Lapres Absisi Daun

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN

Absisi Daun
Absisi Daun pada Tumbuhan Coleus Sp.

Oleh :
Faradillah Asri
Pendidikan Biologi Unggulan 2017
17030204083

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN BIOLOGI
2019
A. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah dalam praktikum ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh penambahan IAA terhadap terjadinya absisi pada daun
Coleus sp.?
2. Bagaimana pengaruh letak nodus terhadap terjadinya absisi pada daun Coleus
sp.?

B. Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dalam praktikum ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh penambahan IAA terhadap terjadinya absisi pada daun
Coleus sp..
2. Bagaimana pengaruh letak nodus terhadap terjadinya absisi pada daun Coleus
sp.?

C. Hipotesis
Ha : tidak adanya pengaruh AIA terhadap proses absisi pada daun
Ho : adanya pengaruh AIA terhadap proses absisi pada daun
D. Kajian Pustaka
Hormon pada tumbuhan disebut pula fitohormon untuk membedakannya
dari hormon pada hewan. Fitohormon merupakan senyawa organik alami yang
mampu mempengaruhi proses fisiologi pada konsentrasi rendah, dengan tempat
sintesis dapat sama dengan tempat aktifnya. Selain itu, dapat pula berbeda sehingga
diperlukan suatu mekanisme transpor. Masing-masing kelompok hormon mampu
mempengaruhi sejumlah aktivitas pertumbuhan, tetapi dapat pula dinyatakan
bahwa suatu proses pertumbuhan umumnya dipengaruhi oleh lebih dari satu jenis
hormon. Hormon pada tumbuhan dikenal sebagai zat pengatur tumbuh (ZPT). Zat
pengatur tumbuh merupakan hormon, baik natural maupun sintetik, berupa
senyawa kimia non nutrien yang tidak ditemukan secara alami pada tumbuhan
tetapi berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. ZPT
adalah senyawa organik yang hukan termasuk hara (nutrisi) yang dalam jumlah
sedikit dapat mendukung (promote), menghambat (inhibit), dan dapat merubah
proses fisiologi tumbuhan. Saat ini dikenal lima macam hormon tumbuhan “klasik”
yaitu auksin (IAA), sitokinin (CYT), giberelin (GA), absisat (ABA) dan etilen
(Eth). Selam itu ditemukan pula sejumlah senyawa yang dinyatakan sebagai
hormon tumbuhan “kontemporer” antara lain oligosakarin, brasinosteroid,
poliamin, asam jasmonat, dan asam salisilat. Menurut Abidin (1985), tiap zat
pengatur tumbuh tersebut memiliki fungsi berlainan terhadap proses fisiologi
tanaman. Auksin berfungsi dalam pemanjangan sel, giberilin memacu pemanjangan
dan pembelahan sel, sitokinin memacu pembelahan sel dan menghambat penuaan,
asam absisat berperan dalam pengguguran daun dan buah, serta induksi dormansi
pada tunas dan biji, dan gas etilen berperan dalam merangsang penuaan, epinasti
dan pematangan buah.
Tumbuhan mempunyai pertumbuhan yang bersifat tidak tak terbatas. Sifat
pertumbuhan tidak terbatas bukan berarti bahwa tumbuhan tidak dapat mati. Sejalan
dengan bertambahnya umur tanaman, aktivitas metabolisme sel semakin menurun
yang umumnya ditandai dengan menguningnya daun, selanjutnya diikuti absisi dan
kematian. Penuaan (senescence) adalah proses penurunan kondisi dan aktivitas
metabolisme yang menyertai pertambahan umur dan mengarah pada kematian
organ atau organisme. Penuaan bukan merupakan proses yang acak, tetapi
dikendalikan menurut ruang dan waktu. Senescence mengacu pada proses yang
berkaitan dengan beberapa perkembangan dan fungsi adaptasi. Senescence terjadi
pada beberapa level mulai dari individual sel, jaringan, organ dan organisme
(Diah,dkk,2009).
Proses penuaan pada jaringan tumbuhan dapat terjadi dengan berbagai
mekanisme, salah satunya adalah absisi. Absisi adalah suatu proses yang secara
alami terjadi pemisahan bagian atau organ tanaman dari tanaman, seperti daun,
bunga, buah, atau batang. Dalam hubungannya dengan hormon tumbuh, maka
terdapat jenis hormon yang menghambat terjadinya proses absisi, ada juga pula
yang justru mempercepat terjadinya proses absisi itu sendiri (Diah,dkk,2009).
Daun pada tanaman secara berkala akan mengalami proses pengguguran.
Selama pengguguran, daun terlepas dari batang tanpa menimbulkan kerusakan
terhadap jaringan hidup di batang. Daun tidak gugur begitu saja pada waktu mati.
Suatu daerah pembelahan yang disebut daerah absisi berkembang di daerah dekat
pangkal tangkai daun, sehingga sejumlah dinding sel yang melintang tegak lurus
terhadap sumbu panjang tangkai daun terbentuk.
Daerah absisi terdiri atas lapisan pemisah dan lapisan pelindung. Pada
lapisan pemisah tersebut terjadi pelepasan daun yang sebenarnya. Pada daerah ini
merupakan bagian terlemah dari tangkai daun. Setelah daun menjadi dewasa, maka
daerah absisi mulai terbentuk dan mulai terjadi perubahan warna epidermis di
daerah absisi. Diameter berkas pembuluh di daerah absisi mengalami penurunan
ukuran. Kolenkim tidak ada dan sklerenkim menjadi lemah atau tidak ada sama
sekali (Sasmitamihardja,1996).
Sebelum daun gugur terjadi lapisan pemisah pada daerah pengguguran
tersebut, lapisan pemisah berlanjut melintasi sel-sel parenkim di dalam berkas
vaskuler. Sel-sel parenkim di tempat tersebut membelah menjadi sel yang lebih
kecil, pipih, mengandung tepung dan plasmanya kental. Segera sebelum
pengguguran daun, dinding luar dan lamela tengah sel-sel menyusun lapisan
pemisah menjadi bergelatin dan pada akhir fase sebelum daun gugur gelatin tadi
hancur dan terlarut. Akibat pelarutan substansi antar sel dan dinding sel luar, maka
sel-sel menjadi renggang dan lepas antara satu dengan yang lain. Akhirnya, daun
hanya diperkuat oleh unsur-unsur vaskuler yang segera putus akibat tenaga mekanis
atau gravitasi, sehingga tangkai daun akan terputus karena angin dan berat daunnya
sendiri yang mengakibatkan pemisahan daun dari batang.
Pada umumnya proses penuaan organ daun diikuti pembentukan zona absisi
pada pangkal organ yang mengalami penuaan. Secara anatomi penuaan daun
beberapa tanaman ditandai dicirikan dengan pembentukan lapisan absisi pada
pangkal tangkai daun. Secara fisiologis, proses penuaan daun dipengaruhi oleh
berkurangnya zat-zat yang diperlukan daun seiiring dengan bertambahnya umur
tanaman. Dengan kata lain, proses penuaan dimulai karena berkurangnya suplai
nutrien pada suatu organ. Hal tersebut menyebabkan penurunan aktivitas
metabolisme yang kemudian berakibat pertumbuhan menurun.
Rangsangan dari faktor lingkungan menyebabkan perubahan keseimbangan
antara etilen dan auksin. Auksin mencegah absisi dan tetap mempertahankan proses
metabolisme daun, tetapi dengan bertambahnya umur daun jumlah etilen yang
dihasilkan juga akan meningkat. Sementara itu, sel-sel yang
mulai menghasilkan etilen akan mendorong pembentukan lapisan absisi.
Selanjutnya etilen merangsang lapisan absisi yang terpisah dengan memacu sintesis
enzim yang merusak dinding-dinding sel pada lapisan absisi. Peranan etilen dalam
memacu gugurnya daun lebih banyak diketahui daripada peranannya
dalam hal perubahan warna daun yang rontok dan pengeringan daun. Pada saat
daun rontok, bagian pangkal tangkai daunnya terlepas dari batang. Daerah yang
terpisah ini disebut lapisan absisi yang merupakan areal sempit yang tersusun
dari sel-sel parenkima berukuran kecil dengan dinding sel yang tipis dan lemah.
Proses penghancuran dinding, yang disertai dengan tekanan akibat pertumbuhan
yang tidak seimbang antara sel proksimal yang membesar dan sel distal yang
menua di zona absisi, mengakibatkan pematahan. Selama konsentrasi auksin yang
lebih tinggi dipertahankan di helai daun, pengguguran dapat ditunda. Namun
penuaan menyebabkan terjadinya penurunan tingkat auksin pada organ tersebut dan
konsentrasi etilen mulai meningkat. Etilen, zat pemacu pengguguran yang terkuat
akan tersebar luas di berbagai organ tumbuhan dan pada banyak spesies tumbuhan
menyebabkan pembesaran sel dan menginduksi sintesis serta sekresi hidrolase
pengurai dinding sel (Ratna,2008).
Proses yang sangat menyolok yang terjadi selama proses penuaan adalah
penguraian pati, protein, klorofil, asam nukleat dan terjadinya sintesis antosianin
sehingga daun terlihat mengalami proses penguningan. Menguningnya daun terjadi
karena penguraian butir-butir klorofil. Proses penuaan dimulai dari tepi daun
menuju tengah. Penuaan sel-sel disekitar jaringan vaskuler relatif lebih lambat
untuk memfasilitasi mobilisasi dan transpor nutrien dari sel sel yang mengalami
penuaan ke daun yang lebih muda atau biji yang sedang berkembang. Penuaan
ditandai oleh beberapa keadaan yaitu berkurangnya berat segar, akibat
berkurangnya air dan bahan kering dalam sel, kecepatan fotosintesis berkurang
karena efisiensi proses fotosintesis menurun, serta berkurangnya berat kering
karena berkurangnya protoplasma. Hal ini berakibat respirasi menurun, sebagai
bagian dari penuaan. Sintesis klorofil juga menurun sehingga warna berubah
menjadi kekuningan. Sementara itu, antosianin, karotenoid, dan pigmen flavonoid
lain bertambah. Kandungan unsur hara organ yang tua akan berkurang terutama
unsur hara mobil karena akan digunakan di meristem dan jaringan muda lainnya.
Penuaan juga terkait dengan perubahan jumlah dan jenis hormon di dalam tubuh
tumbuhan (Salisbury dan Ross,1995).
Hormon-hormon yang mempengaruhi pengguguran daun diantaranya
adalah asam absisat (ABA), etilen, dan auksin (Sasmitamihardja,1996).
 Asam absisat tidak berperan langsung dalam proses pengguguran daun,
namun hormon ini bekerja secara tidak langsung, dimana asam absisat
memicu penuaan pada sel – sel daun sebelum daun tersebut gugur. Asam
absisat dihasilkan di dalam kloroplas dan plastid. Hormon ini mudah diangkut
ke bagian–bagian tumbuhan lain seperti akar dan daun. Efek dari hormon ini
diantaranya menghambat sintesis protein dan mengaktifkan serta
menonaktifkan gen–gen tertentu dalam transkripsi. Apabila gen–gen
transkripsi menjadi in-aktif, maka sintesis protein tidak akan berlangsung dan
tidak ada protein yang dihasilkan. Akibatnya proses metabolisme sel
terganggu, dan sel maupun jaringan akan mengalami kerusakan dan berujung
kematian. Kematian jaringan ini tentu akan disertai kerusakan dan gugurnya
daun.
 Etilen adalah hormon yang peling berpengaruh terhadap pengguguran daun.
Hormon ini dapat menyebabkan klorosis, pelayuan dan gugurnya daun.
Banyaknya etilen pada daun mengakibatkan peningkatan aktifitas enzim–
enzim pengurai bagian dinding sel pada zona absisi. Enzim–enzim ini
selanjutnya akan menghidrolisis dinding sel pada zona absisi, yang akhirnya
terjadi pematahan pada zona absisi, dan mengakibatkan terjadinya
pengguguran daun.
 Hormon auksin merupakan hormon yang dapat menghambat terjadinya
absisi, yaitu dengan mempertahankan banyaknya konsentrasi auksin pada
daun. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi auksin yang salah satunya adalah
memacu pemanjangan sel. Selain itu, karena mekanisme kerja auksin yang
berlawanan dengan etilen maupun asam absisat, maka dengan tingginya
konsentrasi auksin, maka konsentrasi etilen maupun asam absisat yang
mamicu proses absisi akan menurun, sehingga proses absisi akan terhambat.
Terkait hubungan antara absisi dengan zat tumbuh auksin, Addicot Etall
(1955) mengemukakan bahwa absisi akan terjadi apabila jumlah auksin yang ada
di daerah proksimal sama atau lebih dari jumlah auksin yang terdapat didaerah
distal. Tetapi apabila junlah auksin berada di daerah distal lebih besar daridaerah
proksimal maka tidak akan terjadi absisi. Dengan kata lain proses absisi akan
terhambat. Teori lain (Biggs dan Leopld 1957-1958) menerangkan bahwa pengaruh
auksin terhadap absisi ditentukan oleh konsentrasi auksin itu sendiri. Konsentrasi
auksin yang tinggi akan menghambat terjadinya absisi, sedangkan auksin dengan
konsentrasi rendah akan mempercepat terjadinya absisi (Ratna,2008).
E. Variabel Penelitian
1. Variabel manipulasi : letak nodus pemotongan lamina dan penambahan
AIA
2. Variabel kontrol : jumlah lamina yang dipotong, jenis tanaman,
kondisi tanaman, kondisi cahaya, dan media tanam.
3. Variabel respon : gugurnya petiolus
F. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel manipulasi : pada praktikum ini adalah letak nodus pemotongan
lamina dan penambahan AIA. Letak nodus yang lamina-nya diambil pada setiap
pot tanaman adalah berbeda, yaitu satu pot pertama dipotong lamina pada nodus
paling bawah, sedangkan pada satu pot lain, pemotongan lamina dilakukan pada
nodus tepat di atas nodus terbawah. Selain letak pemotongan nodus,
penambahan AIA juga merupakan variabel maipulasi, dimana pada daerah bekas
pemotongan lamina pertama di nodus paling bawah diolesi dengan lanolin, dan
pada daerah bekas pemotongan lainnya diolesi dengan lanolin + AIA, begitu
pula dengan tanaman kedua yang pemotongan lamina-nya dilakukan pada nodus
tepat di atas nodus paling bawah. Perlakuan berbeda ini dilakukan untuk
mengetahui adanya pengaruh AIA terhadap gugurnya petiolus, serta pengaruh
letak nodus terhadap terjadinya pengguguran petiolus.
2. Variabel kontrol : Variabel kontrol pada praktikum ini adalah jumlah
lamina yang dipotong, jenis tanaman, kondisi tanaman, kondisi cahaya, dan
media tanam. Jumlah lamina yang dipotong pada setiap tanaman adalah 2
lamina, yaitu lamina di bagian kanan dan kiri pada setiap nodus. Jenis tanaman
yang digunakan adalah sama, yaitu Coleus sp. dengan kondisi yang sama pula,
yaitu tanaman Coleus sp. dengan tinggi sekitar 25 cm. Kondisi cahaya antara
kedua tanaman adalah sama, yaitu ditempatkan pada kondisi dengan intensitas
cahaya sedang. Media tanam yang digunakan pada kedua tanaman juga sama,
yaitu ditanam dalam polybag dengan media tanam berupa tanah. Perlakuan
kontrol dilakukan untuk dapat diketahui secara pasti pengaruh penambahan AIA
dan letak nodus sebagai variabel manipulasi terhadap gugur atau lepasnya
petiolus pada tanaman.
3. Variabel respon : Variabel respon pada praktikum ini yaitu gugurnya
petiolus. Gugurnya petiolus adalah akibat adanya perlakuan yang diberikan pada
tanaman dengan memotong lamina dan mengoleskan lanolin dan atau lanolin +
AIA pada daerah bekas pemotongan, sehingga menimbulkan gugurnya petiolus
pada tanaman.

G. Alat dan Bahan


Alat
1. Cutter 1 buah
2. Kertas label4 buah
Bahan
1. 2 pot tanaman Coleus sp. dengan kondisi yang sama
2. Lanolin
3. AIA 1 ppm
H. Rancangan Percobaan

2 pot tanaman Coleus sp.

 memberikan dua perlakuan berbeda

Perlakuan pertama Perlakuan kedua

 memotong sepasang lamina pada  memotong sepasang


nodus yang terletak paling bawah lamina pada nodus tepat
diatas nodus paling bawah

 mengoleskan lanolin pada nodus bekas pemotongan lamina


pada satu sisi, dan mengoleskan AIA pada sisi lain
 memberi tanda dengan menggunakan kertas label agar
tidak tertukar
 mengamati setiap hari dan mencatat waktu gugurnya
tangkai daun
 mencatat kecepatan gugurnya tangkai daun pada tiap
perlakuan yang diberikan ke dalam tabel hasil pengamatan

Tabel hasil
pengamatan

I. Langkah Kerja
1. Ambil 2 buah pot tanaman Coleus Sp. Kemudian lakukan kegiatan berikut
- Pot 1 : potong 1 pasang lamina yang terletak paling bawah
- Pot 2 : potong 1 pasang lamina yang terletak tepat diatas lamina paling bawah
2. Olesi bekas potongan tersebut yang 1 dengan lanolin sedang yang lain dengan
1 ppm dalam lanolin
3. Beri tanda agar tidak tertukar
4. Amati tiap hari dan catat waktu gugurnya tangkai tangkai daun tersebut
5. Apakah perbedaan waktu gugurnya daun pada percobaan saudara. Jelaskan
pendapat saudara disertai dengan teori yang mendukung.
J. Rencana Tabel Pengamatan
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengaruh Hormon AIA Terhadap Proses Absisi Daun
Hari Ke-
Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7
Lanolin √
B
Lanolin + AIA √
Lanolin √
A
Lanolin + AIA √

Keterangan : √ = petiolus gugur

Jika perlakuan penambahan AIA terhadap gugurnya petiolus pada tanaman Coleus
sp. tersebut dibuat grafik, maka hasilnya terlihat pada grafik 1. di bawah ini;

Hubungan antara Penambahan AIA terhadap


Gugurnya Petiolus pada Tanaman Coleus sp.
6 5
5 4 4
4
Hari Ke-

3
3
2
1
0
Nodus Terbawah (B) Nodus Ke-2 dari bawah (A)
Perlakuan

Lanolin Lanolin + AIA

Tabel 1. Hubungan antara Penambahan AIA terhadap Gugurnya Petiolus pada


Tanaman Coleus sp.
K. Rencana Analisis Data
1. Analisis Grafik

Berdasarkan analisis grafik, dapat diketahui bahwa waktu gugurnya petiolus


pada Coleus sp. ketika dilakukan pemotongan lamina di nodus paling bawah lebih
cepat daripada perlakuan pemotongan lamina pada nodus kedua dari bawah, baik
untuk perlakuan pengolesan dengan lanolin maupun dengan lanolin + AIA. Pada
tanaman Coleus sp. pertama yang dilakukan pemotongan lamina pada nodus
terbawah, petiolus yang diolesi dengan lanolin gugur pada hari ke-3, sedangkan
petiolus yang diolesi dengan lanolin + AIA gugur pada hari ke-4, sedangkan pada
tanaman Coleus sp. kedua yang dilakukan pemotongan lamina pada nodus kedua
dari bawah, petiolus yang diolesi dengan lanolin gugur pada hari ke-4, sedangkan
petiolus yang diolesi dengan lanolin + AIA gugur pada hari ke-5.

2. Analisis Tabel

Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 1., dapat dianalisis bahwa;

Pada tanaman Coleus sp. yang dipotong laminanya di nodus terbawah


mengalami gugurnya petiolus pada hari ke-3 untuk nodus pada daerah bekas
pemotongan lamina yang diolesi dengan lanolin, sedangkan petiolus untuk nodus
pada daerah bekas pemotongan lamina yang diolesi dengan lanolin + AIA, waktu
gugurnya petiolus lebih lama, yaitu pada hari ke-4.

Pada tanaman Coleus sp. yang dipotong laminanya di nodus keaau dari bawah
mengalami gugurnya petiolus pada hari ke-4 untuk nodus pada daerah bekas
pemotongan lamina yang diolesi dengan lanolin, sedangkan petiolus untuk nodus
pada daerah bekas pemotongan lamina yang diolesi dengan lanolin + AIA, waktu
gugurnya petiolus lebih lama, yaitu pada hari ke-5.

3. Diskusi

Adakah perbedaan waktu gugurnya daun pada percobaan yang dilakukan? Ya,
terdapat perbedaan waktu gugurnya tangkai atau petiolus setelah dilakukan
pemotongan pada lamina. Tanaman yang dipotong laminanya pada nodus terbawah
mengalami pengguguran petiolus pada hari ke 3, sedangkan pada tanaman yang
dipotong laminya di nodus kedua dari bawah mengalami pengguguran petiolus di
hari ke-4 untuk perlakuan pengolesan bekas daerah pemotongan lamina dengan
lanolin. Sedangkan untuk pengolesan dengan lanolin + AIA, gugurnya petiolus
pada tanaman yang dipotong laminanya pada nodus terbawah terjadi pada hari ke-
4, sedangkan gugurnya petiolus pada tanaman yang dipotong laminanya pada nodus
kedua dari bawah terjadi pada hari ke-5. Dengan kata lain, gugurnya petiolus pada
nodus paling bawah lebih cepat daripada nodus kedua dari bawah, baik untuk
pengolesan dengan lanolin maupun pengolesan dengan lanolin + AIA. Hal ini
dikarenakan karena pada daerah pangkal tanaman (nodus terbawah), distribusi
auksin akan terhambat atau berjalan lambat, karena auksin diproduksi di ujung
batang. Auksin atau disebut sebagai AIA akan memacu pemanjangan sel dan
menghambat terbentuknya zona absisi pada daun, sehingga apabila auksin berada
pada kondisi yang rendah, maka akan memicu aktifnya etilen untuk proses
pengguguran daun. Distribusi auksin yang rendah di daerah nodus terbawah
tanaman akan membuat konsentrasinya rendah, sehingga etilen meningkat dan
proses absisi akan terjadi lebih cepat.

L. Hasil Analisis Data

Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa gugurnya petiolus pada nodus


yang bekas daerah pemotongan laminanya diolesi dengan lanolin lebih cepat jika
dibandingkan dengan nodus yang bekas daerah pemotongan laminanya diolesi
dengan lanolin + AIA. Hal ini disebabkan karena penambahan AIA akan
menghambat terbentuknya zona absisi, sehingga pengguguran daun akan menjadi
lebih lambat. Lanolin yang digunakan untuk pengolesan daerah bekas pemotongan
lamina adalah sebagai perlakuan kontrol, untuk dapat diketahui ada atau tidaknya
pengaruh penambahan AIA terhadap persitiwa absisi pada daun.

AIA sebagai bentuk auksin yang secara alami disintesis oleh tumbuhan berperan
dalam mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, dengan fungsi
utama memicu pemanjangan sel (Santoso,2010). Selain fungsi utama sebagai
pemacu pemanjangan sel, auksin juga berfungsi dalam menghambat peristiwa
absisi.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Syaputra (2014), tangkai daun yang diolesi
dengan lanolin mengalami absisi terlebih dahulu dibandingkan tangkai daun yang
diolesi AIA dengan umur yang lebih tua. Hal tersebut dikarenakan daerah yang
akan mengalami absisi sel-selnya dapat membelah secara aktif dan sel-sel pemisah
yang terbentuk oleh parenkim tidak mudah larut, dan bahkan sel-selnya tidak
mudah hancur karena pengaruh hormon auksin yang terkandung dalam AIA,
sehingga absisi dapat dicegah lebih lama. Hal inilah yang membuat adanya
penambahan atau peningkatan konsentrasi auksin akan menghambat terjadinya
peristiwa absisi, karena pembentukan zona absisi akan terhambat karena auksin
akan memacu terjadinya pemanjangan sel. Sehingga dapat dikatakan bahwa
konsentrasi auksin yang tinggi akan menghambat terjadinya absisi, sedangkan
auksin dengan konsentrasi rendah akan mempercepat terjadinya absisi.

Mekanisme aksin dalam mencegah absisi adalah dengan tetap mempertahankan


proses metabolisme daun. Namun, seiring dengan bertambahnya umur daun yang
menjadi semakin tua yang ditandai dengan letak nodus yang berada paling bawah,
maka jumlah etilen yang dihasilkan juga meningkat, dimana etilen sangat berperan
dalam proses pengguguran daun. Sel-sel yang mulai menghasilkan eilen akan
mendorong pembentukan lapisan absisi. Selanjutnya etilen akan merangsang
lapisan absisi terpisah dengan memacu sintesis enzim yang merusak dinding-
dinding sel pada lapisan absisi. Proses penghancuran dinding,
yang disertai dengan tekanan akibat pertumbuhan yang tidak seimbang antara sel
proksimal yang membesar dan sel distal yang menua di zona absisi, mengakibatkan
pematahan. Selama konsentrasi auksin yang lebih tinggi dipertahankan di helai
daun, pengguguran dapat ditunda. Namun penuaan menyebabkan terjadinya
penurunan tingkat auksin pada organ tersebut dan konsentrasi etilen mulai
meningkat. Etilen, zat pemacu pengguguran yang terkuat akan tersebar luas
diberbagai organ tumbuhan dan pada banyak spesies tumbuhan menyebabkan
pembesaran sel dan menginduksi sintesis serta sekresi hidrolase pengurai dinding
sel (Restu,2008).

Menurut Sasmitamihardja (1996), auksin sebagai hormon tanaman yang dapat


menghambat terjadinya absisi dengan mempertahankan konsentrasinya pada daun.
Hal ini erat kaitannya dengan fungsi auksin yang salah satunya adalah memacu
pemanjangan sel. Selain itu, karena mekanisme kerja auksin yang berlawanan
dengan etilen maupun asam absisat, maka dengan tingginya konsentrasi auksin,
maka konsentrasi etilen maupun asam absisat yang mamicu proses absisi akan
menurun, sehingga proses absisi akan terhambat. Terkait hubungan antara absisi
dengan zat tumbuh auksin, Addicot Etall (1955) mengemukakan bahwa absisi akan
terjadi apabila jumlah auksin yang ada di daerah proksimal sama atau lebih dari
jumlah auksin yang terdapat didaerah distal. Tetapi apabila junlah auksin berada di
daerah distal lebih besar daridaerah proksimal maka tidak akan terjadi absisi.
Dengan kata lain proses absisi akan terhambat. Hal inilah yang membuat nodus
terbawah mengalami peristiwa absisi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan
gugurnya daun pada nodus kedua dari bawah.

Menurut Santoso (2010), auksin dihasilkan pada meristem apikal tunas ujung, daun
muda, embrio dalam biji, sehingga jumlahnya paling banyak berada di daerah ujung
batang. Auksin yang diproduksi pada ujung batang kemudian akan ditranspor ke
seluruh bagian tanaman. Proses transpor auksin ini terjadi dari ujung batang hingga
ke ujung akar, sehingga auksin yang ditranspor ke daerah nodus terbawah akan
membutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan transpor auksin ke
daerah nodus kedua dari bawah, karena jarak antara meristem apikal di ujung
batang dengan nodus terbawah lebih jauh. Hal ini mengakibatkan rendahnya
konsentrasi auksin di daerah nodus paling bawah, yang akan disertai dengan
meningkatnya konsnetrasi etilen maupun asam absisat yang akan memacu
terjadinya pembentukan zona absisi, sehingga peristiwa absisi terjadi lebih cepat.
Sehingga petiolus yang berada pada nodus terbawah akan lebih cepat terjadi jika
dibandingkan dengan gugurnya petiolus pada nodus kedua dari bawah.

M. Simpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa;

1. AIA berpengaruh terhadap terjadinya absisi daun tanaman Coleus sp.,


dimana penambahan AIA akan menghambat terjadinya absisi.

2. Letak nodus berpengaruh terhadap terjadinya absisi pada daun, dimana


semakin bawah letak nodus, makan akan semakin cepat pula daun
mengalami absisi atau kerontokan

3. Adanya pengaruh AIA terhadap proses absisi daun atau Ho ditolak dan
Ha diterima
Daftar Pustaka

Diah R, M.Nasir, Sudjino, dan K. Dewi. 2009. Fisiologi Tumbuhan. Fakultas


Biologi UGM.

Rahayu, Yuni Sri, dkk. 2017. Panduan Praktikum Mata Kuliah Fisiologi
Tumbuhan. Surabaya: Jurusan Biologi-FMIPA Unesa.

Ratna, Intan. 2008. Peranan Fungsi Fiohormon Bagi Pertumbuhan Tanaman.


Bandung: Universitas Padjajaran.

Salisbury, Fb, Ross Wc. (1995). Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung, Indonesia:
ITB Press.

Sasmitamihardja, Dardjat dan Arbasyah Siregar. 1996. Fisiologi Tumbuhan.


Bandung : ITB.

Syaputra, Anugrah, dkk. 2014. Pengaruh Auksin terhadap Absisi Organ Tumbuh
Tanaman. Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah
Kuala Darussalam, Aceh.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto Kegiatan Praktikum

Menyiapkan 2 pot tanaman Coleus sp. Memotong lamina di nodus terbawah


dengan kondisi hampir sama dan pada pot A, dan tepat satu nodus di
memberi label pada kedua pot atas nodus terbawah pada pot B

Mengoleskan lanolin pada bekas Meletakkan kedua pot tanaman Coleus


pemotongan lamina, dan lanolin + sp. pada kondisi yang sama dan
AIA pada bekas pemotongan lain mengamati terjadinya proses absisi
pada tangkai daunnya
(a) (b)
Mengamati kedua pot tersebut hingga kedua petiolus gugur (a) kedua petiolus
di nodus terbawah telah gugur pada hari ke-3 untuk pengolesan dengan lanolin,
sedangkan petiolus yang diolesi dengan lanolin + AIA gugur di hari ke-4, dan
(b) petiolus di nodus kedua dari bawah telah gugur pada hari ke-4 untuk
pengolesan dengan lanolin, sedangkan petiolus yang diolesi dengan lanolin +
AIA gugur di hari ke-5

Anda mungkin juga menyukai