GGK Kel 11 Dikit Lagi
GGK Kel 11 Dikit Lagi
GGK Kel 11 Dikit Lagi
Disusun oleh :
Crhonic Kidney Disease (CKD) atau penyakit Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan
suatu penyakit erupakan perkembangan gagal ginjal yang bersifat progresif dan lambat, dan
biasanya berlangsung selama satu tahun. Ginjal kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan
normal (Wilson, 2006). Kelainan struktural pada GGK antara lain albuminuria >30mg/hari,
hematuria pada sedimen urin, riwayat transplantasi ginjal, atau lain sebagainya. GGK stadium
V atau disebut dengan gagal ginjal terjadi apabila GFR turun di bawah 15 mL/menit / 1,73 m2
(<0,14 mL/detik/m2) atau pada pasien yang menerima terapi penggantian ginjal (RRT) dalam
hal ini yaitu pasien yang menerima dialisis. Prognosis tergantung pada penyebab penyakit
ginjal, derajat albuminuria, laju filtrasi glomerulus (GFR) saat diagnosa, dan kondisi
komorbiditas lainnya (DiPiro dkk., 2015).
Penentuan kadar kreatinin serum merupakan salah satu metode paling umum dan murah
untuk mengetahui fungsi ginjal. Kadar kreatinin akan meningkat apabila kemampuan filtrasi
kreatinin menurun akibat dari disfungsi renal. Peningkatan kadar kreatinin serum dua kali
lipat mengindikasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50%, demikian juga
peningkatan kadar kreatinin serum tiga kali lipat merefleksikan penurunan fungsi ginjal
sebesar 75% (Alfonso dkk., 2016).
Inisiasi dari penyakit tambahan seperti Diabetes mellitus dapat meningkatan glukosa
pada pasien diabetes yang menahun (glukotoksisitas) sehingga menjadi faktor yang
melandasi timbulnya nefropati yang berujung kerusakan ginjal. CKD diabetes ditandai
dengan ekspansi mesangial glomerulus dan nefrosklerosis hipertensi, arteriol ginjal memiliki
hyalinosis arteriol. Glukotoksisitas meningkatkan AGE’s (advance glycosilation endproducts)
yang memicu kerusakan pada glomerulus ginjal dan gangguan osmolaritas membran basal.
Faktor penyakit klinis lain seperti hipertensi dan hiperlipidemia memang tidak berhubungan
langsung dengan terjadinya nefropati, tetapi keduanya mempercepat progesivitas ke arah
GGK. Hipertensi akan mempengaruhi proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal
glomeruli, sedangkan hiperlipidemia mempengaruhi ekspansi mesangial glomerulus.
Berdasarkan DiPiro (2015), patofisiologi CKD dapat dilihat lebih lanjut pada Gambar
dibawah ini
GGK memiliki faktor risiko yang dapat diubah meliputi diabetes, hipertensi,
proteinuria tinggi, infeksi saluran kemih, penyakit autoimun. Sedangkan fator risiko
yang tidak dapat diiubah adalah riwayat keluarga dengan kerusakan ginjal, dan faktor
usia (Foundation, 2002).
1.2.2 Hipertensi
Faktor risiko pada hipertensi yang tidak dapat diubah meliputi faktor keturunan,
usia, jenis kelamin. Sedangkan yang bisa diubah adalah dislipidemia, pola makan, dan
stres (Dipiro, J.T., Tabert, R.J., and Yee, G.C., Martzke, G.R., and Possey, L.M., 2015)
1.3.2 Hipertensi
Tanda-tanda klinis hipertensi pada penyakit gagal ginjal kronis yaitu :
a) Pasien dengan hipertensi primer tanpa komplikasi biasanya tidak menunjukkan
gejala di awal.
b) Pasien dengan hipertensi sekunder memiliki gejala lain. Pasien dengan
Feokromositoma akan merasakan gejala seperti sakit kepala, berkeringat, takikardi,
palpitasi, dan hipotensi ortostatik. Pasien dengan Cushing sindrom akan menglamai
gejala penambahan berat badan, poliuri, edema, ketidakteraturan menstruasi, jerawat
kambuhan, lemah otot (Joseph T. DiPiro, Barbara G. Wells, 2015).
Strategi terapi untuk mencegah perkembangan penyakit ginjal pada individu non
diabetes
1.4.2 Terapi Non Farmakologi GGK
Pada terapi non-farmakologi meliputi pengelolaan nutrisi tubuh yang baik dengan
mengurangi asupan protein, yaitu dengan dilakukannya diet rendah protein berikisar 0,6
hingga 0,75 g / kg / hari. sehingga dapat menunda perkembangan penyakit gagal ginjal
pada pasien dengan atau tanpa diabetes, walaupun manfaatnya relatif kecil. Sedangkan
untuk pasien yang menerima dialisis menjaga asupan protein dari 1,2 g/kg/hari sampai
1,3g/kg/hari (Cecily v dkk., 2009).
Pasien diabetes harus diskrining setiap tahun untuk CKD mulai saat diagnosis
diabetes tipe 2 dan 5 tahun setelah diagnosis diabetes tipe 1 dengan memesan serum
kreatinin, eGFR, dan rasio albumin-kreatinin urin (ACR).
Penatalaksanaan diabetes pada pasien CKD meliputi penurunan proteinuria
dan pencapaian tekanan darah yang diinginkan dan HbA1c. Target HbA1c pada
populasi pasien ini harus 7% (0,07; 53 mmol / mol Hb); Namun, dokter dapat
mempertimbangkan target yang lebih besar dari 7% (0,07; 53 mmol / mol Hb) jika
ada risiko hipoglikemia atau harapan hidup terbatas (Peringkat bukti: 1A). Perlu
dicatat bahwa pengukuran HbA1C didasarkan pada asumsi rentang hidup sel darah
merah selama 90 hari. Pada CKD, rentang hidup sel darah merah menurun, sehingga
nilai HbA1c mungkin salah rendah. Oleh karena itu, pada pasien dengan CKD,
HbA1c harus diinterpretasikan bersama dengan pembacaan glukosa darah pasien
sebelum membuat penentuan kontrol diabetes. Penting juga untuk dicatat bahwa
pasien dengan CKD 3 dan 4 berisiko lebih tinggi mengalami hipoglikemia karena
penurunan metabolisme insulin oleh ginjal karena penurunan GFR. Akibatnya,
pasien ini mungkin memerlukan pengurangan dosis agen hipoglikemik oral atau
injeksi. Metformin dapat dilanjutkan pada pasien dengan eGFR lebih dari atau sama
dengan 45 mL/menit/1,73 m2; ditinjau pada mereka yang memiliki eGFR 30 hingga
44 mL/ menit /1,73 m2, dan dihentikan pada individu dengan eGFR kurang dari 30
mL/menit/1,73 m2 (Tingkat bukti: tidak dinilai). Penyesuaian dosis atau
menghindari hipoglikemik yang mungkin diperlukan. (DiPiro, 2017)
1.4.4 Terapi hipertensi pada GGK
Penurunan tekanan darah pada pasien gagal ginjal akut berhubungan dengan
penurunan proteinuria. Berdasarkan KDOQI merekomendasikan untuk target
penurunan tekanan darah sebesar <140/90 mmHg pada pasien dengan proteinuria <
30mg/hari atau tekanan darah <130/90 mmHg pada pasien dengan proteinuria >30
mg/hari (Cecily v dkk., 2009).
Pada terapi penggunaan antihipertensi dapat dapat menurunkan tekanan
kapiler dan volume pada glomerulus sehingga dapat mengurangi jumlah protein
yang disaring melalui glomerulus. Hal tersebut akan mengurangi perkembangan
gangguan ginjal kronis.Penggunaan antihipertensi diantaranya (Cecily v dkk., 2009)
ACEI (Angiotensin Converting Enzym Inhibitor), ARB (Angiotensin Reseptor
Blocker), CCB (Calcium Channel Blocker) non dihidropiridin
Jika tujuan tekanan darah belum tercapai digunakan Beta blocker, Hidralazin,
Furosemide (jika terdapat udema)
BAB 2. ANALISIS SOAP STUDI KASUS GGK
Ny. ATM usia 56 tahun, BB 67 kg, TB 159 cm MRS ke IGD dengan keluhan sesak
nafas, mual-muntah, lemas, tidak nafsu makan. Sesak nafas yang sudah dirasakan sejak 2
bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan perutnya kembung dan terasa penuh seperti terisi
cairan. BAB normal, BAK keluar hanya sedikit meskipun pasien minum banyak. Pasien juga
mengeluh gatal-gatal di seluruh tubuh dan muncul bentol kemerahan pada seluruh tubuh.
Pasien memiliki riwayat DM (14 tahun), Hipertensi (28 tahun). Pasien mengaku rutin
menggunakan glibenklamid dan HCT.
Hasil pemeriksaan TTV saat MRS TD 170/90, Nadi 92x/menit, RR 27x/menit, Suhu 36ºC.
Pemeriksaan fisik GCS 456, sesak nafas (+++), muntah (++), gatal (+++), bentol merah
(+++), udema peritoneal (++), udema kaki (++). Data laboratorium GDA 262 mg/dL,
GD2JPP 209 mg/dL, GDP 190 mg/dL, HbA1C 8,9%, Hb 8,6 g/dL, Hct 25%, BUN 32
mg/dL, Scr 5,6 mg/dL, Albumin 3,1 g/dL, proteinuria (3+).
B. Tanda-tanda klinik
Tanggal
Gejala fisik
H-1 H-2 H-3
GCS 456 456 456
Sesak Nafas +++ ++ ++
Muntah ++ +- +-
Gatal +++ ++ +-
Bentol Merah +++ ++ ++
Udema Peritoneal ++ ++ ++
Udema Kaki ++ ++ +-
C. Data laboratorium
Nilai Tanggal
Parameter
Normal H-1 H-2 H-3
GDA (mg/dL) <200 262 233 245
GD2JPP (mg/dL) <200 209 - -
GDP (mg/dL) <135 190 - -
HbA1C (%) 7 8,9 - -
Hb (g/dL) 13 - 16 8,6 - -
Hct (%) 33 - 43 25 - -
BUN (mg/dL) 6 - 23 32 -- 30
Scr (mg/dL) 0,6 - 1,2 5,6 - 5,8
Albumin (g/dL) 3,5 - 4,5 3,1 - -
Proteinuria - 3+ - -
Asam Urat (mg/dL) 2-8 - 8,8 -
Na (mg/dL) 135 - 145 - 143 145
K (mg/dL) 3,5 - 5 - 5,7 5,1
Cl (mg/dL) 95 - 105 - 95 98
Ca (mg/dL) 8,8 - 10,8 - 7,9 7,9
IV. TERAPI PASIEN
Tanggal
Nama Obat Dosis & rute
H-1 H-2 H-3
NS 500cc 12 tpm (iv)
O2 2L/menit
Furosemid 2 x 40mg (iv)
Metoklopramid 3 x 10mg (iv)
Amlodipin 1 x 10mg (iv)
Glibenklamid 1 x 5mg (po)
Metformin 3 x 500mg (po)
Clonidine 2 x 0,15mg (po)
CTM 1 x 2mg (po)
Metilprednisolon 1 x 6,25mg (iv) -
10iu (iv) + D40% 50mL
- -
Novorapid (iv)
3 x 8iu (sc) - -
Allopurinol 3x200mg (po) -
V. Analisis SOAP
Problem Medis Subjektif/Objektif Terapi Analisis Obat DRP Plant and Monitoring
Plan:
- Merupakan antihistamin
Subyektif : Terapi dilanjutkan
CTM - Dapat mengurangi efek
- BAK sedikit senyawa histamin alami dalam dengan penambahan
1x2 mg (p.o)
meski minum tubuh. dosis CTM menjadi 1
Dosis to Low
banyak - Histamin dapat memberikan x 4 mg secara peroral
- Gatal gatal efek bersin, gatal-gatal, mata Monitor:
diseluruh tubuh berair, dan hidung berair Monitor bentol merah
GGK stadium V
- Muncul bentol (Drugs.com). dan gatal-gatal
kemerahan di
seluruh tubuh - Merupakan obat golongan
kortikosteroid
Methilprednisolon - mencegah pelepasan senyawa Unnecessary drug therapy Plan : Terapi
Obyektif : -
1x6,25 mg (iv) dalam tubuh yang dihentikan
menyebabkan inflamasi
(Drugs.com).
Monitoring:
Memonitoring
tekanan darah
- Obat antihipertensi
golongan Loop Diuretik
yang memiliki onset lebih
cepat dan efek diuretiknya
lebih kuat dibandingkan
dengan Thiazid Plan:
(Medscape.com) - Adverse Drug Terapi dilanjutkan
- Bekerja dengan Reaction:
mengeluarkan atau Penggunaan Monitoring:
Furosemid
meringankan udema Furosemid memiliki Memonitoring
2 x 40mg (iv)
(Medscape.com) efek samping tekanan darah,
- Dosis awal 20-40mg, dosis meningkatkan kadar udema, kadar asam
dapat ditingkatkan 20mg asam urat urat, Na, Ca, dan K
setiap interval 2 jam hingga
efek tercapai. Pemberian
intravena harus perlahan
dengan kecepatan tidak
melebihi 4mg/menit
(Evaria, 2018)
Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Objektif Glibenklamid 1x5 Merupakan obat golongan Ineffective Drug: Plan: Terapi
Diabetes Melitus -hari ke 1 GDA : mg (po) sulfonil urea yang memiliki Metabolit aktif dari dihentikan.
262 mg/dL efek utama meningkatkan glibenklamid
G2JPP : 209 sekresi insulin sel beta diekskresikan melewati Monitoring: Kadar
mg/dL GDP : pankreas. Dosisnya 2,5-20 mg ginjal sehingga gula darah (GDA,
190 mg/dL perhari dan dosis maksimalnya pemberian glibenklamid GD2JPP, GDP) dan
HA1C : 8,9% 20 mg perhari. (Lacy dkk, pada kondisi CKD tidak HbA1C (ADA, 2018)
2009) direkomendasikan
-hari ke 2 GDA (ADA, 2017)
: 233 mg/dL Kontra indikasi : hindari jika
pasien kemungkinan
-hari ke 3 GDA : mengalami porpirias akut.
245 mg/dL Dosis awal untuk pasien
dewasa 5 mg sehari,
diturunkan respon pasien.
Diberikan dengan atau sesaat
setah makan. Dosis maksimal
15 mg per hari. (BNF 73,
2017)
Antidiabetes Obat golongan antidiabetes Ineffective Drug & Plan: Terapi
Metformin 3 x yang pemberiannya harus Adverse Drug Reaction: dihentikan.
500 mg (po) diberikan bersamaan dengan Pemberian metformin
makanan. Perhatian: efek aditif pada pasien CKD dengan Monitoring: Kadar
dengan sulfonilurea. Diuretic DM tidak boleh gula darah (GDA,
tiazid, OC, Simpatomimetik, diberikan dengan kadar GD2JPP, GDP) dan
niacin, ca-kanal bloker dan serum pada perempuan HbA1C (ADA, 2018)
isoniazid dapat memperburuk ≥1,4 mg/dl (ADA, 2017).
hilangnya kontrol glikemik. Penggunaan metformin
ACEI dapat mengurangi pada gangguan ginjal
konsentrasi glukosa darah juga meningkatkan
puasa, dapat meningkatkan resiko asidosis laktat
kadar serum dengan simetidin. dengan meningkatkan
akumulasi metformin
KI: ketoasidosis, serum karena diekskresi dalam
kreatinin ≥1,5mg/dl. hindari bentuk tidak berubah
jika pasien kemungkinan (Koda Kimble, 2013)
mengalami porpirias akut.
Dosis awal untuk pasien
dewasa 5 mg sehari,
diturunkan respon pasien.
Diberikan dengan atau sesaat
setah makan. Dosis maksimal
15 mg per hari. (BNF 73,
2017)
Nyonya ASM usia 56 tahun, masuk rumah sakit tanggal 13 Agustus. Diagnosa pasien
yaitu Gagal Ginjal Kronis dengan nilai GFR sebesar 8 yang mana jika Merujuk pada KDIGO
(2017) mengungkapkan bahwa pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis yang memiliki
nilai GFR < 15 maka masuk dalam kategori stage 5. Monitoring yang dapat dilakukan kepada
pasien antara lain monitoring volume urine, monitoring kadar gula dalam darah dan tekanan
darah, monitoring kadar kreatinin, BUN, dan albumin. Nilai GFR sebesar <30 ml/min juga
mengindikasikan bahwa pasien menderita DM yang mana dilakukan terapi menggunakan
metformin dan glibenklamid. Menurut American Diabetes Assosiation (2018) terapi
metformin dikontraindikasikan untuk pasien gagal ginjal dengan nilai eGFR < 45 ml/min.
Oleh karena itu penggunaan metformin disarankan untuk dihentikan dan melakukan
monitoring kadar gula darah dalam darah. Glibenclamid tidak disarankan digunakan pada
pasien DM dengan CKD sehingga terapi dihentikan (ADA 2014; ADA 2018). Terapi
pemberian insulin (Novorapid) tetap dilanjutkan tetapi diganti dengan Insulin basal dengan
dosis awal (inisiasi) 10 IU/hari atau 0,1- 0,2 IU/kg/hari hingga didapatkan nilai HbA1C <7%.
Kemudian dilakukan titrasi dosis dengan menaikkan dosis sebanyak 2 Unit setiap 3 hari
untuk mencapai target GDP (80-130 mg/dL). Bila target penurunan HbA1C tidak tercapai,
maka diberikan penambahan insulin prandial (rapid-acting insulin)dengan dosis awal
4IU/hari atau 10% dari dosis insulin basal (ADA, 2020).
Pasien juga mengeluhkan gatal dan bentol merah, hal ini dimungkinkan akibat gagal
ginjal yang menyebabkan kadar histamine dalam darah meningkat. Hingga hari ketiga gatal
gatal dan bentol kemerahan masih dirasakan oleh pasien sehingga terapi menggunakan CTM
secara peroral tetap dilanjutkan namun dilakukan peningkatan dosis menjadi 1x4 mg p.o
untuk mengatasi gatal gatal yang masih dialami pasien. Metilprednisolon dirasa tidak perlu
digunakan lagi sehingga terapi dihentikan karena terdapat DRP unnecessary drug therapy.
Pada kasus ini pasien mengalami GGK disertai dengan hipertensi stage 2. Pada hari
ketiga tekanan darah pasien belum mencapai target terapi yang diinginkan yaitu sebesar
<140/90 mmHg seperti yang tertera dalam JNC 8. Pemberian amlodipine yang merupakan
obat golongan CCB dirasa kurang tepat karena obat golongan tersebut bukan merupakan first
line terapi untuk hipertensi pada pasien GGK disertai dengan DM, selain itu amlodipin
memiliki efek samping terjadinya udema pulmonari dan obat ini tidak memiliki efek
mengurangi proteinuria, sehingga disarankan pemakaian amlodipin dihentikan dan diganti
dengan obat golongan ACEI atau ARB sebagai first line terapi hipertensi pada pasien CKD
dengan DM (JNC 8; Chasanah dan Muti 2016). Melihat dari studi kasus yang terjadi, tekanan
darah pasien belum mengalami penurunan hingga hari ke 3 sehingga untuk membantu
mencapai target terapi tekanan darah yang diinginkan diberikan obat golongan ARB yaitu
Losartan dengan dosis 1x25 mg (DIH). Losartan sudah sesuai dengan guideline terapi untuk
pasien GGK disertai dengan hipertensi karena firstline terapinya menggunakan ACEI/ARB,
selain itu Losartan juga efektif karena tidak ada DRP dengan obat lain maupun kondisi
pasien. Selain itu terapi clonidine tetap dilanjutkan, clonidine merupakan obat golongan
central alfa agonist yang dapat digunakan sebagai terapi tambahan (adjunct therapy) pada
pasien hipertensi untuk membantu mencapai target terapi yang diinginkan dengan
menurunkan tekanan darah pada pasien CKD dengan hipertensi (Sica Domenic MD, 2008).
Obat ini efektif untuk pasien hipertensi dengan atau tanpa gagal ginjal. Clonidine juga efektif
untuk pasien hipertensi dibawah kondisi dialisis kronis, namun diperlukan penyesuaian dosis
dikarenakan obat disekresikan melalui ginjal (Itskovitz H, 1980). Selain itu apabila dilakukan
penghentian tiba-tiba akan menyebabkan terjadinya rebound hypertension (peningkatan
tekanan darah yang sehingga dapat menimbulkan stroke hemoragik) (BNF, 2019)
Penggunaan terapi furosemide diberikan selain untuk mengkontrol tekanan darah juga
untuk mengurangi udema peritoneal dan udema kaki yang terjadi pada pasien. Terdapat DRP
pada kasus udema peritoneal yaitu Need additional therapy .Penggunaan Furosemide 2x40
mg (iv) belum dapat mengatasi udema peritoneal sehingga perlu adanya penambahan obat
lain untuk mengatasi udema. Keparahan udema juga dapat terjadi karena penggunaan
amlodipin yang memiliki efek samping memicu terjadinya peningkatan edema (DIH 17th,
2009). Plan yang diberikan yaitu penghentian terapi amlodipin dan penggunaan Furosemid
tetap dilanjutkan dengan mengombinasikan dengan spironolakton (P.O) dosis rendah yaitu
25 mg, sebanyak 2 kali sehari.
Selain itu pasien juga mengeluhkan sesak nafas dengan nilai respiration rate (RR)
diatas normal, terapi oksigen diberikan untuk mengatasi sesak nafas yang ada pada pasien.
Dilakukan monitoring terhadap kondisi vital pasien dan tingkat saturasi oksigennya.
DAFTAR PUSTAKA