Penuntun Praktikum Fisika Tanah-Revised Apr 10 2015

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 34

Penuntun Praktikum Fisika

Tanah

Maret 2015
Pengantar

Praktikum Fisika Tanah yang dituangkan dalam pedoman singkat ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan
dasar kepada mahasiswa S1 mengenai teknik pengukuran beberapa parameter fisik tanah yang penting bagi
kegiatan usahatani. Mendahului prosedur pengukuran, diberikan sekelumit teori menyangkut aspek yang diukur
agar mahasiswa tidak hanya mampu mengukur, tetapi juga mengerti apa yang diukur dan mengapa harus diukur.

Sangat disayangkan bahwa untuk saat ini, sebagian dari materi praktikum yang diberikan disini hanya dalam
bentuk demontrasi karena keterbatasan peralatan yang dimiliki oleh jurusan Ilmu Tanah universitas hasanuddin.
Beberapa materi praktikum juga terpaksa dipersingkat atau disederhanakan karena relative lamanya waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan praktikum secara lengkap.

Pada waktu-waktu mendatang,bila peralatan telah tersedia, praktikum akan dilakukan secara lengkap, dan
bukannya dalam bentuk demonstrasi. Selain itu, materi praktik akan dikembangkan lebih jauh.

Kegiatan praktik dibagi dalam dua bagian, praktik lapangan dan laboratorium.

PRAKTIK DI LAPANG

Pada praktik lapang akan dilakukan penggalian profil tanah. Kegiatan ditekankan pada observasi kenampakan
beberapa sifat fisik tanah yang penting dalam pengamatan profil tanah, teknik pengambilan sampel untuk analisa
sifat fisik tanah di laboratorium.

Observasi yang akan dilakukan meliputi agregasi dan struktur tanah, keadaan drainase, sealing dan crusting (bila
ditemukan) dan pengompakan dan konsolidasi (bila ditemukan). Juga dilakukan pengambilan sampel untuk
analisa sifat fisik laboratorium.

PRAKTIK DI LABORATORIUM

1. ANALISA UKURAN PARTIKEL DAN TEKSTUR TANAH

Analisa ukuran partikel (AUP) adalah suatu pengukuran untuk mendapatkan distribusi ukuran partikel dari suatu
sample tanah. Ada dua tahapan utama dalam UAP, yakni (1) penghancuran dan dispersi agregat untuk
memisahkan individu partikel liat, debu dan pasir dengan cara kimia, mekanik atau ultrasonik, dan (2) pemisahan
partikel-partikel tanah dengan cara pengayakan dan sedimentasi. Tekstur ditentukan berdasarkan proporsi
partikel liat, debu dan pasir dari sampel tanah berdasarkan segitiga tekstur (misalnya) USDA.

Perlu diingatkan bahwa, dalam pengklasifikasian tekstur, mutlak dicantumkan sistem klasifikasi mana yang
dijadikan acuan (apakah sistem International Soil Science Society-ISSS, atau United States Department of
Agriculture – USDA, atau lainnya). Ini sangat penting karena masing-masing sistem klasifikasi mempunyai kisaran
ukuran yang berbeda, terutama untuk partikel debu dan pasir. (Perbedaan-perbedaan ini dapat dilihat pada text
books ilmu tanah). Tanpa mencantumkan sistem klasifikasi yang diacu, interpretasi data oleh orang lain bisa
menyesatkan.

Data distribusi ukuran partikel (DUP) diperlukan bagi banyak bidang ilmu yang berkaitan dengan ilmu tanah.
Dalam bidang ilmu tanah, DUP diperlukan untuk evaluasi tekstur tanah yang penting, misalnya, dalam evaluasi
tata air tanah, kesuburan tanah dan kemampuan lahan. DUP juga dapat digunakan untuk memprediksi sifat
kehidraulikan tanah, retensi air, daya hantar air (hydraulic conductivity), ataupun kekuatan tanah.

Prosedur:

Dalam praktikum ini, AUP akan diberikan melalui demonstrasi, dengan prosedur singkat sebagai berikut (prosedur
lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1).

1) Timbang 20 g tanah kering udara yang telah disediakan dan diketahui kadar air kering udaranya, lalu
masukkan ke dalam “cangkir” pengaduk (mixer cup).
2) Tambahkan 50 mL dispersing agent (40,9 g sodium hexametaphosphate dan 9,1 g sodium karbonat,
dilarutkan dalam 1 L air terdemineralisasi (demineralized water) dan sekitar 300 mL air demineralised, lalu
kocok dengan mixer berkecepatan tinggi selama 3 sampai 5 menit.
3) Pindahkan suspensi tanah ke dalam silinder berkapasitas 1 L. Bilas cangkir pengaduk agar tidak ada
partikel tanah yang tersisa. Pemindahan ke dalam silinder dilakukan sekaligus dengan pengayakan pasir.
Dengan menggunakan ayakan berukuran 270 mesh (0,053 mm, klasifikasi USDA). Gunakan botol semprot
untuk membantu melewatkan partikel debu dan liat yang tersisa pada ayakan. Pindahkan pasir yang
terkoleksi ke dalam cawan untuk dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 ºC selama 1 hari, dinginkan
di dalam desikator, lalu ditimbang.
4) Tambahkan air terdemineralisasi ke dalam silinder sehingga volume suspensi menjadi tepat 1000 mL.
Letakkan silinder pada meja yang kokoh di dalam ruangan bersuhu konstan, lalu kocok suspensi tanah
dengan pengaduk vertikal (plunger) selama kira-kira satu menit. Ukur suhu ruangan untuk penentuan
waktu pengamatan (Tabel l). Pada pengukuran yang sebenarnya suspensi blank (tanpa tanah) yang
hanya mengandung dispersan, juga disiapkan untuk mengoreksi berat dispersan yang terikut pada
partikel tanah setelah dikeringkan.
5) Sekitar 20 detik sebelum pemipetan, masukkan pipet ke dalam suspensi tanah. Tepat pada waktunya
(Tabel l), pipetlah sampel suspensi sebanyak 10 mL untuk pengamatan partikel debu dan liat, lalu
tuangkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya, keringkan di dalam cawan selama 24 jam
pada suhu 105 ºC.
6) Lakukan hal yang sama dengan 5) untuk partikel liat.
7) Lengkapi isian lembaran data yang disediakan, lalu hitung persentase fraksi pasir, debu dan liat dengan
rumus:
Proporsi pasir = berat pasir/total berat tanah

Proporsi liat = {(berat liat + blank) – (berat blank)}

x (1000 mL / mL pipet) / (total berat tanah)


Proporsi debu = {(berat debu + liat + blank) – (berat liat + blank)}

x (1000 mL/mL pipet) / (total berat tanah)

Tugas: sajikan data anda dalam bentuk kelas tekstur dan kurva distribusi ukuran partikel.

Tabel 1. Waktu sampling dari partikel berdiameter 0,002, 0,02 dan 0,05 mm pada kedalaman sampling 100 mm
untuk larutan tanah yang mengandung 0,5 g L-¹ HMP dari suhu 20 sampai 30 ºC. Partikel density tanah diasumsikan
sebesar 2650 kg m-³.

Waktu pengendapan

Suhu (oC) 0,002 mm 0,02 mm 0,05


jam menit menit detik detik

20 7 : 45 4 : 39 44.6
21 7 : 34 4 : 32 43.5
22 7 : 23 4 : 26 42.5
23 7 : 12 4 : 20 41.5
24 7 : 03 4 : 14 40.6
25 6 : 53 4 : 08 39.6
26 6 : 44 4 : 02 38.7
27 6 : 34 3 : 57 37.9
28 6 : 26 3 : 52 37.0
29 6 : 17 3 : 47 36.2
30 6 : 10 3 : 42 35.5

Acuan:

Day, P.R. (1965). Particle fractionation and particle-size analysis. In: Black, C.A et al. (eds.). Methods of Soil Analysis.
Part I. Physical and mineralogical methods. Ist. Ed. Agron. No. 9 Amer. Soc. Of Agron., Madison, WI, ASA, p. :
945-567.

Gee, G.W. and J.W. Bauder (1986). Particle-size analysis. In: Klute, A. et al. (eds.). Methods of Soil Analysis. Part I. 2nd.
Agron. No.9, Amer. Soc. Of Agron., Madison, WI, USA, p.: 384-411.

Indorante, S.J., L.R. Follmer, R.D. Hammer, and P.G. Koenig (1990). Particle-size analysis by a modified pipette
producedure. Soil Science Society of America Journal 54: 560-563.

McIntyre, D.S. and J. Loveday (1974). Particle-size analysis. In: Loveday, J. (ed.). Methods for Analysis of Irrigated Soils.
Technical Communication No. 54 CAB., Victoria, p.: 88-89.
Lembaran Data Analisa Ukuran Partikel dan Tekstur

Nama : ………………………………

Sampel : ………………………………

Tanggal : ………………………………

1) Kadar air: berat cawan (g) = ………………


berat cawan + tanah + air (g) = ………………
berat cawan + tanah (g) = ………………
Kadar air gravimetric (kg kg-¹) = ………………
2) Sedimentasi: berat kering udara tanah (g) = ………………
berat kering oven (g) = ………………
Debu + liat: suhu (º C) = ………………
blank (g) = ………………
berat debu + liat (g) = ………………
Liat: suhu (ºC) = ………………
blank (g) = ………………
berat liat (g) = ………………
3) Pengayakan: Sistem ISSS:

Pasir halus (0.02 – 0.2 mm) (g) = ………………


Pasir kasar (0.2 – 2.0 mm) (g) = ………………
Sistem USDA
Pasir sangat halus (0.05 – 0.1 mm) (g) = ………………
Pasir halus (0.1 – 0.25 mm) (g) = ………………
Pasir sedang (0.25 – 0.5 mm) (g) = ………………
Pasir kasar (0.5 – 1.0) (g) = ………………
Pasair sangat kasar (1.0 – 2.0 mm) (g) = ………………
Pasir total (g) = ………………
4) Ringkasan: Proporsi liat (kg kg-¹) = ……………...
Proporsi debu (kg kg-¹) = ………………
Proporsi pasir (kg kg-¹) = ………………
5) Kelas tekstur (sistem ISSS/USDA*):…………………………………………………………
6) Comments: ……………………………………………………………………………………….…..…
………………………………………………………………………………………………………………

*Coret yang tidak perlu


2. DISTRIBUSI UKURAN DAN STABILITAS AGREGAT

Agregat merupakan sekumpulan dari partikel primer yang “terikat” (cohered) satu dan lainnya lebih kuat dari
kumpulan partikel lain di sekitarnya. Untuk menghancurkan suatu massa tanah menjadi agregat-agregat
diperlukan suatu gaya atau kekuatan. Besarnya gaya yang diperlukan untuk menghancurkan agregat
menggambarkan ukuran stabilitas dari agregat bersangkutan. Agregat akan hancur bila gaya perusak yang
diberikan lebih besar dari gaya kohesi antar partikel di dalam agregat yang bersangkutan. Gaya-gaya perusak
ini termasuk: (1) impact dan gaya geser yang bekerja pada saat pengambilan sampel atau pengolahan tanah;
(2) gaya abrasi dan impact selama pengayakan kering atau pengayakan basah seperti pada erosi angin atau
erosi air; dan/atau (3) gaya yang disebabkan oleh masuknya air ke dalam agregat seperti pada irigasi.

Pada tanah yang lembab atau basah, ada dua gaya utama yang mengikat partikel tanah membentuk
agregat, yaitu tegangan permukaan (surface tension) dari interface udara dan air, dan tegangan kohesif
(cohesive tension) pada fase cair. Kedua gaya ini menarik partikel-partikel tanah yang berdampingan,
meningkat dengan mengeringnya tanah. Agregat yang basah lebih lemah dari yang kering. Sehubungan
dengan sifat itu, adalah mutlak untuk menstandarisasi kadar air atau tegangan matriks pada saat pengujian
stabilitas agregat. Jika tidak, data yang diperoleh hanya informasi sampah!

2.1 Agregat kering

Distribusi ukuran agregat yang didapatkan dari pengayakan kering merupakan gambaran agregasi tanah, tetapi
tidak menggambarkan distribusi ukuran agregat yang riil di lapang, karena sulitnya mengontrol atau
menstandarisasi besarnya gaya-gaya perusak pada saat pengambilan sampel. Karena itu, data distribusi ukuran
agregat lebih menggambarkan indeks struktur tanah atau ketahanan agregat terhadap gaya-gaya perusak,
seperti erosi angin atau pengolahan tanah, dari pada ukuran agregat yang sebenarnya.

Prosedur:

Ambil sampel tanah “setengah utuh” dengan hati-hati. Pada saat sampling, tanah harus dalam keadaan cukup
kering (kadar air di bawah batas plastik) untuk mencegah penghancuran agregat atau perubahan struktur secara
berlebihan. Tanah dicungkil dengan menggunakan skop persegi yang rata, lalu diletakkan pada talang (tray).
Kalau tanah masih belum kering, sebaiknya dikering-udarakan di lapangan sebelum ditransportasikan. Kedalaman
sampling harus sama bila membandingkan tanah yang berbeda, karena struktur tanah bervariasi pada kedalam
yang berbeda. Untuk sebisa mungkin mempertahankan kondisi agregat dari lapang, tidak disarankan untuk
menghancurkan agregat dengan tangan atau penumbukkan.

Dengan jumlah yang sesuai dengan kapasitas ayakan, agregat kering udara dimasukkan ke dalam alat pengayak
kering. Mesin pengayak dihidupkan selam waktu tertentu, biasanya 15 menit. Bila membandingkan tanah yang
berbeda, waktu pengayakan harus sama.
Timbang agregat tertambat pada masing-masing ayakan, lalu hitung proporsinya relatif terhadap berat total dari
semua ukuran. Ini dapat dihitung misalnya dengan menggunakan parameter yang disebut “meanweight
diameter” (MWD) (van Bavel, 1949):

MWD = ∑𝑛𝑖=0 𝑥 𝑤𝑖 (1)

dimana, 𝑥 adalah diameter rata-rata (antara dua ukuran ayakan), dan w1 adalah berat sampel berdiameter i.

Selain MWD, proporsi masing-masing kelas ukuran agregat (misalnya agregat dengan kelas ukuran antara 1,00
dan 2,50 mm, antara 0,500 dengan 1,00, dst) dapat diplotkan dalam diagram batang yang menyajikan data
sebaran kelas ukuran agregat dari suatu tanah. Tanah yang lebih stabil agregatnya akan memperlihatkan
dominasi kelas ukuran antara 1,00 dan 2,50 mm. Sebaliknya, tanah yang tidak stabil misalnya akan lebih dominan
pada kelas yang lebih halus, misalnya <0,125 mm.

2.2 Agregat basah

Pembasahan melalui irigasi atau hujan dapat bersifat sangat dekstruktif terhadap agregat tanah. Bahkan, dapat
dikatakan bahwa agents yang umumnya bertanggungjawab terhadap hancurnya agregat tanah adalah air.
Pengrusakan agregat (aggregate collapse) oleh air melalui mekanisme pengembangan diferensial (differential
swelling) tanah akibat perbedaaan laju pembasahan agregat yang mengakibatkan shear plane, terutama jika
mineral liat mudah mengembang terdapat dalam jumlah yang relative banyak, dan melalui peningkatan tekanan
gas yang terjebak di dalam pori selama proses pembahasan.

Tingkat pembahasan yang tinggi, misalnya pada potensial matriks nol, mengakibatkan differential swelling dan
tekanan udara terjebak yang besar dan dapat menghancurkan agregat (melalui proses slaking) secara berarti
(Panabokke and Quirk, 1957; Panabokke and Quirk, 1985; Gusli et al., 1994). Tambahan pula, beberapa material
pengikat di dalam agregat menjadi larut ketika air memasuki agregat. Beberapa material lain tidak larut, tetapi
menjadi lemah. Selain itu, energi kinetik dan intensitas hujan juga merupakan penyebab hancurnya agregat (Gusli
et al., 1995).

Pengolahan tanah bertujuan untuk menciptakan kondisi struktur tanah yang ideal bagi pertumbuhan tanaman
melalui peningkatan total pori dan jumlah pori makro, relatif terhadap mikro, tetapi kondisi ini tidak bertahan
secara permanen. Dengan berjalannya waktu, struktur ideal yang tercipta menjadi kurang ideal karena perusakan
agregat oleh hujan. Penurunan kualitas struktur ini berjalan lebih cepat pada tanah dengan agregat yang tidak
stabil. Karena itu, analisis stabilitas agregat terhadap air (water stability) adalah penting. Berikut ini disajikan 3 teknik
pengujian stabilitas agregat di dalam air, masing-masing Test Emerson (Emerson’s test), rasio dispersi (dispersion
ratio), dan pengayakan basah (wet sieving).

2.2.1 Emerson’s test

Pada metode ini, stabilitas agregat dibagi ke dalam 8 kelas berdasarkan stabilitasnya di dalam air (Gambar 1).
Walaupun bersifat visual, tidak kuantitatif, sehingga bersifat subjektif dan arbitrary, test ini sederhana, sehingga
dapat digunakan oleh petani, sekalipun. Test ini sangat bermanfaat bagi uji stabilitas agregat untuk kepentingan
irigasi, erosi dan perembesan air pada reservoir air. Secara khusus, test ini sangat bermanfaat untuk tanah-tanah
yang mudah terdispersi.
Prosedur:

Gunakan vial atau beaker berkapasitas 100 mL untuk perlakuan berikut:

Vial 1: Tuangkan sekitar 20 mL air demineralised. Kedalamnya, secara berhati-hati jatuhkan 3 butir agregat kering
udara dengan diameter 3 sampai 5 mm. Biarkan selama 2 jam, lalu amati apakah slaking, dispersi, atau swelling
terjadi.

Vial 2: Tambahkan 20 mL larutan CaCl2 berkonsentrasi 10 mmol/L. Lakukan hal yang sama pada vial 1, tetapi
gunakan CaCl2, bukan air.

Vial 3: Pada sekitar 10 g tanah di dalam cawan kecil ditambahkan air demineralised, cukup untuk mendapatkan
kandungan air sekitar kapasitas lapang. Tanah di “remould “ (dipelintir berulang-ulang pada kadar air sekitar
kapasitas lapang) dengan spatula selama sekitar 2 menit. Buatlah bola tanah (diameter sekitar 3 mm) dari tanah
yang telah dilumatkan (remoulded) ini, lalu jatuhkan ke dalam air seperti pada vial 1. Amati apakah terjadi dispersi.

Vial 4: Siapkan suspensi tanah dengan perbandingan tanah dan air 1 : 5, dengan jalan menambahkan 5 g
agregat tanah ke dalam 25 mL air di dalam vial tetutup. Tutuplah vial, lalu kocok suspensi tanah selama sekitar 10
menit, kemudian pindahkan suspensi ke dalam beaker. Biarkan suspensi mengendap selama 5 menit. Amati
apakah tanah terdispersi (suspensi/air keruh) atau terflokusi (air jernih).

Tugas: berikan komentar berdasarkan hasil yang saudara peroleh!

Masukkan agregat ke dalam air tanpa mineral

Slaking Tidak ada slaking

Dispersi Dispersi parsial Tidak ada Swelling Tidak ada


sempurna (kelas 2) dispersi (kelas 7) (kelas 8)
(kelas 1)

Dilumatkan (remoulded) pada kadar air sekitar kapasitas lapang

Dispersi Tidak ada dispersi

(kelas 3)

Tidak ada karbonat/gypsum Ada karbonat/ gypsum (kelas 4)

Buat suspensi tanah/air (1 : 5)

Terdispersi (kelas 5) Terflokulasi (kelas 6)

Gambar 1. Test slaking dan dispersi Emerson (Emerson, 1967).


Contoh kondisi terdispersi diperlihatkan pada Gambar 1a.
Gambar 1a. Agregat tanah yang terdispersi parsial ketika dimasukkan ke dalam air.

2.2.2 Rasio Dispersi

Prinsip dari metoda ini adalah membandingkan proporsi debu dan liat terdispersi di dalam air sebagai akibat dari
“proses dispersi lemah”. Pengujian dilakukan dengan jalan membasahkan tanah secara perlahan (pembahasan
secara kapiler), dengan proporsi debu dan liat yang diperoleh melalui proses dispersi sempurna pada analisa
ukuran partikel (Richardson, 1976). Hasilnya dapat dijadikan dasar dalam mengevaluasi kelas stabilitas agregat
pada kondisi lapang berbeda. Semakin tinggi nilai rasio dispersi (dispersion ratio), semakin tidak stabil agregat
tanah, dan semakin besar kemungkinan akan ditemukannya masalah struktur tanah di lapang. Rasio dispersi
dapat dijadikan indikasi kemudahan terjadinya dan besarnya perubahan srtuktur tanah karena pembahasan
(Gusli, 1989). Meskipun demikian, interpretasi dari setiap kelas dispersion ratio kadang-kadang harus disesuaikan
dengan pengalaman di setiap tempat yang berbeda.

Prosedur:

Masukkan 50 g tanah ke dalam silinder pengukur berukuran 1 L, lalu secara perlahan dan hati-hati, tambahkan
200 mL air demineralised yang dituangkan melalui dinding silinder.

Biarkan selama 1 jam, lalu cukupkan suspensi menjadi 1L dengan menambahkan air demineralised, juga secara
perlahan dan sangat hati-hati melalui dinding silinder.

Letakkan satu telapak tangan pada mulut silinder dan telapak lainnya pada dasar silinder, lalu dengan hati-hati
silinder dibalik-balikkan secara teratur dengan frekuensi sekitar sekali pembalikkan per detik selama persis satu
menit.

Letakkan silinder ke atas meja yang kokoh. Lalu sampellah suspensi debu + liat dengan pipet seperti pada analisa
ukuran partikel, tepat pada waktu yang sesuai untuk suatu kedalaman. (Lihat Tabel 1, waktu pemipetan
berdasarkan Hukum Stokes)

Dispersion ratio (DR) dihitung berdasarkan rumus:

DR = (Proporsi liat + debu dengan dispersi lemah)/ (Proporsi liat + debu dengan dispersi kuat) (2)

Kriteria umum untuk interpretasi nilai dispersion ratio adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Kriteria bagi interpretasi nilai rasio dispersi

Rasio dipersi Interpretasi


< 0.05 Sangat stabil
0.05 - 0.10 Stabil
0.11 - 0.16 Cukup stabil
0.17 – 0.25 Transisi antara cukup stabil dan suatu tingkat ketidakstabilan
0.26 – 0.30 Tidak stabil
> 0.30 Sangat tidak stabil

2.2.3 Pengayakan basah (wet sieving)

Untuk metode ini, praktikum hanya diberikan berupa demonstrasi karena tidak tersedianya alat untuk wet sieving
yang standar. Untuk demonstrasi, disediakan satu set ayakan bertingkat, serupa dengan seyogianya di gunakan
pada pengukuran yang sebenarnaya, tetapi disini pengayakan dilakukan hanya dengan tangan. Untuk itu, di
bawah bimbigan asisten, praktikan harus melatih diri untuk pengoperasiannya, terutama menyangkut kecepatan
pengayakan. Prosedur kerja yang disajikan di bawah disesuaikan untuk demonstrasi ini. Prosedur lengkap dapat
dibaca, misalnya pada Kemper and Rosenau (1986).

Prosedur:

1) Siapkan ayakan bersusun, cawan penampung agregat setelah pengayayakan untuk dikeringkan, dan
stopwatch seperti yang diperlihatkan oleh asisten.
2) (Bila diperlukan kadar air atau potensial matriks awal dari agregat dapat divariasikan untuk mendapatkan
gambaran lebih luas mengenai stabilitas agregat)
3) Masukkan 4 g tanah kering udara (atau tanah lembab dengan potensial matriks tertentu, bila diperlukan)
ke dalam ayakan no 1 (paling atas). Bila ayakan diturunkan ke posisi terendah, maka permukaan sir harus
sedemikian rupa, sehingga agregat berada sekitar 5 mm di bawah permukaan air.
4) Pengayakan dengan gerakan vertikal sekitar 13 mm, 35 kali per menit selama 3 menit dimulai. Stopwatch
dijalankan bersamaan dengan mulainya pengayakan.
5) Setelah pengayakan selesai, dengan hati-hati ayakan dipisahkan satu demi satu. Agregat yang tertahan
pada masing-masing ayakan dipindahkan ke dalam cawan-cawan yang telah diberi label dan diketahui
beratnya, lalu dikering-ovenkan pada suhu 105 ºC selama 24 jam.
6) Setelah kering, agregat dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin (suhu tanah sama dengan suhu
kamar), lalu ditimbang.
7) Hitung proporsi masing-masing ukuran agregat dengan menggunakan rumus MWD, seperti pada
pengayakan kering. Data juga disajikan dalam bentuk proporsi agregat >0,250 mm relative terhadap
berat total agregat.
Acuan:

Emerson, W.W. (1967) A classificationof soil aggregates based on their coherence in water. Australian journal of
Soil Research 5: 47-57.

Gusli, S. (1989). Structural collapse and strength of some Australian soils in relation to hardsetting behaviour. M. Rur.
Sc., Thesis. University of New England, Australia.

Gusli, S., A. Cass, D.A. Macleod, P.S. Blackwell (1994). Structural collapse and strength of some Australian soils in
relation to hardsetting: I. Srtuctural Collapse on wetting and draining. European Journal of soil Science 45: 15-
21.

Gusli, S., A. Cass, D.A. Macleod, and C.T Hignett (1994). Processes that distinguish hardsetting from rain-induced
crusting. Proceedings of the Intenational Symposium on “Sealing, crusting, hardsetting soils: Productivity and
conservation”. 7-11 Feb.1992, University of Queensland, Brisbane, Australia.

Kemper, W.D., R.C Rosenau (1986). Aggregate stability and size distribution. In: Klute, A..et al. (eds.). Methods of Soil
Analysis. Part I.2nd. Agron. No.9, Amer. Soc. Of Agron., Madison, WI, USA, p.: 425-442.

Kemper, W.D., R.C. Rosenau and S. Nelson (1985). Gas displacement and aggregate stability of soil. Soil Science
Society of Amerika journal 49: 25-28.

Panabokke, C.R. and J.P. Quirk (1957). Effect of initial water content on the stability of soil aggregates in water. Soil
Science 83: 185-189.

Richardson, S.J. (1976). Effect of artificial weathering cyles on the structural stability of a dispersed silt soil. Journal of
Soil Science 27: 287-294.

Van Bavel, C.H.M. (1994). Mean weight diameter of soil aggregates as a statistical index of aggregation. Soil
Science Society of America Proceedings 14: 20-23.
Lembaran Data Stbilitas Agregat

Nama : ……………………………..

Sampel : ……………………………..

Tanggal : ……………………………..

1. Emerson’s:
Vial 1 : …………………………………………………………

Vial 2 : …………………………………………………………

Vial 3 : …………………………………………………………

Vial 4 : …………………………………………………………

Emerson’s class : ………..........

2. Dispersion ratio:
DR = ………………….

3. Wet sieving:
MWD = ...........................

Proporsi agregat < 0.250 mm stabil =…………………

4. Buatlah komentar singkat untuk masing-masing metode dan perbandingan antara ketiganya. Bila
menggunakan tanah lebih dari satu, bandingkan juga hasilnya antara jenis tanah yang berbeda.
3. POTENSIAL MATRIKS

Untuk studi tertentu dalam bidang ilmu tanah, informasi mengenai kadar air bisa memenuhi kebutuhan yang
diperlukan. Tetapi, untuk studi yang berkaitan dengan transport dan penyimpanan air dan hubungan tanah-air-
tanaman, status energi air tanah (bahkan juga status energi dari kimia tetapi tidak akan dibahas dalam praktik ini)
diperlukan. Ini dapat dijelaskan melalui sifat air yang dipole yang membentuk hydrogen bonds dengan molekul
air lainnya (kohesi) atau dengan substans lainnya yang mengandung substans electropositive atau
electronegative (adhesi). Ini mengakibatkan air terikat kuat oleh banyak substans, termasuk tanah. Dan, karena
tanah mempunyai luas permukaan yang besar, adsorpsi air ke permukaan partikel tanah banyak memengaruhi
sifat tanah. Tanaman perlu mengeluarkan energi untuk dapat mengambil air dari dalam tanah, dan sifat tanah
yang bertalian dengan adsorpsi air sangat vital.

Retensi air oleh tanah dan hubungannya dengan level energi air tanah dikenal sebagai potensial air
tanah. Potensial matriks merupakan komponen terbesar dari total potensial air yang timbul karena adsorpsi air
pada matriks atau kapiler tanah. Potensial matriks (ψm) didefinisikan secara ringkas sebagai banyaknya kerja yang
dibutuhkan untuk memindahkan suatu jumlah air dari matriks tanah. Besarnya ψm pada suatu saat tergantung dari
jumlah air di dalam tanah, sehinnga hubungan antara ψm dan kadar air adalah sangat penting, dan disebut
sebagai “kurva retensi air” (water retention curve atau water characterisistic curve). Kurva retensi air akan dibahas
lebih luas dalam materi praktik berikutnya.

Pengukuran hubungan antara kadar air tanah dan status energi dari air tanah dapat dilakukan, misalnya,
dengan menggunakan bahan keramik berpori (porous ceramic cup, PCC). PCC dihubungkan dengan pengukur
vakum (vacuum gauges) atau manometer air atau air raksa untuk mengukur ψm dengan prinsip bahwa air di
dalam PCC akan menjadi seimbang (equilibrium) dengan film air di dalam tanah. Peralatan PCC dengan
manometernya atau pengukur vakumnya disebut sebagai tensiometer. Sifat-sifat penting dari tensiometer dapat
dibaca misalnya pada artikel Cassel and Klute (1986).

Selain tensiometer, potensial air atau potensial matriks juga bisa diukur dengan menggunakan pressure
chambers, thermocouple psychometry, electrical resistance sensors, heat dissipation sensors, dan filter paper
technique. Pemilihan metoda mana yang akan digunakan tergantung dari tingkat ketelitian yang diinginkan,
kisaran potensial yang ingin dibaca, tempat pengukuran (di lapang atau di laboratorium), dan tentunya
ketersediaan alat. Tensiometer dapat membaca potensial matriks dengan teliti, tetapi hanya dengan kisaran ψ m
= 0 sampai sekitar -80 kPa (di bawah -80 kPa, tensiometer gagal berfungsi). Kisaran ini dinilai telah memadai untuk
kepentingan manajemen air irigasi.

Dalam praktik ini, kita akan menggunakan tensiometer. Instalasi, penggunaan dan pembacaannya akan
didemonstrasikan asisten. Demonstrasi ini bertujuan memperkenalkan tensiometer dan mendemonstrasikan cara
menginstalasi dan pembacaannya agar kelak saudara dapat melakukannya sendiri. Karena itu, saudara diminta
untuk membuat laporan singkat mengenai demonstrasi penggunaan tensiometer ini.
Acuan dan bacaan yang dianjurkan:

Cassel, D.K. and A. Klute (1986). Water potential: Tensiometry. In Klute, A.. et al.(eds). Methods of Soil Analysis.
Part I. 2nd. Edition Agron. No.9, Amer. Soc. of Agron., Madison, WI, USA, p.: 563-596

Marshall, T.J and J.W. Holmes (1988). Soil Physics. 2nd ed. Cambrigde University Press: Cambrigde.

4. RETENSI AIR DAN DISRTIBUSI UKURAN PORI

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, retensi air didefinisikan sebagai hubungan antara kadar air dan potensial
matriks. Hubungannya digambarkan sebagai kurva retensi air atau kurva karateristik air. Retensi air dipengaruhi
oleh kapilaritas, dan dengan demikian oleh distribusi ukuran pori tanah. Distribusi ukuran pori merupakan ekspresi
kondisi dan kualitas struktur tanah. Karena itu, retensi air merupakan data penting dalam evaluasi struktur tanah,
sifat hidraulik tanah, bahkan kekuatan tanah.

Suatu model kapilaritas digunakan untuk menjelaskan sifat fisik air di dalam (matriks) tanah. Untuk air yang
murni dan gelas kapiler yang bersih, secara spontan muka air akan naik ke dalam pipa kapiler pada ketinggian
(h) seperti pada persamaan:

h = 2 σ cos α / (g ρw r) (3)

dimana, σ adalah tegangan permukaan air (0.07275 N m-4), g adalah percepatan karena gravitasi (9,81 m s-2), ρw
adalah berat jenis air (998 kg m-3 pada suhu 20 ºC), dan r adalah radius dari kapiler. Persamaan (3) selanjutnya
dapat diubah untuk menghitung tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan air dari kapiler (p = h g ρ w dengan
satuan N m-2 atau Pa), dan bila diekspresikan sebagai kuantitatif negatif, diperoleh kerja per unit volume air yang
dibutuhkan akar tanaman untuk menarik air dari kapiler (ψc = -P). ψc disebut sebagai potensial kapiler, yakni
banyaknya kerja yang dibutuhkan untuk memindahkan suatu jumlah air dari kapiler, diukur dalam satuan J/unit
kuantitas air. Pada tanah, ψc tidak lain sama dengan potensial matriks, ψm. Biasanya kita mengekspresikan kuantitas
air dalam bentuk volume, yakni J m-3 = N m-2 = Pa. Semakin kecil ukuran kapiler, semakin besar tekanan yang
diperlukan untuk memindahkan air, yang berarti bahwa tanaman memerlukan lebih banyak kerja untuk
mengekstrak jumlah air dari tanah dengan ukuran pori lebih kecil dibandingkan dari tanah dengan ukuran pori
lebih besar.

Karena h pada persamaan (3) identik dengan ψm dan cos  = 0 (untuk permukaan yang bersih yang
dapat basah) dan ρw ~ 1, persamaan (3) dapat disederhanakan menjadi:

ψm = -2 σ / r (4)

Pada persamaan (4) ini, satuan ψm adalah Pa. Dengan persamaan (4), kita dapat menghitung hubungan
potensial kapiler atau potensial matriks dengan diameter pori. Misalnya, untuk ψm = -10 kPa atau 1 m air, ekivalen
diameter (2 r) pori terisi air adalah 29,1 m. Untuk nilai potensial matriks lainnya, saudara diminta menghitungnya
sendiri.
Khusus untuk kebutuhan dan penggunaan dalam praktik ini, persamaan (4) lebih lanjut dapat disederhanakan
(melalui pembulatan angka) menjadi:

r = 15/ |ψm| (5)

dimana, r adalah diameter pori (dengan unit m) dan ψm adalah potensial matriks dalam nilai mutlak (positif,
bukan negatif) (dengan unit m air).

Prosedur:

Karena keterbatasan waktu, dalam praktik ini kita hanya menggunakan pasir, bukan tanah dengan kandungan
liat yang tinggi. Karena menggunakan pasir (proporsi pori makro yang besar), kita dapat menyelesaikan praktik
lebih cepat, namun tetap dapat menyajikan data yang berguna bagi praktikum retensi air ini. Sediakan pasir halus
dan pasir kasar untuk praktik ini.

1) Siapkan sinter funnel yang mempunyai lapisan keramik berpori, yang disambungkan dengan kolum air di
dalam selang plastik yang ujungnya dipasangi keran yang dapat dibuka atau ditutup. Funnel dan selang
harus terisi air penuh tanpa gelembung udara. Funnel dijepit (clamped) pada stand. Funnel ataupun
keran dapat dinaik turunkan dengan mengubah posisinya pada stand.
2) Posisi keran selevel dengan dasar funnel. Buka keran sampai air berlebih di dalam funnel habis terdrainase.
Pada saat drainase habis, keran segera ditutup.
3) Ke dalam funnel tambahkan 150 mL air, lalu masukkan sekitar 600 g pasir kering secara perlahan. Ratakan
permukaan pasir dengan sangat berhati-hati, dengan cara memukul-mukul dinding funnel dengan jari
secara perlahan. Hati-hati agar funnel tidak sampai pecah atau patah. (Funnel ini gampang patah atau
pecah). Mintalah bantuan asisten atau dosen pembimbing bila ragu-ragu. Permukaan pasir akan berada
sedikit di bawah permukaan air.
4) Naikkan posisi keran sekitar 1 cm di bawah permukaan pasir. Tempatkan silinder pengukur (100 mL) di
bawah keran. Buka keran secara perlahan untuk membuang kelebihan air ke dalam silinder pengukur.
Segera sesudah permukaan air rata dengan permukaan pasir, tutup keran. Amati dan catat volume air
tertampung di dalam silinder. Jumlah air ini merupakan volume air yang tidak dapat ditampung oleh pasir.
Hitung kadar air pasir dalam keadaan jenuh. Catatkan hasilnya kedalam lembar data.
5) Turunkan posisi keran 5 cm di bawah permukaan pasir (ψm = 50 mm, permukaan pasir “dianggap”
reference, bukan di pertengahan). Buka keran dan tampung air terdrainase ke dalam silinder. Setelah 2
sampai 4 menit (atau setelah tercapai “kesetimbangan”, ditandai dengan terhentinya penetesan air),
tutup keran catat jumlah air yang tertampung.
6) Turunkan posisi keran menjadi 10 cm untuk pasir halus, atau menjadi 7 cm untuk pasir kasar, di bawah
permukaan pasir. Sekali lagi buka keran dan tampung air terdrainase. Tutup keran setelah tercapai
keadaan setimbang. Catat jumlah air yang tertampung.
7) Ulangi tahap 6) dengan terus menambahkan h (menurunkan ψm) setiap 2 cm inkrimen untuk pasir kasar
dan setiap 5 cm inkrimen untuk pasir halus. Setiap kali tercapai kesetimbangan, catat volume air yang
terdarainase. Pada ψm yang lebih rendah kesetimbangan tercapai lebih lama. Namun untuk kepentingan
praktik ini, pengamatan untuk setiap tahapan (step) dilakukan tidak melebihi 10 menit, sekalipun belum
terjadi kesetimbangan, agar waktu praktikum dapat dipersingkat. Tetapi, saudara harus ingat bahwa,
pada pengukuran retensi air yang sebenarnya setiap ψm harus mencapai kesetimbangan sebelum beralih
ke ψm yang baru. Untuk tanah dengan kandungan liat tinggi, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
kesetimbangan pada ψm >-10 kPa sekitar satu hari. Untuk ψm = -1500 kPa, diperlukan waktu sampai dua
minggu.
8) Teruskan penurunan ψm dan pembacaan volume air sampai tercapai nilai ψm = -400 mm (h=400mm) untuk
pasir kasar, dan ψm = -800 mm untuk pasir halus.
9) Berdasarkan data yang diperoleh:
a) Gambarkan kurva retensi air;
b) Plotkan hubungan antara potensial matriks yang diterapkan dengan rasio antara ∆V terhadap ∆
ψm dari setiap setiap step inkrimen (ψm versus ∆ volume/∆ ψm );
c) Tabulasikan distribusi ukuran pori dari sampel (ukuran pori pada kolom pertama, proporsi dari pori
yang bersangkutan pada kolom kedua). Data ini juga dapat disajikan dalam bentuk grafik, jika
lebih dikehendaki.

Bahan bacaan yang dianjurkan:

Bruce, R.R. and R.J. Luxmoore (1986). Water retention: Field methods. Kule, A.. et al. (eds.). Methods of Soil Analysis.
Part I. 2nd. Agron. No.9, Amer. Soc. Of Agron., Madison, WI, USA, p.: 663-686.

Hillel, D. (1982). Intoduction to Soil Physics. Academic Press: Orlando

Klute, A. (1986). Water retention: Laboratory methods. In: Klute, A.. et al. (eds.). Methods of Soil Analysis. Part I. 2nd.
Agron. No.9, Amer. Soc. Of Agron., Madison, WI, USA, p.: 635-662.

Marshall, T.J. and J.W. Holmes (1988). Soil Physics. 2nd ed. Cambrigde University Press Cambrigde.
Lembaran Data Retensi Air dan Distribusi Ukuran Pori

Nama :………………………..

Sampel :………………………..

Tanggal :………………………..

Total volume Volume per step Kadar air ∆ vol./∆ ψm


ψm atau h (mm)
terdrainase (mL) (mL) (kg air/kg tanah)

Berapa total volume pori dari sampel?

Berapa kadar air jenuh dari sampel?

Identifikasi pada nilai ψm berapa, volume air terdrainase terbesar? Apa artinya?

Hitung radius pori yang dominant (gunakan satuan yang benar)

Jelaskan mengapa terjadi tingkat drainase yang berbeda pada setiap step?
5. INFILTRASI

Infiltrasi penting bagi suplai air tanah, pengelolaan air irigasi, drainase, hidrologi, atau proses-proses erosi. Karena
itu, studi dan pengukuran infiltrasi merupakan bagian tak terpisahkan dalam pengelolaan air tanah.

Bila air menggenang di permukaan tanah yang semula kering, tingkat infiltrasi biasanya tinggi, karena air
masuk oleh pengaruh gaya kapiler dari pori tanah. Setelah muka pembasahan (wetting front) mulai merambat,
suatu lapisan tipis yang jenuh air (saturated zone) di permukaan tanah berkembang secara perlahan. Di bagian
bawahnya terdapat zona transmisi (transmission zone) yang merambat lebih cepat (Gambar 2). Dengan terus
berkembangnya transmission zone, gaya kapiler yang menarik air ke dalam tanah menjadi relative konstan,
sementara pengaruh gravitasi dari kolom air yang berkembang meningkat. Kadar air dari transmission zone relative
seragam.

Genangan air

Permukaan Zona jenuh air


tanah

Zona transmisi

Wetting front
Tanah kering

Gambar 2. Representasi skematik infiltrasi air pada tanah dengan profil tanah homogen.

Berdasarkan model matematik-fisik, Philip (1957) merumuskan persamaan infiltrasi (I, dengan unit mm) sebagai fungsi
dari waktu (t, dengan unit jam [h] atau detik [s]):

I = S t½ + A t (6)

dimana, S (mm h½) adalah sorptivity (nilai S terbesar pada tanah kering dengan tekstur halus, tetapi lebih kecil pada tanah
dengan tekstur kasar atau basah), kapilaritas dan gradient potensial memengaruhi S; A (mm h½ atau mm s-1) adalah konstanta
yang menggambarkan hydraulic conductivity dan transmission zone. Untuk tanah bertekstur halus yang kering, St½ jauh lebih
besar dari pada At. Jika t tidak terlalu besar, maka persamaan (6) dapat disederhanakan menjadi:
I = St½ (7)

Pada praktikum ini, saudara akan menguji aplikasi dari persamaan (7) dengan menggunakan sampel tanah Alfisol Tamalanrea.

Dari persamaan (6) dapat diperoleh tingkat infiltrasi (i, mm h-1):

i = dI/dt = ½ St-½ + A (8)

Prosedur:

Untuk praktikum ini, kita menggunakan tanah tidak utuh (disturbed sample) untuk menyimulasi infiltrasi pada tanah kering yang
telah diolah. (Tentu, kita bisa juga menggunakan sampel tanah utuh bila diperlukan). Untuk memudahkan visualisasi proses
infiltrasi kita menggunakan pipa acrylic sepanjang 120 mm, yang pada satu sisinya berskala untuk memudahkan pembacaan.
Janganlah mencoret atau menulis pada skala ini.

1) Timbang X gram tanah yang disediakan.


2) Ikatkan kain “muslin” yang tersedia pada salah satu ujungnya dengan karet gelang. Ikatan harus cukup kuat dan kain
harus tegang. Ukur diameter pipa.
3) Letakkan pipa pada kertas yang bersih, lalu tambahkan tanah ke dalam pipa secara bertahap, sambil sesekali
mengetukan pipa ke meja untuk menyeragamkan packing dari tanah
4) Letakkan guntingan kertas filter di atas permukaan tanah. Lingkaran kertas filter sama dengan lingkaran dalam pipa.
5) Clamp pipa secara vertikal pada stand. Dasar dari pipa terletak beberapa mm di atas dasar stand.
6) Isi buret berkapasitas 50 mL dengan air demineralised sampai batas skala 50 mL, dengan menggunakan botol semprot.
Perhatikan agar tidak ada gelembung udara di dalam buret, terutama pada bagian bawah buret sekitar 10 mm di atas
kertas filter.
7) Siapkan kertas catatan, bolpoin dan stopwatch. Mulai percobaan infiltrasi dengan serentak dan secara bersamaan
membuka keran buret (dengan hati-hati) dan tekan tombol ”mulai” dari stopwatch. Setiap kali wetting front melewati
garis 10 mm interval, catat waktu dan volume air yang telah dikeluarkan. Sebaiknya gunakan fungsi “split time” pada
stopwatch. Eksperimen ini sebaiknya dilakukan oleh dua orang; satu orang menjalankan stopwatch dan memerhatikan
perambatan wetting front, sedangkan yang lainnya membuka dan menutup keran buret untuk mempertahankan tinggi
muka air sekitar 1 mm di atas permukaan tanah dan mencatat volume air yang telah dikeluarkan pada setiap interval
10 mm rambatan wetting front.
8) Terusakan percobaan dan pengamatan sampai wetting front mencapai 100 mm. Hitung dan catat posisi permukaan
tanah yang sebenarnya, untuk menghitung kedalaman wetting front yang aktual.
9) a) Plotkan volume air yang dikeluarkan dari buret dengan kedalaman wetting front yang sebenarnya. Intercept dari
garis ini (yakni volume air yang dikeluarkan dari buret ketika kedalaman wetting front sama dengan nol) merupakan
volume air yang menggenang di atas permukaan tanah, yang harus dipakai untuk mengoreksi perhitungan infiltrasi (I)
dari volume air yang dikeluarkan pada bagian b) berikut.
b) Berdasarkan luas pipa dan volume air dikeluarkan dari buret setelah dikoreksi, hitung I (mm), lalu plot I dengan t1/2.
Hitung S dengan satuan mm s-1/2.

Kecepatan penetesan air dari


Clamp
buret disesuaikan dengan
tingkat infiltrasi tanah
Buret
berskala

Kertas
filter Stop watch (untuk
mengukur laju rambatan
muka pembasahan)
Muka
pembasahan Kaki
Tanah pemegang
buret
Gelas
silinder

Kain kasa

Gambar 3. Ilustrasi skematik pengukuran iniltrasi di laboratorium.

Acuan dan bahan yang dianjurkan:

Marshall. T.J. and J.W. Holmes (1988). Soil Physics. 2nd ed. Cambrigde University Press: Cambrigde.

Philip, J.R. (1957). The theory of infiltration: 4. Sorptivity and algebraic infiltration equations. Soil Scince 84: 257-264.
LEMBARAN DATA INFILTRASI

Nama : ……………………….

Sampel : ……………………….

Tanggal : ……………………….

Infiltrasi (mm) √t (sec) Infiltrasi (mm) √t (sec)

6. HYDRAULIC CONDUCTIVITY

Laju pergerakan air melalui tanah sangat penting dilihat dari berbagai aspek kegiatan pertanian dan kehidupan di perdesaan
atau di perkotaan. Masuknya air ke dalam tanah, pergerakan air ke akar tanaman, aliran air ke saluran drainase atau sumur,
dan evaporasi air dari permukaan tanah adalah beberapa contoh yang jelas dimana laju pergerakan air memegang peranan
penting. Sifat tanah yang menentukan karateristik aliran air adalah hydraulic conductivity dan retensi air. Hydraulic conductivity
(konduktivitas hidraulik) tanah merupakan ukuran dari kemampuan tanah melalukan air; sedangkan karateristik retensi air
merupakan gambaran kemampuan tanah menyimpan air dan kemudahan melepaskannya.

Hidraulic conductivity, K, didefinisikan oleh hukum Darcy, untuk aliran vertical, satu dimensi, sebagai

q = - K (θ) ∂H⁄∂z (9)

dimana, q (m³ m-2 h-1) adalah volume flux density (volume air atau liquid yang mengalir melewati suatu unit luas tanah dalam
suatu unit waktu); ∂H⁄∂z adalah gradient dari hydaraulic head, H; dan K(θ) adalah hydraulic conductivity pada suatu kadar air,
θ, tertentu. Jadi, kemampuan tanah melakukan air dipengaruhi langsung oleh hydraulic conductivity tanah yang bersangkutan.

Selain dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah (distribusi ukuran dan kontinuitas pori), K juga dipengaruhi oleh kadar
air tanah, seperti ditekankan pada persamaan (9), K ditulis sebagai K (θ). Pada praktikum ini akan diberikan teknik pengukuran
hydraulic conductivity pada keadaan jenuh air. Ks, dengan menggunakan kolom tanah dengan panjang L mm dan luas A
mm2. Perbedaan hydraulic head dipertahankan, H2 – H1. Karena itu, metoda ini disebut sebagai “constant head method”
(Gambar 4).

H2
Air
Permukaan tanah

L Tanah

H1
A

Gambar 4. Pengukuran hydraulic conductivity jenuh dengan head yang konstan sebesar selisih H2-H1, tinggi
kolom tanah, L, dan luas tanah A

Untuk pengukuran dimaksud seperti pada Gambar 3, persamaan (9) dapat disesuaikan menjadi:

Ks = VL/ [At (H2 – H1 )] (10)

Dimana, V adalah volume air yang mengalir melalui sampel dengan luas A selama waktu t.

Untuk pelaksanaanya, digunakan aparatus sederhana yang terdiri dari ring sampler (yang digunakan
untuk pengukuran bulk density) yang berisi tanah dari lapang. Pada bagian atasnya disambungkan dengan
sebuah ring sampler lain dengan menggunakan (misalnya) guntingan karet ban dalam sepeda. Ring kedua ini
diisi air demineralised yang dipertahankan headnya melalui suatu sistem siphon (Gambar 4).
Gambar 5. Pengukuran hydraulic conductivity jenuh constant head dengan sistem siphon.

Prosedur:

1) Tutup salah satu ujung dari ring sampler dengan barrier untuk menahan tanah di dalam ring. Untuk itu
dapat digunakan dua helai kain yang cukup porous tetapi efektif menahan partikel, diikat dengan karet
gelang. (Konduktivitas material yang digunakan harus sebesar mungkin, tetapi cukup efektif menahan
tanah).
2) Letakkan sampel, dengan bagian yang tertutup barrier di bagian bawah, ke dalam sebuah tray yang
berisi air. Kedalaman air kira-kira setengah dari tinggi sampel. Setelah seluruh permukaan tanah sampel
basah, naikkan permukaan air di dalam tray sehingga rata dengan permukaan tanah. Biarkan terendam
selama sedikitnya 12 jam.
3) Sambungkan ring sampler lain di atas ring yang terendam tadi dengan menggunakan guntingan karet
ban dalam sepeda. (Sambungan harus 100 % kedap air). Ring sampler ini digunakan untuk
mengakomodasi genangan air (positive head) yang disuplai dari reservoir melalui sistem siphon (Gambar
4).
4) Letakkan ring diatas funnel, lalu siphon air dari reservoir. Setelah permukaan air di atas sampel tanah
menjadi konstan, tampung perkolat ke dalam beaker atau flask. Ukur volume air, V, yang lewat melalui
sampel selama waktu, 1, dan perbedaan hydraulic head, (H2 - H1), yaitu jarak vertikal antara permukaan
air dan dasar dari sampel. Volume air sebaiknya diukur dengan jalan menimbang air yang tertampung.
Untuk ketelitian, jumlah air yang tertampung harus melebihi 100 mL.
5) Hitung hydraulic conductivity dengan menggunakan perasamaan (10)
Bahan bacaan yang dianjurkan:

Amoozegar, A. and A.W. Warrick (1986). Hydraulic conductivity of saturated soils: Field Methods. 735-770

Klute, A. and C. Dirksen (1986). Hydraulic conductivity and diffusivity. Laboratory methods. In: Klute, A. et al.
(eds.). Methods of Soil Analysis. Part I. 2nd. Agron. No. 9, Amer. Soc. Of Agron., Madison, WI, USA, p.:
687-734.

Marshall. T.J. and J.W. Holmes (1988). Soil Physics. 2nd ed. Cambrigde University Press: Cambrigde.

7. KEKUATAN TANAH (SOIL STRENGTH)

Kekuatan tanah dapat didefinisikan sebagai ketahanan tanah terhadap keretakan (factur) oleh tegangan geser
(shear stress), atau terhadap deformasi oleh tegangan kompresi (compression). Kekuatan tanah menentukan
daya dukung (bearing capacity) tanah terhadap kendaraan (mesin-mesin pertanian) dan ternak, ketahanan
terhadap akar yang bertumbuh dan kemudahan untuk pengolahan tanah. Kekuatan tanah dipengaruhi oleh
kadar air (semakin tinggi kadar air semakin rendah kekuatatan tanah), bulk density atau distribusi ukuran pori, dan
distribusi ukuran partikel.

Walaupun kekuatan tanah dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi dan kompleks,
pengukuran kekuatan tanah pada kadar air atau potensial matriks yang konstan dapat merupakan petunjuk
kuantatif tingkat pengompakan tanah. Di lapangan, tentu sekali kadar air atau potensial matriks tidak dapat
dipertahankan konstan. Membandingkan data kekuatan tanah dari hasil pengukuran di lapangan dapat
dilakukan dengan memplot hubungan antara kadar air atau potensial matriks dengan kekuatan tanah, lalu
membuat analisa regresi dari hubungan antara keduanya. Dari data ini kita dapat membandingkan nilai-nilai
kekuatan tanah pada kadar yang sama, atau membandingkan indeks regresi.

Test kekuatan tanah dapat dilakukan melalui pengukuran ketahanan penetrasi (penetration resistance),
ketahanan geser (shear strength), ketahanan terhadap kompresi (compressive strength), ketahanan tarik (tensile
strength), dan ketahan “retak” (repture strength). Pemilihan jenis ukuran mana yang akan dilakukan tergantung
pada tuuan pengukuran ketersediaan alat. Walaupun semua pengukuran berguna, penetration resistance dan
tensile strength adalah yang paling banyak digunakan untuk kepentingan kegiatan pertanian. Kedua parameter
kekuatan tanah ini misalnya , dapat dikaitkan dengan pertumbuhan akar atau pengompakan tanah (Gambar 6
dan 7).

Karena ketidak-tersediaan alat, untuk sementara, hanya ketahanan penetrasi saja yang akan
didemonstrasikan dalam praktikum ini. Ketahanan penetrasi merupakan ukuran ketahanan tanah terhadap
penetrasi oleh “probe” yang ujungnya rata (flat) atau berbentuk kerucut (conical). Penetrometer atau probe yang
masuk kedalam tanah mengalami tahana (resistance) berupa kompresi, friksi antara tanah dan probe, dan
tahanan geser (Gambar 8)

GRAFIK
Gambar 7. Pengaruh ketahanan penetrasi terhadap pertumbuhan akar tanaman kapas pada empat tanah yang
berbeda (Taylor et.al., 1966). Perhatikan nilai ketahanan penetrasi kritikal yang konsisten, sekitar 2 MPa, untuk
keempat jenis tanah.

GRAFIK

Gambar 8. Pengaruh konsolidasi tanah (diukur sebagai volume strain, yakni besarnya perubahan volume tanah
relative terhadap volume semula) terhadap tensile strength. Variasi konsolidasi atau pengompakan diperoleh dari
perbedaan potensial matriks, ψm selama pembasahan (ψm = 0 simbol tertutup; ψm = -2 kPa symbol terbuka) dan
perbedaan komposisi larutan (air demineralised, lingkaran: 10 mM CaCl2, segitiga) (Gusli et al., 1994)

Bu Ris, ada juga alat sederhana untuk mengukur kekuatan tarik yang saya pernah buat, tetapi saya perlu cek dulu
apakah masih bisa dipakai atau tidak.

Bahan bacaan yang dianjurkan:

Marshall, T.J. and J.W. Holmes (1988). Soil Physics. 2nd ed. Cambrigde University Press: Cambrigde.

Taylor, H.M., J. J. Parker, Jr. and G.M. Roberson (1966). Soil Sterngth and seedling relations. II. A generalized relation
for Gramineae. Agronomy Journal 58: 393-395.

8. Coefficient of Linear Extensibility (COLE)


(Bu Ris, materi ini ada juga di DDIT. Salah satunya perlu kita tiadakan.)

Pada tanah yang mengandung liat cukup tinggi, perubahan kadar air mengakibatkan perubahan volume tanah,
mengembang (swell) pada saat basah, dan mengerut (shrink) pada saat kering. Tanah dengan kandungan
mineral liat, smectites, seperti montmorillonite, yang tinggi (misalnya pada tanah Vertisol) akan mengalami
pengembangan dan penyusutan yang besar.

Pengembangan tanah terjadi karena beberapa sebab. Sebagian pengembangan terjadi karena
penetrasi air kedalam lapisan kristal liat, yang menyebabkan pengembangan di dalam kristal. Akan tetapi,
sebagian besar terjadi karena tertariknya air ke koloid-koloid dan ion-ion yang teradsorpsi pada liat dan karena
udara terperangkap di dalam pori mikro ketika air memasuki pori tanah (Parker et al., 1982).

Pengembangan dan pengerutan memengaruhi sifat fisik dan mekanik tanah, dan berperan penting
dalam proses fisik di dalam tanah proses. Sifat penting yang dipengaruhinya misalnya kestabilan struktur tanah,
konduktivitas hidraulik, konsistensi dan kekuatan tanah. Indeks pengembangan dan pengerutan juga merupakan
petunjuk kemampuan regenerasi struktur tanah secara alamiah melalui proses basah-kering. Untuk sawah, tanah
dengan koefisien pengembangan yang tinggi sangat efektif untuk mengurangi laju kehilangan air melalui
perkolasi, bila mengembang; tetapi bila tidak dasawahkan lagi dan dibiarkan mengalami proses basah-kering,
srtuktur tanah yang telah dirusak oleh pelumpuran akan mengalami regenerasi secara alami.
Prosedur:

1) Ayak tanah kering udara dengan beukuran 2 mm


2) Tambahkan air secukupnya sehingga pasta tanah berada pada kadar air sekitar batas cair (liquid limit).
Disarankan agar analisa penentuan batas cair terlebih dahulu dilakukan.
3) Tuangkan pasta tanah kedalam cawan yang sebelumnya telah diolesi gemuk atau jeli. Cawan
berbentuk setengah silindris (Gambar 9). Padatkan pasta tanah dengan jalan menghentak-hentakkan
cawan ke meja dan menekan pasta dengan spatula, agar sesedikit mungkin udara terperangkap di
dalam pasta tanah pada cawan. Ratakan permukaan tanah dengan permukaan cawan.
4) Biarkan tanah mengering udara. Bila cukup kering, masukkan ke dalam oven untuk dikeringkan lebih
lanjut pada suhu 105ºC selama 24 jam. Pengeringan bertahap dimaksudkan untuk mengurangi retakan
tanah pada saat pengeringan.
5) Hitung COLE dengan rumus
COLE = (LC - LK)/LC (11)

Dimana LC adalah panjang bagian dalam cawan, dan LC adalah panjang kolom tanah kering.

LC
LK
Tanah

Cawan pengukur COLE


(stainless steel)

Kaki penopang cawan

Gambar 9. Cawan pengukur COLE. LC dan LK masing-masing adalah panjang bagian dalam cawan dan panjang
kolom tanah kering.

Acuan dan bahan bacaan yang dianjurkan:

Australian Standar (1977). Methods of Testing Soil for Engineering Purposes. AS 1289. C4.1. Determination of the
linear shrinkage of a soil. Standard Association of Australia, Standard House, 80 Arthur Street. North Sydney,
NSW

Parker, J.C., D.F. Amos, and L.W. Zelanzny (1982). Water adorption and swelling of clay minerals in soil system. Soil
Sceince society of America Journal 46: 450-456.
9. Percobaan mini: Pengaruh Pengompakan Tanah terhadap
Pertumbuhan Akar

Untuk pertumbuhan yang normal, akar memerlukan suplai air, oksigen dan nutrient yang cukup, resistensi mekanik
(dalam hal ini kekuatan tanah) yang rendah, dan temperature yang optimal. Semua ini dapat dipenuhi secara
optimal jika struktur tanah dalam keadaan “ideal” atau baik. (Tentu, untuk pertumbuhan tanaman yang baik,
struktur tanah yang baik perlu diimbangi dengan suplai air, melaui hujan atau irigasi, dan hara yang cukup, melalui
pemupukan). Struktur tanah memengaruhi sifat tanah yang disebutkan di atas karena struktur tanah merupakan
perwujudan distribusi ukuran pori.

Pengompakan memengaruhi distribusi ukuran pori, pori “makro” berkurang sementara pori “mikro”
meningkat. Akibatnya, difusi dan kapasitas oksigen berkurang (data Simojoki et al., 1991 menunjukkan bahwa, bila
pori terisi udara kurang dari 0,1 m3 m-3, difusi oksigen praktis nol), kapasitas tanah menyimpan air berkurang,
kekuatan tanah meningkat. Penetration resistance melebihi 2 MPa menekan pertumbuhan akar sampai ketingkat
mendekati nol (Taylor et al., 1966, lihat Gambar 5; Taylor and Ratliff, 1969; Ball and O’Sullivan, 1982; Gerard et
al.,1982). Secara keseluruhan, kapasitas air yang tersedia secara riil (non-limiting water range) berkurang, tanaman
lebih peka terhadap perubahan kadar air, tanaman hanya tumbuh dengan baik pada kisaran kadar air yang
lebih sempit (Cass et al., 1994; da Silva et al., 1994). Ini lebih jauh tentunya, akan memengaruhi kesuburan biologis
dan kimia tanah.

Salah satu cara sederhana untuk mengidentifikasi terjadinya pengompakan adalah dengan melihat
perubahan nilai bulk density. Peningkatan bulk density menunjukkan adanya pengompakan, walaupun tidak
selalu berarti bahwa tanah dengan nilai bulk density yang lebih tinggi lebih kompak dari pada tanah dengan bulk
density rendah. Tekstur, misalnya, memengaruhi nilai bulk density secara langsung. Dalam keadaan normal, bulk
density tanah berpasir umumnya lebih tinggi dari pada bulk density tanah bertekstur liat. Artinya, bila
membandingkan nilai bulk density dari tanah yang berbeda faktor-faktor lain juga harus di pertimbangkan. Data
retensi air dan kekuatan tanah, misalnya merupakan indikator penting untuk menilai pengompakan tanah.

Dalam percobaan mini dan sederhana ini, dengan sengaja kita mengompakkan tanah di dalam pot,
sehingga kita peroleh tanah yang kompak (bulk density tinggi) dan tanah yang “gembur” (bulk density rendah).
Karena magnitude pengaruh pengompakan tergantung pada kadar air, kita juga akan memvariasi regim air.
Sebagian tanah dipertahankan pada potensial martiks sekitar kapasitas lapang, sisanya pada potensial yang
lebih rendah (akan ditentukan kemudian). Perlakuan-perlakuan ini akan diulang tiga kali, sehinnga total pot
tanaman yang akan digunakan adalah 12 buah. Tanaman yang digunakan adalah jagung, varietas
…………………. (akan ditentukan kemudian).

Untuk pelaksanaan percobaan ini, dosen dan asisten akan membantui saudara. Bahkan, beberapa
bagian dari persiapannya telah dilakukan oleh para asistenya sebelum praktikum dimulai. Saudara diminta
meneruskannya sesuai instruksi, dan melakukan pengamatan untuk pengumpilan data. Data yang diamati
adalah tinggi tanaman, sekali seminggu. Percobaan akan diteruskan selama tanaman berumur 6 minggu. Pada
saat panen, akan diamati distribusi akar (kualitatif), berat kering akar dan bagian atas tanaman. Lalu, buat
laporan singkat (tetapi jelas)mengenai hasil percobaan tersebut. Laporan harus diketik dan dibuat perkelompok.
Isi laporan terdiri dari: Pendahuluan, Metoda, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, dan Kepustakaan.

Acuan:

Ball, B.C. and M.F. O’Sullivan (1982). Soil Strength and crop emergencein direct drilled and ploughed cereal
seedbeds in seven field experiments. Journal of Soil Science 33: 609-622.

Cass, A., S. Gusli, D.A. MacLeod (1994). Sustainability of soil structure Quality in rice paddy – soya-bean cropping
systems in South Sulawesi, Indonesia. Soil and TillageResearch 31: 339-352

da Silva , A.P., B.D. Kay, and E.Perfect (1994). Characterization of the least limiting water range of soil. Soil Science
Society of America Journal 58: 1775-1781

Gerard. C.J., P. Sexton, and G. Shaw (1982). Physical factors influencing soil strength and root growth. Agronomy
Journal 74: 875-879

Simojaki, A., A. Jaakkola, and L. Alakku (1991). Effect of compaction on soil air in a pot experiement and in the field.
Soil and Tillage Research 19: 175-186.

Taylor, H.M., J. J. Parker, Jr. and G.M. Roberson (1966). Soil Sterngth and seedling relations. II. A generalized relation
for Gramineae. Agronomy journal 58: 393-395.

Taylor, H.M. and L.F. Ratliff (1969). Root elongation rates of cotton and peanuts as a function of soil strength and
soil water content. Soil Science 108: 113-119.
Lampiran 1.

Analisis Ukuran Patrikel (prosedur lengkap)

Sikstus Gusli*

Distribusi ukuran partikel tanah merupakan salah satu parameter sifat fisik tanah yang sangat penting.
Banyak sifat-sifat sekunder dan proses yang berlangsung di dalam tanah ditentukan oleh distribusi ukuran partikel
tanah.

Analisis ukuran partikel (AUP) dari suatu contoh tanah adalah suatu ukuran penyebaran dari partikel
dalam berat, berdasarkan batasan ukuran tertentu. AUP dilakukan melalui proses penghancuran dan dispersi
agregat tanah menjadi partikel tunggal (descrete unit). Penghancuran dan dispersi agregat ini dapat dilakukan
dengan cara kimia, mekanik, ultrasonic, pengayakan dan sedimentasi. Pengayakan biasanya dilakukan untuk
partikel pasir (diameter > 0.05 mm), sedangkan pengendapan atau sedimentasi dilakukan bagi partikel liat (<
0.002 – 0.05 mm)

Partikel tanah meliputi ukuran yang bervariasi dari pasir kasar (diameter > 0.25 mm) ke partikel liat
(diameter < 0.002 mm). Beberapa sistem klasifikasi telah digunakan untuk menentukan batas kisaran ukuran
partikel. Partikel tanah dengan ukuran diameter efektif lebih kecil dari 2 mm di bagi kedalam 3 kelompok utama,
yaitu pasir, debu dan liat. Beberapa sistem klasifikasi ukuran partikel disajikan pada tahap ini. Sistem klasifikasi
Perhimpunan Ilmu Tanah Intenasional (International Society of Soil Scince) atau sering disebut sebagai sistem
internasinal, dan system klasifikasi Departemen Pertanian Amerika serikat (United States Department of Agriculture)
adalah yang banyak digunakan untuk keperluan klasifikasi tekstur tanah pertanian.

Sebelum AUP dilakukan, partikel tanah berukuran lebih besar dari 2 mm dikeluarkan melalui pengayakan
kering. Setelah proses pendispersian (akan dibicarakan kemudian secara detail), pasir halus dan kasar dipisahkan
melaui pengayakan, sedangkan liat dan debu melalui sedimentasi.

Proporsi partikel liat dan debu diperhitungkan berdasarkan laju sedimentasi per satuan waktu dengan
menggunakan hukum Stoke sebagai berikut:

v = g (s – l) X2/(18 ) (12)

dimana:
v = kecepatan sedimentasi dari partikel (m/s);

s = partikel density tanah (kg/m³);

l =density dari liquid, dalam hal ini air (998 kg/m³ pada 20º C, 996 kg/m³ pada 30º C);

g = akselerasi gravitasi (9.81 m/s²)

r = radius partikel (m);


 = viskositas air (0.001 kg/m/s pada 20º C, 0.0008 kg/m/s pada 30ºC).

Catatan:

Menurut hokum stoke diatas, v berbanding lurus dengan r. Akan tetapi, telah dibuktikan oleh Gibbs et al. (1971)
yang dikutip oleh Marshall and Holmes (1988) bahwa, untuk partikel berdiameter > 0.1 mm, v dan r tidak lagi
berbanding lurus. Karena itu, penggunaan hokum Stoke hendaknya hanya untuk partikel berdiameter < 0.1 mm,
yaitu lebih kecil dari ukuran pasir halus (lihat Tabel 1).

Beradasarkan rumus tersebut, maka waktu sedimentasi dari partikel liat dapat diketahui (Tabel 2).

Hukum Stoke hanya berlaku bila agregat tanah terpecah menjadi butir partikel utama berupa liat, debu
dan pasir. Suspensi tanah diencerkan (dalam volume yang besar); suh constant; dan selam proses sedimentasi
silinder tidak terganggu. Agregat tanah terpecah menjadi partikel utama dengan cara penghilangan bahan-
bahan perekat (cementing agents, yaitu bahan organik, kalsium karbonat dan oksida-oksida besi). Pendispersian
“clay domain” dengan menggunakan dispersing agents misalnya kalgon, dan melalui pengahncuran secara
mekanik (misalnya dengan menggunakan mixer dengan getaran ultrasonik.

Keberhasilan dalam AUP sangat ditenrtukan oleh tercapai tidaknya disperse total. Karena hanya dengan
kondisi dispersi total, kandungan fraksi liat, debu dan pasir dapat ditentukan dengan sempurna. Jika tidak, maka
hasilnya akan menyimpang. Kemudahan tanah terdispersi bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh mineralogi liat,
bahan organik, oksida besi dan karbonat. Tanah yang terbentuk dari abu vulkanik, misalnya Andasol,
mengandung liat amorphous (non-crystalline) bersifat sangat tahan terhadap dispersi, terlebih pada kondisi kering
udara/oven. Tanah dengan muatan bervariasi sangat sulit untuk terdispersi, kecuali larutan pendispersinya jauh
lebih rendah atau lebih tinggi dari pada muatan pada titik nolnya (zero-point of charge)

Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlakuan awal dan teknik pendispersian sangat menentukan
ketelitian dari AUP. Perlakuan awal ini terdiri dari penghilangan oksida besi dan karbonat dan pendispersian baik
secara mekanik (misalnya dengan pengocokan dan getaran ultrasonic) maupun secara kimia (misalnya dengan
menggunakan larutan sodium polyphosphate). Efektivitas dispersant kimia tergantung pada kemampuannya
untuk menciptakan dan mempertahankan gaya tolak menolak (repulsive forces) antara partikel-partikel tanah.

1) Penghilangan oksida besi.


Coating dan kristal dari berbagai oksida besi, misalnya helamit dan geotit, sering merupakan
bahan perekat (cementing agents) atau pengikat (binding agents) dari partikel tanah. Penghilangan
bahan-bahan perekat dan pengikat ini akan membantu proses disperse, khususnya pada tanah-tanah
seperti latosol atau latosolik. Buffer bikarbonat dan sodium dithionite-citrate merupakan bahan yang
dapat digunakan untuk menghilangkan oksida besi. pH optimum untuk penghilangan oksida besi ini
adalah sekitar 7.3. Jika oksida besi merupakan mineral yang dominan, maka oksida besi tidak dianjurkan
untuk dihilangkan, karena akan merusak mineral liat dari tanah yang bersangkutan. Hal ini terutama
sangat penting bila AUP dikaitkan dengan analisis meneralogi liat.

2) Penghilangan garam-garam terlarut


Garam-garam terlarut seperti garam-garam natrium, kasium, magnesium dan karbonat sering
terdapat dalam kadar yang tinggi pada tanah-tanah alkalin yang menyebabkan suspensi tanah
terflaktuasi, sehingga dispersi tak dapat dicapai. Garam-garam ini dapat pula mengurangi efektivitas
H2O2 sebagai oksidan bahan organik. Di samping itu, garam-garam karbonat dari kalium dan magnesium.
Karena sifatnya yang tidak stabil sering turut terukur sebagai bagian dari fraksi liat dan debu, sehinnga
memengaruhi ketelitian analisis. Cara yang umum dilakukan untuk menghilangkan garam-garam terlarut
adalah pencucian dengan air suling. Sentrifuge juga membantu proses penghilangan garam-garam
terlarut.

3) Beberapa reagents dapat digunakan untuk mengoksidasi bahan organic, misalnya hydrogen peroksida
(H2O2), sodium hypochlorite, sodium hypobromite dan potassium permanganate. Akan tetapi, H 2O2
adalah standar oksidan yang umum dianjurkan penggunaanya (Day, 1965).
Setelah penghilangan karbonat, oksida besi, garam-garam terlarut dan bahan organik, barulah
proses disperse tanah dengan cara fisik dan kimia dapat dilakukan. Sodium hexametaphos (HMP),
Na2PO7, NaOH, Na2CO3 dan NaOBr adalah dispersan yang dapat digunakan. HMP adalah yang paling
sering digunakan kususnya untuk analisis dengan menggunakan metoda pipet dan hidramato.

Ada beberapa metoda yang biasa digunakan untuk AUP. Pada penuntun ini, hanya diberikan
metoda pipet. Meskipun demikian, prinsip dan prosedur metoda pipet dan hydrometer adalah mirip.
Perbedaanya hanya pada alat yang digunakan dan perhitungan untuk mendapatkan presentase fraksi
tanah.

Prinsip kerja metoda pipet

Metoda pipet merupakan suatu cara sampling yang langsung pada kedalaman h dan waktu t, pada
saat mana semua partikel yang diameternya lebih besar dari r telah terendapkan. Berdasarkan hukum stoke,
dapatlah diperhitungkan waktu yang dibutuhkan oleh partikel dengan ukuran tertentu untuk terendapkan sampai
kedalaman tertentu pada suatu temperatur (Tabel 2)

Metoda pipet sering digunakan sebagai metoda standar untuk membandingkan metoda AUP lainnya
(Gee and Bauder, 1986). Bila dilaksanakan dengan saksama, tingkat ketelitiannya tinggi. Sumber kesalahan yang
umum terjadi saat sampling dan penimbangan.

Prosedur

1) Tentukan kadar air dari tanah yang ditentukan distribusi ukuran partikelnya. Data kadar air ini akan
digunakan untuk mengoreksi berat tanah yang dianalisis.
2) Timbang 50 g tanah kering udara (atau gunakan 10 g untuk tanah bertekstur liat, 20 g untuk tanah
lempungan, 40 g untuk tanah lempung berpasir dan pasir berlempung, 100 g untuk tanah pasiran atau
kadar liat kurang dari 15 %). Berat ini dianggap telah mencukupi bila juga akan diadakan sampling liat
bagi penentuan mineralogi liat.
3) Penghilangan senyawa-senyawa karbonat, dan garam-garam terlarut. McIntyre dan Loveday (1974)
menggunakan nilai daya hantar listrik (electrical conductivity) dari ekstrak tanah dan air 1 : 5 sebesar 0.3
mS/cm sebagai dasar. Nilai yang lebih besar menunjukkan perlunya pencucian garam-garam terlarut.
Hal ini dapat dilakukan sebagai berikut. Masukkan sampai ke dalam tabung centrifuge berukuran 250 ml.
Tambahkan 100 mL air suling. Campur dan tambahkan 1 M NaOAc (pada pH 5), centrifuge selama 10
menit pada 1500 rpm sampai supernatant jernih, lalu buang supernatant tersebut. Ulangi 2 kali
menambahkan air suling (50 mL cukup), kocok, centrifuge, lalu tuang lagi supernatant yang jernih. Bila
sampai pada tahap ini centrifuge belum juga jernih (misalnya karena tingginya kandungan garam-
garam terlarut atau gypsum dari tanah yang bersangkutan), ulangi proses pencucian dengan air suling,
lau centrifuge, dst. Bila centrifuge tidak tersedia, pencucian garam-garam terlarut dapat dilakukan
dengan jalan pencucian melalui kertas saring. Walaupun prosedur ini memerlukan waktu yang lebih lama.
4) Pengoksidasian bahan organik. Bila karbon organik terkandung melebihi 1% (Indorante et al., 1990), maka
untuk ketelitian analisis, bahan organik ini harus dioksidasi. Sebagai bahan perbandingan acuan, McIntyre
and Loveday (1974) menggunakan standard 0,5 % kandungan karbon organik; tetapi Gee and Bauder
(1986) menggunakan standar 5 % bahan organik (setara dengan 2,9 % OC), yakni kandungan bahan
organik yang tinggi. Indorante et al., Mc Intyre and Loveday, dan Gee and Bauder, tidak merinci alasan
standar yang digunakan. Caranya adalah sebagai berikut. Tambahkan 25 ml air suling ke dalam tabung
centrifuge yang berisi tanah dari tahap 3). Kocok secukupnya (pada pengocok listrik bila tersedia)
Pindahkan sampel ini kedalam beaker 1000 mL (bilas dengan air suling agar seluruh suspensi
terpindahkan) Tambahkan 5 ml H2O2 (± 30 %), kocok, tutup, lalu amati selama beberapa menit. Bila
terjadi penggelembungan (busa) yang berlebihan, dinginkan suspensi tanah di dalam beaker ini di
dalam air dingin. Bila reaksi ini telah selesai, tambahkan lagi H 2O2. Bila penggelembungan telah selesai,
panaskan suspensi ini sampai 90 ºC pada pemanas listrik. Pada saat pemanasan, beaker dibiarkan
terbuka agar air berlebih dapat terevaporasi, akan tetapi jangan dibiarkan sampai mengering sama
sekali. Teruskan penambahan H2O2 dari pemanasan ini sampai keseluruhan atau sebagian besar dari
bahan organik telah teroksidasi yang ditandai dengan semakin lambatnya reaksi dan warna tanah yang
pucat. Bilaslah dinding beaker sesekali untuk membersihkan percikan-percikan dari suspensi tanah
selama pemanasan berlangsung. Disarankan untuk meneruskan sampai kurang lebih 1 jam sesudah
pemberian H2O2 yang terakhir agar H2O2 yang berlebih dapat dihilangkan.
5) Penghilangan oksida besi. (Hal ini terutama penting pada tanah-tanah litosolik). Tambahkan buffer
citrate-bikarbonat pada sampel tanah yang telah diberi H 2O2 pada botol centrifuge sehingga volume
total larutan mencapai ± 150 mL. Buffer citrate-bikarbonat dibuat sebagai berikut: buat 0.3 M Na-citrat
(88.4 g/L); lalu tambahkan 125 mL 1 M Na-bikarbonat (84.0/L). Kocok untuk mendispersi tanah.
Tambahkan 3 g sodium dithionite (Na2S2O4 secara bertahap. Letakkan botol sampel ke dalam air dengan
suhu 80 ºC . Lalu aduk suspensi sesekali selama 20 menit. Pindahkan sampel dari rendaman, tambahkan
10 ml NaCl jenuh, campur, centrifuge, lalu buanglah cairan centifugenya. Kalau sampel telah menjadi
kelabu samasekali, lanjutkan ke tahap berikut. Tetapi bila warnanya masih kecoklatan, ulangi pekerjaan
sebelumnya, cuci sampel sekali lagi dengan 50 mL buffer citrate bikarbonat tambah 20 mL NaCl jenuh
(kocok, centrifuge, dan buang cairannya). Cuci sampel dengan dua kali dengan 50 mL NaCl 10%, lalu
dua kali dengan 50 mL air suling. Kalau larutan pencuci masih tidak bening, pindahkan sampel ke dalam
botol centrifuge kocok centrifuge dengan kecepatan tinggi. Kalau ini masih belum memberikan cairan
centrifuge yang jernih, tambahkan acetone, hangatkan sampel, lalu centrifuge sekali lagi. Tambahkan
150 mL air, kocok dan cek pH. pH-nya akan lebih dari 8 jika tanah jenuh dengan Na.
Catatan: Bila tanah tidak mengandung senyawa karbonat. Oksida besi dan garam-garam terlarut yang
tinggi, dan bila kandungan bahan organik kurang dari 1%, maka proses analisa pada 3), 4) dan 5) dapat
diabaikan, langsung ke tahap dispersi (6).

6) Pindahkan suspensi kedalam botol pengocok berukuran 1 liter, tambahkan ml air suling dan 10 ml HMP
(dispersant), lalu kocok dengan kocokan horizontal selama 1 malam. Sebagai alternatif, tanah dapat
langsung dikocok di dalam mixer berkecepatan tinggi. Prosesnya adalah sebagai berikut. Masukkan
sampel ke dalam cangkir mixer berkecepatan berkecepatan tinggi (electriric mixer, mixer susu dapat
digunakan), lalu tambahkan 50 ml dispersing agent (40,9 g sodium hexametaphosphate dan 9.1 g sodium
karbonat, dilarutkan ke dalam 1 liter air suling yang dipanaskan). Tambahkan kira-kira 300 ml air suling
agar “impeller” dari mixer turut terendam dan proses pencampuran dan dispersi dapat berlangsung
dengan baik. (Menurut Gee dan Bauder, 1986, perbandingan air dan tanah 5 : 1 dapat dijadikan
pedoman perbandingan yang menunjang proses dispersi yang baik). Jalankan mixer selama 3 menit (bila
perlu 5 menit, terutama dengan analisis metoda hydrometer (Day, 1965) ) berangsur-angsur dari
kecepatan rendah sampai kecepatan tinggi, agar tidak terjadi tumpahan. Bila tersedia alatnya, disperse
dengan ultrasonic dapat dilakukan.

7) Bilas impeller dengan lalu semprot kedalam cangkir mixer, lalu pindahkan ke silinder berukuran 1 liter. Hati-
hatilah agar seluruh partikel tanah turut terpindahkan ke silinder (partikel pasir sering tertinggal didinding
cangkir mixer). Pemindahan ini dilakukan sekaligus dengan penyaringan pasir dengan menggunakan
ayakan berukuran 2/0 mesh (0,053 mm, (klasifikasi USDA) dengan bantuan corong plastik (ayakan
ditempatkan di atas corong plastik lalu suspensi tanah dituangkan dengan hati-hati, lalu semprot
digunakan untuk melewatkan partikel debu dan liat yang tersisa pada ayakan). Pasir yang terkoleksi
dipindahkan ke dalam cawan untuk dikeringkan di dalam oven pada 105 ºC selama 1 hari. Lalu
dinginkan di dalam desilator, dan timbang. Bila diperlukan pasir yang kering ini selanjutnya dapat disaring
untuk penentuan pasir halus dan kasar dengan menggunakan ayakan-ayakan berukuran 1, 0.5, 0.25,
0.106, dan 0.053 mm (untuk klasifikasi USDA), atau ukuran 0.2, 0.02 mm bila menggunakan klasifikasi ISSS.

8) Tambahkan air suling kedalam silinder sehingga volume suspensi menjadi tepat 1000 mL. Kocok suspensi
tanah dengan stirrer (pengocok) yang kusus dibuat untuk itu. Dengan gerakan naik dan turun selama
kira-kira 1 menit. Jika stirrer seperti ini tidak tersedia, gunakan penutup silinder, lalu kocok dengan cara
membalik-balik silinder, ke atas dan ke bawah. Setelah pengocokan selesai, letakkan silinder di atas meja
yang kokoh (agar tidak mudah goyang atau terganggu; gangguan pada saat sedimentasi akan
memengaruhi ketelitian), lalu ukurlah suhu suspensi untuk penentuan waktu pengamatan sesuai dengan
Tabel 2

9) Siapkan suspensi dari blank, juga di dalam silinder berukuran 1000 mL. Blank ini hanya mengandung
sodium hexametaphosphate dengan konsentrasi seperti yang digunakan untuk dispersant pada tahap
6) tadi, tanpa contoh tanah. Untuk kemudahan, disarankan untuk menyiapkan larutan dispersant
sebagai stok. Lalu aduk dengan stirrer naik turun selama 1 menit. Pengamatan pada blank dilakukan
dengan cara yang sama dengan pengamatan pada sampel. Setelah pemipetan, sampel dari blank
juga dikeringovenkan pada 105 ºC selama 1 hari, lalu hitung berat keringnya.

10) Sekitar 20 detik sebelum pemipetan, masukkan pipet ke dalam silinder sedalam 10 cm dari permukaan
suspensi (bila dikehendaki, dapat pila sedalam 5 cm saja, untuk mempersingkat selang waktu
pengamatan). Pemasukan pipet yang lebih awal ini dimaksudkan untuk memberi waktu bagi proses
pengaturan kedalaman pemipetan dengan tepat.

11) Tepat pada waktunya (Tabel 2), pipetlah sampel suspensi tanah untuk pengamatan partikel debu dan
liat sebanyak 10 atau 20 mL (tergantung dari ukuran pipet yang tersedia, tetapi disarankan tidak kurang
dari 10 mL), lalu tuangkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui beratnya. Masukkan sampel
ke dalam oven pada 105 ºC selama 24 jam.

12) Lakukan hal yang sama dengan pada Tabel 11) untuk partikel liat.

Perhatian: Setelah setiap pemipetan, sebelum pemipetan berikutnya, pipet harus dibilas dengan sedikit
air suling agar tidak terdapat suspensi yang tersisa di dinding pipet. Hal ini akan memperkecil kesalahan
yang disebabkan oleh pemipetan. Air bilasan ditampung ke dalam cawan aluminium dari sampel yang
bersangkutan (tahap 11 dan 12). Pembilasan kedua perlu dilakukan agar pipet benar-benar bersih dari
suspensi tanah sebelum pemipetan berikutnya dilakukan.

13) Lengkapi isian lembaran data yang tersedia, lalu hitung persentase fraksi pasir (pasir masih dapat
dibedakan menjadi pasir sangat halus, halus, sedang, kasar dan sangat kasar) debu dan liat dengan
rumus berikut ini:

% pasir = 100 (total berat pasir / total berat tanah)

% liat = 100 ((berat liat + blank) – (berat blank)) x (1000 mL/mL pipet) x (total berat tanah)

% debu = 100 ((berat debu + liat + blank) – (berat liat + blank)) x (1000 mL/mL pipet) x (total berat
tanah)

Anda mungkin juga menyukai