Jembatan Cable Geologi

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 179

Jembatan Cable Stayed

Filed under: Sipilian by Fadly Sutrisno — Leave a comment

July 17, 2010

Jembatan cable stayed (Kabel Tetap) sudah dikenal sejak lebih dari 200 tahun yang lalu (Walther, 1988)

yang pada awal era tersebut umumnya dibangun dengan menggunakan kabel vertical dan miring seperti

Dryburgh Abbey Footbridge di Skotlandia yang dibangun pada tahun 1817. Jembatan seperti ini masih

merupakan kombinasi dari jembatan cable stayed modern. Sejak saat itu jembatan cable stayed

mengalami banyak perkembangan dan mempunyai bentuk yang bervariasi dari segi material yang

digunakan maupun segi estetika.

Pada umumnya jembatan cable stayed menggunakan gelagar baja, rangka, beton atau beton pratekan

sebagai gelagar utama (Zarkasi dan Rosliansjah, 1995). Pemilihan bahan gelagar tergantung pada

ketersediaan bahan, metode pelaksanaan dan harga konstruksi. Penilaian parameter tersebut tidak hanya

tergantung pada perhitungan semata melainkan masalah ekonomi dan estetika lebih dominan.

Kecenderungan sekarang adalah menggunakan gelagar beton, cast in situ atau prefabricated (pre cast).

1. Gaya-Gaya yang Bekerja Pada Jembatan Cable Stayed (Kabel Tetap)

Komponen Jembatan Cable Stayed

Pada dasarnya komponen utama jembatan cable stayed terdiri atas gelagar, sistem kabel , dan menara

atau pylon.
a). Sistem kabel

Sistem kabel merupakan salah satu hal mendasar dalam perencanaan jembatan cable stayed. Kabel

digunakan untuk menopang gelagar di antara dua tumpuan dan memindahkan beban tersebut ke menara.

Secara umum sistem kabel dapat dilihat sebagai tatanan kabel transversal dan tatanan kabel longitudinal.

Pemilihan tatanan kabel tersebut didasarkan atas berbagai hal karena akan memberikan pengaruh yang

berlainan terhadap perilaku struktur terutama pada bentuk menara dan tampang gelagar. Selain itu akan

berpengaruh pula pada metode pelaksanaan, biaya dan arsitektur jembatan. Sebagian besar struktur yang

sudah dibangun terdiri atas dua bidang kabel dan diangkerkan pada sisi-sisi gelagar (Walther, 1988).

Namun ada beberapa yang hanya menggunakan satu bidang. Penggunaan tiga bidang atau lebih mungkin

dapat dipikirkan untuk jembatan yang sangat lebar agar dimensi balok melintang dapat lebih kecil.

b). Tatanan kabel transversal

Tatanan kabel transversal terhadap arah sumbu longitudinal jembatan dapat dibuat satu atau dua bidang

dan sebaliknya ditempatkan secara simetri. Ada juga perencana yang menggunakan tiga bidang kabel

sampai sekarang belum diterapkan di lapangan. Secara tatanan kabel transversal dapat dilihat pada

gambar berikut.

1. Sistem satu bidang

Sistem ini sangat menguntungkan dari segi estetika karena tidak terjadi kabel bersilangan yang terlihat

oleh pandangan sehingga terlihat penampilan struktur yang indah. Kabel ditempatkan ditengah-tengah

dek dan membatasi dua arah jalur lalulintas. Untuk jembatan bentang panjang biasanya memerlukan

menara yang tinggi menyebabkan lebar menara di bawah dek sangat besar. Secara umum jembatan yang

sangat panjang atau sangat lebar tidak cocok dengan penggantung kabel satu bidang.

1. Sistem dua bidang

Penggantung dengan dua bidang dapat berupa dua bidang vertikal sejajar atau dua bidang miring yang

pada sisi atas lebih sempit.

1. Sistem tiga bidang

Pada perencanaan jembatan yang sangat lebar atau membutuhkan jalur lalulintas yang banyak, akan

ditemui torsi yang sangat besar bila menggunakan sistem kabel satu bidang dan momen lentur yang besar

pada tengah balok melintang bila menggunakan sistem dua bidang. Kejadian ini menyebabkan gelagar

sangfat besar dan menjadi tidak ekonomis lagi. Penggunaan penggantung tiga bidang dapt mengurangi

torsi, momen lentur, dan gaya geser yang berlebihan. Penggunaan penggantung tiga bidang sampai saat

ini masih berupa inovasi dan baru sampai pada tahap desain (Walther,1988)

2. Menara

Pemilihan menara sangat dipengaruhi oleh konfigurasi kabel, estetika dan kebutuhan perencanaan serta

pertimbangan biaya. Bentuk-bentuk menara dapat berupa rangka portal tropezoidal, menara kembar,

menara A, atau menara tunggal.Selain bentuk menara yang telah disebutkan, masih banyak bentuk

bentuk menara lain namun jarang digunakan seperti menara Y, menara V, dan lain sebagainya.
3. Gelagar

Bentuk gelagar jembatan cable stayed sangat bervariasi namun yang paling sering digunakan ada dua

yaitu stffening truss dan solid web (Podolny and Scalzi, 1976). Stiffening truss digunakan untuk struktur

baja dan solid web digunakan untuk struktur baja atau beton bertulang maupun beton prategang.

Gelagar yang tersusun dari solid web yang terbuat dari baja atau beton cenderung terbagi atas dua tipe

(Ganbar 8.9) yaitu :

1. gelagar pelat (plate girder), dapat terdiri atas dua atau banyak gelagar.

2. gelagar box (box girder), dapat terdiri atas satu susunan box yang dapat berbentuk persegi

panjang atau trapesium.

Kelebihan Jembatan Cable Stayed :

• Kabel lurus memberikan kekakuan yang lebih besar dari kabel melengkung. Disamping itu,

analisis non linier tidak perlu dilakukan untuk geometri kabel lurus.

• Kabel diangker pada lantai jembatan dan menimbulkan gaya aksial tekan yang menguntungkan

secara ekonomis dan teknis.

• Tiap – tiap kabel penggantung lebih pendek dari panjang jembatan secara keseluruhan dan dapat

diganti satu persatu.

Kelemahan Jembatan Cable Stayed

1. Diperlukan metode pelaksanaan yang cukup teliti jika jembatan Cable Stayed dibangun dengan

bentang yang lebih panjang, bagian yang terkantilever sangat rentan terhadap getaran akibat

angin selama masa konstruksinya.

2. Sama halnya dengan jembatan penggantung, kabel penggantungnya memerlikan perawatan

yang intensif untuk melindungi dari karat.

Jembatan kabel tetap terpanjang yang sudah ada saat ini adalah Tatara Bridge, di Jepang dengan total

panjang 1480 meter dengan lebar bentang 890 meter.

Study Kasus Jembatan Suramadu

A. Metoda Kontruksi Cable Stayed

a. Pelaksanaan Pekerjaan Platform

Platform merupakan konstruksi pendukung sementara yang berfungsi sebagai tempat untuk menginstalasi

batching plan, menyimpan material seperti tiang pancang serta sebagai tempat bagi berbagai aktivitas di

tengah laut selama kegiatan konstruksi berlangsung.

b. Pelaksanaan Pekerjaan Bored Pile

• Pemasangan Casing Baja.

• Pengeboran sampai kedelaman yang diinginkan.

• Pemasangan tulangan Pengecoran lubang bored pile dengan beton.

c. Pelaksanaan Pekerjaan Pile Cap


• Setelah pekerjaan bored pile selesai dikerjakan, semua komponen platform yang menumpu ke

steel casing di bongkar.

• Caisson baja yang berfungsi sebagai bekisting bawah pile cap kemudian dipasang.

• Pengecoran lapisan sealing concrete untuk menahan masukkan air laut ke pile cap Pemasangan

tulangan pile cap.

• Pengecoran beton pile cap yang dilakukan tiga lapis.

1. Pelaksanaan Pekerjaan Pylon

2. Pelaksanaan Pekerjaan Struktur Atas

3. Abutment Dan Pier Head

• Konstruksi dasar pylon dan lengan bawah dari pylon.

• Instalasi elevator pada pylon.

• Konstruksi balok pengikat pylon bagian bawah.

• Konstruksi lengah pylon di tengah.

• Konstruksi balok pengikat tengah.

• Konstruksi lengan atas pylon.

• Konstruksi balok pengikat atas.

• Pemasangan struktur bantu sementara di atas pile cap.

• Pemasangan segmen girder baja pertama dengan crane barge, hubungan antara segmen dengan

pylon dibuat tetap (fix) untuk sementara.

• Pemasangan cantilever crane pada lantai jembatan untuk mengakat segmen berikutnya.

• Pemasangan girder baja dengan mneggunakan cantilever crane diikiti dengan penenganan kabel.

• Pemasangan pelat lantai jembatan pada segmen pertama dan kedua dilanjutkan dengan

pengecoran sambungan.

• Pemasangan girder baja selanjutnya dengan menggunakan cantilever crane diikuti dengan

peregangan kabel. Pada saat bersamaan dipasang pilar sementara di dekat pilar V.

Pelaksanaan Pembuatan dilakukan Bertahap


Dimensi Pile Cap

• Dimensi Atas: Dimensi bawah

• Panjang : 32 Panjang : 30 m

• Lebar :2m Lebar :4m

• Tinggi : 1.05 m Tinggi : 1.5 m

Pelaksanaan pembuatan pier head/ pile cap dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pembuatan

bekisting, pembesian, dan pengecoran. Pengecoran dilakukan dalam dua tahap, yaitu bagian bawah pier

dan bagian atas pier.


Setelah bekisting selesai dikerjakan, dilakukan pekerjaan pembesian yang meliputi pemasangan/

pengelasan besi WF pengikat tiang pancang, pembesian tulangan pilar bagian bawah, pilar samping, dan

pilar bagian atas. Setelah semua tulangan terpasang, tahap berikutnya adalah pekerjaan pengecoran.

Beton dengan K-350 dibuat berdasarkan hasil test pencampuran/ trial mix. Untuk setiap truk mixer beton

yang berasal dari batching plant, dilakukan uji slump beton. Slump yang dipersyaratkan adalah t ± 8-12

cm.

Truk mixer kemudian membawa beton ke lokasi proyek untuk dituangkan ke concrete pump. Sebelum

dituang, dilakukan pengambilan benda uji sebanyak 48 buah untuk tiap pile cap serta pengujian slump

ulang. Dengan bantuan concrete pump, beton tersebut dituangkan ke dalam pile cap lapis demi lapis

sambil dipadatkan. Tebal tiap lapisan ± 30 cm. Setelah itu dilaksanakan pekerjaan finishing pada

permukaan beton

Hal penting yang perlu diperhatikan selama pelaksanaan pengecoran beton dengan massa besar (mass

concrete)adalah perbedaan suhu. Agar didapat suhu beton merata tanpa terjadi perbedaan yang besar

dilakukan perawatan atau curing beton dengan karung basah selama 14 hari.

1. PCI Girder

a. Penggunaan Balok PCI Garder

Struktur atas causeway Proyek Jembatan Suramadu menggunakan balok PCI Girder berkekuatan beton K-

500, dengan panjang 40 meter, yang terbagi menjadi 7 segmen. Pembagian ini mengingat kondisi

lapangan yang tidak memungkinkan, untuk memindahkan balok PCI Girder tersebut secara utuh –sesuai

panjang bentang–, dari lokasi pembuatan (pabrik) ke lokasi pemasangan. Selanjutnya dilakukan post

tension dengan menggabungkan beberapa segmen balok untuk kemudian disatukan dengan

menggunakan perekat dan ditegangkan (stressing).

b. Stressing Girder

Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan PCI Girder ini adalah elevasi stressing bed. Lokasi

post tensioning harus diusahakan sedatar mungkin agar tidak menyebabkan girder mengalami

perpindahan dalam arah lateral. Setelah itu ketujuh segmen balok girder yang telah menjadi satu

kesatuan, dijajarkan sesuai bagiannya. Sebelumnya dipersiapkan terlebih dahulu perletakan sementara

untuk masing-masing segmen. Di bagian ujung pertemuan harus diberi oli atau pelumas agar balok dapat

bergerak mengimbangi gaya pratekan yang diberikan. Kabel strand dipotong sesuai dengan kebutuhan di

lapangan. Pemotongan diusahakan seminimal mungkin agar tidak ada kabel yang terbuang. Berikutnya

kabel strand dimasukkan ke dalam duct secara manual pada tiap-tiap tendon sesuai dengan perencanaan.

Lalu di pasang pengunci kabel strand di ujung kabel. Penegangan (stressing) dilakukan sampai tegangan

8.000 Psi dengan dilakukan pengontrol tegangan dan perpanjangan kabel. Pencatatan dilakukan pada

setiap kenaikan tegangan 1.000-2.000Psi. Dan hasilnya dibandingkan dengan perhitungan teoritis yang

dilakukan sebelum penarikan.

c. Erection Girder
Metode pelaksanaan pemasangan PCI Girder untuk sisi Surabaya dan Madura memiliki perbedaan. Hal ini

disebabkan karena perbedaan kondisi setempat. Di sisi Madura, kedalaman laut relatif dalam dan tidak

terpengaruh adanya pasang-surut air laut. Sedangkan di sisi Surabaya, kondisi laut cukup dangkal dan

sangat terpengaruh pasang-surut. Hal ini menyebabkan sistem yang digunakan berbeda. Di sisi Surabaya

digunakan metode ‘kura-kura’ atau roller , sedangkan di sisi Madura Menggunakan crane

Metode pelaksanaan pemasangan PCI Girder untuk sisi Surabaya dan Madura memiliki perbedaan. Hal ini

disebabkan karena perbedaan kondisi setempat. Di sisi Madura, kedalaman laut relatif dalam dan tidak

terpengaruh adanya pasang-surut air laut. Sedangkan di sisi Surabaya, kondisi laut cukup dangkal dan

sangat terpengaruh pasang-surut. Hal ini menyebabkan sistem yang digunakan berbeda. Di sisi Surabaya

digunakan metode ‘kura-kura’ atau roller , sedangkan di sisi Madura Menggunakan crane.

Panjang PCI Girder setelah terangkai adalah 40 meter, dengan tinggi 2,1 meter, dan berat 80 ton. PCI

Girder tersebut didesain untuk hanya menerima beban vertikal dan tidak untuk menerima beban

horisontal. Hal ini menyebabkan proses pengangkutan PCI Girder tersebut dari lokasi penyimpanan

(stockyard) sampai ke lokasi pemasangan harus dibuat sedatar dan selurus mungkin. Ini untuk

menghindarkan terjadinya gaya horisontal akibat gerakan truk yang berlebihan yang dapat menyebabkan

balok girder patah. Tahapan pemindahan girder dimulai dengan pengangkatan menggunakan dua crane

dan diletakkan pada boogy . Girder tersebut kemudian diangkut dengan boogy ke masingmasing pier.

Proses selanjutnya adalah pemindahan dari boogy ke pile cap yang dilaksanakan dengan metode yang

berbeda antara sisi Surabaya dan sisi Madura.

1. Diafragma And Deck Slab

Diafragma adalah elemen struktur yang berfungsi untuk memberikan ikatan antara PCI Girder sehingga

akan memberikan kestabilan pada masing PCI Girder dalam arah horisontal. Sistem difragma yang

digunakan pada causeway Jembatan Suramadu adalah sistem pracetak. Pengikatan tersebut dilakukan

dalam bentuk pemberian stressing pada diafragma dan PCI Girder sehingga dapat bekerja sebagai satu

kesatuan. Deck slab merupakan elemen non-struktural yang berfungsi sebagai lantai kerja dan bekisting

bagi plat lantai jembatan. Deck slab tersebut dibuat dari beton dengan mutu K-350.

E. Approach Bridge

Untuk bangunan atas menggunakan beton Presstressed Box Girder dengan bentang 80 meter sebanyak 7

bentang, baik untuk sisi Surabaya maupun sisi Madura. Sedangkan struktur bawah terdiri dari pondasi

bored pile berdiameter 180 cm dengan panjang 60-90 meter

Main Bridge

Pembagian Lajur Jalan

Lebar Jembatan = 2 x 15.0 m

Lajur kendaraan = 2 x 2 x 3.50 m

Lajur lambat (darurat) = 2 x 2.75 m


Kelandaian maksimum = 3%

Lajur kendaraan

• Kendaraan roda 4 terdiri dari 4 lajur cepat dan 2 lajur darurat

• Kendaraan roda 2 terdiri dari 2 lajur

Konstruksi Pylon bentang utama setinggi 146 meter, dengan menggunakan borepile berdiameter 2,4

meter dengan kedalaman 71 meter, Ketinggian vertikal bebas (untuk navigasi) bentang utama adalah 35

meter dari permukaan laut.


Comment
Budidaya Tambak
Filed under: Sipilian by Fadly Sutrisno — Leave a comment

July 17, 2010

I. PENDAHULUAN

Penggunaan tambak untuk memelihara udang sejak lama dilakukan oleh masyarakat petani ikan yang

hidup disepanjang pesisir pantai. Menurut sejarahnya, asal mula pemeliharaan udang ditambak dipelopori

oleh sejumlah narapidana yang diasingkan kedaerah terpencil pada zaman kolonial.Untuk

mempertahankan hidupnya selama di pengasingan, mereka berusaha mencari ikan disepanjang pantai,

terutama di daerah pantai yang telah terputus hubungannya dengan laut bebas. Mereka telah mengetahui

bahwa di daerah pantai demikian banyak dijumpai ikan yang terperangkap, sehingga mudah untuk

ditangkapnya.

Selanjutnya mereka berusaha untuk menciptakan sendiri daerah demikian dengan cara membendung atau

menambak daerah tertentu sehingga timbullah istilah tambak. Tentu saja pada saat itu bentuknya masih

sangat sederhana, yaitu hanya berupa tumpukan batu karang sekedar menghalangi jalan keluar bagi ikan

atau udang.Saat ini ilmu pengetahuan perikanan telah berkembang, sehingga model tambak pun juga

mengalami perkembangan seperti bentuk tambak sekarang ini,tambak mulai dilengkapi dengan pintu air,

saringan,caren,saluran air, dan sebagainya

II. MENENTUKAN LOKASI TAMBAK

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam pembuatan tambak adalah menentukan lokasi yang paling

memenuhi persyaratan untuk memedia memelihara udang.Pemilihan lokasi tambak ini tidak hanya untuk

menentukan kecocokan lahan sebagai media pemeliharaan udang saja, tetapi juga untuk mendukung

modifiksai disain tambak,tata letak tambak, pembuatan konstruksi tambak, dan manajemen yang akan

diterapkan.

Pada prinsipnya, lahan yang akan digunakan sebagai tambak harus memenuhi persyaratan fisika,

kimia,biologis, teknis, sosial ekonomis,hogienis, dan legal. Untuk mendapatkan lahan yang memenuhi

persyaratan tersebut, ada 4 aspek utama yang diperhatikan sebagai kriteria dalam penentuan lokasi

tambak, yaitu:

1. Aspek ekologis
2. Aspek tanah

3. Aspek biologis

4. Aspek sosial ekonomis

Ditinjau dari segi aspek ekologis, keadaan alam, sumber air dan iklim di Indonesia sangat menunjang

usaha budi daya di tambak.

Secara ekologis ada 7 faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan tingkat kesesuaian lokasi

tambak yaitu:

1. Iklim Dan Suhu Lingkungan

2. Kuantitas Dan Kualitas Air

3. Salinitas

4. Pasang surut air

5. Arus air

6. Pola hujan dan rembesan

Kondisi Fisik Air Tambak

Secara garis besar kondisi fisik air tambak merupakan keadaan air tambak ditinjau dari keberadaan dan

penampakan partikel-partikel fisik yang dijumpai di dalam perairan tersebut. Partikel-partikel tersebut

muncul sebagai akibat proses yang terjadi di dalam ekosistem perairan maupun karena faktor teknis

budidaya sehingga secara tidak langsung ikut mempengaruhi kehidupan organisme yang berada di

dalamnya. Kondisi fisik air tambak juga dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur kualitas perairan

dengan dasar pemikiran sebagai berikut ini :

1. Pemunculan partikel tersebut dapat dijadikan isyarat bahwa telah terjadi proses (biologi, kimia,

fisika) di dalam perairan yang tidak sebagaimana mestinya;

2. Dalam jumlah yang besar dan jangka waktu lama dapat menyebabkan terganggunya fungsi

fisiologis udang dan organisme lainnya;

Ukuran partikel-partikel tersebut ada yang berukuran kecil dan ada yang relatif besar karena karena

proses akumulasi yang terjadi. Pemunculan partikel tersebut bisa berada di lapisan air maupun muncul

dipermukaan air tambak. Melalui pengamatan yang cermat maka penampakannya akan dapat terlihat

bahkan terdeteksi semenjak dini penyebab permasalahannya. Beberap kondisi fisik perairan tambak yang

biasa dijumpai antara lain :

1. Air tambak berdebu ン, kondisi ini untuk menggambarkan bahwa di dalam air tambak muncul

partikel-partikel sangat halus dan melayang-layang karena tidak terlarut atau mengendap di

dalam perairan tambak. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan gangguan pada insang udang

dan pada jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan penyakit insang merah. Alternatif

perlakuan yang bisa diterapkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan melakukan

peningkatan sirkulasi air baik dari segi frekuensi maupun volumenya secara kontinyu.
Penggunaan saponin pada dosis tertentu diharapkan dapat mengikat partikel yang ada di

perairan tambak.

2. Air tambak berbusa/berbuih ン, pada kondisi ini air dipermukaan tambak tampak berbusa/berbuih

dan akan lebih jelas kelihatan pada saat kincir air dioperasikan. Hal ini menandakan bahwa di

perairan tersebut telah terjadi mortalitas plankthon secara massal yang dapat menimbulkan

keseimbangan ekosistem perairan colaps, kecerahan air tambak cenderung tidak stabil, dasar

tambak kotor karena endapan bangkai plankthon. Perlakuan teknis yang dapat digunakan untuk

mengatasi kondisi ini adalah dengan melakukan sirkulasi air secara kontinyu dan pada kondisi

tertentu dapat dilakukan inokulasi bibit plankthon secara kontinyu dari petakan tambak lainnya

disertai dengan peningkatan dosis penggunaan pupuk atau pemakaian bahan organik.

3. Pemunculan klekap di permukaan air tambak. Klekap pada dasarnya merupakan campuran

antara kotoran dasar tambak dengan bangkai plankthon yang terangkat ke permukaan air karena

adanya proses oksidasi dengan bantuan sinar matahari. Kondisi ini terjadi karena dasar tambak

yang kotor dan kecerahan air tambak yang relatif tinggi. Klekap bila telah mengendap kembali di

dasar tambak akan terjadi pembusukan dan dapat menyebabkan peningkatan kandungan H2S,

NH3 di dalam tambak yang berbahaya bagi udang. Pemunculan klekap di permukaan tambak

dapat diatasi dengan pengangkatan klekap dari permukaan tambak dan pembersihan dasar

tambak yang diibangi dengan sirkulasi secara kontinyu dan pembentukan kembali kualitas air

tambak melalui regenerasi plankthon yang telah mati dengan cara inokulasi bibit plankthon dan

pemumpukan dengan dosis yang sesuai dengan kebutuhan;

4. Tumbuhnya lumut di dalam tambak. Kondisi ini terjadi karena kecerahan air tambak yang relatif

tinggi dan berlangsung dalam kondisi lama dan disertai dengan proses pemupukan yang

kontinyu. Lumut yang tumbuh di dalam tambak akan menghambat aktifitas dan gerak udang

serta proses penumbuhan plankthon relatif lebih susah. Lumut akan hilang jika penetrasi sinar

matahari yang membantu pertumbuhan lumut terhalang oleh plankthon pada kecerahan air

tertentu.

Ke empat kondisi tersebut di atas merupakan hal yang sering dijumpai pada petakan-petakan tambak

yang dalam pengamatan kualitas perairan kurang cermat ataupun pemberian perlakuan teknis yang

kurang tepat pada sasarannya. Perairan tambak dengan kualitas perairan dan kondisi udang yang sesuai

dengan keseimbangan ekosistem akan mempengaruhi rona dan kualitas kondisi fisik perairan akan terjaga

dengan sendirinya serta sangat tergantung pada upaya untuk mempertahankan kondisi tersebut.

Warna Air Tambak

Warna air tambak pada dasarnya terjadi karena adanya dominansi jenis plankton tertentu yang tumbuh

dan berkembang di dalam perairan tambak. Parameter ini dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur

kualitas perairan tambak secara praktis melalui pengamatan visual dengan memperhatikan kondisi dan

kualitas udang di dalam perairan tersebut dengan dasar pemikiran seperti berikut ini:
1. Phythoplankton mempunyai karakteristik warna tertentu yang disebabkan oleh kandungan

chlorophyl yang relatif berbeda antara jenis yang satu dengan yang lainnya.

2. Plankton memiliki karakteristik sifat tertentu dalam melakukan proses kegiatannya baik itu

biologi, kimia, fisika dan ekologi yang relatif berbeda antara jenis yang satu dengan yang lainnya.

3. Phythoplankton merupakan produsen utama dalam rantai makanan yang ada di perairan tambak,

sehingga dominansinya relatif berpengaruh pada kehidupan organisme lainnya.

4. Tidak semua jenis plankton yang tumbuh dalam perairan tambak bersifat menguntungkan bagi

udang atau organisme lainnya di dalam tambak, sehingga dominansi dari jenis tertentu akan

berpengaruh pada tingkat kenyamanan organisme lain di dalam tambak.

Dasar pemikiran diatas memperlihatkan bahwa warna perairan tambak yang disebabkan oleh adanya

dominansi jenis plankton tertentu dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan tentang kualitas

air tambak. Faktor dominansi plankton di dalam tambak dapat terjadi karena pengaruh bibit plankton yang

dimasukkan ke dalam tambak dan treatment yang diterapkan dalam proses penumbuhan dan pengelolaan

plankton. Pada saat awal pembentukan air tambak bibit plankton yang dimasukkan ada kemungkinan

sudah terjadi dominansi yang selanjutnya tumbuh dan berkembang di dalam tambak. Pada kasus lain bibit

plankton yang dimasukkan ke dalam tambak belum terjadi dominansi, tapi treatment yang diterapkan

memungkinkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan jenis plankton tertentu sehingga

mendominansi perairan tambak.

Aspek yang perlu diperhatikan dalam menilai dan menganalisis warna air tambak secara garis besar

meliputi:

1. Jenis plankton yang dominan.

2. Kelimpahan plankton yang dominan.

3. Kondisi dan kualitas udang.

Analisis terhadap jenis plankton yang dominan didasarkan pada karakteristik dan sifatnya serta tingkat

permasalahan yang mungkin ditimbulkan di dalam perairan dan pengaruhnya terhadap organisme lainnya.

Perairan tambak yang didominansi oleh jenis plankton yang bersifat menguntungkan dan membawa

pengaruh yang nyaman dan aman pada organisme lainnya keputusan yang perlu diambil adalah cara

untuk mempertahankan, sedangkan jika dominansi yang terjadi adalah dari jenis plankton yang merugikan

maka perlu dilakukan penggantian dominansi plankton dengan melakukan penurunan air tambak dalam

volume yang besar dan proses inokulasi bibit plankton yang menguntungkan dari petakan tambak lainnya

disertai dengan pemupukan.

Kelimpahan plankton yang dominan di perairan tambak erat hubungannya dengan tingkat kecerahan air

tambak seperti telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya. Kelimpahan yang terlalu tinggi dari jenis

plankton yang merugikan akan sangat membahayakan bagi udang dan dapat menimbulkan masalah

serius jika tidak segera diantisipasi.


Analisis warna air tambak yang berkaitan dengan dominansi jenis plankton tertentu harus bermuara pada

kondisi dan kualitas udang yang hidup di perairan tersebut. Keadaan ini dapat diartikan bahwa meskipun

dominansi plankton di perairan tambak tersebut merupakan jenis yang menguntungkan tapi jika kondisi

dan kualitas udang mengalami degradasi, maka ada sesuatu masalah di dalam perairan tersebut sehingga

perlu diadakan identifikasi dan analisis penyebab masalah secara cermat dan akurat. Sebaliknya jika

pengamatan warna air tambak menunjukkan adanya dominansi plankton yang merugikan sedangkan

kondisi dan kualitas udang dalam keadaan normal, maka proses penggantian air tambak perlu dilakukan

secara bertahap dan kontinyu agar tidak menimbulkan stress pada udang sampai dominansi plankton di

dalam tambak tergantikan dengan jenis yang baru dan bersifat menguntungkan.

Kriteria warna air tambak yang dapat dijadikan acuan standar dalam pengelolaan kualitas air adalah

seperti di bawah ini:

1. Warna air tambak hijau tua yang berarti menunjukkan adanya dominansi chlorophyceae dengan

sifat lebih stabil terhadap perubahan lingkungan dan cuaca karena mempunyai waktu mortalitas

yang relatif panjang. Tingkat pertumbuhan dan perkembangannya yang relatif cepat sangat

berpotensi terjadinya booming plankton di perairan tersebut.

2. Warna air tambak kecoklatan yang berarti menunjukkan adanya dominansi diatomae. Jenis

plankton ini merupakan salah satu penyuplai pakan alami bagi udang, sehingga tingkat

pertumbuhan dan perkembangan udang relatif lebih cepat. Tingkat kestabilan plankton ini relatif

kurang terutama pada kondisi musim dengan tingkat curah hujan yang tinggi, sehingga

berpotensi terjadinya plankton collaps dan jika pengelolaannya tidak cermat kestabilan kualitas

perairan akan bersifat fluktuatif dan akan mengganggu tingkat kenyamanan udang di dalam

tambak.

3. Warna air tambak hijau kecoklatan yang berarti menunjukkan dominansi yang terjadi merupakan

perpaduan antara chlorophyceae dan diatomae yang bersifat stabil yang didukung dengan

ketersediaan pakan alami bagi udang.

Standar warna air tambak seperti tersebut di atas merupakan acuan praktis dalam mengidentifikasi jenis

plankton sebagai upaya pendeteksian masalah kualitas perairan secara dini. Selain warna standar tersebut

ada beberapa warna air tambak yang biasa dijumpai dalam kegiatan usaha budidaya udang, yaitu antara

lain:

1. Warna air tambak kekuningan yang berarti menunjukkan adanya dominansi phytoplankton jenis

cyanophyceae. Pada kondisi perairan tambak seperti ini biasanya udang berwarna lebih pucat

dari biasanya disertai dengan penurunan nafsu makan udang dan jika tidak segera diantisipasi

dapat menimbulkan kerusakan pada hepatopanchreas udang.

2. Warna air tambak hijau pupus yang berarti menunjukkan adanya dominansi phytoplankton jenis

dynophyceae dampak yang ditimbulkan relatif sama dengan point (1).


3. Warna air tambak biru kehijauan yang berarti menunjukkan adanya dominansi blue green algae

dampak yang ditimbulkan relatif sama dengan point (1).

4. Kamuflase green color, pada kondisi ini tambak seolah-olah berwarna kehijauan tapi pada

dasarnya tidak/kurang mengandung plankton. Hal ini terjadi biasanya pada tambak yang

kandungan bibit planktonya sangat kurang tetapi kegiatan pemupukan berjalan terus, sehingga

warna yang ditimbulkan adalah warna karena pengaruh cuaca. Kejadian ini dapat diketahui

dengan mengukur kecerahan perairan tambak yang biasanya sangat tinggi, atau dengan melihat

warna air yang ada pada kincir air yang sedang dioperasikan.

Identifikasi jenis plankton di perairan tambak secara praktis dengan melihat warna perairan seperti telah

diuraikan di atas perlu ditunjang dengan pengamatan dan analisis laboratorium secara berkala untuk

mendapatkan hasil yang lebih akurat. Kegiatan ini dilakukan dengan cara pengambilan sampel perairan

dan sampel udang dari petakan-petakan tambak baik yang bermasalah maupun yang tidak terkena

masalah, sehingga dapat diambil perbandingannya.

Kondisi Dasar Tambak

Kondisi dasar tambak merupakan suatu keadaan fisik dasar tambak beserta proses yang terjadi

didalamnya baik yang menyangkut biologi, kimia, fisika maupun ekologi yang secara langsung maupun

tidak langsung ikut berpengaruh pada kehidupan udang maupun organisme lainnya dalam suatu

keterkaitan ekosistem perairan tambak. Parameter ini dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur

kualitas perairan tambak dengan dasar pemikiran sebagai berikut :

1. Dasar tambak merupakan ruang gerak dan tempat hidup bagi udang dan organisme lainnya

dalam kondisi normal seperti habitat alaminya, sehingga kondisi dasar tambak akan

mempengaruhi tingkat keamanan dan kenyamanan bagi udang maupun organisme lainnya di

dalam perairan tersebut;

2. Dasar tambak merupakan tempat akumulasi kotoran tambak baik yang berasal dari treatment

budidaya maupun proses metabolisme yang dilakukan oleh organisme yang hidup di perairan

tambak tersebut;

3. Dasar tambak merupakan suatu area di dalam tambak yang membentuk suatu sub komunitas

tersendiri yang bersifat benthic di dalam tambak dan keberadaannya mempunyai korelasi yang

erat dengan ekosistem perairan tambak;

4. Pada dasar tambak terjadi proses-proses biologi, kimia, fisika dan ekologi yang sangat tergantung

pada kestabilan ekosistem perairan;

5. Pada kondisi tertentu, dasar tambak dapat bersifat an aerob karena tidak terjadinya proses

oksidasi sehingga dapat membahayakan bagi kondisi dan kualitas udang di dalam tambak.

Kondisi dasar tambak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan kondisi dan kualitas udang serta

kualitas perairan tambak, yaitu jika perairan tambak berada pada keseimbangan ekosistem dan bersifat

stabil serta kondisi dan kualitas udang bagus maka kondisi dasar tambak akan terjaga dengan sendirinya.
Salah satu faktor yang juga ikut menentukan kondisi dasar tambak adalah penempatan posisi kincir air

yang dioperasikan pada saat kegiatan budidaya berlangsung. Posisi kincir yang sesuai dan dapat

mengarahkan kotoran dasar tambak ke arah sentral pembuangan dapat meminimalkan terjadinya

penyebaran akumulasi kotoran tersebut di dasar tambak, sehingga pada saat dilakukan pembuangan air

tambak kotoran tersebut dapat ikut terbawa.

Pada dasarnya setiap petakan tambak yang sedang dioperasikan selalu dijumpai adanya kotoran dan hal

yang perlu diperhatikan adalah tingkat keberadaan dan tingkat penyebarannya di dasar tambak

dibandingkan dengan tolok ukur dari hasil pengamatan terhadap kondisi dan kualitas udang serta kualitas

perairan tambak. Beberapa faktor penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi kotoran di

dasar tambak adalah antara lain :

1. Desain dan kontruksi dasar tambak yang tidak dirancang dengan tingkat kesesuaian

terkonsentrasinya kotoran ke arah sentral pembuangan, sehingga menyebabkan kotoran di dasar

tambak tersebut menyebar di beberapa titik konsentrasi;

2. Penempatan posisi kincir air yang kurang tepat, sehingga tidak dapat mengarahkan kotoran

tersebut ke arah sentral pembuangan;

3. Program pakan yang over feeding jika dibandingkan dengan tingkat kebutuhan udang. Sisa

pakan yang berlebihan tersebut tidak terkonsumsi oleh udang dan membusuk serta terakumulasi

di dasar tambak menjadi kotoran;

4. Teknik pemberian pakan yang tidak merata ke seluruh area pakan di dalam petakan tambak,

sehingga pakan terakumulasi di satu titik dan tidak terkonsumsi merata sehingga membusuk di

dasar tambak;

5. Tingkat populasi udang di dalam tambak. Pada tambak dengan populasi udang yang relatif

padat, kondisi dasar tambak akan relatif bersih karena kotoran di dasar tambak akan terdorong

dengan sendirinya ke sentral pembuangan yang diakibatkan oleh aktifitas udang di dasar

tambak;

6. Kurangnya pengecekkan dasar tambak dengan melakukan penyelaman secara berkala;

7. Kurangnya intensitas dan frekuensi sirkulasi air yang dapat mendorong kotoran dasar tambak ke

arah sentral pembuangan.

Kotoran di dasar tambak biasanya berupa lumpur hitam yang mengendap di dasar serta mengandung H2S

dan NH3 yang bersifat asam dalam dosis tertentu dapat membahayakan bagi udang. Kotoran ini berasal

dari proses metabolisme yang dilakukan oleh organisme perairan tersebut, mortalitasplankthon dan sisa

pakan udang yang tidak terkonsumsi serta pengaruh dari treatment budidaya lainnya. Keberadaan

lumpur hitam di dasar tambak dapat teramati melalui cara antara lain :

1. Pengamatan warna kulit/khitin udang melaui sampling berkala maupun pengamatan ancho.

Kondisi dasar tambak yang kotor dan penuh lumpur biasanya berdampak pada penampakan kulit

udang yang cenderung berwarna lebih gelap dari keadaan normal. Pada saat dilakukan
samplingsampling kotoran dasar tambak/lumpur biasanya ikut terbawa pada jala yang ditebarkan

ke dalam tambak;

2. Pengecekkan langsung ke dasar tambak dengan melakukan penyelaman untuk melihat kondisi

dasar tambak dan kondisi udang;

3. Melihat saluran pembuangan air tambak pada saat dilakukan sirkulasi air dengan

memperhitungkan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan kotoran/lumpur tersebut.

Pada kegiatan ini juga perlu diperhatikan tingkat kelancaran saluran pembuangan dalam

mengeluarkan air tambak, jika terjadi penyumbatan maka dibutuhkan identifikasi lanjutan

terhadap penyebab penyumbatan tersebut. Faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah

keberadaan bangkai udang yang ikut terbawa keluar bersama air tambak berdasarkan jumlah

dan kondisi bangkai udang tersebut agar dapat diambil alternatif keputusan yang mengarah

padaharvesting decision ataupun treatment decision;

4. Pengamatan terhadap permukaan air tambak pada saat kincir air tidak dioperasikan. Kondisi

dasar tambak yang kotor dan penuh lumpur biasanya mengeluarkan gelembung-gelembung

udara yang muncul dari dasar tambak ke arah permukaan air, jika di permukaan tambak banyak

dijumpai fenomena ini maka kondisi dasar tambak relatif sangat kotor dan penuh lumpur.

Pemantauan kondisi dasar tambak perlu dilakukan secara cermat baik melalui pengamatan berkala

maupun yang bersifat insidental agar permasalahan yang terjadi dapat segera ditangani. Permasalahan

cukup serius yang biasanya terjadi adalah kematian udang di dasar tambak karena berbagai

permasalahan yang tidak terdeteksi. Kematian udang di dasar tambak yang disebabkan oleh

proses moulting biasa dijumpai dan bersifat alamiah karena adanya kanibalisme dari udang lainnya dalam

kuantitas masih berada pada batas toleransi yang ditetapkan. Sedangkan kematian udang di dasar

tambak yang bersifat massal dan disebabkan oleh permasalahan yang tidak terdeteksi biasanya bangkai

udang terkonsentrasi di sentral pembuangan dan pada tingkat yang lebih parah bangkai udang menyebar

di dasar tambak.

Sebagai upaya mengantisipasi permasalahan tersebut maka perlu dilakukan pemantauan dasar tambak

baik secara yang bersifat insidental seperti yang telah diuraikan di atas maupun yang bersifat berkala

yaitu dengan melakukan pengangkatan kotoran dan lumpur hitam terutama yang berada di sentral

pembuangan dengan alat bantu pompa air dan selang spiral dengan menyedot kotoran dan lumpur hitam

tersebut dan membuangnya melalui saluran pembuangan. Kegiatan ini sebaiknya juga diikuti dengan

pemantauan tingkat kematian udang di dasar tambak melalui cara mengambil sampel bangkai udang dan

kuantitasnya yang dijumpai untuk dilakukan identifikasi tingkat permasalahan sebagai dasar pengambilan

keputusan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan kegiatan ini antara lain :

1. Kondisi dan kualitas udang, karena kegiatan pengangkatan kotoran dan lumpur hitam secara

berkala ini akan memberikan guncangan pada kestabilan kualitas perairan yang dapat

menimbulkan stress pada udang. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan pada saat kondisi udang
benar-benar bagus dengan tingkat daya tahan terhadap stress tinggi, sedangkan pada udang

dalam situasi moulting massal diharapkan tidak melakukan kegiatan ini karena kondisi udang

lemah dan tingkat daya tahan terhadap stress relatif rendah;

2. Keadaan cuaca pada saat itu sebaiknya berada pada kondisi yang dapat menunjang proses

pembentukan kembali kualitas perairan setelah dilakukan kegiatan pengangkatan kotoran dan

lumpur dasar tambak;

3. Kondisi pasang surut yang mendukung kelancaran pergantian air tambak dan pembuangan

kotoran dan lumpur hitam ke saluran pembuangan;

4. Pembentukan kembali kualitas perairan tambak yang relatif mengalami guncangan akibat

kegiatan tersebut ke arah kesimbangan ekosistem perairan di dalam tambak;

5. Pemantauan kondisi udang setelah dilakukan kegiatan pengangkatan dan pembersihan dasar

tambak.

Setelah dilakukan pembersihan dasar tambak dengan cara pengangkatan kotoran dan lumpur hitam

keluar tambak sebaiknya diikuti dengan pemberian kapur lunak ke dalam perairan dengan dosis sesuai

dengan keperluan dengan tujuan mengembalikan/memperbaiki tingkat keasaman dasar tambak.

Pemberian kapur ini sebenarnya dapat bersifat rutin/berkala selain untuk menjaga keasaman dasar

tambak juga diperlukan untuk membantu proses moulting udang yang bersifat periodik.

Kondisi dasar tambak yang dikontrol dan dipantau secara baik dan cermat selain memperbaiki kualitas

perairan juga akan membantu pada saat kelak dilakukan panen udang. Dasar tambak yang relatif bersih

akan memudahkan proses pemanenan dan berpengaruh pada kualitas udang yang dihasilkan, sebaliknya

dasar tambak yang kotor dan penuh lumpur akan menyulitkan proses pemanenan dan dapat menimbulkan

degradasi kualitas udang yang dihasilkan. Selain itu kondisi dasar tambak juga ikut berpengaruh pada

penerapan program teknis budidaya lainnya terutama dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat

perlakuan maupun pemanenan.

Metode Pengelolaan Kualitas Air Tambak

Kegiatan pengelolaan kualitas air tambak pada dasarnya berupa program kegiatan yang mengarahkan

perairan tambak pada keseimbangan ekosistem perairan dalam suatu petakan terbatas agar tercipta

suatu kondisi perairan yang menyerupai habitat alami udang baik dari segi sifat, behaviour maupun secara

ekologinya. Penerapan program pengelolaan kualitas air tambak membutuhkan kemampuan teknis

budidaya yang memadai dari para pelakunya melalui metode yang digunakan dengan beberapa aspek

yang perlu dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penerapannya, yaitu antara lain :

1. Metode yang digunakan harus mengacu pada tujuan pengelolaan air tambak. Secara garis besar

tujuan dari kegiatan ini terbagi dalam 3 kelompok yaitu : (a) Menjaga atau mempertahankan

kualitas air yang sudah sesuai dengan tolok ukur berlaku berdasarkan pengamatan lapangan

maupun teori; (b) Memperbaiki kualitas perairan yang kurang sesuai ke arah yang lebih baik;

(c) Mengganti perairan tambak yang dapat membahayakan bagi udang dengan perairan yang
baru untuk menciptakan lingkungan perairan yang lebih sesuai dengan kondisi dan kualitas

udang.

2. Metode yang digunakan harus tepat sasaran sesuai dengan parameter yang akan dikelola yaitu

kecerahan air, warna air tambak, kondisi fisik air tambak dan kondisi dasar tambak. Parameter

tersebut membutuhkan pendekatan metode tersendiri yang tetap mengacu pada keterkaitan satu

sama lain;

3. Metode yang digunakan harus dapat menyentuh akar permasalahan kualitas air yang

sebenarnya. Permasalahan kualitas air tambak dapat terjadi antara lain karena a) Faktor

internal tambak, yaitu permasalahan yang terjadi karena terganggunya salah satu unsur

penyusun ekosistem perairan tambak;( b) Faktor eksternal tambak, yaitu permasalahan yang

diakibatkan oleh adanya pengaruh dari luar tambak seperti perubahan cuaca yang menyebabkan

kestabilan perairan terguncang;(c) Faktor treatment error yaitu permasalahan yang terjadi

akibat kesalahan perlakuan teknis budidaya.

Dasar pertimbangan seperti yang telah diuraikan di atas bertujuan agar penerapan metode yang

digunakan dalam pengelolaan kualitas air tambak dapat berjalan efektif dan efisien baik secara teknis

budidaya maupun perhitungan finansial. Beberapa metode yang biasa digunakan dalam pengelolaan

kualitas air tambak antara lain :

• Sirkulasi air;

• Pemupukan air;

• Inokulasi air;

• Penggunaan bahan kimia dan obat-obatan

Metode tersebut di atas dalam penerapannya tidak dapat berdiri sendiri dan mempunyai keterkaitan satu

sama lain tergantung pada tingkat urgency dan skala prioritas dari perlakuan teknis budidaya yang akan

diberikan berdasarkan pengamatan dan identifikasi keperluan yang ditemukan di lapangan. Metode

pengelolaan kualitas air tambak yang dilakukan secara terpisah akan mengakibatkan keseimbangan

ekosistem perairan tersebut terganggu sehingga dapat menyebabkan suatu permasalahan yang baru yang

lebih kompleks. Uraian di bawah ini akan membahas metode pengelolaan air tambak tersebut secara

mendetail yang berkaitan dengan kenyataan di lapangan

Sirkulasi Air

Perairan yang terbentuk di dalam petakan tambak dapat dikatakan merupakan perairan yang

menggenang dalam suatu wadah yang terbatas, sehingga memerlukan suplai air dari luar untuk

meregenerasi perairan dan proses-proses yang terjadi didalamnya agar bersifat lebih dinamis dan

memberikan suasana nyaman bagi udang dan organisme lainnya yang hidup di perairan tersebut.

Sirkulasi air tambak dapat diartikan sebagai proses penggantian air di dalam tambak dengan jalan

membuang sebagian air tambak melalui saluran pembuangan untuk digantikan dengan air baru yang

dimasukkan melalui saluran pemasukkan. Pada tambak-tambak tradisional proses sirkulasi air ini
sepenuhnya mengandalkan pasang surut air laut, sedangkan pada tambak intesive sudah menggunakan

pompa air sebagai alat bantu untuk memasukan air laut ke dalam tambak. Meski demikian secara garis

besar sirkulasi air tambak tetap mengacu pada kondisi pasang surut yang terjadi di wilayah tersebut,

sehingga kualitas air yang dimasukkan ke dalam tambak tidak terkontaminasi dengan dasar perairan.

Beberapa faktor sumber air tambak lainnya yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan sirkulasi air

adalah :

1) Kualitas sumber perairan yang meliputi :

- Biologi : ketersediaan bibit plankthon, keberadaan predator dan competitor bagi udang, ketersediaan

pakan alami udang, dsb,

- Kimia : kandungan H2S, NH3, tingkat keasaman (pH), dsb;

- Fisika : pasang surut, salinitas, kekeruhan air, dsb.

2) Kondisi fisik air yang meliputi, dasar perairan, dan kandungan partikel yang melayang-layang di

air, dsb;

3) Aktifitas kegiatan manusia seperti alur pelayaran, penangkapan ikan, dsb;

4) Pencemaran perairan dari lingkungans ekitarnya dan merugikan bagi kegiatan budidaya ;

Berdasarkan pemikiran bahwa proses sirkulasi air adalah untuk memperbaiki atau mempertahankan

kualitas air, maka ke empat faktor di atas harus benar-benar diperhatikan agar jangan sampai dengan

melakukan sirkulasi air, kualitas perairan di dalam tambak mengalami degradasi atau bertambah rusak.

Sumber air yang dimasukkan ke dalam tambak ada beberapa macam, tergantung dari teknologi dan lokasi

dimana tambak tersebut berada. Beberapa sumber air dan cara yang biasa digunakan dalam proses

sirkulasi air tambak antara lain sebagai berikut :

1. Air laut yang dimasukkan secara langsung ke dalam tambak dengan bantuan pasang surut ataupun

melalui alat bantu yang berupa pompa air. Cara ini digunakan pada lahan tambak yang relatif dekat atau

berhadapan langsung dengan laut dan perlu memperhatikan kondisi dan kualitas air laut sebelum

dimasukkan ke dalam tambak secara langsung. Pada tambak yang menggunakan pompa air sebagai alat

bantunya akan membutuhkan investasi yang cukup besar untuk pemasangan instalasi pompa air beserta

paralon yang dirangkai sampai batas pantai, sedangkan dari segi lahan cara ini rentan terhadap

pengikisan air laut terhadap lahan tambak;

2. Air sungai yang masih bersifat payau dan dimasukkan ke dalam tambak secara langsung dengan

bantuan pasang surut ataupun melalui alat bantu yang berupa pompa air. Cara ini biasa digunakan pada

tambak yang letaknya relatif agak jauh dari laut atau dekat dengan laut dan sungai dengan pertimbangan

pemasangan instalasi pompa air relatif lebih sederhana dibandingkan dengan pengambilan air langsung

dari laut. Cara ini rentan terhadap sedimentasi dan pencemaran limbah sungai yang berasal dari rumah

tangga maupun industri yang berada di sekitar area sungai;

3. Sistem ‘tandon’, yaitu petakan/lahan yang dibuat sebagai tempat penampungan air laut atau air

sungai sebagai sumber pemasukan air tambak. Pada sistem ini, air di dalam tandon biasanya diberi
perlakuan teknis sebelum dimasukkan ke dalam tambak, sehingga kualitas air yang dimasukkan sudah

terkontrol dari segi kuantitas dan kualitasnya. Sistem ini dapat dikatakan merupakan cara yang relatif

ideal bagi kegiatan budidaya karena air dari laut telah diendapkan dan segala faktor yang merrugikan bagi

kegiatan budidaya telah diminimalkan melalui perlakuan teknis yang telah diberikan;

4. Sistem water recircle yaitu proses daur ulang air dari saluran pembuangan tambak ditampung kembali

ke dalam suatu tandon melalui proses sterilisasi dan dijadikan sebagai sumber pemasukan air tambak.

Cara ini biasa digunakan pada tambak yang relatif jauh dari laut maupun sungai atau sebagai antisipasi

jika air laut dan sungai sedang mengalami masalah sehingga tidak memungkinkan untuk dimasukkan ke

dalam tambak. Bisa dikatakan cara ini merupakan cara yang paling rentan terhadap masalah

dibandingkan dengan beberapa cara lainnya, karena air pembuangan yang dimasukkan kembali kedalam

tambak merupakan air kotor meski sudah melalui proses sterilisasi.

Selain sumber pemasukan air seperti telah diuraikan di atas, sirkulasi air juga memerlukan saluran

pembuangan air tambak yang berfungsi selain untuk mengatur volume air tambak juga untuk membuang

kotoran dan lumpur di dasar tambak. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembuangan air

tambak dan perlu dipertimbangkan antara lain :

1. Desain dan konstruksi antara dasar tambak dengan saluran pembuangan air tambak memungkinkan

kelancaran sirkulasi dan tidak berpotensi menimbulkan penyumbatan pada salurannya;

2. Saluran pembuangan lebih tinggi dari kondisi pasang surut terendah, sehingga dalam proses

pembuangan air tambak tidak mengalami kendala yang disebabkan oleh pasang surut;

3. Saluran pembuangan harus dilengkapi dengan pintu/paralon pembuangan yang dapat digunakan untuk

mengatur pembuangan air dasar tambak, pertengahan dan permukaan air;

4. Saluran pembuangan terutama bagian sentral memiliki filter yang dapat mencegah keluar/lolosnya

udang pada saat dilakukan pembuangan air tambak;

5 Saluran pembuangan harus terpisah dengan sumber pemasukan air tambak sehingga tidak terjadi

kontaminasi air yang akan digunakan dalam proses budidaya;

6. Saluran pembuangan air tambak sedapat mungkin berhubungan dengan sungai atau kanal khusus

sehingga kotoran dan lumpur tambak yang terbuang dapat terbawa arus dan tidak mengendap di satu

tempat yang menyebabkan terjadinya sedimentasi saluran pembuangan;

Sirkulasi air tambak yang didukung dengan sistem pemasukan air dan sistem pembuangan air yang

memadai akan menunjang kelancaran sirkulasi air di dalam kegiatan pengelolaan kualitas perairan

tambak. Kegiatan sirkulasi air tambak dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada tingkat

kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi. Metode yang biasa digunakan dalam kegiatan budidaya

udang adalah :

1. Sirkulasi air dengan pola buang isi, yaitu pergantian air tambak dengan cara melakukan

pembuangan air tambak sampai pada volume tertentu terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan
pengisian kembali air baru ke dalam tambak sampai pada volume yang dikehendaki. Sirkulasi air dengan

cara ini biasa digunakan pada kasus :

• Air laut mengalami surut terendah sehingga menunjang kelancaran proses pembuangan air

tambak dan tidak memungkinkan untuk mengisi air baru dari laut;

• Menjaga/mempertahankan kualitas air tambak yang sudah terbentuk dengan volume

pembuangan air tidak terlalu besar dan tidak menimbulkan guncangan, sedangkan pengisian air

bertujuan untuk regenerasi plankthon;

• Penumbuhan dan pembentukan plankthon yang baru, yaitu pembuangan volume air tambak yang

relatif besar sehingga ketinggian air tambak relatif rendah, kemudian dilakukan pengisian air

baru secara bertahap yang diimbangi dengan pemupukan

• Pembuangan kotoran/lumpur dasar tambak secara rutin;

2. Sirkulasi air dengan pola isi buang, yaitu pergantian air tambak dengan cara melakukan pengisian

air ke dalam tambak terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan pembuangan air tambak sampai

pada volume yang dikehendaki. Sirkulasi air dengan cara ini biasa digunakan pada kasus :

Sirkulasi air pada awal tebar benur. Ketinggian air tambak pada saat tebar relatif rendah, sehingga

sirkulasi air yang dilakukan hanya dengan menambahkan air baru ke dalam tambak secara bertahap

sampai pada ketinggian yang dikehendaki, kemudian baru dilakukan pembuangan air tambak. Metode ini

bertujuan antara lain :

• mengurangi keluarnya udang yang masih berukuran sangat kecil melalui saluran pembuangan;

• menumbuhkan pakan alami di dalam tambak yang diperlukan oleh benur;

• mengontrol kecerahan air tambak dan kelimpahan plankthon yang sesuai dengan kebutuhan

benur/udang muda.

• Pembentukan plankthon ke arah yang stabil dengan volume air yang dimasukkan ke dalam

tambak lebih besar dibandingkan dengan air tambak yang dibuang;

• Membantu mengatasi saluran pembuangan yang kurang lancar/mampet. Air tambak yang yang

relatif tinggi mempunyai daya dorong yang kuat pada saluran pembuangan sehingga diharapkan

dapat mengatasi masalah tersebut.

3. Sirkulasi air dengan pola oplos yaitu melakukan pengisian air ke dalam tambak secara bersamaan

dengan pembuangan air tambak sampai batas waktu yang dikehendaki. Pada sirkulasi ini ketinggian dan

volume air tambak relatif tetap karena perbandingan air masuk dan air keluar tambak relatif sama.

Sirkulasi air dengan cara ini biasa digunakan pada kasus :

• Perbaikan kualitas air tambak yang collaps dengan tidak mengguncang volume air di dalam

tambak;

• Penanganan air tambak yang berpartikel. Pada kondisi seperti ini sirkulasi dilakukan secara

kontinyu untuk memgeluarkan partikel tersebut keluar tambak, kemudian dilakukan pemberian

saponin yang bertujuan mengikat partikel yang tersisa di dalam tambak;


Populasi udang di dalam tambak relatif padat dengan tingkat kebutuhan pakan tinggi. Pada kondisi

seperti ini sirkulasi yang dilakukan bertujuan antara lain :

• Mempertahankan tingkat kesegaran air yang diperlukan udang dengan meminimalkan

kesenjangan waktu antara pembuangan air dan pemasukan air tambak;

• Meminimalkan waktu terjadinya akumulasi sisa pakan dan metabolisme udang di dasar tambak;

• Menekan terjadinya guncangan kualitas perairan yang dapat membahayakan bagi udang di

dalam tambak dengan populasi relatif padat.

4. Sirkulasi air tambak dengan pola penggantian air tambak secara total, yaitu dengan

melakukan pembuangan air sampai ke dasar tambak kemudian baru dilakukan pengisian air secara

bertahap. Sirkulasi air dengan cara ini biasa digunakan pada kasus :

• Tingkat kualitas perairan tambak relatif jelek dan membahayakan kehidupan udang, sehinggga

diperlukan perairan yang benar-benar baru dan diharapkan dapat menciptakan suasana nyaman

bagi udang;

• Udang terkena masalah yang disebabkan karena kondisi perairan yang jelek sehingga dengan

mengurangi volume air tambak dalam skala besar diharapkan dapat merangsang udang untuk

melakukan moulting massal;

• Sebagai upaya melihat/memantau populasi udang di dalam tambak secara langsung untuk

memberi kepastian sebagai dasar pengambilan keputusan secara teknis budidaya.

Pola sirkulasi air tambak sebagai salah satu metode pengelolaan kualitas perairan dalam penerapannya

sangat tergantung dari pengamatan dan kondisi yang sedang terjadi di lapangan. Proses pengambilan

keputusan tentang sirkulasi air tambak harus tetap mengacu pada keterkaitan teknis budidaya lainnya

serta mempertimbangkan faktor sebab akibat ン yang akan ditimbulkan berdasarkan argumen dan alasan

yang dapat diterima secara ilmiah.

Pemupukan Air Tambak

Keberadaan plankthon terutama dari jenis phytoplankthon di dalam ekosistem perairan tambak

mempunyai peran yang sangat besar terhadap kestabilan dan produktifitas perairan yang sangat

dibutuhkan oleh organisme yang berada di dalamnya dalam melakukan aktifitas kehidupannya. Peran dan

fungsi utama plankthon (phytoplankthon) di dalam perairan yang dapat dijadikan sebagai dasar

pertimbangan pengelolaan kualitas air antara lain :

1. Phytoplankthon merupakan produsen utama dalam rantai makanan yang terdapat di dalam

ekosistem perairan tersebut, sehingga tingkat produktivitasnya akan berpengaruh pada

produktifitas perairan;

2. Phytoplankthon merupakan salah satu penyuplai oksigen melalui proses fotosintesa dengan

bantuan sinar matahari yang dibutuhkan organisme lainnya untuk melakukan respirasi di dalam

perairan;
3. Oksigen (O2) yang dihasilkan phytoplankthon dapat menekan terjadinya proses kimiawi perairan

yang bersifat racun dan membahayakan bagi udang dan organisme lainnya;

4. Phytoplankthon merupakan shelter bagi udang yang bersifat nocturnal dan phototaksis negatif;

Seperti telah disebutkan pada uraian di atas sebagai jenis

tanaman phytoplankthon mempunyaichlorophyl (zat hijau daun) yang berperan dalam proses fotosintesa

di dalam perairan dengan bantuan sinar matahari. Tingkat produktifitas phytoplankthon ditentukan oleh

ketersediaan unsur hara yang tersedia di dalam tambak baik yang berasal dari tanah maupun perairan

setempat. Pada kondisi tertentu phytoplankthon membutuhkan suplai unsur hara dan zat lainnya baik

yang bersifat organik maupun an organik untuk memacu peningkatan produktifitasnya di dalam perairan.

Pemupukan air tambak pada dasarnya merupakan salah satu perlakuan teknis budidaya yang berupa

pemberian pupuk organik maupun an organik untuk menyuplai zat-zat yang dibutuhkanphytoplankthon di

dalam tambak dengan dosis sesuai dengan tingkat keperluan. Kegiatan pemupukan air tambak bertujuan

antara lain:

1. Mengatur dan mengontrol tingkat kecerahan air tambak agar sesuai dengan tingkat kebutuhan

udang;

2. Mengatur dan mengontrol kestabilan plankthon di dalam tambak agar sesuai dengan tingkat

kebutuhan udang;

3. Memacu pertumbuhan bibit plankthon pada perairan yang sedang diperbaiki kualitasnya;

Syarat utama melakukan kegiatan pemupukan air tambak adalah ketersediaan bibit plankthon dan adanya

sinar matahari. Pemupukan yang dilakukan pada perairan tambak yang tingkat ketersediaan bibit

plankthonnya sangat minim/tidak ada sama sekali dapat menimbulkan tumbuhnya lumut di dalam tambak

atau munculnya kamuflase color yang sangat berpengaruh terhadap kondisi udang atau teknis budidaya.

Sinar matahari sangat dibutuhkan dalam kegiatan pemupukan air tambak yaitu untuk membantu proses

fotosintesa plankthon sehingga suplai unsur-unsur dalam pupuk yang diperairan dapat diserap oleh

plankthon dan memacu pertumbuhan dan perkembangannya. Berlandaskan pada dasar pemikiran

tersebut maka sebaiknya pemupukan air tambak dilakukan pagi hari pada saat cuaca cerah. Pada kondisi

cuaca tidak cerah/musim hujan kegiatan pemupukan sebaiknya dilakukan secara rutin dengan dosis yang

sesuai agar tidak terjadi mortalitas plankthon secara massal yang disebabkan karena curah hujan yang

tinggi, sehingga kestabilan perairan tambak akan tetap terjaga dari kondisi collaps.

Jenis pupuk an organik yang biasa digunakan dalam kegiatan budidaya adalah urea dan TSP, sedangkan

pupuk organik yang biasa digunakan adalah fermentasi saponin dan fermentasi pakan rusak. Fungsi dan

dosis yang digunakan dari masing-masing jenis pupuk tersebut relatif berbeda tergantung dari kondisi

perairan dan tingkat kebutuhannya berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan.

Pupuk urea biasanya digunakan untuk memacu atau menumbuhkan phytoplankthon yang bersifat stabil di

dalam tambak, sedangkan pupuk TSP untuk menumbuhkan jenis phytoplankthon yang dapat memacu

berkembangnya zooplankthon yang dapat dijadikan sebagai pakan alami bagi udang yang masih
muda/kecil. Dosis penggunaan urea yang sering dipakai adalah sekitar tiga kali lipat TSP pada kondisi

normal dan pemakaiannya dapat digunakan secara terpisah maupun bersamaan berdasarkan kondisi yang

ada di lapangan.

Pupuk organik yang dapat digunakan adalah berupa hasil fermentasi saponin atau fermentasi pakan

rusak. Fungsi dari pupuk ini adalah sebagai suplai unsur hara yang tidak terdapat dalam pupuk an organik

dan dibutuhkan oleh plankthon. Fermentasi dilakukan agar saponin/pakan rusak dalam kondisi hancur

sehingga diharapkan mudah diserap oleh plankthon pada saat melakukan fotosintesa. Selain tujuan

tersebut di atas pemberian bahan organik ini juga dimaksudkan untuk penyeimbang komposisi bahan an

organik yang ada di perairan tersebut selain itu juga untuk memacu pertumbuhan zooplankthon yang

dapat dijadikan sebagai pakan alami bagi udang atau organisme lainnya. Pemberian pupuk organik

bersifat insidental dan dilakukan berdasarkan hasil pengamatan dan tingkat kebutuhan perairan serta

kondisi udang.

Pakan yang diberikan ke udang secara prinsip dapat berfungsi sebagai pupuk organik bagi perairan

tambak dan membantu dalam proses pembentukan kestabilan plankthon didalam tambak. Fenomena ini

dapat dijumpai dan diamati pada tambak dengan populasi udang yang padat dan jumlah pemberian pakan

yang besar. Pada kondisi ini kestabilan plankthon dalam perairan akan terbentuk dengan sendirinya tanpa

adanya pemupukan, karena unsur-unsur yang terdapat dalam pakan udang juga diserap oleh plankthon

untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya di perairan tersebut.

Metode pemupukan air tambak erat hubungannya dengan proses sirkulasi air dengan dasar pemikiran

bahwa volume air tambak sangat berpengaruh terhadap keefektifan kegiatan pemupukan yang dilakukan.

Kondisi ini dapat diartikan bahwa pada dosis pemakaian pupuk yang sama tingkat pengaruh dan

keefektifannya akan relatif berbeda jika diberikan pada tambak dengan volume air yang berbeda.

Berdasarkan hal ini maka sebelum dilakukan pemupukan biasanya dilakukan sirkulasi terlebih dahulu

dengan jalan mengurangi volume air dan menambahkan air baru ke dalam tambak sampai pada

ketinggian air yang relatif lebih rendah, kemudian baru dilakukan pemupukan.

Kegiatan pemupukan sebaiknya dihindari pada perairan yang mengalami kasus seperti di bawah ini :

• Kecerahan air tambak sangat rendah sehingga kelimpahan plankthon sangat tinggi. Pada kondisi

ini jika pemupukan tetap dilakukan maka akan mengarahkan perairan tambak pada

keadaanplankthon booming yang dapat membahayakan udang, sehingga antisipasi yang dapat

dilakukan adalah dengan melakukan sirkulasi air secara kontinyu terutama pada malam hari

dengan tujuan melakukan pengenceran air tambak;

• Perairan dengan dominansi jenis plankthon yang bersifat merugikan bagi udang;

• Perairan tambak yang tidak ada bibit plankthonnya. Kegiatan pemupukan pada perairan dalam

kondisi ini akan memacu tumbuhnya lumut di dalam tambak;

• Perairan tambak yang ditumbuhi lumut dalam jumlah yang besar. Pemupukan yang dilakukan

hanya akan menyuburkan lumut di dalam tambak, sehingga antisipasi yang dapat dilakukan
adalah dengan mengangkat lumut tersebut keluar tambak terlebih dulu kemudian baru dilakukan

pembentukan air;

Parameter hasil dari kegiatan pemupukan yang biasa digunakan adalah perubahan tingkat kecerahan air

dan atau perubahan warna perairan. Pada cuaca cerah hasil dan pengaruh dari pemupukan terhadap

perairan tambak dapat dilihat pada sore hari dengan jalan membandingkan perubahan tingkat kecerahan

dan warna air sebelum dan sesudah pemupukan. Kecerahan air tambak digunakan sebagai parameter

perubahan kelimpahan plankthon sebagai akibat kegiatan pemupukan, sedangkan perubahan warna

perairan digunakan untuk melihat perubahan dominansi jenis plankthon tertentu di perairan tersebut.

Pada cuaca cerah kegiatan fotosintesa yang dilakukan phytoplankthon berjalan relatif sempurna karena

terbantu oleh sinar matahari secara langsung yang berakibat penyerapan unsur-unsur yang terdapat di

dalam pupuk oleh phytoplankthon juga berlangsung sempurna, sehingga pengaruh dari pemupukan akan

segera dapat teramati.

Penggunaan Bahan Kimia

Pada kondisi tertentu pengelolaan kualitas perairan tambak mengalami kendala yaitu tidak dapat

diterapkannya teknis budidaya secara optimal untuk menghasilkan kondisi dan kualitas perairan seperti

yang diharapkan karena berbagai faktor sehingga memerlukan treatment yang berupa penggunaan

bahan-bahan kimia dan obat-obatan kedalam perairan tersebut. Pada dasarnya fungsi dari bahan kimia

dan obat-obatan yang digunakan tersebut seperti di bawah ini, yaitu:

1. Sebagai katalisator dan pemacu proses pembentukan air, yang termasuk dalam kategori ini

adalah argon, dan berbagai jenis bakteri yang bersifat menguntungkan dan telah diproduksi

secara industri. Bahan-bahan ini digunakan pada perairan tambak dengan kondisi udang yang

relatif bagus, tetapi proses pembentukan kualitas air sangat susah dilakukan sehingga jika tidak

segera ditangani dapat menimbulkan masalah yang serius bagi udang. Selain itu bahan-bahan ini

juga dapat digunakan pada perairan tambak dengan kandungan bibit planktonnya relatif kurang

serta tidak memungkinkan untuk dilakukan inokulasi bibit plankton karena kondisi tertentu.

2. Sebagai disinfectant and sterilisator perairan, yang termasuk dalam kategori ini adalah kalium

permanganat (KMNO3), chlorine/kaporit (kalsium hipoklorit), dsb. Bahan-bahan ini biasa

digunakan pada perairan tambak dengan kondisi udang yang sudah terindikasi telah terinfeksi

suatu penyakit, sehingga treatment ini diharapkan dapat menyelamatkan udang yang belum

terinfeksi sekaligus melakukan sterilisasi perairan dari sumber masalah. Selain itu bahan ini juga

dapat digunakan untuk menciptakan plankton mortality secara massal pada perairan yang

mengalami booming plankton yang sangat pesat dan susah untuk dikendalikan.

Penggunaan bahan-bahan kimia dan obat-obatan di atas dalam penerapannya perlu mempertimbangkan

kondisi perairan tambak dan hubungan sebab akibat yang akan ditimbulkan karena treatment tersebut.

Pengambilan keputusan harus berdasarkan pemikiran bahwa, selain dasar pemikiran tersebut beberapa
aspek yang juga perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan penggunaan bahan-bahan kimia dan

obat-obatan tersebut dalam pengelolaan kualitas perairan adalah sebagai berikut:

1. Treatment ini dapat menimbulkan guncangan terhadap perairan tambak, sehingga jika tujuan,

sasaran, dosis dan timing yang tidak tepat dapat memperburuk keadaan.

2. Treatment ini lebih mengarah pada shock therapy untuk perbaikan kualitas perairan dan udang

dalam jangka pendek.

3. Secara finansial treatment ini memerlukan biaya produksi yang relatif tinggi untuk jenis bahan-

bahan kimia dan obat-obatan tertentu.

4. Treatment ini sedapat mungkin merupakan alternatif terakhir, jika secara teknis budidaya kualitas

perairan tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dan kalau ditangani secara cepat

dapat menimbulkan masalah serius bagi udang.

Penerapan treatment dengan menggunakan bahan-bahan kimia dan obat-obatan ini terkait erat dengan

sirkulasi air tambak terutama dalam kegiatan pengaturan ketinggian air tambak seperti halnya pada

kegiatan pemupukan yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu volume air tambak sangat berpengaruh

terhadap keefektifan treatmen yang akan dilakukan. Kondisi ini dapat diartikan bahwa pada dosis

pemakaian yang sama tingkat pengaruh dan keefektifannya akan relatif berbeda jika diberikan pada

tambak dengan volume air yang berbeda. Tahapan-tahapan yang dapat dilakukan dalam penerapan

treatment ini adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi tingkat masalah yang dijumpai perairan tambak dan tingkat pengaruhnya terhadap

kegiatan budidaya.

2. Jika permasalahan yang ditemukan dianggap cukup serius maka perlu dilakukan penurunan

ketinggian air tambak sekitar 50 %.

3. Pada ketinggian air tambak yang relatif rendah dilakukan sirkulasi air dengan cara oplos sesuai

dengan kebutuhan.

4. Pemberian bahan-bahan kimia/obat-obatan ke dalam perairan dengan dosis sesuai dengan

tingkat masalah yang dialami.

5. Sirkulasi air tambak dihentikan dan pengoperasian kincir air diintensifkan agar perlakuan yang

telah diberikan dapat memberikan hasil yang optimal.

6. Jika kualitas perairan dan kondisi udang menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik, maka

sirkulasi air tambak dilakukan kembali ke arah penambahan air tambak dan perbaikan kualitas

perairan yang lebih stabil.

7. Jika kualitas perairan dan kondisi udang tidak mengalami perbaikan dan cenderung bertambah

parah maka pengambilan keputusan sebaiknya mengarah pada pemanenan dengan

mempertimbangkan biaya produksi yang telah dikeluarkan dan estimasi hasil panen berdasarkan

harga, size dan kualitas udang.


Penggunaan bahan-bahan kimia dan obat-obatan didalam pengelolaan kualitas air tambak tidak

direkomendasikan pada udang dalam kondisi normal yang siap panen. Perlakuan ini dikhawatirkan

dapat terserap tubuh udang melalui proses metabolismenya ataupun terabsorpsi pada saat udang

melakukan moulting dan dapat mempengaruhi kualitas udang yang dihasilkan. Pada beberapa tahun

terakhir telah dilakukan pengujian mutu udang melalui peraturan yang ketat oleh beberapa negara tujuan

ekspor, terutama terhadap udang yang mengandung unsur logam berat dan zat-zat yang dianggap

berbahaya.

Permasalahan Kualitas Air Tambak

Perairan tambak merupakan jenis perairan tertutup yang menggenang dan dibatasi oleh petakan tambak,

sehingga ditinjau dari dinamika perairan relatif bersifat statis dan kualitas perairannya sangat tergantung

dari pengaruh/perlakuan dari luar. Ekosistem yang terbentuk di dalamnya dapat dikatakan bukan suatu

ekosistem yang dapat mengontrol keseimbangan dan kestabilan perairan tersebut dengan sendirinya

seperti pada ekosistem perairan yang bersifat alami dan terbuka. Suatu ekosistem perairan yang selalu

terjaga dalam keseimbangan dan kestabilannya merupakan suatu area yang dapat memberikan rasa

aman dan nyaman bagi komunitas organisme yang hidup di dalamnya.

Keseimbangan ekosistem perairan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu unsur-unsur penyusunnya

terdiri atas komposisi yang ideal ditinjau dari segi jenis dan fungsinya yang membentuk suatu rantai

makanan di dalam perairan tersebut. Faktor lainnya yang menentukan keseimbangan ekosistem perairan

adalah proses-proses yang terjadi di dalamnya baik yang bersifat biologi, kimia dan fisika berlangsung

dalam kondisi yang ideal pula dan membawa pengaruh yang tidak membahayakan bagi kehidupan di

dalam perairan tersebut.

Kestabilan ekosistem perairan berarti kemampuan ekosistem tersebut mempertahankan

keseimbangannya dalam menghadapi perubahan atau guncangan yang disebabkan oleh pengaruh dari

luar. Suatu ekosistem perairan dengan tingkat keseimbangan yang bersifat fluktuatif akan memberikan

dampak yang cukup nyata bagi kehidupan yang berada di dalamnya, sehingga dengan sendirinya akan

menjadi suatu tempat yang tidak kondusif bagi organisme yang hidup di dalam ekosistem perairan

tersebut.

Berdasarkan pada uraian di atas maka ekosistem perairan tambak yang merupakan ekosistem tertutup

sangat rentan terhadap timbulnya permasalahan baik yang menyangkut kualitas perairan tambak maupun

kondisi dan kualitas udangnya. Permasalahan kualitas perairan tambak secara garis besar dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain :

1. Faktor internal, yaitu permasalahan yang disebabkan oleh kondisi dari dalam perairan tambak

itu sendiri. Pada kondisi ini terjadi karena proses-proses yang berlangsung di dalamnya

cenderung tidak terkendali dan tidak dapat dikontrol oleh mekanisme keseimbangan yang

bersifat alami;
2. Faktor eksternal, yaitu permasalahan yang disebabkan oleh pengaruh dari luar tambak dan

biasanya karena adanya perubahan cuaca;

3. Faktor treatment error, yaitu permasalahan kualitas perairan yang disebabkan oleh kesalahan

teknis budidaya yang diterapkan. Kondisi ini terjadi karena pengambilan keputusan yang tidak

berdasarkan pengamatan dan analisis yang cermat sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan.

Permasalahan kualitas perairan tambak sebaiknya dapat diketahui dan diidentifikasi secara dini agar

guncangan yang terjadi didalam perairan tersebut tidak menimbulkan masalah yang lebih serius bagi

udang. Mengacu pada pengamatan kondisi dan kualitas udang di dalam perairan tambak, maka tingkat

permasalahan kualitas air tambak dapat digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu :

1. Ringan. Pada tingkatan ini permasalahan kualitas air tambak belum mempengaruhi kondisi,

kualitas, sifat/behaviour dan aktifitas udang di dalam perairan. Permasalahan yang timbul baru

sebatas pada perubahan kondisi lingkungan perairan tambak;

2. Sedang. Pada tingkatan ini permasalahan kualitas air tambak belum mempengaruhi kondisi dan

kualitas udang, tetapi sudah berpengaruh nyata pada sifat/behaviour dan aktifitas udang di

dalam perairan tersebut seperti udang melakukan konvoi, nafsu makan menurun dan cenderung

pasif;

3. Berat. Pada tingkatan ini permasalahan kualitas air tambak sudah berpengaruh nyata pada

kondisi, kualitas, sifat/behaviour dan aktifitas udang di dalam perairan, seperti udang mulai

terinfeksi penyakit, melayang-melayang di permukaan air, banyak menempel di dinding petakan

tambak, pemunculan di ancho sangat banyak dan gerakannya sangat pasif;

4. Sangat Berat. Pada tingkatan ini permasalahan kualitas air tambak sudah mengakibatkan

kematian massal bagi udang, sehingga pengambilan keputusan yang lebih mengarah pada

pemanenan.

Tingkat permasalahan kualitas air bisa dikatakan memiliki korelasi dengan pengelolaan kualitas perairan

yang dilakukan sebelum perairan terkena masalah terutama yang menyangkut tingkat ketelitian

pengamatan kondisi perairan dan udang, metode pengelolaan air, treatmen yang telah digunakan, serta

jangka waktu penanganan masalah tersebut. Suatu permasalahan kualitas yang tidak teridentifikasi dan

terindikasi sejak dini akan memperberat tingkat permasalahan tersebut, karena terjadi akumulasi

permasalahan yang semakin berkembang serta dapat menjalar ke permasalahan aspek lainnya. Jika

kondisi ini terjadi maka tingkat permasalahan tersebut tidak hanya bertambah berat tapi juga akan

semakin rumit dalam proses pengambilan keputusannya.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa parameter yang dapat digunakan

secara praktis sebagai tolok ukur kualitas perairan tambak meliputi kecerahan air, warna air (plankthon),

kondisi fisik perairan, dan kondisi dasar tambak. Permasalahan kualitas air tambak yang sering dijumpai

dalam kegiatan budidaya udang juga menyangkut keempat parameter tersebut, yaitu :
1. Permasalahan kualitas perairan tambak yang disebabkan karena kecerahan air atau kelimpahan

plankthon di dalam tambak, yaitu kecerahan air tambak yang terlalu tinggi dan terlalu rendah;

2. Permasalahan kualitas perairan tambak yang disebabkan karena warna perairan atau faktor

plankthon yang ada di dalam perairan yang menyangkut dominansi jenis plankthon yang bersifat

merugikan bagi udang, misalnya warna air tambak hijau pupus, kuning, blue green algae, dsb;

3. Permasalahan kualitas perairan tambak yang disebabkan karena kondisi fisik air tambak yang

dapat mengganggu kehidupan udang, misalnya air tambak berdebu, air tambak berpartikel,

munculnya klekap di permukaan air, dsb;

4. Permasalahan kualitas perairan tambak yang disebabkan karena kondisi dasar tambak yang tidak

kondusif bagi kehidupan udang, misalnya akumulasi lumpur hitam yang banyak mengandung H2S

dan sangat membahayakan bagi udang.

Penjelasan tentang permasalahan-permasalahan seperti tersebut di atas secara rinci telah diuraikan pada

pembahasan sebelumnya dan dapat dilihat pada Matriks Identifikasi Masalah Air Tambak.pdf

Selain itu ada satu jenis permasalahan yang menyangkut perairan tambak dan tidak ada keterkaitannya

dengan keempat permasalahan di atas yaitu adanya biota perairan yang

bersifatpredator dan competitor bagi udang serta hidup dan berkembang di dalam tambak.

Predator adalah biota yang yang memangsa udang di dalam tambak seperti jenis ikan kakap, ikanselangi,

ikan kuro, dan berbagai jenis ikan carnivora lainnya. Pemunculan jenis predator di dalam perairan tambak

relatif tidak berpengaruh nyata pada kualitas perairan baik dari segi keseimbangan dan kestabilannya,

tetapi sangat berpengaruh pada tingkat kehidupan dan populasi udang di dalam tambak.

Competitor adalah biota perairan yang ikut bersaing dengan udang dalam hal konsumsi makanan yang

ada di dalam tambak ataupun pakan yang telah diberikan ke dalam tambak seperti jenis ikan mujahir, ikan

nila, kepiting dan jenis biota lainnya yang ikut mengkonsumsi pakan udang. Seperti halnya predator maka

keberadaan jenis biota ini di dalam tambak hanya berpengaruh nyata pada program pemberian pakan

udang yang telah ditentukan dan tidak mempengaruhi kualitas perairan tambak.

Pemunculan predator dan kompetitor udang di dalam tambak dapat disebabkan oleh beberapa faktor

antara lain :

1. Proses penyiapan lahan tebar benur yang kurang maksimal, sehingga predator dan kompetitor

udang yang masuk ke dalam tidak mati secara tuntas;

2. Saluran pemasukan air tanpa adanya filterisasi, sehingga predator dan kompetitor udang dapat

masuk ke dalam perairan tambak;

3. Predator dan kompetitor udang masuk ke dalam perairan tambak masih berupa telur atau larva

meskipun saluran pemasukan airtambak sudah dilakukan filterisasi.

Keberadaan jenis serta kelimpahan predator dan kompetitor udang di dalam tambak akan membawa

dampak yang serius jika jumlahnya sudah sangat melimpah dan tidak segera ditangani. Indikasi

keberadaan predator dan kompetitor udang di dalam tambak dapat diketahui melalui cara, antara lain :
1. Pengamatan pada saat dilakukan sampling udang secara berkala, karena

biasanya predator dankompetitor udang akan ikut terbawa bersama jala sampling sehingga jenis

dan perkiraan kelimpahannya di dalam tambak dapat diketahui;

2. Pengamatan dan identifikasi predator dan kompetitor udang pada saat dilakukan pengecekkan

ancho secara rutin;

3. Pengamatan dan identifikasi predator dan kompetitor udang secara langsung melalui gerak dan

aktifitas predator dan kompetitor udang di dalam tambak.

Pengendalian dan pemusnahan predator dan kompetitor udang di dalam tambak dapat dilakukan dengan

menggunakan saponin dengan dosis yang mematikan bagi keduanya. Kegiatan ini dilakukan dengan

memperhatikan kondisi dan kualitas udang pada saat itu dan sebaiknya jangan dilakukan pada saat udang

dalam kondisi lemah atau pada saat udang sedang moulting massal. Pemberian saponin ke dalam tambak

sedapat mungkin dilakukan pada saat cuaca cerah dan sinar matahari sangat terik serta ketinggian air

tambak relatif rendah yang dimbangi dengan pengoperasian kincir yang intensif, karena pada kondisi

seperti ini pengaruh dari saponin akan sangat efektif dan mematikan

bagi predator dan kompetitor udang. Setelah perlakuan pemberian saponin bangkai

daripredator dan kompetitor udang yang ada di tambak sebaiknya segera diangkat keluar tambak agar

tidak mengotori dan membusuk di tambak, dan selanjutnya kualitas perairan tambak dibentuk dan

diperbaiki kembali agar tidak mempengaruhi udang dengan cara melakukan sirkulasi air.

Permasalahan kualitas air tambak memerlukan pendekatan yang komprehensif yaitu perairan tambak

dipandang sebagai suatu ekosistem dimana unsur-unsur yeng berada di dalamnya mempunyai keterkaitan

satu sama lain, sehingga apabila ada salah satu unsur penyusunnya terkena suatu masalah maka akan

berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan satu sama lain di dalam perairan tersebut. Perairan

tambak sebagai suatu ekosistem yang tertutup mempunyai angka ketergantungan yang tinggi terhadap

kemampuan teknis budidaya terutama dalam pengelolaan kualitas airnya untuk membentuk suatu kondisi

yang kondusif bagi organisme yang hidup di dalamnya. Prinsip dasar yang harus menjadi bahan

pertimbangan dalam pengelolaan kualitas perairan tambak dan permasalahannya adalah dalam kegiatan

usaha budidaya ini yang menjadi subyek utama adalah kondisi dan kualitas udang yang bernilai ekonomis,

sehingga setiap pengambilan keputusan yang akan diambil harus bermuara pada udang dengan mengacu

pada perhitungan biaya dan tingkatprovite value dari udang yang telah dihasilkan. Begitu pula sebaliknya

perhitungan biaya yang menyangkut teknis pengelolaan kualitas air jangan sampai menghasilkan kondisi

dan kualitas udang yang tidak optimal.


Comment
Pondasi Tiang Pancang
Filed under: Sipilian by Fadly Sutrisno — 1 Comment

July 17, 2010

Fondasi Tiang Pancang


Fondasi tiang digolongkan berdasarkan kualitas bahan material dan cara pelaksanaan. Menurut

kualitas bahan material yang digunakan, tiang pancang dibedakan menjadi empat yaitu tiang pancang

kayu, tiang pancang beton, tiang pancang baja dan tiang pancang composite (kayu – beton dan baja –

beton).

a. Tiang Pancang Beton

Tiang pancang beton berdasarkan cara pembuatannya dibedakan menjadi dua macam yaitu :

- Cast in place (tiang beton cor ditempat atau fondasi tiang bor) dan

- Precast pile (tiang beton dibuat ditempat lain atau dibuat dipabrik).

Fondasi tiang pancang dibuat ditempat lain (pabrik, dilokasi) dan baru dipancang sesuai dengan umur

beton setelah 28 hari. Karena tegangan tarik beton adalah kecil, sedangkan berat sendiri beton adalah

besar, maka tiang pancang beton ini haruslah diberi tulangan yang cukup kuat untuk menahan momen

lentur yang akan timbul pada waktu pengangkatan dan pemancangan. Pemakaian fondasi tiang

pancang beton mempunyai keuntungan dan kerugian antara adalah sebagai berikut ini :

Keuntungan nya yaitu :

1. Karena tiang dibuat di pabrik dan pemeriksaan kualitas ketat, hasilnya lebih dapat diandalkan. Lebih –

lebih karena pemeriksaan dapat dapat dilakukan setiap saat.

2. Prosedur pelaksanaan tidak dipengaruhi oleh air tanah

3. Daya dukung dapat diperkirakan berdasarkan rumus tiang pancang sehingga mempermudah

pengawasan pekerjaan konstruksi.

4. Cara penumbukan sangat cocok untuk mempertahankan daya dukung vertikal.

Kerugian nya :

1. Karena dalam pelaksanaannya menimbulkan getaran dan kegaduhan maka pada daerah yang

berpenduduk padat di kota dan desa, akan menimbulkan masalah disekitarnya.

2. Pemancangan sulit, bila dimeter tiang terlalu besar

3. Bila panjang tiang pancang kurang, maka untuk melakukan penyambungannya sulit dan memerlukan

alat penyambung khusus.

4. Bila memerlukan pemotongan maka dalam pelaksanaannya akan lebih sulit dan memerlukan waktu

yang lama.

Metode pelaksanaan :

1. Penentuan lokasi titik dimana tiang akan dipancang.

2. Pengangkatan tiang.

3. Pemeriksaan kelurusan tiang.

4. Pemukulan tiang dengan palu (hummer) atau dengan cara hidrolik

b. Tiang Pancang Kayu


Tiang pancang dengan bahan material kayu dapat digunakan sebagai tiang pancang pada suatu dermaga.

Persyaratan dari tiang pancang tongkat kayu tersebut adalah : bahan kayu yang dipergunakan harus

cukup tua, berkualitas baik dan tidak cacat, contohnya kayu belian.

Semula tiang pancang kayu harus diperiksa terlebih dahulu sebelum dipancang untuk memastikan bahwa

tiang pancang kayu tersebut memenuhi ketentuan dari bahan dan toleransi yang diijinkan.

Semua kayu lunak yang digunakan untuk tiang pancang memerlukan pengawetan, yang harus

dilaksanakan sesuai dengan AASHTO M133 – 86 dengan menggunakan instalasi peresapan bertekanan.

Bilamana instalasi semacam ini tidak tersedia, pengawetan dengan tangki terbuka secara panas dan

dingin, harus digunakan. Beberapa kayu keras dapat digunakan tanpa pengawetan, tetapi pada umumnya,

kebutuhan untuk mengawetkan kayu keras tergantung pada jenis kayu dan beratnya kondisi pelayanan.

Kepala Tiang Pancang

Sebelum pemancangan, tindakan pencegahan kerusakan pada kepala tiang pancang harus diambil.

Pencegahan ini dapat dilakukan dengan pemangkasan kepala tiang pancang sampai penampang

melintang menjadi bulat dan tegak lurus terhadap panjangnya dan memasang cincin baja atau besi yang

kuat atau dengan metode lainnya yang lebih efektif.

Setelah pemancangan, kepala tiang pancang harus dipotong tegak lurus terhadap panjangnya

sampai bagian kayu yang keras dan diberi bahan pengawet sebelum pur (pile cap) dipasang.

Bilamana tiang pancang kayu lunak membentuk pondasi struktur permanen dan akan dipotong sampai di

bawah permukaan tanah, maka perhatian khusus harus diberikan untuk memastikan bahwa tiang pancang

tersebut telah dipotong pada atau di bawah permukaan air tanah yang terendah yang diperkirakan.

Bilamana digunakan pur (pile cap) dari beton, kepala tiang pancang harus tertanam dalam pur dengan ke

dalaman yang cukup sehingga dapat memindahkan gaya. Tebal beton di sekeliling tiang pancang paling

sedikit 15 cm dan harus diberi baja tulangan untuk mencegah terjadinya keretakan.

Sepatu Tiang Pancang

Tiang pancang harus dilengkapi dengan sepatu yang cocok untuk melindungi ujung tiang selama

pemancangan, kecuali bilamana seluruh pemancangan dilakukan pada tanah yang lunak. Sepatu harus

benar-benar konsentris (pusat sepatu sama dengan pusat tiang pancang) dan dipasang dengan kuat

pada ujung tiang. Bidang kontak antara sepatu dan kayu harus cukup untuk menghindari tekanan yang

berlebihan selama pemancangan.

Pemancangan

Pemancangan berat yang mungkin merusak kepala tiang pancang, memecah ujung dan menyebabkan

retak tiang pancang harus dihindari dengan membatasi tinggi jatuh palu dan jumlah penumbukan pada

tiang pancang. Umumnya, berat palu harus sama dengan beratnya tiang untuk memudahkan

pemancangan. Perhatian khusus harus diberikan selama pemancangan untuk memastikan bahwa

kepala tiang pancang harus selalu berada sesumbu dengan palu dan tegak lurus terhadap panjang tiang

pancang dan bahwa tiang pancang dalam posisi yang relatif pada tempatnya.
Penyambungan

Bilamana diperlukan untuk menggunakan tiang pancang yang terdiri dari dua batang atau lebih,

permukaan ujung tiang pancang harus dipotong sampai tegak lurus terhadap panjangnya untuk menjamin

bidang kontak seluas seluruh penampang tiang pancang. Pada tiang pancang yang digergaji,

sambungannya harus diperkuat dengan kayu atau pelat penyambung baja, atau profil baja seperti profil

kanal atau profil siku yang dilas menjadi satu membentuk kotak yang dirancang untuk memberikan

kekuatan yang diperlukan. Tiang pancang bulat harus diperkuat dengan pipa penyambung. Sambungan

di dekat titik-titik yang mempunyai lendutan maksimum harus dihindarkan.

c. Tiang Pancang Baja Struktur

Pada umumnya, tiang pancang baja struktur harus berupa profil baja gilas biasa, tetapi tiang pancang pipa

dan kotak dapat digunakan. Bilamana tiang pancang pipa atau kotak digunakan, dan akan diisi dengan

beton, mutu beton tersebut minimum harus K250.

Perlindungan Terhadap Korosi

Bilamana korosi pada tiang pancang baja mungkin dapat terjadi, maka panjang atau ruasruasnya yang

mungkin terkena korosi harus dilindungi dengan pengecatan menggunakan lapisan pelindung yang

telah disetujui dan/atau digunakan logam yang lebih tebal bilamana daya korosi dapat diperkirakan

dengan akurat dan beralasan. Umumnya seluruh panjang tiang baja yang terekspos, dan setiap panjang

yang terpasang dalam tanah yang terganggu di atas muka air terendah, harus dilindungi dari korosi.

Kepala Tiang Pancang

Sebelum pemancangan, kepala tiang pancang harus dipotong tegak lurus terhadap panjangnya dan

topi pemancang (driving cap) harus dipasang untuk mempertahankan sumbu tiang pancang segaris

dengan sumbu palu. Setelah pemancangan, pelat topi, batang baja atau pantek harus ditambatkan pada

pur, atau tiang pancang dengan panjang yang cukup harus ditanamkan ke dalam pur (pile cap).

Perpanjangan Tiang Pancang

Perpanjangan tiang pancang baja harus dilakukan dengan pengelasan. Pengelasan harus dikerjakan

sedemikian rupa hingga kekuatan penampang baja semula dapat ditingkatkan. Sambungan harus

dirancang dan dilaksanakan dengan cara sedemikian hingga dapat menjaga alinyemen dan posisi yang

benar pada ruas-ruas tiang pancang. Bilamana tiang pancang pipa atau kotak akan diisi dengan beton

setelah pemancangan, sambungan yang dilas harus kedap air.

Sepatu Tiang Pancang

Pada umumnya sepatu tiang pancang tidak diperlukan pada profil H atau profil baja gilas lainnya. Namun

bilamana tiang pancang akan dipancang di tanah keras, maka ujungnya dapat diperkuat dengan

menggunakan pelat baja tuang atau dengan mengelaskan pelat atau siku baja untuk menambah

ketebalan baja. Tiang pancang pipa atau kotak dapat juga dipancang tanpa sepatu, tetapi bilamana ujung

dasar tertutup diperlukan, maka penutup ini dapat dikerjakan dengan cara mengelaskan pelat datar,

atau sepatu yang telah dibentuk dari besi tuang, baja tuang atau baja fabrikasi.
Perbandingan Jenis Pondasi Dalam (Deep Foundation) Berdasarkan Metode Konstruksinya

Pengeboran (Drilled)

• Kelebihan:

1. Tidak menimbulkan getaran dan kegaduhan yang dapat menggangu lingkungan sekitar.

2. Cocok untuk pondasi yang berdiameter besar.

3. Pondasi dapat dicetak sesuai kebutuhan.

• Kekurangan:

1. Pekerjaan agak rumit karena pondasi dicetak di lapangan.

2. Lebih banyak memerlukan alat bantu seperti mesin bor, casing, cleaning bucket dan alat bantu

pengecoran sehingga mengeluarkan biaya yang lebih besar.

3. Rentan terhadap pengaruh tanah dan lumpur di dalam lubang.

4. Waktu pengerjaan lebih lama.

Pemancangan

• Kelebihan:

1. Pemeriksaan kualitas pondasi sangat ketat sesuai standar pabrik.

2. Pemancangan lebih cepat, mudah dan praktis.

3. Pelaksanaan tidak dipengaruhi oleh air tanah.

4. Daya dukung dapat diperkirakan berdasarkan rumus tiang.

5. Sangat cocok untuk mempertahankan daya dukung vertikal.

• Kekurangan:

1. Pelaksanaannya menimbulkan getaran dan kegaduhan.

2. Pemancangan sulit, bila dimeter tiang terlalu besar.

3. Kesalahan metode pemancangan dapat menimbulkan kerusakan pada pondasi.

4. Bila panjang tiang pancang kurang, maka untuk melakukan penyambungannya sulit dan memerlukan

alat penyambung khusus.

5. Bila memerlukan pemotongan maka dalam pelaksanaannya akan lebih sulit dan memerlukan waktu

yang lama.

Tekan (Pressed)

• Kelebihan:

1. Tidak menimbulkan getaran dan kegaduhan yang dapat menggangu lingkungan sekitar.

1. Tidak menimbulkan kerusakan pada pondasi akibat benturan.

2. Pelaksanaan tidak dipengaruhi oleh air tanah.

3. Daya dukung dapat diperkirakan berdasarkan rumus tiang.

4. Sangat cocok untuk mempertahankan daya dukung vertikal.

5. Pemeriksaan kualitas pondasi sangat ketat sesuai standar pabrik.

6. Pemancangan lebih cepat, mudah dan praktis.


• Kekurangan:

1. Bila panjang tiang pancang kurang, maka untuk melakukan penyambungannya sulit dan

memerlukan alat penyambung khusus.

2. Bila memerlukan pemotongan maka dalam pelaksanaannya akan lebih sulit dan memerlukan

waktu yang lama.

3. Tidak cocok untuk pondasi dengan diameter yang agak besar.

4. Memerlukan mesin hydraulic press untuk menekan pondasi.


Comment
Geotextile
Filed under: Sipilian by Fadly Sutrisno — 1 Comment

July 17, 2010

1. GEOTEXTILE/GEOGRID DAN TIMBUNAN TANAH

Geotekstil adalah lembaran sintesis yang tipis, fleksibel, permeable yang digunakan untuk stabilisasi dan

perbaikan tanah dikaitkan dengan pekerjaan teknik sipil. Pemanfaatan geotekstil merupakan cara

moderen dalam usaha untuk perkuatan tanah lunak.

Beberapa fungi dari geotekstil yaitu:

1. untuk perkuatan tanah lunak.

2. untuk konstruksi teknik sipil yang mempunyai umur rencana cukup lama dan mendukung beban

yang besar seperti jalan rel dan dinding penahan tanah.

3. sebagai lapangan pemisah, penyaring, drainase dan sebagai lapisan pelindung.

Geotextile dapat digunakan sebagai perkuatan timbunan tanah pada kasus:

1. Timbunan tanah diatas tanah lunak

2. Timbunan diatas pondasi tiang

3. Timbunan diatas tanah yang rawan subsidence

Timbunan Tanah Diatas Tanah Lunak

Pada hakekatnya, timbunan diatas tanah lunak merupakan masalah daya dukung. Pertimbangan lain

adalah bahwa stabilitas timbunan kritis pada akhir konstruksi. Hal ini dikarenakan permeabilitas tanah

lempung lunak yang tidak memungkinkan pengaliran dan konsolidasi pada masa konstruksi. Pada akhir

konstruksi, beban telah diterapkan, tetapi tidak ada peningkatan kuat geser tanah akibat konsolidasi.

Sesudah konsolidasi terjadi, peningkatan kuat geser umumnya menghilangkan perlunya perkuatan

geotextile untuk menambah stabilitas. Untuk memperoleh peningkatan kuat geser, tinggi timbunan harus

sedemikian sehingga pada awal kosntruksi mengakibatkan tegangan vertikal yang melewati tegangan pra-

konsolidasinya.

Jadi peranan geotextile adalah mempertahankan stabilitas sampai tanah lunak terkonsolidasi (kuat geser

meningkat berarti) sampai saat dapat memikul beban timbunan itu sendiri.
Keuntungan yang dapat diambil dari penggunaan geotekstil perkuatan tanah lunak adalah Konstruksi

sederhana sehingga mudah untuk dilaksanakan, menghemat waktu pelaksanaan, menghemat biaya

konstruksi. Sedangkan kerugian dari penggunaan geotekstil adalah bahwa geotekstil tidak tahan terhadap

sinar ultra violet. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan penutupan berupa pasangan batu kali ataupun

dengan bahan lainya.

2. GEOGRID

Geogrid adalahPerkuatan sistem anyaman.Geogrid berupa lembaran berongga dari bahan polymer. Pada

umumnya sistem serat tikar banyak digunakan untuk memperkuat badan timbunan pada jalan, lereng

atau tanggul dan dinding tegak. Mekanisme kekuatan perkuatan dapat meningkatkan kuat geser.

Pembangunan jalan diatas tanah lunak dengan metode:

1. Penggunaan cerucuk kayu yang berfungsi sebagai settlement reducer, yang walaupun memiliki

kelemahan keterbatasan umur material namun telah terbukti dan diterima sebagai suatu sistem.

2. Penggunaan sistem Corduroy/geotextile bagian dari tanah soil reinforcement untuk menaklukkan

kuat geser.

3. Penggunaan sistem Cakar ayam yang dikombinasikan dengan geotextile diatas tanah lunak.

4. Menggunakan cerucuk matras beton dengan komponen cerucuk dan matras dimana setiap unit

pelat matras masing-masing berada disebuat titik/cerucut.

5. Penggunaan bahan expandsed Polysstyrene yang yang mempunyai berat jenis sangat rendah

untuk konstruksi timbunan jalan raya, maupun sebagai lapisan pendukung fondasi diatas tanah

lunak sehingga memperkecil tegangan yang bekerja.

3. VERTIKAL DRAIN

Umumnya jenis tanah yang mengalami konsolidasi berlebihan adalah lempung lunak jenuh. Terdapat

beberapa metode yang bisa dilakukan guna perbaikan tanah lunak terhadap penurunan yang berlebihan

(settlemen) dan secara garis besar dapat dikelompokan dalam tiga kategori : pertama dapat dilakukan

dengan memasang vertical drain, kedua dengan menggunakan cerucuk atau corduroy serta yang ketiga

dengan menggunakan pondasi tiang.

Pertama memasang vertical drain, tanah lempung lunak jenuh adalah tanah dengan rongga kapiler

yang sangat kecil sehingga proses konsolidasi saat tanah dibebani memerlukan waktu cukup lama,

sehingga untuk mengeluarkan air dari tanah secara cepat adalah dengan mebuat vertical drain pada

radius tertentu sehingga air yang terkandung dalam tanah akan termobilisasi keluar melalui vertical drain

yang telah terpasang. Vertical drain ini dapat berupa stone column atau menggunakan material fabricated

yang diproduk oleh geosinindo atau pabrik yang lainnya. Pekerjaan vertical drain ini biasanya

dikombinasikan dengan pekerjaan pre-load berupa timbunan tanah, dengan maksud memberikan beban

pada tanah sehingga air yang terkandung dalam tanah bisa termobilisasi dengan lebih cepat.

Kedua dengan menggunakan cerucuk bamboo atau corduroy, prinsip kerjanya sebelum dilakukan

penimbunan terlebih dahulu memasang bantalan baik yang terbuat dari bamboo (cerucuk) atau dari kayu
gelondongan (corduroy) sehingga saat tanah dihampar tidak bercampur dengan tanah asli dibawahnya

dan tanah timbunan tersebut membentuk satu kesatuan yang mengapung diatas tanah aslinya semacam

pontoon yang mengapung diatas air. Terdapat pondasi cerucuk bamboo yang telah dimodifikasi dan

dipatentkan oleh Pak Mansyur Irsyam (dosen ITB) yang telah diaplikasikan pada bebepara daerah

diindonesia serta telah terbukti mamfaatnya.

Ketiga dengan menggunakan taing pancang, bisa berupa bore pile atau PC spun pile, sehingga

struktur yang akan kita bangun diatas tanah tersebut tidak lagi menumpuh pada tanah lunak tersebut

akan tetap menumpu pada lapisan tanah keras dibawahnya. Satu hal yang perlu diperhatikan saat

merencanakan pondasi tiang pancang pada tanah lunak adalah negative skin friction.

Dua metode perbaikan tanah lunak yang saya sebutkan pertama cocok diaplikasikan pada pekerjaan jalan,

yard penumpukan barang pada dermaga dll. Sementara untuk untuk pondasi dari struktur atau proses

equipment yang tepat diguanakan adalah menggunakan pondasi tiang pancang.


Comment
Menuju Teori Penyatuan
Filed under: No Line on The Horizon by Fadly Sutrisno — Leave a comment

July 17, 2010

Einstein adalah pencari jawaban yang pertama pada era modern. Ia habiskan tahun-tahun terakhirnya

dalam upaya yang sia-sia untuk menemukan teori yang akan menggabungkan mekanika kuantum dengan

teori gravitasinya, Relativitas Umum. Usaha untuk menemukan teori gabungan sempat terhenti selama

beberapa waktu hingga era 1970-an, saat impian teori gabungan dibangkitkan kembali oleh sejumlah

perkembangan baru:

Pertama, para fisikawan memaparkan bahwa sebagaimana listrik dan magnetisme yang merupakan aspek

dari sebuah daya, begitu pula elektromagnetisme dan daya nuklir lemah (yang mengatur kelemahan nuklir

tertentu) merupakan manifestasi dari daya “electroweak” yang utama.

Para peneliti juga mengembangkan teori untuk daya nuklir kuat, yang menggabungkan proton dan

neutron bersama-sama dalam inti atom. Teori ini, yang disebut kuantum kromodinamika, menyatakan

bahwa proton dan neutron terdiri atas partikel-partikel yang bahkan lebih elementer yang disebut quark.

Keduanya, teori electroweak dan kuantum kromodinamika, merupakan model standar fisika partikel.

Terdorong kesuksesan ini, para ilmuwan berupaya mencari teori yang lebih mendalam diluar model

standar. Panduan mereka adalah perangkat matematis yang disebut simetri, yang membolehkan unsur-

unsur dari sebuah sistem mengalami transformasi–analog dengan rotasi atau refleksi pada cermin–tanpa

perubahan fundamental. Simetri menjadi syarat mutlak fisika partikel. Dalam usaha mencari teori-teori

yang memiliki simetri yang lebih dalam, para teoretikus mulai melakukan lompatan ke dimensi yang lebih

tinggi. Sebagaimana halnya astronaut yang tidak terikat dengan permukaan bumi bisa melihat secara

langsung simetri global permukaan bumi, begitu pula para teoretikus memahami simetri yang lebih halus

yang mendasari interaksi partikel dengan melihat semuanya dari titik pijak dimensi yang lebih tinggi.
Salah satu masalah yang paling bertahan dalam fisika partikel muncul dari definisi partikel sebagai titik.

Analog dengan jika suatu bilangan dibagi dengan nol memberikan hasil yang tak tebatas, dan karenanya

tidak berarti, demikian juga kalkulasi-kalkulasi yang melibatkan partikel-partikel yang mirip-titik seringkali

berakhir dengan ketidakbermaknaan. Dalam mengkonstruksi model standar, fisikawan pun mampu untuk

memecahkan masalah tersebut. Tapi gravitasi Einstenian, dengan distorsi ruang dan waktunya, tampak

menuntut pendekatan yang lebih radikal.

Pada awal tahun 1980-an, banyak fisikawan mulai percaya teori superstring merepresentasikan

pendekatan itu. Teori ini menggantikan partikel-partikel yang mirip-titik dengan putaran energi kecil yang

mengeliminasi sejumlah absurditas yang muncul dalam kalkulasi-kalkulasi. Mirip dengan getaran string

(dawai) biola yang melahirkan beragam nada, getaran string ini pun bisa memunculkan semua daya dan

partikel-partikel dari dunia fisikal. Superstring bisa juga menyingkirkan salah satu momok fisika partikel:

kemungkinan bahwa tiada fondasi akhir bagi realitas fisikal kecuali hanya pergantian tak berkesudahan

dari partikel-partikel yang makin kecil. Menurut teori superstring, terdapat skala mendasar dimana semua

pertanyaan tentang ruang dan waktu diluar skala itu menjadi tidak berarti.

Namun teori ini menyimpan sejumlah masalah. Pertama, tampaknya ada banyak versi yang mungkin, dan

kelihatannya para teoretikus tidak mempunyai cara untuk mengetahui mana yang benar. Lebih dari itu,

superstring diperkirakan tidak hanya menempati empat dimensi dimana kita hidup (tiga dimensi ruang

ditambah dimensi waktu), namun juga enam dimensi tambahan yang entah bagaimana “teringkas”, atau

tergulung ke dalam ruang-ruang tak terhingga di alam semesta kita.

Pada 1995, fisikawan Edward Witten memperkenalkan teori-M (M-theory) yang juga disebut-sebut sebagai

Revolusi Superstring Kedua. “M” disini, menurut Witten, bisa berarti magis (magic), misteri, atau

membran, terserah mana yang sesuai selera . Teori ini mengkombinasikan 5 teori string yang berbeda

(bersama dengan usaha yang telah ditinggalkan untuk menggabungkan Relativitas Umum dan Mekanika

Kuantum yang disebut supergravitasi sebelas-dimensi) dalam satu teori. Hal ini disempurnakan dengan

merajut suatu jejaring hubungan antara setiap teori yang disebut sebagai dualitas (secara spesifik adalah

dualitas-S, dualitas-T, dan dualitas-U). Setiap dualitas menyediakan cara untuk mengubah satu teori string

ke teori lainnya.

Diantara semuanya, dualitas-T mungkin yang paling mudah untuk dijelaskan. Ini berkaitan dengan ukuran,

dilambangkan dengan R, dari dimensi yang “teringkas” dari teori string. Telah diketahui bahwa apabila

kita mengambil teori string Tipe IIA yang memiliki ukuran R, dan mengubah radiusnya ke 1/R, maka kita

akan mendapatkan apa yang ekuivalen dengan ukuran R menurut teori Tipe IIB. Dualitas ini, bersama

dengan yang lainnya, menciptakan hubungan antara kelima (atau enam, apabila supergravitasi juga ikut

dihitung) teori string yang ada.

Sebenarnya, keberadaan dualitas-dualitas tersebut sudah lama diketahui sebelum Witten muncul dengan

teori-M nya. Apa yang dilakukan Witten dengan menunjukkan fakta bahwa semua teori itu berhubungan

sebenarnya didasari oleh beberapa teori yang kesemuanya telah dikenal. Sebagai tambahan, juga telah
diketahui bahwa persamaan yang membutuhkan teori string untuk eksis pada 10 dimensi juga telah

diprediksi sebelumnya. Teori-M yang diusulkan (dan karena sesuatu hal masih samar-samar) akan menjadi

teori yang mengambil tempat pada dimensi ke-11, walaupun rinciannya masih belum pasti.

Baik teori string maupun teori-M menjadi sasaran skeptisisme. Beberapa ilmuwan (diantaranya yang patut

dicatat adalah Peter Woit dan Lee Smolin) masih meragukan teori-M, sebagaimana juga teori string. Salah

satu alasannya adalah teori string tidak memberikan gambaran yang “jernih” (dalam artian numerik) yang

bisa dibuktikan oleh eksperimen. Pendapat lainnya menyatakan bahwa teori string tidak didefinsikan

dengan baik karena sebagian besar terdiri dari persamaan-persamaan matematis dengan pendekatan

penguraian (perturbasi). Akibatnya, setiap perhitungan sering berakhir dengan hasil tak terhingga.

Sebaliknya, para pendukung teori string juga tidak mau kalah. Mereka berlindung dibalik argumen bahwa

fisika partikel, dengan teori string sebagai salah satu cabangnya, telah diuji secara lebih akurat ketimbang

teori Relativitas Umum.

Pertanyaannya sekarang, akankah entah teori string, superstring, atau teori-M, menjadi “jalan tol” menuju

Theory of Everything, teori segala sesuatu, ataukah cuma menjadi gang buntu?

CATATAN: Ya benar, fisika partikel yang sebenarnya jauh lebih kompleks daripada yang terungkap di

tulisan ini. Kita belum lagi bicara tentang sejumlah partikel eksotis yang terlibat dalam teori string maupun

teori-M.

Posted in Science by Dhani


Comment
Gaya Helicoidal pada Tikungan Sungai
Filed under: Sipilian by Fadly Sutrisno — Leave a comment

July 17, 2010

Helicoidal aliran adalah cockscrew (spiral) gerakan yang bertanggung jawab untuk memindahkan air

sungai terkikis beban dari luar ke tepi sebuah sungai. Pada belokan sungai, memungkinkan terjadinya

gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal pada belokan akan menyebabkan timbulnya arus melintang sungai, dan

bersama-sama dengan aliran utama membentuk aliran helicoidal. Aliran helicoidal adalah gerakan spiral

air sungai yang menyebabkan terkikisnya sisi luar sungai dan pengendapan pada sisi dalam sungai.

Besarnya kecepatan arus melintang berkisar antara 10-15% dari kecepatan pada arah utama aliran

dengan cirri bahwa di dekat permukaan, arus melintang bergerak kearah belokan dalam.

Erosi dan endapan sungai karena aliran helicoidal ini menyebabkan terbentuknya liku sungai. Dampak

utama akibat aliran helicoidal ini adalah terjadinya serangan pada tebing sungai pada sisi luar belokan,

serta pengendapan atau sedimentasi pada dasar sungai di dekat sisi dalam belokan.

Gaya yang bekerja dan skema aliran helicoidal yaitu:


Persamaan aliran di sisi tengah aliran (midstream channel) menurut Rozovskii (1957):
Dengan:

R = jari-jari belokan rerata (m)

H = kedalaman air rerata (m/detik)

Vmean = kecepatan yang mewakili tampang = Q/A

k = konstanta Kappa = 0,4

C = koefisien Chezy =

n adalah angka kekasaran manning dan R adalah radius hidraulik (m)

Pedoman Kimpraswil No: Pt T-10-2002-B


Timbunan Jalan pada Tanah Lunak
Desain dan Konstruksi
Panduan Geoteknik 4

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Latar Belakang


Dari pertengahan tahun 1980-an hingga 1997 perekonomian Indonesia mengalami
tingkat pertumbuhan lebih dari 6% per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan seperti ini,
dibutuhkan akan adanya pengembangan sistem transportasi yang andal yang berbasis
pada transportasi darat, utamanya jalan raya. Banyak daerah yang lebih mudah
dijangkau yang umumnya merupakan kawasan perkebunan dan industri, terletak pada
dataran rendah dimana dijumpai tanah lunak, sehingga kebutuhan akan
pengembangan suatu metode konstruksi yang andal membutuhkan pengembangan
suatu teknik desain dan konstruksi yang baru. Tanah lunak ini diperkirakan meliputi
sekitar 20 juta hektar atau sekitar 10 persen dari luas total daratan Indonesia dan
ditemukan terutama di daerah sekitar pantai.
Pelapukan tanah yang terjadi pada kondisi tropis berbeda dengan yang terjadi pada
daerah dengan iklim sedang, sehingga masing-masing tipe tanah dengan karakteristik
yang berbeda tersebut membutuhkan penanganan yang berbeda pula dalam
mengatasi permasalahan konstruksi. Penerapan berbagai metode penanggulangan
yang telah dikembangkan untuk daerah dengan iklim sedang tidak akan selalu cocok
untuk diterapkan pada tanah beriklim tropis. Oleh karenanya perlu dilakukan suatu
evaluasi terhadap teknologi yang telah dikembangkan untuk daerah dengan iklim
sedang tersebut sebelum diterapkan di Indonesia dan untuk itu dikembangkan suatu
teknologi yang lebih cocok melalui upaya-upaya penelitian setempat.
Panduan Geoteknik yang dibuat pada proyek Indonesian Geotechnical Materials and
Construction (IGMC) ini dirancang sebagai sebuah studi terhadap tanah lunak dan
tanah lapukan tropis Indonesia yang diharapkan dapat menghasilkan panduan
geoteknik dan kontruksi yang cocok untuk kondisi di Indonesia. Diharapkan pula,
dengan pengembangan sumber daya manusia dan peralatan yang tepat, dapat
meningkatkan kemampuan penelitian dalam bidang geoteknik di Pusat Litbang
Prasarana Transportasi. Proyek ini merupakan bagian dari kerangka penelitian
pembangunan jalan di atas tanah lunak yang dimulai sejak permulaan tahun 1990.

Tujuan
Penerapan langsung mekanika tanah dan batuan “klasik” yang dikembangkan di
daerah beriklim sedang akan tidak serta merta cocok untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada di daerah tropis. Sifat-sifat alami dari material bumi daerah
tropis memerlukan pengujian dan analisis yang berbeda dengan material di daerah
beriklim sedang. Prinsip yang sama berlaku untuk teknik desain dan konstruksi. Oleh
karenanya dibutuhkan fasilitas penelitian yang khusus untuk melakukan penyelidikan,
bila praktek-praktek desain dan konstruksi yang ada ingin ditingkatkan agar jalan yang
dibangun di atas tanah lunak dapat memberikan tingkat paelayanan yang disyaratkan.
Melanjutkan Tahap 1 dari proyek yang dilaksanakan pada tahun 1997-8, Tahap 2
mendapat tugas untuk mempersiapkan edisi pertama dari seri Panduan Geoteknik ini,
yang berhubungan dengan tanah lunak.
Disadari bahwa masih banyak hal yang harus dipelajari dan dicapai mengenai tanah
lunak Indonesia untuk dapat menghasilkan suatu desain pembangunan jalan yang
lebih ekonomis. Oleh karenanya diharapkan berdasarkan pengalaman selama
penggunaan edisi pertama Panduan Geoteknik ini, akan diperoleh suatu umpan balik
yang berharga untuk meningkatkan dan memperluas panduan ini di masa mendatang.
Program kegiatan ini dilaksanakan oleh Pusat Litbang Prasarana Transportasi
bersama Tim Konsultan. Proyek ini seluruhnya didanai oleh pinjaman Pemerintah
Indonesia dari International Bank for Reconstruction and Development, Highway
Sector Investment Programme 2, Loan Number 3712-IND.

Sampul depan menunjukkan Peta Geologi Indonesia. Areal tanah lunak


ditunjukkan dengan warna hitam. Panduan Geoteknik Indonesia
WSP International
Kerja sama dengan PT Virama Karya
PT Trikarla Cipta
Edisi Pertama Bahasa Indonesia 2002© Juli
Desain dan Konstruksi
Panduan Geoteknik 4
Timbunan Jalan pada Tanah Lunak
Pedoman Kimpraswil No: Pt T-10-2002-BPrakata

Panduan Geoteknik yang dibuat pada proyek Indonesian Geotechnical Materials


and Construction (IGMC) ini dirancang sebagai sebuah studi terhadap tanah lunak
dan tanah lapukan tropis Indonesia yang diharapkan dapat menghasilkan
panduan geoteknik dan kontruksi yang cocok untuk kondisi di Indonesia.
Diharapkan pula, dengan pengembangan sumber daya manusia dan peralatan
yang tepat, dapat meningkatkan kemampuan penelitian dalam bidang geoteknik
di Pusat Litbang Prasarana Transportasi. Proyek ini merupakan bagian dari
kerangka penelitian pembangunan jalan di atas tanah lunak yang dimulai sejak
permulaan tahun 1990.

Melanjutkan Tahap 1 dari proyek yang dilaksanakan pada tahun 1997-1998,


Tahap 2 mendapat tugas untuk mempersiapkan edisi pertama dari seri Panduan
Geoteknik ini, yang berhubungan dengan tanah lunak.
Disadari bahwa masih banyak hal yang harus dipelajari dan dicapai mengenai
tanah lunak Indonesia untuk dapat menghasilkan suatu desain pembangunan
jalan yang lebih ekonomis. Oleh karenanya diharapkan berdasarkan pengalaman
selama penggunaan edisi pertama Panduan Geoteknik ini, akan diperoleh suatu
umpan balik yang berharga untuk meningkatkan dan memperluas panduan ini di
masa mendatang.
Penyiapan Draf Panduan Geoteknik ini dilakukan oleh Tim Pusat Litbang
Prasarana Transportasi Bandung, melalui Kontrak Proyek Tahap 2 Indonesian
Geotechnical Materials and Construction Guides yang seluruhnya didanai oleh
pinjaman Pemerintah Indonesia dari International Bank for Reconstruction and
Development, Highway Sector Investment Programme 2, Loan Number 3712-IND,
bekerjasama dengan Tim Konsultan Proyek yang terdiri atas WSP International
bekerjasama dengan PT Virama Karya dan PT Trikarla Cipta. Kegiatan tersebut
dilaksanakan antara bulan Nopember 1999 dan Oktober 2001.
Pada tanggal 21-23 Agustus 2001 bertempat di Pusat Litbang Prasarana
Transportasi Bandung, dilakukan Loka Karya GeoGuides dengan mengundang
beberapa Pengkaji Eksternal dari kalangan Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi
dan Praktisi untuk meminta masukan, usul dan saran konstruktif untuk
kesempurnaan materi dan isi dari Panduan Geoteknik ini. Selanjutnya dari hasil
Loka Karya tersebut dilakukan penyempurnaan kembali oleh Tim Konsultan
Proyek berdasarkan masukan, usul dan saran yang didapat selama kegiatan
tersebut. Untuk mendapatkan pengakuan secara formal dari Badan Standardisasi Nasional
(BSN), maka pada tanggal 26-27 Februari 2002, bertempat di Pusat Litbang
Prasarana Transportasi Bandung, dilakukan Sidang Konsensus Panduan
Geoteknik yang dihadiri oleh kalangan Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi dan
Praktisi untuk menyepakati dan menyetujui isi dan materi dari Panduan
Geoteknik secara teknis dengan mengacu pada Format Standar yang telah
ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional. Selama berlangsungnya kegiatan
tersebut, diperoleh masukan dan perubahan untuk menyempurnakan dan
menyeragamkan format dari masing-masing Panduan serta konsistensi pemakaian
istilah teknik yang digunakan dengan mengacu pada istilah-istilah teknik yang
telah umum digunakan dalam dunia kegeoteknikan berdasarkan SNI, Pedoman
Teknik maupun Standar yang telah dipublikasikan, dengan tanpa melupakan
pedoman ataupun kaedah penyerapan istilah sesuai dengan kaedah umum bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Kegiatan penyempurnaan Panduan Geoteknik tersebut dilakukan oleh Pihak
Konsultan Proyek selama satu bulan dan selesai pada awal April 2002.
Selama proses penyusunannya, sejak penulisan Draf hingga penyusunan akhir
Edisi Pertama dari Panduan Geoteknik ini pada April 2002, Tim Penyusun telah
mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak seperti dari kalangan
Perguruan Tinggi (antara lain ITB, UI, UGM, UNPAR), Organisasi Profesi
(antara lain HATTI dan HPJI) serta dari kalangan Praktisi dan Institusi Riset
lainnya (antara lain Puslitbang Permukiman, Puslitbang Pengairan, dan
Puslitbang Geologi). Pendahuluan

Tanah lunak dalam Panduan ini meliputi lempung inorganik (lempung bukan
organik), lempung organik dan gambut.
Tanah jenis ini terdapat pada areal lebih dari 20 juta hektar, lebih dari 10 % dari
tanah daratan Indonesia.
Pada masa lalu, banyak proyek mengalami penundaan atau keterlambatan,
memerlukan tambahan biaya yang besar, membutuhkan biaya perawatan dan
pemeliharaan yang tinggi atau mengalami kegagalan, yang diakibatkan oleh
adanya tanah lunak ini.

Ruang Lingkup
Panduan Geoteknik ini dan seri lainnya merupakan pedoman bagi para praktisi
1

di lapangan dengan maksud memberikan panduan dan petunjuk dalam desain dan
pelaksanaan konstruksi jalan di atas tanah lunak. Berbagai panduan yang dibuat,
sangat cocok untuk diterapkan dalam desain berbagai tipe kelas jalan, mulai dari
Jalan Nasional hingga Jalan Kabupaten. Panduan-panduan disajikan untuk
kelompok-kelompok praktisi, sebagai berikut:

Para Manajer Proyek


Termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam proses perencanaan, pembiayaan dan
manajemen proyek.
Dalam Panduan ini dijelaskan mengapa pada lokasi tanah lunak diperlukan sebuah
penyelidikan khusus, waktu untuk melakukan penyelidikan dan pertimbangan
terhadap pembiayaan secara khusus untuk melaksanakan penyelidikan yang
memadai serta interpretasi yang tepat.

1
Dalam proses penterjemahan Panduan ini, telah diterjemahkan sejumlah istilah teknik
yang
digunakan yang dicantumkan sebagai referensi pada bagian akhir setiap Panduan serta
pada
CD Panduan Geoteknik. Sebagai tambahan, untuk istilah-istilah teknik yang belum
umum
digunakan, istilah dalam bahasa Inggrisnya tetap dicantumkan berdampingan dengan kata
yang bersangkutan dalam tanda kurung pada bagian awal penggunaannya saja. Para
Desainer
Panduan ini menjelaskan bagaimana lokasi tanah lunak harus diidentifikasi,
prosedur-prosedur yang harus diterapkan dalam penyelidikan, dan prosedur desain
dan pelaksanaan yang harus diikuti. Panduan ini juga mengarahkan bilamana
informasi yang didapatkan tersebut memerlukan masukan dari spesialis/ahli yang
telah berpengalaman.

Para Spesialis Geoteknik


Para spesialis geoteknik yang berpengalaman dalam konstruksi jalan di atas tanah
lunakpun, akan dapat memanfaatkan Panduan ini untuk mendapatkan rangkuman
prosedur-prosedur yang dapat digunakan dan diterapkan pada proyek-proyek yang
lebih kompleks dimana mereka terlibat secara langsung.
Walaupun panduan-panduan ini hanya diperuntukkan untuk jalan di atas tanah
lunak, para perekayasa yang menangani jalan pada tipe tanah dan bangunan sipil
tipe lainnya akan mendapatkan informasi yang sangat bermanfaat dalam
menghadapi permasalahan yang serupa.

Tujuan dari Panduan


Panduan Geoteknik 1: Timbunan Jalan pada Tanah Lunak: Proses
Pembentukan dan Sifat-sifat Dasar Tanah Lunak
Panduan ini memberikan informasi untuk:
· Memahami perbedaan tipe-tipe tanah lunak yang ditemukan di Indonesia
dan bagaimana hubungannya dengan konteks regional maupun global
· Membuat penilaian awal akan segala kemungkinan dimana tanah-tanah
tersebut akan ditemukan pada lokasi-loksasi tertentu
· Mengidentifikasi keberadaan tanah lunak, sehingga prosedur-prosedur yang
disebutkan dalam Panduan Geoteknik 2 hingga 4 perlu diterapkan dalam
proyek tersebut.
Panduan Geoteknik 2: Timbunan Jalan pada Tanah Lunak: Penyelidikan
Tanah Lunak: Desain dan Pekerjaan Lapangan
Panduan ini menjelaskan prosedur-prosedur yang harus diterapkan dalam:
· Studi awal untuk mengumpulkan informasi-informasi yang ada
· Informasi-informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan proyek pembangunan
jalan sebelum merencanakan penyelidikan lapangan
· Menentukan tipe-tipe penyelidikan lapangan serta pengujian laboratorium
yang akan dilakukan
· Prosedur mendesain penyelidikan lapangan
· Persyaratan-persyaratan khusus untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan
tertentu pada tanah lunak, sebagaimana juga telah dikemukakan pada
manual-manual lainnya untuk keperluan pekerjaan penyelidikan lapangan
yang sifatnya rutin
· Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk pelaporan dari hasil-hasil
pekerjaan yang telah dilakukan
· Ceklis untuk meyakinkan bahwa prosedur-prosedur yang tercantum dalam
Panduan ini telah diikuti
· Prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan jika penyelidikan lapangan yang
dilakukan tidak mengikuti rekomendasi yang diberikan oleh Panduan ini.
Panduan Geoteknik 3: Timbunan Jalan pada Tanah Lunak: Penyelidikan
Tanah Lunak: Pengujian Laboratorium
Panduan ini merumuskan:
· Ceklis untuk mengevaluasi kemampuan laboratorium pengujian geoteknik
dan kriteria pemilihan laboratorium
· Faktor-faktor yang berpengaruh pada perencanaan dan pengembangan
program pengujian laboratorium
· Rangkuman prosedur pengujian standar terutama acuan pengujian lempung
organik lunak dan gambut serta interpretasi hasil pengujiannya
· Prosedur untuk mengurangi sekecil mungkin gangguan pada contoh tanah
selama penanganan dan penyiapan benda uji; interpretasi data pengujian
untuk mengevaluasi kualitas contoh
· Prosedur untuk mengidentifikasi dan menjelaskan struktur dan fabrik tanah
· Persyaratan-persyaratan pelaporan.
Panduan Geoteknik 4: Timbunan Jalan pada Tanah Lunak: Desain dan
Konstruksi
Panduan ini merumuskan:
· Metode-metode yang harus diterapkan untuk menguji keabsahan data
penyelidikan
· Prosedur untuk mendapatkan parameter-parameter
· Proses pengambilan keputusan dalam memilih teknik dan metode yang
efektif dan memuaskan
· Metode-metode yang akan digunakan dalam menganalisis stabilitas dan
prilaku penurunan jalan
· Persyaratan-persyaratan dalam penyusunan laporan desain, penyiapan
kesimpulan-kesimpulan dan bagaimana kesimpulan tersebut dapat dicapai
· Ceklis untuk meyakinkan bahwa semua prosedur dalam Panduan ini telah
dilaksanakan
· Prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan jika rekomendasi-rekomendasi
tidak dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diberikan dalam Panduan
ini.

Sebuah CD dilampirkan dalam Panduan Geoteknik 1. Lampiran A dari Panduan


Geoteknik 1 memberikan penjelasan tentang isi dari CD tersebut serta cara
penggunaannya. Acuan Normatif
Dokumen acuan normatif di bawah ini berisi ketentuan. Dengan demikian,
ketentuan dalam dokumen acuan normatif tersebut menjadi ketentuan dari
panduan ini. Untuk acuan yang bertanggal, amendemen, atau revisi yang ada dari
tiap publikasinya, tidak berlaku. Namun demikian, pihak-pihak yang bersepakat
berdasarkan panduan ini dianjurkan untuk meneliti kemungkinan penerapan
edisi terbaru dari dokumen normatif yang tertera di bawah ini. Untuk acuan tak
bertanggal, penerapannya merujuk pada dokumen normatif edisi terakhir.
Dokumen acuan normatif yang digunakan:
AASHTO (1988), Manual on Subsurface Investigations, American Association
of State Highway and Transportation Officials, Washington, DC, USA.
ASTM Standards (1994), Section 4, Construction : Volumes 04.08 and 04.09,
Soils and Rock, American Society for Testing and Materials, Philadelphia,
USA.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (1999), Daftar Istilah
Standar Bidang ke-PU-an, Tahun Anggaran 1998/1999, Departemen Pekerjaan
Umum, Jakarta, Indonesia.
BS 5930 (1981), Code of Practice for Site Investigation, British Standards
Institution, London, UK.
BS 1377 (1990), Methods of Test for Soils for Civil Engineering Purposes, Parts 1-
9, British Standards Institution, London, UK.
BS 8006 (1995), Code of Practice for Strengthened/Reinforced Soils and Other
Fills, British Standards Institution, London, UK.
BSN Pedoman No.8-2000 (Mei 2000), Penulisan Standar Nasional Indonesia,
Badan Standardisasi Naional.
Direktorat Jenderal Bina Marga (1983), Manual Penyelidikan Geoteknik untuk
Perencanaan Fondasi Jembatan, Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum,
Jakarta, Indonesia.
Direktorat Jenderal Bina Marga (1992), Manual Desain Jembatan (Draf), Badan
Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, Indonesia.
Direktorat Jenderal Bina Marga (1994), Perencanaan Geometrik Jalan antar
Kota, Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, Indonesia.
ISO/IEC (1999), International Standard ISO/IEC 17025: 1999 (E), General
Requirements for the Competence of Testing and Calibration Laboratories, The
International Organization for Standardization and the International
Electrotechnical Commission, Geneva, Switzerland. ISSMFE (1981), International
Manual for the Sampling of Soft Cohesive Soils,
The Sub-Committee on Soil Sampling (ed), International Society for Soil
Mechanics and Foundation Engineering, Tokai University Press, Tokyo,
Japan.
Japanese Standards Association (1960), Method of Test for Consolidation of Soils,
Japanese Industrial Standard JIS A 1217-1960.
Japanese Standards Association (1977), Method of Unconfined Compression Test
of Soil, Japanese Industrial Standard JIS A 1216-1958 (revised 1977).
Media Teknik No. 2 Tahun XVII (1995), Tata Istilah Teknik Indonesia, No.
ISSN 0216-3012.
NAVFAC (1971), Design Manual: Soil Mechanics, Foundations and Earth
Structures, Dept of Navy, USA.
Puslitbang Geologi Bandung (1996), Peta Geologi Kuarter Lembar Semarang,
Jawa, 5022-II.
Pusat Litbang Prasarana Transportasi Bandung (2001), Guideline Road
Construction over Peat and Organic Soil, Draft Version 4.0/4.1, Ministry of
Settlement and Public Infrastructure of the Republic of Indonesia in cooperation with The
Ministry of Transport, Public Works and Water
Management (Netherlands), January.
SNI (1990), Metoda Pengukuran Kelulusan Air pada Tanah Zona Tak Jenuh
dengan Lubang Auger, SK-SNI-M-56-1990-F, Dewan Standardisasi Nasional.
SNI (1999), Metoda Pencatatan dan Interpretasi Hasil Pemboran Inti, SNI 03-
2436 – 1991, Dewan Standardisasi Nasional.
SNI(1999), Metoda Pengujian Lapangan dengan Alat Sondir, SNI 03- 2827 –
1992, Dewan Standardisasi Nasional.
SNI (1999), Metoda Pengujian Lapangan Kekuatan Geser Baling, SNI 06-2487 –
1991, Dewan Standardisasi Nasional.

Istilah Teknik
Untuk keperluan panduan ini, selanjutnya digunakan dan diusulkan istilah-istilah
teknik dalam bahasa Indonesia yang diberikan pada bagian akhir dari setiap
Panduan, setelah Lampiran. Untuk memudahkan pengguna Panduan yang belum
terbiasa dengan terminologi yang dimaksud, maka pada Daftar Istilah tersebut
setiap istilah yang digunakan dicantumkan padanan katanya dalam bahasa
Inggris.
Istilah-istilah tersebut disusun dengan mengacu pada istilah-istilah teknik yang
telah umum digunakan dalam bidang kegeoteknikan, seperti yang tercantum
pada SNI, Pedoman maupun Panduan Teknik lainnya, dengan tetap mengacu
pada tata cara penyerapan istilah teknik yang berlaku serta kaedah-kaedah bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Secara teknis, kegiatan penyusunan tersebut dimulai dengan penyusunan daftar
istilah teknik yang terdapat pada keempat buku Panduan oleh Tim Konsultan
Proyek. Daftar tersebut kemudian dikirimkan melalui korespodensi suratmenyurat kepada
21 orang Pengkaji Eksternal yang terdiri dari kalangan
Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi maupun Praktisi, untuk meminta masukan
konstruktif tentang terjemahan yang tepat dan sesuai untuk masing-masing istilah
berdasarkan latar belakang, pengalaman dan pendapat mereka masing-masing.
Dari 10 daftar yang kembali, dilakukan kompilasi kembali oleh Tim Konsultan
Proyek dengan mengacu pada standar maupun kaedah bahasa Indonesia yang
baik dan benar, seperti yang terlihat pada Daftar Istilah yang diberikan pada
bagian akhir setiap buku Panduan.
Skala Mutu
Panduan ini mengasumsikan bahwa pada setiap pelaksanaan proyek jalan,
seorang Perekayasa yang selanjutnya disebut sebagai Insinyur Geoteknik yang
Ditunjuk, akan ditetapkan untuk bertanggung jawab terhadap seluruh pekerjaan
geoteknik mulai dari tahapan penyelidikan, desain dan pelaksanaan konstruksi.
Penunjukkan ini dilakukan oleh Ketua Tim, Ketua Tim Desain atau seseorang
yang secara keseluruhan bertanggungjawab atas proyek tersebut. Pemimpin
proyek mempunyai tanggung jawab untuk menjamin Insinyur Geoteknik yang
Ditunjuk ada di pos selama proyek berjalan.
Panduan ini menggambarkan bagaimana Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk
tersebut harus mencatat dan menandatangani setiap tahapan pekerjaan. Jika
Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk tersebut suatu saat diganti, maka prosedurprosedur
yang telah ditetapkan tersebut harus dimasukkan di dalam klausal
serahterima, yang mana Insinyur Geoteknik yang baru harus melanjutkannya
dengan tanggung jawab sebagaimana yang telah dijelaskan pada Panduan
Geoteknik 4.
Latar belakang dan pengalaman dari Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk tersebut
akan bervariasi berdasarkan kuantitas dan kompleksitas dari proyek yang
bersangkutan. Untuk Jalan Kabupaten, Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk harus
memiliki kemampuan/latarbelakang keteknikan dasar yang cukup serta
pengetahuan lokal yang memadai. Sedangkan untuk skala proyek yang lebih
besar, seorang Insinyur dengan latar belakang khusus kegeoteknikan, umumnya
menjadi persyaratan yang harus dipenuhi.
Untuk skala Jalan Nasional, dimana permasalahan-permasalahan tanah lunak
cukup banyak ditemui, Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk harus memiliki
pengetahuan dan pengalaman kegeoteknikan yang luas. Bila dipandang perlu ia
dapat didukung oleh seorang Spesialis; walaupun demikian, Insinyur Geoteknik
yang Ditunjuk tersebut tetap bertanggungjawab secara keseluruhan terhadap
Skala Mutu, sebagaimana dijelaskan dalam Panduan ini.
Jika terdapat penyelidikan atau disain geoteknik yang harus dilakukan oleh
Kontraktor Pelaksana Pekerjaan, maka dalam kaitannya dengan pekerjaan
tersebut kontraktor itu harus mematuhi semua persyaratan yang tercantum
dalam Panduan ini. Insinyur Geoteknik yang Ditunjuk harus bertanggung jawab
terhadap hal ini.
Daftar Isi
1 Pendahuluan Panduan Geoteknik 4................................ ...........................1
1.1 Batasan dari Panduan................................ ................................ ......1
1.2 Struktur Manajemen untuk Pekerjaan Geoteknik...............................1
1.3 Pendekatan terhadap Desain Pekerjaan Geoteknik ............................3
1.4 Permasalahan ................................ ................................ .................5
1.5 Solusi atau Pemecahan Masalah ................................ ......................5
1.5.1 Pendahuluan................................ ................................ ...............5
1.5.2 Tipe Solusi Geoteknik................................ ................................ .6
2 Pertimbangan Menyeluruh dalam Desain ................................ ..................8
2.1 Umum ................................ ................................ ...........................8
3 Solusi dengan Pekerjaan Tanah................................ ..............................11
3.1 Pendahuluan................................ ................................ .................11
3.2 Penggantian Material ................................ ................................ .... 11
3.2.1 Teknik ................................ ................................ .....................11
3.2.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 12
3.2.3 Aplikasi ................................ ................................ ...................13
3.2.4 Pertimbangan Pelaksanaan................................ ........................ 15
3.3 Berem Pratibobot................................ ................................ ..........15
3.3.1 Teknik ................................ ................................ .....................15
3.3.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 17
3.3.3 Pertimbangan Konstruksi................................ ..........................18
3.4 Penambahan Beban................................ ................................ .......18
3.4.1 Teknik ................................ ................................ .....................18
3.4.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 18
3.4.3 Aplikasi ................................ ................................ ...................21
3.4.4 Pertimbangan Pelaksanaan................................ ........................ 21
3.5 Konstruksi Bertahap ................................ ................................ .....22
3.5.1 Teknik ................................ ................................ .....................22
3.5.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 23
3.5.3 Pertimbangan Pelaksanaan................................ ........................ 24
3.6 Penggunaan Material Ringan................................ .........................24
3.6.1 Teknik ................................ ................................ .....................24
3.6.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 24
3.6.3 Aplikasi ................................ ................................ ...................25
4 Solusi dengan Perbaikan Tanah ................................ ..............................26
4.1 Pendahuluan................................ ................................ .................26
4.2 Penyalir Vertikal................................ ................................ ..........26
(ii)
4.2.1 Teknik ................................ ................................ .....................26
4.2.2 Metode dan Prosedur ................................ ................................ 29
4.2.3 Prosedur Instalasi ................................ ................................ .....30
4.2.4 Selimut Pasir ................................ ................................ ............ 31
4.2.5 Pertimbangan Pelaksanaan................................ ........................ 33
4.2.6 Contoh Penggunaan................................ ................................ ..35
4.3 Tiang ................................ ................................ ...........................35
4.3.1 Teknik ................................ ................................ .....................35
4.3.2 Tipe-tipe Tiang................................ ................................ .........36
4.3.3 Metode Transfer Beban Timbunan ke Tiang ...............................37
4.3.4 Pertimbangan Pelaksanaan................................ ........................ 39
4.3.5 Contoh Penggunaan................................ ................................ ..40
4.4 Matras ................................ ................................ .........................40
4.4.1 Teknik ................................ ................................ .....................40
4.4.2 Contoh Penggunaan................................ ................................ ..41
4.5 Metode Perbaikan Tanah Lainnya................................ ..................41
5 Persiapan Desain ................................ ................................ ...................44
5.1 Interpretasi Geologi................................ ................................ ......44
5.2 Zonasi Lokasi................................ ................................ ...............45
5.3 Pemilihan Parameter Geoteknik ................................ .....................46
5.3.1 Pendahuluan................................ ................................ .............46
5.3.2 Kisaran Nilai yang Dapat Diterima ................................ ............ 46
5.3.3 Pemeriksaan Korelasi................................ ................................ 47
5.3.4 Menyimpulkan Hasil Penilaian................................ ..................47
5.3.5 Pemilihan Parameter Desain ................................ ......................47
5.4 Parameter Material Timbunan ................................ .......................50
5.5 Pembebanan dan Kriteria Desain ................................ ...................50
5.5.1 Beban Lalu Lintas................................ ................................ .....50
5.5.2 Faktor Keamanan ................................ ................................ .....51
5.5.3 Kriteria Deformasi................................ ................................ .... 53
5.5.4 Beban Gempa................................ ................................ ...........54
6 Solusi Desain dan Analisis ................................ ................................ .....57
6.1 Pendahuluan................................ ................................ .................57
6.2 Stabilitas Timbunan................................ ................................ ......58
6.3 Penurunan pada Timbunan ................................ ............................ 59
6.4 Penyalir Horisontal ................................ ................................ .......60
6.5 Penggantian ................................ ................................ .................61
6.6 Berem Pratibobot................................ ................................ ..........62
6.7 Penambahan Beban................................ ................................ .......64
6.8 Konstruksi Bertahap ................................ ................................ .....65
(iii)
6.9 Timbunan dengan Perkuatan ................................ .........................67
6.9.1 Pendahuluan................................ ................................ .............67
6.9.2 Sifat-sifat Geotekstil................................ ................................ .68
6.9.3 Faktor Reduksi Rangkak ................................ ...........................69
6.9.4 Analisis Stabilitas ................................ ................................ .....70
6.10 Matras Bertiang................................ ................................ ............ 71
6.11 Penyalir Vertikal................................ ................................ ..........71
6.12 Desain Tiang................................ ................................ ................ 71
7 Interaksi Tanah dan Bangunan ................................ ...............................73
8 Pertimbangan untuk Pelebaran Jalan ................................ .......................76
9 Proses Pengambilan Keputusan ................................ ..............................78
9.1 Pengantar ................................ ................................ .....................78
9.2 Mengidentifikasi Masalah yang harus Dipecahkan..........................80
9.3 Mengidentifikasi Faktor-FAKTOR yang Akan Mempengaruhi
Proses Pengambilan Keputusan ................................ .....................80
9.4 Pemilihan dan Analisis atas Berbagai Pilihan................................ ..81
9.5 Mengidentifikasi Biaya untuk Setiap Pilihan ................................ ..82
9.6 Penetapan Pilihan Terbaik................................ .............................84
9.7 Pelaporan Proses Pengambilan Keputusan dan Rekomendasi...........86
10 Laporan Desain ................................ ................................ .....................87
11 Uji Coba ................................ ................................ ...............................93
12 Kontrak dan Pelaksanan................................ ................................ .........95
12.1 Pengadaan Kontrak ................................ ................................ .......95
12.2 Pelaksanaan ................................ ................................ .................95
13 Pemantauan Lapangan ................................ ................................ ...........97
13.1 Merencanakan Program Pemantauan dan Instrumentasi...................97
13.2 Desain Timbunan ................................ ................................ .........98
13.3 Kondisi Lapisan Bawah Permukaan................................ ...............98
13.4 Pra Analisis................................ ................................ ..................98
13.5 Jumlah Instrumentasi ................................ ................................ .... 98
13.6 Lokasi Instrumen................................ ................................ ..........99
13.7 Pemasangan ................................ ................................ ...............100
13.8 Perlindungan ................................ ................................ ..............101
13.9 Prosedur dan Frekuensi Pemantauan ................................ ............ 102
13.10 Catatan Penimbunan ................................ ................................ ...102
13.11 Pelat Penurunan................................ ................................ ..........103
13.12 Instrumentasi Khusus ................................ ................................ ..103
(iv)
14 Referensi ................................ ................................ ............................ 104

Lampiran
Lampiran A Ceklis
Lampiran B Korelasi Parameter Geoteknik
Lampiran C Perhitungan Penurunan pada Gambut Berdasarkan Metode
Hanrahan
Lampiran D Desain Matras Geotekstil untuk Timbunan Bertiang
Lampiran E Isi Laporan
Lampiran F Garis Besar Prosedur untuk Timbunan Percobaan
Lampiran G Instrumentasi
Lampiran H Lembar Catatan Pemasangan Instrumentasi

Gambar
Gambar 1-1 Segitiga Kualitas Waktu Biaya 4
Gambar 3-1 Penggantian Total 12
Gambar 3-2 Penggantian Sebagian 12
Gambar 3-3 Berem Pratibobot Tunggal 16
Gambar 3-4 Berem Pratibobot Ganda 16
Gambar 3-5 Metode Konstruksi untuk Berem pada Gambut 17
Gambar 3-6 Kecepatan Konsolidasi Lapisan Lempung 19
Gambar 3-7 Beban Tambahan yang Dikombinasikan dengan Sistem Lain 20
Gambar 3-8 Kenaikan Kuat Geser dari Konsolidasi 22
Gambar 3-9 Kecepatan Penimbunan yang Dikontrol 23
Gambar 3-10 Penimbunan yang Dikontrol Bertahap 23
Gambar 4-1 Bagan Alir Pengambilan Keputusan untuk Metode Penyalir
Vertikal 29
Gambar 4-2 Hubungan dari Ukuran Butir dengan Permeabilitas pada Pasir
(GCO, 1982) 33
Gambar 4-3 Pengaruh dari Kehalusan pada Permeabilitas 33
Gambar 4-4 Prosedur Instalasi PVD menembus Selimut Pasir 35
(v)
Gambar 4-5 Timbunan yang Didukung oleh Tiang 37
Gambar 4-6 Variasi Lantai Bertiang (Piled Slabs) 39
Gambar 4-7 Konfigurasi Kepala Tiang 40
Gambar 4-8 Konstruksi Matras Tiang 42
Gambar 5-1 Contoh Prosedur untuk Menetapkan UnitTanah 46
Gambar 5-2 Contoh Pemilihan Parameter Desain 50
Gambar 5-3 Penggunaan Faktor Keamanan untuk Membatasi Regangan 53
Gambar 5-4 Zona Pengaruh untuk Pergerakan Lateral 55
Gambar 5-5 Zona Gempa di Indonesia 56
Gambar 5-6 Skema Perubahan Faktor Keamanan sepanjang Umur
Timbunan 57
Gambar 6-1 Penambahan Penurunan Regional dalam Perhitungan
Penurunan 61
Gambar 6-2 Batas Galian untuk Penggantian Tanah Lunak 62
Gambar 6-3 Grafik Desain untuk Berem Pratibobot 64
Gambar 6-4 Analisis Desain Penambahan Beban 65
Gambar 6-5 Pelebaran Penambahan Beban 66
Gambar 6-6 Analisis Konstruksi Bertahap 67
Gambar 6-7 Kuat Geser vs Hubungan Kedalaman 67
Gambar 6-8 Kuat Geser Meningkat terhadap Konsolidasi 68
Gambar 6-9 Penyesuaian Pertambahan Kuat Geser untuk Konsolidasi Lebih 68
Gambar 6-10 Kuat Tarik Beberapa Material Geotekstil 69
Gambar 6-41 Contoh Kurva Rangkak Geotekstil 71
Gambar 6-52 Perhitungan Titik Netral Tiang 73
Gambar 8-1 Kenaikan Tegangan di Bawah Jalan Lama 77
Gambar 8-2 Penggalian Tanah Lunak di Sekitar Jalan Lama 78
Gambar 9-1 Proses Pengambilan Keputusan 80
Gambar 9-2 Perbandingan Berbagai Pilihan yang Digambarkan secara
Grafis 86
Gambar 13-1 Contoh Tata Letak Instrumentasi 101
Gambar 13-2 Frekuensi Pembacaan Instrumen 103
Gambar B-1 Hubungan antara Kuat Geser Tak Terdrainse dan Indeks
Konsistensi B6
Gambar B-2 Hubungan antara Pemampatan Primer dan Angka Pori
sebagai suatu Fungsi Batas Cair B8
(vi)
Gambar B-3 Hubungan antara Indeks Pengembangan dan Angka Pori
sebagai Fungsi dari Batas Cair B10
Gambar B-4 Hubungan Antara Permeabilitas dan Angka Pori Sebagai
Fungsi dari Indeks Plastisitas dan Kadar Lempung B13
Gambar B-5 Hubungan Antara Koefisien Konsolidasi dan Batas Cair B14
Gambar G-1 Penanda Penurunan Permukaan G5
Gambar G-2 Pelat Penurunan G6
Gambar G-3 Ekstensometer Batang G7
Gambar G-4 Ekstensometer Magnetik G8
Gambar G-5 Datum Dalam & Pisometer Pipa Ukur Tegak G9
Gambar G-6 Pisometer Penumatik G10
Gambar G-7 Indikator Gelincir G11
Gambar G-8 Inklinometer G12

Tabel:
Tabel 3-1 Keuntungan dari Solusi Pekerjaan Tanah yang Umum 11
Tabel 3-2 Batasan Umum dari Penggantian Total dan Sebagian 14
Tabel 3-3 Berat Isi dari Material Ringan 25
Tabel 5-1 Nilai Kisaran yang Realistis dari Tanah Lunak 48
Tabel 5-2 Penilaian Keandalan Data 48
Tabel 5-3 Parameter Desain yang Dibutuhkan 49
Tabel 5-4 Nilai Desain Sementara untuk Tanah Lunak 50
Tabel 5-5 Parameter Desain untuk Material Timbunan 51
Tabel 5-6 Beban Lalu Lintas untuk Analisis Stabilitas 52
Tabel 5-7 Faktor Keamanan untuk Analisis Stabilitas 54
Tabel 5-8 Batas-batas Penurunan untuk Timbunan pada Umumnya 54
Tabel 5-9 Faktor Percepatan Gempa 56
Tabel 6-1 Faktor Pembagi untuk Kerusakan pada Instalasi Geotekstil 70
Tabel 9-1 Contoh Lembar Tujuan Desain 81
Tabel 9-2 Faktor-faktor dan Pembobotan untuk Proses Pengambilan
Keputusan 82
Tabel 9-3 Contoh Terpisah Keputusan Penolakan Awal 83
Tabel 9-4 Contoh Mengidentifikasii Biaya dari Dua Pilihan 84
Tabel 13-1 Kelas Instrumentasi untuk Timbunan Jalan 100
1
1 Pendahuluan Panduan Geoteknik 4
1.1 BATASAN DARI PANDUAN
Panduan Geoteknik ini memberikan informasi dan petunjuk dalam desain dan
pelaksanaan konstruksi jalan di atas tanah lunak. Panduan ini
mengidentifikasikan berbagai solusi yang mungkin untuk berbagai kondisi yang
berbeda, serta mengemukakan secara umum kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Karenanya, Panduan ini memberikan metodologi untuk
memilih desain yang paling cocok, dan menjelaskan bagaimana caranya Ahli
Geoteknik yang Ditunjuk mengembangkan dan mencatat proses pengambilan
keputusannya.
Petunjuk yang diberikan pada Panduan ini juga harus digunakan untuk
timbunan oprit jembatan.
Panduan ini tidak membahas masalah yang menyangkut struktur, kecuali
beberapa aspek dari interaksi tanah-struktur (soil-structure interaction), atau
masalah perkerasan jalan pada tanah lunak. Meskipun demikian, beberapa
petunjuk yang diberikan pada Panduan ini dan seri lainnya mungkin akan dapat
membantu untuk maksud tersebut.
1.2 STRUKTUR MANAJEMEN UNTUK PEKERJAAN
GEOTEKNIK
Panduan ini mensyaratkan bahwa untuk setiap proyek jalan seorang Ahli, yang
dalam Panduan ini disebut sebagai Ahli Geoteknik yang Ditunjuk , akan
ditunjuk oleh Ketua Tim untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan
geoteknik seperti dijelaskan dalam Pengantar.
Pada Panduan Geoteknik ini istilah Ketua Tim yang dimaksud adalah seorang
yang bertanggung jawab secara langsung terhadap desain dan pelaksanaan
proyek dan merupakan atasan langsung dari Ahli Geoteknik yang Ditunjuk,
yang kepadanya dia harus memberikan laporan.
Pada tahap Studi Kelayakan dari sebuah proyek, sebuah penilaian geoteknik
awal harus dilakukan untuk mengidentifikasi apakah pertimbangan geoteknik
berpengaruh terhadap rencana trase/rute dan pemilihan alinyemen jalan. Oleh
2
karena itu, jika memungkinkan maka Ahli Geoteknik yang Ditunjuk tersebut
harus ditunjuk untuk tahap studi kelayakan.
Seorang Ahli Geoteknik yang Ditunjuk dibutuhkan untuk tahapan pekerjaan
penyelidikan, desain dan pengadaan (procurement). Bila memungkinkan,
pekerjaan pelaksanaan yang memerlukan adanya kegiatan pemantauan , ujicoba (trials)
atau desain yang memerlukan informasi lebih lanjut, maka seorang
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus ditunjuk pada setiap tahap pelaksanaan,
dan tidak perlu dipekerjakan penuh selama waktu pelaksanaan proyek.
Panduan ini juga mengemukakan bagaimana Ahli Geoteknik yang Ditunjuk
tersebut harus menyimpan catatan serta menandatangani semua aktivitas dari
setiap tahapan pekerjaan.
Latar belakang dan pengalaman dari Ahli Geoteknik yang Ditunjuk akan
bervariasi bergantung pada ukuran dan kompleksitas dari proyek
1
. Untuk Jalan
Kabupaten, Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memiliki latar belakang
keteknikan umum dan cukup mengenal daerah yang bersangkutan. Untuk skala
yang lebih besar, umumnya akan diperlukan seorang spesialis.
Untuk proyek besar seperti Jalan Nasional dimana tanah lunak menjadi
masalah, Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memiliki latar belakang dan
pengalaman yang luas dalam bidang geoteknik. Sebagai tambahan ia dapat saja
dibantu oleh seorang Spesialis Geoteknik, yang walaupun dibantu, Ahli
Geoteknik yang Ditunjuk ini tetap harus bertanggung jawab penuh terhadap
Skema Mutu (Quality Scheme) seperti yang dijelaskan pada Panduan.
Seorang Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus:
· merumuskan tujuan yang ingin dicapai dan disetujui bersama Ketua Tim,
· melakukan studi meja,
· mendesain penyelidikan lapangan termasuk jenis pengujian yang
diperlukan,
· memilih laboratorium yang akan melakukan pengujian,
· memberi arahan dan mengawasi proses penyelidikan,
· memeriksa dan menyetujui laporan pengujian lapangan dan laboratorium,
· menetapkan parameter desain– membuat desain,
· memberi rekomendasi solusi geoteknik,
· menyiapkan dan membuat Laporan Desain Geoteknik ,
· melengkapi dan menandatangani semua ceklis,

1
Sejumlah Asosiasi Profesi di Indonesia telah memiliki sistem sertifikasi dan skema
yang dapat digunakan dalam menentukan kualifikasi yang sesuai untuk proyek-proyek
tertentu..
3
Seorang Perekayasa Geoteknik yang Ditunjuk juga harus:
· melaporkan kepada Ketua Tim,
· menjalin hubungan dengan ahli struktur dan ahli jalan raya,
· bertanggung jawab terhadap kualitas informasi dan desain geoteknik.
Jika Ahli Geoteknik yang Ditunjuk tersebut diganti maka ia harus membuat
rangkuman dokumen Serah Terima yang memuat hasil apa saja yang telah
dicapai, dengan menggunakan Ceklis pada Lampiran A, Kepala Proyek
bertanggung jawab untuk menjamin bahwa proses serah terima ini telah
dilaksanakan.
1.3 PENDEKATAN TERHADAP DESAIN PEKERJAAN
GEOTEKNIK
Tanggung jawab dari Ahli Geoteknik yang Ditunjuk
Panduan ini mengemukakan prosedur untuk melakukan pekerjaan geoteknik
pada jalan di atas tanah lunak yang memerlukan timbunan.
Prosedur dan solusi dikemukakan dalam bentuk yang bersifat memberikan
petunjuk/ketentuan.
Jika Ahli Geoteknik yang Ditunjuk bermaksud menyimpang dari
prosedur, berdasarkan atas pengalamannya yang luas dan mempunyai
pendekatan lain yang lebih baik dan lebih tepat untuk digunakan pada
proyek yang bersangkutan, hal ini dapat diterima. Walaupun demikian
setiap penyimpangan dari Panduan harus didokumentasikan secara jelas
dan alasan penyimpangannya harus dikemukakan dalam laporan Ahli
Geoteknik yang Ditunjuk yang relevan.
Struktur dari Pendekatan Desain
Pendekatan yang diadopsi dalam Panduan ini adalah sama dengan yang harus
diadopsi oleh semua pekerjaan yang berhubungan dengan kegeoteknikan, yaitu:
· identifikasi masalah,
· mengumpulkan semua informasi yang dibutuhkan,
· memilih solusi-solusi yang memungkinkan,
· menganalisis solusi,
· menilai kembali biaya dan pengaruh pelaksanaan,
· mengambil keputusan atas solusi yang optimal,
· melakukan uji-coba di lapangan.
4
Keterbatasan Desain
Tiga unsur yang harus dipertimbangkan dalam setiap proses desain adalah
Biaya, Mutu dan Waktu. Unsur-unsur ini akan saling terkait dan dapat
digambarkan dalam sebuah segitiga Kualitas Waktu Biaya, seperti ditunjukkan
pada Gambar 1-1.
A
BC
Kualitas
Biaya
Waktu
Kualitas Tinggi
Biaya Rendah
Waktu Singkat
Kualitas yang disyaratkan

Gambar 1-1 Segitiga Kualitas Waktu Biaya


Jika proyek, sebagai contoh, telah menetapkan waktu pelaksanaan dan
pembiayaannya, maka Ahli Geoteknik yang Ditunjuk akan mendapatkan dirinya
pada posisi A pada Gambar 1-1. Kualitas telah diputuskan. Bila pekerjaan
geoteknik tidak dapat dilakukan menurut taraf standar yang diperlukan dalam
batasan seperti ini, maka Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memodifikasi
baik waktu maupun biayanya, ataupun kombinasi dari keduanya. Sebagai
contoh, ia dapat pindah ke posisi B pada gambar, yang akan menaikkan kualitas
kepada standar minimum yang disyaratkan, tetapi akan menaikkan biaya yang
akan dikeluarkan. Alternatifnya, ia dapat pindah ke posisi C, sekali lagi untuk
memenuhi standar minimum kualitas, tetapi pada kasus ini pilihan tersebut akan
menambah waktu yang dibutuhkan (seperti pada contoh konstruksi bertahap).
Titik lain antara B dan C akan memenuhi tujuan kualitas dengan sebuah
kombinasi dari menambah waktu dan menaikkan biaya.
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus mengidentifikasikan keterbatasan yang ada
dan memberitahukan kepada Kepala Proyek terhadap konsekuensi yang harus
dihadapi. Hal ini harus dikemukakan dalam laporan yang dibuat oleh Ahli
Geoteknik yang Ditunjuk tersebut.
5
1.4 PERMASALAHAN
Permasalahan yang harus dipecahkan sebenarnya terbatas, walaupun demikian
pemecahannya dapat saja lebih kompleks. Sebenarnya hanya ada dua
permasalahan yang harus dihadapi oleh seorang Ahli Geoteknik yang Ditunjuk,
yaitu:
· timbunan tersebut harus stabil sepanjang umur rencananya, dan
· penurunan yang terjadi pada konstruksi jalan masih dapat diterima
· Prosedur untuk mengidentifikasi permasalahan spesifik yang dihadapi,
dikemukakan dalam Bab 9: Proses Pengambilan Keputusan.
1.5 SOLUSI ATAU PEMECAHAN MASALAH
1.5.1 Pendahuluan
Seorang Perekayasa Geoteknik yang Ditunjuk harus menyadari bahwa solusi
terhadap permasalahan geoteknik dapat ditemukan di luar keahlian atau
kewenangannya. Jika permasalahan yang dihadapi cukup besar, maka ia harus
memberitahukan kepada Kepala Proyek bahwa mungkin terdapat beberapa
solusi yang dapat dilakukan untuk menghilangkan permasalahan geoteknik
tersebut daripada harus menghadapinya, sebagai contoh:
· memindahkan jalan,
· menurunkan alinyemen vertikal,
· mengganti timbunan dengan struktur.
Contoh
Sebuah jalan tol dibuat melintasi tanah lunak sepanjang 9 km. Ahli Geoteknik telah
mengidentifikasi perlunya suatu perbaikan tanah tertentu yang harus dilakukan.
Tetapi Pemilik Proyek tidak dapat menerima biaya yang akan dikeluarkan dan
memutuskan
untuk mengatasi setiap permasalahan yang muncul kemudian dengan “pemeliharaan
rutin.
Tidak ada analisis terhadap biaya-keuntungan yang dilakukan.
Dua belas tahun kemudian elevasi perkerasan hanya tinggal 20cm di atas muka banjir
tahunan
dan pekerjaan rekontruksi yang besar segera diperlukan.
Apakah dengan demikian Pemilik Proyek dapat dikatakan telah mendapatkan keuntungan
dari
uang yang dikeluarkannya?
6
1.5.2 Tipe Solusi Geoteknik
Solusi geoteknik dapat dibagi menjadi Solusi yang meliputi pekerjaan tanah
(earthworks) saja, yaitu Solusi dengan Pekerjaan Tanah (Earthworks Solutions),
dan solusi-solusi yang mengharuskan adanya perbaikan pada tanah fondasi,
yaitu Solusi Perbaikan Tanah (Ground Improvement Solutions). Kedua
kelompok ini akan dijelaskan secara terpisah pada Bab 3 dan 4, meskipun
demikian kombinasi dari kedua metode tersebut dapat saja diterapkan pada
kondisi-kondisi tertentu.
7
Memindahkan Jalan
Rute alinyemen jalan umumnya ditentukan bukan berdasarkan pertimbangan Geoteknik.
Oleh
karenanya jarang seorang Ahli Geoteknik yang Ditunjuk dilibatkan dalam penentuan rute
tersebut.
Meskipun demikian, pada daerah tanah sulit seperti pada daerah-daerah gambut Riau dan
Kalimantan, pertimbangan geoteknikmerupakan hal yang cukup penting yang harus
diperhitungkan pada waktu perencanaan rute jalan.
Sebagaimana dijelaskan pada Panduan Geoteknik 1, kedalaman gambut akan bervariasi
dari
hanya beberapa meter saja hingga ke kedalaman 20m-an . Sebagaimana akan dibahas
kemudian pada Panduan ini, untuk jalan di atas lapisan gambut yang tipis, solusinya
relatif
sederhana dan murah. Tetapi untuk mendapatkan suatu konstruksi timbunan yang
memuaskan
di atas lapisan gambut yang tebal, akan membutuhkan solusi yang sangat mahal atau
konstruksi bertahap jangka panjang yang lama.
Karena lalu lintas pada jalan di atas daerah ini biasanya relatif rendah, maka akan lebih
baik
mempert imbangkan untuk memilih trase yang dapat memperkecil rute melintasi lapisan
gambut
yang tebal, walaupun dengan konsekuensi adanya pembiayaan untuk jalan yang lebih
panjang.
Oleh karenanya Ahli Geoteknik yang Ditunjuk seharusnya dilibatkan dalam analisis bi
ayakeuntungan (cost benefit) proyek jalan tersebut, sebelum alinyemen akhir ditetapkan.
Contoh:
Kontur kedalaman gambut diambil dari suatu daerah di Jambi ini menunjukkan adanya
kemungkinan dari rute menjauhi areal gambut yang dalam, dengan konsekuensi adanya
tambahan biaya karena penambahan panjang jalan. Hanya dengan melakukan analisis
biayakeuntungan dengan membandingkan biaya konstruksi pada gambut yang dalam,
pembiayaan
jangka panjang untuk perawatan, kualitas yang rendah jika tidak diambil tindakan yang
semestinya dengan tambahan biaya yang dikeluarkan oleh pengguna jalan untuk melalui
rute
jalan yang lebih panjang, kemudian alternatif desain yang paling ekonomis dapat dinilai .
8
2 Pertimbangan Menyeluruh dalam Desain
2.1 UMUM
Dalam suatu proses desain penting untuk dipertimbangkan sejak awal
bagaimana jalan baru atau jalan yang akan ditingkatkan tersebut akan dibangun,
dan jenis material, peralatan dan keahlian seperti apa yang dibutuhkan. Jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut dapat berpengaruh pada proses
pengambilan keputusan untuk desain solusi tertentu.
Kemungkinan pelaksanaan
· Pernahkah solusi desain yang sedang dipertimbangkan berhasil
dilaksanakan di Indonesia sebelumnya?
· Dapatkah solusi desain pemecahan tersebut dilaksanakan dengan keahlian
dan material yang tersedia?
· Dapatkah mutu yang disyaratkan tercapai? Hal ini merupakan
pertimbangan utama dari pilihan-pilihan yang secara teknis lebih
kompleks, dimana keruntuhan sebuah elemen dari sistem dapat
menghasilkan keruntuhan total dari jalan.
Pemeliharaan yang dapat dipertanggungjawabkan
Apakah ada persyaratan pemeliharaan tertentu, dan jika ada, dapatkah hal
tersebut secara layak dipenuhi? Adalah relatif mudah untuk mendatangkan
keahlian khusus untuk pelaksanaan konstruksi, tetapi jika hal tersebut akan
disyaratkan juga dalam masa pemeliharaan, maka sepertinya hal tersebut akan
tidak dapat dipenuhi dengan biaya yang layak.
Pembiayaan
Pembiayaan proyek di seluruh wilayah Indonesia sangat bervariasi dan dapat
dikatakan bahwa suatu solusi yang cocok di suatu daerah mungkin tidak cocok
diterapkan di daerah lain, karena adanya variasi tersebut. Sebuah kumpulan
bank data telah dikembangkan oleh Pusat Litbang Prasarana Transportasi dan
dimasukkan dalam CD Panduan Geoteknik. Jika kumpulan data tersebut tidak
dapat menyediakan informasi yang dibutuhkan, maka kantor Kimpraswil
setempat seharusnya dapat menyediakan biaya satuan untuk seluruh material
standar yang digunakan dalam konstruksi jalan.
9
Ketersediaan material dapat diperoleh dari bank data bahan bangunan Indonesia
(yang dikembangkan oleh Pusat Litbang Prasarana Transportasi, 1997), tetapi
informasi dari kumpulan data ini harus diverifikasi kembali melalui evaluasi
setempat dari sumber yang ada.
Pilihan terhadap sebuah solusi ada hubungannya dengan biaya dan
keseimbangan antara biaya konstruksi atau modal dengan biaya pemeliharaan
selama umur pelayanan jalan tersebut. Ini harus dibandingkan dengan
keuntungan bagi pengguna jalan yang diperoleh dengan adanya suatu
peningkatan. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada Bab 9 dari Panduan ini.
Kelebihan dan kekurangan dari berbagai pilihan tersebut garis besarnya
dikemukakan sebagai berikut:
Modal awal rendah –biaya perawatan tinggi
· biaya keseluruhan selama umur pelayanan (whole life cost) jalan lebih
rendah,
· biaya pengguna jalan lebih tinggi,
· tingkat pelayanan yang cenderung lebih rendah,
· kelambatan lalu lintas selama masa pemeliharaan yang lebih panjang,
· anggaran pemeliharaan yang tak mencukupi dapat berakibat pada
terjadinya pengurangan yang cepat terhadap nilai aset jalan.
Modal awal tinggi – biaya pemeliharaan rendah
· biaya keseluruhan selama umur pelayanan jalan lebih tinggi ,
· biaya pengguna jalan lebih rendah,
· tingkat pelayanan lebih tinggi,
· mengurangi kelambatan lalu lintas selama kegiatan pemeliharaan.
Isu Lingkungan
Setiap dampak pelaksanaan konstruksi di luar lokasi dapat merupakan potensi
untuk memunculkan isu lingkungan. Hal ini meliputi:
· gangguan pada air permukaan atau air tanah
· kerusakan pada bangunan akibat getaran atau gerakan tanah,
· material buangan,
· polusi udara dan suara.
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memperhitungkan dampak-dampak ini
dalam menilai solusi desain yang dipilih dan membantu Ahli Lingkungan dalam
menyiapkan laporannya.
10
Spesifikasi
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk pada tahap awal harus mengidentifikasi
spesifikasi yang akan digunakan dalam Kontrak dan harus memahaminya.
Sebuah keputusan harus diambil dalam hal apakah spesifikasi tersebut secara
layak dapat dipenuhi, dan evaluasi harus dilakukan terhadap akibat dari tidak
bisa dipenuhinya spesifikasi tersebut .
Jika teknik khusus dibutuhkan, spesifikasi untuk pelaksanaannya harus
disiapkan. Biasanya pabrik pembuat akan memberikan spesifikasi dan metoda
pelaksanaan yang tepat untuk produk-produk yang mereka hasilkan.
Masalah tertentu yang harus diperhitungkan ketika mempertimbangkan solusi
desain yang disarankan dalam Bab 3 dan 4 dari Panduan ini, dijelaskan dalam
bab-bab tersebut .
Program Pelaksanaan
Pertimbangan harus diberikan terhadap jadwal pelaksanaan konstruksi.
Perubahan kondisi tanah akibat musim akan berpengaruh terhadap metoda
konstruksi dan peralatan yang digunakan. Banyak tanah lunak dijumpai di
daerah yang sering banjir. Oleh karenanya penghematan biaya dan pencapaian
mutu konstruksi akan dapat tercapai jika pelaksanaan konstruksi dimulai pada
musim kemarau.
Meskipun demikian, Ahli Geoteknik yang Ditunjuk seharusnya hanya membuat
asumsi yang optimis mengenai waktu pelaksanaan kontrak jika hal ini
dinyatakan dalam Catatan Data Proyek (Project Data Record), seperti
dikemukakan dalam Panduan Geoteknik 2.
11
3 Solusi dengan Pekerjaan Tanah
3.1 PENDAHULUAN
Lima metode solusi pekerjaan tanah yang telah diterima dan diterapkan di
Indonesia adalah:
· Penggantian Material (Replacement),
· Berem Pratibobot (Counterweight Berms),
· Penambahan Beban (Surcharging)
· Konstruksi Bertahap (Staged Construction)
· Penggunaan Material Ringan (Use of Light Material)
Keunggulan dari masing-masing metode tersebut dicantumkan pada Tabel 3-1.

Tabel 3-1 Keuntungan dari Solusi Pekerjaan Tanah yang Umum


Metode Solusi Meningkatkan Stabi litas Mengurangi Penurunan
Pasca Konstruksi
Penggantian Material P P
Berem Pratibobot P
Penambahan Beban P
Konstruksi Bertahap P
Penggunaan Material Ringan P P
Deskripsi yang lebih rinci atas kelebihan dan kekurangan dari solusi-solusi
tersebut dijelaskan pada bagian berikut , dan Ceklis 2 sampai 5 yang berkaitan
dengan hal tersebut diberikan pada Lampiran A untuk digunakan oleh Ahli
Geoteknik yang Ditunjuk.
3.2 PENGGANTIAN MATERIAL
3.2.1 Teknik
Tanah lunak yang kompresibel dibuang, baik sebagian atau seluruhnya, dan
digantikan dengan material yang baik seperti ditunjukkan pada Gambar 3-1 dan
Gambar 3-2. Pembuangan lapisan tanah lunak tersebut akan dapat
12
menyelesaikan masalah stabilitas dan penurunan, karena timbunan akan
diletakkan pada lapisan yang lebih keras dan sebagian besar penurunan akan
dapat dihilangkan.
Pada penggalian sebagian, lapisan tanah yang tertinggal akan mengalami
konsolidasi. Bila perlu suatu beban tambahan diberikan untuk mempercepat
proses penurunan, sehingga sebagian besar penurunan akan selesai selama
pelaksanaan.

Gambar 3-1 Penggantian Total


Gambar 3-2 Penggantian Sebagian
3.2.2 Metode dan Prosedur
Penggalian
Penggantian dari lapisan lunak secara tradisional meliputi penggalian dengan
menggunakan alat berat, pendesakan (displacement) dengan material timbunan
dan peledakan.
Metode pendesakan ini tidak disarankan karena sangat sulit dikontrol, dan
lapisan dari tanah lunak sering terjebak di bawah timbunan, yang dapat
menyebabkan terjadinya beda penurunan yang besar. Peledakan membutuhkan
keahlian khusus dan umumnya secara teknik bukan merupakan suatu metode
yang cocok atau praktis.
Oleh karena itu, hanya metode penggantian dengan penggalian menggunakan
peralatan biasa saja yang dapat dipertimbangkan. Tanah lunak digali dengan
peralatan termasuk eksavator (excavator) atau dragline sebelum ditimbun
kembali dengan material pengganti.
Metode penggalian juga harus memperhatikan aspek ekonomis. Sebuah
eksavator umumnya akan dibutuhkan tetapi penggalian yang lebih dalam dan
lebih luas untuk sebuah jalan raya empat lajur akan memerlukan dragline untuk
menggali material lunak tersebut.
Tanah lunak
Tanah keras
Tanah lunak
Tanah keras
13
Tempat Pembuangan
Sebuah lokasi yang dari sudut lingkungan dapat diterima untuk menimbun
material buangan, harus tersedia pada jarak yang cukup dekat dari areal proyek.
Hal ini mungkin akan menjadi masalah bila proyek terletak pada daerah
perkotaan.
Penimbunan Kembali
Penggantian dengan metode penggalian membutuhkan jumlah material yang
besar. Material pengganti harus tersedia dengan radius jarak angkut yang
ekonomis. Oleh karena itu metode ini akan sangat cocok diterapkan pada ruas
jalan galian dan t imbunan, karena material timbunan akan tersedia dari daerah
galian.
Material berbutir yang lolos air (granular free draining material) seperti pasir,
kerikil atau campuran antara pasir dan kerikil digunakan sebagai material
timbunan bila penimbunan dilakukan di bawah permukaan air. Tanah kohesif
dapat digunakan jika penggalian dilakukan dalam kondisi kering dan material
timbunannya dapat dipadatkan lapis-perlapis seperti yang biasa disyaratkan.
Pada areal tanah lunak yang luas, khususnya pada dataran gambut, penimbunan
dengan material berbutir akan sangat mahal. Oleh karena itu akan bermanfaat
kiranya untuk menilai biaya dan keuntungan dengan melakukan pengeringan
gambut yang cukup permeabel, sehingga memungkinkan untuk menggunakan
material timbunan dengan kelas yang lebih rendah.
Pada penggalian sebagian, lapisan dengan material yang lolos air diperlukan
sebagai lapis drainase (drainage blanket) pada dasar timbunan untuk
mempercepat konsolidasi dari sisa lapisan lunak selama waktu pelaksanaan.
3.2.3 Aplikasi
Batasan praktis secara umum untuk penggantian material lunak ditunjukkan
pada Tabel 3-2.
14
Tabel 3-2 Batasan Umum dari Penggantian Total dan Sebagian
Lempung Gambut Berserat
1
2
3
Cocok untuk
penggantian
seluruhnya
Cocok untuk
penggantian
seluruhnya
4
5
Cocok untuk
penggantian sebagian
(hingga kedalaman 3m)
6
7
Cocok untuk
penggantian sebagian
(hingga kedalaman 3m)
8
9
10
Tebal total
dari tanah
lunak (m)
Tidak cocok
Tidak cocok
Kedalaman galian untuk tanah lunak ditetapkan berdasarkan stabilitas galian.
Galian yang lebih dalam membutuhkan bangunan penahan yang teliti, yang
umumnya akan menjadi tidak ekonomis.
Kedalaman galian untuk gambut berserat ditentukan berdasarkan kebutuhan
akan pengeringan galian. Batasan yang disarankan umumnya cukup praktis.
Meskipun demikian, penggalian yang lebih dalam lagi, hingga kekedalaman 8m
di Malaysia (Toh dkk, 1990), telah berhasil dilaksanakan. Bila kedalaman
seperti itu yang diusulkan untuk digali, maka perlu uji coba skala penuh dengan
pemantauan seksama untuk membuktikan kepraktisannya.
Pilihan terhadap metode penggantian material dengan penggalian,
bagaimanapun juga akan bergantung pada kondisi-kondisi berikut:
· Pada daerah timbunan tinggi dimana stabilitas merupakan masalah yang
utama, metode penggantian material akan merupakan suatu solusi terbaik.
Untuk timbunan oprit jembatan, tinggi timbunan akan berkisar antara 5
hingga 10 m. Pada daerah timbunan jalan, khususnya pada medan
bergelombang atau berbukit dimana tanah lunak yang dangkal dijumpai,
maka timbunan mencapai tinggi 16 m sering dijumpai.
· Pada daerah timbunan yang rendah, desain perkerasan membutuhkan
penggalian pada tanah dasar dan diganti dengan material pilihan untuk
mencapai nilai CBR yang disyaratkan untuk perkerasan. Meskipun
demikian pada daerah tanah lunak ada ketentuan yang mensyaratkan
bahwa badan jalan harus berada di atas elevasi banjir, biasanya akan
menyebabkan elevasi dari perkerasan paling sedikit akan berada minimal
satu meter di atas elevasi tanah asli (original ground level).
Bila bagian atas dari tanah lunak terdiri atas lapisan kerak yang keras, maka
penggantian material akan membuang lapisan yang sangat baik ini, yang akan
mendukung stabilitas timbunan dan dapat dijadikan sebagai lantai kerja
peralatan konstruksi . Karena itu, bila terdapat lapisan kerak yang memadai,
solusi yang diambil harus mempertimbangkan lapisan ini untuk tidak dibuang.
15
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus mempersiapkan ceklis (Lampiran A.
Ceklist 2), untuk mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan mana yang
relevan, dan menambahkan keterangan lain yang relevan. Ceklis ini merupakan
bagian dari Laporan Desain sebagai data pendukung terhadap keputusan metode
yang diambil.
3.2.4 Pertimbangan Pelaksanaan
Penyiapan metode pelaksanaan (method statement) tertulis biasanya merupakan
tanggung jawab kontraktor. Meskipun demikian, pada kasus tertentu perencana
harus menyiapkan metode pelaksanaan yang jelas dan harus diikuti. Hal ini
akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan pra kontrak atau pihak kontraktor
akan mengusulkan alternatif lain pada penawarannya. Oleh karena itu,
pertimbangan harus diberikan pada kedalaman berapa material harus diganti,
dan peralatan yang dibutuhkan. Resiko dari penggalian yang tak
selesai/sempurna seharusnya juga diperhitungkan bila diambil keputusan
penggantian material total.
Perhatian khusus harus diberikan ketika melakukan penggantian material lunak,
bahwa timbunan yang dibuat tidak menghambat aliran air alami (natural drain).
Hal ini sangat penting pada areal pertanian dimana sistem irigasi yang ada akan
sangat terpengaruh. Suatu penilaian dampak lingkungan harus dilakukan bila
mempertimbangkan metode ini.
Permasalahan untuk menjamin tanah dapat dibuang seluruhnya, yang dilakukan
di bawah permukaan air harus terdapat di dalam metode pelaksanaan tertulis.
Jika material pengganti ditimbun di bawah permukaan air dan tidak dapat
dipadatkan, penggunaan suatu beban tambahan untuk memadatkannya harus
dipertimbangkan.
3.3 BEREM PRATIBOBOT
3.3.1 Teknik
Prinsip dari metode berem pratibobot, kadang juga disebut sebagai metode
berem tekan (pressure berms), adalah dengan menambahkan beban pada sisi
timbunan untuk menaikkan perlawanan terhadap longsoran atau geseran lateral
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3-3. Bila digunakan di depan timbunan
oprit jembatan, metode ini akan dapat meningkatkan stabilitas yang dapat
mengurangi tekanan yang terjadi pada bangunan bawah jembatan.
Cara ini akan sangat efektif untuk menyelesaikan masalah stabilitas tetapi tidak
akan menyelesaikan masalah penurunan yang terjadi. Oleh karena itu cara ini
sebaiknya dikombinasikan dengan metode lainnya, misalnya dengan metode
penyalir vertikal.
16
Gambar 3-3 Berem Pratibobot Tunggal
Tinggi dari berem harus didesain dengan faktor keamanan yang cukup terhadap setiap
bentuk
ket idakstabilan. Bila berem yang diperlukan lebih tinggi dari tinggi aman, maka
pratibobot perlu
dikombinasikan dengan metode lain seperti konstruksi bertahap atau penyalir vertikal.
Alternatifnya, dua atau lebih tahapan berem dapat didesain seperti diperlihatkan pada
Gambar 3-4.

Gambar 3-4 Berem Pratibobot Ganda


Solusi dengan berem pratibobot ini hanya mungkin dilaksanakan jika terdapat
ruang yang cukup untuk timbunan berem. Lebar berem yang dibutuhkan akan
bergantung pada kedalaman/ketebalan dari lapisan lunak.

Berem Pratibobot cocok dan praktis digunakan terutama untuk memperbaiki


dan membangun kembali timbunan yang telah runtuh.
Persyaratan Lahan dari Berem Pratibobot
Solusi yang secara teknis menarik dalam penyediaan lahan tambahan untuk membangun
berem pratibobot, adalah dengan mendesain berem tersebut sedemikian rupa sehingga
dapat digunakan sebagai lahan pertanian atau fungsi yang bermanfaat lainnya.
Isu-isu sosial dan politik umumnya akan membuat skema ini menjadi tidak praktis, tetapi
Ahli Geoteknik yang ditunjuk harus betul -betul mempelajarinya sampai puas sebelum
mengesampingkannya.
Bila skema seperti ini tidak diusulkan, harus disadari bahwa lahan yang direklamasi
untuk
membangun berem akan menjadi sangat menarik dan akan di manfaatkan secara tidak
resmi.
berem berem
Tanah lunak
Tanah keras
Tanah lunak
berem berem
Tanah keras
17
3.3.2 Metode dan Prosedur
Tujuan dari konstruksi berem pratibobot adalah untuk meningkatkan stabilitas
dari timbunan, tetapi berem itu sendiri harus mempunyai faktor keamanan
terhadap setiap bentuk ketidakstabilan.
Pada tanah gambut akan lebih baik bila berem dan timbunan utama dilakukan
secara bertahap. Berem pada kedua sisi dibangun terlebih dahulu, kemudian
timbunan utamanya dinaikkan di antara kedua berem tersebut. Dengan tahapan
seperti ini, berem tersebut akan memampatkan dan memperkuat gambut di luar
zona timbunan utama. Jadi berem tersebut akan berlaku secara efektif untuk
mengurung dan melawan gerakan lateral yang terjadi.
Dengan menggunakan metode ini akan ada resiko air menggenang pada
timbunan utama sebelum timbunan tersebut mencapai tinggi yang sama dengan
berem. Untuk mengatasi hal ini timbunan utama harus dibangun mengikuti bahu
di belakangnya, dengan jarak sekitar dua kali lebar dasar dari timbunan utama.
Permukaan dari timbunan utama juga harus dipertahankan agar mempunyai
kemiringan ke arah depan ujung yang terbuka. Detil dari prosedur ini
ditunjukkan pada Gambar 3-5.

Gambar 3-5 Metode Konstruksi untuk Berem pada Gambut


Pada lempung lunak, sisi berem harus dibangun secara simultan dengan
timbunan utama, dihampar dan dipadatkan lapis perlapis. Kriteria untuk
penetapan spesifikasi material timbunan untuk berem adalah: berat, stabilitas
dan dapat dilewati (traffickability), dimana ketiganya akan saling berkaitan.
Meskipun demikian, syarat mutu material yang digunakan untuk berem tidak
seketat seperti yang digunakan untuk timbunan utama, oleh karena itu material
lokal yang tersedia dengan kualitas yang lebih rendah dari yang biasanya
digunakan untuk timbunan, dapat digunakan untuk berem, asalkan dapat
dipadatkan dengan baik.
18
3.3.3 Pertimbangan Konstruksi
Pada Panduan ini tidak disyaratkan bahwa mutu timbunan yang digunakan
untuk berem harus sama dengan kualitas material yang digunakan untuk
timbunan utama. Meskipun demikian, bila timbunan utama dan berem dibangun
secara simultan dan bahan yang digunakan berbeda, maka hal ini akan
menimbulkan kesulitan dalam kontrol mutu di lapangan. Bila Ahli Geoteknik
yang Ditunjuk tidak puas dan pengendalian mutu tidak bisa dijaga, maka ia
harus menetapkan material timbunan dengan menggunakan bahan yang sama.
Pada daerah dimana material timbunan sangat mahal untuk didapat, maka
kemungkinan akan adanya pencurian material timbunan, merupakan suatu
kelemahan dari metode ini.
3.4 PENAMBAHAN BEBAN
3.4.1 Teknik
Penambahan beban merupakan sebuah metode untuk menghilangkan atau
mengurangi penurunan jangka panjang dengan memberikan beban tambahan
sementara di atas timbunan untuk mempercepat penurunan primer .
Beban yang diberikan harus cukup, sehingga penurunan yang terjadi selama
pelaksanaan akan sama dengan penurunan total yang akan atau sisa penurunan
lebih kecil dari penurunan pasca konstruksi yang diijinkan. Jika penurunan yang
diinginkan telah dicapai, maka beban tambahan tersebut dibuang atau
dipindahkan.
Efektivitas metode ini akan bergantung pada faktor-faktor berikut:
· ketebalan tanah lunak,
· permeabilitas tanah lunak,
· adanya lapisan permeabel (drainage layers),
· waktu pelaksanaan yang tersedia ,
· kuat geser tanah lunak.
Metode ini terutama akan efektif untuk mengurangi penurunan jangka panjang
gambut berserat yang tebal/ dalam.
3.4.2 Metode dan Prosedur
Faktor berikut ini akan mempengaruhi keputusan untuk menggunakan metode
penambahan beban agar mencapai derajat penurunan yang disyaratkan:
19
Ketebalan dari Lapisan Lunak Kompresibel
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu derajat konsolidasi tertentu akan
proporsional dengan pangkat dua dari jarak tempuh pengaliran air. Lapisan
tanah yang relatif tipis atau dangkal dapat dikonsolidasikan lebih cepat sehingga
penurunan total yang diinginkan dapat dicapai selama masa pelaksanaan.
Lapisan tanah lempung lunak yang tebal akan memerlukan waktu puluhan
tahun untuk mencapai konsolidasi 90%.
Lempung lunak di Indonesia kebanyakan terletak di atas lempung lebih tua
yang relatif tidak permeabel. Oleh karena itu, drainase hanya akan terjadi ke
atas selama proses konsolidasi dan jarak tempuh pengaliran air akan sama
dengan ketebalan dari lempung lunak tersebut.
Untuk kasus ini, dan untuk nilai kecepatan konsolidasi tertentu, cv, waktu untuk
mencapai 50 dan 90% konsolidasi ditunjukkan pada Gambar 3-6.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
0.1 1.0 10.0 100.0 1000.0
Waktu (tahun)
Jarak Tempuh (m)
U= 50% cv =
1m2/tahun
U= 50% cv =
3m2/tahun
U= 50% cv =
8m2/tahun
U= 90% cv =
1m2/tahun
U= 90% cv =
3m2/tahun
U= 90% cv =
8m2/tahun
Gambar 3-6 Kecepatan Konsolidasi Lapisan Lempung
Jadi jelas bahwa hanya untuk lempung dengan lintasan drainase yang kurang
dari 10m dan dengan nilai cv yang lebih tinggi (lempung yang lebih permeabel),
sebagian besar penurunan terjadi selama masa pelaksanaan.
Permeabilitas dari Tanah
Waktu untuk mencapai derajat konsolidasi tertentu berbanding terbalik dengan
koefisien konsolidasi, cv dari tanah lunak permukaan; nilai cv ini bergantung
pada permeabilitas tanah.
20
Lapisan Drainase
Lapisan lanau bersih (clean silt), pasir atau kerikil dalam profil tanah akan
berfungsi sebagai lapis drainase horisontal, sehingga dapat memperpendek
drainase dalam tanah lunak yang selanjutnya akan mempercepat proses
konsolidasi.
Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan mungkin merupakan keterbatasan utama dari penggunaan
metode penambahan beban ini. Jika waktu yang tersedia tidak mencukupi dan
pilihan untuk memperpanjang kontrak tidak diterima, maka supaya efektif,
metode ini harus dikombinasikan dengan metode lainnya untuk mempercepat
konsolidasi, seperti dengan penyalir vertikal.
Bagan alir untuk mengambil keputusan penggunaan gabungan beban tambahan
pembebanan, konstruksi bertahap dan penyalir vertikal ditunjukkan pada
Gambar 4-1.

Gambar 3-7 Beban Tambahan yang Dikombinasikan dengan Sistem Lain


a) beban tambahan
b) beban tambahan + berem pratibobot
c) beban tambahan + penyalir vertikal
Tanah Lunak
Tanah Lunak
Tanah Lunak
Tanah keras
Tanah keras
Tanah keras
21
Kuat Geser
Kuat geser tak terdrainase dari lempung lunak dekat permukaan di Indonesia
berada pada kisaran 10 hingga 20kN/m
2
. Kuat geser tak terdrainase yang rendah
sebesar 10 kN/m
2
hanya dapat mendukung timbunan dengan tinggi sekitar 2
hingga 3 m. Penambahan beban ekstra akan menimbulkan permasalahan
stabilitas jika beban ekstra tersebut ketinggiannya melampaui tinggi kritis yang
dapat didukung oleh tanah di bawahnya. Pada kondisi ini, metode ini harus
dikombinasikan dengan metode lain seperti: berem pratibobot atau konstruksi
bertahap, untuk meningkatkan tinggi kritis timbunan. Beberapa contoh
ditunjukkan pada Gambar 3-7.
Untuk gambut berserat, stabilitas biasanya bukan merupakan masalah dan
metode penambahan beban secara teknis akan cocok untuk gambut berserat.
3.4.3 Aplikasi

Karena metode penambahan beban ini akan mengurangi stabilitas pada tanah
lunak, maka metode ini paling cocok untuk areal reklamasi yang luas dimana
stabilitas bagian pinggir dapat diatasi secara terpisah, atau untuk jalan dimana
metode berem pratibobot dapat diterima.
3.4.4 Pertimbangan Pelaksanaan
Lamanya pembebanan akan ditentukan baik oleh penurunan, disipasi tekanan
pori atau oleh hasil pengukuran di-lapangan terhadap kenaikan nilai kuat geser.
Faktor penentu yang dipilih harus secara jelas berhubungan dengan perhitungan
desain dan fasilitas untuk pembacaannya harus dimasukkan di dalam program
pelaksanaan . Pelaksanaan konstruksi harus cukup fleksibel untuk memberikan
variasi waktu pada proses pemindahan beban tambahan tersebut.
Bila material beban tambahan tersebut tidak akan digunakan untuk timbunan di
tempat lain, penghematan biaya dapat dilakukan dengan menggunakan material
dengan standar yang lebih rendah pada bagian atas dari beban tambahan
tersebut yang nantinya akan dipindahkan.
Bila metode penambah beban ini yang akan diterapkan, maka Ahli Geoteknik
yang Ditunjuk harus mempersiapkan Panduan Teknik untuk digunakan oleh
Konsultan Supervisi selama waktu pelaksanaan. Panduan ini harus memuat
kriteria yang akan digunakan yang mengidentifikasikan saat tambahan beban
tersebut dapat dipindahkan (dipotong).
Panduan tersebut harus mengidentifikasikan parameter dan metode desain yang
digunakan. Informasi dalam Panduan tersebut harus cukup sehingga prediksi
penurunan dapat dihitung kembali dan direvisi setiap waktu berdasarkan data
hasil pemantauan di lapangan.
22
3.5 KONSTRUKSI BERTAHAP
3.5.1 Teknik
Berlangsungnya konsolidasi pada tanah lunak di bawah beban timbunan akan
menurunkan angka pori pada tanah bawah permukaan sehingga kepadatan tanah
akan naik dan kuat geser tak terdrainase (undrained) naik. Peningkatan kuat
geser pada tanah bawah permukaan merupakan fungsi dari derajat konsolidasi,
seperti ditunjukkan pada Persamaan 3.1. Oleh karena itu kecepatan penimbunan
harus dikontrol supaya terjadi konsolidasi yang cukup, sehingga kuat geser yang
diinginkan dapat tercapai. Metode ini harus dipertimbangkan bila tinggi desain
timbunan melebihi tinggi kritis yang dapat dengan aman didukung oleh tanah
di bawahnya.
Äcu = U . á. Äp (3-1)
dengan:
Äcu adalah kenaikkan kuat geser;
U adalah derajat konsolidasi (%);
á adalah sebuah faktor;
Äp adalah kenaikan tegangan vertikal di dalam lapisan tanah.
Nilai dari Äp dapat diambil kira-kira sama dengan beban timbunan. Untuk
lempung yang terkonsolidasi normal, faktor á berkisar antara 0.2 - 0.4.
Kenaikan kuat geser penuh hanya akan terjadi tepat di bawah areal timbunan
paling tinggi dan menurun ke arah kaki. Perkiraan yang ditunjukkan pada
Gambar 3-8 cukup memadai untuk keperluan analisis stabilitas.

Gambar 3-8 Kenaikan Kuat Geser dari Konsolidasi


Penggunaan Kontrak di Muka (Advanced Contract)
Penerapan Kontrak Pekerjaan Tanah di Muka (Advance Earthworks Contract) untuk
pekerjaan penambahan beban akan menghilangkan ketidakpastian dan biaya yang akan
muncul jika pekerjaan tersebut dimasukkan di dalam kontrak utama. Tetapi, akan
menambah kompleksitas kontrak dan memperpanjang waktu pelaksanaan total.
23
Sama dengan metode penambahan beban tambahan, metode konstruksi bertahap
ini akan efektif pada kondisi tanah yang memungkinkan terjadinya disipasi
secara cepat dari tekanan pori, yaitu permeabilitas tinggi, lapisan tanah lunak
tipis, adanya lapisan drainase. Jika tidak, metode konstruksi bertahap ini harus
dikombinasikan dengan metode panyalir vertikal untuk meningkatkan
kecepatan konsolidasi.
3.5.2 Metode dan Prosedur
Kecepatan Penimbunan
Pada metode konstruksi bertahap ini, kecepatan penimbunan harus dikontrol
sehingga memungkinkan kenaikan kuat geser yang diinginkan dicapai selama
periode penimbunan. Kontrol terhadap kecepatan konsolidasi dapat ditentukan
sebagai berikut:
· kecepatan penimbunan konstan dalam m/hari (lihat Gambar 3-9),
· waktu istirahat (rest period) dalam minggu atau bulan di antara kedua
tahapan (lihat Gambar 3-10),
· kombinasi dari keduanya.

Kecepatan penimbunan yang


ditentukan
Waktu
Tinggi timbunan

Gambar 3-9 Kecepatan Penimbunan yang Dikontrol


Waktu istirahat
yang ditentukan
h2
h1
Waktu
Tinggi timbunan
Tahapan Tinggi
yang Ditentukan

Gambar 3-10 Penimbunan yang Dikontrol Bertahap


Time, t
24
3.5.3 Pertimbangan Pelaksanaan
Seperti halnya dengan metode penambahan beban, waktu istirahat antara
tahapan harus dikaitkan dengan peningkatan kuat geser yang diukur. Biaya dan
waktu yang diperlukan harus dimasukkan pula dalam program pelaksanaan.
3.6 PENGGUNAAN MATERIAL RINGAN
3.6.1 Teknik
Stabilitas dan besarnya penurunan pada timbunan jalan yang dibangun di atas
tanah lunak, akan bergantung pada berat timbunan. Karena itu mengurangi berat
timbunan akan dapat mengurangi tegangan yang terjadi pada tanah di bawah
timbunan dan mengurangi penurunan yang berlebihan dan ketidakstabilan.
Dengan menggunakan material yang lebih ringan dibandingkan dengan material
timbunan yang biasa digunakan, maka berat timbunan akan dapat dikurangi.
3.6.2 Metode dan Prosedur
Material ringan berikut ini dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai
material timbunan bila tersedia di dekat lokasi proyek:
· busa Expanded Polystyrene (EPS),
· material buangan (debu /ampas gergaji, potongan-potongan kayu, sekam
padi, ban bekas ),
· beton busa (Foamed concrete,)
· pelet lempung kembang (expanded clay pellet),
· batu apung,
· pembentuk rongga (void formers).
Material-material tersebut harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
· tahan lama,
· tahan api atau dapat dilindungi dari kebakaran,
· dapat dilewati lalu lintas konstruksi dan dapat dipasang dan dilindungi,
· stabil dan dapat dipadatkan dengan menggunakan alat pemadat
konvensional.
Tabel 3-3 berikut menunjukkan berat isi dari material yang dapat digunakan
untuk timbunan.
25
Tabel 3-3 Berat Isi dari Material Ringan
No Material Berat Isi (t/m3
)
1 Pasir 1.8 –2.2
2 Tanah Kohesif 1.6 –1.9
3 Kayu (korduroi) 0.7 (a)
4 Potongan Ban Bekas 0.4 – 0.6 (b)
5 Batu Apung 1.09
6 Ampas Gergaji 1 (perkiraan)
7 Bal Gambut (Peat Bales) 1 (perkiraan)
8 Pelet Lempung yang Dikembangkan 0.8 (c)
9 EPS 0.02 – 0.04
10 Pembentuk Ronga 0.5 – 1.5
(a) 30% rongga, tak jenuh
(b) Edil & Bosscher, 1994
(c) jenuh
(d) jenuh (Moretti, 1989)
Busa Expanded Polystyrene (EPS)
Busa EPS telah digunakan di Inggris, Jepang , Swedia, Perancis, Amerika dan
Kanada untuk konstruksi timbunan jalan di atas tanah lunak. Material ini sangat
ringan, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3-3.
Secara komersil material ini telah tersedia di Indonesia, tetapi harganya sangat
mahal. Per meter kubik harga EPS ini sama dengan dengan harga dari satu
kubik beton, oleh karena itu pembangunan timbunan jalan dengan
menggunakan EPS akan sangat mahal. Tetapi material ini dapat
dipertimbangkan untuk areal yang terbatas seperti pada timbunan oprit jembatan
atau material timbunan belakang (backfill) dinding penahan tanah.
Untuk desain jembatan tahan gempa, timbunan belakang untuk tipe pangkal
jembatan standar memberikan tahanan terhadap beban longitudinal jembatan
yang disebabkan oleh gempa. Oleh karena itu penerapan EPS untuk timbunan
pada oprit jembatan harus dikonsultasikan dengan desainer jembatan.
Timbunan dengan menggunakan EPS di atas gambut yang cukup dalam telah
dicoba oleh Pusat Litbang Prasarana Transportasi dan Universitas Indonesia di
Lokasi Uji Coba timbunan di Berengbengkel, Kalimantan. Hasil dari percobaan
tersebut dapat dilihat pada CD Panduan Geoteknik.
3.6.3 Aplikasi
Sebelum mempunyai pengalaman yang cukup untuk sistem ini, maka
penggunaan material timbunan ringan ini tidak boleh disyaratkan untuk
pembuatan jalan yang biasa.
Pada keadaan tertentu, jika penggunaan dari material ini cukup atraktif, maka
uji coba timbunan harus dilakukan dan Spesifikasi dan Metode Pelaksanaan
harus dibuat untuk aplikasi khusus ini.
26
4 Solusi dengan Perbaikan Tanah
4.1 PENDAHULUAN
Solusi dengan perbaikan tanah yang diadopsi dan telah diterima luas di
Indonesia meliputi:
· Penyalir Vertikal,
· Fondasi Tiang,
· Matras, dengan atau tanpa tiang.
Detil sistem ini, dan pilihan untuk metode tersebut dengan keuntungan dan
kelemahan masing-masing, dikemukakan pada bab berikut. Ceklis 6 sampai 8
dapat dilihat pada Lampiran A.
Metode lain dari perbaikan tanah yang belum diadopsi dan diterima secara luas
di Indonesia, secara singkat dijelaskan pula pada Bab 4.5. Penggunaan salah
satu dari sistem tersebut memerlukan persetujuan, spesifikasi dan metode
pelaksanaan khusus.
4.2 PENYALIR VERTIKAL
4.2.1 Teknik
Penyalir vertikal dipasang hingga ke sebagian atau seluruh kedalaman tanah
lunak dengan jarak yang ditentukan, yang umumnya berjarak satu hingga dua
meter, dengan lapisan drainase permukaan dipasang selebar timbunan penuh.
Kemudian diberikan beban timbunan.
Kecepatan konsolidasi dari tanah akan bergantung pada jejak/jalur drainasenya,
sebagaimana dapat dilihat pada persamaan umum konsolidasi pada Persamaan
4-1:

27
h)( v,
2
(v.h)
c
.HT
t = ( 4-1)
dengan:
t adalah waktu konsolidasi;
T(v,h) adalah faktor waktu;
H adalah panjang lintasan drainase;
C(v,h) adalah koefisien konsolidasi .
Untuk lapisan tanah lunak yang lebih dalam, keberadaan dari penyalir vertikal
akan mengurangi jalur drainasenya, dan oleh karenanya akan mempercepat
proses konsolidasi.
Jika diperlukan, perbaikan tanah dengan penyalir vertikal ini dapat
dikombinasikan dengan solusi lain seperti ditunjukkan pada grafik proses
pengambilan keputusan pada Gambar 4-1.

28
Dapatkah timbunan
sampai ketinggian
penuh dibangun
dalam satu tahap?
Apakah tersedia
waktu yang cukup
dalam kontrak untuk
memberi kesempatan
dicapainya penurunan
yang diinginkan ?
MASUKKAN
KONSTRUKSI
BERTAHAP
TIDAK DIPERLUKAN
TINDAK LANJUT
MASUKKAN
PENAMBAHAN
BEBAN
TIDAK
YA
YA
TIDAK
MASUKKAN PVD
TIDAK
ATAU
Apakah tersedia
waktu yang cukup
dalam kontrak untuk
memberi kesempatan
dicapainya penurunan
yang diinginkan ?
YA
MASUKKAN PVD &
PENAMBAHAN
BEBAN
TIDAK

Gambar 4-1 Bagan Alir Pengambilan Keputusan untuk Metode Penyalir Vertikal

29
4.2.2 Metode dan Prosedur
Tipe-tipe Penyalir Vertikal
Penyalir pasir vertical dengan cara desakan penumbukan (driven displacement
sand drains) merupakan cara sederhana dan digunakan secara luas karena
biayanya murah. Tetapi, cara pemasangan ini dapat mengganggu dan merusak
struktur tanah yang akibatnya dapat mengurangi kuat geser tanah, dan juga
menimbulkan kerusakan pada lintasan drainase horisontal alami.
Penyalir pasir semprotan air tanpa desakan (non-displacement jetted sand
drains) dapat memperkecil gangguan di sekitar tanah. Tapi metode ini
memakan waktu dalam pemasangannya dan akan menemui kesulitan apabila
harus menembus lempung keras atau lapisan berbutir kasar.
Penyalir pasir vertikal dengan pemboran mengganti (bored replacement type
sand drains) dipasang dengan pemboran sebelumnya memakai auger melayang
menerus (continuous flight augers) atau auger yang dipasang pada batang kelly
teleskopik (telescopic kelly bars) dan kemudian lubang bor diisi dengan pasir.
Gangguan yang timbul pada pengisian pasir dengan cara ini umumnya kecil
tetapi pembuangan tanah sisa pemboran dengan volume yang besar sering
menjadi permasalahan.
Diameter dari lubang berkisar dari 20 hingga 40 cm dan spasinya berkisar
antara 1.5 hingga 3m.
Material yang digunakan untuk penyalir pasir (sand drain) harus didesain
sehingga a) mempunyai kemampuan penyaringan sehingga setiap lanau atau
pasir halus di dalam tanah tidak akan menyumbat aliran, dan b) cukup
permeabel untuk memberikan kapasitas drainase yang disyaratkan. Gradasi
pasir harus dipilih sesuai untuk keperluan penyaringan dan diameter penyalir
harus ditentukan untuk menghasilkan kapasitas drainase yang diperlukan. Oleh
karenanya desainnya akan spesifik untuk setiap lokasi, dan spesifikasi umum
untuk gradasi pasir tidak dapat diberikan dalam Panduan ini.
Penyalir pasir pra-fabrikasi (prefabricated sand drains) termasuk ‘sumbu pasir
(sand wicks)' yang dibuat dengan mengisikan ke dalam kaus dari material filter
yang biasanya berdiameter kecil. Sumbu pasir ini biasanya dimasukkan ke
dalam lubang bor yang dibuat sebelumnya di dalam tanah.
Penyalir vertikal pra-fabrikasi (Prefabricated vertical drains, PVD) umumnya
berbentuk pita (band-shaped) dengan sebuah inti plastik beralur yang dibungkus
dengan selubung filter yang terbuat dari kertas atau susunan plastik tak
teranyam (non woven plastic fabric) . Biasanya memiliki lebar sekitar 10 cm dan
tebal 0.4 cm. Jika menggunakan tipe penyalir ini, maka karakteristik
hidroliknya harus diperhatikan dengan seksama, misalnya mengenai kapasitas
pengeluaran air (well discharge capacity) dan permeabilitas dari
filter/saringannya, karakteristik mekanik seperti kuat tarik dari inti dan filternya
(tensile strength of core and filter) dan kuat tekuk (buckling strength) serta
30
ketahanannya terhadap degradasi fisik dan biokimia dalam berbagai kondisi
cuaca dan lingkungan yang tidak ramah.
Perkembangan terakhir menggunakan penyalir dari serat alami (natural fibre
drains), terdiri atas sebuah inti gulungan (coir core) dan bagian luar dari goni.
Penggunaan material alami akan menghasilkan sebuah produk yang lebih
murah, dan paling tidak untuk pemasangan penyalir yang dangkal, sistem
penyalir tersebut akan menunjukkan hasil yang sama dengan jika menggunakan
material penyalir dari bahan sintetis.
Penyalir pra-fabrikasi biasanya dipasang sampai kedalaman hingga 24m dengan
menggunakan rig penetrasi statis. Untuk yang lebih dalam, dibutuhkan rig yang
lebih besar, lantai kerja yang lebih kuat/luas dan penggunaan vibrator ujung
(top vibrator) untuk mempermudah proses penetrasi. Kedalaman maksimum
pemasangan yang pernah dilakukan di Indonesia berdasarkan pengalaman
sampai saat ini telah mencapai 45m (Nicholls & Barry, 1983).
Keuntungan dengan penggunaan sistem penyalir tersebut terutama adalah
prosedur pemasangannya yang sederhana, murah dan kecepatan pemasangan
yang tinggi.
4.2.3 Prosedur Instalasi
Karena sistem penyalir pasir tidak lagi digunakan di Indonesia maka
belakangan ini tak ada lagi pengalaman mengenai penggunaanya, dan tak ada
panduan mengenai prosedur pemasangannya yang cocok yang dapat
dikemukakan. Bila sistem penyalir pasir akan diterapkan, maka pengawasan
lapangan harus dilakukan dengan tingkat teknis yang tinggi untuk menjamin
bahwa prosedur yang semestinya telah dijalankan.
Sistem penyalir dengan PVD harus dipasang dengan mandrel yang ujungnya
tertutup (closed-end mandrel) yang dimasukkan ke dalam tanah baik dengan
penetrasi statis maupun pemancangan dengan vibrator. Tingkat kerusakan atau
gangguan pada tanah yang ditimbulkannya bergantung pada bentuk dan ukuran
dari mandrel dan sepatu yang dapat dilepaskan (detachable shoe) pada dasar
mandrel, yang digunakan untuk mengangkut material ini ke dalam tanah.
Gangguan yang timbul apabila digunakan sistem penyalir PVD akan lebih kecil
dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh penyalir pasir konvensional
dengan pendesakan.
Untuk proyek kecil, dapat digunakan satu rig yang dapat mencapai kecepatan
pemasangan hingga 300 m
2
per hari
2
. Di Pelabuhan Laut Belawan, dimana
penyalir tersebut dipasang sampai kedalaman antara 20 dan 45m, pemasangan
dapat mencapai hasil rata-rata 2300m penyalir PVD per rig per 10 jam per hari

2
Dalam Proyek IGMC 2 pada uji coba timbunan di Kaliwungu, pemasangan PVD
sampai kedalaman 20m dengan spasi 1.2m telah dipasang dengan satu dengan
kecepatan 300m
2
per hari.
31
(Nicholls, Barry & Shoji, 1984). Mesin yang dapat memasang drainase ini
hingga kedalaman 60 m dengan kecepatan 1 m/detik sekarang telah tersedia di
beberapa negara (Choa, 1985).
4.2.4 Selimut Pasir
Selimut pasir harus dipasang pada lapisan pertama dari timbunan untuk
memberi jalan kepada air yang keluar dari penyalir. Syarat-syarat dari selimut
pasir ini adalah:
1) Penempatan: harus dipasang pada elevasi yang secara praktis serendah
mungkin untuk memperkecil tekanan balik pada penyalir.
2) Ketebalan: harus cukup untuk memberikan suatu lapisan yang memadai
(reliable interface) antara selimut pasir dengan penyalirnya, yang dalam
hal ini akan bergantung pada metode pemasangan sebagaimana akan
dibahas berikut ini. Tebal minimum 30cm harus dipakai.
3) Kemiringan melintang (crossfall): Lapisan pasir harus mempunyai
kemiringan melintang awal dari tengah ke pinggir timbunan untuk
memberikan drainase positif; kemiringan melintang awal ini dapat juga
dinaikkan untuk konpensasi terjadinya beda penurunan yang terjadi antara
tengah dan pinggir.
Walaupun demikian, meninggikan selimut di bagian tengah supaya lebih
miring akan menambah kerumitan pelaksanaan. Oleh karena itu pemberian
kemiringan tidak disarankan.
4) Gradasi (grading): untuk dapat berfungsi sebagai filter yang memadai
sebagaimana dijelaskan berikut, selimut pasir perlu didesain untuk
mendapatkan permeabilitas yang diinginkan yang harus dihitung sebagai
berikut:
· putuskan kapan selama proses konsolidasi selimut pasir harus mampu
mengalirkan air (discharge). Waktu untuk 5% konsolidasi akan cukup
memadai. Ini berarti sebelum sampai pada waktu/saat tersebut, selimut
akan dipenuhi air dan efisiensi pengaliran air menjadi kurang dari
100%,
· hitung kecepatan pengaliran air tersebut pada waktu konsolidasi 5%
atau tingkat konsolidasi lain yang dipilih,
· dengan menggunakan Hukum Darcy’s, hitung aliran horisontal air pada
selimut dengan menggunakan separuh lebar dan tebal selimut untuk
mendapatkan permeabilitas yang diinginkan,
· pilih gradasi material untuk memberikan permeabilitas yang
diperlukan. Panduan untuk itu dapat diperoleh dari Gambar 4-2 dan
Gambar 4-3.
32
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0.01 0.1 1 10 100
1 0.5 x 10^-4
2 6.6 x 10^-4
3 2.7 x 10^-2
4 2.9 x 10^-1
5 3.7 x 10^-1
6 0.5 x 10^-4
7 4.1 x 10^-4
8 1.1 x 10^-3
9 3.6 x 10^-3
10 9.2 x 10^-3
11 1.1 x 10^-2
Contoh Selimut Pasir
Permeabilitas m/detik

Gambar 4-2 Hubungan dari Ukuran Butir dengan Permeabilitas pada Pasir (GCO, 1982)
Pengaruh dari Kehalusan pada Permeabilitas
1.00E-11
1.00E-10
1.00E-09
1.00E-08
1.00E-07
1.00E-06
1.00E-05
0 5 10 15 20 25 30
Persentase dari berat lolos saringan 75 mikron
Koefisien Permeabilitas, k (m/det)
Lanau Berbutir Kasar
Lanau
Lempung

Gambar 4-3 Pengaruh dari Kehalusan pada Permeabilitas (GCO, 1982)


Contoh selimut pasir pada Gambar 4.2 adalah sebuah usulan yang diambil
dari sebuah kontrak proyek jalan di Indonesia belakangan ini. Terlihat
bahwa permeabilitas dari gradasi yang dispesifikasikan ini hanya akan
berada pada kisaran 10
-6
hingga 10
-7
m/detik, yang sepertinya tidak akan
dapat memberikan drainase yang diinginkan.
Pasir yang tersedia secara lokal di banyak tempat di Indonesia, umumnya
tidak cukup kasar untuk dapat memberikan permeabilitas yang diinginkan.
Bahkan pasir untuk campuran beton sekalipun. Pada kasus ini ada dua
pilihan yang dapat dilakukan:
%
mm
33
· gunakan batu atau kerikil pecah berukuran tunggal (crushed single
sized gravel)
· menggunakan pasir lokal, tetapi dengan memasang pipa drainase lateral
dengan jarak yang sesuai untuk mengurangi lintasan pengaliran air.
5) Filter: Ini disyaratkan untuk mencegah masuknya butir tanah ke dalam
selimut drainase yang dapat menyumbat dan mengurangi efisiensi
pengaliran air. Filter bagian atas dan bawah harus menggunakan lapisan
pasir dengan gradasi maupun ketebalan yang sesuai dengan desain filter
yang biasa, ataupun dengan menggunakan filter geotekstil dengan desain
yang sesuai.
Jika selimut pasir diletakkan langsung di atas tanah lunak, maka saringan
bawah ini tidak diperlukan lagi.

4.2.5 Pertimbangan Pelaksanaan


Sebuah lantai kerja biasanya dibutuhkan untuk alat berat untuk memasang PVD.
Lantai kerja ini dapat berpengaruh terhadap efisiensi penyalir selanjutnya,
sehingga Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus :
1) Menyiapkan desain yang termasuk lantai kerja.
2) Dikonsultasikan jika kontraktor mengusulkan perubahan.
Spesifikasi yang umum di Indonesia adalah dengan menghampar selimut pasir
tersebut terlebih dahulu sebelum memasang penyalir. Akan tetapi biasanya
Kontraktor tidak bisa menerima bila selimut pasirnya digunakan sebagai lantai
kerja, karena hal tersebut akan mudah rusak akibat peralatan dan juga tererosi
oleh curahan air hujan. Selimut pasir tersebut juga dapat terkontaminasi oleh
lanau yang mengalir akibat pekerjaan tanah di sekitarnya yang dapat
mengakibatkan kinerja selimut pasir menjadi jelek.
Sistem yang lebih disukai adalah dengan menghampar selimut pasir dan filter
lainnya, kemudian 50cm material timbunan dihampar sebagai lantai kerja.
Kelemahan dari metode ini adalah:
1) bila lokasi tersebut terkena banjir maka selimut pasir akan mengalami
segregasi atau terkontaminasi selama proses penghamparannya.
2) jika digunakan filter geotekstil, maka geotekstil tersebut akan tertusuk
sewaktu pemasangan PVD.
Pengujian pada Pasir
Analisis gradasi sumber pasir untuk selimut pasir harus dilakukan dengan metode
penyaringan
basah (wet sieving method). Saringan kering (dry sieving) dapat menghasilkan perkiraan
yang
terlalu rendah akan banyaknya material halus, yang dapat menyebabkan perkiraan yang
terlalu
tinggi terhadap nilai permeabilitas, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4-3.
34
Pendekatan alternatif adalah dengan memasang lantai kerja dengan ketebalan
yang cukup yang dapat mendukung beban peralatan. Kemudian satu jalur
selimut pasir dihampar dan PVD dapat dipasang melaluinya dan peralatan
berdiri di selimut pasir tersebut. Alat pancang kemudian mundur, dan lapisan
selimut pasir berikutnya dihampar dan selanjutnya proses pemasangan diulangi.
Prosedur ini dapat dilihat pada Gambar 4-4.

Gambar 4-4 Prosedur Instalasi PVD menembus Selimut Pasir


Pendekatan dengan sistem ini dapat memperlambat pemasangan PVD oleh
karenanya kontraktor perlu diminta untuk merencakan pekerjaannya dengan
cermat.

Catatan Kasus
Sebuah oprit jembatan di atas lempung lunak yang dalam, disyaratkan untuk ditimbun
setelah
penyalir vertikal dipasang dengan menggunakan metode konstruksi bertahap selama
masa 15 bulan.
Kontraktor memasang penyalir tersebut tanpa menyerahkan metode pelaksanaan yang
menjelaskan
bagaimana cara memasangnya penyalir. Kontraktor tersebut tidak menghampar selimut
pasir
sebelum memasang penyalirnya.
Sebagai akibat dari sejumlah faktor luar, Kontraktor tersebut tidak melanjutkan tahap
penimbunan
berikutnya. Lokasi tersebut dibiarkan terbuka begitu saja selama enam bulan. Setelah
enam bulan,
penyalir yang terbuka tersebut telah mengalami dekomposisi seluruhnya akibat sinar ultra
violet dari
matahari. Lanau yang berasal dari kegiatan di sekitar areal tersebut telah
mengkontaminasi material
drainase tersebut. Pebaikan menyeluruh dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa penyalir
tersebut
akan dapat berfungsi dengan baik bila penimbunan akan dimulai kembali. Akibat lebih
jauh adalah
tertundanya kegiatan penimbunan selanjutnya.
35
4.2.6 Contoh Penggunaan
Pada tahun 1970-an, pembangunan jalan untuk Pelabuhan Belawan di Sumatra
Utara menggunakan penyalir tiang pasir yang dilaporkan berhasil dengan baik.
Pada tahun 1979 pengembangan dari Pelabuhan menggunakan penyalir vertikal
pra-fabrikasi untuk mempercepat penurunan areal yang di-reklamasi. Penyalir
dipasang pada lapisan lempung lunak Holosen bagian atas dan juga pada lapisan
lebih keras di atas lapisan lempung pada kedalaman 45m (Nicholls, Barry &
Shoji, 1984).
Di Semarang, Jalan Lingkar Utara (JLUS) Tahap 2 Seksi 1 menggunakan
penyalir vertikal dengan matras bambu untuk timbunan dengan ketinggian 2
hingga 3m di atas lempung pantai yang sangat lunak. Penyalir vertikal juga
telah digunakan untuk reklamasi Pelabuhan Semarang (Rahardjo dkk, 2000).
Tri Indijono (1999) melaporkan uji-coba timbunan dengan menggunakan
penyalir vertikal di Surabaya.
4.3 TIANG
4.3.1 Teknik
Tiang berfungsi untuk memindahkan beban timbunan ke lapisan yang lebih
keras di bawah lapisan lunak (tiang tahanan ujung) atau berfungsi untuk
mendistribusikan beban melalui kedalaman lapisan dengan memanfaatkan
lekatan antara tanah dan permukaan tiang (tiang lekat). Tiang akan dapat
mengurangi penurunan dan meningkatkan stabilitas timbunan.
Tiga pendekatan dasar diterapkan dalam penggunaan tiang ini:
· Memikul Seluruhnya: tiang memikul seluruh beban timbunan sampai ke
lapisan keras, sehingga mengurangi penurunan menjadi sangat kecil,
· Memikul Sebagian: tiang tidak didesain untuk memikul seluruh beban dari
timbunan, penurunan dikurangi tetapi tidak dihilangkan,
· Memikul Setempat: tiang didesain untuk memikul hanya sebagian dari
timbunan, biasanya pada areal pinggir timbunan dengan maksud untuk
meningkatkan stabilitasnya .
Contoh dari ketiga pendekatan tersebut, ditunjukkan pada Gambar 4-5.

36
tanah
lunak
a) Memikul Keseluruhan
b) Memikul Sebagian
tanah
lunak
tanah
keras
tanah
keras
tanah
lunak
c) Memikul Setempat
tanah
keras

Gambar 4-5 Timbunan yang Didukung oleh Tiang


Beban ditransfer dari timbunan ke tiang melalui salah satu perantara berikut ini:
· Lantai Struktural (Structural Slab) : pada kasus ini tiang dan lantai
membentuk suatu unit struktural,
· Kepala Tiang (Pile Caps) : material timbunan harus menapak di antara
kepala tiang ,
· Matras: matras menyebarkan beban ke tiang atau kepala tiang. Matras
dijelaskan pada Bab 4.4.
4.3.2 Tipe-tipe Tiang
Tiang Kayu Cerucuk
Tiang pendek dengan menggunakan kayu atau bambu telah digunakan di
Indonesia; lebih populer tiang ini disebut“cerucuk” (tiang ramping); di Malaysia
37
disebut “tiang bakau”. Biasanya tiang yang digunakan berukuran panjang 4
hingga 6 m dan dengan diameter 10 cm. Tiang ini juga membantu memikul lalu
lintas selama pelaksanaan konstruksi. Tiang kayu dengan sambungan telah
berhasil digunakan sampai kedalaman 12 m.
Penggunaan tiang kayu dengan panjang 4m di bawah timbunan pada lapisan
lempung lunak yang dalam akan dapat mengurangi beda penurunan yang
terjadi, meskipun besarnya sangat sulit untuk dihitung. Pada gambut berserat,
daya dukung yang diberikan oleh tiang pendek yang tidak menembus lapisan
yang lebih keras dibawahnya, sangat terbatas hingga hampir tidak ada gunanya.
Kepedulian akan masalah lingkungan juga harus diperhatikan bila solusi dengan
menggunakan tiang kayu ini yang menjadi pilihan. Penggunaan kayu dari hutan
yang tidak dapat diperbaharui harus dihindari.
Tiang Beton
Untuk tanah lunak yang lebih dalam, dan bila kapasitas daya dukung beban
yang lebih besar diperlukan, penggunaan dari tiang beton pracetak akan lebih
cocok. Tiang pracetak berbentuk persegi atau segitiga dengan sisi berukuran 10
hingga 40cm, akan memberikan kapasitas daya dukung yang cukup besar.
Tiang-tiang ini dapat disambung untuk mencapai kedalaman yang dibutuhkan,
baik dengan menggunakan sambungan mekanik, maupun dengan pengelasan
ataupun kombinasi dari keduanya.
Untuk tiang dengan daya dukung yang lebih besar, tiang pipa beton (spun piles)
telah tersedia. Tiang tipe ini akan memberikan beberapa keuntungan
dibandingkan dengan tiang persegi.
4.3.3 Metode Transfer Beban Timbunan ke Tiang
Lantai Bertiang
Timbunan yang dipikul oleh tiang beton dengan menggunakan lantai beton dan
secara populer dinamakan timbunan bertiang (piled embankment) atau lantai
bertiang (piled slabs) seperti ditunjukkan pada Gambar 4-6 a,b, dan c. Tiang
yang biasa digunakan berupa beton pracetak berukuran 25 x 25 cm persegi ;
tiang pipa beton dengan diameter 300mm juga telah digunakan . Lantai tinggi
seperti ditunjukkan pada Gambar 4-6 di Indonesia disebut “Kaki Seribu
biasanya digunakan untuk jalan dengan elevasi yang tinggi seperti untuk
timbunan oprit jembatan.

38

a) Lantai bertiang standar (standard piled slab)


b) Lantai bertiang dengan tiang ujung miring (raking edge piles)
c) Lantai bertiang dengan lantai untuk jalan (slab forming carriageway)

d) Lantai kaki seribu (elevated piled slab)


Gambar 4-6 Variasi Lantai Bertiang (Piled Slabs)
Kepala Tiang (Pile-Caps)
Kepala tiang yang terdiri atas, contohnya, kepala beton pracetak berukuran 0.8
x 0.8 sampai 1.5 x 1.5 m dan tiang yang bertindak sebagai satu kesatuan.
Kepala tiang ini menahan hampir keseluruhan beban timbunan dengan aksi
lengkung (arching action), dan kadang dibantu dengan memasang geotekstil di
atasnya. Beberapa konfigurasi yang khas untuk model ini ditunjukkan pada
Gambar 4-7.

39

a) Kepala tiang dengan tapak (pile caps with arching of fill)


b) Kepala tiang dengan tapak yang diperkuat dengan geogrid (pile caps with
arching enhanced by use of geogrid)

c) Kepala tiang yang besar untuk mengurangi tapak yang diperlukan


Gambar 4-7 Konfigurasi Kepala Tiang
4.3.4 Pertimbangan Pelaksanaan
Cerucuk memberikan lingkup penggunaan yang terbatas. Penggunaan cerucuk
yang umum di Indonesia adalah dengan panjang 4m, tetapi sistem sambungan
yang telah di fabrikasi telah digunakan secara sukses dengan tiang yang dapat
mencapai kedalaman sampai 12m (Barry, Brady & Younger, 1992).
Biaya merupakan pertimbangan utama dalam penggunaan sistem konstruksi
tiang yang lain.
40
Pengalaman dari uji coba timbunan dengan menggunakan tiang beton mikro
dengan matras beton bersambung pada lapisan gambut yang dalam
3

menunjukkan bahwa sistem ini sangat mahal dan hanya memberiikan sedikit
pengaruh terhadap pengurangan penurunan.
Juga pengangkutan tiang beton yang besar akan memerlukan alat berat yang
akan tidak praktis untuk diterapkan pada lapisan tanah dasar yang sangat lunak.
Lantai kerja harus didesain dengan semestinya serta harus diperhitungkan dalam
desain akhir.
4.3.5 Contoh Penggunaan
Tipe konstruksi lantai tiang telah dibangun pada Seksi III dari Jalan Lingkar
Utara Semarang dan Jalan Tol Surabaya –Gresik. Uji-coba telah dilakukan oleh
Pusat Litbang Prasarana Transportasi pada areal gambut yang dalam di
Berengbengkel, Kalimantan dengan menggunakan tiang mikro dengan matras
beton.
Solusi dengan tiang yang sering digunakan adalah dengan menggunakan
matras, dan contoh lebih lanjut diberikan dalam Bab 4.4.
4.4 MATRAS
4.4.1 Teknik
Jika lapisan bagian atas dari tanah lunak tersebut sangat lunak (tak ada lapisan
kerak), matras dapat digunakan untuk mendukung lalu lintas peralatan selama
pelaksanaan. Matras juga akan mencegah tenggelamnya material timbunan ke
dalam lapisan tanah sangat lunak dan dapat mengurangi beda penurunan yang
terjadi pada timbunan.
Matras yang diperkuat dengan geotekstil , geogrid atau yang dibuat sebagai
geosel akan memberikan dukungan untuk menstabilkan timbunan pada tanah
lunak.
Matras dapat juga digunakan untuk mengganti atau mengurangi ukuran kepala
tiang pada konstruksi.
Matras dapat dibuat dari korduroi kayu , bambu gelondongan atau lembaran
(fascine) , ataupun geosintetis (geotekstil, geogrid, geosel) dengan batu pecah
yang memiliki kualitas yang baik.

3
Uji timbunan di Berengbenkel, Kalimantan Tengah, lihat laporan pada CD Panduan
Teknik
Tanggungjawab untuk menyediakan jalan masuk atau jalan kerja umumnya terletak pada
Kontraktor.
Meskipun demikian, untuk timbunan jalan pada tanah lunak, Ahli Geoteknik yang
Ditunjuk harus
memastikan bahwa pekerjaan sementara tidak akan mempengaruhi pekerjaan permanen,
karenanya
jalan masuk/jalan kerja harus didesain dengan baik.
Harus diperhatikan bahwa bila Kontraktor menimbun lapis pertama timbunan dengan
cara
menumpahkan (end tip) material di atas lapisan tanah yang sangat lunak, cara ini akan
menimbulkan
gelombang lumpur yang serius yang akan menyebabkan terjadinya beda penurunan
jangka panjang
yang cukup besar.
41
4.4.2 Contoh Penggunaan
Matras yang diperkuat dengan geogrid diatas tiang kayu telah digunakan untuk
mendukung timbunan tinggi satu meter pada gambut dengan kedalaman delapan
meter di Sumatra Timur seperti ditunjukkan pada Gambar 4-8.
Lebar jalan 5m
Lapisan Geogrid
Lapisan Geogrid
Jarak
100mm
Pembatas 450
atau 550mm
pada puncak
Tiang kayu dia 150mm dengan
jarak c/c 1m dipancang sampai
5m di bawah dasar lapisan
gambut

Gambar 4-8 Konstruksi Matras Tiang


4.5 METODE PERBAIKAN TANAH LAINNYA
Metode berikut ini belum diadopsi di Indonesia, baik karena tidak cocok
maupun karena metode tersebut belum teruji dengan baik ataupun karena alasan
lainnya. Oleh karena itu metode ini tidak boleh dipertimbangkan untuk proyek
jalan baku. Bila di pertimbangkan, maka dibutuhkan persetujuan khusus dari
pihak terkait, perlu dilakukan uji coba secara detil, dan Kontraktor yang terpilih
untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, harus memiliki pengalaman yang
diperlukan atau kemauan untuk memasukkan proses pembelanjaanya kedalam
biaya dan waktu pelaksanaan uji coba tersebut.
Kolom Batu
Metode ini terdiri dari pembuatan lubang vertikal pada lapisan tanah yang
kemudian diisi dengan batu pecah atau kerikil untuk membentuk kolom yang
dikekang oleh tanah di sekitarnya. Kolom batu ini memiliki dua fungsi (1)
berfungsi sebagai penyalir vertikal dan (2) berfungsi sebagai kolom untuk
memikul sebagian beban timbunan.
Dengan metode ini, tinggi kritis dari timbunan dapat ditingkatkan karena
sebagian dari beban timbunan tersebut dipikul oleh kolom. Proporsi dari beban
yang dipikul oleh kolom bergantung pada modulus elastisitas dan luas
penampang dari kolom dibanding dengan tanah.
Di Indonesia, perbaikan dengan kolom batu ini telah dicoba pada daerah tanah
lunak pada ruas Jalan Tol Padalarang – Cileunyi, tetapi hasilnya tidak
memuaskan. Teknik ini mungkin tidak cocok untuk diterapkan pada kondisi
42
tanah tersebut dimana tiang batu hanya mampu dipasang sampai kedalaman 18
m, sedangkan tanah lunak mencapai kedalaman sampai 30 m.
Metode Pemadatan Pasir
Dengan metode ini, kolom pasir dengan diameter yang besar dibuat di dalam
tanah dan dipadatkan dengan getaran/vibrasi atau tumbukan untuk
meningkatkan kuat geser lapisan tanah. Seperti halnya dengan kolom batuan,
sistem ini juga diharapkan dapat berfungsi sebagai penyalir vertikal sehingga
dapat mempercepat proses konsolidasi. Metode ini telah dikembangkan dan
digunakan di Jepang.
Kolom Kapur atau Semen
Stabilisasi tanah dengan menggunakan kapur atau semen telah digunakan pada
konstruksi jalan untuk memperbaiki sifat teknis tanah dan meningkatkan daya
dukungnya. Teknik ini dilakukan dengan mencampur tanah dengan kapur atau
semen dengan menggunakan alat pencampur seperti alat pencampur putar
(rotary mixer) atau pencampur plant (plant mixer). Untuk lapisan tanah lunak
yang dalam, diperlukan metode pencampuran dalam (deep mixing method).
Swedia telah mengembangkan metode pencampuran dalam ini. Peralatannya
terdiri dari sebuah pisau pengaduk putar yang dimasukkan ke dalam tanah
lunak, dan kapur disuntikkan pada waktu pisau pengaduk diangkat. Dengan
metode, ini kolom kapur dengan diameter 50 cm dan kedalaman 10 m dapat
dibuat.
Di Jepang, digunakan alat yang lebih berat dengan beragam pisau pengaduk dan
dengan metode ini kolom kapur dengan kedalaman hingga 60 m dan dengan
diameter hingga 2m dapat dibentuk. Pengembangan metode yang lebih murah
saat ini sedang dicoba di Thailand yang nampaknya akan memberikan
keuntungan yang berarti (Miki, 1999).
Osmosa Elektro (Electro Osmosis)
Pemasangan anoda dan katoda pada lempung dengan kadar air yang tinggi dan
pemberian arus listrik padanya akan menyebabkan air mengalir, yang kemudian
dikeluarkan. Metode untuk mempercepat konsolidasi ini membutuhkan tenaga
listrik yang besar, dan belum digunakan secara luas.
Konsolidasi Vakum (Vacuum Consolidation)
Pemberian tekanan vakum kepada selimut pasir yang dipasang di atas penyalir
vertikal akan meningkatkan aliran air dan ini akan mempercepat proses
konsolidasi.
Untuk mencapai kondisi vakum, selimut tersebut harus dibungkus dengan
membran. Keahlian khusus dan pengalaman dalam menggunakan teknik ini
diperlukan untuk mendapatkan manfaat yang berarti dari teknik ini.
43
Stabilisasi Dangkal dan Tiang (Shallow Stabilisation and Piles)
Metode ini merupakan salah satu tipe matras tiang dimana matrasnya terdiri dari
tanah yang distabilisasi dengan bahan kimia atau semen. Percobaan di Indonesia
menunjukkan bahwa sistem ini cukup efektif (Hiroo, 2000) tetapi tak ada
perbandingan biaya untuk menunjukkan apakah ada keuntungan dari sistem ini
dibanding dengan sistem-sistem yang menggunakan jenis matras lainnya.
Cakar Ayam
Sistem cakar ayam ini terdiri dari tiang pipa pendek, 2 hingga 3m, yang pada
bagian atasnya dipasang lantai beton bertulang tipis, dengan tebal 10 hingga
15cm. Konsep ini dikembangkan di Indonesia, awalnya untuk menara transmisi
dimana penggunaan tiang yang pendek akan memberikan tahanan terhadap gaya
guling yang besar.
Sistem ini selanjutnya digunakan sebagai sistem fondasi untuk timbunan jalan,
perkerasan bandar udara, jembatan dan gedung.
Untuk timbunan jalan di atas lapisan tanah lunak yang dalam sistem ini tidak
akan mengurangi penurunan jangka panjang yang terjadi tetapi pengurangan
terhadap perbedaan penurunan awal akan dicapai sebagai akibat dari kekakuan
dari sistem lantai tiang (slab-pile system). Walaupun demikian, perbaikan
jangka pendek yang sama juga akan didapat dari konstruksi perkerasan lantai
beton biasa tanpa tiang pendek.
44
5 Persiapan Desain
5.1 INTERPRETASI GEOLOGI
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus telah melakukan inpeksi contoh tanah pada
saat tahapan penyelidikan lapangan dan pengujian laboratorium. Bila ia tidak
terlibat pada tahapan tersebut, maka ia harus menjamin bahwa ia telah cukup
mengenal tanah tersebut supaya, dapat untuk memulai pekerjaan desain.
Satu atau lebih potongan geologi harus telah disiapkan selama penyelidikan
lapangan. Ahli Geoteknik yang Ditunjuk tersebut harus mengkaji kembali
potongan ini dan memastikan bahwa potongan tersebut telah lengkap dan telah
memperhitungkan semua data, baik dari studi meja maupun dari pengujian
lapangan dan laboratorium.
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk kemudian harus mengkaji laporan faktual dan
memastikan bahwa seluruh data tersebut konsisten satu dengan lainnya, seperti
dijelaskan pada Bab 5.3. Data yang tidak konsisten harus ditolak, dan dibuat
catatan untuk data yang ditolak tersebut dilengkapi dengan alasannya.
Dari interpretasi geologi dan data penyelidikan lapangan, Ahli Geoteknik yang
Ditunjuk kemudian harus mengidentifikasi Unit Tanah yang relevan.
Unit Tanah didefinisikan sebagai lapisan atau zona tanah yang mempunyai sifat
teknik yang sama yang dibuat untuk keperluan proyek. Unit ini dapat saja
berupa unit geologi, atau lapisan tertentu dalam unit geologi, atau bahkan
kumpulan unit-unit geologi.
Contoh untuk menentukan Unit Tanah di suatu lokasi ditunjukkan pada Gambar
5.1. Penamaan Unit Tanah dan penomorannya akan membantu dalam
memahami data dan desain serta dalam penyampaian kesimpulannya.

45
Profil Geologi
yang
Disederhanakan
Unit Tanah
(Penilaian Awal)
Sifat-sifat Teknik Unit
Tanah
Nama Unit Tanah
0 – 2.0
LEMPUNG coklat,
lapuk, kenyal.

1 Kerak
2.0 – 5.0
LEMPUNG
Kelanauan Sangat
Lunak

2 Lempung Holosen
Atas
0 – 8.5
LEMPUNG Lunak
Abu-abu Tua
dengan Sisa-sisa
Kerang

LEMPUNG Lunak

5.0 –
LEMPUNG
Kelanauan Lunak
3
4
Lempung Holosen
Bawah
8.5 – 9.3
PASIR Kelanauan
Pasir Bervariasi dari
8.1 – 9.50
PASIR Halus
Kelanauan
4 PasirAntara

9.3 – 14.0
LEMPUNG
Kelanauan Abuabu dan Bintik
Coklat Kenyal
Bervariasi dari
9.5 – 17.0
LEMPUNG
Kelanauan Kenyal
5 Lempung Tua Atas
14.0- 20.0
LEMPUNG
Kelanauan abuabu tua kenyal
kadang-kadang
terdapat laminasi
Lanau kepasiran
halus
LEMPUNG
Kenyal
17.0 – 20.0
LEMPUNG
Kelanauan Sangat
Kenyal
6 Lempung Tua Bawah
Gambar 5-1 Contoh Prosedur untuk Menetapkan UnitTanah
5.2 ZONASI LOKASI
Proyek harus sudah harus dibagi menjadi zona-zona sebelum dilakukan
penyelidikan lapangan sebagaimana dijelaskan pada Panduan Geoteknik 2.
Zona-zona ini mengidentifikasi variasi kondisi tanah dan bangunan yang akan
dibangun di atasnya.
Setelah tahapan penyelidikan lapangan selesai, sebelum memulai desain
lengkap, Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus mengkaji kembali zona yang
telah ditetapkan sebelumnya:
46
· jika Unit Tanah berbeda dengan unit yang diasumsikan pada saat desain
penyelidikan lapangan, maka zona tersebut perlu diubah,
· periksa apakah Ringkasan Proyek (Project Brief) tidak berubah dengan
Ringkasan yang digunakan dalam penyelidikan lapangan. Jika telah
berubah, harus dicatat di dalam Laporan Desain dan kemudian bila perlu
zona tersebut dimodifikasi,
· jika lokasi bangunan, atau tipe bangunanya, ataupun alinyemen vertikal
dan horisontalnya berubah, maka zona tersebut harus di kaji ulang dan
dibuat zona yang baru.
Ceklis kegiatan Zonasi dari lokasi dapat dilihat pada Ceklis 9 dalam Lampiran A.
5.3 PEMILIHAN PARAMETER GEOTEKNIK
5.3.1 Pendahuluan
Sebelum menetapkan parameter dari data lapangan dan laboratorium, perlu
dilakukan penilaian terhadap kualitas informasi tersebut, menolak data yang
salah dan menyesatkan, menggunakan data yang diragukan dengan hati-hati,
dan memakai informasi yang lebih bisa diandalkan.
Kualitas dari informasi dapat dinilai dalam dua tahapan :
1) Apakah data tersebut berada pada kisaran normal untuk jenis tanah
tersebut?
2) Apakah data tersebut memiliki korelasi dengan data lain pada lokasi
tersebut, dan sesuai dengan kisaran yang umumnya dapat diterima?
Dua penilaian ini akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Begitu penilaian
dilakukan, kemudian hasil pengujian tersebut dapat dinilai berdasarkan tingkat
keandalannya, seperti dijelaskan pada Bab 5.3.4.
5.3.2 Kisaran Nilai yang Dapat Diterima
Kisaran nilai yang dapat diterima untuk sifat umum hasil penyelidikan
lapangan diberikan pada Tabel 5-1. Kisaran untuk lempung meliputi kuat geser
dari tanah Sangat Lunak, Lunak dan Sedang pada sistem klasifikasi Unified,
sebagaimana dijelaskan pada Panduan Geoteknik 1.

47
Tabel 5-1 Nilai Kisaran yang Realistis dari Tanah Lunak
Parameter
Tanah
Lempung Lempung Organik Gambut Berserat
Kadar Air, w % 20 hingga 150 100 - 500 100 - 4000
Berat Isi Total,
ãb
(kN/m3
) 14 hingga 17 12 - 15 10 - 12
Kadar Organik % <25 25 - 75 >75
Kohesi Tak
Terdrainase,CU
KPa 5 - 50 5 - 50 10 - 50
Batas Cair,LL % 60 - 120 - -
Indeks Plastis,PI % 40 - 80 - -
c’ KPa 0 0 0
j’ 21 - 27 25 - 35 30 - 40
Cc - - 1 - 20
Cc/(1+ Co) 0.1 - 0.3 0.3 - 1.0 -
cv
m2
/th 1 - 10 5 - 50 10 - 100
Cá cm/det (0.03 - 0.05)Cc (0.04 - 0.06)Cc 1 - 4
k cm/det 10
-6
- 10
-9
100 - 10
-12
100 - 10
-12

5.3.3 Pemeriksaan Korelasi


Korelasi dari sifat tanah telah dikembangkan di berbagai belahan di dunia.
Tidak semua korelasi ini sesuai dengan kondisi tanah lunak Indonesia. Korelasi
yang dipandang dapat diterapkan pada Lampiran B.
5.3.4 Menyimpulkan Hasil Penilaian
Begitu parameter tersebut telah dikaji kembali dengan pemeriksaan silang dan
korelasi di atas, maka keandalan dari data dapat diidentifikasi. Ini harus
dilakukan pada sebuah tabel, yang disesuaikan dengan skedul uji laboratorium
seperti ditunjukkan sebagai contoh pada 2.
Tabel 5-2 Penilaian Keandalan Data

BH

Contoh
Tanah

Kualitas dari
Inspeksi
Regangan
Konsolidasi
Regangan
UU
Kualitas
Akhir
11ABBB
2ABCC
3BCCC
5.3.5 Pemilihan Parameter Desain
Parameter tanah untuk desain harus ditentukan untuk setiap Unit Tanah yang
diidentifikasi, sebagaimana dijelaskan pada Bab 5.1.
48
Umumnya parameter yang dibutuhkan untuk desain adalah seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 5-3.
Tabel 5-3 Parameter Desain yang Dibutuhkan
Parameter Disain

Stabilitas
Timbunan
Penurunan
Timbunan
Penggantian
Berem Prati
Bobot
Penambahan
Beban
Konstruksi
Bertahap
Timbunan yang
DIperkuat
Matras Bertiang
Penyalir Vertikal
Berat Isi Total gb
kN/m3
PPPPPPPPP
Kuat Geser Tak
Terdrainase
cu kN/m2
P PPPPPPP
Kompresibilitas Cc
/(1+e0
) P PP P
Koefisien
Konsolidasi
Sekunder
Ca P P P P
Koefisien
Konsolidasi:
Vertikal
Horisontal

Cv
Ch

m2
/th

P
Interpretasi Data
Prosedur umum untuk interpretasi data adalah dengan membuat korelasi
kumpulan data yang terbatas tersebut dengan data lainnya yang lebih
komprehensif. Oleh karenanya sebagai contoh, pengujian indeks harus
dilakukan dengan interval kedalaman yang rapat untuk setiap lubang bor.
Kemudian sifat-sifat yang dibutuhkan seperti kuat geser dapat dikorelasikan
dengan nilai-nilai indeks, sehingga sebuah profil kuat geser yang lebih lengkap
dapat diperoleh.
Bila terlihat perbedaan yang cukup besar dari sifat-sifat tanah, maka ini harus
digunakan untuk mengidentifikasi Unit Tanah yang berbeda.
Pada akhirnya, semua parameter desain dipilih dengan mengambil nilai
konservatif yang rendah dengan tidak mengikutkan nilai-nilai yang ekstrim.
Sebuah contoh diberikan pada Gambar 5-2 dimana indeks cair memberikan
profil rinci, yang melaluinya unit tanah dianalisis setelah memeriksa tidak ada
data yang bertentangan. Kemudian dipilih kuat geser tak terdrainase untuk
desain, dan nilai kuat geser yang sangat rendah pada kedalaman 5m di tolak.
49
0
5
10
15
0.5 1.0 1.5
Indeks
Cair
Kedalaman (m)
0 20 40
Nilai
Desain
1 Permukaan
2 Lempung
Sangat Lunak
3 Lempung
Lunak
4 Lempung keras
Unit Tanah
Kuat Geser
Tak Terdrainase
RN/m2

Gambar 5-2 Contoh Pemilihan Parameter Desain


Apabila hasil interpretasi menunjukkan adanya beberapa ketidakpastian, maka
pada saat itu harus diambil sebuah keputusan apakah penyelidikan lapangan
tambahan perlu dilakukan untuk menghilangkan ketidakpastian ini.
Jika dari hasil kajian data menunjukkan adanya kelemahan serius pada data
yang tersedia, maka parameter desain sementara dapat ditentukan berdasarkan
4. hingga data yang memadai telah tersedia.
Tabel 5-4 Nilai Desain Sementara untuk Tanah Lunak
Parameter Tanah Unit Lempung
Lempung
Organik
Gambut
Berserat
Berat isi total, ãb
(kN/m3
) 16 13 11
Kohesi tak
Terdrainase, cu

kPa 0-5m
5-10m
10-20m
10
15
35
10
15
35

c’ kPa 0 0
j’ 23 23 35
Cc 5
Cc/(1+ e0) 0.3 0.5
cv
ch
m2
/thn
m2
/thn
2
4
2
4

Cá 0.04 0.05 2
Untuk proyek besar, lakukan analisis sensitivitas (tingkat keaktifan) dengan
menggunakan nilai parameter minimun yang didapat dari interpretasi data dan
satu set data kedua di dekat nilai batas atas. Jika dari hasil perbandingan
menghasilkan sebuah perbedaan pembiayaan yang besar terhadap kegiatan
geoteknik, maka hal ini dapat dipakai menjadi alasan untuk melakukan
penyelidikan tambahan untuk mendapatkan parameter yang lebih tepat.
50
5.4 PARAMETER MATERIAL TIMBUNAN
Parameter material timbunan harus ditentukan sebagai berikut:
1) Jika kuari yang ditentukan telah diidentifikasi dan uji-uji telah dilakukan,
maka parameter desain dapat ditentukan dari data tersebut. Kuari tersebut
harus dinyatakan di dalam Laporan Desain.
2) Bila pengalaman lokal mengenai sifat dari material timbunan telah tersedia,
maka nilai tersebut dapat digunakan dan sumbernya harus dinyatakan di
dalam Laporan Desain.
3) Bila kuari belum diidentifikasi dan data dari pengalaman lokal tidak ada,
maka nilai-nilai pada Tabel 5-5 dapat digunakan.
Tabel 5-5 Parameter Desain untuk Material Timbunan
Parameter Areal Geografis

AB
Berat Isi g kN/m3
18 20
Kuat geser tak
terdrainase
Cu kN/m2
100 100
Parameter
tegangan efektif

Kohesi C’ 10 5
Friksi f’ 35 30
A Jawa bagian Utara (batuan vulkanik)
B Sumatra bagian Timur, Kalimantan, Kepulauan Indonesia Timur (batuan sedimen dan
malihan)
5.5 PEMBEBANAN DAN KRITERIA DESAIN
5.5.1 Beban Lalu Lintas
Beban lalu lintas harus ditambahkan ketika melakukan analisis stabilitas,
dengan menggunakan angka yang ditunjukkan pada Tabel 5-6
4
.

4
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memeriksa dengan Ketua Tim bahwa Sistem
Klasifikasi Kelas Jalan yang digunakan pada proyek tersebut konsisten dengan
Klasifikasi Kelas Jalan ini .
51
Tabel 5-6 Beban Lalu Lintas untuk Analisis Stabilitas
Kelas Jalan Beban Lalu Lintas
(kPa)
I 15
II 12
III 12
Beban lalu lintas tersebut harus diperhitungkan pada seluruh lebar permukaan
timbunan.
Tabel 5-6 diambil dari Panduan Gambut Pusat Litbang Prasarana Transportasi,
yang dimodifikasi sesuai klasifikasi kelas jalan. Jika Ahli Geoteknik yang
Ditunjuk mendapatkan Standar Indonesia yang mensyaratkan pembebanan yang
berbeda, maka standar tersebut harus digunakan dan dicatat.
Beban lalu lintas tidak perlu dimasukkan dalam analisis penurunan pada tanah
lempung. Untuk gambut berserat pembebanan pada Tabel 5-6 harus
ditambahkan, dan diperhitungkan pada seluruh lebar permukaan timbunan.
5.5.2 Faktor Keamanan
Faktor keamanan harus dimasukkan dalam analisis stabilitas timbunan untuk
mengurangi resiko keruntuhan sampai pada tingkatan yang dapat diterima.
Waktu kritis stabilitas timbunan pada tanah lunak adalah selama dan segera
setelah selesai pelaksanaan, karena proses konsolidasi tanah lunak di bawah
timbunan menyebabkan kuat geser dari lapisan tanah lunak akan meningkat.
Oleh karenanya, diperlukan faktor keamanan kondisi jangka pendek
berdasarkan parameter kuat geser tak terdrainase.
Faktor keamanan yang dipakai harus memperhitungkan tiga unsur berikut:
1) derajat ketidakpastian berkaitan dengan kondisi tanah.
Biasanya untuk menghilangkan unsur ketidakpastian ini adalah
dengan memilih nilai desain parameter yang konservatif, dan
pendekatan ini disarankan seperti dijelaskan pada Bab 5.3.5,
2) penggunaan faktor keamanan untuk membatasi tegangan yang terjadi
pada tanah pada tingkatan tertentu di bawah tegangan maksimumnya,
dan untuk membatasi regangan pada tingkatan yang dapat diterima,
seperti ditunjukkan pada Gambar 5-3,
52

Gambar 5-3 Penggunaan Faktor Keamanan untuk Membatasi Regangan


Pada tanah lunak faktor ini berkisar 1.3. Pada gambut berserat hal ini
tidak relevan karena regangan yang besar akan terjadi pada semua
level tegangan dan oleh karenanya perlu diperhitungkan secara
terpisah,
3) untuk mengurangi resiko, karena keruntuhan akan menimbulkan
akibat yang serius.
Konsekuensi ini dapat dipertimbangkan terhadap : resiko pada nyawa
manusia, dan kerugian ekonomi.
Pada timbunan jalan, resiko terhadap nyawa manusia akibat
keruntuhan biasanya sangat kecil karena itu hanya kerugian secara
ekonomi yang perlu dipertimbangkan.
Kerugian ekonomi akan lebih besar jika timbunan tersebut
diperuntukkan sebagai oprit jembatan atau berada di dekat bangunan,
gedung atau utilitas lainnya. Ada dua alasan untuk hal ini; pertama
keruntuhan dari timbunan akan merusak struktur sebagai akibat dari
gerakan tanah yang volumenya besar. Pada kasus jembatan biasanya
pangkal jembatan yang bergerak, tiangnya terganggu atau patah, dan
suatu perbaikan menyeluruh akan diperlukan. Kedua, gangguan
terhadap lalu lintas akan lebih lama jika akses ke jembatan terganggu,
karena biasanya menyediakan akses sementara akan lebih sulit, jika
dibandingkan dengan keruntuhan yang terjadi pada jalan. Persyaratan
untuk timbunan di dekat struktur dibahas dalam Bab 7.
Untuk timbunan faktor kemanan harus diambil untuk kondisi jangka pendek
selama masa pelaksanaan dari faktor keamanan yang ditunjukkan pada Tabel
5-7.
5

Tabel 5-7 Faktor Keamanan untuk Analisis Stabilitas

5
Nilai ini berbeda dengan nilai yang terdapat pada Panduan Gambut Pusat Litbang
Prasarana Transportasi.
53
Kelas Jalan Faktor Keamanan
I 1.4
II 1.4
III 1.3
Faktor-faktor keamanan ini telah memperhitungkan hal-hal berikut:
a) investigasi untuk jalan Kelas I dan Kelas II harus menghasilkan data
dengan kualitas lebih baik, dan oleh karenanya nilai parameter data yang
tidak terlalu konservatif dapat ditentukan,
b) biaya yang harus dikeluarkan akibat kerusakan yang timbul akan lebih
kecil untuk kelas jalan yang lebih rendah.
Bila metode berem pratibobot digunakan, faktor keamanan dari berem dapat
dikurangi menjadi 1.2, kecuali bila ada struktur, bangunan atau utilitas lain di
dekatnya.
5.5.3 Kriteria Deformasi
Penurunan
Penurunan timbunan harus dibatasi berdasarkan Tabel 5-8
6
. Penurunan yang
terjadi selama pelaksanaan adalah penurunan yang terjadi sebelum perkerasan
jalan dilaksanakan.
Tabel 5-8 Batas-batas Penurunan untuk Timbunan pada Umumnya (dari Panduan
Gambut Pusat
Litbang Prasarana Transportasi)
Kelas Jalan Penurunan yang
Disyaratkan selama Masa
Konstruksi
s/stot

Kecepatan Penurunan
setelah Konsolidasi
mm/tahun
I >90% <20
II >85% <25
III >80% <30
IV >75% <30
s jumlah penurunan selama masa pelaksanaan
stot
penurunan total yang diperkirakan
Pergerakan Lateral
Faktor keamanan minimum sesuai dengan Tabel 5-7, pergerakan lateral masih
menimbulkan masalah terhadap struktur dan utilitas di dekatnya, bila timbunan
dekat jembatan atau struktur harus dipertimbangkan, jaraknya kurang dari 2 kali
kedalaman tanah lunak, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5-4.

6
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memeriksa dengan Ketua Tim bahwa Sistem
Klasifikasi Kelas Jalan yang digunakan pada proyek tersebut konsisten dengan
Klasifikasi Kelas Jalan ini
54
H
2H
Material Timbunan
Tanah Lunak
Batas Struktur
Batas Zona Pengaruh

Gambar 5-4 Zona Pengaruh untuk Pergerakan Lateral


5.5.4 Beban Gempa
Zona gempa terakhir yang digunakan dalam desain di Indonesia ditunjukkan
pada Gambar 5-5.
55
Gambar 5-5 Zona Gempa di Indonesia
Zona-zona ini ditetapkan dalam SNI-T14-1990-03
7
dan digunakan untuk
mendesain bangunan. Percepatan diperoleh dengan menghubungkan zona
tersebut dengan tipe tanah dan frekuensi dasar bangunan. Percepatan
maksimum untuk tiap zona diberikan pada Tabel 5-9.
Tabel 5-9 Faktor Percepatan Gempa
Zona Faktor Percepatan
1 0.23
2 0.21
3 0.18
4 0.15
5 0.12
6 0.07
Sebuah sistem zona gempa yang telah dimodifikasi telah dikembangkan dan
diharapkan dalam waktu dekat segera dipublikasikan. Ahli Geoteknik yang
Ditunjuk harus yakin bahwa dirinya telah memiliki informasi yang terbaru dan
selalu mengikuti perkembangan informasi yang ada.
Efek dari beban gempa terhadap timbunan pada lapisan tanah lunak adalah:
a) adanya tanah lunak akan memperbesar percepatan permukaan,
b) beban siklis dari kejadian gempa akan mengurangi kuat geser tak
terdrainase dari tanah lempung lunak,
c) gaya-gaya yang terjadi akibat timbunan akan bertambah.

7
Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Jembatan Jalan Raya: Desain Stabilitas Tahan
Gempa untuk Jembatan Jalan Utama.
56
Karena faktor keamanan minimum dari timbunan terhadap beban statis terjadi
selama pelaksanaan akan meningkat (secara skematis seperti terlihat pada
Gambar 5-6), maka akan sangat tidak beralasan untuk menambahkan kondisi
beban gempa secara penuh pada proses analisis desain.
Masa
Konstruksi
Beban gempa
Waktu
Periode
resikogempa
Faktor Keamanan
Fmin

Gambar 5-6 Skema Perubahan Faktor Keamanan sepanjang Umur Timbunan


Beban gempa pada desain timbunan jalan di Indonesia umumnya diabaikan.
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus mengkonfirmasikan bahwa proyek tersebut
tidak mempunyai nilai strategis yang penting yang memerlukan sesuatu resiko
keruntuhan yang rendah selama gempa terjadi. Kemudian beban gempa harus
diabaikan untuk timbunan tersebut yang jaraknya terhadap struktur, jembatan
ataupun utilitas lainnya cukup jauh. Jika proyek tersebut mempunyai nilai
strategis maka beban gempa harus dimasukkan dalam analisis untuk mencapai
faktor keamanan yang sama dengan yang disyaratkan, atau suatu analisis resiko
mengenai kemungkinan keruntuhan yang dapat terjadi, harus dilakukan dengan
pendekatan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5-6.
Timbunan untuk oprit jembatan dijelaskan dalam Bab 7, dan panduan yang
diberikan pada bab tersebut juga cocok untuk digunakan pada timbunan yang
dibangun di dekat bangunan dan utilitas besar lainnya.

57
6 Solusi Desain dan Analisis
6.1 PENDAHULUAN
Suatu desain geoteknik harus mempertimbangkan syarat -syarat berikut:
· stabilitas timbunan selama waktu pelaksanaan,
· stabilitas timbunan jangka panjang,
· besar dan kecepatan penurunan setelah pelaksanaan selesai .
Panduan Geoteknik ini membahas mengenai persyaratan khusus desain untuk
tanah lunak. Panduan ini tidak dimaksudkan untuk mengganti buku-buku
pelajaran yang sudah ada.
Analisis stabilitas dan penurunan pada berbagai kondisi yang umumnya terjadi,
bisa diperoleh dari buku-buku pelajaran yang umum digunakan di Indonesia,
seperti :
Bowles J E, Teknik Fondasi dan Desain (Foundation Engineering and Design),
McGraw Hill, 1996.,
Holtz R D & Kovacs W D, Pengantar Rekayasa Geoteknik (An Introduction to
Geotechnical Engineering), Prentice Hall Inc, New Jersey, 1981.,
Lambe T W & Whitman R V, Mekanika Tanah (Soil Mechanics) , SI Version,
Wiley, 1979.,
Smith G N, Dasar-dasar Mekanika Tanah untuk Ahli Teknik Sipil dan
Pertambangan (Elements of Soil Mechanics for Civil and Mining Engineers) ,
Granada, 1982.,
Suryolelono K Basah, Geosintetik Geoteknik, NAFIRI, Yogyakarta (ISBN 979-
8611-22-5), 2000.,
Terzaghi K, Peck R B & Mesri G, Mekanika Tanah dalam Praktek Rekayasa
(Soil Mechanics in Engineering Practice) , 3
rd
ed, Wiley, 1996.,
Tomlinson M J, Desain Fondasi dan Konstruksi (Foundation Design and
Construction), Pitman, 1975.
58
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus paham dengan metode desain dasar ini,
dan bila menjumpai keraguan supaya mempelajari salah satu dari buku-buku
tersebut.
6.2 STABILITAS TIMBUNAN
Sebagai penilaian awal stabilitas timbunan dapat dihitung sebagai berikut:
1) hitung kuat geser tak terdrainase rata-rata sampai kedalaman lima
meter (cu(0-5)kN/m
2
) atau setebal lapisan lempung lunak bila kurang
dari lima meter ,
2) ambil berat isi (ãb) tertinggi material timbunan (kN/m
3
),
3) tinggi timbunan maksimum yang aman tanpa perbaikan tanah dapat
ditentukan dengan:
Hc
= 4 x cu[0-5]
/ ãb
(6.1)
Analisis sederhana ini tidak memperhitungkan kontribusi kuat geser dari
timbunan.
Bila data yang mencukupi sudah tersedia, maka analisis stabitas harus dilakukan
dengan menggunakan metode Bishop, atau metode Janbu ataupun metode lain
yang lebih tepat. Jika tak ada program komputer yang tersedia untuk analisis
ini, maka perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan spreadsheet.
Analisis stabilitas yang dinyatakan di atas dapat digunakan pada tanah organik,
inorganik dan gambut amorfos.
Elevasi air di sekitar timbunan mempunyai efek yang cukup besar pada
perhitungan stabilitas, oleh karenanya hal-hal berikut in harus diperhitungkan:
1) pada areal yang lahannya sering terendam banjir atau digunakan,
misalnya untuk lahan perikanan atau irigasi, kondisi terburuk adalah
ketika lokasi tersebut dikeringkan. Pada areal pasang surut, kondisi
terburuk yang terjadi adalah ketika sedang surut pada level terendah.
2) Jika elevasi muka air terendah diperhitungkan dalam desain, maka
zona material timbunan di antara elevasi muka air terendah dan
tertinggi harus diasumsikan sebagai jenuh.
3) Untuk analisis tegangan efektif, kondisi turunnya elevasi muka air
secara cepat harus diperhitungkan.
Pada gambut berserat, stabilitas timbunan tidak menjadi masalah, tetapi
penurunan akan merupakan masalah utama yang menentukan desain timbunan
tersebut.
59
6.3 PENURUNAN PADA TIMBUNAN
Perhitungan penurunan terdiri dari perkiraan total penurunan yang terjadi dan
kecepatan atau waktu untuk mencapai berbagai tingkat penurunan. Analisis
harus dilakukan pada garis tengah dan pinggir dari bagian atas timbunan.
Untuk keperluan desain, penurunan langsung tidak perlu dihitung. Meskipun
demikian, jika diperkirakan penurunan yang terjadi cukup besar, maka harus
diperhitungkan karena hal tersebut akan mempengaruhi jumlah biaya untuk
bahan timbunan.
Estimasi penurunan harus meliputi perhitungan penurunan primer dan sekunder.
Untuk lempung lunak dan lempung organik, perhitungan dengan menggunakan
teori konsolidasi dari Terzaghi sebagaimana berikut, dapat digunakan:
Penurunan primer, lempung terkonsolidasi normal:

o
o
o
c
p
P
PP
e
HC
S
D+
+
= log
1
(6-2)

Penurunan primer, lempung terkonsolidasi lebih:


Sp, po+Dp<pc =
o
o
o
s
e
P
PP
HC
+
D+
1
log
(6-3)
Sp, po+Dp>pc
=
o
co
s
P
PP
HC
+
log +
o
o
o
s
e
P
PP
HC
+
D+
1
log
(6-4)
Penurunan sekunder :
Ss = H.Ca.log(t2/t1) (6-5)
Untuk gambut, metode dari Hanrahan (1981) seperti yang diberikan pada
lampiran C, akan dapat memberikan sebuah estimasi awal untuk perhitungan
penurunan.
Pada saat melakukan analisis penurunan sekunder, waktu yang digunakan
dalam perhitungan harus merupakan umur desain dari perkerasan, yaitu umur
desain rekonstruksi pada kedalaman penuh.
Penurunan Regional
Beberapa kota besar di Indonesia telah mengalami penurunan regional akibat
menurunnya muka air tanah, sehingga akibat lebih lanjut dari pemompaan
60
akifer yang berlebihan. Hal ini telah terjadi di Bandung, Jakarta, Semarang dan
kemungkinan Surabaya. Oleh karena itu, prediksi jangka panjang harus
mempertimbangkan hal ini pula, seperti ditunjukkan pada Gambar 6-1.
Waktu
Elevasi desain
yang disyaratkan
Penurunan akibat
beban timbunan
Umur desain pada kedalaman
penuh rekonstruksi
Penurunan
regional
Perkerasan
yang dilakukan
Elevasi
Perkerasan

Gambar 6-1 Penambahan Penurunan Regional dalam Perhitungan Penurunan


6.4 PENYALIR HORISONTAL
Penyalir horisontal terdiri dari lapisan penutup drainase yang dihamparkan pada
seluruh permukaan tanah lunak kompresibel. Penyalir horisontal ini dapat
digunakan jika tanah lunak relatif tipis dimana penurunan akibat konsolidasi
tidak akan memakan waktu yang lama, yaitu konsolidasi akan selesai selama
pelaksanaan. Jika diperlukan, konsolidasi dapat dipercepat dengan
menambahkan beban tambahan ekstra.
Untuk mendesain penyalir horisontal :
1) hitung stabilitas timbunan sesuai prosedur pada Bab 6.2,
2) hitung hubungan tinggi timbunan– faktor keamanan seperti yang
dirumuskan pada Bab 6.2,
3) hitung besaran penurunan tanah lunak sesuai prosedur pada Bab 6.3,
4) hitung hubungan penurunan – waktu seperti yang dirumuskan pada
Bab 6.3,
5) jika diperlukan, hitung tebal beban tambahan yang diberikan,
6) tentukan tebal dari lapis penyalir seperti terdapat dirumuskan pada
Bab 4.2.4,
7) tentukan kecepatan penimbunan jika terdapat masalah stabilitas,
8) tentukan material untuk lapis drainase,
9) tentukan persyaratan kontrak lainnya.
Besarnya penurunan dihitung dengan perhitungan penurunan standar menurut
Bab 6.3.
61
6.5 PENGGANTIAN
Untuk desain penggantian sebagian atau keseluruhan :
1) hitung besar dan kecepatan penurunan lapisan tanah lunak yang
tersisa menurut Bab 6.3,
2) tentukan kedalaman tanah lunak yang akan diganti untuk mencapai
persyaratan yang diberikan pada Tabel 5-8,
3) tentukan kemiringan sisi/lereng galian dan batas galian seperti yang
akan dijelaskan pada bagian berikut,
4) tentukan persyaratan kontraktual lainnya.
Kemiringan lereng galian harus:
· 1 banding 1, jika galian ditimbun kembali pada hari yang sama,
· 1 banding 3, jika galian dibiarkan terbuka.
Perbandingan ini diambil dengan asumsi bahwa tidak ada pekerja yang akan
masuk ke galian yang dalam; oleh karenanya kontraktor harus bertanggung
jawab terhadap keamanan galian dan bila diperlukan dapat mengusulkan
kemiringan lereng yang lebih landai untuk keamanan. Karenanya menimbun
kembali galian secepat mungkin, merupakan praktek yang baik untuk
dilaksanakan.
Jika kemiringan galian 1 banding 3 tidak praktis atau tidak memungkinkan,
maka Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memastikan bahwa spesifikasi
kontrak telah mensyaratkan penimbunan kembali dilakukan pada hari yang
sama, sehingga Konsultan Pengawas tahu dan setiap pemeriksaan dan
persetujuan harus memenuhi persyaratan tersebut.
Persyaratan kontraktual harus mengidentifikasikan kedalaman material yang
akan diganti dengan toleransi +/- 5cm baik untuk penggantian sebagian,
maupun keseluruhan.
Batas dasar galian harus terletak pada kaki timbunan seperti ditunjukkan pada
Gambar 6-2.

Gambar 6-2 Batas Galian untuk Penggantian Tanah Lunak


Tanah
Lunak
Timbunan
Kemiringan
: lihat teks
Tanah Keras
62
6.6 BEREM PRATIBOBOT
Desain berem pratibobot meliputi desain ketebalan dan lebarnya. Tahapan dari
disain ini adalah sebagai berikut:
1) hitung tinggi aman timbunan, Hc, menurut Bab 6.2,
2) hitung tebal dan lebar berem untuk mendapatkan faktor keamanan
timbunan utama yang diinginkan,
3) periksa apakah berem pratibobot tersebut mempunyai faktor
keamanan yang cukup, yaitu tebalnya tak boleh lebih dari Hc,
4) jika dari hasil perhitungan stabilitas dengan menggunakan berem
tunggal tidak memenuhi syarat, ulangi perhitungan dengan
menggunakan berem pratibobot ganda.
Sebagai estimasi awal, lebar berem dapat ditentukan sebesar 2.3 kali dari tebal
lapisan tanah lunak.
Analisis yang lebih rinci dapat dibuat dengan menggunakan kurva desain pada
Gambar 6-3.
63
Gambar 6-3 Grafik Desain untuk Berem Pratibobot (NAVFAC, 1971)
Bila data yang lengkap telah tersedia, maka analisis stabilitas yang lebih rinci
harus dilakukan menurut Bab 6.3.

64
6.7 PENAMBAHAN BEBAN
Prosedur untuk melakukan analisis penambahan beban adalah sebagai berikut:
1) identifikasi metode konstruksi bertahap bila diperlukan seperti
dirumuskan pada Bab 6.8,
2) tentukan tinggi beban tambahan tersebut ,
3) hitung hubungan penurunan– waktu sebagaimana dirumuskan dalam
Bab 6.3,
4) tentukan penurunan pasca konstruksi yang diijinkan sebagaimana
dirumuskan pada Bab 5.5.3,
5) tentukan waktu yang tepat untuk memindahkan beban tambahan
tersebut ,
6) tentukan sisa penurunan yang akan terjadi,
7) jika hasilnya belum memuaskan, ulangi prosedur ini dengan tinggi
beban tambahan yang berbeda atau dengan tahapan konstruksi yang
berbeda ,
8) jika telah didapatkan beban tambahan dan program pelaksanaan yang
memuaskan, periksa stabilitas timbunan dengan variasi tahapan
pelaksanaan sebagaimana dijelaskan pada Bab 6.2.
Contoh diberikan pada Gambar 6.4.

Gambar 6-4 Analisis Desain Penambahan Beban


Lebar beban tambahan harus dipertimbangkan di dalam analisis. Bila beban
tambahan secara sederhana ditambahkan di atas timbunan standar, maka areal di
bawah timbunan tersebut tidak sepenuhnya terbebani. Akan lebih baik bila
beban tambahan ditambahkan selebar keseluruhan timbunan, dimana hal ini
akan memerlukan tambahan lebar timbunan utama seperti ditunjukkan pada
gambar 6-5.
65
Tidak dibebani
seluruhnya
Beban Tambahan
Timbunan standar
a) lebar penambahan beban terbatas
b) lebar penambahan beban yang diperluas
Timbunan diperlebar
Beban tambahan hingga
ke ujung timbunan
permanen

Gambar 6-5 Pelebaran Penambahan Beban


6.8 KONSTRUKSI BERTAHAP
Konstruksi bertahap diperlukan bila desain tinggi timbunan melebihi tinggi
kritis yang dapat dipikul lapisan tanah lunak. Prosedur untuk analisis konstruksi
bertahap adalah sebagai berikut:
1) tentukan faktor keamanan yang diinginkan pada akhir masa konstruksi
menurut Tabel 5-7,
2) hitung kuat geser yang diperlukan untuk tinggi desain timbunan,
3) hitung kenaikan kuat geser cu yang dibutuhkan,
4) tentukan tahapan penimbunan, termasuk tinggi dan masa tenggang,
5) hitung derajat konsolidasi dan kenaikan kuat geser,
6) periksa apakah kenaikan kuat geser yang diinginkan telah tercapai ,
7) ulangi dari 4) untuk tahapan coba-coba kedua dan seterusnya, hingga
mencapai hasil yang memuaskan.
Gambar 6-6 berikut memperlihatkan proses coba-coba secara grafis.
66
Tiggi
Timbunan
TAHAP 1 TAHAP 2
0
100
Cu
Waktu
Kuat geser yang disyaratkan bertambah
pada tinggi timbunan
penuh
Konsolidasi %

Gambar 6-6 Analisis Konstruksi Bertahap


Hubungan antara kenaikan tegangan efektif dengan kenaikan kuat geser tak
terdrainase, dapat dihitung sebagai berikut:
Dari parameter-parameter desain yang ada tentukan hubungan antara cu dan z (=
kedalaman di bawah muka tanah dasar asli), yaitu: cu = kz seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 6-7.
Garis
desain
Cu
Z
Gambar 6-7 Kuat Geser vs Hubungan Kedalaman
1) dengan menggunakan berat isi lapisan tanah lempung, konversikan
kedalaman menjadi tegangan vertikal efektif, p,
2) kemudian hitung cu = a.p,
3) lalu asumsikan Dcu = a. Dp,
4) selanjutnya untuk setiap derajat konsolidasi U, tentukan
Dcu = U. a. Dp seperti yang ditunjukkan Gambar 6-8.
67
U % 0 50 100
Z
Cu
C = u ap

Gambar 6-8 Kuat Geser Meningkat terhadap Konsolidasi


Bila pada lapisan tanah lunak terdapat zona yang tekonsolidasi lebih, maka
kenaikan kuat geser pada zona ini hanya boleh diterapkan untuk kenaikan
tegangan di atas tekanan konsolidasi lebih tersebut, seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 6-9.
Z
Cu
10095250U %

Gambar 6-9 Penyesuaian Pertambahan Kuat Geser untuk Konsolidasi Lebih


6.9 TIMBUNAN DENGAN PERKUATAN
6.9.1 Pendahuluan
Pemasangan lapisan geotekstil atau geogrid pada timbunan dapat akan
meningkatkan stabilitas. Pemilihan dari sifat-sifat geotekstil dan analisis
timbunan yang menggunakan geotekstil, dijelaskan pada bab-bab berikut.
Prilaku geotekstil lebih jauh diberikan oleh Jewell, 1996.
68
6.9.2 Sifat-sifat Geotekstil
Tahap pertama dalam analisis adalah memilih sifat-sifat dari geotekstil, atau
pilih geotekstil yang telah dikenal luas yang tersedia di pasaran, kemudian
gunakan sifat-sifatnya yang telah diketahui tersebut untuk desain.
Informasi berikut harus diidentifikasi sebelum desain yang memuaskan dapat
dilakukan:
Kuat Tarik & Regangan (Tensile Strength & Elongation)
Kuat tarik geotekstil dapat bervariasi dengan kisaran yang lebar seperti terlihat
pada Gambar 6-10.

Gambar 6-10 Kuat Tarik Beberapa Material Geotekstil (Exxon, 1989)


Pita polipropilin, yang telah digunakan secara luas di Indonesia, mempunyai
kuat tarik relatif rendah dan regangan yang besar saat runtuh; oleh karenanya,
jenis geotekstil ini cukup memadai untuk digunakan sebagai perkuatan
timbunan.
Kuat tarik ultimit dan leleh pada saat runtuh biasanya diberikan oleh produsen
dan harus dikonfirmasi dengan pengujian yang independen.
Kerusakan pada Saat Pemasangan
Efek yang ditimbulkan dari pemasangan dan pemadatan material timbunan pada
geotekstil , dapat mengurangi kekuatan ultimitnya. Oleh karena itu, sebuah
faktor pembagi harus diberikan terhadap kekuatannya untuk memperhitungkan
Baja prategang
Kuat Tarik (Mpa)
Grid HDPE
Regangan (%)
pylene

Serat Poliaramid
Serat Poliester
Pita polypro-
69
akibat tersebut. Jika produsen telah memverifikasi efek tersebut dengan
percobaan, maka faktor pembagi tersebut dapat digunakan. Jika tidak, gunakan
faktor permbagi dari Tabel 6-1. Faktor pembagi ini diturunkan dari penilaian
terhadap sejumlah rekomendasi yang diberikan oleh para produsen untuk
berbagai tipe geotekstil, dan berdasarkan standar dan aplikasi sesuai jenis tanah
yang umumnya ditemui di Indonesia.

Tabel 6-1 Faktor Pembagi untuk Kerusakan pada Instalasi Geotekstil


Tanah Faktor Pembagi
Lempung, lanau, pasir 1.1
Tanah mengandung
minimum 10% kerikil
1.3
Tanah mengandung
minimum 50% kerikil
bersudut
1.5
Tanah mengandung
minimum 10% kerakal
1.5
Tanah mengandung
minimum 50% kerakal
bersudut
1.8
Bila digunakan faktor pembagi yang rendah, maka Ahli Geoteknik yang
Ditunjuk harus mensyaratkan lapisan material yang baik dengan ketebalan
minimum 30cm, yang memenuhi faktor pembagi yang telah ditentukan tersebut,
dan dihamparkan di atas dan di bawah geotekstil.
6.9.3 Faktor Reduksi Rangkak
Sejumlah material sebagai bahan dasar pembuat geotekstil akan mengalami
rangkak yang cukup besar akibat pembebanan terus menerus terutama
Polipropilin, dan besarnya rangkak yang terjadi akan sangat bergantung pada
proses pembuatannya. Secara khas, kuat tarik ultimit yang dapat dipikul selama
setahun, yang dinyatakan dalam persentase dari kuat ultimit yang diukur dalam
uji laboratorium jangka pendek, akan bervariasi dari 60% hingga nol.
Karenanya, faktor reduksi umum tidak dapat diberikan, dan pengujian harus
dilakukan untuk setiap tipe material yang dipasarkan oleh produsen. Pengujian
ini harus dilakukan pada temperatur yang sesuai dengan kondisi Indonesia,
karena rangkak merupakan suatu faktor yang sangat bergantung pada
temperatur.
Hasil dari pengujian ini, harus dapat menghasilkan kurva rangkak seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 6-41. Dari kurva tersebut dan dari umur geotekstil
yang direncanakan, faktor reduksi rangkak pada kuat tarik ultimit dapat
ditentukan.
70

Gambar 6-41 Contoh Kurva Rangkak Geotekstil (Exxon, 1989)


6.9.4 Analisis Stabilitas
Bila kuat tarik ultimit desain dari geotekstil telah ditentukan, dengan
memperhitungakan faktor reduksi, maka analisis coba-coba dapat dilakukan
sebagai berikut:
1) hitung faktor keamanan timbunan yang direncanakan,
2) hitung faktor keamanan timbunan dengan perkuatan menggunakan
geotekstil,
3) coba dengan satu, dua atau tiga lapisan perkuatan sesuai kebutuhan,
4) tentukan kuat tarik dari material perkuatan tesebut ,
5) tentukan kedalaman atau elevasi dari lapisan perkuatan tersebut,
6) periksa bentuk ketidakstabilan lainnya atau faktor keamanan terhadap:
· penyebaran lateral,
· skuising,
· keruntuhan fondasi .
Untuk kasus lapisan tanah lempung lunak yang dalam, sebuah analisis bidang
gelincir berbentuk lingkaran dapat digunakan. Tahanan dari perkuatan yang
diperlukan, harus dihitung untuk mencapai faktor keamanan yang diinginkan
terhadap semua bidang runtuh yang potensial. Kemudian perkuatan tersebut
harus dirincikan untuk memberikan tahanan yang diperlukan.
Untuk lapisan tanah lempung yang dangkal, analisis bidang gelincir akan
memberikan hasil yang tidak konservatif (Jewell, 1996), dan analisis baji
translasi (translational wedge analysis) harus digunakan.
Perpanjangan (%)
1 jam
1 bulan
1 tahun
10 tahun
120 tahun (diekstrapolasi)

Kuat tarik Isokronos (Isochronous) Dinyatakan


sebagai persentase Beban Putus pada waktu
dipasang
71
6.10 MATRAS BERTIANG
Prosedur untuk mendesain timbunan bertiang yang diperkuat dengan geotekstil
dijelaskan pada Lampiran D. Alternarifnya, BS8006 memberikan metode desain
untuk tiang yang diperkuat dengan matras dan struktur perkuatan tanah lainnya.
6.11 PENYALIR VERTIKAL
Prosedur desain:
1) tentukan penurunan pasca konstruksi yang diijinkan berdasarkan
Tabel 5-8,
2) pilih kedalaman yang sesuai untuk penyalir vertikal,
3) coba suatu jarak spasi penyalir vertikal ,
4) hitung besarnya konsolidasi pada akhir masa konstruksi dan
penurunan pasca konstruksi ,
5) ulangi penentuan jarak penyalir vertikal tersebut hingga penurunan
pasca konstruksi yang terjadi dapat diterima,
6) variasikan kedalaman penyalir dan ulangi perhitungan untuk
mendapatkan jarak dan kedalaman penyalir paling ekonomis.
6.12 DESAIN TIANG
Tiang didesain dengan menggunakan metode desain yang biasa.
Jika tiang didesain sebagai tiang tahanan ujung pada lapisan yang relatif keras ,
maka gesekan kulit negatif harus dihitung pada seluruh panjang tiang pada
lapisan yang mengalami penurunan.
Jika tiang dimaksudkan untuk menahan beban dengan gesekan kulit, maka
besarnya penurunan pada tiang harus dihitung, dan gesekan kulit negatif
dihitung di atas titik netral seperti yang diperlihatkan pada Gambar 6-52.
72
Penurunan
Titik netral
Tanah
Tiang
Z
CL

Gambar 6-52 Perhitungan Titik Netral Tiang


Jarak antar as tiang’s umumnya s = 3.5 d (dimana d adalah diameter tiang).
73
7 Interaksi Tanah dan Bangunan
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus memahami bahwa timbunan pada tanah
lunak memiliki potensi untuk menyebabkan masalah terhadap bangunan di
dekatnya ataupun struktur yang dibangun di bawah timbunan.
Zona efektif yang besarnya dua kali ketebalan lempung lunak, seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 5-4 harus diperhitungkan terhadap pengaruh
tersebut.
Ahli Geoteknik yang ditunjuk, harus mengidentifikasi seberapa jauh
pengaruhnya dan bekerja sama dengan desainer struktur dan lainnya untuk
memecahkan permasalahan ini.
Masalah potensial yang akan timbul terdiri dari :
Penurunan
Penurunan pada tanah lunak di bawah timbunan dapat menyebabkan tertariknya
tiang ke bawah pada zona yang turun, jika tiang menembus lapisan yang lebih
keras. Jika tiang dipancang di dalam lapisan tanah lunak, tiang tersebut akan
turun bersamaan dengan timbunan.
Oleh karena itu, desain tiang harus memperhitungkan kondisi ini.
Pergerakan Lateral
Pergerakan lateral dari tanah sebagai akibat dari sebuah timbunan, yaitu:
· terjadinya pergerakan secara fisik dari bangunan di dekat bawah timbunan.
Struktur seperti gorong-gorong, gedung, fondasi dangkal, dan utilitas
lainnya dapat terpengaruh,
· timbulnya beban lateral pada struktur yang tertanam di dalam tanah yang
gerakannya terbatas, terutama terjadi pada tiang.
Besarnya gerakan lateral ini sangat sukar untuk diprediksi pada tingkat akurasi
tertentu. Meskipun demikian, hubungan yang diberikan oleh Stewart dkk (1994)
dapat memberikan sebuah estimasi awal mengenai defleksi kepala tiang sebagai
akibat beban timbunan seperti yang diperlihatkan di bawah ini. Pengaruh ini
berhubungan dengan kondisi mendekati keruntuhan, sehingga hal ini dianggap
konservatif untuk kondisi yang lebih stabil.
D = ñu + ñc/6 (7.1)
D adalah pergerakan lateral pada atau dekat permukaan
ñu adalah penurunan tak terdrainase
ñc adalah penurunan konsolidasi
74
Untuk tanah lempung lunak, gerakan lateral ini umumnya berpengaruh pada
daerah sampai jarak dua kali kedalaman lapisan lunak.
Untuk struktur bertiang, metode dari de Beer & Wallays (1972) telah digunakan
secara luas untuk menghitung beban lateral pada tiang akibat dari timbunan.
Meskipun demikian, Stewart dkk. (1994) berdasarkan sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Stewart , menunjukkan bahwa metode ini tidak memberikan
hasil yang dapat diandalkan. Stewart dkk kemudian mengembangkan grafik
desain yang baru.
Kesimpulan utama yang didapat bila dari seluruh studi pembebanan pada tiang
akibat timbunan adalah, bahwa karena faktor keamanan dari timbunan terletak
di bawah nilai ambang batas, beban lateral (dan oleh karenanya momen tiang)
akan mulai meningkat secara cepat. Dari hasil yang diberikan oleh Stewart dkk.
(1994), ambang batas ini akan tercapai pada angka keamanan sekitar 1.7.
Faktor keamanan dari timbunan pada oprit jembatan dan lokasi lainnya dimana
struktur bertiang dapat terpengaruh harus di pertahankan di atas 1.7.
Pemakaian dari faktor keamanan yang lebih tinggi akan mencukupi jika
dikaitkan dengan bena gempa. Jika sebuah konfigurasi seperti yang diusulkan
Penggunaan faktor keamanan yang lebih tinggi akan cukup memadai untuk
mengatasi beban gempa. Jika konfigurasi seperti yang direkomendasikan oleh
Beban Lateral pada Tiang Abutmen Jembatan
Manual Desain Jembatan (1992) mengatasi masalah ini dengan mensyaratkan fondasi
tiang
diletakkan di luar zona pengaruh timbunan seperti diperlihatkan pada gambar :

Penampang Abutmen yang Disyaratkan untuk Membatasi Beban akibat Timbunan (DGH,
1992)
Walaupun desain ini disyaratkan untuk kondisi gempa, tetapi juga cocok digunakan untuk
kondsisi beban statis.
Perlu dicatat bahwa jembatan pada zona gempa di Indonesia, tidak akan dibangun dengan
menggunakan penampang seperti ini, tetapi dibangun dengan menggunakan abutmen
dengan
fondasi tiang vertikal yang mensyaratkan tiang harus dipancang sebelum konstruksi
timbunan.
Pada tanah lunak yang dalam, desain seperti itu akan menimbulkan beban lateral yang
lebih
besar pada tiang.
Titik sambungan, memerlukan perhatian khusus
Kantung penyeimbang untuk
penyesuaian penurunan
Tertahan untuk gerakan
lateral
Pergerakan tanah
Untuk kasus fondasi jelek yang umum
Penahan longsor untuk
gerakan longitudinal
75
DGH (1992) diterapkan, yang tidak akan mengakibatkan terjadinya beban pada
tiang, maka faktor keamanan yang lebih rendah seperti yang direkomendasikan
pada Tabel 5-7 dapat digunakan. Meskipun demikian, hal ini tidak akan
mencukupi bila termasuk beban gempa dan suatu analisis beban gempa harus
dilakukan pada bagian timbunan yang akan mempengaruhi stuktur.
76
8 Pertimbangan untuk Pelebaran Jalan
Bila suatu jalan akan diperlebar untuk menambah lajur atau memperbaiki
alinyemen, pertimbangan stabilitas dan penurunan yang berlaku umum untuk
jalan baru, juga dapat diterapkan. Namun demikian, pada kasus ini, faktor lain
perlu diperhatikan, seperti dijelaskan di bawah ini.
Penyelidikan lapangan harus mengidentifikasi konstrusi jalan yang ada, apakah
ada perbaikan tanah atau pemindahan tanah yang telah dilakukan, dan faktor
lainnya yang spesifik pada waktu pelaksanaannya.
Adalah sangat membantu, bila gambar konstruksi bisa diperoleh, tetapi
penyelidikan lapangan harus didesain untuk memastikannya.
Bila terdapat lapisan tanah lunak di bawah jalan yang ada, maka pelebaran
timbunan baru di dekatnya, akan menyebabkan penurunan lebih lanjut seperti
diperlihatkan pada Gambar 8-1. Besarnya penurunan dapat dihitung dengan
melakukan analisis tegangan elastis untuk menghitung kenaikan tegangan dan
konsolidasi secara teoritis, seperti dijelaskan pada Bab 6.3.
jalan
lama
jalan
baru
0.5p
0.3p
0.1p
p
Pola/lingkaran
tegangan

Gambar 8-1 Kenaikan Tegangan di Bawah Jalan Lama


Bila direncanakan dilakukan penggalian tanah lunak sepanjang alinyemen jalan
baru, maka harus direncanakan :
a) seberapa jauh galian tersebut harus dilakukan masuk ke dalam timbunan
jalan lama,
b) bagaimana dinding galian harus ditopang.
Konsekuensi dari tidak diperhatikannya hal-hal tersebut diperlihatkan pada
Gambar 8-2.
77

Gambar 8-2 Penggalian Tanah Lunak di Sekitar Jalan Lama


78
9 Proses Pengambilan Keputusan
9.1 PENGANTAR
Proses pengambilan keputusan dilakukan setelah semua data yang dibutuhkan
telah terkumpul dan dianalisis. Namun proses pengambilan keputusan harus
dipahami sebelum pengumpulan data dan analisis dilaksanakan, sehingga
informasi yang tepat telah tersedia untuk para pengambil keputusan.
Untuk menghasilkan suatu keputusan yang terstruktur, proses pengambilan
keputusan harus mengikuti prosedur yang diperlihatkan pada Gambar 9-1.
Setiap langkah pada proses tersebut dijelaskan pada bagian selanjutnya dengan
mengacu pada gambar tersebut.
Model keputusan terstruktur biasanya tidak digunakan pada desain rekayasa struktur,
karena
peraturan desain struktur umumnya telah menjamin kualitas yang dapat diterima dan
resiko yang
rendah. Oleh karenanya, desain alternatif yang sesuai dengan peraturan dapat dipilih
hanya
berdasarkan pertimbangan biaya.
Dalam desain geoteknik, hal tersebut tidak berlaku. Kualitas, waktu dan resiko jarang
dipertimbangkan secara eksplisit, atau dipertimbangkan secara semestinya.
Pengambilan keputusan geoteknik, sering dilakukan oleh ahli yang berpengalaman yang
menyertakan secara implisit faktor-faktor tersebut. Akibatnya, proses pengambilan
keputusan tidak
bisa dimengerti oleh orang lain, dan tidak dapat dikaji ulang jika keadaan berubah.
Model keputusan terstruktur juga memperlihatkan, bahwa bagi kebanyakan desain
geoteknik untuk
konstruksi jalan adalah tidak mungkin untuk mencapai suatu hasil yang memuaskan
untuk semua
pihak. Jika Pemilik Proyek telah menetapkan anggaran dan waktu, maka kualitas jadi
terbatas dan
Ahli Geoteknik mungkin tidak akan dapat menghasilkan desain yang memenuhi standar
yang
diinginkan.
79
Tentukan
Persoalan
[9.2]
Tentukan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Proses
Pengambilan Keputusan
[9.3]
Tentukan berbagai
Pilihan yang
Mungkin
[9.4]
Hitung Masing-masing Biaya Setiap Pilihan
[9.5]
Analisis Pengambilan Keputusan
Tentukan Pilihan Terbaik
[9.6]
Laporan
Tujuan
Penyelidikan
Geoteknik
[Panduan
Geoteknik 2]
Pilihan 1
Pilihan 5Pilihan 4Pilihan 3Pilihan 2Pilihan 1
Pilihan 2 Pilihan 3 Pilihan 4 Pilihan 5

Gambar 9-1 Proses Pengambilan Keputusan


80
9.2 MENGIDENTIFIKASI MASALAH YANG HARUS
DIPECAHKAN
Masalah yang harus dipecahkan dapat dilihat pada tujuan Ahli Geoteknik di
Panduan Geoteknik 2, masalah tersebut harus disaring dari tujuan lainnya dan
dinyatakan secara tertulis pada permulaan proses desain. Sebuah contoh
diberikan pada .
Tabel 9-1 Contoh Lembar Tujuan Desain

Proyek: Jalan penghubung X ke Y


Tujuan Desain Geoteknik
1 Desain timbunan biasa (Zona 1, 2, 4) untuk suatu periode konstruksi
maksimum 18 bulan
2 Desain oprit jembatan Kali K (Zona 3) termasuk hubungan dengan ahli
struktur
3 Desain fondasi gorong-gorong kotak pada Sta 5 + 050 (Zona 5)
4 Persiapan Spesifikasi Khusus untuk persyaratan yang tidak ada dalam
Spesifikasi Standar
5 Identifikasi pengawasan lapangan dan persyaratan pengujian bahan
6 Persiapan rencana pemantauan
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk ___________________________
Tanggal ______________
9.3 MENGIDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG AKAN
MEMPENGARUHI PROSES PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
Faktor-faktor yang akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan biasanya
akan sama untuk semua proyek, seperti ditunjukkan pada Tabel 9-2.
Bobot yang diterapkan terhadap faktor-faktor tersebut akan berbeda antara satu
proyek dengan proyek lainnya, dan Ahli Geoteknik yang Ditunjuk tidak perlu
berada dalam posisi untuk mengenali semua faktor atau bobot yang diberikan.
Namun dengan mengikuti prosedur yang dipaparkan pada Panduan ini, ia akan
dapat memperhatikan semua faktor tersebut, dan memastikan bahwa Ketua Tim
dan Kepala Proyek akan mempertimbangkan semuanya dengan cara yang layak.
Jika memungkinkan Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus mendapatkan
persetujuan atas bobot yang dipilih, sebelum melaksanakan desain; jika hal ini
tidak memungkinkan, maka hal ini harus dinyatakan dalam Laporan Desain.
Sebagai permulaan yang sederhana, Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus
mempersiapkan suatu Tabel yang mengidentifikasi semua faktor yang dianggap
penting terhadap proyek, dan mengenali secara subyektif perkiraannya terhadap
81
pembobotan faktor-faktor tersebut, tingkat kepentingannya serta dan alasannya.
Sebuah contoh diberikan pada Tabel 9-2.
Perlu dicatat bahwa, jika bobot atas Faktor-faktor yang diidentifikasi semuanya
Tinggi, maka proses tersebut tidak akan ada artinya. Beberapa faktor pasti
memiliki tingkat kepentingan yang lebih dari lainnya, dan analisis pembobotan
harus dapat mengidentifikasi hal ini. Sebagai panduan umum tidak boleh ada
TIGA faktor yang memiliki bobot yang tinggi.
Tabel 9-2 Faktor-faktor dan Pembobotan untuk Proses pengambilan Keputusan
Faktor Bobot Komentar
Biaya Biaya Modal Tinggi Anggaran telah ditetapkan
Biaya Perawatan Rendah Anggaran perawatan terpisah; tidak ada
pertimbangan biaya seumur hidup
Waktu Masa Kontrak Konstruksi Tinggi Periode pinjaman (loan) membutuhkan
pekerjaan tanah selesai dalam 2 waktu
tahun
Kualitas Kualitas permukaan
perkerasan
Rendah Untuk memenuhi standar yang ada
Resiko Resiko keterlambatan
konstruksi
Rendah Periode perpanjangan waktu biasanya
disetujui.
Kontraktor tidak mengklaim atas
keterlambatan akibat kesalahan desain.
Resiko kegagalan selama
konstruksi
Menengah Kegagalan biasanya terjadi di daerah ini
Resiko kegagalan atau
perawatan yang besar
setelah konstruksi
Rendah
Dampak
Lingkungan
Gunakan bahan-bahan
alami
Rendah Penggunaan kayu mungkin
mendapatkan hambatan dari LSM
Dampak lalu-lintas akibat
konstruksi
Sangat
rendah
Daerah yang padat lalu-lintas
Aliran air permukaan dan
polusi air tanah
Sangat
rendah
Air permukaan yang ada tidak
berkualitas tinggi
Dampak
Sosial
Kebutuhan lahan Tinggi Pengalaman sebelumnya di daerah ini
9.4 PEMILIHAN DAN ANALISIS ATAS BERBAGAI
PILIHAN
Pilihan-pilihan yang tersedia dijabarkan pada Panduan Geoteknik ini. Semua
pilihan yang layak harus diidentifikasi sebagai tahap awal dalam proses
pengambilan keputusan.
Analisis rekayasa yang mendalam tidak diperlukan atas semua pilihan yang ada.
Biasanya dimungkinkan untuk menghilangkan beberapa pilihan dari suatu
penilaian awal mengenai kelebihan dan kekurangannya, seperti diperlihatkan
82
pada contoh terpisah di 2. Perlu dicatat bahwa kelemahan tersebut berkaitan
dengan proyek tertentu dan tidak boleh diambil langsung dari tersebut yang
dinyatakan pada ceklist dalam Lampiran A.
Tabel 9-3 Contoh Terpisah Keputusan Penolakan Awal
Proyek: Jalan Penghubung X ke Y
Lokasi Zona A: Timbunan Oprit Jembatan
Keputusan Penolakan Awal
Pilihan Kriteria Penolakan Komentar
Lantai bertiang Sangat mahal Pengeluaran tidak dibenarkan untuk
Jalan Kabupaten
Konstruksi satu
tahap untuk
timbunan biasa
Tidak stabil tanpa berem pratibobot
yang besar
Penurunan jangka panjang akan
besar

9.5 MENGIDENTIFIKASI BIAYA UNTUK SETIAP PILIHAN


Semua pilihan yang dikemukakan pada Panduan Geoteknik ini yang tidak
ditolak pada tahap awal proses pengambilan keputusan di atas, harus dianalisis
untuk mengidentifikasi biaya setiap faktornya. Perhitungan biaya
membutuhkan:
· desain awal,
· suatu kaji ulang terhadap desain untuk mengidentifikasi biaya.
Dalam konteks ini “Biaya” tidak hanya berkaitan dengan biaya dalam arti
moneter. Hal ini termasuk pula dampak lingkungan, sosial dan resiko. Sejauh
ini suatu nilai moneter telah diberikan pada semua dampak tersebut sehingga
didapatkan biaya moneter yang sebenarnya untuk dinilai. Meskipun demikian,
untuk proyek pembangunan jalan, pada saat ini tidak ada suatu model yang
telah dikembangkan yang menyertakan banyak variabel. Bahkan jika model
yang sangat sederhana diterapkan, pemilihan informasi yang cocok yang
relevan untuk Indonesia dalam hal-hal seperti laju penurunan kualitas jalan,
biaya penundaan, biaya perawatan dan seterusnya, akan merupakan pekerjaan
yang besar.
Satu contoh evaluasi diperlihatkan pada Tabel 9-4, yang hanya meliputi dua
pilihan, dengan pembobotannya telah ditentukan.

83
Tabel 9-4 Contoh Mengidentifikasii Biaya dari Dua Pilihan
Jalan Penghubung dari X ke Y
Lokasi Zona A: Timbunan Oprit Jembatan
Pilihan 1 Pilihan 2
Faktor Bobot Biaya Biaya
Biaya Biaya Awal/Modal Tinggi Rp8.5juta/
m lari
Rp10.4juta/m
lari
Biaya Perawatan Rendah 3 2
Waktu Masa Kontrak Konstruksi Tinggi 4 2
Kualitas Kualitas permukaan
perkerasan
Rendah 3 2
Resiko Resiko penundaan konstruksi Rendah 5 1
Resiko kegagalan selama
konstruksi
Menengah 2 1
Resiko kegagalan atau
perawatan yang besar setelah
konstruksi
Rendah 2 2
Dampak
Lingkungan
Penggunaan bahan alami Rendah 3 4
Dampak lalu-lintas akibat
konstruksi
Sangat
rendah
22
Aliran air permukaan dan
polusi air tanah
Sangat
rendah
11
Dampak
Sosial
Kebutuhan Lahan Tinggi 4 1

Pilihan 1 Penyalir vertikal dan konstruksi bertahap dengan beban tambahan


Pilihan 2 Tiang kayu dan matras yang diperkuat dengan geogrid
Kecuali modal awal, pada contoh ini masing-masing bagian dinilai pada kolom
Biaya pada skala dari 1 sampai 5:
1) biaya/dampak/resiko sangat rendah,
2) biaya/dampak/resiko rendah,
3) biaya/dampak/resiko sedang,
4) biaya/dampak/resiko tinggi,
5) biaya/dampak/resiko sangat tinggi.
Skala apapun yang memudahkan dapat digunakan.

84
9.6 PENETAPAN PILIHAN TERBAIK
Informasi yang memadai harus sudah tersedia untuk menetapkan pilihan yang
terbaik atau untuk mengidentifikasikan pilihan dengan biaya yang berbedabeda.
Proses pengambilan keputusan bisa diselesaikan dengan menggunakan
pendekatan numerik atau dengan melakukan Analisis Biaya secara subyektif.
Karena adanya kesulitan dalam dengan menetapkan biaya moneter terhadap
berbagai faktor, disarankan bahwa pendekatan subyektif diadopsi secara umum.
Pada kasus seperti Tabel Keputusan pada Tabel 9-4, yang hanya
membandingkan dua pilihan, hanya melihat pada pilihan yang berbobot tinggi.
Pilihan 1 sekitar 10% lebih murah, tetapi memiliki dampak yang tinggi pada
periode konstruksi dan pada kebutuhan lahan. Kecuali jika terdapat keterbatasan
anggaran yang ketat, kemungkinan Pilihan 2 akan disarankan.
Suatu metode semi kuantitatif yang memungkinkan hasil dipresentasikan secara
grafis diperlihatkan pada Gambar 9-2. Angka-angka diperoleh dengan
Menentukan Biaya
Sistem evaluasi dan pembiayaan yang lebih kompleks atau penilaian masing-masing
faktor
dapat dipertimbangkan jika proyek menjamin pekerjaan tambahan ini. Terutama:
Pembiayaan seumur hidup (Whole life costing)
Untuk masing-masing desain, pembiayaan seumur hidup konstruksi
dihitung. Hal ini melibatkan identifikasi biaya perawatan, biaya kegagalan
yang dapat terjadi di masa yang akan datang, termasuk biaya
keterlambatan akibat dari kegagalan tersebut. Maka biaya dihitung dengan
harga pada saat ini.
Sayangnya sangat sedikit petunjuk terhadap perbedaan biaya-biaya yang
akan terjadi selama umur jalan sebagai akibat dari metode konstruksi
yang berbeda. Meskipun suatu estimasi bisa dibuat berkenaan dengan
penurunan kualitas perkerasan dan bahkan kegagalan, konsekuensi
berkenaan dengan biaya tidak bisa secara mudah diestimasi. Oleh karena
itu, model pembiayaan seumur hidup seperti itu tidak pernah
dikembangkan untuk membuat keputusan geoteknik kecuali untuk kasuskasus yang
sangat terbatas.
Penilaian Resiko
Kemungkinan hasil yang beragam dari tiap tipe desain bisa diperkirakan
melalui penilaian resiko. Seperti dalam kasus pembiayaan seumur hidup,
penilaian resiko berkenaan dengan hal geoteknik untuk konstruksi jalan
tidak begitu maju, dibandingkan dengan bidang lain seperti industri tenaga
nuklir, industri kimia, dan perminyakan. Akibatnya, penilaian resiko
membutuhkan masukan subyektif yang cukup besar dari seorang Ahli
geoteknik yang sudah terbiasa dengan tipe proyek dan prosedur-prosedur
resiko.
85
menetapkan suatu skala dari 1 (sangat rendah) sampai 4 (tinggi) untuk uraian
pembobotan dan mengalikan bobot ini dengan biaya.
0 5 10 15 20
Modal Awal
Biaya Pemeliharaan
Masa Kontrak Konstruksi
Mutu Permukaan Perkerasan
Resiko Terlambat dalam Konstruksi
Resiko Kegagalan selama Konstruksi
Resiko Kegagalan atau Pemeliharaan ya..
Penggunaan Material Alami
Dampak Lalulintas selama Konstruksi
Polusi Air Permukaan dan Air Bawah Tanah
Kebutuhan Lahan
Skala (Sembarang)
Pilihan 2
Pilihan 1

Catatan: Nilai Modal Awal telah dibagi dengan 5 untuk menghindari kesan yang
menyesatkan
akibat bobot yang tinggi.
Gambar 9-2 Perbandingan Berbagai Pilihan yang Digambarkan secara Grafis
Moneterisasi Biaya (Monetarisation)
Jika biaya semuanya dinilai dalam uang (Rupiah) maka Biaya Bobot Total dari masing-
masing
pilihan bisa dihitung
Biaya Bobot Total = Ó (Pembobotan * Biaya)
Tetapi akan menyesatkan bila biaya hanya diidentifikasi pada suatu skala nominal seperti
pada Tabel 9-4 karena skala akan memiliki arti yang berbeda untuk masing-masing
faktor, dan
hasilnya tidak bisa secara bersamaan dijumlahkan karena tidak akan memiliki arti.
86
Jika terdapat daerah yang mengandung ketidakpastian dalam proses
pengambilan keputusan Ahli Geoteknik yang Ditunjuk harus
mempertimbangkan untuk melakukan penyelidikan tambahan atau uji coba,
seperti dijelaskan pada Bab 11, untuk menentukan prilaku tanah.
9.7 PELAPORAN PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN
DAN REKOMENDASI
Laporan Desain mengidentifikasi pilihan yang disarankan untuk setiap elemen
proyek, dan menyajikan alasannya dalam format berikut ini:
· solusi yang disarankan dengan Nilai berdasarkan pada Tabel 9-4,
· lampiran yang memperlihatkan semua solusi yang telah dianalisis dengan
nilai seperti yang diperlihatkan pada Tabel 9-4,
· lampiran yang memperlihatkan solusi yang tidak dianalisis seperti yang
ditunjukkan pada 3.
87
10 Laporan Desain
Laporan Desain harus memenuhi tujuan-tujuan berikut:
· berisi gambaran yang jelas mengenai logika rekomendasi yang dibuat dan
data yang digunakan untuk mencapai rekomendasi,
· memberikan suatu acuan untuk keperluan yang akan datang jika desain
perlu diganti atau jika ditemukan masalah selama pelaksanaan,
· memungkinkan acuan selanjutnya untuk interpretasi data oleh ahli lain
pada proyek lain.
Laporan Desain harus berisi informasi seperti tercantum di bawah ini. Jika ada
bagian yang tidak dimasukkan dalam Laporan, maka alasan penghilangannya
harus diberikan.
Sampul
Lihat format di Lampiran E
Laporan harus secara jelas disebutkan statusnya, sebagai
AWAL jika tidak semua isi yang diinginkan dicantumkan
DRAF jika isi laporan lengkap, tetapi sedang diedarkan untuk
dikomentari. Draf dapat pula mengandung isi yang
belum diedit.
AKHIR
Sebuah tanggal harus selalu diperlihatkan pada sampul.
Rangkuman Eksekutif
Identifikasi Unit Tanah yang utama dan solusi yang disarankan untuk masingmasing
Zona Proyek.
Rangkuman Eksekutif harus memadai untuk memberikan masukan geoteknik
terhadap Laporan Desain Proyek.
Daftar Isi
Harus berisi daftar tiap bab dari suatu laporan, dengan nomor halaman. Harus
berisi semua Tabel, Gambar, Gambar Teknik dan Lampiran.
88
Lihat format pada Lampiran E
Lembar Pemenuhan
Lihat format pada Lampiran E 3
Jika Laporan merupakan Laporan Awal atau Draf maka hal ini harus
disebutkan.
Pendahuluan
Memberikan rujukan penuh terhadap Laporan Faktual.
Menyebutkan tanggal pekerjaan dilaksanakan: lihat Lampiran A Ceklist 1.
Menyebutkan aspek-aspek yang penting dari pekerjaan.
Jika merupakan Laporan Awal, nyatakan lingkup pekerjaan yang dicakup dan
apa hal apa saja yang masih harus dilakukan.
Penjelasan Tujuan
Ulangi tujuan yang didefinisikan pada permulaan proses desain pada Bab 8.2
dari Panduan, dan identifikasi tiap modifikasi yang dibuat terhadap tujuan
selama proses desain.
Bagian akhir dari bab ini harus diberi Sub Judul :
Pencapaian Tujuan
Salah satu dari dua paragraf berikut ini harus dimasukkan pada Bab ini:
Tujuan proses desain telah dicapai.
Beberapa tujuan dari proses desain belum dicapai, seperti dijelaskan di
bawah ini:
Jika paragraf kedua yang diadopsi, maka tujuan yang belum dicapai harus
disebutkan, bersama dengan alasan mengapa belum tercapai. Rujukan harus
dimasukkan jika terdapat bagian lain dari laporan yang berkaitan dengan bagian
khusus ini.
89
Gambaran Lokasi
Patok/titik dan sistem koordinat yang digunakan untuk pengukuran dan
hubungannya dengan Titik Tetap Nasional.
Topografi – suatu gambaran yang cukup untuk memasukkan bab berikut dalam
konteks termasuk detil/elevasi tanah asli.
Sistem drainase – penjelasan yang cukup sehingga pembaca mengerti apa
pengaruh dari sistem drainase terhadap desain geoteknik.
Suatu Denah Kunci yang cukup rinci sehingga seseorang bisa menemukan
lokasi dengan mudah.
Denah Umum yang cukup rinci untuk memperlihatkan detil proyek, topografi
dan detil drainase.
Geologi
Geologi regional – rangkuman berdasarkan pada data yang dipublikasi atau
lainnya . Peta dan data lainnya harus diidentifikasi. Jika Ahli Geoteknik yang
ditunjuk mengidentifikasi adanya kekurangan pada data yang dipublikasi, dan
melakukan interpretasi geologi regional untuk proyek, maka hal ini harus
dijelaskan.
Geologi lokal – interpretasi geologi lokal berdasarkan hasil penyelidikan
lapangan dan membandingkan dengan geologi regional. Peta geologi dan
potongan harus disertakan untuk memperjelas interpretasi.
Contoh: Pencapaian Tujuan
Beberapa tujuan proses desain belum dicapai, seperti dijelaskan sbb:
Tanah sekitar Lokasi Jembatan 23 telah dimanfaatkan untuk perumahan
murah, dan lokasi untuk membuat lubang bor sangat terbatas. Kondisi tanah
sekitar jembatan cukup variatif, dan informasi yang diperoleh hanya cukup
untuk menyajikan interpretasi kondisi tanah yang bersifat pendahuluan.
Rekomendasi untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk desain
oprit jembatan dimasukkan pada Bab 19.3.2.
Elevasi banjir desain untuk Seksi 3 Proyek (Zona 7 sampai 11) belum
diselesaikan. Desain Geoteknik Zona 7 sampai 11 harus ditinjau ulang
setelah elevasi timbunan akhir sudah ditentukan.
Jika elevasi tanah asli pada lokasi penyelidikan lapangan belum diukur dan belum
dihubungkan dengan suatu datum permanen (titik tetap), maka hal ini dapat dianggap
sebagai suatu kegagalan pemenuhan Tujuan. Ahli Geoteknik yang Di tunjuk harus
memberikan alasan yang jelas mengapa ini dapat terjadi.
90
Stratigrafi proyek – mengikuti penjelasan geologi lokal, gambaran ini akan
mengidentifikasi interpretasi Stratigrafi di lokasi proyek, dengan menggunakan
peta dan penampang geologi.
Variasi lithologi – Hal ini akan menjadi suatu pengantar terhadap gambaran
selanjutnya dari Unit Tanah dan akan mengidentifikasi varias yang penting
dalam konteks rekayasa geoteknik atau dalam menginterpretasi Unit Tanah
yang berbeda.
Hidrogeologi
Elevasi air tanah – elevasi yang diukur selama penyelidikan dan interpretasi
variasi elevasi air tanah.
Aliran – gambaran aliran air tanah yang mungkin dan penjelasannya.
Pengaruh musim – pertimbangan waktu saat penyelidikan dilaksanakan dan
pengaruhnya terhadap muka air tanah dalam jangka panjang.
Pengaruh pasang surut – untuk lokasi dekat, atau di daerah jangkauan pasang
surut, dan pengaruhnya terhadap muka air tanah.
Banjir – Ahli Geoteknik yang ditunjuk diharapkan akan mendapat informasi
dari ahli hidrologi mengenai elevasi banjir desain dan kemungkinan elevasi
banjir maksimum. Persyaratan desain untuk desain geoteknik kemudian
ditetapkan, dan dasar kriteria desain dijelaskan.
Sifat-sifat kimia air tanah – sifat perusak dari air tanah terhadap bahan
bangunan.
Parameter Desain
Umum
Kaji ulang nilai-nilai indeks dan parameter lainnya, dan rujukan kembali ke
Geologi, untuk mengidentifikasi alasan pemilihan Unit Tanah.
Rujukan kelampiran untuk menjelaskan semua data yang ditolak. Bila tidak ada
data yang ditolak, maka pernyataan berikut ini harus disertakan
Semua data yang diperoleh dari Penyelidikan Tanah, telah dikaji dan
dipandang telah memadai untuk keperluan desain geoteknik.
Gambar-gambar yang memperlihatkan distribusi Unit Tanah di lokasi proyek.
Penampang masing-masing Unit Tanah:
Analisis data untuk masing-masing nilai indeks dan parameter tanah untuk
desain.
91
Kesimpulan mengenai kisaran nilai yang benar. Untuk parameter yang
digunakan dalam desain, kesimpulan mengenai desain yang cocok.
Tabel yang merangkum semua parameter desain: lihat contoh pada Lampiran E.
Prosedur Desain:
Pengantar
Identifikasi persyaratan desain – penjelasan proyek dan rujukan penuh terhadap
rencana umum dan gambar lainnya yang disediakan dan digunakan untuk
desain.
Identifikasi setiap keterbatasan terhadap desain: periode kontrak, ketersediaan
lahan, anggaran yang tersedia.
Standar dan Peraturan yang Digunakan dalam Desain Geoteknik.
Parameter desain umum: elevasi banjir – beban gempa – persyaratan beban
hidup
Identifikasi masing-masing struktur bangunan yang akan didesain dengan suatu
tabel rangkuman persyaratan-persyaratannya.
Zonasi Lokasi
Penjelasan sistem zonasi yang digunakan untuk proyek termasuk bangunan
fisiknya.
Rangkuman Desain & Kesimpulan
Desain : Berbagai Pilihan – Rekomendasi.
Untuk masing-masing Zona dan untuk masing-masing struktur bangunan:
· identifikasi masalah – merujuk ke hasil-hasil perhitungan, yang akan
dimasukkan atau dirangkumkan pada Lampiran – identifikasi solusi-solusi
yang tersedia,
· siapkan matriks keputusan – identifikasi solusi yang diinginkan dan solusi
lainnya yang diperingkat berdasarkan urutan pilihan yang lebih baik,
· rangkum masing-masing struktur bangunan, kenali Zona dan solusi yang
disarankan dalam suatu format tabel.
Spesifikasi dan Kontrak
Sertakan spesifikasi khusus dan persyaratan lainnya yang akan dimasukkan
dalam Kontrak.
92
Identifikasi tingkat Supervisi yang diperlukan dan pengalaman minimum dari
ahli yang melakukan Supervisi.
Isu Lingkungan
Rangkum dampak lingkungan dan mengacu pada Laporan Lingkungan untuk
Proyek.
Referensi
Semua sumber informasi, metode desain dan data eksternal lainnya yang
digunakan dalam laporan, harus dirujuk secara penuh.
Tabel
Gambar
Gambar Teknik
Semua gambar teknik harus berisi informasi sbb :
Untuk semua gambar teknik: skala, nomor gambar teknik, rujukan terhadap
sumber data untuk informasi pengamatan lapangan dan sebagainya.
Untuk denah (peta) perlu tambahan: Penunjuk arah utara, grid (bujur / lintang).
93
11 Uji Coba
Uji coba dilaksanakan untuk pelaksanaan proyek dimaksudkan untuk
konfirmasi prilaku yang diasumsikan. Uji coba hanya dibenarkan jika asumsi
yang diambil akan menghasilkan penghematan biaya yang besar, dan akan
menimbulkan tambahan biaya yang besar jika asumsi tersebut yang diambil
ternyata salah.
Keuntungan yang maksimum dari uji coba dapat diperoleh bila pelaksanaan uji
coba serta hasilnya dipergunakan dalam desain, dan uji coba tersebut
dilaksanakan sebelum kontrak konstruksi ditenderkan. Namun dengan adanya
kontrak sebelum turunnya Daftar Isian Proyek (DIP) yang biasanya dilakukan
di Indonesia, pendekatan ini biasanya tidak memungkinkan, dan uji coba perlu
dimasukkan di dalam kontrak konstruksi. Meskipun uji coba seperti ini akan
memberikan beberapa keuntungan pelaksanaan konstruksi, keuntungan bagi
pemilik proyek menjadi sangat berkurang.
Uji coba yang mungkin diperlukan untuk desain timbunan dan pelaksanaan
pada tanah lunak adalah :
· uji coba timbunan percobaan untuk membebani tanah dan mengenali
perilaku tanah,
· uji coba timbunan yang menggunakan perkuatan, matras atau bahan
timbunan khusus untuk meyakinkan bahwa hal tersebut bisa dilaksanakan
dengan keahlian yang ada, dan untuk menentukan prosedur pengendalian
mutu dalam pelaksanaannya,
· uji coba galian untuk mengetahui prosedur yang memuaskan dalam hal
memindahkan atau memperbaiki tanah lunak,
· uji coba instalasi perbaikan tanah untuk mengetahui prilaku tanah lunak,
· uji coba tiang untuk mengetahui daya dukung tiang dan syarat
pemancangannya.
Uji coba dapat saja terdiri atas kombinasi dari aspek-aspek tersebut diatas
Keuntungan uji coba sebaiknya diidentifikasi dengan suatu analisis keuntungan
biaya yang sederhana. Biaya membangun timbunan atau suatu alternatif
struktur, menggunakan parameter dan data yang diketahui, dan menghasilkan
desain yang secara konservatif bisa diterima, harus diestimasi sebagai biaya
dasar. Kemudian tujuan dari suatu percobaan adalah untuk mencoba
mengurangi biaya dasar ini. Beberapa estimasi harus dibuat mengenai biaya
konstruksi jika uji coba berhasil; sehingga penghematan biaya bisa
dibandingkan dengan biaya percobaan. Sebuah contoh pendekatan diberikan
berikut ini.
94
Sebelum melaksanakan uji coba prosedur berikut harus diselesaikan
· identifikasi tujuan khusus dari uji coba,
· siapkan desain lengkap untuk uji coba,
· siapkan prediksi prilaku timbunan, dan identifikasi variasi yang mungkin
dari perkiraan terbaik ini
· rencanakan program dan skema pemantauan yang sesuai dengan prilaku
yang diprediksi dan variasi yang diprediksi, dengan memperhatikan
petunjuk pada Bab 13 dari Panduan ini,
· identifikasi jangkauan hasil yang didapat dari uji coba, dan identifikasi
konsekuensinya terhadap desain.
Bentuk yang paling umum dari percobaan adalah uji coba timbunan percobaan,
dan garis besar prosedur untuk melaksanakan timbunan percobaan diberikan
pada Lampiran F.

Contoh: Mengidentifikasi Keuntungan dari Suatu Percobaan


Suatu jalan dekat pantai dengan panjang sekitar 4 km direncanakan akan dibangun di atas
tanah
lunak sedalam 20 m. Untuk mempertahankan jalan di atas elevasi banjir dan
mempertimbangkan
penurunan regional di masa yang akan datang, perkerasan jalan harus mempunyai elevasi
4m
di atas elevasi tanah asli.
Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan akan terjadi jika dipaksakan untuk
membangun
timbunan setinggi 4 m tanpa perlakuan khusus. Dua pilihan dipertimbangkan untuk
membangun
jalan tersebut:
Struktur dengan fondasi tiang, dengan biaya Rp 20 Miliar per kilometer, tentu
saja akan memberikan solusi yang memuaskan secara teknis
Konstruksi bertahap menggunakan penyalir vertikal untuk mempercepat
konsolidasi, dengan biaya sekitar Rp 11 Miliar per kilometer, tetapi dengan
pertanyaan yang belum bisa dijawab mengenai waktu yang diperlukan untuk
tiap tahap dan program pelaksanaannya.
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk memperkirakan 80% kemungkinan bahwa solusi
konstruksi
bertahap bisa diselesaikan dalam waktu dua tahun yang merupakan batas waktu
maksimum
yang bisa diterima proyek.
Uji coba dengan skala penuh dengan instrumentasi dengan pilihan penyalir vertikal
membutuhkan biaya Rp 1 milliar. Jika waktu memang memungkinkan untuk
melaksanakan uji
coba, maka jelas bahwa secara ekonomis sangat menarik untuk dilakukan uji coba karena
pengeluaran sebesar Rp 1 miliar akan memberikan kemungkinan 80% penghematan dari
Rp 36
miliar untuk jalan sepanjang empat kilometer. Jika waktu tidak memungkinkan untuk
melaksanakan uji coba menurut program proyek yang ada, maka Ahli Geoteknik yang
Ditunjuk
harus bisa menunjukkan penghematan biaya dan penurunan resiko yang dapat diperoleh,
jika
proyek dijadwal ulang untuk memungkinkan dilaksanakannya uji coba tsb.
95
12 Kontrak dan Pelaksanan
12.1 PENGADAAN KONTRAK
Ahli Geoteknik yang ditunjuk akan diminta untuk memeriksa semua gambar
tender dan spesifikasi yang berisi pekerjaan geoteknik, dan menyiapkan lembar
catatan sehingga memenuhi persyaratan desain geoteknik.
Prakualifikasi kontraktor merupakan suatu keharusan untuk solusi yang khas.
Prakualifikasi konsultan supervisi juga diperlukan, sementara berkenaan dengan
spesifikasi, pihak produsen biasanya menyediakan bantuan keahlian khusus
dalam hal supervisi pelaksanaannya.
Jika penyerahan tender meliputi usulan alternatif pelaksanaan atau pernyataan
metoda pelaksanaan yang berkaitan dengan pekerjaan geoteknik, maka Ahli
Geoteknik yang ditunjuk harus mempelajarinya dan mempersiapkan suatu
laporan untuk Panitia Evaluasi Tender.
12.2 PELAKSANAAN
Kualitas adalah faktor yang terpenting dalam pelaksanaan. Kegagalan untuk
mematuhi spesifikasi merupakan penyebab banyak kegagalan jalan di Indonesia
dibandingkan penyebab lainnya. Oleh karena itu penting bagi perencana untuk
memberikan spesifikasi, yang lengkap. Jika pekerjaan pelaksanaan tidak
tercakup dalam spesifikasi umum, maka spesifikasi bahan yang lengkap,
metodologi pelaksanaan dan kualitas hasil pekerjaan harus diberikan.
Untuk material tertentu, pihak produsen akan memberikan spesifikasi yang
lengkap dan metodologi pelaksanaannya. Dan ini harus dimasukkan ke dalam
dokumen kontrak dan diperiksa apakah tidak ada yang bertentangan dengan
spesifikasi umum.
Sistem pengendalian mutu harus ditetapkan dan diimplemantasikan. Jika
terdapat persyaratan khusus yang akan mempengaruhi metode pelaksanaan atau
memerlukan masa tenggang dalam pekerjaan, hal ini harus diklarifikasi pada
tahap tender, agar kontraktor dapat memasukkannya ke dalam harga penawaran
dan program pelaksanaannya.
Metode pelaksanaan yang diberikan kontraktor harus menyebutkan peralatan
yang akan digunakan. Harus diyakinkan bahwa peralatan tersebut sesuai untuk
96
pekerjaaan di atas tanah lunak. Kemungkinan bahwa spesifikasi untuk
pemadatan timbunan, tidak bisa dicapai pada lapisan timbunan awal yang
memerlukan lapisan yang cukup tebal untuk mendukung peralatan. Dengan
syarat lapisan timbunan bagian atas yaitu sekitar 1,5 m harus dipadatkan dengan
mengikuti spesifikasi. Hal ini tidak berarti bahwa usaha untuk memadatkan
lapisan bagian bawah tidak perlu dilakukan. Hal ini harus diklarifikasi pada
waktu penjelasan pra-kontrak.
Kecuali pada proyek yang besar, pengawasan biasanya dilaksanakan oleh Ahli
Jalan Raya dengan petunjuk teknis dari Ahli Geoteknik yang Ditunjuk sesuai
kebutuhan. Jika teknik-teknik khusus tertata diperlukan atau material spesifik
yang digunakan, Ahli geoteknik yang Ditunjuk harus menyiapkan prosedur
untuk pengendalian mutunya.
Pembersihan lahan: pada umumnya, jika lahan tertutup tumbuh-tumbuhan, akan
lebih efektif untuk tidak membersihkan dan membuang lapisan permukaan.
Akar-akar akan memberikan perkuatan sehingga lebih memudahkan dalam
pelaksanaan. Lebih baik memotong atau membiarkan tumbuh-tumbuhan untuk
memberikan suatu pembatas antara tanah asli dan timbunan. Ini memiliki
pengaruh yang sama seperti semak belukar yang digunakan pada masa lalu di
daerah beriklim sedang.
Penumpukan material pada alinyemen timbunan tidak diperbolehkan, karena hal
ini akan menyebabkan terjadinya perbedaan penurunan pada lapisan gambut
atau menimbulkan keruntuhan geser pada lapisan tanah inorganik. Demikian
pula pada jalan sementara, baik melintang ataupun sepanjang alinyemen harus
dihindarkan.
Hal tertentu yang harus diselesaikan pada solusi desain pada Bab 2 dan 3 telah
dijelaskan pada Bab 6, dan dalam hal ini perlu diperhitungkan persyaratan
pelaksanaan dalam desain.
97
13 Pemantauan Lapangan
Masalah utama yang dihadapi seorang ahli dalam membangun timbunan jalan
di atas tanah lunak adalah adanya ketidakpastian dalam kaitannya dengan
metode analisis maupun parameter tanah yang dipilih, terutama bila
menghadapi tanah gambut. Ahli Geoteknik yang Ditunjuk mempunyai pilihan,
yaitu apakah mengadopsi suatu desain yang konservatif yang selanjutnya akan
mengakibatkan biaya konstruksi yang tinggi, atau mengadopsi solusi yang lebih
murah tetapi dengan mengambil resiko.
Resiko akan muncul karena penurunan dan stabilitas timbunan berdasarkan
pengetahuan pada saat ini masih sangat sulit untuk diprediksi secara akurat,
oleh karenanya pemantauan dan instrumentasi selama pelaksanaan diperlukan
kecuali pada metode penggantian total atau fondasi tiang. Untuk solusi-solusi
lainnya, terutama untuk penggalian sebagian, penambahan beban , konstruksi
bertahap dan penyalir vertikal, instrumentasi harus diadakan untuk mengamati
proses konsolidasi dan untuk menentukan apakah timbunan tersebut stabil.
Instrumentasi diperlukan untuk alasan sebagai berikut:
· memberikan data untuk pengukuran volume pekerjaan,.
· mengontrol prosedur atau skedul pelaksanaan,
· jika ketidakpastian desain besar dan faktor keamanan kecil,
· untuk pelaksanaan timbunan percobaan,
· untuk mengevaluasi apakah metode solusi yang diadopsi efektif,
· untuk meningkatkan pengetahuan pada saat ini.
Penjelasan singkat mengenai jenis-jenis instrumen yang ada diberikan pada
Lampiran G. Informasi lebih lanjut bisa dilihat di Dunnicliff (1988) dan Hanna
(1973).
13.1 MERENCANAKAN PROGRAM PEMANTAUAN DAN
INSTRUMENTASI
Program pemantauan harus direncanakan terdahulu dan melalui serangkaian
langkah-langkah untuk meyakinkan bahwa tujuan tersebut akan dapat dicapai.
Proses desain harus dapat mengidentifikasi perilaku timbunan yang mungkin
dan parameter yang harus diamati.
98
13.2 DESAIN TIMBUNAN
Ahli yang bertanggung jawab untuk merencanakan program pemantauan harus
mengenal berbagai aspek proyek, termasuk jenis proyek, tata letak desain
timbunan, status bangunan disekitarnya, dan metode pelaksanaan yang
direncanakan.
13.3 KONDISI LAPISAN BAWAH PERMUKAAN
Untuk perencanaan instrumentasi yang baik, Ahli Geoteknik yang Ditunjuk
harus mengumpulkan hasil penyelidikan lapangan, termasuk stratigrafi bawah
permukaan tanah, sifat-sifat teknis material bawah permukaan tanah, kondisi
air, dan kondisi lingkungan. Profil memanjang harus digambar yang
menyertakan alinyemen jalan vertikal yang direncanakan profil tanah
memanjang. Beberapa profil melintang harus dipilih pada lokasi-lokasi kritis
dan pada lokasi penyelidikan lapangan lengkap dilaksanakan.
13.4 PRA ANALISIS
Sebelum membuat suatu program instrumentasi, satu atau lebih hipotesis harus
dibuat/dikembangkan untuk memprediksi mekanisme yang kemungkinan dapat
mengontrol prilaku. Timbunan di atas tanah lunak cenderung didominasi oleh
sifat-sifat tanah lunak. Keruntuhan rotasi, atau keruntuhan fondasi mungkin saja
terjadi. Atau beban timbunan bisa menyebabkan penurunan atau pengangkatan
sebelum keruntuhan rotasi terjadi.
13.5 JUMLAH INSTRUMENTASI
Jumlah dan kompleksitas instrumentasi akan bergantung pada kelas jalan,
panjang daerah tanah lunak dan jenis masalah yang akan dihadapi. Jika tidak
terdapat masalah stabilitas dan hanya masalah penurunan, instrumentasi hanya
diperlukan untuk memantau penurunan. Jika uji coba timbunan disarankan
sebagai bagian dari desain, maka akan diperlukan instrumentasi yang lebih
ekstensif.
Jumlah, kualitas dan kompleksitas instrumentasi dibagi dalam Panduan
Geoteknik ini menjadi empat kelas, seperti ditunjukkan pada Tabel 13-1.

99
Tabel 13-1 Kelas Instrumentasi untuk Timbunan Jalan
Kelas
Instrumentasi
Tujuan Tipe Instrumen
Kelas A Kualitas tinggi dan
instrumentasi lengkap untuk
timbunan percobaan
Pelat penurunan
Penanda penurunan
Ekstensometer magnetis
Inklinometer
Pisometer
Patok geser
Kelas B Instrumentasi untuk timbunan
tinggi seperti timbunan oprit,
perbaikan tanah
menggunakan penyalir
vertikal,
prabeban/penambahan beban
lebih, konstruksi bertahap atau
penimbunan terkontrol
Pelat penurunan
Penanda penuru nan
Ekstensometer batang
Pisometer
Inklinometer
Patok geser
Alat pembaca sederhana
Kelas C Instrumentasi untuk pekerjaan
konstruksi normal
Pelat penurunan
Penanda penurunan permukaan
Pisometer
Patok geser
Kelas D Instrumentasi untuk
memantau penurunan jangka
panjang/pekerjaan rehabilitasi
Penanda penurunan permukaan
13.6 LOKASI INSTRUMEN
Pemilihan lokasi instrumen harus sesuai dengan prilaku yang diprediksi dan
metode analisis yang akan digunakan kemudian pada saat menginterpretasi
data. Analisis elemen hingga dapat membantu dalam menentukan lokasi kritis
dan orientasi instrumen, tetapi bukan merupakan hal yang esensial.
Langkah-langkah dalam menentukan lokasi instrumen sebagai berikut:
· pilih potongan melintang di mana perilaku yang diprediksi dianggap
mewakili keseluruhan daerah tanah lunak. Instrumen utama harus
ditempatkan pada potongan melintang ini. Potongan melintang dipilih pada
lokasi kritis dan pada lokasi penyelidikan lapangan lengkap dilaksanakan,
kalau tidak, penyelidikan lapangan tambahan harus dilakukan pada
potongan melintang yang dipilih. Sedikitnya dua potongan yang dipasang
instrumen utama harus direncanakan untuk daerah tanah lunak yang
panjangnya lebih dari 500 m,
· pilih satu atau lebih potongan melintang sekunder. Potongan yang dipasang
instrumen sekunder berfungsi berfungsi petunjuk prilaku pembanding dan
untuk mendapatkan informasi volume timbunan. Instrumentasi pada potongan
100
melintang sekunder harus sederhana, yang dapat saja hanya terdiri dari pelat
penurunan.
Pada seksi yang dipasangi intrumen utama yang direncanakan, analisis harus
dilakukan untuk memprediksi perilaku timbunan. Zona-zona yang memerlukan
perhatian penuh harus diidentifikasi, seperti zona-zona lemah, zona-zona yang
sarat terbebani atau zona-zona di mana tekanan pori yang tertinggi akan terjadi.
Suatu contoh diagram yang memperlihatkan lokasi instrumen berdasarkan
perilaku yang diprediksi, ditunjukkan pada Gambar 13-1.

Gambar 13-1 Contoh Tata Letak Instrumentasi


13.7 PEMASANGAN
Instrumen harus dipasang oleh suatu perusahaan/kontraktor Spesialis, kecuali
untuk pemasangan instrumen yang sederhana seperti penanda penurunan
permukaan, pelat penurunan, indikator bidang gelincir atau patok geser. Teknisi
yang memasang instrumen harus telah berpengalaman dan mereka harus
diawasi oleh seorang teknisi senior atau ahli dari pihak pemasok dan produsen.
Pemasangan instrumen harus mengikuti hal-hal berikut:
· semua instrumen harus dipasang pada permukaan tanah asli sebelum
pembebanan atau penimbunan dimulai,
· skedul, gambar dan rencana tata letak harus disiapkan dan dilaksanakan
dengan tepat dan catatan harus dibuat jika ada penyimpangan dari rencana
semula,
· semua instrumen harus diberi tanda dan nomer seri,
· selama pemasangan, suatu catatan harus dibuat dan bila sudah selesai,
catatan pemasangan harus dibuat menjadi suatu laporan, yang akan
menjadi informasi faktual definitif mengenai instrumentasi.
101
Selama pemasangan hal-hal berikut harus dicatat:
· nomer dan tipe instrumen,
· koordinat dari semua lokasi instrumen,
· elevasi dari instrumen yang terpasang,
· tanggal dan waktu pemasangan,
· penampang profil tanah yang dijumpai selama pemasangan jika instrumen
dipasang di dalam lubang bor.
Contoh catatan pemasangan diperlihatkan pada Lampiran H.
Sebelum aktivitas pelaksanaan dimulai, yang mungkin akan mempengaruhi
instrumen, pembacaan awal harus sering dilakukan selama sekurangnyakurangnya 2
minggu atau sampai semua pembacaan telah stabil. Minimum
empat rangkaian pembacaan harus diperoleh.
13.8 PERLINDUNGAN
Selama pemasangan dan pelaksanan penimbunan, semua instrumen yang
dipasang harus dilindungi terhadap lalu lintas kendaraan dan alat berat; setelah
selesai pemasangan atau penimbunan, instrumen harus dilindungi dengan suatu
pelindung yang tidak mudah dirusak/dicuri, untuk menjamin bahwa semua
instrumen tidak rusak dan bekerja dengan baik.
Tindakan pengamanan khusus harus dilakukan terhadap instrumen yang
terpasang sampai menonjol di permukaan tanah yang dapat rusak akibat
aktivitas konstruksi. Selongsong inklinometer, ekstensometer ukur, batang pelat
penurunan membutuhkan penghalang untuk melindunginya dan harus diberi
tanda atau dicat dengan jelas untuk memberi peringatan kepada operator
peralatan konstruksi.
Pencurian dan pengrusakan sering merupakan masalah utama. Bila hal ini
menjadi masalah, semua terminal harus dikubur dan dibuat tidak menonjol,
karena kotak pelindung yang mencolok sering mengundang terjadinya suatu
pengrusakan.
Semua pipa vertikal harus diberi tutup untuk mencegah masuknya kotoran. Jika
kegiatan konstruksi mungkin dapat merusak ujung dari pipa vertikal, atau orang
iseng mungkin memasukkan sesuatu sehingga dapat menyumbat pipa, maka
sumbat yang bisa dilepas harus dipasang pada kedalaman tertentu.
102
13.9 PROSEDUR DAN FREKUENSI PEMANTAUAN
Frekuensi pemantauan harus ditentukan oleh Ahli Geoteknik yang Ditunjuk.
Satu-satunya prosedur yang memuaskan adalah dengan menetapkan
pembacaan sesering mungkin pada permulaan, dan kemudian mengkaji data
tersebut untuk memungkinkan frekuensi pembacaan dikurangi.
Frekuensi pembacaan harus cukup rapat sehingga pembacaan yang salah dapat
diidentifikasi seperti terlihat pada Gambar 13-2.

Gambar 13-2 Frekuensi Pembacaan Instrumen


Semua pembacaan harus periksa, lebih baik tiap hari tetapi sekurang-kurangnya
tiap minggu untuk menjamin bahwa pembacaan sudah cukup memadai dan
tidak ada masalah yang timbul dengan data yang didapat. Jika pembacaan mulai
menyimpang dari prilaku yang diharapkan, tindakan pertama yang harus
dilakukan adalah memeriksa apakah pembacaan telah dilakukan menuruti
prosedur yang sesuai, kemudian memeriksa peralatan dan mengkalibrasinya jika
perlu. Setelah itu baru dicari penjelasan lainnya yang berkenaan dengan variasi
yang terjadi.
Harus dipastikan bahwa pembacaan instrumen telah dikoordinasikan dengan
skedul pelaksanaan penimbunan.
Prosedur pemantauan harus dijabarkan secara tertulis. Contoh dari suatu
kontrak instrumentasi disertakan dalam CD Panduan Geoteknik.
13.10 CATATAN PENIMBUNAN
Timbunan jalan biasanya dilaksanakan lapis perlapis setebal 20 sampai 30 cm.
Kemajuan penimbunan harus dicatat, yaitu tanggal mulai penimbunan dan
tanggal selesai untuk setiap lapisannya.
Karena timbunan tidak mungkin turun secara seragam, pencatatan tebal lapisan
hamparan saja tidak cukup memadai untuk mengetahui tinggi timbunan yang
103
sudah dilaksanakan. Oleh karena itu, setiap saat pelat penurunan diukur,
ketinggian titik pengukuran di atas timbunan juga harus dicatat.
13.11 PELAT PENURUNAN
Elevasi dari dasar pelat dan ujung batang harus dicatat sebagai bacaan awal.
Elevasi awal ujung batang harus direvisi saat batang diperpanjang. Pembacaan
pelat penurunan dilakukan pada saat selesainya setiap lapisan timbunan atau
diambil tiap minggu atau setiap 3 hari jika perlu.
Pelat penurunan harus dipasang sebelum penimbunan dilaksanakan, dan agar
pelat tidak bergerak sewaktu ditimbun maka dasar pelat harus diratakan dengan
pasir. Yang umumnya menjadi masalah adalah di daerah banjir atau
persawahan, dimana lapisan lumpur yang sangat lunak menutupi permukaan
tanah yang akan menyembul keluar dari bawah pelat dan memberikan kesan
adanya penurunan dini.
Pameraan data harus segera dilakukan dan ditinjau secepatnya begitu diperoleh.
Jika nilai yang ada berubah dengan cepat, maka frekuensi pembacaan harus
ditingkatkan. Jika nilai tidak konsisten dengan rangkaian pembacaan
sebelumnya, maka pengukuran harus diulangi.
13.12 INSTRUMENTASI KHUSUS
Petunjuk mengenai keuntungan dan kerugian berbagai jenis instrumentasi,
diberikan pada Lampiran G bersamaan dengan gambar skematik beberapa
instrumen yang bisa dibuat secara lokal di bengkel yang kompeten.

104
14 Referensi
Suatu bibliografi sekitar sembilan ratus referensi dipersiapkan sebagai bagian
dari proyek IGMC2 dan dimasukkan pada CD Panduan Geoteknik ini.
Semua dokumen pada Bibliografi disimpan di Perpustakaan Pusat Litbang
Prasarana Transportasi, kecuali yang disebutkan pada bank data sebagai tersedia
di tempat lain di Bandung.
Anon (1982), Guide to Retaining Wall Design, Geotechnical Control Office,
Hong Kong.
Barry A J, Brady M A & Younger J S (1992), Roads on Peat in East Sumatra,
Symposium in Print: Environmental Geotechnics, South East Asian
Geotechnical Society, Bangkok.
BS8006: 1995, Code of practice for Strengthened/reinforced soils and other
fills, BSI, 1995.
Choa V (1985), Preloading and Vertical Drains, 3rd International Geotechnical
Seminar on Soil Improvement Methods, Singapore, pp87-99.
De Beer E E & Wallays M (1972), Forces Induced in Piles by Unsymmetrical
Surcharges on The Soil Around the Piles, Proceedings 5th European Conference
on Soil Mechanics and Foundation Engineering, Madrid, pp325-352.
DGH (1992), Bridge Design Manual (Draft), Directorate General of Highways,
Ministry of Public Works, Indonesia.
Edil T B & Bosscher P J (1994), Engineering Properties of Tire Chips and Soil
Mixtures, Geotechnical Testing Journal, 7,4,December.
Exxon (1989), Designing for Soil Reinforcement, Exxon Chemical
GeoPolymers Ltd.
Hanrahan E T & Rogers M G (1981), Road on Peat:Observations and Design,
Journal of Geotechnical Engineering Division, ASCE, 107, GT10, October,
pp1403-1415.
Hanna T H (1973), Foundation Instrumentation, Transtech Publications.
Hiroo (2000), Program for Shallow Stabilization Techniques on Soft Ground,
2nd Seminar on Ground Improvement, Jakarta.
Jewell R A (1996), Soil Reinforcement with Geotextiles: Special Publication
123, CIRIA.
Miki H (1999), Cooperative Research on Soft Ground Improvement in
Thailand, Seminar on Ground Improvement, Jakarta.
105
Moretti I & Cutruzzula B (1991), Specifications and Standards for Unbound
Aggregates and Their Use in Italy, in Unbound Aggregates in Roads, Jones R H
& Dawson A R (eds), Butterworths.
NAVFAC (1971), Design Manual: Soil Mechanics, Foundations and Earth
Structures, Dept of Navy, USA.
Nicholls R A & Barry A J (1983), Vertical Drains - A Case History, 8th
European Conference on Soil Mechanics & Foundation Engineering, Helsinki,
pp663-668.
Nicholls R A, Barry A J & Shoji H (1984), Deep Vertical Drain Installation,
Ground Engineering, May, pp31-35.
Rahardjo P P, Meilinda L & Yuniati L (2000), Evaluasi Hasil Monitoring
Instrumentasi Geoteknik pada Reklamasi Terminal Semen di Atas Tanah Lunak
di Semarang, Prosiding Pertemuan Tahunan IV, INDO-GEO 2000 HATTI,
ppIII-1 – III-7.
Stewart D P, Jewell R J & Randolph M F (1994), Centrifuge Modelling of Piled
Bridge Abutments on Soft Ground, Soils and Foundations, 34, pp41-51.
Toh C T, Chua S K, Chee S K, Yeo S C & Chock E T (1990), Peat
Replacement Trial at Machap, Seminar on Geotechnical Aspects of the North
South Highway, Kuala Lumpur, pp207-218.
Tri Indijono (1999), Performance of Various Types of Vertical Drains on
Consolidation Behaviour of Soft Soils at Trial Embankment for Surabaya
Eastern Ring Road, Program Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya, Program
Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
Lampiran A
Ceklis

A1

Ceklis A1 Kronologi Desain dan Penyelidikan Geoteknik/Ceklis Serah Terima

Tanggal
Penunjukkan Ahli Geoteknik

Laporan Studi Meja


Peninjauan Lapangan
Desain Penyelidikan Lapangan
Pengadaan Penyelidikan Lapangan

Pekerjaan Lapangan Selesai


Pengujian Laboratorium Selesai
Laporan Penyelidikan Tanah Disetujui
Desain Dimulai
Draf Laporan Desain Diserahkan
Laporan Desain Akhir Diserahkan
Keterangan

Tanda tangan Nama


Ahli Geoteknik yang Ditunjuk Tanggal
A2
Relevan? Catatan
Keuntungan
Menggunakan peralatan pekerjaan tanah
standar
Penggantian keseluruhan dapat
menyelesaikan masalah stabilitas dan
penurunan
Penggantian keseluruhan memungkinkan
dilakukan inspeksi dan kemungkinan
desain yang tidak memadai resikonya
sangat kecil
Penggantian sebagian bisa digabungkan
dengan penambahan beban
Kerugian
Memerlukan bahan timbunan yang
berkualitas tinggi, jika galian tidak
dikeringkan
Memerlukan tempat pembuangan bahan
galian bermutu rendah
Mempengaruhi drai nase bawah tanah
alami
Penggalian bisa menyebabkan kerusakan
terhadap jalan lama dan bangunan di
dekatnya

Keterangan

Tanda tangan Nama


Ahli Geoteknik yang Ditunjuk Tanggal

Ceklis A2 Keuntungan dan Kerugian Penggantian Penuh dan Sebagian


A3
Relevan? Catatan
Keuntungan
Menggunakan peralatan pekerjaan tanah
standar
Bisa dikombinasikan dengan solusi lain

Kerugian
Membutuhkan lahan tambahan
Membutuhkan bahan timbunan tambahan
Tidak menyelesaikan masalah penurunan
jangka panjang
Memperbesar penurunan total
Pencurian bahan timbunan dapat terjadi

Keterangan

Tanda tangan Nama


Ahli Geoteknik yang Ditunjuk Tanggal

Ceklis A3 Keunt ungan dan Kerugian Berem Pratibobot.


A4
Relevan? Catatan
Keuntungan
Menggunakan peralatan pekerjaan tanah
standar
Efektif tidaknya dapat dipantau secara
sederhana

Kerugian
Tambahan timbunan harus dipindahkan
kembali setelah selesai pembebanan
Meningkatkan masalah kestabilitasan
Waktu yang diperlukan sulit diprediksi
sehingga dapat memperlambat pelaksaan

Keterangan

Tanda tangan Nama


Ahli Geoteknik yang Ditunjuk Tanggal

Ceklis A4 Keuntungan dan Kerugian Penambahan Beban


A5
Relevan? Catatan
Keuntungan
Menggunakan peralatan pekerjaan tanah
standar
Efektifitas dapat dipantau

Kerugian
Waktu yang diperlukan sulit diprediksi
sehingga bisa memperlambat waktu
pelaksanaan
Membutuhkan pemantauan lengkap

Keterangan

Tanda tangan Nama


Ahli Geoteknik yang Ditunjuk Tanggal

Ceklis A5 Keuntungan dan Kerugian Konstruksi Bertahap


A6
Relevan? Catatan
Keuntungan
Mengatasi masalah stabilitas maupun
penurunan
Dapat dikombinasikan dengan metode
lain
Kerugian
Dibutuhkan Kontraktor Spesialis
Kesulitan untuk memprediksi kenaikan
kuat geser secara akurat sehingga dapat
memperlambat waktu pelaksanaan
Membutuhkan pemantauan lengkap
Keterangan

Tanda tangan Nama


Ahli Geoteknik yang Ditunjuk Tanggal

Ceklis A6 Keuntungan dan Kerugian Penyalir Vertikal


A7
Relevan? Catatan
Keuntungan
Tidak diperlukan keahlian khusus untuk
pelaksanaan
Geotekstil mudah diperoleh

Kerugian
Tidak mengurangi penurunan
Sulit menjamin bahan yang digunakan
sesuai spesifikasi
Memerlukan perlindungan dari sinar
matahari dan dari bahan kimia tertentu

Keterangan

Tanda tangan Nama


Ahli Geoteknik yang Ditunjuk Tanggal

Ceklis A7 Keuntungan dan Kerugian Perkuatan dengan Geotekstil


A8
Relevan? Catatan
Keuntungan
Mengatasi masalah penurunan dan
stabilitas
Menghilangkan gaya horisontal terhadap
abutmen jembatan dan fondasinya

Kerugian
Pemancangan tiang dapat mempengaruhi
struktur yang ada
Bahan matras harus berkualitas tinggi
Keterangan

Tanda tangan Nama


Ahli Geoteknik yang Ditunjuk Tanggal

Ceklis A8 Keuntungan dan Kerugian Matras Bertiang


A9

Ceklis A9 Zonasi Lokasi


Proyek

Ceklis
Zonasi Lokasi

Penentuan Unit Tanah

Alinyemen Vertikal

Jembatan
Gorong-gorong
Bangunan Penahan Tanah
Elevasi Tanah Asli

Keterangan
Tanda tangan Nama
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk Tanggal
Lampiran B
Korelasi Parameter Geoteknik

B1
B.1 UMUM
Penentuan langsung parameter kuat geser dan kompresibilitas di laboratorium
biayanya akan mahal dan memakan waktu. Dengan alasan ini, Ahli Geoteknik
sering menggunakan korelasi yang telah dikembangkan antara beberapa
parameter dengan sifat-sifat indeks yang lebih mudah ditentukan seperti batas -
batas Atterberg, kadar air asli dan berat isi. Korelasi bisa digunakan untuk
mendapatkan parameter desain atau untuk membatasi jumlah pengujian yang
lebih rumit dan mahal; sebagaimana dibahas dalam Panduan Geoteknik 3,
korelasi dapat pula digunakan untuk keperluan pengendalian mutu.
Sejumlah korelasi diberikan dalam CUR (1996) dan beberapa dari korelasi ini
dibahas berikut ini. CUR mengingatkan terhadap batasan penggunaan korelasi
dan menekankan bahwa penggunaan yang tidak tepat dapat memberikan
"asumsi-asumsi desain yang salah."
B2
B.2 PENENTUAN PARAMETER KUAT GESER
DARI KORELASI
B.2.1 PARAMETER KUAT GESER DARI BATAS
ATTERBERG
Kuat geser tak terdrainase dari tanah lempung telah dikorelasikan oleh banyak
peneliti sebagaimana dengan tekanan (overburden) dan batas Atterberg. Hasil
bagi cu / '
is (dijelaskan di bawah) sering ditemui pada korelasi ini.
Korelasi berikut dilaporkan oleh CUR beserta referensinya secara rinci.
1) Untuk lempung terkonsolidasi normal, dengan indeks plastisitas lebih besar
dari 5%, Skempton memberikan suatu hubungan:
PI
'
i
ó
u
c
0.00370.11+=
dengan:
cu adalah kuat geser tak terdrainase (kPa);

i
adalah tegangan efektif (vertikal) awal (kPa);
PI adalah indeks plastisitas (%).
Hubungan ini telah diuji oleh banyak peneliti selama bertahun-tahun dan
nilai yang didapat tidak pernah lebih dari sekitar ± 20% dari rata-rata.
2) Parameter ini telah juga dikorelasikan oleh Bjerrum dan Simon dalam
bentuk:
PI
u
c
i
045.0
'
=
s

Sebaran nilai-nilai yang didapat berkisar ± 25% dari harga rata-rata.


3) Batas cair digunakan oleh Karlsson dan Viberg pada korelasi berikut ini,
yang berlaku untuk tanah lempung dengan batas cair lebih besar dari 20%:

B3
LL
c
i
u
005.0
'
=
s

dengan:
LL adalah batas cair (%).
Sebaran nilai-nilai yang didapat berkisar ± 30% dari harga rata-rata.
4) Suatu korelasi antara sudut geser dalam efektif (f') dan indeks plastisitas
(PI) diperlihatkan CUR dalam bentuk grafik. Grafik menunjukkan nilai f'
rendah bila nilai PI relatif tinggi.
B.2.2 PARAMETER KUAT GESER BERDASARKAN
KONSISTENSI TANAH
Parameter yang digunakan untuk menunjukkan konsistensi tanah adalah indeks
cair (LI) dan indeks konsistensi (CI) yang didefinisikan sebagai berikut:

PLLL
PLw
LI
-
-
= ,
PLLL
wLL
LICI
-
-
=-=1
dengan:
w adalah kadar air;
LL adalah batas cair;
PL adalah batas plastik.
5) Untuk lempung dengan indeks cair lebih besar dari 0,5, Bjerrum dan
Simons mengembangkan korelasi berikut:

LI
c
i
u 18.0
'
=
s

dengan:
cu dan '
is seperti dijelaskan diatas.
6) Suatu korelasi antara kuat geser tak terdrainase dan indeks konsistensi (CI)
yang dikembangkan oleh Wroth dan Wood diperlihatkan dalam bentuk
grafik semi-logaritmik pada Gambar B1. Sistem klasifikasi Jerman DIN
menghubungkan deskripsi konsistensi tanah (cair, lumpur, lunak dan
sebagainya) dengan indeks konsistensi (CI) seperti ditunjukkan pada
bagian atas Gambar B1. Dengan mengkorelasikan Sistem DIN dengan suatu
hubungan yang dikembangkan oleh Wroth dan Wood, jelas terlihat bahwa
pada kadar air yang dekat dengan batas cairnya (CI mendekati nol), kuat
geser tanah berkisar antara 1,5-2,0 kPa; pada kadar air yang dekat dengan
batas plastis (CI mendekati satu), kuat geser sekitar 100 kali lebih tinggi.
B4
Konsistensi tanah seperti diklasifikasikan dalam sistem yang lain (sisi sebelah
kiri Gambar B1), juga dikorelasikan dengan kuat geser tak terdrainase.
B5
B.3 PENENTUAN PARAMETER DEFORMASI
DARI KORELASI
B.3.1 PARAMETER DEFORMASI BERDASARKAN BATAS
ATTERBERG
Indeks kompresi primer Cc didefinisikan dengan hubungan:

'
''
log
i
i
m
c
e
C
s
ss D+
D
=
dengan:
m
eD adalah reduksi angka pori pada pemampatan asli;
'
is adalah tegangan efektif awal (kPa);
'sD adalah kenaikan tegangan efektif (kPa).
B6
Gambar B1 Hubungan antara Kuat Geser Tak Terdrainse dan Indeks Konsistensi
Korelasi berikut telah dikembangkan oleh berbagai peneliti untuk penentuan
indeks kompresi (pemampatan) primer untuk lempung tak terganggu (Cc
) dan
terganggu (C'
c):
7) Untuk lempung terganggu (remasan), Skempton menyarankan hubungan
berikut ini:
( )7 0.007' -= LLCc

dengan:
LL adalah batas cair (%).
8) Schofield dan Wroth mengusulkan pemampatan lempung remasan
ditentukan oleh hubungan:

B7
PI
PI
C
w
s
c
325.1.
2
' ==
g
g

dengan:
PI adalah indeks plastisitas (%);
s
g adalah berat isi partikel tanah (=26,5 kN/m
3
);
wg adalah berat isi air (=10 kN/m
3
).
9) Untuk lempung tak terganggu konsolidasi normal, hubungan yang
diusulkan oleh Terzaghi dan Peck adalah:
( )10 0.009 -= LLCc

dengan:
LL adalah batas cair (%).
B.3.2 PARAMETER DEFORMASI YANG DITENTUKAN DARI
BERAT ISI DAN KADAR AIR
B.3.2.1 Indeks Kompresi Primer, Cc
Banyak peneliti telah mendapatkan korelasi yang kuat antara indeks
pemampatan primer, Cc
dan berat isi seperti tercerminkan pada angka pori awal
e0.
Untuk material yang sepenuhnya jenuh dengan berat isi padat diketahui, Cc

bisa selanjutnya dikorelasikan dengan kadar airnya.


Korelasi yang sudah dikenal baik dan paling sering digunakan, disajikan di
bawah ini.
10) Nishida menurunkan secara teoritis korelasi berikut ini untuk semua jenis
lempung :
( )35.054.0 -= oc eC
11) Berdasarkan kurang lebih 700 tanah lempung dari Amerika Serikat dan
Yunani, korelasi-korelasi yang diusulkan oleh Azzouz adalah sebagai
berikut:
( )25.04.0 -= oc eC
atau
( )501.0 -= wC c

12) Untuk tanah kohesif, inorganik, lanau dengan lempung, lempung kelanauan
dan lempung korelasi berikut disarankan oleh Hough:
( )3216.04049.0 -= oc eC
atau
( )15.90102.0 -= wC c

B8
13) Korelasi yang diturunkan oleh Rendon-Herrero untuk 94 lempung Amerika
adalah:
( )27.030.0 0 -= eCc

14) Untuk 130 lempung aluvial dan lanau dari Bangladesh korelasi berikut
diusulkan oleh Serajuddin:
( )548.701.0 -= wCc
Simbol-simbol yang digunakan pada korelasi di atas dijelaskan sebagai
berikut:
C c adalah indeks pemampatan primer;
e0 adalah angka pori pada permulaan pemampatan;
w adalah kadar air pada permulaan pemampatan (%).
Kurva yang diperlihatkan pada Gambar B2 diturunkan dari formula Nishida dan
bisa digunakan untuk menurunkan Cc
dari batas cair dan angka pori awal. Setiap
kurva mewakili hubungan untuk jenis lempung tertentu dengan batas cair yang
diketahui untuk angka-angka pori di bawah batas cair.

Gambar B2 Hubungan antara Pemampatan Primer dan Angka Pori sebagai Suatu Fungsi
Batas
Cair
B.3.2.2 Rasio Pemampatan, CR
Rasio pemampatan (CR) didefinisikan dengan hubungan berikut:
i
i
p
h
h
CR
'
''
log
s
ss D+
D
=
dengan
p
hD adalah penurunan primer akibat perubahan tegangan Ds';
B9
Karena tidak ada deformasi lateral, perubahan angka pori dan penurunan adalah
proporsional,

o
e
e
h
h
+
D
=
D
1

Merujuk ke definisi Cc
pada Bagian A.3.1 dapat dilihat bahwa CR dan Cc
mempunyai hubungan sebagai berikut::

o
c
e
C
CR
+
=
1

dengan:
e0 adalah angka pori awal.
Rasio pemampatan CR dalam prakteknya cenderung bervariasi antara 0.2 dan
0.4. Korelasi yang telah dikembangkan untuk parameter ini adalah sebagai
berikut:
15) Untuk nilai e0 kurang dari 2, Krizek dan Pamalee mengembangkan korelasi
berikut, berdasarkan 230 tanah lempung dari berbagai tempat:
0107.0156.0 += oeCR
16) Untuk nilai kadar air kurang dari 100%, Vidalie mengusulkan korelasi
berikut untuk tanah lempung Perancis:
013.00039.0 += wCR
Dalam korelasi-korelasi yang diberikan di atas:
eo = angka pori pada permulaan pemampatan
w = kadar air pada permulaan pemampatan (%)
B.3.2.3 Indeks Pengembangan, Cs
atau Csw
i
i
t
sw
e
C
'
''
log
s
ss D+
D
=
dengan:
t
eD adalah kenaikan angka pori selama pelepasan beban (rebound).
Indeks Pengembangan adalah tangen dari sudut yang dibentuk oleh garis
singgung pada suatu titik pada kurva pelepasan beban dengan absis (sumbu
s').
Hubungan antara indeks pengembangan dan angka pori sebagai fungsi dari
batas cair, diperlihatkan pada Gambar B3.
B10
Jika setelah pelepasan beban, beban kembali diberikan, pemampatan ditentukan
oleh indeks kompresi primer untuk pembebanan kembali (atau indeks
rekompresi), Cr. Nilai Cr biasanya sama dengan atau lebih kecil dari Csw.

Gambar B3 Hubungan antara Indeks Pengembangan dan Angka Pori sebagai Fungsi dari
Batas
Cair
B.3.2.4 Indeks Pemampatan Sekunder, Ca
Indeks pemampatan sekunder menentukan pemampatan sekunder atau
pemampatan atau konsolidasi jangka panjang yang biasanya diasumsikan
dimulai segera setelah konsolidasi primer selesai. Indeks Pemampatan Sekunder
definisikan sebagai kemiringan kurva angka pori atau regangan terhadap log
waktu dari rentang pemampatan sekunder dari suatu pengujian odometer.
Nilai indeks lolos kurang dari 0,001 untuk lempung tekonsolidasi lebih, 0,005
sampai 0,02 untuk lempung terkonsolidasi normal dan 0,03 atau lebih besar
untuk lempung sensitif dan tanah organik.
Dalam CUR, Ca dikorelasikan dengan kadar air sebagai berikut:
wC 0002.0=
a
dengan:
w adalah kadar air (%).
Sumber yang dikutip oleh CUR untuk korelasi di atas adalah Manual Desain
yang diterbitkan oleh U.S. Dept. of the Navy pada 1971.
B11
Juga di CUR, hubungan antara Ca dan w disajikan dalam bentuk grafik untuk
pemampatan alami (hubungan rata-rata ditambah batas atas dan bawah) dan
rekompresi (hanya batas atas); suatu zona untuk contoh tanah yang sepenuhnya
terganggu juga diperlihatkan. Sumber untuk hubungan ini tidak diberikan.
Hubungan rata-rata yang diindikasikan untuk kompresi alami konsisten dengan
hubungan linear yang diberikan di atas sampai dengan kadar air sekitar 50%; di
luar nilai ini, hubungan rata-rata bertambah pada laju yang semakin berkurang
sehingga, sebagai contoh, pada kadar air 100%, nilai Ca kurang lebih sebesar
0,016 (berlawanan dengan nilai 0,02 yang ditunjukkan oleh hubungan linear).
Menurut Terzaghi dkk. (1996), ada hubungan antara besarnya kompresibilitas
(Cc dan Ca) terhadap tegangan efektif vertikal dan waktu. Untuk semua jenis
tanah selama pemampatan sekunder, perbandingan Ca/Cc
selalu konstan , baik
pada tahap kompresi maupun rekompresi. Angka perbandingan untuk material
geoteknik diberikan di bawah. Untuk semua bahan, rentang total adalah 0,01
sampai 0,07; titik pertengahan dari rentang tersebut adalah juga nilai yang
paling umum untuk lempung inorganik dan lanau.
Bahan Ca/ Cc

Tanah berbutir termasuk timbunan batuan 0.02 ± 0.01


Serpih dan batu lumpur (mud stone) 0.03 ± 0.01
Lempung inorganik dan lanau 0.04 ± 0.01
Lempung organik dan lanau 0.05 ± 0.01
Gambut dan muskeg 0.06 ± 0.01
B12
B.4 KORELASI YANG DIGUNAKAN UNTUK
MENENTUKAN DERAJAT KONSOLIDASI
DAN PERMEABILITAS
Koefisien konsolidasi vertikal cv (m²/det) didefinisikan sebagai:
cv =
wv
v
m
k
g
dengan:
kv adalah koefisien permeabilitas vertikal (m/det);
g w adalah berat isi air (kN/m³);
mv adalah koefisien vertikal dari kompresibilitas volume (m
2
/kN).
Jika dilakukan pemeraan untuk data pemampatan pada skala linear, kemiringan
kurva e vs. ó'v disebut sebagai koefisien kompresibilitas av yaitu av = De / Ds'v
;
Jika pemeraan dilakukan dalam bentuk regangan vertikal, kemiringan
dinyatakan sebagai koefis ien kompresibilitas volume vertikal mv yaitu
v
v
vm
's
e
D
=
Kedua parameter ini mempunyai hubungan sebagai berikut:
o
v
v
e
a
m
+
=
1

dengan:
vm adalah koefisien kompresibilitas volume vertikal (m
2
/kN);
va adalah koefisien kompresibilitas (m²/kN);
oe adalah angka pori awal.
Parameter ini mempunyai hubungan dengan indeks kompresi primer sebagai
berikut:
'
435.0
i
c
v
C
a
s
=
( ) '1
435.0
io
c
v
e
C
m
s+
=
dengan:
'
is adalah tegangan efektif rata-rata sepanjang lintasan yang
dipertimbangkan (kN/m
2
).
B13
Dinyatakan dalam CUR bahwa, koefisien permeabilitas kv dari tanah lempung
nampaknya bergantung pada distribusi ukuran pori yang bergantung pada
komposisi lempung, yaitu jenis lempung dan distribusi ukuran partikel.
Walaupun menekankan bahwa penetapan nilai berdasarkan korelasi biasanya
memberikan hasil yang tidak berkaitan dengan koefisien permeabilitas, CUR
menyatakan sebagian dapat diterima sebagai pekerjaan awal. Hubungan antara
angka pori dan koefisien permeabilitas vertikal, dengan variasi parameter indeks
plastisitas dan kadar lempung (keduanya dinyatakan sebagai pecahan desimal),
diperlihatkan pada Gambar B4.
Oleh karenanya, perkiraan koefisien konsolidasi cv dapat diperoleh dengan
menggunakan hubungan antara mv dan Cc yang diberikan sebelumnya dan nilai
kv dari Gambar B4.
Koefisien konsolidasi cv
bisa juga diperkirakan secara langsung dari batas cair
dengan menggunakan grafik yang diperlihatkan pada Gambar B5. Hubunganhubungan
pada Gambar B5 diambil dari U.S.Dept. of the Navy Design Manual
yang diterbitkan pada 1971.

Gambar B4 Hubungan Antara Permeabilitas dan Angka Pori Sebagai Fungsi dari Indeks
Plastisitas dan Kadar Lempung.
B14

Gambar B5 Hubungan Antara Koefisien Konsolidasi dan Batas Cair.

Appendix C
Perhitungan Penurunan
pada Gambut Berdasarkan
Metode Hanrahan
Lampiran Ini merupakan Cuplikan dari Hanrahan & Rogers (1981) C1

C2
C3
C4

Lampiran D
Desain Matras Geotekstil untuk
Timbunan Bertiang

Lampiran Ini merupakan Cuplikan dari Exxon(1989)


D1

D2

D3

D4

D5

D6

D7

Lampiran E
Isi Laporan

E1
Lampiran E1 Sampul Laporan Standar
Logo Pemilik Proyek + Nama Pemilik Proyek

Nama Proyek
Judul Laporan
Tanggal
Pendahuluan/Draf/Laporan Akhir

Nama Perusahaan
E2
Lampiran E2 Daftar Isi Laporan Desain Standar - Contoh
Nama Proyek
Daftar Isi
Rangkuman Eksekutif
Lembar Pemenuhan
1 Pendahulu an
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------1
2 Deskripsi Tujuan
2.1 Pencapaian Tujuan
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------2
3 Deskripsi Lapangan
3.1 Sistem Survei
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------- 3
3.2 Topografi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------3
3.3 Sistem
Drainase-------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------4
4 Geologi
4.1 Geologi Regional
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------5
4.2 Geologi Lokal
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------- 7
4.3 Stratigrafi Lapangan
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------8
4.4 Variasi Litologis
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------- 10
5 Hidrogeologi
5.1 Ele vasi Air Tanah
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------- 12
5.2 Aliran
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------12
5.3 Pengaruh Musim
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------- 13
5.4 Pengaruh Pasang Surut
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
13
5.5 Banjir
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------14
5.6 Kimia Air Tanah
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------- 14
6 Parameter Desain
6.1
Umum---------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------- 16
6.2 Bahan
Timbunan-----------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------- 17
6.3 Lempung Marin Atas
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
---17
6.4 Pasir
Antara---------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------ 18
6.5 Lempung Marin Bawah
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
18
6.6 Lempung Pleistosen
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
---- 20
7 Prosedur Desain
7.1 Pengantar
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------21
7.2 Standar dan Peraturan yang Digunakan dalam Desain
Geoteknik------------------------------------------------- 21
7.3 Zonasi Site
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------- 21
8 Rangkuman Desain & Kesimpulan
8.1
Umum---------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------- 24
8.2 Zona 1: Timbunan Tinggi
------------------------------------------------------------------------------------------------------- 25
8.3 Zona 1: Timbunan Rendah
----------------------------------------------------------------------------------------------------- 28
8.4 Zona 2: Oprit
Jembatan------------------------------------------------------------------------------------------------
---------- 30
Dan lain-lain…
9 Spesifikasi dan Kontrak
9.1 Spesifikasi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------ 45
9.2 Supervisi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------- 45
10 Masalah Lingkungan
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------- 46
11 Referensi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------47

Tabel
Tabel 1
Dan seterusnya
Gambar
Gambar 1
Dan seterusnya

Gambar Teknik
No Gambar Teknik …
Dan seterusnya
Lampiran
Lampiran 1 Daftar Ketidakcocokan
Dan seterusnya

E3
Lampiran E3 Lembar Persetujuan Laporan Desain Standar
Nama Proyek
Judul Laporan

Informasi yang digunakan dalam menyusun laporan telah diperoleh sesuai


dengan Panduan Geoteknik 1 sampai 4 dan desain telah dilaksanakan
sesuai dengan Panduan Geoteknik 4 kecuali yang tercantum dalam Daftar
Ketidakcocokan yang dinyatakan dalam Lampiran 1 dari laporan ini
Tertanda
Nama
Ahli Geoteknik yang Ditunjuk
Tanggal
E4
Peningkatan Jalan antara Tanah Merah ke Tanah Hitam
Laporan Desain Geoteknik
Data yang Ditolak
1 P4 Pembacaan Piezocone pada oprit bagian barat dari Jembatan
Kali Barat. Hasil-hasil menunjukan variasi yang tidak menentu
dan konus rusak setelah pengujian selesai. Kemungkinan ujung
konus terkena rintangan di dekat permukaan.
2 BH3/PS2 Contoh piston tercatat kondisinya rusak pada saat tiba di
laboratorium dan hanya pengujian indeks yang dilaksanakan.
Demikian pula hasil-hasil pengujian memperlihatkan contoh
mungkin telah mengering sebelum benda uji diperoleh dari
contoh piston.
3 BH4/PS3 Pengujian Konsolidasi . Tekanan prakonsolidasi tidak dapat
ditentukan. Pemeriksaan kadar air dari contoh tanah ini
menunjukkan variasi, sehingga hasil pengujian konsolidasi
tidak dipakai.
4 Contoh Air
Tanah
Semua hasil telah ditolak. Hasil-hasil tidak seperti biasanya dan
pada pemeriksaan ditemukan bahwa wadah contoh tidak dicuci
sebelumnya dengan air tanah.

Lampiran E4 Data yang Ditolak – Contoh


E5
Unit Tanah ãb cu ø cc
/(1+e0
) c a cv
ch
kN/m3
kN/m2
m2
/thn
Bahan Timbunan 20 28
Lempung Marin Atas 16 [1] 0.3 0.04 2 4
Pasir Antara 20 35
Lempung Marin Bawah 18 45 0.2 0.01
Lempung Pleistosen 19 75 0
Lampiran E5 Contoh Tabel Parameter Desain

Lampiran F
Garis Besar (Out Line) Prosedur
Timbunan Percobaan
(i)
Daftar Isi
1 Pengantar ................................ ................................ ...............................1
1.1 Tujuan dari Prosedur................................ ................................ ......1
1.2 Penggunaan Prosedur ................................ ................................ .....1
2 Data Awal ................................ ................................ ..............................1
2.1 Pengumpulan Data yang Ada................................ ..........................1
2.2 Penyiapan Penilaian Awal................................ ..............................1
2.3 Peninjauan Lapangan................................ ................................ .....1
3 Penyelidikan Tanah ................................ ................................ .................1
3.1 Desain Penyelidikan Tanah ................................ ............................1
4 Desain................................ ................................ ................................ ....2
4.1 Tipe Percobaan................................ ................................ ..............2
4.2 Desain Timbunan ................................ ................................ ..........2
4.3 Pemilihan Instrumentasi................................ ................................ .2
4.4 Pertimbangan Pelaksanaan................................ .............................3
5 Pelaksanaan................................ ................................ ............................3
5.1 Dokumen ................................ ................................ ......................3
5.2 Prosedur................................ ................................ ........................3
5.3 Pencatatan................................ ................................ .....................3
6 Pemantauan................................ ................................ ............................3
6.1 Prosedur................................ ................................ ........................3
6.2 Pencatatan................................ ................................ .....................3
7 Interpretasi ................................ ................................ .............................3
7.1 Analisis Rekaman/Catatan................................ ..............................3
8 Pelaporan ................................ ................................ ...............................4
8.1 Laporan Tahap 1................................ ................................ ............4
8.2 Laporan Tahap 2................................ ................................ ............4
8.3 Laporan Akhir ................................ ................................ ...............4
F1
Pengantar
Tujuan dari Prosedur
Garis besar ini dimaksudkan untuk memberikan panduan mengenai informasi yang
harus didapat, prosedur yang harus diadopsi, dan isi dari laporan sementara dan akhir
mengenai timbunan percobaan.
Penggunaan Prosedur
Petunjuk ini dibuat untuk Timbunan Percobaan pada proyek Indon GMC. Percobaan ini
bertujuan untuk memberikan informasi umum mengenai perilaku timbunan di atas tanah
lunak dan gambut. Meskipun begitu Petunjuk ini dapat pula digunakan oleh Perekayasa
Ahli yang merencanakan suatu uji-coba timbunan percobaan untuk tujuan yang sama.
Data Pendahuluan
Pengumpulan Data yang Telah Ada
(Merujuk ke Panduan Geoteknik 2) Peta Topografi – Peta geologi – Peta
pemanfaatan lahan – peta historis – Peta drainase – peta tanah untuk
pertanian – foto udara – foto satelit
Penyelidikan-penyelidikan lapangan sebelumnya
Periapan Penilaian Awal
Siapkan denah/peta kunci – peta yang memperlihatkan lokasi lubang
bor yang telah ada - potongan yang menggunakan data tanah atau
estimasi kondisi tanah yang paling mendekati. Identifikasi lokasi yang
potensial untuk timbunan percobaan.
Peninjauan Lapangan
Kunjungi tempat. Peninjauan lapangan sesuai dengan Panduan
Geoteknik 2 (identifikasi medan –fitur yang telah ada seperti kegagalan
bangunan – timbunan yang turun – drainase yang terputus).
Identifikasi faktor-faktor praktis untuk pelaksanaan timbunan percobaan:
akses ke lokasi – persyaratan akses di lokasi – persyaratan drainase –
pemagaran untuk keamanan – penerangan
Kenali ruang lingkup timbunan percobaan dan kecocokan lokasi .
Siapkan garis besar desain pendahuluan dan instrumentasi untuk
masukan dalam desain penyelidikan lapangan.
Penyelidikan Lapangan
Desain Penyelidikan Lapangan
Merujuk ke Panduan Geoteknik 2
Penyelidikan lapangan bertujuan untuk:
a) identifikasi kondisi tanah,
b) mendapatkan parameter untuk analisis desain dan analisis balik.
F2
Buat daftar parameter yang diperlukan sebagai bagian dari desain
penyelidikan lempung.
Identifkasi lokasi untuk pemasangan instrumentasi dan pastikan kondisi
tanah diidentifikasi dengan baik pada lokasi tersebut.
Desain
Tipe Percobaan
Tiga tipe dasar:
Dimaksudkan untuk terjadi keruntuhan: untuk analisis balik
parameter stabilitas dan untuk optimasi desain timbunan sampai batas
keruntuhan.
Dimaksudkan untuk memodelkan serangkaian alternatif desain,
dan untuk menilai efektifitas/atau keuntungan-keuntungannya.
Dimaksudkan untuk memodelkan desain yang diusulkan: untuk
meyakinkan bahwa parameter desain yang digunakan memadai, atau
untuk memperbaiki desain, atau untuk mengenali dengan lebih tepat
waktu pelaksanaan yang diperlukan untuk suatu desain tertentu.
Desain Timbunan
Analisis desain timbunan harus mengikuti teknik standar (merujuk
Panduan Geoteknik 4) dan sepenuhnya memprediksi prilaku timbunan.
Idealisasi profil tanah
Pilih parameter tanah
Stabilitas – tentukan Faktor Keamanan yang diperlukan – analisis:
a) cu jangka pendek pada saat konstruksi selesai,
b) tegangan efektif untuk konstruksi bertahap (dengan disipasi
tekanan air pori).
Analisis penurunan
a) Terzaghi,
b) empiris,
c) lainnya (untuk gambut).
Identifikasi penurunan yang akan terjadi pada masing-masing instrumen
Pemilihan Instrumentasi
Dasar pemilihan:
Memberikan data untuk dibandingkan dengan prilaku yang diprediksi
Pemasangan, dan prilaku jangka panjang, dapat diandalkan
Peralatan dan keahlian yang tersedia untuk membaca instrumen
(Biaya menjadi bahan pertimbangan: tetapi bila tidak mampu membiayai
instrumentasi untuk mendapatkan data yang diperlukan, lalu apa
gunanya melaksanakan percobaan timbunan?).
Petunjuk mengenai instrumentasi yang sesuai dalam Panduan
Geoteknik 4: Pemantauan
F3
Lokasi instrumen
a) lokasi-lokasi kunci untuk pergerakan vertikal dan horisontal,
b) tipe instrumen yang tersedia,
c) cantumkan instrumen pada gambar teknik,
d) letakan posisi instrumen di peta dan pastikan ada
pengamanan instrumen selama pelaksanaan,
e) siapkan spesifikasi tipe dan pemasangan masing-masing
instrumen,
f) siapkan gambar teknik pelaksanaan.
Pertimbangan Pelaksanaan
Sumber dan tipe bahan timbunan – metode penimbunan (secara umum,
dan disekitar instrumen) – metode pemadatan – persyaratan drainase –
perlindungan terhadap erosi – akses – pengawasan instrumen –
akomodasi – gudang penyimpanan peralatan instrumentasi –komunikasi
Persiapan spesifikasi pelaksanaan – kecepatan penimbunan – pengaruh
gangguan.
Pelaksanaan
Dokumen kontrak
Persyaratan kontrak – spesifikasi – pengukuran – program
Prosedur
Pengawasan – komunikasi
Rekaman/Catatan
Laporan harian – survei – pengujian kepadatan
Pemantauan
Prosedur
Rekaman/Catatan (Records)
Interpretasi
Analisis Hasil Pemantauan
Pemeraan data – metode analisis – perbandingan kumpulan data – umpan balik ke
sistem pemantauan – penambahan/pengurangan frekuensi pemantauan – pemeriksaan
tambahan pada kalibrasi/datum/respon instrumen.

F4
Pelaporan
Laporan Tahap 1
Sebelum penyelidikan lapangan dilaksanakan dan setelah desain
pendahuluan selesai. Anggaran biaya bisa dihitung pada waktu ini.
Laporan Tahap 2
Setelah semua pekerjaan desain selesai – berisi desain lengkap
timbunan percobaan dan prediksi prilaku yang berhubungan dengan
instrumen yang akan dipasang. Anggaran biaya bisa dipastikan pada
waktu ini.
Laporan Akhir
Setelah data diperoleh dari timbunan percobaan dengan menyertakan
semua catatan timbunan percobaan, lakukan kaji ulang prediksi dan
kesimpulan mengenai parameter tanah yang sesungguhnya.
Lampiran G
Instrumentasi
G1
Pengukuran Penurunan
Penurunan diukur dengan menentukan elevasi dan perubahan elevasi. Teknik
Pengukuran biasanya digunakan untuk menentukan perubahan elevasi ini, tetapi
sejumlah teknik tertentu telah digunakan pula. Berikut ini adalah beberapa
instrumen pengukur penurunan yang sering digunakan pada konstruksi
timbunan, diantaranya :
Penanda Penurunan Permukaan
Penanda penurunan merupakan cara yang paling sederhana dan murah
untuk mengukur penurunan. Penanda ini terdiri dari patok dari kayu,
baja atau beton yang dipasang di atas permukaan timbunan yang telah
selesai seperti terlihat pada Gambar G1. Pengukuran dengan teknik ini
hanya mengukur penurunan total timbunan, termasuk penurunan pada
lapisan tanah bawah dan timbunan itu sendiri. Penurunan diukur dengan
mengukur elevasi terhadap suatu patok tetap yang merupakan datum
rujukan.
Pelat Penurunan
Pelat penurunan terdiri dari suatu batang yang dilas pada pelat baja
bujur sangkar berukuran 60 kali 60 cm yang diletakkan pada dasar
timbunan seperti diperlihatkan pada Gambar G2. Penurunan diukur
dengan mengukur elevasi terhadap suatu patok tetap yang merupakan
datum rujukan.
Ekstensometer Batang
Ekstensometer batang terdiri dari batang bagian dalam yang terselebung
dan pelat rujukan.Batang bagian dalam dimasukkan sampai ke lapisan
keras dan penurunan relatif ditentukan dengan pengukuran. Sebuah
contoh diberikan pada Gambar G3.
Ekstensometer Magnetis
Extensometer ini terdiri dari satu atau lebih titik rujukan yang ditanam
di dalam tanah dengan satu titik rujukan terletak pada ujungnya. Batang
dan kawat atau peralatan elektronik digunakan untuk menentukan
perubahan jarak antara titik-titik rujukan. Ekstensometer magnetis telah
tersedia secara komersial. Peralatan ini terdiri dari dua komponen
utama, yaitu sebuah magnet lingkaran permanen yang diberi magnet
secara aksial yang berfungsi sebagai penanda dalam tanah dan sensor.
Sensor, saklar buluh, bergerak secara aksial ke dalam medan magnet,
menutup dan mengaktifkan lampu indikator atau bel. Peralatan ini
digunakan dengan memasukkannya ke dalam lubang bor 100 mm dan
sejumlah magnet dipasang dalam lubang bor dari dasar ke atas, dan
magnet pada dasar diletakkan pada tanah/batuan yang kuat, dan dapat
digunakan sebagai titik tetap. Gambar G4 menggambarkan penggunaan
ekstensometer magnetis untuk mengukur penurunan pada berbagai
G2
kedalaman pada tanah bawah permukaan. Instrumen ini harus dibeli
dari pemasok spesialis dan dipasang oleh kontraktor yang
berpengalaman, dan akan lebih baik jika dilakukan oleh pemasoknya.
Pengukuran Tekanan Air Pori
Tekanan pori dapat memberi indikasi akan terjadinya ketidakstabilan pada
timbunan dan juga penting untuk evaluasi kemajuan proses konsolidasi.
Berbagai jenis pisometer telah tersedia secara komersial. Meskipun demikian,
jenis pisometer yang dipilih harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1)
harus dapat mencatat secara akurat tekanan pori di dalam tanah dan kesalahan
yang terjadi masih dalam batas-batas toleransi, (2) pisometer harus tidak
menimbulkan gangguan yang berarti terhadap tanah asli, (3) pisometer harus
bereaksi dengan cepat terhadap perubahan kondisi tekanan pori, (4) pisometer
harus kuat, dapat diandalkan dan stabil untuk periode waktu yang lama dan (5)
pisometer dapat dipantau secara menerus atau berselang-seling bila diperlukan.
Jenis Pisometer
Semua sistem pisometer, mempunyai satu elemen filter berongga yang
dimasukkan di dalam lapisan tanah. Elemen ini diklasifikasikan berdasarkan
kegunaannya, metode operasinya dan metode pencatatannya. Berikut adalah
jenis pisometer yang telah tersedia secara komersial. Pemilihan tipe yang
digunakan bergantung pada kondisi tanah.
· Pisometer pipa ukur tegak terbuka
Pisometer pipa terbuka terdiri dari tabung atau pipa dengan elemen
berongga pada ujungnya, atau dengan bagian ujung yang berlubanglubang. Bagian
berongga harus dikelilingi atau dibungkus dengan bahan
filter dan harus dipasang di dalam lubang bor.
Pisometer pipa terbuka yang sering digunakan adalah pisometer tipe
Casagrande seper ti terlihat pada Gambar G5. Pisometer pipa terbuka ini
sangat sederhana dan murah, tetapi kekurangannya adalah waktu respon
yang lambat, oleh karena itu pisometer, pipa terbuka tidak disarankan
untuk digunakan pada tanah lempung.
· Pisometer hidrolik
Pisometer hidrolik terdiri dari ujung pisometer kecil dengan dinding
berpori dan selang plastik kecil, di mana tekanan air dialirkan ke suatu
titik yang jauh di mana tekanan diukur dengan manometer air raksa
atau pengukur Bourdon.
Pisometer hidrolik memiliki waktu respon yang kecil dan bisa
digunakan untuk mengukur perubahan tekanan akibat perubahan
tegangan yang ditimbulkan oleh beban timbunan di atasnya, pada
lapisan yang memiliki permeabilitas tinggi. Perhatian khusus harus
diberikan pada batas permeabilitas dari ujung berporinya.
G3
Pisometer hidrolik memerlukan rumah pengukur yang cukup besar dan
oleh karena itu lebih cocok untuk digunakan pada kontrak instrumentasi
yang besar.
Ketika menggunakan pisometer hidrolik, harus diperhatikan hal-hal
berikut :
- adanya udara dalam tabung akan menyebabkan pembacaan
yang salah, dan karena itu tabung tersebut harus dijaga agar
selalu penuh dengan air atau udara dikeluarkan,
- tekanan diseluruh pipa penghubung harus berada di atas
tekanan atmosfir.
· Pisometer elektrik
Pisometer elektrik mempunyai transduser tekanan yang dipasang dekat
elemen berpori. Cara kerja dari pisometer elektrik adalah diafragmanya
akan melendut oleh tekanan air yang bekerja pada satu sisi. Waktu
respon yang sangat cepat bisa dicapai asalkan ujung bebas dari
gelembung udara. Kelemahan utama dari pisometer elektrik, adalah
dibutuhkannya kalibrasi yang tidak mudah untuk dilakukan dan
pembuangan udara tidak dimungkinkan lagi untuk dilakukan setelah
dipasang. Faktor keandalan juga dapat menjadi masalah untuk kondisi
jangka panjang.
· Pisometer penumatik
Sistem penumatik terdiri dari ujung berpori, yang didalamnya terdapat
dua tabung berisi udara yang menghubungkan titik pengukuran ke suatu
katup yang sensitif terhadap tekanan, dan dipasang dekat dengan
elemen berpori. Bila sedang digunakan, aliran udara bertekanan
dimasukkan ke dalam salah satu saluran udara tetapi ditahan oleh
tekanan air pori yang bekerja pada suatu diafragma fleksibel yang tipis.
Saat tekanan udara sama dengan tekanan pori, membran mengendur dan
udara yang berlebih melewati labu penanda aliran di mana gelembunggelembung udara
akan tampak. Bila pasokan udara ditutup, maka
tekanan pada saluran pasokan udara akan sama dengan tekanan air pori.
Pisometer pneumatik memiliki beberapa keuntungan:
(i) kelambatan waktu kecil,
(ii) pengoperasian dan pembacaan instrumen sangat
sederhana,
(iii) alat mempunyai stabilitas jangka panjang,
(iv) pembacaan dilakukan secara langsung.
Kelemahan utamanya adalah udara dari instrumen tidak bisa
dikeluarkan. Oleh karena itu tidak bisa digunakan pada endapanendapan yang
mengandung gas.
G4
Contoh pemasangan diperlihatkan pada Gambar G6.
Pengukuran Pergerakkan Lateral
Pergerakan lateral timbunan yang eksesif menandakan permulaan terjadinya
kelelehan plastik dari tanah bawah pemukaan dan diikuti dengan keruntuhan
tanah fondasi. Karena itu untuk mengontrol stabilitas timbunan selama
pelaksanaan konstruksi pengukuran, pergerakan lateral harus dilakukan.
Instrumen/teknik berikut disarankan untuk dipasang untuk memanatu
pergerakkan lateral:
· Indikator gelincir
Indikator gelincir terdiri dari pipa PVC fleksibel berdiameter 20 mm yang
dipasang pada lubang bor, dan dua buah unting-unting seperti
diperlihatkan pada Gambar G7. Unting-unting tersebut terdiri dari bandul
yang diikatkan pada tali. Pipa harus dipasang sampai beberapa meter
masuk ke dalam lapisan keras sehingga pipa kemudian mempunyai
tahanan jepit pada ujungnya. Pipa harus cukup fleksibel untuk
memungkinkan tertekuk pada bidang gelincir yang mungkin terjadi.
Pergerakan lateral dapat dipantau dengan pengukuran ujung atas pipa
yang muncul di permukaan atau dengan menaikkan atau menurunkan
unting-unting dari atau ke dasar pipa. Jika pipa tertekuk, bandul yang
diikatkan ke tali akan terjepit pada lokasi bidang gelincir.
· Patok geser
Patok geser terdiri dari patok kayu persegi berukuran 10 sampai 15 cm
dengan panjang 100 sampai 200 cm. Patok-patok ini dimasukkan ke
dalam tanah dalam bentuk barisan atau kisi-kisi. Pergerakan horisontal
dan vertikal diukur terhadap suatu titik tetap di luar daerah
pengaruh,dengan menggunakan tali, level atau teodolit.
· Inklinometer
Inklinometer terdiri dari pipa lindung penuntun yang dipasang di dalam
lapisan tanah, dan torpedo kedap air. Torpedo merupakan transduser
yang digerakkan pendulum yang diturunkan penuntun. Pergerakan
dihitung dari pengukuran kemiringan pipa lindung pada interval-interval
yang telah ditentukan dan profil pipa lindung berbentuk vertikal akan
didapat dengan menggabungkan nilai yang diperoleh mulai dari dasar
pipa. Pipa lindung harus dipasang secara vertikal dan harus dimasukkan
sampai ke lapisan dasar yang kuat (lapisan yang sangat keras atau lapisan
pasir yang sangat padat atau dasar batuan), sehingga dasar dari pipa
lindung akan bebas dari translasi (dukungan jepit). Lihat Gambar G8.
Alat baca inklinometer, merupakan alat baca yang rumit dan mahal.
Biaya yang cukup harus dianggarkan untuk kalibrasi dan perbaikan;
sebagai alternatif, pemantauan harus disubkontrakkan kepada pemasok
alat.
G5
permukaan timbunan yang
telah selesai
Lubang dalam berukuran 200 x 200 x 300 mm
yang diisi dengan beton kelas E
Batang baja dia 20 mm
panjang 1 m
Elevasi batang
baja yang
diturunkan yang
diukur
sewaktu-waktu

Gambar G1 Penanda Penurunan Permukaan

G6
AA
1"
POTONGAN A-A
Dibaut atau dilas
OGL
PELAT PENURUNAN
pasir
Catatan : Batang dan tabung diperpanjang per satu meter selama konstruksi timbunan
1" ( Pipa baja atau Besi Galvanis)
& dilengkapi dengan sambungan
berdrat (bergalur)
Pelat 60 cm persegi
yang diperkuat/ditimbun dengan pasir (kira-kira 4
kantung pasir)

Gambar G2 Pelat Penurunan

G7
Pipa yang akan diperpanjang
selama penimbunan per
1.0 m panjang
Pipa baja yang ditekan
1.0 m di bawah dasar lubang bor
pipa PVC dia 50 mm
Lubang bor yang
ditimbun kembali
8 buah gigi baja berukuran
dia 10 mm x panjang 80
mm
EKSTENSOMETER BATANG
Tabung diameter 100 mm dengan tutup yang
dapat dikunci, dipasang pada elevasi akhir
dengan coran beton pada sekeliling dasarnya
25 mm (nom) dia pipa
baja yang
digalvanisasi
elevasi tanah asli
elevasi pemasangan
yang ditentukan

Gambar G3 Ekstensometer Batang

G8
level muka
tanah yang ada
Material
timbunan
level tanah asli
Pelat Magnet
EKSTENSOMETER MAGNETIK
Penutup pelindung
Pipa penghantar PVC
Pipa yand dapat ditekan/pipa
yang dapat memanjang

Gambar G4 Ekstensometer Magnetik


G9
Pelindung & tutup yang dapat dikunci
Ditimbun kembali dengan bentonit/air
( Pipa Baja)
( PVC )
oil
A
TBM = Patok Acuan Sementara (Temporary Bench Mark)
Bentonit
DETIL A
Ditimbun kembali dengan
bentonit/air
B
Ditimbun kembali dengan
bentonit/air
Bentonit
Kolom pasir
Bungkus geotekstil yang berlubang atau
bercelah
DETIL B
lereng sisi timbunan
Beton
Untuk lapisan
lempung
Untuk lapisan pasir
Kolom pasir
Ujung Pisometer
( untuk lapisan lempung gunakan ujung pisometer Tipe High
Air Entry Tip )
Ujung pisometer
( untuk lapisan lempung gunakan ujung pisometer tipe High Air Entry Tip )
Gambar G5 Datum Dalam & Pisometer Pipa Ukur Tegak

G10
selubung tebal 1 m thick terbuat dari tablet bentonit
Grouting
Kolom pasir 1 m
Level tanah dasar
Lubang bor diameter
100 mm
PISOMETER PENUMATIK
Selang ganda
Ujung
pisometer
Ujung pisometer diselimuti
oleh pasir bersih yang jenuh

Gambar G6 Pisometer Penumatik


G11
Benang nilon
DETIL A
Kayu
A
INDIKATOR GELINCIR
Tabung pengisi pasir terbuat dari
PVC dia luar 26.5 mm dan dia dalam 20 mm
Pasir
Tabung indikator bidang gelincir
terbuat dari PVC dia luar 19 mm dan
dia dalam 13 mm

Gambar G7 Indikator Gelincir


G12
DEVIASI
PANJANG ALAT BACA (L)
VERTIKAL
SEBENARNYA
DEVIASI= L sin
TABUNG PENGHANTAR

Gambar G8 Inklinometer
Lampiran H
Lembar Catatan Pemasangan
Instrumentasi

H1
Catatan Pemasangan Instrumentasi
Proyek Uji-coba Timbunan di Semarang Instrumen IIA/P3
Pemilik Proyek PPPJJ Muka tanah asli +0.98m
Lokasi Trial IIA Muka air tanah di bawah muka tanah asli -0.5m
Catatan Pengeboran Pemasangan Instrumen
Tanggal 5 Desember 2000 Tanggal 5 Desember 2000
Kedalaman Penjelasan Selubung Sampel Kedalaman Lgd Penjelasan Komentar
0.0-1.0 LEMPUNG coklat abu-abu 0.0-9.0 0.0 Ujung grout
lunak sampai keras 9.0D
1.0-9.0 LEMPUNG abu-abu lunak
dgn beberapa kulit kerang
3.0 Penyambung tabung
9.0 Dasar grout
9.5 Ujung atas keramik
9.8 Ujung bawah keramik
(tip)
Perincian Instrumen
Tipe Pisometer Pneumatik
Pembuat Geotechnical Instruments Model P359/2 Tipe Push In
Rincian Ujung akhir diberi sambungan yang mudah dilepas
Kelebihan pipa 5 m digulung pada ujung pemasangan untuk mengkompensasi kenaikan
timbunan
Bacaan awal 9.3m
Tanda & Proteksi
Instrumen diberi label dengan label aluminium dengan huruf timbul IIA/P3 yang
diikatkan pada sambungan
Pagar bambu sementara dipasang (penutup yang bisa dikunci akan dipasang pada
permukaan timbunan akhir)
Bahan-bahan
Grout 10:1 air/OPC dicampur dengan tongkat pengaduk dan dipompa dari dasar lubang
bor
Pasir
Bentonit
Komentar-komentar Nama Tanggal Mulai
Ketinggian dari Titiktetap 2.456m Datum berlokasi pada lokasi T1 Pengebor
Keramik dijenuhkan dengan perendaman di air bersih selama 16 jam Teknisi pemasangan
Rangkaian diuji dengan alat baca sebelum pemasangan OK
WSP International
6 Desember 2000
Daftar Istilah Teknik
Daftar Istilah-1
BAHASA INDONESIA ENGLISH
abu gunung api volcanic ash
abutmen abutment
adhesi adhesion
ahli geoteknik geotechnical engineer
air bebas ion deionized water
air bebas udara deaired water
air tanah groundwater
aksi pelengkungan arching action
alami, asli natural
albit albite
alinyemen alignment
aliran flow
alkalinitas alkalinity
alofan allophane
aluvial alluvial
aluvium alluvium
amfibol amphibole
analisis butiran grading analysis
analisis saringan sieve analyses
angka pori void ratio
anisotropi anisotropy
anortosit anorthosite
anotit anothite
antofilit anthophyllite
arloji penunjuk dial gauge
atapulgit attapulgite
augit augite
awal preliminary
ayakan sieve
bahan tak terpakai waste materia l
baja nir karat, baja tahan karat stainless steel
baling laboratorium laboratory vane
banjir rencana design flood
basal basalt
batas cair liquid limit
batas plastis plastic limit
batas susut shrinkage limit
batas-batas Atterberg Atterberg limits
batu pori porous stone
batuan beku igneous rock
batuan induk parent rock
batuan malihan metamorphic rocks
batuan sedimen sedimentary rock
beban aksial axial load
beban batas ultimate load
beban lebih overburden
beban siklik cyclic loading
beban tambahan surcharge
benda uji specimen
berat isi unit weight
berat jenis specific gravity
berbongkah blocky
bercelah fissured
berem berm
Daftar Istilah-2
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)

berem pratibobot counterweight berm


berem tekan pressure berm
berlapis stratified
berlensa lensed
biotit biotite
bor auger
bor inti core drilling, core drill
bor mesin rotary drilling machine
bor tangan hand auger
cair liquid
ceklis checklist
cetakan mold, mould
cincin cetak konsolidasi consolidation ring
cincin karet-O O-ring seal
cincin pemotong, cincin pembentuk trimmer, cutting ring
cincin pengukur beban proving ring
contoh tanah soil sample
contoh tanah blok block sample
contoh tanah dipadatkan compacted sample
contoh tanah inti core sample
dasit dasite
dataran banjir, bantaran banjir flood plain
daya dukung bearing capacity
deformasi, perubahan bentuk deformation
degradasi degradation
dekomposisi decomposition
denah kunci, peta kunci key plan
derajat kejenuhan degree of saturation
desikasi desiccation
desikator desiccator
dilatansi dilatancy
disipasi dissipation
dolomit dolomite
drainase drainage
dukungan penuh full support
dukungan setempat local support
eksavator excavator
ekstensometer batang rod extensometer
ekstensometer magnetik magnetic extensometer
ekstensometer penduga probe extensometer
ekstruder extruder
elevasi muka air water level
eligosen eligocene
endapan deposit
endapan bawah air sub aquatic sediment
endapan lakustrin lacustrine deposits
eosen eocene
fabrik fabric
fayalit fayalite
felspar feldspar
fibrik fibric
fibros, berserat fibrous
firm firm
Daftar Istilah-3
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)

fitur feature
fondasi foundation
forsterit forsterite
foto udara aerial photograph
friksi kulit skin friction
friksi, gesek friction
galian dan timbunan cut and fill
gambut peat
gambut amorfos amorphous peat
gaya angkat uplift
gempa earthquake
geogrid geogrid
geosel geocells
geosintetis geosynthetics
geotekstil geotextile
getas brittle
gorong-gorong box culvert
gradien hidrolik hydraulic gradient
granitoid granitoid
granodiorit granodiorite
grid, kisi-kisi grid
gruting grouting
haloysit halloysite
hambatan lekat sleeve friction
hemik hemic
hipersten hyperstene
holosen holocene
homogen, homogenos homogenous
ilit illite
indeks index
indeks plastis plastic index
indeks plastisitas plasticity index
indikator gelincir slip indicator
inklinasi inclination
inklinometer inclinometer
instrumentasi instrumentation
jaman jura jurassic
jaman kuarter quaternary
jejak drainase, lintasan drainase drainage path
jenuh air saturated
jumlah hambatan lekat total friction
kadar air moisture content
kadar air water content
kadar organik organic content
kaji ulang review
kaldera caldera
kalsit calcite
kaolinit kaolinite
kapasitas aksial axial capacity
katup valve
keaktifan lempung clay activity
keasaman acidity
keawetan durability
Daftar Istilah-4
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)

kedalaman penuh full depth


kegambutan peaty
kekar joint
kelanauan silty
kelecakan, mudah diolah workability
kelempungan clayey
kemiringan gradient
kenosoid cenozoid
kenosoik cenozoic
kepadatan density
kepadatan basah wet density
kepadatan curah bulk density
kepadatan massa mass density
kepala tiang pile cap
kepasiran sandy
kerak crust
keras hard
kerikil gravel
kering udara air dry
kohesi cohesion
kohesif cohesive
kolom batu stone column
kompresi, tekanan compression
kompresibel compressible
kompresibilitas, kemampatan compressibility
konglomerat conglomerate
konsistensi consistency
konsolidasi consolidation
konstruksi construction
konstruksi bertahap staged construction
konus cone
konus mantel mantle cone
koridor corridor
kraton craton
kualitas contoh tanah sample quality
kuari quarry
kuat geser shear strength
kuat geser strength
kuat geser puncak ultimate shear strength
kuat tarik tensile strength
kuat tekan compressive strength
labu gelas picnometer
laminar laminar
lanau silt
lantai kerja platform
lapangan field
lapangan insitu
lapangan, lokasi site
lapis fondasi bawah sub base
lapis tipis lamina
lapisan bawah substrata
lapisan bawah permukaan subsurface
lapisan penyerap absorbed layer
Daftar Istilah-5
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)
laporan singkat desain design brief
larutan supernatan supernatent solution
lateral lateral
latit latite
lempeng plates
lempung clay
lempung gemuk fat clay
lempung kurus lean clay
lempung marin marine clay
lendutan deflection
letusan vulkanik volcanic eruption
likuiditas liquidity
limonit limonite
lintasan tegangan stress path
lumpur pemboran drilling mud
mafik mafic
makrofabrik macrofabric
manual manual
mata bor bit
material induk parent material
material lolos air free draining material
matras mattress
membran karet rubber membrane
mesosoik, mesosoikum mesozoic
metode ekstraksi air water extract method
metode gravimetrik gravimetric method
metode lilin wax method
mika mica
mikrofabrik microfabric
miosen miocene
mistar perata straight edge
modulus Young Young modulus
monmorilonit montmorillonite
monsodiorit monzodiorite
monsogabro monzogabbro
monsonit monsonite
muskovit muscovite
neogen neogene
nontronit nontronite
odometer oedometer
oksidasi dikromat dichromate oxidation
oligosen oligocene
olivin olivine
olvin olvine
ombrogenos, ombrogenik ombrogenous
oprit jembatan bridge approach
orogen orogeny
ortoklas orthoclase
otogenesis authogenesis
paleogen paleogene
paleosen paleocene
paparan sunda sunda shelf
parit trench
Daftar Istilah-6
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)

patok geser offset peg


pekerjaan tanah earthwork
pelapukan weathering
pelat bertiang, kaki seribu piled slab
pelat penurunan settlement plate
pelepasan tegangan stress relief
pelindihan leaching
peluang, probabilitas probability
pemancangan desak driven displacement
pemantauan monitoring
pembacaan awal initial reading
pembentuk rongga void former
pemberat weights
pembobotan weighting
pemboran putar rotary drilling
pembusukan humification
pemeraan plotting
pemeriaan description
pemeriaan tanah soil description
penambahan beban surcharging
penampang log
penampangan logging
penanda penurunan settlement marker
penanda penurunan permukaan surface settlement marker
penanganan contoh tanah sample handling
pendebuan dusting
pendugaan sounding
penetrasi penetration
penetrometer konus cone penetrometer
pengambil contoh berdinding tipis thin walled sampler
pengambil contoh piston piston sampler
pengambil contoh piston bebas free piston sampler
pengambil contoh tekan push sampler
pengambil contoh tumbuk drive sampler
pengambil contoh tumbuk terbuka open drive sampler
pengambilan contoh blok block sampling
pengambilan contoh tanah sampling
pengembangan swelling
pengeringan dewatering
penggantian replacement
penggembungan heaving
pengujian testing
pengukur deformasi deformation gauge
pengukur tekanan pressure gauge
peninjauan lapangan reconnaissance
penumatik pneumatic
penurunan settlement
penurunan beda differential settlement
penurunan segera immediate settlement
penyalir drain
penyalir alami natural drain
penyalir horisontal horizontal drain
penyalir pasir sand drain
Daftar Istilah-7
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)

penyalir vertikal vertical drain


penyelidikan investigation
penyelidikan lapangan site investigation
penyelidikan tanah ground investigation
perawatan curing
perbaikan tanah ground improvement
perbaikan tanah ground treatment
periode ulang return period
perkuatan reinforcement
perlapisan layering
permeabilitas permeability
permeameter yang membor sendiri self boring permeameter
perpindahan displacement
perpindahan tanah vertikal vertical earth displacement
persiapan basah wet preparation
persiapan kering dry preparation
peta geologi geological map
peta topograpi topographical map
pipa lindung casing
pipa penghantar access tube
pipa ukur tegak standpipe
pirofilit pyrophyllite
piroksen pyroxene
pisometer piezometer
piston tetap fixed piston
plagioklas plagioclase
planar planar
pleistosen pleistocene
pliosen pliocene
porositas porosity
prakonsolidasi preconcolidation
pressuremeter bor self boring pressure meter
punggung bukit ridge
rangkak creep
rasio friksi friction ratio
rasio pemulihan, angka pemulihan recovery ratio
rasio Poisson Poisson ratio
rasio susut shrinkage ratio
rawa bakau mangrove swamp
rawa hulu back marsh
regangan strain
regangan aksial axial strain
rekompresi recompression
remasan remoulded
rembesan seepage
rencana, denah plan
resen recent
residual residual
retakan sineresis syneresis crack
riolit rhyolite
rongga udara void
salinitas salinity
sampel, contoh tanah sample
Daftar Istilah-8
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)

saprik sapric
sedimentasi, pengendapan sedimentation
segregasi segregation
sel beban load cell
sel hidrolik hydraulic cell
selang ganda twin tubing
selimut pasir sand blanket
selongsong gesek friction sleeve
senit syenite
sensitivitas sensitivity
serat fibre
serpentinit serpentinite
sesar fault
sifat teknik tanah engineering soil properties
siklus logaritmik log cycle
skuising squeezing
soket, penyambung pipa coupling
sondir Dutch Cone Test
spatula spatula
spesialis geoteknik geotechnical specialist
stabilitas stability
stif stiff
strata stratum
stratifikasi stratification
stratigrafi stratigraphy
struktur teknis engineering structure
struktur terdispersi dispersed structure
struktur terflokulasi flocculated structure
studi kelayakan feasibility study
studi meja desk study
subduksi subducts
sudut geser dalam internal friction angle
suhu pijar ignition temperature
sumur uji test pit
surut draw drown
suspensi suspension
susut shrinkage
tabung penginti tipis thinwall tube
tabung penginti, penginti core barrel
tahanan konus cone resistance
tahanan kulit skin resistance
tak berkelangsungan non sustainable
tak dapat terbakar incombustible
tak jenuh unsaturated
tak terdesak non displacement
tak terdrainase undrained
tak terkonsolidasi unconsolidated
tanah bawah permukaan subsoil
tanah dasar sub grade
tanah lunak soft soil
tanah mineral or ganik organo-mineral soil
tanah residual residual soil
tanggul levee
Daftar Istilah-9
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)

tata letak layout


tegangan stress
tegangan deviator deviator stress
tegangan geser shear stress
tegangan prinsipal principal stress
tegangan total total stress
tekanan air pori pore water pressure
tekanan balik back pressure
tekanan ke atas uplift pressure
tekanan kekang confining pressure
tekanan pori berlebih excess pore pressure
terangkut transported
terdrainase drained
terganggu disturbed
terkonsolidasi consolidated
terkonsolidasi tak terdrainase consolidated undrained, CU
terkonsolidasi terdrainase consolidated drained, CD
terkonsolidasi-kurang under consolidated
terkonsolidasi-lebih overconsolidated
terlaminasi laminated
terlipat folded
tiang pancang bor bored pile
timbunan embankment
timbunan bertiang piled embankment
timbunan percobaan trial embankment
tinggi tekan tetap constant head
tinggi tekan turun falling head
titik penyelidikan exploratory point
titik tetap, patok tetap benchmark
topogenos topogenous
torsi torque
tracit trachyte
transduser transducer
tremolil tremolile
triaksial triaxial
triaksial CD triaxial CD
triaksial CU triaxial CU
triaksial UU triaxial UU
triasik triassic
turap baja sheet pile
tutup pipa, tutup ujung end cap
uji test
uji baling lapangan field vane test
uji dilatometer datar flat dilatometer test
uji geser baling vane shear test
uji geser langsung direct shear test
uji hilang pijar loss on ignition test
uji konsolidasi consolidation test
uji pembebanan loading test
uji penetrasi konus cone penetration test
uji penetrasi standar standard penetration test
uji pressuremeter pressuremeter test
uji tekan compression test
Daftar Istilah-10
BAHASA INDONESIA ENGLISH
(lanjutan)

uji tekan bebas unconfined compression test


ujung bertekanan udara tinggi high air entry tip
unit tanah soil unit
variasi litologi lithological variation
vermikulit vermiculite
wadah contoh tanah sample container
zona zone
zonasi zoning

Peserta dan Ucapan Terima Kasih


Penyiapan Panduan Geoteknik ini dilakukan oleh Pusat Litbang
Prasarana Transportasi, Bandung melalui Kontrak Proyek Tahap 2
Indonesian Geotechnical Materials and Construction Guides.
Pekerjaan tersebut dilaksanakan antara bulan Nopember 1999 dan April
2002.
Tim Pusat Litbang Prasarana Transportasi:
Dr. Ir. Hedy Rahadian,MSc., Ir. GJW Fernandez, Dayat, B.E.,
Lanalyawati, B.E., Iyus Rusmana, B.E., Drs. Bambang Purwadi,
Ir. Saroso B.S., Ir. Suhaimi Daud, Drs. Suherman, Ir. Benny
Moestofa, Ir. Rudy Febrijanto, M.T., Ir. Deddi Soeteddi, Rakhman
Taufik, S.T., Ir. Djoko Oetomo, Dian Asri, S.T., Slamet Prabudi,
S.T., Endang Suwanda, Ahmad Rusdi, Ir. Haliena Armela, Irdam
Buyung Adik, Wachjoe Poernama, Sumarno, Silvester Fransisko,
Ahmad Jaenudin, Hartiti Rochkyatun, Yayah Rokayah, Maman
Suherman, Purbo Santoso, Wagiman, Deni Hidayat.
Konsultan Proyek terdiri atas WSP International bekerjasama dengan PT
Virama Karya dan PT Trikarla Cipta
Staf Konsultan:
Michael Ellis, Alan Rachlan, MSc., Jeremy Burton,
Dr. Jim McElvaney, Tony Barry, Ir. Suprapto,
Ir. A. E. Sulistiadi, Ir. Tata Peryoga, M.T., Ir. Budi Satriyo,
Sugeng Parwoto, Susilowati, Renny Susanty.
Pengkaji eksternal Panduan Geoteknik, oleh:
Abdul Aziz Djajaputra, Prof. Dr. Ir. (ITB – Bandung )
Agus Darmawan, Dr. Ir. (UGM – Yogyakarta)
Agita W., Ir. MSc. (Bintek – Jakarta)
Bigman Hutapea, Dr. Ir. (HATTI – Bandung)
Damrizal Damoerin, Ir.MSc. (UI – Jakarta)
Deliana, Ir. (Bintek SDA – Jakarta)
Enny, Ir. (Set Balitbang – Jakarta)
Gogot S. Budi, Dr. Ir. (Univ. Kristen Petra – Surabaya)
Irawan Firmansyah, Ir. MSCE. (PT Wiratman Ass – Jakarta)
Jawali Marbun, Dr. Ir. (Dept. Kimpraswil – Jakarta)
Kabul Basah S., Dr. Ir. (UGM – Yogyakarta)
Khaidir A. Makarim, Dr. Ir. (HATTI – Jakarta)
Masyhur Irsyam, Dr. Ir. (ITB – Bandung )
Paulus P Rahardjo, Prof. Dr. Ir. (UNPAR – Bandung)
Richard Langford Johnson (Proyek PMU SURIP)
Sudaryono, M.M. Dr. Ir. (HPJI – Jakarta )
Tatang Sutardjo, Ir. MEng. (Puslitbang Pengairan–Bandung)
Yayan Suryana, Ir., MSc. (Bintek – Jakarta)
Yun Yunus Kusumahbrata, Dr. Ir (Puslitbang Geologi – Bandung)
Para penyusun Panduan ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas
dukungan yang telah diberikan oleh:
Ir. Frankie Tayu, dan Mantan Kepala Pusat Litbang
Ir. Hendro Ryanto, MengSc. (alm) Prasarana Transportasi
Dr. Ir. Syahdanulirwan, MSc. Kepala Pusat Litbang Prasarana
Transportasi
Dr. Ir. Hikmat Iskandar, Kepala Bidang Tata Operasional,
Pusat Litbang Prasarana
Transportasi
Dan Bambang Dwiyanto, M.Sc. Kepala Puslitbang Geologi atas
dukungan serta ijin penggunaan peta geologi Indonesia. Informasi Hubungi:
Pusat Litbang Prasarana Transportasi
Jl Raya Timur 264
Bandung 40294
Indonesia
Telp +62 (0)22 7802251-3
Email [email protected]

DA: Sebenarnya apa yang dimaksud dengan “pondasi cakar ayam” itu?

HCH: Fondasi dari sistem Cakar Ayam ini terdiri dari pelat beton bertulang tebal
antara 15 – Diameter pipa-pipa beton 1,2 m, panjang 2 m dan tebal 8 cm
(Gambar 1). Fondasi sistem Cakar Ayam ditemukan oleh Prof. Dr. Ir. Sediyatmo
pada tahun 1961. Sistem Cakar Ayam
digunakan pertama kali untuk fondasi bangunan menara listrik tegangan tinggi di
daerah Ancol yang tanahnya berupa rawa-rawa. Pipa-pipa beton tersebut disebut
cakar. Menurut Hadmodjo (1994), sistem Cakar Ayam cocok diterapkan pada
tanah yang mempunyai
kapasitas dukung sekitar 1,5 – 3,5 t/m2 (15 – 35 kPa).

Pada tahun 2007, aplikasi Sistem Cakar Ayam untuk perkerasan beton diubah
bahannya, cakar yang semula dibuat dari bahan pipa beton diameter 1,20 m,
panjang 2 m dan tebal 8 cm, digantikan dengan pipa baja yang sangat ringan
(berat sekitar 35 kg) dengan tebal 1,4 mm, diameter berkisar 0,60 – 0,80 m dan
panjang 1,0 – 1,2 m. Sistem Cakar Ayam yang baru ini, disebut dengan Sistem
Cakar Ayam Modifikasi, yang beserta dengan cara perancangan telah
dipatentkan oleh Bambang Suhendro, Hary Christady Hardiyatmo dan
Maryadi Darmokumoro.

DA: Apa saja kelebihan “pondasi cakar ayam” ini, terutama jika
dibandingkan dengan konstruksi/pondasi lain yang sebelumnya pernah
ada? Boleh dijelaskan? (misalnya: lebih cost effective)

HCH: bila dipakai untuk perkerasan jalan raya, memberikan konstruksi jalan yang
kuat dan awet, sehingga biaya pemeliharaan kecil. Walaupun biaya awal lebih
mahal, tapi karena free maintenance, maka biaya total selama umur layanan
yang dikehendaki manjadi lebih kecil.

Aplikasi Untuk Fondasi Bangunan


Sistem Cakar Ayam telah digunakan untuk fondasi-fondasi bangunan, seperti
menara listrik, menara air, gedung, dan jembatan. Fondasi Cakar Ayam dibangun
seperti sistem fondasi rakit (raft foundation) yang luasannya memenuhi atau
bahkan lebih lebar dari lebar
bangunannya sendiri untuk memperkecil tekanan bangunan ke tanah fondasi.
Karena sistem Cakar Ayam merupakan sistem rakit yang relatif fleksibel, maka
guna memperkecil penurunan tidak seragam di antara kolom-kolom dan geser
pons yang besar
pada pelat fondasi, pada bagian ini pelat beton dibuat lebih tebal. Dengan
demikian, pada aplikasi untuk fondasi gedung, cara kerja fondasi Cakar ayam
dalam mendukung beban mirip dengan fondasi sumuran atau fondasi rakit.
Karena itu, bila dasar pipa-pipa Cakar Ayam tidak
mencapai tanah keras, masalah penurunan yang berlebihan dan tidak seragam
harus menjadi perhatian. Karena sistem Cakar Ayam tidak dapat mengatasi
masalah penurunan, aplikasi fondasi sistem Cakar Ayam untuk bangunan gedung
di atas tanah lunak, dibatasi sampai
gedung berlantai dua atau tiga.
Sistem Cakar Ayam sangat cocok digunakan untuk fondasi menara listrik.
Dengan fondasi sistem Cakar Ayam yang dipasang memenuhi dasar kaki-kaki
menara, maka tekanan menara ke tanah fondasi menjadi sangat kecil, dan bila
terjadi beban-beban kejut seperti angin,
tarikan kawat, gempa yang bebannya bersifat sementara, maka gaya-gaya
lateral yang terjadi akan dilawan oleh interaksi pelat-cakar-tekanan tanah lateral
di sekitar pipa-pipa, sehingga bangunan tetap stabil.

Aplikasi Untuk Perkerasan Jalan


Sistem Cakar Ayam sangat cocok digunakan sebagai perkerasan kaku (rigid
pavement). Dibandingkan dengan perkerasan jalan beton konvensional, sistem
Cakar Ayam lebih kuat dan tahan lama, karena pipa-pipa Cakar Ayam kecuali
mengurangi lendutan pelat akibat beban, juga menjaga pelat tetap dalam kontak
yang baik dengan tanah di bawahnya.
Bila perkerasan jalan dari sistem Cakar Ayam diletakkan di atas timbunan yang
mengalami penurunan konsolidasi yang berlebihan, maka sistem perkerasan ini
dapat meminimalkan penurunan tidak seragam, sehingga menjaga kerataan
permukaan jalan beton.
Sebagai contoh, sistem Cakar Ayam pada Jalan Tol Prof. Sediyatmo Cengkareng
yang terletak pada timbunan setinggi 3,5 m. Timbunan telah mengalami
penurunan konsolidasi sekitar 100 cm, namun hingga sekarang perkerasan
sistem Cakar Ayam masih dalam kondisi baik.

DA: Apa saja manfaat “pondasi cakar ayam” ini?

HCH: bisa untuk fondasi bangunan. Lebih cocok untuk perkerasan jalan, atau
fondasi menara listrik.
DA: Bisa diceritakan; darimanakah ide tentang pondasi cakar ayam ini
bermula?

HCH: Suatu pelat beton yang di”paku” (diangker) pada tanah-dasar kekuatan
dan keawetannya akan lebih tinggi dalam mendukung beban berulang (misalnya
beban kendaraan) dibandingkan dengan pelat beton yang hanya diletakkan di
atas tanah.
Apabila bidang kontak antara pelat dan tanah terjamin selalu rapat selama masa
layan struktur, maka pelat selain kuat juga awet, sehingga bila pelat tersebut
digunakan untuk perkerasan jalan, pemeliharaan akan kecil. Jadi, fungsi dari
pipa-pipa Cakar Ayam adalah sebagai “paku” antara pelat dan tanah di
bawahnya, sehingga bila dibandingkan dengan pelat biasa (tanpa pipa), pada
beban yang sama, Sistem Cakar Ayam akan melendut lebih kecil dan lebih awet.
Perlu diperhatikan bahwa bila pelat dipasang tanpa pipa-pipa cakar atau tanpa
dipaku ke tanah, maka oleh akibat beban berulang, seperti beban lalu-lintas,
maka pelat akan mudah sekali bergerak dan di bawah pelat cenderung mudah
sekali terbentuk rongga-rongga antara pelat dan tanah. Rongga-rongga ini yang
mengurangi kontribusi dukungan tanah-dasar terhadap pelat bila pelat dibebani,
akibatnya pelat mudah pecah. Dari hasil uji laboratorium, Hardiyatmo et al.
(2000) menunjukkan bahwa oleh akibat beban, lendutan pelat tanpa cakar lebih
besar dibandingkan dengan pelat yang diperkuat dengan cakar.

DA: Mengapa Anda menamakan konsep pondasi yang Anda temukan ini
dengan konstruksi “cakar ayam”? Apakah memang terinspirasi dari
ayam?

HCH: Fondasi cakar ayam diciptakan oleh Prof. Sediyatmo terdiri dari pelat tebal
10– 20 cm, diperkuat dengan pipa-pipa beton diameter 1,2 m panjang 2 m.
Bentuknya sendiri tidak seperti cakar. Ada beberapa versi mengenai ide awalnya,
ada yang bilang meniru pohon kelapa yang akarnya.

DA: Kapan tepatnya Anda menemukan “pondasi cakar ayam”? Lalu,


kapan pula Anda mempatenkan hasil karya ini?
HCH: dipatentkan atas nama 3 orang pada tahun 2007

DA: Apakah temuan Anda ini langsung diakui dan


dimanfaatkan/diaplikasikan oleh ilmuwan lainnya, rekan seprofesi Anda,
pemerintah, dan instansi terkait? Atau malah ada penolakan/ditentang,
mengapa?

HCH: sudah diaplikasikan di Jalan Tol Seksi 4 Makasar, jalan pantura Indramayu
Pamanukan, Jalan Penghubung di Samarinda, Detour Sediyatmo dll.

DA: Berapa lama waktu yang Anda perlukan untuk membuat/mendesain


“pondasi cakar ayam” ini?

HCH: Bergantung pada kekomplekan masalah.

DA: Berapa lama waktu yang dibutuhkan jika (orang atau pemerintah)
ingin membangun “pondasi cakar ayam”?

HCH: Pelaksanaan mudah hingga pelaksanaan cepat.

DA: Apa kesan dan pesan Anda untuk mahasiswa teknik, terutama yang
berminat mengikuti jejak Anda, sebagai pakar di bidang mekanika
tanah?

HCH: Banyak membaca referensi, baik buku/jurnal baru dan bukubuku/ jurnal
kuno yang mempelajari filosofi dasar dari mekanika tanah/pondasi.

DA: Apa kesan, pesan, dan kritikan Anda untuk pemerintah, terutama
berkaitan dengan kebijakan pembangunan di bidang teknik (mekanika
tanah)?

HCH: Biaya pembangunan sering dipangkas dari biaya normalnya, sehingga baik
perancangan maupun pembangunan bangunan pemerintah dibangun dengan
tidak maksimal. Banyaknya jalan rusak, karena perancangan dan pelaksanaan
yang buruk, selain juga banyaknya kelebihan beban kendaraan.

Anda mungkin juga menyukai