CJR Biogeografi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

CRITICAL JURNAL REVIEW

BIOGEOGRAFI

DOSEN PENGAMPU:
Dra. Nurmala Berutu, M.Pd.

M.Farouq Ghazali, S.Pd., M.Sc.

OLEH
EVI OKTAVIANA
3181131003

KELAS: A-2018

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan kurnia-Nya saya
bisa menyelesaikan tugas Critical jurnal ini dengan tepat pada waktunya. Salawat
beriringkan salam saya hadiahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW agar mendapatkan
safaatnya dihari kemudian nanti.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah biogeografi yang telah
membimbing saya dalam proses pembuatan Critical jurnal ini hingga selesai.

Dan saya tidak lupa juga berterima kasih kepada kedua orang tua saya yang selalu
memberikan saya semangat dan dukungan dalam penyelesaian setiap tugas yang diberikan
dosen. Terima kasih untuk bapak yang selalu memperhatikan saya, yang selalu mengingatkan
saya tentang pentingnya akan pendidikan, terima kasih juga untuk Ayah yang selalu memberi
support kepada saya sehingga saya bisa melalui semua rintangan dalam perkuliahan ini.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam proses pembuatan maupun
penulisan dalam Critical jurnal ini, oleh karena itu saya berharap pembaca ingin memberikan
kritikan dan sarannya untuk Critical jurnal saya ini demi kesempurnaan tulisan saya
berikutnya.

Akhir kata, akhir ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala urusan kita, Amin.

                                                                                                     Medan, Mei 2020

                                                                                                          EVI OKTAVIANA
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 

DAFTAR ISI 

BAB1 PENDAHULUAN                                                                                                      

1.1  Identitas jurnal                                                                                                                 

A.    Identitas jurnal I                                                                                     

B.     Identitas jurnal II                                                                                                    

BAB II ISI DAN PEMBAHASAN                                                                                     

2.1 Ringkasan Isi jurnal I                                                       

2.2 Ringkasan Isi jurnal II                                             

2.3 Analisis jurnal                                                                                          

A.    Kelebihan dan kelemahan

BAB III

PENUTUP                                                                                                              

3.1Kesimpulan                                                                                                              

3.2Saran                                                                                                                       

DAFTAR PUSTAKA                                                                                                           
BAB 1

PENDAHULUAN

Identitas jurnal

Judul jurnal 1 : keadaan suksesi tumbuhan padaa kawasan bekas tambang batubara di
kalimantan timur

Penulis : Abdullah Syarief .Dkk.

Tahun : 2012

Volume : vol 9 no.4: 341-350.2012

Jurnal : jurnal penelitian hutan dan konservasi alam

Judul jurnal 2 : kajian dinamika suksesi vegetasi di kawasan terdampak erupsi guning api
kelud berbasis data pengindraan jauh 2013-2016

Tahun : 2016

Volume : vol.17 no.1 juni 2016

ISSN : 0216-8138

Jurnal : jurnal media komunikasi geografi


BAB II

PEMBAHASAN

Ringkasan jurnal 1

I. PENDAHULUAN

Hutan hujan tropika merupakan tempat tumbuh bagi flora dan fauna, membentuk persekutuan
hidup dengan keseimbangan yang dinamis. Soerianegara dan Indrawan (1982) menyatakan
bahwa perubahan komunitas hutan dapat timbul akibat adanya gangguan, baik yang bersifat
alami seperti tanah longsor dan gunung meletus, maupun yang diakibatkan oleh aktivitas
manusia seperti perladangan berpindah, pertambangan terbuka, dan pembalakan hutan.

Salah satu ciri hutan hujan tropika dataran rendah di Kalimantan yaitu mempunyai kekayaan
flora dengan keragaman jenis secara horizontal bervariasi dari satu tempat ke tempat lain.
Variasi jenis ini akan nyata secara vertikal yaitu pada setiap ketinggian 100 m di atas
permukaan

laut (Saridan et al., 1997). Hutan di Kalimantan umumnya didominasi oleh jenisjenis dari
famili Dipterocarpaceae. Namun demikian, kondisi lingkungan terutama karena adanya
kegiatan penebangan hutan dapat mengakibatkan perubahan variasi tipe komposisi jenis
pohon dalam kurun waktu tertentu yang disebut suksesi. Odum (1971) menyatakan bahwa
prinsip dasar dalam suksesi adalah adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan
bersamaan dengan perubahan tempat tumbuh. Perubahan ini terjadi secara berangsur-angsur
dan melalui beberapa tahap dari komunitas tumbuhan sederhana sampai klimaks. Selanjutnya
dinyatakan bahwa umumnya suksesi hutan akan bertambah keanekaragamannya seiring
dengan waktu.

Kaltim Prima Coal (KPC) selaku pemegang kuasa penambangan (KP) yang kawasannya
sebagian besar berupa areal penggunaan lain (APL) yang berbatasan dengan Taman Nasional
Kutai telah melaksanakan penambangan dengan memperhatikan teknis sesuai studi analisis
dampak lingkungan (AMDAL) dan melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
serta pelaksanaan rehabilitasi pada lahan bekas tambang. Kegiatan pengelolaan lingkungan
dan rehabilitasi lahan bekas tambang yang telah mengalami deforestasi dan dilanjutkan
dengan program restorasi ekosistem dengan jenis-jenis lokal agar dapat berfungsi sebagai
habitat satwaliar terutama jenis satwa langka.

Rehabilitasi hutan bekas tambang secara luas sangat penting dalam rangka mengembalikan
fungsi ekosistem hutan yang telah terfragmentasi. Rehabilitasi melalui program restorasi
hutan adalah upaya untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta abiotik (tanah,
iklim, dan topografi) dari kawasan hutan. Kegiatan tersebut ditujukan untuk mendorong
proses kembalinya integritas ekologi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan manusia di
lansekap hutan yang telah mengalami deforestasi dan degradasi.

Kegiatan restorasi hutan di lahan bekas tambang terbuka perlu dilakukan karena lahan
tersebut telah mengalami deforestasi dan atau degradasi akibat kegiatan ekstraksi bahan
galian yang mengakibatkan hilangnya eksistensi hutan beserta seluruh fungsi ekologi dan
hidrologi serta ekonomi dan sosial. Tanaman hasil revegetasi pada lokasi bekas tambang
yang telah ditanam sejak tahun 1996, kini telah membentuk ekosistem hutan dan telah
mampu memberikan fungsi-fungsi hutan, seperti sebagai penjaga dan pemulih kesuburan
tanah, pengatur tata air, pengendali iklim mikro, dan habitat berbagai jenis satwaliar.
Beberapa lokasi yang telah direvegetasi tersebut tidak hanya proses menuju kepemulihan
ekosistem hutan bahkan dalam proses ini telah mampu menyediakan habitat bagi orangutan
(Pongo pygmaeus) untuk hidup dan berkembang biak.

Komunitas tumbuhan terutama di hutan bekas tebangan dapat berubah secara cepat dari
waktu ke waktu yang lazim disebut dinamika komunitas tumbuhan hutan. Dalam dinamika
komunitas tumbuhan hutan, diamati perubahan komposisi jenis tumbuhan yang
menggambarkan kuantifikasi dan kualifikasi keadaan komunitas tumbuhan yang terjadi.

BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 di kawasan hutan revegetasi, plot I H East-Dump I
(00°36'20,49" N dan 117°30'40,33" E) umur enam tahun, plot II HS Hatari (00°33'46,90" N
dan
117°30'19,47" E) umur 10 tahun, dan plot III Arboretum (00°37'54,94" N dan 117°29'20,53"
E) umur 12 tahun. Kondisi dan tutupan di sekitar lokasi penelitian terlihat pada Gambar 1.

Lokasi penelitian ini merupakan kawasan kerja perusahaan tambang batubara PT. KPC, yang
sebelumnya adalah kawasan hutan bekas tebangan. Vegetasi sebelum dilakukan ekstraksi
batubara sebagian besar merupakan hutan sekunder yang tergolong ekosistem hutan sekunder
dataran rendah famili Dipterocarpaceae campuran (Boer et al., 2008). Di samping itu juga
terdapat vegetasi hutan mangrove dan tumbuhan pantai, vegetasi hutan rawa air tawar, hutan
tepi sungai (riparian) dan semak belukar. Areal konsesi PT. KPC juga berbatasan dengan
kawasan Taman Nasional Kutai (TNK) dan kawasan hutan lindung di sebelah utara dan
sebelah barat. Tanah di KPC sebagian besar didominasi oleh jenis alluvial, sisanya podzolik
merah kuning, latosol, dan organosol glei humus (Machfudh, 2002).

Iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk tipe iklim B dengan nilai Q
berkisar antara 14,333,3% , curah hujan rata-rata sebulan 128,6 mm (1543,6 mm/tahun)
dengan rata-rata hari hujan setahun 66,4 hari atau rata-rata bulanan 5,5 hari. Suhu rata-rata
adalah 26oC (berkisar antara 21-34oC) dengan kelembaban relatif 67-69%, dan kecepatan
angin normal rata-rata 2-4 knot/ jam. Bulan-bulan kering terjadi pada bulan Januari dan Mei
dengan kelembaban udara 79% dan 80,5%.

Bahan penelitian adalah plot tegakan hutan revegetasi berukuran 50 m x 50 m umur enam
tahun, 10 tahun, dan 12 tahun. Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tambang/tali,
kompas, meteran, phi band (alat ukur diameter pohon), clinometer (alat ukur kelerengan
lahan), alat ukur tinggi pohon, kamera, dan alat tulis.

Metode Penelitian

1. Cara Kerja

Kondisi biofisik lokasi penelitian dari studi literatur dan studi pendahuluan keadaannya
seragam, maka penentuan plot dibuat secara acak pada setiap tempat sehingga dapat
mewakili/representatif tegakan tersebut (Bustomi et al., 2006). Semua pohon dan pancang
diukur diameter, tinggi, dan dicatat nama jenisnya; sedangkan tingkat semai dihitung jumlah
dan nama jenisnya. Jenis-jenis tersebut diambil contoh materialnya dan diidentifikasi di
Laboratorium Botani dan Ekologi Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi
dan Rehabilitasi, Bogor. Kriteria untuk tingkat pohon, pancang, dan semai adalah sebagai
berikut (Kartawinata et al., 1976):
Pohon, dengan kriteria diameter setinggi dada (1,3 m)  10 cm, bila pohon berbanir
diameter diukur 20 cm di atas banir.

Pancang, yaitu permudaan yang tingginya  1,5 m sampai pohon muda dengan diameter <
10 cm.

Semai, yaitu permudaan mulai dari kecambah sampai tinggi  1,5 m.

Pada kegiatan ini tegakan revegetasi (umur enam tahun, 10 tahun, dan 12 tahun) masing-
masing dibuat dua plot dengan ukuran 50 m x 50 m. Untuk permudaan, ukuran plot yang
digunakan yaitu 2 m x 2 m, dalam satu plot dibuat lima sub plot yang letaknya di setiap sudut
dan tengah dari plot tersebut.

2. Analisis Data

Dalam penelitian ini seluruh jenis pohon dalam plot dicatat menurut ukuran yaitu diameter,
tinggi pohon, dan kerapatan pohon.

Potensi tegakan dihitung meliputi volume tegakan dan jumlah batang per ha yang
diklasifikasikan menurut kelas diameter 10-19 cm, 20-29 cm, 30-39 cm, 4049 cm, dan 50
cm.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kerapatan dan Sebaran Kelas Diameter

1. Hutan Revegetasi Umur Enam Tahun

Pada umumnya lahan bekas pertambangan ditanami pohon yang cepat tumbuh untuk
menutup tanah dan mengurangi erosi. Lokasi hutan revegetasi di lokasi penelitian (H East-
Dump I), ditanami lima jenis pohon cepat tumbuh (johar, sengon, sengon buto, laban, dan
ketapang) dengan jarak tanam 2 m x 3 m dan sebagai penutup tanah ditanam rumput gajah
atau tumbuhan legum merambat penutup tanah (Puearia javanica).

Potensi masa tegakan pohon berdiameter 10-< 20 cm diketahui bahwa secara umum
kerapatan tegakan didominasi oleh jenis johar (Cassia siamea) 192 pohon/ha, sengon
(Paraserianthes falcataria) dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) masing-masing 16
pohon/ha. Untuk kelas diameter 30-< 40 cm, 40-< 50 cm, dan ≥ 50 cm didominasi oleh
jenis sengon buto (E. cyclocarpum) yaitu masing-masing dengan kerapatan empat pohon/ha.
Jenis pohon yang mendominasi tinggi pohon >10 m yaitu johar (C. siamea), jenis yang
mendominasi tinggi 5-10 m yaitu johar (C. siamea), laban (Vitex pubescens), dan ketapang
(Terminalia microcarpa), tinggi <5 m yaitu sengon (P. falcataria).

B. Ekologi Hutan Revegetasi

Setelah pasca tambang, dilakukan pengembalian tanah ke tempat semula. Penanaman


dilakukan dengan pohon tumbuh cepat yang mempunyai nilai ekonomi dan konservasi tinggi.
Parameter ekologi hutan revegetasi disajikan pada Tabel 7.

Pada Tabel 7 dapat dikemukakan bahwa jumlah jenis di hutan revegetasi relatif rendah.
Kerapatan permudaan alam di hutan revegetasi meningkat jumlahnya, umur enam tahun
kerapatan semai 2.000 individu/ha, umur 10 tahun kerapatan semai 3.500 individu/ha,
pancang 1.000 individu/ha; umur 12 tahun kerapatan semai 7.500 individu/ha dan kerapatan
pancang 3.000 individu/ha. Hal ini menunjukkan suksesi berjalan dengan baik karena tegakan
hutan tersebut dikelola dengan baik.

Parameter yang lain adalah luas bidang dasar dan volume, pada umur 10 tahun (HS Hatari)
mempunyai luas bidang dasar dan volume paling tinggi bila dibanding dengan hutan
revegetasi lainnya, ini diduga lahan sebagai tempat tumbuh aerasinya lebih baik dibanding
dengan di tempat lain sehingga dapat memacu pertumbuhan tanaman lebih baik. Hal ini
sejalan dengan pendapat Soepardi (1979), yang menyatakan bahwa salah satu yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman yaitu kesuburan tanah, aerasi, dan mikroorganisme.

Tabel (Table) 7. Parameter ekologi hutan revegetasi di lokasi penelitian (Revegetation


forest ecology of parameter in reseach location)
Umur hutan revegetasi (Forest revegetation
ages)
Parameter
Tahun (year)
6 10 12
Pohon (Trees) 5 6 8
Jumlah jenis (Number of species)
Kerapatan (Density) (N/ha) 256 416 336
Luas bidang dasar (Bassal area) (m2/ha) 5,52 17,64 5,56
Pancang (Saplings) -
Jumlah jenis (Number of species) 2 5
Kerapatan (Density) (N/ha) - 1.000 3.000
Semai (Seedlings)
Jumlah jenis (Number of species) 3 3 7
Kerapatan (Density) (N/ha) 2.000 3.500 7.500

Dilihat dari pertumbuhan dan penambahan jenis pohon dan permudaan yang
menghasilkan perbaikan kualitas tanah permukaan menunjukkan bahwa proses suksesi
alami akan berjalan setelah enam tahun hutan revegetasi terbentuk. Dalam waktu tersebut
telah mengubah iklim mikro, kondisi ini akan mendukung perkembangan keragaman jenis
dan pertambahan jenis pionir pada tahun berikutnya. Perbaikan vegetasi yang ditunjang
dengan proses suksesi pada hutan revegetasi sudah berfungsi sebagai habitat burung dan
orangutan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, 2009).
Dengan demikian hutan revegetasi perlu dikelola dengan baik minimal selama enam
tahun dan selanjutnya dilakukan restorasi dengan jenis lokal untuk peningkatan
keragaman jenis.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Hutan revegetasi umur enam tahun di lokasi H East Dump I terdapat lima jenis
didominir oleh johar (Cassia siamea Lamk.) 192 pohon/ha, hutan revegetasi umur 10
tahun di lokasi HS Hatari terdapat enam jenis didominir oleh kassia (Cassia suratensis
Lamk.) 124 pohon/ha, hutan revegetasi umur 12 tahun di lokasi arboretum terdapat
delapan jenis dan didominir oleh kobung (Macaranga gigantea Muell.Arg.) 128
pohon/ha.
2. Jenis permudaan alam yang mendominasi hutan revegetasi umur enam tahun di lokasi H
East Dump I yaitu mahang (M. triloba Muell.Arg.), hutan revegetasi umur 10 tahun di
lokasi HS Hatari yaitu homalanthus (Homalanthus populneus O.K.), hutan revegetasi
umur 12 tahun di lokasi arboretum yaitu Melastoma malabathricum Linn.
3. Permudaan alam di hutan revegetasi umur enam tahun kerapatan semai 2.000
individu/ha, umur 10 tahun kerapatan semai 3.500 individu/ha, pancang 1.000
individu/ha, umur 12 tahun kerapatan semai 7.500 individu/ha dan kerapatan pancang
3.000 individu/ha.
4. Proses suksesi alami secara ekologis hutan revegetasi bekas tambang akan mengalami
suksesi dengan jenis pohon pionir di atas enam tahun. Dengan demikian semakin
bertambah umur hutan tanaman revegetasi, semakin banyak jenis yang tumbuh secara
alami.
B. Saran

Untuk mempercepat proses suksesi dan pengayaan jenis dengan jenis-jenis lokal, perlu
dilakukan penanaman jenisjenis tersebut di hutan revegetasi.

Ringkasan jurnal 2

PENDAHULUAN

Erupsi Gunungapi Kelud tahun 2014 yang bersifat eksplosif merupakan bencana alam
terbesar sepanjang peristiwa erupsi Gunungapi Kelud. Erupsi tersebut sebagai fenomena alam
yang tidak dapat dihindari. Manusia hanya dapat meminimalisir potensi bahaya dari erupsi
gunungapi tersebut. Adapun kondisi daerah sekitar yang terdampak erupsi gunungapi pasti
mengalami suatu perubahan lingkungan fisik. Bukti konkrit dari perubahan kondisi
lingkungan fisik yakni meliputi permukaan tanah yang tertutup material erupsi, vegetasi yang
mengalami kerusakan, serta kondisi suhu permukaan yang menjadi tinggi. Namun perubahan
dari kondisi lingkungan fisik tersebut dalam rentang berjalannya waktu akan mengalami
siklus. Siklus yang dimaksud dapat bersifat positif dan negatif. Siklus bersifat positif yakni
semakin suburnya permukaan tanah, vegetasi yang mengalami suksesi, dan lain sebagainya.
Siklus negatif yakni lambatnya suksesi vegetasi karena kondisi suhu permukaan tanah yang
belum sesuai untuk pertumbuhan vegetasi dan degradasi kondisi lahan terutama pada radius
lima kilometer.

Proses suksesi vegetasi merupakan perubahan utama yang mempengaruhi perkembangan


kondisi lahan dan suhu permukaan. Suksesi vegetasi merupakan kondisi pertumbuhan
vegetasi yang serentak pasca terjadinya fenomena alam maupun buatan yang berpengaruh
besar terhadap perubahan lingkungan. Prinsip dasar dalam suksesi yakni adanya serangkaian
perubahan komunitas tumbuhan bersamaan dengan perubahan tempat tumbuh. Perubahan ini
terjadi secara berangsur-angsur dan melalui beberapa tahap dari komunitas tumbuhan
sederhana sampai klimaks (Mukhtar, 2012). Proses suksesi vegetasi dapat menjadi acuan bagi
perkembangan kondisi lahan yang mengalami degradasi pasca erupsi gunungapi Kelud.
Apabila suksesi vegetasi maksimal maka dapat diketahui bahwa kondisi lahan juga menjadi
semakin baik. Proses suksesi ini selalu ditandai dengan peningkatan tajuk dan daun pohon
yang dapat diketahui dari interpretasi citra penginderaan jauh melalui nilai indeks vegetasi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul

“Kajian Dinamika Suksesi Vegetasi di Kawasan Terdampak Erupsi Gunungapi Kelud


Berbasis Data Pengindraan Jauh Tahun 2013 – 2016”. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian
ini dilakukan di kawasan terdampak erupsi Gunung api Kelud radius 10 Kilometer.
Berdasarkan peta lokasi penelitian, radius tersebut mencakup tiga kabupaten yang meliputi
Kabupaten Kediri (Kecamatan Puncu, Kepung, Ngancar, dan Plosoklaten), Kabupaten Blitar
(Kecamatan Garum, Gandusari, dan Ngleggok), dan Kabupaten Malang (Kecamatan
Ngantang dan Kasembon). Total luas keseluruhan dari lokasi penelitian ini
sebesar 89.160,9 Ha. Penelitian ini menggunakan data penginderaan jauh dengan Citra
Landsat 8 pada bulan basah dan bulan kering. Pengambilan bulan kering dan basah
diperkirakan saat kondisi maksimal, yakni untuk basah diambil bulan Januari dan bulan
kering menggunakan bulan Juni.

Kajian hanya akan mencakup sebaran spasial antara kerapatan vegetasi dan kondisi suhu
permukaan yang menunjukkan penurunan atau kenaikan suksesi vegetasi. Penelitian ini juga
hanya berlaku di kawasan terdampak erupsi Gunungapi Kelud radius 10 Kilometer dalam
rentang waktu tahun 2013 hingga 2016. Adapun fokus dominan kajian perpiksel berada pada
radius lima kilometer bagian barat dan barat daya yang merupakan wilayah dengan kondisi
tingkat tinggi yang menerima material lava piroklastik.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan pendekatan kuasi kuantitatif. Adapun
metode yang digunakan untuk mendapatkan nilai indeks vegetasi yakni menggunakan
Transformasi EVI (Enhanced Vegetation Index). Nilai indeks suhu permukaan didapatkan
dengan pengolahan Citra Landsat 8 menggunakan Metode SWA (Split Windows Algorithm).

Ada beberapa tahapan dalam pemrosesan Citra Kerapatan Vegetasi dan Citra Suhu
Permukaan. Dengan menggunakan software ENVI 4.5, Citra Landsat 8 dilakukan proses
Koreksi Radiometrik dan Geometrik; konversi Band 2, 4, 5, dan 10 dari digital number ke
reflectance; input rumus Transformasi EVI dan Metode SWA pada tools band math Menu
Basic Tools; cropping daerah penelitian pada Citra Kerapatan Vegetasi dan suhu permukaan;
dan terakhir klasifikasi kelas kerapatan vegetasi menggunakan tools region of interest dan
band threshold to ROI parameters pada Menu Basic Tools.
Pembahasan

Nilai akurasi keseluruhan (overall accuracy) 85,15% pada citra kerapatan


vegetasi dan 85,02% pada citra suhu permukaan. Nilai akurasi yang >85% tersebut
mengindikasikan bahwa hasil klasifikasi citra kerapatan vegetasi dan suhu permukaan
dikategorikan cukup baik (Sumantri, 2012). Nilai akurasi tersebut menunjukkan bahwa hasil
interpretasi citra dan pengukuran lapangan cenderung masuk pada kategori cukup valid.
Adapun nilai yang cukup baik tersebut dapat dipergunakan untuk kajian dinamika suksesi
vegetasi di kawasan terdampak erupsi Gunung api Kelud. Berdasarkan hasil pemrosesan
citra klasifikasi kerapatan vegetasi tahun 2016 menggunakan Transformasi EVI (Enhanced
Vegetation Index) dan citra suhu permukaan menggunakan Metode SWA (Split Windows
Algorithm), diambil tiga sampel yang mewakili klasifikasi kerapatan vegetasi. Ketiga sampel
tersebut selanjutnya dijadikan patokan untuk melihat kondisi suksesi vegetasi primer maupun
sekunder dari tahun 2013 hingga tahun 2016. Masing-masing suksesi, baik suksesi primer
maupun suksesi sekunder akan dibahas dengan bahasan yang terfokus pada radius lima
Kilometer. Radius lima Kilometer menjadi fokus karena sebagai sentral terjadinya suksesi
primer yang penting sebagai awal mula dari suatu pertumbuhan vegetasi dalam proses suksesi
vegetasi.

Ketiga sampel tersebut yakni sampel satu berada di Desa Karangrejo Kecamatan Garum pada
koordinat 49 M 0635310 9114737. Sampel kedua berada di Desa Sumberasri Kecamatan
Ngleggok pada koordinat 49 M 0635784 9111266. Sampel ketiga yang berada di Desa
Sugihwaras

Kecamatan Ngancar pada koordinat 49 M 0641939 9123036. Nilai indeks kerapatan vegetasi
sampel satu pada 10 Juni 2013 menunjukkan besaran yang lebih tinggi daripada tahun 2016.
Hal ini terbilang logis karena tahun 2013 merupakan tahun sebelum terjadinya erupsi

Gunungapi Kelud. Keadaan vegetasi menunjukkan klasifikasi kerapatan sedang dengan nilai
indeks vegetasi 0,6 dengan luasan 1.441 Ha yang berada di Desa Karangrejo Kecamatan
Garum. Kondisi suhu permukaan pada sampel satu ini berada pada klasifikasi suhu sedang
dengan nilai suhu permukaan 24,4oC dengan luasan 1.526 Ha.

Nilai kerapatan vegetasi pada 10 Juni 2013 pada sampel satu tersebut lebih rendah
dibandingkan nilai indeks vegetasi di tahun 2016. Hal ini karena pengaruh musim yang pada
bulan Juni merupakan bulan kering sehingga pantulan klorofil daun menjadi berkurang.
Besarnya intensitas radiasi matahari tergantung pada musim.
Sebagai contoh, pada musim hujan intensitasnya rendah karena radiasi matahari yang menuju
ke bumi sebagian diserap oleh awan. Sedangkan musim kemarau pada umumnya sedikit
awan, oleh karena itu intensitas radiasi mataharinya lebih tinggi (Sugito, 2012). Sehingga,
faktor musim pada bulan kering ini akan sangat mempengaruhi tingkat kerapatan vegetasi
yang terdeteksi melalui pantulan spektral klorofil. Pada 13 Juni 2013 ini pantulan spektral
berkurang yang menempatkan kerapatan vegetasi lebih rendah dibandingkan data nilai indeks
vegetasi pada Citra 10 Januari 2016.

Sampel kedua berada di Desa Sumberasri Kecamatan Ngleggok dengan kondisi vegetasi
kerapatan tinggi. Kerapatan vegetasi tersebut memiliki nilai indeks vegetasi 0,63 dengan
luasan 1.234 Ha. Kondisi kerapatan vegetasi tersebut didukung oleh kondisi suhu permukaan
yang berada pada klasifikasi suhu sedang dengan nilai 23,5oC dengan luasan 805 Ha.

Sampel ketiga yang berada di Desa Sugihwaras Kecamatan

Ngancar memiliki kondisi kerapatan vegetasi yang sedang. Kerapatan vegetasi tersebut
memiliki nilai 0,32 dengan luasan 1.243 Ha dan kondisi suhu permukaan pada klasifikasi
suhu sedang dengan nilai 24,7oC dengan luasan 717 Ha. Kelas kerapatan vegetasi yang
berada pada kelas sedang hingga tinggi ini menunjukkan bahwa ditahun 2013 bagian lereng
atas Gunungapi kelud memiliki `dunia` vegetasi yang baik dan dapat mendukung
perkembangan kondisi lahan.

Sampel ketiga pada 17 Februari 2014 berada di Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar
memiliki kondisi kerapatan vegetasi jarang.

Kerapatan vegetasi jarang tersebut memiliki nilai indeks vegetasi 0,01 dengan luasan 943 Ha
dan kondisi suhu permukaan berada pada kelas tinggi dengan nilai 36oC dengan luasan 1.149
Ha. Hal ini menunjukkan bahwa dampak dari erupsi Gunungapi Kelud menjadikan vegetasi
yang terkena lontaran lava piroklastik mengalami kondisi rusaknya vegetasi dan
menghilangkan klorofil vegetasi. Sedangkan daerah yang tidak terkena lontaran lava
piroklastik mengalami kondisi layu yang parah. Kondisi tersebut dibuktikan dengan
penurunan nilai indeks vegetasi hasil Transformasi Citra EVI dikarenakan deteksi klorofil
vegetasi oleh kanal inframerah yang bersifat terbatas pada radius lima sampai 10 kilometer.

Berdasarkan data pemrosesan citra kerapatan vegetasi 10 Januari 2016, sampel pertama di
Desa Karangrejo Kecamatan Garum memiliki kondisi kerapatan vegetasi kelas sedang.
Kerapatan vegetasi tersebut memiliki nilai 0,57 dengan luasan 179 Ha dan suhu permukaan
yang berada pada tingkat tinggi dengan nilai 34oC dengan luasan 355 Ha. Sampel kedua
yang berada di Desa Sumberasri Kecamatan Ngleggok berada pada kondisi vegetasi
kerapatan tinggi. Kerapatan vegetasi tersebut memiliki nilai 0,89 dengan luasan 942 Ha dan
suhu permukaan berada pada kelas sedang dengan nilai 28 oC dengan luasan 674 Ha. Daerah
ini memiliki kerapatan tinggi karena termasuk daerah yang dominan tidak terkena aliran lava
piroklastik secara langsung. Sehingga suksesi sekunder rata-rata tinggi.

Sampel kedua ini berada di Kecamatan Nglegok dengan kenampakan morfologi berbukit.
Sifat dari morfologi ini menjadikan bagian punggungan bukit yang merupakan hutan ini tidak
terkena aliran lava piroklastik (Wardhana, 2014). Sedangkan sampel ketiga berada di Desa
Sugihwaras Kecamatan Ngancar berada pada kondisi vegetasi kerapatan jarang. Kerapatan
vegetasi tersebut memiliki nilai 0,1 dengan luasan 935 Ha dan suhu permukaan berada pada
kelas tinggi dengan nilai 48oC dengan luasan 230 Ha.

Suksesi vegetasi yang cenderung belum maksimal pada sampel ketiga diakibatkan oleh sifat
material batuan di permukaan bagian kawah dan lereng atas. Endapan pumice dan bongkah
andesit basaltik hanya ditemukan di sekitar kawah Gunungapi Kelud. Hal ini karena pada
zone dekat kawah gunungapi, material vulkanis jatuhan bercampur dengan fragmen andesit –
basaltik yang berasal dari hancuran kubah lava hasil erupsi Gunungapi Kelud 2007 (Maulana,
2014). Sifat basaltik yang memiliki ciri mineral dominan kehitaman menjadikan proses
penyerapan radiasi matahari semakin besar.

Suhu permukaan berdasarkan pengukuran lapangan pada radius lima kilometer pun
mengalami peningkatan. Nilai pengukuran suhu permukaan pada tanggal 30 Januari 2016
dengan nilai tertinggi 53,9oC. Maka, suksesi vegetasi menjadi berjalan lambat karena
fluktuasi suhu yang besar dan kondisi suhu permukaan menjadi tidak cukup konstan.

Nilai perubahan suhu permukaan tahun 2013 hingga 2016 terlihat fluktuasi. Hal ini
dikarenakan pasca erupsi keadaan iklim cenderung belum stabil. Selain itu, fluktuasi suhu
permukaan diakibatkan oleh adanya proses reaksi yakni aktivitas masyarakat sekitar pada
daerah penelitian yang mempengaruhi proses suksesi vegetasi. Seperti pada koordinat 49

M 0636979 UTM 9118946 yang memiliki nilai suhu permukaan fluktuatif. Nilai yang
fluktuatif tersebut dikarenakan masyarakat yang berdomisili maupun masyarakat dari luar
wilayah beraktivitas menambang pasir di Kecamatan Garum Kabupaten Blitar. Penambangan
pasir di wilayah hilir Sungai Kaliputih ini telah masuk dalam skala besar. Truk pengangkut
pasir yang keluar masuk area penambangan telah berjumlah lebih dari 1000 truk. Hal tersebut
menyebabkan meningkatnya suhu permukaan di wilayah tersebut. Akibatnya suksesi vegetasi
di wilayah ini berjalan tidak maksimal.

Berdasarkan grafik dinamika suksesi vegetasi, diketahui bahwa suksesi tertinggi berada pada
koordinat kedua yang berada di Kecamatan Ngleggok pada 10

Januari 2016. Hal ini dipengaruhi oleh suhu udara yang bersifat sedang sebesar 280 C.
Ketinggian pada koordinat ini sebesar 471 dpl dan berada pada topografi bergelombang.
Vegetasi berupa hutan Lamtoro dan Randu. Masa pertumbuhan tanaman tergantung pada
ketinggian tempat dan kelerengan. Adapun ketinggian tempat berhubungan erat dengan suhu
dan kelembaban (Andrian, 2014). Suhu udara yang baik bagi pertumbuhan tanaman antara
24-280 C. Suksesi pada koordinat ini telah mencapai titik klimaks yang ditandai dengan
tegakan batang pohon yang kokoh serta stabil atau tahan terhadap perubahan iklim

(homeositas).

Nilai suksesi tertinggi pada sampel kedua merupakan suksesi sekunder. Sedangkan kondisi
suksesi primer terlihat pada sampel ketiga yang berada di Kecamatan Ngancar. Pada sampel
tersebut belum menunjukkan peningkatan suksesi primer yang signifikan. Terlihat pada
paparan data bahwa suksesi primer masih sebatas pada tumbuhan rumput dan semak,
tanaman keras yang berada di sekitarnya belum menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan
kembali. Ranting yang kering dengan tanpa daun menunjukkan bahwa tanaman keras belum
mengalami suksesi vegetasi.

Kondisi tanaman keras yang belum mengalami suksesi vegetasi inilah yang paling
mengkhawatirkan karena pemulihan kondisi lahan belum maksimal. Hal ini dikarenakan
fluktuasi suhu udara yang cukup tinggi. Nilai pemrosesan citra tersebut sesuai dengan data
cek lapangan yang menunjukkan nilai suhu tinggi pula yang sebesar 49,30

C di Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar. Nilai selisih antara data di lapangan dan data
citra merupakan suatu yang wajar karena perbedaan perekaman sensor satelit dan waktu
pengukuran. Proses pengukuran dilakukan sekitar jam 07.00 – 12.00 WIB. Walaupun
demikian hal yang terpenting yang telah diketahui adalah nilai suhu permukaan sama – sama
berada pada tingkat tinggi, sehingga terjadi fluktuasi yang cukup besar pada kawasan
terdampak erupsi Gunungapi Kelud radius lima kilometer.

Suksesi primer berjalan relatif lambat karena kondisi suhu permukaan tidak konstan. Suhu
permukaan atau tanah memberikan pengaruh yang lebih nyata daripada suhu udara bagi
pertumbuhan tanaman. Suhu tanah terutama suhu ekstrimnya akan mempengaruhi aktivitas
perkecambahan, aktivitas akar, epidemik penyakit tanaman dan sebagainya (Sudaryono,
2004). Maka, kondisi ini menyebabkan suksesi vegetasi cenderung berjalan lambat pada
sampel ketiga radius lima kilometer. Berdasarkan dokumentasi pada hasil penelitian,
diketahui bahwa suhu yang tinggi ini mempengaruhi proses suksesi primer pada tanaman
keras yang berada pada lereng atas Gunungapi Kelud.

Pemanfaatan lahan di sekitar Gunungapi Kelud lebih dominan pada sektor pertanian dan
perkebunan. Pemanfaatan lahan pertanian dapat dilihat pada lereng atas hingga dataran
aluvial Gunungapi Kelud (Rahmadana, 2014). Upaya pemanfaatan lahan yang baik untuk
perkembangan kondisi lahan dapat dimulai dari pengalihan pemanfaatan lereng atas untuk
tanaman keras. Adapun untuk lahan pertanian yang pada mulanya berada pada lereng atas
dapat dimaksimalkan di lereng bawah hingga dataran aluvial. Dengan alternatif pemanfaatan
lahan seperti ini, maka masyarakat tidak akan dirugikan.

Kajian suksesi vegetasi perpiksel dilakukan pada sampel ketiga radius lima Kilometer.
Dinamika suksesi vegetasi di radius ini menunjukkan penurunan kerapatan vegetasi pada
tahun 2013 menuju tahun 2014 dengan nilai 0,01. Hal tersebut karena pada tahun 2014 terjadi
erupsi Gunungapi Kelud. Pada tahun 2014 menuju tahun 2015 terjadi kenaikan kerapatan
vegetasi dengan nilai 0,1 yang mengindikasikan telah terjadi suksesi primer. Pada bulan
basah 2015 menuju bulan kering 2015 terjadi penurunan kerapatan vegetasi yang disebabkan
karena pengaruh musim kering dengan nilai 0,06. Tahun 2016 bulan basah terjadi
peningkatan suksesi vegetasi primer sebesar 0,1.

Tahun 2016 bulan basah terjadi peningkatan suksesi vegetasi sekunder yang merupakan
klimaks dari proses suksesi di Kecamatan Ngleggok Kabupaten Blitar. Suksesi vegetasi yang
sampai pada kondisi klimaks tersebut memiliki nilai indeks vegetasi 0,89 dengan luasan 942
Ha. Hal tersebut ditandai dengan vegetasi yang tahan terhadap perubahan lingkungan sekitar.

Dinamika suksesi vegetasi mengalami kenaikan dan penurunan. Maka, perlu adanya upaya
dalam mendukung kenaikan suksesi vegetasi, terutama pada radius lima kilometer. Suksesi
primer dominan terjadi pada igir-igir hulu sungai. Hal ini karena aliran lahar hujan yang
mengalir hanya melewati jalur igir sungai. Pada punggung lereng atas kurang ada proses
suksesi. Kondisi ini karena terjadinya degradasi lahan yakni lahan yang terlalu kering.
Intensitas hujan yang relatif tinggi pada bulan basah, sebaiknya Perhutani mulai
merencanakan untuk membuat penampung air hujan. Air hujan yang tertampung selanjutnya
digunakan untuk pengairan lereng atas yang telah ditanami tanaman keras. Penanaman
tanaman keras hanya pada batas lereng atas sampai bawah. Pada bagian lereng atas dengan
gradien kemiringan besar dan puncak Gunung api Kelud hanya diupayakan pelestarian
dengan tanaman keras yang ada di bawahnya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya
bahaya longsoran pada tanah tebing. Dengan upaya ini, diharapkan periode krisis vegetasi
akan dapat teratasi.Sebelum erupsi gunung api Kelud jenis vegetasi / tanaman keras yang
mendominasi jenis pohon Kaliandra dan Pinus. Sehingga untuk mengatasi degradasi lahan
yang pasca erupsi gunungapi Kelud dapat memilih jenis tanaman tersebut yang mudah
beradaptasi oleh kondisi lingkungan gunung api Kelud.

Pada penelitian ini menunjukkan suksesi vegetasi berlangsung relatif cepat bila suhu
permukaan berada pada tingkat sedang. Hal ini dibuktikan pada peta sebaran spasial
kerapatan vegetasi dan suhu permukaan dengan kerapatan vegetasi sedang berada pada suhu
sedang pada luasan 40.364 Ha. Pada pengukuran lapangan sampel ketiga radius lima
kilometer tahun 2016 didapatkan suksesi primer dengan kerapatan yang jarang. Hal ini
dikarenakan data tersebut dapat diketahui bahwa nilai gradasi suhu cukup tinggi yakni tidak
berada pada kelas sedang, tetapi berada pada suhu permukaan tingkat tinggi. Maka, perlu
adanya tindakan dari Perhutani agar gradasi suhu menjadi kecil dan proses suksesi primer
menjadi lebih cepat pada radius lima kilometer. Meskipun suhu permukaan yang tinggi pada
Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar pada tahun 2016 hanya meliputi luasan 230 Ha, tetapi
kondisi ini perlu untuk diupayakan kondisi konstannya. Hal tersebut karena mengingat lahan
yang berada pada pusat perbukitan yang berkembang ini menjadi tumpuhan mata pencaharian
masyarakat yang dominan berkebun. Sehingga, kondisi perkembangan lahan penting untuk
diperhatikan.

Upaya Perhutani dalam mengatasi gradasi suhu untuk peningkatan proses suksesi vegetasi
dapat dimulai dari penanaman tanaman keras di lereng atas dan sekitar daerah perubahan
gradien kemiringan lereng, rekahan, kekar, sesar yang secara morfologis merupakan bagian
dari lembah perbukitan yang berkembang (Sari, 2013). Koordinat pada lereng atas gunungapi
Kelud yang memerlukan penanaman tanaman keras yakni pada koordinat 49 M 0641939
9123036. Pada koordinat tersebut memiliki suhu permukaan tinggi sebesar 39,1oC dan
berada pada perubahan kemiringan lereng tidak terlalu besar serta memiliki kenampakan
perbukitan yang berkembang. Keberhasilan proses suksesi vegetasi dapat melihat indeks
vegetasi tahun 2013, sehingga acuan penambahan indeks vegetasi pada sampel ketiga di
Kecamatan Ngancar sebesar 0,24.
SIMPULAN

Penelitian ini menunjukkan suksesi vegetasi berlangsung

relatif cepat bila suhu permukaan berada pada tingkat sedang. Hal ini dibuktikan dengan
kerapatan vegetasi sedang berada pada suhu sedang dengan luasan 40.364 Ha.

Dinamika suksesi vegetasi belum berjalan maksimal pada radius lima kilometer dengan nilai
0,1 di Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar.

SARAN

Perhutani dapat memulai upaya peningkatan proses suksesi vegetasi di kawasan gunungapi
Kelud pada radius lima kilometer dengan penanaman tanaman keras. Jenis tanaman keras
yakni Kaliandra dan Pinus yang dapat ditanam pada pada koordinat 49 M 0641939 9123036.

Keberhasilan proses suksesi vegetasi radius lima kilometer dapat melihat indeks vegetasi
pada 04 Januari 2014, sehingga acuan upaya penambahan indeks vegetasi agar kembali pada
kondisi sebelum erupsi pada sampel ketiga di Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar sebesar
0,24.

Analisis data

A. Kelemahan dan kelebihan jurnal

Jurnal 1:

Memaparkan secara jelas dan lengkap mulai dari pendahuluan atau latar  belakang dari
permasalahan

Penulisan jurnal ini teratur dan sesuai dengan kaidah pembuatan penulisan  Jurnal.                                          

Kata yang digunakan juga dalam jurnal ini bersifat baku dan sesuai dengan Kamus EYD
Bahasa   Indonesia

Menampilkan banyak grafik yang dapat membantu pembaca dan sangat menarik

Menyertakan Daftar Pustaka.

Jurnal 2

Isi jurnal singkat padat dan jelas

Menggunakan kata yang tepat dan baku


Sesuai dengan kaidah penulisan jurnal

Menggunakan tabel- tabel untuk membantu pembaca memahami materi

Menyertakan daftar pustaka

KEKURANGAN  :

Jurnal 1

Tidak memberikan deskripsi yang lengkap

Tidak menarik

Jurnal 2

Informasi yang di sampaikan kurang jelas sehingga isinya sulit di pahami

Pada jenis tulisan dan jarak spasi masih berantakan

Menggunakan istilah yang sulit di pahami

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hutan revegetasi umur enam tahun di lokasi H East Dump I terdapat lima jenis didominir
oleh johar (Cassia siamea Lamk.) 192 pohon/ha, hutan revegetasi umur 10 tahun di lokasi
HS Hatari terdapat enam jenis didominir oleh kassia (Cassia suratensis Lamk.) 124
pohon/ha, hutan revegetasi umur 12 tahun di lokasi arboretum terdapat delapan jenis dan
didominir oleh kobung (Macaranga gigantea Muell.Arg.) 128 pohon/ha.
Jenis permudaan alam yang mendominasi hutan revegetasi umur enam tahun di lokasi H East
Dump I yaitu mahang (M. triloba Muell.Arg.), hutan revegetasi umur 10 tahun di lokasi HS
Hatari yaitu homalanthus (Homalanthus populneus O.K.), hutan revegetasi umur 12 tahun di
lokasi arboretum yaitu Melastoma malabathricum Linn.
Permudaan alam di hutan revegetasi umur enam tahun kerapatan semai 2.000 individu/ha,
umur 10 tahun kerapatan semai 3.500 individu/ha, pancang 1.000 individu/ha, umur 12 tahun
kerapatan semai 7.500 individu/ha dan kerapatan pancang 3.000 individu/ha.
Proses suksesi alami secara ekologis hutan revegetasi bekas tambang akan mengalami suksesi
dengan jenis pohon pionir di atas enam tahun. Dengan demikian semakin bertambah umur
hutan tanaman revegetasi, semakin banyak jenis yang tumbuh secara alami. Dan Penelitian
ini menunjukkan suksesi vegetasi berlangsung relatif cepat bila suhu permukaan berada pada
tingkat sedang. Hal ini dibuktikan dengan kerapatan vegetasi sedang berada pada suhu
sedang dengan luasan 40.364 Ha. Dinamika suksesi vegetasi belum berjalan maksimal pada
radius lima kilometer dengan nilai 0,1 di Desa Sugihwaras Kecamatan Ngancar.

Saran

Semoga makalah ini dapat menambah wawasan pembaca dan penulis mengharapkan kritik
dan saran dalam penulisan makalah ini . Untuk pembanding menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. Dkk. 2012” keadaan suksesi tumbuhan pada kawasan bekas tambang batu bara
dikalimantan timur”jurnal penelitian hutan dan konservasi alam
Siti.Dkk.2016”kajian dinamika suksesi vegetasi dikawasan terdampak erupsi gunung api
kelud berbasis data pengindraan jauh 2013-2016” jurnal media komunikasi geograf

Anda mungkin juga menyukai