Pengertian Pragmatik

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

MENGGIRING REKAN SEJATI

1. Pengertian Pragmatik

Didalam Linguistik terdapat dua aliran utama, yakni formalisme dan


fungsionalisme. Aliran pertama itu berpatokan pada pandangan bahwa kajian
lisnguistik adalah kajian tentang suatu bentuk bahasa dan bahan bahasa.
Sedangkan pada acuan kedua, merujuk ke pendapat bahwa kajian linguistik adalah
kajian mengenai fungsi ujaran. Aliran formalisme memiliki tokoh yang tidak
asing lagi namanya yakni Bloomfield dan Chomsky; sedangkan pada aliran
fungsionalisme, tokoh dibalik aliran tersebut ialah Halliday.

Sebagaimana yang terjadi, jika terdapat dua aliran, para pengkaji bahasa
digolongkan menjadi yang ekstrem, yang formalis moderat, dan yang mengambil
jalan tengah seperti, formalis ekstrem, formalis moderat, formalis yang
fungsionalis, fungsionalis moderat dan fungsionalis ekstrem. Jika dilihat dari
kacamata pragmatik, tampaknya dapat dikatakan bahwa seorang pragmatis adalah
seorang fungsionalis yang formalis, maksudnya ialah ia mengkaji fungsi ujaran di
samping bentuk (struktur) bahasa, terutama hubungan anatara keduanya. Jika
batasan ini dapat diterima, pragmatik dapat didefinisikan sebagai bidang linguistik
yang mengkaji hubungan (timbal-balik) fungsi ujaran dan bentuk (struktur)
kalimat yang mengungkapkan ujaran itu. pembahasan tersebut merupakan definisi
operasional kajian ini, yang barangkali dapat dipakai sebagai titik tolak ke
pemahaman pragmatik selanjutnya.

Pada pembahasan kali ini, sebenarnya fungsionalisme yang dimaksud


tidaklah sama dengan fungsionalisme yang berasal dari aliran praha. Seperti yang
kita ketahui, fungsionalisme dalam aliran praha memang menelaah fungsi, tetapi
yang ditelaah terbatasa pada fungsi bentuk bahasa didalam kalimat, bukan ujaran.
dengan demikian, fungsionalisme aliran praha itu, yang antara lain menghasilkan
konsep seperti fungsi distingtif fitur fonetis dan perspektif kalimat fungsional,
dapat disebut sebagai fungsionalisme di dalam kubu formalisme, bukan
fungsionalisme yang menjadi landasan pragmatik.

1
Ada kesan yang dapat ditangkap, bahwa pragmatik itu adalah bidang
kajian linguistik baru, di Indonesia kata itu mulai terdengar baru sejak mulai
berlakunya kurikulum 1984. Sebenarnya istilah pragmatik sudah lama dipakai
dikalangan linguis, paling pertama yaitu pada tahun 1973, saat itu Charles Morris
sudah menggunakannya, yaitu didalam kaitannya dengan semiotik, Morris
membagi “ilmu lambang” ini menjadi tiga bagian, yakni sintaksis, semantik, dan
pragmatik.

Timbul pertanyaan, yakni apakah perbedaan antara semantik dengan pragmatik?


perbedaan semantik dengan pragmatik yakni:

1. Semantik mempelajari makna, baik makna kata maupun makna kalimat.


sedangkan pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu
dilakukan?
2. Semantik bertanya “apa makna X? dan pragmatik bertanya “apa yang anda
maksudkan dengan X?”
3. Semantik berkaitan dengan makna tanpa acuan, kepada siapa yang
mengujarkan kalimat dan juga tanpa acuan kepada apa fungsi komunikatif
kalimat itu, sedangkan pragmatik justru mengaitkan “makna” dengan siapa
berbicara kepada siapa, dimana, kapan, bagaiman … apa fungsi ujaran itu.

Perbedaan yang ketiga itu berimplikasi bahwa “makna” didalam semantik


ditentukan oleh koteks, sedangkan “makna” di dalam pragmatik ditentukan oleh
konteks. Atas dasar hal tersebut, ada setengah pakar yang mengatakan bahwa
pragmatik itu adalah bagian dari sosiolinguistik. Berdasarkan hal tersebut, maka
timbul pertanyaan, jika memang benar pragmatik dianggap sebagi bagian dari
sosiolinguistik, apakah lingkup pragmatik ini? fakta yang ada, ternyata begitu
banyak topik linguistik yang dapat dimasukkan kedalam wadah kajian pragmatik.
Pragmatik memiliki dua tradisi, yaitu tradisi Anglo-Amerika dan tradisi
kontinental (Levinson, 1983:5). Tradisi Anglo-Amerika secara tradisional menjadi
bidang kajian linguistik seperti struktur kalimat dan bentuk-bentuk bahasa.
Sedangkan tradisi kontinental menjadi kajian linguistik seperti analisis wacana,

2
etnografi komunikasi, beberapa aspek psikolinguistik, dan bahkan kajian kata
sapaan (Fasold, 1990:119).

Bagaimanapum, salah satu batasan pragmatik yang diterima dikalangan


kedua tradisi itu adalah bahwa bidang kajian ini adalah bidang di dalam linguistik
yang mengkaji maksud ujaran, bukan semata-mata makna kalimat yang
diujarakan. Makna kalimat yang tersebut dikaji dalam semantik, maksud atau
daya ujaran dikaji di dalam pragmatik. Dengan demikian, salah satu satuan
analisis pragmatik bukanlah kalimat (karena kalimat adalah satuan tata bahasa),
melainkan tindak tutur (tindak ujaran). Menurut pendapat (Levinson, 1983:1-53)
menerangkan bebrapa pengertian pragmatik serta ruang lingkupnya, antara lain:

1. Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan diantara tanda (lambang) dan


penafsirannya (berbeda dengan semantik, yang adalah kajian mengenai
hubungan diantara tanda (lambang) dan objek yang diacu olehnya).
2. Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa (dan semantik adalah
kajian mengenai makna).
3. Pragmatik adalah kajian bahasa dari prespektif fungsi dalam arti bahwa kajian
ini mencoba menjelaskan aspek-aspek stuktur linguistik dengan mengacu
kepengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistic.
4. Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan-hubungan (yang
digramatikalisasikan atau dikodekan di dalam struktur bahasa) diantara
bahasa dan konteks.
5. Pragmatik berkaitan dengan topic mengenai aspek makna ujaran yang tidak
dapat dijelaskan dengan mengacu kepersyaratan kebenaran dan kalimat yang
diujarkan.
6. Pragmatik adalah kajian tentang hubungan-hubungan diantara bahasa dan
konteks.
7. Pragmatik adalah kajian mengenai kemampuan pengguna bahasa untuk
menyesuaikan kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu bisa diujarkan.
8. Pragmatik adalah kajian tentang deiksis, implikatur, praanggapan, tidak tutur,
dan aspek-aspek struktur wacana

3
9. Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan konteks untuk menarik
inferensi (kesimpulan) tentang makna (Fasold, 1990:119).
10. Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk
berkomunikasi (dan tata bahasa adalah kajian mengenai struktur internal
bahasa) (Parker, 1986:11).
11. Pragmatik (umum) adalah kajian komunikasi linguistik menurut prinsip
percakapan (Leech, 1983:11).
12. Pragmatik adalah kajian penggunaan bahasa di dalam komunikasi, terutama
hubungan diantara kalimat dan konteks dan situasi penggunanya (Richards
dll., 1985).

Patut ditambahkan di sini adalah bahwa leech melihat adanya dua sisi
pragmatik. Sisi yang pertama adalah sosiopragmatik dan ini berhubungan dengan
sosiologi; yang lain adalah pragmalinguistik dan ini berhubungan dengan tata
bahasa (ibid).

2. Pokok-Pokok Bahasan Dasar Pragmatik

Penganut tradisi Anglo-Amerika dan tradisi kontinental, memiliki pokok-


pokok bahasan dasar yang perlu dikathui oleh orang yang akan mempelajari
pragmatik. diantaranya adalah tindak tutur, implikatur, kesantunan, dan isu-isu di
dalam pragmatik. Kesantunan di dalam pragmatik tidak diliput karena sudah ada
uraian (singkat) mengenia hal itu di dalam gunarwan (1992, 1993c).

2.1. Tindak Tutur


a. Performatif

Tindak tutur atau tindak ujaran mempunyai kedudukan penting di dalam


pragmatik karen ia adalah salah satu satuan analisisnya. Istilah act sering
dikaitkan dengan filosof Britania John L. Austin, yang untuk pertama kalinya, di
dalam kuliahnya di Universitas Harvard pada tahun 1955. Mengatakan bahwa

4
mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dilihat sebagai melakukan tindakan
(act), disamping, memang, mengucapkan (mengujarkan), kalimat itu. Ia
membedakan ujaran yang kalimatnya bermodus dengan klaratif menjadi dua,
yaitu konstatif dan performatif. Pertama itu adalah ujaran yang menyatakan
sesuatu yang kebenarannya dapat diuji, yang benar atau salah, dengan
menggunakan pengetahuan kita tentang dunia, contohnya, “Jakarta ibu kota
Indonesia”, yang kebenarannya, yaitu apakah benar bahwa Jakarta memang ibu
kota Indonesia, dapat kita tolak atau kita terima dengan menggunakan
pengetahuan kita (tentang dunia). Misalnya, dapat kita lihat di peta atau kita baca
di ensiklopedia apakah benar Jakarta adalah ibu kota negara yang bernama
Indonesia. Jika hal itu tidak benar, ujaran tadi adalah salah, dan sebaliknya.

Kedua, performatif adalah ujaran yang merupakan tindakan melakukan


sesuatu dengan membuat ujaran itu. Contohnya seperti, “saya berjanji saya akan
datang”, “saya minta maaf atas kealpaan saya”, “saya menamakan kapal ini sam
Ratulangi”, “saya menyatakan Saudara lulus dengan yudisium cum laude”. Kita
tidak dapat mengatakan bahwa ujaran itu salah atau benar, yang tepat adalah
ujaran itu sahih atau tidak. Sahih atau tidaknya sebuah performatif bergantung
kepada apakah persyaratan kesahihan dipenuhi atau tidak. Menurut Austin (1962),
yang contoh-contoh performatifnya adalah yang biasanya dipakai di dalam
upacara, mempunyai empat syarat kesahihan yang mesti dipenuhi agar (tindak)
performatif berhasil (yaitu sah, atau tidak batal).

1. Mesti ada prosedur konvensional yang mempunyai efek konvensional, dan


prosedur itu mestilah mencakup pengujaran kata-kata tertentu oleh orang-
orang tertentu pada peristiwa tertentu.
2. Orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam kasus tertentu mestilah yang
berkelayakan atau yang patut untuk pelaksanaan prosedur yang dilaksanakan.
3. Prosedur itu mestilah dilaksanakan oleh para peserta secara benar dan
4. Secara lengkap

5
Satu saja dari keempat syarat itu tidak dipenuhi, maka batallah ujaran yang
dimaksud. Artinya, tindak tutur performatif yang diucapkan menjadi tidak
mengenai, tidak mempunyai efek yang diharapkan.Jika tindak ujar performatif itu
diucapkan sehubungan dengan peristiwa akad nikah, misalnya, akad nikah
menjadi tidak afdol karena salah satu dari persyaratannya tidak dipenuhi. Jika
contoh-contoh tindak performatif di atas kita perhatikan, akan tampak bahwa
subjeknya selalu saya dan, di dalam bahasa yang menggunakan kala (tense),
kalanya selalu kala ini (present tense) kedua hal inilah yang membedakan
performatif dari konstatif.

b. Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi

Austin (1962) membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan


ujaran. Ketiganya adalah tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Tindak lokusi
adalah tindak berbiacar atau tindak bertutur, yaitu tindak mengucapkan sesuatu
dengan kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus)
dan makna sintaktis kalimat itu menurut kaidah sintaktisnya. Di dalam hal ini kita
tidak mempermasalahkan maksud atau fungsi ujaran yang merupakan
perpanjangan atau perluasan dari makna harfiah itu. Jadi, kalau kita mengujarkan
“saya haus” seseorang mengartikan “saya” sebagai orang pertama tunggal (yaitu
si penutur), dan “haus” mengacu ke “tenggorokan kering dan perlu dibasahi”,
tanpa bermaksud untuk minta minum, misalnya, orang ini dikatakan melakukan
lokusi. Mungkin saja orang itu sekadar mengujarkan tambahan, jika seandainya
orang itu mengatakan “saya haus”, misalnya ia tidak dapat dikatakan melakukan
lokusi (setidak-tidaknya di dalam bahasa Indonesia). karena yang ia katakan itu
tidak bermakna.

Kedua, tindak ilokusioner atau ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu.


Di sini kita berbicara tentang maksud, fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan,
dan bertanya “Untuk apa ujaran itu dilakukan?”. Jadi, “saya haus” yang
maksudnya minta minum adalah sebuah tindak ilokusi. Ketiga, tindak perlokusi,
menurut Austin, mengacu ke efek yang dihasilkan penutur dengan mengatakan

6
sesuatu. Di sinilah ketidakjelasan rumusan Austin itu. Lokusi dan ilokusi
dikatakan sebagai tindak, sedangkan perlokusi dikatakan sebagai efek.Jika
dikatakanbahwa perlokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan mengatakan
sesuatu (Leech, 1983:199), ini pun agak rancu dengan batasan ilokusi diatas keran
bedanya hanyalah terletak pada dalam mengatakan sesuatu dengan dengan
mengatakan sesuatu. Sekadar untuk membedakan kedua jenis tindak tutur ini, ada
kata-kata kerja yang menunjukkan bahwa tindak tuturnya adalah ilokusi
(misalnya, melaporkan mengumumkan, bertanya, menyarankan, berterima kasih,
dan sebagainya), dan ada kata-kata kerja yang menunjukkan bahwa tindak
tuturnya adalah perlokusi (misalnya membujuk, menipu, membuat jengkel,
menakut-nakuti dan sebagainya) (Leech, 1983:203).

c. Jenis-Jenis Tindak Tutur

John Searle, mengembangkan buah pikiran Austin dan sampai kepada


kesimpulan bahwa semua ujaran, bukan saja uang berisi kata kerja performatif,
pada hakikatnya adalah tindakan. Jadi, ujaran “saya minta maaf”, misalnya,
adalah tindak tutur minta maaf dan ujaran “Ali mengatakan ia minta maaf”,
misalnya adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu. Searle mengembangkan
teori tindak tutur misalnya kata “berjanji”, dengan mengatakan ada lima syarat
kesahihan, yang ia namakan kaidah proposisional, yakni:

1. Penutur mestilah bermaksud memenuhi apa yang ia janjikan.


2. Penutur mestilah percaya (bahwa si pendengar percaya) bahwa tindakan yang
ia janjikan menguntungkan pendengar.
3. Penutur mestilah percaya, bahwa ia dapat memenuhi janji itu
4. Penutur mestilah memprediksikan tindakan (yang akan dilakukan) pada masa
yang akan datang.
5. Penutur mesti memprediksikan tindakan yang akan dilakukan oleh dirinya
sendiri.

7
Yang penting disebutkan sehubungan dengan pengertian tindak ujaran atau
tindak tutur adalah bahwa ujaran dapat dikategorikan, seperti yang diutarakan oleh
Searle (1975), emnjadi 5 jenis, yakni:

1. Tindak tutur representatif (kadang-kadang disebut asertif) yaitu tindak


tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang
dikatakannya (misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan,
menyebutkan);
2. Direktif (kadang-kadang disebut imposif) yaitu tindak tutur yang
dilakukan penuturnya dengan maksud agar sipendengar melakuakn
tindakan yang disebutka di dalm ujaran itu (misalnya, menyuruh,
memohon, menuntut, menyarankan, menantang).
3. Ekspresif, yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar
ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam
ujaran itu (misalnya: memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik,
mengeluh).
4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan
apa yang disebutkan di dalam ujarannya (misalnya: berjanji, bersumpah,
mengancam).
5. Deklarasi (bukan deklaratif), yatiu tindak tutur yang dilakukan si penutur
dengan maksud untuk menciptakan hal (sutatu, keadaan dan sebagainya)
yang baru (misalnya: memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,
memberi maaf).

Pakar seperti Leech, Fraser, Bach, dan Harnish mengemukakan klasifikasi


yang berbeda. Namun, yang dapat disimpulkan dari teori tindak tutur adalah
bahwa satu ebntuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Kebalikannya
adalah kenyataan di dalam komunikasi yang sebenarnya, yakni bahwa satu fungsi
dapat dinyatakan, dilayani, atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran.

Mengenai jenis-jenis tidak tutur, dapat disebutkan jenis yang lain, yaitu:
(1) tindak tutur vernakuler (yakni yang dapat dilakukan oleh setiap anggota

8
masyarakat tutu, misalnya meminta, mengucapkan terima kasih, memuji dan
sebagainya). dan (2) tindak tutur seremonial (yakni yang dilakukan oleh orang
yang berkelayakan untuk hal itu (Faser, 1974), misalnya menikahkan orang,
emmutuskan perkara, membuka sidang DPR dan sebagainya). Bach dan Harnish
menyebut tindak tutur seremonial itu adalah tindak tutur konvensional, sebagai
lawan dari yang tidak konvensional.

d. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung

Tindak tutur memiliki berbeda-beda derajat keberlangsungannya dalam


menyampaikan maksud. Dalam hal ini, kita berbicara tentang tindak tutur
langsung dan tak langsung, dan derajat kelangsungan tindak tutur itu diukur
berdasarkan jarak tempuh yang diambil oleh sebuah ujaran, yaitu “titik” ilokusi
(dibenak penutur) ke “titik” tujuan ilokusi (dibenak pendengar). Derajat
kelangsungan tindak tutur dapat diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya,
makin jelas maksud sebuah ujaran, makin langsunglah ujaran itu, demikian pula
sebaliknya. Tindak tutur langsung atau tidak langsung, penutur dapat memilih
tindak tutur yang harfiah atau yang tidak harfiah didalam mengutarakan
maksudnya.

2.2. Implikatur

Sebuah ujaran dapat mempunyai implikasi yang berupa proposi yang


sebenarnya bukan bagian dari ujaran tersebut dan bukan pula merupakan
konsekuensi yang harus ada dari ujaran itu (Paul Grice, 1975). Menurut Grice ada
sebuah prinsip yang disebut prinsip kerja sama (cooperative principle) yakni
bahwa pada setiap ujaran selalu ada tambahan makna, tambahan keterangan yang
tidak diujarkan oleh penuturnya yang walaupun tidak diujarkan tertangkap juga
oleh pendengar. Grice menjabarkan bahwa prinsip kerja sama yang
dikemukakannya menjadi empat maksim, antara lain:

1. Maksim kuantitas
2. Maksim kualitas
3. Maksim relevansi (keterkaitan): katakan yang relevan

9
4. Maksim cara: katakan dengan jelas.

Menurut pendapat Grice, ada lima cara yang diambil oleh peserta
percakapan. Pertama, ia mematuhi maksim-maksim tersebut seperti apa adanya.
Kedua, ia melanggar maksim seperti halnya jika dia berbohong dengan sengaja.
Ketiga, ia mematuhi maksim sejenak tetapi tidak meneruskannya. Keempat, ia
menempatkan dirinya pada situasi dimana dua maksim (atau lebih) berlanggar.
Kelima, peserta percakapan “melecehkan” (flout) salah satu maksim. Kepadaan
yang dipakai pada teori Grice terletak pada potensinya sebagai “teori” inferensi:
inferensi apa yang dapat ditarik dari uajaran yang dilanggar maksim.

3. Isu-Isu di dalam Pragmatik

Sebagai kajian yang telah berkembang, pragmatik mempunyai isu-isu yang


belum terjawab. Salah satunya adalah bahwa batas-batas kajian ini belum jelas
benar. Isu lain yang berkaitan dengan kesemestaan teori-teori pragmatik.
Misalnya, dapat dipertanyakan apakah prinsip kerja sama Grice itu juga berlaku di
dalam budaya-budaya non Barat. Paling tidak sudah ada petunjuk bahwa hal itu
tidak benar.

Untuk meneliti realisasi tindak tutur minta maaf suatu masyarakat tutur,
misalnya, data dapat dikumpulkan dengan instrument riset yang berupa kuisioner,
yang disusun berdasarkan tilikan atau hasil pengamatan lapangan atau hasil
wawancara dengan jumlah anggota masyarakat tutur itu. Tujannya adalah untuk
menjaring data yang dapat berupa wacana dialog yang dengan sengaja dibuat
tidak lengkap.

Selain tindak tutur, topik-topik tentang implikatur (misalnya bagaimana


anggota-anggota suatu masyarakat tutur menarik implikatur dari percakapan),
tentang penerapan prinsip kerja sama Grice pada masyarakat tertentu, hubungan
fungsi dan bentuk tindak tutur di dalam suatu masyarakat tutur, dan persepsi

10
masyarakat tentang kepatutan bentuk-bentuk tindak tutur adalah topik-topik yang
sangat menarik untuk dilakukan pengkajian.

11

Anda mungkin juga menyukai