Panduan Budaya Keselamatan Rumah Sakit RSI

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

PANDUAN

BUDAYA KESELAMATAN RUMAH SAKIT

RUMAH SAKIT ISLAM WONOSOBO

2019
Daftar isi

BAB I. DEFINISI 3
BAB II. RUANG LINGKUP 4
BAB III. TATALAKSANA 8
BAB IV. DOKUMENTASI 13
BAB I. DEFINISI

Budaya organisasi adalah suatu pola keyakinan, nilai-nilai perilaku, norma-norma


yang disepakati/diterima dan melingkupi semua proses sehingga membentuk bagaimana
seseorang berperilaku dan bekerja bersama. Budaya organisasi merupakan kekuatan yang
sangat besar dan sesuatu yang tetap ada walaupun terjadi perubahan tim dan perubahan
personal.

Budaya keselamatan memiliki 4 (empat) pengertian utama:

1. Kesadaran (awareness) yang aktif dan konstan tentang potensi terjadinya


kesalahan,
2. Terbuka dan adil,
3. Pendekatan sistem,
4. Pembelanjaran dari pelaporan insiden.

Manfaat penting dari budaya keselamatan (NPSA, 2004):


a. Organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika
kesalahan telah terjadi.
b. Meningkatkan pelaporan insiden dan belajar dari insiden yang terjadi untuk
mengurangi berulangnya dan keparahan dari insiden keselamatan.
c. Kesadaran keselamatan pasien yaitu bekerja untuk mencegah error dan
melaporkan bila terjadi kesalahan sehinnga dapat mengurangi cedera fisik dan
psikis terhadap pasien.
d. Mengurangi biaya pengobatan dan ekstra terapi.
e. Mengurangi sumber daya untuk manajemen komplain dan klaim.
f. Mengurangi jumlah staf yang stres, merasa bersalah, malu, kehilangan
kepercayaan diri, dan moril rendah.
BAB II. RUANG LINGKUP

Menurut Reason, komponen budaya keselamatan terdiri atas :


1. Budaya pelaporan,
2. Budaya adil,
3. Budaya fleksibel,
4. Budaya pembelanjaran.

Keempat komponen tersebut mengidentifikasikan nilai-nilai kepercayaan dan


perilaku yang ada dalam organisasi dengan budaya informasi dimana insiden dilaporkan
untuk dilakukan tindakan untuk meningkatkan keamanan.

Organisasi yang aman tergantung pada kesediaan karyawan untuk melaporkan


kejadian cedera dan nearmiss (learning culture). Kerelaan karyawan dalam melaporkan
insiden karena kepercayaan bahwa manajemen akan memberikan support dan penghargaan
terhadap pelaporan insiden dan tindakan disiplin diambil berdasarkan akibat dari resiko
(risk taking), merupakan pelaksanaan budaya adil. Kerelaan karyawan untuk melaporkan
insiden karena atasan bersikap tenang ketika informasi disampaikan sebagai bentuk
penghargaan terhadap pengetahuan petugas, merupakan pelaksanaan budaya fleksibel.
Terpenting, kerelaan karyawan untuk melaporkan insiden karena kepercayaan bahwa
organisasi akan melakukan analisa informasi insiden untuk kemudian dilakukan perbaikan
sistem, merupakan pelaksanaan budaya pembelanjaran. Interaksi antara keempat
komponen tersebut akan mewujudkan budaya keselamatan yang kuat.

Bagian yang paling mendasar dari organisasi dengan budaya keselamatan (culture
of safety ) adalah meyakinkan bahwa organisasi memiliki “keterbukaan dan adil” (being
open and fair ). Ini berarti bahwa (NSPA, 2004):
a. Staff yang terlibat dalam insiden merasa bebas untukmenceritakan insiden
tersebut atau terbuka tentang insiden tersebut;
b. Staff dan organisasi bertanggung jawab untuk tindakan yangdiambil;
c. Staff merasa bisa membicarakan semua insiden yang terjadi kepada teman
sejawat dan atasannya;
d. Organisasi kesehatan lebih terbuka dengan pasien-pasien. Jikaterjadi insiden,
staff dan masyarakat akan mengambil pelajaran dari insiden tersebut;
Untuk menciptakan lingkungan yang terbuka dan adil kita harus menyingkirkan
dua mitos utama:
a. Mitos kesempurnaan: jika seseorang berusaha cukup keras, mereka tidak akan
berbuat kesalahan
b. Mitos hukuman: jika kita menghukum seseorang yang melakukan kesalahan,
kesalahan yang terjadi akan berkurang; tindakan remedial dan disipliner akan
membawa perbaikan dengan meningkatnya motivasi.

Terbuka dan adil sangat penting diterapkan karena staff tidak akan membuat
laporan insiden jika mereka yakin kalau laporan tersebut akan menyebabkan mereka atau
koleganya kena hukuman atau tindakan disiplin. Lingkungan yang terbuka dan adil akan
membantu staff untuk yakin membuat laporan insiden yang bisa menjadi pelajaran untuk
perbaikan.

Faktor-faktor yang memberi kontribusi (Contributory factors) terjadinya insiden


adalah:
1) Pasien: Pasien bisa menjadi faktor yang memberi kontribusi terjadinya
insiden seperti umur atau perbedaan bahasa.
2) Individual: Faktor individual termasuk faktor psikologis, faktor
kenyamanan, dan hubungan kerja.
3) Komunikasi (Communication): Komunikasi termasuk komunikasi tertulis,
verbal dan nonverbal. Komuikasi bisa mengkontribusi terjadinya insiden
jika komunikasi tidak efektif, tidak adekuat, membingungkan atau
komunikasi terlambat. Faktor-faktorini berkaitan antar individual, dalam
atau antar organisasi.
4) Tim dan faktor sosial, yang termasuk dalam faktor-faktor ini adalah:
komunikasi dalam satu tim; gaya kepemimpinan; struktur hierarki
tradisional; kurang menghargai anggota senior dalam tim dan persepsi staf
terhadap tugas/tanggung jawab.
5) Pendidikan dan pelatihan: Ketersediaan dan kualitas pelatihan untuk staff
sangat berpengaruh pada kemampuan staff melakukan pekerjaannya atau
untuk merespon pada situasi darurat/emergency.
6) Peralatan dan sumber daya (Equipment and resources), yang termasuk pada
faktor peralatan adalah apakah peralatan tersebut sesuai dengan
kebutuhannya; apakah staf mengetahui cara menggunakan alat tersebut;
dimana menyimpannya dan seberapa sering peralatan diperiksa.
7) Faktor lingkungan (environment factors) dan kondisi kerja (Working
conditions): hal ini mempengaruhi kemampuan staff untuk bekerja,
termasuk gangguan dan interupsi dalam bekerja seperti: suhu ruangan yang
tidak menyenangkan; penerangan yang tidak adekuat; keributan dan ruang
kerja yang sempit.
8) Waktu (Timing): Faktor waktu ini adalah kombinasi antara faktor penyebab
dengan kegagalan pada system (pencegahan atau control) yang merupakan
penyebab insiden terjadi.
9) Konsekuensi (Consequences): Ini adalah akibat atau dampak dari insiden
yang bisa terjadi, yaitu: level rendah (low), level menengah (moderate),
level parah (severe) dan kematian(death).
10) Faktor yang mengurangi akibat insiden (Mitigating factors):Beberapa
faktor, baik kejadian yang merupakan kesempatan ataukeberuntungan,
kemungkinan mempunyai faktor yang bisa mengurangi akibat insiden yang
lebih serius. Sangat penting jika faktor-faktor ini dijabarkan pada saat
investigasi sehingga faktortersebut bisa mendukung praktek keselamatan
(Safety Practice)
BAB III. TATALAKSANA

Keselamatan pasien merupakan komponen terpenting dalam mutu pelayanan


kesehatan. Rumah sakit sebagai organisasi pelayanan kesehatan harus mampu
meningkatkan keselamatan pasien dengan mengusahakan terwujudnya budaya
keselamatan. Dalam membangun budaya keselamatan, sangat penting bagi rumah sakit
untuk mengukur perkembangan budaya dengan melakukan pengukuran budaya secara
berkala. Pengukuran pertama sangat penting sebagai data dasar yang akan dipergunakan
sebagai acuan penyusunan program.

Survey Budaya Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Hospital Survey on Patient


Safety Culture),dikeluarkan oleh AHRQ (American Hoaspital Research and Quality) pada
bulan November, 2004, didesain untuk mengukur opini staf rumah sakit mengenai isue
keselamatan pasien, medical errors, dan pelaporan insiden. Survey ini terdiri atas 42 item
yang mengukur 12 dimensi keselamatan pasien.

Tabel 1-1. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien dan Definisi

Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Definisi

1. Komunikasi Terbuka Staf bebas berbicara ketika mereka melihat


sesuatu yang berdampak negatif bagi pasien
dan bebas menanyakan masalah tersebut
kepada atasan
2. Komunikasi dan Umpan Balik Staf diberi informasi mengenai insiden yang
Mengenai Insiden terjadi, diberi umpan balik mengenai
implementasi perbaikan, dan mendiskusikan
cara untuk mencegah kesalahan
3. Frekuensi Pelaporan Insiden Kesalahan dengan tipe berikut ini
dilaporkan: (1)kesalahan diketahui dan
dikoreksi sebelum mempengaruhi pasien
(2)kesalahan tanpa potensi cedera pada
pasien (3)kesalahan yang dapat mencederai
pasien tetapi tidak terjadi
4. Handoffs dan Transisi Informasi mengenai pasien yang penting
dapat dikomunikasikan dengan baik antar
unit dan antar shift.
5. Dukungan Managemen Untuk Managemen rumah sakit mewujudkan iklim
Keselamatan Pasien bekerja yang mengutamakan keselamatan
pasien dan menunjukkan bahwa keselamatan
pasien merupakan priotitas Utama
6. Respon Nonpunitif (tidak menghukum) Staf merasa kesalahan dan pelaporan insiden
Terhadap Kesalahan tidak dipergunakan untuk menyalahkan
mereka dan tidak dimasukkan kedalam
penilaian personal
7. Pembelajaran Organisasi – Peningkatan Kesalahan dipergunakan untuk perubahan
Berkelanjutan kearah positif dan perubahan dievaluasi
Efektifitasnya
8. Persepsi Keselamatan Pasien Secara Prosedur dan sistem sudah baik dalam
Keseluruhan mencegah kesalahan dan hanya ada sedikit
masalah keselamatan pasien
9. Staffing Jumlah staf cukup untuk menyelesaikan
beban kerja dan jumlah jam kerja sesuai
untuk memberikan pelayanan yang terbaik
untuk keselamatan pasien
10. Ekspektasi dan Upaya Atasan Dalam Atasan mempertimbangkan masukan staf
Meningkatkan Keselamatan Pasien untuk meningkatkan keselamatan pasien,
memberikan pujian bagi staf yang
melaksanakan prosedur keselamatan pasien,
dan tidak terlalu membesar-besarkan
masalah keselamatan pasien
11. Kerjasama Tim Antar Unit Unit kerja di rumah sakit bekerja sama dan
berkoordinasi antara satu unit dengan unit
yang lain untuk memberikan pelayanan yang
terbaik untuk pasien
12. Kerjasama Dalam Tim Unit Kerja Staf saling mendukung satu sama lain, saling
menghormati, dan bekerja sama sebagai tim

Survey ini juga mengandung dua pertanyaan kepada responden mengenai tingkat budaya
keselamatan di unit kerja masing-masing dan banyaknya jumlah insiden yang telah mereka
laporkan selama satu tahun terakhir. Sebagai tambahan, responden juga ditanyai mengenai latar
belakang responden (unit kerja, jabatan staf, apakah mereka berinteraksi langsung dengan pasien
atau tidak.

Tingkat Maturitas Budaya Keselamatan Pasien


Ashcroft (2005) mengembangkan pola untuk menilai sejauhmana tingkat maturitas
sebuah institusi dalam menerima budaya keselamatan pasien dan membagi tingkat
maturitas budaya keselamatan pasien menjadi 5 (lima) tingkat, yaitu patologis, reaktif,
kalkulatif, proaktif dan generatif.

Pada level patologis, institusi belum mempunyai sistem keselamatan pasien,


instiusi melihat keselamatan pasien sebagai masalah dan beban. Institusi atau organisasi
berusaha untuk menekan atau membatasi informasi serta berfokus pada budaya saling
menyalahkan. Organisasi pada level reaktif sudah mempunyai sistem keselamatan pasien
secara terbatas, organisasi memangdang bahwa keselamatan pasien sebagai hal yang
penting namun aktivitas yang dilakukan hanya bersifat reaktif kala terjadi cedera medis.
Organisasi yang berada pada level kalkulatif cenderung terikat pada aturan, posisi dan
otoritas departemen. Pendekatan sistematik sudah dimiliki, tetapi penerapan program
keselamatan masih terbatas di lingkup cedera medis yang sering terjadi. Organisasi di level
proaktif sudah memiliki sistem yang tertata baik dan kegiatannya difokuskan pada upaya
untuk mencegah dan mengantisipasi cedera dalam skala yang lebih luas dan sudah
melibatkan stakeholder. Pada tataran organisasi yang generatif, yang merupakan level
tertinggi dalam budaya keselamatan pasien, sistem terus dipelihara dan diperbaiki dan
menjadi bagian dari misi organisasi. Organisasi secara aktif mengevaluasi efektivitas
intervensi yang telah dikembangkan dan terus belajar dari kegagalan dan kesuksesan.

Tabel 2-2. Tingkat Maturitas Budaya Keselamatan Pasien (fleeming, M., 2008)

Tingkat Maturitas Pendekatan dalam Peningkatan Budaya KP

Patologis Belum memiliki sistem yang mendukung kultur


keselamatan pasien, lingkungan kerja masih bersifat
menyalahkan.
Reaktif Sistem bersifat fragmentasi, dikembangkan hanya
sekedar menjawab akreditasi organisasi dan reaktif
terhadap cedera medis yang terjadi.
Kalkulatif Sistem tertata baik namun implementasi masih bersifat
segmental.
Proaktif Sistem bersifat komprehensif, berskala luas dan
melibatkan stakeholder, pendekatan berbasis pada bukti
(evidence based) sudah diterapkan dalam kegiatan
organisasi.
Degeneratif Budaya keselamatan pasien menjadi misi sentral dalam
organisasi, organisasi selalu mengevaluasi efektifitas
intervensi dan selalu belajar dari kegagalan dan
kesuksesan.
BAB IV. DOKUMENTASI

Pelaporan insiden keselamatan pasien merupakan kegiatan yang penting dalam


mengupayakan keselamatan pasien, hal ini bermanfaat sebagai proses pembelajaran
bersama. Banyak metode yang digunakan untuk mengidentifikasi risiko, salah satu caranya
adalah dengan mengembangkan sistem pelaporan dan sistem analisis. Dapat dipastikan
bahwa sistem pelaporan akan mengajak semua orang dalam organisasi untuk peduli akan
bahaya/potensi bahaya yang dapat terjadi kepada pasien. Pelaporan insiden penting karena
akan menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang
kembali, pelaporan juga dapat digunakan untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya
error sehingga diharapkan dapat mendorong dilakukannya investigasi selanjutnya.

Untuk memulai kegiatan pelaporan ini, perlu dibuat suatu sistem pelaporan insiden
di rumah sakit meliputi kebijakan, alur pelaporan, formulir pelaporan dan prosedur
pelaporan yang harus disosialisasikan pada seluruh karyawan. Insiden yang dilaporkan
adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi. Laporan
insiden ini dibuat oleh semua staf rumah sakit yang pertama menemukan kejadian dan staf
yang terlibat dalam suatu kejadian. Masalah yang sering muncul dalam pelaporan insiden,
diantaranya adalah laporan masih dipersepsikan sebagai “pekerjaan tambahan” perawat,
laporan sering disembunyikan/underreport karena takut disalahkan, terlambat dalam
pelaporan, dan laporan miskin data karena ada budaya blame culture .

Supaya kegiatan pelaporan dapat berjalan dengan baik, karyawan/perawat perlu


diberikan pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden mulai dari maksud, tujuan dan
manfaat laporan, alur pelaporan insiden ke tim KP secara internal (di rumah sakit) ataupun
alur pelaporan secara eksternal (di luar rumah sakit), bagaimana cara mengisi formulir
laporan insiden, kapan harus melaporkan, pengertian-pengertian yang digunakan dalam
sistem pelaporan dan cara menganalisa laporan.

Alur pelaporan Insiden ke Tim SKP di RS :


1) Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD) di rumah sakit, wajib segera
ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/akibat yang
tidak diharapkan.
2) Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi
Formulir Laporan Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada atasan langsung
(paling lambat 2 x 24 jam); jangan menunda laporan.
3) Setelah selesai mengisi laporan, segera serahkan kepada atasan langsung
pelapor. (atasan langsung disepakati sesuai keputusan manajemen:
KepalaBagian/Bidang/Instalasi/Unit Ketua Komite Medis).
4) Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko
terhadap insiden yang dilaporkan.
5) Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisa yang akan
dilakukan sebagai berikut :
a) Grade Biru : Investigasi sederhana oleh atasan langsung,
waktu maksimal 1 minggu
b) Grade Hijau : Investigasi sederhana oleh atasan langsung,
waktu maksimal 2 minggu
c) Grade Kuning : Investigasi Komprehensif/Analisis Akar
Masalah/RCA oleh Tim KP di RS, waktu
maksimal 45 hari
d) Grade Merah : Investigasi Komprehensif/Analisis Akar
Masalah/RCA oleh Tim KP di RS, waktu
maksimal 45 hari

6) Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi


dan laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
7) Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil Investigasi dan Laporan
insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan
(RCA) dengan melakukan Regrading.
8) Untuk Grade Kuning/Merah, Tim KP di RS akan melakukan Analisis Akar
Masalah/Root Cause Analysis (RCA).
9) Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan membuat Laporan dan
Rekomendasi untuk perbaikan serta “Pembelajaran” berupa: Petunjuk /
”Safety Alert” untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
10) Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi.
11) Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik
kepada unit kerja terkait.
12) Unit kerja membuat analisa dan trend kejadian di satuan kerjanya masing-
masing.
13) Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim SKP di RS.

Anda mungkin juga menyukai