Metode Isolasi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

METODE ISOLASI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fitokimia

Disusun oleh :

Alitain Nisak (17020200004)

Syahrial Abdul Majid (17020200082)

M. Yusril Fitroni (17020200054)

Rhoselinda Eka Permana (17020201104)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

STIKES RUMAH SAKIT ANWAR MEDIKA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas dari salah satu dosen mata kuliah
fitokimia Tugas yang penulis susun yaitu sebuah makalah yang berjudul
“METODE ISOLASI”.
Tugas ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh dosen mata kuliah Fitokimia STIKes Rumah Sakit Anwar Medika
Sidoarjo.

Penulis menyadari bahwa tidak mungkin tugas ini dapat selesai apabila
dilakukan tanpa bantuan, bimbingan, dorongan dan nasihat dari berbagai pihak
yang telah membatu. Karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada semua pihak yang bersangkutan dalam pembuatan tugas ini .

Dengan segala keterbatasan dan kekurangan penulis sehingga tugas ini


tidak sesempurna yang diharapkan karena masih banyak kekurangannya . Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
para pembaca. Terlepas dari itu, penulis berharap agar tugas ini dapat bermanfaat
dikemudian hari untuk segala pihak yang membutuhkan .

Sekian yang dapat penulis sampaikan semoga tugas ini dapat bermanfaat.

‘Wasalamualaikum Wr.Wb.’

Sidoarjo, 11 Oktober 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada suatu bahan alam mengandung berbagai macam zat.
Keragaman dari jenis dan jumlah struktur molekul yang dihasilkan oleh
tumbuhan sangat banyak. Masalah utama dari penelitian di bidang
fitokimia ini ialah untuk menyusun data yang ada mengenai setiap
golongan senyawa khusus. Apabila diperkirakan terdapat ribuan alkaloid
tumbuhan dan perhatian ahli farmakologi pada alkaloid baru sedemikian
besar sehingga alkaloid baru terus ditemukan dan dipaparkan.
Untuk menganalisanya suatu zat pada bahan alam diperlukan
metoda pemisahan, pemurnian dan identifikasi. Metoda pemisahan zat dari
bahan alam yang akan digunakan dilakukan dengan metoda ekstraksi dan
isolasi. Metoda ekstraksi dan isolasi yang digunakan bergantung pada
tekstur dan kandungan air dari bahan tumbuhan yang akan diekstraksi.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Mengetahui secara umum mengenai metode isolasi
1.2.2 Mengetahui penggunaan metode ekstraksi isolasi

1.3 Manfaat Penulisan


Agar dapat mengetahui dan menerapkan bagaimana cara
mengisolasi suatu senyawa tumbuhan menggunakan metode pemisahan
yang ada bebearapa metode yang dapat di gunakan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Isolasi

2.1.1 Pengertian

Pada dasarnya isolasi senyawa kimia dari bahan alam itu


adalah sebuah cara untuk memisahkan senyawa yang bercampur
sehingga dapat menghasilkan senyawa tunggal yang murni. Seperti
halnya pada saat kita ingin mendapatkan suatu senyawa yang terdapat
pada tumbuhan. Pada tumbuhan terkandung ribuan bahkan jutaan
senyawa, baik yang dikategorikan sebagai metabolit primer ataupun
metabolit sekunder. Pada kebanyakan kasusm proses isolasi senyawa
dari bahan alam mentargetkan untuk mengisolasi senyawa metabolit
sekunder, karena senyawa metabolit sekunder telah terbukti dapat
memberikan manfaat terhadap kehidupan manusia.
2.1.2 Tahapan Isolasi
Beberapa tahapan isolasi adalah sebagai berikut:
a. Melakukan ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik.
b. Melakukan pemisahan dengan berbagai metoda kromatografi
antara lain menggunakan metoda partisi, kromatografi kolom,
Kromatografi planar, kromatografi radial, HPLC dll.
c. Elusidasi struktur senyawa yang telah diisolasi dengan
menggunakan berbagai metoda spectroskopi seperti Inframerah,
spektum massa, NMR dll
d. Ujikan aktivitas farmakologis senyawa yang telah berhasil
diisolasi
2.1.3 Isolat
2.2 Ekstraksi Cair-Cair

Ekstraksi cair-cair/Liquid- Liquid Extraction (LLE), adalah


merupakan sistem pemisahan seca- ra kimia-fisika dimana zat yang akan
diekstraksi, dalam hal ini asam-asam karboksilat atau asam-asam lemak bebas
yang larut dalam fasa air, dipisahkan dari fasa airnya dengan menggunakan
pelarut organik, yang tidak larut dalam fasa air, secara kontak langsung baik
kontinyu maupun diskontinyu (Coeure et al, 1965)

Sistem ekstraksi cair-cair (Liquid-liquid Extraction) dengan


menggunakan pelarut organik untuk memisahkan asam-asam organik,
mendapatkan perhatian dikalangan para peneliti, beberapa tahun belakangan
ini. Terutama pemakaian an pelarut organo phosphor seperti, tributilfosfat
(TBF), trietilfosfat (TEF) dan pemakaian amine tersier rantai panjang,
misalnya triisooktilamine (TIOA), trialkilamin (TAA) (Tamada et al, 1990;
Yang et al,1991; Kirsch and Maurer,1997). Mengingat pemakaian pelarut
secara konvensional seperti, alkohol, ketone dan eter hanya menghasilkan
koefisien partisi rendah, ditambah lagi pelarut terse- but banyak larut di
dalam air, sehingga akan sangat merugikan (Kertes and King, 1986).

Ekstraksi cair-cair (liquid extraction, solvent extraction): yaitu pemisahan


solute dari cairan pembawa (diluen) menggunakan solven cair. Campuran
diluen dan solven tersebut bersifat heterogen (immiscible, tidak saling
campur), dan jika dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase diluen (rafinat) dan
fase solven (ekstrak).

 Fase rafinat = fase residu, berisi diluen dan sisa solut.


 Fase ekstrak = fase yang berisi solut dan solven.

Pemilihan solven menjadi sangat penting. Dipilih solven yang memiliki


sifat antara lain:
a. Solut mempunyai kelarutan yang besar dalam solven, tetapi solven sedikit
atau tidak melarutkan diluen,

b. Tidak mudah menguap pada saat ekstraksi,

c. Mudah dipisahkan dari solut, sehingga dapat dipergunakan kembali,

d. Tersedia dan tidak mahal.

Berbagai jenis metode pemisahan yang ada, ekstraksi pelarut atau juga
disebut juga ekstraksi air merupakan metode pemisahan yang paling baik dan
popular. Pemisahan ini dilakukan baik dalam tingkat makro maupun mikro.
Prinsip distribusi ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan
perbandingan tertentu antara dua zat pelarut yang tidak saling bercampur.
Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda
dalam kedua fase terlarut. Teknik ini dapat digunakan untuk kegunaan
preparatif, pemurnian, pemisahan serta analisis pada semua kerja.

Berbeda dengan proses retrifikasi, pada ekstraksi tidak terjadi pemisahan


segera dari bahan-bahan yang akan diperoleh (ekstrak), melainkan mula-mula
hanya terjadi pengumpulan ekstrak (dalam pelarut). Suatu proses ekstraksi
biasanya melibatkan tahap-tahap berikut:

1. Mencampurkan bahan ekstrak dengan pelarut dan membiarkannya saling


kontak. Dalam hal ini terjadi perpindahan massa dengan cara difusi pada
bidang antar muka bahan ekstraksi dan pelarut. Dengan demikian terjadi
ekstraksi yang sebenarnya, yaitu pelarut ekstrak.

2. Memisahkan larutan ekstrak dari refinat, kebanyakan dengan cara


penjernihan atau filtrasi.

3 Mengisolasi ekstrak dari larutan ekstrak dan mendapatkan kembali pelarut.


Umumnya dilakukan dengan mendapatkan kembali pelarut. Larutan
ekstrak langsung dapat diolah lebih lanjut atau diolah setelah dipekatkan.
2.3 Kromatografi Lapis Tipis ( KLT )

Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia yang


didasarkan pada perbedaan distribusi molekul-molekul komponen diantara
dua fasa (fase gerak/eluen dan fase diam/adsorben) yang berbeda tingkat
kepolaranya. Kromatografi lapis tipis meruakan bentuk kromatografi planar
yang digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya
hidrofob seperti lipida-lipida dan hidrokarbon (Sastrohamidjojo, 1991).
prinsip dari pemisahan kromatografi lapi tipis adalah adanya perubahan sifat
fisik dan kimia dari senyawa yaitu kecendrungan dari molekul untuk melarut
dalam cairan (kelarutan), kecendrungan moleku untuk menguap dan
kecendrungan molekul untu melekat pada permukaan (adsorpsi, penjerapan)
(Hendayana, 2006)

Gritter dkk. (1991) menyatakan bahwa kromatografi lapis tipi (KLT) pada
hakikatnya melibatkan 2 peubah yaitu sifat fasa diam atau sifat lapisan dan
sifat fasa gerak atau campuran pelarut pengembang. Fasa diam dapat berupa
serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penjerap, penyangga atau
lapisan zat cair. Pada penelitian ini digunakan fasa diam berupa silika gel
yang mampu menjerap senyawa yang akan dipisahkan. Fasa gerak dapat
berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut, sebagaimana
dalam penelitian ini digunakan campuran pelarut yang efektif untuk
memisahkan masing – masing komponen senyawanya yang memiliki tingkat
kepolaran yang berbeda.

Lapian tipis (plat silika gel F254) yang digunakan dalam penelitian ini
mengandung indikatir flourosensi yang ditambahkan untuk membantu
penampakkan bercak tak warna pada plat yang telah dikembangkan. Indikator
flourosensi adalah senyawa yang memancarkan sinar (lampu UV) jika
senyawa pada bercak yang akan ditampakkan mengandung ikatan rangkap
terkonjugasi atau cincin aromatik berbagai jenis, sinar UV akan mengkesitasi
dari tingkat energi dasar ke tingkat yang lebih tinggi kemudian kembali ke
keadaan semula sambil melepaskan energi (Gritter dkk., 1991)

Identifikasi senyawa – senyawa yang terpisah pada kromatografi lapisan


tipis dapat menggunakan harga Rf (Retardation factor ) yang
menggambarkan jarak yang ditempuh suatu komponen terhadap jarak
keseluruhan, yaitu :

jarak titik pusat bercak dari titik awal


𝑅𝑓 =
jarak garis depan dari titik awal

Harga Rf berjangka antara 0,00 -1,00 dan hanya dapat ditentukan dua
desimal. Harga Rf dipengaruhi olek struktur kimia senyawa yang sedang
dipisahkan, sifat penyerap, jenis eluen dan jumlah cuplikan (Sastrohamidjojo,
1991).

2.4 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) – Densitometri

Pada perkembangan metode Kromatografi saat ini pemakaian "Thin


Layer Chromato Scanner" yang lebih dikenal dengan nama densitometer
makin banyak dipakai secara luas oleh peneliti/ilmuwan. Densitometri adalah
metode analisi instrumental yang berdasarkan interaksi radiasi
elektromagnetik dengan analit yang merupakan bercak atau noda pada
lempeng KLT.

Interaksi radiasi elektromagnetik dengan noda pada lempeng KLT yang


ditentukan adalah adsorpsi, transmisi, pantulan (refleksi) pendar fluor atau
pemadaman pendar fluor dari radiasi semula. Keunggulannya adalah
dititikberatkan untuk analisis analit-analit dengan kadar sangat kecil yang
perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu dengan KLT. Metode ini yang
banyak diguanak dalam analisis kualitatif maupun kuantitatif di bidang
farmasi terutama di bidang analisis obat bahan alam.

Desintometri merupaan metode densitometri ke tingkat analisis kuantitatif


ultra mikro. Keduanya telah berhasil menentukan antara lain testosterone
dalam cairan biologis pada rentang kadar 1-250 ng, dan kolesterol 4 -150 ng
dengan pendar fluor pada noda (kromatogram) KLT. Prinsip penentuan
dengan metode desintometri hampir sama dengan metode spektrofotometri.
Penetuan kadar analit yang dikorelasikan dengan area / luas noda pada KLT
akan lebih terjamin kesahihannya dibanding dengan metode KCKT atau
KGC, sebab area noda kromatogram diukur pada posisi diam atau "zig-zag"
menyeluruh.

2.4.1 Instrumentasi

Sumber radiasi (Source), pengatur panjang gelombang (λ selector), beam


spliter, thin layer plate (end view), detector phototube (transmitance position)
Sumber radiasi ada 3 macam tergantung rentang panjang gelombang dan
prinsip penentuan.

Pada umumnya densitometri memberikan rentang gelombang penentuan


200-630 nm. Lampu Deuterium (D2) dipakai untuk pengukuran pada daerah
cahaya tampak. Untuk penetapan pendar fluor dan pemadaman pendar fluor
dipakai lampu busur Hg bertekanan tinggi. Sama seperti pada
spektorfotometri, pada densitometri juga dilakukan penentuan transmisi atau
adsorpsi dan refleksi pada panjang gelombang maksimal. Pada penetapan
pendar fluor dan pemadaman pedar fluor juga harus dilakukan pada panjang
gelombang dimana terjadi emisi atau intensitas realitif pendar fluor yang
optimal.

Monokromator dengan fungsi yang sama seperti pada spektrofotometri UV-


Vis yang diperlukan pada densitometer. Biasanya dipakai monokromator kisi
difraksi 1200 garis/mm. Detektor PMT Photo Multiplier Tube = Tabung
Penggandaan Foto) merupakan detektor umum yang dipakai pada
densitometer.
2.4.2 Aplikasi

Metode KLT-Densitometri digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif.

1. Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dengan KLT-Densitometri pada prinsipnya mengacu


kepada nilai Rf (Retardation factor) atau Faktor retardasi yaitu :
membandingkan Rf analit dengan Rf baku pembanding atau membandingkan
bercak kromatogram sample dengan kromatogram "Reference Standart" yang
dikenal dengan : Factro Retensi Relatif (Rx) Untuk penentuan kualitatif
dengan Rs harus dilakukan bersamaan dengan sample pada pelat yang sama.

2.Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif hampir sama dengan spektrofotometri, penentuan


kadar analit dikorelasikan dengan area bercak pada pelat KLT. Cara
penetapan kadar dapat dilakukan dengan :

1. Membandingkan area bercak analit dengan area bercak baku pembanding


yang diketahui konsentrasinya.

Cx = Ax / Ap x Cp Cx = konsentrasi analit

Ax = area analit Ap = area baku pembanding

Cp = konsentrasi baku pembanding

2. Kurva kalibrasi :

Kurva kalibrasi dibuat dengan cara memplot area bercak terhadap


konsentrasi dari satu seri larutan baku pembanding. Kurva yang tebentuk
harus linear, kemudian dengan persamaan garis regresi dapat ditentukan
kadar analit.
2.5 Kromatografi Kolom

Kromatografi adalah proses pemisahan yang tergantung pada


perbedaan distribusi campuran komponen antara fase gerak dan fase diam.
Fase diam dapat berupa pembentukan kolom dimana fase gerak dibiarkan
untuk mengalir (kromatografi kolom) atau berupa pembentukan lapis tipis
dimana fase gerak dibiarkan untuk naik berdasarkan kapilaritas (kromatografi
lapis tipis). Perlu diperhatikan bahwa senyawa yang berbeda memiliki
koefisien partisi yang berbeda antara fase gerak dan diam. Senyawa yang
berinteraksi lemah dengan fase diam akan bergerak lebih cepat melalui sistem
kromatografi. Senyawa dengan interaksi yang kuat dengan fase diam akan
bergerak sangat lambat (Christian, 1994; Skoog, 1993).

Pemisahan komponen campuran melalui kromatografi adsorpsi


tergantung pada kesetimbangan adsorpsi-desorpsi antara senyawa yang
teradsorb pada permukaan dari fase diam padatan dan pelarut dalam fase cair.
Tingkat adsorpsi komponen tergantung pada polaritas molekul, aktivitas
adsorben, dan polaritas fase gerak cair. Umumnya, senyawa dengan gugus
fungsional lebih polar akan teradsorb lebih kuat pada permukaan fase
padatan. Aktivitas adsorben tergantung komposisi kimianya, ukuran partikel,
dan pori-pori partikel (Braithwaite and Smith, 1995).
Solven murni atau sistem solven tunggal dapat digunakan untuk mengelusi
semua komponen. Selain itu, sistem gradient solven juga digunakan. Pada elusi
gradien, polaritas sistem solven ditingkatkan secara perlahan dengan
meningkatkan konsentrasi solven ke yang lebih polar. Pemilihan solven eluen
tergantung pada jenis adsorben yang digunakan dan kemurnian senyawa yang
dipisahkan. Solven harus mempunyai kemurnian yang tinggi. Keberadaan
pengganggu seperti air, alkohol, atau asam pada solven yang kurang polar akan
mengganggu aktivitas adsorben (Braithwaite and Smith, 1995).

2.5.1 Pembuatan Kolom Kromatografi

Fasa diam yang digunakan sebagai adsorben dalam kolom adalah silika gel
yang dimodifikasi dengan penambahan alumina (silika gel : alumina, 2:3) dan
MnO2 3%. Sebelumnya silika gel diaktivasi dengan pemanasan pada suhu 110 –
125 oC sedangkan alumina diaktivasi pada suhu 125 – 150 oC selama 24 jam.
Campuran adsorben dimasukkan kedalam kolom dalam keadaan kering, dimana
sebelumnya kolom telah diisi dengan pelarut petroleum eter hingga mencapai
setengah panjang kolom. Campuran adsorben dimasukkan ke dalam kolom tiap 3
gram untuk menghasilkan lapisan-lapisan fasa diam. Keran pada kolom dibiarkan
terbuka agar pelarut dapat keluar. Kemudian kolom dikeringkan dari pelarut
hingga mencapai 1 cm batas atas permukaan fasa diam.

2.5.2 Pemisahan dengan Kolom Kromatografi

Kolom kromatografi yang digunakan adalah kolom yang telah


dimodifikasi dengan menggunakan fasa diam silika gel - alumina (2:3)
ditambahkan dengan MnO2 3%. Kolom modifikasi ini dibuat dengan metode
kering yaitu dengan memasukkan campuran fasa diam kedalam kolom yang telah
berisi pelarut. Campuran tersebut tidak dibuburkan terlebih dulu, tetapi langsung
dimasukkan dalam keadaan kering. Penggunaan metode kering dikarenakan
ukuran dari partikel MnO2 yang lebih kecil dibandingkan dengan silika gel dan
alumina mengakibatkan MnO2 selalu berada diatas sehingga tidak dapat
bercampur sempurna (homogen). Selain itu, berat dari MnO2 lebih ringan
dibandingkan dengan silika gel dan alumina sehingga bila fasa diam dimasukkan
kedalam kolom, MnO2 akan selalu tertinggal paling atas.

Gambar 1.1 Modifikasi Kolom Kromatografi

Kondisi fasa diam yang sulit untuk bercampur (homogen) mengharuskan


untuk menggunakan suatu teknik yang dapat membuat fasa diam hampir
mendekati homogen seperti pada plat modifikasi KLT. Teknik yang digunakan
adalah memasukkan campuran fasa diam sedikit demi sedikit. Fasa diam yang
akan terbentuk adalah fasa diam yang membentuk lapisan-lapisan seperti pada
gambar 1. Dengan teknik ini, fasa diam yang dihasilkan hampir mendekati
homogen sama seperti pada KLT modifikasi. Data-data mengenai kolom
kromatografi modifikasi yang dihasilkan dapat dilihat pada lampiran 1.

Eluen yang digunakan adalah petroleum eter dan dietil eter dengan
perbandingan 7:3, 3:2, dan 1:1. Teknik elusi yang digunakan adalah teknik elusi
gradien yaitu dimulai dari perbandingan petroleum eter:dietil eter sebesar 7:3.
Kolom yang digunakan disini adalah kromatografi kolom tekan, sehingga
kecepatan alir dari eluen dapat diatur. Dalam pemisahan dengan kolom modifikasi
ini, kecepatan alir yang digunakan sekecil mungkin yang artinya bahwa elusi yang
terjadi berjalan lambat. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan pemisahan dan
reaksi yang terjadi antara fasa diam kolom modifikasi dengan sampel. Ketika
menggunakan kecepatan alir yang kecil, tekanan didalam semakin besar, sehingga
pemisahan yang terjadi menjadi lebih baik

2.6 Kromatografi Gas cair

Ragas yang diperlukan untuk KGC sangat canggih dan mahal


dibandingkan radas untuk KLT ataupun KKt. Tetapi pada prinsipnya KGC tidak
lebih rumit dari prosedur kromatografi yang lain.

Radas KGC mempunyai empat bagian utama berikut;

1. Kolom berupa pipa kecil yang panjang (misalnya 3m x 1mm) biasanya


terbuat dari logam yang berbentuk gelungan untuk menghemat ruang.
Kolom ini di kemas dengan fase diam ( misalnya minyak silicon 5-15%)
yang melekat pada serbuk lembam (chromororb W, Gelite, dsb). Kemasan
tersebut bukanlah suatu keharusan karna dapat pula digunakan cara lain,
yaitu dengan kolom silika terbuka. Disini di fase diam di saputkan sebagai
film pada permukaan kolom bagian dalam ( KGC kapiler ).
2. Pemanas disediakan untuk memanaskan kolom secara meningkat, mulai
dari 50 sampai 350°C dengan laju baku. Bila perlu, suhu kekolom
dikendalikan terpisah sehingga cuplikan dapat diuapkan dengan cepat
ketika diteruskan kekolom. Cuplikan yang dilarutkan kedalam eter atau
heksana disuntikkan dengan jarum semprit kedalam gerbang masuk
melalui spetum karet.
3. Aliran gas terdiri atas gas pembawa yang lembam sperti nitrogen dan
argon. Pemisahan senyawa dalam kolom bergantung pada pengaliran pada
gas ini melalui kolom dengan laju aliran yang terkendali.
4. Gawai pendeteksi diperlukan untuk mengukur senyawa ketika senyawa itu
di alirkan melalui kolom. Sering pendeteksian didasarkan pada pengionan
nyala atau tangkap-elektron. Cara pertama memerlukan tambahan gas
hydrogen dalam campuran gas dan akan terbakar habis dalam pendeteksi
yang sebenarnya. Gawai pendeteksi dihubungkan dengan perekam
potensiometri yang memberikan hasil pemisahan berupa serangkaian
puncak yang berbeda- beda kekuatannya. (lihat gambar 1.2)

Gambar 1.2
Hasil KGC dapat dinyatakan dengan volume retensi Rv, yaitu volume gas
pembawa yang diperlukan untuk mengelusi suatu komponen dari kolom, atau
dinyatakan dengan waktu retensi Rt, yaitu wktu yang diperlukan untuk
mengelusi komponen dari kolom. Kedua parameter ini hamper selalu
dinyatakan nisbi terhadap senyawa baku (sebagai RRv atau RRt) yang dapat
di tambahkan kedalam ekstrak cuplikan atau dapat berupa pelarut yang
digunakan untuk melarutkan cuplikan. Perubahan utama dalam KGC adalah
sifat fase diam dalam kolom dan….. suhu kerja. Keduanya diubah ubah
menurut kepolaran dan keatsirian senyawa yang dipisahkan. Banyak golongan
senyawa yang dibuat tururnannya secara rutin ( terutama menjadi eter
trimetisilil) sebelum di kromatografis gas, karena dengan demikian
memungkinkan pemisahan pada suhu yang lebih rendah.

KGC memberikan memberikan data kuantitatif maupun kualitatif senyawa


tumbuhan karna luas daerah dibwah puncak yang ditunjukkan pada
kromatogram (gambar 1.2) berbanding lurus dengan konsentrasi masing
masing komponen yang berbeda yang terdapat dalam campuran asal. Ada sua
rumus umum yang digunakan untuk mengukur luas puncak, yaitu:

1. Tinggi = 94% luas puncak (hanya berlaku untuk luas puncak simetris)
2. Luas puncak setara dengan luas segi tiga yang terbentuk oleh kedua
garis singgung yang di tarik melalui titek infleksi. Luas puncak dapat
ditentukan secara otomatis, misalnya dengan menggunakan integrator
elektronik.
Alat KGC dapat disusun demikian rupa sehingga komponen yang dipisahkan
dapat dianalisis dengan cara spektrometri atau cara lain. Yang paling sering di
lakukan ialah menghubungkan KGC dengan sepektrometer massa (SM). Radas
gabungan KGC-SM ini telah muncul pada tahun-tahun belakangan ini sebagai
cara terpenting dari sema cara analisis fitokimia.

Walaupun banyak buku dan tujuan mengenai KGC, tetapi hanya sedikit
yang di tulis untuk pembaca fitokimiawan. Dari segi peraktek buku pengantar
yang berguna adalah buku karangan simpson (1970) Buku yang lebih khas
mengenai penggunaan KGC dalam bidang biokimia adalah karangan Burchfield
dan Storrs (1962).

2.7 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

KCKT dapat disamakan dengan KGC dalam hal kepekaaandan


kemampuanya memghasilkan data kualitatif dan kuantitatif dengan sekali
kerja saja. Perbedaannya ialah fase diam yan terikat pada polimer berpori
terdapat dalam kolom baja tahan karat yang bergaris tengah kecil dan fase
gerak cair mengali akibat tekanan yang besar.Alat KCKT lebih mahal
daripada alat KGC, terutama karena diperlukan sistem pompa yang cocok
serta semua sambungan harus disekrup agar dapat menahan tekanan. Fase
geraknya adalah campuran pelarut yang dapat bercampur. Campuran ini dapat
tetap susunannya (pemisahan isokratik) atau dapat diubah perbandingannya
secara sinabung dengan menambahkan ruang pencampur kepada susunan alat
(elusi landaian). Senyawa dipatau ketika keluar dari kolom dengan
menngunakan pendeteksi, biasanya dengan mengukur spektrum serapan UV.
Dapat ditambahkan pemandu (integrator) untuk mengola data yang dihasilka
dan seluruh pekerjaan dapat dikendalikan dengan mikroprosesor.

Gambar 1.3

Perbedaan utama antara KCKT dan KGC ialah bahwa cara pertama biasanya
dilakukan pada suhu kamar sehingga senyawa tidak mendapat perlakuanyang
memungkinkan terjadinya tata susun ulang termal selama pemisahan. Tetapi
mungkin saja pengendalian suhu kolom KCKTmenguntungkan pada pemisahan
kritis sehingga mungkin diperlukan selubung yang dikendalikan dengan termostat.
Kolom, yang biasanya dikemas dengan partikel bulat kecil yang terbuat dari silika
yang berlapiskan atau berkaitan dengan fase diam, terutama peka terhadap
cemaran. Dengan demikian ekstrak tumbuhan perlu dimurnikan dan disaring
sebelum disuntikkan ke dalam pangkal kolom.

KCKT digunakan terutama untuk golongan senyawa takatsiri, misalnya


terpenoid tinggi, segalajenis senyawa fenol, alkaloid, lipid, dan gula. KCKT
berhasil paling baik untuk senyawa yang dapat dideteksi di daerah spektrum UV
atau spektrum sinar tampak. Satu contoh pemisahan flavonioid dengan KCKT
ditunjikan pada gambar 1.3. Untuk gula yang tidak menunjukanserapan UV dapat
digunakan pendeteksi indeks bias, tetapi dipisahkan dengan menggunakan kolom
'sephadex' yang dimodifikasi, silika gel atau penukar ion.

sebagian besar pemisahan dengan KCKT modern menggunakan kolom siap pakai,
dan berbagi jenis kolom ini disedidiakan oleh pabrik. Tetapi, kebanyakan
pemisahan dapat dilakukan dengan menggunakan kolom partikel silika mikropori
(untuk senyawa nonpolar) atau kolom fase balik yaitu fase ikat C18 (untuk
senyawa polar) (hamilton dan sewell, 1982). Saru hak praktis terakhir yang patut
disebutkan yaitu pelarut harus ultramurni dan harus diwagaskan sebelum dipakai.

KCKT merupakan cara kromatrografi paling baru yang ditambahkan ke


dalam perlengkapan fitokimiawan.Terlepas dari biaya alat dan pelarut, KCKT
memberi harapan sebagai alat terpenting dan serbaguna pada analisis kuantitatif
tumbuhan. Namun demikian, KCKT harus dapatmembuktikan kegunaannya pada
skala preparatif.
BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Gandjar, Ibnu Ghalib dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Mulja M., Suharman. 1995. Analis Instrumental. Surabaya: Airlangga University


Press.

Stahl, E.1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, Diterjemahkan


oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung : Penerbit ITB.

Sastrohamidjojo, H. 1991. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty.

Touchstone, JC., Rogers, D. 1980. Thin Layer Chromatography Quantitative


Enviromental and Clinical Application. New York: A Willey Intenscience
Publication, John Willey & Sons.

Braithwaite, A and Smith, F. J. 1995.Chromatographic Methods. Kluwer


Academic Publishers, London

Christian, Gary D. 1994. Analytical Chemistry. Fifth Edition. University of


Washington. John Wiley & Sons, USA

Skoog, D. A. 1998. Principles of Instrumental Analysis. Fifth


Edition.Brooks/cole-Thomson Learning, USA

Handayani, R. A. 2008. Modifikasi Teknik Kromatografi Lapis Tipis untuk


Pemisahan Asam Lemak dari Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus
Lamk.) sebagai Turunannya.Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

http://distantina.staff.uns.ac.id/files/2009/10/1-pengantar-ekstraksi-cair-cair.pdf

http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimia-industri/teknologi
proses/ekstraksi-cair/
Coeure, Pierlas, R, Frignet, G, 1965. in ”Extraction Liquid-Liquid”, Transfers of
Materials, p.4-7.
Tamada, J. A. King, C. J. 1990. Ind. Eng. Chem. Res. 29. 1327-1333.
Kertes, A. S, King, C. J. 1986. Biotechnol. Bioeng. 28. 269-282.

Anda mungkin juga menyukai