Jembatan Cable Geologi
Jembatan Cable Geologi
Jembatan Cable Geologi
Jembatan cable stayed (Kabel Tetap) sudah dikenal sejak lebih dari 200 tahun yang lalu (Walther, 1988)
yang pada awal era tersebut umumnya dibangun dengan menggunakan kabel vertical dan miring seperti
Dryburgh Abbey Footbridge di Skotlandia yang dibangun pada tahun 1817. Jembatan seperti ini masih
merupakan kombinasi dari jembatan cable stayed modern. Sejak saat itu jembatan cable stayed
mengalami banyak perkembangan dan mempunyai bentuk yang bervariasi dari segi material yang
Pada umumnya jembatan cable stayed menggunakan gelagar baja, rangka, beton atau beton pratekan
sebagai gelagar utama (Zarkasi dan Rosliansjah, 1995). Pemilihan bahan gelagar tergantung pada
ketersediaan bahan, metode pelaksanaan dan harga konstruksi. Penilaian parameter tersebut tidak hanya
tergantung pada perhitungan semata melainkan masalah ekonomi dan estetika lebih dominan.
Kecenderungan sekarang adalah menggunakan gelagar beton, cast in situ atau prefabricated (pre cast).
Pada dasarnya komponen utama jembatan cable stayed terdiri atas gelagar, sistem kabel , dan menara
atau pylon.
a). Sistem kabel
Sistem kabel merupakan salah satu hal mendasar dalam perencanaan jembatan cable stayed. Kabel
digunakan untuk menopang gelagar di antara dua tumpuan dan memindahkan beban tersebut ke menara.
Secara umum sistem kabel dapat dilihat sebagai tatanan kabel transversal dan tatanan kabel longitudinal.
Pemilihan tatanan kabel tersebut didasarkan atas berbagai hal karena akan memberikan pengaruh yang
berlainan terhadap perilaku struktur terutama pada bentuk menara dan tampang gelagar. Selain itu akan
berpengaruh pula pada metode pelaksanaan, biaya dan arsitektur jembatan. Sebagian besar struktur yang
sudah dibangun terdiri atas dua bidang kabel dan diangkerkan pada sisi-sisi gelagar (Walther, 1988).
Namun ada beberapa yang hanya menggunakan satu bidang. Penggunaan tiga bidang atau lebih mungkin
dapat dipikirkan untuk jembatan yang sangat lebar agar dimensi balok melintang dapat lebih kecil.
Tatanan kabel transversal terhadap arah sumbu longitudinal jembatan dapat dibuat satu atau dua bidang
dan sebaliknya ditempatkan secara simetri. Ada juga perencana yang menggunakan tiga bidang kabel
sampai sekarang belum diterapkan di lapangan. Secara tatanan kabel transversal dapat dilihat pada
gambar berikut.
Sistem ini sangat menguntungkan dari segi estetika karena tidak terjadi kabel bersilangan yang terlihat
oleh pandangan sehingga terlihat penampilan struktur yang indah. Kabel ditempatkan ditengah-tengah
dek dan membatasi dua arah jalur lalulintas. Untuk jembatan bentang panjang biasanya memerlukan
menara yang tinggi menyebabkan lebar menara di bawah dek sangat besar. Secara umum jembatan yang
sangat panjang atau sangat lebar tidak cocok dengan penggantung kabel satu bidang.
Penggantung dengan dua bidang dapat berupa dua bidang vertikal sejajar atau dua bidang miring yang
Pada perencanaan jembatan yang sangat lebar atau membutuhkan jalur lalulintas yang banyak, akan
ditemui torsi yang sangat besar bila menggunakan sistem kabel satu bidang dan momen lentur yang besar
pada tengah balok melintang bila menggunakan sistem dua bidang. Kejadian ini menyebabkan gelagar
sangfat besar dan menjadi tidak ekonomis lagi. Penggunaan penggantung tiga bidang dapt mengurangi
torsi, momen lentur, dan gaya geser yang berlebihan. Penggunaan penggantung tiga bidang sampai saat
ini masih berupa inovasi dan baru sampai pada tahap desain (Walther,1988)
2. Menara
Pemilihan menara sangat dipengaruhi oleh konfigurasi kabel, estetika dan kebutuhan perencanaan serta
pertimbangan biaya. Bentuk-bentuk menara dapat berupa rangka portal tropezoidal, menara kembar,
menara A, atau menara tunggal.Selain bentuk menara yang telah disebutkan, masih banyak bentuk
bentuk menara lain namun jarang digunakan seperti menara Y, menara V, dan lain sebagainya.
3. Gelagar
Bentuk gelagar jembatan cable stayed sangat bervariasi namun yang paling sering digunakan ada dua
yaitu stffening truss dan solid web (Podolny and Scalzi, 1976). Stiffening truss digunakan untuk struktur
baja dan solid web digunakan untuk struktur baja atau beton bertulang maupun beton prategang.
Gelagar yang tersusun dari solid web yang terbuat dari baja atau beton cenderung terbagi atas dua tipe
1. gelagar pelat (plate girder), dapat terdiri atas dua atau banyak gelagar.
2. gelagar box (box girder), dapat terdiri atas satu susunan box yang dapat berbentuk persegi
• Kabel lurus memberikan kekakuan yang lebih besar dari kabel melengkung. Disamping itu,
analisis non linier tidak perlu dilakukan untuk geometri kabel lurus.
• Kabel diangker pada lantai jembatan dan menimbulkan gaya aksial tekan yang menguntungkan
• Tiap – tiap kabel penggantung lebih pendek dari panjang jembatan secara keseluruhan dan dapat
1. Diperlukan metode pelaksanaan yang cukup teliti jika jembatan Cable Stayed dibangun dengan
bentang yang lebih panjang, bagian yang terkantilever sangat rentan terhadap getaran akibat
Jembatan kabel tetap terpanjang yang sudah ada saat ini adalah Tatara Bridge, di Jepang dengan total
Platform merupakan konstruksi pendukung sementara yang berfungsi sebagai tempat untuk menginstalasi
batching plan, menyimpan material seperti tiang pancang serta sebagai tempat bagi berbagai aktivitas di
• Caisson baja yang berfungsi sebagai bekisting bawah pile cap kemudian dipasang.
• Pengecoran lapisan sealing concrete untuk menahan masukkan air laut ke pile cap Pemasangan
• Pemasangan segmen girder baja pertama dengan crane barge, hubungan antara segmen dengan
• Pemasangan cantilever crane pada lantai jembatan untuk mengakat segmen berikutnya.
• Pemasangan girder baja dengan mneggunakan cantilever crane diikiti dengan penenganan kabel.
• Pemasangan pelat lantai jembatan pada segmen pertama dan kedua dilanjutkan dengan
pengecoran sambungan.
• Pemasangan girder baja selanjutnya dengan menggunakan cantilever crane diikuti dengan
peregangan kabel. Pada saat bersamaan dipasang pilar sementara di dekat pilar V.
• Panjang : 32 Panjang : 30 m
Pelaksanaan pembuatan pier head/ pile cap dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pembuatan
bekisting, pembesian, dan pengecoran. Pengecoran dilakukan dalam dua tahap, yaitu bagian bawah pier
pengelasan besi WF pengikat tiang pancang, pembesian tulangan pilar bagian bawah, pilar samping, dan
pilar bagian atas. Setelah semua tulangan terpasang, tahap berikutnya adalah pekerjaan pengecoran.
Beton dengan K-350 dibuat berdasarkan hasil test pencampuran/ trial mix. Untuk setiap truk mixer beton
yang berasal dari batching plant, dilakukan uji slump beton. Slump yang dipersyaratkan adalah t ± 8-12
cm.
Truk mixer kemudian membawa beton ke lokasi proyek untuk dituangkan ke concrete pump. Sebelum
dituang, dilakukan pengambilan benda uji sebanyak 48 buah untuk tiap pile cap serta pengujian slump
ulang. Dengan bantuan concrete pump, beton tersebut dituangkan ke dalam pile cap lapis demi lapis
sambil dipadatkan. Tebal tiap lapisan ± 30 cm. Setelah itu dilaksanakan pekerjaan finishing pada
permukaan beton
Hal penting yang perlu diperhatikan selama pelaksanaan pengecoran beton dengan massa besar (mass
concrete)adalah perbedaan suhu. Agar didapat suhu beton merata tanpa terjadi perbedaan yang besar
dilakukan perawatan atau curing beton dengan karung basah selama 14 hari.
1. PCI Girder
Struktur atas causeway Proyek Jembatan Suramadu menggunakan balok PCI Girder berkekuatan beton K-
500, dengan panjang 40 meter, yang terbagi menjadi 7 segmen. Pembagian ini mengingat kondisi
lapangan yang tidak memungkinkan, untuk memindahkan balok PCI Girder tersebut secara utuh –sesuai
panjang bentang–, dari lokasi pembuatan (pabrik) ke lokasi pemasangan. Selanjutnya dilakukan post
tension dengan menggabungkan beberapa segmen balok untuk kemudian disatukan dengan
b. Stressing Girder
Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan PCI Girder ini adalah elevasi stressing bed. Lokasi
post tensioning harus diusahakan sedatar mungkin agar tidak menyebabkan girder mengalami
perpindahan dalam arah lateral. Setelah itu ketujuh segmen balok girder yang telah menjadi satu
kesatuan, dijajarkan sesuai bagiannya. Sebelumnya dipersiapkan terlebih dahulu perletakan sementara
untuk masing-masing segmen. Di bagian ujung pertemuan harus diberi oli atau pelumas agar balok dapat
bergerak mengimbangi gaya pratekan yang diberikan. Kabel strand dipotong sesuai dengan kebutuhan di
lapangan. Pemotongan diusahakan seminimal mungkin agar tidak ada kabel yang terbuang. Berikutnya
kabel strand dimasukkan ke dalam duct secara manual pada tiap-tiap tendon sesuai dengan perencanaan.
Lalu di pasang pengunci kabel strand di ujung kabel. Penegangan (stressing) dilakukan sampai tegangan
8.000 Psi dengan dilakukan pengontrol tegangan dan perpanjangan kabel. Pencatatan dilakukan pada
setiap kenaikan tegangan 1.000-2.000Psi. Dan hasilnya dibandingkan dengan perhitungan teoritis yang
c. Erection Girder
Metode pelaksanaan pemasangan PCI Girder untuk sisi Surabaya dan Madura memiliki perbedaan. Hal ini
disebabkan karena perbedaan kondisi setempat. Di sisi Madura, kedalaman laut relatif dalam dan tidak
terpengaruh adanya pasang-surut air laut. Sedangkan di sisi Surabaya, kondisi laut cukup dangkal dan
sangat terpengaruh pasang-surut. Hal ini menyebabkan sistem yang digunakan berbeda. Di sisi Surabaya
digunakan metode ‘kura-kura’ atau roller , sedangkan di sisi Madura Menggunakan crane
Metode pelaksanaan pemasangan PCI Girder untuk sisi Surabaya dan Madura memiliki perbedaan. Hal ini
disebabkan karena perbedaan kondisi setempat. Di sisi Madura, kedalaman laut relatif dalam dan tidak
terpengaruh adanya pasang-surut air laut. Sedangkan di sisi Surabaya, kondisi laut cukup dangkal dan
sangat terpengaruh pasang-surut. Hal ini menyebabkan sistem yang digunakan berbeda. Di sisi Surabaya
digunakan metode ‘kura-kura’ atau roller , sedangkan di sisi Madura Menggunakan crane.
Panjang PCI Girder setelah terangkai adalah 40 meter, dengan tinggi 2,1 meter, dan berat 80 ton. PCI
Girder tersebut didesain untuk hanya menerima beban vertikal dan tidak untuk menerima beban
horisontal. Hal ini menyebabkan proses pengangkutan PCI Girder tersebut dari lokasi penyimpanan
(stockyard) sampai ke lokasi pemasangan harus dibuat sedatar dan selurus mungkin. Ini untuk
menghindarkan terjadinya gaya horisontal akibat gerakan truk yang berlebihan yang dapat menyebabkan
balok girder patah. Tahapan pemindahan girder dimulai dengan pengangkatan menggunakan dua crane
dan diletakkan pada boogy . Girder tersebut kemudian diangkut dengan boogy ke masingmasing pier.
Proses selanjutnya adalah pemindahan dari boogy ke pile cap yang dilaksanakan dengan metode yang
Diafragma adalah elemen struktur yang berfungsi untuk memberikan ikatan antara PCI Girder sehingga
akan memberikan kestabilan pada masing PCI Girder dalam arah horisontal. Sistem difragma yang
digunakan pada causeway Jembatan Suramadu adalah sistem pracetak. Pengikatan tersebut dilakukan
dalam bentuk pemberian stressing pada diafragma dan PCI Girder sehingga dapat bekerja sebagai satu
kesatuan. Deck slab merupakan elemen non-struktural yang berfungsi sebagai lantai kerja dan bekisting
bagi plat lantai jembatan. Deck slab tersebut dibuat dari beton dengan mutu K-350.
E. Approach Bridge
Untuk bangunan atas menggunakan beton Presstressed Box Girder dengan bentang 80 meter sebanyak 7
bentang, baik untuk sisi Surabaya maupun sisi Madura. Sedangkan struktur bawah terdiri dari pondasi
Main Bridge
Lajur kendaraan
Konstruksi Pylon bentang utama setinggi 146 meter, dengan menggunakan borepile berdiameter 2,4
meter dengan kedalaman 71 meter, Ketinggian vertikal bebas (untuk navigasi) bentang utama adalah 35
I. PENDAHULUAN
Penggunaan tambak untuk memelihara udang sejak lama dilakukan oleh masyarakat petani ikan yang
hidup disepanjang pesisir pantai. Menurut sejarahnya, asal mula pemeliharaan udang ditambak dipelopori
oleh sejumlah narapidana yang diasingkan kedaerah terpencil pada zaman kolonial.Untuk
mempertahankan hidupnya selama di pengasingan, mereka berusaha mencari ikan disepanjang pantai,
terutama di daerah pantai yang telah terputus hubungannya dengan laut bebas. Mereka telah mengetahui
bahwa di daerah pantai demikian banyak dijumpai ikan yang terperangkap, sehingga mudah untuk
ditangkapnya.
Selanjutnya mereka berusaha untuk menciptakan sendiri daerah demikian dengan cara membendung atau
menambak daerah tertentu sehingga timbullah istilah tambak. Tentu saja pada saat itu bentuknya masih
sangat sederhana, yaitu hanya berupa tumpukan batu karang sekedar menghalangi jalan keluar bagi ikan
atau udang.Saat ini ilmu pengetahuan perikanan telah berkembang, sehingga model tambak pun juga
mengalami perkembangan seperti bentuk tambak sekarang ini,tambak mulai dilengkapi dengan pintu air,
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam pembuatan tambak adalah menentukan lokasi yang paling
memenuhi persyaratan untuk memedia memelihara udang.Pemilihan lokasi tambak ini tidak hanya untuk
menentukan kecocokan lahan sebagai media pemeliharaan udang saja, tetapi juga untuk mendukung
modifiksai disain tambak,tata letak tambak, pembuatan konstruksi tambak, dan manajemen yang akan
diterapkan.
Pada prinsipnya, lahan yang akan digunakan sebagai tambak harus memenuhi persyaratan fisika,
kimia,biologis, teknis, sosial ekonomis,hogienis, dan legal. Untuk mendapatkan lahan yang memenuhi
persyaratan tersebut, ada 4 aspek utama yang diperhatikan sebagai kriteria dalam penentuan lokasi
tambak, yaitu:
1. Aspek ekologis
2. Aspek tanah
3. Aspek biologis
Ditinjau dari segi aspek ekologis, keadaan alam, sumber air dan iklim di Indonesia sangat menunjang
Secara ekologis ada 7 faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan tingkat kesesuaian lokasi
tambak yaitu:
3. Salinitas
5. Arus air
Secara garis besar kondisi fisik air tambak merupakan keadaan air tambak ditinjau dari keberadaan dan
penampakan partikel-partikel fisik yang dijumpai di dalam perairan tersebut. Partikel-partikel tersebut
muncul sebagai akibat proses yang terjadi di dalam ekosistem perairan maupun karena faktor teknis
budidaya sehingga secara tidak langsung ikut mempengaruhi kehidupan organisme yang berada di
dalamnya. Kondisi fisik air tambak juga dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur kualitas perairan
1. Pemunculan partikel tersebut dapat dijadikan isyarat bahwa telah terjadi proses (biologi, kimia,
2. Dalam jumlah yang besar dan jangka waktu lama dapat menyebabkan terganggunya fungsi
Ukuran partikel-partikel tersebut ada yang berukuran kecil dan ada yang relatif besar karena karena
proses akumulasi yang terjadi. Pemunculan partikel tersebut bisa berada di lapisan air maupun muncul
dipermukaan air tambak. Melalui pengamatan yang cermat maka penampakannya akan dapat terlihat
bahkan terdeteksi semenjak dini penyebab permasalahannya. Beberap kondisi fisik perairan tambak yang
1. Air tambak berdebu ン, kondisi ini untuk menggambarkan bahwa di dalam air tambak muncul
partikel-partikel sangat halus dan melayang-layang karena tidak terlarut atau mengendap di
dalam perairan tambak. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan gangguan pada insang udang
dan pada jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan penyakit insang merah. Alternatif
perlakuan yang bisa diterapkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan melakukan
peningkatan sirkulasi air baik dari segi frekuensi maupun volumenya secara kontinyu.
Penggunaan saponin pada dosis tertentu diharapkan dapat mengikat partikel yang ada di
perairan tambak.
2. Air tambak berbusa/berbuih ン, pada kondisi ini air dipermukaan tambak tampak berbusa/berbuih
dan akan lebih jelas kelihatan pada saat kincir air dioperasikan. Hal ini menandakan bahwa di
perairan tersebut telah terjadi mortalitas plankthon secara massal yang dapat menimbulkan
keseimbangan ekosistem perairan colaps, kecerahan air tambak cenderung tidak stabil, dasar
tambak kotor karena endapan bangkai plankthon. Perlakuan teknis yang dapat digunakan untuk
mengatasi kondisi ini adalah dengan melakukan sirkulasi air secara kontinyu dan pada kondisi
tertentu dapat dilakukan inokulasi bibit plankthon secara kontinyu dari petakan tambak lainnya
disertai dengan peningkatan dosis penggunaan pupuk atau pemakaian bahan organik.
3. Pemunculan klekap di permukaan air tambak. Klekap pada dasarnya merupakan campuran
antara kotoran dasar tambak dengan bangkai plankthon yang terangkat ke permukaan air karena
adanya proses oksidasi dengan bantuan sinar matahari. Kondisi ini terjadi karena dasar tambak
yang kotor dan kecerahan air tambak yang relatif tinggi. Klekap bila telah mengendap kembali di
dasar tambak akan terjadi pembusukan dan dapat menyebabkan peningkatan kandungan H2S,
NH3 di dalam tambak yang berbahaya bagi udang. Pemunculan klekap di permukaan tambak
dapat diatasi dengan pengangkatan klekap dari permukaan tambak dan pembersihan dasar
tambak yang diibangi dengan sirkulasi secara kontinyu dan pembentukan kembali kualitas air
tambak melalui regenerasi plankthon yang telah mati dengan cara inokulasi bibit plankthon dan
4. Tumbuhnya lumut di dalam tambak. Kondisi ini terjadi karena kecerahan air tambak yang relatif
tinggi dan berlangsung dalam kondisi lama dan disertai dengan proses pemupukan yang
kontinyu. Lumut yang tumbuh di dalam tambak akan menghambat aktifitas dan gerak udang
serta proses penumbuhan plankthon relatif lebih susah. Lumut akan hilang jika penetrasi sinar
matahari yang membantu pertumbuhan lumut terhalang oleh plankthon pada kecerahan air
tertentu.
Ke empat kondisi tersebut di atas merupakan hal yang sering dijumpai pada petakan-petakan tambak
yang dalam pengamatan kualitas perairan kurang cermat ataupun pemberian perlakuan teknis yang
kurang tepat pada sasarannya. Perairan tambak dengan kualitas perairan dan kondisi udang yang sesuai
dengan keseimbangan ekosistem akan mempengaruhi rona dan kualitas kondisi fisik perairan akan terjaga
dengan sendirinya serta sangat tergantung pada upaya untuk mempertahankan kondisi tersebut.
Warna air tambak pada dasarnya terjadi karena adanya dominansi jenis plankton tertentu yang tumbuh
dan berkembang di dalam perairan tambak. Parameter ini dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur
kualitas perairan tambak secara praktis melalui pengamatan visual dengan memperhatikan kondisi dan
kualitas udang di dalam perairan tersebut dengan dasar pemikiran seperti berikut ini:
1. Phythoplankton mempunyai karakteristik warna tertentu yang disebabkan oleh kandungan
chlorophyl yang relatif berbeda antara jenis yang satu dengan yang lainnya.
2. Plankton memiliki karakteristik sifat tertentu dalam melakukan proses kegiatannya baik itu
biologi, kimia, fisika dan ekologi yang relatif berbeda antara jenis yang satu dengan yang lainnya.
3. Phythoplankton merupakan produsen utama dalam rantai makanan yang ada di perairan tambak,
4. Tidak semua jenis plankton yang tumbuh dalam perairan tambak bersifat menguntungkan bagi
udang atau organisme lainnya di dalam tambak, sehingga dominansi dari jenis tertentu akan
Dasar pemikiran diatas memperlihatkan bahwa warna perairan tambak yang disebabkan oleh adanya
dominansi jenis plankton tertentu dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan tentang kualitas
air tambak. Faktor dominansi plankton di dalam tambak dapat terjadi karena pengaruh bibit plankton yang
dimasukkan ke dalam tambak dan treatment yang diterapkan dalam proses penumbuhan dan pengelolaan
plankton. Pada saat awal pembentukan air tambak bibit plankton yang dimasukkan ada kemungkinan
sudah terjadi dominansi yang selanjutnya tumbuh dan berkembang di dalam tambak. Pada kasus lain bibit
plankton yang dimasukkan ke dalam tambak belum terjadi dominansi, tapi treatment yang diterapkan
Aspek yang perlu diperhatikan dalam menilai dan menganalisis warna air tambak secara garis besar
meliputi:
Analisis terhadap jenis plankton yang dominan didasarkan pada karakteristik dan sifatnya serta tingkat
permasalahan yang mungkin ditimbulkan di dalam perairan dan pengaruhnya terhadap organisme lainnya.
Perairan tambak yang didominansi oleh jenis plankton yang bersifat menguntungkan dan membawa
pengaruh yang nyaman dan aman pada organisme lainnya keputusan yang perlu diambil adalah cara
untuk mempertahankan, sedangkan jika dominansi yang terjadi adalah dari jenis plankton yang merugikan
maka perlu dilakukan penggantian dominansi plankton dengan melakukan penurunan air tambak dalam
volume yang besar dan proses inokulasi bibit plankton yang menguntungkan dari petakan tambak lainnya
Kelimpahan plankton yang dominan di perairan tambak erat hubungannya dengan tingkat kecerahan air
tambak seperti telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya. Kelimpahan yang terlalu tinggi dari jenis
plankton yang merugikan akan sangat membahayakan bagi udang dan dapat menimbulkan masalah
kondisi dan kualitas udang yang hidup di perairan tersebut. Keadaan ini dapat diartikan bahwa meskipun
dominansi plankton di perairan tambak tersebut merupakan jenis yang menguntungkan tapi jika kondisi
dan kualitas udang mengalami degradasi, maka ada sesuatu masalah di dalam perairan tersebut sehingga
perlu diadakan identifikasi dan analisis penyebab masalah secara cermat dan akurat. Sebaliknya jika
pengamatan warna air tambak menunjukkan adanya dominansi plankton yang merugikan sedangkan
kondisi dan kualitas udang dalam keadaan normal, maka proses penggantian air tambak perlu dilakukan
secara bertahap dan kontinyu agar tidak menimbulkan stress pada udang sampai dominansi plankton di
dalam tambak tergantikan dengan jenis yang baru dan bersifat menguntungkan.
Kriteria warna air tambak yang dapat dijadikan acuan standar dalam pengelolaan kualitas air adalah
1. Warna air tambak hijau tua yang berarti menunjukkan adanya dominansi chlorophyceae dengan
sifat lebih stabil terhadap perubahan lingkungan dan cuaca karena mempunyai waktu mortalitas
yang relatif panjang. Tingkat pertumbuhan dan perkembangannya yang relatif cepat sangat
2. Warna air tambak kecoklatan yang berarti menunjukkan adanya dominansi diatomae. Jenis
plankton ini merupakan salah satu penyuplai pakan alami bagi udang, sehingga tingkat
pertumbuhan dan perkembangan udang relatif lebih cepat. Tingkat kestabilan plankton ini relatif
kurang terutama pada kondisi musim dengan tingkat curah hujan yang tinggi, sehingga
berpotensi terjadinya plankton collaps dan jika pengelolaannya tidak cermat kestabilan kualitas
perairan akan bersifat fluktuatif dan akan mengganggu tingkat kenyamanan udang di dalam
tambak.
3. Warna air tambak hijau kecoklatan yang berarti menunjukkan dominansi yang terjadi merupakan
perpaduan antara chlorophyceae dan diatomae yang bersifat stabil yang didukung dengan
Standar warna air tambak seperti tersebut di atas merupakan acuan praktis dalam mengidentifikasi jenis
plankton sebagai upaya pendeteksian masalah kualitas perairan secara dini. Selain warna standar tersebut
ada beberapa warna air tambak yang biasa dijumpai dalam kegiatan usaha budidaya udang, yaitu antara
lain:
1. Warna air tambak kekuningan yang berarti menunjukkan adanya dominansi phytoplankton jenis
cyanophyceae. Pada kondisi perairan tambak seperti ini biasanya udang berwarna lebih pucat
dari biasanya disertai dengan penurunan nafsu makan udang dan jika tidak segera diantisipasi
2. Warna air tambak hijau pupus yang berarti menunjukkan adanya dominansi phytoplankton jenis
4. Kamuflase green color, pada kondisi ini tambak seolah-olah berwarna kehijauan tapi pada
dasarnya tidak/kurang mengandung plankton. Hal ini terjadi biasanya pada tambak yang
kandungan bibit planktonya sangat kurang tetapi kegiatan pemupukan berjalan terus, sehingga
warna yang ditimbulkan adalah warna karena pengaruh cuaca. Kejadian ini dapat diketahui
dengan mengukur kecerahan perairan tambak yang biasanya sangat tinggi, atau dengan melihat
warna air yang ada pada kincir air yang sedang dioperasikan.
Identifikasi jenis plankton di perairan tambak secara praktis dengan melihat warna perairan seperti telah
diuraikan di atas perlu ditunjang dengan pengamatan dan analisis laboratorium secara berkala untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat. Kegiatan ini dilakukan dengan cara pengambilan sampel perairan
dan sampel udang dari petakan-petakan tambak baik yang bermasalah maupun yang tidak terkena
Kondisi dasar tambak merupakan suatu keadaan fisik dasar tambak beserta proses yang terjadi
didalamnya baik yang menyangkut biologi, kimia, fisika maupun ekologi yang secara langsung maupun
tidak langsung ikut berpengaruh pada kehidupan udang maupun organisme lainnya dalam suatu
keterkaitan ekosistem perairan tambak. Parameter ini dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur
1. Dasar tambak merupakan ruang gerak dan tempat hidup bagi udang dan organisme lainnya
dalam kondisi normal seperti habitat alaminya, sehingga kondisi dasar tambak akan
mempengaruhi tingkat keamanan dan kenyamanan bagi udang maupun organisme lainnya di
2. Dasar tambak merupakan tempat akumulasi kotoran tambak baik yang berasal dari treatment
budidaya maupun proses metabolisme yang dilakukan oleh organisme yang hidup di perairan
tambak tersebut;
3. Dasar tambak merupakan suatu area di dalam tambak yang membentuk suatu sub komunitas
tersendiri yang bersifat benthic di dalam tambak dan keberadaannya mempunyai korelasi yang
4. Pada dasar tambak terjadi proses-proses biologi, kimia, fisika dan ekologi yang sangat tergantung
5. Pada kondisi tertentu, dasar tambak dapat bersifat an aerob karena tidak terjadinya proses
oksidasi sehingga dapat membahayakan bagi kondisi dan kualitas udang di dalam tambak.
Kondisi dasar tambak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan kondisi dan kualitas udang serta
kualitas perairan tambak, yaitu jika perairan tambak berada pada keseimbangan ekosistem dan bersifat
stabil serta kondisi dan kualitas udang bagus maka kondisi dasar tambak akan terjaga dengan sendirinya.
Salah satu faktor yang juga ikut menentukan kondisi dasar tambak adalah penempatan posisi kincir air
yang dioperasikan pada saat kegiatan budidaya berlangsung. Posisi kincir yang sesuai dan dapat
mengarahkan kotoran dasar tambak ke arah sentral pembuangan dapat meminimalkan terjadinya
penyebaran akumulasi kotoran tersebut di dasar tambak, sehingga pada saat dilakukan pembuangan air
Pada dasarnya setiap petakan tambak yang sedang dioperasikan selalu dijumpai adanya kotoran dan hal
yang perlu diperhatikan adalah tingkat keberadaan dan tingkat penyebarannya di dasar tambak
dibandingkan dengan tolok ukur dari hasil pengamatan terhadap kondisi dan kualitas udang serta kualitas
perairan tambak. Beberapa faktor penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi kotoran di
1. Desain dan kontruksi dasar tambak yang tidak dirancang dengan tingkat kesesuaian
2. Penempatan posisi kincir air yang kurang tepat, sehingga tidak dapat mengarahkan kotoran
3. Program pakan yang over feeding jika dibandingkan dengan tingkat kebutuhan udang. Sisa
pakan yang berlebihan tersebut tidak terkonsumsi oleh udang dan membusuk serta terakumulasi
4. Teknik pemberian pakan yang tidak merata ke seluruh area pakan di dalam petakan tambak,
sehingga pakan terakumulasi di satu titik dan tidak terkonsumsi merata sehingga membusuk di
dasar tambak;
5. Tingkat populasi udang di dalam tambak. Pada tambak dengan populasi udang yang relatif
padat, kondisi dasar tambak akan relatif bersih karena kotoran di dasar tambak akan terdorong
dengan sendirinya ke sentral pembuangan yang diakibatkan oleh aktifitas udang di dasar
tambak;
7. Kurangnya intensitas dan frekuensi sirkulasi air yang dapat mendorong kotoran dasar tambak ke
Kotoran di dasar tambak biasanya berupa lumpur hitam yang mengendap di dasar serta mengandung H2S
dan NH3 yang bersifat asam dalam dosis tertentu dapat membahayakan bagi udang. Kotoran ini berasal
dari proses metabolisme yang dilakukan oleh organisme perairan tersebut, mortalitasplankthon dan sisa
pakan udang yang tidak terkonsumsi serta pengaruh dari treatment budidaya lainnya. Keberadaan
lumpur hitam di dasar tambak dapat teramati melalui cara antara lain :
1. Pengamatan warna kulit/khitin udang melaui sampling berkala maupun pengamatan ancho.
Kondisi dasar tambak yang kotor dan penuh lumpur biasanya berdampak pada penampakan kulit
udang yang cenderung berwarna lebih gelap dari keadaan normal. Pada saat dilakukan
samplingsampling kotoran dasar tambak/lumpur biasanya ikut terbawa pada jala yang ditebarkan
ke dalam tambak;
2. Pengecekkan langsung ke dasar tambak dengan melakukan penyelaman untuk melihat kondisi
3. Melihat saluran pembuangan air tambak pada saat dilakukan sirkulasi air dengan
Pada kegiatan ini juga perlu diperhatikan tingkat kelancaran saluran pembuangan dalam
mengeluarkan air tambak, jika terjadi penyumbatan maka dibutuhkan identifikasi lanjutan
terhadap penyebab penyumbatan tersebut. Faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah
keberadaan bangkai udang yang ikut terbawa keluar bersama air tambak berdasarkan jumlah
dan kondisi bangkai udang tersebut agar dapat diambil alternatif keputusan yang mengarah
4. Pengamatan terhadap permukaan air tambak pada saat kincir air tidak dioperasikan. Kondisi
dasar tambak yang kotor dan penuh lumpur biasanya mengeluarkan gelembung-gelembung
udara yang muncul dari dasar tambak ke arah permukaan air, jika di permukaan tambak banyak
dijumpai fenomena ini maka kondisi dasar tambak relatif sangat kotor dan penuh lumpur.
Pemantauan kondisi dasar tambak perlu dilakukan secara cermat baik melalui pengamatan berkala
maupun yang bersifat insidental agar permasalahan yang terjadi dapat segera ditangani. Permasalahan
cukup serius yang biasanya terjadi adalah kematian udang di dasar tambak karena berbagai
permasalahan yang tidak terdeteksi. Kematian udang di dasar tambak yang disebabkan oleh
proses moulting biasa dijumpai dan bersifat alamiah karena adanya kanibalisme dari udang lainnya dalam
kuantitas masih berada pada batas toleransi yang ditetapkan. Sedangkan kematian udang di dasar
tambak yang bersifat massal dan disebabkan oleh permasalahan yang tidak terdeteksi biasanya bangkai
udang terkonsentrasi di sentral pembuangan dan pada tingkat yang lebih parah bangkai udang menyebar
di dasar tambak.
Sebagai upaya mengantisipasi permasalahan tersebut maka perlu dilakukan pemantauan dasar tambak
baik secara yang bersifat insidental seperti yang telah diuraikan di atas maupun yang bersifat berkala
yaitu dengan melakukan pengangkatan kotoran dan lumpur hitam terutama yang berada di sentral
pembuangan dengan alat bantu pompa air dan selang spiral dengan menyedot kotoran dan lumpur hitam
tersebut dan membuangnya melalui saluran pembuangan. Kegiatan ini sebaiknya juga diikuti dengan
pemantauan tingkat kematian udang di dasar tambak melalui cara mengambil sampel bangkai udang dan
kuantitasnya yang dijumpai untuk dilakukan identifikasi tingkat permasalahan sebagai dasar pengambilan
keputusan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan kegiatan ini antara lain :
1. Kondisi dan kualitas udang, karena kegiatan pengangkatan kotoran dan lumpur hitam secara
berkala ini akan memberikan guncangan pada kestabilan kualitas perairan yang dapat
menimbulkan stress pada udang. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan pada saat kondisi udang
benar-benar bagus dengan tingkat daya tahan terhadap stress tinggi, sedangkan pada udang
dalam situasi moulting massal diharapkan tidak melakukan kegiatan ini karena kondisi udang
2. Keadaan cuaca pada saat itu sebaiknya berada pada kondisi yang dapat menunjang proses
pembentukan kembali kualitas perairan setelah dilakukan kegiatan pengangkatan kotoran dan
3. Kondisi pasang surut yang mendukung kelancaran pergantian air tambak dan pembuangan
4. Pembentukan kembali kualitas perairan tambak yang relatif mengalami guncangan akibat
5. Pemantauan kondisi udang setelah dilakukan kegiatan pengangkatan dan pembersihan dasar
tambak.
Setelah dilakukan pembersihan dasar tambak dengan cara pengangkatan kotoran dan lumpur hitam
keluar tambak sebaiknya diikuti dengan pemberian kapur lunak ke dalam perairan dengan dosis sesuai
Pemberian kapur ini sebenarnya dapat bersifat rutin/berkala selain untuk menjaga keasaman dasar
tambak juga diperlukan untuk membantu proses moulting udang yang bersifat periodik.
Kondisi dasar tambak yang dikontrol dan dipantau secara baik dan cermat selain memperbaiki kualitas
perairan juga akan membantu pada saat kelak dilakukan panen udang. Dasar tambak yang relatif bersih
akan memudahkan proses pemanenan dan berpengaruh pada kualitas udang yang dihasilkan, sebaliknya
dasar tambak yang kotor dan penuh lumpur akan menyulitkan proses pemanenan dan dapat menimbulkan
degradasi kualitas udang yang dihasilkan. Selain itu kondisi dasar tambak juga ikut berpengaruh pada
penerapan program teknis budidaya lainnya terutama dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat
Kegiatan pengelolaan kualitas air tambak pada dasarnya berupa program kegiatan yang mengarahkan
perairan tambak pada keseimbangan ekosistem perairan dalam suatu petakan terbatas agar tercipta
suatu kondisi perairan yang menyerupai habitat alami udang baik dari segi sifat, behaviour maupun secara
ekologinya. Penerapan program pengelolaan kualitas air tambak membutuhkan kemampuan teknis
budidaya yang memadai dari para pelakunya melalui metode yang digunakan dengan beberapa aspek
yang perlu dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penerapannya, yaitu antara lain :
1. Metode yang digunakan harus mengacu pada tujuan pengelolaan air tambak. Secara garis besar
tujuan dari kegiatan ini terbagi dalam 3 kelompok yaitu : (a) Menjaga atau mempertahankan
kualitas air yang sudah sesuai dengan tolok ukur berlaku berdasarkan pengamatan lapangan
maupun teori; (b) Memperbaiki kualitas perairan yang kurang sesuai ke arah yang lebih baik;
(c) Mengganti perairan tambak yang dapat membahayakan bagi udang dengan perairan yang
baru untuk menciptakan lingkungan perairan yang lebih sesuai dengan kondisi dan kualitas
udang.
2. Metode yang digunakan harus tepat sasaran sesuai dengan parameter yang akan dikelola yaitu
kecerahan air, warna air tambak, kondisi fisik air tambak dan kondisi dasar tambak. Parameter
tersebut membutuhkan pendekatan metode tersendiri yang tetap mengacu pada keterkaitan satu
sama lain;
3. Metode yang digunakan harus dapat menyentuh akar permasalahan kualitas air yang
sebenarnya. Permasalahan kualitas air tambak dapat terjadi antara lain karena a) Faktor
internal tambak, yaitu permasalahan yang terjadi karena terganggunya salah satu unsur
penyusun ekosistem perairan tambak;( b) Faktor eksternal tambak, yaitu permasalahan yang
diakibatkan oleh adanya pengaruh dari luar tambak seperti perubahan cuaca yang menyebabkan
kestabilan perairan terguncang;(c) Faktor treatment error yaitu permasalahan yang terjadi
Dasar pertimbangan seperti yang telah diuraikan di atas bertujuan agar penerapan metode yang
digunakan dalam pengelolaan kualitas air tambak dapat berjalan efektif dan efisien baik secara teknis
budidaya maupun perhitungan finansial. Beberapa metode yang biasa digunakan dalam pengelolaan
• Sirkulasi air;
• Pemupukan air;
• Inokulasi air;
Metode tersebut di atas dalam penerapannya tidak dapat berdiri sendiri dan mempunyai keterkaitan satu
sama lain tergantung pada tingkat urgency dan skala prioritas dari perlakuan teknis budidaya yang akan
diberikan berdasarkan pengamatan dan identifikasi keperluan yang ditemukan di lapangan. Metode
pengelolaan kualitas air tambak yang dilakukan secara terpisah akan mengakibatkan keseimbangan
ekosistem perairan tersebut terganggu sehingga dapat menyebabkan suatu permasalahan yang baru yang
lebih kompleks. Uraian di bawah ini akan membahas metode pengelolaan air tambak tersebut secara
Sirkulasi Air
Perairan yang terbentuk di dalam petakan tambak dapat dikatakan merupakan perairan yang
menggenang dalam suatu wadah yang terbatas, sehingga memerlukan suplai air dari luar untuk
meregenerasi perairan dan proses-proses yang terjadi didalamnya agar bersifat lebih dinamis dan
memberikan suasana nyaman bagi udang dan organisme lainnya yang hidup di perairan tersebut.
Sirkulasi air tambak dapat diartikan sebagai proses penggantian air di dalam tambak dengan jalan
membuang sebagian air tambak melalui saluran pembuangan untuk digantikan dengan air baru yang
dimasukkan melalui saluran pemasukkan. Pada tambak-tambak tradisional proses sirkulasi air ini
sepenuhnya mengandalkan pasang surut air laut, sedangkan pada tambak intesive sudah menggunakan
pompa air sebagai alat bantu untuk memasukan air laut ke dalam tambak. Meski demikian secara garis
besar sirkulasi air tambak tetap mengacu pada kondisi pasang surut yang terjadi di wilayah tersebut,
sehingga kualitas air yang dimasukkan ke dalam tambak tidak terkontaminasi dengan dasar perairan.
Beberapa faktor sumber air tambak lainnya yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan sirkulasi air
adalah :
- Biologi : ketersediaan bibit plankthon, keberadaan predator dan competitor bagi udang, ketersediaan
2) Kondisi fisik air yang meliputi, dasar perairan, dan kandungan partikel yang melayang-layang di
air, dsb;
4) Pencemaran perairan dari lingkungans ekitarnya dan merugikan bagi kegiatan budidaya ;
Berdasarkan pemikiran bahwa proses sirkulasi air adalah untuk memperbaiki atau mempertahankan
kualitas air, maka ke empat faktor di atas harus benar-benar diperhatikan agar jangan sampai dengan
melakukan sirkulasi air, kualitas perairan di dalam tambak mengalami degradasi atau bertambah rusak.
Sumber air yang dimasukkan ke dalam tambak ada beberapa macam, tergantung dari teknologi dan lokasi
dimana tambak tersebut berada. Beberapa sumber air dan cara yang biasa digunakan dalam proses
1. Air laut yang dimasukkan secara langsung ke dalam tambak dengan bantuan pasang surut ataupun
melalui alat bantu yang berupa pompa air. Cara ini digunakan pada lahan tambak yang relatif dekat atau
berhadapan langsung dengan laut dan perlu memperhatikan kondisi dan kualitas air laut sebelum
dimasukkan ke dalam tambak secara langsung. Pada tambak yang menggunakan pompa air sebagai alat
bantunya akan membutuhkan investasi yang cukup besar untuk pemasangan instalasi pompa air beserta
paralon yang dirangkai sampai batas pantai, sedangkan dari segi lahan cara ini rentan terhadap
2. Air sungai yang masih bersifat payau dan dimasukkan ke dalam tambak secara langsung dengan
bantuan pasang surut ataupun melalui alat bantu yang berupa pompa air. Cara ini biasa digunakan pada
tambak yang letaknya relatif agak jauh dari laut atau dekat dengan laut dan sungai dengan pertimbangan
pemasangan instalasi pompa air relatif lebih sederhana dibandingkan dengan pengambilan air langsung
dari laut. Cara ini rentan terhadap sedimentasi dan pencemaran limbah sungai yang berasal dari rumah
3. Sistem ‘tandon’, yaitu petakan/lahan yang dibuat sebagai tempat penampungan air laut atau air
sungai sebagai sumber pemasukan air tambak. Pada sistem ini, air di dalam tandon biasanya diberi
perlakuan teknis sebelum dimasukkan ke dalam tambak, sehingga kualitas air yang dimasukkan sudah
terkontrol dari segi kuantitas dan kualitasnya. Sistem ini dapat dikatakan merupakan cara yang relatif
ideal bagi kegiatan budidaya karena air dari laut telah diendapkan dan segala faktor yang merrugikan bagi
kegiatan budidaya telah diminimalkan melalui perlakuan teknis yang telah diberikan;
4. Sistem water recircle yaitu proses daur ulang air dari saluran pembuangan tambak ditampung kembali
ke dalam suatu tandon melalui proses sterilisasi dan dijadikan sebagai sumber pemasukan air tambak.
Cara ini biasa digunakan pada tambak yang relatif jauh dari laut maupun sungai atau sebagai antisipasi
jika air laut dan sungai sedang mengalami masalah sehingga tidak memungkinkan untuk dimasukkan ke
dalam tambak. Bisa dikatakan cara ini merupakan cara yang paling rentan terhadap masalah
dibandingkan dengan beberapa cara lainnya, karena air pembuangan yang dimasukkan kembali kedalam
Selain sumber pemasukan air seperti telah diuraikan di atas, sirkulasi air juga memerlukan saluran
pembuangan air tambak yang berfungsi selain untuk mengatur volume air tambak juga untuk membuang
kotoran dan lumpur di dasar tambak. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembuangan air
1. Desain dan konstruksi antara dasar tambak dengan saluran pembuangan air tambak memungkinkan
2. Saluran pembuangan lebih tinggi dari kondisi pasang surut terendah, sehingga dalam proses
pembuangan air tambak tidak mengalami kendala yang disebabkan oleh pasang surut;
3. Saluran pembuangan harus dilengkapi dengan pintu/paralon pembuangan yang dapat digunakan untuk
4. Saluran pembuangan terutama bagian sentral memiliki filter yang dapat mencegah keluar/lolosnya
5 Saluran pembuangan harus terpisah dengan sumber pemasukan air tambak sehingga tidak terjadi
6. Saluran pembuangan air tambak sedapat mungkin berhubungan dengan sungai atau kanal khusus
sehingga kotoran dan lumpur tambak yang terbuang dapat terbawa arus dan tidak mengendap di satu
Sirkulasi air tambak yang didukung dengan sistem pemasukan air dan sistem pembuangan air yang
memadai akan menunjang kelancaran sirkulasi air di dalam kegiatan pengelolaan kualitas perairan
tambak. Kegiatan sirkulasi air tambak dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada tingkat
kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi. Metode yang biasa digunakan dalam kegiatan budidaya
udang adalah :
1. Sirkulasi air dengan pola buang isi, yaitu pergantian air tambak dengan cara melakukan
pembuangan air tambak sampai pada volume tertentu terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan
pengisian kembali air baru ke dalam tambak sampai pada volume yang dikehendaki. Sirkulasi air dengan
• Air laut mengalami surut terendah sehingga menunjang kelancaran proses pembuangan air
tambak dan tidak memungkinkan untuk mengisi air baru dari laut;
pembuangan air tidak terlalu besar dan tidak menimbulkan guncangan, sedangkan pengisian air
• Penumbuhan dan pembentukan plankthon yang baru, yaitu pembuangan volume air tambak yang
relatif besar sehingga ketinggian air tambak relatif rendah, kemudian dilakukan pengisian air
2. Sirkulasi air dengan pola isi buang, yaitu pergantian air tambak dengan cara melakukan pengisian
air ke dalam tambak terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan pembuangan air tambak sampai
pada volume yang dikehendaki. Sirkulasi air dengan cara ini biasa digunakan pada kasus :
Sirkulasi air pada awal tebar benur. Ketinggian air tambak pada saat tebar relatif rendah, sehingga
sirkulasi air yang dilakukan hanya dengan menambahkan air baru ke dalam tambak secara bertahap
sampai pada ketinggian yang dikehendaki, kemudian baru dilakukan pembuangan air tambak. Metode ini
• mengurangi keluarnya udang yang masih berukuran sangat kecil melalui saluran pembuangan;
• mengontrol kecerahan air tambak dan kelimpahan plankthon yang sesuai dengan kebutuhan
benur/udang muda.
• Pembentukan plankthon ke arah yang stabil dengan volume air yang dimasukkan ke dalam
• Membantu mengatasi saluran pembuangan yang kurang lancar/mampet. Air tambak yang yang
relatif tinggi mempunyai daya dorong yang kuat pada saluran pembuangan sehingga diharapkan
3. Sirkulasi air dengan pola oplos yaitu melakukan pengisian air ke dalam tambak secara bersamaan
dengan pembuangan air tambak sampai batas waktu yang dikehendaki. Pada sirkulasi ini ketinggian dan
volume air tambak relatif tetap karena perbandingan air masuk dan air keluar tambak relatif sama.
• Perbaikan kualitas air tambak yang collaps dengan tidak mengguncang volume air di dalam
tambak;
• Penanganan air tambak yang berpartikel. Pada kondisi seperti ini sirkulasi dilakukan secara
kontinyu untuk memgeluarkan partikel tersebut keluar tambak, kemudian dilakukan pemberian
• Meminimalkan waktu terjadinya akumulasi sisa pakan dan metabolisme udang di dasar tambak;
• Menekan terjadinya guncangan kualitas perairan yang dapat membahayakan bagi udang di
4. Sirkulasi air tambak dengan pola penggantian air tambak secara total, yaitu dengan
melakukan pembuangan air sampai ke dasar tambak kemudian baru dilakukan pengisian air secara
bertahap. Sirkulasi air dengan cara ini biasa digunakan pada kasus :
• Tingkat kualitas perairan tambak relatif jelek dan membahayakan kehidupan udang, sehinggga
diperlukan perairan yang benar-benar baru dan diharapkan dapat menciptakan suasana nyaman
bagi udang;
• Udang terkena masalah yang disebabkan karena kondisi perairan yang jelek sehingga dengan
mengurangi volume air tambak dalam skala besar diharapkan dapat merangsang udang untuk
• Sebagai upaya melihat/memantau populasi udang di dalam tambak secara langsung untuk
Pola sirkulasi air tambak sebagai salah satu metode pengelolaan kualitas perairan dalam penerapannya
sangat tergantung dari pengamatan dan kondisi yang sedang terjadi di lapangan. Proses pengambilan
keputusan tentang sirkulasi air tambak harus tetap mengacu pada keterkaitan teknis budidaya lainnya
serta mempertimbangkan faktor sebab akibat ン yang akan ditimbulkan berdasarkan argumen dan alasan
Keberadaan plankthon terutama dari jenis phytoplankthon di dalam ekosistem perairan tambak
mempunyai peran yang sangat besar terhadap kestabilan dan produktifitas perairan yang sangat
dibutuhkan oleh organisme yang berada di dalamnya dalam melakukan aktifitas kehidupannya. Peran dan
fungsi utama plankthon (phytoplankthon) di dalam perairan yang dapat dijadikan sebagai dasar
1. Phytoplankthon merupakan produsen utama dalam rantai makanan yang terdapat di dalam
produktifitas perairan;
2. Phytoplankthon merupakan salah satu penyuplai oksigen melalui proses fotosintesa dengan
bantuan sinar matahari yang dibutuhkan organisme lainnya untuk melakukan respirasi di dalam
perairan;
3. Oksigen (O2) yang dihasilkan phytoplankthon dapat menekan terjadinya proses kimiawi perairan
yang bersifat racun dan membahayakan bagi udang dan organisme lainnya;
4. Phytoplankthon merupakan shelter bagi udang yang bersifat nocturnal dan phototaksis negatif;
tanaman phytoplankthon mempunyaichlorophyl (zat hijau daun) yang berperan dalam proses fotosintesa
di dalam perairan dengan bantuan sinar matahari. Tingkat produktifitas phytoplankthon ditentukan oleh
ketersediaan unsur hara yang tersedia di dalam tambak baik yang berasal dari tanah maupun perairan
setempat. Pada kondisi tertentu phytoplankthon membutuhkan suplai unsur hara dan zat lainnya baik
yang bersifat organik maupun an organik untuk memacu peningkatan produktifitasnya di dalam perairan.
Pemupukan air tambak pada dasarnya merupakan salah satu perlakuan teknis budidaya yang berupa
pemberian pupuk organik maupun an organik untuk menyuplai zat-zat yang dibutuhkanphytoplankthon di
dalam tambak dengan dosis sesuai dengan tingkat keperluan. Kegiatan pemupukan air tambak bertujuan
antara lain:
1. Mengatur dan mengontrol tingkat kecerahan air tambak agar sesuai dengan tingkat kebutuhan
udang;
2. Mengatur dan mengontrol kestabilan plankthon di dalam tambak agar sesuai dengan tingkat
kebutuhan udang;
3. Memacu pertumbuhan bibit plankthon pada perairan yang sedang diperbaiki kualitasnya;
Syarat utama melakukan kegiatan pemupukan air tambak adalah ketersediaan bibit plankthon dan adanya
sinar matahari. Pemupukan yang dilakukan pada perairan tambak yang tingkat ketersediaan bibit
plankthonnya sangat minim/tidak ada sama sekali dapat menimbulkan tumbuhnya lumut di dalam tambak
atau munculnya kamuflase color yang sangat berpengaruh terhadap kondisi udang atau teknis budidaya.
Sinar matahari sangat dibutuhkan dalam kegiatan pemupukan air tambak yaitu untuk membantu proses
fotosintesa plankthon sehingga suplai unsur-unsur dalam pupuk yang diperairan dapat diserap oleh
plankthon dan memacu pertumbuhan dan perkembangannya. Berlandaskan pada dasar pemikiran
tersebut maka sebaiknya pemupukan air tambak dilakukan pagi hari pada saat cuaca cerah. Pada kondisi
cuaca tidak cerah/musim hujan kegiatan pemupukan sebaiknya dilakukan secara rutin dengan dosis yang
sesuai agar tidak terjadi mortalitas plankthon secara massal yang disebabkan karena curah hujan yang
tinggi, sehingga kestabilan perairan tambak akan tetap terjaga dari kondisi collaps.
Jenis pupuk an organik yang biasa digunakan dalam kegiatan budidaya adalah urea dan TSP, sedangkan
pupuk organik yang biasa digunakan adalah fermentasi saponin dan fermentasi pakan rusak. Fungsi dan
dosis yang digunakan dari masing-masing jenis pupuk tersebut relatif berbeda tergantung dari kondisi
Pupuk urea biasanya digunakan untuk memacu atau menumbuhkan phytoplankthon yang bersifat stabil di
dalam tambak, sedangkan pupuk TSP untuk menumbuhkan jenis phytoplankthon yang dapat memacu
berkembangnya zooplankthon yang dapat dijadikan sebagai pakan alami bagi udang yang masih
muda/kecil. Dosis penggunaan urea yang sering dipakai adalah sekitar tiga kali lipat TSP pada kondisi
normal dan pemakaiannya dapat digunakan secara terpisah maupun bersamaan berdasarkan kondisi yang
ada di lapangan.
Pupuk organik yang dapat digunakan adalah berupa hasil fermentasi saponin atau fermentasi pakan
rusak. Fungsi dari pupuk ini adalah sebagai suplai unsur hara yang tidak terdapat dalam pupuk an organik
dan dibutuhkan oleh plankthon. Fermentasi dilakukan agar saponin/pakan rusak dalam kondisi hancur
sehingga diharapkan mudah diserap oleh plankthon pada saat melakukan fotosintesa. Selain tujuan
tersebut di atas pemberian bahan organik ini juga dimaksudkan untuk penyeimbang komposisi bahan an
organik yang ada di perairan tersebut selain itu juga untuk memacu pertumbuhan zooplankthon yang
dapat dijadikan sebagai pakan alami bagi udang atau organisme lainnya. Pemberian pupuk organik
bersifat insidental dan dilakukan berdasarkan hasil pengamatan dan tingkat kebutuhan perairan serta
kondisi udang.
Pakan yang diberikan ke udang secara prinsip dapat berfungsi sebagai pupuk organik bagi perairan
tambak dan membantu dalam proses pembentukan kestabilan plankthon didalam tambak. Fenomena ini
dapat dijumpai dan diamati pada tambak dengan populasi udang yang padat dan jumlah pemberian pakan
yang besar. Pada kondisi ini kestabilan plankthon dalam perairan akan terbentuk dengan sendirinya tanpa
adanya pemupukan, karena unsur-unsur yang terdapat dalam pakan udang juga diserap oleh plankthon
Metode pemupukan air tambak erat hubungannya dengan proses sirkulasi air dengan dasar pemikiran
bahwa volume air tambak sangat berpengaruh terhadap keefektifan kegiatan pemupukan yang dilakukan.
Kondisi ini dapat diartikan bahwa pada dosis pemakaian pupuk yang sama tingkat pengaruh dan
keefektifannya akan relatif berbeda jika diberikan pada tambak dengan volume air yang berbeda.
Berdasarkan hal ini maka sebelum dilakukan pemupukan biasanya dilakukan sirkulasi terlebih dahulu
dengan jalan mengurangi volume air dan menambahkan air baru ke dalam tambak sampai pada
ketinggian air yang relatif lebih rendah, kemudian baru dilakukan pemupukan.
Kegiatan pemupukan sebaiknya dihindari pada perairan yang mengalami kasus seperti di bawah ini :
• Kecerahan air tambak sangat rendah sehingga kelimpahan plankthon sangat tinggi. Pada kondisi
ini jika pemupukan tetap dilakukan maka akan mengarahkan perairan tambak pada
keadaanplankthon booming yang dapat membahayakan udang, sehingga antisipasi yang dapat
dilakukan adalah dengan melakukan sirkulasi air secara kontinyu terutama pada malam hari
• Perairan dengan dominansi jenis plankthon yang bersifat merugikan bagi udang;
• Perairan tambak yang tidak ada bibit plankthonnya. Kegiatan pemupukan pada perairan dalam
• Perairan tambak yang ditumbuhi lumut dalam jumlah yang besar. Pemupukan yang dilakukan
hanya akan menyuburkan lumut di dalam tambak, sehingga antisipasi yang dapat dilakukan
adalah dengan mengangkat lumut tersebut keluar tambak terlebih dulu kemudian baru dilakukan
pembentukan air;
Parameter hasil dari kegiatan pemupukan yang biasa digunakan adalah perubahan tingkat kecerahan air
dan atau perubahan warna perairan. Pada cuaca cerah hasil dan pengaruh dari pemupukan terhadap
perairan tambak dapat dilihat pada sore hari dengan jalan membandingkan perubahan tingkat kecerahan
dan warna air sebelum dan sesudah pemupukan. Kecerahan air tambak digunakan sebagai parameter
perubahan kelimpahan plankthon sebagai akibat kegiatan pemupukan, sedangkan perubahan warna
perairan digunakan untuk melihat perubahan dominansi jenis plankthon tertentu di perairan tersebut.
Pada cuaca cerah kegiatan fotosintesa yang dilakukan phytoplankthon berjalan relatif sempurna karena
terbantu oleh sinar matahari secara langsung yang berakibat penyerapan unsur-unsur yang terdapat di
dalam pupuk oleh phytoplankthon juga berlangsung sempurna, sehingga pengaruh dari pemupukan akan
Pada kondisi tertentu pengelolaan kualitas perairan tambak mengalami kendala yaitu tidak dapat
diterapkannya teknis budidaya secara optimal untuk menghasilkan kondisi dan kualitas perairan seperti
yang diharapkan karena berbagai faktor sehingga memerlukan treatment yang berupa penggunaan
bahan-bahan kimia dan obat-obatan kedalam perairan tersebut. Pada dasarnya fungsi dari bahan kimia
1. Sebagai katalisator dan pemacu proses pembentukan air, yang termasuk dalam kategori ini
adalah argon, dan berbagai jenis bakteri yang bersifat menguntungkan dan telah diproduksi
secara industri. Bahan-bahan ini digunakan pada perairan tambak dengan kondisi udang yang
relatif bagus, tetapi proses pembentukan kualitas air sangat susah dilakukan sehingga jika tidak
segera ditangani dapat menimbulkan masalah yang serius bagi udang. Selain itu bahan-bahan ini
juga dapat digunakan pada perairan tambak dengan kandungan bibit planktonnya relatif kurang
serta tidak memungkinkan untuk dilakukan inokulasi bibit plankton karena kondisi tertentu.
2. Sebagai disinfectant and sterilisator perairan, yang termasuk dalam kategori ini adalah kalium
digunakan pada perairan tambak dengan kondisi udang yang sudah terindikasi telah terinfeksi
suatu penyakit, sehingga treatment ini diharapkan dapat menyelamatkan udang yang belum
terinfeksi sekaligus melakukan sterilisasi perairan dari sumber masalah. Selain itu bahan ini juga
dapat digunakan untuk menciptakan plankton mortality secara massal pada perairan yang
mengalami booming plankton yang sangat pesat dan susah untuk dikendalikan.
Penggunaan bahan-bahan kimia dan obat-obatan di atas dalam penerapannya perlu mempertimbangkan
kondisi perairan tambak dan hubungan sebab akibat yang akan ditimbulkan karena treatment tersebut.
Pengambilan keputusan harus berdasarkan pemikiran bahwa, selain dasar pemikiran tersebut beberapa
aspek yang juga perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan penggunaan bahan-bahan kimia dan
1. Treatment ini dapat menimbulkan guncangan terhadap perairan tambak, sehingga jika tujuan,
sasaran, dosis dan timing yang tidak tepat dapat memperburuk keadaan.
2. Treatment ini lebih mengarah pada shock therapy untuk perbaikan kualitas perairan dan udang
3. Secara finansial treatment ini memerlukan biaya produksi yang relatif tinggi untuk jenis bahan-
4. Treatment ini sedapat mungkin merupakan alternatif terakhir, jika secara teknis budidaya kualitas
perairan tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dan kalau ditangani secara cepat
Penerapan treatment dengan menggunakan bahan-bahan kimia dan obat-obatan ini terkait erat dengan
sirkulasi air tambak terutama dalam kegiatan pengaturan ketinggian air tambak seperti halnya pada
kegiatan pemupukan yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu volume air tambak sangat berpengaruh
terhadap keefektifan treatmen yang akan dilakukan. Kondisi ini dapat diartikan bahwa pada dosis
pemakaian yang sama tingkat pengaruh dan keefektifannya akan relatif berbeda jika diberikan pada
tambak dengan volume air yang berbeda. Tahapan-tahapan yang dapat dilakukan dalam penerapan
1. Identifikasi tingkat masalah yang dijumpai perairan tambak dan tingkat pengaruhnya terhadap
kegiatan budidaya.
2. Jika permasalahan yang ditemukan dianggap cukup serius maka perlu dilakukan penurunan
3. Pada ketinggian air tambak yang relatif rendah dilakukan sirkulasi air dengan cara oplos sesuai
dengan kebutuhan.
5. Sirkulasi air tambak dihentikan dan pengoperasian kincir air diintensifkan agar perlakuan yang
6. Jika kualitas perairan dan kondisi udang menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik, maka
sirkulasi air tambak dilakukan kembali ke arah penambahan air tambak dan perbaikan kualitas
7. Jika kualitas perairan dan kondisi udang tidak mengalami perbaikan dan cenderung bertambah
mempertimbangkan biaya produksi yang telah dikeluarkan dan estimasi hasil panen berdasarkan
direkomendasikan pada udang dalam kondisi normal yang siap panen. Perlakuan ini dikhawatirkan
dapat terserap tubuh udang melalui proses metabolismenya ataupun terabsorpsi pada saat udang
melakukan moulting dan dapat mempengaruhi kualitas udang yang dihasilkan. Pada beberapa tahun
terakhir telah dilakukan pengujian mutu udang melalui peraturan yang ketat oleh beberapa negara tujuan
ekspor, terutama terhadap udang yang mengandung unsur logam berat dan zat-zat yang dianggap
berbahaya.
Perairan tambak merupakan jenis perairan tertutup yang menggenang dan dibatasi oleh petakan tambak,
sehingga ditinjau dari dinamika perairan relatif bersifat statis dan kualitas perairannya sangat tergantung
dari pengaruh/perlakuan dari luar. Ekosistem yang terbentuk di dalamnya dapat dikatakan bukan suatu
ekosistem yang dapat mengontrol keseimbangan dan kestabilan perairan tersebut dengan sendirinya
seperti pada ekosistem perairan yang bersifat alami dan terbuka. Suatu ekosistem perairan yang selalu
terjaga dalam keseimbangan dan kestabilannya merupakan suatu area yang dapat memberikan rasa
Keseimbangan ekosistem perairan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu unsur-unsur penyusunnya
terdiri atas komposisi yang ideal ditinjau dari segi jenis dan fungsinya yang membentuk suatu rantai
makanan di dalam perairan tersebut. Faktor lainnya yang menentukan keseimbangan ekosistem perairan
adalah proses-proses yang terjadi di dalamnya baik yang bersifat biologi, kimia dan fisika berlangsung
dalam kondisi yang ideal pula dan membawa pengaruh yang tidak membahayakan bagi kehidupan di
keseimbangannya dalam menghadapi perubahan atau guncangan yang disebabkan oleh pengaruh dari
luar. Suatu ekosistem perairan dengan tingkat keseimbangan yang bersifat fluktuatif akan memberikan
dampak yang cukup nyata bagi kehidupan yang berada di dalamnya, sehingga dengan sendirinya akan
menjadi suatu tempat yang tidak kondusif bagi organisme yang hidup di dalam ekosistem perairan
tersebut.
Berdasarkan pada uraian di atas maka ekosistem perairan tambak yang merupakan ekosistem tertutup
sangat rentan terhadap timbulnya permasalahan baik yang menyangkut kualitas perairan tambak maupun
kondisi dan kualitas udangnya. Permasalahan kualitas perairan tambak secara garis besar dapat
1. Faktor internal, yaitu permasalahan yang disebabkan oleh kondisi dari dalam perairan tambak
itu sendiri. Pada kondisi ini terjadi karena proses-proses yang berlangsung di dalamnya
cenderung tidak terkendali dan tidak dapat dikontrol oleh mekanisme keseimbangan yang
bersifat alami;
2. Faktor eksternal, yaitu permasalahan yang disebabkan oleh pengaruh dari luar tambak dan
3. Faktor treatment error, yaitu permasalahan kualitas perairan yang disebabkan oleh kesalahan
teknis budidaya yang diterapkan. Kondisi ini terjadi karena pengambilan keputusan yang tidak
berdasarkan pengamatan dan analisis yang cermat sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan.
Permasalahan kualitas perairan tambak sebaiknya dapat diketahui dan diidentifikasi secara dini agar
guncangan yang terjadi didalam perairan tersebut tidak menimbulkan masalah yang lebih serius bagi
udang. Mengacu pada pengamatan kondisi dan kualitas udang di dalam perairan tambak, maka tingkat
permasalahan kualitas air tambak dapat digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu :
1. Ringan. Pada tingkatan ini permasalahan kualitas air tambak belum mempengaruhi kondisi,
kualitas, sifat/behaviour dan aktifitas udang di dalam perairan. Permasalahan yang timbul baru
2. Sedang. Pada tingkatan ini permasalahan kualitas air tambak belum mempengaruhi kondisi dan
kualitas udang, tetapi sudah berpengaruh nyata pada sifat/behaviour dan aktifitas udang di
dalam perairan tersebut seperti udang melakukan konvoi, nafsu makan menurun dan cenderung
pasif;
3. Berat. Pada tingkatan ini permasalahan kualitas air tambak sudah berpengaruh nyata pada
kondisi, kualitas, sifat/behaviour dan aktifitas udang di dalam perairan, seperti udang mulai
4. Sangat Berat. Pada tingkatan ini permasalahan kualitas air tambak sudah mengakibatkan
kematian massal bagi udang, sehingga pengambilan keputusan yang lebih mengarah pada
pemanenan.
Tingkat permasalahan kualitas air bisa dikatakan memiliki korelasi dengan pengelolaan kualitas perairan
yang dilakukan sebelum perairan terkena masalah terutama yang menyangkut tingkat ketelitian
pengamatan kondisi perairan dan udang, metode pengelolaan air, treatmen yang telah digunakan, serta
jangka waktu penanganan masalah tersebut. Suatu permasalahan kualitas yang tidak teridentifikasi dan
terindikasi sejak dini akan memperberat tingkat permasalahan tersebut, karena terjadi akumulasi
permasalahan yang semakin berkembang serta dapat menjalar ke permasalahan aspek lainnya. Jika
kondisi ini terjadi maka tingkat permasalahan tersebut tidak hanya bertambah berat tapi juga akan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa parameter yang dapat digunakan
secara praktis sebagai tolok ukur kualitas perairan tambak meliputi kecerahan air, warna air (plankthon),
kondisi fisik perairan, dan kondisi dasar tambak. Permasalahan kualitas air tambak yang sering dijumpai
dalam kegiatan budidaya udang juga menyangkut keempat parameter tersebut, yaitu :
1. Permasalahan kualitas perairan tambak yang disebabkan karena kecerahan air atau kelimpahan
plankthon di dalam tambak, yaitu kecerahan air tambak yang terlalu tinggi dan terlalu rendah;
2. Permasalahan kualitas perairan tambak yang disebabkan karena warna perairan atau faktor
plankthon yang ada di dalam perairan yang menyangkut dominansi jenis plankthon yang bersifat
merugikan bagi udang, misalnya warna air tambak hijau pupus, kuning, blue green algae, dsb;
3. Permasalahan kualitas perairan tambak yang disebabkan karena kondisi fisik air tambak yang
dapat mengganggu kehidupan udang, misalnya air tambak berdebu, air tambak berpartikel,
4. Permasalahan kualitas perairan tambak yang disebabkan karena kondisi dasar tambak yang tidak
kondusif bagi kehidupan udang, misalnya akumulasi lumpur hitam yang banyak mengandung H2S
Penjelasan tentang permasalahan-permasalahan seperti tersebut di atas secara rinci telah diuraikan pada
pembahasan sebelumnya dan dapat dilihat pada Matriks Identifikasi Masalah Air Tambak.pdf
Selain itu ada satu jenis permasalahan yang menyangkut perairan tambak dan tidak ada keterkaitannya
bersifatpredator dan competitor bagi udang serta hidup dan berkembang di dalam tambak.
Predator adalah biota yang yang memangsa udang di dalam tambak seperti jenis ikan kakap, ikanselangi,
ikan kuro, dan berbagai jenis ikan carnivora lainnya. Pemunculan jenis predator di dalam perairan tambak
relatif tidak berpengaruh nyata pada kualitas perairan baik dari segi keseimbangan dan kestabilannya,
tetapi sangat berpengaruh pada tingkat kehidupan dan populasi udang di dalam tambak.
Competitor adalah biota perairan yang ikut bersaing dengan udang dalam hal konsumsi makanan yang
ada di dalam tambak ataupun pakan yang telah diberikan ke dalam tambak seperti jenis ikan mujahir, ikan
nila, kepiting dan jenis biota lainnya yang ikut mengkonsumsi pakan udang. Seperti halnya predator maka
keberadaan jenis biota ini di dalam tambak hanya berpengaruh nyata pada program pemberian pakan
udang yang telah ditentukan dan tidak mempengaruhi kualitas perairan tambak.
Pemunculan predator dan kompetitor udang di dalam tambak dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain :
1. Proses penyiapan lahan tebar benur yang kurang maksimal, sehingga predator dan kompetitor
2. Saluran pemasukan air tanpa adanya filterisasi, sehingga predator dan kompetitor udang dapat
3. Predator dan kompetitor udang masuk ke dalam perairan tambak masih berupa telur atau larva
Keberadaan jenis serta kelimpahan predator dan kompetitor udang di dalam tambak akan membawa
dampak yang serius jika jumlahnya sudah sangat melimpah dan tidak segera ditangani. Indikasi
keberadaan predator dan kompetitor udang di dalam tambak dapat diketahui melalui cara, antara lain :
1. Pengamatan pada saat dilakukan sampling udang secara berkala, karena
biasanya predator dankompetitor udang akan ikut terbawa bersama jala sampling sehingga jenis
2. Pengamatan dan identifikasi predator dan kompetitor udang pada saat dilakukan pengecekkan
3. Pengamatan dan identifikasi predator dan kompetitor udang secara langsung melalui gerak dan
Pengendalian dan pemusnahan predator dan kompetitor udang di dalam tambak dapat dilakukan dengan
menggunakan saponin dengan dosis yang mematikan bagi keduanya. Kegiatan ini dilakukan dengan
memperhatikan kondisi dan kualitas udang pada saat itu dan sebaiknya jangan dilakukan pada saat udang
dalam kondisi lemah atau pada saat udang sedang moulting massal. Pemberian saponin ke dalam tambak
sedapat mungkin dilakukan pada saat cuaca cerah dan sinar matahari sangat terik serta ketinggian air
tambak relatif rendah yang dimbangi dengan pengoperasian kincir yang intensif, karena pada kondisi
seperti ini pengaruh dari saponin akan sangat efektif dan mematikan
bagi predator dan kompetitor udang. Setelah perlakuan pemberian saponin bangkai
daripredator dan kompetitor udang yang ada di tambak sebaiknya segera diangkat keluar tambak agar
tidak mengotori dan membusuk di tambak, dan selanjutnya kualitas perairan tambak dibentuk dan
diperbaiki kembali agar tidak mempengaruhi udang dengan cara melakukan sirkulasi air.
Permasalahan kualitas air tambak memerlukan pendekatan yang komprehensif yaitu perairan tambak
dipandang sebagai suatu ekosistem dimana unsur-unsur yeng berada di dalamnya mempunyai keterkaitan
satu sama lain, sehingga apabila ada salah satu unsur penyusunnya terkena suatu masalah maka akan
berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan satu sama lain di dalam perairan tersebut. Perairan
tambak sebagai suatu ekosistem yang tertutup mempunyai angka ketergantungan yang tinggi terhadap
kemampuan teknis budidaya terutama dalam pengelolaan kualitas airnya untuk membentuk suatu kondisi
yang kondusif bagi organisme yang hidup di dalamnya. Prinsip dasar yang harus menjadi bahan
pertimbangan dalam pengelolaan kualitas perairan tambak dan permasalahannya adalah dalam kegiatan
usaha budidaya ini yang menjadi subyek utama adalah kondisi dan kualitas udang yang bernilai ekonomis,
sehingga setiap pengambilan keputusan yang akan diambil harus bermuara pada udang dengan mengacu
pada perhitungan biaya dan tingkatprovite value dari udang yang telah dihasilkan. Begitu pula sebaliknya
perhitungan biaya yang menyangkut teknis pengelolaan kualitas air jangan sampai menghasilkan kondisi
kualitas bahan material yang digunakan, tiang pancang dibedakan menjadi empat yaitu tiang pancang
kayu, tiang pancang beton, tiang pancang baja dan tiang pancang composite (kayu – beton dan baja –
beton).
Tiang pancang beton berdasarkan cara pembuatannya dibedakan menjadi dua macam yaitu :
- Cast in place (tiang beton cor ditempat atau fondasi tiang bor) dan
- Precast pile (tiang beton dibuat ditempat lain atau dibuat dipabrik).
Fondasi tiang pancang dibuat ditempat lain (pabrik, dilokasi) dan baru dipancang sesuai dengan umur
beton setelah 28 hari. Karena tegangan tarik beton adalah kecil, sedangkan berat sendiri beton adalah
besar, maka tiang pancang beton ini haruslah diberi tulangan yang cukup kuat untuk menahan momen
lentur yang akan timbul pada waktu pengangkatan dan pemancangan. Pemakaian fondasi tiang
pancang beton mempunyai keuntungan dan kerugian antara adalah sebagai berikut ini :
1. Karena tiang dibuat di pabrik dan pemeriksaan kualitas ketat, hasilnya lebih dapat diandalkan. Lebih –
3. Daya dukung dapat diperkirakan berdasarkan rumus tiang pancang sehingga mempermudah
Kerugian nya :
1. Karena dalam pelaksanaannya menimbulkan getaran dan kegaduhan maka pada daerah yang
3. Bila panjang tiang pancang kurang, maka untuk melakukan penyambungannya sulit dan memerlukan
4. Bila memerlukan pemotongan maka dalam pelaksanaannya akan lebih sulit dan memerlukan waktu
yang lama.
Metode pelaksanaan :
2. Pengangkatan tiang.
Persyaratan dari tiang pancang tongkat kayu tersebut adalah : bahan kayu yang dipergunakan harus
cukup tua, berkualitas baik dan tidak cacat, contohnya kayu belian.
Semula tiang pancang kayu harus diperiksa terlebih dahulu sebelum dipancang untuk memastikan bahwa
tiang pancang kayu tersebut memenuhi ketentuan dari bahan dan toleransi yang diijinkan.
Semua kayu lunak yang digunakan untuk tiang pancang memerlukan pengawetan, yang harus
dilaksanakan sesuai dengan AASHTO M133 – 86 dengan menggunakan instalasi peresapan bertekanan.
Bilamana instalasi semacam ini tidak tersedia, pengawetan dengan tangki terbuka secara panas dan
dingin, harus digunakan. Beberapa kayu keras dapat digunakan tanpa pengawetan, tetapi pada umumnya,
kebutuhan untuk mengawetkan kayu keras tergantung pada jenis kayu dan beratnya kondisi pelayanan.
Sebelum pemancangan, tindakan pencegahan kerusakan pada kepala tiang pancang harus diambil.
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan pemangkasan kepala tiang pancang sampai penampang
melintang menjadi bulat dan tegak lurus terhadap panjangnya dan memasang cincin baja atau besi yang
Setelah pemancangan, kepala tiang pancang harus dipotong tegak lurus terhadap panjangnya
sampai bagian kayu yang keras dan diberi bahan pengawet sebelum pur (pile cap) dipasang.
Bilamana tiang pancang kayu lunak membentuk pondasi struktur permanen dan akan dipotong sampai di
bawah permukaan tanah, maka perhatian khusus harus diberikan untuk memastikan bahwa tiang pancang
tersebut telah dipotong pada atau di bawah permukaan air tanah yang terendah yang diperkirakan.
Bilamana digunakan pur (pile cap) dari beton, kepala tiang pancang harus tertanam dalam pur dengan ke
dalaman yang cukup sehingga dapat memindahkan gaya. Tebal beton di sekeliling tiang pancang paling
sedikit 15 cm dan harus diberi baja tulangan untuk mencegah terjadinya keretakan.
Tiang pancang harus dilengkapi dengan sepatu yang cocok untuk melindungi ujung tiang selama
pemancangan, kecuali bilamana seluruh pemancangan dilakukan pada tanah yang lunak. Sepatu harus
benar-benar konsentris (pusat sepatu sama dengan pusat tiang pancang) dan dipasang dengan kuat
pada ujung tiang. Bidang kontak antara sepatu dan kayu harus cukup untuk menghindari tekanan yang
Pemancangan
Pemancangan berat yang mungkin merusak kepala tiang pancang, memecah ujung dan menyebabkan
retak tiang pancang harus dihindari dengan membatasi tinggi jatuh palu dan jumlah penumbukan pada
tiang pancang. Umumnya, berat palu harus sama dengan beratnya tiang untuk memudahkan
pemancangan. Perhatian khusus harus diberikan selama pemancangan untuk memastikan bahwa
kepala tiang pancang harus selalu berada sesumbu dengan palu dan tegak lurus terhadap panjang tiang
pancang dan bahwa tiang pancang dalam posisi yang relatif pada tempatnya.
Penyambungan
Bilamana diperlukan untuk menggunakan tiang pancang yang terdiri dari dua batang atau lebih,
permukaan ujung tiang pancang harus dipotong sampai tegak lurus terhadap panjangnya untuk menjamin
bidang kontak seluas seluruh penampang tiang pancang. Pada tiang pancang yang digergaji,
sambungannya harus diperkuat dengan kayu atau pelat penyambung baja, atau profil baja seperti profil
kanal atau profil siku yang dilas menjadi satu membentuk kotak yang dirancang untuk memberikan
kekuatan yang diperlukan. Tiang pancang bulat harus diperkuat dengan pipa penyambung. Sambungan
Pada umumnya, tiang pancang baja struktur harus berupa profil baja gilas biasa, tetapi tiang pancang pipa
dan kotak dapat digunakan. Bilamana tiang pancang pipa atau kotak digunakan, dan akan diisi dengan
Bilamana korosi pada tiang pancang baja mungkin dapat terjadi, maka panjang atau ruasruasnya yang
mungkin terkena korosi harus dilindungi dengan pengecatan menggunakan lapisan pelindung yang
telah disetujui dan/atau digunakan logam yang lebih tebal bilamana daya korosi dapat diperkirakan
dengan akurat dan beralasan. Umumnya seluruh panjang tiang baja yang terekspos, dan setiap panjang
yang terpasang dalam tanah yang terganggu di atas muka air terendah, harus dilindungi dari korosi.
Sebelum pemancangan, kepala tiang pancang harus dipotong tegak lurus terhadap panjangnya dan
topi pemancang (driving cap) harus dipasang untuk mempertahankan sumbu tiang pancang segaris
dengan sumbu palu. Setelah pemancangan, pelat topi, batang baja atau pantek harus ditambatkan pada
pur, atau tiang pancang dengan panjang yang cukup harus ditanamkan ke dalam pur (pile cap).
Perpanjangan tiang pancang baja harus dilakukan dengan pengelasan. Pengelasan harus dikerjakan
sedemikian rupa hingga kekuatan penampang baja semula dapat ditingkatkan. Sambungan harus
dirancang dan dilaksanakan dengan cara sedemikian hingga dapat menjaga alinyemen dan posisi yang
benar pada ruas-ruas tiang pancang. Bilamana tiang pancang pipa atau kotak akan diisi dengan beton
Pada umumnya sepatu tiang pancang tidak diperlukan pada profil H atau profil baja gilas lainnya. Namun
bilamana tiang pancang akan dipancang di tanah keras, maka ujungnya dapat diperkuat dengan
menggunakan pelat baja tuang atau dengan mengelaskan pelat atau siku baja untuk menambah
ketebalan baja. Tiang pancang pipa atau kotak dapat juga dipancang tanpa sepatu, tetapi bilamana ujung
dasar tertutup diperlukan, maka penutup ini dapat dikerjakan dengan cara mengelaskan pelat datar,
atau sepatu yang telah dibentuk dari besi tuang, baja tuang atau baja fabrikasi.
Perbandingan Jenis Pondasi Dalam (Deep Foundation) Berdasarkan Metode Konstruksinya
Pengeboran (Drilled)
• Kelebihan:
1. Tidak menimbulkan getaran dan kegaduhan yang dapat menggangu lingkungan sekitar.
• Kekurangan:
2. Lebih banyak memerlukan alat bantu seperti mesin bor, casing, cleaning bucket dan alat bantu
Pemancangan
• Kelebihan:
• Kekurangan:
4. Bila panjang tiang pancang kurang, maka untuk melakukan penyambungannya sulit dan memerlukan
5. Bila memerlukan pemotongan maka dalam pelaksanaannya akan lebih sulit dan memerlukan waktu
yang lama.
Tekan (Pressed)
• Kelebihan:
1. Tidak menimbulkan getaran dan kegaduhan yang dapat menggangu lingkungan sekitar.
1. Bila panjang tiang pancang kurang, maka untuk melakukan penyambungannya sulit dan
2. Bila memerlukan pemotongan maka dalam pelaksanaannya akan lebih sulit dan memerlukan
Geotekstil adalah lembaran sintesis yang tipis, fleksibel, permeable yang digunakan untuk stabilisasi dan
perbaikan tanah dikaitkan dengan pekerjaan teknik sipil. Pemanfaatan geotekstil merupakan cara
2. untuk konstruksi teknik sipil yang mempunyai umur rencana cukup lama dan mendukung beban
Pada hakekatnya, timbunan diatas tanah lunak merupakan masalah daya dukung. Pertimbangan lain
adalah bahwa stabilitas timbunan kritis pada akhir konstruksi. Hal ini dikarenakan permeabilitas tanah
lempung lunak yang tidak memungkinkan pengaliran dan konsolidasi pada masa konstruksi. Pada akhir
konstruksi, beban telah diterapkan, tetapi tidak ada peningkatan kuat geser tanah akibat konsolidasi.
Sesudah konsolidasi terjadi, peningkatan kuat geser umumnya menghilangkan perlunya perkuatan
geotextile untuk menambah stabilitas. Untuk memperoleh peningkatan kuat geser, tinggi timbunan harus
sedemikian sehingga pada awal kosntruksi mengakibatkan tegangan vertikal yang melewati tegangan pra-
konsolidasinya.
Jadi peranan geotextile adalah mempertahankan stabilitas sampai tanah lunak terkonsolidasi (kuat geser
meningkat berarti) sampai saat dapat memikul beban timbunan itu sendiri.
Keuntungan yang dapat diambil dari penggunaan geotekstil perkuatan tanah lunak adalah Konstruksi
sederhana sehingga mudah untuk dilaksanakan, menghemat waktu pelaksanaan, menghemat biaya
konstruksi. Sedangkan kerugian dari penggunaan geotekstil adalah bahwa geotekstil tidak tahan terhadap
sinar ultra violet. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan penutupan berupa pasangan batu kali ataupun
2. GEOGRID
Geogrid adalahPerkuatan sistem anyaman.Geogrid berupa lembaran berongga dari bahan polymer. Pada
umumnya sistem serat tikar banyak digunakan untuk memperkuat badan timbunan pada jalan, lereng
atau tanggul dan dinding tegak. Mekanisme kekuatan perkuatan dapat meningkatkan kuat geser.
1. Penggunaan cerucuk kayu yang berfungsi sebagai settlement reducer, yang walaupun memiliki
kelemahan keterbatasan umur material namun telah terbukti dan diterima sebagai suatu sistem.
2. Penggunaan sistem Corduroy/geotextile bagian dari tanah soil reinforcement untuk menaklukkan
kuat geser.
3. Penggunaan sistem Cakar ayam yang dikombinasikan dengan geotextile diatas tanah lunak.
4. Menggunakan cerucuk matras beton dengan komponen cerucuk dan matras dimana setiap unit
5. Penggunaan bahan expandsed Polysstyrene yang yang mempunyai berat jenis sangat rendah
untuk konstruksi timbunan jalan raya, maupun sebagai lapisan pendukung fondasi diatas tanah
3. VERTIKAL DRAIN
Umumnya jenis tanah yang mengalami konsolidasi berlebihan adalah lempung lunak jenuh. Terdapat
beberapa metode yang bisa dilakukan guna perbaikan tanah lunak terhadap penurunan yang berlebihan
(settlemen) dan secara garis besar dapat dikelompokan dalam tiga kategori : pertama dapat dilakukan
dengan memasang vertical drain, kedua dengan menggunakan cerucuk atau corduroy serta yang ketiga
Pertama memasang vertical drain, tanah lempung lunak jenuh adalah tanah dengan rongga kapiler
yang sangat kecil sehingga proses konsolidasi saat tanah dibebani memerlukan waktu cukup lama,
sehingga untuk mengeluarkan air dari tanah secara cepat adalah dengan mebuat vertical drain pada
radius tertentu sehingga air yang terkandung dalam tanah akan termobilisasi keluar melalui vertical drain
yang telah terpasang. Vertical drain ini dapat berupa stone column atau menggunakan material fabricated
yang diproduk oleh geosinindo atau pabrik yang lainnya. Pekerjaan vertical drain ini biasanya
dikombinasikan dengan pekerjaan pre-load berupa timbunan tanah, dengan maksud memberikan beban
pada tanah sehingga air yang terkandung dalam tanah bisa termobilisasi dengan lebih cepat.
Kedua dengan menggunakan cerucuk bamboo atau corduroy, prinsip kerjanya sebelum dilakukan
penimbunan terlebih dahulu memasang bantalan baik yang terbuat dari bamboo (cerucuk) atau dari kayu
gelondongan (corduroy) sehingga saat tanah dihampar tidak bercampur dengan tanah asli dibawahnya
dan tanah timbunan tersebut membentuk satu kesatuan yang mengapung diatas tanah aslinya semacam
pontoon yang mengapung diatas air. Terdapat pondasi cerucuk bamboo yang telah dimodifikasi dan
dipatentkan oleh Pak Mansyur Irsyam (dosen ITB) yang telah diaplikasikan pada bebepara daerah
Ketiga dengan menggunakan taing pancang, bisa berupa bore pile atau PC spun pile, sehingga
struktur yang akan kita bangun diatas tanah tersebut tidak lagi menumpuh pada tanah lunak tersebut
akan tetap menumpu pada lapisan tanah keras dibawahnya. Satu hal yang perlu diperhatikan saat
merencanakan pondasi tiang pancang pada tanah lunak adalah negative skin friction.
Dua metode perbaikan tanah lunak yang saya sebutkan pertama cocok diaplikasikan pada pekerjaan jalan,
yard penumpukan barang pada dermaga dll. Sementara untuk untuk pondasi dari struktur atau proses
Einstein adalah pencari jawaban yang pertama pada era modern. Ia habiskan tahun-tahun terakhirnya
dalam upaya yang sia-sia untuk menemukan teori yang akan menggabungkan mekanika kuantum dengan
teori gravitasinya, Relativitas Umum. Usaha untuk menemukan teori gabungan sempat terhenti selama
beberapa waktu hingga era 1970-an, saat impian teori gabungan dibangkitkan kembali oleh sejumlah
perkembangan baru:
Pertama, para fisikawan memaparkan bahwa sebagaimana listrik dan magnetisme yang merupakan aspek
dari sebuah daya, begitu pula elektromagnetisme dan daya nuklir lemah (yang mengatur kelemahan nuklir
Para peneliti juga mengembangkan teori untuk daya nuklir kuat, yang menggabungkan proton dan
neutron bersama-sama dalam inti atom. Teori ini, yang disebut kuantum kromodinamika, menyatakan
bahwa proton dan neutron terdiri atas partikel-partikel yang bahkan lebih elementer yang disebut quark.
Keduanya, teori electroweak dan kuantum kromodinamika, merupakan model standar fisika partikel.
Terdorong kesuksesan ini, para ilmuwan berupaya mencari teori yang lebih mendalam diluar model
standar. Panduan mereka adalah perangkat matematis yang disebut simetri, yang membolehkan unsur-
unsur dari sebuah sistem mengalami transformasi–analog dengan rotasi atau refleksi pada cermin–tanpa
perubahan fundamental. Simetri menjadi syarat mutlak fisika partikel. Dalam usaha mencari teori-teori
yang memiliki simetri yang lebih dalam, para teoretikus mulai melakukan lompatan ke dimensi yang lebih
tinggi. Sebagaimana halnya astronaut yang tidak terikat dengan permukaan bumi bisa melihat secara
langsung simetri global permukaan bumi, begitu pula para teoretikus memahami simetri yang lebih halus
yang mendasari interaksi partikel dengan melihat semuanya dari titik pijak dimensi yang lebih tinggi.
Salah satu masalah yang paling bertahan dalam fisika partikel muncul dari definisi partikel sebagai titik.
Analog dengan jika suatu bilangan dibagi dengan nol memberikan hasil yang tak tebatas, dan karenanya
tidak berarti, demikian juga kalkulasi-kalkulasi yang melibatkan partikel-partikel yang mirip-titik seringkali
berakhir dengan ketidakbermaknaan. Dalam mengkonstruksi model standar, fisikawan pun mampu untuk
memecahkan masalah tersebut. Tapi gravitasi Einstenian, dengan distorsi ruang dan waktunya, tampak
Pada awal tahun 1980-an, banyak fisikawan mulai percaya teori superstring merepresentasikan
pendekatan itu. Teori ini menggantikan partikel-partikel yang mirip-titik dengan putaran energi kecil yang
mengeliminasi sejumlah absurditas yang muncul dalam kalkulasi-kalkulasi. Mirip dengan getaran string
(dawai) biola yang melahirkan beragam nada, getaran string ini pun bisa memunculkan semua daya dan
partikel-partikel dari dunia fisikal. Superstring bisa juga menyingkirkan salah satu momok fisika partikel:
kemungkinan bahwa tiada fondasi akhir bagi realitas fisikal kecuali hanya pergantian tak berkesudahan
dari partikel-partikel yang makin kecil. Menurut teori superstring, terdapat skala mendasar dimana semua
pertanyaan tentang ruang dan waktu diluar skala itu menjadi tidak berarti.
Namun teori ini menyimpan sejumlah masalah. Pertama, tampaknya ada banyak versi yang mungkin, dan
kelihatannya para teoretikus tidak mempunyai cara untuk mengetahui mana yang benar. Lebih dari itu,
superstring diperkirakan tidak hanya menempati empat dimensi dimana kita hidup (tiga dimensi ruang
ditambah dimensi waktu), namun juga enam dimensi tambahan yang entah bagaimana “teringkas”, atau
Pada 1995, fisikawan Edward Witten memperkenalkan teori-M (M-theory) yang juga disebut-sebut sebagai
Revolusi Superstring Kedua. “M” disini, menurut Witten, bisa berarti magis (magic), misteri, atau
membran, terserah mana yang sesuai selera . Teori ini mengkombinasikan 5 teori string yang berbeda
(bersama dengan usaha yang telah ditinggalkan untuk menggabungkan Relativitas Umum dan Mekanika
Kuantum yang disebut supergravitasi sebelas-dimensi) dalam satu teori. Hal ini disempurnakan dengan
merajut suatu jejaring hubungan antara setiap teori yang disebut sebagai dualitas (secara spesifik adalah
dualitas-S, dualitas-T, dan dualitas-U). Setiap dualitas menyediakan cara untuk mengubah satu teori string
ke teori lainnya.
Diantara semuanya, dualitas-T mungkin yang paling mudah untuk dijelaskan. Ini berkaitan dengan ukuran,
dilambangkan dengan R, dari dimensi yang “teringkas” dari teori string. Telah diketahui bahwa apabila
kita mengambil teori string Tipe IIA yang memiliki ukuran R, dan mengubah radiusnya ke 1/R, maka kita
akan mendapatkan apa yang ekuivalen dengan ukuran R menurut teori Tipe IIB. Dualitas ini, bersama
dengan yang lainnya, menciptakan hubungan antara kelima (atau enam, apabila supergravitasi juga ikut
Sebenarnya, keberadaan dualitas-dualitas tersebut sudah lama diketahui sebelum Witten muncul dengan
teori-M nya. Apa yang dilakukan Witten dengan menunjukkan fakta bahwa semua teori itu berhubungan
sebenarnya didasari oleh beberapa teori yang kesemuanya telah dikenal. Sebagai tambahan, juga telah
diketahui bahwa persamaan yang membutuhkan teori string untuk eksis pada 10 dimensi juga telah
diprediksi sebelumnya. Teori-M yang diusulkan (dan karena sesuatu hal masih samar-samar) akan menjadi
teori yang mengambil tempat pada dimensi ke-11, walaupun rinciannya masih belum pasti.
Baik teori string maupun teori-M menjadi sasaran skeptisisme. Beberapa ilmuwan (diantaranya yang patut
dicatat adalah Peter Woit dan Lee Smolin) masih meragukan teori-M, sebagaimana juga teori string. Salah
satu alasannya adalah teori string tidak memberikan gambaran yang “jernih” (dalam artian numerik) yang
bisa dibuktikan oleh eksperimen. Pendapat lainnya menyatakan bahwa teori string tidak didefinsikan
dengan baik karena sebagian besar terdiri dari persamaan-persamaan matematis dengan pendekatan
penguraian (perturbasi). Akibatnya, setiap perhitungan sering berakhir dengan hasil tak terhingga.
Sebaliknya, para pendukung teori string juga tidak mau kalah. Mereka berlindung dibalik argumen bahwa
fisika partikel, dengan teori string sebagai salah satu cabangnya, telah diuji secara lebih akurat ketimbang
Pertanyaannya sekarang, akankah entah teori string, superstring, atau teori-M, menjadi “jalan tol” menuju
Theory of Everything, teori segala sesuatu, ataukah cuma menjadi gang buntu?
CATATAN: Ya benar, fisika partikel yang sebenarnya jauh lebih kompleks daripada yang terungkap di
tulisan ini. Kita belum lagi bicara tentang sejumlah partikel eksotis yang terlibat dalam teori string maupun
teori-M.
Helicoidal aliran adalah cockscrew (spiral) gerakan yang bertanggung jawab untuk memindahkan air
sungai terkikis beban dari luar ke tepi sebuah sungai. Pada belokan sungai, memungkinkan terjadinya
gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal pada belokan akan menyebabkan timbulnya arus melintang sungai, dan
bersama-sama dengan aliran utama membentuk aliran helicoidal. Aliran helicoidal adalah gerakan spiral
air sungai yang menyebabkan terkikisnya sisi luar sungai dan pengendapan pada sisi dalam sungai.
Besarnya kecepatan arus melintang berkisar antara 10-15% dari kecepatan pada arah utama aliran
dengan cirri bahwa di dekat permukaan, arus melintang bergerak kearah belokan dalam.
Erosi dan endapan sungai karena aliran helicoidal ini menyebabkan terbentuknya liku sungai. Dampak
utama akibat aliran helicoidal ini adalah terjadinya serangan pada tebing sungai pada sisi luar belokan,
serta pengendapan atau sedimentasi pada dasar sungai di dekat sisi dalam belokan.
C = koefisien Chezy =
Tujuan
Penerapan langsung mekanika tanah dan batuan “klasik” yang dikembangkan di
daerah beriklim sedang akan tidak serta merta cocok untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada di daerah tropis. Sifat-sifat alami dari material bumi daerah
tropis memerlukan pengujian dan analisis yang berbeda dengan material di daerah
beriklim sedang. Prinsip yang sama berlaku untuk teknik desain dan konstruksi. Oleh
karenanya dibutuhkan fasilitas penelitian yang khusus untuk melakukan penyelidikan,
bila praktek-praktek desain dan konstruksi yang ada ingin ditingkatkan agar jalan yang
dibangun di atas tanah lunak dapat memberikan tingkat paelayanan yang disyaratkan.
Melanjutkan Tahap 1 dari proyek yang dilaksanakan pada tahun 1997-8, Tahap 2
mendapat tugas untuk mempersiapkan edisi pertama dari seri Panduan Geoteknik ini,
yang berhubungan dengan tanah lunak.
Disadari bahwa masih banyak hal yang harus dipelajari dan dicapai mengenai tanah
lunak Indonesia untuk dapat menghasilkan suatu desain pembangunan jalan yang
lebih ekonomis. Oleh karenanya diharapkan berdasarkan pengalaman selama
penggunaan edisi pertama Panduan Geoteknik ini, akan diperoleh suatu umpan balik
yang berharga untuk meningkatkan dan memperluas panduan ini di masa mendatang.
Program kegiatan ini dilaksanakan oleh Pusat Litbang Prasarana Transportasi
bersama Tim Konsultan. Proyek ini seluruhnya didanai oleh pinjaman Pemerintah
Indonesia dari International Bank for Reconstruction and Development, Highway
Sector Investment Programme 2, Loan Number 3712-IND.
Tanah lunak dalam Panduan ini meliputi lempung inorganik (lempung bukan
organik), lempung organik dan gambut.
Tanah jenis ini terdapat pada areal lebih dari 20 juta hektar, lebih dari 10 % dari
tanah daratan Indonesia.
Pada masa lalu, banyak proyek mengalami penundaan atau keterlambatan,
memerlukan tambahan biaya yang besar, membutuhkan biaya perawatan dan
pemeliharaan yang tinggi atau mengalami kegagalan, yang diakibatkan oleh
adanya tanah lunak ini.
Ruang Lingkup
Panduan Geoteknik ini dan seri lainnya merupakan pedoman bagi para praktisi
1
di lapangan dengan maksud memberikan panduan dan petunjuk dalam desain dan
pelaksanaan konstruksi jalan di atas tanah lunak. Berbagai panduan yang dibuat,
sangat cocok untuk diterapkan dalam desain berbagai tipe kelas jalan, mulai dari
Jalan Nasional hingga Jalan Kabupaten. Panduan-panduan disajikan untuk
kelompok-kelompok praktisi, sebagai berikut:
1
Dalam proses penterjemahan Panduan ini, telah diterjemahkan sejumlah istilah teknik
yang
digunakan yang dicantumkan sebagai referensi pada bagian akhir setiap Panduan serta
pada
CD Panduan Geoteknik. Sebagai tambahan, untuk istilah-istilah teknik yang belum
umum
digunakan, istilah dalam bahasa Inggrisnya tetap dicantumkan berdampingan dengan kata
yang bersangkutan dalam tanda kurung pada bagian awal penggunaannya saja. Para
Desainer
Panduan ini menjelaskan bagaimana lokasi tanah lunak harus diidentifikasi,
prosedur-prosedur yang harus diterapkan dalam penyelidikan, dan prosedur desain
dan pelaksanaan yang harus diikuti. Panduan ini juga mengarahkan bilamana
informasi yang didapatkan tersebut memerlukan masukan dari spesialis/ahli yang
telah berpengalaman.
Istilah Teknik
Untuk keperluan panduan ini, selanjutnya digunakan dan diusulkan istilah-istilah
teknik dalam bahasa Indonesia yang diberikan pada bagian akhir dari setiap
Panduan, setelah Lampiran. Untuk memudahkan pengguna Panduan yang belum
terbiasa dengan terminologi yang dimaksud, maka pada Daftar Istilah tersebut
setiap istilah yang digunakan dicantumkan padanan katanya dalam bahasa
Inggris.
Istilah-istilah tersebut disusun dengan mengacu pada istilah-istilah teknik yang
telah umum digunakan dalam bidang kegeoteknikan, seperti yang tercantum
pada SNI, Pedoman maupun Panduan Teknik lainnya, dengan tetap mengacu
pada tata cara penyerapan istilah teknik yang berlaku serta kaedah-kaedah bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Secara teknis, kegiatan penyusunan tersebut dimulai dengan penyusunan daftar
istilah teknik yang terdapat pada keempat buku Panduan oleh Tim Konsultan
Proyek. Daftar tersebut kemudian dikirimkan melalui korespodensi suratmenyurat kepada
21 orang Pengkaji Eksternal yang terdiri dari kalangan
Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi maupun Praktisi, untuk meminta masukan
konstruktif tentang terjemahan yang tepat dan sesuai untuk masing-masing istilah
berdasarkan latar belakang, pengalaman dan pendapat mereka masing-masing.
Dari 10 daftar yang kembali, dilakukan kompilasi kembali oleh Tim Konsultan
Proyek dengan mengacu pada standar maupun kaedah bahasa Indonesia yang
baik dan benar, seperti yang terlihat pada Daftar Istilah yang diberikan pada
bagian akhir setiap buku Panduan.
Skala Mutu
Panduan ini mengasumsikan bahwa pada setiap pelaksanaan proyek jalan,
seorang Perekayasa yang selanjutnya disebut sebagai Insinyur Geoteknik yang
Ditunjuk, akan ditetapkan untuk bertanggung jawab terhadap seluruh pekerjaan
geoteknik mulai dari tahapan penyelidikan, desain dan pelaksanaan konstruksi.
Penunjukkan ini dilakukan oleh Ketua Tim, Ketua Tim Desain atau seseorang
yang secara keseluruhan bertanggungjawab atas proyek tersebut. Pemimpin
proyek mempunyai tanggung jawab untuk menjamin Insinyur Geoteknik yang
Ditunjuk ada di pos selama proyek berjalan.
Panduan ini menggambarkan bagaimana Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk
tersebut harus mencatat dan menandatangani setiap tahapan pekerjaan. Jika
Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk tersebut suatu saat diganti, maka prosedurprosedur
yang telah ditetapkan tersebut harus dimasukkan di dalam klausal
serahterima, yang mana Insinyur Geoteknik yang baru harus melanjutkannya
dengan tanggung jawab sebagaimana yang telah dijelaskan pada Panduan
Geoteknik 4.
Latar belakang dan pengalaman dari Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk tersebut
akan bervariasi berdasarkan kuantitas dan kompleksitas dari proyek yang
bersangkutan. Untuk Jalan Kabupaten, Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk harus
memiliki kemampuan/latarbelakang keteknikan dasar yang cukup serta
pengetahuan lokal yang memadai. Sedangkan untuk skala proyek yang lebih
besar, seorang Insinyur dengan latar belakang khusus kegeoteknikan, umumnya
menjadi persyaratan yang harus dipenuhi.
Untuk skala Jalan Nasional, dimana permasalahan-permasalahan tanah lunak
cukup banyak ditemui, Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk harus memiliki
pengetahuan dan pengalaman kegeoteknikan yang luas. Bila dipandang perlu ia
dapat didukung oleh seorang Spesialis; walaupun demikian, Insinyur Geoteknik
yang Ditunjuk tersebut tetap bertanggungjawab secara keseluruhan terhadap
Skala Mutu, sebagaimana dijelaskan dalam Panduan ini.
Jika terdapat penyelidikan atau disain geoteknik yang harus dilakukan oleh
Kontraktor Pelaksana Pekerjaan, maka dalam kaitannya dengan pekerjaan
tersebut kontraktor itu harus mematuhi semua persyaratan yang tercantum
dalam Panduan ini. Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk harus bertanggung jawab
terhadap hal ini.
Daftar Isi
1 Pendahuluan Panduan Geoteknik 4................................ ...........................1
1.1 Batasan dari Panduan................................ ................................ ......1
1.2 Struktur Manajemen untuk Pekerjaan Geoteknik...............................1
1.3 Pendekatan terhadap Desain Pekerjaan Geoteknik ............................3
1.4 Permasalahan ................................ ................................ .................5
1.5 Solusi atau Pemecahan Masalah ................................ ......................5
1.5.1 Pendahuluan................................ ................................ ...............5
1.5.2 Tipe Solusi Geoteknik................................ ................................ .6
2 Pertimbangan Menyeluruh dalam Desain ................................ ..................8
2.1 Umum ................................ ................................ ...........................8
3 Solusi dengan Pekerjaan Tanah................................ ..............................11
3.1 Pendahuluan................................ ................................ .................11
3.2 Penggantian Material ................................ ................................ .... 11
3.2.1 Teknik ................................ ................................ .....................11
3.2.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 12
3.2.3 Aplikasi ................................ ................................ ...................13
3.2.4 Pertimbangan Pelaksanaan................................ ........................ 15
3.3 Berem Pratibobot................................ ................................ ..........15
3.3.1 Teknik ................................ ................................ .....................15
3.3.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 17
3.3.3 Pertimbangan Konstruksi................................ ..........................18
3.4 Penambahan Beban................................ ................................ .......18
3.4.1 Teknik ................................ ................................ .....................18
3.4.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 18
3.4.3 Aplikasi ................................ ................................ ...................21
3.4.4 Pertimbangan Pelaksanaan................................ ........................ 21
3.5 Konstruksi Bertahap ................................ ................................ .....22
3.5.1 Teknik ................................ ................................ .....................22
3.5.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 23
3.5.3 Pertimbangan Pelaksanaan................................ ........................ 24
3.6 Penggunaan Material Ringan................................ .........................24
3.6.1 Teknik ................................ ................................ .....................24
3.6.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 24
3.6.3 Aplikasi ................................ ................................ ...................25
4 Solusi dengan Perbaikan Tanah ................................ ..............................26
4.1 Pendahuluan................................ ................................ .................26
4.2 Penyalir Vertikal................................ ................................ ..........26
(ii)
4.2.1 Teknik ................................ ................................ .....................26
4.2.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 29
4.2.3 Prosedur Instalasi ................................ ................................ .....30
4.2.4 Selimut Pasir ................................ ................................ ............ 31
4.2.5 Pertimbangan Pelaksanaan................................ ........................ 33
4.2.6 Contoh Penggunaan................................ ................................ ..35
4.3 Tiang ................................ ................................ ...........................35
4.3.1 Teknik ................................ ................................ .....................35
4.3.2 Tipe-tipe Tiang................................ ................................ .........36
4.3.3 Metode Transfer Beban Timbunan ke Tiang ...............................37
4.3.4 Pertimbangan Pelaksanaan................................ ........................ 39
4.3.5 Contoh Penggunaan................................ ................................ ..40
4.4 Matras ................................ ................................ .........................40
4.4.1 Teknik ................................ ................................ .....................40
4.4.2 Contoh Penggunaan................................ ................................ ..41
4.5 Metode Perbaikan Tanah Lainnya................................ ..................41
5 Persiapan Desain ................................ ................................ ...................44
5.1 Interpretasi Geologi................................ ................................ ......44
5.2 Zonasi Lokasi................................ ................................ ...............45
5.3 Pemilihan Parameter Geoteknik ................................ .....................46
5.3.1 Pendahuluan................................ ................................ .............46
5.3.2 Kisaran Nilai yang Dapat Diterima ................................ ............ 46
5.3.3 Pemeriksaan Korelasi................................ ................................ 47
5.3.4 Menyimpulkan Hasil Penilaian................................ ..................47
5.3.5 Pemilihan Parameter Desain ................................ ......................47
5.4 Parameter Material Timbunan ................................ .......................50
5.5 Pembebanan dan Kriteria Desain ................................ ...................50
5.5.1 Beban Lalu Lintas................................ ................................ .....50
5.5.2 Faktor Keamanan ................................ ................................ .....51
5.5.3 Kriteria Deformasi................................ ................................ .... 53
5.5.4 Beban Gempa................................ ................................ ...........54
6 Solusi Desain dan Analisis ................................ ................................ .....57
6.1 Pendahuluan................................ ................................ .................57
6.2 Stabilitas Timbunan................................ ................................ ......58
6.3 Penurunan pada Timbunan ................................ ............................ 59
6.4 Penyalir Horisontal ................................ ................................ .......60
6.5 Penggantian ................................ ................................ .................61
6.6 Berem Pratibobot................................ ................................ ..........62
6.7 Penambahan Beban................................ ................................ .......64
6.8 Konstruksi Bertahap ................................ ................................ .....65
(iii)
6.9 Timbunan dengan Perkuatan ................................ .........................67
6.9.1 Pendahuluan................................ ................................ .............67
6.9.2 Sifat-sifat Geotekstil................................ ................................ .68
6.9.3 Faktor Reduksi Rangkak ................................ ...........................69
6.9.4 Analisis Stabilitas ................................ ................................ .....70
6.10 Matras Bertiang................................ ................................ ............ 71
6.11 Penyalir Vertikal................................ ................................ ..........71
6.12 Desain Tiang................................ ................................ ................ 71
7 Interaksi Tanah dan Bangunan ................................ ...............................73
8 Pertimbangan untuk Pelebaran Jalan ................................ .......................76
9 Proses Pengambilan Keputusan ................................ ..............................78
9.1 Pengantar ................................ ................................ .....................78
9.2 Mengidentifikasi Masalah yang harus Dipecahkan..........................80
9.3 Mengidentifikasi Faktor-FAKTOR yang Akan Mempengaruhi
Proses Pengambilan Keputusan ................................ .....................80
9.4 Pemilihan dan Analisis atas Berbagai Pilihan................................ ..81
9.5 Mengidentifikasi Biaya untuk Setiap Pilihan ................................ ..82
9.6 Penetapan Pilihan Terbaik................................ .............................84
9.7 Pelaporan Proses Pengambilan Keputusan dan Rekomendasi...........86
10 Laporan Desain ................................ ................................ .....................87
11 Uji Coba ................................ ................................ ...............................93
12 Kontrak dan Pelaksanan................................ ................................ .........95
12.1 Pengadaan Kontrak ................................ ................................ .......95
12.2 Pelaksanaan ................................ ................................ .................95
13 Pemantauan Lapangan ................................ ................................ ...........97
13.1 Merencanakan Program Pemantauan dan Instrumentasi...................97
13.2 Desain Timbunan ................................ ................................ .........98
13.3 Kondisi Lapisan Bawah Permukaan................................ ...............98
13.4 Pra Analisis................................ ................................ ..................98
13.5 Jumlah Instrumentasi ................................ ................................ .... 98
13.6 Lokasi Instrumen................................ ................................ ..........99
13.7 Pemasangan ................................ ................................ ...............100
13.8 Perlindungan ................................ ................................ ..............101
13.9 Prosedur dan Frekuensi Pemantauan ................................ ............ 102
13.10 Catatan Penimbunan ................................ ................................ ...102
13.11 Pelat Penurunan................................ ................................ ..........103
13.12 Instrumentasi Khusus ................................ ................................ ..103
(iv)
14 Referensi ................................ ................................ ............................ 104
Lampiran
Lampiran A Ceklis
Lampiran B Korelasi Parameter Geoteknik
Lampiran C Perhitungan Penurunan pada Gambut Berdasarkan Metode
Hanrahan
Lampiran D Desain Matras Geotekstil untuk Timbunan Bertiang
Lampiran E Isi Laporan
Lampiran F Garis Besar Prosedur untuk Timbunan Percobaan
Lampiran G Instrumentasi
Lampiran H Lembar Catatan Pemasangan Instrumentasi
Gambar
Gambar 1-1 Segitiga Kualitas Waktu Biaya 4
Gambar 3-1 Penggantian Total 12
Gambar 3-2 Penggantian Sebagian 12
Gambar 3-3 Berem Pratibobot Tunggal 16
Gambar 3-4 Berem Pratibobot Ganda 16
Gambar 3-5 Metode Konstruksi untuk Berem pada Gambut 17
Gambar 3-6 Kecepatan Konsolidasi Lapisan Lempung 19
Gambar 3-7 Beban Tambahan yang Dikombinasikan dengan Sistem Lain 20
Gambar 3-8 Kenaikan Kuat Geser dari Konsolidasi 22
Gambar 3-9 Kecepatan Penimbunan yang Dikontrol 23
Gambar 3-10 Penimbunan yang Dikontrol Bertahap 23
Gambar 4-1 Bagan Alir Pengambilan Keputusan untuk Metode Penyalir
Vertikal 29
Gambar 4-2 Hubungan dari Ukuran Butir dengan Permeabilitas pada Pasir
(GCO, 1982) 33
Gambar 4-3 Pengaruh dari Kehalusan pada Permeabilitas 33
Gambar 4-4 Prosedur Instalasi PVD menembus Selimut Pasir 35
(v)
Gambar 4-5 Timbunan yang Didukung oleh Tiang 37
Gambar 4-6 Variasi Lantai Bertiang (Piled Slabs) 39
Gambar 4-7 Konfigurasi Kepala Tiang 40
Gambar 4-8 Konstruksi Matras Tiang 42
Gambar 5-1 Contoh Prosedur untuk Menetapkan UnitTanah 46
Gambar 5-2 Contoh Pemilihan Parameter Desain 50
Gambar 5-3 Penggunaan Faktor Keamanan untuk Membatasi Regangan 53
Gambar 5-4 Zona Pengaruh untuk Pergerakan Lateral 55
Gambar 5-5 Zona Gempa di Indonesia 56
Gambar 5-6 Skema Perubahan Faktor Keamanan sepanjang Umur
Timbunan 57
Gambar 6-1 Penambahan Penurunan Regional dalam Perhitungan
Penurunan 61
Gambar 6-2 Batas Galian untuk Penggantian Tanah Lunak 62
Gambar 6-3 Grafik Desain untuk Berem Pratibobot 64
Gambar 6-4 Analisis Desain Penambahan Beban 65
Gambar 6-5 Pelebaran Penambahan Beban 66
Gambar 6-6 Analisis Konstruksi Bertahap 67
Gambar 6-7 Kuat Geser vs Hubungan Kedalaman 67
Gambar 6-8 Kuat Geser Meningkat terhadap Konsolidasi 68
Gambar 6-9 Penyesuaian Pertambahan Kuat Geser untuk Konsolidasi Lebih 68
Gambar 6-10 Kuat Tarik Beberapa Material Geotekstil 69
Gambar 6-41 Contoh Kurva Rangkak Geotekstil 71
Gambar 6-52 Perhitungan Titik Netral Tiang 73
Gambar 8-1 Kenaikan Tegangan di Bawah Jalan Lama 77
Gambar 8-2 Penggalian Tanah Lunak di Sekitar Jalan Lama 78
Gambar 9-1 Proses Pengambilan Keputusan 80
Gambar 9-2 Perbandingan Berbagai Pilihan yang Digambarkan secara
Grafis 86
Gambar 13-1 Contoh Tata Letak Instrumentasi 101
Gambar 13-2 Frekuensi Pembacaan Instrumen 103
Gambar B-1 Hubungan antara Kuat Geser Tak Terdrainse dan Indeks
Konsistensi B6
Gambar B-2 Hubungan antara Pemampatan Primer dan Angka Pori
sebagai suatu Fungsi Batas Cair B8
(vi)
Gambar B-3 Hubungan antara Indeks Pengembangan dan Angka Pori
sebagai Fungsi dari Batas Cair B10
Gambar B-4 Hubungan Antara Permeabilitas dan Angka Pori Sebagai
Fungsi dari Indeks Plastisitas dan Kadar Lempung B13
Gambar B-5 Hubungan Antara Koefisien Konsolidasi dan Batas Cair B14
Gambar G-1 Penanda Penurunan Permukaan G5
Gambar G-2 Pelat Penurunan G6
Gambar G-3 Ekstensometer Batang G7
Gambar G-4 Ekstensometer Magnetik G8
Gambar G-5 Datum Dalam & Pisometer Pipa Ukur Tegak G9
Gambar G-6 Pisometer Penumatik G10
Gambar G-7 Indikator Gelincir G11
Gambar G-8 Inklinometer G12
Tabel:
Tabel 3-1 Keuntungan dari Solusi Pekerjaan Tanah yang Umum 11
Tabel 3-2 Batasan Umum dari Penggantian Total dan Sebagian 14
Tabel 3-3 Berat Isi dari Material Ringan 25
Tabel 5-1 Nilai Kisaran yang Realistis dari Tanah Lunak 48
Tabel 5-2 Penilaian Keandalan Data 48
Tabel 5-3 Parameter Desain yang Dibutuhkan 49
Tabel 5-4 Nilai Desain Sementara untuk Tanah Lunak 50
Tabel 5-5 Parameter Desain untuk Material Timbunan 51
Tabel 5-6 Beban Lalu Lintas untuk Analisis Stabilitas 52
Tabel 5-7 Faktor Keamanan untuk Analisis Stabilitas 54
Tabel 5-8 Batas-batas Penurunan untuk Timbunan pada Umumnya 54
Tabel 5-9 Faktor Percepatan Gempa 56
Tabel 6-1 Faktor Pembagi untuk Kerusakan pada Instalasi Geotekstil 70
Tabel 9-1 Contoh Lembar Tujuan Desain 81
Tabel 9-2 Faktor-faktor dan Pembobotan untuk Proses Pengambilan
Keputusan 82
Tabel 9-3 Contoh Terpisah Keputusan Penolakan Awal 83
Tabel 9-4 Contoh Mengidentifikasii Biaya dari Dua Pilihan 84
Tabel 13-1 Kelas Instrumentasi untuk Timbunan Jalan 100
1
1 Pendahuluan Panduan Geoteknik 4
1.1 BATASAN DARI PANDUAN
Panduan Geoteknik ini memberikan informasi dan petunjuk dalam desain dan
pelaksanaan konstruksi jalan di atas tanah lunak. Panduan ini
mengidentifikasikan berbagai solusi yang mungkin untuk berbagai kondisi yang
berbeda, serta mengemukakan secara umum kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Karenanya, Panduan ini memberikan metodologi untuk
memilih desain yang paling cocok, dan menjelaskan bagaimana caranya Ahli
Geoteknik yang Ditunjuk mengembangkan dan mencatat proses pengambilan
keputusannya.
Petunjuk yang diberikan pada Panduan ini juga harus digunakan untuk
timbunan oprit jembatan.
Panduan ini tidak membahas masalah yang menyangkut struktur, kecuali
beberapa aspek dari interaksi tanah-struktur (soil-structure interaction), atau
masalah perkerasan jalan pada tanah lunak. Meskipun demikian, beberapa
petunjuk yang diberikan pada Panduan ini dan seri lainnya mungkin akan dapat
membantu untuk maksud tersebut.
1.2 STRUKTUR MANAJEMEN UNTUK PEKERJAAN
GEOTEKNIK
Panduan ini mensyaratkan bahwa untuk setiap proyek jalan seorang Ahli, yang
dalam Panduan ini disebut sebagai Ahli Geoteknik yang Ditunjuk , akan
ditunjuk oleh Ketua Tim untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan
geoteknik seperti dijelaskan dalam Pengantar.
Pada Panduan Geoteknik ini istilah Ketua Tim yang dimaksud adalah seorang
yang bertanggung jawab secara langsung terhadap desain dan pelaksanaan
proyek dan merupakan atasan langsung dari Ahli Geoteknik yang Ditunjuk,
yang kepadanya dia harus memberikan laporan.
Pada tahap Studi Kelayakan dari sebuah proyek, sebuah penilaian geoteknik
awal harus dilakukan untuk mengidentifikasi apakah pertimbangan geoteknik
berpengaruh terhadap rencana trase/rute dan pemilihan alinyemen jalan. Oleh
2
karena itu, jika memungkinkan maka Ahli Geoteknik yang Ditunjuk tersebut
harus ditunjuk untuk tahap studi kelayakan.
Seorang Ahli Geoteknik yang Ditunjuk dibutuhkan untuk tahapan pekerjaan
penyelidikan, desain dan pengadaan (procurement). Bila memungkinkan,
pekerjaan pelaksanaan yang memerlukan adanya kegiatan pemantauan , ujicoba (trials)
atau desain yang memerlukan informasi lebih lanjut, maka seorang
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus ditunjuk pada setiap tahap pelaksanaan,
dan tidak perlu dipekerjakan penuh selama waktu pelaksanaan proyek.
Panduan ini juga mengemukakan bagaimana Ahli Geoteknik yang Ditunjuk
tersebut harus menyimpan catatan serta menandatangani semua aktivitas dari
setiap tahapan pekerjaan.
Latar belakang dan pengalaman dari Ahli Geoteknik yang Ditunjuk akan
bervariasi bergantung pada ukuran dan kompleksitas dari proyek
1
. Untuk Jalan
Kabupaten, Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memiliki latar belakang
keteknikan umum dan cukup mengenal daerah yang bersangkutan. Untuk skala
yang lebih besar, umumnya akan diperlukan seorang spesialis.
Untuk proyek besar seperti Jalan Nasional dimana tanah lunak menjadi
masalah, Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memiliki latar belakang dan
pengalaman yang luas dalam bidang geoteknik. Sebagai tambahan ia dapat saja
dibantu oleh seorang Spesialis Geoteknik, yang walaupun dibantu, Ahli
Geoteknik yang Ditunjuk ini tetap harus bertanggung jawab penuh terhadap
Skema Mutu (Quality Scheme) seperti yang dijelaskan pada Panduan.
Seorang Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus:
· merumuskan tujuan yang ingin dicapai dan disetujui bersama Ketua Tim,
· melakukan studi meja,
· mendesain penyelidikan lapangan termasuk jenis pengujian yang
diperlukan,
· memilih laboratorium yang akan melakukan pengujian,
· memberi arahan dan mengawasi proses penyelidikan,
· memeriksa dan menyetujui laporan pengujian lapangan dan laboratorium,
· menetapkan parameter desain– membuat desain,
· memberi rekomendasi solusi geoteknik,
· menyiapkan dan membuat Laporan Desain Geoteknik ,
· melengkapi dan menandatangani semua ceklis,
1
Sejumlah Asosiasi Profesi di Indonesia telah memiliki sistem sertifikasi dan skema
yang dapat digunakan dalam menentukan kualifikasi yang sesuai untuk proyek-proyek
tertentu..
3
Seorang Perekayasa Geoteknik yang Ditunjuk juga harus:
· melaporkan kepada Ketua Tim,
· menjalin hubungan dengan ahli struktur dan ahli jalan raya,
· bertanggung jawab terhadap kualitas informasi dan desain geoteknik.
Jika Ahli Geoteknik yang Ditunjuk tersebut diganti maka ia harus membuat
rangkuman dokumen Serah Terima yang memuat hasil apa saja yang telah
dicapai, dengan menggunakan Ceklis pada Lampiran A, Kepala Proyek
bertanggung jawab untuk menjamin bahwa proses serah terima ini telah
dilaksanakan.
1.3 PENDEKATAN TERHADAP DESAIN PEKERJAAN
GEOTEKNIK
Tanggung jawab dari Ahli Geoteknik yang Ditunjuk
Panduan ini mengemukakan prosedur untuk melakukan pekerjaan geoteknik
pada jalan di atas tanah lunak yang memerlukan timbunan.
Prosedur dan solusi dikemukakan dalam bentuk yang bersifat memberikan
petunjuk/ketentuan.
Jika Ahli Geoteknik yang Ditunjuk bermaksud menyimpang dari
prosedur, berdasarkan atas pengalamannya yang luas dan mempunyai
pendekatan lain yang lebih baik dan lebih tepat untuk digunakan pada
proyek yang bersangkutan, hal ini dapat diterima. Walaupun demikian
setiap penyimpangan dari Panduan harus didokumentasikan secara jelas
dan alasan penyimpangannya harus dikemukakan dalam laporan Ahli
Geoteknik yang Ditunjuk yang relevan.
Struktur dari Pendekatan Desain
Pendekatan yang diadopsi dalam Panduan ini adalah sama dengan yang harus
diadopsi oleh semua pekerjaan yang berhubungan dengan kegeoteknikan, yaitu:
· identifikasi masalah,
· mengumpulkan semua informasi yang dibutuhkan,
· memilih solusi-solusi yang memungkinkan,
· menganalisis solusi,
· menilai kembali biaya dan pengaruh pelaksanaan,
· mengambil keputusan atas solusi yang optimal,
· melakukan uji-coba di lapangan.
4
Keterbatasan Desain
Tiga unsur yang harus dipertimbangkan dalam setiap proses desain adalah
Biaya, Mutu dan Waktu. Unsur-unsur ini akan saling terkait dan dapat
digambarkan dalam sebuah segitiga Kualitas Waktu Biaya, seperti ditunjukkan
pada Gambar 1-1.
A
BC
Kualitas
Biaya
Waktu
Kualitas Tinggi
Biaya Rendah
Waktu Singkat
Kualitas yang disyaratkan
Karena metode penambahan beban ini akan mengurangi stabilitas pada tanah
lunak, maka metode ini paling cocok untuk areal reklamasi yang luas dimana
stabilitas bagian pinggir dapat diatasi secara terpisah, atau untuk jalan dimana
metode berem pratibobot dapat diterima.
3.4.4 Pertimbangan Pelaksanaan
Lamanya pembebanan akan ditentukan baik oleh penurunan, disipasi tekanan
pori atau oleh hasil pengukuran di-lapangan terhadap kenaikan nilai kuat geser.
Faktor penentu yang dipilih harus secara jelas berhubungan dengan perhitungan
desain dan fasilitas untuk pembacaannya harus dimasukkan di dalam program
pelaksanaan . Pelaksanaan konstruksi harus cukup fleksibel untuk memberikan
variasi waktu pada proses pemindahan beban tambahan tersebut.
Bila material beban tambahan tersebut tidak akan digunakan untuk timbunan di
tempat lain, penghematan biaya dapat dilakukan dengan menggunakan material
dengan standar yang lebih rendah pada bagian atas dari beban tambahan
tersebut yang nantinya akan dipindahkan.
Bila metode penambah beban ini yang akan diterapkan, maka Ahli Geoteknik
yang Ditunjuk harus mempersiapkan Panduan Teknik untuk digunakan oleh
Konsultan Supervisi selama waktu pelaksanaan. Panduan ini harus memuat
kriteria yang akan digunakan yang mengidentifikasikan saat tambahan beban
tersebut dapat dipindahkan (dipotong).
Panduan tersebut harus mengidentifikasikan parameter dan metode desain yang
digunakan. Informasi dalam Panduan tersebut harus cukup sehingga prediksi
penurunan dapat dihitung kembali dan direvisi setiap waktu berdasarkan data
hasil pemantauan di lapangan.
22
3.5 KONSTRUKSI BERTAHAP
3.5.1 Teknik
Berlangsungnya konsolidasi pada tanah lunak di bawah beban timbunan akan
menurunkan angka pori pada tanah bawah permukaan sehingga kepadatan tanah
akan naik dan kuat geser tak terdrainase (undrained) naik. Peningkatan kuat
geser pada tanah bawah permukaan merupakan fungsi dari derajat konsolidasi,
seperti ditunjukkan pada Persamaan 3.1. Oleh karena itu kecepatan penimbunan
harus dikontrol supaya terjadi konsolidasi yang cukup, sehingga kuat geser yang
diinginkan dapat tercapai. Metode ini harus dipertimbangkan bila tinggi desain
timbunan melebihi tinggi kritis yang dapat dengan aman didukung oleh tanah
di bawahnya.
Äcu = U . á. Äp (3-1)
dengan:
Äcu adalah kenaikkan kuat geser;
U adalah derajat konsolidasi (%);
á adalah sebuah faktor;
Äp adalah kenaikan tegangan vertikal di dalam lapisan tanah.
Nilai dari Äp dapat diambil kira-kira sama dengan beban timbunan. Untuk
lempung yang terkonsolidasi normal, faktor á berkisar antara 0.2 - 0.4.
Kenaikan kuat geser penuh hanya akan terjadi tepat di bawah areal timbunan
paling tinggi dan menurun ke arah kaki. Perkiraan yang ditunjukkan pada
Gambar 3-8 cukup memadai untuk keperluan analisis stabilitas.
27
h)( v,
2
(v.h)
c
.HT
t = ( 4-1)
dengan:
t adalah waktu konsolidasi;
T(v,h) adalah faktor waktu;
H adalah panjang lintasan drainase;
C(v,h) adalah koefisien konsolidasi .
Untuk lapisan tanah lunak yang lebih dalam, keberadaan dari penyalir vertikal
akan mengurangi jalur drainasenya, dan oleh karenanya akan mempercepat
proses konsolidasi.
Jika diperlukan, perbaikan tanah dengan penyalir vertikal ini dapat
dikombinasikan dengan solusi lain seperti ditunjukkan pada grafik proses
pengambilan keputusan pada Gambar 4-1.
28
Dapatkah timbunan
sampai ketinggian
penuh dibangun
dalam satu tahap?
Apakah tersedia
waktu yang cukup
dalam kontrak untuk
memberi kesempatan
dicapainya penurunan
yang diinginkan ?
MASUKKAN
KONSTRUKSI
BERTAHAP
TIDAK DIPERLUKAN
TINDAK LANJUT
MASUKKAN
PENAMBAHAN
BEBAN
TIDAK
YA
YA
TIDAK
MASUKKAN PVD
TIDAK
ATAU
Apakah tersedia
waktu yang cukup
dalam kontrak untuk
memberi kesempatan
dicapainya penurunan
yang diinginkan ?
YA
MASUKKAN PVD &
PENAMBAHAN
BEBAN
TIDAK
Gambar 4-1 Bagan Alir Pengambilan Keputusan untuk Metode Penyalir Vertikal
29
4.2.2 Metode dan Prosedur
Tipe-tipe Penyalir Vertikal
Penyalir pasir vertical dengan cara desakan penumbukan (driven displacement
sand drains) merupakan cara sederhana dan digunakan secara luas karena
biayanya murah. Tetapi, cara pemasangan ini dapat mengganggu dan merusak
struktur tanah yang akibatnya dapat mengurangi kuat geser tanah, dan juga
menimbulkan kerusakan pada lintasan drainase horisontal alami.
Penyalir pasir semprotan air tanpa desakan (non-displacement jetted sand
drains) dapat memperkecil gangguan di sekitar tanah. Tapi metode ini
memakan waktu dalam pemasangannya dan akan menemui kesulitan apabila
harus menembus lempung keras atau lapisan berbutir kasar.
Penyalir pasir vertikal dengan pemboran mengganti (bored replacement type
sand drains) dipasang dengan pemboran sebelumnya memakai auger melayang
menerus (continuous flight augers) atau auger yang dipasang pada batang kelly
teleskopik (telescopic kelly bars) dan kemudian lubang bor diisi dengan pasir.
Gangguan yang timbul pada pengisian pasir dengan cara ini umumnya kecil
tetapi pembuangan tanah sisa pemboran dengan volume yang besar sering
menjadi permasalahan.
Diameter dari lubang berkisar dari 20 hingga 40 cm dan spasinya berkisar
antara 1.5 hingga 3m.
Material yang digunakan untuk penyalir pasir (sand drain) harus didesain
sehingga a) mempunyai kemampuan penyaringan sehingga setiap lanau atau
pasir halus di dalam tanah tidak akan menyumbat aliran, dan b) cukup
permeabel untuk memberikan kapasitas drainase yang disyaratkan. Gradasi
pasir harus dipilih sesuai untuk keperluan penyaringan dan diameter penyalir
harus ditentukan untuk menghasilkan kapasitas drainase yang diperlukan. Oleh
karenanya desainnya akan spesifik untuk setiap lokasi, dan spesifikasi umum
untuk gradasi pasir tidak dapat diberikan dalam Panduan ini.
Penyalir pasir pra-fabrikasi (prefabricated sand drains) termasuk ‘sumbu pasir
(sand wicks)' yang dibuat dengan mengisikan ke dalam kaus dari material filter
yang biasanya berdiameter kecil. Sumbu pasir ini biasanya dimasukkan ke
dalam lubang bor yang dibuat sebelumnya di dalam tanah.
Penyalir vertikal pra-fabrikasi (Prefabricated vertical drains, PVD) umumnya
berbentuk pita (band-shaped) dengan sebuah inti plastik beralur yang dibungkus
dengan selubung filter yang terbuat dari kertas atau susunan plastik tak
teranyam (non woven plastic fabric) . Biasanya memiliki lebar sekitar 10 cm dan
tebal 0.4 cm. Jika menggunakan tipe penyalir ini, maka karakteristik
hidroliknya harus diperhatikan dengan seksama, misalnya mengenai kapasitas
pengeluaran air (well discharge capacity) dan permeabilitas dari
filter/saringannya, karakteristik mekanik seperti kuat tarik dari inti dan filternya
(tensile strength of core and filter) dan kuat tekuk (buckling strength) serta
30
ketahanannya terhadap degradasi fisik dan biokimia dalam berbagai kondisi
cuaca dan lingkungan yang tidak ramah.
Perkembangan terakhir menggunakan penyalir dari serat alami (natural fibre
drains), terdiri atas sebuah inti gulungan (coir core) dan bagian luar dari goni.
Penggunaan material alami akan menghasilkan sebuah produk yang lebih
murah, dan paling tidak untuk pemasangan penyalir yang dangkal, sistem
penyalir tersebut akan menunjukkan hasil yang sama dengan jika menggunakan
material penyalir dari bahan sintetis.
Penyalir pra-fabrikasi biasanya dipasang sampai kedalaman hingga 24m dengan
menggunakan rig penetrasi statis. Untuk yang lebih dalam, dibutuhkan rig yang
lebih besar, lantai kerja yang lebih kuat/luas dan penggunaan vibrator ujung
(top vibrator) untuk mempermudah proses penetrasi. Kedalaman maksimum
pemasangan yang pernah dilakukan di Indonesia berdasarkan pengalaman
sampai saat ini telah mencapai 45m (Nicholls & Barry, 1983).
Keuntungan dengan penggunaan sistem penyalir tersebut terutama adalah
prosedur pemasangannya yang sederhana, murah dan kecepatan pemasangan
yang tinggi.
4.2.3 Prosedur Instalasi
Karena sistem penyalir pasir tidak lagi digunakan di Indonesia maka
belakangan ini tak ada lagi pengalaman mengenai penggunaanya, dan tak ada
panduan mengenai prosedur pemasangannya yang cocok yang dapat
dikemukakan. Bila sistem penyalir pasir akan diterapkan, maka pengawasan
lapangan harus dilakukan dengan tingkat teknis yang tinggi untuk menjamin
bahwa prosedur yang semestinya telah dijalankan.
Sistem penyalir dengan PVD harus dipasang dengan mandrel yang ujungnya
tertutup (closed-end mandrel) yang dimasukkan ke dalam tanah baik dengan
penetrasi statis maupun pemancangan dengan vibrator. Tingkat kerusakan atau
gangguan pada tanah yang ditimbulkannya bergantung pada bentuk dan ukuran
dari mandrel dan sepatu yang dapat dilepaskan (detachable shoe) pada dasar
mandrel, yang digunakan untuk mengangkut material ini ke dalam tanah.
Gangguan yang timbul apabila digunakan sistem penyalir PVD akan lebih kecil
dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh penyalir pasir konvensional
dengan pendesakan.
Untuk proyek kecil, dapat digunakan satu rig yang dapat mencapai kecepatan
pemasangan hingga 300 m
2
per hari
2
. Di Pelabuhan Laut Belawan, dimana
penyalir tersebut dipasang sampai kedalaman antara 20 dan 45m, pemasangan
dapat mencapai hasil rata-rata 2300m penyalir PVD per rig per 10 jam per hari
2
Dalam Proyek IGMC 2 pada uji coba timbunan di Kaliwungu, pemasangan PVD
sampai kedalaman 20m dengan spasi 1.2m telah dipasang dengan satu dengan
kecepatan 300m
2
per hari.
31
(Nicholls, Barry & Shoji, 1984). Mesin yang dapat memasang drainase ini
hingga kedalaman 60 m dengan kecepatan 1 m/detik sekarang telah tersedia di
beberapa negara (Choa, 1985).
4.2.4 Selimut Pasir
Selimut pasir harus dipasang pada lapisan pertama dari timbunan untuk
memberi jalan kepada air yang keluar dari penyalir. Syarat-syarat dari selimut
pasir ini adalah:
1) Penempatan: harus dipasang pada elevasi yang secara praktis serendah
mungkin untuk memperkecil tekanan balik pada penyalir.
2) Ketebalan: harus cukup untuk memberikan suatu lapisan yang memadai
(reliable interface) antara selimut pasir dengan penyalirnya, yang dalam
hal ini akan bergantung pada metode pemasangan sebagaimana akan
dibahas berikut ini. Tebal minimum 30cm harus dipakai.
3) Kemiringan melintang (crossfall): Lapisan pasir harus mempunyai
kemiringan melintang awal dari tengah ke pinggir timbunan untuk
memberikan drainase positif; kemiringan melintang awal ini dapat juga
dinaikkan untuk konpensasi terjadinya beda penurunan yang terjadi antara
tengah dan pinggir.
Walaupun demikian, meninggikan selimut di bagian tengah supaya lebih
miring akan menambah kerumitan pelaksanaan. Oleh karena itu pemberian
kemiringan tidak disarankan.
4) Gradasi (grading): untuk dapat berfungsi sebagai filter yang memadai
sebagaimana dijelaskan berikut, selimut pasir perlu didesain untuk
mendapatkan permeabilitas yang diinginkan yang harus dihitung sebagai
berikut:
· putuskan kapan selama proses konsolidasi selimut pasir harus mampu
mengalirkan air (discharge). Waktu untuk 5% konsolidasi akan cukup
memadai. Ini berarti sebelum sampai pada waktu/saat tersebut, selimut
akan dipenuhi air dan efisiensi pengaliran air menjadi kurang dari
100%,
· hitung kecepatan pengaliran air tersebut pada waktu konsolidasi 5%
atau tingkat konsolidasi lain yang dipilih,
· dengan menggunakan Hukum Darcy’s, hitung aliran horisontal air pada
selimut dengan menggunakan separuh lebar dan tebal selimut untuk
mendapatkan permeabilitas yang diinginkan,
· pilih gradasi material untuk memberikan permeabilitas yang
diperlukan. Panduan untuk itu dapat diperoleh dari Gambar 4-2 dan
Gambar 4-3.
32
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0.01 0.1 1 10 100
1 0.5 x 10^-4
2 6.6 x 10^-4
3 2.7 x 10^-2
4 2.9 x 10^-1
5 3.7 x 10^-1
6 0.5 x 10^-4
7 4.1 x 10^-4
8 1.1 x 10^-3
9 3.6 x 10^-3
10 9.2 x 10^-3
11 1.1 x 10^-2
Contoh Selimut Pasir
Permeabilitas m/detik
Gambar 4-2 Hubungan dari Ukuran Butir dengan Permeabilitas pada Pasir (GCO, 1982)
Pengaruh dari Kehalusan pada Permeabilitas
1.00E-11
1.00E-10
1.00E-09
1.00E-08
1.00E-07
1.00E-06
1.00E-05
0 5 10 15 20 25 30
Persentase dari berat lolos saringan 75 mikron
Koefisien Permeabilitas, k (m/det)
Lanau Berbutir Kasar
Lanau
Lempung
Catatan Kasus
Sebuah oprit jembatan di atas lempung lunak yang dalam, disyaratkan untuk ditimbun
setelah
penyalir vertikal dipasang dengan menggunakan metode konstruksi bertahap selama
masa 15 bulan.
Kontraktor memasang penyalir tersebut tanpa menyerahkan metode pelaksanaan yang
menjelaskan
bagaimana cara memasangnya penyalir. Kontraktor tersebut tidak menghampar selimut
pasir
sebelum memasang penyalirnya.
Sebagai akibat dari sejumlah faktor luar, Kontraktor tersebut tidak melanjutkan tahap
penimbunan
berikutnya. Lokasi tersebut dibiarkan terbuka begitu saja selama enam bulan. Setelah
enam bulan,
penyalir yang terbuka tersebut telah mengalami dekomposisi seluruhnya akibat sinar ultra
violet dari
matahari. Lanau yang berasal dari kegiatan di sekitar areal tersebut telah
mengkontaminasi material
drainase tersebut. Pebaikan menyeluruh dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa penyalir
tersebut
akan dapat berfungsi dengan baik bila penimbunan akan dimulai kembali. Akibat lebih
jauh adalah
tertundanya kegiatan penimbunan selanjutnya.
35
4.2.6 Contoh Penggunaan
Pada tahun 1970-an, pembangunan jalan untuk Pelabuhan Belawan di Sumatra
Utara menggunakan penyalir tiang pasir yang dilaporkan berhasil dengan baik.
Pada tahun 1979 pengembangan dari Pelabuhan menggunakan penyalir vertikal
pra-fabrikasi untuk mempercepat penurunan areal yang di-reklamasi. Penyalir
dipasang pada lapisan lempung lunak Holosen bagian atas dan juga pada lapisan
lebih keras di atas lapisan lempung pada kedalaman 45m (Nicholls, Barry &
Shoji, 1984).
Di Semarang, Jalan Lingkar Utara (JLUS) Tahap 2 Seksi 1 menggunakan
penyalir vertikal dengan matras bambu untuk timbunan dengan ketinggian 2
hingga 3m di atas lempung pantai yang sangat lunak. Penyalir vertikal juga
telah digunakan untuk reklamasi Pelabuhan Semarang (Rahardjo dkk, 2000).
Tri Indijono (1999) melaporkan uji-coba timbunan dengan menggunakan
penyalir vertikal di Surabaya.
4.3 TIANG
4.3.1 Teknik
Tiang berfungsi untuk memindahkan beban timbunan ke lapisan yang lebih
keras di bawah lapisan lunak (tiang tahanan ujung) atau berfungsi untuk
mendistribusikan beban melalui kedalaman lapisan dengan memanfaatkan
lekatan antara tanah dan permukaan tiang (tiang lekat). Tiang akan dapat
mengurangi penurunan dan meningkatkan stabilitas timbunan.
Tiga pendekatan dasar diterapkan dalam penggunaan tiang ini:
· Memikul Seluruhnya: tiang memikul seluruh beban timbunan sampai ke
lapisan keras, sehingga mengurangi penurunan menjadi sangat kecil,
· Memikul Sebagian: tiang tidak didesain untuk memikul seluruh beban dari
timbunan, penurunan dikurangi tetapi tidak dihilangkan,
· Memikul Setempat: tiang didesain untuk memikul hanya sebagian dari
timbunan, biasanya pada areal pinggir timbunan dengan maksud untuk
meningkatkan stabilitasnya .
Contoh dari ketiga pendekatan tersebut, ditunjukkan pada Gambar 4-5.
36
tanah
lunak
a) Memikul Keseluruhan
b) Memikul Sebagian
tanah
lunak
tanah
keras
tanah
keras
tanah
lunak
c) Memikul Setempat
tanah
keras
38
39
menunjukkan bahwa sistem ini sangat mahal dan hanya memberiikan sedikit
pengaruh terhadap pengurangan penurunan.
Juga pengangkutan tiang beton yang besar akan memerlukan alat berat yang
akan tidak praktis untuk diterapkan pada lapisan tanah dasar yang sangat lunak.
Lantai kerja harus didesain dengan semestinya serta harus diperhitungkan dalam
desain akhir.
4.3.5 Contoh Penggunaan
Tipe konstruksi lantai tiang telah dibangun pada Seksi III dari Jalan Lingkar
Utara Semarang dan Jalan Tol Surabaya –Gresik. Uji-coba telah dilakukan oleh
Pusat Litbang Prasarana Transportasi pada areal gambut yang dalam di
Berengbengkel, Kalimantan dengan menggunakan tiang mikro dengan matras
beton.
Solusi dengan tiang yang sering digunakan adalah dengan menggunakan
matras, dan contoh lebih lanjut diberikan dalam Bab 4.4.
4.4 MATRAS
4.4.1 Teknik
Jika lapisan bagian atas dari tanah lunak tersebut sangat lunak (tak ada lapisan
kerak), matras dapat digunakan untuk mendukung lalu lintas peralatan selama
pelaksanaan. Matras juga akan mencegah tenggelamnya material timbunan ke
dalam lapisan tanah sangat lunak dan dapat mengurangi beda penurunan yang
terjadi pada timbunan.
Matras yang diperkuat dengan geotekstil , geogrid atau yang dibuat sebagai
geosel akan memberikan dukungan untuk menstabilkan timbunan pada tanah
lunak.
Matras dapat juga digunakan untuk mengganti atau mengurangi ukuran kepala
tiang pada konstruksi.
Matras dapat dibuat dari korduroi kayu , bambu gelondongan atau lembaran
(fascine) , ataupun geosintetis (geotekstil, geogrid, geosel) dengan batu pecah
yang memiliki kualitas yang baik.
3
Uji timbunan di Berengbenkel, Kalimantan Tengah, lihat laporan pada CD Panduan
Teknik
Tanggungjawab untuk menyediakan jalan masuk atau jalan kerja umumnya terletak pada
Kontraktor.
Meskipun demikian, untuk timbunan jalan pada tanah lunak, Ahli Geoteknik yang
Ditunjuk harus
memastikan bahwa pekerjaan sementara tidak akan mempengaruhi pekerjaan permanen,
karenanya
jalan masuk/jalan kerja harus didesain dengan baik.
Harus diperhatikan bahwa bila Kontraktor menimbun lapis pertama timbunan dengan
cara
menumpahkan (end tip) material di atas lapisan tanah yang sangat lunak, cara ini akan
menimbulkan
gelombang lumpur yang serius yang akan menyebabkan terjadinya beda penurunan
jangka panjang
yang cukup besar.
41
4.4.2 Contoh Penggunaan
Matras yang diperkuat dengan geogrid diatas tiang kayu telah digunakan untuk
mendukung timbunan tinggi satu meter pada gambut dengan kedalaman delapan
meter di Sumatra Timur seperti ditunjukkan pada Gambar 4-8.
Lebar jalan 5m
Lapisan Geogrid
Lapisan Geogrid
Jarak
100mm
Pembatas 450
atau 550mm
pada puncak
Tiang kayu dia 150mm dengan
jarak c/c 1m dipancang sampai
5m di bawah dasar lapisan
gambut
45
Profil Geologi
yang
Disederhanakan
Unit Tanah
(Penilaian Awal)
Sifat-sifat Teknik Unit
Tanah
Nama Unit Tanah
0 – 2.0
LEMPUNG coklat,
lapuk, kenyal.
1 Kerak
2.0 – 5.0
LEMPUNG
Kelanauan Sangat
Lunak
2 Lempung Holosen
Atas
0 – 8.5
LEMPUNG Lunak
Abu-abu Tua
dengan Sisa-sisa
Kerang
LEMPUNG Lunak
5.0 –
LEMPUNG
Kelanauan Lunak
3
4
Lempung Holosen
Bawah
8.5 – 9.3
PASIR Kelanauan
Pasir Bervariasi dari
8.1 – 9.50
PASIR Halus
Kelanauan
4 PasirAntara
9.3 – 14.0
LEMPUNG
Kelanauan Abuabu dan Bintik
Coklat Kenyal
Bervariasi dari
9.5 – 17.0
LEMPUNG
Kelanauan Kenyal
5 Lempung Tua Atas
14.0- 20.0
LEMPUNG
Kelanauan abuabu tua kenyal
kadang-kadang
terdapat laminasi
Lanau kepasiran
halus
LEMPUNG
Kenyal
17.0 – 20.0
LEMPUNG
Kelanauan Sangat
Kenyal
6 Lempung Tua Bawah
Gambar 5-1 Contoh Prosedur untuk Menetapkan UnitTanah
5.2 ZONASI LOKASI
Proyek harus sudah harus dibagi menjadi zona-zona sebelum dilakukan
penyelidikan lapangan sebagaimana dijelaskan pada Panduan Geoteknik 2.
Zona-zona ini mengidentifikasi variasi kondisi tanah dan bangunan yang akan
dibangun di atasnya.
Setelah tahapan penyelidikan lapangan selesai, sebelum memulai desain
lengkap, Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus mengkaji kembali zona yang
telah ditetapkan sebelumnya:
46
· jika Unit Tanah berbeda dengan unit yang diasumsikan pada saat desain
penyelidikan lapangan, maka zona tersebut perlu diubah,
· periksa apakah Ringkasan Proyek (Project Brief) tidak berubah dengan
Ringkasan yang digunakan dalam penyelidikan lapangan. Jika telah
berubah, harus dicatat di dalam Laporan Desain dan kemudian bila perlu
zona tersebut dimodifikasi,
· jika lokasi bangunan, atau tipe bangunanya, ataupun alinyemen vertikal
dan horisontalnya berubah, maka zona tersebut harus di kaji ulang dan
dibuat zona yang baru.
Ceklis kegiatan Zonasi dari lokasi dapat dilihat pada Ceklis 9 dalam Lampiran A.
5.3 PEMILIHAN PARAMETER GEOTEKNIK
5.3.1 Pendahuluan
Sebelum menetapkan parameter dari data lapangan dan laboratorium, perlu
dilakukan penilaian terhadap kualitas informasi tersebut, menolak data yang
salah dan menyesatkan, menggunakan data yang diragukan dengan hati-hati,
dan memakai informasi yang lebih bisa diandalkan.
Kualitas dari informasi dapat dinilai dalam dua tahapan :
1) Apakah data tersebut berada pada kisaran normal untuk jenis tanah
tersebut?
2) Apakah data tersebut memiliki korelasi dengan data lain pada lokasi
tersebut, dan sesuai dengan kisaran yang umumnya dapat diterima?
Dua penilaian ini akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Begitu penilaian
dilakukan, kemudian hasil pengujian tersebut dapat dinilai berdasarkan tingkat
keandalannya, seperti dijelaskan pada Bab 5.3.4.
5.3.2 Kisaran Nilai yang Dapat Diterima
Kisaran nilai yang dapat diterima untuk sifat umum hasil penyelidikan
lapangan diberikan pada Tabel 5-1. Kisaran untuk lempung meliputi kuat geser
dari tanah Sangat Lunak, Lunak dan Sedang pada sistem klasifikasi Unified,
sebagaimana dijelaskan pada Panduan Geoteknik 1.
47
Tabel 5-1 Nilai Kisaran yang Realistis dari Tanah Lunak
Parameter
Tanah
Lempung Lempung Organik Gambut Berserat
Kadar Air, w % 20 hingga 150 100 - 500 100 - 4000
Berat Isi Total,
ãb
(kN/m3
) 14 hingga 17 12 - 15 10 - 12
Kadar Organik % <25 25 - 75 >75
Kohesi Tak
Terdrainase,CU
KPa 5 - 50 5 - 50 10 - 50
Batas Cair,LL % 60 - 120 - -
Indeks Plastis,PI % 40 - 80 - -
c’ KPa 0 0 0
j’ 21 - 27 25 - 35 30 - 40
Cc - - 1 - 20
Cc/(1+ Co) 0.1 - 0.3 0.3 - 1.0 -
cv
m2
/th 1 - 10 5 - 50 10 - 100
Cá cm/det (0.03 - 0.05)Cc (0.04 - 0.06)Cc 1 - 4
k cm/det 10
-6
- 10
-9
100 - 10
-12
100 - 10
-12
BH
Contoh
Tanah
Kualitas dari
Inspeksi
Regangan
Konsolidasi
Regangan
UU
Kualitas
Akhir
11ABBB
2ABCC
3BCCC
5.3.5 Pemilihan Parameter Desain
Parameter tanah untuk desain harus ditentukan untuk setiap Unit Tanah yang
diidentifikasi, sebagaimana dijelaskan pada Bab 5.1.
48
Umumnya parameter yang dibutuhkan untuk desain adalah seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 5-3.
Tabel 5-3 Parameter Desain yang Dibutuhkan
Parameter Disain
Stabilitas
Timbunan
Penurunan
Timbunan
Penggantian
Berem Prati
Bobot
Penambahan
Beban
Konstruksi
Bertahap
Timbunan yang
DIperkuat
Matras Bertiang
Penyalir Vertikal
Berat Isi Total gb
kN/m3
PPPPPPPPP
Kuat Geser Tak
Terdrainase
cu kN/m2
P PPPPPPP
Kompresibilitas Cc
/(1+e0
) P PP P
Koefisien
Konsolidasi
Sekunder
Ca P P P P
Koefisien
Konsolidasi:
Vertikal
Horisontal
Cv
Ch
m2
/th
P
Interpretasi Data
Prosedur umum untuk interpretasi data adalah dengan membuat korelasi
kumpulan data yang terbatas tersebut dengan data lainnya yang lebih
komprehensif. Oleh karenanya sebagai contoh, pengujian indeks harus
dilakukan dengan interval kedalaman yang rapat untuk setiap lubang bor.
Kemudian sifat-sifat yang dibutuhkan seperti kuat geser dapat dikorelasikan
dengan nilai-nilai indeks, sehingga sebuah profil kuat geser yang lebih lengkap
dapat diperoleh.
Bila terlihat perbedaan yang cukup besar dari sifat-sifat tanah, maka ini harus
digunakan untuk mengidentifikasi Unit Tanah yang berbeda.
Pada akhirnya, semua parameter desain dipilih dengan mengambil nilai
konservatif yang rendah dengan tidak mengikutkan nilai-nilai yang ekstrim.
Sebuah contoh diberikan pada Gambar 5-2 dimana indeks cair memberikan
profil rinci, yang melaluinya unit tanah dianalisis setelah memeriksa tidak ada
data yang bertentangan. Kemudian dipilih kuat geser tak terdrainase untuk
desain, dan nilai kuat geser yang sangat rendah pada kedalaman 5m di tolak.
49
0
5
10
15
0.5 1.0 1.5
Indeks
Cair
Kedalaman (m)
0 20 40
Nilai
Desain
1 Permukaan
2 Lempung
Sangat Lunak
3 Lempung
Lunak
4 Lempung keras
Unit Tanah
Kuat Geser
Tak Terdrainase
RN/m2
kPa 0-5m
5-10m
10-20m
10
15
35
10
15
35
c’ kPa 0 0
j’ 23 23 35
Cc 5
Cc/(1+ e0) 0.3 0.5
cv
ch
m2
/thn
m2
/thn
2
4
2
4
Cá 0.04 0.05 2
Untuk proyek besar, lakukan analisis sensitivitas (tingkat keaktifan) dengan
menggunakan nilai parameter minimun yang didapat dari interpretasi data dan
satu set data kedua di dekat nilai batas atas. Jika dari hasil perbandingan
menghasilkan sebuah perbedaan pembiayaan yang besar terhadap kegiatan
geoteknik, maka hal ini dapat dipakai menjadi alasan untuk melakukan
penyelidikan tambahan untuk mendapatkan parameter yang lebih tepat.
50
5.4 PARAMETER MATERIAL TIMBUNAN
Parameter material timbunan harus ditentukan sebagai berikut:
1) Jika kuari yang ditentukan telah diidentifikasi dan uji-uji telah dilakukan,
maka parameter desain dapat ditentukan dari data tersebut. Kuari tersebut
harus dinyatakan di dalam Laporan Desain.
2) Bila pengalaman lokal mengenai sifat dari material timbunan telah tersedia,
maka nilai tersebut dapat digunakan dan sumbernya harus dinyatakan di
dalam Laporan Desain.
3) Bila kuari belum diidentifikasi dan data dari pengalaman lokal tidak ada,
maka nilai-nilai pada Tabel 5-5 dapat digunakan.
Tabel 5-5 Parameter Desain untuk Material Timbunan
Parameter Areal Geografis
AB
Berat Isi g kN/m3
18 20
Kuat geser tak
terdrainase
Cu kN/m2
100 100
Parameter
tegangan efektif
Kohesi C’ 10 5
Friksi f’ 35 30
A Jawa bagian Utara (batuan vulkanik)
B Sumatra bagian Timur, Kalimantan, Kepulauan Indonesia Timur (batuan sedimen dan
malihan)
5.5 PEMBEBANAN DAN KRITERIA DESAIN
5.5.1 Beban Lalu Lintas
Beban lalu lintas harus ditambahkan ketika melakukan analisis stabilitas,
dengan menggunakan angka yang ditunjukkan pada Tabel 5-6
4
.
4
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memeriksa dengan Ketua Tim bahwa Sistem
Klasifikasi Kelas Jalan yang digunakan pada proyek tersebut konsisten dengan
Klasifikasi Kelas Jalan ini .
51
Tabel 5-6 Beban Lalu Lintas untuk Analisis Stabilitas
Kelas Jalan Beban Lalu Lintas
(kPa)
I 15
II 12
III 12
Beban lalu lintas tersebut harus diperhitungkan pada seluruh lebar permukaan
timbunan.
Tabel 5-6 diambil dari Panduan Gambut Pusat Litbang Prasarana Transportasi,
yang dimodifikasi sesuai klasifikasi kelas jalan. Jika Ahli Geoteknik yang
Ditunjuk mendapatkan Standar Indonesia yang mensyaratkan pembebanan yang
berbeda, maka standar tersebut harus digunakan dan dicatat.
Beban lalu lintas tidak perlu dimasukkan dalam analisis penurunan pada tanah
lempung. Untuk gambut berserat pembebanan pada Tabel 5-6 harus
ditambahkan, dan diperhitungkan pada seluruh lebar permukaan timbunan.
5.5.2 Faktor Keamanan
Faktor keamanan harus dimasukkan dalam analisis stabilitas timbunan untuk
mengurangi resiko keruntuhan sampai pada tingkatan yang dapat diterima.
Waktu kritis stabilitas timbunan pada tanah lunak adalah selama dan segera
setelah selesai pelaksanaan, karena proses konsolidasi tanah lunak di bawah
timbunan menyebabkan kuat geser dari lapisan tanah lunak akan meningkat.
Oleh karenanya, diperlukan faktor keamanan kondisi jangka pendek
berdasarkan parameter kuat geser tak terdrainase.
Faktor keamanan yang dipakai harus memperhitungkan tiga unsur berikut:
1) derajat ketidakpastian berkaitan dengan kondisi tanah.
Biasanya untuk menghilangkan unsur ketidakpastian ini adalah
dengan memilih nilai desain parameter yang konservatif, dan
pendekatan ini disarankan seperti dijelaskan pada Bab 5.3.5,
2) penggunaan faktor keamanan untuk membatasi tegangan yang terjadi
pada tanah pada tingkatan tertentu di bawah tegangan maksimumnya,
dan untuk membatasi regangan pada tingkatan yang dapat diterima,
seperti ditunjukkan pada Gambar 5-3,
52
5
Nilai ini berbeda dengan nilai yang terdapat pada Panduan Gambut Pusat Litbang
Prasarana Transportasi.
53
Kelas Jalan Faktor Keamanan
I 1.4
II 1.4
III 1.3
Faktor-faktor keamanan ini telah memperhitungkan hal-hal berikut:
a) investigasi untuk jalan Kelas I dan Kelas II harus menghasilkan data
dengan kualitas lebih baik, dan oleh karenanya nilai parameter data yang
tidak terlalu konservatif dapat ditentukan,
b) biaya yang harus dikeluarkan akibat kerusakan yang timbul akan lebih
kecil untuk kelas jalan yang lebih rendah.
Bila metode berem pratibobot digunakan, faktor keamanan dari berem dapat
dikurangi menjadi 1.2, kecuali bila ada struktur, bangunan atau utilitas lain di
dekatnya.
5.5.3 Kriteria Deformasi
Penurunan
Penurunan timbunan harus dibatasi berdasarkan Tabel 5-8
6
. Penurunan yang
terjadi selama pelaksanaan adalah penurunan yang terjadi sebelum perkerasan
jalan dilaksanakan.
Tabel 5-8 Batas-batas Penurunan untuk Timbunan pada Umumnya (dari Panduan
Gambut Pusat
Litbang Prasarana Transportasi)
Kelas Jalan Penurunan yang
Disyaratkan selama Masa
Konstruksi
s/stot
Kecepatan Penurunan
setelah Konsolidasi
mm/tahun
I >90% <20
II >85% <25
III >80% <30
IV >75% <30
s jumlah penurunan selama masa pelaksanaan
stot
penurunan total yang diperkirakan
Pergerakan Lateral
Faktor keamanan minimum sesuai dengan Tabel 5-7, pergerakan lateral masih
menimbulkan masalah terhadap struktur dan utilitas di dekatnya, bila timbunan
dekat jembatan atau struktur harus dipertimbangkan, jaraknya kurang dari 2 kali
kedalaman tanah lunak, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5-4.
6
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memeriksa dengan Ketua Tim bahwa Sistem
Klasifikasi Kelas Jalan yang digunakan pada proyek tersebut konsisten dengan
Klasifikasi Kelas Jalan ini
54
H
2H
Material Timbunan
Tanah Lunak
Batas Struktur
Batas Zona Pengaruh
7
Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Jembatan Jalan Raya: Desain Stabilitas Tahan
Gempa untuk Jembatan Jalan Utama.
56
Karena faktor keamanan minimum dari timbunan terhadap beban statis terjadi
selama pelaksanaan akan meningkat (secara skematis seperti terlihat pada
Gambar 5-6), maka akan sangat tidak beralasan untuk menambahkan kondisi
beban gempa secara penuh pada proses analisis desain.
Masa
Konstruksi
Beban gempa
Waktu
Periode
resikogempa
Faktor Keamanan
Fmin
57
6 Solusi Desain dan Analisis
6.1 PENDAHULUAN
Suatu desain geoteknik harus mempertimbangkan syarat -syarat berikut:
· stabilitas timbunan selama waktu pelaksanaan,
· stabilitas timbunan jangka panjang,
· besar dan kecepatan penurunan setelah pelaksanaan selesai .
Panduan Geoteknik ini membahas mengenai persyaratan khusus desain untuk
tanah lunak. Panduan ini tidak dimaksudkan untuk mengganti buku-buku
pelajaran yang sudah ada.
Analisis stabilitas dan penurunan pada berbagai kondisi yang umumnya terjadi,
bisa diperoleh dari buku-buku pelajaran yang umum digunakan di Indonesia,
seperti :
Bowles J E, Teknik Fondasi dan Desain (Foundation Engineering and Design),
McGraw Hill, 1996.,
Holtz R D & Kovacs W D, Pengantar Rekayasa Geoteknik (An Introduction to
Geotechnical Engineering), Prentice Hall Inc, New Jersey, 1981.,
Lambe T W & Whitman R V, Mekanika Tanah (Soil Mechanics) , SI Version,
Wiley, 1979.,
Smith G N, Dasar-dasar Mekanika Tanah untuk Ahli Teknik Sipil dan
Pertambangan (Elements of Soil Mechanics for Civil and Mining Engineers) ,
Granada, 1982.,
Suryolelono K Basah, Geosintetik Geoteknik, NAFIRI, Yogyakarta (ISBN 979-
8611-22-5), 2000.,
Terzaghi K, Peck R B & Mesri G, Mekanika Tanah dalam Praktek Rekayasa
(Soil Mechanics in Engineering Practice) , 3
rd
ed, Wiley, 1996.,
Tomlinson M J, Desain Fondasi dan Konstruksi (Foundation Design and
Construction), Pitman, 1975.
58
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus paham dengan metode desain dasar ini,
dan bila menjumpai keraguan supaya mempelajari salah satu dari buku-buku
tersebut.
6.2 STABILITAS TIMBUNAN
Sebagai penilaian awal stabilitas timbunan dapat dihitung sebagai berikut:
1) hitung kuat geser tak terdrainase rata-rata sampai kedalaman lima
meter (cu(0-5)kN/m
2
) atau setebal lapisan lempung lunak bila kurang
dari lima meter ,
2) ambil berat isi (ãb) tertinggi material timbunan (kN/m
3
),
3) tinggi timbunan maksimum yang aman tanpa perbaikan tanah dapat
ditentukan dengan:
Hc
= 4 x cu[0-5]
/ ãb
(6.1)
Analisis sederhana ini tidak memperhitungkan kontribusi kuat geser dari
timbunan.
Bila data yang mencukupi sudah tersedia, maka analisis stabitas harus dilakukan
dengan menggunakan metode Bishop, atau metode Janbu ataupun metode lain
yang lebih tepat. Jika tak ada program komputer yang tersedia untuk analisis
ini, maka perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan spreadsheet.
Analisis stabilitas yang dinyatakan di atas dapat digunakan pada tanah organik,
inorganik dan gambut amorfos.
Elevasi air di sekitar timbunan mempunyai efek yang cukup besar pada
perhitungan stabilitas, oleh karenanya hal-hal berikut in harus diperhitungkan:
1) pada areal yang lahannya sering terendam banjir atau digunakan,
misalnya untuk lahan perikanan atau irigasi, kondisi terburuk adalah
ketika lokasi tersebut dikeringkan. Pada areal pasang surut, kondisi
terburuk yang terjadi adalah ketika sedang surut pada level terendah.
2) Jika elevasi muka air terendah diperhitungkan dalam desain, maka
zona material timbunan di antara elevasi muka air terendah dan
tertinggi harus diasumsikan sebagai jenuh.
3) Untuk analisis tegangan efektif, kondisi turunnya elevasi muka air
secara cepat harus diperhitungkan.
Pada gambut berserat, stabilitas timbunan tidak menjadi masalah, tetapi
penurunan akan merupakan masalah utama yang menentukan desain timbunan
tersebut.
59
6.3 PENURUNAN PADA TIMBUNAN
Perhitungan penurunan terdiri dari perkiraan total penurunan yang terjadi dan
kecepatan atau waktu untuk mencapai berbagai tingkat penurunan. Analisis
harus dilakukan pada garis tengah dan pinggir dari bagian atas timbunan.
Untuk keperluan desain, penurunan langsung tidak perlu dihitung. Meskipun
demikian, jika diperkirakan penurunan yang terjadi cukup besar, maka harus
diperhitungkan karena hal tersebut akan mempengaruhi jumlah biaya untuk
bahan timbunan.
Estimasi penurunan harus meliputi perhitungan penurunan primer dan sekunder.
Untuk lempung lunak dan lempung organik, perhitungan dengan menggunakan
teori konsolidasi dari Terzaghi sebagaimana berikut, dapat digunakan:
Penurunan primer, lempung terkonsolidasi normal:
o
o
o
c
p
P
PP
e
HC
S
D+
+
= log
1
(6-2)
64
6.7 PENAMBAHAN BEBAN
Prosedur untuk melakukan analisis penambahan beban adalah sebagai berikut:
1) identifikasi metode konstruksi bertahap bila diperlukan seperti
dirumuskan pada Bab 6.8,
2) tentukan tinggi beban tambahan tersebut ,
3) hitung hubungan penurunan– waktu sebagaimana dirumuskan dalam
Bab 6.3,
4) tentukan penurunan pasca konstruksi yang diijinkan sebagaimana
dirumuskan pada Bab 5.5.3,
5) tentukan waktu yang tepat untuk memindahkan beban tambahan
tersebut ,
6) tentukan sisa penurunan yang akan terjadi,
7) jika hasilnya belum memuaskan, ulangi prosedur ini dengan tinggi
beban tambahan yang berbeda atau dengan tahapan konstruksi yang
berbeda ,
8) jika telah didapatkan beban tambahan dan program pelaksanaan yang
memuaskan, periksa stabilitas timbunan dengan variasi tahapan
pelaksanaan sebagaimana dijelaskan pada Bab 6.2.
Contoh diberikan pada Gambar 6.4.
Serat Poliaramid
Serat Poliester
Pita polypro-
69
akibat tersebut. Jika produsen telah memverifikasi efek tersebut dengan
percobaan, maka faktor pembagi tersebut dapat digunakan. Jika tidak, gunakan
faktor permbagi dari Tabel 6-1. Faktor pembagi ini diturunkan dari penilaian
terhadap sejumlah rekomendasi yang diberikan oleh para produsen untuk
berbagai tipe geotekstil, dan berdasarkan standar dan aplikasi sesuai jenis tanah
yang umumnya ditemui di Indonesia.
Penampang Abutmen yang Disyaratkan untuk Membatasi Beban akibat Timbunan (DGH,
1992)
Walaupun desain ini disyaratkan untuk kondisi gempa, tetapi juga cocok digunakan untuk
kondsisi beban statis.
Perlu dicatat bahwa jembatan pada zona gempa di Indonesia, tidak akan dibangun dengan
menggunakan penampang seperti ini, tetapi dibangun dengan menggunakan abutmen
dengan
fondasi tiang vertikal yang mensyaratkan tiang harus dipancang sebelum konstruksi
timbunan.
Pada tanah lunak yang dalam, desain seperti itu akan menimbulkan beban lateral yang
lebih
besar pada tiang.
Titik sambungan, memerlukan perhatian khusus
Kantung penyeimbang untuk
penyesuaian penurunan
Tertahan untuk gerakan
lateral
Pergerakan tanah
Untuk kasus fondasi jelek yang umum
Penahan longsor untuk
gerakan longitudinal
75
DGH (1992) diterapkan, yang tidak akan mengakibatkan terjadinya beban pada
tiang, maka faktor keamanan yang lebih rendah seperti yang direkomendasikan
pada Tabel 5-7 dapat digunakan. Meskipun demikian, hal ini tidak akan
mencukupi bila termasuk beban gempa dan suatu analisis beban gempa harus
dilakukan pada bagian timbunan yang akan mempengaruhi stuktur.
76
8 Pertimbangan untuk Pelebaran Jalan
Bila suatu jalan akan diperlebar untuk menambah lajur atau memperbaiki
alinyemen, pertimbangan stabilitas dan penurunan yang berlaku umum untuk
jalan baru, juga dapat diterapkan. Namun demikian, pada kasus ini, faktor lain
perlu diperhatikan, seperti dijelaskan di bawah ini.
Penyelidikan lapangan harus mengidentifikasi konstrusi jalan yang ada, apakah
ada perbaikan tanah atau pemindahan tanah yang telah dilakukan, dan faktor
lainnya yang spesifik pada waktu pelaksanaannya.
Adalah sangat membantu, bila gambar konstruksi bisa diperoleh, tetapi
penyelidikan lapangan harus didesain untuk memastikannya.
Bila terdapat lapisan tanah lunak di bawah jalan yang ada, maka pelebaran
timbunan baru di dekatnya, akan menyebabkan penurunan lebih lanjut seperti
diperlihatkan pada Gambar 8-1. Besarnya penurunan dapat dihitung dengan
melakukan analisis tegangan elastis untuk menghitung kenaikan tegangan dan
konsolidasi secara teoritis, seperti dijelaskan pada Bab 6.3.
jalan
lama
jalan
baru
0.5p
0.3p
0.1p
p
Pola/lingkaran
tegangan
83
Tabel 9-4 Contoh Mengidentifikasii Biaya dari Dua Pilihan
Jalan Penghubung dari X ke Y
Lokasi Zona A: Timbunan Oprit Jembatan
Pilihan 1 Pilihan 2
Faktor Bobot Biaya Biaya
Biaya Biaya Awal/Modal Tinggi Rp8.5juta/
m lari
Rp10.4juta/m
lari
Biaya Perawatan Rendah 3 2
Waktu Masa Kontrak Konstruksi Tinggi 4 2
Kualitas Kualitas permukaan
perkerasan
Rendah 3 2
Resiko Resiko penundaan konstruksi Rendah 5 1
Resiko kegagalan selama
konstruksi
Menengah 2 1
Resiko kegagalan atau
perawatan yang besar setelah
konstruksi
Rendah 2 2
Dampak
Lingkungan
Penggunaan bahan alami Rendah 3 4
Dampak lalu-lintas akibat
konstruksi
Sangat
rendah
22
Aliran air permukaan dan
polusi air tanah
Sangat
rendah
11
Dampak
Sosial
Kebutuhan Lahan Tinggi 4 1
84
9.6 PENETAPAN PILIHAN TERBAIK
Informasi yang memadai harus sudah tersedia untuk menetapkan pilihan yang
terbaik atau untuk mengidentifikasikan pilihan dengan biaya yang berbedabeda.
Proses pengambilan keputusan bisa diselesaikan dengan menggunakan
pendekatan numerik atau dengan melakukan Analisis Biaya secara subyektif.
Karena adanya kesulitan dalam dengan menetapkan biaya moneter terhadap
berbagai faktor, disarankan bahwa pendekatan subyektif diadopsi secara umum.
Pada kasus seperti Tabel Keputusan pada Tabel 9-4, yang hanya
membandingkan dua pilihan, hanya melihat pada pilihan yang berbobot tinggi.
Pilihan 1 sekitar 10% lebih murah, tetapi memiliki dampak yang tinggi pada
periode konstruksi dan pada kebutuhan lahan. Kecuali jika terdapat keterbatasan
anggaran yang ketat, kemungkinan Pilihan 2 akan disarankan.
Suatu metode semi kuantitatif yang memungkinkan hasil dipresentasikan secara
grafis diperlihatkan pada Gambar 9-2. Angka-angka diperoleh dengan
Menentukan Biaya
Sistem evaluasi dan pembiayaan yang lebih kompleks atau penilaian masing-masing
faktor
dapat dipertimbangkan jika proyek menjamin pekerjaan tambahan ini. Terutama:
Pembiayaan seumur hidup (Whole life costing)
Untuk masing-masing desain, pembiayaan seumur hidup konstruksi
dihitung. Hal ini melibatkan identifikasi biaya perawatan, biaya kegagalan
yang dapat terjadi di masa yang akan datang, termasuk biaya
keterlambatan akibat dari kegagalan tersebut. Maka biaya dihitung dengan
harga pada saat ini.
Sayangnya sangat sedikit petunjuk terhadap perbedaan biaya-biaya yang
akan terjadi selama umur jalan sebagai akibat dari metode konstruksi
yang berbeda. Meskipun suatu estimasi bisa dibuat berkenaan dengan
penurunan kualitas perkerasan dan bahkan kegagalan, konsekuensi
berkenaan dengan biaya tidak bisa secara mudah diestimasi. Oleh karena
itu, model pembiayaan seumur hidup seperti itu tidak pernah
dikembangkan untuk membuat keputusan geoteknik kecuali untuk kasuskasus yang
sangat terbatas.
Penilaian Resiko
Kemungkinan hasil yang beragam dari tiap tipe desain bisa diperkirakan
melalui penilaian resiko. Seperti dalam kasus pembiayaan seumur hidup,
penilaian resiko berkenaan dengan hal geoteknik untuk konstruksi jalan
tidak begitu maju, dibandingkan dengan bidang lain seperti industri tenaga
nuklir, industri kimia, dan perminyakan. Akibatnya, penilaian resiko
membutuhkan masukan subyektif yang cukup besar dari seorang Ahli
geoteknik yang sudah terbiasa dengan tipe proyek dan prosedur-prosedur
resiko.
85
menetapkan suatu skala dari 1 (sangat rendah) sampai 4 (tinggi) untuk uraian
pembobotan dan mengalikan bobot ini dengan biaya.
0 5 10 15 20
Modal Awal
Biaya Pemeliharaan
Masa Kontrak Konstruksi
Mutu Permukaan Perkerasan
Resiko Terlambat dalam Konstruksi
Resiko Kegagalan selama Konstruksi
Resiko Kegagalan atau Pemeliharaan ya..
Penggunaan Material Alami
Dampak Lalulintas selama Konstruksi
Polusi Air Permukaan dan Air Bawah Tanah
Kebutuhan Lahan
Skala (Sembarang)
Pilihan 2
Pilihan 1
Catatan: Nilai Modal Awal telah dibagi dengan 5 untuk menghindari kesan yang
menyesatkan
akibat bobot yang tinggi.
Gambar 9-2 Perbandingan Berbagai Pilihan yang Digambarkan secara Grafis
Moneterisasi Biaya (Monetarisation)
Jika biaya semuanya dinilai dalam uang (Rupiah) maka Biaya Bobot Total dari masing-
masing
pilihan bisa dihitung
Biaya Bobot Total = Ó (Pembobotan * Biaya)
Tetapi akan menyesatkan bila biaya hanya diidentifikasi pada suatu skala nominal seperti
pada Tabel 9-4 karena skala akan memiliki arti yang berbeda untuk masing-masing
faktor, dan
hasilnya tidak bisa secara bersamaan dijumlahkan karena tidak akan memiliki arti.
86
Jika terdapat daerah yang mengandung ketidakpastian dalam proses
pengambilan keputusan Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus
mempertimbangkan untuk melakukan penyelidikan tambahan atau uji coba,
seperti dijelaskan pada Bab 11, untuk menentukan prilaku tanah.
9.7 PELAPORAN PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN
DAN REKOMENDASI
Laporan Desain mengidentifikasi pilihan yang disarankan untuk setiap elemen
proyek, dan menyajikan alasannya dalam format berikut ini:
· solusi yang disarankan dengan Nilai berdasarkan pada Tabel 9-4,
· lampiran yang memperlihatkan semua solusi yang telah dianalisis dengan
nilai seperti yang diperlihatkan pada Tabel 9-4,
· lampiran yang memperlihatkan solusi yang tidak dianalisis seperti yang
ditunjukkan pada 3.
87
10 Laporan Desain
Laporan Desain harus memenuhi tujuan-tujuan berikut:
· berisi gambaran yang jelas mengenai logika rekomendasi yang dibuat dan
data yang digunakan untuk mencapai rekomendasi,
· memberikan suatu acuan untuk keperluan yang akan datang jika desain
perlu diganti atau jika ditemukan masalah selama pelaksanaan,
· memungkinkan acuan selanjutnya untuk interpretasi data oleh ahli lain
pada proyek lain.
Laporan Desain harus berisi informasi seperti tercantum di bawah ini. Jika ada
bagian yang tidak dimasukkan dalam Laporan, maka alasan penghilangannya
harus diberikan.
Sampul
Lihat format di Lampiran E
Laporan harus secara jelas disebutkan statusnya, sebagai
AWAL jika tidak semua isi yang diinginkan dicantumkan
DRAF jika isi laporan lengkap, tetapi sedang diedarkan untuk
dikomentari. Draf dapat pula mengandung isi yang
belum diedit.
AKHIR
Sebuah tanggal harus selalu diperlihatkan pada sampul.
Rangkuman Eksekutif
Identifikasi Unit Tanah yang utama dan solusi yang disarankan untuk masingmasing
Zona Proyek.
Rangkuman Eksekutif harus memadai untuk memberikan masukan geoteknik
terhadap Laporan Desain Proyek.
Daftar Isi
Harus berisi daftar tiap bab dari suatu laporan, dengan nomor halaman. Harus
berisi semua Tabel, Gambar, Gambar Teknik dan Lampiran.
88
Lihat format pada Lampiran E
Lembar Pemenuhan
Lihat format pada Lampiran E 3
Jika Laporan merupakan Laporan Awal atau Draf maka hal ini harus
disebutkan.
Pendahuluan
Memberikan rujukan penuh terhadap Laporan Faktual.
Menyebutkan tanggal pekerjaan dilaksanakan: lihat Lampiran A Ceklist 1.
Menyebutkan aspek-aspek yang penting dari pekerjaan.
Jika merupakan Laporan Awal, nyatakan lingkup pekerjaan yang dicakup dan
apa hal apa saja yang masih harus dilakukan.
Penjelasan Tujuan
Ulangi tujuan yang didefinisikan pada permulaan proses desain pada Bab 8.2
dari Panduan, dan identifikasi tiap modifikasi yang dibuat terhadap tujuan
selama proses desain.
Bagian akhir dari bab ini harus diberi Sub Judul :
Pencapaian Tujuan
Salah satu dari dua paragraf berikut ini harus dimasukkan pada Bab ini:
Tujuan proses desain telah dicapai.
Beberapa tujuan dari proses desain belum dicapai, seperti dijelaskan di
bawah ini:
Jika paragraf kedua yang diadopsi, maka tujuan yang belum dicapai harus
disebutkan, bersama dengan alasan mengapa belum tercapai. Rujukan harus
dimasukkan jika terdapat bagian lain dari laporan yang berkaitan dengan bagian
khusus ini.
89
Gambaran Lokasi
Patok/titik dan sistem koordinat yang digunakan untuk pengukuran dan
hubungannya dengan Titik Tetap Nasional.
Topografi – suatu gambaran yang cukup untuk memasukkan bab berikut dalam
konteks termasuk detil/elevasi tanah asli.
Sistem drainase – penjelasan yang cukup sehingga pembaca mengerti apa
pengaruh dari sistem drainase terhadap desain geoteknik.
Suatu Denah Kunci yang cukup rinci sehingga seseorang bisa menemukan
lokasi dengan mudah.
Denah Umum yang cukup rinci untuk memperlihatkan detil proyek, topografi
dan detil drainase.
Geologi
Geologi regional – rangkuman berdasarkan pada data yang dipublikasi atau
lainnya . Peta dan data lainnya harus diidentifikasi. Jika Ahli Geoteknik yang
ditunjuk mengidentifikasi adanya kekurangan pada data yang dipublikasi, dan
melakukan interpretasi geologi regional untuk proyek, maka hal ini harus
dijelaskan.
Geologi lokal – interpretasi geologi lokal berdasarkan hasil penyelidikan
lapangan dan membandingkan dengan geologi regional. Peta geologi dan
potongan harus disertakan untuk memperjelas interpretasi.
Contoh: Pencapaian Tujuan
Beberapa tujuan proses desain belum dicapai, seperti dijelaskan sbb:
Tanah sekitar Lokasi Jembatan 23 telah dimanfaatkan untuk perumahan
murah, dan lokasi untuk membuat lubang bor sangat terbatas. Kondisi tanah
sekitar jembatan cukup variatif, dan informasi yang diperoleh hanya cukup
untuk menyajikan interpretasi kondisi tanah yang bersifat pendahuluan.
Rekomendasi untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk desain
oprit jembatan dimasukkan pada Bab 19.3.2.
Elevasi banjir desain untuk Seksi 3 Proyek (Zona 7 sampai 11) belum
diselesaikan. Desain Geoteknik Zona 7 sampai 11 harus ditinjau ulang
setelah elevasi timbunan akhir sudah ditentukan.
Jika elevasi tanah asli pada lokasi penyelidikan lapangan belum diukur dan belum
dihubungkan dengan suatu datum permanen (titik tetap), maka hal ini dapat dianggap
sebagai suatu kegagalan pemenuhan Tujuan. Ahli Geoteknik yang Di tunjuk harus
memberikan alasan yang jelas mengapa ini dapat terjadi.
90
Stratigrafi proyek – mengikuti penjelasan geologi lokal, gambaran ini akan
mengidentifikasi interpretasi Stratigrafi di lokasi proyek, dengan menggunakan
peta dan penampang geologi.
Variasi lithologi – Hal ini akan menjadi suatu pengantar terhadap gambaran
selanjutnya dari Unit Tanah dan akan mengidentifikasi varias yang penting
dalam konteks rekayasa geoteknik atau dalam menginterpretasi Unit Tanah
yang berbeda.
Hidrogeologi
Elevasi air tanah – elevasi yang diukur selama penyelidikan dan interpretasi
variasi elevasi air tanah.
Aliran – gambaran aliran air tanah yang mungkin dan penjelasannya.
Pengaruh musim – pertimbangan waktu saat penyelidikan dilaksanakan dan
pengaruhnya terhadap muka air tanah dalam jangka panjang.
Pengaruh pasang surut – untuk lokasi dekat, atau di daerah jangkauan pasang
surut, dan pengaruhnya terhadap muka air tanah.
Banjir – Ahli Geoteknik yang ditunjuk diharapkan akan mendapat informasi
dari ahli hidrologi mengenai elevasi banjir desain dan kemungkinan elevasi
banjir maksimum. Persyaratan desain untuk desain geoteknik kemudian
ditetapkan, dan dasar kriteria desain dijelaskan.
Sifat-sifat kimia air tanah – sifat perusak dari air tanah terhadap bahan
bangunan.
Parameter Desain
Umum
Kaji ulang nilai-nilai indeks dan parameter lainnya, dan rujukan kembali ke
Geologi, untuk mengidentifikasi alasan pemilihan Unit Tanah.
Rujukan kelampiran untuk menjelaskan semua data yang ditolak. Bila tidak ada
data yang ditolak, maka pernyataan berikut ini harus disertakan
Semua data yang diperoleh dari Penyelidikan Tanah, telah dikaji dan
dipandang telah memadai untuk keperluan desain geoteknik.
Gambar-gambar yang memperlihatkan distribusi Unit Tanah di lokasi proyek.
Penampang masing-masing Unit Tanah:
Analisis data untuk masing-masing nilai indeks dan parameter tanah untuk
desain.
91
Kesimpulan mengenai kisaran nilai yang benar. Untuk parameter yang
digunakan dalam desain, kesimpulan mengenai desain yang cocok.
Tabel yang merangkum semua parameter desain: lihat contoh pada Lampiran E.
Prosedur Desain:
Pengantar
Identifikasi persyaratan desain – penjelasan proyek dan rujukan penuh terhadap
rencana umum dan gambar lainnya yang disediakan dan digunakan untuk
desain.
Identifikasi setiap keterbatasan terhadap desain: periode kontrak, ketersediaan
lahan, anggaran yang tersedia.
Standar dan Peraturan yang Digunakan dalam Desain Geoteknik.
Parameter desain umum: elevasi banjir – beban gempa – persyaratan beban
hidup
Identifikasi masing-masing struktur bangunan yang akan didesain dengan suatu
tabel rangkuman persyaratan-persyaratannya.
Zonasi Lokasi
Penjelasan sistem zonasi yang digunakan untuk proyek termasuk bangunan
fisiknya.
Rangkuman Desain & Kesimpulan
Desain : Berbagai Pilihan – Rekomendasi.
Untuk masing-masing Zona dan untuk masing-masing struktur bangunan:
· identifikasi masalah – merujuk ke hasil-hasil perhitungan, yang akan
dimasukkan atau dirangkumkan pada Lampiran – identifikasi solusi-solusi
yang tersedia,
· siapkan matriks keputusan – identifikasi solusi yang diinginkan dan solusi
lainnya yang diperingkat berdasarkan urutan pilihan yang lebih baik,
· rangkum masing-masing struktur bangunan, kenali Zona dan solusi yang
disarankan dalam suatu format tabel.
Spesifikasi dan Kontrak
Sertakan spesifikasi khusus dan persyaratan lainnya yang akan dimasukkan
dalam Kontrak.
92
Identifikasi tingkat Supervisi yang diperlukan dan pengalaman minimum dari
ahli yang melakukan Supervisi.
Isu Lingkungan
Rangkum dampak lingkungan dan mengacu pada Laporan Lingkungan untuk
Proyek.
Referensi
Semua sumber informasi, metode desain dan data eksternal lainnya yang
digunakan dalam laporan, harus dirujuk secara penuh.
Tabel
Gambar
Gambar Teknik
Semua gambar teknik harus berisi informasi sbb :
Untuk semua gambar teknik: skala, nomor gambar teknik, rujukan terhadap
sumber data untuk informasi pengamatan lapangan dan sebagainya.
Untuk denah (peta) perlu tambahan: Penunjuk arah utara, grid (bujur / lintang).
93
11 Uji Coba
Uji coba dilaksanakan untuk pelaksanaan proyek dimaksudkan untuk
konfirmasi prilaku yang diasumsikan. Uji coba hanya dibenarkan jika asumsi
yang diambil akan menghasilkan penghematan biaya yang besar, dan akan
menimbulkan tambahan biaya yang besar jika asumsi tersebut yang diambil
ternyata salah.
Keuntungan yang maksimum dari uji coba dapat diperoleh bila pelaksanaan uji
coba serta hasilnya dipergunakan dalam desain, dan uji coba tersebut
dilaksanakan sebelum kontrak konstruksi ditenderkan. Namun dengan adanya
kontrak sebelum turunnya Daftar Isian Proyek (DIP) yang biasanya dilakukan
di Indonesia, pendekatan ini biasanya tidak memungkinkan, dan uji coba perlu
dimasukkan di dalam kontrak konstruksi. Meskipun uji coba seperti ini akan
memberikan beberapa keuntungan pelaksanaan konstruksi, keuntungan bagi
pemilik proyek menjadi sangat berkurang.
Uji coba yang mungkin diperlukan untuk desain timbunan dan pelaksanaan
pada tanah lunak adalah :
· uji coba timbunan percobaan untuk membebani tanah dan mengenali
perilaku tanah,
· uji coba timbunan yang menggunakan perkuatan, matras atau bahan
timbunan khusus untuk meyakinkan bahwa hal tersebut bisa dilaksanakan
dengan keahlian yang ada, dan untuk menentukan prosedur pengendalian
mutu dalam pelaksanaannya,
· uji coba galian untuk mengetahui prosedur yang memuaskan dalam hal
memindahkan atau memperbaiki tanah lunak,
· uji coba instalasi perbaikan tanah untuk mengetahui prilaku tanah lunak,
· uji coba tiang untuk mengetahui daya dukung tiang dan syarat
pemancangannya.
Uji coba dapat saja terdiri atas kombinasi dari aspek-aspek tersebut diatas
Keuntungan uji coba sebaiknya diidentifikasi dengan suatu analisis keuntungan
biaya yang sederhana. Biaya membangun timbunan atau suatu alternatif
struktur, menggunakan parameter dan data yang diketahui, dan menghasilkan
desain yang secara konservatif bisa diterima, harus diestimasi sebagai biaya
dasar. Kemudian tujuan dari suatu percobaan adalah untuk mencoba
mengurangi biaya dasar ini. Beberapa estimasi harus dibuat mengenai biaya
konstruksi jika uji coba berhasil; sehingga penghematan biaya bisa
dibandingkan dengan biaya percobaan. Sebuah contoh pendekatan diberikan
berikut ini.
94
Sebelum melaksanakan uji coba prosedur berikut harus diselesaikan
· identifikasi tujuan khusus dari uji coba,
· siapkan desain lengkap untuk uji coba,
· siapkan prediksi prilaku timbunan, dan identifikasi variasi yang mungkin
dari perkiraan terbaik ini
· rencanakan program dan skema pemantauan yang sesuai dengan prilaku
yang diprediksi dan variasi yang diprediksi, dengan memperhatikan
petunjuk pada Bab 13 dari Panduan ini,
· identifikasi jangkauan hasil yang didapat dari uji coba, dan identifikasi
konsekuensinya terhadap desain.
Bentuk yang paling umum dari percobaan adalah uji coba timbunan percobaan,
dan garis besar prosedur untuk melaksanakan timbunan percobaan diberikan
pada Lampiran F.
99
Tabel 13-1 Kelas Instrumentasi untuk Timbunan Jalan
Kelas
Instrumentasi
Tujuan Tipe Instrumen
Kelas A Kualitas tinggi dan
instrumentasi lengkap untuk
timbunan percobaan
Pelat penurunan
Penanda penurunan
Ekstensometer magnetis
Inklinometer
Pisometer
Patok geser
Kelas B Instrumentasi untuk timbunan
tinggi seperti timbunan oprit,
perbaikan tanah
menggunakan penyalir
vertikal,
prabeban/penambahan beban
lebih, konstruksi bertahap atau
penimbunan terkontrol
Pelat penurunan
Penanda penuru nan
Ekstensometer batang
Pisometer
Inklinometer
Patok geser
Alat pembaca sederhana
Kelas C Instrumentasi untuk pekerjaan
konstruksi normal
Pelat penurunan
Penanda penurunan permukaan
Pisometer
Patok geser
Kelas D Instrumentasi untuk
memantau penurunan jangka
panjang/pekerjaan rehabilitasi
Penanda penurunan permukaan
13.6 LOKASI INSTRUMEN
Pemilihan lokasi instrumen harus sesuai dengan prilaku yang diprediksi dan
metode analisis yang akan digunakan kemudian pada saat menginterpretasi
data. Analisis elemen hingga dapat membantu dalam menentukan lokasi kritis
dan orientasi instrumen, tetapi bukan merupakan hal yang esensial.
Langkah-langkah dalam menentukan lokasi instrumen sebagai berikut:
· pilih potongan melintang di mana perilaku yang diprediksi dianggap
mewakili keseluruhan daerah tanah lunak. Instrumen utama harus
ditempatkan pada potongan melintang ini. Potongan melintang dipilih pada
lokasi kritis dan pada lokasi penyelidikan lapangan lengkap dilaksanakan,
kalau tidak, penyelidikan lapangan tambahan harus dilakukan pada
potongan melintang yang dipilih. Sedikitnya dua potongan yang dipasang
instrumen utama harus direncanakan untuk daerah tanah lunak yang
panjangnya lebih dari 500 m,
· pilih satu atau lebih potongan melintang sekunder. Potongan yang dipasang
instrumen sekunder berfungsi berfungsi petunjuk prilaku pembanding dan
untuk mendapatkan informasi volume timbunan. Instrumentasi pada potongan
100
melintang sekunder harus sederhana, yang dapat saja hanya terdiri dari pelat
penurunan.
Pada seksi yang dipasangi intrumen utama yang direncanakan, analisis harus
dilakukan untuk memprediksi perilaku timbunan. Zona-zona yang memerlukan
perhatian penuh harus diidentifikasi, seperti zona-zona lemah, zona-zona yang
sarat terbebani atau zona-zona di mana tekanan pori yang tertinggi akan terjadi.
Suatu contoh diagram yang memperlihatkan lokasi instrumen berdasarkan
perilaku yang diprediksi, ditunjukkan pada Gambar 13-1.
104
14 Referensi
Suatu bibliografi sekitar sembilan ratus referensi dipersiapkan sebagai bagian
dari proyek IGMC2 dan dimasukkan pada CD Panduan Geoteknik ini.
Semua dokumen pada Bibliografi disimpan di Perpustakaan Pusat Litbang
Prasarana Transportasi, kecuali yang disebutkan pada bank data sebagai tersedia
di tempat lain di Bandung.
Anon (1982), Guide to Retaining Wall Design, Geotechnical Control Office,
Hong Kong.
Barry A J, Brady M A & Younger J S (1992), Roads on Peat in East Sumatra,
Symposium in Print: Environmental Geotechnics, South East Asian
Geotechnical Society, Bangkok.
BS8006: 1995, Code of practice for Strengthened/reinforced soils and other
fills, BSI, 1995.
Choa V (1985), Preloading and Vertical Drains, 3rd International Geotechnical
Seminar on Soil Improvement Methods, Singapore, pp87-99.
De Beer E E & Wallays M (1972), Forces Induced in Piles by Unsymmetrical
Surcharges on The Soil Around the Piles, Proceedings 5th European Conference
on Soil Mechanics and Foundation Engineering, Madrid, pp325-352.
DGH (1992), Bridge Design Manual (Draft), Directorate General of Highways,
Ministry of Public Works, Indonesia.
Edil T B & Bosscher P J (1994), Engineering Properties of Tire Chips and Soil
Mixtures, Geotechnical Testing Journal, 7,4,December.
Exxon (1989), Designing for Soil Reinforcement, Exxon Chemical
GeoPolymers Ltd.
Hanrahan E T & Rogers M G (1981), Road on Peat:Observations and Design,
Journal of Geotechnical Engineering Division, ASCE, 107, GT10, October,
pp1403-1415.
Hanna T H (1973), Foundation Instrumentation, Transtech Publications.
Hiroo (2000), Program for Shallow Stabilization Techniques on Soft Ground,
2nd Seminar on Ground Improvement, Jakarta.
Jewell R A (1996), Soil Reinforcement with Geotextiles: Special Publication
123, CIRIA.
Miki H (1999), Cooperative Research on Soft Ground Improvement in
Thailand, Seminar on Ground Improvement, Jakarta.
105
Moretti I & Cutruzzula B (1991), Specifications and Standards for Unbound
Aggregates and Their Use in Italy, in Unbound Aggregates in Roads, Jones R H
& Dawson A R (eds), Butterworths.
NAVFAC (1971), Design Manual: Soil Mechanics, Foundations and Earth
Structures, Dept of Navy, USA.
Nicholls R A & Barry A J (1983), Vertical Drains - A Case History, 8th
European Conference on Soil Mechanics & Foundation Engineering, Helsinki,
pp663-668.
Nicholls R A, Barry A J & Shoji H (1984), Deep Vertical Drain Installation,
Ground Engineering, May, pp31-35.
Rahardjo P P, Meilinda L & Yuniati L (2000), Evaluasi Hasil Monitoring
Instrumentasi Geoteknik pada Reklamasi Terminal Semen di Atas Tanah Lunak
di Semarang, Prosiding Pertemuan Tahunan IV, INDO-GEO 2000 HATTI,
ppIII-1 – III-7.
Stewart D P, Jewell R J & Randolph M F (1994), Centrifuge Modelling of Piled
Bridge Abutments on Soft Ground, Soils and Foundations, 34, pp41-51.
Toh C T, Chua S K, Chee S K, Yeo S C & Chock E T (1990), Peat
Replacement Trial at Machap, Seminar on Geotechnical Aspects of the North
South Highway, Kuala Lumpur, pp207-218.
Tri Indijono (1999), Performance of Various Types of Vertical Drains on
Consolidation Behaviour of Soft Soils at Trial Embankment for Surabaya
Eastern Ring Road, Program Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya, Program
Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
Lampiran A
Ceklis
A1
Tanggal
Penunjukkan Ahli Geoteknik
Keterangan
Kerugian
Membutuhkan lahan tambahan
Membutuhkan bahan timbunan tambahan
Tidak menyelesaikan masalah penurunan
jangka panjang
Memperbesar penurunan total
Pencurian bahan timbunan dapat terjadi
Keterangan
Kerugian
Tambahan timbunan harus dipindahkan
kembali setelah selesai pembebanan
Meningkatkan masalah kestabilitasan
Waktu yang diperlukan sulit diprediksi
sehingga dapat memperlambat pelaksaan
Keterangan
Kerugian
Waktu yang diperlukan sulit diprediksi
sehingga bisa memperlambat waktu
pelaksanaan
Membutuhkan pemantauan lengkap
Keterangan
Kerugian
Tidak mengurangi penurunan
Sulit menjamin bahan yang digunakan
sesuai spesifikasi
Memerlukan perlindungan dari sinar
matahari dan dari bahan kimia tertentu
Keterangan
Kerugian
Pemancangan tiang dapat mempengaruhi
struktur yang ada
Bahan matras harus berkualitas tinggi
Keterangan
Ceklis
Zonasi Lokasi
Alinyemen Vertikal
Jembatan
Gorong-gorong
Bangunan Penahan Tanah
Elevasi Tanah Asli
Keterangan
Tanda tangan Nama
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk Tanggal
Lampiran B
Korelasi Parameter Geoteknik
B1
B.1 UMUM
Penentuan langsung parameter kuat geser dan kompresibilitas di laboratorium
biayanya akan mahal dan memakan waktu. Dengan alasan ini, Ahli Geoteknik
sering menggunakan korelasi yang telah dikembangkan antara beberapa
parameter dengan sifat-sifat indeks yang lebih mudah ditentukan seperti batas -
batas Atterberg, kadar air asli dan berat isi. Korelasi bisa digunakan untuk
mendapatkan parameter desain atau untuk membatasi jumlah pengujian yang
lebih rumit dan mahal; sebagaimana dibahas dalam Panduan Geoteknik 3,
korelasi dapat pula digunakan untuk keperluan pengendalian mutu.
Sejumlah korelasi diberikan dalam CUR (1996) dan beberapa dari korelasi ini
dibahas berikut ini. CUR mengingatkan terhadap batasan penggunaan korelasi
dan menekankan bahwa penggunaan yang tidak tepat dapat memberikan
"asumsi-asumsi desain yang salah."
B2
B.2 PENENTUAN PARAMETER KUAT GESER
DARI KORELASI
B.2.1 PARAMETER KUAT GESER DARI BATAS
ATTERBERG
Kuat geser tak terdrainase dari tanah lempung telah dikorelasikan oleh banyak
peneliti sebagaimana dengan tekanan (overburden) dan batas Atterberg. Hasil
bagi cu / '
is (dijelaskan di bawah) sering ditemui pada korelasi ini.
Korelasi berikut dilaporkan oleh CUR beserta referensinya secara rinci.
1) Untuk lempung terkonsolidasi normal, dengan indeks plastisitas lebih besar
dari 5%, Skempton memberikan suatu hubungan:
PI
'
i
ó
u
c
0.00370.11+=
dengan:
cu adalah kuat geser tak terdrainase (kPa);
'ó
i
adalah tegangan efektif (vertikal) awal (kPa);
PI adalah indeks plastisitas (%).
Hubungan ini telah diuji oleh banyak peneliti selama bertahun-tahun dan
nilai yang didapat tidak pernah lebih dari sekitar ± 20% dari rata-rata.
2) Parameter ini telah juga dikorelasikan oleh Bjerrum dan Simon dalam
bentuk:
PI
u
c
i
045.0
'
=
s
B3
LL
c
i
u
005.0
'
=
s
dengan:
LL adalah batas cair (%).
Sebaran nilai-nilai yang didapat berkisar ± 30% dari harga rata-rata.
4) Suatu korelasi antara sudut geser dalam efektif (f') dan indeks plastisitas
(PI) diperlihatkan CUR dalam bentuk grafik. Grafik menunjukkan nilai f'
rendah bila nilai PI relatif tinggi.
B.2.2 PARAMETER KUAT GESER BERDASARKAN
KONSISTENSI TANAH
Parameter yang digunakan untuk menunjukkan konsistensi tanah adalah indeks
cair (LI) dan indeks konsistensi (CI) yang didefinisikan sebagai berikut:
PLLL
PLw
LI
-
-
= ,
PLLL
wLL
LICI
-
-
=-=1
dengan:
w adalah kadar air;
LL adalah batas cair;
PL adalah batas plastik.
5) Untuk lempung dengan indeks cair lebih besar dari 0,5, Bjerrum dan
Simons mengembangkan korelasi berikut:
LI
c
i
u 18.0
'
=
s
dengan:
cu dan '
is seperti dijelaskan diatas.
6) Suatu korelasi antara kuat geser tak terdrainase dan indeks konsistensi (CI)
yang dikembangkan oleh Wroth dan Wood diperlihatkan dalam bentuk
grafik semi-logaritmik pada Gambar B1. Sistem klasifikasi Jerman DIN
menghubungkan deskripsi konsistensi tanah (cair, lumpur, lunak dan
sebagainya) dengan indeks konsistensi (CI) seperti ditunjukkan pada
bagian atas Gambar B1. Dengan mengkorelasikan Sistem DIN dengan suatu
hubungan yang dikembangkan oleh Wroth dan Wood, jelas terlihat bahwa
pada kadar air yang dekat dengan batas cairnya (CI mendekati nol), kuat
geser tanah berkisar antara 1,5-2,0 kPa; pada kadar air yang dekat dengan
batas plastis (CI mendekati satu), kuat geser sekitar 100 kali lebih tinggi.
B4
Konsistensi tanah seperti diklasifikasikan dalam sistem yang lain (sisi sebelah
kiri Gambar B1), juga dikorelasikan dengan kuat geser tak terdrainase.
B5
B.3 PENENTUAN PARAMETER DEFORMASI
DARI KORELASI
B.3.1 PARAMETER DEFORMASI BERDASARKAN BATAS
ATTERBERG
Indeks kompresi primer Cc didefinisikan dengan hubungan:
'
''
log
i
i
m
c
e
C
s
ss D+
D
=
dengan:
m
eD adalah reduksi angka pori pada pemampatan asli;
'
is adalah tegangan efektif awal (kPa);
'sD adalah kenaikan tegangan efektif (kPa).
B6
Gambar B1 Hubungan antara Kuat Geser Tak Terdrainse dan Indeks Konsistensi
Korelasi berikut telah dikembangkan oleh berbagai peneliti untuk penentuan
indeks kompresi (pemampatan) primer untuk lempung tak terganggu (Cc
) dan
terganggu (C'
c):
7) Untuk lempung terganggu (remasan), Skempton menyarankan hubungan
berikut ini:
( )7 0.007' -= LLCc
dengan:
LL adalah batas cair (%).
8) Schofield dan Wroth mengusulkan pemampatan lempung remasan
ditentukan oleh hubungan:
B7
PI
PI
C
w
s
c
325.1.
2
' ==
g
g
dengan:
PI adalah indeks plastisitas (%);
s
g adalah berat isi partikel tanah (=26,5 kN/m
3
);
wg adalah berat isi air (=10 kN/m
3
).
9) Untuk lempung tak terganggu konsolidasi normal, hubungan yang
diusulkan oleh Terzaghi dan Peck adalah:
( )10 0.009 -= LLCc
dengan:
LL adalah batas cair (%).
B.3.2 PARAMETER DEFORMASI YANG DITENTUKAN DARI
BERAT ISI DAN KADAR AIR
B.3.2.1 Indeks Kompresi Primer, Cc
Banyak peneliti telah mendapatkan korelasi yang kuat antara indeks
pemampatan primer, Cc
dan berat isi seperti tercerminkan pada angka pori awal
e0.
Untuk material yang sepenuhnya jenuh dengan berat isi padat diketahui, Cc
12) Untuk tanah kohesif, inorganik, lanau dengan lempung, lempung kelanauan
dan lempung korelasi berikut disarankan oleh Hough:
( )3216.04049.0 -= oc eC
atau
( )15.90102.0 -= wC c
B8
13) Korelasi yang diturunkan oleh Rendon-Herrero untuk 94 lempung Amerika
adalah:
( )27.030.0 0 -= eCc
14) Untuk 130 lempung aluvial dan lanau dari Bangladesh korelasi berikut
diusulkan oleh Serajuddin:
( )548.701.0 -= wCc
Simbol-simbol yang digunakan pada korelasi di atas dijelaskan sebagai
berikut:
C c adalah indeks pemampatan primer;
e0 adalah angka pori pada permulaan pemampatan;
w adalah kadar air pada permulaan pemampatan (%).
Kurva yang diperlihatkan pada Gambar B2 diturunkan dari formula Nishida dan
bisa digunakan untuk menurunkan Cc
dari batas cair dan angka pori awal. Setiap
kurva mewakili hubungan untuk jenis lempung tertentu dengan batas cair yang
diketahui untuk angka-angka pori di bawah batas cair.
Gambar B2 Hubungan antara Pemampatan Primer dan Angka Pori sebagai Suatu Fungsi
Batas
Cair
B.3.2.2 Rasio Pemampatan, CR
Rasio pemampatan (CR) didefinisikan dengan hubungan berikut:
i
i
p
h
h
CR
'
''
log
s
ss D+
D
=
dengan
p
hD adalah penurunan primer akibat perubahan tegangan Ds';
B9
Karena tidak ada deformasi lateral, perubahan angka pori dan penurunan adalah
proporsional,
o
e
e
h
h
+
D
=
D
1
Merujuk ke definisi Cc
pada Bagian A.3.1 dapat dilihat bahwa CR dan Cc
mempunyai hubungan sebagai berikut::
o
c
e
C
CR
+
=
1
dengan:
e0 adalah angka pori awal.
Rasio pemampatan CR dalam prakteknya cenderung bervariasi antara 0.2 dan
0.4. Korelasi yang telah dikembangkan untuk parameter ini adalah sebagai
berikut:
15) Untuk nilai e0 kurang dari 2, Krizek dan Pamalee mengembangkan korelasi
berikut, berdasarkan 230 tanah lempung dari berbagai tempat:
0107.0156.0 += oeCR
16) Untuk nilai kadar air kurang dari 100%, Vidalie mengusulkan korelasi
berikut untuk tanah lempung Perancis:
013.00039.0 += wCR
Dalam korelasi-korelasi yang diberikan di atas:
eo = angka pori pada permulaan pemampatan
w = kadar air pada permulaan pemampatan (%)
B.3.2.3 Indeks Pengembangan, Cs
atau Csw
i
i
t
sw
e
C
'
''
log
s
ss D+
D
=
dengan:
t
eD adalah kenaikan angka pori selama pelepasan beban (rebound).
Indeks Pengembangan adalah tangen dari sudut yang dibentuk oleh garis
singgung pada suatu titik pada kurva pelepasan beban dengan absis (sumbu
s').
Hubungan antara indeks pengembangan dan angka pori sebagai fungsi dari
batas cair, diperlihatkan pada Gambar B3.
B10
Jika setelah pelepasan beban, beban kembali diberikan, pemampatan ditentukan
oleh indeks kompresi primer untuk pembebanan kembali (atau indeks
rekompresi), Cr. Nilai Cr biasanya sama dengan atau lebih kecil dari Csw.
Gambar B3 Hubungan antara Indeks Pengembangan dan Angka Pori sebagai Fungsi dari
Batas
Cair
B.3.2.4 Indeks Pemampatan Sekunder, Ca
Indeks pemampatan sekunder menentukan pemampatan sekunder atau
pemampatan atau konsolidasi jangka panjang yang biasanya diasumsikan
dimulai segera setelah konsolidasi primer selesai. Indeks Pemampatan Sekunder
definisikan sebagai kemiringan kurva angka pori atau regangan terhadap log
waktu dari rentang pemampatan sekunder dari suatu pengujian odometer.
Nilai indeks lolos kurang dari 0,001 untuk lempung tekonsolidasi lebih, 0,005
sampai 0,02 untuk lempung terkonsolidasi normal dan 0,03 atau lebih besar
untuk lempung sensitif dan tanah organik.
Dalam CUR, Ca dikorelasikan dengan kadar air sebagai berikut:
wC 0002.0=
a
dengan:
w adalah kadar air (%).
Sumber yang dikutip oleh CUR untuk korelasi di atas adalah Manual Desain
yang diterbitkan oleh U.S. Dept. of the Navy pada 1971.
B11
Juga di CUR, hubungan antara Ca dan w disajikan dalam bentuk grafik untuk
pemampatan alami (hubungan rata-rata ditambah batas atas dan bawah) dan
rekompresi (hanya batas atas); suatu zona untuk contoh tanah yang sepenuhnya
terganggu juga diperlihatkan. Sumber untuk hubungan ini tidak diberikan.
Hubungan rata-rata yang diindikasikan untuk kompresi alami konsisten dengan
hubungan linear yang diberikan di atas sampai dengan kadar air sekitar 50%; di
luar nilai ini, hubungan rata-rata bertambah pada laju yang semakin berkurang
sehingga, sebagai contoh, pada kadar air 100%, nilai Ca kurang lebih sebesar
0,016 (berlawanan dengan nilai 0,02 yang ditunjukkan oleh hubungan linear).
Menurut Terzaghi dkk. (1996), ada hubungan antara besarnya kompresibilitas
(Cc dan Ca) terhadap tegangan efektif vertikal dan waktu. Untuk semua jenis
tanah selama pemampatan sekunder, perbandingan Ca/Cc
selalu konstan , baik
pada tahap kompresi maupun rekompresi. Angka perbandingan untuk material
geoteknik diberikan di bawah. Untuk semua bahan, rentang total adalah 0,01
sampai 0,07; titik pertengahan dari rentang tersebut adalah juga nilai yang
paling umum untuk lempung inorganik dan lanau.
Bahan Ca/ Cc
dengan:
vm adalah koefisien kompresibilitas volume vertikal (m
2
/kN);
va adalah koefisien kompresibilitas (m²/kN);
oe adalah angka pori awal.
Parameter ini mempunyai hubungan dengan indeks kompresi primer sebagai
berikut:
'
435.0
i
c
v
C
a
s
=
( ) '1
435.0
io
c
v
e
C
m
s+
=
dengan:
'
is adalah tegangan efektif rata-rata sepanjang lintasan yang
dipertimbangkan (kN/m
2
).
B13
Dinyatakan dalam CUR bahwa, koefisien permeabilitas kv dari tanah lempung
nampaknya bergantung pada distribusi ukuran pori yang bergantung pada
komposisi lempung, yaitu jenis lempung dan distribusi ukuran partikel.
Walaupun menekankan bahwa penetapan nilai berdasarkan korelasi biasanya
memberikan hasil yang tidak berkaitan dengan koefisien permeabilitas, CUR
menyatakan sebagian dapat diterima sebagai pekerjaan awal. Hubungan antara
angka pori dan koefisien permeabilitas vertikal, dengan variasi parameter indeks
plastisitas dan kadar lempung (keduanya dinyatakan sebagai pecahan desimal),
diperlihatkan pada Gambar B4.
Oleh karenanya, perkiraan koefisien konsolidasi cv dapat diperoleh dengan
menggunakan hubungan antara mv dan Cc yang diberikan sebelumnya dan nilai
kv dari Gambar B4.
Koefisien konsolidasi cv
bisa juga diperkirakan secara langsung dari batas cair
dengan menggunakan grafik yang diperlihatkan pada Gambar B5. Hubunganhubungan
pada Gambar B5 diambil dari U.S.Dept. of the Navy Design Manual
yang diterbitkan pada 1971.
Gambar B4 Hubungan Antara Permeabilitas dan Angka Pori Sebagai Fungsi dari Indeks
Plastisitas dan Kadar Lempung.
B14
Appendix C
Perhitungan Penurunan
pada Gambut Berdasarkan
Metode Hanrahan
Lampiran Ini merupakan Cuplikan dari Hanrahan & Rogers (1981) C1
C2
C3
C4
Lampiran D
Desain Matras Geotekstil untuk
Timbunan Bertiang
D2
D3
D4
D5
D6
D7
Lampiran E
Isi Laporan
E1
Lampiran E1 Sampul Laporan Standar
Logo Pemilik Proyek + Nama Pemilik Proyek
Nama Proyek
Judul Laporan
Tanggal
Pendahuluan/Draf/Laporan Akhir
Nama Perusahaan
E2
Lampiran E2 Daftar Isi Laporan Desain Standar - Contoh
Nama Proyek
Daftar Isi
Rangkuman Eksekutif
Lembar Pemenuhan
1 Pendahulu an
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------1
2 Deskripsi Tujuan
2.1 Pencapaian Tujuan
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------2
3 Deskripsi Lapangan
3.1 Sistem Survei
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------- 3
3.2 Topografi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------3
3.3 Sistem
Drainase-------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------4
4 Geologi
4.1 Geologi Regional
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------5
4.2 Geologi Lokal
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------- 7
4.3 Stratigrafi Lapangan
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------8
4.4 Variasi Litologis
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------- 10
5 Hidrogeologi
5.1 Ele vasi Air Tanah
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------- 12
5.2 Aliran
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------12
5.3 Pengaruh Musim
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------- 13
5.4 Pengaruh Pasang Surut
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
13
5.5 Banjir
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------14
5.6 Kimia Air Tanah
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------- 14
6 Parameter Desain
6.1
Umum---------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------- 16
6.2 Bahan
Timbunan-----------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------- 17
6.3 Lempung Marin Atas
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
---17
6.4 Pasir
Antara---------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------ 18
6.5 Lempung Marin Bawah
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
18
6.6 Lempung Pleistosen
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
---- 20
7 Prosedur Desain
7.1 Pengantar
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------21
7.2 Standar dan Peraturan yang Digunakan dalam Desain
Geoteknik------------------------------------------------- 21
7.3 Zonasi Site
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------- 21
8 Rangkuman Desain & Kesimpulan
8.1
Umum---------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------- 24
8.2 Zona 1: Timbunan Tinggi
------------------------------------------------------------------------------------------------------- 25
8.3 Zona 1: Timbunan Rendah
----------------------------------------------------------------------------------------------------- 28
8.4 Zona 2: Oprit
Jembatan------------------------------------------------------------------------------------------------
---------- 30
Dan lain-lain…
9 Spesifikasi dan Kontrak
9.1 Spesifikasi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------ 45
9.2 Supervisi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------- 45
10 Masalah Lingkungan
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------- 46
11 Referensi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------47
Tabel
Tabel 1
Dan seterusnya
Gambar
Gambar 1
Dan seterusnya
Gambar Teknik
No Gambar Teknik …
Dan seterusnya
Lampiran
Lampiran 1 Daftar Ketidakcocokan
Dan seterusnya
E3
Lampiran E3 Lembar Persetujuan Laporan Desain Standar
Nama Proyek
Judul Laporan
Lampiran F
Garis Besar (Out Line) Prosedur
Timbunan Percobaan
(i)
Daftar Isi
1 Pengantar ................................ ................................ ...............................1
1.1 Tujuan dari Prosedur................................ ................................ ......1
1.2 Penggunaan Prosedur ................................ ................................ .....1
2 Data Awal ................................ ................................ ..............................1
2.1 Pengumpulan Data yang Ada................................ ..........................1
2.2 Penyiapan Penilaian Awal................................ ..............................1
2.3 Peninjauan Lapangan................................ ................................ .....1
3 Penyelidikan Tanah ................................ ................................ .................1
3.1 Desain Penyelidikan Tanah ................................ ............................1
4 Desain................................ ................................ ................................ ....2
4.1 Tipe Percobaan................................ ................................ ..............2
4.2 Desain Timbunan ................................ ................................ ..........2
4.3 Pemilihan Instrumentasi................................ ................................ .2
4.4 Pertimbangan Pelaksanaan................................ .............................3
5 Pelaksanaan................................ ................................ ............................3
5.1 Dokumen ................................ ................................ ......................3
5.2 Prosedur................................ ................................ ........................3
5.3 Pencatatan................................ ................................ .....................3
6 Pemantauan................................ ................................ ............................3
6.1 Prosedur................................ ................................ ........................3
6.2 Pencatatan................................ ................................ .....................3
7 Interpretasi ................................ ................................ .............................3
7.1 Analisis Rekaman/Catatan................................ ..............................3
8 Pelaporan ................................ ................................ ...............................4
8.1 Laporan Tahap 1................................ ................................ ............4
8.2 Laporan Tahap 2................................ ................................ ............4
8.3 Laporan Akhir ................................ ................................ ...............4
F1
Pengantar
Tujuan dari Prosedur
Garis besar ini dimaksudkan untuk memberikan panduan mengenai informasi yang
harus didapat, prosedur yang harus diadopsi, dan isi dari laporan sementara dan akhir
mengenai timbunan percobaan.
Penggunaan Prosedur
Petunjuk ini dibuat untuk Timbunan Percobaan pada proyek Indon GMC. Percobaan ini
bertujuan untuk memberikan informasi umum mengenai perilaku timbunan di atas tanah
lunak dan gambut. Meskipun begitu Petunjuk ini dapat pula digunakan oleh Perekayasa
Ahli yang merencanakan suatu uji-coba timbunan percobaan untuk tujuan yang sama.
Data Pendahuluan
Pengumpulan Data yang Telah Ada
(Merujuk ke Panduan Geoteknik 2) Peta Topografi – Peta geologi – Peta
pemanfaatan lahan – peta historis – Peta drainase – peta tanah untuk
pertanian – foto udara – foto satelit
Penyelidikan-penyelidikan lapangan sebelumnya
Periapan Penilaian Awal
Siapkan denah/peta kunci – peta yang memperlihatkan lokasi lubang
bor yang telah ada - potongan yang menggunakan data tanah atau
estimasi kondisi tanah yang paling mendekati. Identifikasi lokasi yang
potensial untuk timbunan percobaan.
Peninjauan Lapangan
Kunjungi tempat. Peninjauan lapangan sesuai dengan Panduan
Geoteknik 2 (identifikasi medan –fitur yang telah ada seperti kegagalan
bangunan – timbunan yang turun – drainase yang terputus).
Identifikasi faktor-faktor praktis untuk pelaksanaan timbunan percobaan:
akses ke lokasi – persyaratan akses di lokasi – persyaratan drainase –
pemagaran untuk keamanan – penerangan
Kenali ruang lingkup timbunan percobaan dan kecocokan lokasi .
Siapkan garis besar desain pendahuluan dan instrumentasi untuk
masukan dalam desain penyelidikan lapangan.
Penyelidikan Lapangan
Desain Penyelidikan Lapangan
Merujuk ke Panduan Geoteknik 2
Penyelidikan lapangan bertujuan untuk:
a) identifikasi kondisi tanah,
b) mendapatkan parameter untuk analisis desain dan analisis balik.
F2
Buat daftar parameter yang diperlukan sebagai bagian dari desain
penyelidikan lempung.
Identifkasi lokasi untuk pemasangan instrumentasi dan pastikan kondisi
tanah diidentifikasi dengan baik pada lokasi tersebut.
Desain
Tipe Percobaan
Tiga tipe dasar:
Dimaksudkan untuk terjadi keruntuhan: untuk analisis balik
parameter stabilitas dan untuk optimasi desain timbunan sampai batas
keruntuhan.
Dimaksudkan untuk memodelkan serangkaian alternatif desain,
dan untuk menilai efektifitas/atau keuntungan-keuntungannya.
Dimaksudkan untuk memodelkan desain yang diusulkan: untuk
meyakinkan bahwa parameter desain yang digunakan memadai, atau
untuk memperbaiki desain, atau untuk mengenali dengan lebih tepat
waktu pelaksanaan yang diperlukan untuk suatu desain tertentu.
Desain Timbunan
Analisis desain timbunan harus mengikuti teknik standar (merujuk
Panduan Geoteknik 4) dan sepenuhnya memprediksi prilaku timbunan.
Idealisasi profil tanah
Pilih parameter tanah
Stabilitas – tentukan Faktor Keamanan yang diperlukan – analisis:
a) cu jangka pendek pada saat konstruksi selesai,
b) tegangan efektif untuk konstruksi bertahap (dengan disipasi
tekanan air pori).
Analisis penurunan
a) Terzaghi,
b) empiris,
c) lainnya (untuk gambut).
Identifikasi penurunan yang akan terjadi pada masing-masing instrumen
Pemilihan Instrumentasi
Dasar pemilihan:
Memberikan data untuk dibandingkan dengan prilaku yang diprediksi
Pemasangan, dan prilaku jangka panjang, dapat diandalkan
Peralatan dan keahlian yang tersedia untuk membaca instrumen
(Biaya menjadi bahan pertimbangan: tetapi bila tidak mampu membiayai
instrumentasi untuk mendapatkan data yang diperlukan, lalu apa
gunanya melaksanakan percobaan timbunan?).
Petunjuk mengenai instrumentasi yang sesuai dalam Panduan
Geoteknik 4: Pemantauan
F3
Lokasi instrumen
a) lokasi-lokasi kunci untuk pergerakan vertikal dan horisontal,
b) tipe instrumen yang tersedia,
c) cantumkan instrumen pada gambar teknik,
d) letakan posisi instrumen di peta dan pastikan ada
pengamanan instrumen selama pelaksanaan,
e) siapkan spesifikasi tipe dan pemasangan masing-masing
instrumen,
f) siapkan gambar teknik pelaksanaan.
Pertimbangan Pelaksanaan
Sumber dan tipe bahan timbunan – metode penimbunan (secara umum,
dan disekitar instrumen) – metode pemadatan – persyaratan drainase –
perlindungan terhadap erosi – akses – pengawasan instrumen –
akomodasi – gudang penyimpanan peralatan instrumentasi –komunikasi
Persiapan spesifikasi pelaksanaan – kecepatan penimbunan – pengaruh
gangguan.
Pelaksanaan
Dokumen kontrak
Persyaratan kontrak – spesifikasi – pengukuran – program
Prosedur
Pengawasan – komunikasi
Rekaman/Catatan
Laporan harian – survei – pengujian kepadatan
Pemantauan
Prosedur
Rekaman/Catatan (Records)
Interpretasi
Analisis Hasil Pemantauan
Pemeraan data – metode analisis – perbandingan kumpulan data – umpan balik ke
sistem pemantauan – penambahan/pengurangan frekuensi pemantauan – pemeriksaan
tambahan pada kalibrasi/datum/respon instrumen.
F4
Pelaporan
Laporan Tahap 1
Sebelum penyelidikan lapangan dilaksanakan dan setelah desain
pendahuluan selesai. Anggaran biaya bisa dihitung pada waktu ini.
Laporan Tahap 2
Setelah semua pekerjaan desain selesai – berisi desain lengkap
timbunan percobaan dan prediksi prilaku yang berhubungan dengan
instrumen yang akan dipasang. Anggaran biaya bisa dipastikan pada
waktu ini.
Laporan Akhir
Setelah data diperoleh dari timbunan percobaan dengan menyertakan
semua catatan timbunan percobaan, lakukan kaji ulang prediksi dan
kesimpulan mengenai parameter tanah yang sesungguhnya.
Lampiran G
Instrumentasi
G1
Pengukuran Penurunan
Penurunan diukur dengan menentukan elevasi dan perubahan elevasi. Teknik
Pengukuran biasanya digunakan untuk menentukan perubahan elevasi ini, tetapi
sejumlah teknik tertentu telah digunakan pula. Berikut ini adalah beberapa
instrumen pengukur penurunan yang sering digunakan pada konstruksi
timbunan, diantaranya :
Penanda Penurunan Permukaan
Penanda penurunan merupakan cara yang paling sederhana dan murah
untuk mengukur penurunan. Penanda ini terdiri dari patok dari kayu,
baja atau beton yang dipasang di atas permukaan timbunan yang telah
selesai seperti terlihat pada Gambar G1. Pengukuran dengan teknik ini
hanya mengukur penurunan total timbunan, termasuk penurunan pada
lapisan tanah bawah dan timbunan itu sendiri. Penurunan diukur dengan
mengukur elevasi terhadap suatu patok tetap yang merupakan datum
rujukan.
Pelat Penurunan
Pelat penurunan terdiri dari suatu batang yang dilas pada pelat baja
bujur sangkar berukuran 60 kali 60 cm yang diletakkan pada dasar
timbunan seperti diperlihatkan pada Gambar G2. Penurunan diukur
dengan mengukur elevasi terhadap suatu patok tetap yang merupakan
datum rujukan.
Ekstensometer Batang
Ekstensometer batang terdiri dari batang bagian dalam yang terselebung
dan pelat rujukan.Batang bagian dalam dimasukkan sampai ke lapisan
keras dan penurunan relatif ditentukan dengan pengukuran. Sebuah
contoh diberikan pada Gambar G3.
Ekstensometer Magnetis
Extensometer ini terdiri dari satu atau lebih titik rujukan yang ditanam
di dalam tanah dengan satu titik rujukan terletak pada ujungnya. Batang
dan kawat atau peralatan elektronik digunakan untuk menentukan
perubahan jarak antara titik-titik rujukan. Ekstensometer magnetis telah
tersedia secara komersial. Peralatan ini terdiri dari dua komponen
utama, yaitu sebuah magnet lingkaran permanen yang diberi magnet
secara aksial yang berfungsi sebagai penanda dalam tanah dan sensor.
Sensor, saklar buluh, bergerak secara aksial ke dalam medan magnet,
menutup dan mengaktifkan lampu indikator atau bel. Peralatan ini
digunakan dengan memasukkannya ke dalam lubang bor 100 mm dan
sejumlah magnet dipasang dalam lubang bor dari dasar ke atas, dan
magnet pada dasar diletakkan pada tanah/batuan yang kuat, dan dapat
digunakan sebagai titik tetap. Gambar G4 menggambarkan penggunaan
ekstensometer magnetis untuk mengukur penurunan pada berbagai
G2
kedalaman pada tanah bawah permukaan. Instrumen ini harus dibeli
dari pemasok spesialis dan dipasang oleh kontraktor yang
berpengalaman, dan akan lebih baik jika dilakukan oleh pemasoknya.
Pengukuran Tekanan Air Pori
Tekanan pori dapat memberi indikasi akan terjadinya ketidakstabilan pada
timbunan dan juga penting untuk evaluasi kemajuan proses konsolidasi.
Berbagai jenis pisometer telah tersedia secara komersial. Meskipun demikian,
jenis pisometer yang dipilih harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1)
harus dapat mencatat secara akurat tekanan pori di dalam tanah dan kesalahan
yang terjadi masih dalam batas-batas toleransi, (2) pisometer harus tidak
menimbulkan gangguan yang berarti terhadap tanah asli, (3) pisometer harus
bereaksi dengan cepat terhadap perubahan kondisi tekanan pori, (4) pisometer
harus kuat, dapat diandalkan dan stabil untuk periode waktu yang lama dan (5)
pisometer dapat dipantau secara menerus atau berselang-seling bila diperlukan.
Jenis Pisometer
Semua sistem pisometer, mempunyai satu elemen filter berongga yang
dimasukkan di dalam lapisan tanah. Elemen ini diklasifikasikan berdasarkan
kegunaannya, metode operasinya dan metode pencatatannya. Berikut adalah
jenis pisometer yang telah tersedia secara komersial. Pemilihan tipe yang
digunakan bergantung pada kondisi tanah.
· Pisometer pipa ukur tegak terbuka
Pisometer pipa terbuka terdiri dari tabung atau pipa dengan elemen
berongga pada ujungnya, atau dengan bagian ujung yang berlubanglubang. Bagian
berongga harus dikelilingi atau dibungkus dengan bahan
filter dan harus dipasang di dalam lubang bor.
Pisometer pipa terbuka yang sering digunakan adalah pisometer tipe
Casagrande seper ti terlihat pada Gambar G5. Pisometer pipa terbuka ini
sangat sederhana dan murah, tetapi kekurangannya adalah waktu respon
yang lambat, oleh karena itu pisometer, pipa terbuka tidak disarankan
untuk digunakan pada tanah lempung.
· Pisometer hidrolik
Pisometer hidrolik terdiri dari ujung pisometer kecil dengan dinding
berpori dan selang plastik kecil, di mana tekanan air dialirkan ke suatu
titik yang jauh di mana tekanan diukur dengan manometer air raksa
atau pengukur Bourdon.
Pisometer hidrolik memiliki waktu respon yang kecil dan bisa
digunakan untuk mengukur perubahan tekanan akibat perubahan
tegangan yang ditimbulkan oleh beban timbunan di atasnya, pada
lapisan yang memiliki permeabilitas tinggi. Perhatian khusus harus
diberikan pada batas permeabilitas dari ujung berporinya.
G3
Pisometer hidrolik memerlukan rumah pengukur yang cukup besar dan
oleh karena itu lebih cocok untuk digunakan pada kontrak instrumentasi
yang besar.
Ketika menggunakan pisometer hidrolik, harus diperhatikan hal-hal
berikut :
- adanya udara dalam tabung akan menyebabkan pembacaan
yang salah, dan karena itu tabung tersebut harus dijaga agar
selalu penuh dengan air atau udara dikeluarkan,
- tekanan diseluruh pipa penghubung harus berada di atas
tekanan atmosfir.
· Pisometer elektrik
Pisometer elektrik mempunyai transduser tekanan yang dipasang dekat
elemen berpori. Cara kerja dari pisometer elektrik adalah diafragmanya
akan melendut oleh tekanan air yang bekerja pada satu sisi. Waktu
respon yang sangat cepat bisa dicapai asalkan ujung bebas dari
gelembung udara. Kelemahan utama dari pisometer elektrik, adalah
dibutuhkannya kalibrasi yang tidak mudah untuk dilakukan dan
pembuangan udara tidak dimungkinkan lagi untuk dilakukan setelah
dipasang. Faktor keandalan juga dapat menjadi masalah untuk kondisi
jangka panjang.
· Pisometer penumatik
Sistem penumatik terdiri dari ujung berpori, yang didalamnya terdapat
dua tabung berisi udara yang menghubungkan titik pengukuran ke suatu
katup yang sensitif terhadap tekanan, dan dipasang dekat dengan
elemen berpori. Bila sedang digunakan, aliran udara bertekanan
dimasukkan ke dalam salah satu saluran udara tetapi ditahan oleh
tekanan air pori yang bekerja pada suatu diafragma fleksibel yang tipis.
Saat tekanan udara sama dengan tekanan pori, membran mengendur dan
udara yang berlebih melewati labu penanda aliran di mana gelembunggelembung udara
akan tampak. Bila pasokan udara ditutup, maka
tekanan pada saluran pasokan udara akan sama dengan tekanan air pori.
Pisometer pneumatik memiliki beberapa keuntungan:
(i) kelambatan waktu kecil,
(ii) pengoperasian dan pembacaan instrumen sangat
sederhana,
(iii) alat mempunyai stabilitas jangka panjang,
(iv) pembacaan dilakukan secara langsung.
Kelemahan utamanya adalah udara dari instrumen tidak bisa
dikeluarkan. Oleh karena itu tidak bisa digunakan pada endapanendapan yang
mengandung gas.
G4
Contoh pemasangan diperlihatkan pada Gambar G6.
Pengukuran Pergerakkan Lateral
Pergerakan lateral timbunan yang eksesif menandakan permulaan terjadinya
kelelehan plastik dari tanah bawah pemukaan dan diikuti dengan keruntuhan
tanah fondasi. Karena itu untuk mengontrol stabilitas timbunan selama
pelaksanaan konstruksi pengukuran, pergerakan lateral harus dilakukan.
Instrumen/teknik berikut disarankan untuk dipasang untuk memanatu
pergerakkan lateral:
· Indikator gelincir
Indikator gelincir terdiri dari pipa PVC fleksibel berdiameter 20 mm yang
dipasang pada lubang bor, dan dua buah unting-unting seperti
diperlihatkan pada Gambar G7. Unting-unting tersebut terdiri dari bandul
yang diikatkan pada tali. Pipa harus dipasang sampai beberapa meter
masuk ke dalam lapisan keras sehingga pipa kemudian mempunyai
tahanan jepit pada ujungnya. Pipa harus cukup fleksibel untuk
memungkinkan tertekuk pada bidang gelincir yang mungkin terjadi.
Pergerakan lateral dapat dipantau dengan pengukuran ujung atas pipa
yang muncul di permukaan atau dengan menaikkan atau menurunkan
unting-unting dari atau ke dasar pipa. Jika pipa tertekuk, bandul yang
diikatkan ke tali akan terjepit pada lokasi bidang gelincir.
· Patok geser
Patok geser terdiri dari patok kayu persegi berukuran 10 sampai 15 cm
dengan panjang 100 sampai 200 cm. Patok-patok ini dimasukkan ke
dalam tanah dalam bentuk barisan atau kisi-kisi. Pergerakan horisontal
dan vertikal diukur terhadap suatu titik tetap di luar daerah
pengaruh,dengan menggunakan tali, level atau teodolit.
· Inklinometer
Inklinometer terdiri dari pipa lindung penuntun yang dipasang di dalam
lapisan tanah, dan torpedo kedap air. Torpedo merupakan transduser
yang digerakkan pendulum yang diturunkan penuntun. Pergerakan
dihitung dari pengukuran kemiringan pipa lindung pada interval-interval
yang telah ditentukan dan profil pipa lindung berbentuk vertikal akan
didapat dengan menggabungkan nilai yang diperoleh mulai dari dasar
pipa. Pipa lindung harus dipasang secara vertikal dan harus dimasukkan
sampai ke lapisan dasar yang kuat (lapisan yang sangat keras atau lapisan
pasir yang sangat padat atau dasar batuan), sehingga dasar dari pipa
lindung akan bebas dari translasi (dukungan jepit). Lihat Gambar G8.
Alat baca inklinometer, merupakan alat baca yang rumit dan mahal.
Biaya yang cukup harus dianggarkan untuk kalibrasi dan perbaikan;
sebagai alternatif, pemantauan harus disubkontrakkan kepada pemasok
alat.
G5
permukaan timbunan yang
telah selesai
Lubang dalam berukuran 200 x 200 x 300 mm
yang diisi dengan beton kelas E
Batang baja dia 20 mm
panjang 1 m
Elevasi batang
baja yang
diturunkan yang
diukur
sewaktu-waktu
G6
AA
1"
POTONGAN A-A
Dibaut atau dilas
OGL
PELAT PENURUNAN
pasir
Catatan : Batang dan tabung diperpanjang per satu meter selama konstruksi timbunan
1" ( Pipa baja atau Besi Galvanis)
& dilengkapi dengan sambungan
berdrat (bergalur)
Pelat 60 cm persegi
yang diperkuat/ditimbun dengan pasir (kira-kira 4
kantung pasir)
G7
Pipa yang akan diperpanjang
selama penimbunan per
1.0 m panjang
Pipa baja yang ditekan
1.0 m di bawah dasar lubang bor
pipa PVC dia 50 mm
Lubang bor yang
ditimbun kembali
8 buah gigi baja berukuran
dia 10 mm x panjang 80
mm
EKSTENSOMETER BATANG
Tabung diameter 100 mm dengan tutup yang
dapat dikunci, dipasang pada elevasi akhir
dengan coran beton pada sekeliling dasarnya
25 mm (nom) dia pipa
baja yang
digalvanisasi
elevasi tanah asli
elevasi pemasangan
yang ditentukan
G8
level muka
tanah yang ada
Material
timbunan
level tanah asli
Pelat Magnet
EKSTENSOMETER MAGNETIK
Penutup pelindung
Pipa penghantar PVC
Pipa yand dapat ditekan/pipa
yang dapat memanjang
G10
selubung tebal 1 m thick terbuat dari tablet bentonit
Grouting
Kolom pasir 1 m
Level tanah dasar
Lubang bor diameter
100 mm
PISOMETER PENUMATIK
Selang ganda
Ujung
pisometer
Ujung pisometer diselimuti
oleh pasir bersih yang jenuh
Gambar G8 Inklinometer
Lampiran H
Lembar Catatan Pemasangan
Instrumentasi
H1
Catatan Pemasangan Instrumentasi
Proyek Uji-coba Timbunan di Semarang Instrumen IIA/P3
Pemilik Proyek PPPJJ Muka tanah asli +0.98m
Lokasi Trial IIA Muka air tanah di bawah muka tanah asli -0.5m
Catatan Pengeboran Pemasangan Instrumen
Tanggal 5 Desember 2000 Tanggal 5 Desember 2000
Kedalaman Penjelasan Selubung Sampel Kedalaman Lgd Penjelasan Komentar
0.0-1.0 LEMPUNG coklat abu-abu 0.0-9.0 0.0 Ujung grout
lunak sampai keras 9.0D
1.0-9.0 LEMPUNG abu-abu lunak
dgn beberapa kulit kerang
3.0 Penyambung tabung
9.0 Dasar grout
9.5 Ujung atas keramik
9.8 Ujung bawah keramik
(tip)
Perincian Instrumen
Tipe Pisometer Pneumatik
Pembuat Geotechnical Instruments Model P359/2 Tipe Push In
Rincian Ujung akhir diberi sambungan yang mudah dilepas
Kelebihan pipa 5 m digulung pada ujung pemasangan untuk mengkompensasi kenaikan
timbunan
Bacaan awal 9.3m
Tanda & Proteksi
Instrumen diberi label dengan label aluminium dengan huruf timbul IIA/P3 yang
diikatkan pada sambungan
Pagar bambu sementara dipasang (penutup yang bisa dikunci akan dipasang pada
permukaan timbunan akhir)
Bahan-bahan
Grout 10:1 air/OPC dicampur dengan tongkat pengaduk dan dipompa dari dasar lubang
bor
Pasir
Bentonit
Komentar-komentar Nama Tanggal Mulai
Ketinggian dari Titiktetap 2.456m Datum berlokasi pada lokasi T1 Pengebor
Keramik dijenuhkan dengan perendaman di air bersih selama 16 jam Teknisi pemasangan
Rangkaian diuji dengan alat baca sebelum pemasangan OK
WSP International
6 Desember 2000
Daftar Istilah Teknik
Daftar Istilah-1
BAHASA INDONESIA ENGLISH
abu gunung api volcanic ash
abutmen abutment
adhesi adhesion
ahli geoteknik geotechnical engineer
air bebas ion deionized water
air bebas udara deaired water
air tanah groundwater
aksi pelengkungan arching action
alami, asli natural
albit albite
alinyemen alignment
aliran flow
alkalinitas alkalinity
alofan allophane
aluvial alluvial
aluvium alluvium
amfibol amphibole
analisis butiran grading analysis
analisis saringan sieve analyses
angka pori void ratio
anisotropi anisotropy
anortosit anorthosite
anotit anothite
antofilit anthophyllite
arloji penunjuk dial gauge
atapulgit attapulgite
augit augite
awal preliminary
ayakan sieve
bahan tak terpakai waste materia l
baja nir karat, baja tahan karat stainless steel
baling laboratorium laboratory vane
banjir rencana design flood
basal basalt
batas cair liquid limit
batas plastis plastic limit
batas susut shrinkage limit
batas-batas Atterberg Atterberg limits
batu pori porous stone
batuan beku igneous rock
batuan induk parent rock
batuan malihan metamorphic rocks
batuan sedimen sedimentary rock
beban aksial axial load
beban batas ultimate load
beban lebih overburden
beban siklik cyclic loading
beban tambahan surcharge
benda uji specimen
berat isi unit weight
berat jenis specific gravity
berbongkah blocky
bercelah fissured
berem berm
Daftar Istilah-2
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)
fitur feature
fondasi foundation
forsterit forsterite
foto udara aerial photograph
friksi kulit skin friction
friksi, gesek friction
galian dan timbunan cut and fill
gambut peat
gambut amorfos amorphous peat
gaya angkat uplift
gempa earthquake
geogrid geogrid
geosel geocells
geosintetis geosynthetics
geotekstil geotextile
getas brittle
gorong-gorong box culvert
gradien hidrolik hydraulic gradient
granitoid granitoid
granodiorit granodiorite
grid, kisi-kisi grid
gruting grouting
haloysit halloysite
hambatan lekat sleeve friction
hemik hemic
hipersten hyperstene
holosen holocene
homogen, homogenos homogenous
ilit illite
indeks index
indeks plastis plastic index
indeks plastisitas plasticity index
indikator gelincir slip indicator
inklinasi inclination
inklinometer inclinometer
instrumentasi instrumentation
jaman jura jurassic
jaman kuarter quaternary
jejak drainase, lintasan drainase drainage path
jenuh air saturated
jumlah hambatan lekat total friction
kadar air moisture content
kadar air water content
kadar organik organic content
kaji ulang review
kaldera caldera
kalsit calcite
kaolinit kaolinite
kapasitas aksial axial capacity
katup valve
keaktifan lempung clay activity
keasaman acidity
keawetan durability
Daftar Istilah-4
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)
saprik sapric
sedimentasi, pengendapan sedimentation
segregasi segregation
sel beban load cell
sel hidrolik hydraulic cell
selang ganda twin tubing
selimut pasir sand blanket
selongsong gesek friction sleeve
senit syenite
sensitivitas sensitivity
serat fibre
serpentinit serpentinite
sesar fault
sifat teknik tanah engineering soil properties
siklus logaritmik log cycle
skuising squeezing
soket, penyambung pipa coupling
sondir Dutch Cone Test
spatula spatula
spesialis geoteknik geotechnical specialist
stabilitas stability
stif stiff
strata stratum
stratifikasi stratification
stratigrafi stratigraphy
struktur teknis engineering structure
struktur terdispersi dispersed structure
struktur terflokulasi flocculated structure
studi kelayakan feasibility study
studi meja desk study
subduksi subducts
sudut geser dalam internal friction angle
suhu pijar ignition temperature
sumur uji test pit
surut draw drown
suspensi suspension
susut shrinkage
tabung penginti tipis thinwall tube
tabung penginti, penginti core barrel
tahanan konus cone resistance
tahanan kulit skin resistance
tak berkelangsungan non sustainable
tak dapat terbakar incombustible
tak jenuh unsaturated
tak terdesak non displacement
tak terdrainase undrained
tak terkonsolidasi unconsolidated
tanah bawah permukaan subsoil
tanah dasar sub grade
tanah lunak soft soil
tanah mineral or ganik organo-mineral soil
tanah residual residual soil
tanggul levee
Daftar Istilah-9
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)
DA: Sebenarnya apa yang dimaksud dengan “pondasi cakar ayam” itu?
HCH: Fondasi dari sistem Cakar Ayam ini terdiri dari pelat beton bertulang tebal
antara 15 – Diameter pipa-pipa beton 1,2 m, panjang 2 m dan tebal 8 cm
(Gambar 1). Fondasi sistem Cakar Ayam ditemukan oleh Prof. Dr. Ir. Sediyatmo
pada tahun 1961. Sistem Cakar Ayam
digunakan pertama kali untuk fondasi bangunan menara listrik tegangan tinggi di
daerah Ancol yang tanahnya berupa rawa-rawa. Pipa-pipa beton tersebut disebut
cakar. Menurut Hadmodjo (1994), sistem Cakar Ayam cocok diterapkan pada
tanah yang mempunyai
kapasitas dukung sekitar 1,5 – 3,5 t/m2 (15 – 35 kPa).
Pada tahun 2007, aplikasi Sistem Cakar Ayam untuk perkerasan beton diubah
bahannya, cakar yang semula dibuat dari bahan pipa beton diameter 1,20 m,
panjang 2 m dan tebal 8 cm, digantikan dengan pipa baja yang sangat ringan
(berat sekitar 35 kg) dengan tebal 1,4 mm, diameter berkisar 0,60 – 0,80 m dan
panjang 1,0 – 1,2 m. Sistem Cakar Ayam yang baru ini, disebut dengan Sistem
Cakar Ayam Modifikasi, yang beserta dengan cara perancangan telah
dipatentkan oleh Bambang Suhendro, Hary Christady Hardiyatmo dan
Maryadi Darmokumoro.
DA: Apa saja kelebihan “pondasi cakar ayam” ini, terutama jika
dibandingkan dengan konstruksi/pondasi lain yang sebelumnya pernah
ada? Boleh dijelaskan? (misalnya: lebih cost effective)
HCH: bila dipakai untuk perkerasan jalan raya, memberikan konstruksi jalan yang
kuat dan awet, sehingga biaya pemeliharaan kecil. Walaupun biaya awal lebih
mahal, tapi karena free maintenance, maka biaya total selama umur layanan
yang dikehendaki manjadi lebih kecil.
HCH: bisa untuk fondasi bangunan. Lebih cocok untuk perkerasan jalan, atau
fondasi menara listrik.
DA: Bisa diceritakan; darimanakah ide tentang pondasi cakar ayam ini
bermula?
HCH: Suatu pelat beton yang di”paku” (diangker) pada tanah-dasar kekuatan
dan keawetannya akan lebih tinggi dalam mendukung beban berulang (misalnya
beban kendaraan) dibandingkan dengan pelat beton yang hanya diletakkan di
atas tanah.
Apabila bidang kontak antara pelat dan tanah terjamin selalu rapat selama masa
layan struktur, maka pelat selain kuat juga awet, sehingga bila pelat tersebut
digunakan untuk perkerasan jalan, pemeliharaan akan kecil. Jadi, fungsi dari
pipa-pipa Cakar Ayam adalah sebagai “paku” antara pelat dan tanah di
bawahnya, sehingga bila dibandingkan dengan pelat biasa (tanpa pipa), pada
beban yang sama, Sistem Cakar Ayam akan melendut lebih kecil dan lebih awet.
Perlu diperhatikan bahwa bila pelat dipasang tanpa pipa-pipa cakar atau tanpa
dipaku ke tanah, maka oleh akibat beban berulang, seperti beban lalu-lintas,
maka pelat akan mudah sekali bergerak dan di bawah pelat cenderung mudah
sekali terbentuk rongga-rongga antara pelat dan tanah. Rongga-rongga ini yang
mengurangi kontribusi dukungan tanah-dasar terhadap pelat bila pelat dibebani,
akibatnya pelat mudah pecah. Dari hasil uji laboratorium, Hardiyatmo et al.
(2000) menunjukkan bahwa oleh akibat beban, lendutan pelat tanpa cakar lebih
besar dibandingkan dengan pelat yang diperkuat dengan cakar.
DA: Mengapa Anda menamakan konsep pondasi yang Anda temukan ini
dengan konstruksi “cakar ayam”? Apakah memang terinspirasi dari
ayam?
HCH: Fondasi cakar ayam diciptakan oleh Prof. Sediyatmo terdiri dari pelat tebal
10– 20 cm, diperkuat dengan pipa-pipa beton diameter 1,2 m panjang 2 m.
Bentuknya sendiri tidak seperti cakar. Ada beberapa versi mengenai ide awalnya,
ada yang bilang meniru pohon kelapa yang akarnya.
HCH: sudah diaplikasikan di Jalan Tol Seksi 4 Makasar, jalan pantura Indramayu
Pamanukan, Jalan Penghubung di Samarinda, Detour Sediyatmo dll.
DA: Berapa lama waktu yang dibutuhkan jika (orang atau pemerintah)
ingin membangun “pondasi cakar ayam”?
DA: Apa kesan dan pesan Anda untuk mahasiswa teknik, terutama yang
berminat mengikuti jejak Anda, sebagai pakar di bidang mekanika
tanah?
HCH: Banyak membaca referensi, baik buku/jurnal baru dan bukubuku/ jurnal
kuno yang mempelajari filosofi dasar dari mekanika tanah/pondasi.
DA: Apa kesan, pesan, dan kritikan Anda untuk pemerintah, terutama
berkaitan dengan kebijakan pembangunan di bidang teknik (mekanika
tanah)?
HCH: Biaya pembangunan sering dipangkas dari biaya normalnya, sehingga baik
perancangan maupun pembangunan bangunan pemerintah dibangun dengan
tidak maksimal. Banyaknya jalan rusak, karena perancangan dan pelaksanaan
yang buruk, selain juga banyaknya kelebihan beban kendaraan.