Penerapan Pendekatan Psikologi Arsitektur Pada Sekolah Luar Biasa Tunarungu (SLB Tipe B) Di Kota Bekasi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 7

PENERAPAN PENDEKATAN PSIKOLOGI ARSITEKTUR

PADA SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB TIPE B)


DI KOTA BEKASI

Ariani Nurfakhirah1*, Suparno2, Maya Andria Nirawati3


Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret 1
Email: [email protected]*
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret 2
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret 3

Abstract
The condition of special school for the deaf and the deaf itself are still apprehensive,
especially in Bekasi, West Java. Meanwhile, deaf persons still need to get an education which
equivalent to the education that normal children get. However, education for children with
special needs, especially those with hearing impairment, requires special implementations
based on deaf’s characteristics in some design aspects in order to improve physical and
psychological comfort required by deaf students so they can be more comfortable adapting to
school circumstances. Design method that seems appropriate to be applied to this special
school for the deaf is psychological architecture approach that focuses on the characteristics
of the deaf itself. Psychological architecture as design method that used in this special school
is adjusted to the characteristics of hearing impaired in order to improve the quality of
physical and psychological comfort of deaf students in the learning process and activities by
applying the principles of psychological architecture on site analysis, school layout
arrangement, and also the appearance of interior and exterior of special school for the deaf.

Keywords: special school, hearing impairment, psychological architecture

1. PENDAHULUAN Keterbatasan seorang anak tunarungu tidak


menjadi penghalang dirinya untuk menuntut
Tiap anak yang dilahirkan ke bumi memiliki
ilmu sama seperti anak normal pada
perbedaan pada dirinya masing-masing.
umumnya. Mereka perlu mendapatkan
Perbedaan yang dimiliki tiap individu dapat
pendidikan yang setara dengan anak normal
dilihat dari fisik maupun psikisnya. Ada anak
lainnya. Namun, diperlukan perhatian khusus
yang lahir dengan kelebihan dan ada pula yang
pada penerapan pendidikannya yang
dilahirkan dengan kekurangan. Namun,
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik
adanya kekurangan bukan berarti mereka perlu
tunarungu.
mendapatkan perlakuan yang berbeda. Mereka
perlu mendapatkan perlakuan khusus tetapi Berdasarkan data dari PT. Surveyor Indonesia
bukan berarti harus dibeda-bedakan. pada Juli 2012, jumlah penyandang tunarungu
yang ada sebanyak 602.784 jiwa dengan
Anak penyandang tunarungu misalnya. Jika
jumlah populasi penyandang tunarungu
dilihat dari segi fisik, penyandang tunarungu
terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat, yaitu
terlihat tidak memiliki perbedaan dengan anak
sekitar 50.90%. Di Kota Bekasi sendiri
normal pada umumnya (Moores, 2001).
terdapat 109 penyandang tunarungu
Namun, sebenarnya anak tunarungu memiliki
berdasarkan data dari Pusdalisbang Jawa
keterbatasan sehingga membutuhkan
Barat. Berikut merupakan persebaran SLB
perlakuan khusus tetapi bukan berarti
yang terdapat di Kota Bekasi.
keterbatasannya tersebut dapat dijadikan
bahan cemoohan.
Arsitektura, Vol. 15, No.2, Oktober 2017: 525-531

Tabel 1. Persebaran SLB di Kota Bekasi tidak dapat menggunakan kemampuan


pendengarannya (audio). Namun, penyandang
tunarungu lebih mengutamakan kemampuan
visualnya dalam membaca keadaan sekitarnya.
Hal ini termasuk ke dalam karakteristik
tunarungu yang perlu diperhatikan dalam
merancang fasilitas pendidikan bagi
tunarungu.
Agar rancangan sekolah luar biasa yang
dinginkan dapat tepat sasaran maka
dibutuhkan penerapan pendekatan pada
rancangannya. Pendekatan yang cocok untuk
menyelesaikan masalah sekolah luar biasa
tunarungu ini adalah psikologi arsitektur.
Psikologi arsitektur yang digunakan juga
disesuaikan dengan karakteristik tunarungu.
Prinsip-prinsip pada psikologi arsitektur yang
tepat digunakan pada pemecahan masalah
sekolah luar biasa ini adalah prinsip The
Sumber: pusdalisbang.jabarprov.go.id, 2015
DeafSpace Design Guidelines. Prinsip yang
dikembangkan oleh Hansel Bauman ini telah
SLB yang terdapat di Kota Bekasi sudah dapat digunakan pada desain bangunan universitas
dikatakan memiliki jumlah yang banyak. Gallaudet yang diperuntukan bagi peserta
Namun, dari sekian banyak sekolah luar biasa didik tunarungu. Terdapat lima pokok prinsip
yang ada, sekolah luar biasa yang khusus yang digunakan pada The DeafSpace Design
diperuntukan bagi penyandang tunarungu Guidelines, yaitu: (1) space and proximity, (2)
masih belum tersedia. Padahal metode sensory reach, (3) mobility and proximity, (4)
pembelajaran yang diterima oleh tiap anak light and color, dan (5) acoustics.
dengan ketunaan yang berbeda tidak dapat
disatukan. Mulai dari kompetensi tenaga
pengajar, perilaku anak dalam belajar, dan
juga alat bantu pembelajaran. Gambar 1. Lima Prinsip The DeafSpace
Setiap fasilitas pendidikan khusus yang Design Guidelines
difokuskan satu ketunaan akan memiliki Sumber: www.curbed.com, 2016
perbedaan dalam kurikulum maupun desain 2. METODE
sekolah yang didasari oleh karakteristik
pengguna utamanya. Sekolah luar biasa tipe B Permasalahan dan persoalan dari objek
yang diperuntukan bagi siswa penyandang rancang bangun ini diselesaikan dengan
tunarungu memerlukan kurikulum dan desain penerapan pendekatan psikologi arsitektur
sekolah yang memperhatikan karakteristik yang memperhatikan karakteristik tunarungu
tunarungu. Maka dari itu, dalam merancang pada rancangannya agar terwujud fungsi
sekolah luar biasa tunarungu perlu bangunan yang sesuai dengan karakteristik
diperhatikan karakteristik tunarungu agar tunarungu.
dapat diterapkan ke dalam desain sekolah luar Metode perancangan sekolah luar biasa
biasa yang diinginkan. tunarungu ini diawali dengan memperoleh data
Menurut Moores (2001), ketunarunguan mulai dari studi literatur, observasi,
didefinisikan sebagai kondisi individu yang dokumentasi dan juga studi komparasi
tidak mampu untuk mendengar dalam hal sehingga didapatkan data yang dapat
wicara atau bunyi-bunyian lain, baik dalam membantu mengolah permasalahan dan
derajat frekuensi dan intensitas. Sehingga persoalan dari objek rancang bangun.
dapat disimpulkan bahwa seorang tunarungu

526
Ariani Nurfakhirah, Suparno, Maya Andria N, Sekolah Luar Biasa dengan Strategi…

Langkah selanjutnya adalah menganalisa penyandang disabilitas dibahas pada peraturan


permasalahan dan persoalan dari objek menteri pekerjaan umum nomor 30. Tangga
rancang bangun sebagai dasar perumusan dan ramp memudahkan penyandang disabilitas
konsep. Dari analisa permasalahan dan dalam berjalan atau bergerak di sekitar
persoalan akan menghasilkan konsep desain bangunan.
yang dijadikan sebagai pedoman perencanaan
o Light and Color
dan perancangan desain. Pedoman desain yang
Pemilihan warna dan pengolahan pencahayaan
dihasilkan berupa aktivitas dan kebutuhan
juga berpengaruh pada karakteristik
ruang sekolah luar biasa tunarungu yang
tunarungu. Pemilihan warna berpengaruh
direncanakan. Kemudian, prinsip-prinsip The
terhadap keadaan psikologis seseorang.
DeafSpace Design Guidelines diaplikasikan ke
Pemilihan warna yang kontras dengan kulit
dalam pedoman desain yang telah dihasilkan
akan meningkatkan fokus penglihatan
sebelumnya. The DeafSpace Design
penyandang tunarungu dalam memperhatikan
Guidelines digunakan unutk menyelesaikan
lawan bicaranya. Sedangkan, pengolahan
permasalahan dan persoalan desain sekolah
pencahayaan yang baik dibutuhkan pada
luar biasa tunarungu, yaitu permasalahan site,
bangunan agar terbentuk pencahayaan yang
peruangan dan tampilan bangunan.
merata di tiap ruangan sekolah. Pencahayaan
Prinsip-prinsip The DeafSpace Design yang redup atau gelap harus dihindari.
Guidelines yang diterapkan pada rancangan
o Accoustics
desain adalah sebagai berikut:
Menurut Bauman (2016), bangunan untuk
o Space and Proximity penyandang tunarungu membutuhkan keadaan
Kebutuhan akan ruang penyandang tunarungu akustik yang tenang. Walaupun mereka
lebih besar dibandingkan dengan orang normal memiliki keterbatasan dalam pendengaran,
pada umumnya agar mereka dapat mereka tetap membutuhkan keadaan ruangan
memperhatikan keadaan sekitar secara leluasa. yang tenang. Namun, tidak semua ruangan
Ruang visual yang lebar dan luar juga akan memerlukannya. Beberapa ruangan yang
memudahkan penyandang tunarungu dalam memerlukan tingkat kebisingan yang rendah
berkomunikasi dengan lawan bicaranya dan perlu diberikan bahan pengedap suara.
memperhatikan keadaan sekitar (Diani, 2012).
Prinsip-prinsip diatas akan diterapkan pada
o Sensory Reach rancangan desain agar terwujudnya bangunan
Seorang penyandang tunarungu mengandalkan sekolah luar biasa yang sesuai dengan
kemampuan visualnya dalam membaca situasi karakteristik penyandang tunarungu.
sekitarnya sehingga dirinya membutuhkan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
tanda-tanda yang dapat membantu rangsangan
indera penglihatannya maupun kemampuan Space and Proximity
indera lainnya. Hal ini dapat berupa signage, Maksud dari prinsip psikologi arsitektur
rambu-rambu, penggunaan material dan lain- terhadap karakteristik tunarungu space and
lain. Misalnya, pintu ruang kelas diberikan proximity adalah membentuk ruang yang
material kaca s sehingga akan terlihat jika ada nyaman bagi penyandang tunarungu untuk
seseorang yang ingin memasuki ruang kelas. beraktivitas.
o Mobility and Proximity Seringkali penyandang tunarungu
Prinsip ini memiliki kemiripan dengan prinsip membutuhkan kemampuan visualitasnya
space and proximity hanya saja lebih fokus dalam berkomunikasi. Raut wajah dan gerak
kepada ruang gerak penyandang tunarungu. tubuh sangat penting bagi penyandang
Penyandang tunarungu membutuhkan tunarungu dalam berkomunikasi sehingga
kemudahan dalam bergerak ataupun mereka membutuhkan ruang yang cukup
beraktivitas. Bukan hanya ruang geraknya saja dalam berkomunikasi atau berbahasa isyarat.
yang diperhatikan tetapi alat atau sistem Dalam berkomunikasi, ruang yang dibutuhkan
geraknya juga perlu diperhatikan. Seperti penyandang tunarungu berbeda dari orang
penggunaan tangga dan ramp. Penggunaan normal pada umumnya.
tangga dan ramp pada bangunan untuk

527
Arsitektura, Vol. 15, No.2, Oktober 2017: 525-531

Prinsip space and proximity diterapkan dalam Bentuk peruangan di dalam bangunan
beberapa aspek bangunan, yaitu peruangan mengikuti bentuk massa. Namun tetap
dan tampilan bangunan. Persoalan bentuk memperhatikan karakteristik tunarungu, yaitu
ruang maupun bangunan disesuaikan dengan menghindari bentuk memanjang yang dapat
karakteristik tunarungu. menghalangi pandangan.
Bentuk bangunan yang dirasa sesuai dengan Pada tampilan interior bangunan, bentuk
karakteristik psikologi penyandang tunarungu furnitur yang digunakan juga memperhatikan
adalah bentuk seperti atau dapat menyerupai karakteristik psikologi tunarungu. Bentuk
lingkaran karena fleksibel, luas, dan dinamis. furnitur yang disarankan dapat berupa bentuk
Bentuk ini dipilih berdasarkan kebiasaan atau pola lingkaran maupun melengkung.
tunarungu dalam beraktivitas. Secara tidak
Bentuk furnitur meja yang dipilih pada ruang-
sadar sekelompok tunarungu akan membentuk
ruang kelas adalah bentuk melengkung agar
pola lingkaran atau lengkung agar dapat
siswa tunarungu dapat menyerap pelajaran
memandang semua orang. Mereka akan
lebih fokus terhadap guru dan papan tulis di
menghindari bentuk kotak atau memanjang
depan kelas.
yang dapat menghalangi pandangan.
Tabel 2. Bentuk Dasar dan Karakter

Gambar 3. Bentuk Furnitur Meja

Sumber: DK. Ching, 1996


Sensory Reach
Prinsip psikologi arsitektur berdasarkan
Bentuk yang dipilih pada bangunan sekolah
karakteristik psikologi tunarungu ini
luar biasa tunarungu ini adalah bentuk segi
depalan atau oktagon. Segi delapan dipilih diterapkan untuk dapat membantu atau bahkan
karena bentuknya menyerupai lingkaran tetapi meningkatkan rangsangan indera yang dimiliki
tetap memiliki sisi sehingga dapat panyandang tunarungu. Dengan menggunakan
indera lainnya, siswa tunarungu diharapkan
mempermudah peruangan di dalam bangunan.
dapat membaca situasi yang terjadi di
sekitarnya. Misalnya, penambahan kaca buram
(kaca es) pada pintu kelas agar orang yang
berada di dalam kelas dapat mengetahui jika
ada orang yang berkepentingan untuk masuk
ke dalam kelas.

Gambar 1. Bentuk Massa Bangunan


Agar bentuk massa sekolah terlihat lebih
dinamis maka diberikan penambahan bentuk
massa bangunan, yaitu bentuk persegi sebagai
transisi antar bangunan. Dengan begitu, bentuk
Gambar 4. Material Kaca Pada Pintu
bangunan keseluruhan tidak terlihat monoton.
Penggunaan signage untuk sekolah luar biasa
tunarungu juga diperlukan sebagai penanda.
Contohnya pengunaan signage pada sekolah
luar biasa tunarungu ini adalah tanda keluar
atau jalur evakuasi dan lampu tanda kebakaran
Gambar 2. Tata Massa atau bahaya yang dipasang di tiap kelas.

528
Ariani Nurfakhirah, Suparno, Maya Andria N, Sekolah Luar Biasa dengan Strategi…

Dengan adanya signage ini, siswa tunarungu


dapat mengetahui adanya bahaya tanpa harus
diberi peringatan berupa audio.

Gambar 5. Jalur Pedestrian


Gambar 5. Penggunaan Signage
Sumber: www.google.com, 2017 Bangunan yang dikhususkan untuk
penyandang disabilitas biasanya memerlukan
Mobility and Proximity
ramp untuk mempermudah penyandang
Mobility and proximity pada prinsip psikologi difabel bergerak ke ketinggian yang berbeda.
arsitektur yang diterapkan pada bangunan Sekolah luar biasa termasuk ke dalam
sekolah luar biasa tunarungu bertujuan untuk bangunan untuk penyandang disabilitas
membahas tentang ruang gerak penyandang sehingga harus ramah difabel. Di beberapa
tunarungu. Tunarungu membutuhkan ruang titik, terdapat penggunaan ramp agar dapat
gerak yang luas dibandingkan dengan mempermudah akses siswa tunarungu.
kebutuhan ruang gerak orang normal pada Sedangkan, penggunaan tangga di sekolah luar
umumnya. Kebutuhan ruang gerak tunarungu biasa ini memiliki beberapa perhatian khusus
dipengaruhi oleh jarak dan luas pandangan agar tetap dapat mempermudah siswa
yang dibutuhkan tunarungu. tunarungu mengakses lantai yang berbeda.
Tangga yang digunakan pada sekolah luar
Prinsip psikologi arsitektur berdasarkan
biasa ini memiliki lebar dan panjang anak
karakteristik tunarungu banyak membahas
tangga yang lebih lebar dari tangga biasanya.
mengenai cara berkomunikasi tunarungu.
Anak tangga yang terdapat pada tangga
Termasuk prinsip mobility and proximity ini.
sekolah luar biasa ini juga dibuat landai agar
Dalam berkomunikasi, tunarungu
siswa lebih mudah mengaksesnya.
mengandalkan kemampuan visualitasnya. Jika
mereka sudah terlalu fokus terhadap
pembicaraan, mereka menjadi tidak terlalu
memperhatikan keadaan sekitar. Agar mereka
tetap dapat memperhatikan keadaan di sekitar,
mereka membutuhkan ruang gerak yang luas
sehingga dapat memungkinkan mereka untuk
tetap memperhatikan jalan dan lawan
bicaranya. Gambar 6. Penggunaan Ramp dan Tangga

Ruang gerak yang dibahas pada prinsip ini Light and Color
adalah luasan jalan dan penggunaan tangga Prinsip light and color membahas mengenai
atau ramp. Perhitungan jalan dan penggunaan pemilihan warna dan pengolahan cahaya pada
tangga maupun ramp perlu diperhatikan dalam bangunan. Warna dan cahaya berpengaruh
kenyamanan gerak penyandang tunarungu. terhadap psikologi tunarungu. Agar mereka
Lebar jalan pada sekolah luar biasa tunarungu dapat melihat dan membaca situasi dengan
ini dirancang lebih lebar dibandingkan lebar nyaman, maka warna yang dipilih harus
jalan biasanya agar siswa tunarungu dapat kontras dengan warna kulit. Dengan begitu,
leluasa memperhatikan sekitarnya. Lebar jalur siswa tunarungu ketika sedang memperhatikan
pedestrian di sekolah luar biasa tunarungu ini seseorang berbicara atau berbahasa isyarat.
adalah sekitar ± 3 m².
Pemilihan warna pada bangunan sekolah luar
biasa ini cenderung warna-warna pastel.
Namun, karena sekolah luar biasa ini
didominasi oleh anak-anak maka di beberapa

529
Arsitektura, Vol. 15, No.2, Oktober 2017: 525-531

area khusus untuk anak kecil maka warna yang implants, suara keras dan bahkan suara mesin
dipilih merupakan warna yang segar dan dapat pendingin ruangan dapat mengganggu
menignkatkan pengetahuan mereka mengenai pendengaran mereka. Maka dari itu, akustik
warna. yang ideal pada bangunan haruslah yang
Gambar 7. Pemilihan Warna tenang dan sepi.
Namun, pengolahan akustik yang tenang tidak
harus diterapkan di tiap ruangan. Pengolahan
akustik dapat diberikan pada ruangan yang
memerlukan ketenangan saja. Contohnya,
pada ruang BKPBI yang memerlukan suara
dan getaran murni yang dihasilkan oleh
sumber suara, maka ruangan tersebut dapat
diberikan bahan kedap suara agar tidak
Pengolahan cahaya yang dibutuhkan ideal terganggu oleh suara di luar ruangan.
menurut DeafSpace design adalah cahaya yang
lembut di mata, tidak menyilaukan, dan
menghindari ruang yang gelap atau redup.
Di sekolah luar biasa tunarungu ini lebih
banyak memanfaatkan pencahayaan alami.
Penggunaan bukaan-bukaan yang besar
memungkinkan cahaya alami masuk ke dalam
ruangan sehingga tidak ada sudut yang redup
Gambar 9. Ruang BKPBI
ataupun gelap. Sekolah luar biasa tunarungu
ini menggunakan atap skylight di beberapa 4. KESIMPULAN
ruangan yang luas. Pada ruangan lainnya
diberikan jendela yang besar agar cahaya Pendekatan psikologi arsitektur dengan
alami dapat masuk dengan bebas. Hal ini juga prinsip-prinsip yang fokus terhadap
dimaksudkan agar dapat mengurangi biaya karakteristik tunarungu sebagai sebuah metode
penggunaan cahaya buatan. perancangan dirasa sangat tepat diterapkan
dalam perancangan sekolah luar biasa
tunarungu karena sesuai dengan psikologi
siswa penyandang tunarungu untuk
menciptakan fungsi pembelajaran yang sesuai
dan meningkatkan kenyamanan fisik maupun
psikis siswa tunarungu.

REFERENSI
Ching, Francis D.K. 1996. Arsitektur: Bentuk,
Ruang, dan Tatanan. Jakarta: Erlangga
Diani, Meutia Rin. 2012. Mata yang
Mendengar. Yogyakarta: Lamalera
Gambar 8. Bukaan Besar
Halim, Deddy. 2005. Psikologi Arsitektur.
Accoustics Jakarta: Grasindo
Heward, William L, Sheila R. Alber-Morgan,
Pengolahan akustik pada bangunan untuk Moira Konrad. 2009. Exceptional
tunarungu merupakan hal penting yang perlu Children. Amerika: The Ohio State
diperhatikan agar pengguna bangunan, University
khususnya tunarungu, dapat merasa nyaman. Moores, Donald F. 2001. Educating The Deaf:
Walaupun mereka memiliki kekurangan dalam Psychology, Principles, and Practices.
pendengaran tetapi bagi mereka yang Boston: Houghton Mifflin Company
menggunakan alat bantu dengar atau cochlear

530
Ariani Nurfakhirah, Suparno, Maya Andria N, Sekolah Luar Biasa dengan Strategi…

Permen PU Nomor 30/PRT/M/2006


Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi
2011-2031
Bauman, Hansel. 2016. How Gallaudet
University’s Architects Are Redefining
Deaf Space. Dilansir pada
https://www.curbed.com/2016/3/2/1114021
0/gallaudet-deafspace-washington-dc.
[Diakses pada: 2 Juli 2017]
https://www.google.com/earth/. [Diakses pada:
8 Juni 2017]
https://www.google.com/. [Diakses pada: 10
September 2017]

531

Anda mungkin juga menyukai