Makalah Das
Makalah Das
Makalah Das
PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah daratan yang dibatasi oleh punggung-
penggung bukit dalam bentang topografis yang memiliki fungsi untuk menampung,
menyimpan dan kemudian mengalirkan seluruh air hujan yang jatuh di atasnya menuju ke
system sungai terdekat, dan pada akhirnya bermuara ke danau atau waduk dan ke laut. Masalah
DAS di negara-negara berkembang umumnya sangat serius. Permasalahan ini dipici karena
laju pertambahan penduduk yang tinggi. Laju pertambahan penduduk ini mengakibatkan
tekanan yang sangat besar terhadap sumber daya lahan. Khususnya di daerah hulu DAS, alih
fungsi dan penebangan hutan untuk pengusahaan hutan atau untuk berbagai kepentigan
misalnya pemukiman, pariwisata, industry, dapat menurunkan fungsi hidrologi hutan sehingga
mengakibatkan erosi dan kerusakan lahan di daerah hulu dan di daerah hilir terjadi sedimentasi
dan resiko banjir. Sebagian besar penduduk di Kawasan DAS adalah tinggal dan bekerja di
Kawasan pedesaan dan sumberdaya lahan sebagai sumber kehidupannya. Karena jmlah
penduduk terus meningkat, maka lahan yang awalnya digunakan untuk usaha pertanian secara
ekstensif dirubah menjadi pertanian yang intensif yang kurang memperhatikan tindakan-
tindakan konservasi tanah dan air. Tanah yang awalnya sering diberakan kemudian ditanami
secara terus-menerus sehingga sangat peka terhadap erosi. Pengusahaan pertanian intensif juga
sering diikuti dengan penurunan kualitas tanah.
1
ekonomi, sosial, politik dan intitusi juga tidak kalah penting. Pertimbangan tersebut terdapat
dalam kegiatan pengelolaan DAS terpadu untuk menciptakan suatu DAS yang berkelanjutan.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
Mencermati DAS sebagai kesatuan tata air yang sebagai gabungan dari sifat-sifat
masing-masing unsur hidrologis yang terdiri dari hujan, evapotranspirasi, aliran sungai, dan
unsur lainnya yang kesemuanya berpengaruh terhadap neraca air maka Hadipurnomo (1990)
merangkum Batasan DAS sebagai berikut:
I. Satu kesatuan wilaya perairan yang menampung, dan menyimpan air hujan yang
jatuh di atsanya kemudian mengalirkannya melalui saluran drainase menuju ke
sungai utama dan berakhir dialirkan ke laut.
3
II. Satu kesatuan ekosistem yang memiliki komponen utamanya berupa sumberdaya
alam berupa flora, fauna, tanah dan air, juga sumberdaya manusia dengan berbagai
aktivitasnya yang saling berinteraksi satu sama lain.
Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal
dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal
dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan DAS dipahami
sebagai suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat
manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat
produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, yang
dalam hal ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan
keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Chay Asdak, 1998).
4
mengatur DAS. Kesulitan utama dalam pengelolaan DAS di Indonesia adalah sulitnya
memadukan kegiatan antar sektor. Adanya egoisme kedaerahan yang berlebihan telah
menyebabkan masingmasing pemerintah kota/kabupaten merasa hanya bertanggungjawab
pada wilayah administrasinya sendiri. Padahal pengelolaan lingkungan selalu menuntut beyond
the administrative boundary karena ciri-ciri ekologisnya. Lingkungan, seharusnya dikelola
dengan prinsip bioregionalism. Dengan egoisme daerah, akan terjadi saling lempar
tanggungjawab jika terjadi kasus-kasus kerusakan lingkungan (Hadi, 2005).
Untuk menyelenggarakan pengelolaan DAS terpadu dari hulu ke hilir secara utuh
diperlukan perencanaan yang komprehensif, yang mengakomodasikan dan melibatkan
berbagai pemangku kepentingan (stakeholder). Maksud dari perencanaan ini adalah untuk
menghindari perencanaan yang saling bertabrakan atau mungkin overlapping satu sama lain.
Adanya partisipasi stakeholders atau aktor-aktor dalam proses perumusan rencana atau
perencanaan telah mendorong terbentuknya jejaring kebijakan (policy network). Jejaring
kebijakan adalah suatu hubungan yang terbentuk akibat koalisi diantara aktor pemerintah, dan
masyarakat termasuk privat. (Warden, 1992).
Kenabatho dan Montshiwa (2006) dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa ada
beberapa indikasi bahwa badan pengelola air ingin bergerak menuju ke arah pengelolaan
sumber daya air terpadu, perlu adanya perubahan pragmatis terhadap cara sumber daya air
dikelola dan digunakan pergeseran lengkap dari sektoral menjadi manajemen terpadu, dari atas
ke bawah menjadi partisipasi stakeholder, dan pendekatan demand responsive, dari komando
dan kontrol ke bentuk yang lebih kooperatif dan distributif, dari closed expert-driven and self-
monitoring management menjadi lebih terbuka, transparan dan komunikatif, semua ditujukan
untuk manajemen sumber daya air yang efektif. pengelolaan sumber daya air yang terpadu
menjadi jalan yang harus ditempuh dengan manajemen yang terbuka dan melibatan
stakeholders. Hal ini harus dilakukan untuk mendapatkan kemanfaatan secara sosial ekonomi
secara maksimal dengan tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian sumber daya dalam
jangka panjang.
Menurut Dixon dan Easter (1986), pengelolaan DAS didefinisikan sebagai proses
formulasi dan implementasi dari suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut sumber daya alam
dan manusia dalam suatu DAS dengan memperhitungkan kondisi sosial, politik, ekonomi dan
faktor-faktor institusi yang ada di DAS dan di sekitarnya untuk mencapai tujuan sosial yang
spesifik. Pengelolaan DAS bukan hanya hubungan antar biofisik, tetapi juga merupakan
5
pertalian dengan faktor ekonomi dan kelembagaan. Dengan demikian perencanaan pengelolaan
DAS perlu mengintegrasikan faktorfaktor biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan untuk
mencapai kelestarian berbagai macam penggunaan lahan di dalam DAS yang secara teknis
aman dan tepat, secara lingkungan sehat, secara ekonomi layak, dan secara sosial dapat
diterima masyarakat (Brooks, et al., 1990).
6
III. PEMBAHASAN
Definisi Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sedangkan menurut Asdak
(2010), DAS adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi punggung-
punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian
menyalurkannya ke laut melalui sungai utama.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang tersusun atas
komponen-komponen biofosik dan sosial (human systems) yang dipandang sebagai satu
kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain (Dharmawan et al. 2005). Menurut Manan (1976)
sebagaimana dikutip Dharmawan et al. (2005), DAS didefinisikasn sebagai bentang lahan yang
dibatasi oleh topografi pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung bukit atau gunung
yang menangkap curah hujan, menyimpan dan kemudian mengalirkannya melalui saluran-
saluran pengaliran ke suatu titik (outlet) yang umumnya berada di muara sungai biasa atau
danau.
Menurut Kartodihardjo et al. (2004), definisi DAS dari sudut pandang institusi bukan
menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS, batas yurisdiksi pihak-pihak
yang berada dalam DAS maupun bentuk-bentuk aturan perwakilan yang diperlukan dalam
pengambilan keputusan seputar caracara yang digunakan (teknologi), melainkan bagaimana
para pihak mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk mewujudkan aturan main diantara
mereka, termasuk kesepakatan dalam penggunaan teknologi itu sendiri, sehingga masing-
masing pihak mempunyai kepastian hubungan yang sejalan dengan tujuan yang telah
ditetapkan.
Pendefinisian DAS dalam konsep daur hidrologi sangat diperlukan terutama untuk
melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara.
Chay Asdak (2002) sebagaimana dikutip Dephut (2003c ), menjelaskan konsep daur hidrologi
DAS bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi
air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit
7
aliran. Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari: manusia, hewan, vegetasi,
tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen 8 tersebut memiliki sifat yang khas dan
keberadaannya tidak berdiri sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya
membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting
dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu
komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang
berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar
komponen berjalan dengan baik dan optimal.
Fungsi hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, geologi
yang mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS
menurut Farida et al. (2005) untuk: (1) mengalirkan air; (2) menyangga kejadian puncak hujan;
(3) melepas air secara bertahap; (4) memelihara kualitas air; dan (5) mengurangi pembuangan
massa (seperti tanah longsor). Aktivitas yang mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu
akan mempengaruhi kondisi DAS bagian tengah dan hilir. Batas DAS secara administratif
hanya dapat tercakup dalam satu kabupaten hingga melintas batas provinsi dan negara. Suatu
DAS yang sangat luas dapat terdiri dari beberapa sub DAS yang kemudian dapat
dikelompokkan lagi menjadi DAS bagian hulu, DAS bagian tengah dan DAS bagian hilir
(Dephut 2003 c). Fungsi dari setiap sub DAS tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, DAS bagian hulu dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan
DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. DAS bagian hulu
dicirikan sebagai daerah dengan lanskap pegunungan dengan variasi topografi, mempunyai
curah hujan yang tinggi dan sebagai daerah konservasi untuk mempertahankan kondisi
lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama
dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan
menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport
sedimen sistem aliran airnya.
Kedua, DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang
dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial 9 dan ekonomi, yang antara
lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan
ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai,
waduk, dan danau.
8
Ketiga, DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola
untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan
melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan
terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Bagian hilir
merupakan daerah pemanfaatan yang relatif landai dengan curah hujan yang lebih rendah.
Semakin ke hilir, mutu air, kontinuitas, kualitas dan debit akan semakin berkurang kualitasnya
dibandingkan dengan DAS bagian hulu. Hal ini terjadi karena badan air di hulu tercemari oleh
kegiatan-kegiatan manusia baik domestik maupun industri, sehingga badan air di bagian hilir
mengalami kondisi dan kualitas yang kurang baik. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu
yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan
sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS di bagian hilir,
baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara
keseluruhan.
9
7. Pendekatan DAS dapat diintegrasikan sebagai bagian dalam suatu program misalnya
program kehutanan, pertanian, konservasi tanah, dan
pengembangan/pemberdayaan/pendampingan masyarakat pedesaan.
Di dalam DAS, seperti hal nya air selalu mengalir kearah hilir, secara tidak langsung
menciptakan suatu dimensi yang kuat untuk melihat hubungan sebab dan akibat. Tanah, unsur
hara, dan bahan-bahan kimia pertanian umumnya bias berpindah melalui media air. Manusia
juga bergerak ke arah yang tergantung pada berbagai pengaruh, seperti kesempatan kerja dan
kesempatan berdagang. Pergerakan-pergerakan tersebut cenderung dipengaruhi paling tidak
sebagian oleh topografi dalam DAS.
Lahan daerah hulu dan daerah hiir dalam DAS dihubungkan lewat siklus hidrologi.
Oleh karena itu banyak dampak aktivitas penggunaan lahan dalam ekosistem (baik daerah hulu
dan daerah hilir) terkait dengan perubahan proses hidrologi. Berdasarkan alassan fisik dan
hidrologis, DAS merupakan daerah yang secara geografis terjadi secara alami dapat ditetapkan
sebagai sebuah satuan perencanaan dan manjemen sumberdaya alam. Bila kegiatan manajemen
sumberdaya alam diterapkan, hampir semua keuntungan dan biaya akan dirasakan oleh
masyarakat dalam DAS dan termasuk Kawasan pesisirnya. Banyak dampak yang kurang atau
tidak bias diperhitungkan bila digunakan satuan oendekatan DAS. Jadi penetapan DAS sebagai
satuan manajemen sumberdaya alam paling tidak memiliki tiga keuntungan (EPA, 1996), yaitu
(a) kualitas perbaikan lingkungan yang akan dicapai bias lebih baik, (b) dapat menghemat
waktu dan pembiayaan dan (c) dapat menggalang dukungan sosial lebih luas.
Mengkaji Daerah Aliran Sungai dewasa ini tidak mungk in hanya didasarkan kepada
satu atau beberapa undang-undang yang sejenis atau sebidang. Daerah aliran sungai harus
dipandang sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh-menyeluruh yang terdiri dari daerah
tangkapan air, sumber-sumber air, sungai, danau, dan waduk, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahpisahkan.
1. Undang-Undang Dasar
a) Alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
b) Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (akan diamandemen).
10
2. Ketetapan MPR
a) Ketetapan MPR No. IX/ MPR/ 1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR No. II/ MPR/
1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
b) Ketetapan MPR No. X/ MPR/ 1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan
dalam
rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
3. Undang-Undang
a) Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
b) Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan.
c) Undang-undang No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara.
d) Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
e) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
f) Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
g) Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
h) Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
i) Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
j) Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat
dan Daerah.
k) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
4. Peraturan Pemerintah
a) Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2001 tentang tentang Irigasi.
b) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
c) Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai.
d) Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban,
serta
Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
e) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan.
11
f) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
5. Keputusan Presiden
a) Keputusan Presiden No. 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber
Daya Air.
b) Keputusan Presiden No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah.
c) Keputusan Presiden No. 163 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara.
d) Keputusan Presiden No. 183 Tahun 2000 tentang Susunan dan Personalia Kabinet.
Pengelolaan DAS dengan pendekatan kebijakan publik (commons) muncul pada era
1980-an. Pada awalnya tidak dapat dibayangkan bahwa semua yang dimiliki bersama dapat
dikelola dengan baik. Pembentukan Komite Pengguna (di Indonesia dikenal dengan sebutan
Forum DAS) yang mewakili berbagai kelompok kepentingan di DAS dan memiliki kekuasaan,
yang tampaknya dibentuk hanya untuk mendapatkan dana proyek adalah salah satu bentuk
pendekatan yang dipilih (Kerr dan Pender 1996). Berdasarkan observasi lapangan keberadaan
institusi tersebut dirasakan memenuhi harapan yang lebih besar daripada yang diduga
meskipun belum mencukupi untuk mampu mengendalikan kerusakan sumberdaya yang sedang
dikelola. Berdasarkan hasil observasi lapangan disarankan untuk meningkatkan aspek-aspek
saling percaya (trust), reputasi (reputation), dan hubungan timbal balik (reciprocity) (Ostrom,
1998). Suatu kelompok masyarakat di tingkat lokal (desa/kecamatan) yang mempunyai tingkat
saling percaya tinggi, norma-norma yang kuat untuk mendukung terjadinya hubungan timbal
balik yang selaras, serta anggota kelompok dengan mempunyai reputasi yang baik, akan mudah
menyelesaikan masalah dilema sosial dan mudah menjalankan aksi bersama dalam pengelolaan
DAS secara terpadu. Pengelolaan sumberdaya mungkin saja diatur sendiri oleh para
anggotanya (selfgovernance) secara bersama, asalkan kebutuhan informasi tentang
karakteristik sumberdaya alam tersedia dan kekuasaan untuk menjalankan aturan yang dibuat
sendiri tersebut tetap terus berjalan, berdasarkan pemberian kewenangan pengelola
sumberdaya di tingkat lokal (kecamatan/kota/kabupaten) dengan pemerintah daerah yang lebih
tinggi (propinsi/pusat). Pemerintah propinsi/pemerintah pusat juga perlu menyediakan
informasi tentang karakteristik 17 sumberdaya alam yang sedang dikelola dan memberi
pengakuan hak dan kewenangan terhadap lembaga lokal tersebut.
12
Ada 5 faktor kondusif yang mendukung munculnya lembaga-lembaga lokal untuk
mengelola bersama sumberdaya milik bersama tersebut (Wade, 1988; Ostrom, 1990; Baland
dan Platteau, 1996; Agrawal, 2001 dalam Kerr, 2007)., yakni:
1. Faktor karakteristik sumber daya, dengan delapan atribut yang menguntungkan yakni:
(a) ukuran sumberdaya yang kecil; (b) batas-batas wilayah yang terdefinisi dengan baik;
(c) mobilitas penduduk yang rendah; (d) penyimpanan manfaat yang memungkinkan;
(e) kepastian; (f) kelayakan meningkatkan sumber daya; (g) penelusuran manfaat untuk
intervensi manajemen, dan; (h) ketersediaan indikator kondisi sumber daya. Jarang
sekali dijumpai DAS yang memiliki semua atribut tersebut; 2.
2. Faktor karakteristik kelompok;
3. Faktor hubungan antara sistem sumberdaya dengan kelompok;
4. Faktor kelembagaan dan;
5. Faktor lingkungan eksternal
Selanjutnya Schlager dan Ostrom, 1992 (dalam Kerr, 2007) mengemukakan bahwa
alokasi hak dan kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya alam menentukan tujuan siapa
yang akan dipertimbangkan, pilihan manajemen seperti apa yang akan digunakan, waktu dan
lama pengelolaan dilakukan, penggunaan teknologi, serta jumlah modal yang digunakan dalam
pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian manajemen pengelolaan
sumberdaya alam menentukan keputusan siapa yang diuntungkan, waktu, tujuan serta bentuk
interaksi antar pihak yang dikehendaki. Dengan kata lain, keputusan mengenai manajemen
pengelolaan sumberdaya alam adalah memutuskan siapa yang akan mendapat hak atas
penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut; keputusan mengenai manajemen
pengelolaan sumberdaya alam adalah cermin motivasi apa yang digunakan dalam pengelolaan
sumberdaya alam sejalan dengan tujuan pelestarian dan keadilan sosial yang ingin dicapai.
Tentu saja ini masalah berat pembangunan yang didanai proyek secara sektoral. Itulah
sebabnya mengapa prinsip-prinsip Ostrom tersebut sulit untuk dapat digunakan sebagai sebuah
blueprint dari pengelolaan DAS yang terpadu.
Menurut Departemen Kehutanan urutan prioritas pengelolaan DAS perlu dikaji ulang,
dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan
pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang berkembang pada saat
ini; (2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansi
terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS, mengingat
13
operasionalisasi konsep DAS terpadu sebagai satuan unit perencanaan dalam pembangunan
selama ini masih terbatas pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan air, sedangkan
organisasi (Forum DAS) masih bersifat ad.hoc, dan belum melembaga dan terpola secara utuh;
dan (3) perubahan arah pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi.
Kebijakan dan strategi pengelolaan DAS Terpadu menurut Kartodihardjo (2009) antara
lain adalah:
14
peraturan perundangan, perencanaan pembangunan dan perijinan. Valuasi ekonomi
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan harus menjadi pertimbangan dalam
pengelolaan DAS terpadu. Berbagai alternatif sumber pendanaan perlu dikembangkan
untuk pengelolaan dan pelestarian DAS yang melibatkan para pihak yang
berkepentingan seperti mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan baik untuk skala
lokal, nasional maupun internasional.
5. Pembenahan bentuk kerjasama antar daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.
50 Tahun 2007. Koordinasi antar pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan DAS
dapat dilakukan oleh Forum DAS yang mempunyai peran dan fungsi antara lain sebagai
koordinator dalam perencanaan, mediator dalam ketidaksepahaman, fasilitator dalam
koordinasi, akselerator dalam implementasi, dan inovator dalam penerapan teknologi.
Basis data dan Sistem informasi DAS perlu lebih dikembangkan oleh Forum DAS
sesuai dengan karakteristik masing-masing dan dibuat oleh POKJA sedemikian rupa
sehingga mudah dikelola dan diakses oleh semua pihak termasuk menyediakan
buletin/jurnal forum DAS. Selain itu pembentukan dan atau pengembangan Forum
DAS harus memperhatikan aspirasi masyarakat pada tingkat lapangan.
Pengelolaan DAS Terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan yang bersifat
partisipatif dari berbagai pihak - pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkan dan
konservasi sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan partisipatif ini mempersyaratkan
adanya rasa saling mempercayai, keterbukaan, rasa tanggung jawab, dan mempunyai rasa
ketergantungan (interdependency) di antara sesama stakeholder. Demikian pula masing-
masing stakeholder harus jelas kedudukan dan tanggung jawab yang harus diperankan. Hal lain
yang cukup penting dalam pengelolaan DAS terpadu adalah adanya distribusi pembiayaan dan
keuntungan yang proporsional di antara pihak - pihak yang berkepentingan. Dalam
melaksanakan pengelolaan DAS, tujuan dan sasaran yang diinginkan harus dinyatakan dengan
jelas.
15
1. Terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal.
2. Meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan
masyarakat.
3. Tertata dan berkembangnya kelembagaan formal dan informal masyarakat dalam
penyelenggaraan pengelolaan DAS dan konservasi tanah.
4. Meningkatnya kesadaran dan partisipasi mayarakat dalam penyelenggaraan
pengelolaan DAS secara berkelanjutan.
5. Terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan
berkeadilan.
Oleh karena itu, perumusan program dan kegiatan pengelolaan DAS selain harus
mengarah pada pencapaian tujuan dan sasaran perlu pula disesuaikan dengan permasalahan
yang dihadapi dengan mempertimbangkan adanya pergeseran paradigma dalam pengelolaan
DAS, karakteristik biogeofisik dan sosekbud DAS, peraturan dan perundangan yang berlaku
serta prinsip-prinsip dasar pengelolaan DAS.
16
menyeluruh pengelolaan DAS adalah perbaikan keadaan sosial-ekonomi pihak – pihak yang
berkepentingan dengan tidak mengabaikan keterlanjutan daya dukung dan kualitas lingkungan.
Karena pengelolaan DAS dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas, maka pemerintah dan
masyarakat harus bekerjasama untuk mewujudkan tujuan dilakukannya pengelolaan DAS.
Tingkat dan intensitas kerjasama tersebut bervariasi dan ditentukan, antara lain, oleh struktur
pemerintahan. Suatu pemerintahan, dimanapun berada, dibentuk untuk menga tur kehidupan
masyarakat termasuk tingkat kesejahteraannya. Oleh karena itu, pemerintahan yang baik
seharusnya dapat mengupayakan agar kesejahteraan tersebut dapat dirasakan oleh berbagai
tingkatan (sosial) yang ada di masyarakat.
Prinsip yang berlaku umum mempersyaratkan bahwa perencanaan yang disiapkan
secara sistematis, logis, dan rasional seharusnya mengarah pada bentuk pengelolaan yang
bijaksana dan implementasi yang efektif. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa proses
perencanaan dan implementasi program akan berlangsung dengan efektif apabila disertai
pedoman kerja yang berisi prinsip-prinsip perencanaan yang, antara lain, terdiri atas:
1. Tujuan atau sasaran utama pengelolaan DAS secara menyeluruh harus dirumuskan
secara jelas dengan disertai mekanisme sistem monitoring dan evalusi yang dilakukan
secara periodik. Dengan demikian, apabila ditemukan adanya dampak lingkungan yang
cukup serius dapat segera ditangani. Seluruh usulan kegiatan dan hasil yang diperoleh
harus berorientasi pada kepentingan jangka panjang dan capaian kesejahteraan yang
berkelanjutan.
2. Perlu disiapkan mekanisme administrasi yang efisien dengan fokus perhatian pada
aspekaspek sosial-ekonomi-politik dan kerjasama yang harmonis di antara lembaga-
lembaga (pemerintah dan non-pemerintah) yang terlibat dalam pengelolaan DAS.
Proses perencanaan DAS harus dilakukan secara terkoordinasi oleh instansi yang
berwenang dengan metoda partisipatif diantara para pihak yang terkait.
3. Pengelolaan menyeluruh DAS diarahkan pada penyelesaian konflik yang muncul di
antara pihak – pihak yang berkepentingan dalam melaksanakan pembangunan. Pada
kasus ketika terjadi konflik, kompromi yang telah dicapai di antara kelompok yang
mengalami konflik harus dihormati dan dilaksanakan dengan konsisten. Selain masalah
penyelesaian konflik (conflict resolution), pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS
juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip upaya pengendalian dan proses umpan
balik yang mengarah pada proses pengambilan keputusan yang optimal.
4. Rencana yang telah tersusun harus merupakan dokumen publik yang diumumkan (bisa
diakses) secara terbuka oleh masyarakat dan masyarakat berhak menyatakan keberatan
17
atas rencana yang disusun dalam waktu tertentu. Dengan demikian instansi berwenang
harus melakukan peninjauan kembali terhadap rencana pengelolaan DAS sebelum
ditetapkan oelh pejabat yang berwenang.
Meskipun disadari bahwa proses perencanaan pengelolaan DAS bervariasi tergantung
pada karakteristik sosial, budaya, ekonomi, dan politik lokal, pembahasan tentang proses
perencanaan untuk pengelolaan DAS mengacu pada Gambar 3.3. Dalam proses perencanaan
tersebut dalam Gambar 3.3, kedudukan Pusat Perencanaan sangat penting karena akan
memberikan arah pengelolaan yang akan dituju serta menunjukkan bentuk koordinasi yang
dianggap efektif.
18
perencanaan harus dinyatakan dan diatur dengan jelas melalui suatu pedoman kebijakan dan
kerangka kerja kelembagaan.
Dalam konteks perencanaan pengelolaan DAS, proses perencanaan pengelolaan DAS
tersebut dalam Gambar 3.3 mempunyai dasar pertimbangan sebagai berikut: pertama, dengan
diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, proses perencanaan
tersebut dalam Gambar 3.3 menjadi relevan karena fokus UU No. 22 adalah memberikan
peranan yang lebih besar terhadap pemerintah daerah dan mitranya di daerah. Salah satu
kewenangan yang dilimpahkan ke daerah dan bersifat strategis adalah penetapan kriteria
penataan perwilayahan ekosistem daerah tangkapan air pada daerah aliran sungai (Bab II Pasal
2 butir ke 13, PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom).
Dengan aturan seperti diamanatkan oleh PP No. 25, maka pembentukan Pusat
Perencanaan seperti tersebut dalam Gambar 3.3 menjadi sangat relevan. Pertimbangan kedua
adalah dengan semakin meluasnya kehendak masyarakat untuk membuat Undang-Undang
tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam yang akan menaungi dan mengendalikan Undang-
Undang pengelolaan sumberdaya alam sektoral yang telah berlaku, misalnya UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan; UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, dan UU No. 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, maka pola perencanaan menyeluruh
pengelolaan DAS tersebut di atas juga menjadi relevan, terutama peran yang akan dimainkan
oleh Komisi DAS Nasional.
3.5.2. Proses Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu
Hal yang penting diperhatikan dalam penyusunan rencana pengelolaan DAS adalah
bahwa perencanaan adalah suatu proses berulang (iterative process). Perencanaan tersebut
mengatur langkah-langkah atau aktivitas-aktivitas pengelolaan DAS yang harus dilaksanakan
termasuk rencana monitoring dan evaluasi (monev) terhadap tujuan dan sasaran yang
ditetapkan. Dengan demikian, dapat tercipta suatu mekanisme umpan balik (feedback)
terhadap keseluruhan rencana pengelolaan DAS sehingga dapat dilakukan perbaikan terhadap
rencana yang telah disusun.
19
Proses berulang (iterative process) perencanaan Pengelolaan DAS
Perencanaan pengelolaan DAS terpadu mempersyaratkan adanya beberapa langkah-langkah
penting sebagai berikut:
1. Pengumpulan data yang ekstensif, didukung oleh strategi pengelolaan data yang
terpadu, perlu dilaksanakan sebelum rencana pengelolaan DAS dirumuskan.
Pengumpulan data ini terutama identifikasi karakteristik DAS yang, antara lain,
mencakup batas dan luas wilayah DAS, topografi, geologi, tanah, iklim, hidrologi,
vegetasi, penggunaan lahan, sumberdaya air, kerapatan drainase, dan karakteristik
sosial, ekonomi dan budaya.
2. Identifikasi permasalahan yang meliputi aspek penggunaan laha n, tingkat kekritisan
lahan, aspek hidrologi, sosial ekonomi dan kelembagaan seperti terlihat pada Gambar
3.2. Prakiraan-prakiraan tentang kebutuhan sumberdaya alam (dan buatan) untuk
beragam pemanfaatan perlu dilakukan dan dikaji potensi timbulnya konflik di antara
pihak – pihak yang berkepentingan.
3. Perumusan tujuan dan sasaran secara jelas, spesifik dan terukur dengan memperhatikan
permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa dari ekosistem DAS, peraturan dan
20
kebijakan pemerintah, adat istiadat masyarakat dan kendala-kendala yang dihadapi
dalam pelaksanaan pengelolaan DAS.
4. Identifikasi dan memformulasikan beberapa rencana kegiatan sebagai alternatif.
5. Evaluasi alternatif kegiatan pengelolaan yang akan diimplementasikan sehingga dapat
dihasilkan bentuk kegiatan yang paling tepat (secara teknis dapat dilaksanakan, secara
sosial/politik dapat diterima, dan secara ekonomi terjangkau).
6. Penyusunan rencana kegiatan/program pengelolaan DAS berupa usulan rencana yang
dianggap paling memenuhi kriteria untuk tercapainya pembangunan yang
berkelanjutan.
7. Legitimasi dan sosiallisasi rencana yang telah disusun kepada pihak-pihak yang terkait.
Dalam Gambar 3.1, mekanisme pelaksanaan pengelolaan DAS mempersyaratkan
bahwa tahap perencanaan dan implementasi tidak boleh dipisahkan karena informasi
yang diperoleh dari implementasi kegiatan dapat dimanfaatkan kembali sebagai umpan
balik (feedback) untuk penyempurnaan rencana yang telah dibuat. Demikian pula,
untuk setiap langkah pengelolaan dari mulai alternatif kegiatan hingga implementasi
kegiatan perlu dilakukan monitoring dan evaluasi (review). Hal ini diperlukan sebagai
umpan balik bertahap.
21
Kegiatan yang diusulkan dalam rencana disamping mendukung pencapaian tujuan
kegiatan pengelolaan DAS, juga harus memberikan gambaran yang jelas tentang:
a) Fungsi dan kedudukan kegiatan dalam konteks pengelolaan DAS.
b) Manfaat yang diperoleh dengan dilakukannya kegiatan.
c) Kurun waktu yang diperlukan dalam melaksanakan kegiatan.
d) Cakupan wilayah untuk pelaksanaan kegiatan.
e) Pelaksana kegiatan dan kelembagaan yang diperlukan.
f) Pembiayaan termasuk sarana dan prasara yang diperlukan.
g) Ketatalaksanaan/organisasi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan.
Rencana kegiatan tersebut terinci pada masing-masing program dengan skala prioritas
yang jelas, dipilih sesuai dengan permasalahan yang menonjol pada DAS yang bersangkutan.
Misalnya kegiatan untuk pengelolaan ruang, lahan dan vegetasi, kegiatan untuk menunjang
pengelolaan sumberdaya air (water resources management), dan kegiatan untuk pemberdayaan
dan partisipasi masyarakat (empowering and public participation).
Dalam penyusunan rencana kegiatan pengelolaan DAS perlu mengintegrasikan dengan
rencana tata ruang dan penatagunaan tanah, mempertimbangkan hubungan daerah hulu dan
daerah hilir, serta aspek penanggungan biaya bersama (cost sharing). Seperti telah
dikemukakan di muka bahwa batas ekosistem DAS tidak selalu sama (coincided) dengan batas
administratif. Satu wilayah administratif secara geografis dapat terletak pada satu wilayah DAS
atau sebaliknya.
Apabila hal ini terjadi, diperlukan identifikasi tentang wilayah administratif yang
termasuk/tidak termasuk dalam DAS yang menjadi kajian. Disamping itu, adanya keterkaitan
biofisik antara hulu dan hilir DAS perlu juga dilakukan identifikasi, penentuan lokasi, kategori
dan bentuk aktifitas pihak – pihak yang berkepentingan dalam suatu DAS. Selanjutnya,
dirumuskan kebijakan pengelolaan DAS yang telah mempertimbangkan mekanisme, regulasi
dan pengaturan kelembagaan yang akan menerapkan prinsip-prinsip insentif dan disinsentif
terhadap pihak – pihak yang berkepentingan sesuai dengan kategori dan kedudukannya dalam
perspektif prinsip pembiayaan bersama (cost sharing principle). Dengan demikian,
pelaksanaan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu DAS dapat dilaksanakan secara
berkelanjutan dengan adanya biaya dari pihak – pihak yang berkepentingan yang mendapat
manfaat sebagai akibat adanya kegiatan tersebut. Dengan mekanisme ini terjadi interaksi di
antara pihak – pihak yang berkepentingan di
daerah hulu, tengah dan hilir DAS.
22
3.6. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Pengolalaan DAS Terpadu
Selama ini sejumlah kegiatan dan proyek yang berkaitan dengan pengelolaan DAS telah
dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kehutanan dan Perkebunan,
Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Departemen
Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Departemen Pertambangan dan Energi dan
pihakpihak lainnya. Masing-masing instansi mempunyai pendekatan yang berbeda dalam
kegiatan pengelolaan DAS baik dalam unit perencanaan maupun implementasinya sehingga
dapat dikatakan bahwa pengelolaan DAS merupakan hal yang sangat kompleks baik ditinjau
dari banyaknya pihak yang terlibat maupun aspek-aspek yang ada di dalam suatu DAS. Dengan
kondisi yang demikian maka dibutuhkan suatu sistem yang dapat menciptakan percepatan
dalam pengelolaan DAS secara ideal.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
masing-masing lembaga tersebut cenderung bersifat sektoral, dan oleh karenanya, seringkali
terjadi tabrakan kepentingan (conflict of interest) antar lembaga yang terlibat dalam
pengelolaan DAS. Untuk menghindari terjadinya tabrakan kepentingan, diperlukan klarifikasi
dan identifikasi secara jelas tugas dan wewenang masing-masing lembaga dalam menjalankan
fungsinya. Selain masalah tabrakan kepentingan, masalah lain yang umum terjadi dalam
pengelolaan sumberdaya yang melibatkan banyak lembaga adalah masalah kerjasama dan
koordinasi antar lembaga. Oleh karena itu, pengaturan kelembagaan dan regulasi yang
mengatur mekanisme kerja antar lembaga tersebut harus disiapkan dengan matang sehingga
dapat menghasilkan pola kerjasama dan koordinasi yang optimal.
Menyadari adanya keterbatasan dalam hal kapasitas kelembagaan dan besarnya tingkat
kesulitan dalam melaksanakan pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan DAS, terutama
dalam sistem pengelolaan yang mengandalkan pada pola kerjasama dan koordinasi antar
lembaga, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah:
a) Melakukan identifikasi dan membuat daftar seluruh lembaga dan pihak yang berkepentingan
dalam pelaksanaan pengelolaan DAS termasuk mereka yang diprakirakan akan terkena
dampak atas pelaksanaan program pengelolaan DAS.
b) Melakukan identifikasi tugas dan wewenang masing-masing lembaga dan pihak – pihak
yang berkepentingan tersebut.
c) Merumuskan bentuk lembaga atau badan pengelola DAS yang sesuai dengan karakteristik
biogeofisik dan sosekbud serta letak geografis DAS.
23
Bentuk lembaga pengelola DAS dalam arti mempunyai tugas operasional dapat dipilih dari tiga
bentuk lembaga sebagai berikut:
1. Badan Koordinasi
Sebagai koordinator adalah instansi yang berwenang mengkoordinasikan
penyelenggaraan pengelolaan DAS. Pelaksana operasional dan pemeliharaan
dilaksanakan oleh instansi fungsional terkait.
2. Badan Otorita
Badan ini dibentuk oleh pemerintah sebagai pelaksana dengan tugas mengurus dan
mengusahakan pemberdayaan Daerah Aliran Sungai dengan kebijakan-kebijakan yang
ditetapkan oleh Dewan Air (Komisi DAS).
3. Badan Usaha
Badan Usaha (dalam bentuk BUMN atau BUMD) dibentuk oleh pemerintah atau
Pemerintah Daerah yang ditugasi mengusahakan DAS sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan oleh Dewan Air (Komisi DAS).
24
b. Keanggotaan Komisi DAS.
Keanggotaan Komisi DAS tersebut terdiri atas wakil seluruh pihak – pihak yang
berkepentingan, yaitu:
25
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang tersusun atas
komponen-komponen biofosik dan sosial (human systems) yang dipandang sebagai
satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain.
2. Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari: manusia, hewan, vegetasi,
tanah, iklim, dan air yang memiliki sifat khas dan keberadaannya berhubungan
dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem).
3. Aktivitas yang mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan mempengaruhi
kondisi DAS bagian tengah dan hilir.
4. Penetapan DAS sebagai satuan manajemen sumberdaya alam paling tidak memiliki
tiga yaitu (a) kualitas perbaikan lingkungan yang akan dicapai bias lebih baik, (b)
dapat menghemat waktu dan pembiayaan dan (c) dapat menggalang dukungan sosial
lebih luas.
5. Dalam melaksanakan pengelolaan DAS, tujuan dan sasaran yang diinginkan harus
dinyatakan dengan jelas.
6. Bentuk lembaga pengelola DAS dalam arti mempunyai tugas operasional dapat
dipilih dari tiga bentuk Lembaga yaitu Badan Koordinasi, Badan Otorita, dan Badan
Usaha.
26