Tinjauan Pustaka

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

2.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tuna
Ikan tuna memiliki bentuk badan seperti cerutu, menandakan kecepatan
dalam pergerakannya. Bagian badannya langsing, sedangkan bagian yang paling
lebar terletak di tengah-tengah. Penampang melintang badan ikan tuna umumnya
berbentuk bulat panjang atau agak membulat. Semua bagian badan ditutupi sisik
(kecuali jenis cakalang sama sekali tidak mempunyai sisik) kecuali pada bagian
dada yang mengeras seperti perisai. Warna punggung biru tua kadang-kadang
hampir hitam, dan cepat sekali berubah bila ikan telah mati, sedangkan bagian
perut berwarna agak keputih-putihan (Simorangkir, 2000). Berikut klasifikasi ikan
tuna menurut (Ditjen P2HP, 2006):
Kingdom: Animalia
Phylum: Chordata
Class: Actinophterigii
Order: Perciformes
Family: Scrombidae
Genus: Thunnus
Species: Thunnus Albacore

Gambar 1. Yellowfin Tuna


Sumber: (Nurjannah, 2011)
Yellowfin adalah tipe dari tuna yang dikonsumsi oleh manusia sebagai
makanan, tuna ini ditemukan diperairan terbuka lautan tropik dan subtropik di
seluruh dunia, tidak terkecuali di laut mediterania. Yellowfin juga disebut ahi atau
tuna ekor kuning, biasanya lebih besar daripada albakora, mencapai berat lebih
dari 150 kg. Dagingnya merah muda pucat dengan cita rasa yang sedikit lebih
5

kuat daripada albakora. Panjangnya dilaporkan dapat mencapai sekitar 2,4


m. Kedua sirip punggung dan sirip ekor berwarna kuning cerah, sebagian
badannya berwarna biru metalik gelap (kehitaman) berubah hingga silver atau
keperakkan di bagian perut, yang juga memiliki sekitar 20 garis vertikal (Ditjen
P2HP, 2006).

Gambar 2. Bigeye Tuna


Sumber: Fishbase.org

Bigeye hidup di perairan laut lepas mulai dari permukaan sampai ke dalam
250 m. Panjang dapat mencapai 236 cm, namun pada umumnya antara 60-180 cm.
Ikan Tuna Bigeye memakan cumi-cumi dan udang. Banyak terdapat pada perairan
barat Sumatera, Laut Banda, Sulawesi Utara, dan utara Irian Jaya (Widianto et al
1990 dalam Nurjannah,2011).
2.2. Komposisi Nilai Gizi Ikan Tuna
Komposisi kimia daging ikan tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelamin
dan musim. Perubahan yang nyata terjadi pada kandungan lemak sebelum dan
sesudah memijah. Kandungan lemak juga berbeda nyata pada bagian tubuh yang
satu dengan yang lain. Ketebalan lapisan lemak di bawah kulit berubah menurut
umur dan musim. Lemak yang paling banyak terdapat pada dinding perut yang
berfungsi sebagai gudang lemak (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan juga
lemak tinggi. Karena kandungan lemak tinggi maka ikan tuna mudah mengalami
ketengikan (rancidity) karena proses oksidasi lemak pada ikan tuna. Komposisi
nilai gizi ikan tuna tersaji pada Tabel 1.
6

Tabel 1. Komposisi Nilai Gizi Ikan Tuna


Jenis Tuna Air (%) Protein Lemak Karbohidrat Abu
(%) (%) (%) (%)
Ekor Kuning 74,20 22,20 2,10 0,10 1,40
Mata Besar 77,50 21,00 0,40 - 1,20
Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000)

2.3. Persyaratan Mutu Tuna Loin Beku


2.3.1. Persyaratan bahan baku
Bahan baku yang digunakan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)
01-4104.2-2006 adalah ikan tuna madidihang (Yellowfin Tuna/Thunnus
albacores), Tuna mata besar (Ikan Bigeye Tuna/Thunnus obesus).
Bahan baku berupa ikan tuna segar yang sudah atau belum disiangi. Bahan
baku berasal dari perairan yang tidak tercemar. Bahan baku harus bersih, bebas
dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan
pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta
tidak membahayakan kesehatan.
Bahan baku yang terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut, maka
bahan baku yang beku harus disimpan dalam ruang penyimpan (cold storage)
dengan suhu maksimal -25°C, saniter dan higienis. Untuk bahan baku yang segar
harus disimpan dalam wadah yang baik dan tetap dipertahankan suhunya dengan
menggunakan es curai sehingga suhu pusat bahan baku mencapai suhu maksimal
4,4°C, saniter dan higienis (SNI 01-4104.1-2006).
2.3.2. Persyaratan Tuna Loin Beku
Persyaratan mutu tuna loin beku menurut Standar Nasional Indonesia
(SNI) 01-4104.1-2006 mengacu pada persyaratan mutu tuna loin beku dapat
dilihat pada Tabel 2.
7

Tabel 2. Persyaratan Mutu Tuna Loin Beku (SNI 01-4104.1-2006)


Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu
a) Organoleptik, nilai minimum Skala hedonik 1-9 7
b) Cemaran mikroba
1) ALT Koloni/gram 5x105
2) Escherichia coli APM/gram <2
3) Salmonela Per 25 gram negatif
4) Vibrio cholerae Per 25 gram negatif

c) Cemaran Kimia
1) Timbal, maks Mg/Kg 0,4
2) Raksa, maks Mg/Kg 1,0
3) Kadmium, maks Mg/Kg 0,5
4) Histamin, maks Mg/Kg 100

d) Fisika
o
1) Suhu pusat, maks C -18

e) Parasit, maks Ekor 0


2

Sumber : SNI 01-4104.1-2006

Keterangan : *) Apabila diperlukan


ALT = Angka Lempeng Total
APM = Angka Paling Memungkinkan
8

2.3.3. Persyaratan Bahan Pembantu


1) Air
Air yang dipakai sebagai bahan penolong untuk kegiatan di unit pengolahan
harus memenuhi persyaratan kualitas air minum.
2) Es
Es yang digunakan harus dibuat dari air yang memenuhi persyaratan sesuai
SNI 01-4872.1-2006, Es untuk penanganan ikan - Bagian 1: Spesifikasi Es
untuk penanganan ikan. Dalam penggunaannya, es harus ditangani dan
disimpan di tempat yang bersih agar terhindar dari kontaminasi.
2.4. Kemunduran Mutu Ikan
Secara umum ikan diperdagangkan dalam keadaan sudah mati dan
seringkali dalam keadaan masih hidup. Pada kondisi hidup tentu saja ikan dapat
diperdagangkan dalam jangka waktu yang lama. Sebaliknya dalam kondisi mati
ikan akan segera mengalami kemunduran mutu. Segera setelah ikan mati, maka
akan terjadi perubahan-perubahan yang mengarah kepada terjadinya pembusukan.
Perubahan-perubahan tersebut terutama disebabkan adanya aktivitas enzim,
kimiawi dan bakteri. Enzim yang terkandung dalam tubuh ikan akan merombak
bagian-bagian tubuh ikan dan mengakibatkan perubahan rasa (flavor), bau (odor),
rupa (appearance) dan tekstur (texture). Aktivitas kimiawi adalah terjadinya
oksidasi lemak daging oleh oksigen. Oksigen yang terkandung dalam udara
mengoksidasi lemak daging ikan dan menimbulkan bau tengik (rancidity).
Perubahan yang diakibatkan oleh bakteri dipicu oleh terjadinya kerusakan
komponen-komponen dalam tubuh ikan oleh aktivitas enzim dan kimia. Aktivitas
kimia menghasilkan komponen yang lebih sederhana. Kondisi ini lebih disukai
bakteri sehingga memicu pertumbuhan bakteri pada ikan. Proses kemunduran
mutu berlangsung sangat kompleks satu dengan lainnya saling berkaitan dan
bekerja secara simultan. Harus selalu dihindarkan terjadinya ketiga aktivitas
secara bersamaan untuk mencegah terjadinya kerusakan secara cepat (Swetja,
2011).
Tuna seperti hasil perikanan lainnya merupakan bahan makanan atau
bahan baku yang memiliki umur pendek, tanpa penanganan dan cara pengolahan
9

yang tepat ikan dan produk perikanan lainnya tidak akan banyak manfaatnya bagi
manusia. Ikan segar sebagai bahan baku yang kandungan airnya tinggi, cepat
menjadi busuk karena secara alamiah ikan segar yang telah mati itu mengandung
berbagai jenis bakteri pembusuk dan enzim-enzim pengurai yang secara alami
berfungsi membantu metabolisme ikan waktu masih hidup. Proses pembusukan
ikan melalui tahap-tahap seperti autolisis diikuti proses rigormotis dan setelah
rigor ikan atau produk perikanan itu sudah menuju pada keadaan busuk.
Kesegaran bahan baku sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu. Penurunan
mutu ini terjadi secara autolisis, bakteriologi dan oksidasi (Moeljanto,1992).

2.4.1. Kemunduran Mutu Secara Autolisis

Pada tahap ini daging ikan akan kembali menjadi lunak secara perlahan-
lahan sampai melewati tingkat optimal derajat penerimaan konsumen. Keadaan ini
merupakan hasil kerja enzim dalam tubuh ikan dan prosesnya dinamakan
autolisis.
Selama ikan masih hidup, enzim yang terdapat dalam sistem penerimaan
dan di dalam daging dapat diatur oleh badan ikan, dan kegiatannya
menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri. Akan tetapi, setelah ikan mati,
enzim-enzim masih tetap aktif dan enzim proteolitis yang semula berfungsi
menguraikan bahan makanan yang masuk ke dalam perut ikan karena sudah tidak
ada lagi yang masuk lalu menguraikan jaringan dan sekitarnya. Proses inilah yang
disebut autolisa, yaitu proses penguraian dengan sendirinya setelah ikan itu mati
(Moeljanto, 1992).
Keadaan ini berlangsung singkat karena bakteri segera berkembang, yang
hanya dapat ditunda dengan pendinginan atau pembekuan daging (Suwetja, 2011).

2.4.2. Kemunduran Mutu Secara Biologi

Fase perubahan selanjutnya adalah perubahan yang disebabkan oleh


aktivitas mikroorganisme. Selama ikan hidup bakteri yang terdapat dalam saluran
pencernaan, insang, saluran darah dan permukaan kulit tidak dapat merusak atau
menyerang bagian-bagian tubuh ikan. Hal ini disebabkan bagian-bagian tubuh
ikan mempunyai batas pencegah (barrier) terhadap penyerangan bakteri. Setelah
ikan mati kemampuan barrier tadi hilang, sehingga bakteri masuk ke dalam
10

daging ikan melalui saluran pencernaan insang dan darah yang menyebabkan ikan
membusuk (Adawyah, 2007).
Bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik pada suhu rendah, maka usaha
untuk menghambat atau menghentikan kegiatan bakteri adalah dengan pengesan
ikan segar atau pembekuan. Bakteri di dalam insang dapat dikurangi dengan
mencuci atau membuang insangnya, lalu mencucinya dengan air bersih yang
cukup banyak. Bakteri yang terdapat pada rongga perut, dapat dikurangi dengan
membuang semua isi perut dan mencuci bersih. Tersayatnya daging perut akan
mengakibatkan bakteri masuk ke dalam daging lewat luka sayatan
(Moeljanto,1992).

2.4.3. Kemunduran Mutu Secara Kimiawi

Kerusakan-kerusakan kimiawi merupakan kerusakan yang disebabkan


oleh adanya reaksi-reaksi kimia, misalnya ketengikan (randicity) yang diakibatkan
oleh oksidasi lemak, dan denaturasi (perubahan sifat) protein (Murniyati dan
Sunarman, 2000). Proses perubahan pada ikan dapat juga terjadi karena proses
oksidasi lemak, sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan. Meskipun
bau tengik tidak berpengaruh terhadap kesehatan, bau ini sangat merugikan proses
maupun pengawetan karena dapat menurunkan mutu dan daya jualnya. Proses
oksidasi dapat dicegah dengan mengusahakan sekecil mungkin terjadinya kontak
antara ikan dengan udara bebas disekelilingnya, yakni dengan menggunakan
ruang hampa udara dan pembungkus kedap udara, menggunakan antioksidan atau
menghilangkan unsur-unsur penyebab oksidasi (Afrianto dan Liviawaty, 2002).
Pada proses penurunan mutu secara kimiawi terjadi perubahan lemak pada
ikan akibat oksidasi yang mengakibatkan bau dan rasa tengik sehingga gejala ini
dinamakan ketengikan (oxidaty verasidity). Disamping itu rupa daging ikan
berubah kearah coklat kusam, kecepatan oksidasi lemak ini dapat diperlambat
oleh penurunan suhu, melindungi produk berhubungan langsung dengan udara,
dengan pembubuhan antioksidan, produk tidak kontak langsung dengan logam-
logam berat (Ilyas, 1983).
Oksidasi lemak dapat dicegah dengan melakukan penyimpanan beku,
penyimpanan dingin, penambahan sekuenteran atau pelekat logam seperti asam
11

sitrat, penambahan antioksidan, perlakuan awal blansir atau menonaktifkan enzim


lipoksidase, kemasan inner atau kemasan tanpa udara, dan hidrogenasi lemak
untuk merubah asam lemak tidak jenuh yang rentan oksidase menjadi asam lemak
jenuh (Winarno, 1993).

2.4.3.1. Histamin

Ikan tuna termasuk dalam family Scombroidae. Daging dalam kelompok


ikan ini mengandung banyak asam amino bebas histidin melebihi ikan-ikan jenis
lainnya. Bila ikan tidak ditangani dengan baik selama proses penangkapan dan
penanganan khususnya bila suhu ikan melebihi 4,4oC, asam amino histidin ini
dapat dikonversikan menjadi suatu senyawa beracun, histamin, oleh bakteri
Proteus morganii melalui proses derkaboksilasi histidin. Ikan tuna memiliki 2
jenis daging yaitu putih dan gelap, daging-daging putih yang memiliki kadar
histamin yang tinggi. Daging merah lebih aman untuk dikonsumsi manusia
daripada daging putih bila dipandang dari segi histamin. Daging merah memiliki
kandungan histamin yang rendah karena daging merah memiliki kandunga trimetil
amina oksida (TMAO) yang tinggi, berfungsi menghambat proses terbentuknya
histamin (Winarno 1993).
Histamin dalam jumlah yang cukup banyak dapat memicu terjadinya
keracunan yang akan menyebabkan timbulnya gejala muntah, sakit kepala,
pembengkakan bibir ataupun bintik-bintik merah pada kulit. Timbulnya histamin
dapat dicegah dengan menerapkan sistem rantai dingin sesegera mungkin di atas
kapal sesaat setelah ikan tertangkap. Hal ini dilakukan dengan menurunkan
secepat mungkin suhu ikan tuna hingga di bawah 4,40 𝐶 disertai dengan
penanganan yang tepat. Kandungan histamin untuk keperluan konsumsi yang
aman dibatasi yaitu di bawah 5 mg/ 100gr (Ditjen P2HP, 2006).

2.5. Pengolahan Tuna Loin Beku Mengacu SNI

Penanganan dan pengolahan yang baik dan benar sebagaimana tertuang


dalam Standar Nasional Indonesia 01-4104.3-2006 tentang penanganan dan
pengolahan tuna loin beku harus dilakukan untuk mendapatkan mutu tuna loin
yang memenuhi standar. Tahapan proses sebagai berikut :
12

1) Pencucian
Untuk bahan baku dalam bentuk segar, daging ikan yang telah disiangi
dibersihkan dari kotoran dan darah yang masih menempel dengan cara
mencelupkan ke dalam air dingin (0-40C) selama 3-5 detik atau diusap
dengan spon yang basah dan bersih. Untuk bahan baku ikan beku maka
tidak perlu dilakukan pencucian.
2) Pemotongan kepala, sirip dan ekor
Ikan tuna dipotong kepalanya, apabila isi perut dan insang bahan baku
belum dibuang, maka pembuangannya dilakukan dengan cara menarik
keluar bersama-sama lepasnya kepala dari tubuh ikan dan dilanjutkan
dengan pemotongan sirip dan ekor. Setiap tahapan harus dilakukan dengan
cepat dan hati-hati. Penanganan ikan ditempat produksi harus dilakukan
secara cepat, cermat, dan higienis serta penggunaan peralatan yang tidak
melukai atau merobek daging ikan, sehingga akan menurunkan mutu
kesegaran ikan.
3) Pembentukan menjadi loin
Pemotongan menjadi loin dilakukan dengan cara membelah ikan secara
membujur menjadi empat bagian dan melepaskan daging dari tulang dan
duri.
4) Pembuangan daging hitam 1
Daging yang sudah berbentuk loin kemudian dibuang bagian-bagian duri
dan daging yang berwarna merah tua atau coklat kehitaman, dengan
menggunakan pisau atau alat lain yang sesuai.
5) Pembuangan kulit dan perapihan
Tahap berikutnya adalah pembuangan kulit yang masih menempel pada sisi
daging, dilanjutkan dengan merapikan bentuk loin dan membuang lapisan
lemak yang masih menempel pada permukaan daging ikan.

2.6. Penanganan dengan Suhu Rendah


Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses
pengambilan atau pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Adapula yang
mengatakan, pendinginan adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan
yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu di ruangan tersebut
13

bersama isinya agar selalu lebih rendah daripada suhu di luar ruangan (Adawyah,
2007).

2.6.1. Pendinginan

Kelebihan pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan


tidak mengalami perubahan tekstur, rasa, dan bau. Efisiensi pengawetan dengan
pendinginan sangat tergantung pada tingkat kesegaran ikan sebelum didinginkan.
Pendinginan yang dilakukan sebelum rigor mortis berlalu merupakan cara yang
paling efektif jika disertai dengan teknik yang benar. Sedangkan pendinginan
setelah proses autolisis berlangsung tidak akan banyak membantu. Pendinginan
dapat dilakukan dengan teknik seperti dibawah ini atau dengan pengombinasian:
1) Pendinginan dengan es
2) Pendinginan dengan es kering
3) Pendinginan dengan udara dingin
Pendinginan ikan hingga 00 𝐶 dapat memperpanjang kesegaran ikan antara
12-18 hari sejak saat ikan ditangkap dan tergantung pada jenis ikan, cara
penanganan, serta teknik pendinginannya. Proses pendinginan hanya mampu
menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan menghambat aktivitas
mikroorganisme. Aktivitas akan kembali normal jika suhu tubuh ikan kembali
naik (Adawyah, 2007).

2.6.2. Pembekuan

Prinsip pembekuan adalah menurunkan suhu pusat ikan secepat mungkin


hingga –18oC dan kemudian mempertahankan suhu tersebut selama penangkapan,
pendaratan, pengangkutan, distribusi, dan pemasaran. Bekerja cepat, tepat dan
cermat tanpa menimbulkan kerusakan fisik pada tubuh ikan, selalu menjaga
kebersihan lingkungan bekerja (tempat, peralatan, bahan, dan pekerja) serta dalam
suasana suhu rendah.
Pada suhu rendah (dingin atau beku), proses biokimia yang berlangsung
pada tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu ikan menjadi lebih
lambat. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusuk pada
14

tubuh ikan juga dapat diperlambat. Dengan demikian, kesegaran ikan akan lebih
lama dipertahankan.
Pembekuan ikan bertujuan untuk mempertahankan sifat-sifat mutu tinggi
pada ikan dengan teknik penarikan panas secara efektif dari ikan segar agar suhu
ikan turun sampai pada suatu tingkat suhu rendah yang stabil dan mengawetkan.
Ikan hanya mengalami proses perubahan mutu yang minimum selama proses
pembekuan, penyimpanan dan distribusi. Selama pembekuan banyak sekali
perubahan yang terjadi, baik perubahan fisik, kimia, maupun mikrobiologi, yang
menyebabkan kerusakan ikan (Ilyas, 1993).
Keadaan beku menghambat aktivitas bakteri dan enzim sehingga daya
awet ikan beku lebih besar dibandingkan dengan ikan yang hanya didinginkan.
Hal tersebut menurut Adawyah (2007), dikarenakan pada suhu −120 𝐶, kegiatan
bakteri telah dapat dihentikan, tetapi proses kimia enzimatis masih terus berjalan.
Menurut Adawyah (2007), kematian bakteri akibat pembekuan
dikarenakan oleh beberapa hal yaitu:
1) Sebagian besar air di dalam tubuh ikan, baik bebas maupun terikat telah
berubah menjadi es akibatnya bakteri kesulitan menyerap makanan dalam
bentuk larutan.
2) Cairan di dalam sel bakteri akan ikut membeku dan volumenya bertambah
sehingga dinding sel pecah dan menyebabkan kematian bakteri.
3) Suhu yang sangat rendah menyebabkan bakteri yang tidak tahan terhadap
suhu rendah akan mati.

2.7. Rendemen

Rendemen adalah presentase produk yang didapatkan dari


membandingkan berat awal bahan dengan berat akhirnya. Sehingga dapat di
ketahui kehilangan beratnya proses pengolahan. Rendeman didapatkan dengan
cara (menghitung) menimbang berat akhir bahan yang dihasilkan dari proses
dibandingkan dengan berat bahan awal sebelum mengalami proses dikalikan
100% (Ilyas,1993).
15

2.8. Produktivitas

Secara umum produktivitas diartikan atau dirumuskan sebagai


perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input). Menurut Drs.
Muchdarsyah Sinungan (1987) yang dikutip oleh Hasibuan (1996) bahwa
pengukuran produktivitas berarti perbandingan yang dapat dibedakan dalam tiga
jenis yang sangat berbeda, yaitu:
1) Perbandingan-perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan
pelaksanaan secara historis yang tidak menunjukkan apakah pelaksanaan
sekarang ini memuaskan, namun hanya mengetengahkan apakah meningkat
atau berkurang serta tingkatannya.
2) Perbandingan pelaksanaan antara satu unit (perorangan tugas, seksi, proses)
dengan lainnya. Pengukuran seperti ini menunjukkan pencapaian secara
relative.
3) Perbandingan pelaksanaan sekarang dengan targetnya, dan inilah yang
terbaik, sebab memusatkan perhatian pada sasaran atau tujuan.

Berdasarkan analisis tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa


produktivitas merupakan perbandingan antara jumlah hasil produksi dibandingkan
dengan lamanya waktu pengerjaan tersebut serta perbandingannya dengan jumlah
tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produk tersebut.

2.9. Kelayakan Dasar Unit Pengolahan


2.9.1 Sistem higiene dan sanitasi di pabrik
Berbagai sistem kebersihan dan sanitasi di pabrik harus ditegakan dengan
konsekuen. Di setiap tempat perlu dipasang poster, karikatur atau huruf-huruf
mencolok untuk mengingatkan akan pentingnya kebersihan dan sanitasi. Semua
itu tidak akan ada gunanya bila karyawan tidak mengerti mengapa mereka harus
menggunakan atau melakukan hal-hal tersebut tadi. Di antara hal-hal yang
penting, antara lain adalah:

1) Kebersihan ruangan
Karyawan harus menjaga agar lantai tetap bersih dan bila perlu
didesinfektan karena debu dan tanah adalah sumber penularan mikroba
16

beserta sporanya. Dinding ruangan harus terbuat dari bahan yang bisa dilap
atau dipel dengan desinfektan. Secara rutin harus dilakukan pembersihan
ruangan secara menyeluruh.
2) Lantai
(1) Lantai di tempat-tempat yang digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang
sifatnya basah, seperti pada tempat penerimaan dan pembersihan udang,
ruang penanganan dan pengolahan harus cukup kemiringannya, terbuat
dari bahan yang kedap air, tahan lama dan mudah dibersihkan.
(2) Lantai harus berbentuk sudut di bagian tengah dan masing-masing ke
bagian pinggir kiri dan kanan dengan kemiringan 5 ͦ terhadap
horizontal.Kemiringan ini berakhir pada selokan yang melintang di kedua
sisi ruang pengolahan.
(3) Pertemuan antara lantai dengan dinding harus melengkung dan kedap air,
sehingga kotoran yang berbentuk padat mudah dibersihkan dan
menghindari genangan air.
(4) Permukaan lantai harus halus dan tidak kasar, berpori serta bergerigi,
agar mudah dibersihkan dan tidak merupakan sumber mikroorganisme.
3) Dinding
(1) Permukaan dinding bagian dalam dari ruangan yang sifatnya untuk
pekerjaan basah harus kedap air, permukaannya halus dan rata serta
berwarna terang.
(2) Bagian dinding sampai ketinggian 2 meter dari lantai harus dapat dicuci
dan tahan terhadap bahan kimia. Sampai batas ketinggian tersebut jangan
menempatkan sesuatu yang menggangu operasi pembersihan.
(3) Sudut antar dinding, antara dinding dan lantai dan antara dinding dengan
langit-langit harus tertutup rapat dan mudah dibersihkan.
17

4) Langit-langit
(1) Harus dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran dan meminimalkan
kondensasi serta mudah dibersihkan.
(2) Ruang pengolahan harus mempunyai langit-langit yang tidak retak, tidak
bercelah, tidak terdapat tonjolan dan sambungan yang terbuka, kedap air
dan berwarna terang.
(3) Tidak ada pipa-pipa yang terlihat.
(4) Tinggi langit-langit minimal 3 meter.
5) Ventilasi
(1) Ventilasi harus cukup untuk mencegah panas yang berlebihan,
kondensasi uap dan suhu serta untuk membuang udara terkontaminasi.
(2) Arah aliran udara harus diatur dari daerah berudara bersih ke daerah
berudara kotor, jangan terbalik.
(3) Ventilasi harus dilengkapi dengan tabir atau alat pelindung lain yang
tidak korosif.
(4) Tabir harus mudah diangkat dan dibersihkan.
6) Penerangan
(1) Penerangan, baik yang berasal dari cahaya matahari maupun dari lampu
harus cukup menerangi semua ruangan pabrik.
(2) Intensitas tidak kurang dari :
- 540 luv (50-foot (15m) Candle) pada semua ruang inspeksi.
- 220 luv (20-foot (6m) Candle) pada ruang proses.
- 110 luv (10-foot (3m) Candle) pada ruang-ruang lainnya.
7) Pintu dan jendela
(1) Permukaan pintu harus tahan karat, halus dan rata serta tahan air dan
mudah dibersihkan.
(2) Jendela harus tahan air, halus dan rata, mudah dibersihkan dan apabila
dibuka harus dapat menahan debu, kotoran atau serangga (dilengkapi
dengan tabir yang mudah dibersihkan).
(3) Jendela harus sekecil mungkin dan tingginya dari lantai 1,5 meter.
18

8) Selokan dan saluran pencernaan


(1) Selokan harus berukuran cukup, dapat mengalirkan air dan kotoran
dengan lancar, harus kedap air dan tahan lama, permukaannya halus dan
rata.
(2) Bagian-bagian selokan yang ke luar melalui dinding ruangan pengolahan
harus dilengkapi dengan alat pelindung, misalnya jeruji besi yang dapat
diangkat sehingga mempermudah pembersihan dan mencegah masuknya
tikus dan binatang lainnya ke dalam ruangan pengolahan.
(3) Tutup selokan harus dibuat dari logam atau alat lain yang bukan kayu.
Bila selokan ini dihubungkan dengan saluran induk pembuangan air,
harus dilengkapi dengan saringan penahan.
9) Sarana penyimpanan limbah
(1) Ruang pengolahan harus dilengkapi dengan sarana penyimpanan limbah
sementara, sebelum dibuang ke luar pabrik.
(2) Semua ini harus dirancang dengan baik agar tidak merupakan
kontaminasi bagi bahan pangan, air minum, peralatan atau bangunan.
(3) Limbah harus dibuang dari ruang pengolahan sesering mungkin, minimal
sekali dalam sehari.
(4) Segera setelah pembuangan limbah, alat yang digunakan untuk
penyimpanan dan peralatan lain yang kontak dengan limbah harus
dibersihkan dan didesinfeksi.
10) Ruang istirahat
(1) Harus disediakan ruang istirahat yang dilengkapi dengan tempat cuci
tangan dengan kapasitas air yang memadai dan tempat ganti pakaian.
(2) Ruangan ini harus terpisah letaknya dari ruang pengolahan serta cukup
luas untuk jumlah pekerja, yaitu miniman 2 m2 per orang pekerja.
11) Ruang makan
(1) Harus tersedia ruang makan yang bersih dan cukup luas untuk semua
karyawan yaitu minimal 1m2 per orang.
(2) Untuk ruangan ini harus terpisah dari ruang pengolahan.
19

12) Jamban
(1) Pabrik harus dilengkapi dengan jamban yang cukup, jumlah jamban yang
diharuskan adalah sebagai berikut :
Untuk 1-24 karyawan : 1 jamban dan 1 peturasan (urinoir)
Untuk 25-50 karyawan : 2 jamban dan 2 peturasan (urinoir)
Untuk 50-100 karyawan : 3 jamban dan 3 peturasan (urinoir)
Di atas 100 karyawan, harus disediakan tambahan satu jamban dan satu
peturasan untuk setiap tambahan 50 karyawan.
(2) Kamar jamban harus berventilasi cukup ke arah gedung. Dinding dan
langit-langit terbuat dari bahan halus dan rata serta mudah dibersihkan.
(3) Jamban harus dilengkapi dengan fasilitas cuci tangan (air hangat, air
dingin, sabun dan alat pengering) yang ditempatkan pada daerah yang
akan dilalui apabila menuju keruangan pengolahan.
(4) Alat pengering bisa berupa serbet atau kertas tissue. Apabila dipakai
kertas tissue persediaan kertas tissue harus dikontrol setiap hari dan harus
dilengkapi dengan tempat sampah bertutup, yang diletakkan di dekat
tempat cuci tangan.
(5) Pengaturan aliran air pencuci harus dioperasikan tanpa menggunakan
tangan, tetapi dengan tipe yang diinjak dengan kaki atau cara lain.
(6) Jamban tidak boleh berhubungan langsung dengan ruang pengolahan.
13) Kamar mandi
(1) Untuk ruang pengolahan harus dilengkapi dengan kamar mandi sistem
pancuran dengan air yang cukup.
(2) Jumlah pancuran minimal yang dibutuhkan adalah satu untuk setiap 5
orang karyawan.
(3) Kamar mandi wanita harus terpisah dari kamar mandi pria.
14) Tempat cuci tangan (wastafel)
(1) Ruang pengolahan harus dilengkapi dengan tempat cuci tangan yang
cukup minimal satu untuk setiap 10 orang karyawan.
(2) Wastafel dilengkapi dengan penyediaan air panas dan dingin yang cukup
(dihubungkan dengan mixing tap), sabun, kertas tissue, larutan
desinfektan untuk membilas tangan serta tempat sampah yang bertutup.
20

(3) Air pencuci tangan harus mengalir dan tidak boleh dipakai berulang.
15) Gudang pembeku
(1) Diperlukan suatu lapisan penyangga uap air (vapor seal) yang baik pada
permukaan luar gudang beku.
(2) Gudang pembeku harus dilengkapi dengan suatu alat pencatat suhu yang
dapat dibaca dari luar, agar suhu dapat diperiksa setiap saat.
(3) Suhu gudang pembeku harus selalu dikontrol untuk mencegah fluktuasi
suhu. Fluktuasi suhu yang lebih dari 2°C harus dihindari.
(4) Sebaiknya gudang pembeku dilengkapi dengan ruangan pemuatan
(loading bay) yang bersuhu rendah, dengan bagian penghubung yang
fleksibel sehingga bisa langsung dimuat ke arah kendaraan pengangkut.
(5) Pemasukan udara luar ke dalam gudang pembeku harus dibatasi sekecil
mungkin. Oleh karena itu, pintu gudang jangan terlalu sering dibuka.
Udara yang mengalir melalui pintu harus dicegah dengan penggunaan
ruangan pengurung udara (air chamber), tabir yang menutup sendiri (self
closing shutter) atau peralatan yang sejenis.
(6) Permukaan pipa pendingin gudang pembeku harus dilelehkan secara
periodik, yaitu dengan cara mematikan aliran refrigeran dan memasang
kipas angin sampai lapisan es mencair. Kemudian disemprot dengan air
untuk membersihkan sisa-sisa es dan udang yang menempel.
(7) Gudang harus bebas dari bau dan harus selalu dipelihara dalam kondisi
saniter dan higiene yang baik.
(8) Produk tidak boleh dimasukkan ke gudang pembeku sebelum suhu rata-
ratanya tidak diturunkan hingga mencapai suhu gudang pembeku.
(9) Di dalam satu gudang pembeku sebaiknya hanya diisi satu jenis produk
beku. Apabila tidak memungkinkan maka produk-produk tersebut harus
dipisah-pisahkan dengan batas yang jelas atau dengan jenis kemasan
yang sangat berbeda sehingga tidak timbul kekeliruan dalam
pengambilan.
(10) Produk harus disusun dengan baik, sehingga selalu ada ruangan untuk
aliran udara dingin yang beredar di sepanjang dinding dan lantai serta
diantara sela-sela bungkusan produk beku.
21

(11) Produk yang paling lama disimpan, harus didistribusikan terlebih dahulu.
Untuk itu perlu adanya data yang menunjukkan kapan produk tersebut
mulai disimpan. Sistem tersebut disebut FIFO (First In First Out).
2.9.2 Persyaratan Operasional
2.9.2.1 Persyaratan Cara Berproduksi Yang Baik Dan Benar (GMP)

GMP merupakan cara berproduksi yang baik dan benar, yaitu langkah-
langkah yang harus dilakukan dalam pengolahan makanan untuk menghasilkan
produk dengan mutu tinggi dan aman dikonsumsi (Thaheer, 2005).

Pembinaan dan pengawasan serta pengujian harus dilakukan oleh


perusahaan dalam rangka menerapkan SSOP (Sanitation Standart Operating
Procedure) dan GMP secara berkelanjutan. Pembinaan dilakukan terhadap
penerapan sanitasi dan hygiene serta penerapan cara kerja yang baik dan benar.
Adapun pengujian dilakukan terhadap bahan, peralatan, kebersihan karyawan
selama proses dan pengujian produk akhir untuk mengevaluasi mutu yang
dihasilkan.

Cara berproduksi yang baik untuk makanan merupakan salah satu faktor
yang penting untuk memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan
untuk makanan, sehingga perlu ditetapkan suatu pedoman tentang cara produksi
yang baik untuk makanan.

Setiap segmen dari industri pangan harus mampu menyediakan konsep


yang diperlukan untuk menjaga mutu pangan yang mereka awasi atau kendalikan,
hal itu dapat dicapai melalui penerapan GMP. Adapun aspek yang diterapkan
GMP adalah ;

1) Seleksi bahan baku

Bahan baku harus sesuai dengan standar (mutu, size, spesies, dan lain
lain). Tidak berasal dari perairan yang tercemar baik sengaja maupun tidak
sengaja oleh kotoran manusia dan hewan yang dapat menulari produk. Perairan
yang memerlukan tindakan pengawasan karena perlakuan dengan bahan kimia,
biologis dan sebagainya. Bahan baku harus bersih, agar bebas dari bau yang
menandakan pembusukan, bebas dari dekomposisi, tidak membahayakan
22

kesehatan. Harus dilakukan dengan cepat, higienis, hati-hati, suhu penerimaan


maksimal 4oC, tidak kontak langsung dengan sinar matahari, suhu, pembusukan,
harus dicuci dengan air bersih dan ditambah es dengan cepat, tidak menggunakan
es bekas penampungan (BSNI 01-4104.2-2006).
2) Penanganan dan pengolahan
Penanganan meliputi kegiatan penerimaan bahan baku dan penanganan di
tempat pengolahan. Ikan yang diterima paling awal harus diproses terlebih
dahulu, penanganan dari tahap satu ke tahap yang lain harus dilakukan dengan
cepat, hati-hati, pada suhu rendah, higienis dan saniter. Setiap tahapan
pengolahan harus dilakukan dengan cepat, hati-hati dan saniter serta
mempertahankan suhu produk 4oC (cool, clean, quick and carefully). Produk
yang dihasilkan harus sesuai dengan spesifikasi (SNI 01-4104.2-2006).
3) Bahan pembantu
Air yang dipakai untuk kegiatan unit pengolahan, harus memenuhi
persyaratan air minum dan secara kontinyu diperiksakan ke laboratorium yang
telah diakreditasi oleh pemerintah. Air pencucian ikan tuna dialirkan terpisah dan
tidak boleh berhubungan silang dengan sistem saluran air kotor.
Es harus terbuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum. Dalam
penggunannya es harus ditangani dan disimpan di tempat yang bersih agar
terhindar dari penularan dan kontaminasi dari luar.
4) Bahan kimia
Bahan berbahaya harus disimpan terpisah, harus disertai dengan label
peringatan. Harus sesuai dengan peraturan Menkes No.722/menkes/PER/IX/88
tanggal 20 september 1988 untuk bahan kimia.
5) Pengemasan
Pengemasan harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan saniter, wadah atau
kemasan harus memuat informasi tentang produk (jenis produk, ukuran, grade,
berat netto, bahan tambahan, kode produksi, tanggal produksi, waktu kadaluarsa
dan lain-lain).
Pengemasan dengan bahan pengemas yang cocok sangat bermanfaat untuk
mencegah kemunduran mutu, misalnya karena proses pengeringan (dehydration).
Pembungkusan perlu dilakukan pada produk, bukan hanya untuk melindungi
23

produk tetapi juga untuk memperindah dan memberi daya tarik kepada pembeli.
Bahan pembungkus juga harus dapat menahan uap air agar dapat mencegah
penguapan produk selama penyimpanan. Pembungkus harus sesuai dengan poduk
yang dibungkus (Murniyati dan Sunarman, 2000).
6) Penyimpanan dan distribusi
Penyimpanan meliputi kegiatan penyimpanan bahan baku seperti es, bahan
kimia dan kemasan. Masing-masing memiliki sifat tersendiri. Kendaraan untuk
pengangkutan harus dapat mempertahankan suhu dingin atau beku yang
dibutuhkan. Pemuatan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan terhindar dari
sinar matahari.

2.9.2.2 . Persyaratan Standar Prosedur Operasi Pengolahan (SSOP)

Sanitasi dilakukan sebagai usaha mencegah penyakit dari konsumsi


pangan yang diproduksi dengan cara menghilangkan atau mengendalikan faktor-
faktor di dalam pengolahan pangan yang berperan dalam pemindahan bahaya
(hazard) sejak penerimaan bahan baku, pengolahan, pengemasan, dan
penggudangan produk (Thaheer, 2005).
Menurut Food and Drug Adminstration USA di dalam Thaheer (2005)
SSOP meliputi 8 aspek, yaitu:
1) Keamanan air
SSOP untuk air mencakup petugas dan prosedur standar yang digunakan
untuk menjamin keamanan air. Di dalamnya akan ditetapkan tahapan-tahapan
perlakuan untuk air yang diterapkan agar diperoleh air dengan kualitas tertentu.
Misalnya, untuk memenuhi standar air minum untuk air yang kontak langsung
dengan makanan dan untuk pembuatan es.
2) Kondisi atau kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan
SSOP untuk kebersihan permukaan peralatan atau sarana dalam pabrik
yang kontak dengan makanan berisi standar prosedur pembersihan dan sanitasi
alat, frekuensi pembersihan dan petugas yang bertanggung jawab.
24

3) SSOP untuk pencegahan kontaminasi silang


SSOP ini berisi prosedur-prosedur untuk menghindarkan produk dari
kontaminasi silang dari pekerja, bahan mentah, pengemas, dan permukaan yang
kontak dengan makanan. SSOP ini dapat mencakup tindakan-tindakan yang
menyangkut pembersihan bahan baku untuk mengurangi kontaminasi silang,
ketentuan mengenai boleh tidaknya pekerja pindah atau mengunjungi bagian lain,
atau melengkapi setiap ruangan pengolahan dengan fasilitas pembersihan dan
sanitasi.
4) SSOP untuk kebersihan karyawan
SSOP ini meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan serta toilet yang
digunakan. Terdapat prosedur, penjadwalan, petugas pembersihan dan jenis
pembersihan yang digunakan serta mencakup kebijakan perusahaan tentang cuci
tangan dan sanitasi tangan. Pemantauan kebersihan karyawan dan fasilitas
kebersihan ini dilakukan oleh supervisor yang ditunjuk dan didokumentasi hasil
pemantauannya.
5) SSOP untuk pencegahan adulterasi
Di dalam program ini terdapat prosedur-prosedur yang lazim digunakan
untuk mencegah tercampurnya bahan-bahan non-pangan ke dalam produk pangan
yang dihasilkan serta permukaan yang kontak langsung dengan makanan. Bahan-
bahan non-pangan yang dimaksud meliputi pelumas, bahan bakar, senyawa
pembersih, sanitizer, serta cemaran kimia dan cemaran fisik lainnya.
6) SSOP untuk pelabelan dan penyimpanan yang tepat
SSOP ini mencakup tata cara dan jenis pelabelan yang diterapkan pada
bahan-bahan kimia yang digunakan, baik untuk produksi maupun pembersihan,
fumigasi, desinfeksi, dan sebagainya. Pelabelan dan penyimpanan dapat
digolongkan berdasarkan jenis bahan.
7) SSOP untuk pengendalian kesehatan karyawan
SSOP ini mencakup pengendalian kesehatan bagi karyawan agar tidak
menjadi sumber kontaminasi bagi produk, bahan kemasan, atau permukaan yang
kontak dengan makanan. Terdapat ketentuan mengenai cara pelaporan karyawan
yang sakit atau mendapatkan perawatan karena sakit. Termasuk penjadwalan bagi
25

pemeriksaaan rutin kesehatan karyawan, imunisasi, dan pengujian untuk penyakit-


penyakit tertenu.
8) Pemberantasan hama
Pengendalian hama bukan hanya sekedar masalah pembasmian saja
melainkan juga bagaimana cara pencegahan dilakukan agar tidak timbul hama
disekitar industri pangan terutama di area produksi. Pencegahan hama ini
dilakukan untuk menjamin tidak ada hama di fasilitas pengolahan pangan,
mencakup prosedur pencegahan, pemusnahan, sampai pada penggunaan jenis
bahan kimia untuk mengendalikan hama.
SSOP berisikan prosedur standar untuk memberantas atau menghindarkan
hama. Termasuk kebersihan ruangan penyimpanan, fumigas terjadwal (jenis
fumigan), pemasangan perangkap tikus di pintu masuk dan sebagainya.
2.9.3 Penilaian Kelayakan Dasar

Unit pengolahan tidak akan dapat menerapkan PMMT secara efektif


apabila tidak memenuhi persyaratan kelayakan dasar. Unit pengolahan yang
berhak mendapat Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yang telah dinyatakan
layak, sedangkan jika suatu unit pengolahan dinyatakan tidak layak maka tidak
akan mendapatkan SKP melainkan diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan
dan melanjutkan permohonan untuk ditilik selambat-lambatnya satu minggu
kemudian dengan mengacu pada pedoman pembinaan kelayakan UPI. Penilaian
ulang SKP dilakukan agar Program Persyaratan Dasar (PPD) suatu unit
pengolahan dapat tetap terjaga baik konsistensinya, efektivitas maupun
kontinuitas dari penerapan GMP dan SSOP. Kategori penilaian untuk aspek
manajemen atau aspek teknis yang menggambarkan kelayakan unit pengolahan
ikan apabila UPI dinyatakan layak maka simbol Y (Yes), apabila UPI dinyatakan
tidak layak maka simbol N (No) dan apabila tidak dapat diterapkan maka simbol
NA (Not Applicable). Pembinaan mengacu pada perbaikan pembinaan kelayakan
(UPI) Unit Pengolahan Ikan.
26

2.10 Pengolahan Limbah


Limbah dari industri makanan didominasi oleh bahan organik sehingga
sangat cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme. Air dan selokan sering
menerima jasad renik penyebab penyakit dari sampah yang bersumber dari
aktifitas industri itu sendiri.
Menurut Winarno dan Surono (2002), kontaminasi silang adalah bagian
yang sering terjadi pada industri makanan akibat kurang dipahaminya masalah ini.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang
antara lain tindakan karyawan untuk mencegah kontaminasi silang, pemisahan
bahan dengan produk siap konsumsi, desain sarana dan prasarana mencegah
kontaminasi silang.
Ada 2 macam sumber limbah yaitu, limbah padat dan limbah cair. Limbah
padat didapatkan dari proses produksi, pengolahan air limbah (lumpur dan serbuk
logam), pengepakan, gudang material, perawatan mesin (besi bekas, logam, dll),
sampah pabrik, kantin makan, dan tempat lainnya yang ikut memproduksi limbah
padat. Limbah cair diperoleh dari aktivitas pencucian bahan baku, air proses,
perawatan mesin (sisa pencucian mesin, detergen, sanitizer, air aki, pelumas sisa,
dll), fasum (air MCK dan air cucian), pembersihan ruang pengolahan.

Anda mungkin juga menyukai