaitan merehabilitasi kapasitas fungsional anak; (4) psikolog
perkembangan untuk melihat taraf kapasitas intelektual anak; (5) guru untuk
penyusunan program belajar individual bagi anak yang membutuhkan, (6)
tenaga profesional lainnya.

Simpulan
Kesulitan belajar pada anak merupakan masalah yang kompleks dan
membutuhkan perhatian kita semua yang bekerja bersama anak. Anak
dengan kesulitan belajar jika tidak ditangani dengan serius dapat memicu
penurunan kualitas hidupnya dan berdampak terhadap kualitas individu di
masa mendatang. Oleh karena itu, pusat penanganan anak dengan kesulitan
belajar sangat diperlukan agar dapat memberikan pelayanan yang lebih
komprehensif. Saat ini Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Departemen Medik
Ilmu Kesehatan Jiwa RSCM – FKUI sedang merancang pendirian Klinik
Kesulitan Belajar Terpadu bagi anak dan remaja di Pusat Kesehatan Mental
Terpadu RSCM – FKUI. Klinik ini diharapkan dapat dijadikan prototipe
untuk membantu anak dengan kesulitan belajar dan keluarganya.

Daftar pustaka
1. Lee AMI. How IDEA protects you and your child. Diunduh pada 5 Januari
2017 dari https://www.understood.org/en/school-learning/your-childs-rights/
basics-about-childs-rights/how-idea-protects-you-and-your-child.
2. American Psychiatric Association. Desk reference to Diagnostic Criteria from
Diagnostic Statistical Manual for Mental Disorders 5. American Psychiatric
Publishing. 2013.
3. American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. Children with learning
disabilities. Diunduh pada 5 Januari 2017 dari http://www.aacap.org
4. Learning Disabilities Association of America. Symptoms of learning disabilities.
Diunduh pada 5 Januari 2017 dari http://www.Idaamerica.us/aboutld/parents/
ld_basics/symptoms.asp
5. Lange SM, Thompson B. Early identification and interventions for children
at risk for learning disabilities. International Journal of Special Education.
2006;21:108-19.
6. Gersten R, Jordan NC, Flojo JR. Early identification and interventions for
students with mathematics difficulties. Journal of Learning Disabilities.
2005;34:293-304.

54 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Demam Tinggi pada Anak :
Perlukah Antibiotika?
Debbie Latupeirissa

Tujuan :
1. Menjelaskan tentang definisi demam tinggi
2. Menjelaskan tentang hubungan demam tinggi dan infeksi serius pada anak
3. Menjelaskan tentang indikasi pemberian antibiotik pada anak dengan demam tinggi

D
emam adalah keluhan tersering (20%) yang menyebabkan orangtua
membawa anaknya ke dokter.1,2 Suatu penelitian mencatat bahwa
selama 2 tahun pertama kehidupan seorang anak, terdapat 4-6
episode penyakit akut setiap tahunnya dengan gejala terbanyak adalah
demam.3 Walaupun infeksi merupakan penyebab tersering demam, demam
dapat juga ditemukan pada pasien dengan reaksi hipersentivitas, penyakit
autoimun dan keganasan.4
Demam tinggi atau hiperpireksia merupakan suatu keadaan gawat
darurat dan berhubungan dengan infeksi yang serius pada anak. Suatu
penelitian prospektif melaporkan bahwa anak sakit yang dibawa ke ruang
emergensi dengan keluhan hiperpireksia, risiko kemungkinan disebabkan
oleh infeksi bakteri yang serius dan virus sama besarnya.4 Dubois mengamati
keadaan hiperpireksi pada 1761 pasiennya, 5% diantaranya mengalami
infeksi bakteri yang serius.5
Kalangan dokter ternyata cenderung memikirkan adanya bakteremia
terselubung pada anak demam, sehingga mengakibatkan sering dilakukan uji
laboratorium dan terapi berlebihan.6 Terapi antimikroba sering digunakan
pada keadaan demam tinggi karena dipikirkan berhubungan dengan
penyakit infeksi, padahal beberapa infeksi yang serius tidak selalu disertai
dengan demam. Oleh karena itu, anamnesis, pemeriksaan, dan pengamatan
penampakan klinis anak yang sakit juga penting selain tingginya suhu pada
keadaan demam.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIII 55


Debbie Latupeirissa

Definisi demam dan hiperpireksia


Demam berawal dari suatu hipotesis yang menyatakan bahwa demam
merupakan suatu proses alamiah yang timbul sebagai suatu stimulus.
International Union of Physiological Sciences Commission for Thermal
Physiology mendefinisikan demam sebagai suatu keadaan peningkatan suhu
inti, yang sering merupakan bagian dari respons pertahanan organisme
multiselular (host) terhadap invasi mikroorganisme atau benda mati yang
patogenik atau dianggap asing oleh host.2,7
El-Radhi dan kawan-kawan mendefinisikan demam (pireksia) dari segi
patofisiologis dan klinis. Secara patofisiologis, demam adalah peningkatan
thermoregulatory set point dari pusat hipotalamus yang diperantarai oleh
interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis, demam adalah peningkatan
suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata suhu normal di tempat
pencatatan. Respons terhadap perubahan set point ini adalah terjadinya
proses aktif untuk mencapai set point yang baru. Hal ini dicapai secara
fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas dan memproduksi panas.
Pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai sama dengan atau lebih
dari 38oC, suhu oral sama dengan atau lebih dari 37,6oC, suhu aksila sama
dengan atau lebih dari 37,4oC, dan suhu membran timpani mencapai sama
dengan atau lebih dari 37,6oC.2
Demam tinggi atau hiperpireksia adalah suhu rektal mencapai 41,1oC
atau lebih tinggi. Pada pengukuran di aksila atau membran timpani,
hiperpireksia adalah bila suhu telah mencapai 40 oC. Hiperpireksia
merupakan peninggian suhu tubuh berlebihan yang berkaitan dengan
demam, oleh sebab itu melibatkan pirogen yang melalui mekanisme humoral
dapat meninggikan set-point thermostat hipotalamus. Peninggian set-point
termostat hipotalamus merupakan perintah untuk menambah produksi dan
mengurangi pengeluaran panas sampai suhu tubuh naik sesuai dengan set-
point termostat hipotalamus. Pengaturan suhu tubuh pada orang dewasa,
bayi dan anak tidak sama. Saat lahir mekanisme termoregulasi belum
adekuat, karena susunan saraf pusat belum sempurna.8

Hiperpireksia dan infeksi bakteri yang serius


Suatu penelitian prospektif terhadap 130.828 pasien anak yang diamati
selama 2 tahun mendapatkan 130 anak memiliki suhu ≥ 41,1oC. Dari 103
anak tersebut, 20 anak (18,4%) mengalami infeksi bakteri yang serius yaitu
11 anak dengan bakteremia dan 8 anak dengan infeksi saluran kemih,
17% memiliki gambaran radiologis paru yang abnormal.9 Penelitian
lainnya terhadap 1169 anak dengan peningkatan suhu yang dibawa ke
ruang emergensi, 50-60% mengalami infeksi virus, 30% otitis media yang
disebabkan oleh virus, 8-9% mengalami infeksi yang serius.10

56 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Demam Tinggi pada Anak: Perlukah Antibiotika?

Penelitian lainnya melaporkan kemungkinan bakteremia adalah 7%


pada suhu 40oC atau lebih, 13% pada suhu 40,5-41oC, dan 26% pada suhu
41,1oC atau lebih. Frekuensi penyakit meningitis dan pneumonia meningkat
pada suhu 41,1oC atau lebih. McCarthy dan Dolan menemukan 19%
kejadian meningitis bakterial pada anak dengan suhu 41.1oC atau lebih.
Press menemukan 36% kejadian pneumonia anak dengan suhu 41.1oC atau
lebih. Suhu 40oC adalah batas termoregulasi pada 12 minggu pertama dan
membawa implikasi yang sama terhadap penyakit yang serius saat temperatu
41.1oC pada anak yang lebih besar. Selain infeksi, hiperpireksia juga dapat
terjadi pada pasien neonatus dengan perdarahan intraventrikular.10
Selain demam, penampilan anak dengan demam sangat menentukan
tata laksana selanjutnya bila didapatkan kasus anak dengan demam tanpa
penyebab yang jelas. Dalam pedoman yang diajukan oleh CCHMC RS Anak
di Cincinnati, tampilan anak demam di bagi atas:11
1. Tampilan baik: anak dapat senyum, tidak gelisah, sadar, makan baik,
menangis kuat namun dapat dibujuk, tidak ada tanda-tanda dehidrasi,
perfusi perifer baik, ekstremitas kemerahan dan hangat, dan tidak ada
kesulitan bernafas.
2. Tampilan sakit: masih dapat tersenyum, gelisah dan menangis, kurang
aktif bermain, nafsu makan kurang, dehidrasi ringan atau sedang, dan
perfusi perifer masih baik
3. Tampilan toksik merupakan gambaran klinis yang sejalan dengan kriteria
sindrom sepsis (antara lain letargi, tanda penurunan perfusi jaringan,
atau adanya hipo/hiperventilasi, atau sianosis).

Penilaian tampilan seorang anak sakit dapat dilakukan dengan suatu


kriteria angka menggunakan sistem YOS (Yale Observation Scale). Makin
tampak sakit seorang anak dengan demam, kemungkinan penyebabnya
dihubungkan dengan infeksi bakteri yang serius semakin besar. Menurut
McCarthy 1982 (dikutip dari pedoman RS Anak Cincinnati) anak dengan
tampilan baik mempunyai risiko sebesar < 3%, tampilan sakit 26% dan toksik
92% disebabkan oleh infeksi bakteri yang serius. Baraff melaporkan bayi usia
< 12 minggu dengan tampilan toksik memiliki 17% kemungkinan adanya
infeksi bakteri serius. Sedangkan pada anak yang lebih besar kemungkinan
infeksi bakteri yang serius pada tampilan toksik berkisar antara 10-90%.11
Demam pada neonatus dan tampilan sakit, memiliki risiko tinggi
infeksi bakteri yang serius dan perlu pemberian antibiotika, perawatan di
rumah sakit, dan pemeriksaan ke arah sepsis. Demam tinggi (suhu di atas
40oC) pada anak usia 3 hingga 36 bulan terjadi 20% dari seluruh episode
demam. Tingginya suhu tersebut dapat berhubungan dengan infeksi virus
atau bakteri. Infeksi bakeri yang serius jarang terjadi, hanya sekitar 2-3%.2

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 57


Debbie Latupeirissa

Terapi Antibiotik pada demam tinggi


Terapi antibiotik tergantung dari penyakit yang mendasarinya, penampakan
klinis si anak, usia anak, dan tingginya demam. Indikasi pemberian antibiotik
pada anak sakit dengan demam tinggi adalah :2
1. Anak usia berapapun dengan penampakan klinis sakit dan toksik
2. Neonatus
3. Anak dengan kemungkinan fokus infeksi bakteri
4. Anak usia 1-2 bulan dengan penampakan klinis baik, tetapi uji
laboratorium CRP abnormal.

Pada anak usia 3 bulan atau lebih, antibiotik tidak diberikan pada
demam tinggi dengan kemungkinan infeksi virus.

Simpulan
Demam tinggi atau hiperpireksia pada anak dapat berhubungan dengan
infeksi yang serius, tetapi infeksi tersering adalah disebabkan oleh virus,
sehingga penggunaan antibiotik digunakan sesuai indikasi klinis dan
pemeriksaan penunjang lainnya.

Daftar Pustaka
1. Alpern ER, Henretig FM. Fever. Fleisher GR, Ludwg S, Henretig FM, penyunting.
Textbook of Pediatric Emergency Medicine. Ed. 5. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2006. h. 295-306.
2. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. In: El-Radhi AS, Carroll J, Klein
N, penyunting. Clinical manual of fever in children. New York: Springer-Verlag
Berlin Heidelberg, 2009.
3. Dingle JH, Badger GF, Jordan WS. Illness in the home: A study of 25,000 illness
in a group of Cleveland families. Cleveland: The Press of Western Reserve
University; 1964. h. 19-96.
4. Demam : Patogenesis dan pengobatan. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H,
Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Jakarta: IDAI; 2008. h. 21-46.
5. Dubois EF. Why are fever temperatures over 106oF rare? Am J Med Sci
1949;217:361-8.
6. Karwowska A, Nijssen-Jordan C, Johnson D, Davies D. Parental and health care
provider understanding of childhood fever: a Canadian perspective. CJEM/
JCMU. 2002;4:1-10.
7. Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce TG,
penyunting. Moffet’s pediatric infectious diseases: A problem-oriented approach.
Ed. 4. New York: Lippincott William & Wilkins; 2005. h. 318-73.

58 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Demam Tinggi pada Anak: Perlukah Antibiotika?

8. Darwis D. Tatalaksana hiperpireksia pada anak. Dalam: Tumbelaka AR,


Trihono PP, Kurniati N, Widodo DP, penyunting. Penanganan demam pada
anak secara professional. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XLVII
FKUI-RSUPNCM, Jakarta: 2005. h. 21-4.
9. Trautner BW, Caviness AC, Gerlacher GR, Demmler G, Macias CG. Prospective
evaluation of the risk of serious bacterial infection in children who present to
the emergency department with hyperpyrexia (temperature of 106oF or higher).
Pediatrics. 2006; 118:34-40.
10. McCarthy PL. Fever in infants and children. In: Mackowiak PA, penyunting.
Fever basic menchanisms & management. Ed. 2. Philadelphia: Lippincot-Raven;
1997. h. 351-62.
11. Tumbelaka AR. Demam tanpa penyebab yang jelas pada anak. Dalam:
Tumbelaka AR, Trihono PP, Kurniati N, Widodo DP, penyunting. Penanganan
demam pada anak secara professional. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
IKA XLVII FKUI-RSUPNCM, Jakarta: 2005. h. 1-5.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 59


Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis
dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-
Hari
Setyo Handryastuti

Tujuan:
1. Mengetahui patogenesis sefalgia pada anak
2. Mengetahui klasifikasi sefalgia pada anak
3. Mengetahui pendekatan diagnosis sefalgia pada anak
4. Mengetahui tanda bahaya sefalgia pada anak
5. Mengetahui tata laksana komprehensif sefalgia pada anak

S
efalgia atau nyeri kepala pada anak kerap kita temukan dalam praktik
sehari-hari. Sebagian besar nyeri kepala pada anak tergolong nyeri
kepala primer yaitu migren dan tension-type headache (TTH), atau
keadaan akut yang ringan seperti infeksi virus.1 Meskipun demikian, seorang
dokter harus menyingkirkan penyebab sefalgia yang lain terutama keadaan
yang berat seperti perdarahan intrakranial atau tumor. Sefalgia meskipun
ringan sering menimbulkan kecemasan orangtua yang berlebihan sehingga
mereka meminta pemeriksaan penunjang yang sebenarnya tidak perlu dan
membawa anaknya berobat dari satu dokter ke dokter yang lain. Sefalgia
kerap menyebabkan anak tidak masuk sekolah berhari-hari dan membatasi
aktifitas anak. Keterbatasan waktu dokter dalam membuat anamnesis yang
baik juga merupakan kendala tersendiri, oleh karena hal itu penulis mencoba
membahas sefalgia pada anak dari segi pendekatan diagnosis dan tata laksana
yang dapat diterapkan dalam praktik sehari-hari.

Epidemiologi
Sefalgia akut dan kronik sering ditemukan pada anak dan remaja. Prevalens
sefalgia berkisar antara 37-51% pada anak usia 7 tahun dan meningkat
menjadi 57-82% pada usia 15 tahun. Sefalgia yang sering dan berulang
terjadi pada 2,5% anak usia 7 tahun dan 15% pada anak usia 15 tahun.
Sebelum pubertas anak laki-laki lebih banyak mengalami sefalgia daripada

60 Kiat Membuat Anak Sehat, Tinggi, dan Cerdas


Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-Hari

perempuan, akan tetapi setelah pubertas sefalgia lebih sering dialami anak
perempuan.2,3 Prevalens migren relatif stabil, yaitu 3% pada usia 3-7 tahun,
4-11% pada usia 7-11 tahun dan 8-23% pada masa remaja. Usia rata-rata
awitan migren pada anak laki-laki adalah 7,2 tahun dan anak perempuan
10,9 tahun. Anak laki-laki lebih banyak mengalami migren pada usia < 7
tahun, rasio gender sama pada usia 7-11 tahun, sedangkan pada usia 15
tahun anak perempuan lebih banyak menderita migren.3,4

Patogenesis
Patogenesis sefalgia pada anak banyak merujuk pada patogenesis sefalgia
pada orang dewasa. Patogenesis yang banyak dibahas adalah migren dan
TTH. Patogenesis migren adalah gangguan vaskular kepala yang melibatkan
korteks otak sehingga terjadi kaskade yang mencetuskan serangan migren.
Dengan pemeriksaan neurofisiologi yaitu visual evoked potential (VEP),
somatosensoryevoked potentials (SEP) dan auditory cortex potentials (MMN),
dipikirkan migren berkaitan dengan proses informasi sentral yang abnormal
dan gangguan eksitabilitas korteks serebral. Diduga pada pasien dengan
migren, kurangnya habituasi korteks otak mengaktifasi sistem trigemino-
vaskular yang menyebabkan serangan nyeri.5-7
Patogenesis TTH diduga sebagai akibat interaksi antara perubahan
kontrol desenden nosiseptor trigeminal brainstem dan perubahan perifer,
seperti nyeri otot-otot wajah dan regangan di otot perikranial. Nyeri dapat
dicetuskan oleh stres fisik, stres psikis, kombinasi keduanya, posisi tubuh
yang tidak ergonomis dalam waktu lama. Stres emosi dapat mencetuskan
TTH melalui beberapa mekanisme yaitu peningkatan tonus otot melalui
sistem limbik, dan pada saat yang bersamaan terdapat penurunan tonus
sistem antinosiseptif endogen. Ketika sefalgia timbul lebih sering, perubahan
di sentral berperan penting. Sensitisasi saraf nosiseptif dalam waktu
lama bersama dengan penurunan aktifitas sistem anti nosiseptif dapat
menyebabkan sefalgia kronik. Perubahan di sentral berperan dalam TTH
episodik maupun kronik. Faktor sentral dan perifer mungkin berbeda pada
tiap pasien. Faktor genetik berperan dalam perubahan psikis dan sentral
pada TTH kronik, sedangkan faktor lingkungan berperan dalam timbulnya
TTH episodik.6,7

Klasifikasi
The International Headache Society mengemukakan klasifikasi terbaru untuk
nyeri kepala (lihat Tabel 1)

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 61


Setyo Handryastuti

Tabel 1. The International Classification of Headache Disorders8


Sefalgia primer 1. Migren
2. Tension type headache
3. Cluster headache
4. Jenis sefalgia primer lain
Sefalgia sekunder 5. Sefalgia terkait trauma kepala dan leher
6. Sefalgia terkait penyakit vaskular kranial atau servikal
7. Sefalgia terkait penyakit intrakranial non-vaskular
8. Sefalgia terkait obat atau gejala putus obat
9. Sefalgia terkait infeksi
10. Sefalgia terkait gangguan homeostasis
11. Sefalgia terkait gangguan di kepala, leher, mata, telinga,
hidung, sinus, gigi atau struktur wajah dan kepala.
12. Sefalgia terkait problem psikiatri
Nyeri neuropati kranial, nyeri wajah 13. Nyeri neuropati kranial, nyeri wajah tipe lain
yang lain, nyeri kepala tipe lain 14. Sefalgia jenis lain

Migren, tension type headache, sefalgia yang berkaitan dengan infeksi,


kelainan kranium, leher, mata, telinga, hidung, sinus dan gigi merupakan
penyebab yang sering ditemukan dalam praktek.
Migren yang merupakan penyebab sefalgia terbanyak dibagi
berdasarkan patofisiologi. (lihat Tabel 2)

Tabel 2. Klasifikasi migren3


Migren tanpa aura
Migren dengan aura Typical aura with migraine headache
Typical aura with nonmigraine headache
Typical aura without headache
Familial hemiplegic migraine
Sporadic hemiplegic migraine
Basilar type migraine
Childhood periodic syndromes that are commonly Cyclical vomiting
precursors of migraine Abdominal migraine
Benign paroxysmal vertigo of childhood
Migren retina
Komplikasi migren Chronic migraine
Status migraine
Persistent aura without infarction
Migrainous infarction
Probable migraine

Klasifikasi lain yang masih dianut dan sangat bermanfaat secara klinis
adalah klasifikasi dari Rothner, yang membagi sefalgia berdasarkan waktu
yaitu akut, akut-berulang, kronik-progresif, kronik non-progresif dan
campuran.(lihat Tabel 3).

62 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-Hari

Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan klinis 3


Acute generalized Acute localized Acute recurrent
Chronic Chronic
progressive nonprogressive
Demam Sinusitis Migren Tumor Kontraksi otot
Infeksi sistemik Otitis Migren Pseudotumor Conversion
kompleks (Benign intracranial
hypertension)
Infeksi SSP Abnormalitas okular Varian migren Abses otak Malingering
Toksin:CO2, Penyakit gigi Cluster headache Hematoma After concussion
timah subdural
Pasca-kejang Trauma Hemikrania Hidrosefalus Depresi
paroksismal
Imbalans Neuralgia oksipital Pasca kejang Perdarahan Anxietas
elektrolit
Hipertensi Disfungsi sendi Tic douloureux Hipertensi Reaksi
temporomandibular penyesuaian
Hipoglikemia Eksersional Vaskulitis Hemikrania
kontinyu
Pasca-pungsi
lumbal
Trauma
Emboli
Trombosis
vascular
Perdarahan
Penyakit kolagen
Eksersional

Sefalgia akut berulang dan kronik non-progresif sebagian besar


berkaitan dengan sefalgia primer, meskipun penyebab sekunder juga
patut dipikirkan. Sefalgia akut, tunggal sebagian besar ringan, disebabkan
oleh infeksi virus.1 Sefalgia kronik progresif merupakan tipe yang harus
diwaspadai dan paling mencemaskan orangtua serta sebagian besar
memerlukan pemeriksaan pencitraan. Sefalgia yang disebabkan oleh
tumor, abses otak, hematoma subdural, idiopathic intracranial hypertension
(pseudotumor cerebri), hidrosefalus, infeksi susunan saraf pusat disebabkan
oleh peningkatan tekanan intrakranial.8
Jika dilihat dari pola serangan, klasifikasi di atas dapat digambarkan
sebagai berikut (Gambar 1).9

Pendekatan diagnosis
Evaluasi menyeluruh diperlukan untuk membuat diagnosis yang tepat dan
tata laksana awal. Evaluasi termasuk anamnesis (termasuk observasi orangtua
dan guru, relasi antara anak-pengasuh, relasi antar anggota keluarga, riwayat
penyakit anak dan orangtua) serta pemeriksaan fisik umum dan neurologis.10

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 63


Setyo Handryastuti

Gambar 1. Hubungan antara gejala dan waktu

Anamnesis
Anamnesis berperan penting dalam menegakkan diagnosis, diperlukan
waktu yang cukup dan kesabaran untuk menggali anamnesis yang baik.
Pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah: 11,12 (1)
deskripsi sefalgia, berapa macam tipe sefalgia yang dirasakan, (2) kapan dan
bagaimana mulai ada keluhan, (3) apakah sefalgia memburuk, membaik
atau tidak berubah, (4) frekuensi dan durasi sefalgia, (5) apakah sefalgia
timbul pada waktu atau saat-saat tertentu, (6) apakah sefalgia berhubungan
dengan makanan, situasi atau obat-obat tertentu, (7) apakah terdapat gejala
yang mendahului keluhan, (8) lokasi dan kualitas sefalgia, (9) gejala yang
menyertai keluhan, apakah gejala tersebut berlangsung terus di antara
serangan. Gejala ini dapat berupa mual, muntah, kelumpuhan, gangguan
penglihatan, pendengaran dll. (10) apa yang pasien kerjakan ketika sefalgia,
(11) keadaan yang membuat keluhan memburuk atau membaik, (12) adakah
penyakit lain yang diderita pasien, (13) obat-obat untuk penyakit lain yang
dikonsumsi secara teratur atau bila perlu, (14) apakah sefalgia menganggu
aktifitas sehari-hari, (15) apakah terdapat gejala lain seperti kesemutan,
kelemahan tungkai, dizziness, mual dan muntah

Riwayat keluarga
Riwayat sakit kepala, nyeri dan penyakit lain yang berhubungan perlu
ditanyakan karena migren berkaitan erat dengan faktor genetik. Hipertensi
yang berkaitan dengan keluhan sakit kepala juga faktor genetik. Riwayat
keluarga ditanyakan sampai kakek, nenek, saudara kandung, paman dan
bibi karena keluhan migren kadang tidak terdapat pada orangtua. Pola sakit
kepala juga bisa berbeda pada setiap anggota keluarga. 1

64 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-Hari

Riwayat sosial dan kebiasaan


Kehidupan sosial anak perlu digali, apakah ada masalah di rumah, bagaimana
hubungan dengan orangtua, saudara kandung, teman sebaya dan guru.
Masalah kehidupan sosial bisa menjadi pencetus atau memperberat sakit
kepala. Perlu juga ditanyakan pola makan, pola tidur, jadwal harian anak,
lama /gadget, aktifitas anak di depan komputer, konsumsi kafein, coklat,
makanan mengandung MSG, serta kebiasaan olahraga. Pola hidup yang
tidak sehat dan tidak teratur dapat menjadi pencetus atau memperberat
sakit kepala.1

Pemeriksaan fisik umum


Pemeriksaan fisik umum dilakukan seperti biasa dengan memperhatikan
beberapa tanda penting yang mengarah ke diagnosis seperti: demam
mengarah pada infeksi, peningkatan tekanan darah mengindikasikan
gangguan hormonal atau ginjal, pertumbuhan abnormal mengarah ke
problem kelenjar pituitari atau hipotalamus, ptekie atau limfadenopati
menunjukkan gangguan sistem hematopoetik, organomegali mengarah pada
neoplasma, tanda atopi mengarah kepada migren, lesi neurokutan, trauma
multipel dan berulang menunjukkan child abuse 12-14

Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis terutama ditujukan pada derajat kesadaran, tanda
rangsang meningeal, gangguan penglihatan, defisit neurologis fokal, saraf
kranial, gangguan koordinasi, gait dan bicara, gangguan pendengaran,
funduskopi, pengukuran lingkar kepala, adanya bruit palpasi kepala dan
seluruh bagian tubuh, kekuatan dan tonus otot, refleks fisiologis dan
patologis. Mayoritas pemeriksaan umum dan neurologis pada sefalgia primer
adalah normal.3,10,14,15 Tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial
perlu dicari dan disingkirkan terlebih dahulu.

Pemeriksaan psikologis
Nyeri kepala berulang berefek negatif pada aktifitas harian anak (pola tidur,
selera makan, atensi dll). Selama masa prapubertas dan pubertas perubahan
emosi dan kepribadian juga beperan penting. Harus dibedakan apakah
problem atau perubahan emosi tersebut merupakan komorbiditas atau
merupakan problem utama. Gejala lain seperti depresi, sedih, menarik diri
dari aktifitas sehari-hari, putus asa juga patut dicari.10

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 65


Setyo Handryastuti

Migren tidak berkaitan dengan kondisi di keluarga atau rumah, situasi


sekolah atau relasi dengan teman. Sebaliknya tension type headache (TTH)
erat kaitannya dengan angka perceraian orangtua dan minimnya relasi
dengan teman sebaya.10

Red flags
Di bawah ini terdapat beberapa tanda-tanda yang perlu diwaspadai (red
flags) adanya kelainan struktural yang memerlukan intervensi bedah dan
pemeriksaan pencitraan. Tanda-tanda itu: (1) sefalgia makin berat dan
makin sering, (2) sefalgia bertambah hebat dengan batuk, bersin, mengedan,
(3) nyeri kepala yang akut dan berat (< 6 bulan), (4) disertai gejala sistemik
seperti demam, penurunan berat badan, ruam dan nyeri sendi, (5) faktor
risiko sekunder seperti imunosupresi, hiperkoagulasi, penyakit neurokutan,
keganasan, penyakit genetik dan rematik, (6) defisit neurologis seperti
penurunan kesadaran, edema papil, gerak bola mata yang abnormal,
kelumpuhan dan asimetri, (7) perubahan tipe nyeri kepala, peningkatan
frekuensi, derajat dan manifestasi klinis, (8) nyeri kepala berkaitan dengan
tidur.16 Penting diingat bahwa pemeriksaan pencitraan tidak rutin dilakukan
pada anak dengan nyeri kepala berulang dan pemeriksaan neurologis normal.
Saat menerima pasien di ruang praktek atau IGD, red flags tersebut dapat
dijadikan pegangan apakah kita menghadapi sefalgia yang memerlukan
tindakan segera atau tidak.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan MRI kepala adalah pilihan terbaik untuk mencari etiologi
abnormalitas struktur otak, infeksi, inflamasi dan iskemia. CT Scan
kepala dipakai untuk mendeteksi perdarahan atau fraktur. Rekomendasi
pemeriksaan pencitraan dari The American Academy of Neurology untuk
evaluasi anak dengan sefalgia berulang: (1) Pemeriksaan pencitraan secara
rutin tidak diindikasikan jika pemeriksaan neurologis normal, (2) Pencitraan
dianjurkan pada anak dengan pemeriksaan neurologis abnormal, kejang atau
keduanya, (3) Pencitraan dianjurkan pada anak dengan tipe sefalgia berubah,
nyeri kepala hebat atau jika terdapat disfungsi neurologis.17
Pemeriksaan penunjang lain atas indikasi sesuai penyakit yang
mendasari seperti meningitis, demam tifoid atau penyakit sistemik lain.

Migren
Migren dibahas tersendiri karena merupakan etiologi terbanyak sefalgia
pada anak. Kriteria migren dengan memakai kriteria orang dewasa hanya
menangkap 61,9% kasus, sedangkan jika disgnosis ditujukan khusus pada

66 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-Hari

anak maka cakupan diagnosis menjadi 73,9%.18 Secara praktis dapat dipakai
kriteria migren untuk di unit gawat darurat, sesuai kriteria Irma yaitu
terdapat episode sefalgia selama 1-72 jam dengan manifestasi klinis 4 dari
6 kriteria berikut:19
(1) Gangguan aktifitas sedang sampai berat
(2) Lokalisasi fokal dari sefalgia
(3) Nyeri berdenyut
(4) Mual atau muntah atau nyeri perut
(5) Fotofobia atau fonofobia atau menghindari suara dan cahaya
(6) Gejala bertambah dengan aktifitas yang menghilang dengan
istirahat.
Berikut ini adalah kriteria lain migren pada anak 20

Migren tanpa aura


A. Minimal 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D
B. Sakit kepala berlangsung 1-72 jam (diobati atau terapi gagal)
C. Sakit kepala minimal mempunyai 2 dari kriteria berikut:
1. Lokasi unilateral, bilateral atau frontal
2. Berdenyut
3. Intensitas sedang sampai berat
4. Diperberat atau menyebabkan gangguan aktifitas rutin seperti
berjalan atau naik tangga.
D. Selama serangan terdapat minimal 1 gejala berikut: mual dan/atau
muntah, fotofobia dan fonofobia.
E. Tidak disebabkan penyakit lain

Migren dengan aura


A. Minimal 2 serangan yang memenuhi kriteria B-D
B. Aura terdiri dari minimal 1 gejala berikut :
1. Gejala visual yang reversibel (cahaya berkedip-kedip, lingkaran atau
garis) dan/atau hilangnya penglihatan.
2. Gejala sensori yang reversibel (ditusuk-tusuk dengan benda tajam/
tumpul) dan/atau kesemutan.
3. Gangguan bicara yang reversibel
C. Minimal 2 dari gejala berikut :
1. Gejala visual homonimous dan/atau gejala sensori unilateral
2. Minimal 1 gejala aura yang timbul bertahap > 5 menit dan/atau
gejala aura yang berbeda menghilang dalam waktu > 5 menit.
3. Masing-masing gejala berlangsung > 5 menit dan < 60 menit

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 67


Setyo Handryastuti

D. Sakit kepala memenuhi kriteria B-D untuk migren yang mulai selama
aura atau setelah aura dalam waktu 60 menit
E. Tidak disebabkan penyakit lain.

Sindrom migren lain: 1


1. Migren basiler: aura berupa vertigo, ataksia, nistagmus, disartria, tinnitus/
hiperakusis, paresetesia bilateral, diplopia atau gangguan penglihatan.
2. Migren confusional: perubahan status mental, sering disertai afasia atua
gangguan bicara yang diikuti sefalgia.
3. Migren hemiplegia: familial atau sporadik, dengan gejala hemiplegia,
kesemutan, afasia dan keadaan bingung.

Tension type headache (TTH)


Bentuk sefalgia terbanyak pada anak selain migren, tetapi tidak terlalu
menganggu aktifitas anak dibandingkan migren. Sefalgia bersifat ringan
sampai sedang, berlangsung satu sampai beberapa hari, sering digambarkan
sebagai “kepala seperti diikat atau ditekan dengan pita”. Pencetus yaitu stres,
kelelahan dan sakit, sering disertai nyeri otot dan ketegangan di daerah leher
dan bahu. Faktor stres psikologis sangat berkaitan dengan TTH. Anak dengan
TTH lebih banyak mengalami masalah psikologis dan perilaku dibandingkan
anak dengan migren.21,22

Tata laksana
Tata laksana disini lebih ditujukan untuk primary headache disorders,
karena pada secondary headache disorders tata laksana tentu tergantung dan
ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya. Ketika diagnosis migren atau
TTH sudah ditegakkan dan penyebab sekunder sefalgia yang berat dapat
disingkirkan, maka edukasi pada pasien dan orangtua harus dilakukan.
Yakinkan bahwa tidak ada penyakit serius yang menyebabkan sefalgia. Tata
laksana sefalgia terdiri dari 4 cara :

1. Pola hidup sehat


SMART management yaitu Sleep (cukup tidur dan teratur), Meals (cukup
makan, teratur termasuk sarapan dan minum yang banyak), Activity (olah
raga teratur tapi tidak berlebih), Relaxation (relaksasi untuk mengurangi
stres), Trigger avoidance (menghindari stres, kurang tidur atau pencetus
lain).16

68 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-Hari

2.Tatalaksana sefalgia akut


Jenis dan dosis obat untuk tata laksana akut dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4. Tata laksana akut migen pada anak


Obat Dosis
Asetaminofen 15 mg/kg, tiap 4-6 jam
Ibuprofen 7-10 mg/kg, tiap 4-6 jam
Natrium naproksen 10-15 mg/kg, tiap 8-12 jam
Ketorolac 10-30 mg IV, po
5-HT, agonis, triptans
Sumatriptan Nasal: 5-20 mg, Oral: 25,50 dan 100 mg, Subkutan: 6 mg
Zolmitriptan Nasal: 5-10 mg
Oral: 5,10 mg

3.Terapi penunjang
Terapi biofeedback, teknik relaksasi, hipnosis, akupunktur dan psikoterapi.
Fisioterapi dan terapi pijat bermanfaat pada sefalgia yang disertai nyeri atau
tegang otot.1

4.Terapi pencegahan
Pencegahan perlu dipertimbangkan jika pasien mengalami sefalgia > 4 hari
per bulan. Jenis dan dosis obat yang dapat diberikan tampak pada Tabel 5.3

Tabel 5. Tata laksana preventif migren pada anak


Obat Dosis Toksisitas
Siproheptadine 2-8 mg oral dibagi 2 atau 3 dosis Mulut kering, penambahan BB
Anti depresan trisiklik:
Amitriptilin 5-25 mg sebelum tidur Sedasi, penambahan BB, eksaserbasi
kelainan jantung

Anti epilepsi
Topiramat 15-25 mg titrasi sampai 50 mg, 2 Sedasi, parestesia, anoreksia,
kali sehari perubahan mood, glaucoma, batu
ginjal
Asam valproat 20-40 mg/kg/hari BB naik, alopesia, lebam,
hepatotoksik, gangguan darah
Anti hipertensi
Propranolol 60-120 mg, 1 kali sehari Hipotensi, gangguan tidur,

4. Diet makanan
Tata laksana diet masih kontroversi, akan tetapi beberapa literatur dan
penaglaman klinis membuktikan sebaliknya. Dikatakan makanan yang
berperan sebagai pencetus antara lain keju, coklat, daging olahan, yoghurt,
makanan kering, monosodium glutamat, aspartamin, minuman berkafein,
soda dan minuman mengandung alkohol.3

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 69


Setyo Handryastuti

Simpulan
Meskipun sebagian besar kasus sefalgia di tempat praktek adalah sefalgia
primer (primary headache disorders) yaitu migren dan tension-type headache,
dokter harus dapat mendiagnosis secondary headache disorders terutama
kasus sefalgia dengan etiologi penyakit sistemik yang berat atau kasus yang
memerlukan pemeriksaan pencitraan dan tindakan bedah segera. Aspek
penting dalam melakukan evaluasi dan tata laksana sefalgia pada anak
adalah: anamnesis yang teliti dan komprehensif, pemeriksaan fisis umum
dan neurologis untuk mencari adakah penyakit atau etiologi yang mendasari
sefalgia, pemeriksaan penunjang sesuai indikasi dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisis, tata laksana komprehensif baik medikamentosa dan non-
medikamentosa dengan melibatkan orangtua dan keluarga.

Daftar pustaka
1. Blume HK. Pediatric headache: A review. Pediatr Rev. 2012;33:562-75.
2. Abu Arafeh I, Razak S, Sivaraman B, Graham C. Prevalence of headache and
migraine in children and adolescents: a systematic review of population-based
studies. Dev Med Child Neurol. 2010;52:1088-97.
3. Lewis DW. Headaches in infants and children. Dalam: Swaiman KF, Ashwal
S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology principles & practices. Edisi
kelima. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. h. 880-99.
4. Stewart WF, Lipton RB, Celentano DD, Reed ML. Prevalence of migraine
headache in the United States. JAMA. 1992;267:64.
5. Genizi J, Srugo I, Kerem NC. Primary headache in children and adolescents:
From pathophysiology to diagnosis and treatment. J Headache Pain
Management.2016;1:11-20.
6. Steiner TJ, Stovner LJ, Katsarava Z, Lainez JM, Lmapi C. The impact of
headache in Europe: principal results of of the Eurolight project. J Headache
Pain. 2014;15:31.
7. Furnal A, Schoenen I. Tension-type headache: currtent research and clinical
management. Lancet Neurol. 2008;7:70-83.
8. Headache Classification Committee of The International Headache Society
(HIS). The International Classification of Headache Disorders. Edisi ke-3 (beta
version). Cephalgia. 2013;33:629-808.
9. Rothner AD. The evaluation of headaches in children and adolescents. Semin
Pediatr neurol. 1995;2:109-18.
10. Ozge A, Termine C, Antonaci F, Natriashvili S, Guidetti V, Wober-Bingol
C. Overview of diagnosis and management of paediatric headache. Part I:
diagnosis. J headache Pain. 2011;12:13-23.
11. Rothner AD. Evaluation of headache. Dalam: Winner P, Rothner AD,
penyunting. Headache in children and adolescents. Edisi ketujuh. London:
BC Decker; 2001. h. 21-3.

70 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Sefalgia pada Anak: Pendekatan Klinis dan Diagnosis dalam Praktek Sehari-Hari

12. Balottin U, Termine C, Nicoli F, Quadrelli M, Ferrari-Ginevra O, lanzi G.


Idiopathic headache in children under six years of age: a follow-up study.
Headache. 2005;45;705-15.
13. Ozge A, Ozge C, ozturk C, Kaleagasi H, Ozcan m, Yalcinkaya DE. The
relationship between migraine and atopic disorders-the contribution of
pulmonary function test and immunological screening. Cephalgia. 2006;26;172-
9.
14. Fenichel GM. Headache. Dalam: Clinical pediatric neurology a signs and
symptoms approach. Edisi keenam. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. h.
79-92.
15. Rothner AD, Menkes JH. Headaches and nonepileptic episodic disorders.
Dalam: Menkes JH, sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology. Edisi
ketujuh. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2006. h. 943-68.
16. Median LS, Pinter JD, Zurakowski D, Davis RG, Kuban K, barnes PD. Children
with headache: clinical predictors of surgical space-occupying lesions and the
role of imaging. Radiology. 1997;202;819-24.
17. Lewis DW, Ashwal S, Dahl G, dkk. Quality standards subcommittee of The
American Academy of Neurology: Practice Committee of The Child Neurology
Society. Practice parameter: evaluation of children and adolescents with
recurrent headaches. Neurology. 2002;59:490-8.
18. Lima MM, Padula NA, Santos LC, Oliveira LD, Agapejev S. Critical analysis
of the International classification of headache disorders diagnostic criteria
(ICHD 1-1988) and (ICHD II-2004), for migraine in children and adolescents.
Cephalalgia.2005;25:1042-7.
19. Trottier ED, Bailey B, Lucas N, Lortie A. Diagnosis of migraine in the pediatric
emergency department. Pediatr Neurol. 2013;49:40-5.
20. Headache classification subcommittee of The International Headache Society.
The International Classification of headache Disorders. Cephalalgia. 2004;24:9-
160.
21. Arruda MA, Guidetti V, galli F, Albuquerque Rc, Bigal ME. Primary headaches
in childhood-a population based study. Cephalalgia. 2010;30:1056-64.
22. Sarioglu B, Erhan E, Serdaroglu G, Doering BG,Erermis S, Tutuncuoglu
S. Tension-type headache in children; a clinical evaluation. Cephalgia.
2010;30:186-9.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 71


Nyeri Dada pada Anak dan Remaja:
Kelainan Jantung atau Bukan?
Najib Advani

Tujuan
1. engetahui penyebab utama nyeri dada pada anak dan remaja
M
2. Memahami perbedaan nyeri dada kardiak dan non kardiak
3. Menjabarkan pemeriksaan yang diperlukan untuk diagnosis
4. Memahami rujukan yang diperlukan

N
yeri dada (ND) pada anak dan remaja sering membuat cemas
orangtua karena kadang gejala yang timbul cukup mengkawatirkan.
Nyeri dada dapat berlangsung lama dan berat sehingga menambah
kecemasan. Berbeda dengan dewasa, ND pada anak seringkali bukan
merupakan petanda penyakit yang serius. Pada anak, ND merupakan

Tabel 1. Penyebab nyeri dada pada anak dan remaja.6


Jantung Gastro intestinal
Anomali koroner Refluks gastroesofageal
Penyakit Kawasaki Esofagitis
Spasme koroner Gastritis
Takikardi supraventrikular Menelan benda asing
Takikardi ventrikular
Perikarditis Muskuloskeletal
Miokarditis Trauma dada
Kardiomiopati hipertrofik Fraktur iga
Stenosis aorta/pulmonal Ketegangan otot
Diseksi aorta Kostokondritis
Precordial catch syndrome
Paru paru Slipping rib syndrome
Asma Hypersensitive xiphoid syndrome
Pneumonia Sindrom Tietze
Pneumotoraks
Pneumomediastinum Lain lain
Emboli paru Herpes zoster
Batuk kronik Sickle cell
Pleurodynia
Psikogenik Efusi pleura
Hiperventilasi Keganasan mediastinum
Ansietas Idiopatik

72 Kiat Membuat Anak Sehat, Tinggi, dan Cerdas


Nyeri Dada pada Anak dan Remaja: Kelainan Jantung atau Bukan?

penyebab rujukan tersering kedua setelah bising jantung.1 Berdasarkan


etiologinya, ND dibagi atas 2 kelompok, yaitu kardiak dan non-kardiak.
Mayoritas ND pada anak dan remaja disebabkan oleh faktor di luar jantung.
Kurang dari 5% nyeri dada yang disebabkan oleh kelainan jantung.2-4 Usia
rata rata ND berkisar 11-14 tahun, namun bisa terjadi pada anak usia 4
tahun. 2,5 Frekuensi ND tidak berbeda pada lelaki dan perempuan, meskipun
penyebabnya dapat berbeda. Dokter anak sebaiknya sedapat mungkin
mencari penyebab ND dan memberikan edukasi sesuai dengan kasusnya
sehingga dapat mengurangi kecemasan pihak keluarga. Rujukan dapat
diperlukan namun rujukan rutin ke kardiolog dapat membuat pasien dan
keluarga tambah khawatir.

Penyebab nyeri dada


Nyeri dada non kardiak
Mayoritas ND pada anak dan remaja bukan berasal dari jantung.1-6,10 Nyeri
dada non-kardiak dapat berasal dari berbagai sebab seperti muskuloskeletal,
paru, gastrointestinal, psikogenik dll. (Tabel 1.). Frekuensi etiologi nyeri
dada didpatkan bervariasi antar-senter. (Tabel 2.)

Muskuloskeletal
Masalah muskuloskeletal dada merupakan penyebab ND tersering pada
anak dan remaja.2,3,4,7,8,9

Kostokondritis
Kostokondritis ditemukan pada 9-22 % anak dengan ND, bahkan ada yang
menyatakan hingga 79% dan lebih sering pada perempuan.9 Awitan bisa
didahului oleh penyakit pernapasan, tetapi etiologinya belum diketahui.
Biasanya nyeri terasa tajam dan berlangsung selama beberapa detik atau
menit di daerah sendi kostokondral atau kostosternal 2-4. Nyeri biasanya
bertambah dengan aktifitas fisik atau pernapasan dan gejala dapat hilang
sendiri. Meski tidak ditemukan tanda inflamasi di lokasi nyeri, namun
diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan nyeri tekan di sendi kostosternal
dan kostokondral tersebut.

Sindrom Tietze
Merupakan bentuk kostokondritis terlokalisasi yang ditandai oleh
pembengkakan sendi yang nyeri bila ditekan, biasanya pada iga bagian
atas terutama sendi kondrosternal iga 2-3. Sindrom ini relatif agak jarang
dijumpai pada anak. Nyeri dapat hilang sendiri dan berlangsung selama
beberapa minggu atau bulan.11

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 73


Najib Advani

Slipping –rib syndrome


Dikenal juga sebagai lower rib pain syndrome. Agak jarang pada anak. Nyeri
timbul pada dada bagian bawah atau abdomen atas yang disebabkan oleh
trauma atau dislokasi iga 8, 9 dan 10. Hal ini terjadi karena ketiga iga ini
tidak melekat ke sternum secara langsung.

Ketegangan otot dan trauma


Nyeri dirasakan akibat peregangan otot pektoralis, bahu atau punggung.
Riwayat latihan yang berat, mengangkat barang berat atau trauma langsung
dapat menjadi pencetus. Abnormalitas tulang rusuk atau tulang belakang
dapat juga mengakibatkan ND.

Precordial catch
Nyeri satu sisi berlangsung beberapa detik atau menit. Sering berhubungan
dengan postur yang buruk, mungkin akibat saraf yang terjepit.12

Hypersensitive xiphoid syndrome


Nyeri terasa lokal atau timbul rasa tidak nyaman setelah makan banyak,
batuk , membungkuk atau berputar.13

Gastrointestinal
Masalah gastrointestinal dapat merupakan penyebab ND pada sekitar
8%.14 Umumnya akibat refluks, ulkus peptikum, dan esofagitis. Gejala
sering sulit dibedakan dengan ND akibat kelainan dinding data. Jika nyeri
timbul berhubungan dengan pemberian makanan, akan menyokong ke arah
masalah gastrointestinal.

Saluran napas
Penyebab ND akibat gangguan saluran napas tersering adalah asma.7 Infeksi
saluran napas seperti bronkitis, pneumonia, pleuritis, efisi pleura, empiema,
bronkiektasis dan abses paru juga dapat meyebabkan ND.

Psikogenik
Gagguan psikogenik merupakan penyebab ND yang perlu dipikirkan
seandainya penyebab lain tidak ditemukan. Latar belakang anak serta
keluarga serta lingkungannya perlu diketahui untuk mencari penyebab
masalah psikogenik. Sering ditemukan faktor stres berat yang mendahului
misalnya kematian, kegagalan sekolah, disabilitas, perceraian dalam
keluarga, dsb. Kelainan psikogenik terjadi pada 5%-17% kasus ND dan angka
kejadiannya tidak berbeda baik pada lelaki maupun perempuan.9

74 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Nyeri Dada pada Anak dan Remaja: Kelainan Jantung atau Bukan?

Idiopatik
Sekitar 12-85% pasien dengan ND mangalami ND idiopatik yaitu tidak
ditemukan kelainan meski setelah pemeriksaan yang menyeluruh.9 Banyak
anak dengan ND kronik ternyata tidak ditemukan penyebab organik dan
pada sebagian pasien keluhan menghilang sendiri.

Nyeri dada kardiak


Nyeri dada dengan penyebab kardiak jarang ditemukan pada populasi
anak dan remaja. Pada populasi dengan kelainan jantung pun, ND jarang
ditemukan, tetapi dapat terjadi pada beberapa keadaan misalnya anomali
arteri koroner (Tabel 1.). Anomali arteri koroner adalah penyebab kematian
mendadak kedua setelah kardiomiopati hipertrofik pada usia remaja.7 Bayi
dengan insufisiensi koroner, akibat arteri koroner kiri berasal dari arteri
pulmonalis, biasanya tampak rewel, menarik lutut ke perut setelah makan,
pucat dan diaforesis serta gejala syok. Kondisi seperti ini sering salah
terdiagnosis sebagai kolik.7
Selain itu, terdapat pula komplikasi jangka panjang penyakit Kawasaki
berupa stenosis arteri koroner. Aneurisme raksasa pada penyakit Kawasaki
mempunyai risiko untuk terjadinya ruptur, oklusi akibat trombosis,
dan stenosis. Akibatnya, iskemi atau infark miokard dapat terjadi dan
menimbulkan gejala nyeri dada. Pada anak dengan denyut nadi yang cepat
sekali, ND perlu dicurigai sebagai akibat dari takikardia ventrikular atau
supra ventrikular.

Tabel 2. Frekuensi penyebab nyeri dada pada anak 15


Penyebab Unit Pediatri Gawat darurat atau Klinik Kardiologi (%)
Klinik Pediatri (%)
Idiopatik 12-61 37-54
Muskuloskeletal 7-69 1-89
Saluran napas 13-24 1-12
Gastrointestinal 3-7 3-12
Psikogenik 5-9 3-12
Kardiak 2-5 3-7

Diagnosis
Langkah awal dalam evaluasi pasien dengan ND adalah menyingkirkan
kemungkinan penyebab kardiak yang merupakan kecemasan orangtua.
Selanjutnya, kita dapat mencari 3 penyebab utama dari ND non kardiak
yaitu kostokondritis, muskuloskeletal dan respirasi yang jumlahnya mencapai
45%-65 % dari ND pada anak.9

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 75


Najib Advani

Anamnesis yang teliti serta pemeriksaan fisis yang cermat dapat


menyingkirkan kemungkinan penyebab kardiak dan juga sering dapat
menemukan penyebab yang lain.
Untuk menuntun ke arah diagnosis ada beberapa hal yang perlu
ditanyakan:
yy Saat timbulnya ND
Jika akut (<48 Jam) : cenderung kelainan organik, pada anak kecil dapat
karena benda asing di esofagus misalnya koin. Jika kronik cenderung
idiopatik atau psikogenik meski masih mungkin kostokondritis
yy Frekuensi dan lama serangan
yy Lokasi nyeri dada
yy Bentuk dan derajat sakitnya
yy Faktor yang menstimulasi timbulnya serangan
Nyeri yang timbul setelah latihan mungkin karena jantung atau asma.
Nyeri mid-sternal atau prekordial yang memburuk setelah makan atau
berbaring mungkin berasal dari esofagus. Riwayat olah raga yang berat
atau angkat beban atau trauma menjurus ke arah muskuloskeletal.
Jika didahului stres psikis, maka penyebab ND mungkin psikogenik
(singkirkan dulu penyebab organik).
yy Faktor yang membuat nyeri membaik atau memburuk
Nyeri yang memburuk saat bergerak, nafas dalam atau batuk
menunjukkan nyeri dinding dada, pleura atau paru. Nyeri yang membaik
saat duduk dan bersandar ke depan dapat akibat perikarditis
yy Gejala atau penyakit penyerta
Jika ND disertai palpitasi atau sinkop, maka penyebabnya mungkin
aritmia atau penyakit jantung. Adanya demam menunjukkan proses
infeksi misalnya pneumonia, miokarditis atau perikarditis.
yy Riwayat trauma
yy Riwayat penyakit tertentu misalnya penyakit Kawasaki, asma, diabetes,
sindrom Marfan dan penyakit jaringan ikat lainnya
yy Riwayat keluarga adanya penyakit jantung , kematian mendadak atau
kondisi serupa
yy Terapi atau tindakan yang sudah dilakukan
Setelah anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis harus dilakukan dengan
cermat secara menyeluruh dan bukan hanya disekitar dada. Pemeriksaan
tanda tanda vital (suhu, nadi, pernapasan, tensi), jantung, paru, leher,
ekstremitas dan abdomen serta tulang belakang perlu dilakukan.
Lakukan juga palpasi sendi kostokondral dan seluruh dada.

76 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Nyeri Dada pada Anak dan Remaja: Kelainan Jantung atau Bukan?

Tata laksana
Setelah anamnesis yang cermat serta pemeriksaan fisis menyeluruh
dilakukan, tata laksana yang memadai sangat diperlukan. Tata laksana ND
bergantung pada kelainan yang mendasarinya, bahkan mungkin diperlukan
konsultasi ke ahli yang terkait. Pemeriksaan penunjang didasarkan pada
kecurigaan pada etiologi atau faktor penyebab ND. Untuk menyingkirkan
kemungkinan penyebab kardiak, langkah awal dilakukan pemeriksaan foto
toraks dan elektrokardiografi (EKG). Kardiolog anak mungkin juga akan
melakukan ekokardiogram. Foto toraks dapat melihat ukuran jantung, efusi,
dan kelainan di paru. EKG dikerjakan untuk melihat adakah kelainan irama
jantung. Ekokardiografi dapat diperlukan sesuai indikasi untuk menentukan
kelainan struktural jantung, efusi perikardium, kardiomiopati dan kelainan
koroner (Tabel 3.). Uji latihan dapat menentukan perubahan segmen
ST akibat latihan maupun aritmia atau ektopi akibat latihan. Pencitraan
jantung lebih lanjut dengan CT scan atau MRI dapat dilakukan jika hasil
ekokardiografi masih meragukan.
Nyeri karena muskuloskleletal (sebagai penyebab ND tersering) dapat
ditata laksana dengan istirahat serta analgetik golongan non-steroid. Jika ND
dicurigai akibat kelainan jantung, perlu segera dirujuk ke kardiolog anak.
Adapun indikasi rujukan adalah:6
1. Ditemukan kelainan kardiologis secara klinis, misalnya sianosis, bising
jantung, denyut jantung tidak teratur, kardiomegali pada foto torak, dsb
2. Nyeri dada yang timbul setelah latihan
3. Sinkop setelah latihan
4. Nyeri dada disertai palpitasi
5. Ditemukan kelainan pada EKG
6. Riwayat keluarga yang bermakna adanya aritmia, kematian mendadak
atau kelainan genetik
7. Riwayat operasi jantung atau tindakan intervensi jantung
8. Riwayat penyakit Kawasaki
9. Hiperkolesterolemia familial
10. Riwayat transplantasi jantung

Prognosis
Prognosis pasien dengan ND tegantung penyebabnya, tetapi pada umumnya
baik. Suatu penelitian mendapatkan resolusi ND pada 58% pasien saat
ditanyakan antara 4 minggu hingga 2 tahun setelah diagnosis awal.2
Penelitian lain yang melibatkan 3700 pasien anak dengan ND mendapatkan
25% pasien menderita ND rekuren setelah pengamatan selama 4,4 tahun. 16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 77
Najib Advani

Tabel 3 . Indikasi pemeriksaan ekokardiografi pada nyeri dada 6


Klasifikasi Indikasi
Perlu: • ND karena aktifitas
• ND tanpa aktivitas dengan kelainan pada EKG
• ND dengan riwayat keluarga dengan kematian mendadak tanpa sebab atau
kardiomiopati
Mungkin perlu: • ND dengan tanda dan gejala penyakit jantung, riwayat keluarga tidak
menonjol, dan EKG normal
• ND dengan riwayat keluarga penyakit koroner pada usia muda
• ND dengan demam yang baru timbul
• ND dengan penggunaan obat terlarang
Jarang • ND tanpa gejala penyakit jantung, riwayat keluarga tidak menonjol dan EKG
diperlukan: normal
• ND saat diam dengan EKG normal atau tanpa data EKG
• ND yang bisa dicetuskan kembali dengan palpasi atau napas dalam
ND: nyeri dada

Simpulan
Semua anak dan remaja dengan nyeri dada perlu dievaluasi dengan cermat.
Meskipun mayoritas nyeri dada tidak berbahaya, namun keluhan ini tidak
dapat diabaikan begitu saja karena dapat menimbulkan kecemasan baik pada
orangtua maupun pada anak besar. Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang
teliti umumnya sudah memadai untuk menentukan penyebabnya. Nyeri
dada akibat masalah muskuloskeletal merupakan penyebab yang tersering.
Jika masih ada keraguan, sebaiknya dilakukan konsultasi ke ahli yang terkait.
Penting untuk memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga bahwa hal
ini tidak berbahaya serta memberikan solusi penanganan sesuai dengan
masalah yang dihadapi.

Daftar pustaka
1. Fyfe DA. Chest pain in pediatric patients presenting to a cardiac clinic. Clin
Pediatr. 1984;321-4.
2. Driscoll DJ, Glicklich LB, Gallen WJ. Chest pain in children: A prospective
study. Pediatrics. 1976;57:648-51.
3. Selbst SM.Chest pain in children. Pediatrics.1985;75:1068–70.
4. Rowe BH, Dulberg CS, Paterson RG, Vlad P, Li MM. Characteristics of
children presenting with chest pain to a pediatric emergency department.
CMAJ.1990;143:388-94.
5. Selbst SM, Ruddy RM, Clark BJ, Henretig FM, Santulli T Jr. Pediatric chest pain:
A prospective study. Pediatrics. 1988;82:319–23.
6. Johnson JN, Driscoll DJ. Chest pain in children and adolescents. Dalam: Allen
HD, Shaddy RE, Penny DJ, Feltes TF, Cotta F, penyunting. Moss and Adams’
Heart disease in infants, children, and adolescents. Ed. 9. Philadelphia: Wolter
Kluwer; 2016. h. 1627-31.

78 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Nyeri Dada pada Anak dan Remaja: Kelainan Jantung atau Bukan?

7. Reddy SRV, Singh HR. Chest pain in children and adolescents. Pediatr Rev.
2010;31-9.
8. Pantell RH, Goodman BW Jr. Adolescent chest pain: a prospective study.
Pediatrics. 1983;71:881–87.
9. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Ed. 6. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2014. h. 495-504.
10. Haas NA, Kleideiter U, Pediatric Cardiology. Ed. 1. Rio de Janeiro: Thieme;
2015. h. 79-89.
11. Mukamel M, Kornreich L, Horev G, Zeharia A, Mimouni M. Tietze’s syndrome
in children and infants. J Pediatr. 1997;131:774-5.
12. Pickering D. Precordial catch syndrome. Arch Dis Child.1981;56:401–3.
13. Howell J. Xiphoidynia: A report of three cases. J Emerg Med. 1992;10:435-38.
14. Evangelista J, Parsons M, Renneburg AK. Chest pain in children: Diagnosis
through history and physical examination. J Pediatr Health Care. 2000;14:3-8.
15. Thull-Freedman J. Evaluation of chest pain in the pediatric patients. Med Clin
North Am. 2010;94:327-47.
16. Sleeb SF, Li WY, Warren SZ, Lock JE. Effectiveness of screening for life
threatening chest pain in children. Pediatrics. 2011:128:e1062-8.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 79


Mengompol pada Anak: Diobati atau
Tidak?
Sudung O. Pardede

Tujuan:
1. Memahami klasifikasi mengompol
2. Memahami tata laksana mengompol

S
ecara umum, mengompol (wetting) diartikan sebagai pengeluaran air
kemih yang tidak disadari atau tidak dapat dikendalikan pada saat
pengendalian kandung kemih sudah tercapai, atau berkemih terjadi
tidak pada saat berkemih dan di tempat yang tidak semestinya. Pengertian
enuresis masih berbeda-beda. Umumnya, gangguan berkemih yang
menyebabkan tempat tidur atau celana basah disebut dengan mengompol
atau enuresis atau wetting.1 Proses pengendalian kandung kemih tercapai
pada umur 1-5 tahun, sehingga seorang anak disebutkan mengalami enuresis
jika enuresis menetap minimal 1 kali seminggu untuk anak di atas 5 tahun2
untuk perempuan dan di atas 6 tahun untuk anak laki-laki.3
Mengompol dapat dibedakan menjadi enuresis (mengompol) dan
inkontinensia urin (beser), namun untuk kedua istilah ini sering digunakan
istilah mengompol atau wetting. Enuresis atau mengompol adalah keadaan
berkemih normal, tetapi pada waktu dan tempat yang tidak tepat atau yang
tidak diterima lingkungan sosial. Inkontinensia urin adalah keadaan proses
berkemih involunter, pengeluaran urin terjadi tanpa dapat dikendalikan
meskipun pasien berusaha menahannya, air kemih sering menetes dan tidak
lampias,4 dan pengosongan kandung kemih biasanya tidak sempurna karena
terdapat sisa urin dalam kandung kemih.1 Namun dalam praktik sehari-hari,
kedua keadaan ini sering sulit dibedakan.
Pada tahun 2006, International Children’s Continence Society (ICCS)
membagi mengompol atau wetting pada anak menjadi enuresis, daytime
lower urinay tract dysfunction (inkontinensia fungsional), dan inkontinensia
struktural.5 Enuresis dapat dibedakan menjadi enuresis primer jika sejak lahir
anak tidak pernah ada keadaan normal dalam pengendalian buang air kemih,
sedangkan enuresis sekunder, jika terjadi 6 bulan setelah keadaan normal

80 Kiat Membuat Anak Sehat, Tinggi, dan Cerdas


Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?

atau tanpa enuresis,3,6,7 Enuresis dapat terjadi pada malam hari sewaktu
tidur (enuresis nokturna, nighttime wetting, sleep wetting, bedwetting) atau
siang hari (enuresis diurnal, daytime wetting, awake wetting), atau keduanya.
Isolated enuresis nocturna (enuresis nokturna tersendiri) adalah enuresis yang
hanya terjadi selama tidur, sedangkan classical enuresis diurnal dapat terjadi
baik pada siang hari maupun malam hari.1 Enuresis nokturnal lebih sering
terjadi pada anak laki-laki, sedangkan enuresis diurnal lebih sering pada
anak perempuan. Enuresis nokturnal lebih sering dibandingkan enuresis
diurnal, dan diperkirakan kejadian enuresis nokturnal 80% sedangkan
enuresis diurnal 20%.3
Masalah berkemih pada anak sering ditemukan terutama bedwetting
atau enuresis nokturnal dan daytime urgency dengan atau tanpa wetting.
Gangguan berkemih ini sering menyebabkan keadaan yang tidak
menyenangkan terhadap pasien maupun keluarganya, sehingga biasanya
dilakukan berbagai upaya penyembuhan. Tata laksana gangguan berkemih
sering merupakan masalah karena biasanya memerlukan waktu lama,
sering membosankan atau membuat kesal baik pasien maupun dokter, dan
tidak memberikan jaminan untuk kesembuhan. Tata laksana yang baik
ditentukan oleh identifikasi simtomatologi yang sering memerlukan tata
laksana interdisiplin seperti nefrologis, urologis, terapis, dan ahli lainnya.6

Klasifikasi
Inkontinenisa urin diartikan dengan pengeluaran urin yang involunter
(tidak dapat dikendalikan). Inkontinensia dibedakan menjadi inkontinensia
kontinyu dan inkontinensia intermitten.
Inkontinensia kontinyu berarti terjadi pengeluaran urin pada siang dan
malam hari, biasanya karena kelainan kongenital (ureter ektopik, ekstrofi
kandung kemih), kehilangan fungsi sfingter uretra eksterna (sfingterektomi
eksterna), atau iatrogenik (fistula vesikovaginal).
Inkontinensia intermitten berarti terjadi pengeluaran urin dalam
jumlah tertentu. Inkontinensia intermitten dibedakan menjadi day-time
incontinence (awake incontinence) dan night-time incontinence (sleeping
incontinence) atau enuresis. Daytime incontinence dibedakan menjadi
inkontinensia fungsional dan inkontinensia struktural.7 Enuresis dibedakan
menjadi enuresis monosimtomatik dan enuresis non-monosimtomatik.
Enuresis monosimtomatik maupun non-monosimtomatik dapat terjadi
primer maupun sekunder.5,7
Inkontinensia fungsional terdiri atas overactive bladder, dysfunctional
voiding, voiding postponement, giggle incontinence, stress incontinence,
vesicovaginal entrapment, sindrom eliminasi.8

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 81


Sudung O. Pardede

Inkontinensia struktural terdiri atas:


1. Kelainan anatomik
–– kelainan fungsi penyimpanan: ekstrofia kandung kemih, ekstrofia
kloaka, agenesis atau duplikasi kandung kemih.
–– kelainan fungsi sfingter: epispadia, malformasi sinus urogenital,
uretrokel
–– kelainan bypass mekanisme sfingter: ureter ektopik, duplikasi uretra,
fistula vesikovagina.
2. Kelainan neurogenik: overactive detrusor, underactive detrusor, overactive
sphincter, underactive sphincter.9

Terminologi
Terdapat berbagai terminologi tentang gangguan berkemih. Inkontinensia
urin: gangguan pasase urin involunter melalui uretra. Enuresis nokturnal
primer: enuresis ketika tidur yang timbul sejak umur < 5 tahun dan tidak
pernah kering (berhenti ngompol) selama 6 bulan atau lebih. Enuresis
nokturnal sekunder: Enuresis yang timbul kembali setelah tidak wetting atau
ngompol selama 6 bulan atau lebih. Enuresis nokturnal monosimtomatik
primer: enuresis tanpa gejala pada siang hari dan tidak ada kelainan fisik.
Enuresis nokturnal polisimtomatik: enuresis dengan komplikasi gejala
urgency dengan atau tanpa urge incontinence pada siang hari. Urge syndrome
(urge incontinence, overreactive bladder): urge yang sering ketika berkemih
yang dapat disertai enuresis. Disfungsi berkemih (voiding dysfunctional):
berkemih yang tidak terkoordinasi akibat overaktif sfingter uretra eksternal
dan otot dasar pelvis yang disertai pancaran urin terputus-putus, berkemih
yang lama, atau pengosongan yang tidak sempurna.6 Giggle incontinence:
proses berkemih yang timbul ketika anak tertawa terbahak-bahak,
dapat berupa pengosongan sebagian atau pengosongan lengkap. Stress
incontinence: inkontinensia atau keluarnya air kemih dalam jumlah sedikit
pada saat peningkatan tekanan intra-abdomen seperti mengedan atau batuk.
Vesicovaginal entrapment: keadaan dengan rembesan urin segera setelah
berkemih selesai, tanpa disertai keinginan berkemih, yang terjadi pada
anak perempuan. Sindrom eliminasi: gangguan pengosongan usus besar
dan atau kandung kemih yang menyebabkan aktivitas detrusor, konstipasi,
dan jarang berkemih.8,9

Fisiologi dan patofisiologi proses berkemih


Dalam proses berkemih normal, semua bagian sistem saluran kemih bagian
bawah yakni otot detrusor, leher kandung kemih, dan sfingter uretra eksterna
bekerja secara terkoordinir, baik dalam proses pengosongan kandung kemih

82 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?

maupun proses pengisian. Dalam proses berkemih normal, terdapat proses


yang berfungsi terkoordinir yaitu kapasitas kandung kemih yang adekuat,
proses pengosongan dengan kontrol yang baik, pengosongan kandung kemih
yang sempurna, dan proses pengisian maupun pengosongan kandung kemih
tidak berakibat buruk terhadap saluran kemih atas dan ginjal. Bila salah satu
proses tersebut mengalami gangguan, akan menyebabkan kelainan proses
berkemih.4
Anak belajar mengontrol berkemih dengan kontraksi volunter otot
dasar pelvis. Mekanisme kontrol volunter terhadap otot detrusor dan atau
aktivitas refleks uretra memerlukan kemampuan kognitif. Pada sebagian
besar anak, kemampuan kognitif ini belum berkembang sebelum usia 2
tahun, dan membutuhkan waktu yang lebih lama hingga usia 4-6 tahun.
Rasa nyeri, dyscomfort, dan pengalaman negatif berkaitan dengan berkemih
membuat anak melakukan tindakan emergensi untuk mencegah atau
menunda proses berkemih selama mungkin. Beberapa anak menunda
berkemih pada keadaan tertentu misalnya ketika bermain. Kedaan ini sering
menjadi kebiasaan anak, yang diikuti oleh disfungsi kandung kemih dan
sfingter serta pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna.1
Fisiologi proses berkemih dipengaruhi kontrol berkemih oleh susunan
saraf, mekanisme arousal, kemampuan pemekatan urin, dan kapasitas
pengisian kandung kemih.
Persarafan yang mengendalikan proses berkemih diperankan oleh
susunan saraf pusat (kortek serebri dan pons) serta susunan saraf perifer
(simpatis: Th10-L1, parasimpatis dan inervasi somatik: S2-S4). Setiap
lesi yang mengenai jaras saraf ini dapat menyebabkan disfungsi kandung
kemih dan inkontinensia urin. Mekanisme kontrol persarafan terjadi pada
saat tidur maupun bangun sebagai respon terhadap stimulus peregangan
kandung kemih sehingga kandung kemih tetap dalam keadaan kontinensia.
Kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih atau menghambat
pengosongan kandung kemih pada saat siang maupun malam berkembang
hingga umur 3-4 tahun. Ketidak mampuan menghambat proses berkemih
saat tidur pada umur di atas 5 tahun menyebabkan enuresis nokturnal.6
Mekanisme arousal: Efek arousal yang kurang untuk merangsang
peregangan kandung kemih selama tidur merupakan faktor penting pada
enuresis nokturnal. Enuresis nokturnal berkaitan dengan obstructive sleep
apnoea disebabkan peningkatan produksi atrial natriuretic peptide yang
meningkatkan nilai ambang arousal saat tidur.6
Kemampuan pemekatan urin: Dalam keadaan normal, terdapat
penurunan produksi urin yang bermakna pada malam hari karena
meningkatnya sekresi antidiuretic hormone. Hilangnya mekanisme
peningkatan antidiuretic hormone menyebabkan nokturia atau bedwetting
pada malam hari.6

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 83


Sudung O. Pardede

Kapasitas kandung kemih: Kandung kemih efektif mengakomodasi


penambahan volume urin secara perlahan tanpa terdapat kontraksi atau
rasa tidak menyenangkan. Kapasitas kandung kemih akan bertambah seiring
dengan pertambahan usia.6
Estimasi kapasitas kandung kemih dapat diukur dengan formula
tertentu.10 Terdapat beberapa formula untuk menghitung kapasitas kandung
kemih. Estimasi kapasitas kandung kemih (ounce) untuk anak umur < 2
tahun = 2 x umur (tahun) + 2, sedangkan untuk anak umur 2-13 tahun
= umur (tahun) + 6. (1 ounce = 30 mL).10 Formula Kaefer dkk (1997),
dibedakan pada anak < 2 tahun dan anak > 2 tahun. Kapasitas kandung
kemih untuk anak < 2 tahun = (2X + 2) x 28,35 mL; dan untuk anak >
2 tahun = (X/2 + 6) x 28,35 mL (X: umur dalam tahun).11 Formula Koff:
kapasitas kandung kemih = (umur + 1) x 30 mL atau 30 + 30 umur (dalam
tahun).12 Formula kapasitas kandung kemih yang sering digunakan adalah
formula Koff.
Penurunan kapasias kandung kemih, baik secara anatomi maupun
fungsional karena kontraksi yang tidak dapat dihambat menyebabkan
kapasitas kandung kemih berkurang dan merupakan faktor predisposisi
wetting. Jika kapasitas maksimal kandung kemih tercapai, akan timbul sensasi
berkemih dan anak mulai berkemih dengan merelaksasi sfingter eksternal
dan otot dasar pelvis sebelum kontraksi otot detrusor. Gangguan relaksasi
sfingter eksternal dan otot dasar pelvis selama kontraksi otot detrusor akan
menyebabkan inkoordinasi proses berkemih. Disfungsi proses berkemih
berat akan menyebabkan obstruksi aliran urin persisten dan peningkatan
tekanan dalam kandung kemih, yang akan membuka vesicoureteric junction,
menyebabkan urin mengalami refluks ke ureter, menimbulkan refluks
vesikoureter.6

Faktor risiko/predisposisi enuresis6


1. Faktor genetik
a. Risiko enuresis nokturnal 50% jika salah satu orangtua enuresis
nokturnal
b. Risiko enuresis nokturnal 75% jika kedua orangtua enuresis
nokturnal
2. Faktor fisiologis
a. Poliuria nokturnal
b. Respon arousal yang jelek terhadap kandung kemih penuh selama
tidur
c. Overactive bladder

84 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?

3. Perkembangan terlambat, attention deficit hyperactivity disorders


4. Faktor sosial
a. Faktor penting dalam enuresis nokturnal sekunder, misal stres psikis

Pendekatan diagnosis dan tata laksana gangguan


berkemih 6,7,10
1. Anamnesis atau history taking
a. Pola berkemih atau ngompol
i. Ngompol siang dan atau malam hari
ii. Awitan: primer atau sekunder
iii. Rasa urgensi saat bekermih
iv. Frekuensi dan volume berkemih
b. Fungsi buang air besar
i. Konstipasi atau soiling
c. Psikososial
i. Sebagai penyebab enuresis nokturnal sekunder
ii. Sebagai akibat ngompol
d. Riwayat keluarga: enuresis nokturnal monosimtomatik primer
e. Riwayat penyakit sebelumnya
i. Infeksi saluran kemih
ii. Pembedahan
iii. Obstructive sleep apnoea
f. Penilaian objektif: catatan 3 hari berkemih (volume, frekuensi)

2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum: aktivitas, tekanan darah
b. Pemeriksaan abdomen
i. Massa feses, kandung kemih distended
ii. Perembesan urin ketika menekan suprapubik
c. Daerah genitalia
i. Kelainan anatomi
d. Tanda spinal dysraphism
i. Herald patch (tuft of hair, dimple, sinus, nevus)
e. Defek neurologis
i. Pes kavus, kelainan refleks lumbosakral

3. Pemeriksaan penunjang
a. Untuk enuresis nokturnal monosimtomatik primer: urinalisis, dan
jika perlu biakan urin
b. Untuk gejala yang ada pada siang hari: uroflowmeter dan scan

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 85


Sudung O. Pardede

kandung kemih untuk melihat residual urine yang dapat digunakan


untuk skrining fungsi kandung kemih. Dalam keadan normal
akan terlihat berupa kurva berbentuk lonceng dengan smooth,
dan kelainan bentuk menggambarkan obstruksi. Sisa urin lebih
dari 10% volume urin menggambarkan pengosongan yang tidak
sempurna. Skrining ultrasonografi terindikasi untuk pasien
dengan gejala mengompol siang hari. Pemeriksaan urodinamik,
micturiting cystourethrogram, dimercapto succinic acid (DMSA)
scan terindikasi pada anamnesis yang kompleks, dan pemeriksaan
skrining abnormal.10

Tata laksana
Terapi inkontinensisia urin tergantung pada jenisnya, dapat berupa terapi
non-farmakologik, terapi farmakologik, dan terapi bedah. Beberapa obat
digunakan dalam terapi farmakologik meskipun tidak selalu digunakan.

Terapi farmakologik
Terapi farmakologik meliputi antikolinergik, stimulan adrenergik-α,
antidepresan trisiklat, penghambat adrenergik-α, dan stimulan susunan
saraf pusat. Terapi farmakologik dicadangkan untuk enuresis yang
dikaitkan dengan infeksi saluran kemih, atau terdapat gangguan sosial
yang memalukan secara bermakna. Pasien dengan konstipasi memerlukan
tata laksana konstipasi sebelum pemberian obat untuk enuresis. Obat
antikolinergik dan adrenergik-α merupakan indikasi kontra untuk pasien
dengan glaukoma atau penyakit jantung, sehingga memerlukan konsultasi
dengan ahlinya sebelum pemberian obat ini.10

Desmopresin
Deamino-delta-D-arginin vasopresin atau DDAVP adalah analog sintetik
arginin vasopresin atau hormon antidiuretik. Obat ini bekerja sebagai
antidiuretik dan menurunkan volume urin. Potensinya 5 kali lebih kuat
dibandingkan vasopresin, dan hampir selalu memperbaiki nokturia pada
enuresis nokturnal. Durasi kerja biasanya dalam waktu 10 jam sehingga
ideal selama tidur.13 Potensi DDAVP yang baik dan relatif aman menjadikan
DDAVP sebagai farmakoterapi lini pertama untuk enuresis dengan
keberhasilan terapi antara 60-70% dalam waktu pendek, dan sekitar 30%
dalam jangka lama. Desmopresin terdapat dalam sediaan tablet per oral
0,2-0,6 mg atau dalam bentuk liofilisat sublingual 120-240 µg.10 Terdapat
juga desmopresin dalam sediaan nasal spray pump dengan dosis 10 µg per

86 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?

spray. Obat ini diabsorbsi dengan cepat di mukosa hidung dan mencapai
kadar maksimal dalam plasma dalam waktu 45-55 menit.14

Antibiotik
Antibiotik diberikan jika terdapat infeksi saluran kemih yang ditandai
dengan bakteriuria bermakna. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain
kotrimoksazol, sefaleksin, sefiksim, amoksiklav, dan antibiotik lain yang
sensitif.10

Obat antikolinergik
Obat antikolinergik dan muskulotropik menghambat atau mengurangi
aktivitas berlebih (overactivity) kandung kemih dan meningkatkan ambang
potensial untuk kontraksi sel otot polos involunter yang memperbesar
volume kandung kemih sebelum kontraksi kandung kemih. Antikolinergik
juga mengurangi rasa nyeri dan rasa tidak menyenangkan akibat aktivitas
berlebih kandung kemih.1,2,10,14 Obat antiklonergik antara lain oksibutinin2,10,14
profantelin, hiosianin,10 tolterodin, propiverin yang tidak semuanya tersedia
di setiap negara. Antikolinergik tidak dapat digunakan sebagai terapi lini
pertama, tetapi dapat digunakan sebagai obat tambahan pada kasus yang
berkaitan dengan aktivitas berlebih kandung kemih, atau setelah kegagalan
terapi non-farmakologik.2 Antikolinergik yang sering digunakan adalah
oksibutinin 0,3 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis.1 Beberapa efek samping antara
lain mulut kering, flushing wajah, konstipasi, kepanasan, dan hiperpireksia.
Jika terjadi penglihatan kabur atau halusinasi, dosis obat harus diturunkan.2,10

Stimulan adrenergik-α
Adrenergik-α akan meningkatkan resistensi uretra melalui efek langsung
terhadap otot polos uretra atau dengan meningkatkan supply darah ke
submukosa uretra.1,10 Stres inkontinensia urin dapat ditemukan pada kelainan
anatomi leher kandung kemih. Obat adrenergik-α antara lain fenil efrin,
pseudoefedrin, efedrin.10

Antidepresan trisiklat
Trisiklat bekerja melalui efek antikolinergik yang menyebabkan relaksasi otot
detrusor dan efek adrenergik-α yang meningkatkan aktivitas otot sfingter.
Trisiklat hanya digunakan pada anak besar dan remaja karena waktu paruh
yang relatif lama dan efek samping. Antikolinergik merupakan terapi lini

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 87


Sudung O. Pardede

pertama pada inkontinensia diurnal akibat aktivitas berlebih otot detrusor.


Antidepresan trisiklat yang sering digunakan pada anak adalah imipramin.
Efek samping fatal adalah kardiotoksik sehingga perlu dilakukan monitoring
terhadap defek konduksi jantung dan aritmia. Dosis imipramin: 0,7 mg/kgbb
diberikan 2 kali sehari dengan dosis maksimal 1,2 mg/kgbb.10 atau 25-50 mg/
dosis diberikan per oral 2 jam sebelum tidur 6

Penghambat adrenergik-α
Reseptor adrenergik-α di susunan saraf pusat akan mengatur tonus otot
corak uretra. Efek sentral dapat dapat memengaruhi spastisitas atau aktivitas
dissinergi otot corak uretra. Pemberian penghambat adrenergik-α pada
enuresis didasarkan pada terdapatnya reseptor adrenergik-α pada sel otot
polos outlet kandung kemih baik pada laki-laki maupun perempuan. Pada
anak dengan enuresis, kemampuan mengosongkan kandung kemih jelek,
yang umumnya disebabkan relaksasi sfingter uretra eksterna yang tidak
sempurna dan bukan karena peningkatan tonus leher kandung kemih.
Pemberian doxazosin 0,5-1,0 mg per oral dapat mengurangi 80% episode
enuresis pada anak. 10 Penghambat reseptor adrenergik-α fentolamin
menurunkan resistensi uretra, klonidin atau fenoksibenzamin mempunyai
efek sentral sebab obat ini dapat melewati sawar darah otak.1

Stimulan susunan saraf pusat


Stimulan susunan saraf pusat seperti metilfenidat (Ritalin) telah digunakan
untuk terapi giggle incontinence dengan hasil yang baik. Pemberian
metilfenidat pada anak dengan attention deficit hyperactivity disorders dan
enuresis dapat mengurangi enuresis, tetapi mekanismenya belum diketahui.10

Enuresis nokturnal (enuresis monosimtomatik)


Masalah wetting atau ngompol yang paling sering adalah enuresis nokturnal.
Kejadian enuresis nokturnal pada anak usia 7 tahun sekitar 6-10%, dan
kejadiannya semakin menurun seiring dengan pertambahan umur
dengan resolution rate 15% per tahun dan pada dewasa, sekitar 0,5-1%
masih mengalami enuresis nokturnal. Pada anak < 5 tahun, mengompol di
tempat tidur didapatkan pada sekitar 21% anak. Pada anak di atas 5 tahun,
episode enuresis harus berkurang karena berdampak psikologis pada anak.13
Sangat penting menentukan apakah enuresis berupa monosimtomatik atau
polisimtomatik dengan gejala pada siang hari karena terapi enuresis saja tidak
akan berhasil jika kandung kemih tetap over aktif. Terapi enuresis nokturnal
sekunder tidak berbeda dengan terapi enuresis nokturnal polisimtomatik

88 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?

primer, kecuali jika enuresis disebabkan infeksi saluran kemih, stres dan
faktor psikologis, atau keadaan poliuria misalnya karena diabetes melitus.6
Tata laksana enuresis nokturnal meliputi edukasi dan motivasi, alarm
enuresis, dan terapi medikamentosa. Indikasi tata laksana umumnya pada
anak > 5 tahun dengan bedwetting yang sering (2 kali atau lebih per minggu),
dengan objektifnya untuk memberikan kesembuhan kepada pasien hingga
< 80% dalam satu bulan, atau minimal terdapat perbaikan gejala klinis.
Terapinya adalah monoterapi menggunakan enuresis alarm sebagai terapi
keadaan untuk menaikkan arousal dalam respon terhadap distended bladder
atau desmopresin sebagai farmakoterapi untuk mengurangi pengeluaran
urin. Jika gagal dengan salah satu terapi ini, dapat digunakan terapi pilihan
lain.6
Pada terapi edukasi dan motivasi, kepada anak dan orangtua/keluarga
dijelaskan bahwa enuresis merupakan masalah yang sering terjadi pada
anak, dapat memengaruhi anggota keluarga lainnya, dan dapat ditata laksana
tetapi memerlukan waktu. Orangtua perlu melakukan pendekatan bersifat
positif terhadap anak penderita enuresis. Anak tidak mampu mengendalikan
keadaan enuresis, sehingga anak perlu dibantu dan tidak boleh dihukum.9,13
Perlu meyakinkan mereka bahwa tidak ada kelainan fisik, seberapa besar
masalah yang dihadapi, dan apa kira-kira faktor risiko yang ada. Perlu
disampaikan bahwa etiologi enuresis nokturnal bersifat multifaktor termasuk
masalah genetik, dan berbagai faktor risiko atau predisposisi enuresis
nokturnal.6
Tata laksana enuresis nokturnal harus berkelanjutan dan dapat
membutuhkan waktu lama, beberapa bulan hingga tahun, dan hal ini perlu
dijelaskan kepada keluarga dan pasien. Diupayakan agar tempat tidur anak
dekat ke toilet dan mudah dicapai, berkemih sebelum tidur, dan gunakan
matras/lampin supaya kasur tidak basah.13
Kepada anak perlu dijelaskan untuk mengonsumsi cairan yang cukup
pada siang hari, membatasi konsumsi cairan secara berlebihan pada malam
hari, menghindari konsumsi makanan-minuman yang menyebabkan diuresis
(kafein, diit tinggi protein dan garam) pada malam hari, serta menganjurkan
berkemih sebelum tidur. Membuat catatan harian sangat penting sebagai
tata laksana. Dalam catatan harian, perlu dicatat jumlah air yang diminum,
enuresis atau tidak, waktu enuresis, frekuensi, jumlah urin, terbangun atau
tidak, buang air besar. Dari catatan ini akan terlihat malam tanpa mengompol
(dry night) dan malam dengan mengompol (wet night) serta waktu dan
frekuensi enuresis.9,13 Pendekatan cara ini dapat menurunkan dampak
psikologis terhadap anak.13
Terapi alarm adalah memasang alat sedemikian rupa sehingga alarm
akan berbunyi jika pakaian basah oleh urin. Alarm enuresis adalah alat yang
dapat membantu anak mengatasi enuresis karena alarm akan membangunkan

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 89


Sudung O. Pardede

anak sebelum berkemih. Alarm membantu anak mengidentifikasi kandung


kemih sudah penuh sehingga anak bangun dan berkemih. Bunyi alarm
menyebabkan anak terbangun dan berkemih di toilet. Alarm digunakan
setiap malam. Keberhasilan diketahui dengan cara berkurang/hilangnya
episode alarm pada malam hari. Jika dalam 14 malam tidak ada enuresis,
penggunaan alarm dapat dihentikan.6,13 yang biasanya timbul setelah 3-4
bulan menjalani terapi.6 Keberhasilan penggunaan alat ini ditentukan oleh
motivasi anak dan dukungan orangtua atau keluarga. Terapi alarm dipantau
dalam waktu 1-2 bulan. Jika terdapat perbaikan, lanjutkan terapi alarm
dengan evaluasi rutin. Jika tidak terdapat perbaikan lagi dalam waktu 6-8
minggu, terapi alarm dikombinasi dengan desmopresin dan dilakukan
evaluasi ulang.9
Alarm enuresis dapat memberikan angka keberhasilan hingga 60-
80%, namun cara ini kurang berkenan pada keluarga karena melelahkan
dan sangat mengganggu akibat bunyi alarm. Efek terapi dapat ditingkatkan
dengan terapi behavior seperti reinforcement positif, dan latihan menahan
berkemih. Hasil latihan akan lebih baik jika dilakukan dengan intensif.
Angka kekambuhan atau relapse rate berkisar antara 15-40%.6 Jika dengan
penggunaan alarm selama 3 bulan tidak ada perbaikan, dapat digunakan
terapi pilihan lain yaitu terapi farmakologis, dengan pemberian desmopresin
selama 4 minggu.13
Pada terapi medikamentosa, kepatuhan terhadap pengobatan sangat
penting, dan upaya ini perlu direncanakan, dan terapi medikamentosa
biasanya adalah desmopresin (DDAVP).13 Jika respon pengobatan baik
(> 50% mengurangi mengompol), pengobatan diteruskan hingga 3 bulan.
Obat diberikan 1 jam sebelum tidur dan konsumsi cairan dikurangi 1
jam sebelum pemberian desmopresin. Perlu dilakukan follow-up 1-2 bulan,
kemudian dievaluasi. Jika tidak ada perbaikan, lakukan evaluasi dan kalau
perlu ubah terapi. Jika terdapat perbaikan, lanjutkan desmopresin dengan
evaluasi rutin dan jika tidak mengompol lagi selama 3 bulan, obat terapi
secara bertahap. Jika dalam 6-8 minggu perbaikan tidak sesuai harapan,
kombinasi dengan terapi alarm.9 Pada akhir terapi, separuh dari pasien akan
tetap tidak ngompol, namun setengah lagi dapat relaps dan memerlukan
pengobatan yang lebih lama dengan efek samping yang minimal. Efek
samping serius adalah intoksikasi air dengan hiponatremia dilusi yang dapat
menyebabkan kejang.6
Kamperis dkk. melakukan penelitian randomized double blind single-
arm crossover placebo controlled pada enuresis nokturnal monosimtomatik
yang resisten desmopresin dengan menambahkan indometasin.
Indometasin sebagai inhibitor siklo-oksigenase menghambat pengeluaran
prostaglandin-E2 yang diproduksi dalam jumlah banyak pada malam
hari pada enuresis nokturnal. Penelitian ini membandingkan kombinasi

90 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?

indometasin dan desmopresin dengan desmopresin dan plasebo


menunjukkan bahwa terdapat penurunan output urin nokturnal yang
bermakna pada pemberian kombinasi desmopresin dan indometasin (dari
324 + 14 mL menjadi 258 + 13 mL, p < 0,001), dan penurunan frekuensi
enuresis, tetapi tidak bermakna (dari 68% + 0,1 menjadi 56% + 0,1; p=0,24).15
Pada beberapa kasus, dapat diberikan terapi lain. Pada kasus yang
resisten dengan terapi tunggal, DDAVP dapat dikombinasi dengan terapi
alarm. Oksibutinin diindikasikan untuk pasien dengan overactive bladder
atau dengan episode wetting multipel per malam. Imipramin diindikasikan
untuk anak yang lebih besar yang gagal dengan terapi lini pertama dan
efektif pada 20-30% pasien. Terapi akupunktur dapat memberikan angka
keberhasilan hingga 65%. Pada kasus yang resisten, diperlukan evaluasi
kembali fungsi kandung kemih.6

Inkontinensia fungsional (daytime lower urinary


tract dysfunction)
Tata laksana disfungsi saluran kemih atas dapat dilakukan dengan rehabilitasi
saluran kemih bawah yang disebut dengan uroterapi, yakni terapi non-
bedah dan non-farmakologis.7,9 Uroterapi terdiri atas instruksi untuk tidur
dengan waktu yang cukup, meningkatkan kesadaran berkemih setiap hari
(daytime voiding: berkemih secara teratur, tidak menahan berkemih, posisi
badan yang optimal untuk berkemih), membatasi konsumsi cairan pada
malam hari, berkemih sebelum tidur. Uroterapi terdiri atas terapi standar
dan intervensi spesifik. Terapi standar dilakukan dengan memberikan
penjelasan tentang fungsi saluran kemih bawah dan penyebab gangguan
fungsi; memberikan instruksi untuk mengatasi masalah berupa berkemih
secara teratur, menahan air kemih; mengubah kebiasaan seperti minum
terakhir sebelum tidur, berkemih sebelum tidur, mencegah konstipasi;
membuat catatan harian berkemih, serta dukungan oleh keluarga. Terapi
intervensi spesifik dilakukan dengan fisioterapi dengan latihan otot dasar
pelvis, biofeedback, terapi alarm, dan neurostimulasi.7,9 Selain terapi tersebut,
dapat dipertimbangkan untuk pemberian obat antikolinergik (oksibutinin)
dan antispasmodik/antimuskarinik (tolterodin).6
Terapi overactive bladder dilakukan dengan mengubah kebiasaan,
pemberian obat antikolinergik (oksibutinin) atau tolterodin, neuromodulasi
yang menggunakan rangsangan cabang persarafan sakrum melalui elektroda
secara transkutan, atau pun dengan adjunctive biofeedback yaitu melakukan
monitoring aktivitas fisiologis otot dasar pelvis, sehingga anak dapat
mengetahui cara relaksasi otot dasar pelvis dan kontraksi detrusor involunter.
Terapi dysfunctional voiding dilakukan dengan latihan otot dasar pelvis,
kateterisasi jika ada residu urin setelah berkemih, adjunctive biofeedback,

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 91


Sudung O. Pardede

tata laksana infeksi saluran kemih dan kontipasi. Terapi giggle incontinence
dilakukan dengan latihan, obat antimuskarinik, metilfenidat, imipramin,
atau simpatomimetik alfa. Terapi vesicovaginal entrapment dilakukan dengan
perubahan posisi saat berkemih, sedangkan untuk terapi sindrom eliminasi
dilakukan dengan terapi konstipasi seperti disimpaksi feses, mencegah
penumpukan feses melalui kebiasaan buang air besar, dan pemberian serat.
Kemudian anak dilatih untuk mengenal rasa ingin berkemih dan berkemih
secara teratur.9

Inkontinensia struktural
Tata laksana inkontinensia struktural tergantung jenis kelainan, apakah
kelainan anatomi atau kelainan neurogenik. Kelainan anatomi dapat berupa
kelainan fungsi penyimpanan urin (ekstrofia kandung kemih, ekstrofia
kloaka, duplikasi kandung kemih), kelainan fungsi sfingter (epispadia,
uretrokel, malformasi sinus urogenital), dan kelainan mekanisme sfingter
(ureter ektopik, duplikasi uretra, vistula vesikovagina). Tata laksana kelainan
anatomi dapat dilakukan dengan terapi bedah, tergantung jenis kelainan
yang ditemukan.9
Kelainan neurologik dapat disebabkan kelainan saraf seperti spina
bifida, tethered spinal cord, kelainan vertebra, palsi serebral, trauma, tumor
medula spinalis. Kelainan neurologik dibedakan menjadi overactive detrusor,
underactive detrusor, overactive sphincter, dan underactive sphincter. Tata
laksana kelainan neurogenik dapat berupa clean intermitten catheterization,
terapi farmakologis dengan pemberian antikolinergik (oksibutinin,
tolterodin, trospium, propiverin), antibiotik untuk terapi atau profilaksis
infeksi saluran kemih, injeksi toksin botulinum ke dalam otot detrusor,
atau terapi bedah.9

Simpulan
Mengompol pada anak dapat berupa enuresis nokturnal (enuresis nokturnal
monosimtomatik dan non-monosimtomatik), inkontinensia fungsional,
dan inkontinensia struktural. Tata laksana mengompol tergantung jenis
kelainan, berupa edukasi dan motivasi, terapi alarm, dan terapi farmakologis
atau bedah.

Daftar pustaka
1. Van Gool JD. Disorders of micturition. Dalam: Postlehwaite RJ, penyunting.
Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-2. Oxford: Butterworth-Heinemann;
1994. h.59-74.

92 Common but Difficult Cases to Treat in Pediatric: Learning From Our Neighbours
Mengompol Pada Anak: Diobati atau Tidak?

2. Berard E. Pediatric bladder disorders. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet
P, Yoshikawa N, Emma F, Goldstein SL, penyunting, Pediatric nephrology.
Edisi ke-7. London: Springer Reference; 2016. h.1779-819.
3. Sekarwana N. Enuresis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2002. h. 291-308.
4. Tambunan T. Inkontinensia urin. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandyah
K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, dkk, penyunting. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2011. h. 141-4.
5. Neveus T, von Gontrad A, Hoebeke P, Hjalmas K, Bauer S, Bower W, dkk.
The standardization of terminology of lower urinary function in children and
adolescents: report from standardization Committee of International Childen’s
Continence Society. J Urol. 2006;176:314-24.
6. Chao SM. Enuresis and voiding disorders. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
penyunting. Practical paediatric nephrology. An update of current practices.
Edisi pertama. Hong Kong: Medcom Limited; 2005. h. 171-8.
7. Austin PF, Bauer SB, Bower W, Vhase J, Franco I, Hoebeke P, dkk. The
standardization of terminology of lower urinary tract function in children
and adolescents: Update report from the Standardization Committee of the
International Children’s Continence Society. J Urol. 2014;191:1863-5.e.13
8. Tekgul S, Nijman RJ, Hoebeke P, Canning D, Bower W, Gontard AV. Diagnosis
and management of urinary incontinence in childhood. Dalam: Abrams P,
Cardozo L, Khoury S, Wein A, penyunting. Incontinence. Edisi ke-4. Paris:
Health Publication; 2009. h. 701-92.
9. Pudjiastuti P, Rodjani A, Wahyuni LK, Laksmi E, Wahyudi I, Ambarsari CG.
Panduan tata laksana inkontinensia urin pada anak. Jakarta: Perkumpulan
Kontinensia Indonesia; 2013.
10. Pohl HG, Henderson CG. Voiding disorders. Dalam: Kher KK, Schnaper HW,
Makker SP, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-2. London:
Informa Healthcare; 2007. h. 519-37.
11. Kaeffer M, Zurakowsky D, Bauer SB, Retik AB, Peters CA, Atala A, dkk.
Estimating normal bladdercapacity in children. J Urol. 1997;158:2261-4.
12. Koff SA. Estimating bladder capacity in children. Urology. 1983;21:248-52.
13. Galea M, Sciberras C, Galea K. The management of nocturnal enuresis in
children. J Malta College Family Doctors. 2016;5:6-8.
14. Rushton HG, Enuresis. Dalam: Kher KK, Makker SP, penyunting. Cinical
pediatric nephrology. Edisi ke-1. New York: McGGraw Hill; 1992. h. 399-419.
15. Kamperis K, Hagstroem S, Faerch M, Mahler B, Rittig S, Djurhuus JC.
Combination treatment of nocturnal enuresis with desmopressin and
indomethacin, Pediatr Neprol. DOI 10.1007/s00467-016-3536-9. Publish
online Oktober 2016.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjuatan IDAI Cabang DKI Jakarta XIV 93

Anda mungkin juga menyukai