7 LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Fix
7 LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Fix
7 LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Fix
P27820716022
Gambar..Konsep Marah (Beck, Rawlins, Williams, 1986: 447 dikutip oleh Keliat
dan Sinaga, 1991:8)
Diagnosis Keperawatan
a) Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan perilaku
b) kekerasan.
c) Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
8. Intervensi Keperawatan
Risiko perilaku
Tindakan keperawatan untuk pasien
a) Tujuan
(1) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
(2) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
(3) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
(4) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
(5) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasannya.
(6) Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
b) Tindakan
a. Bina hubungan saling percaya.
(1) Mengucapkan salam terapeutik.
(2) Berjabat tangan.
(3) Menjelaskan tujuan interaksi.
(4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
pasien.
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan
masa lalu.
c. Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
(1) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
(2) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.
(3) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
(4) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
(5) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.
d. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
pada saat marah secara:
(1) verbal,
(2) terhadap orang lain,
(3) terhadap diri sendiri,
(4) terhadap lingkungan.
e. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
f. Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
(1) fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam;
(2) obat;
(3) sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa marahnya;
(4) spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan pasien.
g. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu latihan
napas dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal, secara
spiritual, dan patuh minum obat.
h. Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
mengontrol perilaku kekerasan.
a) Tujuan
Keluarga dapat merawat pasien dirumah
b) Tindakan keperawatan
a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
b. Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab,
tanda dan gejala, serta perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku
tersebut).
c. Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang
lain.
d. Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan.
(1) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan
yang telah diajarkan oleh perawat.
(2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila pasien
dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
(3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila
pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
e. Buat perencanaan pulang bersama keluarga.
9. Strategi Penahanan
1. Definisi
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana
pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu
penerapan panca indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan
yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren :
persepsi palsu. (Prabowo, 2014 : 129).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsnagan eksternal (dunia luar).Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata.Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara. (Kusumawati & Hartono, 2012:102).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien
mengalamai perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaaan atau penghiduan.Klien merasakan
stimulus yang sebetulnya tidak ada. (Damaiyanti, 2012: 53)
2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu mislnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan terhadap
stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress
berkepanjangan menyebabakan teraktivasinya neutransmitter otak.
4) Faktor Psikologi
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
padapenyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwaanak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalamai skizofrenia.Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
padapenyakit ini. (Prabowo, 2014: 132-133).
b. Faktor Presipitasi
1) Biologis
Gangguan dalam momunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.
2) Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stresosor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi
stress.(Prabowo, 2014 : 133)
4) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan nyata dan tidak.
a) Dimensi fisik
Halusianasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam
hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur
dalamwaktu yang lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi dari
halusinasi dapat berupa peritah memaksa dan menakutkan. Klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan
kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri
untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu
hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengotrol semua
perilaku klien.
d) Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam
nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang
tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan
kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah
halusinasiberupa ancaman, dirinya atau orang lain individu
cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses
interkasi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga
klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi
tidak berlangsung.
e) Dimensi spiritual
Secara spiritualklien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri, irama
sirkardiannya terganggu.(Damaiyanti, 2012 : 57-58).
3. Klasifikasi Halusinasi
Haluinasi terdiri dari beberapa jenis, dengan karakteristik tertentu,
diantaranya:
a. Halusinasi Pendengaran ( akustik, audiotorik)
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama
suara-suara orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang
sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan
memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi Pengihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pencaran
cahaya, gambaraan geometrik, gambar kartun dan/ atau panorama
yang luas dan komplesk. Bayangan bias bisa menyenangkan atau
menakutkan.
c. Halusinasi Penghidu (Olfaktori)
Gangguan stimulus pada penghidu, yamg ditandai dengan adanya bau
busuk, amis, dan bau yang menjijikan seperti : darah, urine atau feses.
Kadang-kadang terhidu bau harum.Biasnya berhubungan dengan
stroke, tumor, kejang dan dementia.
d. Halusinasi Peraba (Taktil, Kinaestatik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya sara sakit atau tidak
enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh merasakan sensasi listrik
datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
e. Halusinasi Pengecap (Gustatorik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan sesuatu yang
busuk, amis, dan menjijikkan.
f. Halusinasi sinestetik
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh
seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau
pembentukan urine. (Yosep Iyus, 2007: 130)
g. Halusinasi Viseral
Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya.
1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa
pribadinya sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai
dengan kenyataan yang ada. Sering pada skizofrenia dan sindrom
obus parietalis. Misalnya sering merasa diringa terpecah dua.
2) Derelisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungan yang
tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala suatu
yang dialaminya seperti dalam mimpi. (Damaiyanti, 2012 : 55-56)
4. Rentang Respon
Persepsi mengacu pada identifikasi dan interprestasi awal dari suatu
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra. Respon
neurobiologis sepanjang rentang sehat sakit berkisar dari adaptif pikiran logis,
persepsi akurat, emosi konsisten, dan perilaku sesuai sampai dengan respon
maladaptif yang meliputi delusi, halusinasi, dan isolasi sosial. Rentang respon
dapat digambarkan sebagai berikut:
Rentang Respon
1. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma social budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut. Respon
adaptif :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli.
4) Perilaku social adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
5) Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
2. Respon psikosossial
Meliputi :
1) Proses piker terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan
2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan
panca indra.
3) Emosi berlebih atau berkurang
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain.
3. Respon maladapttif
Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma social budaya dan lingkungan,
ada pun respon maladaptive antara lain :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakin ioleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan social.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari
hati.
4) Perilaku tidak terorganisi rmerupakan sesuatu yang tidak teratur
5) Isolasi sosisal adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu
kecelakaan yang negative mengancam.(Damaiyanti,2012: 54)
5. Proses Terjadinya Masalah
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase
memiliki karakteristik yang berdeda yaitu:
a. Fase I
Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas.Di sini pasien tersenyum
atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara,
pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
b. Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan.Pasien mulai lepas
kendali dan mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumberdipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tandatanda sistem
saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (
denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah), asyik dengna
pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan
halusinasi dengan reaita.
c. Fase III
Pasien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini pasien sukar berhubungan
dengan orang ain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi
perintah dari orang ain dan berada dalam kondisi yang sangat
menegangkan terutamajika akan berhubungan dengan orang lain.
d. Fase IV
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti
perintah halusinasi.Di sni terjadi perikalu kekerasan, agitasi, menarik
diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang komplek dan tidak
mampu berespon lebih dari 1 orang.Kondisi pasien sangan
membahayakan.( Prabowo, 2014: 130131)
6. Manifestasi Klinis
Perilaku paisen yang berkaitan dengan halusinasi adalah sebagai
berikut:
a. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, dan respon
verba lambat
c. Menarik diri dari orang lain,dan berusaha untuk menghindari diri dari
orang ain
d. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang
tidak nyata
e. Terjadi peningkatan denyut ajntung, pernapasan dan tekanan darah
f. Perhatian dengan lingkunganyang kurang atau hanya beberapa detik
dan berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.
g. Curiga, bermusuhan,merusak (diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya) dan takut
h. Sulit berhubungan dengan orang lain
i. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung,jengkel dan marah
j. Tidak mampu mengikuti perintah
k. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton.
(Prabowo, 2014: 133-134)
7. Akibat
Akibat dari hausinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan
ingkungan. Ini diakibatkan karena pasien berada di bawah halusinasinya yang
meminta dia untuk melakuka sesuatu hal diluar kesadarannya.( Prabowo,
2014: 134)
8. Mekanisme Koping
a. Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari
b. Proyeksi : menjeslaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengaliskan tanggung jawab kepada orang lain
c. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimuus
internal. (Prabowo, 2014 :134)
9. Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin harus diberikan, disini peran keluarga
sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di RSJ pasien
dinyatakan boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat
penting didalam hal merawat pasien, menciptakan lingkungan keluarga yang
kondusif dan sebagai pengawas minum obat
a. Farmakoterapi
Neuroleptika dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita
skizofrenia yang menahun,hasilnyalebih banyak jika mulai diberi dalam dua
tahun penyakit.Neuroleptika dengan dosis efek tiftinggi bermanfaat pada
penderita psikomotorik yang meningkat.
KELAS KIMIA NAMA GENERIK DOSIS HARIAN
(DAGANG)
Fenotiazin Asetofenazin (Tidal) 60-120 mg
Klopromazin 30-800 mg
(Thorazine) 1-40 mg
Flufenazine
(Prolixine, Permit) 30-400 mg
Mesoridazin ( 12-64 mg
Serentil) Perfenazin 15-150 mg
(Trialon) 40-1200 mg
Prokloperazin 150-800 mg
(Compazine) 2-40 mg
Promazine (Sparine) 60-150 mg
Tiodazin (Mellani)
Trifluopromazine
(Stelazine)
Trifluopromazine
(Vesprin)
Toksanten Kloproktisen 75-600 mg
(Tarctan) Tioktiksen 8-30 mg
(Navane)
Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100 mg
Dibenzondiazepin Klozapin (Clorazil) 300-900 mg
Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg
Didraindolon Molindone (Moban) 225-225
b. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
grand mall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode
yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan
pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
c. Psikoterapi dan rehabilitasi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu
karena berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan pasien
kembali kemasyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong
pasien bergaul dengan orang lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya
pasien tidak mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang
kurang baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama,
seperti therapy modalitas yang terdiridari :
1) Terapi aktivitas
a) Terapi music Focus ; mendengar ; memainkan alat musik ; bernyanyi.
yaitu menikmati dengan relaksasi music yang disukai pasien.
b) Terapi seni Focus: untuk mengekspresikan perasaan melalui beberapa
pekerjaan seni.
c) Terapi menari Focus pada: ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh
d) Terapi relaksasi Belajar dan praktik relaksasi dalam kelompok
Rasional : untuk koping/perilaku mal adaptif/deskriptif meningkatkan
partisipasi dan kesenangan pasien dalam kehidupan.
e) Terapi social Pasien belajar bersosialisai dengan pasien lain
2) Terapi kelompok
a) Terapi group (kelompok terapeutik)
b) Terapi aktivitas kelompok (adjunctive group activity therapy)
c) TAK Stimulus Persepsi; Halusinasi
Sesi 1 : Mengenal halusinasi
Sesi 2 : Mengontrol halusinasi dengan menghardik
Sesi 3 : Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
Sesi 4 : Mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap
Sesi 5 : Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
3) Terapi lingkungan
Suasana rumah sakit dibuat seperti suasana didalam keluarga( Home Like
Atmosphere).(Prabowo,2014: 134136)
Persepsi:
Halusinasi
a. Pendengaran
b. Penglihatan
c. Perabaan
d. Pengecapan
e. Pembau
Jelaskan
a. Isi halusinasi:
b. Waktu halusinasi:
c. Frekuensi halusinasi:
d. Respons halusinasi:
Masalah keperawatan:
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TINDAKAN KEPERAWATAN
SP PASIEN
Tg No Dx Perencanaan
l Dx Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Gangguan TUM :
Persepsi Sensori Klien tidak 1. Ekspresi wajah 1. Bina hubungan saling percaya dengan
: halusinasi mencederai bersahabat mengungkapkan prinsip komunikasi
orang lain menunjukan rasa terapentik.
Tuk 1 : senang ada kontak a. Sapa klien dengan ramah baik
Klien dapat mata. Mau berjabat verbal maupun non verbal
membina tangan, mau b. Perkenalkan diri dengan sopan
hubungan menyebutkan c. Tanyakan nama lengkap klien dan
saling percaya nama, mau nama panggilan yang disukai klien
menjawab salam, d. Jelaskan tujuan pertemuan
klien mau duduk e. Jujur dan menepati janji
berdampingan f. Tunjukan sikp simpati dan
dengan perawat, menerima apa adanya
mau g. Beri perhatian pada kebutuhan
mengungkapkan dasar klien
masalah yang
dihadapi.
Suatu hubungan antarmanusia akan berada pada rentang respons adaptif dan maladaptif
seperti tergambar di bawah ini.
a. Menarik diri: menemukan kesulitan dalam membina hubungan dengan orang lain.
b. Dependen: sangat bergantung pada orang lain sehingga individu mengalami kegagalan
dalam mengembangkan rasa percaya diri.
c. Manipulasi: individu berorientasi pada diri sendiri dan tujuan yang hendak dicapainya
tanpa mempedulikan orang lain dan lingkungan dan cenderung menjadikan orang lain
sebagai objek.
2. Perkembangan Hubungan Sosial
Bayi (0–18 Bulan)
Bayi mengomunikasikan kebutuhan menggunakan cara yang paling sederhana yaitu
menangis. Respons lingkungan terhadap tangisan bayi mempunyai pengaruh yang sangat
penting untuk kehidupan bayi di masa datang. Menurut Ericson, respons lingkungan yang
sesuai akan mengembangkan rasa percaya diri bayi akan perilakunya dan rasa percaya bayi
pada orang lain. Kegagalan pemenuhan kebutuhan pada masa ini akan mengakibatkan rasa
tidak percaya pada diri sendiri dan orang lain serta perilaku menarik diri.
Prasekolah (18 Bulan–5 Tahun)
Anak prasekolah mulai membina hubungan dengan lingkungan di luar keluarganya.Anak
membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga dalam hal pemberian pengakuan yang
positif terhadap perilaku anak yang adaptif sehingga anak dapat mengembangkan
kemampuan berhubungan yang dimilikinya. Hal tersebut merupakan dasar rasa otonomi anak
yang nantinya akan berkembang menjadi kemampuan hubungan interdependen. Kegagalan
anak dalam berhubungan dengan lingkungan dan disertai respons keluarga yang negatif akan
mengakibatkan anak menjadi tidak mampu pengontrol diri, tidak mandiri, ragu, menarik diri,
kurang percaya diri, pesimis, dan takut perilakunya salah.
anak Sekolah (6–12 Tahun)
Anak sekolah mulai meningkatkan hubungannya pada lingkungan sekolah. Di usia ini anak
akan mengenal kerja sama, kompetisi, dan kompromi. Pergaulan dengan orang dewasa di luar
keluarga mempunyai arti penting karena dapat menjadi sumber pendukung bagi anak.Hal itu
dibutuhkan karena konflik sering kali terjadi akibat adanya pembatasan dan dukungan yang
kurang konsisten dari keluarga. Kegagalan membina hubungan dengan teman sekolah,
dukungan luar yang tidak adekuat, serta inkonsistensi dari orang tua akan menimbulkan rasa
frustasi terhadap kemampuannya, merasa tidak mampu, putus asa, dan menarik diri dari
lingkungannya.
Remaja (12–20 Tahun)
Usia remaja anak mulai mengembangkan hubungan intim dengan teman sejenis atau lawan
jenis dan teman seusia, sehingga anak remaja biasanya mempunyai teman karib. Hubungan
dengan teman akan sangat dependen sedangkan hubungan dengan orang tua mulai
independen. Kegagalan membina hubungan dengan teman sebaya dan kurangnya dukungan
orang tua akan mengakibatkan keraguan identitas, ketidakmampuan mengidentifikasi karier
di masa mendatang, serta tumbuhnya rasa kurang percaya diri.
Dewasa Muda (18–25 Tahun)
Individu pada usia ini akan mempertahankan hubungan interdependen dengan orang tua dan
teman sebaya. Individu akan belajar mengambil keputusan dengan tetap memperhatikan saran
dan pendapat orang lain (pekerjaan, karier, pasangan hidup). Selain itu, individu mampu
mengekspresikan perasaannnya, menerima perasaan orang lain, dan meningkatnya kepekaan
terhadap kebutuhan orang lain. Oleh karenanya, akan berkembang suatu hubungan
mutualisme. Kegagalan individu pada fase ini akan mengakibatkan suatu sikap menghindari
hubungan intim dan menjauhi orang lain.
Dewasa Tengah (25–65 Tahun)
Pada umumnya pada usia ini individu telah berpisah tempat tinggal dengan orang tua.
Individu akan mengembangkan kemampuan hubungan interdependen yang dimilikinya. Bila
berhasil akan diperoleh hubungan dan dukungan yang baru. Kegagalan pada tahap ini akan
mengakibatkan individu hanya memperhatikan diri sendiri, produktivitas dan kretivitas
berkurang serta perhatian pada orang lain berkurang.
Dewasa Lanjut (Lebih dari 65 Tahun)
Di masa ini, individu akan mengalami banyak kehilangan, misalnya fungsi fisik, kegiatan,
pekerjaan, teman hidup, dan anggota keluarga, sehingga akan timbul perasaan tidak berguna.
Selain itu, kemandirian akan menurun dan individu menjadi sangat bergantung kepada orang
lain. Individu yang berkembang baik akan dapat menerima kehilangan yang terjadi dalam
kehidupannya dan mengakui bahwa dukungan orang lain dapat membantu dalam menghadapi
kehilangan yang dialaminya. Kegagalan individu pada masa ini akan mengakibatkan individu
berperilaku menolak dukungan yang ada dan akan berkembang menjadi perilaku menarik
diri.
3. Pengkajian Keperawatan
Objektif
a. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
b. Menghindari orang lain, tampak menyendiri, dan memisahkan diri dari orang lain.
c. Komunikasi kurang/tidak ada, pasien tidak tampak bercakap-cakap dengan orang lain.
d. Tidak ada kontak mata dan sering menunduk.
e. Berdiam diri di kamar.
f. Menolak berhubungan dengan orang lain, memutuskan pembicaraan, atau pergi saat
diajak bercakap-cakap.
g. Tidak tampak melakukan kegiatan sehari-hari, perawatan diri kurang, dan kegiatan
rumah tangga tidak dilakukan.
h. Posisi janin pada saat tidur.
Subjektif
a. Pasien menjawab dengan singkat “ya”, “tidak”, “tidak tahu”.
b. Pasien tidak menjawab sama sekali.
4. Diagnosis
Pohon Masalah
Diagnosis Keperawatan
a. Risiko perubahan sensori persepsi: halusinasi berhubungan dengan menarik diri.
b. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
5. Rencana Intervensi
Tindakan Keperawatan Untuk Pasien
a Tujuan
Setelah tindakan keperawatan, pasien mampu melakukan hal berikut.
(1) Membina hubungan saling percaya.
(2) Menyadari penyebab isolasi sosial.
(3) Berinteraksi dengan orang lain.
b Tindakan
(1) Membina hubungan saling percaya.
(a) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
(b) Berkenalan dengan pasien, seperti perkenalkan nama dan nama panggilan yang
Anda sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien.
(c) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
(d) Buat kontrak asuhan, misalnya apa yang Anda akan lakukan bersama pasien,
berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya di mana.
(e) Jelaskan bahwa Anda akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi.
(f) Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien.
(g) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
(2) Membantu pasien menyadari perilaku isolasi sosial.
(a) Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain.
(b) Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi dengan orang
lain.
(c) Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan bergaul akrab
dengan mereka.
(d) Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul dengan
orang lain.
(e) Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien.
(3) Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.
(a) Jelaskan kepada pasien cara berinteraksi dengan orang lain.
(b) Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain.
(c) Beri kesempatan pasien mempraktikkan cara berinteraksi dengan orang lain
yang dilakukan di hadapan Anda.
(d) Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang teman/anggota keluarga.
(e) Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi dengan
dua, tiga, empat orang, dan seterusnya.
(f) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh pasien.
(g) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi dengan orang
lain. Mungkin pasien akan mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya.
Beri dorongan terus-menerus agar pasien tetap semangat meningkatkan
interaksinya.
a Tujuan
Setelah tindakan keperawatan, keluarga mampu merawat pasien isolasi sosial di rumah.
b Tindakan
1. PENGERTIAN WAHAM
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat atau terus-
menerus, tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Waham adalah termasuk gangguan isi pikiran.
Pasien meyakini bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada di dalam isi pikirannya. Waham
sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering
ditemukan pada penderita skizofrenia.
3. KLASIFIKASI WAHAM
3.1.Waham kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, serta diucapkan berulang
kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya ini direktur sebuah bank swasta lho..”
atau “Saya punya beberapa perusahaan multinasional”.
3.2.Waham curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha merugikan/mencederai
dirinya, serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya
tahu..kalian semua memasukkan racun ke dalam makanan saya”.
3.3.Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, serta diucapkan berulang
kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Kalau saya mau masuk surga saya harus
membagikan uang kepada semua orang.”
3.4.Waham somatic
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang penyakit, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya sakit menderita
penyakit menular ganas”, setelah pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda
kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia terserang kanker.
3.5.Waham nihilistic
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, serta diucapkan berulang
kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Ini kan alam kubur ya, semua yang ada di
sini adalah roh-roh”.
4. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Tanda dan gejala dari perubahan isi pikir waham, yaitu pasien menyatakan dirinya sebagai
seorang besar mempunyai kekuatan, pendidikan, atau kekayaan luar biasa, serta pasien
menyatakan perasaan dikejar-kejar oleh orang lain atau sekelompok orang. Selain itu, pasien
menyatakan perasaan mengenai penyakit yang ada dalam tubuhnya, menarik diri dan isolasi,
sulit menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, rasa curiga yang berlebihan,
kecemasan yang meningkat, sulit tidur, tampak apatis, suara memelan, ekspresi wajah datar,
kadang tertawa atau menangis sendiri, rasa tidak percaya kepada orang lain, dan gelisah.
Menurut Kaplan dan Sadock (1997) beberapa hal yang harus dikaji antara lain sebagai
berikut.
1) Status mental
Pada pemeriksaan status mental, menunjukkan hasil yang sangat normal,
kecuali bila ada sistem waham abnormal yang jelas.
Suasana hati (mood) pasien konsisten dengan isi wahamnya.
Pada waham curiga didapatkannya perilaku pencuriga.
Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas
diri dan mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal.
1) Kognitif
2) Afektif
5. Pohon Masalah
Risiko kerusakan
komunikasi verbal
6. Diagnosis Keperawatan
1. Risiko kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham.
2. Perubahan proses pikir: waham berhubungan dengan harga diri rendah.
7. RENCANA INTERVENSI
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap.
b. Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar.
c. Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.
d. Pasien menggunakan obat dengan prinsip lima benar.
2. Tindakan
A. Bina hubungan saling percaya.
a. Mengucapkan salam terapeutik.
b. Berjabat tangan.
c. Menjelaskan tujuan interaksi.
d. Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
B. Bantu orientasi realitas.
a. Tidak mendukung atau membantah waham pasien.
b. Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman.
c. Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari.
d. Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa
memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti
membicarakannya.
e. Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan realitas.
C. Diskusikan kebutuhan psikologis atau emosional yang tidak
terpenuhi sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan
marah.
a. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik
dan emosional pasien.
b. Berdiskusi tentang kemampuan positif yang dimiliki.
1. Tujuan
a. Keluarga mampu mengidentifikasi waham pasien.
b. Keluarga mampu memfasilitasi pasien untuk memenuhi kebutuhan yang
dipenuhi oleh wahamnya.
c. Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan pasien secara optimal.
2. Tindakan
a. Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami pasien.
b. Diskusikan dengan keluarga tentang hal berikut.
1) Cara merawat pasien waham di rumah.
2) Follow up dan keteraturan pengobatan.
3) Lingkungan yang tepat untuk pasien.
c. Diskusikan dengan keluarga tentang obat pasien (nama obat, dosis,
frekuensi, efek samping, akibat penghentian obat).
d. Diskusikan dengan keluarga kondisi pasien yang memerlukan konsultasi
segera.
8. EVALUASI
1. Pasien mampu melakukan hal berikut.
a. Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan.
b. Berkomunikasi sesuai kenyataan.
c. Menggunakan obat dengan benar dan patuh.
2. Keluarga mampu melakukan hal berikut.
a. Membantu pasien untuk mengungkapkan keyakinannya sesuai kenyataan.
b. Membantu pasien melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan pasien
c. Membantu pasien menggunakan obat dengan benar dan patuh.
5. LAPORAN PENDAHULUAN BUNUH DIRI
Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan (Wilson dan Kneisl, 1988). Bunuh diri merupakan kedaruratan
psikiatri karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan
koping yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri
timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik atau percobaan bunuh diri atau
rencana yang spesifik untuk bunuh diri. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan
keterampilan perawat yang tinggi dalam merawat pasien dengan tingkah laku bunuh
diri, agar pasien tidak melakukan tindakan bunuh diri.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), faktor penyebab bunuh diri adalah perceraian,
pengangguran, dan isolasi sosial. Sementara menurut Tishler (1981) (dikutip oleh
Leahey dan Wright, 1987) melalui penelitiannya menyebutkan bahwa motivasi
remaja melakukan percobaan bunuh diri, yaitu 51% masalah dengan orang tua, 30%
masalah dengan lawan jenis, 30% masalah sekolah, dan 16% masalah dengan
saudara.
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, yang berisi keinginan untuk
mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat
untukmelaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah memikirkan rencana
bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri. Walaupun dalam
kondisi ini pasien belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan ketat harus
dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan
rencana bunuh dirinya.
Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau melukai diri untuk
mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif mencoba bunuh diri dengan
cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari
tempat yang tinggi.
3. FAKTOR RESIKO
5. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotonegik, opiatergik, dan dopaminergik
menjadi media proses yang dapat menimbulkan perilaku merusak diri.
3. Diagnostis
a. Penyakit medis umum
b. Psikosis
c. Penyalahgunaan zat
4. SUMBER KOPING
Tingkah laku bunuh diri biasanya berhubungan dengan faktor sosial dan
kultural. Durkheim membuat urutan tentang tingkah laku bunuh diri. Ada tiga
subkategori bunuh diri berdasarkan motivasi seseorang, yaitu sebagai berikut:
1. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
2. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
5. MEKANISME KOPING
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku pengerusakan diri tak
langsung adalah pengingkaran (denial). Sementara, mekanisme koping yang paling
menonjoladalah rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.
6. POHON MASALAH
Risiko bunuh diri
7. DIAGNOSIS
1. Risiko bunuh diri berhubungan dengan harga diri rendah.
8. RENCANA INTERVENSI
Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosis keperawatan risiko bunuh diri.
9. EVALUASI
1. Untuk pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh diri,
keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan pasien yang tetap aman
dan selamat.
2. Untuk keluarga pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan
bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga
berperan serta dalam melindungi anggota keluarga yang mengancam atau mencoba
bunuh diri.
3. Untuk pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan
keperawatan ditandai dengan hal berikut :
a. Pasien mampu mengungkapkan perasaanya.
b. Pasien mampu meningkatkan harga dirinya.
c. Pasien mampu menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
4. Untuk keluarga pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan
keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan
risiko bunuh diri, sehingga keluarga mampu melakukan hal berikut.
a. Keluarga mampu menyebutkan kembali tanda dan gejala bunuh diri.
b. Keluarga mampu memperagakan kembali cara-cara melindungi anggota keluarga
yang berisiko bunuh diri.
c. Keluarga mampu menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia dalam merawat
anggota keluarga yeng berisiko bunuh diri.
6. LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI
A. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalai kelainan
dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur,
tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan
tidak rapi.
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam : kebersihan diri,
makan, berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau kecil
sendiri (toileting) (Keliat B. A, dkk, 2011).
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan iwa kronis sering mengalami
ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif
dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun
masyarakat (Yusuf, Rizky & Hanik,2015:154)
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan
diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan
BAB atau BAK (toileting) (Fitria, 2009).
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat
adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas
perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan
merawat kebersihan diri diantaranya mandi, makan dan minum secara mandiri,
berhias secara mandiri, dan toileting.
b. Faktor Presipitasi.
Yang merupakan factor presipitasi defisit perawatan diri adalah
kurangnya atau penurunan motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual,
cemas, lelah / lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri. Sedangkan menurut Depkes tahun
2000 faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah body Image,
praktik social, status sosial ekonomi, pengetahuan, budaya, kebiasaan dan
kondisi fisik.
Berikut penjabarannya. gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik
sehingga individu tidak perduli dengan dirinya. Pada anak anak selalu
dimanja dalam kebersihan diri maka,kemungkinan akan terjadi perubahan
pola personal hygiene.
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan, seperti sabun, sikat gigi,
shampoo dan alat mandi lainnya yang membutuhkan uang untuk
menyediakannya.
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan, misalnya pada pasien penderita
DM yang harus menjaga kebersihan kakinya. Pada factor Budaya, terdapat
budaya di sebagian masyarakat tertentu jika individu sakit tidak boleh
dimandikan. Ada pula kebiasaan seseorang yang enggan menggunakan
produk tertentu dalam perawatan diri, missal sabun, shampoo, dll.
Sedangkan, untuk factor kondisi fisik, pada keadaan tertentu / sakit
kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk
melakukan nya.
C. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri
Menurut Nanda (2012),jenis perawatan diri terdiri dari :
1. Defisit perawatan diri : mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
2. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
3. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri
4. Defisit perawatan diri : eliminasi / toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri.
E. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongan nya di bagi 2 (Stuart &
Sundeen, 2000), yaitu :
Mekanisme Koping Adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi,
pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah :
Klien bisa memenuhi kebutuhan perawatan diri secara mandiri.
c) Diagnosa keperawatan
a. Defisit Perawatan Diri : Ketidakmampuan merawat kebersihan diri
b. Menurunnya motivasi dalam merawat diri
d) Rencana keperawatan
Berhias melaksanakan
Rentang respons konsep diri yang paling adaptif adalah aktualisasi diri.
Menurut Maslow karakteristik aktualisasi diri meliputi:
realistik,
cepat menyesuaikan diri dengan orang lain,
persepsi yang akurat dan tegas,
dugaan yang benar terhadap kebenaran/kesalahan,
akurat dalam memperbaiki masa yang akan datang,
mengerti seni, musik, politik, filosofi,
rendah hati,
mempunyai dedikasi untuk bekerja,
kreatif, fleksibel, spontan, dan mengakui kesalahan,
terbuka dengan ide-ide baru,
percaya diri dan menghargai diri,
kepribadian yang dewasa,
dapat mengambil keputusan,
berfokus pada masalah,
menerima diri seperti apa adanya,
memiliki etika yang kuat,
mampu memperbaiki kegagalan.
Citra Tubuh
Citra tubuh adalah kumpulan sikap individu baik yang disadari maupun
tidak terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu atau sekarang mengenai
ukuran, fungsi, keterbatasan, makna, dan objek yang kontak secara terus-menerus
(anting, make up, pakaian, kursi roda, dan sebagainya) baik masa lalu maupun
sekarang. Citra tubuh merupakan hal pokok dalam konsep diri. Citra tubuh harus
realistis karena semakin seseorang dapat menerima dan menyukai tubuhnya ia
akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan sehingga harga dirinya akan
meningkat. Sikap individu terhadap tubuhnya mencerminkan aspek penting dalam
dirinya misalnya perasaan menarik atau tidak, gemuk atau tidak, dan sebagainya.
Ideal Diri
Harga Diri
Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dan menganalisis seberapa jauh
perilaku memenuhi ideal diri. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain.
Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan.
Sebaliknya, individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami
kegagalan, tidak dicintai, atau tidak diterima lingkungan. Harga diri dibentuk
sejak kecil dari adanya penerimaan dan perhatian. Harga diri akan meningkat
sesuai meningkatnya usia dan sangat terancam pada masa pubertas. Coopersmith
dalam buku Stuart dan Sundeen (2002) menyatakan bahwa ada empat hal yang
dapat meningkatkan harga diri anak, yaitu:
Peran
Serangkaian pola sikap, perilaku, nilai, dan tujuan yang diharapkan oleh
masyarakat sesuai posisinya di masyarakat/kelompok sosialnya. Peran
memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan
cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti. Hal-
hal yang memengaruhi penyesuaian individu terhadap peran antara lain sebagai
berikut :
Identitas Diri
Identitas adalah kesadaran tentang “diri sendiri” yang dapat diperoleh individu
dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, serta menyadari individu bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain. Pengertian identitas adalah organisasi, sintesis
dari semua gambaran utuh dirinya, serta tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan,
atribut/jabatan, dan peran. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan
percaya diri, hormat terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri, dan
menerima diri.
Ciri individu dengan identitas diri yang positif adalah sebagai berikut.
Mengenal diri sebagai individu yang utuh terpisah dari orang lain.
Mengakui jenis kelamin sendiri.
Memandang berbagai aspek diri sebagai suatu keselarasan.
Menilai diri sesuai penilaian masyarakat.
Menyadari hubungan masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
Mempunyai tujuan dan nilai yang disadari.
D. PENGKAJIAN
1) Faktor Predisposisi
Citra tubuh
Kehilangan/kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi).
Perubahan ukuran, bentuk, dan penampilan tubuh (akibat tumbuh kembang
atau penyakit). Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi
tubuh. Proses pengobatan, seperti radiasi dan kemoterapi.
Harga diri
Penolakan.
Kurang penghargaan.
Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu
dituntut.
Persaingan antara keluarga.
Kesalahan dan kegagalan berulang.
Tidak mampu mencapai standar.
Ideal diri
Cita-cita yang terlalu tinggi.
Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Ideal diri samar atau tidak jelas.
Peran
Stereotipe peran seks.
Tuntutan peran kerja.
Harapan peran kultural.
Identitas diri
2) Faktor Presipitasi
o Trauma.
o Ketegangan peran.
o Transisi peran perkembangan.
o Transisi peran situasi.
o Transisi peran sehat-sakit.
3) Perilaku
Citra tubuh
Kerancuan identitas
Depersonalisasi
4) Mekanisme Koping
o Penutupan identitas
Adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang yang
penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi, dan
potensi diri individu.
o Identitas negatif
Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh
nilai-nilai harapan masyarakat.
E. DIAGNOSIS
Pohon Masalah
Daftar Diagnosis
F. RENCANA INTERVENSI
Rencana intervensi keperawatan disesuaikan dengan diagnosis yang
ditemukan. Pada rencana intervensi berikut memberikan gambaran pada
gangguan konsep diri, yaitu harga diri rendah.
Tindakan keperawatan
Iqbal Wahit, dkk. (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Salemba
Medika.
Kelliat, B., A, dkk. (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa :Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan
Edisi Keempat. Jakarta: Salemba Medika.
Yusuf, Rizky, & Hanik. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.