Bab I Kasus CKD
Bab I Kasus CKD
Bab I Kasus CKD
PENDAHULUAN
1.3 Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik dapat disebabkan karena beberapa faktor
(Dipiro 9th) , yaitu :
1. Susceptibility factors
Faktor ini dapat meningkatkan resiko kerusakan ginjal tetapi tidak secara
langsung. Yang termasuk kedalam faktor ini yaitu usia, penurunan massa ginjal dan
berat badan rendah, etnik, riwayat keluarga, tingkat pendapatan atau pendidikan
rendah, inflamasi sistemik, dan dislipidemia.
2. Initiation factors
Dapat menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung yang disebabkan karena
penggunaan modifikasi terapi. Faktor-faktor tersebut antara lain diabetes mellitus,
hipertensi, glomerulonefritis, polycystic kidney disease, Wegener granulomatosis,
penyakit vaskuler, dan HIV.
3. Progession factors
Faktor ini dapat mempercepat penurun fungsi ginjal setelah terjadi kerusakan
ginjal akibat inisiasi. Faktor-faktor tersebut antara lain penderita diabetes mellitus,
hipertensi, proteinuria, hiperlipidemia, obesitas, dan merokok.
4. Progressive nephrophaties
Sebagian besar nefropati progresif menyebabkan kerusakan ginjal secara
permanen, dalam hal ini dapat disebabkan karena hilangnya massa nefron, hipertensi
kapiler glomerulus, dan proteinuria.
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
buangan, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal
menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh
ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan penurunan
klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan
gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea
maupan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja,
mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood
Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir
urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko
gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium
dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan
volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor keseimbangan cairannya.
Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal
mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar
serum kalsium. Penurunan kadar serum kalsium menyebabkan sekresi para-hormon
dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal
kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan
adanya hipertensi (Brunner dan Suddarth, 2001). Hal tersebut sesuai dengan
identifikasi yang dilakukan oleh Brenner dkk. yang mengidentifikasi hipertensi
glomerulus dan hiperfiltrasi merupakan kontributor utama dalam perkembangan
penyakit ginjal kronik. Hipertensi sistemik di transfer ke glomerulus dan hipertensi
glomerulus yang dihasilkan dari perubahan lokal dalam hemodinamik glomerular
dapat menyebabkan cedera terhadap glomerulus. Dimana biasanya ginjal dilindungi
oleh autoregulasi dari tekanan darah tinggi. Hipertensi dalam jangka waktu lama
dapat menyebabkan vasokontriksi arteri dan sklerosis yang mengakibatkan sklerosis
sekunder dan atrofi pada glomerulus dan tubulointerstisial (Matovinović, 2009).
2.3 Patofisiologi
Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan interstisium dikenal sebagai edema.
Penyebab edema dapat dikelompokan menjadi empat kategori umum (Himawan,1990) :
1. Penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan tekanan osmotic
plasma.penurunan ini menyebabkan filtrasi cairan yang keluar dari pembuluh lebih
tinggi, sementara jumlah cairan yang direabsorpsi kurang dari normal ; dengan
demikian terdapat cairan tambahan yang tertinggal diruang –ruang interstisium.
2. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler menyebabkan protein plasma yang keluar
dari kapiler ke cairan interstisium disekitarnya lebih banyak.
3. Peningkatan tekanan vena , misalnya darah terbendung di vena , akan disertai
peningkatan tekanan darah kapiler, kerena kapiler mengalirkan isinya kedalam vena.
Peningkatan tekanan kearah dinding kapiler ini terutama berperan pada edema yang
terjadi pada gagal jantung kongestif.
4. Penyumbatan pembuluh limfe menimbulkan edema,karena kelebihan cairan yang
difiltrasi keluar tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat dikembalikan ke darah
1.6 Algoritma Terapi Udem
Berdasarkan journal review Loop Diuretics in Clinical Practice pada tahun 2015
penggunaan loop diuretic direkomendasikan dalam mengatasi edema pada pasien CKD
yang memilik e GFR < 30, serta memiliki efek yang lebih baik jika dibandingkan
diuretic lain yang kurang efektif pada pasien CKD. Untuk dosis Furosemide pada pasien
CKD 80 mg-160 mg per hari. Berdasarkan Journal Edema Diagnosist and Management
tahun 2013 penatalaksanaan edema itu didasarkan pada penyebab dari edema tersebut.
Seperti tabel 2 berikut :
2. Hipertensi
3.1 Definisi
Hipertensi lebih dikenal dengan penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan
darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau tidaknya
tekanan darah adalah tekanan darah sistolik dan diastolik. Berdasarkan JNC (Joint
National Comitte) VII, seseorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik
140 mmhg atau lebih dan diastolik 90 mmhg atau lebih (Chobanian, 2003). JNC7
mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa (diatas umur 18 tahun)
berdasarkan rata-rata dari 2 atau lebih pengukuran tekanan darah pasien, dimana terdapat
beberapa kategori klasifikasi, antara lain adalah normaal, prehipertensi, hipertensi stage
1, dan hipertensi stage 2, yang ditunjukkan oleh Tabel berikut
1. Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis (Dipiro et al.,
2015). Tiazid diuretik dipilih untuk menangani hipertensi. Golongan ini
menghambat reabsorbsi Natrium di tubulus distal sehingga berkontribusi dalam
penurunan tekanan darah. Contoh obat tiazid diuretik : chlortaridone, indopamide,
hydrochlorhiazide, metolazone. Loop diuretik lebih poten untuk menginduksi
diuresis tetapi tidak dapat digunakan pada pasien dengan edema (Dipiro et al., 2015).
Golongan ini lebih efektif dibandingkan tiazid diuretik dengan kondisi CKD dengan
GFR kurang dari 30 mL/min/1,73m2. Contoh obat : furosemide, bumetanide,
torsemide. Diuretik hemat kalium merupakan golongan antihipertensi yang tidak
adekuat jika digunakan tunggal dan digunakan untuk mengatasi kekurangan kalium
dan natrium yang disebabkan oleh diuretik lainnya(Dipiro et al., 2015). Contoh obat :
Amiloride, triamterene. Antagonis aldosteron juga merupakan diuretik hemat kalium
yang lebih poten dengan onset lambat. Contoh obat : spironolaktone.
2. ACEI
ACEI digunakan sebagai terapi pilihan pertama dengan mekanisme menghambat
angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah perifer(Dipiro et al., 2015). Batuk kering dapat terjadi hingga pada 20% pasien
dan hal ini disebabkan karena pemecahan bradikinin. ACEI dikontraindikasikan pada
ibu hamil. Contoh obat kaptopril, enalapril, fosinipril.
3. ARB
ARB memiliki mekanisme antagonis dari reseptor angiotensin II (Dipiro dkk., 2015).
ARB tidak menyebabkan hambatan bradikinin. ARB memiliki efek samping yang
kecil dan seperti ACEI dapat menyebabkan gagal ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
ortotastik. ARB kontraindikasi pada ibu hamil. Contoh obat : Losartan, Vasartan,
Irbesartan.
4. CCB
CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat masuknya
kalsium dalam otot polos vaskuler maupun miokardium selama proses depolarisasi
(Dipiro et al., 2015). Dihidropiridin dapat menyebabkan aktivasi refleks simpatetik,
dihidropiridin pada umumnya tidak menurunkan kondisi nodus AV. Contoh obat
:Nondihidrypiridin (Diltiazem, verapamil), Dihydripiridine (Amilodipine, felodipine).
5. Beta blocker
Mekanisme beta bloker yaitu dengan menurunkan curah jantung melalui kronotropik
negatif dan dan efek inotropik jantung serta inhibisi pelepasan renin dari ginjal
(Dipiro et al., 2015). Penghentian terapi dengan beta bloker yang cepat dapat
menyebabkan angina tidak stabil, infark miokard. Asetubutolol, carteolol, penbutolol
dan pindolol memiliki aktivitas intrinsik simpatomimetik (ISA) mampu menurunkan
tekanan darah dan resisten vaskular sistemik sementra denyut jantung dan curah
jantung tetap dipelihara. Beta blocker dengan aktivitas ISA tidak tirekomendasikan
untuk pasien post penyakit jantung koroner.
6. Renin Inhibitor
Mekanisme aksi yaitu dengan menghambat renin secara lansung sehingga
menurunkan plasme renin activity (PRA) (Dipiro et al., 2015). Contoh obat yaitu
aliskiren.
7. Alfa Blocker
Prazosin, terazosin dan doxazosin merupakan alfa blocker yang menghambat
pengambilan katekolamin pada sel otot polos perifer sehingga menyebabkan
vasodilatasi (Dipiro et al., 2015). Jika digunakan untuk menurunkan tekanan darah,
golongan ini sebaiknya digunakan dengan kombinasi terapi antihipertensi pertama.
8. Alfa-2-Agonist
Digunakan pada kasus hipertensi resisten apabila terapi dengan antihipertensi
konvesional tidak adekuat (Dipiro et al., 2015). Penghentian mendadak dapat
menimbulkan hipertensi balik atau peningkatan tekanan darah ke nilai yang lebih
tinggi dari sebelum penanganan. Contoh obat : Clonidine, methyldopa, reserpine
9. Direct vasodilator
Penderita yang mendapatkan terapi ini sebaiknya mendapatkan terapi utama dengan
diuretik dan blocker beta andrenergik (Dipiro et al., 2015). Vasodilator lansung
menyebabkan angina pada penderia arteri koroner kecuali mekanisme refleks
baroreseptor dihambat secara sempurna oleh inhibitor simpatetik.
Daftar Pustaka
BNF. 2017. British National Formulary 74th Edition. London: Pharmaceutical Press.
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
DFA. 2015. Australian and International Guidelines on Diabetic Foot Disease. Donkin :
Diabetic Foot Australia.
Dipiro, J.B., Wells & Schwinghammer, T., 2015. Pharmacotherapy Handbook Ed 9th. New
York: Mc Graw Hill.
James PA, Ortiz E, et al. 2014. Evidence-based guideline for the management of high blood
pressure in adults: (JNC8). JAMA. 2014 Feb 5;311(5):507-20
Koda Kimble and Aldredge, B.K., 2009, Applied Therapeutics the Clinical Use of Drugs,
9thedition, New York : Lippicont Williams & Wilkin, Hal 777, 895
KDIGO. 2012a. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management
of chronic kidney disease. Kidney International Supplements. 3(1):4–4.
KDIGO. 2012b. KDIGO clinical practice guideline for the management of blood pressure in
chronic kidney disease. Kidney International. Supp:2(5):337–414.
KDIGO. 2013. Clinical practice guideline for lipid management in chronic kidney disease.
Kidney International. 3(3):182–189.
Kimmel, P. L. dan M. E. Rosenberg. 2015. Chronic Renal Disease. Amsterdam: Elsevier Inc.
Matovinović, M. S. 2009. PATHOPHYSIOLOGY and classification of kidney diseases. The
Journal of The International Federation Clinical Chemistry and Laboratory
Medicine. 20(December 2004):2–11.
Pringgoutomo, S., Hiwaman, S. & Tjarta, A., 2002. Patologi (I) Umum. Jakarta: Sagung Seto.