Tugas Makalah Filsafat

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

Dosen pembibing

Dr.Bambang Nugroho Hadi, M.Th

Disusun oleh

Abednego charis p.s

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI SYALOM

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan
rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada
waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

PENULIS
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................................. i


Kata Pengantar ................................................................................................................................ ii
Daftar Isi ........................................................................................................................................ iii
BAB I Pendahuluan ........................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 1
A. Pengetian Filsafat Pendidikan ................................................................................................ 1
B. Kegunaan Filsafat Pendidikan ................................................................................................ 2
C. Penting Seorang Guru PAK Memahami Filsafat Pendidikan. ............................................... 3
D. Kebutuhan PAK Akan Filsafat Pendidikan ............................................................................ 7
E. Teori Dan Pandangan Tentang Konsep Pendidikan ............................................................... 9
F. Teologi Seorang Guru Pak Mempengaruhi Filsafat Pendidikan Dan Kinerjanya ................ 10
G. Asas Mengajar Seorang Guru Pak Jika Menerapkan Pemikiran Progresivisme .................. 11
H. Pandangan kosmologi, antropologi, teologi, dan ontologi seorang guru Pendidikan Agama
Kristen. ...................................................................................................................................... 12
I. Pemahaman Dan Korelasional Yang Harus Dimiliki Seorang Guru Pak Tentang Etika Dan
Estetika. ..................................................................................................................................... 15
J. Relevansi Teori Empirisme, Nativisme, Dan Konvergensi Dalam PAK. ............................. 16
K. Manfaat Mempelajari Filsafat Pendidikan Agama Kristen. ................................................. 17
BAB III Kesimpulan ..................................................................................................................... 18
Daftar Pustaka ............................................................................................................................... 19
BAB I
Pendahuluan

Filsafat pendidikan kita di Indonesia tidak jelas, karena selama ini dalam setiap jenjang
studi yang ada kita selalu belajar filsafat dari barat sebagai referensi untuk mengkritisi
pendidikan di negara kita. Berdasarkan realitas dan kondisi seperti itu kita masih dianggap
sebagai pemulung ilmu. Berangkat dari anggapan inilah kita coba bangun filsafat pendidikan
sendiri. Walaupun di negara lain masih mengakui landasan filsafah bangsa kita adalah pancasila,
tapi kenyataannya pendidikan di negara kita juga mengalami tambal sulam. Sekalipun demikian,
kita tidak boleh putus asa, tetapi marilah kita coba kembangkan filsafat pendidikan barat yang
ada itu ke dalam filsafat pendidikan kita. Makalah ini akan membahas tentang bagaimana
hakekat dan tujuan filsafat pendidikan dalam pendidikan agama Kristen. Sebab selama ini
filsafat pendidikan agama kristen belum di fahami dengan benar, dan bahkan para pembelajar
kristenpun belum atau tidak mengerti sama sekali filsafat Pendidikan Agama Kristen.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian Filsafat Pendidikan
Menurut The Liang Gie (2004: 61) filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif
terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Landasan dari ilmu itu mencakup:
(1) konsep-konsep pangkal, (2) anggapan-anggapan dasar, (3) asas-asas permulaan, (4) struktur-
struktur teoritis, dan (5) ukuran-ukuran kebenaran ilmiah. Pengertian pendidikan sendiri adalah
usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan
atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Filsafat adalah pandangan hidup
seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang
dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa
dalam hal memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan
menyeluruh dengan segala hubungan. Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah sebagai dasar
dalam bertindak, sebagai dasar dalam mengambil keputusan, untuk mengurangi salah faham dan
konflik serta untuk bersip siaga untuk menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik
potensi fisik, potensi cipta, rasa mapun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusian universal.
Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, harmonis, organis,
dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang
digunakan dalan studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filsafat pendidikan adalah ilmu
yang menyelidiki hakekat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar
belakang, cara dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan, yang berhubungan dengan analisis
kritis terhadap struktur dan kegunaan pendidikan itu. Filsafat pendidikan nasional Indonesia
adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan
yang terdiri atas landasan dan dijiwai oleh falsafah hidup bangsa ”Pancasila” yang diabadikan
demi kepentingan bangs dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan
negara Indonesia. (http://64.203.71.11/kompas-cetak/0609/30/humaniora/2994243.htm)

B. Kegunaan Filsafat Pendidikan


Menurut Nasution (1982: 30-31)guna filsafat pendidikan adalah:

1. filsafat pendidikan menentukan arah kemana anak-anak harus dibawah. Sekolah ialah
suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak-anak ke arah yang di
cita-citakan oleh masyarakat itu.
2. dengan adanya tujuan pendidikan kita mendapat gambaran yang jelas tentang hasil yang
harus kita capai, individu yang bagaimanakah yang harus kita hasilkan dengan usaha
pendidikan kita.
3. filsafat dan tujuan pendidikan menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan itu.
4. filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha
pendidikan. Segala usaha kita tidak terlepas-lepas, melainkan saling berhubungan,
sehingga terdapat suatu kontinuitas dalam perkembangan dan kemajuan anak.
5. tujuan pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya. Hingga manakah tujuan
itu telah tercapai?
6. tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiatan-kegiatan
pendidikan. Kita lebih bergiat mengajar dan mendidik anak kalau kita jelas melihat
tujuannya.

C. Penting Seorang Guru PAK Memahami Filsafat Pendidikan.


Tugas Guru Pendidikan agama Kristen (PAK) yang memiliki misi membentuk akhlak
dan moralitas anak peserta didik (Belandina, 2005: 21) Filsafat pendidikan memang suatu
disiplin yang memang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari filsafat maupun juga
pendidikan. Filsafat pendidikan mengambil persoalan dari pendidikan, sedangkan metodenya
dari filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menurut suatu pemahaman yang tidak hanya tentang
pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu sendiri. Filsafat
pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin unik sebagaimana halnya filsafat
sains.
Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari
filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu
pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan. Suatu usaha untuk mengatasi
persoalan-persoalan pendidikan tanpa kearifan (wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu
yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat.
Filsafat pendidikan adalah ilmu yang menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang
bersangkut-paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan,
yang berhubungan dengan analitis kritis terhadap struktur dan kegunaan pendidikan itu sendiri.
Filsafat pendidikan secara garis besarnya bukanlah filsafat umum atau filsafat murni tetapi
merupakan filsafat khusus atau filsafat terapan. Apabila dilihat dari sudut karakteristik obyeknya,
filsafat dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: (1) filsafat umum atau filsafat murni, dan (2)
filsafat khusus atau filsafat terapan.
Filsafat umum mempunyai obyek antara lain: (a) Hakikat kenyataan segala sesuatu
(metafisika) yang termasuk di dalamnya, hakikat kenyataan secara keseluruhan (Ontology),
kenyataan tentang alam atau kosmos (Kosmology), kenyataan tentang manusia (Humanology)
dan kenyataan tentang Tuhan (Teologi), (b) Hakikat mengetahui kenyataan, (c) Hakikat
menyusun kesimpulan pengetahun tentang kenyataan (Logika), (d) Hakikat menilai kenyataan
(Aksiologi), antara lain tentang hakikat nilai yang berhubungan dengan baik atau jahat (Etika)
serta nilai yang berhubungan dengan indah dan buruk (Estetika).
Filsafat khusus mempunyai obyek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang
terpenting. Filsafat pendidikan merupakan aplikasi dalam pendidikan. Ditinjau dari subtansinya
atau isinya, ilmu pendidikan merupakan suatu sistem pengetahuan tentang pendidikan yang
diperoleh melalui riset dan disajikan dalam bentuk konsep-konsep pendidikan. Dalam arti sempit
pendidikan adalah pengaruh yang diupayakan dan rekayasa sekolah terhadap anak didik yang
diserahkan kepadanya agar mereka mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran
penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka atau pendidikan
memperhatikan keterbatasan dalam waktu, tempat, bentuk kegiatan dan tujuan dalam proses
berlangsungnya pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah
pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi
masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi
pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh
sains pendidikan. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan,
perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta
terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan
tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan .
Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai
pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan
hidup bersama. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik
(guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar
(PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan
meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Filsafat ilmu pendidikan dibedakan dalam empat macam,yaitu: (1) Ontology ilmu
pendidikan yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi ilmu pendidikan, (2)
Epistomologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat objek formal dan material ilmu
pendidikan, (3) Metedologi ilmu pendidikan ,yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja
dalam menyusun ilmu pendidikan, dan (4) Aksiologi ilmu pendidikan yang membahas tentang
hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.
Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima.
Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan
juga produk. (P.H. Hirst & R.S. Peters)

1. Filsafat sebagi proses (philosophy as process)

Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya


adalah aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi
dan pengujian asumsi-asumsi dan kriteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the
evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the
speculative), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d)
integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan
kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh.

Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.

2. Filsafat sebagai produk (philosophy as product)

Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata,
ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi
jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P”
capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan tersusun
dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses
berfilsafat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap,
konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final. (Charles & Hobert)

C. Filsafat Yang Mempengaruhi Pendidikan


1. Progresifisme.
Tokoh progresifisme adalah John Dewey, William James, Hans Vaihinger dan
Ferdinand Schiller dan Georges Santayana. Tujuan progresifisme adalah meningkatkan
masyarakat sosial demokratis. Pemikiran progresifisme: prograsifisme merupakan
pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada
kreatifitas, aktovitas, belajar ”naturalistik,” hasil belajar ”dunia nyata,” dan juga
pengalaman teman sebaya. Progresifisme dinamakan instrumentalis, karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intellegensi manusia sebagai alat untuk hidup,
kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses
pendidikan tentulah berorientasi pada sifat dan hakekat anak didik sebagai manasia yang
berkembang. John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialiasi.
Artinya disini sebagai rposes pertumbuhan dan proses dimana anak didik dapat
mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu,
diding pemisah antara masyarakat dan sekolah perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik
tidak perlu disekolah saja. Jadi sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya
berintegrasi dengan lingkungan sekitarnya. Artinya sekolah adalah bagian dari
masyarakat.
Menurut Prof. Zamroni, Ph.D dalam catatn kuliah filsafat pendidikan disimpulkan
bahwa progresifisme menekankan pada : (a) Education based on needs and interests of
students, (b) Students learn by doing as well as from textbooks, (c) Teaching through
field trips and games, (d) Emphasis on natural and social sciences, (e) Experiential
learning, and (f) Grouping by interest and abilities.

2. Parennialisme
Parennialisme adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap pendidikan
progresifisme yang mengingkari supranatural. Parennialisme adalah gerakan pendidikan
yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada dan bahwa pendidikan itu
hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman kebenaran-kebenaran dan nilai-
nilai tersebut.
Tujuan pendidikan menurut parennialisme adalah membantu anak menyingkap
dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki. Oleh karena kebenaran-kebenaran
tersebut universal dan konstan, maka hendaknya menjadi tujuan-tujuan pendidikan yang
murni. Beberapa pandangan tokoh parennialisme terhadap pendidikan :
1. program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas dasar paham adanya nafsu,
kemauan dan akal (Plato).
2. perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat
sebagai alat untuk mencapainya (Aristoteles).
3. pendidkan adalah menunutun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar
menjadi efektif atau nyata (Thomas Aquinas).
(http://mirnaferdiyawaty-uin-bi-2b.blogspot.com/2008/05/parennialism-
e_26.html- dicopy minggu 26 Oktober 2008)

3. Essensialisme.
Tujuan essensialisme adalah meningkatkan intelektual individu, mendidikan
peserta didik untuk menjadi kompeten. Dalam essensialiseme, pendidikan haruslah
bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi
maksud tersebut, nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas dan yang
telah teruji oleh waktu. Dengan demikian, prinsip essensialisme menghendaki agar
landasan-landasan pendidikan adalah nilai yang essensial dan bersifat menuntun. Nilai
dalam essensialisme adalah membantu peserta didik berfikir rasional, tidak terlalu
berakar pada masa lalu, memperhatikan hal-hal yang kontemporer, memusatkan
keunggulan, bukan kecukupan pemilikan nilai-nilai tradisional. Teori ini mementingkan
mata pelajaran daripada proses.
4. Konstruksivisme.
Menurut faham konstruksivisme pengetahuan diperoleh melalui proses aktif
individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog dan lainnya
melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseiorang.
Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk
menyelesaikan persoalan hidupnya. (http://massofa.wordpress.com/2008/01/15/peranan-
filsafat-pendidikan-dalam-pengembangan-ilmu-pendidikan/.) Teori konstruksifisme
didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan
sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Berdasarkan penjelasan dalam perkualiahan
filsafat pendidikan dengan Prof Zamroni, Ph.D, konstruktifisme menekankan pada : (a)
Centered on the learner, (b) Constant need to make sense of new information, (c)
Scaffolding links new information, and (d) Student and Teacher constantly challenge
assumptions.

D. Kebutuhan PAK Akan Filsafat Pendidikan


Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan proses
perkembangan itu secara almiah adalah kedewasaan, sebab potensi manusia yang paling alamiah
adalah bertumbuh menuju tingkat kedewanaan, kematangan. Potensi ini akan dapat terwujud
apabila prakondisi almiah dan sosial manusia bersangkutan memungkinkan untuk perkembangan
tersebut, misalnya iklim, makanan, kesehatan, dan keamanan, relatif sesuai dengan kebutuhan
manusia. Kedewasaan yang yang bagaimanakah yang diinginkan dicapai oleh manusia, apakah
kedewasaan biologis-jasmaniah, atau rohaniah (pikir, rasa, dan karsa), atau moral (tanggung
jawab dan kesadaran normatif), atau kesemuanya. Persoalan ini adalah persoalan yang amat
mendasar, yang berkaitan langsung dengan sisitem nilai dan standar normatis sebuah
masyarakat. Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah hidup
dan kehidupan manusia, dimana pendidikan agama Kristen merupakan salah satu dari aspek
kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan dan menerima
pendidikan. Oleh karena itu pendidikan agama Kristen memerlukan filsafat. Karena masalah-
masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas pada
pengalaman. Dalam pendidikan agama Kristen akan muncul masalah-masalah yang lebih luas,
lebih dalam, dan lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh pengalmaan maupun fakta faktual,
dan tidak memungkinkan untuk dijangkau oleh ilmu. Seorang guru Pendidikan Agama Kristen,
baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat dan filsafat
pendidikan agama kristen. Seorang guru PAK perlu memahami dan tidak buta terhadap filsafat
pendidikannya, karena tujuan pendidikan selalu berhubungan langsung dengan tujuan kehidupan
individu dan masyarakat penyelenggara pendidikan. Hubungan antar filsafat dengan pendidikan
adalah, filsafat menelaah suatu realitas dengan luas dan menyeluruh, sesuai dengan karateristik
filsafat yang radikal, sistematis, dan menyeluruh. Konsep tentang dunia dan tujuan hidup
manusia yang merupakan hasil dari studi filsafat, akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan
pendidikan. Filsafat pendidikan Kristen haruslah minimal dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan mendasar dalam pendidikan, sebagai berikut. 1. Apakah pendidikan itu? 2. Mengapa
manusia harus melaksanakan pendidikan? 3. Apakah yang seharusnya dicapai dalam proses
pendidikan? 4. Dengan cara bagaimana cita-cita pendidikan yang tersurat maupun yang etrsirat
dapat dicapai? Jawaban atas keempat pertanyaan tersebut akan sangat tergantung dan akan
ditentukan oleh pandangan hidup dan tujuan hidup manusia, baik secara individu maupun secara
bersama-sama (masyarakat/ bangsa). Filsafat pendidikan tidak hanya terbatas pada fakta faktual,
tetapi filsafat pendidikan harus sampai pada penyelasaian tuntas tentang baik dan buruk, tentang
persyaratan hidup sempurna, tentang bentuk kehidupan individual maupun kehidupan sosial
yang baik dan sempurna. Ini berarti pendidikan adalah pelaksanaan dari ide-ide filsafat. Dengan
kata lain, filsafat memberikan asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan, lembaga pendidikan
dan aktivitas penyelenggaraan pendidikan. Jadi, peranan filsafat pendidikan merupakan sumber
pendorong adanya pendidikan. Dalam bentuk yang lebih terperinci lagi, filsafat pendidikan
menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan. Pendidikan merupakan usaha untuk merealisasikan
ide-ide ideal dari filsafat menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, dan pembentukan
kepribadian

E. Teori Dan Pandangan Tentang Konsep Pendidikan

Noeng Muhadjir (2000: 21) menjelaskan beberapa teori pendidikan yaitu unfoldment
theory, formal discipline theory, dan preparation theory. Menurut unfoldment theory tugas
pendidikan adalah membuka atau mengeluarkan potensi laten diarahkan ke tujuan tertentu.
Tujuan tersebut bukan sesuatu di luar subyek, melainkan sebagai potensi dalam subyek itu
sendiri; dan tujuan tersebut tidak lain adalah tuntas atau sempurnanya aktualiasi potensi itu
sendiri. Menurut formal discipline theory, hasil pendidikan haruslah berupa terbentuknya
kemampuan yang dapat digunakan untuk mengerjakan hal-hal penting apapun. Asumsi yang
mendasarinya adalah ada kemampuan yang bersifat umum yang dapat dioperasikan pada kasus-
kasus spesifik manapun. Menurut preparation theory pendidikan berfungsi untuk
mempersiapkan subyek-didik untuk dapat melaksanakan tugas secara sempurna. Tugas pertama
yang tampak oleh penganut teori ini adalah tugas sebagai orang dewasa. Secara kumulatif
aktifitas pendidikan (sebagai obyek studi) meliputi: menuntun-melayani, mengeluarkan potensi
laten, mengembangkan, membentuk, kemampuan umum, dan mempersiapkan.

Selain itu, ada beberapa pandangan tentang konsep pendidikan, antara lain:

1. Pendidikan sebagai manifestasi (education as manifestation).

Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses
untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada
diri setiap anak.

2. Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition)


Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan
kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.

3. Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction)

Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan
bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang
secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya.
Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan
lingkungannya. Di sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang
diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya.
Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada
upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya (P.H. Hirst & R.S. Peters).
F. Teologi Seorang Guru Pak Mempengaruhi Filsafat Pendidikan Dan Kinerjanya.
Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan, atau
merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru. Setiap guru baik
mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyaki-nan
mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pela-jari agar
dapat tinggal dalam kehidupan yang baik. Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan
dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada
tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.
Terdapat hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:
a. Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran.
Komponen penting filsafat pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran
dan pembelajaran, dengan kata lain, apa peran pokok guru? Sebagian guru memandang
pengajaran sebagai sains, suatu aktifitas kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu seni,
pertemuan yang sepontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan siswa. Yang lainnya lagi
memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan dengan pembelajaran, sebagian guru
menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi siswa, yang lainnya menekankan perilaku
siswa.
b. Keyakinan mengenai siswa.
Akan berpengaruh besar pada bagaimana guru mengajar? Seperti apa siswa yang guru yakini, itu
didasari pada pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa menampilkan
hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak didasarkan kepercayaan
dan kemanfaatan.Guru yang memiliki pemikiran filsafat pendidikan mengetahui bahwa anak-
anak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar dan tumbuh.
c. Keyakinan mengenai pengetahuan.
Berkaitan dengan bagaimana guru melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru
akan dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan potongan-potongan
kecil subyek atau fakta yang terpisah.
d. Keyakinan mengenai apa yang perlu diketahui.
Guru menginginkan para siswanya belajar sebagai hasil dari usaha mereka, dimana hal ini
berhubungan dalam keyakinan (teologi)nya yang harus diajarkan kepada murid/siswa.
G. Asas Mengajar Seorang Guru Pak Jika Menerapkan Pemikiran Progresivisme.
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan. Pendidikan
membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan
pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta
lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak
memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui
filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat
pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan
kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan
perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai
tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama. Filsafat
pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Keterbukaan
pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan melahirkan progresivitas pemikiran
guru PAK. Ia menjadi guru PAK yang berpikir ke depan melalui pergaulannya dengan banyak
kalangan dari berbagai situasi dan kalangan. Itulah yang menjadikan pikiran guru PAK tetap.
Guru PAK menggunakan berbagai pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma,
melainkan sebagai alat untuk menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat,
khususnya murid / siswa. Dari situ, dapat memahami guru PAK sebagai orang yang berorientasi
pada masalah yang dihadapi, bukan pada aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan konsep
pendidikan yang dipaparkannya secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persoalan-
persoalan pendidikan yang dihadapi oleh ke-manusia-an di masa hidupnya. Dari pergulatannya
dengan berbagai persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran progresif yang memberi solusi
konstruktif.
H. Pandangan kosmologi, antropologi, teologi, dan ontologi seorang guru Pendidikan
Agama Kristen.
Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
Kosmologi.
Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat
manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Kosmologi secara praktis akan menjadi persoalan
utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki
dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini
diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan.
Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus
tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak. Hakekat manusia: manusia adalah makhluk
jasmani rohani, manusia adalah makhluk individual sosial, manusia adalah makhluk yang bebas,
manusia adalah makhluk menyejarah.

Peran filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui hakekat
manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk
mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi guru mengetahui apa yang harus
diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara
menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi guru memehami yang harus
diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena
pengetahuan tersebut.

Antropologi. Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik
sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada
pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam batas-batas yang
diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka
3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan
juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan
atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu
akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam
situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik
sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Teologi. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat keyakinan yang
dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan
pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui.Hal tersebut akan mewarnai
sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar. Selain itu, pemahaman teologi akan
menjauhkan guru PAK dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam
menyelesaikan masalah-masalah pendidikan. Maka di sini teologi sebagai penerang kuat,
bagaimana seharusnya seorang guru PAK bersikap, baik ke terhadap dirinya maupun terhadap
siswa / murid. Sehingga siswa / murid di bawa ke dalam pola hidup yang benar sesuai dengan
kebenaran yang teologi (Alkitab) ajarkan.

Epistemologi. Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para guru adalah
epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana
kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan
pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah
dari situasi satu kesituasi lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?
Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan
untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus menentukan apa yang benar
mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus menentukan alat yang paling tepat untuk
membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima
cara mengetahui sesuai dengan minat / kepentingan masing-masing guru, yaitu mengetahui
berdasarkan otoritas, wahyu tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi. Guru tidak hanya mengetahui
bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar. Dengan
demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan
kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk
memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan
tersebut.
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan
data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil
ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik
dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca
positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan
sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya
pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai
kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal
harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi
eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar
epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya,
telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada
telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau
problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun
eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat
diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis
(Randall &Buchler,1942).

Ontologis. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek
realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia
pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya,
manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam
situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat
sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau
kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan
dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi
sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual
dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima
terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks
sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai
harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio
sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang
berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara
utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor
umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian
makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas
faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya
akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM
atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi.
Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

I. Pemahaman Dan Korelasional Yang Harus Dimiliki Seorang Guru Pak Tentang Etika
Dan Estetika.
Etika dan estetika merupakan bagian dalam filsafat Aksiologi. Aksiologi adalah cabang
filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan
pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar
pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung, nilai akan
menentukan perbuatan pendidikan. Nilai merupakan hubungan sosial. Pertanyaan-pertanyaan
aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa
untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang
tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik? Pada
intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas
pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan
karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika
ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga
diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat
intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk
menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap
pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan
demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis
antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali
untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix
(1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian
dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya
dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku. Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu
sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi
satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
J. Relevansi Teori Empirisme, Nativisme, Dan Konvergensi Dalam PAK.
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses
pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan
dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau
proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan
interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan
menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan
inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang
jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di
lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai
konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek
terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
Teori / hukum Empirisme (John Locke, tahun 1632 – 1704), dimana perkembangan
pribadi ditentukan oleh lingkungan, terutama lingkungan pendidikan. Manusia laksana kertas
putih. Teori / hukum Nativisme (Arthur Schopenhauer, tahun 1988 – 1860), dimana
perkembangan pribadi manusia hanya ditentukan oleh faktor hereditas atau faktor koderati. Teori
/ hukum konvergensi (William Stern, tahun 1971 – 1938), dimana perkembangan pribadi
manusia merupakan akumulasi dari dari interaksi-sinergis antara potensi dasar dengan
lingkungan pendidikan. Yang menjadi relevansi dari ketiga teori / hukum ini adalah bahwa teori /
hukum konvergensi merupakan gabungan yang sinergis antara teori / hukum Empirisme dan
Nativisme.
Sesuatu dipandang sah dilakukan, jika ada manfaatnya. Manusia akan berkembang jika
berinteraksi dengan lingkungan berdasarkan hereditas dan kemampuan berpikir dalam dirinya.
Sekolah merupakan lingkungan khusus yang menjadi penyambung lingkungan yang lebih
umum. Sekolah berfungsi menyeleksi dan menyederhanakan kebudayaan yang berguna bagi
individu. Belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif dengan pendekatan pemecahan
masalah.
Progresivisme atau gerakan progresif pengembangan teori pendidikan mendasarkan diri pada
beberapa prinsip, yaitu: anak harus bebas berkembang secara wajar, pengalaman langsung picu
utama minat belajar, guru harus menjadi peneliti dan pembimbing anak, Sekolah harus menjadi
ujung tombak reformasi pedagogis dan eksperimen.

K. Manfaat Mempelajari Filsafat Pendidikan Agama Kristen.

Setelah menempuh mata kuliah ini penulis paling tidak kesadaran dan memiliki dasar
pemikiran filosofis dan teoritis mengenai pendidikan dalam lingkup pengajaran makro
berlandaskan epistemologis dan lingkup belajar-mengajar mikro berlandaskan interaksi insani,
memiliki wawasan yang luas dan dalam mengenai berbagai pandangan fislafat dan teori
pendidikan. Penulis mampu pula mengidentifikasi permasalahan pendidikan yang ditemuinya
dalam keseharian pendidikan dan mencarikan jalan keluarnya. Diharapkan juga dengan landasan
ini, penulis akan mampu membina dan mengembangkan program pendidikan serta memecahkan
persoalan pendidikan pada umumnya, dan khususnya yang timbul dan dihadapi di Indonesia baik
dalam rangka otonomi daerah maupun dekonsentrasi pendidikan guru dan Pendidikan Agama
Kristen.”Filsafat Pendidikan Agama Kristen” membahas persoalan filsafati dan teoritis mengenai
pendidikan, baik dasar pemikiran maupun penerapannya dalam praktek serta pemecahan
masalah-masalah mikro dan makro pendidikan, dengan menempatkan permasalahan pendidikan
tersebut pada pemikiran filsafat maupun teoritis. Maka perkuliahan ini juga menyoroti pelbagai
landasan pendidikan, serta pendidikan dalam praktek dengan ilmu pengetahuan termasuk
pedagogik, dengan filsafat pendidikan serta dengan berbagai disiplin keilmuan lain. Dalam studi
ini digunakan pendekatan filsafat, teoritis-sistematis, historis, maupun komparatif, yang mana
dari itu semua dilandasi oleh pemikiran teologi Kristen, sebagai pengejawantahan dari Alkitab.
BAB III

KESIMPULAN

Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalan studi mengenai masalah-masalah
pendidikan. Filsafat pendidikan adalah ilmu yang menyelidiki hakekat pelaksanaan pendidikan
yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya, serta hakikat ilmu
pendidikan, yang berhubungan dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaan pendidikan
itu. Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan
teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang terdiri atas landasan dan dijiwai oleh falsafah
hidup bangsa ”Pancasila” yang diabadikan demi kepentingan bangs dan negara Indonesia dalam
usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiani, Guru dan Filsafat Pendidikan


Belandina, Janse, 2005. Profesionalisme guru dan BIngkai Materi Pendidikan Agama Kristen
SD, SMP, SMA. Bandung: Bina Media Informasi.
Bogdan & Biklen, Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon, 1982.
Campbell & Stanley, Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand
McNelly, 1963.
Charles J. Braunes & Hobert W. Burns. Problems in Education and Philosophy. New York:
Prentice-Hall Inc., 1965
Danim, Sudarwan, 2002. Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme
Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Gordon, Thomas, Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub, 1974.
http://mirnaferdiyawaty-uin-bi-2b.blogspot.com/2008/05/parennialisme_26.html (dicopy minggu
26 Oktober 2008)
http://massofa.wordpress.com/2008/01/15/peranan-filsafat-pendidikan-dalam-pengembangan-
ilmu-pendidikan/ – dikuti 10
(http://64.203.71.11/kompas-cetak/0609/30/humaniora/2994243.htm)
Henderson, SVP, Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press,
1954.
Heryanto, Nunu, Pentingnya Landasan Filsafat Ilmu Pendidikan Bagi Pendidikan (Suatu
Tinjauan Filsafat Sains).
Kneller, George F. , Introduction to the Philosophy of Education. John Willey Sons Inc, New
York, 1971.
Muhadjir, Noeng, 2000. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nasution,1982. Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars,
P.H. Hirst & R.S. Peters. The Logic of Education. London: Routledge & Kegan Paul, 1972.

Anda mungkin juga menyukai