Konteks Wacana
Konteks Wacana
Konteks Wacana
“KONTEKS WACANA”
A. Pengertian Konteks
Analisis wacana mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi,
peristiwa, dan kondisi. Wacana disini dipandang diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada
suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari
komunikasi yaitu siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa, dalam jenis
khalayak dan situasi apa. melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan
komunikasi dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak.
Menurut Brown dan Yule (1983), konteks adalah lingkungan (envirenment) atau
keadaan (circumstances) tempat bahasa digunakan. Dapat pula dikatakan bahwa konteks
adalah lingkungan teks. Di samping istilah konteks dalam khasanah istilah linguistik
Indonesia juga digunakan istilah lingkungan, lingkupan yang sama mempunyai makna yang
berbeda karena konteks yang berbeda.
Menurut Halliday dan Hassan (1985:5), yang dimaksud dengan konteks wacana
adalah teks yang menyertai teks lain. Menurut kedua penulis itu, pengertian hal yang
menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan dituliskan, tetapi termasuk pula
kejadian yang nonverbal lainnya yaitu keseluruhan lingkungan teks itu.
Menurut Guy cook, konteks memasukan semua situasi dan hal yang berada di luar
teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana
teks diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan sebagainya.
Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana.
Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana, jenis kelamin, umur,
pendidikan, kelas social, etnis, agama, dalam banyak hal yang menggambarkan wacana
(contohnya : seseorang berbicara dengan pandangan tertentu karena ia berpendidikan atau
sesorang yang sudah dewasa). Kedua, setting social tertentu (tempat, waktu, posisi pembicara
dan pendengar dan lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu
wacana), contohnya : berbicara di ruang kelas berbeda dengan berbicara di pasar karena
situasi social dan aturan yang melingkupinya berbeda.
2. Topik Pembicaraan
Dengan mengetahui topik pembicaraan, pendengar akan sangat mudah memahami isi
wacana, sebab topik pembicaraan yang berbeda akan menghasilkan bentuk wacana yang
berbeda pula. Di samping itu, partisipan tutur akan menangkap dan memahami makna
wacana berdasarkan topic yang sedang dibicarakan.
Contoh:
Kata miring
Dalam sebuah wacana akan bervariatif maknanya, bergantung pada topik
pembicaraannya. Dalam bidang ekonomi mungkin berarti’ kemurahan harga’; jika topiknya
kejiwaan tentulah maknanya’ seseorang itu gila’.
3. Latar Perstiwa
Latar peristiwa dapat berupa tempat, keadaan psikologis partisipan, atau semua hal
yang melatari terjadinya peristiwa tutur.
Contoh:
a. Seorang pembeli di pasar menawar barang dengan menggunakan bentuk wacana tidak
baku. “ Bu, berapa hargane ikan mujair ?”
b. Seorang Pak RT ketika berpidato dalam situasi resmi. Menyambut peringatan Hari
Kemerdekaan.
“ Salam sejahtera bagi kita semua, karena kita masih diberikan kesempatan oleh Tuhan
Yang Maha Esa untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
2013”.
4. Penghubung
Penghubung adalah medium yang dipakai untuk menyampaikan topik tutur. Untuk
menyampaikan informasi, seorang penutur dapat mepergunakan penghubung dengan bahasa
lisan atau tulisan. Ujaran lisan dapat dibedakan berdasarkan sifat hubungan partisipan tutur,
yaitu langsung (dialog) dan tidak langsung (percakapan telepon). Di samping itu, ujaran lisan
dapat pula dibedakan menjadi ragam resmi dan tidak resmi.
Ujaran tulis merupakan sarana komunikai dengan menggunakan tulisan sebagai
perantaranya. Jenis sarana seperti ini dapat berwujud seperti surat, pengumuman, undangan,
dan sebagainya.
5. Kode
Kode dapat dipilih antara salah satu dialek bahasa yang ada atau bisa juga memakai
salah satu register (ragam) bahasa yang paling tepat dalam hal itu. Akanlah sangat ganjil jika
ragam bahasa baku dipakai untuk tawar-menawar barang di pasar. Juga terasa aneh jika
ragam nonbaku dipakai berkhotbah di masjid atau gereja.
6. Bentuk Pesan
Pesan yang hendak disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan bersifat
fundamental dan penting. Banyak pesan yang tidak sampai kepada pendengar karena jika
pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai lapisan masyarakat maka harus dipilih bentuk
pesan yang bersifat umum, sebaliknya jika pendengarnya kelompok yang bersifat khusus atau
hanya dari satu lapisan masyarakat tertentu bentuk pesan haruslah bersifat khusus. Isi dan
bentuk pesan harus sesuai karena apabila keduanya tidak sesuai maka pesan atau informasi
yang disampaikan akan susah dicerna pendengar.
Contoh:
Menyampaikan informasi tentang bencana, pasti harus berbeda dengan menyampaikan uraian
tentang sejarah.
7. Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur yang dimaksud disini adalah peristiwa tutur tertentu yang mewadahi
kegiatan bertutur. Misalnya pidato, sidang pengadadilan, dan sebagainya. Hymes (1975:52)
menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat hubungannya dengan latar peristiwa, dalam
pengertian suatu peristiwa tutur tertentu akan terjadi dalam konteks situasi tertentu. Peristiwa
tutur dapat menentukan bentuk dan isi wacana yang akan dihasilkan. Wacana yang
dipersiapkan untuk pidato akan berbeda bentuk dan isinya dengan wacana untuk seminar atau
pelatihan.
1. Praanggapan (Presupposition)
Menurut Filmore (1981), dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkatan-
tingkatan komunikasi yang implisit atau praanggapan dan eksplisit dan ilokusi. Sebagai
contoh, ujaran dapat dinilai tidak relevan atau salah bukan hanya dilihat dari segi cara
pengungkapan peristiwa yang salah pendeskripsiannya, tetapi juga pada cara membuat
peranggapan yang salah.
Kesalahan membuat praanggapan mempunyai efek dalam ujaran manusia. Dengan
kata lain, praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang
diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihipotesiskan, makin tinggi nilai komunikasi
suatu ujaran. Dalam beberapa hal, makna wacana dapat dicari melalui praanggapan, namun
disisi lain terdapat makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit.
Contoh :
(1) Ibu saya datang dari Jakarta
Dalam contoh (1) praanggapan adalah: (1) saya mempunyai ibu; (2) Ibu ada di Jakarta.
Fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respon terhadap
penafsiran suatu ujaran. Menurut Leec (1981:288) praangaapan sebagai suatu dasar
kelancaran wacana yang komunikatif. Pernyataan dari suatu praanggapan akan menjadi
praanggapan bagi ujaran selanjutnya.
Contoh lain :
(1). Apakah Andi masih menjadi ketua RT?
(2). Andi masih menjabati kedudukan sebagai ketua RT.
Praanggapan (1) : Andi menjadi ketua RT pada masa lampau.
Praanggapan (2) : - Andi menjadi ketua RT pada masa lampau.
- Andi adalah ketua RT pada masa sekarang.
Dalam menafsirkan kalimat-kalimat yang tidak terterima, meskipun kalimat itu benar
secara gramatikal dilihat dari segi strukturnya. Contoh :
(1). Mobil itu sakit.
(2). Orang itu sakit.
Kalimat (1) tidak terterima meskipun dalam segi gramatikal benar, sedangkan kalimat
(2) terterima karena yang menerima praanggapan hanya yang bernyawa atau hidup yang
dapat sakit. Ketidakterimaan kalimat dapat dipecahkan dalam ujaran yang sebenarnya dengan
cara interpretasi metaforik.
2. Implikatur
Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh H.P.Grice (1975) untuk memecahkan
persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur
dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur
sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983:31).
Contoh :
(1) Bersih di sini bukan?(ujaran)
Maka secara implisit penutur menghendaki agar ruangan tersebut dibersihkan.
Menurut Grice (1975), dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut
implikatur konvensional, yaitu implikatur yang ditentukan oleh arti konvensional kata-kata
yang dipakai.
Contoh :
(1) Dia orang Jawa karena itu dia rajin.
Pada contoh (1) tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri (rajin)
disebabkan oleh ciri lain (orang Jawa), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara
konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu yang dimaksud itu
orang Jawa dan tidak rajin, implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tida salah.
3. Inferensi
Inferensi atau penarikan kesimpulan dikatakan oleh Gumperz (1982) sebagai proses
interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks percakapan. dengan demikian pendengar
menduga kemauan penutur, dan dengan itu pula pendengar meresponsnya.
Dengan begitu inferensi percakapan tidak hanya ditentukan oleh kata-kata pendukung
ujaran itu saja, melainkan juga didukung oleh konteks dan situasi. Sebuah gagasan yang
terdapat dalam otak penutur direlisasikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Jika penutur tidak
pandai dalam menyusun kalimat maka akan terjadi kesalahpahaman.
Contoh:
Ada dua orang teman berjumpa dan perjumpaan itu diceritakan oleh salah satunya kekawan
lainnya. Terjadilah percakapan berikut,
Nisa : “Saya baru bertemu dengan si Luna.”
Hanna : “Oh, si Luna kawan kita di SMA itu?”
Nisa : “Bukan, tapi Luna kawan kita waktu kuliah dulu.”
Hanna : “Luna yang berambut panjang itu?”
Nisa : “Bukan, bukan Luna yang berambut panjang, tapi Luna yang yang berjilbab itu
loh?”
Hanna : “Oh, ya, saya tahu.”
Pada ujaran pertama Hanna salah tangkap. Yang tergambar dibenaknya adalah si Luna
teman SMA. Setelah diterangkan oleh Nisa bahwa Luna teman waktu kuliah, Hanna salah
tangkap lagi, karena yang diduga adalah Luna yang berambut panjang. Sesudah kalimat ke
tiga dari Nisa, barulah Hanna paham siapa si Luna sebenarnya. Walaupun tanggapan tentang
si Luna sudah jelas, akan tetapi apa yang dipikirkan oleh Nisa tidaklah dapat ditanggapi
seluruhnya oleh Hanna karena masih banyak hal yang masih tersembunyi, misalnya kapan
Nisa bertemunya, di mana bertemunya, berapa jam, dapat dikatakan bahwa yang ditanggapi
pendengar dari ucapan penutur itu hanya beberapa bagian saja dan tidak seluruhnya.
D. Peranan Konteks
Brown dan Yule (1984) bahwa seorang analis wacana mempelajari bahasa dengan
pendekatan pragmatis (a pragmatic approach to the study of language) ini. Telah dinyatakan
sebelumnya bahwa peranan konteks sangat penting dalam analisis wacana. Kedua contoh
berikut ini memperjelas peranan konteks dalam penggunaan bahasa. Kata "pintar"
mengandung makna yang berbeda bahkan bertolak belakang pada kedua contoh di bawah ini.
Contoh 1 :
a. Penutur seorang bapak, pendengarnya istrinya. Tempat di rumah mereka. Mereka
mendengarkan anak mereka yang masih berumur dua setengah tahun menyanyikan
lagu Bintang kecil dengan lancar. Bapak tersebut berkata : "Pintar ya dia".
b. Penutur seorang ibu. Pendengarnya suaminya. Ibu menyuruh anak perempuannya
memasak telor untuk makan malam. Si anak memasak telor dengan melamun sehingga
telornya jadi hangus. Ibu tadi lalu berkata: "Pintar ya dia".
Unsur-unsur dari kalimat tersebut secara gramatika sama benar. Akan tetapi terdapat
perbedaan makna, yaitu pada kata Pintar ya dia (a) bermakna sebenarnya, yaitu anak yang
memang pintar, sedangkan kata Pintar ya dia (b) bermakna sebaliknya yaitu tidak pintar.
Contoh 2 :
a. Penutur adalah rekan dari Anton, sedangkan pendengar rekannya yang lain. Ketika sore
itu ada 3 orang remaja sedang berjalan di taman. Tiba-tiba datanglah seorang preman
menghampiri mereka untuk memalak. Ada salah seorang dari remaja itu berani melawan
pemalak tersebut dan berhasil membuat pemalak itu kabur. Salah satu dari rekannya
berkata: “ Anton memang pemberani !”
b. Malam itu ada seorang laki-laki berjalan dengan dua rekannya yang perempuan. Tiba-
tiba turun hujan yang sangat lebat. Merekapun berteduh di emper sebuah toko. Tiba-tiba
ada sekelebat bayangan putih. Tiba-tiba rekan laki-lakinya itu langsung bersembunyi di
balik rekan perempuannya. Salah seorang rekan perempuannya berkata: “ Anton
memang pemberani!”
Unsur-unsur dari kalimat tersebut secara gramatika sama benar. Akan tetapi terdapat
perbedaan makna, yaitu pada kata pemberani (a) bermakna sebenarnya, yaitu orang yang
tidak takut, sedangkan kata pemberani (b) bermakna sebaliknya yaitu penakut.
Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu :
1) Konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu
komunikasi.
2) Konteks epstemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh
penutur dan mitra tuturnya.
3) Konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau ujaran-ujaran yang
mendahului dan mengikuti ujaran tertentu dalam suatu peristiwa komunikasi, konteks
linguistik ini disebut juga dengan istilah koteks.
4) Konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar yang melengkapi hubungan antara penutur
dan mitra tutur. (cf. Syafi’ie, 1990: 126).
E. Penggunaan Konteks Dalam Analisis Wacana.
Satuan bahasa yang dianalisis dalam analisis wacana adalah satuan bahasa yang
terdapat dalam konteks. Satuan terkecil dalam wacana adalah kalimat atau unsur kalimat.
Sasaran analisis wacana bukanlah struktur kalimat tetapi status nilai fungsional kalimat dan
konteksnya. Berdasarkan uraian tersebut analisis wacana selalu memanfaatkan konteks, baik
itu konteks linguistik maupun konteks ekstralinguistik.
Analisis wacana memiliki banyak sasaran, bergantung pada tujuan yang menjadi
target analisis itu. Pada uraian berikut akan mempelajari penggunaan konteks dalam analisis
wacana untuk mengenali struktur wacana, maka referensi dan inferensi dalam wacana, unsur-
unsur serta keterkaitannya dengan wacana yang terbatas pada :
Eriyanto. 2009. “Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media”. Yogyakarta: LKiS.
Diakses dari: http://books.google.co.id/books?
id=cpDAPMAmimcC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false. [28
Februari 2018. 20.20].
Fachri, Muhammad. 2012. “Ferlianus, dkk : Semantik Peran Konteks dalam Wacana”.
Diakses dari: http://regulerekstensib2011.blogspot.com/2012/12/peran-konteks-dalam-
wacana.html. [27 Februari 2018. 19.20].