Pengertian Pragmatik
Pengertian Pragmatik
Pengertian Pragmatik
1. Pengertian Pragmatik
Sebagaimana yang terjadi, jika terdapat dua aliran, para pengkaji bahasa
digolongkan menjadi yang ekstrem, yang formalis moderat, dan yang mengambil
jalan tengah seperti, formalis ekstrem, formalis moderat, formalis yang
fungsionalis, fungsionalis moderat dan fungsionalis ekstrem. Jika dilihat dari
kacamata pragmatik, tampaknya dapat dikatakan bahwa seorang pragmatis adalah
seorang fungsionalis yang formalis, maksudnya ialah ia mengkaji fungsi ujaran di
samping bentuk (struktur) bahasa, terutama hubungan anatara keduanya. Jika
batasan ini dapat diterima, pragmatik dapat didefinisikan sebagai bidang linguistik
yang mengkaji hubungan (timbal-balik) fungsi ujaran dan bentuk (struktur)
kalimat yang mengungkapkan ujaran itu. pembahasan tersebut merupakan definisi
operasional kajian ini, yang barangkali dapat dipakai sebagai titik tolak ke
pemahaman pragmatik selanjutnya.
1
Ada kesan yang dapat ditangkap, bahwa pragmatik itu adalah bidang
kajian linguistik baru, di Indonesia kata itu mulai terdengar baru sejak mulai
berlakunya kurikulum 1984. Sebenarnya istilah pragmatik sudah lama dipakai
dikalangan linguis, paling pertama yaitu pada tahun 1973, saat itu Charles Morris
sudah menggunakannya, yaitu didalam kaitannya dengan semiotik, Morris
membagi “ilmu lambang” ini menjadi tiga bagian, yakni sintaksis, semantik, dan
pragmatik.
2
etnografi komunikasi, beberapa aspek psikolinguistik, dan bahkan kajian kata
sapaan (Fasold, 1990:119).
3
9. Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan konteks untuk menarik
inferensi (kesimpulan) tentang makna (Fasold, 1990:119).
10. Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk
berkomunikasi (dan tata bahasa adalah kajian mengenai struktur internal
bahasa) (Parker, 1986:11).
11. Pragmatik (umum) adalah kajian komunikasi linguistik menurut prinsip
percakapan (Leech, 1983:11).
12. Pragmatik adalah kajian penggunaan bahasa di dalam komunikasi, terutama
hubungan diantara kalimat dan konteks dan situasi penggunanya (Richards
dll., 1985).
Patut ditambahkan di sini adalah bahwa leech melihat adanya dua sisi
pragmatik. Sisi yang pertama adalah sosiopragmatik dan ini berhubungan dengan
sosiologi; yang lain adalah pragmalinguistik dan ini berhubungan dengan tata
bahasa (ibid).
4
mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dilihat sebagai melakukan tindakan
(act), disamping, memang, mengucapkan (mengujarkan), kalimat itu. Ia
membedakan ujaran yang kalimatnya bermodus dengan klaratif menjadi dua,
yaitu konstatif dan performatif. Pertama itu adalah ujaran yang menyatakan
sesuatu yang kebenarannya dapat diuji, yang benar atau salah, dengan
menggunakan pengetahuan kita tentang dunia, contohnya, “Jakarta ibu kota
Indonesia”, yang kebenarannya, yaitu apakah benar bahwa Jakarta memang ibu
kota Indonesia, dapat kita tolak atau kita terima dengan menggunakan
pengetahuan kita (tentang dunia). Misalnya, dapat kita lihat di peta atau kita baca
di ensiklopedia apakah benar Jakarta adalah ibu kota negara yang bernama
Indonesia. Jika hal itu tidak benar, ujaran tadi adalah salah, dan sebaliknya.
5
Satu saja dari keempat syarat itu tidak dipenuhi, maka batallah ujaran yang
dimaksud. Artinya, tindak tutur performatif yang diucapkan menjadi tidak
mengenai, tidak mempunyai efek yang diharapkan.Jika tindak ujar performatif itu
diucapkan sehubungan dengan peristiwa akad nikah, misalnya, akad nikah
menjadi tidak afdol karena salah satu dari persyaratannya tidak dipenuhi. Jika
contoh-contoh tindak performatif di atas kita perhatikan, akan tampak bahwa
subjeknya selalu saya dan, di dalam bahasa yang menggunakan kala (tense),
kalanya selalu kala ini (present tense) kedua hal inilah yang membedakan
performatif dari konstatif.
6
sesuatu. Di sinilah ketidakjelasan rumusan Austin itu. Lokusi dan ilokusi
dikatakan sebagai tindak, sedangkan perlokusi dikatakan sebagai efek.Jika
dikatakanbahwa perlokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan mengatakan
sesuatu (Leech, 1983:199), ini pun agak rancu dengan batasan ilokusi diatas keran
bedanya hanyalah terletak pada dalam mengatakan sesuatu dengan dengan
mengatakan sesuatu. Sekadar untuk membedakan kedua jenis tindak tutur ini, ada
kata-kata kerja yang menunjukkan bahwa tindak tuturnya adalah ilokusi
(misalnya, melaporkan mengumumkan, bertanya, menyarankan, berterima kasih,
dan sebagainya), dan ada kata-kata kerja yang menunjukkan bahwa tindak
tuturnya adalah perlokusi (misalnya membujuk, menipu, membuat jengkel,
menakut-nakuti dan sebagainya) (Leech, 1983:203).
7
Yang penting disebutkan sehubungan dengan pengertian tindak ujaran atau
tindak tutur adalah bahwa ujaran dapat dikategorikan, seperti yang diutarakan oleh
Searle (1975), emnjadi 5 jenis, yakni:
Mengenai jenis-jenis tidak tutur, dapat disebutkan jenis yang lain, yaitu:
(1) tindak tutur vernakuler (yakni yang dapat dilakukan oleh setiap anggota
8
masyarakat tutu, misalnya meminta, mengucapkan terima kasih, memuji dan
sebagainya). dan (2) tindak tutur seremonial (yakni yang dilakukan oleh orang
yang berkelayakan untuk hal itu (Faser, 1974), misalnya menikahkan orang,
emmutuskan perkara, membuka sidang DPR dan sebagainya). Bach dan Harnish
menyebut tindak tutur seremonial itu adalah tindak tutur konvensional, sebagai
lawan dari yang tidak konvensional.
2.2. Implikatur
1. Maksim kuantitas
2. Maksim kualitas
3. Maksim relevansi (keterkaitan): katakan yang relevan
9
4. Maksim cara: katakan dengan jelas.
Menurut pendapat Grice, ada lima cara yang diambil oleh peserta
percakapan. Pertama, ia mematuhi maksim-maksim tersebut seperti apa adanya.
Kedua, ia melanggar maksim seperti halnya jika dia berbohong dengan sengaja.
Ketiga, ia mematuhi maksim sejenak tetapi tidak meneruskannya. Keempat, ia
menempatkan dirinya pada situasi dimana dua maksim (atau lebih) berlanggar.
Kelima, peserta percakapan “melecehkan” (flout) salah satu maksim. Kepadaan
yang dipakai pada teori Grice terletak pada potensinya sebagai “teori” inferensi:
inferensi apa yang dapat ditarik dari uajaran yang dilanggar maksim.
Untuk meneliti realisasi tindak tutur minta maaf suatu masyarakat tutur,
misalnya, data dapat dikumpulkan dengan instrument riset yang berupa kuisioner,
yang disusun berdasarkan tilikan atau hasil pengamatan lapangan atau hasil
wawancara dengan jumlah anggota masyarakat tutur itu. Tujannya adalah untuk
menjaring data yang dapat berupa wacana dialog yang dengan sengaja dibuat
tidak lengkap.
10
masyarakat tentang kepatutan bentuk-bentuk tindak tutur adalah topik-topik yang
sangat menarik untuk dilakukan pengkajian.
11