Labes DBT Siap Fix

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN DASAR BUDIDAYA TANAMAN

PENGARUH JARAK TANAM DAN POLA TANAM


TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN
JAGUNG MANIS (Zea mays saccharata Sturt)

Oleh :
Kelompok I1

Asisten:
Fandyka Yufriza Ali, S.P.

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
MALANG

2019

i
LEMBAR DATA ANGGOTA
PRAKTIKUM DASAR BUDIDAYA TANAMAN

Kelompok : I1
Asistem : Fandyka Yufriza Ali, S.P.

No. Nama NIM

1 Fatoni Siratul Fikri 185040200111119


2 Muhammad Chusni 185040201111060
3 Muhammad Bagas Dwi Nugroho 185040201111081
4 Dyanita Wiyani Fatma 185040201111148
5 Annisa Farhah Resdiyanti 185040207111003
6. Daniel Pukka Marisi Tua 185040207111099

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2019

ii
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM


DASAR BUDIDAYA TANAMAN 2019
“PENGARUH JARAK TANAM DAN POLA TANAM
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN
JAGUNG MANIS (Zea mays saccharata Sturt)”

Kelompok : I1
Kelas : I

Disetujui Oleh:

Asisten Kelas, Koordinator Asisten


Dasar Budidaya Tanaman,

Fandyka Yufriza Ali S.P. Bella Nurdiyanti


NIM. 176040200111011 NIM. 165040200111164

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2019

iii
LEMBAR KRITIK DAN SARAN

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

DASAR BUDIDAYA TANAMAN

Asisten Penguji :

Kritik dan Saran :

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2019

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya yang berupa nikmat sehat dan ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan laporan dasar budidaya pertanian. Dalam proses
penyusunan laporan ini, tentunya penulis mendapatkan bimbingan, arahan, serta
dukungan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Tim Asisten Praktikum Dasar Budidaya Pertanian, yang telah membantu
membimbing dan mengarahkan selama pelaksanaan praktikum,
2. Kak Fandyka Yufriza Ali, selaku Asisten Praktikum Dasar Budidaya
Tanaman Kelas I yang telah membantu dalam membimbing dan
mengarahkan selama pelaksanaan praktikum, tutorial serta penyusunan
Laporan Akhir Praktikum ini,
3. Rekan-rekan mahasiswa khususnya kelas I Agroekoteknologi yang telah
memberikan semangat serta dukungan selama penyusunan Laporan Akhir
Praktikum Dasar Budidaya Tanaman ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak
kekurangan baik segi penyusunan, bahasa maupun penulisannya sehingga penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar laporan dasar
budidaya pertanian ini menjadi lebih bermanfaat bagi para pembaca.

Malang, 02 Mei 2019

Kelompok I1

v
DAFTAR ISI
COVER LUAR
COVER DALAM ................................................................................................... i
LEMBAR DATA ANGGOTA ............................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
LEMBAR KRITIK DAN SARAN ......................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vix
1. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 3
2.1 Tanaman Jagung Manis ........................................................................... 3
2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung Manis .................................................. 4
2.3 Fase Pertumbuhan Tanaman Jagung Manis ............................................ 6
2.4 Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Tanaman Jagung Manis ..................... 7
2.5 Pengaruh Pola Tanam Terhadap Tanaman Jagung Manis ....................... 8
3. BAHAN DAN METODE ................................................................................ 10
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................. 10
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................... 10
3.3 Metode Pelaksanaan .............................................................................. 10
3.4 Parameter Pengamatan ......................................................................... 13
3.5 Analisis Data .......................................................................................... 15
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 16
4.1 Hasil ....................................................................................................... 16
4.2 Pembahasan .......................................................................................... 21
5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 38
LAMPIRAN ........................................................................................................ 41

vi
DAFTAR TABEL
No. Hal
Teks

1. Perbandingan Rata-Rata Tinggi Tanaman Jagung Manis (cm) ........................... 16


2. Perbandingan Rata-Rata Jumlah Daun Tanaman Jagung Manis (Helai) ............ 17
3. Perbandingan Waktu Muncul Malai pada Setiap Perlakuan ................................ 18
4. Perbandingan Bobot Tongkol Jagung dengan Kelobot pada Setiap Perlakuan ... 19
5. Perbandingan Panjang Tongkol Jagung dengan Kelobot pada Setiap Perlakuan 20
6. Perbandingan Diameter Tongkol Jagung dengan Kelobot pada Setiap Perlakuan.
............................................................................................................................... 20

vii
DAFTAR GAMBAR
No. Hal
Teks

1. Pertumbuhan Jagung ........................................................................................... 6


2. Grafik Rerata Tinggi Tanaman Jagung Manis ..................................................... 22
3. Grafik Rerata Jumlah Daun Tanaman Jagung Manis .......................................... 23
4. Diagram Waktu Muncul Malai Tanaman Jagung Manis ...................................... 27
5. Diagram Perbandingan Rerata Bobot Tongkol Jagung Manis ............................. 29
6. Diagram Perbandingan Rerata Panjang Tongkol Jagung Manis ......................... 32
7. Diagram Perbandingan Rerata Diameter Tongkol Jagung Manis ........................ 34

viii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal
Teks
1. Deskripsi Varietas ............................................................................................... 41
2. Petak Praktikum.................................................................................................. 44
3. Perhitungan Pupuk ............................................................................................. 45
4. Data Pengamatan Jagung Manis ........................................................................ 48
5. Logbook .............................................................................................................. 52
6. Dokumentasi Hasil Panen ................................................................................. 652

ix
1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jagung manis (Zea mays saccharata Sturt) merupakan tanaman pangan yang
dikonsumsi dan sangat disukai masyarakat Indonesia serta memiliki kandungan
karbohidrat tinggi selain padi dan gandum. Tanaman jagung manis memiliki rasa
yang lebih manis dibandingkan dengan jagung biasa dan umur produksinya yang
lebih singkat. Jagung manis mempunyai ciri-ciri biji yang masih muda bercahaya dan
berwarna jernih seperti kaca sedangkan biji yang telah masak dan kering akan
menjadi keriput/berkerut. Perbedaan jagung manis dan jagung biasa pada umumnya
jagung manis berambut putih sedangkan jagung biasa berambut merah. Umur
jagung manis antara 60 sampai 70 hari, namun pada dataran tinggi yaitu 400 mdpl
atau lebih, biasanya bisa mencapai 80 hari. Bagi para para petani, tanaman jagung
manis merupakan peluang usaha di pasar, karena nilai jualnya lebih tinggi.
Berdasarkan hitungan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjen TP)
Kementan, produksi jagung dalam 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 12,49 persen
per tahun. Itu artinya, tahun 2018 produksi jagung diperkirakan mencapai 30 juta
ton. Hal ini juga didukung oleh data luas panen per tahun yang rata-rata meningkat
11,06 persen, dan produktivitas rata-rata meningkat 1,42 persen. Oleh karena itu,
usaha untuk mengatasi ketersediaan pangan dan peningkatan produksi jagung
adalah dengan mengatur jarak dan pola tanam. Jarak tanam sangat penting untuk
diperhatikan, agar antara tanaman satu dengan tanaman lainnya tidak saling
berkompetisi sehingga nutrisi dan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dapat
tercukupi dan tanaman dapat tumbuh secara optimal. Pengaturan kerapatan
tanaman bertujuan untuk meminimalkan kompetisi antar tanaman agar kanopi dan
akar tanaman dapat memanfaatkan lingkungan secara optimal. Jumlah tanaman
yang berlebihan akan menurunkan hasil karena terjadi kompetisi terhadap unsur
hara, air, radiasi matahari, dan ruang tumbuh sehingga akan mengurangi jumlah biji
pertanaman. Selain itu, syarat tumbuh tanaman jagung juga perlu diperhatikan
terutama iklim dan juga kondisi tanah. Pertumbuhan jagung manis paling baik yaitu
pada musim panas, tetapi sebagian besar areal pengolahan jagung manis berada di
daerah yang dingin. Jagung manis dapat tumbuh hampir semua di tipe tanah
dengan pengairan yang baik. Tanaman jagung manis dapat beradaptasi di kondisi
2

iklim yang luas, yaitu pada iklim tropis-subtropis dengn rentang ketinggian sampai
dengan 3000 mdpl. Kondisi temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya, dan
panjang hari untuk pertumbuhan jagung manis yang optimum tidak jauh berbeda
dengan kondisi yang diperlukan jagung biasa.
Selain jarak tanam, pola tanam yang tepat dapat meningkatkan produksi
tanaman jagung manis. Pola tanam dibagi menjadi dua, pola tanam tumpang sari
dan monokultur. Kedua pola tanam tersebut harus memperhatikan kondisi lahan dan
tanaman yang dibudidayakan serta mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-
masing. Pola tanam monokultur adalah cara budidaya di lahan pertanian dengan
menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Monokultur menjadikan penggunaan
lahan efisien karena memungkinkan perawatan dan pemanenan secara cepat
dengan bantuan mesin pertanian dan menekan biaya tenaga kerja. Kelemahan
utamanya adalah tanaman monokultur relative mudah terserang hama maupun
penyakit. Sedangkan tumpangsari adalah bentuk pola tanam yang membudidayakan
lebih dari satu jenis tanaman dalam satuan lahan, tumpangsari merupakan upaya
dari program intensifikasi pertanian dengan tujuan memperoleh hasil produksi yang
optimal, dan menjaga kesuburan tanah. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan
pengamatan lebih lanjut melalui kegiatan tanam agar dapat diketahui pengaruh jarak
dan pola tanam terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis.
1.2 Tujuan

Adapun tujuan praktikum Dasar Budidaya Tanaman yang dilakukan pada


Lahan Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya adalah untuk
mengetahui pengaruh jarak tanam dan pola tanam terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt).
3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jagung Manis

Jagung manis merupakan tanaman hortikultura yang tergolong dalam tanaman


monokotil yang berumah satu dimana pada satu batang tumbuhan memiliki dua
kelamin, yaitu kelamin jantan dan kelamin betina. Benang sari atau kelamin jantan
tumbuh pada ujung batang utama sedangkan putik tumbuh pada ketiak daun.
Jagung manis memiliki buah matang berbiji tunggal yang disebut monokotil dan
memiliki daun-daun panjang, berbentuk rata meruncing dengan tulang daunnya
sejajar seperti daun-daun tanaman monokotil pada umumnya (Suseno, 2013).
Menurut Riwandi et al. (2014), jagung manis termasuk dalam kingdom Plantae, divisi
Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, family
Graminaceae, Genus Zea, dan spesies Zea mays saccharata Sturt
Menurut Aprilianti (2016), jagung manis merupakan perkembangan dari jagung
mutiara dan jagung gigi kuda. Sifat atau karakteristik yang membedakan antara
jagung manis dengan jagung pakan adalah kandungan gulanya yang tinggi pada
fase masak susu serta permukaan kernel yang menjadi transparan dan berkerut
saat mengering. Komposisi genetik pada jagung manis dan jagung gigi kuda hanya
dibedakan oleh satu gen resesif. Gen ini mencegah perubahan gula menjadi pati.
Jagung manis adalah tanaman herba monokotil, dan tanaman semusim iklim
panas. Tanaman ini berumah satu atau monoseus, dengan bunga jantan tumbuh
sebagai perbungaan ujung pada batang utama (poros atau tangkai), dan bunga
betina tumbuh terpisah sebagai perbungaan samping (tongkol) yang berkembang
pada ketiak daun. Pada umumnya penyerbukan pada tanaman jagung manis
dibantu oleh angin. Jagung manis dapat dipanen sekitar 18-24 hari setelah
penyerbukan dan ditandai dengan penampakan rambut yang mulai mengering dan
tongkol yang keras ketika digenggam. Jagung manis dapat menghasilkan satu atau
beberapa tongkol (Marajo, 2016).
Menurut Syukur dan Rifianto (2014), jagung manis memiliki karakteristik
unggul yaitu produktivitas tinggi, rasa manis, umur panen dan daya simpan.
Produktivitas jagung merupakan karakteristik yang paling penting. Pemilihan varietas
yang unggul dapat meningkatkan produktivitas hasil baik pada lahan sempit maupun
luas. Potensi produktivitas jagung manis tanpa kelobot dapat mencapai 20
4

ton/ha/musim tanam. Potensi ini dapat dilihat dari kualitas buah yang baik, seperti
ukuran, tampilan, biji dan rasa. Selain produktivitas, sifat utama jagung manis yang
dikembangkan adalah rasa manis. Konsumen jagung manis menginginkan rasa
manis yang tinggi dan menginginkan jagung manis itu tetap manis setelah disimpan
beberapa hari. Setelah itu, karakteristik unggul pada tanaman jagung adalah umur
panen. Umur panen merupakan salah satu karakter yang digunakan untuk
mengukur keunggulan suatu varietas. Varietas yang banyak diinginkan adalah
varietas yang memiliki umur panen lebih awal. Umur tanaman berkaitan dengan
lamanya tanaman di lahan. Umumnya umur panen pada jagung manis adalah 70-80
HST di dataran menengah dan 60-70 di dataran rendah. Jagung manis umumnya
dikonsumsi dalam keadaan segar sehingga harus tersedia dalam kondisi segar
setiap saat dan tidak dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Jagung manis
umumnya langsung dijual setiap selesai panen, karena mutu akan turun setelah 2-3
hari disimpan.
2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung Manis

Menurut Syukur dan Rifianto (2013), pertumbuhan jagung manis paling baik
yaitu pada musim panas, tetapi sebagian besar areal pengolahan jagung manis
berada di daerah yang dingin. Jagung manis dapat tumbuh hampir semua di tipe
tanah dengan pengairan yang baik. Tanaman jagung juga cocok ditanam pada
tanah yang gembur. Tanaman jagung manis dapat beradaptasi di kondisi iklim yang
luas, yaitu pada iklim tropis-subtropis dengn rentang ketinggian sampai dengan 3000
mdpl. Kondisi temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya, dan panjang hari
untuk pertumbuhan jagung manis yang optimum tidak jauh berbeda dengan kondisi
yang diperlukan jagung biasa. Pertumbuhan bibit dan tanaman dapat berlangsung
pada kisaran suhu antara 21-30ºC.
Tanaman jagung dapat tumbuh optimal pada lahan terbuka. Ketinggian tempat
yang yang cocok untuk tanaman jagung dari 0 sampai 1300 m di atas permukaan
laut. Temperatur udara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman jagung adalah
23-27°C. Curah hujan yang ideal untuk tanaman jaguung pada umumnya antara 200
sampai dengan 300 mm per bulan atau yang memiliki curah hujan tahunanantara
800 sampai dengan 1200 mm. Tingkat kemasaman tanah atau pH tanah yang
optimal untuk oertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung sekitar 5,6 sampai
5

dengan 6,2. Saat tanam jagung tidak tergantung musim, namun tergantung pada
ketersediaan air yang cukup. Ketika pengairannya cukup, penanaman jagung pada
musim kemarau akan menyebabkan pertumbuhan jagung yang baik (Riwandi et al.,
2014).
Menurut Purwono dan Hartono (2005), jagung biasanya tumbuh di tanah
kering yang mempunyai aerasi dan ketersediaan air yang cukup baik. Tanah
bertekstur lempung atau liat berdebu merupakan jenis tanah terbaik untuk
pertumbuhan tanaman jagung. Tanaman jagung akan tumbuh dengan optimal pada
tanah yang subur, gembur, dan kaya akan humus. Menurut Wirosoedarmo et al.
(2011), tanaman semusim seperti jagung umumnya menghendaki lahan yang
memiliki kemiringan datar sampai agak landai atau kemiringan lereng 0-8 %.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2008) menyatakan bahwa,
jagung menghendaki tanah yang subur untuk dapat berproduksi dengan baik. Hal ini
dikarenakan tanaman jagung membutuhkan unsur hara terutama nitrogen (N),
phospor (P), dan kalium (K) dalam jumlah yang tidak sedikit. Sehingga penggunaan
pupuk di tanah yang miskin hara dan rendah bahan organik sangat diperlukan.
Selain itu pupuk organik seperti kompos dan pupuk kandang juga perlu diaplikasikan
untuk membantu meningkatkan kesuburan tanah dan meningkatkan jumlah akar.
Pada kondisi tanah yang subur dan gembur, jumlah akar tanaman jagung sangat
banyak. Sementara pada tanah yang kurang baik akar yang tumbuh jumlahnya
terbatas.
Pertumbuhan, produksi dan mutu hasil jagung manis dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan seperti kesuburaan tanah. Selain
memperhatikan pemilihan benih yang unggul, juga perlu diperhatikan kondisi lahan.
Masa tanam jagung tidak tergantung pada musim, namun tergantung pada
kesediaan air yang cukup. Tanaman jagung dapat tumbuh baik pada musim
kemarau jika kebutuhan air tercukupi. Secara fisiologis tanaman jagung termasuk
tanaman C4 sehingga memerlukan cahaya penuh dalam pertumbuhannya.
Golongan tanaman C4 ini juga lebih efisien dalam memanfaatkan CO 2 yang
diperlukan dalam proses fotosintesis (Riwandi et al., 2014).
6

2.3 Fase Pertumbuhan Tanaman Jagung Manis

Pertumbuhan tanaman jagung manis terbagi menjadi dua fase yaitu fase
vegetatif dan fase generatif. Fase vegetatif adalah fase yang berkaitan dengan
penambahan ukuran dan jumlah sel pada suatu tanaman, sedangkan fase generatif
adalah fase yang berkaitan dengan kematangan organ reproduksi suatu tanaman.
Pada fase vegetatif, parameter yang diamati adalah tinggi tanaman dan jumlah
daun. Sedangkan pada fase generatif parameter pengamatan adalah waktu
berbunga, jumlah tongkol dan panjang tongkol (Ekowati dan Nasution, 2011).

Gambar 1. Pertumbuhan Jagung (Bisi International, 2016)


Menurut Ekowati dan Nasir (2011), Pertumbuhan vegetatif tanaman jagung
adalah pertumbuhan yang berhubungan dengan penambahan ukuran dan jumlah sel
pada suatu tanaman. Pertumbuhan tanaman jagung meliputi fase perkecambahan
yang dilanjutkan dengan fase pertumbuhan vegetatif yang mencakup perbesaran
batang, daun dan akar tanaman yang akhirnya melambat ketika dimulai fase
generatif. Pengamatan pertumbuhan vegetatif dilakukan dengan cara mengukur
tinggi tanaman, jumlah daun dan berat kering tajuk tanaman jagung tersebut.
Sedangkan pengamatan pertumbuhan generatif dilakukan dengan cara menghitung
waktu berbunga, jumlah tongkol, berat tongkol, panjang tongkol, diameter tongkol.
Menurut Heviyanti et al. (2015), menyatakan bahwa fase pertumbuhan
tanaman jagung manis dapat dibagi menjadi dua fase yaitu generatif dan vegetatif.
Fase vegetatif merupakan fase awal pada pertumbuhan tanaman, ketika akar
tanaman memiliki peran dalam pengambilan unsur hara, air dan mineral-mineral
lainnya dari dalam tanah untuk pertumbuhan dan perkembangan jagung manis.
Sedangkan fase generatif, tanaman jagung manis akan membentuk tongkolnya.
7

Menurut Nur et al. (2018), fase vegetatif pada tanaman jagung yang diamati adalah
luas daun, jumlah penyerapan intensitas cahaya matahari dan indeks klorofil daun.
Sedangkan fase generatif tanaman jagung manis berkaitan dengan organ reproduksi
pada tanaman dan membutuhkan sumberdaya lingkungan yang optimal sebagai
pendukung dalam reproduksi.
2.4 Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Tanaman Jagung Manis

Jarak tanam merupakan pola pengaturan jarak antar tanaman dalam bercocok
tanam, meliputi jarak antar baris dan deret. Penggunaan jarak tanam ialah untuk
memberikan ruang pada tanaman untuk tumbuh dengan baik tanpa mengalami
banyak persaingan dalam hal mendapatkan air, unsur-unsur hara dan cahaya
matahari. Jarak tanam yang tepat penting dalam pemanfaatan cahaya matahari
secara optimal untuk proses fotosintesis. Dalam jarak tanam yang tepat, tanaman
akan memperoleh ruang tumbuh yang seimbang (Magfiroh et al., 2017).
Jarak tanam yang baik dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor terssebut
diantarnya bentuk wilayah (topografi), dan kerapatan tanaman. Pada lahan yang
datar dan agak landai digunakan jarak tanam yang biasa jarak tanamannya, tetapi
untuk daerah yang miring, harus digunakan sistem kontur supaya tidak terjadi
kompetisi antar tanaman (Setyamidjaja, 2000). Selain itu menurut Barbieri et al.
(2000), faktor iklim mempengaruhi produksi jagung pada jarak tanam yang berbeda.
Dengan curah hujan yang lebih banyak akan menghasilkan produksi jagung lebih
tinggi pada jarak yang lebih sempit.
Menurut Joseph dan Mike (2004), kelebihan menggunakan jarak tanam sempit
ialah sebagian benih yang tidak tumbuh atau tanaman muda yang mati dapat
terkompensasi, sehingga tanaman tidak terlalu jarang dan tidak menimbulkan jarak
renggang antar tanaman, jumlah tanaman per hektar merupakan komponen hasil
sehingga dari jumlah tanaman yang tinggi dapat diperoleh hasil yang tinggi.
Kekurangan untuk jarak tanam yang sempit ialah, tongkol per tanaman menjadi
berkurang sehingga hasil per hektar menjadi rendah, ruas batang tumbuh lebih
panjang sehingga tanaman kurang kokoh dan mudah rebah, benih yang diperlukan
lebih banyak. Jarak tanam berpengaruh nyata pada bobot segar tongkol berkelobot
dan tanpa kelobot.
8

Menurut Purwono dan Hartono (2005), jarak tanam yang sempit akan
memberikan ruang yang lebih sehingga daun yang tumpang tindih lebih sedikit.
Tanaman jagung manis membutuhkan sinar matahari terutama intensitas cahaya.
Tanaman jagung yang ternaungi pertumbuhannya akan terhambat, sehingga hasil
biji yang terbentuk kurang baik dan tidak dapat terbentuk tongkol. Pengaturan jarak
tanam berpengaruh pada produksi tanaman, produksi per hektar akan meningkat
dengan bertambahnya jumlah tanaman (Karimuna dan Halim, 2011). Pertumbuhan
dan produktivitas jagung sangat nyata dipengaruhi oleh jarak tanam dan varietas.
Hasil jagung tertinggi diperoleh pada jarak tanam sedang yaitu 50 cm x 40 cm,
karena ia konsisten untuk semua varietas (Yulisma, 2011).
2.5 Pengaruh Pola Tanam Terhadap Tanaman Jagung Manis

Pola tanam merupakan system penanaman pada sebuah bidang. Menurut


Samadi (2005), pola tanam atau cropping pattern ialah urut-urutan tanam pada
lahan yang sama. Lahan yang dimaksud bisa berupa lahan kosong atau lahan yang
sudah terdapat tanaman yang mampu dilakukan tumpang sari. Pola tanam terdapat
monokultur dan polikultur. Monokultur yaitu pola tanam yang menanam satu jenis
tanaman pada satu luasan bidang, sedangkan polikultur yaitu penanaman dengan
lebih dari satu jenis tanaman pada satu luasan bidang. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pola tanaman antara lain iklim, topografi, debit air, jenis tanah dan
kebiasaan petani setempat.
Menurut Paeru dan Dewi (2017), jenis pola tanam jagung terdapat monokultur
dan polikultur. Kelebihannya dari pola tanam monokultur yaitu lebih sedikit terkena
serangan hama dan penyakit dan perawatannya lebih mudah karena hanya satu
jenis tanaman saja. Selain itu, hasil produksinya lebih tinggi karena pertumbuhannya
optimal. Kekurangan dari monokultur adalah petani hanya panen satu jenis tanaman
saja sehingga pendapatan yang diperoleh tergantung dari harga jagung. Pola tanam
polikultur merupakan penanaman dua atau lebih jenis tanaman yang ditanaman
pada suatu lahan. Menurut Djaenudin et al. (2003), kelebihan dari pola tanam
polikultur yaitu mengurangi serangan organisme pengganggu tanaman (OPT),
menambah kesuburan tanah dan bahan organik tanah, dan memperoleh hasil panen
yang beragam. Polikultur juga memiliki kekurangan seperti terjadi persaingan
9

penyerapan unsur hara antar tanaman dan organisme penggaunggu tanaman (OPT)
yang beragam.
Pada pola tanam tumpangsari sebaiknya dipilih dan dikombinasikan antara
tanaman yang mempunyai perakaran relatif dalam dan tanaman yang mempunyai
perakaran relatif dangkal. Menurut Turmudi (2002), terbatasnya ketersediaan air
akibat kemarau panjang kemungkinan menyebabkan persaingan yang kuat pada
pemanfaatan air dan hara. Tanaman kedelai yang perakarannya dalam
kemungkinan dapat memperoleh air dan hara yang cukup dibandingkan dengan
tanaman jagung yang perakarannya dangkal.
Antisipasi adanya hama penyakit tidak lain adalah untuk mengurangi resiko
serangan hama maupun penyakit pada pola tanam tumpangsari. Sebaiknya ditanam
tanam-tanaman yang mempunyai hama maupun penyakit berbeda, atau tidak
menjadi inang dari hama maupun penyakit tanaman lain yang ditumpangsarikan.
Menurut Adrianto dan Indarto (2004), penanaman kedelai dengan menggunakan
sistem tumpangsari yang tepat dapat juga menghindarkan tanaman dari serangan
hama. Menurut hasil penelitian Setiawan (2005), bahwa tumpangsari jagung manis
dan kacang tanah mendapatkan perbandingan 1:3 yang kualitas lahannya lebih baik
dibandingkan dengan tanaman monokultkur.
10

3. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Dasar Budidaya Tanaman ini dilaksanakan sejak bulan Februari


2019 hingga bulan Mei 2019. Kegiatan dilaksanakan di Glass House Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Sedangkan praktikum lapang bertempat di lahan
Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jalan Kuping Gajah,
Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Lahan percobaan
tersebut terletak pada ketinggian ± 460 mdpl. Daerah ini memiliki suhu kisaran 20ºC-
28ºC dengan rata-rata curah hujan 2,71 mm per tahun.
3.2 Alat dan Bahan

Alat yang dibutuhkan yaitu kertas label, spray atau gelas air mineral, kantung
plastik berukuran sedang, ember, cetok/cangkul, meteran, kayu/tusuk sate, gayung,
gunting, tray, dan alvaboard. Bahan yang dibutuhkan yaitu benih jagung varietas
talenta, bibit bunga matahari, bibit bunga kertas, pupuk kandang, pupuk kompos,
pupuk SP36, pupuk urea, pupuk KCL, PGPR (Plant Growth Promoting
Rhizobacteria), air, dan tanah.
3.3 Metode Pelaksanaan

3.3.1 Penyemaian
Penyemaian merupakan tahap penyiapan benih hingga menjadi tanaman
muda yang siap di tanam di lahan. Dalam penanaman komoditas jagung,
penyemaian dilakukan di dalam tray. Tray berisi 128 lubang, diamana setiap lubang
berisikan campuran tanah daan kompos, dan setiap lubang disemaikan dengan dua
benih jagung. Penyemaian mulai dilaksanakan dengan durasi sepuluh hari dalam
tray sebelum dipindahkan ke lahan. selama sepuluh hari tersebut, tray diletakan di
dalam Green House dan disiram setiap harinya. Penyemaian dilakukan dalam tray
mengingat bibit jagung memiliki ukuran yang kecil, sehingga akan sulit tumbuh saat
langsung ditanam di lahan.

3.3.2 Persiapan Lahan


Persiapan lahan dilakukan pada bedengan dengan ukuran 3 m x 2,6 m.
Persiapan lahan pada bedengan dilakukan dengan menggemburkan tanah dengan
menggunakan sekop. Penggemburan tanah dalam persiapan lahan dilakukan guna
11

memperbaiki sifat fisik tanah yang keras, sehingga saat penanaman pertumbuhan
akar tidak mengalami kesulitan untuk tumbuh.
Setelah penggemburan tanah telah selesai, tanah diberikan pupuk kandang
dengan dosis 7,8 kg/bedengan. Pemberian pupuk kandang dilakukan dengan cara
ditaburkan secara merata ke seluruh area bedengan, kemudian dicampurkan
kembali dengan tanah. Pemberian pupuk kandang dilakukan agar tanah
mendapatkan kandungan unsur hara yang lebih untuk diserap tanaman. Dalam
persiapan lahan kali ini, dilakukan juga pencabutan gulma agar tidak terjadi
persaingan dalam pembagian nutrisi dengan tanaman utama nantinya. Pencabutan
gulma dilakukan secara manual dengan tangan.
Dalam persiapan lahan juga dilakukan penanaman tanaman refugia, yaitu
tanaman bunga kertas dan tanaman bunga matahari. Penanaman tanaman refugia
dilakukan dengan menugal tanah sedalam 5 cm dan menaburkan benih bunga
kertas dan bunga matahari secara selang-seling, dengan total 5 tanaman refugia.
Kemudian tempat tumbuh tanaman refugia ditandai dengan tusuk sate. Tanaman
refugia akan menjadi musuh alami dari berbagai jenis serangga.

3.3.3 Penamanan
Penanaman merupakan usaha penempatan biji atau benih ke dalam tanah
dengan kedalaman tertentu. Penanaman komoditas jagung dengan perlakuan
monokultur dilakukan dengan memindahkan tanaman muda yang telah tumbuh
dalam tray selama sepuluh hari ke bedengan. Langkah pertama dalam penanaman
dimulai dengan pembuatan lubang tanam dengan kedalaman 5 cm, dengan jarak
tanam 30 cm x 70 cm. Kemudian penanaman dilanjutkan dengan pemindahan
tanaman muda dari tray ke dalam lubang tanam. Setiap lubang tanam berisikan dua
tanaman muda. Penanaman komoditas jagung dengan perlakuan tumpangsari
dilakukan dengan menanam pula tanaman kedelai diantara tanaman jagung dalam
baris.

3.3.4 Pemupukan
Pemupukan merupakan kegiatan memberikan pupuk pada tanah bertujuan
untuk meningkatkan tingkat kesuburan tanah sehingga produktivitas tanaman akan
meningkat. Pemupukan dalam komoditas jagung monokultur dilakukan tiga kali,
12

dengan jenis pupuk yang berbeda. Pupuk yang diberikan dapat berupa pupuk
organik maupun pupuk anorganik.
Pemupukan pertama dilakukan saat kegiatan penanaman. Pupuk yang
diberikan merupakan pupuk kandang dan pupuk SP-36. Pemberian pupuk kandang
dilakukan dengan disebarkan secara merata di seluruh area bedengan, dan
pemberian pupuk SP-36 dilakukan dengan menaburkan nya pada lubang tanam.
Lubang tanam dibuat dengan kedalaman 5 cm dengan jarak 5 cm dari lubang tanam
tanaman utama, kemudian ditutup kembali dengan tanah. Pupuk SP-36 dilakukan
dengan dosis 2,92 gram/tanaman.
Pemupukan kedua dan ketiga dilakukan pada saat tanaman berusia 2 minggu
dan 4 minggu. Pupuk yang diberikan merupakan pupuk urea dan pupuk KCl.
Pemberian pupuk urea dan pupuk KCl dilakukan dengan menaburnya pada lubang
tanam yang sama. Lubang tanam dibuat dengan kedalaman 5 cm dengan jarak 5
cm dari tanaman utama. Pemberian pupuk urea bertujuan untuk meningkatkan
unsur Nitrogen (N), karena unsur N yang sangat tinggi (sebesar 46%) akan
meningkatkan produktivitas tanaman. Menurut pemberian pupuk KCl dengan dosis
yang tepat akan berpengaruh pada pertumbuhan tanaman jagung, terutama dalam
pertumbuhan batang dan jumlah polong tanaman. Pemberian pupuk urea di minggu
kedua dilakukan dengan dosis 2,27 gram/tanaman, sedangkan sebanyak 4,55
gram/tanaman di minggu keempat. Sedangkan pemberian pupuk KCl dilakukan
dengan dosis 1,46 gram/tanaman baik diminggu kedua maupun di minggu keempat
setelah tanam.
3.3.5 Perawatan
Perawatan tanaman merupakan kegiatan penting yang dilakukan agar
tanaman budidaya dapat tumbuh dengan baik. Perawatan tanaman dilakukan
dengan berbagai kegiatan, seperti penyiraman, pemupukan, pembersihan gulma,
penjarangan dan pembumbunan tanah. Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari
dimulai saat kegiatan penanaman. Penyiraman dilakukan pada tanaman utama dan
tanaman refugia. Penyiraman dilakukan satu kali sehari, pagi atau sore hari.
Pemupukan tanaman dilakukan guna meningkatkan produktivitas tanaman.
Pembersihan gulma dilakukan guna menghindari perebutan nutrisi dengan tanaman
utama. Penjarangan dilakukan untuk pengurangan banyaknya tanaman yang kecil
13

untuk memberi ruang tumbuh tanaman lainnya. Serta pembumbunan tanah


dilakukan untuk memperkuat berdirinya batang dan perakaran tanaman.
Perawatan juga dilakukan dengan pemberian PGPR (Plant Growth Promoting
Rhizobacteria). PGPR diberikan dengan dosis 10ml/liter air. PGPR ditampung dalam
wadah ember, kemuadian disiram secara merata ke seluruh area bedengan dengan
gayung. Pemberian PGPR dilakukan pula pada tanaman refugia. Pemberian pupuk
PGPR dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas akar tanaman dengan
kandungan bakteri di dalamnya. Selain itu pengaplikasian PGPR juga bermanfaat
sebagai agen hayati dalam mengatasi penyakit tanaman serta meningkatkan unsur
hara.

3.3.6 Pengamatan
Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman merupakan tahap penting
sebagai tindakan kontrol terhadap pertumbuhan tanaman. Pengamatan pada
komoditas jagung meliputi tinggi tanaman, jumlah daun dan bobot jagung dengan
kelobot. Pengamatan dilaksanakan pada 5 tanaman sampel yang telah ditentukan
secara acak dalam satu bedengan, kecuali tanaman border. Pengamatan rutin
dilakukan setiap seminggu sekali.

3.3.7 Panen
Pemanenan jagung dilakukan setelah umur jagung sekitar 82 hst. Pemanenan
dapat dilakukan apabila tongkol jagung memiliki rambut berwarna coklat, tongkol
berisi biji yang telah lunak dan mengeluarkan cairan putih seperti susu dan keruh
apabila ditekan dengan kuku. Pemanenan dilakukan dengan cara mematahkan
tongkol jagung namun tidak mematahkan batang utama. Setelah tongkol dipatahkan,
tongkol sedikit diputar agar mudah terlepas dari batangnya. Tongkol beserta klobot
ditimbang satu per satu kemudian dihitung rata-rata bobot tongkol jagung dan
mengukur diameter tongkol jagung.
3.4 Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati pada komoditas jagung manis dibagi menjadi dua
pengamatan, yaitu parameter pertumbuhan dan parameter hasil tanaman jagung.
Parameter pertumbuhan yang diamati adalah jumlah daun, tinggi tanaman, dan
waktu munculnya malai. Parameter hasil tanaman yang diamati adalah berat tongkol
14

jagung dengan kelobot, panjang tongkol dengan kelobot, diameter jagung dengan
kelobot. Setiap parameter kemudian dicatat hasilnya kemudian didokumentasikan.

3.4.1 Tinggi tanaman


Tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat.
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada usia 3 minggu setelah tanam (MST).
Tanaman diukur dari permukaan tanah atau pangkal batang hingga titik tumbuh.
Pengukuran dilakukan menggunakan penggaris dan meteran dalam satuan
sentimeter. Sampel yang diamati sebanyak 5 tanaman per petak.

3.4.2 Jumlah daun


Pengamatan jumlah daun sangat diperlukan karena selain sebagai indikator
pertumbuhan parameter jumlah daun juga diperlukan sebagai data penunjang untuk
menjelaskan proses pertumbuhan yang terjadi. Pengamatan jumlah daun dilakukan
pada usia 3 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan dilakukan dengan cara
menghitung daun yang sudah terbuka sempurna. Satuan yang digunakan adalah
helai per tanaman. Sampel yang diamati sebanyak 5 tanaman per petak.

3.4.3 Bobot jagung dengan kelobot.


Bobot tongkol dengan kelobot dilakukan dengan menimbang tongkol jagung
yang bagian ujung dan pangkal jagungnya telah dipotong tanpa melepas kelobot.
Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan ketika jagung telah
matang.

3.4.4 Waktu muncul malai


Malai terletak di pucuk tanaman jagung. Pengamatan malai dilakukan dengan
cara mencatat kapan tanaman jagung mulai tumbuh malai. Malai di catat ketika 50%
populasi tanaman jagung dari satu petak tanah sudah tumbuh malai.
3.4.5 Panjang jagung dengan kelobot
Panjang jagung dengan kelobot diukur dengan menggunakan meteran jahit.
Pengukuran dilakukan dari ujung hingga pangkal tongkol jagung. Satuan yang
digunakan dalam pengukuran adalah cm.
3.4.6 Diameter jagung dengan kelobot
Diameter jagung dengan kelobot diukur dengan menggunakan meteran jahit.
Pengukuran dilakukan pada bagian tengah tongkol jagung untuk mendapatkan
15

kelilingnya. Kemudian hasil dari keliling dibagi dengan π=3,14 untuk mendapatkan
diameternya
3.5 Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah mengumpulkan data, kemudian mengolah data


yang didapat dari hasil pengamatan pada saat praktikum menggunakan Microsoft
excel, selanjutnya menyajikan data dengan tabel dan grafik serta
menginterpretasikan data yang sudah diolah tersebut.
16

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil
4.1.1 Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman merupakan salah satu dari parameter perhitungan dalam
kegiatan praktikum guna mengamati pertumbuhan dan hasil komoditas jagung
manis dengan pola tanam monokultur maupun tumpangsari. Pengamatan tinggi
tanaman jagung manis dilakukan mulai dari 3 mst hingga 8 mst. Berikut merupakan
tampilan dari tabel perbandingan rata-rata tinggi tanaman jagung manis dengan
berbagai macam pola tanam.

Tabel 1. Perbandingan Rata-Rata Tinggi Tanaman Jagung Manis (cm)


Umur Tanaman (MST)
Perlakuan Kelas
3 4 5 6 7 8
Jarak Tanam
70x30 cm + A1 11,02 19 30 42 72,2 106,8
Monokultur
Jarak Tanam
70x30 cm + Q2 4,2 9,5 16 17,4 46 95,2
Tumpangsari
Jarak Tanam
70x40 cm + I1 15,3 17,4 20,2 23,4 43,5 67,5
Monokultur
Jarak Tanam
N2 8,8 13,8 16,8 35,8 64,4 109
70x40 cm +
Tumpangsari

Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pada perlakuan pola tanam


monokultur maupun tumpangsari. Masing-masing pola tanam memiliki perbedaan
dalam perlakuan jarak tanam, yaitu monokultur 70x30 cm, tumpangsari 70x30 cm,
monokultur 70x40 cm dan tumpangsari 70x40 cm. Pada minggu ke 4 tinggi tanaman
jagung yang tertinggi terdapat pada perlakuan monokultur 70x30 cm dengan rata-
rata tinggi 19 cm. Selain itu pertumbuhan tinggi tanaman jagung tercepat terjadi
pada perlakuan tumpangsari 70x30 dengan presentase pertumbuhan sebesar 126%
dan pertumbuhan tinggi tanaman jagung paling lambat terjadi pada perlakuan
monokultur 70x40 cm dengan presentase pertumbuhan sebesar 14%. Pada minggu
ke 6 tinggi tanaman jagung yang tertinggi terdapat pada perlakuan monokultur
70x30 cm dengan rata-rata tinggi 42 cm. Selain itu pertumbuhan tinggi tanaman
jagung tercepat terjadi pada perlakuan tumpangsari 70x30 dengan presentase
17

pertumbuhan sebesar 314% dan pertumbuhan tinggi tanaman jagung paling lambat
terjadi pada perlakuan monokultur 70x40 cm dengan presentase pertumbuhan
sebesar 53%. Begitu pula pada minggu ke 8 tinggi tanaman jagung yang tertinggi
terdapat pada perlakuan tumpangsari 70x40 cm dengan rata-rata tinggi 109 cm.
Selain itu pertumbuhan tinggi tanaman jagung tercepat terjadi pada perlakuan
tumpangsari 70x30 dengan presentase pertumbuhan sebesar 2167% dan
pertumbuhan tinggi tanaman jagung paling lambat terjadi pada perlakuan
monokultur 70x40 cm dengan presentase pertumbuhan sebesar 341%.

4.1.2 Jumlah Daun


Jumlah daun merupakan salah satu dari parameter perhitungan dalam
kegiatan praktikum guna mengamati pertumbuhan dan hasil komoditas jagung
manis dengan pola tanam monokultur maupun tumpangsari. Pengamatan jumlah
daun jagung manis dilakukan mulai dari 3 mst hingga 8 mst. Berikut merupakan
tampilan dari tabel perbandingan rata-rata jumlah daun tanaman jagung manis
dengan berbagai macam pola tanam.

Tabel 2. Perbandingan Rata-Rata Jumlah Daun Tanaman Jagung Manis (Helai)


Umur Tanaman (MST)
Perlakuan Kelas
3 4 5 6 7 8
Jarak Tanam
70x30 cm + A1 4,4 4,8 5,2 6 8 9,4
Monokultur
Jarak Tanam
70x30 cm + Q2 3,4 5,4 5,8 6,6 7,4 8,6
Tumpangsari
Jarak Tanam
70x40 cm + I1 6 6,2 6,8 7,6 9,2 10
Monokultur
Jarak Tanam
N2 5,8 7,4 8,4 9,8 9,2 9
70x40 cm +
Tumpangsari

Pada pengamatan jumlah daun, satuan yang digunakan adalah helai. Sesuai
dengan tabel diatas telah didapatkan bahwa pada minggu ke 4 jumlah daun
tanaman jagung terbanyak terjadi pada perlakuan monokultur 70x40 cm dengan
rata-rata jumlah daun sebesar 6. Selain itu pertumbuhan jumlah daun tanaman
jagung tercepat terjadi pada perlakuan tumpangsari 70x30 dengan presentase
pertumbuhan sebesar 59% dan pertumbuhan jumlah daun tanaman jagung paling
18

lambat terjadi pada perlakuan monokultur 70x40 cm dengan presentase


pertumbuhan sebesar 3%. Pada minggu ke 6 jumlah daun tanaman jagung
terbanyak terjadi pada perlakuan tumpangsari 70x40 cm dengan rata-rata jumlah
daun sebesar 9,8. Selain itu pertumbuhan jumlah daun tanaman jagung tercepat
terjadi pada perlakuan tumpangsari 70x30 dengan presentase pertumbuhan sebesar
94% dan pertumbuhan jumlah daun tanaman jagung paling lambat terjadi pada
perlakuan monokultur 70x40 cm dengan presentase pertumbuhan sebesar 27%.
Begitu pula pada minggu ke 8 jumlah daun tanaman jagung terbanyak terjadi pada
perlakuan monokultur 70x40 cm dengan rata-rata jumlah daun sebesar 10. Selain itu
pertumbuhan jumlah daun tanaman jagung tercepat terjadi pada perlakuan
tumpangsari 70x30 dengan presentase pertumbuhan sebesar 153% dan
pertumbuhan jumlah daun tanaman jagung paling lambat terjadi pada perlakuan
tumpangsari 70x40 cm dengan presentase pertumbuhan sebesar 55%.

4.1.3 Waktu Muncul Malai


Waktu muncul malai merupakan salah satu indikasi dari masuknya fase
generatif. Dari hasil pengamatan munculnya malai yang telah dilakukan dengan
perlakuan pola tanam dan jarak tanam pada tanaman jagung manis didapatkan hasil
sebagai berikut:

Tabel 3. Perbandingan Waktu Muncul Malai pada Setiap Perlakuan


Waktu Muncul Malai
Perlakuan Kelas
(HST)
Jarak Tanam 70x30 cm + Monokultur A2 52

Jarak Tanam 70x30 cm + Tumpangsari Q2 52

Jarak Tanam 70x40 cm + Monokultur I1 47

Jarak Tanam 70x40 cm + Tumpangsari N2 51

Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa pengamatan waktu munculnya


malai jagung manis dilakukan pada perlakuan pola tanam yang berbeda, yaitu
monokultur dan tumpangsari. Masing-masing pola tanam memiliki perbedaan dalam
perlakuan jarak tanam, yaitu 70x30 cm dan 70x40 cm. Berdasarkan hasil
pengamatan yang telah dilakukan, malai muncul lebih cepat pada perlakuan
monokultur dengan jarak tanam 70x40 cm yaitu waktu muncul malai 47 HST,
19

sedangkan yang paling lambat pada perlakuan pola tanam tumpangsari dengan
jarak 70x30 cm dan monokultur jarak 70x30cm yaitu waktu muncul malai 52 HST.
Selisih antara kedua waktu muncul malai tersebut adalah 5 hari.

4.1.4 Bobot Tongkol Jagung dengan Kelobot


Setelah memasuki masa generatif, tanaman jagung akan memproduksi
tongkol jagung. Setiap tanaman menghasilkan tongkol dengan bobot jagung yang
berbeda-beda. Berikut merupakan hasil bobot tongkol pada perlakuan pola tanam
monokultur dan tumpangsari.

Tabel 4. Perbandingan Bobot Tongkol Jagung dengan Kelobot pada Setiap Perlakuan

Bobot Tongkol Jagung


Perlakuan Kelas
Dengan Kelobot (gram)
Jarak Tanam 70x30 cm + Monokultur A1 354

Jarak Tanam 70x30 cm + Tumpangsari Q2 259

Jarak Tanam 70x40 cm + Monokultur I1 279,6

Jarak Tanam 70x40 cm + Tumpangsari N2 299

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa hasil panen setiap perlakuan


berbeda-beda. Berat tongkol pada perlakuan monokultur dengan jarak tanam 70x30
cm memiliki hasil yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan yang lain yaitu
sebesar 354 gram. Sedangkan bobot tongkol jagung paling rendah terdapat pada
perlakuan Tumpangsari 70x30 cm yakni sebesar 259 gram. Dari hasil diatas, pola
tanam mempengaruhi bobot tongkol jagung yang dihasilkan. Pola tanam monokultur
mendapatkan hasil tertinggi dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari. Selisih
antara kedua berat tersebut adalah sebesar 95 gram.

4.1.5 Panjang Tongkol Jagung dengan Kelobot


Panjang Tongkol Jagung dengan Kelobot adalah salah satu parameter
pengamatan guna untuk mengamati pertumbuhan generatif dan hasil komoditas
jagung manis pada perlakuan monokultur dan tumpangsari. Pengamatan Panjang
Tongkol ini dilakukan saat selesai proses pemanenan yaitu pada 10 mst.
20

Tabel 5. Perbandingan Panjang Tongkol Jagung dengan Kelobot pada Setiap Perlakuan

Panjang Tongkol
Perlakuan Kelas Jagung Dengan Kelobot
(cm)
Jarak Tanam 70x30 cm + Monokultur A1 30,2

Jarak Tanam 70x30 cm + Tumpangsari Q2 28

Jarak Tanam 70x40 cm + Monokultur I1 27,78

Jarak Tanam 70x40 cm + Tumpangsari N2 30,3

Pengamatan ini dilakukan pada perlakuan pola tanam monokultur dan


tumpangsari. Masing-masing pola tanam memiliki perbedaan dalam perlakuan jarak
tanam, yaitu 70x30 cm dan 70x40 cm. Sesuai dengan tabel diatas telah didapatkan
tanaman dengan rata-rata Panjang Tongkol Jagung tertinggi adalah 30,3 cm pada
pola tanam tumpangsari dengan jarak tanam 70x40 cm. Sedangkan untuk rata-rata
panjang tongkol terendah adalah 27,78 cm pada pola tanam monokultur dengan
jarak tanam 70x40 cm. Selisih dari kedua panjang Tongkol tersebut adalah 2,52 cm.

4.1.6 Diameter Tongkol Jagung dengan Kelobot


Diameter Tongkol Jagung dengan Kelobot adalah salah satu parameter
pengamatan untuk mengamati pertumbuhan generatif dan hasil komoditas jagung
manis pada perlakuan monokultur dan tumpangsari. Pengamatan Diameter Tongkol
ini dilakukan bersamaan dengan pengamatan panjang jagung dan bobot jagung
yaitu proses pemanenan pada 10 mst.

Tabel 6. Perbandingan Diameter Tongkol Jagung dengan Kelobot pada Setiap Perlakuan.

Diameter Tongkol
Perlakuan Kelas Jagung Dengan Kelobot
(cm)
Jarak Tanam 70x30 cm + Monokultur A1 5,47

Jarak Tanam 70x30 cm + Tumpangsari Q2 5,032

Jarak Tanam 70x40 cm + Monokultur I1 5,144

Jarak Tanam 70x40 cm + Tumpangsari N2 5,762


21

Pengamatan Diameter tongkol Jagung dengan kelobot dilakukan pada


perlakuan pola tanam yang berbeda, yakni monokultur dan tumpangsari. Masing-
masing pola tanam memiliki perbedaan dalam perlakuan jarak tanam, yaitu
monokultur 70x30 cm, tumpangsari 70x30 cm, monokultur 70x40 cm, dan
tumpangsari 70x40 cm. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan,
diameter terbesar terdapat pada pola tanam tumpangsari dengan jarak tanam 70x40
cm yaitu 5,762 cm, sedangkan diameter tongkol jagung terendah yaitu 5,032 cm
yang terdapat pada perlakuan pola tanam tumpangsari dengan jarak tanam 70x30
cm. Selisih dari kedua diameter tersebut adalah 0,73 cm.
4.2 Pembahasan

4.2.1 Pengaruh Pola Tanam dan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Jagung Manis
Salah satu pengamatan yang diamati adalah tinggi tanaman pada tanaman
sampel. Tinggi tanaman yang diukur merupakan tinggi dari tangkai dasar hingga titik
tumbuh. Tinggi tanaman kemudian dibandingkan pada setiap perlakuan komoditas
sesuai dengan jenis tanam dan jarak tanamnya. Kemudian dilakukan perbandingan
berdasarkan hasil yang didapatkan pada setiap perlakuan.
Pada umumnya tanaman memiliki dua fase pertumbuhan yaitu fase
pertumbuhan vegetatif dan fase pertumbuhan generatif. Tanaman jagung juga
mengalami dua fase pertumbuhan yang dapat diamati, yaitu fase pertumbuhan
vegetatif dan generatif. Fase vegetatif merupakan fase pertumbuhan tanaman yang
terlihat pada perkembangan batang, akar, cabang dan daun. Sedangkan fase
generatif merupakan fase pemebentukan biji, bunga dan buah. Menurut Ekowati dan
Nasir (2011), pengamatan pada fase vegetatif menggunakan parameter tinggi
tanaman dan jumlah daun, sedangkan pada pengamatan fase generatif
menggunakan parameter munculnya malai. Pengamatan dilakukan pada dua jenis
pola tanam dan jarak tanam yang berbeda untuk mengetahui pengaruhnya terhadap
pertumbuhan tanaman jagung manis. Berikut ini adalah grafik dari pengamatan
tinggi tanaman
22

Tinggi Tanaman
120

100

80
Jumlah Daun

Monokultur 70⨯30
60 Tumpangsari 70⨯30

40 Monokultur 70⨯40
Tumpangsari 70⨯40
20

0
3 4 5 6 7 8
Minggu Setelah Tanam

Gambar 2. Grafik Rerata Tinggi Tanaman Jagung Manis

Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa pada tanaman jagung manis
pada perlakuan tumpangsari 70x30 lebih rendah dibandingkan monokultur 70x30.
Hal tersebut dikarenakan pada pola tanam tumpangsari terdapat tanaman legum
sebagai tanaman sampingan yang menyebabkan terjadinya kompetisi antar
tanaman. Kompetisi yang terjadi salah satunya terkait tentang radiasi matahari yang
diterima pada saat awal pertumbuhan. Disaat radiasi matahari berkurang maka
pertumbuhan tanaman akan berkurang karena laju fotosintesisnya terhambat. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Muhuria et al. (2006), yang menyatakan bahwa
intensitas cahaya rendah menyebabkan laju fotosintesis berkurang terlebih saat
daun tanaman sudah menguning, dimana klorofil pada tanaman berkurang.
Selain terkait dengan radiasi matahari yang diterima dengan intensitas yang
lebih rendah pada pola tanam tumpangsari, kompetisi juga terjadi pada kandungan
air yang tersedia. Air merupakan komponen utama penyusun tumbuhan, bahan
fotosintesis, dan pengangkut unsur hara. Disaat kadar air yang diterima kurang
maka tanaman akan kekeringan. Selain fotosintesis yang terhambat, unsur hara
yang diterima juga akan terhambat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Jumin
(2002), air sangat berfungsi dalam pengangkutan unsur hara dari akar ke jaringan
tanaman, sebagai pelarut garam-garaman, mineral, serta sebagai penyusun jaringan
tanaman
23

Cahaya matahari juga berpengaruh pada pertumbuhan jumlah daun pada


tanaman. Perlakuan tumpangsari 70x40 memiliki jumlah daun yang lebih sedikit
dibandingkan dengan perlakuan monokultur 70x40. Hal tersebut karena terdapatnya
tanaman selingan pada pola tanam tumpangsari. Disaat adanya kompetisi dalam
memperebutkan unsur radiasi matahari pada awal pertumbuhan, maka fotosintesis
yang terjadi akan terhambat, yang akan berpengaruh langsung terhadap
pertumbuhan tanaman. Menurut Maghfiroh (2017), saat kekurangan cahaya
matahari akan berpengaruh pada pertumbuhan tanaman secara langsung, karena
klorofil pada daun tidak mampu menangkap sinar matahari. Hal tersebut lama-
kelamaan akan membuat daun layu dan kemudian akan mati.
Perlakuan tumpangsari 70x30 memiliki jumlah rata-rata daun yang lebih
sedikit dibandingkan dengan perlakuan monokultur 70x30. Hal tersebut dapat terjadi
karena penerimaan unsur radiasi matahari pada perlakuan monokultur terhambat
akibat jarak tanam yang diberi selingan dengan tanaman legum. Hal tersebut akan
mengakibatkan laju fotosintesis terhambat karena cahaya matahari yang seharusnya
didapatkan akan terhalang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Haryanti (2012),
bahwa intensitas radiasi matahari dapat meningkatkan jumlah daun pada tanaman.
Radiasi matahari yang terhambat akan mengakibatkan terhambatnya translokasi
fotosintesis dari akar. Berikut dilampirkan grafik pertumbuhan daun pada setiap
perlakuan.

Jumlah Daun
12

10
Jumlah Daun

8
Monokultur 70⨯30
6 Tumpangsari 70⨯30

4 Monokultur 70⨯40
Tumpangsari 70⨯40
2

0
3 4 5 6 7 8
Minggu Setelah Tanam

Gambar 3. Grafik Rerata Jumlah Daun Tanaman Jagung Manis


24

Jumlah daun pada perlakuan tumpangsari 70x40 memiliki jumlah daun yang
lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan tumpangsari 70x30. Hal tersebut
dikarenakan unsur nitrogen yang dihasilkan oleh tanaman legum dapat diterima
dengan baik oleh jarak tanam 70x40 dibandingkan dengan jarak tanam 70x30. Jarak
tanam yang semakin sempit akan mengakibatkan terjadinya kompetisi unsur hara
pada tanaman. Unsur hara nitrogen yang diberikan tanaman legum akan diterima
pula oleh tanaman utama sebagai hara tambahan.
Pengaruh tanaman legum pada tumpangsari juga berpengaruh pada tinggi
tanaman. Perlakuan tumpangsari 70x40 didapatkan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan monokultur 70x30. Hal tersebut diakibatkan adanya nutrisi tambahan
yang diberikan oleh tanaman legum bagi tanaman utama. Akar tanaman legum akan
bersimbiosis dengan bakteri tanah dan akan memfiksasi nitrogen di udara menjadi
senyawa nitrogen yang dapat diserap oleh tanaman. Hasil dari tanaman legum juga
diterima oleh tanaman utama sebagai nutrisi tambahan untuk pertumbuhannya. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Ma’arif (2012), yang menyatakan bahwa
tanaman legum yang diberikan pada pola tumpangsari memberikan unsur Nitrogen
tambahan bagi tanaman utama sehingga tingkat pertumbuhan dan produktivitasnya
meningkat Selain itu adanya jarak tanam yang lebih luas akan meminimalisir
kompetisi pada tanaman. Jarak tanaman yang lebih luas juga memungkinkan
tanaman dapat leluasa untuk tumbuh. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Fujimori (2001), yang menyatakan bahwa jarak tanam yang semakin sempit
memungkinkan kompetisi hara antar tanaman sehingga pertumbuhan tanaman akan
terganggu dan produksi per tanaman akan menurun.
Namun unsur nitrogen tambahan dari tanaman legum tidak berpengaruh
terhadap perlakuan tumpangsari 70x30, hal tersebut dikarenakan jarak tanam yang
terlalu sempit memungkinkan terjadinya kompetisi unsur hara antar tanaman. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Kartika (2018), yang menyatakan bahwa
populasi yang semakin rapat, cenderung menurunkan hasil tanaman. Terjadinya
penurunan hasil tanaman pada jarak tanam yang rapat disebabkan karena daun-
daun pada populasi tersebut saling menaungi, sehingga hanya daun bagian atas
yang mendapatkan sinar matahari.
Jarak tanam juga berpengaruh pada pertumbuhan daun. Jumlah rata-rata
daun pada perlakuan monokultur 70x30 memiliki jumlah daun yang lebih banyak
25

dibandingkan dengan perlakuan tumpangsari 70x30. Hal tersebut dikarenakan pada


tumpangsari, jarak antar tanaman diberi selingan dengan tanaman legum. Saat jarak
area tumbuh tanaman semakin sempit maka pertumbuhan tanaman akan terhambat,
termasuk dalam jumlah daun. Pada akhir pengamatan pada perlakuan monokultur
70x30 didapatkan jumlah daun sebanyak 8 helai dengan rata-rata pertumbuhan 0,85
setiap minggunya. Menurut Erawati (2016), jarak tanam akan memberikan
keleluasaan tanaman untuk tumbuh, disaat jarak tanaman semakin lebar maka
tanaman tersebut akan semakin leluasa untuk tumbuh.
Jumlah rata-rata daun pada perlakuan monokultur 70x40 memiliki jumlah
daun yang lebih banyak daripada perlakuan monokultur 70x30. Hal tersebut
dikarenakan jarak tanam yang dimiliki berbeda. Jarak tanam yang semakin besar
akan memungkinkan nutrisi dan hara dapat diserap dengan baik, sehingga tanaman
dapat tumbuh lebih subur. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Catharina (2009),
bahwa jarak tanam akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, dimana jarak tanam
yang semakin besar memungkinkan kompetisi dalam penyerapan hara akan
berkurang sehingga tanaman dapat tumbuh lebih baik.
Perlakuan tumpangsari 70x40 memiliki hasil tinggi tanaman yang lebih tinggi
dibandingkan dengan monokultur 70x40. Selain karena adanya unsur hara
tambahan yang dihasilkan oleh tanaman legum, sifat fisik tanah pun akan semakin
baik. Simbiosis yang terjadi antara mikroba tanah, Rhizobacter sp. dengan akar
tanaman akan membuat terjadinya aktivitas pada tanah. Aktivitas tanah yang terjadi
akan memperbaiki sifat tanah dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik karena
akar dapat melakukan penetrasi penyerapan unsur hara yang lebih dalam. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Ahmad (2012), yang menyatakan bahwa fungsi
penggunaan legum pada tumpangsari dapat memberikan sifat fisik tanah yang baik,
karena pemberian legum dapat menurunkan kepadatan, dan menjaga erosi yang
disebabkan air dan angin serta meningkatkan laju infiltrasi air.
Perlakuan tanam monokultur 70x30 memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi
dibandingkan dengan monokultur 70x40. Hal tersebut dapat terjadi karena tanaman
yang menerima radiasi matahari yang kurang menunjukkan sifat etiolasi. Etiolasi
merupakan sifat tanaman yang terjadi apabila tanaman kekurangan cahaya
sehingga tanaman cenderung tumbuh lebih tinggi karena mencari cahaya. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Buntoro (2014), yang menyatakan bahwa
26

etiolasi dapat terjadi karena aktifnya hormon auksin yang menunjang pertumbuhan
tanaman menjadi lebih cepat akibat kekurangan cahaya pada tanaman tersebut.
Perlakuan tumpangsari 70x30 juga memiliki jumlah rata-rata daun yang lebih
sedikit dibandingkan dengan perlakuan monokultur 70x40 dan tumpangsari 70x40.
Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya perbedaan pada jarak tanam.
Perlakuan jarak tanam yang lebih sempit akan mengakibatkan kandungan air pada
tanaman berkurang. Pertumbuhan tanaman akan terhambat saat kandungan air
pada tanaman kurang. Hal tersebut karena air merupakan salah satu komponen
utama penyusun tanaman, bahan baku fotosintesis dan sebagai pelarut bagi unsur
hara pada tanah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Felania (2017), bahwa
kekurangan air menjadi alasan utama pertumbuhan tanaman menjadi terhambat.
Hal tersebut akan mengakibatkan transportasi unsur hara ke daun menjadi
terhambat.
Pengaruh utama dari banyak atau sedikitnya jumlah daun adalah faktor
genetik dari varietas yang ditanam. Penggunaan komoditas jagung manis varietas
talenta pada seluruh perlakuan mengakibatkan tidak ditemukannya perbedaan
jumlah daun yang signifikan. Menurut Mustofa et al. (2013), sifat genetik yang
dimiliki tanaman akan berpengaruh pada sifat tanaman yang tampak (kuantitatif)
maupun sifatnya yang tidak tampak (kualitatif). Hal tersebut akan sulit diubah hanya
dengan perbedaan perlakuan tanam terkait pola tanam dan jarak tanam yang
berbeda.
Selain pengamatan pada pertumbuhan vegetatif tanaman jagung, juga
dilakukan pengamatan pada pertumbuhan generatif yaitu waktu muncul malai.
Munculnya malai dihitung ketika dalam satu petak sudah 50% tumbuh malai.
Kemunculan malai kemudian dibandingkan pada setiap perlakuan komoditas sesuai
dengan pola tanam dan jarak tanamnya. Berikut ini adalah grafik pertumbuhan rata-
rata jumlah daun pada setiap perlakuan.
27

53
52
Waktu Muncul Malai 51
50
49
48
47
46
45
44
Monokultur 70 x 30 Tumpangsari 70 x 30 Monokultur 70 x 40 Tumpangsari 70 x 40
Perlakuan

Gambar 4. Diagram Waktu Muncul Malai Tanaman Jagung Manis

Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa malai pada komoditas


jagung mulai muncul pada umur 47-52 hari setelah tanam, dengan rata-rata
munculnya malai pada semua komoditas di hari. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Purnomo dan Purnawati (2008), bahwa rata-rata malai muncul di 40-50
hari setelah tanam pada bunga jantan, dan diikuti oleh bunga betina 1-3 hari
kemudian.
Munculnya malai tercepat ditemukan pada perlakuan tanam monokultur
dengan jarak tanam 70x40, munculnya malai ini pada 47 HST (hari setelah tanam).
Hal tersebut karena perlakuan tanam monokultur dengan jarak 70x40
memungkinkan nutrisi dan hara terserap dengan baik. Pertumbuhan malai
dipengaruhi sifat generatif tanaman terkait laju fotosintesis yang pada tanaman.
Sesuai dengan pernyataan Purnomo dan Purnowati (2008), bahwa malai tumbuh di
40-50 HST dengan mengandalkan fotosintat, hal terserbut menggambarkan bahwa
tanaman yang mengalami laju fotosintesis lebih cepat akan menghasilkan malai
yang lebih cepat juga. Namun, berdasarkan data tinggi tanaman pada perlakuan
monokultur dengan jarak tanam 70 x 40 memiliki data yang rendah sedangkan pada
waktu muncul malai memiliki waktu yang tercepat. Hal itu dikarenakan adanya
stressing pada tanaman sehingga pertumbuhan generatifnya lebih cepat walaupun
pertumbuhan vegetatifnya rendah. Sesuai dengan pernyataan Hudaiah (2012),
tanaman berbunga pada saat terjadi stress lingkungan. Stress lingkungan dapat
28

berupa defisiensi nutrisi, kekurangan air dan gangguan mekanis hingga


menyebabkan transisi dari fase vegetatif ke generatif.
Di lain sisi, munculnya malai terlambat ditunjukan oleh perlakuan tanam
monokultur dan tumpangsari dengan jarak tanam 70 x 30 dengan rata-rata muncul di
hari ke-52. Hal tersebut karena penanaman monokultur relatif mudah terserang
hama maupun penyakit (Tambunan et al., 2011). Selain itu jarak tanam yang lebih
kecil dibandingkan dengan perlakuan tanam lain memungkinkan terjadinya
perebutan nutrisi yang lebih besar. Yulisma (2011), mengatakan jarak tanam yang
terlalu rapat akan menghambat pertumbuhan tanaman, tetapi jika terlalu jarang akan
mengurangi populasi per satuan luas.

4.2.2 Pengaruh Pola Tanam dan Jarak Tanam Terhadap Hasil Tanaman Jagung
Manis
Pertumbuhan generatif ditandai dengan adanya penyerbukan antara bunga
jantan dengan bunga betina. Hasil dari penyerbukan tersebut berupa tongkol yang
tumbuh di ketiak daun. Parameter yang diamati pada hasil tanaman jagung manis
adalah berat tongkol, panjang tongkol, dan diameter tongkol.
Parameter yang digunakan dalam perhitungan hasil panen jagung yang
pertama adalah berat atau bobot tongkol. Berat bobot jagung yang digunakan ialah
berat pada tanaman sampel, atau menggunakan tongkol jagung tanaman lain jika
tongkol tanaman sampel belum siap untuk dipanen. Hasil panen jagung ditimbang
dengan menggunakan timbangan analitik dan didapatkan berat tongkolnya. Berat
tongkol jagung kemudian dibandingkan pada setiap perlakuan tanam. Berikut
didapatkan hasil berat tongkol jagung pada setiap perlakuan tanam dalam bentuk
grafik.
29

400
Berat Tongkol Jagung
350

Bobot Tongkol jagung (gram)


300
250
200
150
100
50
0
70x30 cm + 70x30 cm + 70x40 cm + 70x40 cm +
Monokultur Tumpangsari Monokultur Tumpangsari

Gambar 5. Diagram Perbandingan Rerata Bobot Tongkol Jagung Manis

Berat tongkol terbesar didapatkan pada perlakuan tanam monokultur 70x30.


Berat tongkol pada perlakuan tanaman ini lebih besar dibandingkan dengan
perlakuan tanam tumpangsari 70x30. Hal tersebut dipengaruhi karena adanya
perbedaan jarak tanam. Pada perlakuan dengan jarak tanam yang lebih sempit akan
mengakibatkan terjadinya persaingan dalam mendapatkan nutrisi, terlebih tidak
didapatkannya nutrisi dari tanaman legum. Persaingan juga terjadi karena komoditas
yang ditanam pada satu bedengan tersebut sama, yang mengakibatkan seluruh
tanaman membutuhkan nutrisi untuk tumbuh yang sama. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Desyanto dan Susyanto (2014), yang menyatakan bahwa jarak
tanam yang lebih sempit akan mengakibatkan penerimaan intensitas cahaya yang
lebih sedikit sehingga laju fotosintesis berkurang diikuti dengan produktivitas
tanamannya menurun. Hal ini disebabkan karena tanaman jagung merupakan
tanaman C4 yang membutuhkan intensitas cahaya yang penuh, sehingga laju
fotosintesis akan berjalan dengan baik dan pertumbuhan tanaman akan optimal.
Berat tongkol pada perlakuan tanam monokultur 70x40 lebih besar
dibandingkan dengan tumpangsari 70x30. Selain adanya persaingan area tumbuh
terkait dengan penerimaan radiasi matahari, perlakuan tumpangsari juga
memungkinkan terjadinya kompetisi pada perebutan unsur air, karena tanaman
legum juga memerlukan air untuk pertumbuhannya. Saat air pada tanaman berada
30

pada kondisi kekurangan, hal tersebut akan mengakibatkan kekeringan sehingga


laju fotosintesis pertumbuhan terhambat. Selain terkait dengan laju fotosintesis, hal
tersebut juga akan berdampak pada laju pengangkutan unsur hara pada tanah ke
tumbuhan. Saat unsur hara yang diterima tumbuhan sedikit maka pertumbuhan
tanaman akan terhambat, daun akan layu, hingga tanaman tersebut akan mati. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Maryani (2012), yang menyatakan bahwa defisit
air pada tanaman akan mengakibatkan penyerapan unsur hara dan pembelahan sel
terhambat. Selain itu jarak tanam yang lebih besar pada perlakuan tanam
monokultur 70x40 dibandingkan tumpangsari 70x30. Perlakuan dengan jarak tanam
yang lebih besar meminimalisir kompetisi dalam perebutan unsur hara, sehingga
tanaman dapat tumbuh lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ximenes
(2018), yang menyatakan bahwa jarak tanam yang terlalu sempit memungkinkan
terjadinya kompetisi unsur hara dan intensitas cahaya matahari sehingga
pertumbuhannya terhambat.
Berat tongkol pada perlakuan tanam monokultur 70x30 juga lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan tanam tumpangsari 70x30. Hal tersebut
dikarenakan pada perlakuan tanam tumpangsari 70x30 terdapat tanaman legum
yang berdampak pada persaingan area tumbuh. Saat area tumbuh semakin sempit,
ada beberapa unsur yang didapatkan dengan jumlah yang sedikit, salah satunya
adalah radiasi matahari. Radiasi matahari yang diterima pada perlakuan tanam
tumpangsari 70x30 akan lebih sedikit karena radiasi matahari juga diserap oleh
tanaman legum. Saat radiasi matahari yang diterima berkurang hal tersebut akan
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Radiasi matahahari yang kurang akan
mengakibatkan laju fotosintesis terhambat, sehingga mempengaruhi proses
pemasakan pada tumbuhan. Hal tersebut juga akan berpengaruh pada
pengangkutan hasil fotosintesis ke seluruh bagian tanaman, hal tersebut karena
xylem dan floem pada daun tidak berkerja dengan baik. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Despani (2012), yang menyatakan bahwa tanaman yang menerima
intensitas cahaya matahari akan mengakibatkan laju fotosintesis yang lebih rendah
dan laju suplai hasil fotosintesisnya juga berkurang. Fotosintesis merupakan faktor
dasar yang mempengaruhi proses produksi suatu tanaman
Berat tongkol jagung pada perlakuan tanam tumpangsari 70x40 didapatkan
hasil yang lebih besar dibandingkan dengan monokultur 70x40. Hal tersebut karena
31

terdapatnya tanaman legum pada perlakuan tanam tumpangsari. Akar tanaman


legum akan bersimbiosis dengan mikroba tanah (Rhizobium sp.). Hasil dari
simbiosis tersebut akan membentuk bintil akar pada tanaman legum. Saat
Rhizobium sp. bersimbiosis baik dengan tanah maka akan semakin
menggemburkan tanah, dan tanaman akan mendapatkan unsur hara tambahan dari
tanaman, terlebih unsur Nitrogen. Unsur hara tambahan yang dihasilkan oleh
tanaman legum akan diterima juga oleh tanaman utama (jagung) sebagai nutrisi
tambahan, hal tersebut memungkinkan tanaman denga pola tanam tumpangsari
lebih baik dibandingkan dengan pola tanam monokultur. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Herdiawan dan Krisnan (2014), yang menyatakan bahwa salah satu cara
untuk mengatasi defisiensi unsur hara atau untuk memperkayanya dapat dilakukan
dengan tumpangsari dengan tanaman legum.
Berat tongkol jagung pada perlakuan tanam monokultur 70x30 memiliki berat
tongkol yang lebih besar dibandingkan dengan monokultur 70x40. Hal tersebut
dipengaruhi jarak tanam yang berbeda. Walaupun jarak tanam dengan jarak tanam
yang lebih kecil, namun perlakuan monokultur 70x30 memiliki berat terbesar
dibandingkan dengan seluruh perlakuan tanam. Hal tersebut dikarenakan karena
perlakuan monokultur dengan jarak tanam 70x30 merupakan jarak tanam optimum
pada percobaan ini. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Erawati (2016), yang
menyatakan bahwa peningkatan produktivitas jagung dapat diperoleh dengan
mengatur kerapatan tanam hingga mencapai kerapatan optimum.
Pertumbuhan jagung manis terus berlangsung hingga muncul tongkol pada
tiap tanaman. Pada tiap perlakuan pastinya memiliki panjang tongkol yang berbeda-
beda. Pada pola tanam monokultur memiliki panjang rata-rata 28,99 cm dan pada
pola tanam tumpangsari memiliki berat rata-rata 29,15 cm. Berikut ini adalah
diagram tinggi tongkol pada tiap perlakuan dan jarak tanam yang berbeda.
32

30,5
30

Panjang Tongkol Jagung (cm)


29,5
29
28,5
28
27,5
27
26,5
70x30 cm + 70x30 cm + 70x40 cm + 70x40 cm +
Monokultur Tumpangsari Monokultur Tumpangsari

Gambar 6. Diagram Perbandingan Rerata Panjang Tongkol Jagung Manis

Dari diagram diatas hasil tumpangsari 70x30 lebih rendah dibanding


monokultur 70x30 hal ini dikarenakan kompetisi yang terjadi pada ketersediaan
kandungan air. Air merupakan komponen utama dalam proses pertumbuhan suatu
tanaman, air juga merupakan bahan fotosintesis dan pengangkut unsur hara. Jika air
yang diterima maka tanaman akan mengalami kekeringan, selain itu fotosintesis
akan terhambat dan membuat unsur hara yang didapatkan juga terhambat. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Jumin (2002), jika air sangat berfungsi pada
pengangkutan unsur hara dari akar ke jaringan tanaman, serta sebagai penyusun
jaringan pada tanaman.
Jika monokultur dengan jarak tanam 70x30 dibandingkan dengan
tumpangsari 70x40, data yang didapatkan lebih tinggi panjang tongkol hasil dari
tumpangsari 70x40 hal tersebut berkaitan dengan jarak tanam yang digunakan
sehingga penyerapan sinar matahari dan unsur hara tanaman akan mempengaruhi
pertumbuhan. Sesuai dengan pernyataan Afaf (2018) bahwa tanaman dengan jarak
yang lebih luas mendapatkan sinar matahari dan unsur hara yang cukup karena
persaingan antar tanaman lebih kecil. Selain itu juga karena adanya tanaman legum
yang berada berdampingan dengan tanaman jagung, legum sendiri dapat
meningkatkan ketersediaan unsur hara dan dapat mengikat nitrogen di tanah. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Handayani (2010) bahwa kemampuan legum menambat
N udara sangat menguntungkan bila ditanam bersama tanaman lain secara bergilir
maupun tumpangsari. Penanaman secara tumpangsari dapat mempertinggi
33

produktivitas lahan dan sebagai langkah antisipasi terhadap kegagalan salah satu
komoditi yang ditumpangsarikan. Adisarwanto (2001) juga mengatakan bahwa
nitrogen sangat esensial sebagai bahan penyusun asam-asam amino, protein, dan
klorofil yang penting dalam proses fotosintesis dan penyusun komponen yang
menentukan kualitas dan kuantitas hasil jagung.
Panjang tongkol jagung dengan perlakuan tumpangsari 70x30 dan
tumpangsari 70x40 memiliki panjang yang lebih besar dibandingkan dengan
monokultur 70x40. Hal tersebut terkait dengan adanya tanaman legum pada
perlakuan tumpangsari. Adanya tanaman legum akan memberikan unsur hara
tambahan bagi tanaman utama. Akar tanaman legum akan bersimbiosis dengan
tanaman bakteri Rhizobium sp. sehingga akan memfiksasi nitrogen di udara di
sekitar akan tanaman. Nitrogen yang difiksasi kemudian akan diserap oleh akar
tanaman, termasuk juga akar tanaman jagung sebagai tanaman utama. Fiksasi
tersebut juga akan membentuk bintil akar pada tanaman legum. Hal tersebut akan
mengakibatkan unsur hara tambahan bagi tanaman utama, sehingga pada
perlakuan pada tumpangsari dapat tumbuh lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Fuskhah (2009), yang menyatakan bahwa fiksasi nitrogen yang
dihasilkan oleh tanaman legum akan memberikan hara tambahan bagi tanaman
utama, sehingga pertumbuhannya lebih baik. Selain itu aktivitas mikroba tanah yang
bersimbiosis pada tanaman legum akan memperbaiki sifat tanah
Panjang tongkol pada perlakuan tumpangsari 70x30 memiliki panjang yang
lebih kecil dibandingkan dengan tumpangsari 70x40. Hal tersebut tidak sesuai
dengan perlakuan terkait jarak tanam yang lebih besar namun hasilnya lebih kecil.
Hal tersebut dikarenakan jarak tanam tidak cukup besar pengaruhnya dalam
merubah sifat genetik pada jagung. Genetik pada jagung memungkinkan pula tidak
terjadinya perbedaan yang signifikan pada hasil panjang tongkol yang dihasilkan.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sustiprijanto (2011), yang menyatakan
bahwa genetik pada tanaman menghasilkan sifat yang tertentu dan rekayasanya
dibuat bertujuan untuk membantu pertumbuhannya dalam kendala pertumbuhannya.
Perlakuan jarak tanam yang berbeda bertujuan untuk membantu pertumbuhannya
agar lebih baik.
Selain bobot dan panjang tongkol jagung yang berbeda pada sampel jagung
monokultur dan tumpangsari, perbedaan juga terletak pada diameter tongkol
34

jagung. Diameter tongkol terbesar terdapat pada perlakuan tumpangsari. Berikut


merupakan grafik rerata ukuran diameter tongkol jagung.

5,8
Diameter Tongkol Jagung (cm)

5,6

5,4

5,2

4,8

4,6
70x30 cm + 70x30 cm + 70x40 cm + 70x40 cm +
Monokultur Tumpangsari Monokultur Tumpangsari

Gambar 7. Diagram Perbandingan Rerata Diameter Tongkol Jagung Manis

Dari data yang didapat, pola tanam tumpangsari 70x40 cm menggunakan


tanaman legum atau tanaman kacang kedelai sebagai tanaman tumpangsarinya
memiliki diameter tertinggi dibandingan perlakuan yang lain. Tanaman legum dapat
memperkaya nitrogen di dalam tanah. ketersediaan nitrogen di dalam tanah dapat
mempengaruhi diameter tongkol. Semiakin banyak jumlah nitrogen pada tanah
semakin panjang diameter tongkol jagung. Pernyataan tersebut sesuai dengan
pendapat Yuwariah et al. (2017) bahwa nitrogen merupakan komponen utama
dalam proses sintesa protein yang berkorelasi positif pada panjang dan diameter
tongkol.
Di lain sisi, diameter terendah ditunjukkan pada perlakuan Tumpangsari
70x30 cm yaitu sebesar 5,032 cm. Hal ini disebabkan karena pengaruh jarak tanam
pada setiap perlakuan. Jarak tanam yang rapat akan menyebabkan daun-daun
pada tanaman jagung akan saling menaungi, sehingga hanya daun-daun bagian
atas yang mendapatkan sinar matahari. Hal ini akan menghambat proses
fotosintesis dan berpengaruh terhadap hasil tanaman. Menurut Kartika (2018),
populasi yang semakin rapat cenderung menurunkan hasil tanaman. Terjadinya
penurunan hasil tanaman pada jarak tanam yang rapat disebabkan karena daun-
35

daun pada populasi tersebut saling menaungi, sehingga hanya daun bagian atas
yang mendapatkan sinar matahari. Hal ini menyebabkan aktifitas fotosintesis pada
populasi yang optimum akan menurun, sehingga berpengaruh pada proses-proses
metabolisme tanaman dan akibatnya translokasi hasil-hasil fotosintesis pada biji
berkurang.
Diameter tongkol jagung pada perlakuan tanam monokultur 70x30 cm lebih
besar dibandingkan dengan perlakuan tanam tumpangsari 70x30 cm. Hal tersebut
disebabkan pada perlakuan tanam tumpangsari 70x30 cm terdapat tanaman
sampingan atau tanaman legum yang berdampak pada persaingan area tumbuh
tanaman. Saat area tumbuh semakin sempit maka unsur hara yang ada di dalam
tanah semakin berkurang, sehingga hasil tanaman kurang optimal. Unsur lain yang
mempengaruhi hasil tanaman yaitu radiasi matahari. Radiasi matahari yang
diperoleh pada perlakuan pola tanam tumpangsari 70x30 cm akan berkurang
karena radiasi matahari juga diserap oleh tanaman legum. Saat radiasi matahari
yang diterima berkurang hal tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Radiasi matahahari yang kurang akan mengakibatkan laju fotosintesis terhambat,
sehingga mempengaruhi proses pemasakan pada tumbuhan. Menurut Despani
(2012), tanaman yang menerima intensitas cahaya matahari akan mengakibatkan
laju fotosintesis yang lebih rendah dan laju suplai hasil fotosintesisnya juga
berkurang. Fotosintesis merupakan faktor dasar yang mempengaruhi proses
produksi suatu tanaman.
Pada perlakuan tanam Tumpangsari 70x40 cm memiliki diameter tongkol
jagung lebih besar dibandingkan dengan Monokultur 70x40 cm. Hal ini disebabkan
karena karena pada pola tanam tumpangsari memperoleh tambahan nutrisi dari
tanaman legum. Tanaman legum ini dapat memberikan unsur N pada tanaman
sehingga pertumbuhan tanaman akan optimal. Selain itu, jarak tanam yang
renggang akan mengurangi persaingan pada tanaman. Sehingga unsur hara akan
terpenuhi secara optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Catharina (2009), yang
menyatakan tumpangsari tanaman jagung dengan tanaman legum akan
memberikan nutrisi tambahan bagi tanaman jagung, hal tersebut dikarenakan bintil
yang dapat mengikat nitrogen bebas. Selain itu jarak tanam yang luas
memungkinkan kurang terjadinya kompetisi dalam perubatan nutrisi pada tanaman
utama. Jarak tanam yang semakin lebar antar tanaman berkurangnya kompetisi
36

tanaman dalam mendapatkan hara pada tanah, sehingga tanaman berpengaruh


pada pertumbuhan tanaman akan semakin maksimal (Yunita dan Sudiarso, 2017).
37

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil praktikum Dasar Budidaya Tanaman yang telah dilaksanakan


dapat disimpulkan bahwa hasil dari pertumbuhan jagung manis dengan perlakuan
pola tanam monokultur 70x30 cm, monokultur 70x40 cm, tumpangsari 70x30 cm,
dan tumpangsari 70x40 cm memiliki hasil yang berbeda-beda. Tanaman jagung
manis yang memiliki rata-rata tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan tumpangsari
70x40 cm. Rata-rata jumlah daun terbanyak terdapat pada tanaman jagung dengan
perlakuan monokultur 70x40 cm. Waktu muncul malai tercepat pada perlakuan pola
tanam monokultur 70x40 cm. Sedangkan pada hasil tanaman jagung dengan
perlakuan monokultur 70x30 cm memiliki rata-rata bobot tongkol jagung dengan
kelobot paling berat. Panjang tongkol jagung dengan kelobot tertinggi pada
perlakuan pola tanam tumpangsari dengan jarak tanam 70x40 cm. Sedangkan rata-
rata diameter tongkol jagung dengan kelobot terbesar terdapat pada perlakuan pola
tanam tumpangsari dengan jarak tanam 70x40 cm. Sehingga dapat diketahui bahwa
pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis terbaik terdapat pada perlakuan pola
tanam tumpangsari dengan jarak tanam 70x40 cm.
5.2 Saran

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dengan pertumbuhan dan hasil


tanaman jagung manis yang diperoleh disarankan untuk menggunakan pola tanam
tumpangsari dengan jarak tanam 70x40 cm untuk mendapatkan hasil yang baik.
38

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T.dan Y.E. Widyastuti. 2001. Meningkatkan Produksi Jagung. Jakarta:


Penebar Swadaya
Afaf, Sausanil. 2018. Pengaturan Jarak Tanam pada Tanaman Pola Baris Tunggak
dan Baris Ganda terhadap Produkso Jagung Hibrida (Zea mays L.) P35.
Malang: UB Press
Ahmad, Sitti Wirdahana. 2012. Fujimori T. 2001. Ecological and Silvicultural
Strategies for Sustainable Forest Management. Elsevier, Amsterdam. Jurnal
Seminar Nasional Biologi. Vol 4(3)
Akib, M. A. 2012. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Yang
Ditumpangsarikan Dengan Ubi Kayu (Manihot esculanta) Pada Waktu yang
berbeda. Jurnal Galung Tropika : 15-23
Aprilianti, D. K. 2016. Evaluasi Potensi dan Kualitas Hasil Hibrida Jagung Manis di
Dragmaga, Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Asmin, dan Dahya. 2015. Kajian Dosis Pemupukan Urea dan Npk Phonska
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung pada Lahan Kering di
Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Kendari: Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Tenggara.
Buntoro, B. H., Rohlan, R. Dan Sri, T. 2014. Pengaruh Takaran Pupuk Kandang dan
Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Temu Putih (Curcuma
zedoaria L.). Vegetalika 3(4) 29-39. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Campbell, V.A. 2002. Biology. Jakarta: Erlangga Darwis, K. 2017. Ilmu Usahatani;
Teori dan Penerapan. Makassar: Inti Mediatama.
Catharina, Theresia Suzzana. 2009. Respon Tanaman Jagung pada Sistem
Monokultur dengan Tumpangsari Kacang-Kacangan terhadap Ketersediaan
Unsur Hara N dan Nilai Kesetaraan Lahan di Lahan Kering. Jurnal Genec
Swara. Vol 3(3).
Despani, Liza. 2012. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan dan
Produktivitas Tanaman Bangun-Bangun (Coleus amboinicus Lour). Bogor:
IPB Press
Desyanto, Eky., Susetyo, Herman Budi. 2014. Pengaruh Jarak Tanam terhadap
Pertumbuhan Hijau dari Hasil Buah Jagung (Zea mays L.) pada Varietas BisiI
dari Pioneer di Lahan Marginak. Jurnal Agrotek UPY. Vol 5(2)
Ekowati, D. Dan Mochammad N. 2011. Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays
L.) Varietas Bisi-2 Pada Pasir Reject dan Pasir Asli di Pantai Trisik
KulonProgo. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 18 (3) : 220-231.
39

Erawati, Tri Baiq., Hipi, Awaludin. 2016. Pengaruh Jarak Tanam terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Jagung Hibrida di Kawasan
Pengembangan Jagung Kabupaten Sumbawa. Jurnal Balai Pengkajian
Tekonologi Pertanian NTB. Vol 2(3)
Felania, Chairida. 2017. Pegaruh Ketersediaan Air terhadap Pertumbuhan Kacang
Hijau (Phaceolus radiatus). Jurnal Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
Biologi. Vol 3(1)
Fujimori T. 2001. Ecological and Silvicultural Strategies for Sustainable Forest
Management. Elsevier, Amsterdam
Fuskhah, Eny., Soetrisno, R.D., Budhi, S.P.S., Maas, A. 2009. Pertumbuhan dan
Produksi Leguminosa Pakan Hasil Asosiasi dengan Rhizobium pada Media
Tanam Salin. Jurnal Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Vol 2(3).
Handayani, Alfani. 2010. Pengaruh Model Tumpang Sari terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Tanaman Gandum dan Tembakau. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Jawa Tengah. Vol 4(2).
Haryanti, Sri. 2012. Respon Pertumbuhan Jumlah dan Luas Daun Nilam
(Pogostemon cablin Benth) pada Tingkat Naungan yang Berbeda. Jurnal
Biologi Fungsi Tanaman. Vol 1(2)
Herdiawan, Iwan., Krisnan, R. 2014. Produktivitas dan Pemanfaatan Tanaman
Leguminosa Pohon Indigofera zollingeriana pada Lahan Kering. Jurnal
Wartazoa. Vol 24(2)
Hermawati, D. T. 2016. Kajian Ekonomi Antara Pola Tanam Monokultur Dan
Tumpangsari Tanaman Jagung, Kubis, Dan Bayam. Inovasi XVIII (01).
Surabaya: Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Indra,
Hudaiah. 2012. Fisiologi Tumbuhan Pertumbuhan Generatif. Yogyakarta: Fakultas
Kehutanan UGM
Jumin, H. B. 2002. Agroekologi: Suatu Pendekatan Fisiologis. Jakarta. Rajawali
Press.
Kartika. 2018. Analisis pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.), pergeseran
komposisi gulma pada beberapa jarak tanam dan pengolahan tanah. Jurnal
Ilmu-Ilmu Perta-nian Indonesia. Vol.3. No. 1. hal. 25-31.
Larosa, O. L., Simanugkali T., dan Damanik S. 2014. Pertumbuhan dan Produksi
Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt.) Pada Beberapa Persiapan
Tanah dan Jarak Tanam. Jurnal Online Agroekoteknologi 3 (1) : 01-07.
Ma’arif, Bahrul. 2012. Peran densitas tanaman jagung (Zea mays L. ) pada sistem
tumpangsari deret penggantian dengan kacang tanah (Arachis hipogaea)
terhadap hasil. Surakarta: UNS press
40

Maghfiroh, Jazilatol. 2017. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan


Tanaman. Jurnal Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi. Vol 3(3)
Marajo, R. K. 2016. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Lamtoro dan Pupuk
Nitrogen Terdapat Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung Manis (Zea
mays L. Saccharata Strurt.). Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Maruapey, Ajang dan Faesal. 2010. Pengaruh Pemberian Pupuk KCl terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Jagung Pulut (Zea mays ceratina L). Maros: Peneliti
Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Maryani, Anis Tatik. 2012. Pengaruh Volume Pemberian Air terhadap Pertumbuhan
Bibit Kelapa Sawit di Pembibitan Utama. Jurnal Pertanian Mandalo-Jambi.
Vol 1(2)
Mochammad Nawawi,dan Ninuk Herlina. 2013. Pengaruh saat Tanam Jagung dalam
Tumpangsari Tanaman Jagung (Zea mays L.) dan Brokoli (Brassica oleracea
L. Var. botrytis). Jurnal Produksi Tanaman Vol. 1 No.3. Malang: Universitas
Brawijaya
Muhuria, La., Tyas, Kartika Ning., Khumaida Nurul. 2006. Adaptasi Tanaman
Kedelai Terhadap Intensitas Cahaya Rendah : Karakter Daun untuk Efisiensi
Penangkapan Cahaya. Jurnal Bul. Agron. Vol 34(3)
Mustofa, Zainul., Budiarsa, I Made., Samdas, Gamar Binti. 2017. Non. Variasi
Genetik Jagung (Zea mays L.) Berdasarkan Karakter Fenotipik Tongkol
Jagung yang Dibudidaya di Desa Jono Oge. Jurnal Jipbiol. Vol 1(2)
Novitan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Jakarta: Agromedia Pustaka
Pramono, A. A., Fauzi, M. A., Widyani, N., Heriansyah, I. dan Roshetko, J. M. 2010.
Pengelolaan Hutan Jati Rakyat: Panduan Lapangan untuk Petani. Bogor:
CIFOR.
Purnomo dan Heni Purnamawati. 2008. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.
Jakarta : Penebar Swadaya.
Riwandi, M. H., dan Hasanusin. 2014. Teknik Budidaya Jagung dengan Sistem
Organik di Lahan Marjinal. Bengkulu : UNIB Press, Universitas Bengkulu.
Sirrapa, M. P., dan Nasruddin Razak. 2010. Peningkatan Produktivitas Jagung
Melalui Pemberian Pupuk N, P, K dan Pupuk Kandang pada Lahan Kering di
Maluku. Maluku: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku.
Sugeng Winarso. 2005. Kesuburan Tanah. Gava Media. Yogyakarta. 93-118
Suseno, B. 2013. Budidaya Tanaman Jagung Manis (Zea mays Saccharata, Sturt)
Di Asosiasi Aspakus Makmur Boyolali. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Sustiprijatno. 2007. Jagung Transgenik dan Perkembangan Penelitian di Indonesia.
Jurnal Teknik Produksi dan Pengembangan. Vol 3(1)
41

Syukur dan Rifianto A. 2013. Jagung Manis. Jakarta : Penebar Swadaya.


Tambunan D.T, Darma B, Fatimah Z, 2013. Keanekaragaman Arthropoda Pada
Jagung Transgenik. Vol 1 (3)
Ximenes, Manuel Patricio., Mayun, Ida Ayu., Pradnyawathi, Ni Luh Made. Pengaruh
Kombinasi Jarak Tanam dan Varietas terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Loes, Sub District Maubara, District
Liquisa Repupublica Democratica De Timor Leste. Jurnal Agroekoteknologi
Tropika. Vol 7(2)
Yulisma. 2011. Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Jagung pada Berbagai
Jarak Tanam. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan. Vol 30(3)
Yunita, Ina., Heddy Suwasono., Sudiarso. 2017. Pengaruh Jarak Tanam terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Jagung Hibrida di Kawasan
Pengembangan Jagung Kabupaten Sumbawa. Jurnal Produksi Tanaman.
Vol 5(8)
Yuwariah, D., Ruswandi, D., Irwan, A. W. 2017. Pengaruh pola tanam tumpangsari
jagung dan kedelai terhadap pertumbuhan dan hasil jagung hibrida dan
evaluasi tumpangsari di Arjasari Kabupaten Bandung. Jurnal Kultivasi. Vol
16(3)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Deskripsi Varietas


Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 3634/Kpts/SR.120/10/2009
pada tanggal 19 Oktober 2009. Deskripsi Jagung Manis Varietas Talenta yaitu:
42

Asal : PT. Agri Makmur Pertiwi


Silsilah : Suw2/SF1:2-1-2-1-5-3-2-1-1-bk x
Pcf5/HB6:4-4-1-1-2-3-3-2-1-bk
Golongan varietas : hibrida silang tunggal
Bentuk tanaman : tegak
Tinggi tanaman : 157,7 – 264,0 cm
Kekuatan perakaran : kuat
Ketahanan terhadap kerebahan : tahan
Bentuk penampang batang : bulat
Diameter batang : 2,9 – 3,2 cm
Warna batang : hijau
Bentuk daun : bangun pita
Ukuran daun : panjang 75,0 – 89,4 cm, lebar 7,0 – 9,7 cm
Warna daun : hijau
Tepi daun : rata
Bentuk ujung daun : runcing
Permukaan daun : agak kasar
Bentuk malai (tassel) : terbuka dan bengkok
Warna malai (anther) : kuning
Umur panen : 67 – 75 HST
Bentuk tongkol : kerucut
Ukuran tongkol : panjang 19,7 – 23,5 cm, diameter 4,5 – 5,4
cm
Warna rambut : kuning
Berat per tongkol : 221,2 – 336,7 g
Jumlah tongkol per tanaman : 1 tongkol
Baris biji : lurus
Jumlah baris biji : 12 – 16 baris
Warna biji : kuning
Tekstur biji : lembut
Rasa biji : manis
Kadar gula : 12,1 – 13,6 obrix
Berat 1.000 biji : 150 – 152 g
Daya simpan tongkol (23 – 27 oC) : 3 – 4 hari setelah panen
Hasil tongkol : 13,0 – 18,4 ton/ha
Populasi per hektar : 51.700 tanaman
Kebutuhan benih per hektar : 10,7 – 11,0 kg
Keterangan : beradaptasi dengan baik di dataran rendah
sampai medium (150 – 650 m dpl)
Pengusul : PT. Agri Makmur Pertiwi
Peneliti : Andre Christantius, Moedjiono, Ahmad
Muhtarom Novia Sriwahyuningsih (PT.
43

Agri Makmur Pertiwi), Kuswanto


(Unibraw).
44

Lampiran 2. Petak Praktikum


45

Lampiran 3. Perhitungan Pupuk

Luas lahan = 2,6 m x 3 m = 7,8 m2

Jarak tanam = 70 cm x 40 cm

Populasi = 40 tanaman

a. Pupuk SP-36
Rekomendasi Dosis = 150 kg/ha

Kebutuhan Pupuk SP-36 per Bedengan

Luas Lahan x Rekomendasi Dosis

= m2 x

Kebutuhan Pupuk per Tanaman

: Jumlah Populasi

: 40 tanaman

b. Pupuk Urea

Rekomendasi Dosis = 350 kg/ha

Kebutuhan Pupuk per Bedengan

= Luas Lahan x Rekomendasi Pupuk

= 7,8m2

=
46

X=

Kebutuhan Pupuk per Tanaman

: Jumlah Populasi

: 40 tanaman

Pemberian 2mst ( )

= x

Pemberian 4mst ( )

= x

c. Pupuk KCl

Rekomendasi Dosis = 150 kg/ha

Kebutuhan Pupuk per Bedengan

= Luas Lahan x Rekomendasi Dosis

= m2 x

=
47

Kebutuhan Pupuk per Tanaman

= : Jumlah Populasi

= : 40 tanaman

Pemberian 2mst ( )

= x

Pemberian 4mst ( )

= x

=
48

Lampiran 4. Data Pengamatan Jagung Manis

Data Pengamatan Jagung Manis 70 cm x 40 cm Monokultur (Kelas I1)


Tabel 1. Data Tinggi Tanaman Jagung Manis Monokultur Jarak Tanam 70cm x 40 cm
Sampel 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST
1 14,5 18 20 24 46 70,5
2 16 17 19 20 35,5 57
3 15 17 18 20 45 68
4 15 18 21 24 37 60
5 15 19 23 29 54 82
Rata-Rata 15,1 17,8 20,2 23,4 43,5 67,5

Tabel 2. Data Jumlah Daun Tanaman Jagung Manis Monokultur Jarak Tanam 70 cm x 40
cm
Sampel 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST
1 6 6 7 8 10 11
2 6 6 7 7 9 10
3 6 6 6 7 9 10
4 6 6 7 8 9 10
5 6 7 7 8 9 9
Rata-Rata 6 6,2 6,8 7,6 9,2 10

Tabel 3. Data Waktu Muncul Malai Tanaman Jagung Manis Monokultur Jarak Tanam 70 cm
x 40 cm
Perlakuan Umur Tanaman
Jarak Tanam 70 cm x 40 cm Monokultur 47 HST

Tabel 4. Data Pengamatan Panen Tanaman Jagung Manis Monokultur Jarak Tanam 70 cm
x 40 cm
Pengamatan
TS Bobot Jagung dengan Panjang Tongkol Diameter Tongkol
Kelobot (g) dengan Kelobot (cm) dengan Kelobot (cm)
1 281 26 4,94
2 300 30 5,41
3 274 27,7 4,9
4 268 27,6 5,38
5 275 27,6 5,1
Rata- 279,6 22,24 5,14
Rata

Data Pengamatan Jagung Manis 70 cm x 40 cm Tumpangsari (Kelas N2)


Tabel 5. Data Tinggi Tanaman Jagung Manis Tumpangsari Jarak Tanam 70 cm x 40 cm
Sampel 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST
1 9 12 18,5 40 63 111
2 11 16 18 39 74 96
3 7 12 14,5 33 60 110
4 8 14 15,5 36 65 118
5 9 15 17,5 31 60 110
Rata-Rata 8,8 13,8 16,8 35,8 64,4 109
49

Tabel 6. Data Jumlah Daun Tanaman Jagung Manis Tumpangsari Jarak Tanam 70 cm x 40
cm
Sampel 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST
1 7 9 9 11 10 9
2 7 8 8 9 9 8
3 4 6 8 10 9 8
4 5 6 9 10 9 9
5 6 8 8 9 9 10
Rata-Rata 5,8 7,4 8,4 9,8 9,2 8,8

Tabel 7. Data Waktu Muncul Malai Tanaman Jagung Manis Tumpangsari Jarak Tanam 70
cm x 40 cm
Perlakuan Umur Tanaman
Jarak Tanam 70 cm x 30 cm Monokultur 51 HST

Tabel 8. Data Pengamatan Panen Tanaman Jagung Manis Tumpangsari Jarak Tanam 70
cm x 40 cm
Pengamatan
TS Bobot Jagung dengan Panjang Tongkol Diameter Tongkol
Kelobot (g) dengan Kelobot (cm) dengan Kelobot (cm)
1 358 30 6,21
2 293 31 5,57
3 253 28,5 5,57
4 311 31 5,73
5 280 31 5,73
Rata- 299 30,3 5,76
Rata

Data Pengamatan Jagung Manis 70 cm x 30 cm Monokultur (Kelas A1)


Tabel 9. Data Tinggi Tanaman Jagung Manis Monokultur Jarak Tanam 70 cm x 30 cm
Sampel 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST
1 10,9 20 33 44 74 108
2 11,5 19 32 51 97 110
3 8,9 14 24 29 50 91
4 12,5 22 31 49 75 127
5 11,3 20 30 37 65 98
Rata-Rata 11,02 19 30 42 72,2 106,8
50

Tabel 10. Data Jumlah Daun Tanaman Jagung Manis Monokultur Jarak Tanam 70 cm x 30
cm
Sampel 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST
1 4 5 6 6 9 10
2 4 5 6 7 9 9
3 4 4 4 5 6 9
4 5 5 5 6 9 10
5 5 5 5 6 7 9
Rata-Rata 4,4 4,8 5,2 6 8 9,4

Tabel 11. Data Waktu Muncul Malai Tanaman Jagung Manis Monokultur Jarak Tanam 70
cm x 30 cm
Perlakuan Umur Tanaman
Jarak Tanam 70 cm x 30 cm Monokultur 52 HST

Tabel 12. Data Pengamatan Panen Tanaman Jagung Manis Monokultur Jarak Tanam 70 cm
x 30 cm
Pengamatan
TS Bobot Jagung dengan Panjang Tongkol Diameter Tongkol
Kelobot (g) dengan Kelobot (cm) dengan Kelobot (cm)
1 350 33 5,35
2 390 30 5,48
3 340 30 5,73
4 350 29 5,41
5 340 29 5,38
Rata- 354 30,2 5,47
Rata

Data Pengamatan Jagung Manis 70 cm x 30 cm Tumpangsari (Kelas Q2)


Tabel 13. Data Tinggi Tanaman Jagung Tumpangsari Jarak Tanam 70 cm x 30 cm
Sampel 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST
1 5 10,5 14,5 16 42 80
2 5 8 19 20 54 103
3 4 10 15 16 44 109
4 4 10 15,5 17 45 81
5 3 9 16 18 45 103
Rata-Rata 4,2 9,5 16 17,4 46 95,2

Tabel 14. Data Jumlah Daun Tanaman Jagung Manis Tumpangsari Jarak Tanam 70 cm x
30 cm
Sampel 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST
1 3 4 5 6 7 8
2 4 6 6 7 8 10
3 2 6 6 7 8 9
4 4 6 6 7 7 8
5 4 5 6 6 7 8
Rata-Rata 3.4 5,4 5,8 6,6 7,5 8,6
51

Tabel 15. Data Waktu Muncul Malai Tanaman Jagung Manis Tumpangsari Jarak Tanam 70
cm x 30 cm
Perlakuan Umur Tanaman
Jarak Tanam 70 cm x 40 cm Monokultur 52 HST

Tabel 16. Data Pengamatan Panen Tanaman Jagung Manis Tumpangsari Jarak Tanam 70
cm x 30 cm
Pengamatan
TS Bobot Jagung dengan Panjang Tongkol Diameter Tongkol
Kelobot (g) dengan Kelobot (cm) dengan Kelobot (cm)
1 210 27 4,78
2 280 28 4,78
3 275 27 5,41
4 280 29 4,78
5 250 28 5,41
Rata- 259 28 5,03
Rata
52

Lampiran 5. Logbook

No. Tanggal Kegiatan Deskripsi Dokumentasi

Penyemaian benih
dilakukan dengan
Penyemaian
1 1 Februari 2019 menanam benih
Refugia
pada media tanam
kompos pada tray.

Penyemaian benih
dilakukan dengan
Penyemaian
2 6 Februari 2019 menanam benih
Jagung
pada media tanam
kompos pada tray.

Pengolahan
dilakukan dengan
Pengolahan menggemburkan
3 9 Februari 2019
lahan tanah, memberi
pupuk kandang dan
penyiraman

Penanaman
dilakukan dengan
mengukur jarak
Penanaman
4 9 Februari 2019 tanam, menanam
Refugia
bibit yang telah
disemai pada setiap
lubang tanam.
53

Penanaman
dilakukan dengan
mengukur jarak
tanam, menanam
Penanaman bibit yang telah
5 16 Februari 2019 Komoditas disemai pada setiap
Jagung lubang tanam. Dan
sekaligus
menambahakan
pupuk SP36 serta
penyiraman

Penyiraman dan
6 19 Februari 2019 Perawatan
penyiangan gulma

Pemberian pupuk
Urea dan KCl saat
umur tanaman 1
Pemupukan 1
MST, dilakukan pula
MST,
7 26 Februari 2019 penyiraman dan
pengamatan,
penyiangan. Serta
dan perawatan
melakukan
pengamatan tinggi
dan jumlah daun.

Aplikasi PGPR
dilakukan dengan
menyiram ke sekitar
Aplikasi PGPR tanaman jagung dan
8 2 Maret 2019 dan refugia dan
penjarangan. penjarangan
dilakukan dengan
memotong tanaman
yang lebih kecil.
54

Pemberian pupuk
urea dan KCl pada
Pemupukan 2
saat umur 2 MST
MST,
9 5 Maret 2019 serta dilakukan
pengamatan dan
pengamatan,
perawatan
penyiraman dan
Penyiangan

Penyiraman dan
penyiangan gulma
Perawatan dan serta melakukan
10 26 Maret 2019 pengamatan pengamatan tinggi
tanaman, jumlah
daun, dan malai

Aplikasi PGPR
dilakukan dengan
menyiram ke sekitar
Aplikasi PGPR tanaman jagung dan
11 30 Maret 2019 dan refugia dan
penjarangan. penjarangan
dilakukan dengan
memotong tanaman
yang lebih kecil.

Penyiraman dan
penyiangan gulma
Perawatan dan serta melakukan
12 2 April 2019 pengamatan pengamatan tinggi
tanaman, jumlah
daun, dan malai
55

Penyiraman dan
penyiangan gulma
Perawatan dan serta melakukan
13 9 April 2019 pengamatan pengamatan tinggi
tanaman, jumlah
daun, dan malai

Penyiraman dan
penyiangan gulma
Perawatan dan serta melakukan
14 16 April 2019 pengamatan pengamatan tinggi
tanaman, jumlah
daun, dan malai

Pemanenan jagung
serta melakukan
pengamatan bobot
15 23 April 2019 Pemanenan dan diameter tongkol
jagung pada sampel
tanaman.

Pengamatan
Pengamatan
bobot jagung,
dilakukan dengan
16 23 April 2019 diameter dan
menimbang jagung
panjang tongkol
dan mengukurnya
jagung
dengan meteran jahit
56

Lampiran 6. Dokumentasi Hasil Panen


A B

C D

Gambar A. Monokultur 70x30 cm, B. Monokultur 70x40 cm, C. Tumpangsari 70x30


cm, D. Tumpangsari 70x40 cm

Anda mungkin juga menyukai