Geologi Dan Geomorfologi Maluku Selatan .-1
Geologi Dan Geomorfologi Maluku Selatan .-1
Geologi Dan Geomorfologi Maluku Selatan .-1
Disusun Oleh :
Bagus Wahyudiyanto (4315160195)
Dimas Putrapangestu (4315161643)
2019
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kita panjatkan atas kehadirat Allah swt. yang telah memberikan
nikmat kesehatan, rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “Geologi dan Geomorfologi Maluku Selatan”. Sholawat dan salam semoga
selalu tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari
masa kegelapan ke masa terang benderang seperti yang kita rasakan saat ini, tak lupa kepada
seluruh keluarga dan sahabat Beliau serta mudah-mudahan syafaat Beliau tercurah kepada
kita hingga akhir zaman. Makalah ini merupakan salah satu bentuk pemenuhan tugas
perkuliahan, mata kuliah Geologi dan Geomorfologi Indonesia yang diampu oleh Dra. Dwi
Sukanti L., M.Si. Dalam proses penyajiannya, makalah ini berusaha ditulis dengan baik.
Kami mengharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
Geologi dan Geomorfologi Maluku Selatan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Aamiin.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana kajian Geologi dan Geomorfologi Maluku Selatan?
b. Bagaimana aktivitas masyarakat Maluku Selatan?
c. Bagaimana kondisi Stratifigrafi Maluku Selatan?
d. Bagaimana kondisi Fisiografi Maluku Selatan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Cekungan Banda Tengah dikelilingi oleh dua busur paralel; bagian dalam
dimahkotai oleh gunung berapi aktif, sedangkan bagian luar bebas dari vulkanisme
muda. Wilayah Banda ini jelas mewakili sistem orogenik yang koheren, yang sering
dianggap sebagai contoh sistem gunung di statu nascendi.
Cekungan Banda terdiri dari bagian utara dan selatan. Yang pertama atau
"Cekungan Banda Utara" terletak di antara Sulawesi dan Buru, yang kedua atau
"Cekungan Banda Selatan" antara Batu Tara (Utara Lomblen) di Barat dan Manuk
di Timur.
Cekungan Banda Selatan, pada gilirannya, dibagi (oleh gunung api Api)
menjadi bagian barat dan timur. Yang terakhir dikelilingi oleh busur Banda dan
mungkin disebut "Cekungan Banda Tengah". Kami akan memulai deskripsi
fisiografi Maluku Selatan dari pusat ini.
Cekungan Banda Tengah memiliki diameter 400 km antara Damar dan Buru
(SE-NW) dan juga antara Api dan Banda (SW-NE). Di bagian utara Cekungan
Banda Tengah beberapa gelombang SW-NE yang rumit ditemukan. Luymes dan
Siboga Ridges tidak mencapai permukaan laut: hanya beberapa terumbu karang di
Pulau Lucipara- dan Schildpad yang muncul, Di antara Luymes Ridge dan Buru,
kedalaman mencapai 5.330 m tercapai; lantai bagian selatannya sekitar 5.000 m,
dengan maksimum -5.400 m Damar Barat.
Di bagian barat Cekungan Banda Selatan , Api Vulcano (282 m) naik dari
lantai rata dengan kedalaman 4.500 m. Platform laut dalam barat ini bercabang-
cabang menjadi barat dan utara-barat menjadi sejumlah parit. Yang utama sejajar
dengan busur bagian dalam dari Alor ke arah barat, melintasi kenaikan -2,480 m
Utara Flores, ke Flores Deep (-5,130 m). Kurva cabang berikutnya, terus menurun
secara mendalam, ke Teluk Bone antara lengan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
3
Yang lebih kecil mengarah (melintasi kenaikan ke -3.850 m) ke Palung Buton (-
4.180 m). Akhirnya, sejumlah parit NW-SE yang tidak jelas di sepanjang tanjakan
antara Kepulauan Tukang Besi dan Bukit Luymes menghubungkan bagian barat
Cekungan Banda Selatan dengan bagian utara. Cekungan Banda Utara, seperti
bagian tengah memiliki diameter sekitar 400 km. Kedalaman maksimumnya adalah
-5.800 m. Cekungan Banda Tengah berbatasan dengan nya. sisi selatan, timur dan
utara oleh Busur Banda. Busur ini terdiri dari sejumlah punggungan yang memiliki
orientasi "en échelon" menurut peta Ekspedisi Snellius .
Uji berlayar (sea trial) dilakukan pada bulan Februari 1929 dalam cuaca
musim dingin, dan kapal Snellius sempat terperangkap dalam lautan es yang
membeku. Tetapi pelayaran perdana itu berjalan mulus dan beberapa minggu
kemudian, tanggal 9 Maret 1929, Snellius sudah dapat bertolak dari pelabuhan Den
Helder menuju Surabaya. Setelah singgah di pelabuhan Emma Haven (Teluk
4
Bayur) Padang, akhirnya kapal itu tiba di Surabaya tanggal 30 Mei 1929. Selama
dalam pelayaran dari Den Helder ke Surabaya, semua instrumen yang telah
terpasang di kapal, yang akan digunakan dalam ekspedisi, diuji-cobakan.
Tanggal 27 Juli 1929 Snellius bertolak dari Surabaya menuju daerah operasi
di bagian timur Nusantara, antara Paparan Sunda (Sunda Shelf) dan Paparan Sahul
(Sahul Shelf). Hari itu menandai dimulainya secara resmi Ekspedisi Snellius.
Ekspedisi ini berjalan selama setahun lebih, berakhir dengan resmi ketika Snellius
kembali ke Surabaya pada tanggal 15 November 1930. Total jarak yang ditempuh
selama Ekspedisi Snellius ini adalah sekitar 34.000 mil.
5
Gambar 2. Atas: Lubuk dan palung laut-dalam di perairan Nusantara. Nama-nama untuk
angka Rumawi dicantumkan dalam Tabel 1. Tanda panah menunjukkan arah masuknya pasokan
air ke dalam lubuk atau palung. Bawah: Arah pemasokan air, suhu potensial dan salinitas pada
lubuk dan palung yang tertera dalam gambar atas (sumber: van Riel, 1934)
6
Tabel 1. Lubuk dan palung di perairan Nusantara (lokasi lihat Gambar
4). (Sumber: van Riel, 1934)
Lubuk atau Palung
Batas garis Kedalaman
Luas (km2)
kedalaman (m) maksimum (m)
7
tentang struktur dan gerakan massa air di kawasan Nusantara bagian timur. Namun
beberapa kegiatan pelengkap juga dilaksanakan yang meliputi biologi dan geologi
terumbu karang.
Di Barat Daya busur dalam ini bukanlah kelanjutan langsung dari barisan
dalam Kepulauan Sunda Kecil. Sumbu elevasi geanticlinal terakhir dari kerak jatuh
dari Wetar melalui Romang ke timur ke punggung sub marine antara Damar dan
Moa, akhirnya berakhir di Weber Deep.- Bagian dalam vulkanik dari Sistem Banda
memiliki posisi "en échelon" dengan hormat ke sabuk ini. Pertama adalah SW-NE
Tren Damar Ridge, dimahkotai oleh gunung berapi Damar (868 m). Teon (655 m),
Nila (781 m), dan Serua (641 m). Punggungan ini jatuh ke utara, dan dipisahkan
oleh parit dengan kedalaman lebih dari 3000 m, kami menemukan S-N Tren Manuk
Ridge (Manuk, 285 m). Yang terakhir dipisahkan pada gilirannya dari Banda Dome
(Api, 656 m) dengan kedalaman lebih dari 4000 m. Taji (spur) tenggara kelompok
Banda jatuh ke Palung Weber, sementara yang barat laut berbelok ke barat, berakhir
di Selatan Uliassers dan Ambon. Jadi kita melihat bahwa busur dalam terdiri dari
beberapa punggungan dan puncak seperti kubah yang memiliki pengaturan "en
échclon". Posisi yang saling bertukar ini terjadi di bagian geanticline, di mana tren
umumnya menunjukkan kelengkungan intensif dari tren Timur-ke-Barat di busur
dalam Kepulauan Sunda Kecil yang menyapu ke NE dan N, dan akhirnya kembali
ke NE. NW dan W. Di Ambon arah menjadi ENE ke WSW meluas (melalui gunung
berapi yang terendam di Cekungan Manipa ke Amblau.
8
Gambar.3 Sketchmap Fisiografi Maluku Selatan
Di antara Busur Dalam dan Luar Banda terjadi "interdeep", dengan garis
besar bulan sabit yang khas menggelembung ke arah timur, yang disebut Weber
Deep (-7,440 m. Lebar maksimum 150 km). Kawanan itu menuju ke barat laut
akhirnya melewati sumbu naik dari punggung bukit yang membawa Uliasser dan
Ambon; dan itu juga menjadi lebih dangkal ke arah barat daya, bergabung ke
punggungan submarine antara Damar dan Moa. Deep Weber dipisahkan dari Wetar
Basin dengan ambang batas kedalaman 1.480 m ini. Pulau Kisar lebih jauh ke barat
adalah salah satu dari sedikit pulau yang menempati posisi menengah antara busur
dalam dan luar. Busur Banda Luar adalah pengangkatan geanticlinal dari kerak
bumi, dengan lebar 100-200 km, di mana endapan geosyrclinal telah diangkat ke
dalam jajaran pegunungan dengan struktur pengguling, tetapi tanpa vulkanisme
aktif (seperti kontras dengan komposisi vulkanik muda dari pulau-pulau di busur
dalam).
9
luar Kepulauan Sunda Kecil. Ini dimulai di Timor Timur dengan Bukit Leti-
Sermata yang sempit. Kemudian mengikuti kulminasi Babar dari taji rendah
terpancar ke beberapa arah. Yang timur laut jatuh ke Palung Weber dan yang barat
daya ke Timor foredeep; beberapa yang lebih kecil menunjuk ke W dan NW,
sementara kenaikan luas dasar laut menyatukan Kubah Babar dengan kelompok
Tanimbar. Tren umum yang terakhir adalah SW dan NE, sedangkan yang antara
Leti dan Sermata lebih W dan E. Kelengkungan ini ditandai oleh pengaturan "en
eselon" dari punggungan, yang juga mencirikan busur dalam.
Sektor timur busur Banda terdiri dari Pulau Tanimbar-Kai (atau Ewab).
Memiliki kemiringan dalam yang curam ke Palung Weber. Lebar geanticline adalah
100 km di kelompok Tanimbar dan meningkat menjadi 200 km di Kepulauan Kai,
menyempit lagi menjadi 75 km di SE-NW peregangan punggungan submarine yang
membentuk hubungan dengan Seram, Secara keseluruhan sektor timur ini
menunjukkan sebuah tonjolan ke timur seperti Weber Deep bulan sabit. Perluasan
ini ditekankan oleh kehadiran kenaikan dasar laut (kurang dari 1000 m) di Aru
foredeep, sebelah timur dari Kai Group. Di sepanjang puncak geanticline yang luas
ini, terjadi depresi longitudinal, yang lebarnya meningkat dengan penampang
lengkung geanticlinal. Di Tanimbar Group, median depresi mencapai puluhan
kilometer, melebar menjadi sekitar 100 km di Kai Group (antara "Drie Gebroeders"
dan Nuhutjut), lalu menyempit lagi ke Masiwang-Bobot yang merebut Seram
Timur. Bagian timur busur luar dibagi menjadi zona dalam dan luar oleh sabuk dari
penurunan muka relatif ini pada puncaknya. Zona dalam membentang dari Wuliaru
(188 m) di sepanjang Molu (274 m) ke "Drie Gebroeders" dan Kur (423 m), dan
lebih jauh melintasi Tiur atau Tioör (376 m), Kasiui (362 m). Watubela. Manawoke,
Pulu Pandjang, dan Ceram Laut dengan Geser, ke arah tenggara Ceram. Lingkaran
kepulauan ini mengitari interdeep di sepanjang sisi timurnya. Zona luar dapat
dilacak dari Selaru melalui Jamdena dan Sofiani ke Nuhutjut atau Great Kai.
Koneksinya dengan Northeast Ceram kurang jelas. karena di sini hiasan luar ini
terganggu oleh perluasan foredeep ke arah barat (yaitu Aru Trough).
Bagian utara Busur Luar Banda terdiri dari pulau Seram, Boano, Kellang,
Manipa, dan Buru. Ceram (Seran; Serang) adalah pulau terbesar dari Busur Luar
10
Banda (17.152 km persegi, lebih dari setengah ukuran Belanda; 340 km, lebar
sekitar 70 km; puncak tertinggi Binaja 3.055 m). Depresi median Busur Luar Banda
diwakili oleh Masiwang-Bobot Graben di Seram Timur, yang mungkin dapat
ditelusuri ke barat di sepanjang serangkaian depresi: Teluk Teluti - Lembah Kawa
- Lembah Ruatan - Teluk Elpa putih - Lembah Talala. Bagian dalam bagian timur
berlanjut di Seram melintasi pegunungan rendah di Selatan Masiwang - Bobot
Graben (723 m), pegunungan Y-Mountain, dan Z. atau Wallace Range (1.260 m).
Garland luar diwakili di Ceram oleh ESE ke WNW berarah X Mountains (Binaja
3.055 m) dan ENE ke WSW berarah Lumute Mts (1.373 m). Di sebelah barat Teluk
Piru pola struktural Seram menjadi lebih tidak teratur. Semenanjung Hoamoal
dibatasi oleh kurang lebih sesar yang diarahkan N-S. Pulau-pulau Boano, Kellang
(Kelang) dan Manipa membentuk barisan NE-SW antara Ceram dan Buru. Di ujung
selatan Hoamoal dan di Kellang, batuan vulkanik muda. seperti Ambon, ditemukan.
Sebagian besar ahli geografi dan ahli geologi menelusuri ujung barat Busur Utara
Banda ini dari Seram melalui pulau Kellang dan Manipa ke pulau-pulau besar Buru.
Buru (9.599 km persegi; panjang 140 km dan luas 90 km; puncak tertinggi Kau
Palatmada, 2.429 m).
11
c. Cekungan Banda utara, mencapai kedalaman 5.290 m Buru Barat;
d. Cekungan Buru, sebelah utara pulau ini, dengan kedalaman maksimum
5.319 m.
Sudut barat laut pulau ini dihubungkan oleh tebing kapal selam yang
berbeda dengan kedalaman lebih dari 3000 m dengan Sanana dari Kepulauan Sula.
Sudut barat daya terhubung dengan Luymes Ridge dengan ketinggian lebih dari
3000 m dari dasar laut. Foredeep dari Busur Banda. Busur Banda Luar dikelilingi
oleh foredeep yang khas, yang memulai SE dari Kepulauan Tanimbar dengan
palung sempit (lebar 30 km dan kedalaman 1.690 m), membuka ke utara menuju
Palung Aru yang berbentuk sabit (-3.680 m). Di sini bentuk bulan sabit dari Weber
Trough, cembung ke Timur, diulangi dalam bentuk yang lebih jelas.
12
busur dalam vulkanik, sebuah interdeep , busur luar non-vulkanik dengan struktur
overthrust sentrifugal, dan foredeep. Evolusi orogenik dari Busur Banda terjadi
sesuai dengan aturan umum yang khas untuk proses pembangunan gunung. di
Kepulauan India.
Aturan-aturan ini dapat dirumuskan sebagai berikut (lihat juga gbr. 102):
13
4. Garis geantic, yang berasal dari sisi sisi median ridge, dalam
perjalanan waktu melewati serangkaian gerakan berosilasi.
Dorongan pertama pengangkatan umumnya masih non-vulkanik;
yang kedua memiliki karakter vulkanik; selama fase ketiga
peningkatan aktivitas gunung berapi sudah punah. (Aturan ini tipikal
untuk sabuk orogenik di wilayah antara Asia dan Australia; yaitu di
Maluku, SE-Borneo, dan Sulawesi . Di Filipina dan di Jawa dan
Sumatra, garis geantic yang berseberangan dengan cekungan
samudera dalam menunjukkan kebangkitan aktivitas gunung berapi,
juga selama dorongan ketiga dari pengangkatan. Di daerah
Melanesia dan Fijia, Australia Timur, sudah terjadi pengangkatan
orogenik pertama yang disertai dengan vulkanisme)
5. Setelah beberapa puluh juta tahun, foredeeps dari garis-garis
geanticik yang disebutkan sebelumnya didorong ke atas, pada
gilirannya membentuk sabuk geanticlinal. Foredeeps kembali
bergeser lebih jauh ke luar. Geanticlines baru ini juga melalui siklus
waktu melalui siklus pengangkatan dan subsidi, tiba secara berturut-
turut di negara-negara non-gunung berapi, gunung berapi, dan
punah-gunung berapi pembangunan.
6. Setelah berjuta-juta tahun juga foredeeps, disebutkan sub 5,
melengkung ke dalam struktur geanticlinal, sementara foredeeps
lagi melanjutkan lebih jauh ke luar
7. Kekuatan orogenik dari sabuk bagian dalam (sub 2 dan 3) pada tahap
proses ini sudah kurang lebih sudah punah. Di antara gelombang
kerak yang menyebar, cekungan tengah yang luas dengan karakter
kontinental dan blok intermount yang rusak telah berkembang.
14
gunung ini, berikut ini dapat dikemukakan:. Selama subsidensi front foredeeps
regional dari magma dasar ke ultra-dasar naik di kerak bumi. Hal ini memunculkan
vulkanisme submarine ophiolitik, yang produk-produknya dikaitkan dengan
radiolarit dan sedimen laut dalam lainnya. Peningkatan pertama garis geantic dari
foredeep seperti itu umumnya non-vulkanik. Magma uptruding itu tampaknya
belum mampu menembus kolom sedimen di atasnya selama impuls pertama
melengkung ke atas. Selain itu, sedimen sering telah dikompresi menjadi tumpukan
lembaran overthrust. Tetapi dorongan berulang yang terangkat mendorong
peningkatan vulkanisme eksternal. Setelah itu, pendinginan dan konsolidasi intrusi
hypabyssal dan ekstrusi vulkanik ini akhirnya menyumbat ventilasi vulkanik.
Akibatnya, kerak selama impuls pengangkatan kemudian berperilaku sebagai
massa yang lebih kaku, yang salah blok, vulkanisme yang umumnya sudah punah
karena ketebalan kerak konsolidasi. Magma yang meletus oleh gunung-gunung
berapi ini di atas geanticlines memiliki karakter calcalkaline (Pasifik).
Sabuk yang lebih tua sudah menunjukkan eksposur batholit granit yang naik
ke inti geanticlines yang naik. Semakin dalam garis geanticline ini diratakan oleh
erosi, semakin luas pula paparan massa asam plutonik ini. Di Ceram (daerah
Kaibodo) kami menemukan batuan ultra-dasar dari tahap forosep geosynclinal,
yang diterobos pada tahap pengembangan selanjutnya oleh batholith granit.
Keadaan ini menunjukkan bahwa batuan plutonik dasar dan ultra-basa didasari dan
diserang dari bawah oleh lebih banyak varietas asam batuan beku. Ini penting untuk
konsepsi tentang asal usul batuan beku yang akan dibahas di sini sesudahnya. Busur
luar sekarang dari Sistem Banda bertepatan dengan sabuk anomali isostatik yang
sangat negatif. Ini menunjukkan bahwa sabuk ini masih memiliki energi potensial
untuk kenaikan lebih lanjut. Selain itu, menunjukkan bahwa lengkungan kerak ini
memiliki inti dan akar materi sialic dengan kepadatan spesifik yang relatif rendah.
Memperhatikan keberadaan batholith granit di zona orogenik yang lebih tua dan
sangat baselevel, ada kemungkinan bahwa busur luar ini juga memiliki inti dan akar
materi granit. Sangat mungkin bahwa dalam sabuk orogenik aktif ini dari busur luar
materi asam belum terkonsolidasi, masih memiliki suhu tinggi, kandungan volatil
yang tinggi, dan viskositas rendah. Dengan kata lain, ia memiliki karakter magma
aktif. Hanya sesekali magma ini memunculkan gunung berapi eksternal, ketika
15
kondisinya menguntungkan. Tetapi tampaknya di bagian yang lebih dalam dari
sabuk orogenik, beberapa kilometer dan lebih di bawah permukaan, proses
magmatik memainkan peran yang sangat aktif selama orogenesis.
Maluku selatan. Tidak ada yang diketahui tentang sejarah tersier Busur
Banda, karena Paleogen maupun Neogene belum diketahui. Di pulau-pulau Busur
Luar Banda (kelompok Kisar, Leti, Sermata, Babar, Fadoh dan Kur, Manawoka dan
Ceram Laut) Pra-Tersier ditindih secara tidak selaras oleh sedimen laut yang tidak
lebih tua dari Miosen. Akibatnya, kondisi tanah berlaku di sabuk ini selama Tersier
Bawah. Paleogen hanya terjadi di bagian barat Kepulauan Tanimbar: kapur platy,
neritik, tebal beberapa puluh meter. Endapan-endapan ini mengalir ke timur, yaitu
di bagian barat laut Jamdena, ke dalam batu kapur detektif yang tampaknya lebih
tipis, litoral, dan batu pasir kuarsa. Mereka gagal sepenuhnya di sepanjang pantai
Timur Jamdena dan pulau-pulau ke NE, yang membuktikan bahwa kelompok ini
bertepatan dengan perbatasan paling timur dari laut tersier yang lebih rendah.
Umurnya adalah Tersier ab menurut kehadiran Camerina. Borelis (Fasciolites) dan
Discocyclina.
Di pulau-pulau barat Eosen ini terletak secara tidak selaras dan transgresif
di atas batu jurassic dan di Jamdena ditemukan pseudo-sesuai di Cretaccous (lihat
UMBGROVE, 1934 c) Di bagian tengah Kai Archlpelago, Kepulauan Tajando dan
kelompok Little Kai, dan di bagian timur dengan Great Kai, urutan yang sesuai
terjadi dari Ta hingga Miosen, yang terdiri dari batu kapur berwarna kuning telur,
sering bituminous, batu gamping, batu pasir mikro, serpihan tanah liat dan
konglomerat. Bagian ini setebal 1.150 m (lihat Batu kapur cocene mengandung
nodul dan Discocyclina, menurut BROUWER (1923 b). UMDGROVE. 1934 a,
informasi dari WEBER). Fragmen Lacazina wichmanni SCHLUMB yang aus
(usang) ditemukan oleh penulis ini di batupasir berkapur. Lebih lanjut,
ZWIERZYCKI (1928 b) menyebutkan Orthocyclina bersama dengan
Lepidocyclina, yang mengindikasikan T.d (Umbgrove, 1932, p. 816). Dalam Ceram
RUTTEN & HoTz (1920) menemukan Paleogene dekat Lisabata di pantai Utara
bagian tengah pulau. Mempelajari koleksi dari ekspedisi Seram RUTTEN & HOT
16
pada tahun 1917-1919. GERMERAAD (1946) menemukan beberapa sampel
batuan eosen lain di bagian tengah pulau. Kejadian-kejadian ini sangat penting
karena merupakan satu-satunya wilayah yang dijelaskan dalam literatur geologi di
Hindia Timur. di mana Eosen berada, jelas sesuai dengan Cretaceous. Kejadian-
kejadian ini sudah dibahas dalam paragraf tentang batas antara Pra-Tersier dan
Tersier.
17
aktivitas tektonik yang terjadi di daerah ini. Gaya tektonik tersebut degan arah
utama hamper utara – selatan mengakibatkan terjadina proses pengangkatan yang
membentuk perbukitan yang memanjang timur – barat, perlipatan yang diiringi
dengan proses pembentukan sesar naik dan sesar geser.
Perbukitan yang berada di bagian tengah pulau yang diapit oleh daerah
pedataran di bagian utara dan selatan. Puncak tertinggi adalah Gunung Binaya
dengan ketinggian ± 3.027 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sungai-sungai
yang mengalir dari bagan tengah ke arah selatan di antaranya Sungai Kawa, Sungai
Nusulahu, Sungai Salame, Sungai Nua, Sungai Jage, Sungai Walalia, Sungai Wolu,
Sungai Fuwa, Sungai Kaba, dan Sungai Taluarang. Selain itu terdapat Sungai Mual,
Sungai Isal, Sungai Sariputih, Sungai Samal, dan Sungai Kobi mengalir dari bagian
tengah ke arah utara. Pulau ini dibatasi oleh Laut Seram di bagian Utara dan Laut
Banda di bagian Selatan.
Tektonik Regional
Pulau Seram terletak sepanjang utara busur Banda, Indonesia bagian timur.
Pulau Seram berada pada zona tektonik kompleks, karena Pulau Seramg merupakan
pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu: Lempeng Australia, Lempeng Pasifik-
Filipina, dan Lempeng Eurasia.
Pulau Seram dan Ambon adalah bagian dari Busur Banda. Data stratigrafi
menunjukkan bahwa perkembangan tektonik kedua pulau itu, dari Paleozoik
sampai Miosen, sangat erat dengan perkembangan tektonik tepi benua Australia.
Interaksi konvergen antara lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik pada
Miosen Akhir yang diikuti oleh rotasi Kepala Burung berlawanan arah jarum jam
pada Mio-Pliosen telah menyebabkan perkembangan tektonik kedua kawasan itu
berbeda, sehingga unit litologi dari Pulau Seram dan Ambon dapat dibedakan
menjadi Seri Australia dan Seri Seram.
Data stratigrafi menunjukkan bahwa paling kurang terjadi dua kali kompresi
tektonik dan dua kali continental break up berkait dengan pembentukan Pulau
Seram dan Ambon. Continental break up pertama diikuti oleh kompresi tektonik
yang pertama terjadi pada Palezoikum. Kontraksi kerak bumi yang terjadi
18
setelahnya meletakkan batuan-batuan metamorfik tngkat tinggi, seperti granulit, ke
dekat permukaan, dan mantel atas tertransport ke atas membentuk batuan-batuan
ultra basa, sehingga pada Pulau Seram banyak ditemukan mineral nikel. Setelah itu,
terjadi erosi yang menyingkap batuan-batuan metamorfik dan disusul dengan
thermal subsidence yang membentuk deposenter bagi pengendapan Seri Australia.
Continental break up yang ke dua terjadi pada Jura Tengah, dan diikuti oleh
pemekaran lantai samudera. Peristiwa ini berkaitan dengan selang waktu tanpa
sedimentasi dalam Seri Australia pada Jaman Jura. Kompresi terakhir terjadi pada
Miosen Akhir. Kejadian ini sangat kritis bagi evolusi geologi Pulau Seram dan
Ambon. Interaksi konvergen yang terjadi menyebabkan Seri Australia mengalami
thrusting, pengangkatan orogenik, dan perlpatan sehingga barubah menjadi batuan
sumber bagi Seri Seram.
Stratigrafi Regional
Stratigrafi Pulau Seram dibagi menjadi dua bagian, yakni Seri Australia,
(bagian utara dari Australia Continental Margin) dan Seri Seram (Kemp, dkk.,
1992).
a. Seri Australia
Pre-Rift Sequence
Seri Australia terdiri dari sedimen berumur Trias – Miosen Akhir
yang secara tidak selaras berada di atas batuan metamorfik dan diendapkan
di margin bagian utara Australia Continental Margin. Basement dari Pulau
Seram terdiri dari batuan metamorfik derajat tinggi – rendah dari
Kompleks Kobipoto, Taunusa, Tehoru, dan Formasi Saku. Ketiga
kompleks metamorfik tersebut tersingkap di permukaan karena adanya
sesar naik selama Miosen Akhir dan Pliosen dan kemudian mengalami
sesar mendatar. Seri dari batuan ultrabasa juga ditemukan di bagian timur,
tengah dan barat dari Pulau Seram. Batuan ultrabasa tersebut merupakan
bagian dari kerak samudera yang terbentuk pada saat continental breakup
dan pemekaran lantai samudera pada Jura Akhir dan mengalami
pengangkatan pada Miosen Akhir.
19
Intra-Cratonic Rifting Sequence
Batuan sedimen tertua di Pulau Seram adalah Formasi Kanikeh yang
diendapkan di neritik luar, berupa batupasir dan mudstones dan secara
tidak selaras terdapat di atas batuan beku dan batuan metamorfik
(basement). Umur dari Formasi Kanikeh adalah Trias Tengah – Trias
Akhir. Di atas Formasi Kanikeh secara gradasi terdapat Formasi Saman-
Saman yang berupa batu gamping. Kemudian secara menjari di atas
Formasi Saman-Saman terdapat Formasi Manusela yang berupa
batugamping dan diendapkan pada lingkungan neritik – batial.
b. Seri Seram
20
Australia yang bergerak ke utara, Lempeng Eurasia yang bergerak ke timur,
dan Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat, kemudian menghasilkan sesar
naikyang besar di Pulau Seram. Pada awal sesar naik dan pengangkatan
orogenesa yang cepat, terjadi gravity slide/slump unit yang menghasilkan
diendapkannya Kompleks Salas secara tidak selaras di atas Seri Australia.
Kompleks Salas diendapkan di outer shelf –bathyal, yang terdiri dari
batulempung, mudstones, dan mengandung klastik, bongkah, dan blok dari
batuan sebelum mengalami pengangkatan.
Gambar 5 . Model Evolusi dari Kompleks Salas, Wahai, dan Formasi Fufa.
21
Struktur Regional
Sesar utama dan pengangkatan di Pulau Seram diawali pada Miosen Akhir
– Pliosen Awal. Kemudian sejak terjadinya proses tersebut, Pulau Seram secara
tektonik selalu aktif. Ini diindikasikan dengan adanya pengangkatan dan erosi dari
sedimen Plio-Pleistosen dari bagian tengah pulau serta adanya proses sesar
mendatar mengiri yang sangat kuat. Bukti di lapangan dari keberadaan sesar
mendatar ini adalah adanya perubahan arah aliran sungai yang dikendalikan oleh
sesar mendatar dan adanya offset dari batuan yang ada.
22
Gambar 7. Peta geologi dan struktur permukaan di Pulau Seram
2. BURU
Pulau Buru yang terdiri dari Kabupaten Buru dan Buru Selatan
merupakan salah satu kawasan di luar busur banda (jalur gunung api)
dengan formasi geologi bervariasi antara batuan sedimen dan metamorfik.
Dalam Peta sketsa geologi Pulau Buru dan Pulau Seram, ditemukan 3 (tiga)
material utama penyusun Pulau Buru. Ketiga formasi dimaksud berada pada
bagian selatan, utara dan formasi deposisi di bagian timur laut, yang masing-
masing dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Batuan Sedimen di bagian selatan yang kebanyakan dijumpai pada
tempattempat dengan permukaan air yang dangkal,
2. Batuan Metamorfik yang mirip dengan tipe batuan benua yang meliputi
filit, batu sabak, sekis, arkose serta greywacke meta yang dominan
berada pada bagian utara Pulau Buru,
3. Endapan Batuan sedimen berumur neogen bagian atas ditemukan pada
bagian timur laut sekitar Kawasan Waeapo tersusun dari endapan
Aluvium dan Kolovium berupa bongkahan, kerikil, lanau, konglomerat,
lumpur dan gambut. Sedangkan di sepanjang pantai utara terdapat jalur
endapan pantai dan aluvio-kolovium yang diselingi dengan terumbu
karang angkatan (uplifed coral reef). Keberadaan sesar pada masing-
masing pulau akan berpengaruh terhadap potensi gerakan tanah dan
longsor.
23
Gambar 8. Peta Geologi Pulau Buru
Stratigrafi Regional
24
Formasi Ghegan tersebar di bagian barat, selatan, dan setempat di bagian
tengah daerah penyelidikan. Terdiri dari batugamping dolomitan, kalkarenit,
serpih, dan napal yang berumur Trias. Singkapan batugamping paling banyak
terdapat di Daerah Biloro dan Pasir Putih, di bagian barat daerah penyelidikan.
Formasi Dalan penyebarannya meliputi bagian barat, selatan, dan timur daerah
penyelidikan. Bagian barat berada di sekitar Gunung (Kaku) Mortinatina
memanjang ke arah timur, Kaku Palatmada dan Kaku Wadokan yang
tersingkap karena adanya lipatan antiklin yang mengakibatkan satuan ini
terangkat ke permukaan. Formasi ini menempati hampir 16 % dari luas daerah
penyelidikan. Terdiri dari batupasir, serpih, batulanau, dan konglomerat yang
berumur Trias. Batupasir dan serpih dapat ditemukan di Sungai Waedalam dan
Waenoso yang umumnya berlapis baik. beberapa lokasi memperlihatkan
perselingan antara batupasir dan serpih. Salah satunya di bukit Fatu Tofi,
batupasir berselingan dengan serpih (N160°E/31°). Batupasir berwarna abu-
abu kecoklatan, getas, ukuran butir pasir sedang-halus, non karbonatan,
ketebalannya bervariasi antara 10 - 60 cm. Sedangkan serpih berwarna abu-abu
tua-hijau, ukuran lempung, non karbonatan, ketebalan antara 5 - 30 cm.
3. Kelompok Jura - Eosen (JE)
Terdiri dari Formasi Mefa, Diabas dan Formasi Kuma. Formasi Mefa
terdapat setempat-setempat dengan areal yang sangat sempit, di bagian utara
sekitar Teluk Bara dan Leksula di bagian selatan daerah penyelidikan formasi
ini terdiri dari lava basal dan tuf yang berumur Jura. Tuf tersingkap di Sungai
Waekali dan Waenoso bersisipan lava basal (N80°E/40°), setempat terdapat
lava berstruktur lava bantal (pillow lava). Lava berwarna segar abu-abu tua,
keras dan banyak terdapat rongga amigdaloid yang terisi kuarsa serta
berkembang kekar yang telah terisi oleh kuarsa. Tuf berwarna abu-abu tua
sampai hijau tua, menyerpih dan pada beberapa bagian yang terkekarkan telah
terisi oleh mineral kuarsa berwarna putih kecoklatan. Diabas terdapat
setempat-setempat di sekitar Tanjung Kramat dan Tanjung Waat, bagian timur
Pulau Buru, berumur Jura - Kapur. Formasi Kuma tersebar di bagian barat,
yaitu Daerah Pasir Putih, Fogi, Sekat, memanjang dan meluas ke arah selatan
sampai ke Waemala, Tifu, Leksula dan Walbesi. Terdiri dari kalsilutit, lutit
25
rijangan, rijang napal, dan konglomerat yang berumur Kapur - Paleosen.
Dinding Sungai Wamsasi bagian hulu tersingkap batugamping (kalsilutit)
berwarna putih kotor sampai kecoklatan, sangat keras, tersusun oleh butiran
yang sangat halus, karbonatan dan terdapat urat kuarsa.
4. Kelompok Oligosen (To)
Kelompok ini tersusun oleh Formasi Waeken yang terdapat setempat-
setempat di sekitar Kampung Waeken, Daerah Mangeswain dan Waemulang.
Terdiri dari napal, napal pasiran, dan kalsilutit yang berumur Oligosen -
Miosen Tengah.
5. Kelompok Miosen (Tm)
Kelompok Miosen terdiri dari Formasi Wakatin, Formasi Hotong, dan
Formasi Ftau. Formasi Wakatin terdapat setempat-setempat, terutama di
Gunung Sannerpoon. Terdiri dari batugamping koral yang berumur Miosen
Tengah - Miosen Atas.Formasi Hotong penyebarannya di Daerah Fogi, Biloro,
memanjang ke arah timur, yaitu selatan Waekaku dan sekitar Teluk Bara yang
terdiri dari batupasir, serpih, lempung, batulanau, batugamping dan
konglomerat yang berumur Miosen Tengah - Miosen Atas.Formasi Ftau hanya
terdapat setempat di Daerah Waepandan, bagian baratdaya daerah penyelidikan
yang terdiri dari lava, breksi gunungapi dan tuf bersusunan andesit yang
berumur Miosen Tengah - Miosen Atas.
6. Kelompok Pliosen (Tp)
Kelompok ini terdiri dari andesit dan konglomerat Formasi Leko. Andesit
hanya terdapat di satu tempat, yaitu di Daerah Tifu dengan penyebaran yang
sangat sempit dari andesit blotit yang berumur Pliosen. Formasi Leko
penyebarannya setempat di Daerah Sekat, Fogi, Balpetu, Biloro, dan tersebar
agak luas di sekitar Daerah Bara, bagian utara daerah penyelidikan yang terdiri
dari konglomerat, batupasir, dan batugamping yang berumur Pliosen.
Konglomerat dapat dijumpai di Daerah Sekat. Konglomerat secara umum
berwarna abu-abu kecoklatan, terdiri dari fragmen berupa sekis, batugamping,
kuarsa, batupasir yang berbentuk bulat- membulat tanggung yang tertanam
pada batupasir karbonatan. Batugamping klastik massif berwarna coklat muda,
sangat keras, berukuran butir pasir kasar-sedang, dan karbonatan.
26
7. Batuan Gunungapi Ambalau (Tpa)
Kelompok Batuan Gunungapi Ambalau meliputi seluruh daratan Pulau
Ambalau, kecuali pada beberapa bagian bibir pantai yang bagian atasnya
ditumbuhi oleh batugamping terumbu (Ql) . Batuan gunungapi terdiri dari lava
dan piroklastik bersusunan andesit yang berumur Pliosen.
8. Kelompok Plistosen (Qp)
Kelompok ini terdiri dari batugamping terumbu dan endapan undak.
Batugamping tumbuh baik di sepanjang pantai utara sampai timurlaut Pulau
Buru, yaitu mulai dari Daerah Wapela sampai Namlea yang terdiri dari
batugamping terumbu berumur Plistosen – Holosen, menjemari dengan
Endapan Undak. Endapan undak tersebar di bagian pesisir utara daerah
penyelidikan, mulai dari Daerah Tanjung Karang ke arah timur sampai Daerah
Wapela. Selain itu, di Daerah Waeleman dan Parbulu, yaitu muara Sungai
Waetina, Waekiba, Waekua, dan Waelata yang terdiri dari bongkah, kerikil,
pasir, lanau dan lempung yang berumur Plistosen - Holosen.
9. Endapan Holosen (Qh)
Kelompok Endapan Holosen terdiri dari endapan danau dan aluvium.
Endapan danau terdapat di Danau Rana, sepanjang Sungai Waersali yang
bermuara ke Danau Rana yang terdiri dari kerikil, pasir, lanau, dan gambut.
Sedangkan aluvium tersebar luas di Daerah Waeapo, mulai dari bibir Teluk
Kayeli masuk ke arah hulu Sungai Waeapo. Di beberapa tempat penyebarannya
pada muara sungai besar, terutama di bagian utara daerah penyelidikan, seperti
Waebebek, Waeduna, Waemana, Waewangi, Waepati, dan Waespait. Di
selatan hanya terdapat di muara Sungai Waetirbala, Waekolo, Waesamana,
Waemala, dan Waekuma yang terdiri dari bongkahan material lepas, kerikil,
pasir, lanau, dan lumpur yang berumur Holosen. Batuan ubahan didominasi
oleh batuan hasil silisifikasi dan mineral lempung. Beberapa tempat di Sungai
Waedalam batuan telah mengalami ubahan, diantaranya silisifikasi. Selain itu,
di Sungai Waenoso terdapat juga jenis ubahan yang didominasi mineral
lempung. Berdasarkan hasil analisis PIMA, mineral ubahan lempung
didominasi oleh Illite. Keberadaannya beasosiasi dengan silisifikasi, terutama
di zona breksi hidrothermal. Dari dua tipe ubahan di atas dapat
27
diinterpretasikan bahwa paling sedikit terdapat dua tipe fluida yang pernah
berinteraksi dengan batuan induk. Pertama, fluida bersifat netral (pH
mendekati 7) jenuh silika yang menyebabkan proses silisifikasi. Kedua,
menyusul fluida pertama, fluida bersifat asam (pH rendah) yang menyebabkan
pembentukan mineral ubahan lempung. Aktivitas tektonik mempengaruhi
batuan di daerah penyelidikan yang terlihat dari penyebaran batuan malihan
dan batuan sedimen Pra-Tersier dengan pola jurus bervariasi dan kemiringan
yang besar. Poros lipatan pada batuan sedimen Pra-Tersier, mulanya berarah
sesuai dengan pola arah cekungan, yaitu baratlaut -tenggara. Lipatan terbentuk
akibat gaya memadat yang berarah timurlaut - baratdaya. Akibat proses
tektonik selanjutnya, bersamaan dengan pelipatan dan pengangkatan pada
Tersier Akhir, poros lipatan terlipat dan arahnya berubah pada barat - timur,
disebabkan oleh gaya memadat berarah utara - selatan. Hal ini terlihat pada
struktur Antiklin Palatmada dan Sinklin Palatmada. Hasil pengamatan di
lapangan, banyak kekar yang terbentuk. Seperti halnya di Sungai Waenoso,
kekar berkembang pada lava basal dengan arah N 120o E / 72o sampai N 145o
E / 43o. Umumnya kekar-kekar tersebut telah terisi oleh kuarsa. Sesar yang
ditemukan berupa sesar normal dan mendatar. Sesar normal di sekitar Sungai
Waeapo, Danau Rana, selatan Teluk Bara, dan Kampung Mageswain. Danau
Rana merupakan lekukan tektonik (terban) yang dibatasi sesar normal. Sesar
mendatar berarah timurlaut - baratdaya dan baratlaut - tenggara. Sesar Wageren
(Tjokrosapoetro, dkk., 1993) panjangnya mencapai 63 km, dari Danau Rana
sampai Kampung Waperan di pantai timurlaut. Sesar ini diperkirakan
memanjang melalui bawah laut, ditunjukkan oleh curamnya batimetri gawir
bawah laut di utara kampung. Sesar ini berubah menjadi sesar normal di tepi
selatan Danau Rana, bagian utara merupakan bongkah yang turun. Sepanjang
sesar, terutama yang di timur Danau Rana ditemukan jalur terbreksikan dan
terkadang milonit batuan malihan. Sesar mendatar lain ditemukan di pantai
utara dan di sekitar Waeapo. Sesar tersebut memotong undak Sungai Waeapo
dan undak pantai (Qp), diduga berumur Kuarter Bawah. Sesar Mendatar
Waekuma yang berarah relatif utara – selatan memanjang dari Sungai
Waekuma - Waedalam - Waenoso. Dicirikan oleh kelurusan lembah Sungai
28
Waekuma ke Sungai Waenoso. Selain itu, kelurusan punggungan Kaku
Wadokan dengan Kaku Tofi yang terpisahkan oleh lembah Sungai Waenoso.
Sesar ini diperkirakan mempunyai pergerakan mengiri (sinistral) dengan
kemiringan 41o ke arah barat daya. Beberapa kedudukan gores garis terukur
diantaranya berarah N 143o E / 41o dengan arah pitch 11o. Selain gores garis
ditemukan juga zona hancuran dan breksiasi. Diperkirakan, sesar inilah yang
mengontrol kemunculan beberapa mata air panas di Sungai Waenoso
(Manifestasi Kepalamadan).
Masyarakat Provinsi Maluku terdiri dari berbagai suku dan agama Beberapa
suku di wilayah ini umumnya memiliki kekerabatan yang diika dengan marga atau
fam. Pengelompokkan masyarakat di Maluku biasanya didasarkan pada urutan dan
asal tempatnya seperti dari pulau Seram, Banda dan sebagaian kepulauan Kei
bagian Selatan dan Tenggara, Halmahera dan Tidore, bahkan ada sebagian
masyarakat Maluku yang berasal dari daerah bagian Barat terutama dari pulau Jawa
(Tuban).
Ikatan tradisi kekeluargaan yang sampai saat ini masih tetap dilestarikan
atau dipertahankan adalah ikatan ”Pela” dan ”Gandong”. Ikatan-ikatan tersebut
menggambarkan tentang persekutuan yang terjalin dan terbina secara bersahabat
antar desa, baik antar desa dalam satu pulau atau antar desa yang berlainan pulau.
Ikatan ini telah dilakukan atau terbentuk sejak zaman nenek moyang orang Maluku
dengan mengandung unsur-unsur budaya luhur dan religie magis. Ikatan-ikatan
yang terjalin begitu lama berfungsi sebagai suatu tatanan untuk menjaga
persaudaraan diantara sesama warga pela dan gandong serta kerukunan beragama
diantara sesama warga masyarakat yang berbeda keyakinan atau agamanya.
Kondisi sosial dan budaya masyarakat Maluku dapat dilihat dari adanya
ikatan emosional kerja sama yang dikenal dengan ”Masohi” atau ”Gotong
Royong”. Budaya ini bersifat hubungan kerja sama yang dilakukan secara bersama
sama dalam menyelesaikan suatu kegiatan atau pekerjaan dengan membutuhkan
29
dana, daya dan lain-lain sehingga perlu dilakukan antar desa maupun antar
masyarakat walaupun berbeda ikatan pela dan gandong. Dengan demikian semua
masyarakat Maluku wajib melaksanakan ikatan yang telah terbina dari zaman
nenek moyangnya. Kondisi seperti ini yang merupakan kearifan lokal (local
wisdom) dengan potensi alam yang tersedia seharusnya menjadi arah dan strategi
kebijakan pembangunan Provinsi Maluku. Kearifan lokal yang masih
dipertahankan untuk menjaga kelestarian alam seperti tidak boleh memanen ikan,
tanaman pada waktu-waktu tertentu dikenal dengan istilah daerah yakni ”Sasi”. Di
beberapa wilayah lebih dikenal dengan sasi di sektor perikanan. Dimana tidak boleh
mengambil ikan sebelum berakhirnya masa sasi. Sasi ini telah berlangsung turun
temurun, bila ada masyarakat yang melanggar aturan ini biasanya dikenai dengan
sanksi adat.
30
sektor lainnya. serta memiliki nilai tambah (value added) baik menurut lapangan
usaha (sektor) maupun komponennya akan menjadi daya tarik dan daya kepekaan
31
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Maluku Selatan disusun oleh kegiatan endapan laut dangkal berumur Plio-
Plistosen sampai Holosen. Batuannya terdiri dari batu gamping, napal dan abut
lumpur gamping dan endapa alluvium.
32
DAFTAR PUSTAKA
Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa.
Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.
Pinke, F. 1938. The expedition ship and the naval personell’s share. The Snellius
Expedition. Vol. I. Voyage. Chapter II. E. J. Brill, Leiden: 1-71.
van Riel, P. M. 1934. The bottom configuration in relation to the flow of the
bottom water. Snellius Expedition. Vol.II. Part 2, Chapter II. E. J. Brill, Leiden.
van Riel, P. M. 1938. The Snellius Expedition. The voyage in the Netherlands
East-Indies. E. J. Brill, Leiden.
33