Pen Yu Sutan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

PENYUSUTAN, AMORTISASI, DAN REVALUASI

Filed under: Pajak — Leave a comment


May 3, 2012
1. I. PENDAHULUAN
Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, penyusutan atau depresiasi merupakan konsep alokasi
harga perolehan harga tetap berwujud dan amortisasi merupakan konsep alokasi harga perolehan
harga tetap tidak berwujud dan harga perolehan harta sumber alam. Jadi, dalam UU PPh pengertian
amortisasi mencakup juga pengertian depresiasi seperti yang dikenal dalam dunia akuntansi
keuangan.
1. II. PENYUSUTAN
1. Pengertian Penyusutan
Penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa yang
diestimasi. Penyusutan perlu dilakukan karena manfaat yang diberikan dan nilai dari aktiva tersebut
semakin berkurang. Pengurangan nilai aktiva dibebankan secara bertahap.
Untuk menghitung besarnya penyusutan harta tetap berwujud dibagi menjadi dua golongan
yaitu:
1. Harta berwujud yang bukan berupa bangunan
2. Harta berwujud yang berupa bangunan
Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri dari empat kelompok, yaitu:
1. Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 4 tahun
2. Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 8 tahun
3. Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 16 tahun
4. Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 20 tahun
Harta berwujud yang berupa bangunan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Permanen : masa manfaat 20 tahun
2. Tidak permanen : bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari bahan yang tidak tahan lama, atau
bangunan yang dapat dipindah-pindahkan. Masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.

2. Metode Penyusutan
Asset tetap, kecuali tanah, akan makin berkurang kemampuannya untuk memberikan jasa
bersamaan dengan berlakunya waktu. Jumlah yang dapat disusutkan, dialokasikan ke setiap periode
akuntansi selama masa manfaat asset dengan berbagai metode yang sistematis dan diterapkan
secara konsisten atau taat asas, tanpa memandang tingkat profitabilitas perusahaan dan
pertimbangan perpajakan agar dapat menyediakan daya banding hasil afiliasi perusahaan dari period
eke periode, penyusutan dapat dilakukan dengan berbagai metode yang dapat dikelompokkan
menurut akuntansi komersial, yaitu:
1. Berdasarkan kriteria waktu
1. Metode garis lurus
2. Metode pembebanan angka menurun
1) Metode jumlah angka tahun
2) Metode saldo menurun/saldo menurun ganda
1. Berdasarkan kriteria penggunan
1. Metode jam jasa
2. Metode jumlah unit produksi
3. Berdasarkan kriteria lainnya
1. Metode berdasarkan jenis dan kelompok
2. Metode anuitas
Metode penyusutan menurut ketentuan peundang-undangan perpajakan sebagaimana telah diatur
dalam pasal 11 UU PPh :
1. Metode garis lurus (straight line method), atau metode saldo menurun (declining balance method)
untuk Aset Tetap Berwujud Bukan Bangunan
2. Metode garis lurus untuk Aset Tetap Berwujud Berupa Bangunan.
Penggunaaan metode penyusutan Aset Tetap Berwujud diisyaratkan taat asas (konsisten).
1. C. Kelompok Harta Berwujud Dan Tarif Penyusutan
Penurunan kelompok dan tariff penyusutan Harta Berwujud didasarkan pada pasal 11 UU PPh
sebagai berikut:

Tarif Penyusutan Tarif Penyusutan


Kelompok Harta Masa
berdasarkan metode garis berdasarkan metode saldo
Berwujud Manfaat
lurus menurun

I. Bukan
Bangunan

Kelompok 1 4 tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 tahun 12,50% 25%

Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,50%

Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5% –

Tidak
10 tahun 10% –
Permanen

4. Contoh Perhitungan Penyusutan


PT Agri Jaya pada bulan Juli 2001 membeli sebuah alat pertanian yang mempunyai masa manfaat 4
tahun seharga Rp. 1.000.000.000,00. Penghitungan penyusutan atas harta tersebut adalah
sebagai berikut:
Alternatif I : Metode Garis Lurus
Penyusutan tahun 2001:
6/12 x 25% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp. 125.000,00
Penyusutan tahun 2002:
25% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp. 250.000,00
Penyusutan tahun 2003:
25% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp. 250.000,00
Penyusutan tahun 2004:
25% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp. 250.000,00
Alternatif II : Metode Saldo Menurun
Penyusutan tahun 2001:
6/12 x 50% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp. 250.000,00
Penyusutan tahun 2002:
50% x (Rp. 1.000.000.000,00 – Rp. 250.000,00) =
50% x Rp. 750.000,00 = Rp. 375.000,00
Penyusutan tahun 2003:
50% x (Rp. 750.000,00 – Rp. 375.000,00) =
50% x Rp. 375.000,00 = Rp. 187.500,00
Penyusutan tahun 2004:
Karena untuk tahun 2004 merupakan akhir masa manfaat, maka pada tahun 2004 seluruh sisa nilai
buku disusutkan sekaligus sehingga penyusutan tahun 2004 adalah:
(Rp. 375.000,00 – Rp. 187.500,00) = Rp. 187.500,00

1. III. AMORTISASI
2. A. Pengertian Amortisasi
Pada UU PPh menggunakan istilah harta tak berwujud tidak dengan asset tetapi mempunyai
pengertian yang sama dengan asset dalam SAK. Seperti yang telah dilakukan pada asset tetap
berwujud, nilai asset tetap tah berwujud harus juga dilakukan penyusutan yang disebut juga dengan
Amortisasi.
Pengertian asset tak berwujud adalah asset tak lancar (non-current asset) dan tak berbentuk yang
memberikan hak keekonomian dan hukum kepada pemiliknya dan dalam laporan keuangan tidak
dicakup secara terpisah dalam klasifikasi asset yang lain (PSAK no 19). Termasuk dalam asset tak
berwujud adalah hak paten, Good Will, hak merk.
Harta tak berwujud digolongkan menjadi:
1. Kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat 4 tahun.
2. Kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat 8 tahun
3. Kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat 16 tahun
4. Kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat 20 tahun
2. Metode Amortisasi
Metode amortisasi yang dipergunakan adalah metode garis lurus (straight line method) dan metode
saldo menurun (declining balance method). Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu
metode untuk melakukan amortisasi.
3. Kelompok Aset Tetap Tak Berwujud Dan Tarif Amortisasi
Dalam menghitung amortisasi asset tetap tidak berwujud terlebih dahulu harus dikelompokkan
sesuai dengan masa manfaatnya. Untuk lebih jelasnya pengelompokkan masa manfaat dan tariff
penyusutan terlihat sebagai berikut:

Tarif Amortsasi Tarif Amortsasi


Kelompok Harta Masa
berdasarkan metode garis berdasarkan metode saldo
Tak Berwujud Manfaat
lurus menurun

Kelompok 1 4 tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 tahun 12,50% 25%

Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,50%

Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

Penetapan masa manfaat dan tariff amortisasi diatas dimaksudkan untuk memberikan keseragaman
dalam melakukan amortisasi. Metode yang digunakan sesuai dengan metode yang dipilih
berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya. Kemungkinan dapat terjadi masa manfaat asset tetap
tak berwujud tidak tercantum pada kelompok masa manfaat, sehingga wajib pajak menggunakan
masa manfaat terdekat. Sebagai contoh asset tetap tak berwujud masa manfaat sebenarnya 6 tahun,
dapat menggunakan masa manfaat 4 tahun atau 8 tahun. Apabila masa manfaat sebenarnya 5 tahun
maka menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun.
4. Contoh Perhitungan Amortisasi
PT Asti Jaya pada tanggal 4 November 2001 mengeluarkan uang sebanyak Rp. 100.000.000,00
untuk memperoleh hak lisensi dari Phoenixcyle Ltd. selama 4 tahun untuk memproduksi Sepeda
Phoenix. Perhitungan amortisasi hak lisensi tersebut adalah sebagai berikut:
Alternatif I : Metode Garis Lurus
Amortisasi tahun 2001:
25% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00
Amortisasi tahun 2002:
25% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00
Amortisasi tahun 2003:
25% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00
Amortisasi tahun 2004:
25% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00

Alternatif II : Metode Saldo Menurut


Amortisasi tahun 2001:
50% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 50.000.000,00
Amortisasi tahun 2002:
50% x (Rp. 100.000.000,00 – Rp. 50.000.000,00)
50% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00
Amortisasi tahun 2003:
50% x (Rp. 50.000.000,00 – Rp. 25.000.000,00)
50% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 12.500.000,00
Amortisasi tahun 2004:
Karena tahun 2004 merupakan akhir masa manfaat, maka pada tahun 2004 seluruh sisa nilai buku
diamortisasikan sekaligus sehingga amortisasi tahun 2004 adalah:
(Rp. 25.000.000,00 – Rp. 12.500.000,00) = Rp. 12.500.000,00

5. Amortisasi Berdasar Metode Satuan Produksi


1. Hak atau Pengeluaran di bidang Penambangan minyak dan gas bumi
Amortisasi dengan metode satuan produksi diterapkan pada amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun di bidang
penambangan minyak dan gas bumi. Dalam hal ini, metode satuan produksi dilakukan dengan
menerapkan persentase tariff amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase
perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan
dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi dilokasi tersebut yang dapat
diproduksi.
Contoh:
Pada tahun 2001 PT Dira Oil mengeluarkan uangnya sebesar Rp. 1.000.000.000,00 unutk
memperoleh hak penambangan minyak bumi. Kandungan minyak bumi ditaksir sebesar 5.000.000
barel. Produksi bumi tahun 2002 mencapai 1.500.000 barel. Besarnya amortisasi untuk tahun 2002
adalah:
Tarif amortisasi = (realisasi penambangan : taksiran kandungan) x 100%
= (1.500.000 : 5.000.000) x 100%
= 30%
Amortisasi 2002 = 30% x Rp 1.000.000.000,00
= Rp. 300.000.000,00
Seandainya jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih
terdapat sisa pengeluaran yang belum diamortisasi, maka atas sisa tersebut boleh dibebankan
sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
1. Hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, hak pengusahaan sumber,
dan hasil alam lainnya
Amortisasi dengan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% setahun, diterapakan pada
amortisasi atas:
1. Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi
2. Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan
3. Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan sumber dan hasil alam lainnya, yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 tahun.
Contoh:
PT DiraWood pada tahun 2002 mengeluarkan uang sebesar Rp. 1.000.000.000,00 untuk
memperoleh hak pengusahaan hutan. Potensi hak pengusahaan hutan adalah 20.000.000 ton.
Jumlah produksi pada tahun 2002 adalah sebesar 8.000.000 ton. Jumlah yang diamortisasi dengan
persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun 2002 adalah sebesar:
(8.000.000 : 20.000.000) ton x Rp. 1.000.000.000,00 =
40% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp. 400.000.000,00
Jumlah yang telah diamortisasi maksimum adalah 20% dari pengeluaran, maka amortisasi yang
diperkenankan hanyalah sebesar 20% x Rp 1.000.000.000,00 = Rp. 200.000.000,00
1. IV. REVALUASI (PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP)
1. A. Revaluasi Aktiva Tetap Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan
Revaluasi aktiva tetap dalam akuntansi pada umumnya tidak diperkenankan kecuali
ditentukan berdasarkan ketentuan pemerintah, misalnya peraturan pajak. Dalam PSAK 16 disebutkan
bahwa penilaian kembali aktiva tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena standar akuntansi
keuangan menganut penilaian aktiva berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran.
Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah. Dalam hal
ini laporan keuangan harus menjelaskan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan di
dalam penyajian aktiva tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan
perusahaan. Selisih revaluasi dengan buku (nilai tercatat) aktiva tetap dibukukan dalam akun modal
dengan nama “selisih penilaian kembali aktiva tetap”.
Revaluasi atau pernyataan kembali (restatement) aktiva dan kewajiban menimbulkan kenaikan atau
penurunan ekuitas. Meskipun memenuhi definisi penghasilan dan beban, menurut konsep
pemeliharaan modal tertentu, kenaikan dan penurunan ini tidak dimasukkan dalam laporan laba
rugi. Sebagai alternative pos ini dimasukkan ke dalam ekuitas sebagai penyesuaian pemeliharaan
modal atau cadangan revaluasi.
1. B. Revaluasi Aktiva Tetap Berdasarkan Undang-Undang Pajak
Berdasarkan Kepmenkeu No.384/KMK.04/1998 tanggal 14 Agustus 1998 dan Surat Edaran Dirjen.
Pajak No. 29/PJ.42/1998, diatur mengenai:
Yang dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap adalah Wajib Pajak Badan dalam negeri yang
telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak
dilakukannya penilaian kembali. Kewajiban pajak tersebut adalah semua kewajiban dari Wajib Pajak
yang bersangkutan, seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, dan Pajak Bumi dan Bangunan yang telah terutang sampai dengan masa pajak sebelum masa
pajak dilakukannya penilaian kembali.
Aktiva tetap yang dapat dilakukan penilaian kembali adalah semua aktiva berwujud dalam bentuk
tanah, kelompok bangunan dan bukan bangunan yang tidak dimaksudkan untuk dialihkan atau
dijual (bukan barang dagangan) yang terletak atau berada di Indonesia. Penilaian kembali harus
dilakukan oleh perusahaan penilai atau penilai yang diakui oleh Pemerintah.
Penilaian kembali aktiva tetap dihitung/dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar yang
berlaku pada saat dilakukannya penilaian kembali. Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang
ditetapkan oleh perusahaan penilai ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, maka
dalam rangka perhitungan pajak. Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan kembali nilai pasar atau
nilai wajar aktiva yang bersangkutan.
1. C. Perlakuan Pajak Atas Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva
Selisih lebih antara nilai pasar atau nilai wajar dengan nilai buku fiskal aktiva tetap yang dinilai
kembali, terlebih dahulu wajib dikompensasikan dengan kerugian fiskal tahun berjalan. Jika masih
terdapat sisa lebih, dapat dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan. Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap setelah
dilakukan kompensasi kerugian, dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 10%.
Contoh:
Pada akhir tahun 2002, PT Sukses melakukan penilaian kembali aktiva tetapnya. Nilai buku fiskal
aktiva yang dinilai kembali per 31 Desember 2002 adalah Rp. 100.000.000,00. Nilai wajar aktiva
tersebut adalah Rp 175.000.000,00. Sisa kerugian fiskal tahun sebelumnya yang masih dapat
dikompensasikan adalah Rp 25.000.000,00. Besarnya PPh atas selisih lebih penilaian kembali aktiva
adalah sebesar:
Nilai wajar aktiva Rp. 175.000.000,00
Nilai buku fiskal aktiva 100.000.000,00
Selisih lebih penilaian kembali aktiva Rp. 75.000.000,00
Kerugian fiskal yang dapat dikompensasikan 25.000.000,00
Selisih lebih setelah kompensasi Rp. 50.000.000,00
PPh = Rp. 50.000.000,00 x 10%
= Rp. 5.000.000,00 (bersifat final

Anda mungkin juga menyukai