Tugas Gangguan Kebutuhan Eliminasi
Tugas Gangguan Kebutuhan Eliminasi
Tugas Gangguan Kebutuhan Eliminasi
Oleh:
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas asung kerta wara nugraha-Nyalah penulisan Makalah
Gangguan Kebutuhan Eliminasi Akibat Patologis Sistem Pencernaan Dan
Persyarafan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kelompok 2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Stroke merupakan penyakit serebrovaskular yang semakin sering
dijumpai. Di Amerika Serikat, stroke merupakan penyebab kematian terbesar
ketiga, dan menyebabkan kematian 90.000 wanita dan 60.000 pria setiap
tahun. Selain menyebabkan kematian, stoke juga merupakan penyebab
utama kecacatan dan penyebab seseorang dirawat di rumah sakit dalam
waktu lama.
Sindroma akibat gangguan peredaran darah otak ( PPDO ) atau yang dikenal
dengan istilah stroke, merupakan penyebab utama kecacatan pada kelompok usia
45 tahun keatas. Stroke sering menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik
dari segi kesehatan, ekonomi, sosial, serta membutuhkan penanganan yang
komprehensif, termasuk upaya pemulihan dalam jangka lama bahkan sepanjang
sisa hidup pasien.
Dari segi neurologik, tindakan medis dan upaya pemulihan yang dilakukan
berdasarkan pada usaha untuk mencegah kerusakan sel otak yang lebih luas,
kemungkinan terbentuknya sirkuit-sirkuit atau lintasan-lintasan penghubung yang
baru, dan fungsi yang lebih efektif dari sel-sel otak yang semula pasif atau menjadi
hipoaktif.
Perhatian harus juga diberikan pada keluarga pasien karena anggota
keluarga akan sangat mempengaruhi respon pasien terhadap keadaan yang
dideritanya. Mereka ikut berperan terhadap keberhasilan dan kegagalan upaya
pemulihan.
Pada awal setelah terjadinya stroke, pasien merasa bingung dan mengalami
ketergantungan yang sangat besar terhadap orang lain, untuk itu diperlukan seorang
pengasuh atau care giver yang dapat membantu pasien saat pasien membutuhkan
pertolongan dan membantu melatih pasien secara bertahap untuk mencapai
kemandirian
Disfungsi saluran pencernaan adalah kasus yang sering ditemukan setelah
serangan stroke, disfungsi pencernaan seperti konstipasi didapatkan pada 60%
pasien pasca stroke (Rasyid, Misbach, & Harris, 2015). Konstipasti diartikan
sebagai defekasi tidak teratur yang abnormal dan pelannya pergerakan tinja melalui
usus besar sehingga terjadi pengerasan feses tak normal yang membuat fesesnya
sulit dan kadang menimbulkan nyeri hal disebabkan karena absorbs cairan yang
berlebihan di usus besar (Guyton & Hall, 2008; Smeltzer & Bare, 2008). Dalam
diagnosa keperawatan, Konstipasi diartikan sebagai penurunan frekuensi normal
defekasi yang disertai pengeluaran feses yang sulit atau pengeluaran feses yang
sangat keras dan kering (Wilkinson & Ahern, 2012).
BAB II
PEMBAHASAN
2.2Klasifikasi Stroke
Ada beberapa macam klasifikasi stroke. Salah satu yang sering
digunakan adalah klasifikasi modifikasi Marshall, yang membagi stroke atas
(Misbach, 1999):
I. Berdasarkan Patologi Anatomi Dan Penyebabnya
1. Stroke Iskemik
Stroke iskemik merupakan stroke yang disebabkan adanya
sumbatan pada pembuluh darah di otak atau di luar otak yang
menyebabkan infark di bagian otak. Stroke iskemik dapat
disebabkan oleh plak aterosklerosis atau emboli, dan dapat
diperparah dengan hipertensi, diabetes, dan berbagai faktor risiko
lainnya.
Stroke iskemik dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu
a. Transient Ischemic Attack
Serangan iskemik transien (transient ischemic attack, TIA)
adalah hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal secara
cepat yang berlangsung urang dari 24 jam, dan diduga
diakibatkan oleh mekanisme vaskular emboli,
thrombosis, atau hemodinamik. Beberapa episode
transien/sementara berlangsung lebih dari 24 jam, tetapi
pasien mengalami pemulihan sempurna yang disebut
reversible ischemic neurological deficits (RIND).
b. Trombosis serebri
Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang
terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah
lokal.
c. Emboli serebri
Emboli serebri adalah pembentukan material dari
tempat lain dalam sistem vaskuler dan tersangkut
dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade
aliran darah.
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan subarakhnoid
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari
semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang
subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
baik di dalam jaringan otak yang mengakibatkan
perdarahan intraserebral, atau di ruang subarakhnoid yang
menyebabkan perdarahan subarakhnoid(Heart and Stroke
Foundation, 2003).
II. Berdasarkan Stadium/ Pertimbangan Waktu
1. Transient Ischemic Attack
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke
III. Berdasarkan Sistem Pembuluh Darah
1. Sistem karotis
2. Sistem vertebro-basiler
2.3Patofisiologi Stroke
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam
arteri-arteri yang membentuk Sirkulus Willisi (Gambar 1): arteria karotis interna
dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya.
Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15
sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa
oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang
diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat
sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang
mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh
darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa
1. Keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri seperti pada aterosklerosis dan
trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok
atau hiperviskositas darah
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh ekstrakranium
4. Ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid (Price et al,
2006).
Suatu stroke mungkin didahului oleh Transient Ischemic Attack (TIA) yang
serupa dengan angina pada serangan jantung.TIA adalah serangan-serangan defisit
neurologik yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung
membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya
dalam 24 jam. TIA mendahului stroke trombotik pada sekitar 50% sampai 75%
pasien (Harsono, 2009).
Secara patologi stroke dibedakan menjadi sebagai berikut:
1. Stroke Iskemik
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis
(terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan
bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:
a. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi
aliran darah.
b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus atau
perdarahan aterom.
c. Merupakan terbentuknya thrombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.
d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek.
Embolus akan menyumbat aliran darah dan terjadilah anoksia jaringan otak
di bagian distal sumbatan. Di samping itu, embolus juga bertindak sebagai iritan
yang menyebabkan terjadinya vasospasme lokal di segmen di mana embolus
berada. Gejala kliniknya bergantung pada pembuluh darah yang tersumbat.
Ketika arteri tersumbat secara akut oleh trombus atau embolus, maka area
sistem saraf pusat (SSP) yang diperdarahi akan mengalami infark jika tidak ada
perdarahan kolateral yang adekuat. Di sekitar zona nekrotik sentral, terdapat
‘penumbra iskemik’ yang tetap viabel untuk suatu waktu, artinya fungsinya dapat
pulih jika aliran darah baik kembali. Iskemia SSP dapat disertai oleh pembengkakan
karena dua alasan: Edema sitotoksik yaitu akumulasi air pada sel-sel glia dan
neuron yang rusak; Edema vasogenik yaitu akumulasi cairan ektraselular akibat
perombakan sawar darah-otak.
Edema otak dapat menyebabkan perburukan klinis yang berat beberapa hari
setelah stroke mayor, akibat peningkatan tekanan intrakranial dan kompresi
struktur-struktur di sekitarnya (Smith et al, 2001).
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua
stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga
terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan
otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan
subarakhnoid (PSA) adalah aneurisma sakular dan malformasi arteriovena (MAV).
Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau amfetamin,
karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan intraserebrum
atau subarakhnoid.
Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling sering
terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu dari
banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Biasanya
perdarahan di bagian dalam jaringan otak menyebabkan defisit neurologik fokal
yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang
dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan merupakan
tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula interna.
Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan ketergantungan
dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan tekanan di dalam
dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah merembes ke ruang subarakhnoid dan
menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan serebrospinalis.
Darah ini selain dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga dapat
melukai jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan yang tinggi saat pertama
kali pecah, serta mengiritasi selaput otak (Price, 2005).
2.4Efek Stroke
Otak mengontrol banyak hal yang berlangsung di tubuh kita.
Kerusakan otak dapat mempengaruhi pergerakan, perasaan, perilaku,
kemampuan berbicara/berbahasa dan kemampuan berpikir seseorang. Stroke
dapat mengakibatkan gangguan beberapa bagian dari otak, sedangkan
bagian otak lainnya bekerja dengan normal.
Pengaruh stroke terhadap seseorang tergantung pada:
1. Bagian otak yang terkena stroke
2. Seberapa serius stroke yang terjad
3. Usia, kondisi kesehatan dan kepribadian penderitanya (Heart and
Stroke Foundation, 2003).
Beberapa akibat stroke yang sering dijumpai adalah (Heart and
Stroke Foundation, 2003):
1. Kelumpuhan satu sisi tubuh.
Ini merupakan salah satu akibat stroke yang paling sering terjadi.
Kelumpuhan biasanya terjadi di sisi yang berlawanan dari letak lesi
di otak, karena adanya pengaturan representasi silang oleh otak.
Pemulihannya bervariasi untuk masing-masing individu
2. Gangguan penglihatan.
Penderita stroke sering mengalami gangguan penglihatan berupa
defisit lapangan pandang yang dapat mengenai satu atau kedua mata.
Hal ini menyebabkan penderita hanya dapat melihat sesuatu pada satu
sisi saja, sehingga misalnya ia hanya memakan makanan di sisi yang
dapat dilihatnya atau hanya mampu membaca tulisan pada
satu sisi buku saja
3. Afasia.
Afasia adalah kesulitan berbicara ataupun memahami pembicaraan.
Stroke dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
berbicara/berbahasa, membaca dan menulis atau untuk memahami
pembicaraan orang lain. Gangguan lain dapat berupa disatria, yaitu
gangguan artikulasi kata-kata saat berbicara
4. Gangguan persepsi.
Stroke dapat mengganggu persepsi seseorang. Penderita stroke
dapat tidak mengenali obyek-obyek yang ada di sekitarnya atau
tidak mampu menggunakan benda tersebut
5. Lelah.
Penderita stroke sering mengalami kelelahan. Mereka membutuhkan
tenaga ekstra untuk melakukan hal-hal yang biasa dikerjakan sebelumnya.
Kelelahan juga dapat terjadi akibat penderita kurang beraktivitas, kurang
makan atau mengalami depresi
6. Depresi.
Depresi dapat terjadi pada penderita stroke. Masih merupakan perdebatan
apakah depresi yang terjadi merupakan akibat langsung dari kerusakan
otak akibat stroke atau merupakan reaksi psikologis terhadap dampak
stroke yang dialaminya. Dukungan keluarga akan sangat membantu
penderita
7. Emosi yang labil.
Stroke dapat mengakibatkan penderitanya mengalami ketidakstabilan emosi
sehingga menunjukkan respons emosi yang berlebihan atau tidak sesuai.
Keluarga/pengasuh harus memahami hal ini dan membantu meyakinkan
penderita bahwa hal ini adalah hal yang lazim terjadi akibat stroke
dan bukan berarti ia menjadi gila
8. Gangguan memori.
Penderita stroke dapat mengalami gangguan memori dan kesulitan
mempelajari dan mengingat hal baru
9. Perubahan kepribadian.
Kerusakan otak dapat menimbulkan gangguan kontrol emosi positif
maupun negatif. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku penderita dan
caranya berinteraksi dengan lingkungannya. Perubahan perilaku ini dapat
menimbulkan kemarahan keluarga/pengasuhnya. Untungnya perubahan
perilaku ini akan mengalami perbaikan seiring dengan pemulihan
strokenya.
Memahami efek yang dapat terjadi pada seseorang yang mengalami
stroke akan sangat membantu keluarga penderita memahamai perubahan yang
terjadi pada penderita. Pengetahuan yang memadai tentang hal tersebut
dan membantu penderita melalui masa-masa sulit ini akan sangat bermanfaat
bagi upaya pemulihan penderita.
2.5Masalah Eliminasi Yang Berhubungan Dengan Stroke
Pada pasien stroke, hal-hal yang berkaitan dengan fungsi sistem sensorik
dan motorik mengalami disfungsi dan akhirnya dapat membuat ROM terbatas,
tonus otot menurun, gangguan kognitif. Menurunnya fungsi gerak pada pasien
stroke akan memberikan dampak pada ADL (Activity Daily Living’s). Hal itu
mengarah pada kemunduran fisik dan membuat pasien menjadi tergantung pada
orang lain baik sebagian dibantu (dependent ringan atau sedang) maupun
ketergantungan seluruhnya (dependent total atau berat). Penderita stroke sangat
tergantung kepada keluarganya dalam meningkatkan kemampuan pasien untuk
mandiri, meningkatkan rasa percaya diri pasien, meminimalkan kecacatan pada
stroke. Keluarga yang merupakan tumpuan utama harus diberi konseling atau
penerangan mengenai keterbatasan serta masalah yang dialami penderita (Hendro
Susilo, 2003). Pada pasien pasca stroke pada umumnya akan terjadi kerusakan
mobilitas fisik yang berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler, kelemahan,
parestesia, paralisis hipotoni (awal), paralisis spastis, serta kerusakan komunikasi
verbal yang meliputi kehilangan tonus/kontrol otot fasia/oral (Suryantika, 2011).
Perawatan umum klien stroke terdiri dari perawatan 6 B (Breath, blood,
brain, bowel, bladder, bone) dan perawatan fungsi luhur.
Berdasarkan uraian diatas, kami akan membahas masalah eliminasi yang
dialami pasien dengan stroke
Penderita stroke dapat mengalami masalah pada BAK atau BAB dan
masalah yang dapat terjadi dapat berupa sulit BAK, sulit BAB/ konstipasi, atau
BAK / BAB menjadi tidak terkontrol (urinary/ bowel incontinence). Biasanya hal
ini disebabkan oleh kelemahan otot akibat gangguan saraf yang terjadi karena
stroke, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampun
untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik dan
postural.
I. KONSTIPASI PADA PASIEN STROKE
Konstipasi merupakan keadaan tertahannya feses (tinja) dalam usus
besarpada waktu cukup lama karena adanya kesulitan dalam pengeluaran. Hal ini
terjadi akibat tidak adanya gerakan peristaltik pada usus besar sehingga memicu
tidak teraturnya buang air besar dan timbul perasaan tidak nyaman pada perut
(Akmal, dkk, 2010).
Konstipasi berarti pelannya pergerakan tinja melalui usus besar dan sering
disebabkan oleh sejumlah besar tinja yang kering dan keras pada kolon desenden
yang menumpuk karena absorpsi cairan yang berlebihan (Guyton dkk, 2007).
Konstipasi juga diartikan sebagai perubahan dari frekuensi defekasi, volume, berat,
konsistensi dan pasase dari feses tersebut (Arnaud, 2003). Usia lanjut sering
mengalami masalah konstipasi karena faktor yang mendukung, seperti
imobilisasi (Norton & Harry, 1999). Frekuensi defekasi bervariasi antara satu
individu dengan individu yang lain, sehingga konstipasi ditentukan ber-dasarkan
kebiasaan pola eleminasi orang yang normal (William & Wikins, 2000).
Menurut SDKI PPNI 2017, Penyebab Konstipasi:
Fisiologis
a. Penurunan motilitas gastrointestinal
b. Ketidakadekuatan pertumbuhan gigi
c. Ketidakcukupan diet
d. Ketidakcukupan asupan serat
e. Ketidakcukupan asupan cairan
f. Aganglionik (mis. Penyakit Hisprung)
g. Kelemahan otot abdomen
Psikologis
a. Konfusi
b. Depresi
c. Gangguan emosional
Situasional
a. Perubahan kebiasaan makan (mis.jenis makanan, jadwal maakan)
b. Ketidakadekuatan toileting
c. Aktivitas fisik harian kurang dari yang dianjurkan
d. Penyalahgunaan laksatif
e. Efek agen farmakologis
f. Ketidakteraturan kebiasaan defekasi
g. Kebiasaan menahan dorongan defekasi
h. Perubahan lingkungan
II. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Konstipasi Pada Pasien Stroke
Konstipasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor mekanis,
faktor fisiologis, faktor fungsional, faktor psikologis, dan faktor farmakologis
(Nanda, 2010). Faktor mekanis berkaitan dengan gangguan neurologis, pada
pasien stroke disebabkan oleh penurunan beberapa fungsi neurologis. Pertama
penurunan fungsi motorik yang menyebabkan terjadi imobilisasi. Gangguan
mobilitas dan ketidakberdayaan (deconditioning) adalah masalah yang paling
sering dialami pasien stroke (Wahjoepramono, 2005). Imobilisasi yang
berkepanjangan dapat mengakibatkan komplikasi pada pasien stroke salah satunya
adalah konstipasi.
Pasien stroke yang dirawat di rumah sakit sering mengalami kelemahan
anggota gerak, baik sebagian maupun seluruhnya yang menyebabkan pasien
imobilisasi. Imobilisasi yang berkepanjangan berpotensi terjadi komplikasi,
salah satunya adalah konstipasi. Konstipasi dapat menyebabkan tekanan pada
abdomen yang memicu pasien mengejan saat berdefekasi. Pada saat mengejan
yang kuat terjadi respons maneuver valsava yang dapat meningkatkan tekanan
intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial pada pasien stroke merupakan
prognosis yang buruk.
Konstipasi disebabkan oleh beberapah factor seperti, immobilitas,
gangguan neurologis, penggunaan diuretic (Wilkinson & Ahern, 2012). Pada pasien
stroke kejadian konstipasi dikaitkan dengan gangguan neurologis dimana pada
pasien stroke dapat menyebabkan gangguan syaraf otonom. Saluran gastrointestinal
dipersyarafi oleh system parasimpatis maupun simpatis dari sistem syaraf otonom
kecuali sfingter ani eksterna yang berada dalam pengendalian voluntar. Serabut
parasimpatis berjalan melewati saraf vagus dari medulaoblogata kebagian tegah
kolon tranversum (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2008). Masalah lain
yang timbul akibat stroke sangat bervariasi sesuai luasnya daerah otak yang
mengalami infark atau kematian jaringan dan lokasi yang terkena. Sebagaian besar
mengalami gejala sisa seperti gangguan mobilisasi, gangguan pergerakan atau
bahkan penurunan kesadaran (Mulyasih, 2011). Akibat ganguan mobilisasi pada
pasien stroke juga sering terjadi konstipasi akibat lemahnya Tonus perut, otot pelvik
dan diafragma yang mengakibatkan peristaltic menurun sehingga pergerakan chime
lambat dan mengakibatkan feses mengeras (Mcclurg, Hagen, Hawkins, &
Lowestrong, 2011).
III. Pathway Konstipasi Pasien Stroke
Gangguan Pergerakan /
Penurunan Fungsi Motorik
Penurunan Kesadaran
Penggunaan Obat
Neurologi, Diuretic
Lemahnya Tonus Perut,
Imobilisasi
Otot Pelvis, Diafragma
KONSTIPASI
IV. Proses Keperawatan
1. Pengkajian/ Penilaian
Subjektif
Objektif
a. Feses keras
Subjektif
Objektif
a. Distensi abdomen
b. Kelemahan umum
2. Riwayat Penyakit
e. Medikasi terkini
f. Riwayat medis (penyakit pembengkakan usus besar, kanker,
kelainan neuromuskular)
IV. Tindakan Keperawatan