Skripsi Amanda PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 94

KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM MENURUT FIQIH

SIYASAH DAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA

Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-
Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Dalam
ilmu Syari’ah dan Hukum

Oleh

Amanda Rahmat Hidayat


NPM : 1321020017

Jurusan Siyasah

FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1439/2017M
ABSTRAK

KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM MENURUT FIQIH SIYASAH DAN


HUKUM TATA NEGARA INDONESIA

Oleh:
Amanda Rahmat Hidayat

Menurut pemahaman mengenai al-Qur‟an memang tidak ada satu dalil pun
yang secara eksplisit memerintah atau mewajibkan umat Islam untuk mendirikan
negara. Lebih dari itu bahkan istilah negara (daulah) pun tidak pernah disinggung
dalam al-Qur‟an. Sebuah pemerintahan Islam adalah pemerintah yang menerima
dan mengakui otoritas absolute Islam, dimana pemerintahan ini berupaya untuk
membentuk sebuah tertib sosial yang islami sesuai dengan ajaran yang dikandung
Islam, pelaksanaan syariat, sembari terus-menerus berupaya untuk mengarahkan
keputusan-keputusan politik dan fungsi-fungsi publik sesuai dengan tujuan dan
nilai-nilai Islam, Berhubungan dengan tema pembahasan sekarang dari hak-hak
politik adalah hak partisipasi politik non-Muslim didalam daulah Islamiyah, yang
tersimbol pada dua Hak, yaitu hak memilih pemimpin atau anggota parlementer
dan hak dipilih menjadi anggota dewan parlementer juga menjadi Ahlul Halli wal
Aqdi, yang mempunyai peran yang amat signifikan dalam sistem hukum Islam
sejak masa kenabian dan masa-masa selanjutnya, maka penulis dalam hal ini kan
mambahas prihal kepemimpin seseorang yang menjabat dalam suatu
pemerintahan menurut fiqih siyasah dan hukum tata negara dalam Undang-
Undang 1945 dan Pancasila, kalangan mana siapapun boleh menjadi kepala
negara, asalkan ia mampu melaksanakannya. Kepala negara ditentukan
berdasarkan pemilihan umat Islam Sendiri.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana hukum, perbedaan
dan persamaan kepemimpinan non-muslim menurut fiqih siyasah dan hukum tata
negara Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui,
memperoleh seta memperluas wawasan dalam ilmu kepemimpinan yang terjadi di
Indonesia tentag kepemiminan non-Muslim, untuk mengenalisis tanggapan fiqih
siyasah dan hukum tata negara terhadap kepemimpinan, dimana kaum muslim
yang dipimpin oleh kaum non-Muslim.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) dengan
pendekatan yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka. Kemudian data yang terkumpul diolah melalui proses
editing, dan sistematisasi data sehingga menjadi bentuk karya ilmiah yang baik.
Sedangkan analisis data dengan menggunakan analisis deskriptif analitik dengan
pendekatan berfikir kompratif.
Kesimpulan dari hasil penelitian Kepemimpinan non-Muslim Menurut
Fiqih Siyasah Dan Hukum Tata Negara Indonesia yaitu, Pendapat ahli Fiqih
Siyasah yang menanggapi tentang ketika entitas non-Muslim itu tidak memusuhi
umat Islam dan mereka bersama-sama umat Islam dalam satu entitas negara
sebagai warga negara maka mereka dapat dipilih sebagi pemimpin, Menurut Fiqih
Siyasah Kepemimpinan non-Muslim di Indonesia tidak lah masalah, selama
seorang pemimpin itu memenuhi beberapa syarat yang sudah di tentukan, dan
tidak melakukan pelanggaran selama ia menjabat, Hukum Tata Negara Indonesia
tidak lah mempermasalahkan dari golongan manakah yang mampu memajukan
kesejahteraan umum bagi Indoneisa.
MOTTO

ِ َّ‫ ِمن ال‬، ‫الصال َة وال تَ ُكونُوا ِمن الْم ْش ِركِني‬ ِ‫واتَّ ُقوه وأَق‬ ‫ني إِلَْي ِو‬ ِ
‫ين‬‫ذ‬
َ َ َ ُ َ َ َّ ‫ا‬
‫و‬ ‫يم‬
ُ َُ َ َ ِ‫ُمنيب‬

ٍ ‫فَ َّرقُوا ِدينَ ُهم وَكانُوا ِشي ًعا ُك ُّل ِحْز‬


‫ب ِِبَا لَ َديْ ِه ْم فَ ِر ُحو َن‬ َ َْ

Artinya: Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya

serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang

mempersekutukan Allah,Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka

dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga

dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. Ar-Rum: 31-23)1

1
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz.h.574.
PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk :

1. Rumayati.,S.Pd dan Hatanis. BA sebagai Ummi dan Ayahanda tercinta

yang selama ini sudah mendidik, membimbing dan mendo‟akan ku

disetiap langkah dan mengajarkan aku untuk selalu menjadi orang yang

selalu bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.

2. Ayunda tercinta yang selalu memberikan saran serta do‟a bernama Sisca

Nurhidayati.,S.Pd.I.

3. Kakanda Ipar yang telah memberikan saran serta do‟a bernama Abdul

Ghofur.,S.Pd.I

4. Adik Sepupu yang bernama Azkia Rohmah.

5. Keluarga besarku tersayang.

6. Almamaterku.
RIWAYAT HIDUP

Amanda Rahmat Hidayat, lahir pada tanggal 28 September 1994 di Desa Fajar

Baru II, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan. Anak kedua dari

dua bersaudara, merupakan buah cinta kasih dari pasangan Bapak Hatanis dan Ibu

Rumayati. Adapun riwayat pendidikan adalah sebagai berikut:

1. SDN 1 Labuhan Dalam (Kecamatan Tanjung Senang, Bandar Lampung)

lulus tahun 2006

2. MTs N 2 Sukarame (Kecamatan Sukarame, Kabupaten Bandar Lampung)

lulus tahun 2009

3. SMK 2 MEI Bandar Lampung (Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Bandar

Lampung) lulus tahun 2012

4. Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung program Strata

Satu (S1) Fakultas Syari‟ah Jurusan dari tahun 2013 hingga saat ini.
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah yang tidak terkira kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya berupa ilmu pengetahuan,

kesehatan, dan petunjuk dalam berjuang menempuh ilmu. Shalawat serta salam

selalu tercurah kepada suritauladankita, Nabi Muhammad SAW. Nabi yang

mengispirasi bagaimana menjadi pemuda tangguh, pantang mengeluh, mandiri

dengan kehormatan diri, yang cita-citanya mélangit namun karyanya membumi.

Skripsi ini berjudul “KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM MENURUT FIQIH

SIYASAH DAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM”. Selesainya penulisan

skripsi ini tidak lepas dari bantuan, dorongan, uluran tangan, dari berbagai pihak.

Untuk itu, sepantasnya disampaikan ucapan terimakasih yang tulus dan do‟a,

mudah-mudahan bantuan yang diberikan tersebut mendapatkan imbalan dari

Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ucapan terimakasih ini

diberikan kepada:

1. Dr. Alamsyah, S.Ag.,M.Ag. selaku Dekan Fakultas syari‟ah UIN Raden

Intan Lampung sekaligus sebagai Pembimbing Akademik 1

2. Drs. Susiadi AS.,M.Sos.I. selaku Kajur Fakultas syari‟ah UIN Raden Intan

Lampung sekaligus sebagai Pembimbing Akademik 2

3. Drs.Henry Iwansyah,M.A. Selaku Penguji 1

4. Agustina Nurhayati,S.Ag.MH. Selaku Ketua Sidang

5. Bapak dan ibu dosen Staf Karyawan Fakultas Syari‟ah yang telah

mendidik, memberikan waktu dan layanannya dengan tulus dan ikhlas

selama menuntut ilmu di Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.


6. Bapak dan ibu staf karyawan perpustakaan Fakultas Syari‟ah,

perpustakaan pusat UIN Raden Intan Lampung dan perpustakaan Daerah

Bandar Lampung.

7. Untuk Ayah, Ibu, Ayuk, Kakak, Adik, Dea Fanny terimakasih atas

dukungan dan doanya selama ini serta bantuan yang tak terkira baik yang

bersifat materi maupun non materi.

8. Untuk sahabat-sahabat terbaikku Siyasah B angkatan 2013.

9. Untuk sahabat karib yang memberikan do‟a dan semangat.

Skripsi ini disadari masih banyak kekurangan, hal ini disebabkan

terbatasnya ilmu dan teori penelitian yang dikuasai. Oleh karenaitu diharapkan

masukan dan kritik yang bersifat membangun untuk skripsi ini.

Akhirnya, dengan iringan terimakasih do‟a dipanjatkan kehadirat Allah

SWT, semoga segala bantuan dan amal baik bapak-bapak dan ibu-ibu serta

teman-teman sekalian akan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari

Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang menulis

khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amin

Bandar Lampung, 11 Oktober 2017

Penulis

Amanda Rahmat Hidayat

NPM.1321020017
DAFTAR ISI

HALMAN JUDUL .................................................................................. i

ABSTRAK .............................................................................................. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................ iv

PENGESAHAN .......................................................................................v

MOTTO ................................................................................................. vi

PERSEMBAHAN ................................................................................. vii

RIWAYAT HIDUP ............................................................................. viii

KATA PENGANTAR ........................................................................... ix

DAFTAR ISI .......................................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Penjelasan Judul ...............................................................................1

B. Alasan Memilih Judul ......................................................................3

C. Latar Belakang Masalah ...................................................................4

D. Rumusan Masalah ............................................................................8

E. Tujuan Penelitian .............................................................................8

F. Kegunaan Penelitian.........................................................................9

G. Metodelogi Penelitian ....................................................................10

BAB II . KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM MENURUT FIQIH

SIYASAH

A. Definisi Kepemimpinan menurut Fiqih Siyasah ............................14

B. Pengertian Fiqih Siyasah dan Sumbernya ......................................15


C. Dasar Hukum Kepemimpinan Menurut Fiqih Siyasah ..................19

D. Syarat-Syarat Menjadi Pemimpin Menurut Fiqih Siyasah.............32

E. Pendapat Ahli Fiqih Siyasah Tentang Kepemimpinan Non-Muslim

........................................................................................................33

BAB III. KEPIMIMPINAN NON-MUSLIM MENURUT HUKUM

TATA NEGARA INDONESIA

A. Pengertian Hukum Tata Negara .....................................................41

B. Dasar Hukum Kepemimpinan Menurut Hukum Tata Negara

Indonesia ........................................................................................43

C. Syarat-Syarat Menjadi Pemimpin Menurut Hukum Tata Negara

Indonesia ........................................................................................46

D. Bagaimana Kepemimpinan Non-Muslim Menurut Hukum Tata

Negara Indonesia ............................................................................53

BAB IV. ANALISIS

A. Hukum, Perbedaan dan Persamaan Kepemimpinan non-muslim

menurut Fiqih Siyasah dan Hukum Tata Negara Indonesia...........58

BAB V.KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ....................................................................................78

B. Saran...............................................................................................79

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................80


BAB I

PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

Rencana penelitian pustaka ini yaitu mengenai” Kepemimpinan Non-

Muslim Menurut Fiqih Siyasah dan Hukum Tata Negara Di Indonesia”. Untuk

memahami kesalahan dalam memahami dan menafsirkan judul tersebut, maka

istilah yang terkandung dalam judul ini perlu dijelaskan. Sebelum membahas

arti kepemimpinan, terlebih dahulu penulis akan menguraikan satu persatu

kata hingga menghasilkan arti yang dimaksud :

1. Kepemimpinan

Membahas kata kepemimpinan maka penulis akan menjabarkan

satu-persatu kata. Kata Pemimpin berarti orang yang memimpin.2

Kepemimpinan berasal dari kata “Pimpin” yang berarti tuntun, bina atau

bimbing, pimpin dapat pula menunjukan jalan yang baik atau benar, dapat

pula berarti mengepalai pekerjaan atau kegiatan. Kepemimpinan adalah

kemampuan seseorang untuk memimpin, menentukan secara benar apa

yang dikerjakan didalam sebuah Negara hubungan kepemimpina sangat

erat kaitannya dengan arti kata pemerintah, sekelompok orang yang secara

bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan

kekuasaan, penguasa suatu Negara (bagian Negara), badan tertinggi yang

2
Wahyu baskoro, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. (Jakarta:setiakawan pres,
2006).h.524.
memerintah suatu Negara (seperti kebinet merupakan sesuatu pemerintah),

Negara atau negeri (sebagai lawan partikel atau swasta).3

2. Non-Muslim

Non-Muslim berasal dari kata salima-yaslamu artinya orang-orang

yang berserah diri kepada peraturan Allah SWT dengan sepenuh

pengabdian (beragama islam).4 Sedangkan pengertian Non-Muslim

menurut penulis adalah orang yang bukan beragama Islam.

3. Fiqih Siyasah

Fiqih Siyasah merupakan salah satu aspek hukum Islam yang

membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam

bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri.5

4. Hukum Tata Negara

Hukum Tata Negara menurut pakar Hukum Tata Negara yaitu

merupakan serangkaian kaidah hukum yang mengatur tige kelompok

materi-muatan, yaitu: Susunan ketatanegaraan alat-alat perlengkapan

Negara yang penting, yang secara umum terdiri dari organ Legislatif,

Eksekutif, dan organ Yudikatif.6

Berdasarkan beberapa pengertian dari istilah-isltilah di atas dapat

disimpulkan bahwa maksud dari judul skripsi yaitu bagaimana aturan-aturan

3
Sudarsono,Kamus Hukum,(Jakarta:Pt.Asdi Mahasatya, 2005).h. 345.
4
Ahsin W.Al-Hafidz,Kamus Ilmu Al-Qur‟an,(Jakarta:Sinar Grafika Ofset, 2006),h.205
5
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah- Konstektualisasi Doktrin Politik
Islam,(Indonesia:Prenadamedia Grou, 2014), h. 4.
6
Sri Soemantri M, Hukum Tatanegara Indonesia Pemikiran dan Pandangan,
(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2014), h.83.
dan hukum-hukum menurut dari kalangan para ahli fiqih siyasah maupun

aturan-aturan hukum dari hukum tata negara Indonesia tentang seorang

pemimpin non-Muslim yang memimpin kaum Muslim.

B. Alasan Memilih Judul

1. Topik pembahasan tentang Kepemimpinan Non-Muslim menurut al-

Quran menjadi topik yang sedang hangat dibicarakan di kalangan

masyarakat Indonesia, terkait apakah boleh seorang Non-Muslim

menjabat sebagai seorang pemimpin dalam suatu Negara, banyak

pertanyaan mengenai hal ini, contoh kasus yang sering kita dengar

adalah kasus kepemimpinan Gubenur Jakarta Basuki Cahyo Purnomo,

beliau merupakan warga Non-Muslim yang menjabat sebagai Gubenur

Jakarta, Sehingga timbul pemikiran dikalangan masyarakat muslim

terkait dengan kepemimpinan seorang yang beragama selain Islam.

2. Sejauh yang penulis ketahui, bahasan ini sudah pernah dibahas dengan

judul Analisis Kepemimpinan Non-Muslim (Studi Terhadap UU No.23

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah), maka dalam hal ini

penulis juga akan membahas Kepemimpinan Non-Muslim namun

dengan bahasan yang berbeda, yakni menurut fiqih siyasah dan hukum

tata negara Indonesia, dikarenakan menurut penulis kajian ini sesuai

dengan disiplin ilmu yang penulis tekuni.


C. Latar Belakang Masalah

Menurut pemahaman mengenai Al-Qur‟an memang tidak ada satu dalil

pun yang secara eksplisit memerintah atau mewajibkan umat Islam untuk

mendirikan Negara. Lebih dari itu bahkan istilah Negara (daulah) pun tidak

pernah disinggung dalam Al-Qur‟an, prinsip-prinsip universal yang diajarkan

Al-Qur‟an, pada khususnya dan hukum-hukum syariat yang lain pada

umumnya, menurut Imam Khomeini, tidak dapat ditegakkan tanpa interfensi

dari kekuasaan negara. Sebuah pemerintahan Islam adalah pemerintah yang

menerima dan mengakui otoritas absolute Islam, dimana pemerintahan ini

berupaya untuk membentuk sebuah tertib sosial yang islami sesuai dengan

ajaran yang dikandung Islam, pelaksanaan syariat, sembari terus-menerus

berupaya untuk mengarahkan keputusan-keputusan politik dan fungsi-fungsi

publik sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai Islam.7

Berhubungan dengan tema pembahasan sekarang dari hak-hak politik

adalah hak partisipasi politik non-Muslim didalam daulah Islamiyah, yang

tersimbol pada dua Hak, yaitu hak memilih presiden atau anggota parlementer

dan hak dipilih menjadi anggota dewan parlementer juga menjadi Ahlul Hilli

wal Aqdi, yang mempunyai peran yang amat signifikan dalam sistem hukum

Islam sejak masa kenabian dan masa-masa selanjutnya, apalagi masa para

khalifah Ar-Rasyidin, dimana para khalifah saat itu juga meminta pendapat

7
Ahmad Vaezi. Agama Politik Islam Nalar Politik Islam. (Jakarta:citra, 2006).h. 11.
mereka dalam perkara-perkara umum dan kemaslahatan umat, serta

melaksanakan usulan mereka.8

Otoritas agama berbeda pada Shahib al-Syariah (pemilik Syariat),

yakni Nabi sebagai penerima wahyu dari Allah. Sementara politik merupakan

kewenangna manusia, terutama pada hal-hal yang bersifat struktual dan

prosedural yang banyak melibatkan ijtihad kreatif dari manusia.9 Prinsip-

prinsip persamaan di dalam Islam di dasarkan kepada kesatuan jenis manusia

di dalam kejadiannya dan di dalam tempat kembalonya, di dalam

kehidupannya, di dalam matinya, di dalam hak dan kewajibannya di hadapan

Undang-Undang, di hadapan Allah, di dunia dan akhirat persamaan ini

didasarkan atas kemanusiaan yang mulia, bahkan persamaan yang berdasarkan

kemanusiaan ini juga berlaku bagi yang Non-Muslim.10

Sebuah pertanyaan bolehkan seorang non-muslim menjadi pemimpin

di daerah yang mayoritas muslim ??, pertanyaan ini sangat tepat sekali untuk

konteks saat ini. Dan bagaimana al-Qur‟an sendiri berbicara mengenai

hubungan muslim dengan non-Muslim dalam ranah politik ini. Secara umum

ada dua klasifikasi pemikiran dalam masalah ini. Pertama, mereka yang

melarang. Kedua mereka yang membolehkan adanya pemimpin dari kalangan

non-muslim.

Pemerintahan yang baik dalam menyelenggarakan kekuasaan negara

harus berdasarkan pada (Ketertiban dan kepastian hukum dalam pemerintahan,

8
Farid abdul Khalik, Fikih Politik Islam, (Jakarta:Sinar Grafika Ofset, 2005).h.160.
9
Mujar Ibnu Syarif. Hak-Hak politik minoritas non-muslim dalam komunitas Islam.
(Bandung:Angkasa, 2003) .h. 1.
10
A.Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu
Syariah Edisi Revisi, (Bandung:Predana media, 2003), h.311-312.
Perencanaan dalam pembangunan, Pertanggung jawaban, baik oleh pejabat

dalam arti luas maupun oleh pemerintahan, Pengabdiaan pada kepentingan

masyarakat, dan Untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.11

Adapun ayat-ayat yang berbicara tentang hubungan politik muslim

dengan non-muslim; Al-Maidah (51)

‫َب ُء‬ِٛ‫ضُٓ ْى أَ ْٔن‬


ُ ‫َب َء بَ ْع‬ِٛ‫برٖ أَ ْٔن‬
َ ‫ص‬َ َُّ‫َُٕٓ َد َٔان‬ٛ‫ٍ آ َيُُٕا ال تَت َّ ِخ ُذٔا ْان‬ٚ َ ‫َُّٓب انَّ ِذ‬َٚ‫َب أ‬ٚ
ٍَٛ ًِ ِ‫َ ْٓ ِذ٘ ْانََ ْٕ َو انََّّبن‬ٚ ‫َتَ َٕنَُّٓ ْى ِي ُْ ُك ْى فَإََُِّّ ِي ُُْٓ ْى إِ ٌَّ للاَ َال‬ٚ ٍْ ‫ْض َٔ َي‬ٍ ‫بَع‬
)١٥(
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman jangalah kamu menjadikan orang-
orang yahudi dan nasrani sebagai penolong/pemimpin, sebagian mereka
(kaum yahudi dan nasrani) hanya pemimpin lagi sebagai mereka yang lain.
Dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka pemimpin maka dia
termasuk bagian dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan
petunjuk kepada kaum yang dhalim (Al-Maidah : 51).12

Ulama-ulama tafsir mengomentari ayat tersebut dengan berbagai

macam. Diantara mereka adalah Ibnu Katsir menafsirkan ayat diatas bahwa

Allah swt melarang hamba-hamba Nya, untuk mengangkat pemimpin atau

meminta pertolongan kepada kaum yahudi dan nasrani karena mereka adalah

musuh islam dan Allah memerangi mereka. Maka siapa diantara kamu yang

mengangkat mereka menjadi pemimpin maka dia (kaum Muslimin) menjadi

bagian dari mereka (kaum non-Muslim dalam hal ini yahudi dan nasrani).

Ibnu Taimiyah sendiri dalam tulisannya lebih menekankan konsep keadilan

yang ditegakkan dari pada melihat status sang pemimpin, baik dia muslim /

11
Beni Ahmad Saebani Fiqih Siyasah Terminologi dan Lintasan Sejarah Politik Islam
Sejak Muhammad SAW. Hingga Al-Khulafa Ar-Rasyidun,(Bandung:CV Pustaka Setia, 2015)
h. 123.
12
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz.h 155.
non-Muslim boleh saja memimpin selama ditegakkannya pemerintahan yang

berkeadilan, ini terbukti dalam sebuah pernyataannya.

ِ‫ال ِْولِِالعِاِدِلِِوِِاِ ِْنِكنِتِِْكِفِ ِرِةِوِلِيِقِ ِْيِاِلْظِاِلِةِِ ِواِ ِْنِكنِتِِْمِ ِْسلِمِةِِويِقالِِاِلدِِنْيِاِثِدِمِِمِعِِِْالعِدِْلِِ ِوِْالكِِْف ِروِلِِثِدِ ِْومِِمعِِاِلْظِ ِْل‬
ِ ْ ِ‫اِنِِللاِِيِقِ ِْي‬
ِ‫ِواِ ِْلِ ِْسلِم‬
Artinya:..Sesungguhnya Allah mendirikan (mendukung) negara adil meskipun
negara itu kafir, dan Allah tidak mendukung (negara) yang zalim sekalipun
negara itu Muslim. Dunia itu tidak dapat tegak dengan memadukan antara
kekufuran dan keadilan dan dunia tidak dapat tegak dengan modal
kezhaliman dan keislaman.13

Memahami sebab kedudukan yang tinggi yang dijadikan Islam untuk

berprinsip “berlaku adil” sebagai sarana pengikat antara semuah prinsip-

perinsip umum mendasar dan kaidah-kaidah konstitusional menyeluruh,

seperti prinsip-prinsip musyawarah, persamaan hak, kebebasan dan hak asasi

manusia.14 Konsepsi kepemimpinan pemerintahan maka yang dimaksudkan

dalam pemimpin maka yang dimaksudkan dalam pemimpin disini adalah

pemimpin pada ketiga cabang pemerintahan, yaitu eksekutif, legislatif,

yudikatif. Dalam tingkatan eksekutif atau pemerintahan dalam arti sempit

maka kepemimpinan pemerintahan dipegang oleh pemimpin pemerintah mulai

dari tingkat daerah sampai tingkat negara yaitu Lurah/Kades, Camat, Wali

Kota/ Bupati, Gubernur dan Presiden.

Di Indonesia, dalam konteks syarat untuk menjadi seorang pemimpin

dalam hukum positif dan di dalam UUD 1945 tidak ada penjelasan secara

eksplisit yang menjelaskan bahwa syarat pemimpin di Indonesia haruslah

13
Wawan Gunawan Abdul Wahid, “Fikih Kepemimpinan Non-Muslim”. Fikih Kebinekaan
Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan , dan Kepemimpinan Non-Muslim, (3rd
ed) (Bandung:Mizan Pustaka,2015).h. 321
14
Farid Abdul Khaliq, Op.Ci.,h.208
beragama Islam, dan melarang kepemimpin non-Muslim. Tidak ada satu pun

UU dan pasal yang secara jelas melarang kepemimpinan non-Muslim di

Indonesia, hanya saja kandungan dalam pembukaan UUD 1945 menjelaskan

bahwa tidak ada perbedaan antara suku, agama, bahasa, budaya, dan lain-lain.

Ditelaah lebih jauh dalam konteks kepemimpinan akan sangat luas,

karena dalam kempimpinan disebuah negera ada banyak sekali , maka penulis

dalam hal ini kan mambahas prihal kepemimpin seseorang yang menjabat

dalam suatu pemerintahan menurut fiqih siyasah dan hukum tata negara dalam

Undang-Undang 1945 dan Pancasila, kalangan mana siapapun boleh menjadi

kepala negara, asalkan ia mampu melaksanakannya. Kepala negara ditentukan

berdasarkan pemilihan umat Islam Sendiri. Merekalah yang paling tahu

tentang keadan mereka dan hal-hal yang mereka pilih.15

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Hukum, Perbedaan dan Persamaan Kepemimpinan non-

muslim menurut fiqih siyasah dan hukum tata negara Indonesia ?

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Objektif:

a. Untuk memperoleh dan dan memperluas wawasan dalam ilmu

kepemimpinan yang terjadi di Indonesia tentag kepemiminan Non-

muslim

15
Muhammad Iqbal, Op.Cit, hlm 144.
b. Untuk mengenalisis tanggapan fiqih siyasah dan hukum tata negara

terhadap kepemimpinan, dimana kaum muslim yang dipimpin oleh

kaum non-Muslim.

c. Sebagai refrensi tambahan bahan ajar dalam bidang siyasah.

2. Tujuan Subyektif

a. Bahan ini belum pernah dibahas khusus nya dalam bentuk skripsi

dan penulis merasa mampu dikarenakan banyak sumber yang

tersedia.

b. Kajian ini sesuai dengan displin Ilmu yang penulis tekuni.

c. Sebagai syarat salah satu persyaratan dan menyelesaikan

pendidikan Sarjana (S1) Jurusan Siyasah Pada UIN Raden Intan

Lampung.

F. Kegunaan Penelitian.

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan sebagai refrensi dan

informasi di Fakultas Syari‟ah dan diharapkan sebagai sumbangsih

pemikiran yang positif serta memberikan kontribusi untuk ilmu

pengetahuan hukum, agar tetap berkembang khususnya dalam

pembahasan mengenai Kepemimpinan non-muslim di Negara

Indonesia.

2. Kegunaan secara praktis penelitian ini dapat memberikan pengetahuan

kepada masyarakat, terkait Kepemimpinan sebagai landasan kebatinan

masyarakat Indonesia dalam hal memilih sosok seorang pemimpin

yang mampu memakmurkan, mensejahterakan, memajukan, dan


menaikan derajat rakyat di Indonesia meskipun dlam hal perbedaan

kepercayaan agama, karna di Negara Indonesia ini meliki perbedaan

golongan yaitu muslim dan non-muslim.

G. Metodelogi Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian kepustakaan yaitu “peneliti yang dilaksanakan

dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku-buku

catatan,maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu”. 16

Melalui metode ini penulis berusaha mengumpulkan data yang

dibutuhkan dengan jalan mencari pendapat-pendapat dan teori-teori

yang relevan dengan pokok-pokok permasalahan yang terdapat di

dalam skripsi ini untuk dijadikan sumber rujukan dalam usaha

menyelesaikan penulisan.

b. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifanya, penelitian ini termasuk penelitian hukum

yuridis normatif. Adapun bentuk penelitian yuridis normatif adalah

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.

Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode Deskriptif

analitik yaitu dengan cara menganalissi data yang diteliti dengan

memaparkan data-data tersebut, kemudian memperoleh kesimpulan.17

16
Susiadi,AS.,Metode penelitian,(Lampung : Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M
Institut Agama Islam Negeri Raden Intan,2015), h. 10.
17
Abdul Khadir Muhammad, Hukum dan Politik Hukum, (Bandung;Citra Ditya Bakti, ,
2004), h.126.
2. Sumber Data

Guna memperoleh bahan hukum yang akurat untuk penulisan

skripsi ini, bahan-bahan hukum tersebut diperoleh dengan tiga cara yaitu

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Untuk

lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan tentang sumber data tersebut,

yaitu:

A. Bahan hukum primer

Berasal dari buku-buku Fqih Siyasah, Al-Qur‟an, Hadis yang

ditulis oleh para Ahli, serta dari buku hukum Indonesia dan UU

kesatuan RI.

B. Bahan hukum sekunder

Adalah bahan buku yang mendukung penulisan skripsi yang

berasal dari buku, jurnal, hasil penelitian, bulletin, dan bahan tulis

lainnya yang dapat mendukung penelitian ini.

C. Bahan hukum tersier

Merupakan bahan hukum yang didukung oleh hukum primer dan

sekunder seperti kamus besar bahsa Indonesia ,kamus hukum, dan

ensiklopedia, yang dapat mendukung penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data bahan hukum, langkah pertama yang

dikerjakan dalam penulisan skripsi ini adalah mencari beberapa peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan pokok permasalahan serta


refrensi buku terkait yang kemudian dijakdikan bahan hukum primer,

sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari membaca dan

mempelajari literatur yang berupa buku dan karya ilmia huntuk mencari

konsep-konsep, teori, dan pendapat yang berkaitan erat dengan

permasalahan yang selanjutnya disajikan dalam bentuk tulisan.

4. Metode Pengolahan Data

Setelah sumber (literatur) mengenai data dikumpulkan berdasarkan

sumber diatas, maka selanjutnya adalah pengumpulan data yang diperoses

sesuai dengan kode etik penelitian dengan langkah sebagai berikut :

1. Pemeriksaan Data (Editing) yaitu mengkoreksi apakag data

yang terkumpul sudah cukup, lengkap, benar, dan sesuai atau

relevan dengan masalah.

2. Penandaaan Data (coding) yaitu memeriksa catatan atau tanda

yang menyatakan jenis sumber data (Buku-buku, pendapat para

ahli baik dari para ahli hukum islam, Indonesia maupun para

ahli hukum barat, al-Qur`an dan Hadis, dan UUD 1945 dan

refrensi lainnya).

3. Rekontruksi data (recontrukting) yaitu menyusun ulang data

secara teratur, berurutan dan logis sehingga mudah dipahami

dan di interprestasikan.

4. Sistematika Data (sistematizing) yaitu menempatkan data

menurut kerangka sistematika bahan berdasarkan urutan

masalah.
5. Metode Analisis Data

Data yang telah diperoleh dengan menggunakan metode penelitian

kepustakaan kemudian dianalisis dengan Metode deskriptif yaitu dengan

berusaha mendeskriptifkan sesuatu gejala, pristiwa, kejadian yang terjadi

saat sekarang18, yaitu mendeskriptifkan pristiwa seorang pemimpin non-

Muslim yang memimpin kalangan non-Muslim, dengan cara melihat dari

sudut pandang fiqih siyasah dan hukum tata negara Indonesia.

18
Suharsimi Arikunto,Prosedur Penelitian Cetakan ke III,(Bandung:Bina Aksara,1990),
h.211.
BAB II

KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM MENURUT FIQIH SIYASAH

A. Definisi Kepemimpinan Menurut Fiqih Siyasah

Kata kepemimpinan dalam fiqih siyasah yaitu imamah yang antara lain

bertugas sebagai pengganti kenabian dalam melindungi agama dan mengatur

kemaslahatan hidup, sekelompok ulama berpendapat bahwa status wajibnya

mengangkat seorang kepemimpinan adalah berdasarkan akal karena orang

yang memiliki akal sehat tunduk kepada sorang pemimpin yang mencegah

mereka dari kezaliman dan menghindarkan mereka dari konflik serta

permusuhan.19

Terkait dengan hal ini, ada tiga pandangan dalam memahami

fenomena kepemimpinan.

Pertama, Kepemimpinan tidak memusatkan perhatian pada kekuatan

individual, bukan pada posisi atau status yang ia miliki, dalam perspektif

weber, sebuah kepemimpiann yang memusatkan perhatian pada prosedur

hukum di sebut otoritas hukum.

Kedua, Tipe kepemimpinan tradisional yang didasarkan pada

kepercayaan yang mapan tentang kesucian tradisi lama. Status seorang

pemimpin ditentukan adat-kebiasaan lama yang dipraktekan oleh masyarakat

di dalam tradisi tertentu.

19
Al-Mawardi, Al-Ahkam Sulthaniyah - Sistem Pemerintahan Khilafah Islam,
(Jakarta:Qisthi Pers,2015).h.9.
Ketiga, Kepemimpinan bisa dipahami sebagai kemauan dalam diri

seseoarang. Di dalam perspektif weber, kepemimpinan yang memiliki sumber

dari kekuasaan yang terpercaya tersebut otoritas kharismatis.20

B. Pengertian Fiqih Siyasah dan Sumbernya.

Fiqih siyasah berasah dari dua kata yakni fiqih dan siyasah, fiqih

berasal dari kata faqaha-yaqahu-fiqhan. Secara bahasa pengertian fiqih adalah

(paham yang mendalam). Sedangkan menurut istilah, fiqih adalah

ِ ‫َّ ِت اْن ًُ ْستَ ُْبِطَ ِت ِي ٍْ اَ ِدنَّتَِٓب انتَّ ْف‬ِٛ‫َّ ِت ْان َع ًَه‬ٛ‫اَ ْن ِع ْه ُى بِ ْبلَحْ َكب ِو ان َّشزْ ِع‬
‫ َّ ِت‬ِٛ‫ه‬ْٛ ‫ص‬

Artinya: “ilmu atau pemahaman tentang hukum-hukum syariat yang bersifat


amaliyah, yang digali dari dalil-dalilnya yang rinci (tafsili).21

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa fiqih adalah upaya sungguh-

sungguh dari para ulama untuk menggali hukum-hukum syara sehingga dapat

diamalkan oleh umat Islam.

Sedangkan siyasah berasal dari kata sasa, berarti mengatur , mengurus

dan memerintah atau pemerintahan, politik dan pembuatan kebijaksanaan.22

Sebagai ilmu ketatanegaraan dalam islam fiqih siyasah antara lain

membicarakan tentang siapa sumber kekuasaan, siapa pelaksana kekuasaan,

apa dasar kekuasaan dan bagaimana cara-cara pelaksana kekuasaan

menjakankan kekuasaan yang diberikan kepadanya, dan kepada siapa

pelaksana kekuasaan mempertanggung jawabkan kekuasaannya. Menurut Beni

Ahmad Saebani fiqih atau syariah atau hukum Islam adalah ketentuan-

20
Surahman Amin, “Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Al-Qur‟an”. Jurnal
Study Al-Qur‟an, Vol.1 No.1 (Oktober 2015),h.28.
21
Muhammafd Iqbal. Op.Cit.h.2.
22
Ibid., h.3.
ketentuan yang menjadi peraturan hidup suatu masyarakat yang bersifat

mengendalikan, mencegah, mengikat dan memaksa.23

Ada beberapa pengertian terkait pengertian fiqih siyasah dan ada

kalangan politik Islam yang menyamakan fiqih siyasah dengan ilmu siyasah

syar‟iyyah diantaranya yakni sebagai berikut :

Fiqih siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik

membahas tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada

umumnya dan negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan,

dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan

dengan ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan

menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, yang dijalaninya.24

Menurut Muhammad Iqbal fiqih siyasah adalah bagian dari

pemahaman ulama mujtahid tentang hukum syariat yang berhubungan denagn

pemahaman ketatanegaraan.25 Dalam hal ini beliau juga berpendapat bahwa

fiqih siyasah merupakan salah satu aspek hukum islam yang membicarakan

pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi

mencapai kemaslahatan bagi manusia.

Menurut Abdul Wahab Khalaf siyasah syariyyah adalah sebagai ilmu

yang membahas tetang tata cara pengaturan masalah ketatanegaraan Islam

semisal (bagaimana mengadakan) peraturan perundang-undangan dan

23
Beni Ahmad Saebani, Op.Cit.h.18
24
Mujar Ibnu Syarif &Khamami Zada.Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam. (Jakarta: Erlangga, 2008). H.11.
25
Muhammad Iqbal., Op.Cit.h.3.
berbagai peraturan (lainnya) yang sesuai dengan peraturan Islam, kendatipun
26
penataan semua persoalan itu tidak ada dalil khusus yang mengaturnya.

Menurut Mawardi bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, tetapi

dalam hal ini Mawardi memasukan unsur agama dalam teorinya. Menurut

Mawardi Allah SWT. Menciptakan kita supaya tidak sanggup memenuhi

kebutuhan kita orang-seorang, tanpa bantuan orang lain, agar kita selalu sadar

bahwa Dia-lah pencipta kita dan pemberi rizki dan bahwa kita membutuhkan

dia serta membutuhkan pertolongan-Nya.27

Dari uraian diatas dapat diambil kesimplan bahwa fiqih siyasah

memegang peranan penting dalam penerapan dan aktualisasi hukum Islam

secara keseluruhan. Dalam fiqih siyasah diatur bagaimana sebuah ketentuan

Islam dapat berlaku secara efektif dalam masyarakat Islam. Tanpa keberadaan

negara dan pemerintahan, ketentuan Islam akan sulit sekali terjamin

keberlakuannya. Terkait masalah ibadah tidak terlalu banyak campur tangan

siyasah, tetapi untuk urusan masyarakatan yang kompleks, umat Islam

membutuhkan fiqih siyasah.

Fiqih siyasah atau Hukum Islam itu memiliki sumbernya, sebelum

memaparkan sumber-sumber hukumnya penulis ingin sedikit memberi definisi

sumber hukum, menutu kamus besar Bahasa Indonesia adalah asal sesuatu.

26
Mujar Ibnu Syarif & Khamami Zada. Op. Cit.h.11-12.
27
Munawir Sajdzali. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.
(Jakarta: UI-Press, 2011). h.60.
Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam,28

sumbernya yaitu :

1. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama,

Ia membuatkaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu

dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut.

2. As-Sunnah atau Al-Hadis

As-Sunnah atau al-Hadis dalah sumber hukum Islam yang kedua

setelah al-Qur‟an berupa perkataan, perbuatan dan sikap Rasulullah

yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadis.

3. Akal Pikiran

Akal Pikiran adalah yang memenuhi syarat untuk berusaha,

berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami

kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat pada al-

Qur‟an.29

28
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam-Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia.(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2014).h.73
29
Ibid.h.78-112.
C. Dasar Hukum Kepemimpinan Menurut Fiqih Siyasah.

Dasar Hukum Kepemimpinan menurut fiqih siyasah menurut aturan

menggunakan al-Qur‟an yang menjadi dasarnya dan menggunakan beberapa

metode dalam mempelajarinya antara lain yaitu: (1) ijma; (2) al-Qiyas; (3) al-

Mashlahah al-Mursalah; (4) saad al-dzriah dan fath al-dzari‟ah (5) al-

„adalah; (6) al-istihsan dan kaidahkaidah fiqhiyyah.30

Dalam hal membahas dasar hukum kepemimpinan, maka tidak akan

terlepas dari prinsip-prinsip bernegara dalam fiqih siyasah, prinsip-prinsip

bernegara yang ada dalam fiqih siyasah merupakan dasar hukum yang

digunakan untuk memilih seorang pemimpin.

Adapun prinsip-prinsip bernegara menurut fiqih siyasah sebagai

berikut31:

1. Prinsip Keadilan

Cukup banyak ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang konsep

keadilan, dalam hal yang berhubungan dengan prinsip bernegara dalam

Islam akan dikutip beberapa ayat-ayat yang relevan dengan topik ini

yaitu.32

Keadilan merupakan prinsip dalam Islam keadilan merupakan

kebenaran dan kebenaran merupakan salah satu nama Allah SWT.,

dalam islam keadilan merupakan hal yang sangat penting dalam Islam,

karena Allah SWT. Sendiri memiliki sifat adil (keadilan penuh dan

30
Djazuli, Op.Cit. h. 32.
31
Muhammad Tahir Azhary. Negara Hukum Suatu Studi Tetntang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Madinah
dan Masa Kini. (Jakarta:Kencana, 2004). h 105.
32
Ibid., h.117.
dengan kasih sayang kepada makhluknya) hal ini sesuai dengan surah

Al-An‟am ayat 160.

            

    

Artinya : Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya


(pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa
perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang
dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
33
(dirugikan).

Prinsip keadilan dalam nomokrasi Islam mengandung suatu

konsep yang bernilai tinggi. Ia tidak identik dengan keadilan yang

diciptakan manusia. Sebaliknya konsep nomokrasi Islam menempatkan

manusia pada kedudukan yang wajar baik sebagi indivindu amaupun

sebagai masyarakat. Manusia bukanlah merupakan titik sentral,

melaikan ia hanya hamba Allah SWT. Yang nilai-nilainyaditentukan

oleh hubungan dengan Allah SWT. Dan dengan sesama manusia

menurut al-Qur‟an hablun min Allah wa hablun min al-as.

2. Prinsip Kekuasaan Sebagai Amanah

Perkataan amanah tercantum dalam al-Quran surah An-Nisa ayat 58

           

             

  

33
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz. h.113.
Artinya:Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.34

Kekuasaan adalah amanah, amanah wajib disampaikan kepada

orang yang berhak menerimannya dalam arti dipelihara dan dijalankan

atau diterapkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip nomokrasi

Islam.35 Kekuasaan juga harus didasari dengan prinsip menegakkan

keadilan yang merupakan suatu perintah Allah SWT. Yang wajib

dilaksanakan dan juga pertanggung jawaban yang berat, tidak hanya

didunia, melaikan juga pertanggungjawaban di akherat. Menurut aturan

Islam, seorang pemimpin adalah wakil dari rakyat yang bertugas

mewujudkan maslahat bagi umat dan menjaga eksistensi agama sesuai

dengan tuntutan hukum syara.36

3. Prinsip Musyawarah

Dalam al-Qu‟ran prinsip musyawarah terdapat dalam surah al-

Imran ayat 159

ِِِِِِِِِ ِِِِِ

ِِِِِِِِِِِِ 

ِِِِِِِِ

34
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz. h.72.
35
Muhammad Tahir Azhari. Op.Cit., h.107
36
Rapung Samuddin. Fiqih Demokrasi Menguak Kekeliruan Pandang Harapannya
Umat Terlibat Pemilu dan Politik.(Jakarta:Pustaka Al-Khausar,2013). h.55.
Artinya:,. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakk Allah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
37
Nya.

Prinsip musyawarah ini berbeda dengan pandangan demokrasi

liberal yang berpegang pada rumus “setengah plus satu” atau suara

mayoritas yang lebih dari separuh sebagai hasil kesepakatan.38

Musyawarah disini dapat diartikan sebagai sutu forum tukar menukar

pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam

memecahkan masalah adapun prinsip-prinsip bermusyawarah dalam

nomokrasi Islam antara lain :

a) Musyawarah bertujuan melibatkan atau mengajak semua pihak

untuk berperan serta dalam kehidupan bernegara.

b) Harus dilandasi jiwa persaudaraan yang dilandasi iman karena

Allah SWT.

c) Tujuan musyawarah ditujukan untuk kemaslahatan rakyat.

d) Dalam musyawarah yang terpenting bukan pada siapa yang

berbicara, melainkan gagasan atau pemikiran apa yang

dibicarakan

37
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz. h. 90.
38
Muhammad Tahir Azhari. Op.Cit., h.112.
e) Dalam Islam tidak mengenal oposisi (pihak-pihak yang tidak

mendukung pemerintah atau melepaskan tanggung jawab

bernegara).

f) Suatu keputusan dapat pula diambil dari suara terbanyak dan

kesepakatan atau hasil dari musyawarah dalam Islam lazim

disebut sebagai Ijma. Dalam melakukan Ijma harus ada dalil yang

dijadikan pegangan oleh mujtahid yang melakukan kesepakatan

hukum dari suatu masalah tertentu, para ulama berbeda pendapat

tentang kemestian adanya mustanad dalam kesepakatan hukum

yang terjadi, yang dibagi menjadi dua kelompok yakni :39

Al-Quran memerintahkan musyawarah dan menjadikannya

sebagai satu unsur dari unsur-unsur pijakan negara Islam.40 Dalam hal

ini musyawarah adalah hak partisipasi rakyat dalam masalah-masalah

hukum dan pembuatan keputusan politik, seperti hak mereka untuk

memilih pemimpin, dan juga hak untuk mengawasi jalannya pemerintah

sesuai dengan prinsip amar ma‟ruf nahi mungkar, sehingga wajib bagi

pemerintah untuk membuat undang-undang yang sesuai dengan

keinginan dan kebutuhan mereka. Karena merupakan suatu prinsip,

maka al-Qur`an dan Sunnah tidak mengaturnya. Hal ini sepenuhnya

diserahkan kepada manusia untuk mengatur dan menentukannya. 41

39
Abd, Rahman Dahlan. Ushul Fiqih. (Jakarta:Amzah,2014). h.158.
40
Farid Abdul Khaliq, Op.Cit., h..36.
41
Muhammad Tahir Azhari. Op.Cit.,h.114
4. Prinsip persamaan

Prinsip persamaan dalam Islam dapat dipahami dalam al-Quran,

surah al-Hujarat ayat 13

         

            

Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya
42
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat diatas menceritakan bagaimana manusia tercipta dari

pasangan laki-laki dan wanita yakni adam dan hawa dan dilanjutkan oleh

pasangan yang lainnya melalui suatu proses perkawinan ayah dan ibu.

Proses penciptaan yang seragam itu merupakan suatu kriterium bahwa

pada dasarnya semua manusia itu adalah sama, prinsip persamaan ini

salah satu tiang utama dalam membangun negara hukum menurut al-

Qur‟an dan Sunnah.43

Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan

ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasam

jenis kelamin dan lain sebagainyayang berbau realisis.44 Kualitas dan

ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaan yang ditunjukan

42
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz. h.726.
43
Muhammad Tahir Azhari.Op.Cit., h.125
44
Abuddin Nata. Metodelogi Studi Islam.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001).H.88
dengan prestasi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia, maka atas

ukuran ini, maka dalam Islam semua orang memiliki kesempatan yang

sama. Persamaan dalam al-Quran pula pada dasarnya memberikan

justifikasi yang sangat jelas tentang kesejajaran antara laki-laki dan

perempuan tentang politik yakni terdapat dalam ayat al-Quran surat al-

Baqarah ayat 30 yakni: 45

ِِِِِِ ِِِِِِِِ

ِِِِِِِِِِِِِ

ِِِ
Artinya: dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.46

Pada dasarnya hak seorang perempuan itu sama dengan laki-laki,

maka dalam hal ini seorang wanita dapat menjadi seorang pemimpin

apabila telah memenuhi syarat-syarat memimpin. Perbedaan antara

keduanya hanyalah pada fungsi utama dari masing-masing jenis sesuai

dengan kodranya seperti melahirkan, menyusui, dan wanita tetap

berkewajiban menghormati suaminya sebagai kepala keluarga.

Secara mutlak semua manusia sama-sama mempunyai kewajiban

untuk menyempurnakan kehendak Allah SWT. Dan mereka akan diadili

45
Arief Subhan dkk. Citra Perempuan dalam Islam Pandangan Orman Keagamaan.
(Jakarta: PT SUN, 2003).H.70,
46
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz.h.6.
menurut timbangan keadilan yang mutlak dan sama. Dari ayat diatas

adapun pokoknya sebagai berikut :

a) Semua manusia adalah Khalifah Allah SWT .Diatas bumi

untuk mengelola dan mengatur bumi demi kemaslahatan

manusia.

b) Dari segi kewajiban manusia memiliki kewajiban yang sama

secara mutlak dan apabila mereka tidak melaksanakannya

dengan baik maka mereka akan diadili menurut timbangan

keadilan yang mutlak dan sama.

c) Karena sifat Allah SWT. Yang maha adil maka sikap

diskriminasi dalam islam ditolak.

5. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak Asasi

Manusia

Dalam nomokrasi Islam hak-hak asasi manusia bukan hanya

diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya. Hak-hak asasi manusia dalam

hukum islam berdasarkan al-Quran dan Sunnah terbagi menjadi tiga inti

yaitu :

a).Kemulian meliputi hak pribadi, masyarakat, dan politik

b).Hak-hak pribadi meliputi hak persamaan, martabat dan

kebebasan

Prinsip-prinsip itu ditegaskan dalam al-Qur‟an antara lain dalam

surah Al-Isra ayat 70


ِِِِِِِِِِِِ

ِِِِِِ
Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki
dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
47
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Ayat tersebut mengekspresikan kemulian manusia dalam al-Qur‟an

dengan istilah karamah (kemulian).menurut Mohammad Hasbi Ash-

Shiddieqy membagi karamah itu menjadi tiga kategori yaitu (1) kemulian

pribadi atau karamah fardiyah yang artinya dilindungi pribadinya maupun

hartanya(2) kemulian atau karomah ijtimaiyah yang artinya persamaan

dijamin sepenuhnya dan (3) kemulian politik atau karomah siyasah yang

artinya islam meletakkan hak-hak politik dan menjamin hak-hak itu

sepenuh bagi setiap orang warga negara, karena kedudukannya yang

dalam al-Quran disebut sebagai Khalifah.

Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dalam

nomokrasi Islam ditekankan pada tiga hal yaitu persamaan manusia,

martabat manusia,kebebasan manusia. Karena itu al-Quran menentang

dan menolak setiap bentuk perlakuan dan sikap yang mungkin dapat

menghancurkan prinsip persamaan. Sedangkan karamah manusia

diciptakan oleh Allah SWT. Dengan martabat atau perlengkapan fisik

yang tidak terdapat pada makhluk lain. al-Quran pun menekankan tidak

47
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz. h.394.
adanya paksaan untuk memluk agama Islam. Allah SWT berfirman dalam

surah Al-Baqarah ayat 256

ِِِِِِِِِِِِِِِ

ِِِِِِ ِِِِِِِ

ِِِِ ِِِِِِِِِِ

ِ ِِِِ

Artinya: tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);


Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.48

Karena dalam kehidupan Rasulullah SAW pun memberikan

contoh yang paling baik untuk bertoleransi, saling memaafkan, kasih

sayang, dan perdamaian.

6. Prinsip Peradilan Bebas

Hal ini memiliki makna kewenangan hakim pada setiap putusan


yang ia ambil bebas dari pengaruh siapapun, dan wajib pula
memperhatiakan prinsip amanah sebagaimana yang tercatum dalam al-
Quran surah An-Nisa ayat 58

          

         


Artinya:.. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
48
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz .h.53.
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.49
Secara hukum diakui bahwa faqih yang adil mampu untuk

menengahi perselisihan-perselisiahan dan memutuskan perkara-perkara

hukum.50 Para penganut Immamiah percaya bahwa fungsi ini (wilayat al-

qada atau al-hukuma) termasuk dalam otoritas illahiah seorang imam

atau pemimpin, maka dalam hal ini sangat penting untuk melakukan

pengujian dan penyeleksian seorang yang akan menjadi hakim, agar kelak

mereka dapat bertindak adil dalam menangani perkara hukum.

7. Prinsip Perdamaian

Al-Quran dengan tegas menyeru kepada orang-orang yang beriman

agar masuk kedalam perdamain. Nomokrasi Islam harus ditegakkan

dengan prinsip perdamaian. Hubungan dengan negara-negara lain harus

dijalin dan berpegang pada prinsip perdamaian. Prinsip perdamaian ini

ditegaskan yakni tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 208:

ِِِِِِِِِِ

ِِِِِِِ 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
51
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu

49
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz. h.113.
50
Ahmed Vaezi. Agama Politik Nalar Politik Islam. (Jakarta: Citra,2006).h.88.
51
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz.h. 40.
Dalam hubungan bertetangga dengan negara lain, masing-masing

negara wajib menghormati hak-hak negara lain yang bertetangga dengan

negara Islam.52Dalam mewujudkan perdamaian antar negara maka

dibuatlah perjanjian mengenai hak dan kewajiban antar negara tersebut

yang sekarang lebih kita kenal dengan perjanjian Internasional. Prinsip

perdamaian ini wajib ditaati oleh setiap negara dan warga negaranya.

Adapun hal lain yang menyebabkan perjanjian ini tidak ditaati oleh

negara yang bersangkutan disebabkan karena hal-hal tertentu yang

sifatnya darurat (alasan yang benar dan adil) seperti mempertahankan diri

dari apabila terjadi perang. Islam adalah agama yang berwatak damai dan

mementingkan al-akhlaq al-karimah, hal inipun ditunjukan bukan hanya

ketika damai, tetapi juga diwaktu perang. Adapun hal-hal lain yang

menyebabkan peperangan diantaranya adalah fitrah manusia sebagai

makluk yang tidak sempurna, yang dapat berbuat salah. Dengan

kemampuan manusia untuk berbuat salah, maka akan selalu ada orang

yang memilih melanggar watak dirinya dan batas-batas ketentuan tuhan.53

8. Prinsip Kesejahteraan

Prinsip keadilan dalam nomokrasi Islam bertujuan mewujudkan

keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat. Bukan hanya

mencakup kebutuhan materil saja, kewajiban Negara juga mencakup

pemenuhan kebutuhan spiritual, hal ini bertujuan mencegah penimbunan

harta seseorang atau sekelompok orang. Dal islam prinsip kesejahteraan


52
A.Zazuli. Op.Cit.h. 207.
53
Mun‟im A Sirry. Membendung Militansi Agama Imam dan Politik dalam
Mayarakat Modern. (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2003).h.73
diwujudkan melalui pentingnya zakat dalam Negara hal ini sesuai dengan

al-Qur‟an surah At-Taubah ayat 103

ِِِِِ ِِِِِِِِ

ِِِِِِ 

Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui54

9. Prinsip Ketaatan Rakyat

Hubungan antara pemerintah dan rakyat, al-Quran telah

menetapkan suatu prinsip yang dapat dinamakan sebagai prinsip

ketaatan rakayat. Prinsip itu ditegasakan dalam surah an-Nisa ayat 59:

          

           

       


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
55
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
Hazairin menafsirkan “menaati Allah SWT” ialah tunduk kepada

ketetepan Allah SWT”, menaati Rasul” ialah tunduk kepada ketetapan-

ketetapan Rasul yaitu Nabi Muhammad saw dan menaati Ulil amri”

54
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz. h. 273.
55
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz. h. 114.
ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan petugas-petugas kekuasaan

masingg-masing dalam lingkungan tugas kekuasaannya. 56 Sesungguhnya

ulil amri bukan hanya mereka yang memiliki kewenangan dan

kekuasaan saja, tetapi juga para sarjanah muslim- terutama sarjanah

hukum Islam yang memenuhi syarat untuk berijtihad.

D. Syarat – Syarat Kepemimpinan menurut Fiqih Siyasah

Syarat-Syarat legal bagi kelompok kepemimpinan atau bagi seorang

calon pemimpin yaitu memiliki beberapa syarat antara lain yaitu: 57

1. Adil berikut Syarat-syarat yang menyeluruh.

2. Memiliki pengetahuan yang membuatnya mampu berijtihad di

dalam berbagai kasus dan hukum.

3. Memiliki pancaindra yang sehat,baik telinga, mata, maupun

mulut sehingga ia dapat secara langsung menangani persoalan

yang diketahuinya.

4. Memiliki organ tubuh yang sehat dan terhindar dari cacat yang

dapat menghalanginya dari menjalankan tugas dengan baik dan

cepat.

5. Memiliki gagasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat

dan mampu mengurusi berbagai kepentingan.

6. Memiliki kebaranian dan sifat kesatria yang membuatnya

mampu melindungi negara dan melawan musuh.

56
Muhammad Tahir Azhari.Op.Cit., h.153
57
Al-Mawardi,Op.Cit.h.11
7. Memiliki nasab dari silsilah suku Quraisy, berdasarkan nash

dan ijma‟.

Syarat-syarat menjadi seorang pemimpin menurut Fiqih Siyasah

memiliki tujuh Point Penting dalam Kepemimpinan, dan tujuan dari point-

point ini adalah untuk menjadi sebuah acuan syarat penting bagi seorang

pemimpin yang akan mencalonkan diri atau yang akan dipilih oleh rakyat.

Syarat-syarat kepemimpinan adalah hal yang wajib di penuhi namun

ada pun syarat-syarat legal kelompok pemilih yang akan memilih seorang

pemimpin antaralain yaitu: 58

1. Adil berikut syarat-syarat menyerttainya.

2. Memiliki pengetahuan yang dapat mengantarkannya mampu

mengetahui orang yang berhak diangkat sebagai pemimpin

sesuai dengan syarat-syarat yang legal.

3. Memiliki gagasan dan sikap bijaksana yang membuatnya

mampu memilih orang yang paling layak diangkat menjadi

pemimpin dan paling tepat serta paling arif dalam mengatur

berbgaia kepentingan.

E. Pendapat Ahli Fiqih Siyasah Tentang Kepemimpinan Non-Muslim.

Pada dasarnya pemimpin yang diinginkan oleh suatu negara yaitu

pemimpin yang bijaksana, merakyat, berpendidikan dan satu kepercayaan

dengan masyarakat, agar tidak ada yang namanya kesalah pahaman serta

58
Ibid.h.11.
tidak adanya perbedaan kepercayaan antara seorang pemimpin dengan

masyarakat.

Sebagaimana latar belakang diatas, diskursus seputar hukum

mengenai hukum mengangkat pemimpin non-Muslim dikalangan umat

Islam merupakan isu kontroversial yang senantiasa memancing perdebatan

dikalangan para ahli yang telah berlangsung sejak dulu hingga kini.

Sementara, memilih pemimpin non-Muslim itu dilarang, karena tidak adil

itu dalam kebanyakan kasus yang dikaji kitab-kitab fikih, hukum menguasakan

non-Muslim untuk menangani urusan kaum Muslimin adalah haram, dalam hal

ini, terkait dengan pemimpin Non-Muslim, ada beberapa pandangan dari

beberapa ulama‟ tafsir yakni:

1. Menurut pendapat Syaikh Imām Qurṭubi, pemimpin harus


dipegang oleh kaum Muslimin, dan sangat berbahaya apabila
pemimpin dipercayakan kepada kaum Non-Muslim. Di dalam
Kitabnya Tafsīral-Qurṭubi, beliau menyatakan, pada zaman
sekarang ini keadaan sudah terbalik dan berubah sedemikian rupa,
hingga orang-orang Islam lebih mempercayakan segalanya kepada
orang-orang kafir, dan keadaan kaum Muslimin pun semakin
memburuk dan terpuruk.59
2. Menurut pendapat Ibnu Katsir mengatakan, “Riwayat dari
Khalifah Umar ditambah ayat di atas adalah dalil bahwa orang
kafir dzimmi tidak boleh dipekerjakan sebagai juru tulis sehingga
merasa lebih tinggi dari kaum muslimin dan mengetahui rahasia-
rahasia umat sehingga dikhawatirkan akan disampaikan kepada
musuh, orang kafir harbi.”60
3. Al-Qadhi Iyadh berkata,"Para ulama bersepakat bahwa
kepemimpinan (Islam) tidak sah diberikan kepada orang kafir; dan
bahkan bila pemimpin (Muslim) kemudian keluar dari Islam
(kafir), maka dia harus turun."61

59
Syeikh Imam Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Terj. Dudi Rosyadi, et.al, Pustaka
Azzam, Jakarta, Jilid. IV, 2008, h. 446.
60
Tafsirul Al-Qur‟anil Adzim, Jilid.I,h.398.
61
Shahih Muslim bi Syarh Al-Na wâwi, Jilid.XII,h.229.
4. Ibnu Mundzir juga mengatakan, "Seluruh ahli ilmu bersepakat
bahwa orang kafir sama sekali tidak boleh menjadi pemimpin bagi
kaum Muslim dalam keadaan apa pun."62
5. Kata Ibnu Hajar, menjawab QS.Ali-Imran :118, “Dalam ayat ini
terkandung larangan keras untuk simpati dan memihak kepada
orang-orang kafir, karena yang dimaksud bithonah dalam ayat
tersebut adalah orang-orang dekat yang mengetahui berbagai hal
yang bersifat rahasia. Bithonah diambil dari kata-kata bathnun
yang merupakan kebalikan dari zhahir yang berarti yang nampak.
Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan bithonah adalah orang-orang yang sering menemui karena
sudah akrab”.63

Perbedaan interprestasi para ulama menganai dalil-dalil yang seolah

bertentangan tersebut dan atau perebatan pandangan mereka dalam menilai

masih tetap berlaku atau tidaknya dalil-dalil yang melarang umat Islam

memilih pemimpin non-Muslim di masa kontemporer sekarang ini, tentu

saja melahirkan pendapat yang beragam, disamping ditemukan dalil-dalil

yang melarang umat Islam memilih non-Muslim sebagai pemimpinnya,

ditemukan pula dalil-dalil lain yang bernada membolehkannya.64

Menurut Ibnu Thaimiyah mengisyaratkan bahwa pemimpin yang


mampu mengejawantahkan (mewujudkan / melaksanakan) keadilan
meskipun non-Muslim lebih baik daripada pemimpin yang beragam islam
tetapi tidak mampu mengejawantahkan keadilan. Ibnu Thaimiyah
mengatakan bahwa Negara adil itu disokong oleh Allah SWT meskipun
dipimpin oleh seorang yang bukan Muslim dan Negara yang despotik tidak
disokong Allah SWT meskipun Pemimpinnya seorang Muslim, ia sedang
menegaskan bahwa syarat seorang pemimpin itu adalah adil tanpa
memperhatikan agama yang dianutnya. 65

62
Ahkâm Ahl Al- Dzimmah li Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Jilid.II,h.414.
63
Fathul Bari, Jilid.XIII,h.202.
64
H.M. Mujar Ibnu Syarif, “Memilih Presiden Non-Muslim di Negara Muslim
dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Konstitusi¸Vol. 1, No. 1 November
(2008), h. 89.Abu Tholib Khalik 62 ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14,
Nomor 1, Juni 2014
65
Wawan Gunawan Abd. Wahid, Muhammad Abdullah Darraz, Ahmad Fuad
Fanani, ed.Op.Cit.h. 322.
Pernyataan Ibnu Taimiyah ini menyisakan pertanyaan, Bagaimana

memperlakukukan nash-nash al-Qur‟an yang secara tegas menyebutkan

larangan mengangkat seorang pemimpin non-Muslim, menjawab pertanyaan

tersebut, sebaiknya kita mengutip uraian Muhammad Abduh , ayat-ayat yang

menolak menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin sama sekali tidak dapat

ditolak kebenarannya, Muhammad Abduh mengatakan bahwa mereka yang

dilarang untuk dipilih itu adalah karena memusuhi umat Islam, ketika entitas

non-Muslim itu tidak memusuhi umat Islam dan mereka bersama-sama umat

Islam dalam satu entitas negara sebagai warga negara maka mereka dapat

dipilih sebagai pemimpin.66

Menurut Muhammad Abduh Menegaskan, manakala Nash-Nash al-


Qur‟an yang berisikan larangan Kepada kaum Muslim untuk memilih
pemimpin Non-Muslim itu dikaitkan dengan tiga ayat yang
membolehkannya, maka masalah (perbedaan pendapat) ini menjadi sangat
terang. Karena larangan memilih Non-Muslim sebagai pemimpin kaum
Muslim itu terikat dengan syarat, yaitu jika mereka (Non-Muslim) itu
melakukan pengusiran terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin dan tanah
airnya. Setiap Non-Muslim yang (dalam hatinya) menyimpan rasa
permusuhan dan bertindak sewenang-wenang terhadap kaum muslimin maka
keharaman memilih mereka adlah sesuatu yang pasti.67

Kepemimpinan dalam masyarakat majemuk, dalam konsep keumatan

yang inklusif, setiap individu berhak dipilih menjadi pemimpin dan berhak

memilih pemimpin. Kesetaraan hak ini tidak dapat dibatasi oleh perbedaan

identitas latar belakang (gender, strata sosial, keagamaan dan etnis). Islam

mengakui kehadiran seorag pemimpin yang berasal dari kalangan minoritas.

Oleh karenanya, sangat terbuka kemungkinan memilih pemimpin non-

66
Ibid.h.323.
67
Ibid.h.324.
Muslim di tengah masyartakat Muslim sepanjang tidak mengancam

kebebasan beragama, dalam suatu masyarakat majemuk dimana antara non-

Muslim dan Muslim bersatu dalam satu entittas negara maka keduanya bisa

merajut hubungan harmonis yang saling memerlukan.68

Bangsa Indonesia khususnya umat Islam, patut bersyukur kepada

Allah SWT SWT. Bahwa para pendahulu kita, para pendiri Republik

Indonesia telah merumuskan Pancasila sebagai ideologi negara, jika kita

bandingkan lima sila dari Pancasila dengan prinsip-prinsip dan tata nilai

yang telah diamanatkan oleh Al-Qur‟an, kita akan melihat adanya persamaan

dan juga semangatnya, dalam kaitan ini dapat dikemukakan, baik dalam

sistem politik maupun sistem hukum, terdapat persamaan antara Republik

Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara Islam yang ada di dunia

sekarang ini, sama-sama mengikuti pola politik barat dengan adaptasi dan

penyesuaian, dan sama dalam hal, selain dalam bidang-bidang perkawinan,

pembagian warisan dan perwakafan, sistem hukum di negara-negara tersbut

tidak sepenuhnya bersumberkan hukum Islam, satu-satunya perbedaan

konstitusional antara negara kita dan negara-negara itu adalah dalam

konstitusional mereka secara jelas Islam di nyatakan sebagai agama negara,

sedangkan negara kita berdasarkan Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha

Esa, sebagai sila pertama, memang benar antara delapan puluh delapan

persen dari rakyat Indonesia terdiri dari umat Islam, tetapi kita semuah sadar

bahwa kalau negara yang hendak kita bangun itu harus meliputi seluruh

68
Wawan Gunawan Abd. Wahid, Muhammad Abdullah Darraz, Ahmad Fuad
Fanani, ed. Ibid.h.327.
bekas wilayah Hindia Belanda, termasuk daerah-daerah yang sebagian besar

penduduknya beragama bukan Islam, khususnya di Indonesia Bagian Timur,

Pancasila dengan Ketuhana Yang Maha Esa sebagai sila pertama merupakan

dasar negara yang paling dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang

menganut berbagai Agama.69

Secara tertulis memang pendapat dari Munawir Sajdali secara

langsung tidak membahas bolehnya seorang pemimpin dari kalangan non-

Muslim untuk memimpin kalangan Muslim, namun jika di ambil dari garis

besar Munawir Sajdali menegaskan bawasannya dalam sistem politik

maupun sistem hukum terdapat persamaan Pancasila dengan prinsip-prinsip

dan tata nilai yang telah diamanatkan oleh al-Qur‟an, karena di Indonesia

menggunakan prinsip keadilan dalam hal kedudukan seorang pemimpin,

bawasannya delapan puluh delapan persen dari rakyat Indonesia terdiri dari

umat Islam dan di antara sedikit nya adalah kalangan minoritas dari

kalangan non-Muslim, kalangan minoritas pun sudah dijelaskan di atas

mendapatkan hak meimilih dan di pilih seorang pemimpin, karena negara

kita berdasarkan Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila

pertama, karena pendiri Republik Indonesia telah merumuskan Pancasila

sebagai ideologi negara Indonesia.

Tiga ayat yang melandasi argumentasi ketika entitas non-Muslim itu

tidak memusuhi umat Islam dan mereka bersama-sama umat Islam dalam

69
Munawir Sajdzali.Op.Cit.236.
satu entitas negara sebagai warga negara maka mereka dapat dipilih sebagi

pemimpin yaitu QS. Al-Mumtahanah ayat 7,8 dan 9:

              

             

           

          

          

 
Artinya: Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu
dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan Allah adalah
Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang Berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir
kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan
Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim.70

Mencermati surat Al-Mumtahanah ayat 7, kiranya dipahami bahwa

harapan terciptanya hubungan yang harmonis yang sangat erat dengan silih

asih silih asah antara kaum Muslim dengan kaum Musyrikin yang

sebelumnya begitu keras memusuhi Nai Saw. Merupakan sesuatu yang

didambakan, sementara dengan mencermati ayat 8 dan 9 surat Al-

Mumtahanah dapat dipahami bahwa Allah SWT. Tidak melarang kaum

70
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz.h. 802-803.
Mulsim melakukan kebajikan dan bersifat adil kepada kaum musyrikin yang

tidak memusuhi mereka.71

Sejarah Islam telah membuktikan pentingnya masalah pemimpin ini

setelah wafatnya Rasul. Para sahabat telah memberi penekanan dan

keutamaan dalam mencari pengganti beliau dalam mencari pemimpin umat

Islam. Pentingnya persoalan pemimpin ini perlu dipahami dan dihayati oleh

setiap umat Islam di negeri yang mayoritas warga negara Islam ini,

meskipun Indonesia bukanlah negara Islam.

Allah SWT telah memberitahukan kepada manusia, tentang


pentingnya peran pemimpin dalam Islam, sebagaimana dalam Al-Qur‟an
kita menemukan banyak ayat yang berkaitan dengan masalah pemimpin
adalah surat An-Nisa ayat 59:72

           

             

    


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
73
.

71
Wawan Gunawan Abd Wahid, Muhammad Abdullah Darraz, Ahmad Fuad
Fanani, ed. Op.Cit.h.324.
72
Khairumnas Jamal dan Kadarusman, “Terminologi Pemimppin dalam Al-
Qur‟an”. Jurnal Pemikiran Islam,vol.39,No.1 (Januari-Juni 2014),h.118.
73
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz.h.114.
BAB III

KEPIMIMPINAN NON-MUSLIM MENURUT HUKUM TATA NEGARA

INDONESIA

A. Pengertian Hukum Tata Negara

Hukum Tata Negara Merupakan salah satu cabang hukum yang

mempunyai hubungan sangat erat dengan politik. Objek penyelidikan Ilmu

Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik dapat dikatakan sama.Dalam

kepustakaan Hukum Tata Negara dapat diketahui bahwa Hukum Tata Negara

(staatsrecht) mempunyai dua arti, yaitu sebagai Ilmu Hukum Tata Negara

(staatsrechtswetenchap) dan sebagai Hukum Tata Negara Positif (positief

staatsrecht).74

Negara Indonesia memiliki Hukum Tata Negara yang Luas yaitu

dalam Kepemimpinan, HAM, Kemasyarakatan, serta aturan-aturan yang

terdapat negara Indonesia, aturan-aturan itu yang menjadi landasan

pembentukan Negara Indonesia yang diinginkan. Terbentuknya suatu negara

karna adanya yaitu: Rakyat (penduduk suatu negara, semua orang yang berada

dalam suatu negara, disebut rakyat), Pemerintah yang berdaulat (yaitu

pemerintahan sebagai gabungan dari semuah lembaga kenegaraan atau

gabungan seluruh alat perlengkapan negara yang meliputi badan legislatif,

eksekutif, dan yudikasif), Wilayah (wilayah negara adalah wilayah yang

menunjujakan batas-batas dimana negara itu sungguh-sungguh dapat

74
Sri Soemantri. Op.Cit.h. 4-5.
melaksanakan kedaulatannya), serta adanya Pengakuan dari negara lain

(Pengakuan dari negara lain ini fungsinya sebagai pertanda bahwa negara baru

tersebut telah diterima sebagai anggota baru dalam pergaulan antara negara).75

Adanya wilayah dalam sebuah negara maka ada yang namanya

Pembagian wilayah yaitu dalam Undang-Undang Dasar Pasal 18 dinyatakan

bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah besar dan kecil

dengan bentuk susudah pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang

dengan memandang dan mengingat dasar pemusyawaratan dalam sistem

pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat

istimewa.76

Setiap bagian wilayah atau daerah pasti memiliki kepala wilayah,

karna tidak mungkin setiap daerah atau wilayah tidak dipimpin oleh seorang

pemimpin atau pemerintahan, pemimpin merupakan orang yang mengatur dan

mengurusi urusan yang berkaitan dengan wilayahnya, agar setiap bagian tidak

terjadi kekosongan kekuasaan, oleh sebab itu maka dibutuhkan kepala

wilayah, kepala wilayah dalam semuah tingkat sebagai wakil pemerintah pusat

adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan di Daerah, kecuali bidang

pertahanan dan keamanan, bidang peradilan, bidang luar negeri dan bidang

moneter dalam arti mencetak uang, menentukan nilai mata uang dan

75
Zul Afdi Ardian, Achmad Roestandi. Pegangan Tata Negara. ( Bandung:
CV.Armico, 1996). h.25-34.
76
Rience G. Widyaningsih, G. Kartasapoetra. Hukum Tata Negara
Indoneisa.(Bandung: Armico, 1982). h. 24.
sebagainya. Dengan kata lain, Penguasa tunggal adalah Administrator

Pemerintahan, Adinistrator Pembangunandan Administrator Kemasyarkatan.77

E.C.S Wade dn Godfrey Philips dalam bukunya Constitutional Law

berpendapat bahwa Hukum Tata Negara mengatur aat-alat perlengkapan

negara, tugas dan wewenangnya serta mekanisme hubungan diantara alat-alat

perlengkapan negara itu.78

Pandangan ahli Fiqih Siyasah, seperti „Abd al-Rahman Taj dalam al-

Syari‟iyyah wa al-fiqh al-Islami (1953), Siyasah Syari‟ah diartikan sebagai

hukum-hukum yang mengatur urusan negara dan mengorganisasi urusan umat

sesuai dengan jiwa syariah dan dasar-dasarnya yang universal demi

terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, meskiun pengaturan tersebut tidak

ditegaskan baik di dalam Al-Qur‟an maupun Sunnah.79

B. Dasar Hukum Kepemimpinan Menurut Hukum Tata Negara

Indonesia.

Dasar Hukum ataupun landasan hukum adalah legal basis atau legal

ground, yaitu norma hukum yang mendasari suatu tindakan atau perbuatan

hukum tertentu sehingga dapat dianggp sah atau dapat dibenarkan oleh hukum

tertentu sehingga dapat dibenarkan secara hukum.80

Dasar hukum kepemimpinan menurut Hukum Tata Negara Indonesia

yaitu terdapat dalam UUD 1945. Pemerintah / Pemimpin atau Kepemimpinan

77
Ibid. h.36.
78
Ahmad Sukardja. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Perspektif Fiqih Siyasah. ( Jakarta: Sinar Grafika, 2012). h. 13.
79
Ibid.h. 15
80
Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2009). h. 121.
Nasional Indonesia dijalankan menurut UUD 1945, adalah suatu pemerintahan

yang berasas kesatuan dan persatuan Indonesia dalam Pancasila dan asas

negara kesatuan dalam Pasal 1 ayat (1) 1945, asas kesatuan dan persatuan ini

menjadi asas pembinaan perlambagaan atau bidang perlengkapan negara,

dengan kata lain: Lembaga-lemaga Negara di tingkat Nasional itu disusun

sedemikian sehingga mencerminkan pengembanan aspirasi dari seluruh rakyat

Indonesia.81

Pasal 1 ketetaan MPR No.III/MPR/2000 ditentukan bahwa:

1) Dasar hukum adalah sumber yang dijadikan bahas untuk penyusunan

peraturan perundang-undangan

2) Dasar hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum

tidak tertulis

3) Sumber hukum dasar nasional adalah:

i. Sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,

Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawatan /perwakilan, serta dengan

mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

ii. Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.82

Dasar Hukum Tata Negara Indonesia yang terdapat pada peraturan

perundang-undangan adalah dasar hukum yang berasal pada peraturan-

peraturan yang terdapat dan bersumber pada perancangan pembuatan aturan

81
M.Solly Lubis. Pembahasan UUD 1945.(Jakarta:Rajawali Pers, 1987). h. 82.
82
Jimly Asshiddiqie. Op.Cit. h. 122.
perundang-undangan yang mengatur beberapa aspek dalam perundang-

undangan, dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tidak lepas dari

prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yaitu83:

a) Berketuhanan Yang Maha Esa

b) Memperlakukan setiap oarang secara bermartabat sebagai sesama

manusia yang berkeadilan dan berkeadaban

c) Menjamin persatuan dalam kebhinekaan

d) Dibentuk secara demokratis, diterapkan secara transparan dan

akuntable, serta ditegakkan melalui proses yang bebas dan tidak

memihak

e) Bertujuan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Karena nilai dan norma agama dapat pula dikatakan menjadi sumber

yang penting bagi terbentuknya nilai dan norma etika dalam kehidupan

masyarakat, sementara nilai-nilai dan norma etika itu menjadi sumber bagi

terbentuknya norma hukum yang dikukuhkan atau dipositifkan oleh

kekukasaan negara, oleh karena itu, norma hukum dibangun seiring dan

sejalan dengan sistem nilai dan norma-norma yang hidup dalam keyakinan

hukum masyarakat dan bahkan ditegakkan demi keadilan berdasarkan

ketuhaan yang maha esa sebagai hakim tertinggi. 84

Serta memperlakukan setiap oarang secara bermartabat sebagai sesama

manusia yang berkeadilan dan berkeadaban, sesuai dengan Pancasila nomor


83
Muhammad Tahir Azhari. Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana,
dan Hukum Islam. (Jakarta: Prenamedia, 20012). h. 29.
84
Ibid. h. 30.
dua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradap” karena dasar hukum

negara Indonesia Pancasila mengambil peran penting didalam dasar

pembentukan hukum negara Indonesia.

Menjamin persatuan dan kebhinekaan, seorang pemimpin dituntut dan

harus dapat menjamin persatuan diatas tanah air Indonesia, seorang pemimpin

dituntut harus memiliki rasa persatuan yang dapat membangun tanah air serta

meninggikan rasa persatuan agar dapat menjalin hubungan yang baik terhadap

masyarakat, serta pemimpin harus memiliki sikap kebhinekaan, kebhinekaan

sendri memilki bunyi yaitu Bhineka Tunggal Ika, yang meiliki arti meskipun

berbeda suku bangsa, bangsa tetap satu juga, satu yang dimaksud disini satu

tanah air dan satu negara kesatuan yaitu negara Indonesia.

Dasar hukum kepemimpinan yang terdapat di negara Indonesia yaitu

yang menjadi dasar dalam hal kepemimpinan, yang mencangkup syarat

kepemimpinan, serta aturan-aturan yang menjadi dasar bagaimana memilih

sosok seorang pemimpin.

C. Syarat – Syarat Kepemimpinan Menurut Hukum Tata Negara

Indonesia.

Menurut Hemhill dan Coon “Kepemimpinan” adalah sikap indivindu

yang memimpin berbagai kegiatan dari suatu kelompok menuju suatu tujuan

yang ingin dicabai bersama-sama.85 Pemimpin yang baik sangat berpengaruh

terhadap kemajuan negara, tidak sedikit masalah yang muncul menurut

masyarakat adalah kelalaian dari pemimpin, pada hal disisi lain masyarakatlah

85
http://www.spengetahuan.com/2015/03/19-pengertian-kepemimpinan-menurut-
para-ahli.html. diakses tanggal 11 agustus 2017 pukul14.32
yang kurang memahami dalam masalah tersebut. Maka untuk itu

kepemimpinan akan efektif apabila seorang pemimpin dengan syarat-syarat

tertentu yang diakui oleh negara dan UUD 1945. Dalam hal ini penulis

membahas pemimpin/kepemimpinan disini terkait dalam konteks Hukum Tata

Negara Indonesia .

Pemimpin dalam konteks Hukum Tata Negara Negara Indonesia

bukan hanya Presiden, karena dalam sistem pemerintahan Indonesia terdapat

beberapa jabatan lain yang fungsinya hampir sama dengan presiden tetapi

dengan cakupan daerah yang lebih kecil seperti Gubernur, Bupati, Wali Kota

serta Kepala desa. Baik presiden, Gebunur, Bupati/walikota hingga organisasi

terkecil dalam struktur pemerintahan Indonesia, dapat ditarik kesimpulan

bahwa, siapa yang menduduki Jabatan itu, siapakah seorang yang menduduki

jabatan yang penting itu.

Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki bermacam ras, suku,

dan agama, dan sebagai Negara Hukum sangat menjunjung hak setiap

indivindu masyarakat seperti yang tercantum dalam UUD 1945 28 D ayat (1)

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pengakuan

terhadap “Hak” itulah menjadikan setiap indivindu dapat mencalonkan diri

sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin juga harus memiliki


kepropesionalan dan pengetahuan dalam memimpin agar pemerintah dapat

memajukan kebudayaan nasional Indonesia.86

Ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1983/ tentang Garis-Garis Besar

Haluan menetapkan Negara dinyatakan bahwa pembangunan politik diarahkan

dengan lebih memantapkan perwujudan demokrasi Pancasila. Selanjutnya

disebutkan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai saran demokrasi

Pancasila dilaksanakan setiap 5 tahun dengan asas langsung, umum, bebas,

dan rahasia.87

Adapun syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yakni 88

1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah

menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.

3. Tidak pernah mehianati negara, serta tidak pernah melakukan

tindak pidana korupsi dan tindak pidada lainnya.

4. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas

dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden

5. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

6. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang

berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggaraan

negara.

86
Abu Daud Busroh. Intitasri Hukum Tatanegara Perbandingan Konstitusi
sembilan Negara. ( Jakarta: PT Bina Aksara, 1987). h. 33.
87
Erman Muchjidin. Tata Negara.(Bandung: Yudhistira, 1987). h. 111.
88
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, Pasal 5.
7. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perorangan

dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya

yang merugikan keuangan negara.

8. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan

pengadilan.

9. Tidak pernah melalukan perbuatan tercela.

10. Terdaftar sebagai Pemilih.

11. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah

melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 tahun

terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan

Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.

12. Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden

selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

13. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita

Proklamasi 17 Agustus 1945.

14. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan

putusanpengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan

pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

15. Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun.

16. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas

(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan


(SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain

yang sederajat.

17. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis

Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang

yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI. dan

18. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan

pemerintahan negara Republik Indonesia.

Syarat menjadi calon Gubenur, Bupati dan Walikota yaitu:89

1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi

Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

3. Berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau

sederajat.

4. Dihapus.

5. Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon

Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima)

tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon

Walikota dan Calon Wakil Walikota.

89
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota, Pasal 1.
6. Mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalah gunaan

narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh

dari tim.

7. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau

bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur

mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan

mantan terpidana.

8. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

9. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan

dengan surat keterangan catatan kepolisian.

10. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi;

11. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan

dan/atau secara badan hokum yang menjadi tanggung jawabnya

yang merugikan keuangan negara.

12. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

13. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan

pajak pribadi.

14. Belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur,

Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2

(dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon
Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil

Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota.

15. Belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil

Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil

Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama

16. Berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur,

Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang

mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon.

17. Tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati,

dan penjabat Walikota.

18. Dihapus.

19. Menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,

dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak

ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.

20. Menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota

Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik

Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau

sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta

Pemilihan, Dan.

21. Berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan

usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon.


Dari beberapa aspek syarat kepemimpinan di Indonesia banyak

yang mencantumkan pada nomor 1 yaitu berketuhanan yang maha esa,

yang berarti setiap pemimpin harus memiliki agama atau kepercayaan

yang di anutnya, namun dalam segi kepercayaan yang di anut seorang

pemimpin haruslah memiliki beberapa aspek tambahan yang yang

tercantum pada butir-butir agar menjadi pemimpin yang bijaksana dan

dapat memajukan Indonesia.

D. Kepeminpinan Non-Muslim Menurut Hukum Tata Negara Indonesia.

Syariat Islam sebagai tuntutan “masyarakat” Islam secara resmi

dibicarakan dan diputuskan melalui Piagam Jakarta. Seperti tersebut dalam

sejarah penyusunan penetapan undang-undang dasar, dalam mengakhiri

sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

(BPUPKI) atau bisa juga di sebut Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai.90

Konsepsi dasar dari sebuah penyelengaaraan pemerintahan atau

kepemimpinan yang baik ialah bagaimana agar tindakan atau perbuatan

peminpin itu dapat memberikan pelayanan yang terbaik pada masyarakat guna

meningktkan kesejahteraannya baik secara lahirian maupun batiniah. Maka

dari tindakan atau perbuatan pemerintahan yang baik atau tidak diukur hanya

berdasarkan pada peningkatan pembangunan fisik secara gradual semata, akan

tetapi yang terpenting ialah bagaimana agar tindakan atau perbuatan pemimpin

itu dapat memberi dorongan lahirnya peran serta atau partisipasi masyarakat

90
Sri Soemantri. Op.Cit. h.107.
untuk dapat menikmati pelayanan pemerintahan secara lebih baik dan

memadai.91

Sebagai tuntutan masyrarakat islam dalam hal kepemimpinan dan

siapa yang memimpin suatu Negara itu ataupun wilayah bagian Negara yang

memimpin agar tidak terjadinya perpecahan yang mengakibatkan hal yang

tidak diinginkan dalam suatu Negara, khususnya di Negara Indonesia yang

memiliki bermacam suku bangsa, adat, dan kepercayaan / Agama, dalam

perbedaan itu semuah di Indonesia ini memili apa yang namanya UUD 1945,

Undang-undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar

negara itu, Undang-Undang Dasar ialah Hukum dasar yang tertulis, sedang

disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak

tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam peraktek

penyelenggaran Negara, meskipun tidak tertulis.92 Yang menjadi aturan-aturan

dasar untuk membuat suatu aturan atau menetapkan hukum yang akan di

berlakukan di negara Indonesia.

Pada UUD 1945, BAB XI Pasal 29 tentang Agama.

(1.) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2.) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan

kepercayaanya itu.93

91
Aminuddin Ilmar. Hukum Tata Pemerintahan. (Jakarta : Prenadamedia Group,
2014).h. 123.
92
Abu Daud Busroh. Op.Cit.h.32.
93
Ibid. h. 32.
Prospek pembentukan hukum Nasional telah dijelaskan

sebelumnya, dan telah pula dikemukakan keberadaan hukum Islam di

Indonesia. Untuk menjelaskan peranan hukum Islam dalam pembentukan

atau pembangunan hukum nasional dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari

sisi hukum Islam sebagai salah satu sumber pembentukan hukum nasional

dan kedua dari sisi diangkatnya hukum islam sebagai hukum negara dalam

arti sebagai hukum positif yang berlaku secara khusus dalam bidang-

bidang tertentu.

Karena Pancasila ditetapkan sebagai sumber dari segala sumber

hukum dan menjadi landasan semua produk hukum di Indonesia yang

terdapat disila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa

dan Pasal 29 UUD 1945 menetapkan bahwa negara berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua hal ini menuntut agar hukum nasional

berlandakan Ketuhanan Yang Maha Esa itu mengandung arti „berdasarkan

agama‟,94 Karena mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama dan hanya

sebagian yang sangat kecil dari percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa

(penganut aliran kepercayaan) yang tidak merupakan Agama.

Singkat kata, Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna (par

exelence). Sungguh menakjubkan, bagaimana kemajemukan sosial,

kultural dan teritorial ini bisa menyatu kedalam suatu komunitas politik

kebangsaan Indonesia. Apa pula prasyarat yang diperlukan untuk

mempertahankan persatuan ditengah tekanan pluraritas nilai dan

94
Ali Imron. Pertanggungjawban Hukum, Konsep Hukum Islam dan Relevansinya
Dengan Citra Hukum Nasional Indonesia.(Semarang: Walisongo Pers, 2009).h.23.
kepentingan?, tlisan ini akan mencoba memberikan pendekatan terhadap

usaha untuk merelokasikan antara keragaman dan persatuan Indonesia

dalam bingkai “Bhineka Tunggal Ika”.95

Ayat (2) dari pasal 29 menjelaskan bahwa „negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-

masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu‟,

meluruskan persepsi tentang syariah (hukum Islam), berlakunya syariah

itu sebagai hukum positif dalam sebuah negara, terutama negara muslim

atau negara yang mayoritas muslim. Hal ini tidak akan mengurangi hak-

hak sipil warga Negara yang non-Muslim, yang terdiri atas (i) hak untuk

memilih dan dipilih sebagai pemimpin, baik langsung maupun melalui

perwakilan; (ii) hak musyawarah/hak untuk ikut berpartisipasi dalam

membeikan ide, saran, dan kritik yang konstruktif kepada penyelengara

Negara yang terpilih, agar tidak membahayakan rakyat; (iii) hak

pengawasan/hak untuk mengontrol dan meluruskan penyimpangan yang

dilakukan oleh para penyelenggara Negara; (iv) hak memecat atau

menyopot pemimpin /penyelenggara negara dari jabatannya bila tidak

dapat menjalankan dengan baik tugas yang diamanatkan rakyat

kepadanya; (v) hak untuk mencalonkan diri untuk jabatan pemerintahan;

dan (vi) hak untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintahan.96

Karena negara Indonesia memiliki beragam suku, budaya, serta

agama /kepercayaan, dalam membentuk negara yang berdaulat, adil dan


95
Wawan Gunawan Abd Wahid, Muhammad Abdullah Darraz, Ahmad Fuad
Fanani, ed.Op.Cit.h. 282.
96
Mujar Ibnu Syarif.Op.Cit. h.54.
makmur, maka Indonesia menerapkan adanya asa keadilan yang

mencangkup hak, karena asas keadilan merupakan asas yang sangat

penting dalam Islam97 dan juga dalam negara, karna meskipun Indonesia

menerapkan adanya keadilan yang mencangkup hak, hak bagi para non-

muslim yang beridentitas warga ataupun yang menduduki jabatan, karena

di Indonesia mayoritas penduduk adalah Muslim.

Menanggapi kepemimpinan ataupun seorang pemimpin dalam

hukum Islam memang banyak yang berpendapat „dikarenakan negara

Indonesia dihuni mayoritas Muslim‟ bagi yang sangat kontra dengan

kepemimpianan non-muslim, yang masih berpendapat dan berpedoman

pada keberan al-Qur‟an yang mengharuskan seorang pemimpin kaum

muslim haruslah kaum muslim juga, sudah dijelaskan negara Indonesia

adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, yang memiliki dasar

hukum yang jelas yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang

memberikan peraturan diberlakukan nya atas hak bagi seluruh masyarakt

Indonesia, namun kemerdekaan yang diberikan oleh Negara kepada

penduduk Indonesia tidaklah bersifat mutlak tanpa batas-batas tertentu,

akan tetapi kemerdekaan penduduk tersebut dibatasi oleh ajaran agama

dan kepercayaan masing-masing, semuah aktifitas warga masyarakat harus

senantiasa berada dibawah aturan ajaran agama dan kepercayaan.98

97
Ali Imron. Op.Cit. h.71.
98
Ibid. h.35.
BAB IV

ANALISIS

A. Hukum, Perbedaan dan Persamaan Kepemimpinan non-Muslim

menurut hukum Fiqih Siyasah dan Hukum Tata Negara Indonesia.

1. Kepemimpinan non-Muslim menurut Fiqih Siyasah.

Kepemimpinan non-Muslim menciptakan beberapa pendapat dari

kalangan ahli pemikiran fiqih siyasah yang dapat dijadikan sebagai

pembelajaran dan pemahaman tentang kepemimpinan, negara Indonesia

sendiri memiliki masyarakat mayoritas Muslim, yang menginginkan

seorang sosok pemimpin yang mampu menunjukan agama Islam adalah

agama yang mampu merangkul beberapa kepercayaan dan dapat

menyatukan perbedaan menjadi satu demi menciptakan negara yang

sejahtera.

Hukum Kepemimpinan menurut Fiqih Siyasah menurut aturan

menggunakan Al-Qur‟an yang menjadi dasarnya dan menggunakan

beberapa metode dalam mempelajarinya antara lain yaitu: (1) ijma; (2) al-

Qiyas; (3) al-Mashlahah al-Mursalah; (4) saad al-dzriah dan fath al-

dzari‟ah (5) al-„adalah; (6) al-istihsan dan kaidah-kaidah fiqhiyyah, dan

yang menjadi dasar aturan-aturan itu sendri yaitu Al-Qur‟an dan Al-

Hadits.

Sebagian ahli tafsir yang menyatakan mengambil pemimpin dari

kalangan kaum non-Mulsim adalah haram sudah ada sejak dulu seperti

dalam tafsir” Syaikh Imām Qurtubi, Ibnu Katsir, Al- Qadhi Iyadh, Ibnu
Mundzir, dan Ibnu Hajar, para kalangan ahli tafsir fiqih siyasah

menerangkan bawasan nya haram memilih pemimpin dari kalanga non-

Muslim, namun sedikit berbeda dari negara Indonesia yang memang

sebagian mayoritas kalangan beragama Muslim.

Berbeda pendapat dari beberapa kalangan yang mengharamkan

kepemimpinan non-Muslim yang membahas kepemimpinan yang ada di

Indonesia menurut Ibnu Thaimiyah mengisyaratkan bahwa pemimpin

yang mampu mengejawantahkan (mewujudkan / melaksanakan) keadilan

meskipun non-Muslim lebih baik daripada pemimpin yang beragam islam

tetapi tidak mampu mengejawantahkan keadilan. Ibnu Thaimiyah

mengatakan bahwa Negara adil itu disokong oleh Allah meskipun

dipimpin oleh seorang yang bukan Muslim dan Negara yang despotik

tidak disokong Allah meskipun Pemimpinnya seorang Muslim, ia sedang

menegaskan bahwa syarat seorang pemimpin itu adalah adil tanpa

memperhatikan agama yang dianutnya.

Menurut Muhammad Abduh Menegaskan, manakala Nash-Nash

Al-Qur‟an yang berisikan larangan Kepada kaum Muslim untuk memilih

pemimpin Non-Muslim itu dikaitkan dengan tiga ayat yang

membolehkannya, maka masalah (perbedaan pendapat) ini menjadi sangat

terang. Karena larangan memilih Non-Muslim sebagai pemimpin kaum

Muslim itu terikat dengan syarat, yaitu jika mereka (Non-Muslim) itu

melakukan pengusiran terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin dan tanah

airnya. Setiap Non-Muslim yang (dalam hatinya) menyimpan rasa


permusuhan dan bertindak sewenang-wenang terhadap kaum muslimin

maka keharaman memilih mereka adlah sesuatu yang pasti.

Dasar syarat-syarat di atas bolehnya kepemimpiann non-Muslim


(bukan tergolongan orang non-Muslim yang munafiq) mengacu kepada
kandungan Firman Allah Swt :

ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ 

ِِِِِِ ِِِِِِ

Artinya: kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah


Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi
sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu
seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah
janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertaqwa.

Maksud yang diberi tangguh empat bulan itu Ialah: mereka yang
memungkiri janji mereka dengan Nabi Muhammad SAW. Adapun mereka
yang tidak memungkiri janjinya Maka Perjanjian itu diteruskan sampai
berakhir masa yang ditentukan dalam Perjanjian itu. sesudah berakhir
masa itu, Maka tiada lagi perdamaian dengan orang-orang musyrikin.
(QS. At-Taubah: 4)

               

            

           



“Artinya: Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu


dengan orang-orang yang kamu musuhi diantara mereka. Dan Allah maha
mengampuni lagi maha penyayang. Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karna agama dan tiak (pula) mengusir kamu dari
Negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.” (QS. Almumtahanah : 7-8).
Dari ayat-ayat Al-Qur‟an diatas jika memenuhi syarat sebagaimana

Kepemimpinan non-Muslim boleh-boleh saja menjadi pemimpin negara

yang dihuni mayoritas Muslim, akan tetapi dengan batasan-batasan

tertentu yang sudah di sepakati bersama dengan jalur musyawarah.

Membahas tentang kepemimpinan, ada juga hadis yang

menerangkan seorang pemimpin yaitu berasal dari Hadis riwayat Bukhari

Muslim, yang berbunyi :

ٍِْ ‫َبر َع ٍْ َع ْب ِذ للاِ ب‬


ٍ ُٚ‫للا ب ٍِْ ِد‬ ِ َّ ‫للا ب ٍُْ َي ْسهَ ًَتَ َع ٍْ َيبنِ ٍك َع ٍْ َعبْ ِذ‬
ِ َّ ‫َح َّذثََُب َع ْب ُذ‬
‫ع َٔ ُكهُّ ُك ْى َي ْسئُٕ ٌل‬
ٍ ‫بل أَ َال ُكهُّ ُك ْى َرا‬
َ َ‫ ِّ َٔ َسهَّ َى ق‬ْٛ َ‫صهَّٗ للاُ َعه‬ َ ‫ُع ًَ َز أَ ٌَّ َرس‬
َ ِ‫ُٕل للا‬
‫ ِٓ ْى َُْٔ َٕ َي ْسئُٕ ٌل َع ُُْٓ ْى‬ْٛ َ‫اع َعه‬ ِ َُّ‫ ُز انَّ ِذ٘ َعهَٗ ان‬ٛ‫َّتِ ِّ فَ ْبلَ ِي‬ٛ‫َع ٍْ َر ِع‬
ٍ ‫بس َر‬
ِ ْٛ َ‫َتٌ َعهَٗ ب‬ٛ‫اع‬
‫ت‬ ِ ‫ْ ِت ِّ َْٔ ُ َٕ َي ْسئُٕ ٌل َع ُُْٓ ْى َٔانْ ًَزْ أَةُ َر‬َٛ‫اع َعهَٗ أَ ْْ ِم ب‬ ٍ ‫َٔان َّز ُج ُم َر‬
ِ ‫اع َعهَٗ َي‬
‫ِّ ِذ ِِ َْٔ ُ َٕ َي ْسئُٕ ٌل‬ٛ‫بل َس‬ ٍ ‫ َي ْسئُٕنَتٌ َع ُُْٓ ْى َٔ ْان َع ْب ُذ َر‬َٙ ِْ َٔ ِِ ‫بَ ْعهَِٓب َٔ َٔنَ ِذ‬
ِّ ‫َّ ِت‬ٛ‫اع َٔ ُكهُّ ُك ْى َي ْسئُٕ ٌل َع ٍْ َر ِع‬
ٍ ‫َع ُُّْ فَ ُكهُّ ُك ْى َر‬
Artinya: telah menceritakanku Abdullah bin Maslamah dari Malik

dari Abdullah ibn Dinar dari Abdullah ibn Umar bahwasannya Rasullulah

bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai

pertanggungjawabanatas kepemimpinannya, seorang kepala negara

adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan dimintai pertanggung jawaban

perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi

keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawaban perihal keluarga

yang dipimpinnya, seorang isteri adalah pemimpin atas rumah tangga

suami dan anaknya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas

tugasnya, seorang pembantu adalah bertanggung jawab atas harta


tuannya dan akan ditanya dari tanggung jawabnya, dan kamu sekalian

adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban perihal

kepemimpinannya. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadits diatas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam Islam.

Etika yang paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggung jawab.

Prinsip-prinsip ini menjadi dasar dan substansi sari segala

persoalan yang ada saat ini. Pada dimensi ini agama Islam selalu hadir

dalam bentuk yang adil, penuh rahmat, egaliter (persamaan derajat pada

setiap manusia), dan demokratis. Oleh karena itu sistem keagamaan yang

bersifat deskriminatif dalam dimensinya Ras, Agama, Gender, dan

sebagainya tidak memiliki perbedaan dengan Islam dan harus ditolak.

Terdapat kutipan yang menjadi pertanyaan, dalam argumen Ibnu

Tahimiyah yang berbunyi : Allah akan menolong negara yang adil

sekalipun kafir dan akan membinasakan negara yang dzalim sekalipun

beriman, "Mengenai argumen bahwa tidak ada ayat-ayat maupun hadis

yang tegas melarang kepemimpinan non-Muslim jelas ini pendapat yang

menyimpang dalam tradisi pemikiran politik Islam. Sebab, dalam

permasalahan ini telah terjadi kesepakatan di antara para ulama, karena

tidak ada satupun ulama dimasa lalu maupun dimasa sekarang

membolehkan secara mutlak kepemimpinan non-Muslim atas kaum

Muslim.

Sistem kepemimpinan dan beberapa syarat seorang pemimpin

adalah hal yang penting, tetapi yang terpenting adalah seorang yang
menduduki jabatan kekuasan sebagai seorang pemimpin harus memenuhi

syarat, Pertama, memperoleh dukungan mayoritas umat dalam Islam

ditentukan dengan konsultasi dan bai‟at. Kedua, memenangkan dukungan

dari kalangan pemegang kekuasaan dalam masyarakat dan Ketiga,

memiliki syarat kekuatan pribadi dan dapat dipercaya dengan sikap yang

jujur, amanah, adil, maka seorang pemimpin akan mampu memberikan

kemaslahatan bersama kepada rakyatnya.

Atas dasar alasan macam itu, maka sangat wajar jika kemudian

Ibnu Taimiyah mengeluarkan statement yang sangat Berani, yakni “lebih

baik dipimpin oleh pemimpin kafir yang adil, daripada pemimpin muslim

yang dzalim”. Sebab, seorang yang dapat diangkat menjadi pemimpin

adalah orang yang memiliki kekuatan itegritas, mampu berbuat adil dan

memiliki komitmen yang kuat terhadap kemakmuran rakyat yang ia

pimpin terlepas dari latar belakang keimananya.

Dengan demikian, hubungan pemikiran Ibnu Taimiyah dalam

seputar pengangkatan non-Muslim menjadi seorang pemimpin dikalangan

umat Islam terjawab dengan sendirinya, bahwa hal itu dibolehkan selama

memenuhi syarat-syarat utamanya sebagaimana telah di sebutkan di atas.

Terpenuhi beberapa syarat utama yang harus di miliki seorang pemimpin

dalam pemerintahan Syari‟ah versi Ibnu Taimiyah di atas, maka terlihat

suatu bangunan dari sebuah Negara ideal yang di cita-citakan berdasarkan

pada prinsip belakunya maslahah.


Kemaslahatan disini berarti kapasitas, integritas, komitmen dan

kemampuan yang dimiliki ditampilkan seorang pemimpin yang mendapat

dukungan mayoritas masyarakat jauh di dahulukan atau dimenangkan dari

pada memeperthitungkan latar belakang keimanan seorang pemimpin

tersebut.

Bahasa Ushul Fiqh yang dapat dipakai untuk mendukung

argumentasi ini adalah “dar‟ al-mafasid muqaddam „ala jalb al-masalih”.

Menghilangkan mafsadat (yang lebih besar) didahulukan dari pada

mengambil maslahat (yang lebih kecil). Artinya, menurut Ibnu Taimiyah

mengangkat pemimpin yang berintergasi tinggi, berlaku adil, dan

profesional serta bekerja sungguh-sungguh demi kemakmuran rakyat

harus lebih diutamkaan dari pada memilih seorang pemimpin yang korup,

memperkaya diri sendiri dan mengorbankan hak-hak rakyat yang ia

pimpin meskipun ia seoran yang menyatakan keimanannya. Dengan kata

lain menghilangkan mafsadat yang jauh lebih besar itulah yang merupakan

maslahah sesungguhnya dari pada mengambil maslahat yang lebih kecil.

Dari pemaparan panjang lebar di atas, yang di mulai dengan

pemaparan tentang argumentasi teologis penolakan terhadap pengangkatan

non-Muslim menjadi pemimpin dilakangan umat Islam yang kemudian

dilanjutkan dengan membedah pemikiran politik kenegaraan Ibnu

Taimiyah, maka urgensi pemikiran ahli politik pemikiran Islam terhadap

diskusi seputar pemimpin non-Muslim dapat disimpulkan sebagai berikut.


Pembahasan kepemimpinan Non-Muslim didalam Negara

Indonesia, negara yang mayoritas penduduk beragama Islam, dipimpin

oleh seorang Non-Muslim mungkin tidak bisa fikirkan dengan akal logika

yang jelas, karena agama Islam sendiri mempunyai kriteria dalam

pemimpin serta memilih pemimpin, karena pemimpin yang dikriteriakan

agama Islam harus memenuhi syarat yang tertera dalam Al-Qur‟an dan

hadis, karena pemimpin mengemban tanggung jawab yang sangat besar,

dan dapat menjadikan negara Indonesia ini negara yang sejahtera, karena

Negara Indonesia memiliki yang namanya Pancasila, UUD dan UU yang

menjadi sumber sebagai dasar pembentukan hukum dan aturan-aturan

yang harus di gunakan sebagai aturan dasar pembentukan sebuah Negara,

Statmen Ibnu Taimiyah di atas tampaknya secara tegas menyatakan

bolehnya non-Muslim (kafir) menjadi pemimpin di kalangan Islam selama

ia adil. Bagi penulis, pendapat Ibnu Taimiyah ini sangat relevan untuk

dijadikan pisau analisis untuk meninjau kembali bagaimana konstruk

hukum Islam tentang pemimpin Non-Muslim. Di samping itu, mengurai

pendapat Ibnu Taimiyah sangat relevan pula untuk menjawab kebingungan

masyarakat Indonesia di tengah-tengah kemelut seputar pelantikan seorang

beragama non-Muslim sebagai pemimpin dikawasan notabene Muslim.

Sebagaimana latar belakang di atas, diskursus (pemikiran) seputar

hukum mengangkat pemimpin non-Muslim dikalangan umat Islam

merupakan kontroversi yang senantiasa menimbulkan perdebatan

dikalangan para ahli yang telah berlangsung sejak dahulu hingga kini. Hal
ini muncul karena, baik Al-Qur‟an maupun Al-Sunnah yang merupakan

sumber utama hukum Islam, disamping ditemukan dalil-dalil yang

melarang umat Islam memilih non-Muslim sebagai pemimpinnya,

ditemukan pula dlil-dalil yang membolehkannya.

Perbedaan para ulama mengenai dalil-dalil yang seolah

bertentangan tersebut atau perbedaan pandangan mereka dalam menilai

masih tetap berlaku atau tidaknya dalil-dalil yang melarang umat Islam

memilih pemimpin non-Muslim di massa kontemporer sekarang ini, tentu

saja melahirkan pendapat yang beragam. Keberagaman penafsiran antara

para ulama yang mengharamkan dan membolehkan non-Muslim menjadi

seorang pemimpin di negara yang mayoritas penduduknya berama Islam,

baik dalam konsep maupun penerapannya di negara-negara berpenduduk

mayoritas Muslim masih terus berlangsung hingga detik ini.

Masuk pada pemikiran politik Islam yaitu Ibnu Taimiyah,

mendirikan negara atau menegakkan suatu kekuasaan merupakan sebuah

kewajiban, yang dimaksudkan sebagai upaaya merealisasikan

kesejahteraan umat manusia dan melaksanakan syariat Islam, karna

kesejahteraan tidak akan pernah terwujud tanpa adanya masyarakat oleh

karna itu membutuhkan seorang pemimpin.

Islam dengan aturan syari‟ah nya jelas menginstruksikan

penegakan amar ma‟ruf nahi munkar, jihad, penegakan keadilan,

bermasyarakat secara teratur, menolong orang yang dianiaya,

melaksanakan hukum had, yang kesemuanya ini hanya akan terwujud bila
ada seorang pemimpin atau seorang yang memimpin serta adanya sebuah

kedudukan kepemimpinan yang berperan penting dalam pelaksanaan

hukum tersebut.

2. Kepemimpinan non-Muslim menurut Hukum Tata Negara.

Banyak pemaparan tentang Kepemimpinan non-Muslim menurut

ahli Fiqih Siyasah salah satu nya tokoh yang terkenal pada zaman nya

yaitu Ibnu Taimiyah, yang argumen nya masih dibahas sampai saat ini,

tentang kepemimpinan non-Muslim, argumen tokoh tersebutlah yang

menjadi acuan analisis yang dapat menjadi pokok pembahasan, namun

karena disini penulis mencantumkan dua objek pembahasan yaitu Fiqih

Siyasah dan Hukum Tata Negara, pembahasan ini belum sampai dari hasil

yang diinginkan, karena analisis yang dicari disini menggunakan dua

objek pembahasan, yang salah satu tadi sudah dibahas yaitu Fiqih Siyasah,

yang selanjutnya adalah menurut Hukum Tata Negara Indonesia.

Syarat yang membolehkan kempemimpinan non-Muslim, yaitu

pada surat At-Taubah ayat 4, yang dapat di tarik kesimpulan dalam

konteks Hukum Tata Negara Indonesia yang kita kenal sekarang ini

adalah: “Pembukaan UUD 1945, UUD-1945, Lembaga-lembaga dalam

sistem ketatanegaraan menurut UUD Negara Republik Indonesia tahun

1945 dan lembaga-lembaga Negara yang memegang kekuasaan menurut

UUD 1945.

Membicarakan tentang tata negara dalam arti kongkrit, dalam hal

ini negara Republik Indonesia pembahasannya meliputi sumber-sumber


hukum tata negara, asas-asas hukum, kepemimpinan dan hak asasi

manusia, dalam penjelasannya Hukum Tata Negara adalah sekumpulan

peraturan hukum yang mengatur dari pada Negara, oleh karna itu

pembahasan kepemimpinan non-Muslim menurut Hukum Tata Negara

masuk dalam pebahasan mengenai sumber-sumber hukumnya, asas-asas

yang mendasarinya serta melihat dari pandangan sebuah hak masyarakat

yang berada di negara Indonesia.

Negara Indonesia berbeda dengan negara arab saudi, negara yang

jelas dengan konstistusinya yang menyebut negara arab saudi sebagai

negara Islam, sedangkan Indonesia konstitusinya menyebutkan sebagai

negara ber Pancasila sebagai salah satu dasar negara yang mempunyai

peran penting dalam pembentukan negara Indonesia, sehingga non-

Muslim layak menjadi salah satu pemimpin di Indonesia, “dalam surat Al-

Maidah ayat 57 dijelaskan bahwa seorang mukmin dituntut untuk memilih

seorang pemimpin, dari kalangan yang menjaga sebuah agama agar tidak

menjadi bahan ejekan dan permainan”, sehingga jelas bahwa carilah

pemimpin yang cengdrung menjaga kehormatan agama apapun.

Sementara ini ada benar-benar orang non-Muslim yang menjadi

pemimpin, dalam menanggapi hal ini menurut penulis memilih pejabat

eksekutif seperti gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, atau ketua RT

dan RW dari kalangan non-Muslim dalam konteks Indonesia

dimungkinkan. Pasalnya, pejabat eksekutif itu hanya bersifat pelaksana

dari UUD 1945 dan UU turunannya, dalam konteks Indonesia


kepemimpinan non-Muslim, juga tidak mempunyai kusasa penuh,

kekuasaan Indonesia sudah dibagi pada legislatif dan yudikatif diluar

eksekutif, sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau dan tetap berada

dijalur konstitusi yang sudah di sepakati wakil rakyat, mereka seolah

hanya sebagai jembatan antara rakyat dan konstitusi.

Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka telah melewati

mekannisme pemilihan calon, penyaringan ketat dan verifikasi KPU,

mereka juga sebelum dilantik diambil sumpah jabatan, jadi dalam hal ini

penulis lebih cendrung sepakat dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang

membolehkan non-Muslim menduduki posisi eksekutif, disinilah letak

kearifan hukum Islam.

Apa hukumnya jika kita memilih seorang pemimpin dalam konteks

kepemiminan seperti Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Lurah, RT dan

RW, dll di Negara Indonesia, karena kita di Indonesia adalah mejemuk

dan heterogen, alangkah tidak adilnya jika mayoritas yang beragama Islam

saja yang harus memimpin Negeri ini, apalagi Negara kita bukanlah

Negara Islam, Negara kita negara demokrasi yang dimerdekakan dan

dibangun oleh masyarakat yang pluralitas agama, budaya, bahasa dan

suku.

Menanggapi pertanyaan yang muncul seolah menjadi pembahasan

yang tidak ada habisnya dalam konteks Kepemimpinan non-Muslim

menurut Hukum Tata Negara Indonesia, selalu menjadi sebuah pokok

perbincangan para pakar hukum dan para ahli pemikir politik Islam di
Indoneisa secara tidak langsung menimbulkan pro dan kontra dikalangan

pemikir maupun di kalangan masyarakat, jika dilihat lagi kepemimpinan

atau pemimpin dalam konteks Hukum Tata Negara Indonesia dapat di

rangkum sebagai berikut:

1. Kandungan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak

membedakan adanya perbedaan suku, agama, bahasa, budaya,

dll., maka siapapun berhak menjadi pemimpin di Indonesia

selagi mereka adalah berkewarganegaraan Indonesia, petikan

diantara kandungan pembukaan UUD 1945 adalah: “....

Kemudian daripada itu untuk membentuk pemerintahan Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah

kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan

negara Republik Indonesia yang berkedaulatna rakyat yang

berdasarkan kepada ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan

yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan

yang dipimin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu

keadila sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.


2. Seluruh kandungan dan implementasi dari Undang-Undang

1945 ditujukan untuk seluruh warga Negara Indonesia tidak

membedakan suku, agama, budaya, bahasa, dll.

3. Seluruh warga Negara Indonesia jika dilihat dari perspektif

yang terdapat didalam kandungan pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945, seluruh warga Negara Indonesia mendapat

prioritas utama dalam mengelola dan bertanggung jawab

terhadap maju mundurnya NKRI, sebagaimana kandungannya

berbunyi: ..... “Persatuan Indonesia”, kalimat ini menunjukan

kepada seluruh umat manusia yang ada di Indonesia harus

berpedoman kepada persatuan Indonesia untuk mencapai

sebuah Negara yang adil dan makmur.

Bolehnya kepemimpinan non-Muslim di tengah-tengah mayoritas

umat Islam dalam konteks Hukum Tata Negara Indonesia, syariat Islam

memberikan syarat yang harus di penuhi sebagai berikut:

1. Karena sebab darurat yaitu jika orang Islam tidak ada lagi yang

mampu menjadi seorang pemimpin yang adil, bijaksana dan

tidak mampu membuat peubahan bagi umat secara bijak, benar

dan baik.

2. Tidak dapat menimbulkan fitnah yang dapat memecah bela

umat dan keutuhan bangsa.


3. Menjalankan ketetapan Undang-Undang Negara dengan adil

dan jujur.

4. Tidak ada niat atau melakukan makar untuk menzhalimi atau

menghindari umat Islam ( bukan tergolong orang non-Muslim

yang munafiq ).

Secara sederhana, pradigma dimaknai sebagai cara pandang,

sehingga pradigma yang digunakan, pradigma sangat menentukan apa

yang terjadi keyakinan manusia yang pada akhirnya menentukan prilaku

mereka, sementara secara istilah, pradigma berarti sebagai asumsi-asumsi

dasar yang dimiliki oleh seorang intelektual sebagai dasar pemahaman

realitas.

1. Perbedaan Kemepimpinan non-Muslim menurut Fiqih Siyasah

dan Hukum Tata Negara Indonesia.

Pradigma pertama muncul dari pemikir ahli politik Islam yaitu

Ibnu Taimiyah yang membolehkan akan Kepemiminan non-Muslim atas

mayoritas penduduk muslim yang mengatakan, Ibnu Thaimiyah

mengisyaratkan bahwa pemimpin yang mampu mengejawantahkan

(mewujudkan / melaksanakan) keadilan meskipun non-Muslim lebih baik

daripada pemimpin yang beragam islam tetapi tidak mampu

mengejawantahkan keadilan. Ibnu Thaimiyah mengatakan bahwa Negara

adil itu disokong oleh Allah meskipun dipimpin oleh seorang yang bukan

Muslim dan Negara yang despotik tidak disokong Allah meskipun

Pemimpinnya seorang Muslim, ia sedang menegaskan bahwa syarat


seorang pemimpin itu adalah adil tanpa memperhatikan agama yang

dianutnya.

Pradigma kedua yaitu oleh Muhammad Abduh Menegaskan,

manakala Nash-Nash Al-Qur‟an yang berisikan larangan Kepada kaum

Muslim untuk memilih pemimpin Non-Muslim itu dikaitkan dengan tiga

ayat yang membolehkannya, maka masalah (perbedaan pendapat) ini

menjadi sangat terang. Karena larangan memilih Non-Muslim sebagai

pemimpin kaum Muslim itu terikat dengan syarat, yaitu jika mereka (Non-

Muslim) itu melakukan pengusiran terhadap Rasulullah dan kaum

Muslimin dan tanah airnya. Setiap Non-Muslim yanng (dalam hatinya)

menyimpan rasa permusuhan dan bertindak sewenang-wenang terhadap

kaum muslimin maka keharaman memilih mereka adlah sesuatu yang

pasti.

Dua pradigma itu muncul dari pihak pemikir Fiqih Siyasah yang

memilki kriteria dalam pengankatan seorang pemimpin dari kalangan

kaum non-Muslim, karena dari itu semuah dua pakar politik Islam ini

berpegang teguh pada prinsip keadilan yang di tegaskan dan ajarkan oleh

agama Islam itu sendiri.

2. Persamaan Kememimpinan non-Muslim menurut Fiqih Siyasah

dan Hukum Tata Negara Indonesia.

Sudah dijelaskan panjang lebar di bab-bab sebelum nya prinsip-

prinsip Ketenegaraan dalam Islam dan Hukum Tata Negara Indonesia

memiliki persamaan pada perinsip-prinsip seperti prinsip persamaan dan


persaudaraan “Islam menganut prinsip kesamaan dihadapan hukum dan

penciptaanya, yang menjadi perbedaanya adalah kualitas ketaqwaan

individu, keberpihakan Islam pada prinsip persaudaraan dan persamaan

didasarkan pada tujuan yang hendak di raih yakni adanya pengakuan

terhadap persaudaraan semesta dan saling menghargai diantara sesama

umat manusia sehingga dapat tercipta kehidupan yang toleran dan damai”.

Pinsip akuntabilitas, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,

amanah merupakan amanah rakyat yang diberikan kepada seorang

pemimpin untuk menjalankan roda pemerintah yang

didalamnyaterkandung nili-nilai kontrak sosial.

Prinsip perdamaian, Islam sebagai agama rahmatan lilalamin

mengedepankan prinsip perdamaian dalam segala aspek kehidupan sesuai

dengan tujuan risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW tersebut.

Prinsip Toleransi, Sikap toleransi merupakan sikap yang harus

dimiliki olleh setiap individu didalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Prinsip kebebasan, Secara fitrah manusia sudah dibekali dengan

daya intelektualitas dan kebbebasan untuk memilihh sesuatukeyakinan

serta kebebasan untuk berfikir, maksud dari kebebasan itu sendiri antara

lain yaitu:

1. Kebebasan berfikir

2. Kebebasan beragama

3. Kebebasan menyampaikan pendapat

4. Kebebasan menuntut Ilmu


5. Dan Kebebasan Bermusyawarah

Prinsip Keadilan, keseimbangan dan moderat, prinsip ini

mengandung pengertian penagakan keadilan, keadilan merupakan prinsip

yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik

di bidang hukum, ekonomi, politik dan budaya

Prinsip ketaatan, ketaatan adalah suatu hal yang sangat prnting bagi

tegaknya sebuah pemerintahan yang baik dan teratur, tanpa adanya

kepatuhan dan ketaatan dari seluruh elemen masyarakat dan juga

penyelenggaraan negara, maka tidak terwujud negara dengna pemerintahan

yang baik.

Berbeda dengan perbedaan yang terjadi dalam pengangkatan

kepemimpinan non-Muslim yang terjadi di Indonesia perbedaan sendriri

terdapat pada pradigma yang muncul dari kalangan masyarakat dan para

ahli yang kontra terhadap pengangkatan pemimpin non-Muslim

dikarenakan perbedaan pendapat yang mengatakan haram bagi kaum

mayoritas muslim di pimpin oleh kaum non-Muslim karena dapat

menimbulkan ketidak adilan yang dapat muncul suatu saat seperti bom

waktu yang akan meledak dan merusak keseimbangan tatanan negara

Indonesia.

Namun dengan demikian pradigma itu sendiri menibulkan kontra

yang sangat berkepanjangan karena tatanan hukum Indonesia itu sendiri


bersumber pada UUD, UU, dan Pancasila yang menjadi dasar Hukum Tata

Negara Indonesia, yang menggunakan prinsip keadilan dan persamaan hak,

karena yang menjadi acuan pembuatan aturan dan hukum mengambil dari

dua sumber hukum yang kuat antara lain Al-Qur‟an dan Hukum Tata

Negara Indoneisa yang dipercayai dari dulu hingga sekarang.

Kepemimpinan non-Muslim di Indonesia secara menyeluruh sudah di

tegaskan menurut ahli fiqih siyasah memilih kepemimpinan dari kalangan non-

Muslim ada yang melarang karena menurut pandangna ini seorang pemimpin dari

kalangan non-Muslim tidak lah boleh dari kalangan non-Muslim karena seorang

pemimpin bagi masyarakat Muslim akan mempetanggung jawabkan agama Islam

sendriri, namun ada pula dari kalangan ahli tafsir yang membolehkan memilih

pemimpin dari kalangan non-Muslim namun dengan beberapa syarat yang

berlaku, karna dari golongan ini meskipun menggunakan aturan dasar Al-Qur‟an

tetapi menambahkan juga aturan –aturan prinsip bernegara yang ada di Indonesia.

Akan tetapi bagainama jika seorang dari kalangan ateis (orang yang tidak

beragama) ingin menjadi seorang pemimpin sudah dijelaskan pada bab sebelum

nya negara Indonesia memiliki aturan hukum dan dasar hukum yang tertera pada

UU dan Pancasila seorang pemimpin haruslah beragama karna sudah dijelaskan

pada aturan dasar yang paling utama sepertihal nya pada Pancasila sila pertama

“ketuhanan yang maha Esa”, serta pada syarat yang harus di penuhi untuk seorang

pemimpin di Indonesia yaitu syarat “beragama”.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Sebagian para ulama fiqih siyasah memang melarang kepemimpinan non-

Muslim, seperti Syaikh Imām Qurṭubi, Ibnu Katsir, Al- Qadhi Iyadh, Ibnu

Mundzir, dan Ibnu Hajar di karenakan: tidak sesuai dengan ketentuan Al-

Qur‟an dan agama Islam, di takutkan pemimpin dari kalangan non-Muslim

itu akan merubah aturan yang sudah ada dengan agama mereka, namun

ada juga yang memperbolehkan kepemimpinan non-Muslim, seperti Ibnu

Taimiyah, Muhammad Abduh dan Munawir Sajdzali, karena menimbang

dari aturan-aturan yang ada di Indonesia sebagai negara Republik dan

negara kesatuan, dengan beberapa syarat harus dipenuhi, serta ada batasan

tertentu untuk pemimpin teratas seperti presiden umat non-Muslim tidak di

perbolehkan untuk menjabat.

2. Menurut Hukum Tata Negara Indonesia tidak ada satupun yang

mencantumkan bahwa sebagai salah satu pemegang jabatan ekslusif harus

beragama Islam, karena dasar aturan-aturan yang termuat dalam UUD

1945, UU, dan Pancasila tidak menyertakan, Persamaan antara fiqih

siyasah dan hukum tata negara Indonesia dalam hal pengangkatan

pemimpin terletak pada perinsip-prinsip seperti prinsip persamaan dan

persaudaraan “Islam menganut prinsip kesamaan dihadapan hukum dan

penciptaanya”, Perbedaan yang terjadi dalam pengangkatan kepemimpinan


non-Muslim yang terjadi di Indonesia perbedaan sendriri terdapat pada

pradigma yang muncul dari kalangan masyarakat dan para ahli yang

kontra terhadap pengangkatan pemimpin non-Muslim dikarenakan

perbedaan pendapat yang mengatakan haram bagi kaum mayoritas muslim

dipimpin oleh kaum non-Muslim karena dapat menimbulkan ketidak

adilan yang dapat muncul suatu saat.

B. Saran

Dari penjelasan singkat tentang Kepemipinan non-Muslim menurut Fiqih

Siyasah dan Hukum tata Negara itu setidaknya dapat dipahami, menurut penulis

dalam masalah ini sebaiknya warga negara Indonesia tidak perlu melakukan

tindakan anarkis yang menimbulkan terpecah belah bangsa terkait masalah

pemimpin non-Muslim, atau terdapat indikasi yang kuat, kalau diserahkan kepada

kalangan kaum Muslim sendiri ternyata tidak dapat memegang taggung jawabnya

sebagai salah satu pemegang jabatan yang penting di Negara Indonesia, maka di

bolehkan pengangkatan seorang pemimpin dari kalangan non-Muslim.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an, Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemah 30 Juz

A.Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-

rambu Syariah Edisi Revisi, Bandung:Predana media, 2003.

Abdul Rahman Dahlan. Ushul Fiqih. Jakarta:Amzah,2014.

Abdul Khadir Muhammad. Hukum dan Politik Hukum. Citra Ditya Bakti,

Bandung, 2004.

Abu Daud Busroh. Intitasri Hukum Tatanegara Perbandingan Konstitusi

sembilan Negara. Jakarta: PT Bina Aksara, 1987.

Abuddin Nata. Metodelogi Studi Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Abdurahman. HRD Syari‟ah Teori dan Implementasi. Jakarta: Kompas Gramedia,

2014.

Ahmad Sukardja. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam

Perspektif Fiqih Siyasah. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Ahmad Vaezi. Agama Politik Islam NalarPolitik Islam.Jakarta:citra, 2006.

Ahsin W Al-Hafidz. Kamus Ilmu Al-Qur‟an. Jakarta:Sinar Grafika Ofset, 2006.

Al-Mawardi. ahkam sulthaniyah-Sistem Pemerintahan Khilafah Islam. Jakarta:

Qisthi Pers,2015

Ali Imron. Pertanggung jawaban Hukum, Konsep Hukum Islam dan Relevansinya

Dengan Citra Hukum Nasional Indonesia. Semarang: Walisongo Pers,

2009.
Aminuddin Ilmar. Hukum Tata Pemerintahan. Jakarta : Prenadamedia Group,

2014.

Arief Subhan dkk. Citra Perempuan dalam Islam Pandangan Orman

Keagamaan. Jakarta: PT SUN, 2003.

Beni Ahmad Saebani.Fiqih Siyasah Terminologi dan Lintasan Sejarah Politik

Islam Sejak Muhammad SAW. Hingga Al-KhulafaAr-Rasyidun,

Bandung:CVPustakaSetia, 2015.

Erman Muchjidin. Tata Negara.Bandung: Yudhistira, 1987.

Farid Abdul Khalik. Fikih Politik Islam, Jakarta:Sinar Grafika Ofset, 2005.

http://www.spengetahuan.com/2015/03/19-pengertian-kepemimpinan-menurut-

para-ahli.html. tanggal 11 agustus 2017

Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Grafindo

Persada, 2009.

Khairumnas Jamal dan Kadarusman, “Terminologi Pemimppin dalam Al-

Qur‟an”. Jurnal Pemikiran Islam,vol.39,No.1.Januari-Juni 2014.

Khoiril Abror. Fiqih Ibadah. Arsyad Ifhami Offset, 2013.

M.Solly Lubis. Pembahasan UUD 1945.Jakarta:Rajawali Pers, 1987.

Muhammad Iqbal. Fiqih Siyasah Konstektualisasi Doktrin Politik Islam ,

Indonesia: Pranamedia Group, 2014.

Muhammad Tahir Azhari. Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana,

dan Hukum Islam. Jakarta: Prenamedia, 20012.


-------. Negara Hukum Suatu Studi Tetntang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi

Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Madinah dan Masa Kini.

Jakarta:Kencana, 2004.

MujarIbnuSyarif. Hak-HakPolitikMinoritas Non-Muslim dalam Komunitas

Islam.Bandung:Angkasa Bandung, 2003.

-------, Khamami Zada.Fiqih Siyasa Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta:

Erlangga, 2008.

Mun‟im A Sirry. Membendung Militansi Agama Imam dan Politikdalam

Mayarakat Modern. Jakarta: Pt Gelora Aksara Pratama, 2003.

Munawir Sajdzali. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.

Jakarta: UI-Press, 2011.

Nurcholish Madjid, Dkk. Islam Universa. Yogyakarta: pustaka pelajar, 2007.

RapungSamuddin. Fiqih Demokrasi Menguak Kekeliruan Pandang Harapannya

Umat Terlibat Pemiludan Politik.Jakarta:Pustaka Al-Khausar,2013.

Rience G. Widyaningsih, G. Kartasapoetra. Hukum Tata Negara Indoneisa.

Bandung: Armico, 1982.

Sri Soemantri. Hukum Tata Negara Indonesia Pemikirandan Pandangan

.Bandung: PTRemajaRosdakarya, 2014.

Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta: PT.Asdi Mahasatya, 2005.

Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian (Cet III). Bandung:Bina Aksara,1990.

Surahman Amin, “Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Al-Qur‟an”. Jurnal Study

Al-Qur‟an, Vol.1 No.1 Oktober 2015.


Susiadi. Metodepenelitian. Lampung :Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M

Institut Agama Islam NegeriRadenIntan,2015.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil

Presiden, Pasal 5.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihanGubernur, Bupati, Dan

Walikota, Pasal 1.

Wahyu Baskoro, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta:setia kawan pres,

2006.

Wawan Gunawan Abdul Wahid, Muhammad Abdullah Darraz, Ahmad Furad

Fanani. Fikih Kebinekaan Pandangan islam indonesia tentang umat,

kewargaan, dan kepemimpinan non-Muslim (3rt ed). Pt.Mizan Pustaka,

Bandung, 2015.

Zul Afdi Ardian, Achmad Roestandi. Pegangan Tata Negara. Bandung:

CV.Armico, 1996.

Anda mungkin juga menyukai