S 2

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Cerpen di Dunia

Posted on 29 November 2013

Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif.
Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi
yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya,
cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema,
bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya
bisa dalam berbagai jenis.

Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat
tiba pada tujuannya, dengan parallel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya novel
yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur.

Cerita pendek berasal-mula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah
terkenal seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk
puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk
mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-naratif
individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya baru
terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.

Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon
dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani yang
bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari bangsa-
bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal sebagai Fabel
Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah Fabel. Fabel, dalam
khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang binatang. Cerita fabel yang
populer misalnya Kisah Si Kancil, dan sebagainya.

Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa Kekaisaran Romawi.
Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis yang singkat, yang mencakup
satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang bertahan belakangan dikumpulkan
dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14. Anekdot tetap populer di Eropa hingga abad
ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi karya Sir Roger de Coverley diterbitkan.

Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis pada awal abad
ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya Geoffrey Chaucer Canterbury Tales dan karya
Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku ini disusun dari cerita-cerita pendek yang terpisah
(yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang dikarang dengan baik), yang ditempatkan
di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah cerita kerangka), meskipun perangkat cerita
kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis. Pada akhir abad ke-16, sebagian dari cerita-cerita
pendek yang paling populer di Eropa adalah “novella” kelam yang tragis karya Matteo Bandello
(khususnya dalam terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan, istilah novella digunakan
untuk merujuk pada cerita-cerita pendek.
Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang diperhalus,
“nouvelle”, oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada 1690-an, dongeng-
dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling terkenal adalah
karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama Seribu Satu Malam karya
Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12) menimbulkan pengaruh
yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya Voltaire, Diderot dan lain-lainnya pada
abad ke-18.

Di Yunani, cerpen klasik berupa fabel yaitu cerita yang pelakunya para binatang yang
dimanusiakan. Fabel ini mulai beredar di masyarakat sekitar 500 SM tetapi baru ditulis dengan
rapi pada abad II. Pada abad kedelapan, lahirlah serial cerpen lisan klasik 1001 Malam. Cerpen
klasik bertema romabtik ini pertama kali dipublikasikan dalam bentuk buku pada tahun 1704 di
Prancis.

Di Prancis, lahirnya cerpen dipelopori oloeh Guy de Maupassant(1850-1893). Guy juga


termasuk bapak cerpen dunia.Guy yang pernah belajar di seminari, dikenal piawai dalam
merangkai plot cerita yang ditulisnya dengan bahasa yang sangat indah dan memberikan kesan
kelembutan. Salah satu cerpen yang mendunia berjudul The Neckale. Cerpen ini terhimpun
dalam buku kumpulan berjudul Contes du jour et de la nuit(1885). Selain itu masih ada 11 buku
kumpulan cerpen lainnya, yang diterbitkan hanya dalam rentang waktu lima tahun. Kemudia ia
menulis novel dan naskah drama.Ia sangat produktif, ditengah kesibukannya dalam kancah
politik.

Sejak itulah cerpen memasyarakat dan lahirlah cerpen modern. Karya tersebut dipublikasikan di
berbagai media cetak , khususnya majalah sastra.Cerpen berkembang pesat sejak pertengahan
Abad XIX, tidak hany di Eropa tapi juga di Amerika Serikat. Washington Irving(1783-1859),
Edgar Allen Poe(1809-1849) dan Anton Chekhov (1860-1904) digelari sebagai bapak cerpen
dunia oleh para kritikus.

Anton Chekhov, sastrawan Rusia, bahkan menjadi pengarang pertama yang mampu menulis
cerpen yang sangat pendek. Chekhov dikenal sebagai sastrawan yang sulit di tandingi, kecuali
oleh Guy de Maupasssant. Kehebatan karya Chekov terletak pada pendeknya. Tetapi karyanya
yang paling pendek pun tetap utuh, selesai dan indah. Selain itu, ia juga menulis novel, naskah
drama dan skenario film.

Sedangkan Edgar Allen Poe dipuji sebagai sastrawan yang mampu menulis cerpen tipe well-
made short-story yang sangat indah dan utuh. Cerpennya yang berjudul The Cask of Amontillado
sangat termashur. Lain lagi dengan Washington Irving, daya tarik karya cerpennya terletak
pada temanya yang dianggap mampu menghibur pembacanya. Ia mengangkat masalah-masalah
sosial untuk dijadikan cerpen yang dibumbui humor. Pengarang ini tekun melakukan studi,
khususnya studi mengenai sejarah Eropa dan Amerika.

Awalnya dari Mesir


Dalam sejarah-sastra dunia, Mesir kuno disebut-sebut sebagai asal muasal tradisi penulisan
cerpen, tepatnya pada 3200 SM. Cerpen tertua di dunia ditemukan dalam lembar daun lontar
yang diperkirakan dituis sekitar tahun 3000 SM. Selain itu ditemukan pula flash-flash di nisan-
nisan kuburan tua di Mesir. Bahkan, konon banyak karya cerpen Mesir yang kemudian disadur
menjadi naskah drama, salah satunya seperti yang terjadi pada kisah Piramus dan Tisbi oleh
sastrawan Shekespeare.

Cerpen lalu berkembang di tanah Eropa pada 1812. Amerika baru mengenal cerpen pada 1912
hingga dikenallah kemudian nama Edgar Allan Poe disebuat sebagai bapak cerpen bersifat
detektif, sementara Nathanael Hawthorne terkenal dengan sisipan falsafah dalam setiap karya
cerpennya. (amelchan24)

Sejarah Cerpen di Nusantara


Posted on 29 November 2013

Di Indonesia, cerpen mulai berkembang sejak zaman Pujangga Baru (tahun 1930-an) dan
berkembang pesat sejak zaman kemerdekaan. Tokoh-tokoh penulis cerpen di Indonesia antara
lain Sitor Situmorang, Asrul Sani, Iwan Simatupang, Budi Darma, W.S. Rendra, Umar Kayam,
Subagio Sastrowardoyo.

Unsur dan Ciri Khas


Cerita pendek cenderung kurang kompleks dibandingkan dengan novel. Cerita pendek biasanya
memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang tunggal, jumlah
tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang singkat.

Dalam bentuk-bentuk fiksi yang lebih panjang, ceritanya cenderung memuat unsur-unsur inti
tertentu dari struktur dramatis: eksposisi (pengantar setting, situasi dan tokoh utamanya),
komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik dan tokoh utama);
komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik); aksi yang meningkat,
krisis (saat yang menentukan bagi si tokoh utama dan komitmen mereka terhadap suatu
langkah); klimaks (titik minat tertinggi dalam pengertian konflik dan titik cerita yang
mengandung aksi terbanyak atau terpenting); penyelesaian (bagian cerita di mana konflik
dipecahkan); dan moralnya.

Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage merupakan cerita
kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite atau Mitos lebih mengarah pada cerita yang terkait
dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul.
Sedangkan legenda mengandung pengertian sebagai sebuah cerita mengenai asal usul terjadinya
suatu tempat. Contoh Banyuwangi.

Karena pendek, cerita-cerita pendek dapat memuat pola ini atau mungkin pula tidak. Sebagai
contoh, cerita-cerita pendek modern hanya sesekali mengandung eksposisi. Yang lebih umum
adalah awal yang mendadak, dengan cerita yang dimulai di tengah aksi. Seperti dalam cerita-
cerita yang lebih panjang, plot dari cerita pendek juga mengandung klimaks, atau titik balik.
Namun demikian, akhir dari banyak cerita pendek biasanya mendadak dan terbuka dan dapat
mengandung (atau dapat pula tidak) pesan moral atau pelajaran praktis.
Seperti banyak bentuk seni manapun, ciri khas dari sebuah cerita pendek berbeda-beda menurut
pengarangnya.

Perkembangan Cerpen di Nusantara


Cerita pendek Indonesia dalam satu dasawarsa ini, agaknya makin mengukuhkan jati dirinya. Ia
tak hanya muncul seperti gelombang yang secara kuantitatif melampaui penerbitan novel dan
drama, tetapi juga seperti menempatkan dalam mainstream-nya sendiri. Maka, tidak dapat lain,
pembicaraan mengenai cerpen Indonesia, mesti dilekatkan pada dirinya an sich dan bukan
sebagai tempelan atau sekadar pelengkap. Kini cerpen Indonesia menunjukkan jalan hidupnya
yang lebih mandiri. Kajian kritis terhadapnya dan pembicaraan cerpen dalam institusi
(pendidikan) sastra, oleh karena itu, mesti berada dalam kotak tersendiri.

Dalam konteks membangun kritik, masalah estetika merupakan salah satu wilayah garapan yang
terpusat pada teks. Wilayah lainnya menyangkut pembaca, penerbit, dan pengarang. Dalam
wilayah yang disebut terakhir inilah, kita berhadapan dengan berbagai hal yang menyangkut diri
pengarang, termasuk di dalamnya persoalan tokoh dan ketokohan seseorang. Jadi, ketika kita
berbicara mengenai seorang Sutardji Calzoum Bachri atau siapa pun, kita akan menelusuri
kegelisahan kulturalnya, pencarian dan pencapaian estetik dalam ragam sastra yang dimasukinya,
tempatnya yang pas dalam sejarah sastra, dan berbagai hal yang melingkarinya. Gagasan dari
manakah yang menyatakan pembicaraan kepengarangan (ketokohan) seseorang dalam konteks
membangun kritik (criticism) dianggap tak relevan?

Berdasarkan pemahaman itu, perbincangan mengenai kecerpenan siapa pun yang muncul
belakangan ini justru menjadi sangat signifikan. Ia tak sekadar relevan dengan kondisi objektif
lahirnya sejumlah nama dengan kegelisahan dan style yang masing-masing terasa begitu khas,
tetapi juga lantaran sampai sejauh ini, cerpen Indonesia mutakhir terkesan tak punya hubungan
dengan gerakan cerpen sebelumnya. Ia seperti tercerabut dari masa lalunya. Bagaimana
sesungguhnya peta perjalanan cerpen kita? Belum lagi yang menyangkut gerakan estetiknya
yang juga belum banyak diangkat sebagai sebuah wacana perdebatan. Jadi, diskusi soal
kecerpenan itu, penting untuk memetakan perjalanan cerpen Indonesia sebagai bagian tak
terpisahkan dari kesusastraan dan wilayah kebudayaan Indonesia secara keseluruhan.

Bagaimanapun juga, pembicaraan tokoh dan ketokohan, di dalamnya termasuk karya-karya


(berikut soal estetik) yang telah dihasilkannya. Bagaimana mungkin kita membicarakan
kepengarangan seorang yang tak berkarya? Jika ada perbincangan kritis atas ketokohan
seseorang, konteksnya mengacu pada karya yang dihasilkannya, dan bukan pada peranan sosial
yang tak berhubungan dengan kepengarangannya. Sebaliknya, pembicaraan ini menjadi tak
berdasar jika secara gegabah, kita memejamkan mata terhadap dinamika cerpen Indonesia
mutakhir dan menafikan semangat estetiknya. Sekadar berdiri mematung lantaran terpukau oleh
estetika masa lalu, tentu saja tidak sehat bagi sebuah perkembangan. Dengan begitu, kisah sukses
capaian estetik masa lalu, hendaknya tidak dalam kerangka bernostalgia, tetapi menempatkannya
dalam konteks perjalanan sejarah.

Begitulah, untuk menatap perspektif dan berbagai kemungkinan capaian estetik cerpen Indonesia
kontemporer ini, tidak dapat lain, kita mesti mencari alat ukur dan bahan pembandingnya. Dalam
hubungan itu, maka perbincangan cerpen Indonesia yang muncul dalam satu dasawarsa terakhir
ini tidak berarti serta-merta mengubur capaian estetik yang telah ditorehkan sebelumnya. Dengan
membenamkan itu –apalagi dengan mematikannya seperti yang dilansir Hudan Hidayat—kita
akan kehilangan alat komparasi. Di samping itu, mengingat adanya beberapa kesesatan dalam
menempatkan kelahiran dan perjalanan cerpen Indonesia, maka perbincangan ini menjadi sangat
relevan, penting, dan mendesak.

“Dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia, cerpen merupakan genre sastra yang jauh lebih
muda usianya dibandingkan dengan puisi dan novel. Tonggak terpenting sejarah penulisan
cerpen di Indonesia dimulai oleh cerita-cerita M. Kasim (bersama Suman Hs.) pada awal tahun
1910-an, yang memperkenalkan bentuk tulisan berupa cerita-cerita yang pendek dan lucu. Sejak
saat itulah, di Indonesia mulai dikenal bentuk penulisan cerita pendek (cerpen).” Demikia nsalah
satu bagian dari keterangan yang terdapat dalam buku Horison Sastra Indonesia 2 : Kitab Cerita
Pendek (2002: xiii—xiv).

Pandangan ini sejalan dengan gagasan yang dilontarkan Ajip Rosidi (Tjerita Pendek Indonesia,
1959) yang juga menempatkan Muhammad Kasim dan Soeman Hs. sebagai perintis cerpen
Indonesia. Dengan bersumberkan majalah Pandji Poestaka (1923) yang banyak memuat cerita-
cerita lucu M. Kasim –belakangan diterbitkan sebagai kumpulan cerita lucu, Teman Duduk,
1936—Ajip menelusuri jejaknya dari tradisi sastra lisan penglipur lara dengan tokoh-tokoh si
Kabayan, Lebai Malang, dan Jaka Dolog.

Itulah kesesatan serius dalam menempatkan kelahiran cerpen Indonesia. Bagaimana mungkin
karya-karya M. Kasim dalam Pandji Poestaka mendahului cerita-cerita sejenis yang dimuat
majalah Sri Poestaka (1918), dan majalah atau surat kabaryang terbit jauh sebelum itu, seperti
Biang-lala (Batavia, 1868; dwi-mingguan), Sahabat Baik (Betawi, 1891; tidak teratur), Pewarta
Prijaji (Semarang, 1900; bulanan), Soenda Berita (Cianjur, 1903; mingguan), Bintang Hindia
(Bandung,1903; dwi-mingguan), Medan Priyayi (Batavia, 1907; harian), Poetri Hindia (Betawi,
1908; dwi-mingguan), Bok-Tok (Surabaya, 1913; mingguan). Majalah Sahabat Baik, bahkan
secara jelas mencantumkan sub judulnya seperti ini : “Hikayat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen,
dan lain-lain daripada itu.”

Meskipun para penulis cerita ringan dan lucu itu, sebagiannya masih menggunakan nama
samaran, setidak-tidaknya cerpen Kanaiki “Trang Boelan Terkenang”, Delima “Djiwa Manis
Haloes Tipoenja”, dan Rineff (Rustam Effendi) “Djoerang jang tiada dapat di djembatani” masih
dapat kita lacak nama aslinya melalui karya lain atau tanggapan terhadap karya-karya itu.
Pasalnya, dalam karya berikutnya atau dari tanggapan pembaca, pengarang sering kali
mencantumkan nama aslinya jika iamenyinggung karya sebelumnya atau jika ia menjawab
tanggapan pembaca itu.

Kesesatan lain terjadi lantaran hampir semua pengamat sastra Indonesia menafikan keberadaan
surat kabar dan majalah. Padahal media massa ini justru menjadi bagian penting dalam sistem
reproduksi karya sastra (cerpen, puisi, dancerita bersambung). Sejak awalnya (akhir abad ke-19)
sampai zaman Jepang, hampir tidak ada cerpen yang dipublikasikan langsung dalam bentuk
buku. Ia muncul lewat penerbitan media massa. Dalam hal ini, cerpen tidak dapat dipisahkan dari
majalah dan suratkabar. Dari sanalah, cerpen Indonesia lahir dan berkembang, dan memperoleh
bentuk yang lebih jelas pada tahun 1930-an.
Pada zaman Jepang, cerpen menjadi makin populer ketika pemerintah pendudukan Jepang
banyak menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Dari sejumlah cerpenis waktu itu, A.S.
Hadisiswoyo, Muhammad Dimyati, Rosihan Anwar pernah memenangi lomba penulisan cerpen.
Beberapa nama lain yang karyanya banyak muncul di media massa pada masa itu, antara lain,
Sanusi Pane, Armijn Pane, dan D. Djokokoesoemo.

Pada tahun 1950-an, cerpen Indonesia makin mapan keberadaannya. Derasnya pengaruh asing,
munculnya semangat kedaerahan, pudarnya dominasi pengarang Sumatra, dan terbitnya berbagai
media massa –termasuk majalah Prosa dan Tjerita Pendek yang dikelola Ajip Rosidi– memberi
kesempatan munculnya cerpenis dari pelosok tanah air. Bersamaan dengan itu, adanya ruang
kebebasan untuk berekspresi, mendorong keberanian melakukan berbagai eksperimen.

Secara struktural, inovasi yang dilakukan lebih banyak menyangkut tema cerita dan tampak
masih ada keterikatan pada konvensi. Dengan begitu, dilihat dari sudut gagasan yang ditawarkan,
gerakan estetiknya lebih menekankan pada aspek tema. Riyono Pratikto (Api dan Si Rangka),
misalnya menampilkan kisah-kisah dunia gaib yang diangkat dari cerita-cerita rakyat; Rendra
(“Mungkin Parmo Kemasukan Setan”) menggugat disiplin Katolik, Ramadhan K.H. (“Antara
Kepercayaan”) mengecam kepicikan penganut tradisional Islam dan Kristen; Pramoedya Ananta
Toer (Subuh) mengangkat kepedihan lahir-batin akibat perang, dan Navis (“Robohnya Surau
Kami”) meledek kepercayaan taklid. Sementara itu, Iwan Simatupang (“Lebih Hitam dari
Hitam”), Sitor Situmorang (“Salju di Paris”), dan P. Sengojo (Sengkuni) mengisahkan
kegelisahan dan kekacauan pikiran yang bertumpang-tindih dengan tindakan.

Jika sebelumnya, agama dan kepercayaan ditempatkan begitu suci dan terhormat, dalam
sejumlah cerpen tahun 1950-an itu, agama tiba-tiba menjadi alat permainan. Eksplorasi pada
kekacauan pikiran dan kegelisahan psikologis digunakan sebagai sarana menyampaikan
eksperimen. Akibatnya, pikiran dan perasaan si tokoh tampak liar, tak terduga, dan aneh.

Memasuki masa Orde Baru dan terus menggelinding sampai tahun 1970-an, kondisi itu seperti
berulang kembali, bahkan jauh lebih luas pengaruhnya. Putu Wijaya, Danarto, Kuntowijoyo –
sekadar menyebut tiga nama — menjadi sangat menonjol dalam deretan nama cerpenis waktu
itu. Teror Putu Wijaya, nafas sufistik Danarto – Kuntowijoyo seolah-olah begitu memukau
dalam kemasan dunia jungkir-balik. Realitas cerpen seperti hendak dikembalikan lagi pada
hakikatnya : cerita. Maka, logika formal tidak berlaku di sana. Dibanding generasi sebelumnya,
cerpenis tahun 1970-an telah berhasil membangun estetikanya justru sejak awal kemunculannya.
Dengan estetikanya itu, mereka tetap bertahan sampai kini. Jadi selain nafasnya panjang, juga
estetika yang ditawarkannya mengakar kokoh hingga dapat bertahan lebih dari tiga
dasawarsa.Kita akan tetap menemukan style dan greget (estetika) yang tak jauh berbeda jika kita
membandingkan cerpen Putu Wijaya (“Ini Sebuah Surat” 1970 atau “Bom”, 1978) atau Danarto
(“Godlob” atau “Armageddon”) dengan cerpen terbarunya (Putu Wijaya, “Tidak”, 1999;
Danarto, “Setangkai Melati di Sayap Jibril”, 2001).

Kuatnya bangunan estetik cerpenis tahun 1970-an itu, memungkinkan mereka dapat bernafas
panjang dan tetap bertahan di tengah bermunculannya generasi berikutnya. Kekuatan bangunan
estetik ini – harus diakui — justru tak begitu tampak pada cerpenis yang oleh Korrie Layun
Rampan dimasukkan ke dalam kotak Angkatan 2000. Sebelum itu, Seno Gumira Ajidarma –
lewat Penembak Misterius (1993) dan Saksi Mata (1994) — memang berhasil menawarkan style
jurnalistik dalam cerpen-cerpennya. Pengaruhnya juga tampak pada sejumlah cerpenis
berikutnya. Tetapi beberapa cerpen terakhir Seno mulai terasa tidak sekuat karya awalnya.
Apakah estetika yang dibangun Seno dapat bertahan sampai entah kapan?

Pertanyaan serupa sesungguhnya dapat kita ajukan kepada cerpenis mutakhir kita. Peluang ke
arah sana tentu saja masih terbuka. Kurnia J.R., lewat “Kereta Berangkat Senja” — awalnya
sungguh menjanjikan. Tetapi kini keberadaannya entah dimana. Yanusa Nugroho niscaya akan
dapat bertahan jika ia konsisten dengan dunia Jawa-nya. Lalu, bagaimana pula dengan Joni
Ariadinata, Taufik Ikram Jamil, Oka Rusmini, Abidah el Khalieqy, Agus Noor, Hudan Hidayat,
Gustaf Sakai, Herlino Soleman dan deretan nama lain yang bertaburan?

Sebagai cerpenis, mereka akan terus bertahan. Tetapi, berdasarkan karyayang telah mereka
hasilkan, sangat mungkin banyak pula yang berguguran. Jamil, Rusmini, dan Sakai jika
konsisten mengeksplorasi kultur etnik, peluang bertaha ntetap terbuka. Bahkan, sangat mungkin
akan menghasilkan monumen jikakonsistensi itu dipelihara terus. Masalah konsistensi ini juga
tentu saja berlaku bagi Khalieqy – lewat pendalaman kisah-kisah sufi — jika ia ingin tetap
bertahan. Sementara Noor dan terutama, Hidayat kebertahanannya bergantung pada
kemampuannya menjaga kegelisahan psikis. Dan itu menuntut keduanya membongkar buku-
buku Sigmund Freud, Carl G. Jung, dan teori psikologi modern. Tanpa itu, keduanya –
barangkali — sekadar bertahan untuk tidak masuk degradasi.

Bahaya besar justru dihadapi Joni Ariadinata. Penemuan estetik yangditawarkannya dalam “Kali
Mati” (1999), ternyata kurang dapat dipelihara dengan baik dalam beberapa cerpennya yang
kemudian (“Kastil Angin Menderu”, 2000; “Air Kaldera”, 2000). Padahal, di antara nama-nama
tadi, Joni telah sangat meyakinkan membuat inovasi; menoreh bangunan estetik – yang
mengingatkan kita pada salah satu klub sepakbola Italia, Chievo Verona. Jika tak berhati-hati,
meski tak mengalami degradasi, paling banter ia bertahan di papan tengah.

Mesti diakui, sejumlah besar cerpenis Indonesia mutakhir, belum teruji oleh waktu. Mencermati
karya-karya yang dihasilkannya, memang tampak seperti sebuah gerakan yang mengusung
sebuah mainstream-nya sendiri. Banyak hal yang sungguh menjanjikan. Tetapi, janji tetap janji.
Ia harus dibuktikan bukan janji kosong, melainkan sebuah monumen! Hanya waktu jualah yang
kelak menentukan.

Dalam esai “Mencari Tradisi Cerpen Indonesia” yang ditulis tahun 1975, Jakob Sumardjo
menyatakan, “Tradisi penulisan cerpen mencapai masa suburnya pada dekade 50-an yang
merupakan zaman emas produksi cerita pendek dalam sejarah sastra Indonesia. ”Salah satu
faktor yang mendukung “Periode Keemasan” itu antara lain munculnya majalah seperti Kisah,
Tjerita, serta Prosa, yang menjadi ruang pertumbuhan cerpen pada saat itu.

Di samping, situasi sosiologis yang dianggap oleh Nugroho Notosusanto tidak menguntungkan
bagi para pengarang pada waktu itu untuk menulis roman atau novel. Setelah pada periode
sebelumnya roman menjadi “tolak ukur” pertumbuhan sastra, pada dekade 50-an itu cerpen
menjadi semacam episentrum penjelajahan estetik.
Pada masa itulah muncul nama-nama seperti Riyono Pratikto, Subagyo Sastrowardoyo, Sukanto
S.A., N.H. Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbud Djunaedi, A.A. Navis, dan sederet nama lain yang,
menurut sastrawan dan kritikus sastra Ajip Rosidi dalam esai “Pertumbuhan dan Perkembangan
Cerpen Indonesia”, disebut sebagai sastrawan yang “pertama-tama dan terutama dikenal sebagai
penulis cerpen”.

Pada periode ini, cerpen Indonesia menunjukkan kematangan bentuk, komposisi, struktur, dan
plot yang terkuasai dengan baik. Hal itu membuat eksplorasi tematik yang banyak dilakukan para
penulis menemukan kematangan dalam bentuk penceritaan. Tak berlebihan apabila pada periode
ini cerpen “menduduki tempat utama dalam kesusastraan Indonesia”, tulis Ajip Rosidi.

Apabila periode itu diletakkan dalam sejarah pertumbuhan sastra kita, terutama menyangkut
cerpen, bolehlah periode itu disebut sebagai “Periode Keemasan Pertama” pertumbuhan cerpen.
Sementara “Periode Keemasan Kedua” terjadi pada sekitar dekade 80-an.

Ada situasi yang relatif sama di antara kedua periode itu, yaitu ; (1) Cerpen menjadi pilihan
utama pengucapan literer, (2) Tingkat produktivitas cerpen yang melimpah, (3) Pertumbuhannya
yang didukung oleh media di luar buku; pada yang pertama ialah majalah dan pada yang kedua
ialah koran, (4) Pencapaian estetis cerpen yang makin menempatkan cerpen sebagai genre sastra
yang kian diperhitungkan.

Keemasan kedua
Barulah pada 1936 karya sastra cerpen mewarnai bangsa kita, Indonesia. Ini dimotori oleh Balai
Pustaka yang membukukan dan menerbitkan cerpen karya M. Kasim yang berjudul “Teman
Duduk”, disusul dengan Suman Hs. dengan cerpen “Kawan Bergelut” yang terbit dua tahun
kemudian. Hingga hari ini cerpen di Indonesia sudahlah marak.

Kita bisa melihat pencapaian-pencapaian estetis cerpen pada “Periode Keemasan Kedua” itu
melalui buku kumpulan cerpen “Riwayat Negeri yang Haru”. Antologi ini disunting oleh Radhar
Panca Dahana, memuat 55 cerpen dari 44 penulis.

Sudah barang tentu buku ini tidak mungkin mampu merepresentasikan pertumbuhan cerpen pada
dekade 80-an secara keseluruhan. Penyebaran cerpen yang meluas di koran membuat upaya
untuk “merekonstruksi” pencapaian estetis pada periode ini menjadi muskil. Namun, buku yang
memuat cerpen-cerpen yang pernah terbit di Kompas sepanjang kurun 1980-1990-an ini
setidaknya bisa menjadi etalase untuk melihat perkembangan dan pencapaian estetis cerpen-
cerpen pada periode itu.

Apalagi, seperti pernah dinyatakan oleh Nirwan Dewanto, pada periode itu Kompas memang
memiliki kedudukan tersendiri, yaitu menjadi media yang cukup signifikan bila kita hendak
memperbincangkan pertumbuhan cerpen ketika media yang mengkhususkan diri pada sastra
mulai meredup pamornya.

Buku ini bisa diletakkan sebagai kelanjutan tradisi penerbitan cerpen yang dilakukan Kompas,
setelah menerbitkan “Dua Kelamin bagi Midin”, dieditori oleh Seno Gumira Ajidarma, yang
menghimpun cerpen-cerpen yang terbit di Kompas dalam rentang tahun 1970-1980. Kitab cerpen
ini memperlihatkan bagaimana pertumbuhan cerpen Indonesia mulai menggeliat setelah pada
tahun 60-70-an dunia sastra kita menempatkan bentuk puisi sebagai episentrum atau pusat
perhatian pencapaian-pencapaian estetis. Inilah suatu masa ketika cerpen terasa inferior
dibandingkan puisi dengan pengecualian pada apa yang dilakukan oleh Danarto dengan cerpen-
cerpennya semacam Godlob.

Pada dekade ini, peran majalah sastra Horison yang memberikan keluasan bagi eksperimentasi
memang memunculkan beberapa cerpen ’eksperimental’ yang mengeksplorasi gaya dan tipografi
penceritaan, tetapi tak terlalu kuat pengaruhnya pada masa-masa kemudian. Pertumbuhan cerpen
kemudian seperti memilih jalan pertumbuhannya sendiri dengan ’memilih’ koran sebagai media
publikasinya.

Hal itu juga tak bisa dilepaskan dari makin lunturnya batas-batas ’sastra serius’ dan ’sastra pop’
— sebagaimana bisa dilihat melalui gerakan puisi mbeling dan mulai maraknya penerbitan novel
pop—yang kemudian ikut meruntuhkan pusat-pusat penandaan sastra.

Koran sebagai media yang bersifat umum, pada akhirnya ikut membentuk karakter cerpen-
cerpen yang terbit pada masa itu, yaitu satu kecenderungan yang menempatkan ’realisme’
sebagai gaya utama penceritaan. Satu gaya yang sesungguhnya juga masih terasa kuat hingga
dekade 1980-an, bahkan 1990-an.

Namun, di tahun 1980-an itulah mulai terasa adanya upaya mencari gaya penceritaan yang lebih
segar dalam cerpen kita. Kemelimpahan jumlah mulai diimbangi semangat untuk mematangkan
bentuk-bentuk penceritaan. Karena itu, kuantitas pun mulai paralel dengan kualitas, setidaknya
bila dibandingkan dengan cerpen-cerpen dekade sebelumnya yang masih dianggap kurang
berhasil dalam bentuk penceritaan.

Itulah sebabnya dekade 80-an boleh dianggap merupakan titik balik pertumbuhan cerpen, setelah
sebelumnya karya sastra kelas dua. Dan itulah yang bisa kita lihat melalui buku ini. Kita bisa
merasakan sebuah gairah kreatif yang memperlihatkan makin matangnya cara bercerita para
pengarang yang produktif di periode ini. Dan, yang pada periode selanjutnya menjadi para
penulis yang banyak memberi pengaruh pertumbuhan cerpen kita, seperti Seno Gumira
Ajidarma, Putu Wijaya, dan juga Radhar Panca Dahana.

Surealisme dan Absurdisme


Pada “Periode Keemasan Kedua” inilah kita mulai merasakan adanya kecenderungan yang kuat
untuk memakai gaya surealisme dan absurdisme sebagai bentuk penceritaan untuk mencapai
efek dramatik dan estetis tertentu dalam cerita.

Boleh jadi, itu menjadi semacam cara untuk membangun sistem tanda dalam cerita hingga
menjadi semacam simbolisme atas peristiwa sosial yang dirujuknya cerpen Karni Yudhistira
A.N.M Massardi, Kepala Bakdi Soemanto, Absurd Joko Quartantyo dalam buku ini menjadi
referen yang pas untuk melihat kecenderungan itu.
Yang menarik dari buku ini ialah keberhasilan editor untuk melihat banyak gejala yang cukup
beragam, baik menyangkut tema maupun gaya bercerita, yang memang menjadi keunikan
tersendiri dalam pertumbuhan cerpen dekade 1980-an.

Setidaknya ini bisa dilihat melalui cerpen-cerpen yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, di mana
yang serius dan yang pop seperti diaduk-aduk melalui gaya penceritaan yang ngelantur dan
nyaris seperti penuh igauan. Cerpen Seno menjadi seperti sungai cahaya berkilauan yang
mengalir dalam kesunyian.

Kita bisa menemukan pula gaya yang dikembangkan Danarto, yang sejak mula selalu
mencampurkan antara yang riil dan nonriil, mulai membawa kecenderungan itu dengan
mengolah cerita yang berlatar belakang metropolitan. Sedangkan Putu Wijaya banyak memakai
’permainan logika’ untuk mencapai suspens cerita. Di luar itu, kecenderungan realisme model
Haris Efendi Tahar dan Jujur Prananto sampai warna lokal Darwin Khudori dan Ahmad Thohari
bisa terangkum dalam buku ini.

Sebagaimana dicatat editor, selama kurun waktu 1981-1990 ada 440 cerpen yang terbit. Di
samping memilih cerpen- cerpen yang dianggap terbaik yang terbit selama kurun waktu itu,
editor juga berhasil memberikan kepada kita keragaman gaya yang dikembangkan para penulis
yang produktif menulis pada periode itu. Hingga kita bisa menjadikan buku ini sebagai referen
yang cukup menolong apabila kita ingin menengok kecenderungan-kecenderungan yang ada
selama “periode keemasan kedua” cerpen kita.

Bagi penikmat sastra, cerpen atau cerita pendek bukanlah hal yang asing. Dengan konsep yang
simpel atau bisa habis dibaca sekali duduk, cerpen menjadi pilihan tersendiri untuk dibaca
dibanding karya sastra lainnya semisal novel yang jumlah halamnya tebal.

Cerpen di Indonesia kerap meriah menghiasi media massa berupa Koran, tabloid, dan juga
majalah. Khusus harian, cerpen akan sangat mudah ditemukan pada hari minggu. Cerpen
semacam bacaan yang ditunggu-tunggu untuk menghibur atau menambah kedalaman rasa lewat
paparan si cerpenis.

Namun di balik semua itu, ternyata perjalanan cerpen Indonesia cukuplah panjang dan dan tak
jarang dipenuhi dengan kontroversi.

Hakikat Cerpen
Seperti kita ketahui, selain puisi, novel, dan juga kisah drama, cerpen pun termasuk salah satu
karya yang lahir dari ibu bernama sastra. Maka disebutlah cerpen sebagai karya sastra.
Mengingat bahwa objek kajian sastra adalah manusia, maka cerpen pun tumbuh dan berkembang
siring sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat itu sendiri. Maka tidak haran jika
problematika kondisi sosial, budaya, politik, keamanan, dan ekonomi masyarakat sekitar yang
terjadi saat itu, akan mempengaruhi sebuah karya sastra berupa cerpen, yang kemudian disebut
dengan unsur ekstrinsik sastra. Sementara soal isi cerpen baik gagasan dan gaya menulis itu
adalah wilayah unsur intrinsik.
Sejak Sumpah Pemuda
Sejatinya, dahulu hanya dikenal sastra nusantara atau sastra kedaerahan. Hal ini ditandai dengan
banyak bermunculannya tradisi sastra lisan berupa mantera-mantera, ragam pantun, dongeng,
dan sejenisnya, yang sejatinya adalah cikal bakal sebuah cerpen terlahir. Namun setelah
dideklrasikannya gerakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang menjadi pijakan
diresmikannya bahasa Indonesia, sastra Indonesia pun ikut lahir. Namun hanya sebatas roman
atau novel-novel, sementara karya sastra berupa cerpen Indonesia pada 1930an baru
bermunculan.

Kalah lama dibanding cerpen daerah, tepatnya sastra sunda, yang pada 1928 sudah melahirkan
buku kumpulan carpon (cerpen) karya G.S. berjudul “Dogdog Pangrewong”.

Anda mungkin juga menyukai