Lapsus Appendicitis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

Laporan Kasus

Appendicitis Akut

Disusun oleh:
Siti Hadriyanti Yapi
Pembimbing
dr. Suci Pandu Citra

Program Intership RS Batara Siang


2021
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Nn. N
Umur : 21 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pangkep
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan
Pendidikan : SMA

1.2 ANAMNESIS
Keluhan utama
Nyeri perut kanan bawah

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang dibawa ke UGD RSUD Batara Siang Pangkep, dengan
keluhan nyeri perut kanan bawah memberat sejak pukul 05.00 pagi, keluhan nyeri
perut awalnya dirasakan sejak kemarin , nyeri perut awalnya dirasakan di ulu hati,
kemudian berpindah ke kanan bawah. Keluhan lain yang dirasakan antara lain
mual (+), muntah (+) setiap kali makan, dalam sehari lebih dari 10 kali, nafsu
makan menurun (+), demam (+) sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Buang
air besar dan buang air kecil pasien dirasa normal tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi, DM, asma, sakit jantung, alergi dan operasi
sebelumnya disangkal
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga lain yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 456
Vital Sign
Tekanan darah : 120/60 mm/Hg
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 38,5 0C
Nadi : 120 x/menit
VAS :7
Status Generalis
Kepala Leher : anemis (-) / ikterus (-) / cyanosis (-) / dyspneu (-)
pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya (+)/(+)
Thorax : Bentuk dada simetris(+), Gerak nafas simetris(+)
Pulmo : vesikuler/vesikuler Ronchi(-) Wheezing(-)
Cor : S1S2 Tunggal, reguler, takikardi, murmur (-)
Ekstremitas : Akral Hangat Kering Merah (+)/(+), CRT <2”
Status Lokalis Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris, flat (+)
Auskultasi : Bising usus dalam batas normal
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Soepel (+), Massa (-), Nyeri tekan (+) Mc Burney, Nyeri
tekan lepas (+), Obturator Sign (+)
1.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Lengkap
WBC 15.900
RBC 5,01 x 106
Hb 14,2
HCT 39,7
PLT 288.000
PPT 27,3
APTT 41,3
Renal Function Test
BUN 13,1
Kreatinin 26
Liver Function Test
SGOT 20
SGPT 13
Glukosa
GDA 133

1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


USG Abdomen
R. McBurney : Nyeri tekan probe (+), tampak struktur target sign non
compressed avaskular edematus diameter ± 1cm disertai fat stranding (+) dan
echocairan bebas minimal yang terlokalisir, tidak tampak struktur tubuler blunt
ended non compressed avaskular edematus
Kesimpulan : Suspect Appendisitis Akut DD Periapendikuler Infiltrat

1.6 SKOR ALVARADO


Symptoms Score Pada Pasien Ini
Migration of pain to the RLQ 1 1
Nausea/Vomiting 1 1
Anorexia 1 1
Signs
Tenderness in RLQ 2 2
Rebound Pain 1 1
Elevated Temperature 1 1
Laboratory Findings
Leucocytosis 2 2
Shift to the left 1 0
Total 9

Interpretasi:
Skor 7-10= Appendisitis akut
Skor 5-6= Curiga Appendisitis akut
Skor l-4= Bukan Appendisitis akut

1.7 DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
Appendisitis Akut

Diagnosis Banding
 Appendisitis Perforasi

1.8 PENATALAKSANAAN
KIE
Puasa paling sedikit 6 jam sebelum operasi
Terapi
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Omeprazole 1 vial/ 12 Jam/ iv
 Inj. Anbacim 1 gr/ 12 jam
 Lapor dokter bedah
1.9 PROGNOSIS
• Ad vitam : Bonam
• Ad fungsionam : Bonam
• Ad sanasionam : Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia 10-30 tahun (Mansjoer, 2010).
Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran
kanan bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen
darurat. Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut (Smeltzer, 2005).

2.2 ANATOMI APENDIKS


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm,
dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insidens apendisitis pada usia itu. Persarafan parasimpatis berasal dari
cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri
apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis 10.
Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Pendarahan apendiks berasal dari arteri
apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Persarafan sekum dan apendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis
dan parasimpatis dari plekxus mesenterica superior. Serabut saraf simpatis berasal
dari medula spinalis torakal bagian kaudal, dan serabut parasimpatis berasal dari
kedua nervus vagus. Serabut saraf aferen dari apendiks vermiformis mengiringi
saraf simpatis ke segmen medula spinalis thorakal 10. Posisi apendiks terbanyak
adalah retrocaecal (65%), pelvical (30%), patileal (5%), paracaecal (2%), anteileal
(2%) dan preleal (1%) (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Pada 65% kasus, apendiks
terletak intraperitoneal, yang memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus
selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di
belakang kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks
(Schwartz, 2000). Anatomi apendiks dapat dilihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Anatomi Apendiks (Encyclopaedia Britannica, 2006)

2.3 FISIOLOGI APENDIKS


Secara fisiologis apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir
tersebut normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada
patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks adalah IgA, imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini sangat kecil
jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Istilah
usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus
yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalam
sistem imun sekretorik di saluran pencernaan, namun pengangkatan apendiks
tidak menimbulkan defek fungsi sistem imun yang jelas (Schwartz, 2000).
2.4 EPIDEMIOLOGI
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara
berkembang. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30
tahun, setelah itu menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih
banyak dari pada wanita (Sandy, 2010).

2.5 KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004):
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah
nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney.
Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat.
Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di
daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan
(Rukmono, 2011).
a. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi
serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri
pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2011).
b. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda
supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks
berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut
gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen
(Rukmono, 2011).
c. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
(Rukmono, 2011).
d. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan
pelvikal (Rukmono, 2011).
e. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis
umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik (Rukmono, 2011).

2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel
inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik
kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan
eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat
(Rukmono, 2011).

2.6 PATOFISIOLOGI APENDISITIS


Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendistis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium (Price, 2005). Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Mansjoer, 2010).

2.7 ETIOLOGI APENDISITIS


Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya
disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan
limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor primer pada
dinding apendiks dan striktur. Penelitian terakhir menemukan bahwa ulserasi
mukosa akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah awal terjadinya
apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan lebih sering dari sumbatan
lumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan peran kebiasaan makan
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari
teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor
lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi antara
lain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat
obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda asing dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi
resiko apendisitis baik dilihat dari pelayan keshatan yang diberikan oleh layanan
kesehatan baik dari fasilitas maupun non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain
adalah faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi
defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko
apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

2.8 DIAGNOSIS
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh
saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau
rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus. Obstipasi karena penderita takut
untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain
adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C tetapi jika suhu lebih
tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010). Pada
pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi di dapat penderita berjalan membungkuk
sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan
penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses
(Departemen Bedah UGM, 2010). Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar
atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati
dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri.
Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah adalah :
a. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci
diagnosis.
b. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
c. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.
d. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan
oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan.
e. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks.
f. Obturator sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok pada auskultasi akan terdapat
peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu
dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis
maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur
(Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM,
2010).
Apendisitis dapat didiagnosis menggunakan skor alvarado yang dapat
dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Gambaran klinis apendisitis akut berdasarkan skor alvarado

Symptoms Score

Migration of pain to the RLQ 1

Nausea/Vomiting 1

Anorexia 1

Signs

Tenderness in RLQ 2

Rebound Pain 1

Elevated Temperature 1

Laboratory Findings

Leucocytosis 2

Shift to the left 1

Total 10

Sumber : www.alvarado score for appendicitis.co.id

Interpretasi:
Skor 7-10= Appendisitis akut
Skor 5-6= Curiga Appendisitis akut
Skor l-4= Bukan Appendisitis akut

2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.
b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang
menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat
sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap
mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi akan
terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak
normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis
infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat infeksi pada
ginjal.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Apendikogram Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras
BaS04 serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara

peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk
anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram dibaca oleh
dokter spesialis radiologi.
b. Ultrasonografi (USG)USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong
nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia
basal, atau efusi pleura (Penfold, 2008)

2.10 DIAGNOSIS BANDING


Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis
karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
apendisitis, diantaranya :
a. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare
mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis
kurang menonjol dibandingkan, apendisitis akut.
b. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan
mual dan nyeri tekan perut.
c. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh
hasil positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan hematokrit yang
meningkat.
d. Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan nyeri
perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya
disertai keputihan dan infeksi urin.
e. Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklusmenstruasi.
Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.
f. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar
rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvik
dan bisa terjadi syok hipovolemik.
g. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan
apendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip
pada apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah
yang sama.
h. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
i. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai
apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria
dan terjadi demam atau leukositosis.

2.11 PENATALAKSANAAN APENDISITIS


Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operatif.
1. Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang
tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian
antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada
penderita apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian
cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik (Oswari, 2000).
2. OperatifBila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka
tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks.
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan
drainase (Oswari, 2000).

2.12 PROGNOSIS
Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan persiapan
prabedah, serta stadium penyakit pada waktu intervensi bedah. Apendisitis tak
berkomplikasi membawa mortalitas kurang dari 0,1%, gambaran yang
mencerminkan perawatan prabedah, bedah dan pascabedah yang tersedia saat ini.
Angka kematian pada apendisitis berkomplikasi telah berkurang dramatis menjadi
2 sampai 5 persen, tetapi tetap tinggi dan tak dapat diterima (10-15%) pada anak
kecil dan orang tua. Pengurangan mortalitas lebih lanjut harus dicapai dengan
intervensi bedah lebih dini (Grace, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Encyclopaedia Britannica. 2006. Appendicitis. Tersedia pada:


https://www.britannica.com/science/appendicitis (diakses 16 Februari 2018)

Departemen Bedah UGM. 2010. Apendik. Tersedia pada:


http://www.bedahugm.net/tag/appendix (diakses 16 Februari 2018)

Departemen Kesehatan R.I., 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun


2008. Jakarta.

Grace, Pierce. A., Neil R. Borley., 2007. At a Glance, Edisi 3 hlm.106-


107. Jakarta: Erlangga

Mansjoer, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.

Oswari, E., 2000. Bedah dan Perawatannya. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Penfold, et al, 2008. Geographic disparities in the risk of perforated


appendicitis among children in Ohio. International Journal of Health Geographics,
Vol 56 No 7, 2008. Tersedia pada: http://www.ik-healthgeographics.com (diakses
16 Februari 2018)

Price S. 2005. Patofisiologi. Volume ke-2. Jakarta: EGC

Rukmono, 2011. Bagian Patologik Anatomik, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, Jakarta.

Sandy C. 2010. Acute appendicitis. Tersedia pada;


http://www.emedicine.com/ emerg/topik41.html (diakses 16 Februari 2018)

Santacroce R, Craig S. 2009. Appendicitis. Tersedia pada:


http://www.emedicine.com. (diakses 16 Februari 2018)

Scwartz, I.S. 2000. Principles of Surgery 7th. Jakarta: EGC


Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC.

Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah
Edisi 8 Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai