Lapkas MERI (Apendisitis)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

APPENDISITIS AKUT

Disusun Sebagai Syarat Kelengkapan Program Dokter Internship

Oleh :
dr. Meri Dian Sera

Pembimbing:
dr. Eko Krahmadi, Sp. B

Pendamping:
dr.Gustian Zahran

RSUD KABUPATEN BOMBANA


PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2019

2
2

KASUS I

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. SW
Umur : 28 Tahun/ 22-10-1991
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Poleang
Pekerjaan : Bidan
DPJP : dr. Eko Krahmadi, Sp.B
No. RM : 04 46 34
Tanggal Masuk : 11 APRIL 2019

B. Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah
Riwayat penyakit :
PBM dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 11 jam SMRS. Nyeri
dirasakan terus menerus, dirasakan terutama di ulu hati dan menjalar ke perut
kanan bawah. Nyeri terutama bertambah berat saat batuk/ menarik napas dan
berkurang dengan membungkukan badan. Keluhan nyeri disertai dengan mual,
muntah, malas makan dan demam. Keluhan lain: batuk (-), sesak (-). BAB
terakhir 11.00 wita (siang hari), biasa. BaK seperti biasa. Siklus haid teratur dan
tidak ada keluhan saat haid.
Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat penyakit dengan keluhan nyeri perut kanan bawah 4 tahun lalu dan
berobat ke dokter IGD dan didiagnosa Appendisitis dan disarankan untuk
operasi, namun pasien menolak.
 Gastritis (+), DM disangkal, HT disangkal, alergi makanan/obat (tidak ada),
trauma perut (tidak ada).
Riwayat penyakit keluarga :
 Penyakit dengan keluhan yang sama (tidak ada)
Riwayat pengobatan :
 Anti nyeri dan antibiotik yang dibelinya sendiri
3

C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
 Kesan umum : Sakit sedang
 GCS : E4M6V5 (composmentis)
:
Tanda Vital
 TD : 130/80 mmHg
 Nadi : 100 x/menit
 Pernapasan : 20 x/menit

 Suhu : 38,2 C/axillar

Kepala : Mesocephal
Mata : Sklera ikterus (-/-), konjungtiva anemis (-/-), edema
palpebra (-/-), pupil bulat isokor d= 2,5/2,5 mm
Telinga : Otorrhea (-)
Hidung : Rinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-)
Leher : T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-), pembesaran
KGB (-), struma (-), deviasi trakea (-)
Thoraks
 Inspeksi : Simetris ki=ka, tidak tampak tahanan bernapas
 Palpasi : Krepitasi(-), nyeri tekan(-), vokal fremitus simetris
 Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru, batas paru-hepar ICS V

 Auskultasi : SD vesikular +/+, Rh -/-, wh -/-

Jantung
 Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba
 Perkusi : Pekak di ICS V

 Auskultasi : BJ I/II murni reguler, gallop (-), murmur (-)


4

Abdomen
 Inspeksi : Datar, simetris ki=ka, darm countour (-)
 Auskultasi : Peristaltik 8x/menit , metallic sound (-)
 Perkusi : Timpani, pekak hepar (+), pekak alih (-), nyeri ketok
titi Mc Burney (+)

 Palpasi : Nyeri tekan titik Mc Burney (+), rebound tenderness


(+), defans musculer (-), obturator sign (+), rovsing
sign (+), psoas sign (+), massa (-).
Ekstremitas : Akral hangat dan merah pada ekstremitas superior
dan inferior. Edema -/-/-/-

Skor Alvarado2,3,9
Kriteria Nilai Nilai Pasien
Migrasi nyeri ke RLQ 1 1
Anoreksia 1 1
Mual-muntah 1 1
Nyeri tekan dalam RLQ 2 2
Rebound tenderness 1 1
Demam (>37.5 C) 1 1
Leukositosis (>10.000) 2 0
Shift to the left (>75%) - -
Interpretasi 7
9-10 : appendicitis definite

D. Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin
(11 April 2019)
Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC : 9.8 5-10 ribu/ ul
RBC : 4.5 4.5 -5.5 juta/ ul
5

HGB : 12.7 12-14 g/dl


HCT : 39 37-43 gr/dl
MCV : 85.7 78-101 pg/cell
MCHC : 32.6 33-36 pg/cell
PLT : 233 150-400 ribu/ ul
Ultrasonography (USG) abdomen(13 April 2019)

Kesan : Gambaran appendicitis acuta


6

- Plano Test (-)


- Urinalisis : DBN

E. Assessment
Appendicitis Acute

F. Terapi
Terapi : Nonfarmakologi
 Tirah baring
 Monitoring KU dan vital sign, monitoring tanda akut
abdomen
Farmakologi
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam/iv
 Inj. Ranitidin 50mg/8j/1v
 Injeksi ketorolac 30mg/8j/iv
 Metronidazol 0,5gr/8jam/iv
 Informed consent appendectomy
 Operasi Apendektomi
7

ANALISA KASUS

Apendiks adalah divertikulum mirip cacing yang timbul dari dinding


posteromedial sekum sekitar 2 cm di bawah orifisium ileosekal. Panjang apendiks
bervariasi dari 2-20 cm dengan rata-rata panjang 9 cm. Apendiks lebih panjang pada
anak-anak dibandingkan pada dewasa. Selain itu, posisi apendiks bervariasi, seperti
retrosekal (65%), pelvis (30%), parakolika, preileal atau postileal.1

Appendisitis merupakan radang yang timbul secara mendadak pada apendiks,


merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui, dan jika tidak
ditangan segera akan menyebab perforasi.2,3 Penyebabnya:

1. Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab paling dominan


2. Erosi mukosa usus oleh karena parasit Entamoeba hystolitica dan benda
asing lainnya.4,5

Pasien adalah seorang perempuan, yang berusia 28 tahun. Hal ini sesuai dengan
teori, dimana apendisitis dapat ditemukan pada laki-laki maupun perempuan dengan
risiko menderita apendisitis selama hidupnya mencapai 8%.5 Insiden tertinggi
dilaporkan pada rentang usia 20-30 tahun. Kasus perforasi apendiks pada apendisitis
akut berkisar antara 20-30% dan meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun,
sedangkan pada anak kurang dari satu tahun kasus apendisitis jarang ditemukan.4,7

Pada kasus pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 11 jam
SMRS. Dirasakan terus menerus, awalnya dirasakan di ulu hati dan menjalar ke perut
kanan bawah. Nyeri terutama bertambah berat saat batuk/ menarik napas dan
berkurang dengan membungkukan badan. Berdasarkan teori, pada appendisitis
akutnyeri perut akan dirasakan di daerah kanan bawah, mula-mula daerah
epigastrium kemudian menjalar ke daerah Mc Burney. Apabila terjadi inflamasi (>6
jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri yang bersifat somatik.3,8

Pada penjalanan kasus diatas, nyeri perut kanan bawah kemudian disertai
dengan mual, muntah, malas makan dan demam. Berdasarkan referensi, keluhan
yang dapat timbul setelah nyeri perut kanan bawah; muntah (rangsangan visceral)
akibat iritasi nervus vagus; anoreksi, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam
8

sesudahnya; disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesica
urinaria; obstripasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami
diare (biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang dinding rektum).

Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami
inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri didaerah tersebut, apendiks
di retrosekal akan menyebabkan nyeri panggul atau punggung, dan sebagainya.2,5

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit sedang, kesadaran


composmentis, dan VAS 4/10. Tanda-tanda vital dalam range normal, kecuali suhu
meningkat menjadi 38,2 C. Berdasarkan teori, pada appendisitis selalu disertai
dengan demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu antara suhu 37,5C -38,5C, jika lebih
tinggi perlu diduga adanya perforasi.3

Pada pemeriksaan fisik abdomen; 1) Inspeksi; datar, tidak ditemukan darm countour;
2) Auskultasi; peristaltik 8x/menit , metallic sound (-), 3) Perkusi; timpani, pekak
hepar (+), pekak alih (-), nyeri ketok titi Mc Burney (+); 4) Palpasi ; nyeri tekan titik
Mc Burney (+), rebound tenderness (+), defans musculer (-), obturator sign (+),
rovsing sign (+), psoas sign (+). Beberapa pemeriksaan yang mungkin ditemukan
pada pemeriksaan fisik kasus appendisitis akut:3,4,5,7

1. Inpeksi
 Penderita berjalan membungkuk sambil memengangi perut yang sakit
 Kembung bila terjadi perforasi
 Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses.
2. Auskultasi
 Peristaltik normal, peristaltik tidak ada jika ileus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat appendisitis perforata.
3. Palpasi
 Adanya rebound tenderness
 Adanya defansm uscular
 Rovsing sign positif
 Psoas sign positif
9

 Obturator sign positif


4. Perkusi
 Nyeri ketok positif
5.Colok dubur
 Colok dubur ditemukan nyeri tekan pada arah jam 9-12.
Tanda – tanda peritonitis secara umum (perforasi):
1. Nyeri seluruh abdomen
2. pekak hati hilang
3. bising usus hilang
Diagnosis apendisitis ditegakkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan ultrasonography (USG). Pemeriksaan darah perifer
lengkap pada appendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan
neutrofil akan meningkat. Pada anak ditemukan leukositosis 11.000-14.000/mm3,
dengan pemeriksaan hitung jenis leukosit menunjukkan pergeseran ke kiri hampir
70%. Jika jumlah leukosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah
menunjukkan perforasi dan peritonitis. Pada kasus ini ditemukkan leukositosis.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Pengukuran kadar HCG bila
dicurigai kehamilan ektopik pada wanita usia subur.3,5

Pemeriksaan lain yang umum dilakukan pada pasien yang dicurigai appenditis
akut adalah pemeriksaan ultrasonografi (USG). Ultrasonografi cukup bermanfaat
dalam menegakkan diagnosis Appendisitis. Appendiks diidentifikasi/ dikenal sebagai
suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang nonperistaltik yang berasal dari Caecum.
Dengan penekanan yang maksimal, Appendix diukur dalam diameter anterior-
posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa kompresi ukurananterior-posterior
Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya appendicolith akanmendukung diagnosis.
Diagnosis Appendisitis akut dengan USG telahdilaporkan sensitifitasnya sebesar
78%-96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%.3,5,9

Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis appendisitis akut, tetapi dapat
sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada appendisitis akut,
kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan
10

temuanyang tidak spesifik. Adanya fecolith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila
ditemukansangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk
menyingkirkan adanyanyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan bawah.

Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop


leukosit.Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG,
tapi jauh lebihmahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa
terutama saat dicurigaiadanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous
drainage secara tepat.

Untuk membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut, terdapat


beberapa sistem skoring yang telah diajukan dan hingga kini yang paling banyak
digunakan adalah sistem skoring Alvarado.8,10Dalam skoring ini, terdapat delapan
parameter yang digunakan. Interpretasi dari skor Alvarado yaitu : pasien dengan skor
≥7 berisiko tinggi mengalami apendisitis akut, sedangkan pasien dengan skor <5
memiliki risiko sangat rendah.5,6

Tabel Skor Alvarado2,3,9


Kriteria Nilai
Migrasi nyeri ke RLQ 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri tekan dalam RLQ 2
Rebound tenderness 1
Demam (>37.3 C) 1
Leukositosis (>10.000) 2
Shift to the left (>75%) 1
Interpretasi
<5 : appendicitis unlikely
5-6 :appendicitis possible
7-8 : appendicits probable
9-10 : appendicitis definite
11

Pasien segera dirujuk setelah penegakkan diagnosis dan penatalaksaan awal


seperti berikut:
1. Bed rest total posisi fowler (anti trandelenberg)
2. Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
mulut
3. Penderita perlu cairan intravena untuk mengkoreksi dehidrasi
4. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi
distensi abdomen. 3
12

BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi

a. Peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ, dimana

patogenis utamanya diduga karena obstruksi pada lumen yang disebabkan

oleh fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat).

b. Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan

merupakan penyebab paling umum.

c. Appendisitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil, yaitu

saluran kecil yang mempunyai diameter sebesar pensil dengan panjang 2-6

inci. Lokasi appendik pada daerah illiaka kanan, dibawah katup illiocaecal,

tepatnya pada dinding abdomen dibawah titik Mc burney.

B. Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :

1. Apendisitis akut, dibagi atas:

a. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh

akan timbul striktur lokal.

b. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.

2. Apendisitis kronis, dibagi atas:

a. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan

timbul striktur lokal.

b. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya

ditemukan pada usia tua.


13

C. Penyebab/ Factor Predisposisi

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya

proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus

diantaranya Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing

askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari

kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang mempermudah

terjadinya radang apendiks, diantaranya :

a. Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis

(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh

hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4%

karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit

dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada

bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan 40%

pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut

ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan

rupture.

b. Faktor Bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada

apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi

memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi

feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan

adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus,


14

lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang

menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%

c. Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter

dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan

letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan

kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat

memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

D. Manifestasi Klinis/tanda dan gejala

 Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis antara lain :

a. Nyeri perut.

Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus

atau periumbilikus. Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri

yang dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam nyeri akan beralih ke

kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih

tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

Namun pada beberapa keadaan tertentu (bentuk apendiks yang lainnya),

nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi apendiks). Ujung

apendiks yang panjang dapat berada pada daerah perut kiri bawah,

punggung, atau di bawah pusar. Namun terkadang, tidak dirasakan

adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga

penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap

berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.


15

b. Anoreksia (penurunan nafsu makan).

c. Mual dan muntah

Dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup

lama, kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali.

d. Keinginan BAB atau kentut.

e. Demam

juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak

lebih dari 1oC (37,8oC – 38,8oC). Jika terjadi peningkatan suhu yang

melebihi 38,8oC. Maka kemungkinan besar sudah terjadi peradangan

yang lebih luas di daerah perut (peritonitis).

  Timbulnya gejala yang bergantung pada letak apendiks ketika meradang.

Berikut gejala yang timbul tersebut :

1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum

(terlindung oleh sekum),

1) Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda

rangsangan peritoneal.

2) Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat

melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan

mengedan.

3) Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang

dari dorsal.
16

2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

1) Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul

gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik

meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-

ulang (diare).

2) Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat

terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit

dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada

waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut

beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.

E. Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh

hyperplasia folikel limfoid, fecolith, benda asing, striktur akibat peradagan

sebelumnya atau tumor.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi oleh mukosa

mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak namun

elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan

peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan

menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapendesis bakteri dan

ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai

nyeri epigastrium.
17

Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut

akan mengakibatkan obstruksi vena, udem bertambah, dan bakteri menembus

dinding. Karena obstruksi vena dapat terbentuk thrombus yang menyebabkan

timbulnya iskemi yang bercampur kuman yang mengakibatkan timbulnya pus.

Peradangan ini dapat meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga

menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut appendisitis

supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding

appendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut appendisitis

gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh ini pecah maka akan terjadi

appendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu masa lokal yang

disebut infiltrat appendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi

abses atau menghilang.

F. Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,

sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.

2. Palpasi

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan

bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah

merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah

akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing
18

(Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan

terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg

Sign).

3. Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis,

untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat

dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks

yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci

diagnosis pada apendisitis pelvika.

4. Pemeriksaan uji psoas

Dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas

dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul

kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan.

Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan

tersebut akan menimbulkan nyeri.

5. Pemeriksaan uji obturator

Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi

sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak

dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka

tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada

apendisitis pelvika.

G. Pemeriksaan Diagnostik

1. Laboratorium

 Pemeriksaan darah lengkap → Ditemukan jumlah leukosit antara

10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Jika terjadi


19

peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah

mengalami perforasi (pecah).

 Test protein reaktif (CRP). → Ditemukan jumlah serum yang meningkat.

2. Radiologi

 Pemeriksaan ultrasonografi → Ditemukan bagian memanjang pada

tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Cukup membantu dalam

penegakkan diagnosis apendisitis (71 – 97 %)

 CT-scan → Ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta

perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya

pelebaran sekum. Tingkat keakuratannya 93 – 98 %.

H. Penatalaksanaan

1. Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling

tepat adalah segera dilakukan apendiktomi. Apendiktomi dapat dilakukan

dalam dua cara, yaitu :

a. Cara terbuka

b. Cara laparoskopi.

2. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler,

maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi

antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik

yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob.

 Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi

dapat dilakukan.
20

 Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka

dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian

dilakukan apendisektomi.

 Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan

pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan

tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat

dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.

3. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan

 Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan

 Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan

I. Komplikasi yang dapat terjadi

Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang

menjadi peritonitis atau abses apendiks

1. Tromboflebitis supuratif

2. Abses subfrenikus

3. Obstruksi intestinal
21

BAB III
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix


vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering
pada anak-anak maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus
bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan
remaja Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala
awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak
bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan
timbul muntah-muntah dan anaka akan menjadi lemah dan letargik.
Karena gejala yang tidak khas tadi, appendicitis sering diketahui setelah
terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90% appendicitis baru diketahui setelah
terjadi perforasi. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan
fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis
appendicitis.
22

DAFTAR PUSTAKA

1. Chaurasia BD. 2016. Human Anatomy Regional and Applied. Edisi ke-7. New
Delhi: CBS Publishers & Distributors.
2. Pisano, M., Coccolini, F., Bertoli, P., Giulii, M., Capponi., Poletti, E., Naspro, R.,
Ansaloni, L. 2013. Conservative Treatment for Uncomplicated Acute
Appendicitis in Adults. Emergency Medicine and Health Care. 1:2. DOI
:.org/10.7243/2052-6229-1-2.
3. Pengurus Besar IDI. 2017. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi I. Jakarta: IDI.
4. Wilms, IMHA., de Hoog, DENM., de Visser, DC., Janzing HMJ.2013.
Appendectomy Versus Antibiotic Treatment for Acute Appendicitis. Cochrane
Database of Systematic Reviews. Issue 11.Art.No.:CD008359.DOI:
10.1002/14651858.CD008359. Diakses tanggal 29 Mei 2019:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22071846
5. Sjamsuhidajat, R. .2010. Buku AjarIlmu Bedah. Jakarta: EGC.
6. Becker P, Fichtner-Feigl S, Schilling D. 2016. Clinical Management of
Appendicitis. Clinical Therapeutic Review; Visc Med 2018;34:453-458. Diakses
tanggal 29 Mei 2019: https://www.karger.com/Article/FullText/494883
7. Barry, EB. 2018. Appendicitis. Medscape. Diakses tanggal 30 Mei
2019;https://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#a5
8. Dinc, B., Oskay, A., Dinc, S., Bas,B., Tekin, S. 2015. New parameter in
Diagnosis of Acute Appendicitis: Platelet Distribution Width. World Journal of
Gastroenterology DOI: 10.3748/wjg.v21.i6.1821.
9. Windi S, Sabir W. 2016. Perbandingan Antara Suhu Tubuh, Kadar Leukosit, Dan
Platelet Distribution Width (Pdw) Pada Apendisitis Akut Dan Apendisitis
Perforasi Di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu Tahun 2014. Jurnal Kesehatan
Tadulako Vol. 2 No. 2, Juli 2016 : 1-72.
10. Baresti, SW., Rahmanto,T. 2017. Sistem Skoring Baru untuk Mendiagnosis
Apendisistis Akut.Majority; Volume 6; 3; Juli 2017.
11. Brunner & Suddarth. 2008. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC
12. Carpenito, Lynda Juall- Moyet. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi
10. Jakarta : EGC
13. Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta:
EGC
14. Guyton & Hall. 2003. Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta : EGC
23

15. Mansjoer A,. dkk. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius
16. Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC

17. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta,
2005,hlm.639-645.
18. Zeller, J.L., Burke, A.E., Glass, R.M., ”Acute Appendicitis in Children”, JAMA,
http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 15 Juli 2007, 298(4): 482.

19. Simpson, J., Humes, D. J., “Acute Appendicitis”, BMJ,


http://www.bmj.com/cgi/content/full/333/7567/530, 9 September 2006, 333: 530-
536.
20. Appendisitis. http://ijul-fkua.blog.friendster.com/ [last update 5 Oktober 2007]

21. Alhadrami S. Acute Appendicitis. http://learningcenter.insancendekia


org/artikel/acute-appendicitis [last update 16 januari 2007]

22. Schwartz I Samuor : Appendicitis In Principles of Surgery 7th. New York.


McGraw-Hill Companies.1999, pp1191-1225

23. Appendisitis. http://theeqush.workpress.com/ [last update 10 Maret 2008]


24. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah
Digestif”, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan
Kelima. Media Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.

25. Grace, Pierce. A., Neil R. Borley., At a Glance, Edisi 3. Erlangga, Jakarta, 2007,
hlm.106-107.

Anda mungkin juga menyukai