EBN Jiwa
EBN Jiwa
EBN Jiwa
Kelompok 1 :
NENDEN LIDIAWATI
DEDEH MARYAM
IIM IMAS M
ASTRI AGISTIAN
YAYAT SUPRIATNA
USEP ANDANG
KOKOM KOMALASARI
AGUS HERDIANA
MULYADI
ELIS SUCIATI
ANDINI SRI UTAMI
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan
anugerah dan perkenan-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan EBP
(Evidence Based Practice)yang berjudul “Efektifitas therapi senam aerobic low
impact dalam menurunkan skor halusinasi dan aggression self control pada pasien
dengan halusinasi dan resiko perilaku kekerasan di Rumah Sakit jiwa Provinsi
Jabar” untuk memenuhi syarat laporan keperawatan maternitas. Dengan
selesainya Laporan Praktek Lapangan ini, kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada Allah SWT, kepada team dosen keperawatan medikal bedahselaku
pembimbing.Kami menyadari bahwa laporan yang penulis buat, jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
perbaikan penyusunan laporan selanjutnya agar laporan yang kami buat menjadi
lebih baik.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
berusaha membantu kelompok dalam penyusunan laporan ini dan kami berharap
semoga laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami juga umumnya untuk
kita semua.Semoga bimbingan dan kebaikan yang telah diberikan kepada kami
selaku kelompokakan dapat ridho Allah SWT. Amin
Wassalamualaikum Wr.Wb
Penyusun,
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
World Health Organization pada tahun 1948 mendefinisikan “kesehatan”
sebagai “a complete state of physical, mental, and social well-being and not
merely the absence of disease and infirmity” (Taylor, 2006:15). Kesehatan bukan
hanya berarti suatu kondisi dengan ketiadaan penyakit dan kelemahan tubuh,
melainkan juga suatu kondisi dalam kesejahteraan yang lengkap, mencakup
kesejahteraan fisik, sosial yang seimbang dan jiwa. Kesehatan jiwa menurut WHO
(World Health Organization) adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan
bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima orang lain
sebagaimana seharusnya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan
orang lain. Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kondisi
perkembangan yang tidak sesuai pada individu disebut gangguan jiwa (UU No.18
tahun 2014).
Gangguan jiwa menurut American Psychiatric Association (APA) adalah
sindrom atau pola psikologis atau pola perilaku yang penting secara klinis, yang
terjadi pada individu dan sindrom itu dihubungkan dengan adanya distress
(misalnya, gejala nyeri, menyakitkan) atau disabilitas (ketidakmampuan pada
salah satu bagian atau beberapa fungsi penting) atau disertai peningkatan resiko
secara bermagna untuk mati, sakit, ketidakmampuan, atau kehilangan kebebasan
(APA, 1994 dalam Prabowo, 2014). Data statistik yang dikemukakan oleh (WHO)
(2012) menyebutkan bahwa sekitar 450 juta orang di dunia mengalami masalah
gangguan kesehatan jiwa. Sepertiga diantaranya terjadi di Negara berkembang.
Data yang ditemukan oleh 2 peneliti di Harvard University dan University College
London, mengatakan penyakit kejiwaan pada tahun 2016 meliputi 32% dari
semua jenis kecacatan di seluruh dunia. Angka tersebut meningkat dari tahun
sebelumnya (VOA Indonesia, 2016). Menurut WHO (2016), terdapat sekitar 35
2
juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena
skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Jumlah penderita gangguan jiwa di
Indonesia saat ini adalah 236 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan
6% dari populasi dan 0,17% menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranya
mengalami pasung. Tercatat sebanyak 6% penduduk berusia 15-24 tahun
mengalami gangguan jiwa. Dari 34 provinsi di Indonesia, Sumatera Barat
merupakan peringkat ke 9 dengan jumlah gangguan jiwa sebanyak 50.608 jiwa
dan prevalensi masalah skizofrenia pada urutan ke-2 sebanyak 1,9 permil.
Peningkatan gangguan jiwa yang terjadi saat ini akan menimbulkan masalah baru
yang disebabkan ketidakmampuan dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh
penderita (Riskesdas 2013). Jumlah penderita gangguan jiwa di Jawa Barat naik
sekitar 63%. Data Riskesdas 2013 menyebutkan, pasien gangguan jiwa ringan
hingga berat di Jabar mencapai 465.975 orang naik signifikan dari 2012 sebesar
296.943 orang. Konferensi Nasional Psikiatri Komunitas ke-3 mengungkap fakta
penting. Ternyata, jumlah penderita gangguan jiwa di Jawa Barat naik sekitar 63%
(pusdalisbang, 2014).
Seiring dengan perkembangan jaman jumlah penderita gangguan jiwa
mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Hal ini dipicu oleh beberapa hal yang
dapat memunculkan seperti konflik, dan lilitan ekonomi yang berkepanjangan.
Bagi beberapa orang yang tidak mampu mengendalikan stresor dengan baik, dari
stresor internal maupun eksternal mereka akan kehilangan kontrol pikirannya,
salah satunya adalah perilaku kekerasan dan amuk, jika individu mengalami
kegagalan maka gangguan yang sering muncul adalah gangguan konsep diri,
harga diri rendah, yang mana harga diri rendah akan digambarkan sebagai
perasaan negatif terhadap diri sendiri, serta merasa gagal dalam mencapai
keinginannya. Merendahkan martabat sendiri, merasa tidak mampu, gangguan
hubungan sosial, kurang percaya diri, kadang sampai mencederai diri sendiri
merupakan beberapa tanda-tanda dari harga diri rendah. Sebagai rumah sakit yang
mengutamakan pelayanan kesehatan jiwa tidak hanya memberikan obat-obatan
untuk kesembuhan pasien, namun juga memberikan terapi berupa kegiatan yang
berhubungan dengan aktivitas gerak bagi pasien sakit jiwa sebagai aktivitas
pendamping guna menunjang pemberian obat. Dilakukannya Aktivitas gerak
3
dilatarbelakangi adanya kebutuhan gerak bagi pasien yang mengalami gangguan
jiwa. Kebanyakan dari pasien yang mengalami gangguan jiwa cenderung pasif
dan murung serta kurang dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
Mengingat peserta adalah orang-orang dengan latar belakang gangguan jiwa dan
mental, pemberian aktivitas gerak olahraga tersebut tentunya tidak menggunakan
aturan resmi berdasarkan peraturan dari organisasi cabang olahraga tersebut.
Tentunya tidak semua pasien dengan gangguan jiwa diperbolehkan mengikuti
aktivitas gerak tersebut. Berbagai aktivitas gerak dapat dilakukan seperti jalan
sehat, lari, bola voly, sepak bola, serta aktivitas senam. Aktivitas olahraga senam
dipilih karena pasien hanya tinggal mengikuti gerakan instruktur, hal ini akan
memudahkan pasien dalam melakukan gerakan senam sehingga tujuan sebenarnya
dari pemberian senam, yaitu memberikan rasa segar dan bugar pada diri pasien
dapat didapatkan dengan maksimal. Disamping itu iringan musik pada saat
pelaksaan senam akan menambah rasa riang dan suka cita di dalam diri pasien
sakit jiwa.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Joseph Frith, dkk (2017) tentang Aerobic
Exercise Improves Cognitive Functioning in People With Schizophrenia: A
Systematic Review and Meta-Analysis membuktikan bahwa olahraga dapat
meningkatkan fungsi kognitif diantara orang orang dengan skizofrenia, terutama
dari intervensi yang menggunakan dosis latihan yang lebih tinggi, namun pada
kegiatan ini diperlukan pengawasan yang lebih pada penderita skizofrenia. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Dwi Heppy Rochmatika dkk (2014) tentang
Pengaruh Terapi Senam Aerobik Terhadap Keterbukaan Diri Pada Pasien Isolasi
social Di RSJD dr. Aminogondohutomo Semaran didapatkan hasil terdapat
pengaruh ketebukaan diri pada pasien isolasi sosial sebelum dan sesudah
dilakukan terapi senam aerobik, hal ini terlihat dari hasil uji chi-square (p –value
= 0,000 < 0,05). Pada penelitian yang dilakukan oleh Harki Isnuur Akhmad dkk
(2011) tentang Pengaruh Terapi Senam Aerobic Low Impact Terhadap Skor
Agression Self-Control Pada Pasien Dengan Risiko Perilaku Kekerasan Di Ruang
Sakura RSUD Banyumas didapatkan hasil bahwa dengan melakukan terapi Senam
Aerobic Low Impact dapat mengurangi Reduce Agression Self-Control score,
pada pasien dengan risiko perlaku kekerasan di Indonesia ruang Sakura RSUD
4
Banyumas. Selain dari penelitian tersebut terdapat penelitian lain yang dilakukan
oleh David Kimhy, dkk (2015) tentang The Impact of Aerobic Exercise on Brain-
Derived Neurotrophic Factor and Neurocognition in Individuals With
Schizophrenia: A Single Blind, Randomized Clinical Trial didapatkan hasil bahwa
Aerobic Exercise efektif dalam meningkatkan neurokognitif yang berfungsi pada
penderita skizofrenia, intervensi Aerobic Exercise aman dilakuan, nonstigmatisasi,
dan bebas efek samping. Perilaku kekerasan yang terbanyak dilakukan klien
dalam satu tahun terakhir adalah kekerasan fisik pada diri sendiri yang
menyebabkan cedera ringan (84%), kemudian diikuti oleh ancaman fisik
(79%), penghinaan (77%) dan kekerasan verbal (70%). Sejumlah kecil
perawat (20%) mengalami kekerasan fisik yang menyebabkan cedera serius
(Elita dkk, 2012). Selain itu klien dengan perilaku kekerasan dapat
melakukan tindakan-tindakan berbahaya bagi dirinya, orang lain maupun
lingkungannya, seperti menyerang orang lain, memecahkan perabot,
membakar rumah, dan lain-lain (Stuart & Sundeen, 2007). Oleh karena itu, perlu
diberikan intervensi yang tepat bagi klien dengan perilaku kekerasan karena
beresiko untuk mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Berbagai
terapi dalam mengatasi masalah perilaku kekerasan telah banyak
dikembangkan. Salah satunya adalah terapi senam aerobic low impact. Senam
aerobic low impact merupakan senam dengan mengandalkan penyaluran
energi dan penyerapan oksigen yang berimbang sehingga dapat meningkatkan
endorphin yang memiliki efek relaksan sehingga dapat mengurangi resiko
kekerasan secara efektif (Yulistanti, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh
Gordon (2010) dalam bukunya yang berjudul Growing gray matter
menyatakan bahwa olahraga senam aerobic selama 30 menit dengan frekuensi 3
kali seminggu mampu meningkatkan ukuran hipokampus dan peningkatan
kemampuan shortterm memory pada penderita skizofrenia.
Penelitian Purnamasari, Made, Sukawana, Wayan, Suarnatha, dan Ketut
(2013) yang berjudul Pengaruh senam aerobic low impact terhadap
penurunan tingkat depresi pada narapidana wanita di Lembaga
Pemasyarakatan Denpasar menunjukkan terjadi penurunan tingkat depresi yang
cukup signifikan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
5
olehAkhmad, Handoyo, dan Setiono (2011) yang berjudul Pengaruh terapi
senam aerobic low impact terhadap skor agression self-control pada pasien
dengan resiko perilaku kekerasan di ruang Sakura RSUD Banyumas
menunjukkan terjadi peningkatan skor agression self control pada pasien
dengan resiko perilaku kekerasan di Ruang Sakura RSUD Banyumas. Dari
analisis jurnal yang telah dipaparkan menunjukan bahwa senam aerobic low
impact ini efektif dalam meningkatkan dapat mempertahankan aliran darah otak,
meningkatkan persediaan nutrisi otak, memfasilitasi metabolism neurotransmiter
yang dapat menurunkan agresi serta dapat memicu perubahan aktivitas molekuler
dan seluler yang mendukung dan menjaga fungsi otak (Kuntaraf, 2005). Sirkulasi
yang optimal ke otak akan membantu aliran darah membawa banyak oksigen dan
nutrisi ke otak, sehinga terjadi peningkatan metabolisme yang menyebabkan
peningkatan energi yang dihasilkan oleh mitokondria sel saraf untuk mensintesis
neurotransmiter terutama serotonin dan norepinefrin didalam otak termasuk sistim
limbik yang berkaitan dengan pengendalian emosi, perilaku instinktif, motivasi
serta perasaan (Heryati, 2008).
Senam aerobic low impact dengan mengandalkan penyaluran energi dan
penyerapan oksigen yang berimbang dapat meningkatkan endorphin yang
memiliki efek relaksan sehingga dapat mengurangi resiko kekerasan secara efektif
(Yulistanti, 2003). Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan skor
aggression self control yang cukup signifikan pada responden kelompok
eksperimen dimana terjadi peningkatan kemampuan pasien dalam mengendalikan
diri terhadap adanya perilaku kekerasan yang meliputi tindakan untuk melakukan
penyerangan, perlawanan, dan perusakan secara fisik.
1.1 FENOMENA
Perilaku kekerasan yang terbanyak dilakukan klien dalam satu tahun
terakhir adalah kekerasan fisik pada diri sendiri yang menyebabkan cedera
ringan (84%), kemudian diikuti oleh ancaman fisik (79%), penghinaan (77%)
dan kekerasan verbal (70%). Sejumlah kecil perawat (20%) mengalami
kekerasan fisik yang menyebabkan cedera serius (Elita dkk, 2012). Selain itu
klien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-tindakan berbahaya
6
bagi dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang orang
lain, memecahkan perabot, membakar rumah, dan lain-lain (Stuart & Sundeen,
2007). Oleh karena itu, perlu diberikan intervensi yang tepat bagi klien dengan
perilaku kekerasan karena beresiko untuk mencederai diri sendiri, orang lain,
dan lingkungan. Berbagai terapi dalam mengatasi masalah perilaku kekerasan
telah banyak dikembangkan. Salah satunya adalah terapi senam aerobic low
impact.
1.2 PREVALENSI
Data statistik yang dikemukakan oleh (WHO) (2012) menyebutkan bahwa
sekitar 450 juta orang di dunia mengalami masalah gangguan kesehatan jiwa.
Sepertiga diantaranya terjadi di Negara berkembang. Data yang ditemukan oleh 2
peneliti di Harvard University dan University College London, mengatakan
penyakit kejiwaan pada tahun 2016 meliputi 32% dari semua jenis kecacatan di
seluruh dunia. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya (VOA Indonesia,
2016). Menurut WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60
juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena skizofrenia, serta 47,5 juta
terkena dimensia. Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia saat ini adalah
236 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan 6% dari populasi dan
0,17% menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranya mengalami pasung.
Tercatat sebanyak 6% penduduk berusia 15-24 tahun mengalami gangguan jiwa.
Dari 34 provinsi di Indonesia, Sumatera Barat merupakan peringkat ke 9 dengan
jumlah gangguan jiwa sebanyak 50.608 jiwa dan prevalensi masalah skizofrenia
pada urutan ke-2 sebanyak 1,9 permil.
Peningkatan gangguan jiwa yang terjadi saat ini akan menimbulkan masalah
baru yang disebabkan ketidakmampuan dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh
penderita (Riskesdas 2013). Jumlah penderita gangguan jiwa di Jawa Barat naik
sekitar 63%. Data Riskesdas 2013 menyebutkan, pasien gangguan jiwa ringan
hingga berat di Jabar mencapai 465.975 orang naik signifikan dari 2012 sebesar
296.943 orang. Konferensi Nasional Psikiatri Komunitas ke-3 mengungkap fakta
penting. Ternyata, jumlah penderita gangguan jiwa di Jawa Barat naik sekitar 63%
(pusdalisbang, 2014)
7
1.3 GAMBARAN KASUS
Ny I lahir usia 24 tahun di rawat di ruang merpati RS jiwa prov jabar Satu
minggu yang lalu sebelum px masuk k igd rumah sakit jiwa klien mengamuk dan
memukul ibunya dan anggota keluarga yang lain di rumahnya klien masuk RS
untuk yang ke 7x nya karena putus obat dan jarang kontrol pada saat di kaji alasan
klien mengamuk adalah klien ingin membeli baju baru dan mendengar bisikan
untuk menyuruh pergi untuk berkeluyuran ke tempat jauh. Klien datang k igd
pada tanggal 19/02/2019 di bawa oleh ibu dan suaminya masih dalam keadaan
mengamuk dan klien di masukan ke ruang gelatik pada tanggal 19/02/2019 setelah
keadaan klien tenang klien di pindahkan ke ruang merpati pada tanggal
25/02/2019 dan pada saat di kaji di ruang merpati tanggal 28/02/2019 ke adaan
umum klien tenang, kontak mata baik tidur baik makan baik TD: 100/70 mmHg,
N: 80x/menit, S:38 °C, R: 20 x/menit, dan klien mengatakan sudah tidak ada lagi
rasa ingin mengamuk dan suara suara ingin menyuruh bepergian saat klien pindah
ke ruang merpati klien hanya ketakutan dan cemas akan ada nya perceraian dari
suaminya.” Saya takut kalau suami saya menceraikan saya kalau saya blm sembuh
dari sakitnya sekarang”
1.4 TUJUAN
1.4.1 Kelompok mahasiswa mampu untuk melaksanakan EBP dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien
1.4.2 Kelompok mahasiswa mampu merumuskan kebutuhan asuhan
keperawatan berdasarkan evidence yang terbaru.
1.4.3 Kelompok mahasiswa mampu membuat rumusan pertanyaan klinis
dengan menggunakan format PICOT.
1.4.4 Kelompok mahasiswa mampu melakukan pencarian evidence (hasil-
hasil penelitian) terbaru sesuai dengan pertanyaan PICOT.
1.4.5 Kelompok mahasiswa mampu melakukan quality
assessment/apraisal terhadap hasil penelitian yang ditemukan
dengan menggunakan format.
1.4.6 Kelompok mahasiswa mampu mengintegrasikan hasil penelitian
terbaikdengan pandangan ahli di ruangan dan praktik klinik serta
8
memperhatikan nilai-nilai pasien dalam membuat asuhan/tindakan
keperawatan yang berdasarkan pada EBP.
9
BAB II
PELAKSANAAN EBP
2.1 TAHAP I
Ny I lahir usia 24 tahun di rawat di ruang merpati RS jiwa prov jabar Satu
minggu yang lalu sebelum px masuk k igd rumah sakit jiwa klien mengamuk dan
memukul ibunya dan anggota keluarga yang lain di rumahnya klien masuk RS
untuk yang ke 7x nya karena putus obat dan jarang kontrol pada saat di kaji alasan
klien mengamuk adalah klien ingin membeli baju baru dan mendengar bisikan
untuk menyuruh pergi untuk berkeluyuran ke tempat jauh. Klien datang k igd
pada tanggal 19/02/2019 di bawa oleh ibu dan suaminya masih dalam keadaan
mengamuk dan klien di masukan ke ruang gelatik pada tanggal 19/02/2019 setelah
keadaan klien tenang klien di pindahkan ke ruang merpati pada tanggal
25/02/2019 dan pada saat di kaji di ruang merpati tanggal 28/02/2019 ke adaan
umum klien tenang, kontak mata baik tidur baik makan baik TD: 100/70 mmHg,
N: 80x/menit, S:38 °C, R: 20 x/menit, dan klien mengatakan sudah tidak ada lagi
rasa ingin mengamuk dan suara suara ingin menyuruh bepergian saat klien pindah
ke ruang merpati klien hanya ketakutan dan cemas akan ada nya perceraian dari
suaminya.” Saya takut kalau suami saya menceraikan saya kalau saya blm sembuh
dari sakitnya sekarang”
2.2 TAHAP II
Intervensi PICOT :
Ny I dengan Halusinasi dan resiko perilaku kekerasan bagaimana pasien
dengan metode senam Aerobic Low Impact terhadap penurunan skor
halusinasi dan senam Aerobic Low Impact terhadap Aggression Self
Control Pada Pasien dengan resiko perilaku kekerasan
Etiologic
Apakah pada Ny I dengan Halusinasi dan resiko perilaku kekerasan
memiliki intervensi senam Aerobic Low Impact terhadap penurunan skor
halusinasi dan senam Aerobic Low Impact terhadap Aggression Self
Control Pada Pasien dengan resiko perilaku kekerasan.
10
Diagnosis
Apakah pada Ny I dengan Halusinasi dan resiko perilaku kekerasan apakah
therapi senam Aerobic Low Impact dapat menurunkan skor halusinasi dan
Aggression Self Control Pada Pasien dengan resiko perilaku kekerasan
Prognosis
Apakah pada Ny I dengan Halusinasi dan resiko perilaku kekerasan
bagaimana therapi senam Aerobic Low Impact dapat berpengaruh
menurunkan skor halusinasi dan Aggression Self Control Pada Pasien
dengan resiko perilaku kekerasan
2) Diagram flow
Jumlah artikel yang didapat
(n= 5404)
(n=3)
12
konsep norma dimasyarakat (Kaplan & Sadock, 2007). Gangguan jiwa berat
merupakan bentuk gangguan dalam fungsi alam pikiran berupa disorganisasi
(kekacauan) dalam isi pikiran yang ditandai antara lain oleh gejala gangguan
pemahaman (delusi waham), gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi,
serta dijumpai daya nilai realitas yang terganggu yang ditunjukkan dengan
perilakuperilaku aneh (bizzare) (Efendi & Makhfudli, 2009). Gangguan jiwa
dijumpai rata-rata 1-2% dari jumlah seluruh penduduk di suatu wilayah pada
setiap waktu dan terbanyak mulai timbul (onset) pada usia 15-35 tahun, bila
angkanya 1 dari 1000 penduduk saja yang menderita gangguan tersebut, di
Indonesia bisa mencapai 200-250 ribu orang penderita dari jumlah tersebut
bila 10% nya memerlukan rawat inap di RSJ yang ada saat ini hanya cukup
merawat penderita gangguan jiwa tidak lebih dari 8.000 orang (Efendi &
Makhfudli, 2009). Prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1.7 per
mil. Urutan lima teratas yaitu: Provinsi DI Yogyakarta dan Aceh sebesar 2,7
per mil, Provinsi Bali dan Jawa Tengah sebesar 2,3 per mil, Provinsi Jawa
Timur sebesar 2,2 per mil, prevalensi di Provinsi Riau sebesar 0,9 per mil,
prevalensi terendah terdapat di Kalimantan Barat sebesar 0,7 per mil
(Riskesdas, 2013). World Health Organization (2014) mengatakan salah satu
gangguan jiwa yang berat yaitu skizofrenia, yang mempengaruhi lebih dari 21
juta orang di seluruh dunia. Orang yang hidup dengan skizofrenia, atau
gangguan mental lainnya yang parah, meninggal rata-rata 10-25 tahun lebih
awal dari pada populasi umum. Ciri khas dari penderita skizofrenia adalah
menarik diri dari lingkungan sosial dan hubungan personal serta hidup dalam
dunianya sendiri, lalu diikuti dengan delusi dan halusinasi yang berlebihan.
Penderita skizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi (Purba,
Wahyuni, Nasution & Daulay, 2008). Halusinasi adalah hilangnya
kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan
ransangan eksternal (dunia luar) (Direja, 2011). Halusinasi merupakan suatu
gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu
yang tidak terjadi, suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui
panca indra tanpa stimulus ekstern (persepsi palsu) (Maramis, 2005).
Penyebab dari halusinasi salah satunya adalah ketidakseimbangan
13
neurotransmiter (Williams & Wilkins, 2005). Nerotransmiter yang berperan
dalam halusinasi salah satunya adalah dopamin. Ketidakseimbangan dopamin
pada jalur mesolimbik berkontribusi terhadap terjadinya halusinasi. Dopamin
penting dalam berespon terhadap stress dan banyak berhubungan dengan
sistem limbik (Stuart & Laraia, 2005). Beberapa penelitian telah dilakukan
mengatasi masalah halusinasi tanpa menggunakan obat-obatan seperti terapi
aktivitas kelompok, terapi musik, untuk menyeimbangkan neurotransmiter
pada pasien halusinasi salah satu cara adalah dengan melakukan aktivitas
fisik senam aerobic low impact secara teratur (Purnamasari, Made,
Sukawana, Wayan, Suarnatha, & Ketut, 2013). Aerobic low impact adalah
gerakan aerobic yang dilakukan dengan intensitas rendah, antara lain dengan
hentakan-hentakan ringan, dalam posisi kaki tetap dilantai (Yuda, 2006).
Senam aerobic low impact dapat mempertahankan aliran darah keotak,
meningkatkan persendian nutrisi otak, memfasilitasi metabolisme
neurotransmiter dan seluler yang mendukung dan menjaga fungsi otak
(Kuntaraf, 2005). Williams dan Wilkins (2005) menyatakan neurotranmiter
berfungsi mengatur stres, ansietas, dan beberapa gangguan terkait ansietas.
Neurotansmiter merupakan faktor kunci dalam memahami berbagai area dari
fungsi otak dan intervensinya, seperti pada obatobatan dan terapi lainnya
yang mempengaruhi aktivitas otak dan perilaku manusia. Aktivitas fisik
aerobic low impact juga meningkatkan vaskularisasi otak, meningkatkan
faktor neutropik yang berperan sebagai neuroprotektif dan meningkatkan
level dopamin dan serotonin. Serotonin disekresikan oleh nukleus yang
berasal dari medial batang otak dan berproyeksi di sebagian besar area otak
khusus menuju radiks dorsalis medulla spinalis dan menuju hipotalamus
(Guyton, 2008). Pelepasan serotonin diarea nuclei anterior dan nuclei
ventromedial hipotalamus akan menimbulkan perasaan senang, rasa puas dan
suasana hati orang yang melakukan olahraga ini menjadi baik, dan tubuh
semakin berenergi, serta jumlah sel darah merah juga akan meningkat
sehingga sistem pengangkutan oksigen ke seluruh tubuh menjadi lebih efektif
(Heryati, 2008). Purnamasari, Made, Sukawana, Wayan, Suarnatha, dan Ketut
(2013) melakukan penelitian tentang senam aerobic low impact terhadap
14
penurunan depresi pada narapidana wanita didapatkan hasil senam aerobic
low impact dapat menurunkan tingkat depresi pada narapidana wanita.
Penelitian Akhmad, Hardoyo dan Setiono (2011) menunjukkan terdapat
pengaruh yang signifikan terapi aerobic low impact self-control pada pasien
dengan resiko perilaku kekerasan. Penelitian lain juga telah dilakukan oleh
Kirana, Nauli, dan Novayelinda (2014) tentang efektifitas senam aerobic low
impact terhadap aggression self-control pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan di RSJ Tampan Provinsi Riau, hasil penelitian menunjukan adanya
peningkatan aggression self-control pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan. Berdasarkan data laporan akuntabilitas Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
Tampan Provinsi Riau dari Januari sampai dengan Desember tahun 2013,
didapatkan jumlah pasien yang rawat inap tahun 2013 sebanyak 4327 pasien.
Masalah keperawatan jiwa gangguan persepsi sensori: halusinasi 1764 pasien,
resiko perilaku kekerasan 1343 pasien, defisit perawatan diri 416 pasien,
isolasi sosial 375 pasien, harga diri rendah 374 pasien, dan waham 55 pasien
(RSJ Tampan, 2013). Berdasarkan data diatas, halusinasi merupakan masalah
keperawatan jiwa paling banyak. Berdasarkan hasil studi pendahuluan
melalui metode wawancara singkat, dilakukan pada tanggal 03 Desember
2014 di RSJ Tampan kepada 10 perawat yang berada di Ruang Siak,
Sebanyang, Kampar, Kuantan dan Indragiri. Peneliti mendapatkan data, 10
perawat mengatakan tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien
halusinasi adalah mengidentifikasi halusinasi, cara mengontrol halusinasi, dan
terapi aktivitas kelompok: stimulasi persepsi sensori halusinasi, terapi rohani,
dan senam Ayo Bersatu. Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah
diuraikan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Efektifitas
Senam Aerobic Low Impact Terhadap Halusinasi pada Pasien Halusinasi di
RSJ Tampan Provinsi Riau”.
TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui efektifitas senam aerobic low impact terhadap halusinasi pada
pasien halusinasi di RSJ Tampan Provinsi Riau.
15
MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian diharapkan menjadi sebagai sumber informasi untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang keperawatan
jiwa tentang efektifitas senam aerobic low impact terhadap penurunan skor
halusinasi. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bentuk
terapi nonfarmakologi.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi experimental design
dengan model pretest-posttest design with control group yang melibatkan dua
kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian
dilakukan di RSJ Tampan Provinsi Riau dengan jumlah sampel sebanyak 32
pasien halusinasi yang dibagi menjadi 15 orang untuk kelompok eksperimen
dan 17 orang untuk kelompok kontrol dengan tekhnik pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling. Alat ukur yang digunakan dalam kedua
kelompok adalah kuesioner skor halusinasi yang telah diuji vaiditas dan
reliabilitasnya. Pada kelompok eksperimen diberikan senam aerobic low
impact 3 kali seminggu selama 2 minggu berturut-turut, sedangkan pada
kelompok kontrol tidak diberikan intervensi.
PEMBAHASAN
1. Karakteristik responden
a. Umur
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 32 responden, diperoleh
mean umur responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol
adalah 32 dan 34,18 tahun dengan usia termuda 20 tahun dan usia tertua
63 tahun. Skizofrenia banyak terjadi pada usia remaja akhir hingga
dewasa dimana 90% onset penderita terjadi pada usia antara 15-55
(Kaplan & Sadock, 2010). Pada usia ini individu juga mudah
mengalami stres akibat dari penyesuaian diri yang radikal dalam peran
dan kehidupan yang berubah-ubah. Pada masa ini individu akan
mengalami masalah karena hubungan dengan lawan jenis, kesulitan
pada masalah pekerjaan, menurunnya keadaan jasmaniah, dan
perubahan susunan keluarga (Yosep, 2011).
16
b. Jenis Kelamin
Hasil penelitian yang telah dilakukan di RSJ Tampan, dimana 26 orang
responden dari 32 orang responden berjenis kelamin laki-laki dengan
persentasi 81,3% dan 6 orang responden berjenis kelamin perempuan
dengan persentase 18,7. Laki-laki lebih banyak mengalami halusinasi
dibandingkan dengan perempuan dimana laki-laki cenderung
mengalami perubahan peran dan penurunan interaksi sosial, kehilangan
pekerjaan, putus alkohol serta intoksikasi kokain, hal ini yang sering
menjadi penyebab terjadinya halusinasi (Kaplan & Saddock, 2008).
c. Pendidikan Terakhir
Hasil penelitian yang telah didapatkan bahwa secara umum distribusi
responden berdasarkan tingkat pendidikan mayoritas berpendidikan
SMA yaitu 14 orang (43,8%). Menurut (Wijayanti, 2010 dalam
Hidayanti, 2011) mengatakan tingkat pendidikan yang cukup
diharapkan seseorang akan lebih mudah dalam mengidentifikasi
stressor atau masalah kekerasan baik yang berasal dari diri sendiri
maupun dari lingkungan sekitar. Tingkat pendidikan dapat
mempengaruhi kesadaran dan pemehaman terhadap stimulus kognitif.
Tingkat pendidikan rendah pada seseorang akan dapat menyebabkan
cara berfikir rasional, menangkap informasi yang baru, dan kemampuan
menguraikan masalah menjadi rendah.
d. Frekuensi dirawat
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil frekuensi dirawat pertama
sebanyak 6 orang (18,8%) serta reponden dengan frekuensi dirawat 2
kali atau lebih sebanyak 26 orang (81,2%). Frekuensi dirawat di rumah
sakit akan mempengaruhi klien dalam respon sosialnya (Putri, 2010).
Notoadmodjo (2007) menyatakan pengalaman yang sudah diperoleh
dapat memperluas pengetahuan seseorang. Pengalaman adalah sesuatu
yang pernah dialami oleh seseorang sehingga pengalaman dapat
dijadikan sumber pengetahuan yaitu suatu cara untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan
17
yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa
lalu
e. Lama rawat
Hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden menurut lama hari
rawat diperoleh median lama hari rawat pada kelompok eksperimen dan
kontrol adalah 60 hari dan 30 hari. Penelitian Henderi, Wahyuni dan
Novayelinda (2010) mengatakan lama rawat sangat mempengaruhi dari
kekambuhan klien dimana klien merasa jenuh dengan aktivitas sehari-
hari yang berbeda dengan aktivitas sewaktu klien dirumah terlihat dari
angka lama rawat klien bisa mandiri dan dipulangkan oleh dokter
dibawah 30 hari akan mengurangi resiko kekambuhan tapi apabila
perawatan lebih dari 30 hari cenderung resiko kekambuhan meningkat.
f. Lama sakit
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh responden dengan lama sakit <1
tahun 21 orang (65,6%), responden dengan lama sakit 1-3 tahun 8 orang
(25,0%) serta responden dengan lama sakit >3 tahun 3 orang (9,4%).
Menurut Nantingkaseh (2007) seorang skizofrenia berat biasanya
berlangsung lama. Waktu yang lama dapat diartikan bahwa pasien
sudah lama menderita dan waktu untuk kesembuhan membutuhkan
waktu yang lama juga. 2. Efektifitas senam aerobic low impact terhadap
penurunan skor halusinasi Hasil uji statistik didapatkan ada pengaruh
pemberian terapi senam aerobic low impact pada kelompok eksperimen
terhadap skor halusinasi dengan p value (0,01) < α (0,05). Hasil uji
pada kelompok kontrol didapatkan penurunan skor halusinasi namun
tidak bermakna secara statistik dengan p value (0,34) > α (0,05). Hasil
uji statistik juga menunjukan terdapat perbedaan yang bermakna antara
skor halusinasi setelah (posttest) diberikan senam aerobic low impact
pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan p value
(0,03) < α (0,05), hal ini berarti senam aerobic low impact efektif
terhadap penurunan skor halusinasi. Pasien yang mengalami halusinasi
akan menunjukan gejala seperti mendengarkan suara, melihat sesuatu
berbentuk bayangan, tersenyum, tertawa sendiri, mengerakkan bibir
18
tanpa suara, mengikuti perintah halusinasi. Penanganan pasien dengan
halusinasi bertujuan agar pasien mampu mengontrol halusinasinya.
Penanganan pada pasien ini meliputi pemberian obat, tindakan
keperawatan sesuai dengan standar asuhan keperawatan serta tindakan
nonfamakologis lainnya (Damayanti, Jumaini, & Utami 2014). Salah
satu terapi nonfarmakologis adalah senam aerobic low impact. Senam
aerobic low impact pada pasien halusinasi dapat menurunkan tanda dan
gejala halusinasi atau pasien lebih dapat mengontrol halusinasinya hal
ini terjadi karena senam aerobic low impact dapat meningkatkan aliran
darah ke otak, meningkatkan nutrisi otak, menjaga plasitas otak,
menjaga fungsi otak, meningkatkan ukuran hipotalamus dan
memfasilitasi metabolisme neurotransmitter (Kuntaraf, 2005).
Neurotransmitter merupakan suatu zat kimia yang bekerja sebagai
penghubung antara otak keseluruh jaringan saraf dan mengendalikan
fungsi tubuh. Neurotransmitter yang berperan pada halusinasi adalah
dopamin dan serotonin (Stuart & Laraia, 2005). Senam aerobic low
impact yang dilakukan secara teratur dapat meningkatkan sekresi
serotonin dan dopamin ke area hipotalamus yang akan menimbulkan
perasan senang, rasa puas serta mengatasi stres, emosi dan depresi
(Heryati, 2008). Sehingga senam aerobic low impact dapat mengurangi
gejala halusinasi dan pasien mampu mengontrol halusinasi. Penelitian
yang dilakukan Gordon (2010) menyatakan bahwa olahraga senam
aerobic selama 30 menit dengan frekuensi 3 kali seminggu mampu
meningkatkan ukuran hipotalamus dan peningkatan kemampuan short-
term memory pada penderita skizofrenia. Faulkner dan Sparker (1999,
dalam Akhmad, Handoyo, & Setiono, 2011) dalam penelitiannya yang
berjudul Exercise as therapy for schizophrenia tentang pengaruh senam
aerobic low impact sebagai terapi bagi pasien dengan skizofrenia dan
didapatkan hasil bahwa dengan pemberian senam aerobic low impact
selama 10 minggu dapat membantu mengurangi halusinasi dengar dan
meningkatkan pola tidur yang lebih baik. Penelitian Purnamasari,
Made, Sukawana, Wayan, Suarnatha, dan Ketut (2013) yang melakukan
19
senam aerobic low impact dengan durasi 20 menit dengan frekuensi 3
kali seminggu selama 2 minggu menunjukan terjadi penurunakan
tingkat depresi yang cukup signifikan. Penelitian Akhmad, Handoyo,
dan Setiono (2011) yang melakukan senam aerobic low impact dengan
frekuensi 3 kali seminggu selama 2 minggu berturut-turut terhadap
pasien dengan resiko perilaku menunjukan terjadi peningkatan skor
aggression self control. Diperkuat dengan hasil penelitian Kirana, Nauli
dan Novayelinda (2014) yang melakukan senam aerobic low impact 3
kali seminggu selama 2 minggu berturut-turut dengan durasi 30 menit,
senam aerobic low impact efektif terhadap peningkatan aggression self
control pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan. Pada penelitian
ini pemberian senam aerobic low impact dilakukan sebanyak 6 kali
selama 2 minggu berturut-turut dengan durasi 35 menit. Menurut
Tangkudung (2004) frekuensi latihan adalah berapa kali latihan intensif
yang dilakukan oleh seseorang. Frekuensi latihan untuk senam aerobic
low impact dilakukan 3-4 kali seminggu. Apabila frekuensi latihan
kurang dari 3 kali maka tidak memenuhi takaran latihan, sedangkan
kalau lebih dari 4 kali maka dikhawatirkan tubuh tidak cukup
beristirahat dan melakukan adaptasi kembali ke keadaan normal
sehingga dapat menimbulkan sakit atau over training. Pemberian terapi
senam sebanyak satu kali dalam satu minggu tidak begitu banyak
membawa perubahan pada pasien gangguan jiwa, begitu pula dengan
intensitas senam aerobic sebanyak 4-7 kali seminggu tidak membawa
perubahan yang berarti dibandingkan dengan terapi senam aerobic yang
dilakukan selama 2-3 kali seminggu (Daley, 2002). Dalam senam
aerobic total waktu latihan yang baik umumnya antara 30-60 menit
dalam satu sesi latihan (Suharno, 2009).
PENUTUP
Kesimpulan
Hasil penelitian yang dilakukan pada 32 responden dengan kelompok
eksperimen 15 orang dan kelompok kontrol 17 orang, dapat disimpulkan
20
bahwa karakteristik responden adalah dewasa (33,16 tahun) sebagian besar
berjenis kelamin laki-laki (81,3%) dengan mayoritas status pendidikan SMA
(43,8%), yang frekuensi dirawat mayoritas sebanyak 2 kali atau lebih
(81,3%). Rata-rata lama rawat 247,81 hari dan lama sakit mayoritas <1 tahun
(65,6%). Skor halusinasi sebelum dilakukan senam aerobic low impact pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah homogen dengan nilai
median pada kelompok eksperimen 28 dan kelompok kontrol 30. Setelah
diberikan intervensi dengan senam aerobic low impact dengan frekuensi tiga
kali dalam seminggu selama 2 minggu berturutturut, terjadi penurunan nilai
sehingga menunjukan adanya penurunan skor halusinasi yang bermakna pada
kelompok eksperimen dengan hasil uji statistik p value (0,01) < α (0,05) dan
ada perbedaan yang bermakana skor halusinasi sesudah diberikan senam
aerobic low impact antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
dengan p value (0,03) < α (0,05). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa senam aerobic low impact efektif terhadap penurunan skor halusinasi
di RSJ Tampan Provinsi Riau.
Saran
Bagi bidang ilmu keperawatan khususnya keperawatan jiwa dapat dijadikan
sumber informasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mengenai
manfaat senam aerobic low impact terhadap pasien halusinasi. Bagi pasien
dengan diagnosa halusiansi hasil penelitian ini agar dapat diaplikasikan oleh
responden secara berkelanjutan sehingga dapat membantu mengurangi atau
mengontrol halusinasi sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan.
21
Abstract
The research aimed to analize the effectiveness of low impact aerobic
exercise toward aggression self control in patients with risk of violence
behaviour. The research applied quasy experiment study with pretest-posttest
design with control group. The research was conducted in psychiatric hospital
Tampan Riau Province with sample of 34 patients with risk of violence
behaviour which divided into 17 people as experimental group and 17 people
as control group and choosen by purposive sampling method. Instruments of
this research used aggression self control questionnaire which has tested the
validity and reliability for both of groups. Experimental group is trained with
low impact aerobic exercise for three times a week for 2 weeks, meanwhile
control group were not. Paired t-test and t-test statistical analysis were used to
analyze the data. The result of the research showed that mean aggression self
control score posttest in experimental group was 45,76 and control group was
21,94. That means, there was an increasing number of aggression self control
after intervention in experimental group with p value= 0,000 (p<0,05). This
study revealed that low impact aerobic exercise could increased aggression
self control in patients with risk of violence behaviour. The result of this
research recommended to be applied for nursing intervention to increase
aggression self control in patients with risk of violence behaviour.
Keywords : Aggression self control, low impact aerobic exercises, violence
behaviour.
PENDAHULUAN
Gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan yang berkaitan dengan
gangguan psikologis akibat distress atau penyakit tertentu yang
dimanifestasikan melalui perubahan perilaku yang tidak sesuai dengan
konsep norma di masyarakat (Kaplan & Sadock, 2007). Statistik direktorat
kesehatan jiwa menyebutkan, jenis gangguan jiwa terbanyak yang dialami
oleh pasien adalah skizofrenia dengan persentase sebesar 70% (Depkes RI,
2003 dalam Lelono, 2011). Kelompok skizofrenia juga menempati 90%
pasien di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia (Jalil, 2006). Skizofrenia
adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area
22
individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima dan
menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi serta
berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial (Isaac,
2005). Beberapa penelitian melaporkan bahwa kelompok individu yang
didiagnosa mengalami skizofrenia mempunyai insiden lebih tinggi untuk
mengalami perilaku kekerasan (American Psychiatric Association, 2010).
Sebuah survey yang dilakukan Sulastri (2008, dalam Wahyuningsih, 2009)
terhadap 18 klien perilaku kekerasan ditemukan 80% (14 orang) dengan
diagnosa skizofrenia paranoid sedangkan sisanya skizofrenia jenis lainnya.
Perilaku kekerasan yang terbanyak dilakukan klien dalam satu tahun terakhir
adalah kekerasan fisik pada diri sendiri yang menyebabkan cedera ringan
(84%), kemudian diikuti oleh ancaman fisik (79%), penghinaan (77%) dan
kekerasan verbal (70%). Sejumlah kecil perawat (20%) mengalami kekerasan
fisik yang menyebabkan cedera serius (Elita dkk, 2012). Selain itu klien
dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-tindakan berbahaya
bagi dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang orang
lain, memecahkan perabot, membakar rumah, dan lain-lain (Stuart &
Sundeen, 2007). Oleh karena itu, perlu diberikan intervensi yang tepat bagi
klien dengan perilaku kekerasan karena beresiko untuk mencederai diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan. Berbagai terapi dalam mengatasi masalah
perilaku kekerasan telah banyak dikembangkan. Salah satunya adalah terapi
senam aerobic low impact. Senam aerobic low impact merupakan senam
dengan mengandalkan penyaluran energi dan penyerapan oksigen yang
berimbang sehingga dapat meningkatkan endorphin yang memiliki efek
relaksan sehingga dapat mengurangi resiko kekerasan secara efektif
(Yulistanti, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Gordon (2010) dalam
bukunya yang berjudul Growing gray matter menyatakan bahwa olahraga
senam aerobic selama 30 menit dengan frekuensi 3 kali seminggu mampu
meningkatkan ukuran hipokampus dan peningkatan kemampuan shortterm
memory pada penderita skizofrenia. Penelitian Purnamasari, Made,
Sukawana, Wayan, Suarnatha, dan Ketut (2013) yang berjudul Pengaruh
senam aerobic low impact terhadap penurunan tingkat depresi pada
23
narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Denpasar menunjukkan
terjadi penurunan tingkat depresi yang cukup signifikan. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akhmad, Handoyo, dan
Setiono (2011) yang berjudul Pengaruh terapi senam aerobic low impact
terhadap skor agression self-control pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan di ruang Sakura RSUD Banyumas menunjukkan terjadi
peningkatan skor agression self control pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan di Ruang Sakura RSUD Banyumas. Data akuntabilitas Rumah
Sakit Jiwa Tampan (RSJ) Provinsi Riau tahun 2012 menunjukkan jumlah
pasien rawat inap sebanyak 4.598 orang. Masalah gangguan jiwa dengan
diagnosa medis terbanyak adalah skizofrenia paranoid (58,83%), diikuti
skizofrenia residual (16,89%), dan gangguan skizotifal psikotik akut dan
sementara (13,01%). Masalah keperawatan yang paling sering muncul adalah
gangguan persepsi sensori: halusinasi sebanyak 2.479 kasus, dan diikuti
resiko perilaku kekerasan sebanyak 1.218 kasus (Rekam Medik RSJ Tampan
Provinsi Riau, 2012). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh
peneliti pada tanggal 30 Oktober 2013 di RSJ Tampan melalui metode
wawancara terhadap 10 orang perawat Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi
Riau dari ruangan yang berbeda, mereka menyatakan bahwa intervensi yang
biasa dilakukan terhadap pasien dengan resiko perilaku kekerasan berupa
pemberian asuhan keperawatan perilaku kekerasan, Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK), dinamika kelompok, senam “Ayo Bersatu”, dan terapi
rohani. Apabila pasien gelisah atau mengamuk, biasanya perawat akan
melakukan fiksasi. Terapi farmakologis juga dilakukan sambil berkoordinasi
dengan dokter. Seluruh perawat mengatakan belum pernah melakukan senam
aerobic low impact sebagai terapi terhadap pasien dengan resiko perilaku
kekerasan. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang efektifitas senam aerobic low impact terhadap aggression self control
pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan di RSJ Tampan Provinsi Riau.
24
TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui efektifitas senam aerobic low impact terhadap aggression
self control pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan di RSJ Tampan
Provinsi Riau.
MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang keperawatan
tentang efektifitas senam aerobic low impact terhadap kesehatan. Selain itu,
hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai evidence based bagi peneliti di
masa mendatang.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan quasi experimental design dengan rancangan
pretestposttest design with control group. Penelitian dilakukan di RSJ
Tampan Provinsi Riau dengan jumlah sampel sebanyak 34 pasien dengan
resiko perilaku kekerasan yang dibagi menjadi 17 orang sebagai kelompok
eksperimen dan 17 orang sebagai kelompok kontrol yang diambil
menggunakan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Alat
ukur yang digunakan pada kedua kelompok adalah kuesioner aggression self
control yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Pada kelompok
eksperimen diberikan intervensi berupa pemberian senam aerobic low impact
tiga kali dalam seminggu selama 2 minggu berturut-turut, sedangkan
kelompok kontrol tidak diberikan intervensi.
PEMBAHASAN
1. Karakteristik responden
a. Umur
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 34 orang
responden, diperoleh mean umur responden adalah 32,56 tahun dengan
usia termuda 15 tahun dan usia tertua 60 tahun. Menurut Riyadi dan
Purwanto (2009, dalam Masdelita, 2013) pada usia ini, individu
mengalami penurunan ketergantungan pada orang tua, telah pisah
tempat tinggal dengan orang tua, khususnya individu yang telah
menikah. Kegagalan dalam tugas perkembangan ini akan menyebabkan
25
produktivitas dan kreativitas berkurang, individu hanya perhatian
terhadap diri sendiri dan kurang perhatian terhadap orang lain.
Skizofrenia banyak terjadi pada usia remaja akhir hingga dewasa
dimana 90% onset penderitanya terjadi pada usia antara 15-55 tahun
(Kaplan & Sadock, 2010).
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 34 orang
responden, diperoleh responden yang berjenis kelamin perempuan
berjumlah 12 orang (35,3%), sedangkan responden yang berjenis
kelamin laki-laki 22 orang (64,7%). Penelitian yang dilakukan oleh
Miller (2001, dalam Hidayati, 2011) menunjukkan bahwa pria lebih
memungkinkan melakukan perilaku kekerasan dibandingkan wanita,
dan wanita memiliki fungsi sosial dan pengambil keputusan dalam hal
pengendalian emosi lebih baik daripada pria. Keliat (2003, dalam
Wahyuningsih, 2009) menyatakan bahwa karakteristik jenis kelamin
berhubungan dengan kejadian perilaku kekerasan verbal (p value 0,001)
dimana jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko dua kali lebih besar
melakukan perilaku kekerasan daripada perempuan. Howritz (2002,
dalam Townsend, 2009) menjelaskan bahwa jenis kelamin
mempengaruhi kemampuan mengatasi perilaku kekerasan, dimana
angka perilaku kekerasan lebih tinggi terjadi pada klien lakilaki
daripada perempuan.
c. Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 34 orang
responden, diperoleh responden tidak sekolah 3 orang (8,8%),
responden dengan tingkat pendidikan SD 12 orang (35,3%), responden
dengan tingkat pendidikan SMP 13 orang (38,2%), dan tingkat
pendidikan SMA 6 orang (17,6%). Tingkat pendidikan dapat
mempengaruhi kesadaran dan pemahaman terhadap stimulus kognitif.
Tingkat pendidikan rendah pada seseorang akan dapat menyebabkan
cara berpikir rasional, menangkap informasi yang baru, dan
kemampuan menguraikan masalah menjadi rendah (Wijayanti, 2010
26
dalam Hidayati 2011). Stuart dan Laraia (2005) menyebutkan
pendidikan dapat dijadikan tolak ukur kemampuan seseorang
berinteraksi dengan orang lain secara efektif, faktor pendidikan
mempengaruhi kemampuan seseorang menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Tingkat pendidikan rendah pada seseorang akan
menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan, semakin
tinggi tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap kemampuan
berfikir seseorang (Stuart & Sundeen, 2007).
d. Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 34 orang
responden, diperoleh karakteristik jenis pekerjaan responden antara lain
tidak bekerja 13 orang (38,2%), buruh/tani 12 orang (35,3%),
wiraswasta 4 orang (11,8%), PNS/ABRI 1 orang (2,9%), lain-lain 4
orang (11,8%). Keliat (2003 dalam Putri, 2010) menyebutkan
karakteristik pekerjaan mempengaruhi dalam kejadian perilaku
kekerasan, dimana sebagian besar dari responden adalah tidak bekerja.
Kondisi lain yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan seperti:
keluarga single parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan tali
persaudaraan, struktur keluarga, dan kontrol sosial (Stuart & Laraia,
2005).
e. Frekuensi Dirawat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 34 orang
responden, diperoleh responden dengan frekuensi dirawat pertama kali
16 orang (47,1%), serta responden dengan frekuensi dirawat 2 kali atau
lebih 18 orang (52,9%). Wahyuningsih (2009) menyatakan frekuensi
dirawat menunjukkan seberapa sering individu dengan perilaku
kekerasan mengalami kekambuhan. Penyakit yang diderita seseorang
akan menimbulkan suatu stressor tersendiri. Kemampuan mengatasi
emosi seseorang dalam menghadapi suatu tekanan bisa disebabkan
karena terlalu lama sakit atau seringnya dirawat di rumah sakit yang
dialaminya (Hidayati, 2011). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Putri (2010) bahwa sebagian besar pasien dengan resiko perilaku
27
kekerasan merupakan pasien dengan frekuensi rawat 2 kali atau lebih
(77,4%). Frekuensi dirawat mempunyai hubungan yang bermakna
dengan respon sosial perilaku kekerasan, artinya frekuensi rawat klien
di rumah sakit akan mempengaruhi klien dalam respon sosialnya (Putri,
2010).
f. Lama Rawat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 34 orang
responden, diperoleh mean lama hari rawat responden adalah 21,53 hari
dengan lama rawat minimal 5 hari dan lama rawat maksimal 45 hari.
Lama hari rawat dapat menggambarkan berapa lama pasien dirawat dan
berapa banyak atau sering pasien mendapatkan terapi ataupun
pengobatan untuk proses penyembuhan. Semakin lama hari rawat
pasien maka semakin sering pasien mendapatkan terapi ataupun
pengobatan untuk proses penyembuhan. Lamanya perawatan di rumah
sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya
fasilitas pengobatan rawat jalan. Menurut Husain (2008 dalam
Wahyuni, Yuliet & Elita, 2011) rata-rata lama hari rawat pasien di RS
Jiwa tercepat yaitu 17 hari dan terlama yaitu 110 hari. Keliat (2010)
menyatakan pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa di Indonesia
mempunyai rata-rata lama hari rawat yang tinggi yaitu 54 hari, dan
yang paling lama dirawat adalah pasien dengan diagnosa skizofrenia.
Penelitian yang dilakukan oleh Keliat (2010) di rumah sakit jiwa pusat
Bogor tahun 2001, menunjukkan rata-rata lama hari rawat pasien adalah
115 hari dan untuk pasien perilaku kekerasan 42 hari. Data dari RSJ
Tampan Provinsi Riau (2012) menunjukkan ratarata lama hari rawat
pasien adalah 24 hari dengan rincian ruang Siak 18 hari, ruang
Sebayang 32 hari, ruang Kampar 34 hari, ruang UPIP 5 hari, ruang
Kuantan 18 hari, dan ruang Indragiri 32 hari (Rekam Medik RSJ
Tampan Provinsi Riau, 2012).
2. Efektifitas senam aerobic low impact terhadap aggression self control pada
pasien dengan resiko perilaku kekerasan
28
Pengukuran aggression self control sebelum (pretest) pada kelompok
eksperimen dan kontrol didapatkan hasil mean skor aggression self control
sebelum diberikan senam aerobic low impact pada kelompok eksperimen
21,65 dengan standar deviasi 3,741, sedangkan kelompok kontrol 21,76
dengan standar deviasi 3,977. Terlihat bahwa skor aggression self control
kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok eksperimen
sebelum dilakukan senam aerobic low impact. Pada saat melakukan pretest
masih terlihat jelas tanda dan gejala pasien dengan resiko perilaku
kekerasan seperti tangan mengepal, muka merah, mata menatap tajam,
gelisah, memaki-maki, membentak, meludah, serta berusaha
menghancurkan jeruji besi kamar. Sesuai dengan pernyataan Stuart dan
Laraia (2005) bahwa tanda dan gejala fisik pada pasien dengan perilaku
kekerasan dapat berupa ketegangan tubuh, muka merah, pandangan tajam,
nadi dan pernapasan meningkat, rahang mengatup, mengepalkan jari, nafas
terengah-engah, dan cara berdiri mengancam. Berdasarkan hasil dari uji T
berpasangan pretest dan posttest kelompok eksperimen diperoleh mean
skor aggression self control sebelum diberikan senam aerobic low impact
pada kelompok eksperimen 21,65 dengan standar deviasi 3,741, dan
mengalami peningkatan mean skor aggression self control setelah
diberikan senam aerobic low impact menjadi 45,76 dengan standar deviasi
6,619. Hasil uji T berpasangan didapatkan p value= 0,000 (p<0,05). Hal
ini berarti ada pengaruh yang signifikan antara mean aggression self
control kelompok eksperimen sebelum dan sesudah diberikan senam
aerobic low impact sehingga Ho ditolak yang artinya senam aerobic low
impact efektif terhadap aggression self control pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan. Sementara itu, hasil uji T berpasangan pretest dan
posttest kelompok kontrol diperoleh mean skor aggression self control
sebelum diberikan intervensi senam aerobic low impact pada kelompok
eksperimen sebesar 21,76 dengan standar deviasi 3,977 dan mean skor
aggression self control sesudah tanpa dilakukan senam aerobic low impact
sebesar 21,94 dengan standar deviasi 4,069. Hasil uji T berpasangan
diperoleh p value=0,083 (p>0,05). Hal ini berarti tidak ada pengaruh yang
29
signifikan antara mean aggression self control kelompok kontrol sebelum
dan sesudah tanpa diberikan intervensi senam aerobic low impact. Senam
aerobic low impact adalah aliran gerakan ringan dengan salah satu kaki
tetap menapak pada lantai setiap waktu (Nelly, 2009 dalam Indrawan,
2013). Dalam penelitian ini terapi senam aerobic low impact memberikan
gerakan senam yang terstruktur, ritmik dengan diiringi musik yang
semangat untuk mencapai perbedaan jumlah skor pre-test dan post-test
pada sampel. Aktivitas fisik yang menurun dapat berdampak salah
satunya pada sirkulasi darah yang tidak maksimal diedarkan keseluruh
tubuh. Hal ini diakibatkan karena pembuluh darah yang tidak elastis.
Akibatnya oksigen dan nutrisi yang dibawa keseluruh tubuh menurun,
yang berdampak pada penurunan metabolisme energi yang akan
mempengaruhi fungsi organ tubuh (Rudolf, 2007 dalam Purnamasari,
Made, Sukawana, Wayan, Suarnatha, & Ketut, 2013). Gangguan
metabolisme yang terjadi didalam otak akan mempengaruhi produksi
neurotransmiter termasuk serotonin dan norepinefrin di sistim limbik yang
berkaitan dengan pengendalian emosi, perilaku instinktif, motivasi serta
perasaan (Dwivedi, 2009 dalam Purnamasari, Made, Sukawana, Wayan,
Suarnatha, & Ketut, 2013). Faktor biologis yang berpengaruh terhadap
munculnya perilaku kekerasan antara lain gangguan pada sistem limbik,
lobus frontal, hipotalamus, dan neurotransmitter (Stuart & Laraia, 2005).
Senam aerobic low impact memperlihatkan dapat mempertahankan aliran
darah otak, meningkatkan persediaan nutrisi otak, memfasilitasi
metabolisme neurotransmiter yang dapat menurunkan agresi serta dapat
memicu perubahan aktivitas molekuler dan seluler yang mendukung dan
menjaga fungsi otak (Kuntaraf, 2005). Sirkulasi yang optimal ke otak akan
membantu aliran darah membawa banyak oksigen dan nutrisi ke otak,
sehinga terjadi peningkatan metabolisme yang menyebabkan peningkatan
energi yang dihasilkan oleh mitokondria sel saraf untuk mensintesis
neurotransmiter terutama serotonin dan norepinefrin didalam otak
termasuk sistim limbik yang berkaitan dengan pengendalian emosi,
perilaku instinktif, motivasi serta perasaan (Heryati, 2008). Berdasarkan
30
hasil dari uji T tidak berpasangan posttest kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol didapatkan mean posttest skor aggression self control
pada kelompok eksperimen adalah 45,76 dengan SD adalah 6,619
sementara mean posttest skor aggression self control pada kelompok
kontrol adalah 21,94 dengan SD adalah 4,069. Hasil analisis diperoleh p
value= 0,000 (p>0,05), berarti ada perbedaan yang signifikan antara rata-
rata skor aggression self control sesudah diberikan senam aerobic low
impact pada kelompok eksperimen dengan rata-rata skor aggression self
control yang tidak diberikan senam aerobic low impact pada kelompok
kontrol sehingga Ha diterima. Artinya, senam aerobic low impact efektif
terhadap aggression self control pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan. Senam aerobic low impact dengan mengandalkan penyaluran
energi dan penyerapan oksigen yang berimbang dapat meningkatkan
endorphin yang memiliki efek relaksan sehingga dapat mengurangi resiko
kekerasan secara efektif (Yulistanti, 2003). Hasil penelitian menunjukkan
terjadi peningkatan skor aggression self control yang cukup signifikan
pada responden kelompok eksperimen dimana terjadi peningkatan
kemampuan pasien dalam mengendalikan diri terhadap adanya perilaku
kekerasan yang meliputi tindakan untuk melakukan penyerangan,
perlawanan, dan perusakan secara fisik.
31
peningkatan rata-rata skor aggression self control pada kelompok eksperimen
menjadi 45,76, sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan
intervensi menjadi 21,94. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya
peningkatan aggression self control yang signifikan pada kelompok
eksperimen setelah diberikan intervensi dengan hasil uji statistik p value=
0,000 (p<0,05) sehingga Ha diterima yang artinya senam aerobic low impact
efektif terhadap peningkatan aggression self control pada pasien dengan
resiko perilaku kekerasan. Bagi pasien dengan resiko perilaku kekerasan hasil
penelitian ini agar dapat diaplikasikan oleh responden untuk membantu
meningkatkan aggression self control secara efektif dan efisien sehingga
mampu meningkatkan kemampuan dalam mengendalikan diri terhadap
perilaku menciderai diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan.
2.4 TAHAP IV
Melakukan quality assessment/apraisal
Penilaian terhadap hasil penelitian/bukti yang didapat diperlukan untuk
menentukan apakah hasil penelitian tersebut merupakan hasil penelitian terbaik
yang tidak menimbulkan bahaya jika diterapkan.
a. Analisa CASP Checklist
32
Jurnal 1
Respon Komentar
Tidak
No Pertanyaan Fokus Tida
Iya dilap
k
orkan
Section A: Apakah hasil studi nya valid?
1 Apakah studi tersebut Studi populasi √
menjelaskan Intervensi yang √
masalahnya secara diberikan
focus Kelopok √
control/kompar
asi √
Hasil/ outcome
2 Apakah pembagian Bagaimana ini √
pasien ke dalam dilakukan
kelompok intervensi Apakah alokasi √
dan control dilakukan pasien
secara acak dilakukan
secara
tersembunyi
dari peneliti
dan pasien
3 Apakah semua pasien Apakah √
yang terlibat dalam dihentikan
penelitian lebih awal
dicatat dengan benar di Apakah pasien
kesimpulannya? dianalisis √
dalam
kelompok
untuk yang
mereka acak
33
4 Apakah pasien, petuga √
kesehatan
dan responden pada
penelitian ini
‘Blind’ terhadap
intervensi yang
dilaksanakan?
5 Apakah waktu √
pelaksanaan untuk
setiap grup sama?
6 Selain intervensi yang √
dilaksanakan, apakah
setiap grup
dipelakukan
sama/adil?
Seciton B: Apa hasilnya?
7 Seberasa besar efek apaoutcome √
dari intervensi tersebut yang diukur?
Apakah hasil √
dijelaskan secara
spesifik
hasil apa yang
ditemukan untuk √
34
populasi lokal, atau di karakteristik
konteks saat ini pasien sama
dilingkungan dengan tempat
sekarang? bekerja/populasi
anda? √
Jika berbeda,
apa
perbedaannya
10 Apakah hasil Apakah infomasi √
penelitian ini pencing yang anda
secara klinis untuk inginkan sudah
dipertimbangkan? terdapat dalam
penelitian
Jika tidak, √
apakah akan
berpengaruh
terhadap
pengambilan
keputusan
11 Apakah manfaatnya Meskipun tidak √
sepadan dengan tercantum dalam
bahaya dan biaya yang penelitian,
dibutuhkan? bagaiman
menurut anda
35
Akankah hasilnya membantu secara lokal? (SectionC)
Hasil ya / jumlah pertanyaan : 18/22 :
81%
Jurnal 2
No Pertanyaan Fokus Respon Komentar
Iya Tida Tidak
k dilapo
rkan
Section A: Apakah hasil studi nya valid?
1 Apakah studi tersebut Studi populasi √
menjelaskan Intervensi yang √
masalahnya secara diberikan
focus Kelopok √
control/kompar
asi √
Hasil/ outcome
2 Apakah pembagian Bagaimana ini √
pasien ke dalam dilakukan
kelompok intervensi Apakah alokasi √
dan control dilakukan pasien
secara acak dilakukan
secara
tersembunyi √
dari peneliti
dan pasien
3 Apakah semua pasien Apakah √
yang terlibat dalam dihentikan
penelitian lebih awal
dicatat dengan benar di Apakah pasien
kesimpulannya? dianalisis √
36
dalam
kelompok
untuk yang
mereka acak
4 Apakah pasien, petuga √
kesehatan
dan responden pada
penelitian ini
‘Blind’ terhadap
intervensi yang
dilaksanakan?
5 Apakah waktu √
pelaksanaan untuk
setiap grup sama?
6 Selain intervensi yang √
dilaksanakan, apakah
setiap grup
dipelakukan
sama/adil?
Seciton B: Apa hasilnya?
7 Seberasa besar efek apaoutcome √
dari intervensi tersebut yang diukur?
Apakah hasil √
dijelaskan secara
spesifik
hasil apa yang
ditemukan untuk √
37
limitnya
Seciton C: Akankah hasil membantu secara lokal?
9 Bisakah hasilnya Apakah √
diterapkan karakteristik
populasi lokal, atau di pasien sama
konteks saat ini dengan tempat
dilingkungan bekerja/populasi
sekarang? anda?
Jika berbeda, √
apa
perbedaannya
10 Apakah hasil Apakah infomasi √
penelitian ini pencing yang anda
secara klinis untuk inginkan sudah
dipertimbangkan? terdapat dalam
penelitian
Jika tidak, √
apakah akan
berpengaruh
terhadap
pengambilan
keputusan
11 Apakah manfaatnya Meskipun tidak √
sepadan dengan tercantum dalam
bahaya dan biaya yang penelitian,
dibutuhkan? bagaiman
menurut anda
38
2.5 TAHAP V
Hasil analisi jurnal
Author/ Tahun Jenis Sample Interven Hasil Penelitian Quali
Peneliti Penelitian si ty
Ass
R Dwi 2015 desain 32 pasien eksperim Setelah diberikan 18/22
Safra penelitian halusinas en intervensi dengan : 81%
Yuli1, quasi i diberikan senam aerobic low
Jumaini2, experiment senam impact dengan
Yesi al design aerobic frekuensi tiga kali
Hasneli3 dengan low dalam seminggu
model impact 3 selama 2 minggu
pretest- kali berturut-turut,
posttest seminggu terjadi penurunan
design with selama 2 nilai sehingga
control minggu menunjukan
group berturut- adanya penurunan
turut skor halusinasi
yang bermakna
pada kelompok
eksperimen dengan
hasil uji statistik p
value (0,01) < α
(0,05) dan ada
perbedaan yang
bermakana skor
halusinasi sesudah
diberikan senam
aerobic low impact
antara kelompok
eksperimen dengan
kelompok kontrol
39
dengan p value
(0,03) < α (0,05).
Nadzla 2014 quasi 34 pasien pemberia Hasil penelitian ini 18/22
Kirana1, experiment dengan n senam menunjukkan : 81%
Fathra al design resiko aerobic adanya
Annis dengan perilaku low peningkatan
Nauli2, rancangan kekerasa impact aggression self
Riri pretest- n tiga kali control yang
Novayeli posttest dalam signifikan pada
nda3 design with seminggu kelompok
control selama 2 eksperimen setelah
group minggu diberikan
berturut- intervensi dengan
turut hasil uji statistik p
value= 0,000
(p<0,05) sehingga
Ha diterima yang
artinya senam
aerobic low impact
efektif terhadap
peningkatan
aggression self
control pada pasien
dengan resiko
perilaku kekerasan.
Poin Feedback :
A. Hasil analisis jurnal
Dari hasil analisis jurnal yang berjudul “EFEKTIFITAS SENAM
AEROBIC LOW IMPACT TERHADAP PENURUNAN SKOR
HALUSINASI dan EFEKTIFITAS SENAM AEROBIC LOW IMPACT
40
TERHADAP AGGRESSION SELF CONTROL PADA PASIEN DENGAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN .
Dari kedua jurnal di atas setelah di analisis kedua jurnal di atas mempunyai
ke efektifitasan yang tinggi terhadap pasien halusinasi dan resiko perilaku
kekerasan yaitu di berikan exercise senam aerobic low impact. Untuk
menurunkan menurunkan skor Halusinasi dan aggression self control pada pasien
dengan resiko perilaku kekerasan menjaga fungsi otak (Kuntaraf, 2005). Sirkulasi
yang optimal ke otak akan membantu aliran darah membawa banyak oksigen dan
nutrisi ke otak, sehinga terjadi peningkatan metabolisme yang menyebabkan
peningkatan energi yang dihasilkan oleh mitokondria sel saraf untuk mensintesis
neurotransmiter terutama serotonin dan norepinefrin didalam otak termasuk sistim
limbik yang berkaitan dengan pengendalian emosi, perilaku instinktif, motivasi
serta perasaan (Heryati, 2008). Senam aerobic low impact dengan mengandalkan
penyaluran energi dan penyerapan oksigen yang berimbang dapat meningkatkan
endorphin yang memiliki efek relaksan sehingga dapat mengurangi resiko
kekerasan secara efektif (Yulistanti, 2003). Hasil penelitian menunjukkan terjadi
peningkatan skor aggression self control yang cukup signifikan pada responden
kelompok eksperimen dimana terjadi peningkatan kemampuan pasien dalam
mengendalikan diri terhadap adanya perilaku kekerasan yang meliputi tindakan
untuk melakukan penyerangan, perlawanan, dan perusakan secara fisik.
41
C. Pertimbangan kemampuan klinik mahasiswa
Bagi Program Studi Profesi Ners, diharapkan literatur ini dapat dijadikan
sebagai perkembangan teori yang dapat diterapkan dalam teori tambahan, aplikasi
dalam asuhan keperawatan jiwa, sebagai tahap kebugaran bagi klien,
meningkatkan mobilitas dan fleksibilitas bagi klien, meningatkan kesenangan bagi
klien dengan gangguan jiwa.
42
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan yang berkaitan dengan
gangguan psikologis akibat distress atau penyakit tertentu yang
dimanifestasikan melalui perubahan perilaku yang tidak sesuai dengan konsep
norma di masyarakat (Kaplan & Sadock, 2007). Sedangkan Halusinasi sendiri
adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan interna
(pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). (Farida Kusumadan,2010). Dan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana klien mengalami perilaku yang
dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-
barang (Maramis, 2004) perilaku kekerasan adalah respon sesorang terhadap
stressor, dimana seseorang mengalami perilaku yang dapat membahayakan secara
fisik terhadap diri sendiri dan lingkungan.
Dari kedua jurnal di atas setelah di analisis kedua jurnal di atas mempunyai
ke efektifitasan yang tinggi terhadap pasien halusinasi dan resiko perilaku
kekerasan yaitu di berikan exercise senam aerobic low impact. Untuk
menurunkan menurunkan skor Halusinasi dan aggression self control pada pasien
dengan resiko perilaku kekerasan dengan cara pemberian exercise senam aerobic
low impact tiga kali dalam seminggu selama 2 minggu berturut-turut.
3.2 SARAN
a. Bagi Perawat di Rumah Sakit
Di haharapkan dapat dijadikan sebagai teori yang bisa dikembangkan
lagi luas bagi perawat dalam memodifikasi aplikasi asuhan keperawatan
jiwa dengan tehnik-tehnik baru sebagai bagian yang membantu dalam
proses pemulihan klien dan sebagai program untuk kebugaran tubuh.
b. Bagi Mahasiswa
43
1) laporan ini dapat bermanfaat untuk kita semua khususnya tenaga
kesehatan. Dan untuk menambah wawasan serta pengetahuan
penulis tentang penanganan pasien halusinasi dan resiko perilaku
kekerasan
2) Mahasiswa harus mampu untuk melaksanakan EBP dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien, dan keluarga
3) Mahasiswa harus mampu merumuskan kebutuhan asuhan
keperawatan berdasarkan evidence yang terbaru.
4) Mahasiswa harus mampu membuat rumusan pertanyaan klinis
dengan menggunakan format PICOT.
5) Mahasiswa harus mampu melakukan pencarian evidence (hasil-
hasil penelitian) terbaru sesuai dengan pertanyaan PICOT.
6) Mahasiswa harus mampu melakukan quality assessment/apraisal
terhadap hasil penelitian yang ditemukan dengan menggunakan
format.
7) Mahasiswa harus mampu mengintegrasikan hasil penelitian
terbaik dengan pandangan ahli di ruangan dan praktik klinik serta
memperhatikan nilai-nilai pasien dalam membuat asuhan/tindakan
keperawatan yang berdasarkan pada EBP.
44