Sintesis Penangkaran Rusa Timor PDF
Sintesis Penangkaran Rusa Timor PDF
Sintesis Penangkaran Rusa Timor PDF
PENGEMBANGAN PENANGKARAN
RUSA TIMOR
Penerbit :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai XI
Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270
Telp. (021) 5730398, 5734333; Fax. (021) 5720189
iii
Buku ini memberikan tuntunan bagi masyarakat dan
lembaga konservasi yang concern terhadap konservasi
khususnya penangkaran rusa yang tentunya memerlukan
suatu teknik penangkaran yang tepat sehingga hasilnya
dapat ditingkatkan. Oleh karena itu saya sampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pusat Litbang
Konservasi dan Rehabilitasi, juga kepada penyusun,
penyunting, pembahas, dan penulis serta semua pihak yang
telah berkontribusi dalam penyusunan buku “Pengembangan
Penangkaran Rusa Timor”.
Saya berharap buku ini dapat bermanfaat sehingga
penangkaran rusa timor di Indonesia dapat berhasilguna
dan berdayaguna.
Kepala Badan,
iv
KATA PENGANTAR
v
Semoga buku ini bermanfaat bagi siapa saja yang
memerlukan informasi atau data atau Iptek penangkaran rusa,
terutama rusa timor (Rusa timorensis). Namun demikian kiritik
dan saran tetap terbuka guna sempurnanya buku ini.
Kepala Pusat,
vi
1. PENDAHULUAN
1
mengurangi penyebaran tumbuhan cepat tumbuh dan
dominan untuk memberikan kesempatan bagi tumbuhan yang
sub dominan. Proses ini akan memperkaya keragaman jenis
flora dalam ekosistem hutan (Alikodra, 1990).
Satwaliar juga merupakan sumber protein bagi
masyarakat lokal. Dalam sistem pemanfaatan tradisional,
perburuan yang dilakukan masyarakat hanya untuk memenuhi
kebutuhan kelengkapan gizi protein hewani, dan masih terikat
pada sistem budaya serta adat istiadat. Dengan cara ini
masyarakat tradisional sudah mempunyai teknik pelestarian
jenis untuk satwaliar tertentu sebagai bentuk kearifan lokal.
Namun pemanfaatan satwaliar sekarang tidak lagi
hanya sekedar untuk pemenuhan protein atau ritual adat
istiadat, tetapi sudah jauh memasuki nilai ekonomi sebagai
mata pencaharian masyarakat lokal, dan memasuki sistem
perdagangan regional serta internasional. Tingginya tingkat
kebutuhan masyarakat terhadap satwaliar terlihat dari
berkembangnya manfaat satwaliar sebagai sumber pakan,
bahan baku obat, dan industri kerajinan (kulit, tulang, cula,
ranggah) serta sebagai hewan kesenangan (hobby).
Terbukanya hutan sebagai habitat satwaliar melalui
pengelolaan hutan produksi (lebih dari 50% habitat satwaliar
berada di hutan produksi), telah membuka akses perburuan
illegal dan peningkatan perdagangan illegal satwaliar.
Tingginya pemanfaatan dan dampak pengelolaan hutan
terhadap satwaliar berupa penurunan populasi pohon sumber
pakan, tempat tidur, dan tempat bersarang, perubahan iklim
mikro, dan penurunan aktivitas reproduksi menyebabkan
penurunan populasi satwaliar dan menambah jumlah jenis
yang harus dilindungi (Bismark, 2006).
Dari sudut pandang pemanfaatan, biodiversitas fauna
yang bernilai ekonomi untuk diperdagangkan atau diekspor
sebagai devisa negara, pemerintah telah menetapkan kuota
penangkapan satwaliar yang tidak dilindungi. Nilai devisa yang
diperoleh pada Tahun 1999 dari perdagangan satwa dan
2
tumbuhan ke luar negeri tercatat US$ 61.261,12 dan pada
Tahun 2003 meningkat lebih dari 54 kali lipat, yaitu US$
3.340.171,36 (Bismark, 2006). Devisa tertinggi hasil ekspor
satwaliar dicapai Tahun 2005 sebesar US$ 15,287,536 dan
menurun pada Tahun 2006 menjadi US$ 4,410,536
(Departemen Kehutanan, 2007). Dalam rangka pelestarian
populasi satwa dan untuk mengatasi kuota tangkap yang
berlebihan dari alam, pemerintah juga sudah mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 tentang pengesahan
CITES, dengan lampiran jenis-jenis satwa Indonesia yang
dapat diperdagangkan. Jumlah satwa yang diperdagangkan
ditetapkan setiap tahunnya berdasarkan kuota oleh Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai
Management Authority.
Walaupun upaya perluasan kawasan konservasi terus
ditingkatkan dan penetapan kuota penangkapan satwaliar
yang diperdagangkan terus dievaluasi, namun perlindungan
jenis satwa dan habitatnya tetap bermasalah, terutama akibat
illegal logging, perambahan, dan kebakaran hutan yang
memberi akses tinggi bagi kerusakan habitat dan perburuan
liar. Hal ini terlihat dari semakin meluasnya perusakan habitat
dan ekosistem hutan, sekalipun di dalam kawasan konservasi.
Hal yang menarik adalah tidak seimbangnya
penyediaan data dasar tentang ekologi dan teknik pelestarian
satwaliar dibandingkan dengan pemanfaatannya. Laju
pemanfaatan dan degradasi hutan sebagai habitat satwaliar
yang cukup tinggi, semakin memperparah penurunan populasi
satwaliar yang memicu percepatan kepunahan suatu jenis.
Untuk itu penelitian yang menunjang ketersediaan informasi
biologi dan ekologi guna mengemas teknologi pelestarian
satwaliar secara in-situ dan ex-situ sangat diperlukan.
Saat ini, populasi satwaliar di alam sudah menurun
drastis karena perburuan dan kerusakan habitat. Oleh sebab
itu, upaya penangkaran satwa yang bernilai ekonomi di luar
habitat perlu dilakukan sehingga kelestarian jenis dan
populasi, serta pemanfaatan dapat dicapai. Penangkaran
3
satwaliar bernilai ekonomis telah menjadi bagian sumberdaya
untuk kebutuhan masyarakat di sekitar hutan. Penangkaran
lebih banyak diarahkan pada penangkaran rusa walaupun
penangkaran jenis lain telah diupayakan untuk mendukung
sistem perdagangan satwaliar. Penangkaran rusa dapat
dilakukan dengan mengacu kepada informasi bio-ekologis.
Sistem penangkaran rusa, dapat meliputi ranching, semi atau
mini ranching dan kandang individu atau berupa panggung
yang disesuaikan dengan tujuan dan ketersediaan modal.
Beberapa aspek yang mempengaruhi keberhasilan
penangkaran untuk semua sistem tersebut, antara lain jumlah
individu, sex ratio, perkandangan, dan habitat buatan, pakan,
reproduksi, kesehatan, dan pengelolaan. Selanjutnya,
informasi penelitian dan hasil penangkaran dapat
dikembangkan sebagai budidaya komersial dalam berbagai
skala usaha, sehingga menambah pendapatan masyarakat,
swasta, dan pemerintah.
Jenis rusa yang umum dikembangkan oleh peternak di
daerah non-tropik adalah rusa merah (Cervus elaphus) yang
mencapai 87% dari total populasi, dan sisanya adalah rusa
wapiti (Cervus elaphus canadensis) yakni rusa yang memiliki
tubuh paling besar dan rusa fallow (Dama dama) sebagai rusa
yang bertubuh kecil. Sedangkan di daerah tropik, jenis rusa
yang paling banyak ditangkarkan (90%) adalah rusa timor atau
rusa jawa (Rusa timorensis) dan sisanya (10%) terdiri dari rusa
sambar (Rusa unicolor), sebagai rusa tropik terbesar di Asia,
dan rusa totol (Axis axis) (Semiadi dan Nugraha, 2004).
Nilai positif dari perkembangan teknologi reproduksi
dan peternakan rusa adalah kemampuan dalam meningkat-
kan populasi beberapa jenis rusa yang telah langka,
diantaranya rusa bawean (Axis kuhlii). Rusa timor dan rusa
sambar telah ditangkarkan di Indonesia, mengingat jenis rusa
tersebut merupakan jenis rusa asli Indonesia yang telah
menjadi tulang punggung dari peternakan rusa tropik di dunia
dan potensial untuk ditangkarkan. Penelitian tentang rusa
timor sudah banyak dilakukan bahkan telah disosialisasikan di
4
masyarakat, seperti halnya di Kupang, Nusa Tenggara Timur
(NTT) walaupun belum mengarah pada sosial ekonomi. Oleh
karena itu, sangat tepat untuk menggali potensi satwaliar yang
ada dan kemungkinan dikembangkan di Indonesia sebagai
usaha peternakan dan konservasi ex-situ.
5
2. KLASIFIKASI, SEBARAN, DAN
PERILAKU
6
Tabel 2.1. Spesies dan sub spesies rusa di Indonesia
7
al. (1991), bobot badan rusa timor dewasa mencapai 100 kg,
sedangkan menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994)
mencapai 60 kg. Sub spesies Rusa timorensis timorensis
Blainville, 1822 jantan di Pulau Timor, NTT memiliki bobot
badan berkisar 31,5-70,0 kg (Takandjandji dan Garsetiasih,
2002), sedang menurut Semiadi dan Nugraha (2004)
bervariasi 40-120 kg tergantung pada sub spesies. Rusa timor
memiliki ukuran kepala dan panjang badan 130-210 cm, tinggi
bahu 80-110 cm, panjang ekor 10-30 cm dan bobot badan 50-
115 kg.
Rusa sambar memiliki rambut bagian tubuh yang
panjang dan tebal dengan warna coklat tua, serta pada sekitar
leher tumbuh rambut surai. Jantan memiliki ranggah yang
besar dan kuat serta bercabang tiga, memiliki ukuran kepala
dan panjang badan 170-270 cm, tinggi bahu 120-150 cm,
panjang ekor 22-35 cm dan bobot badan 150-300 kg.
Perbedaan kedua jenis rusa (Rusa timorensis dan
Rusa unicolor) dapat dilihat dari sifat morfologinya (World
Deer, 2005) yakni pada Gambar 2.1a dan 2.1b. Secara fisik,
ukuran rusa sambar (R. unicolor) lebih besar dari pada rusa
timor (R. Timorensis).
Sumber Foto: Pratheepps,
(Wikipedia, 2007)
a
Foto: N. M. Heriyanto dan
P. Setio
b
Gambar 2.1. Rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) (a); dan rusa
timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) (b).
8
2.2. Sebaran
Rusa timor atau rusa jawa (Rusa timorensis Blainville,
1822) memiliki sebaran habitat alami di Pulau Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara, sedangkan rusa sambar (Rusa unicolor Kerr,
1792) memiliki sebaran alami mulai dari Pegunungan
Himalaya sampai Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan.
Keberadaan jenis rusa timor di wilayah Indonesia bagian timur
(seperti Maluku dan Papua) ditengarai sebagai jenis yang
diintroduksi.
Sebaran rusa timor pada saat ini lebih banyak
ditemukan di daerah-daerah yang bukan habitat aslinya
seperti di Papua dan Kepulauan Maluku, misalnya rusa timor di
Papua (Taman Nasional Wasur) telah berkembangbiak hingga
mencapai populasi 200 ribu-350 ribu individu
(http://www.infopapua.com/ modules.php?op,2005). Hal ini
erat kaitannya dengan kemampuan berperilaku dalam
memanfaatkan kondisi lingkungan dan potensi habitat.
Rusa timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi
sehingga dengan mudah menyesuaikan diri dan hidup di
daerah basah, kering, berpasir maupun pegunungan. Di
samping itu rusa timor lebih mampu beradaptasi dengan
daerah kering, panas dan terbuka seperti savana karena
ketergantungannya terhadap air lebih kecil. Habitat alami rusa
timor adalah hutan tropis dan dataran rendah yang bervegetasi
savana, lontar, cemara, dan mangrove.
Menurut Schroder (1976); Semiadi dan Nugraha
(2004), rusa timor tersebar di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku,
dan Nusa Tenggara. Sedang rusa sambar (R. unicolor)
tersebar di P. Sumatera dan Kalimantan (Gambar 2.2).
9
2
1
1
0 7
3
6
3
9
4 5
8
2.3. Perilaku
Rusa hidup dalam kelompok sosial pada setiap
aktivitas. Perilaku sosial dilakukan dengan cara saling
berinteraksi antara individu dalam kelompok. Hubungan
sosial lebih nyata terlihat pada induk dan anak terutama pada
saat anak baru dilahirkan. Tingkat kedekatan induk pada anak
mulai berkurang sejalan dengan pertambahan umur anak.
Rusa timor mempunyai tingkah laku hirarki dalam kelompok
terdiri dari pimpinan dan bawahan, dimana rusa jantan besar
dengan ranggah keras umumnya sebagai pimpinan yang
membawahi beberapa induk betina (harem) dan anak-
anaknya. Kelompok besar satwa ini umumnya terbagi menjadi
tiga (3) sub kelompok yaitu: (a) sub kelompok campuran rusa
jantan dan betina: rusa jantan besar menguasai kelompok
betina dewasa; (b) kumpulan rusa timor jantan muda yang
telah disapih; (c) betina yang bunting dan rusa yang sedang
menyusui anaknya.
10
Menurut Takandjandji dan Sinaga (1995), perilaku
makan merupakan rangkaian dari gerakan yang dilakukan
dalam hal mencari, memilih, mengambil dan memasukkan ke
dalam mulut, mengunyah, menelan, serta pengunyahan dan
penelanan kembali (ruminasi). Perilaku makan tergantung
pada spesies, status fisiologis, iklim, tipe pakan, dan kualitas
pakan. Perilaku makan pada satwa meliputi kegiatan
pergerakan, menjelajah (exploring) dan istirahat (Sukriyadi,
2006).
Rusa dalam aktivitas makan, dapat memanfaatkan
rumput-rumputan dan daun pohon yang masih muda (Syarief,
1974). Apabila berada di padang rumput rusa termasuk
grasser sedangkan pada areal semak dan hutan rusa
merupakan browser (Hoogerwerf, 1970; Garsetiasih, 1996).
Sebagai satwa herbivora, rusa timor mengkonsumsi berbagai
jenis rumput-rumputan, herba, dan buah-buahan yang jatuh
atau berserakan di lantai hutan. Rusa timor di Suaka
Margasatwa Pulau Menipo di NTT, memanfaatkan tegakan
lontar dan hutan bakau sebagai tempat beristirahat
(Takandjandji, 1987).
Perilaku harian rusa di alam umumnya nokturnal,
artinya aktif mencari makan apabila hari gelap. Namun
demikian, perilaku tersebut dapat berubah sesuai dengan
tujuan pengelolaan walaupun sifat dasar liarnya tidak dapat
dihilangkan tetapi dapat dikendalikan. Apabila sifat liar dapat
dikendalikan, maka penanganannya akan lebih mudah. Rusa
timor dengan mudah dapat dikelola karena rusa dapat
beradaptasi dengan lingkungan di luar habitatnya dengan
baik. Oleh karena itu rusa timor memiliki potensi yang tinggi
untuk ditangkarkan.
11
3. HABITAT DAN POPULASI
3.1. Habitat
Habitat alami rusa meliputi beberapa tipe vegetasi,
seperti savana sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan
yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat),
kawin dan untuk bersembunyi menghindar dari predator.
Hutan sampai ketinggian 2600 meter dpl dengan beberapa
mozaik padang rumput merupakan habitat yang paling disukai
oleh rusa terutama jenis Rusa timorensis, sedangkan Rusa
unicolor sebagian besar aktivitas hariannya dilakukan di hutan
lahan basah atau payau.
Habitat rusa timor di Pulau Moyo Nusa Tenggara Barat
(NTB) memiliki vegetasi savana dengan jenis pohon
Tamarindus indica L., Albizia lebbec L. Benth, Sterculia
oblongata L., Vitex pubescens Vahl., Zizyphus celtifolia, DC.,
Pterospermum javanicum Jungh., Scleichera oleosa Lour, dan
Callophylum soulateri Burm. Strata tajuk paling bawah pada
ketinggian antara 3-5m terdiri dari jenis Schoutenia ovata
Korth., Streblus asper Lour., Ervatania sphaerocarpa Blume,
Strychnos lucida R.Br, Randia dumetorum Retz. Poir, Cerbera
12
manghas L., dan Alstonia spectabilis L.R.Br. Potensi sumber
pakan di savana sangat tergantung pada perubahan musim,
dimana pada musim hujan pakan berlimpah, sedangkan di
musim kemarau pakan berkurang (Mukhtar, 1996).
Ekosistem hutan rawa dan hutan mangrove di
beberapa kawasan juga menjadi habitat rusa timor, namun
pada beberapa daerah yang bervegetasi savana, populasi
rusa lebih tinggi, sedangkan populasi yang tinggi pada
ekosistem rawa terjadi di Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai.
a. Vegetasi savana
Penelitian vegetasi habitat pada ekosistem savana
lebih ditujukan pada tumbuhan bawah yang menjadi sumber
pakan. Ketersediaan jenis pakan di beberapa pulau yang
telah diamati, disajikan pada Tabel 3.1.
Komposisi pohon pada ekosistem savana dapat
berfungsi sebagai pelindung di habitat rusa di Pulau Ndana,
NTT (Tabel 3.2), dimana komposisi vegetasi sebagian besar
merupakan jenis-jenis tumbuhan pionir yang tumbuh di batu
berkarang.
13
Pulau Menipo 2 Borasus flabellifer L. Desmodium capitulum
Burm.
Microlaena stipoides Labill.
R.Br
Paspalum scrobiculatum L.
Imperata cylindrica (L). P.
Beauv
Pulau Ndana 3 Borasus flabellifer L. Eragrostis uniloides Retz.
Nees
Remirea maritama Aubl.
Pollinia fulva R.Br
Indigofera glanddulosa J.C
Wendel
Mollugo pentaphyla L.
Euphorbia reniformis Blume
Pulau Rinca 4 Borasus flabellifer L. Bothriochloa glaba Roxb.
Schleicera oleosa Lour. Setaria adhaerens Forsk.
Schoutenia ovata Korth. Choris barbata Sw.
Heteropogon conctortus L.
Sumber; 1Mukhtar (1996), 2Garsetiasih (1996), 3Garsetiasih et al.(1996)
14
rumput savana 2.063,50 ha. Kerapatan vegetasi rata-rata
untuk pohon adalah 98 pohon/ha, sedangkan belta 330
individu/ha dan kerapatan semai sebesar 27.228 individu/ha.
Tinggi pohon bervariasi antara 3,1-14,0 m, sedangkan
diameternya 14,4-44,3 cm. Tinggi belta 2,0-4,6 m, dan
diameternya 3,2-9,2 cm (Mukhtar, 1996).
Komposisi seedling Pulau Moyo didominasi oleh tiga jenis
tumbuhan, yaitu Strychnos lucida R.Br. (INP=39,5%),
Eupatorium pallescens DC. (INP=38,5%) dan Scleria
lithosperma Sw. (INP = 31,3%). Jenis seedling lain yang
ditemukan di kawasan ini diantaranya adalah Streblus asper
Lour., Exocarpus latifolius R. Br., Zizyphys mauritiana Lamk.,
Callophyllym soulatri Burm.f., Sterculia ablongata R. Br.,
Randia dumetorum Lam., Alstonia spectabilis R. Br.,
Desmodium triflorum DC., Cassia fistula L., Scleichera oleosa
Merr., Mascarenhasia elastica Schum., Uvaria litoralis Merr.,
Uvaria rufa Bl. Schotenia ovata Kerth., Euodia aromatica Bl.,
Phyllanthus emblica L., Pterospermum javanicum Jungh.,
Aglaia sp. Albizia lebbec (L.) Benth., Strychnos lucida R. Br.
Antidesma bunius Spreng., Cananga odorata Lam. Hook,
Litsea sp. Erythroxylum cuneatum (Miq.) Kurz. Tingkat semai
di savana berpotensi sebagai sumber pakan rusa.
Indeks keragaman jenis seedling adalah H'=0,87, menunjuk-
kan keanekaragaman yang rendah, dan labil karena terjadi
gangguan berupa perubahan lingkungan yang agak ekstrim,
injakan kaki rusa timor dan gangguan satwaliar lain seperti
babi hutan yang mencari makan dengan mencongkel-congkel
tanah.
Komposisi hutan yang ada digambarkan dalam suatu profil
diagram vegetasi di Taman Buru Pulau Moyo Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat memiliki dua komunitas yaitu komunitas hutan
dan padang rumput savana. Berdasarkan tumbuhan indikator,
seperti Terminalia catappa L. dan Hibiscus tiliaceus L. yang
termasuk ke dalam tipe hutan pantai, tetapi tumbuhan indikator
tersebut berasosiasi dengan tumbuhan jenis hutan musim
seperti Tamarindus indica L., Phyllanthus emblica L.,
Scleichera oleosa Merr. dan Protium javanicum Burm.
15
Komunitas padang rumput yang terletak pada ketinggian 50-
100 m dpl umumnya memiliki topografi datar dan pohon yang
tumbuh terpencar sehingga tidak mengganggu pertumbuhan
rumput di lantai hutan (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Profil vegetasi Taman Buru Pulau Moyo, NTB (Mukhtar,
1996)
16
Gambar 3.2. Padang rumput sebagai habitat pakan rusa
17
b. Vegetasi hutan alam
Habitat rusa di Jawa pada umumnya hampir sama
dengan habitat herbivora lain, seperti banteng di Taman
Nasional Meru Betiri. Jenis tumbuhan yang dominan di habitat
banteng ada 10 jenis pohon berdiameter lebih besar dari 20 cm
dengan variasi Indeks Nilai Penting 8,1-28,5% (Tabel 3.4).
Jenis pohon tersebut merupakan habitat banteng yang
juga dimanfaatkan oleh rusa baik sebagai tempat berteduh
dan beristirahat maupun sebagai pohon pakan.
18
c. Hutan produksi
Pengelolaan populasi rusa timor di hutan produksi
alam maupun HTI didukung oleh penetapan wilayah
konservasi di dalam kawasan hutan produksi atau Kawasan
Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) seluas 100-300 ha, untuk
melindungi keberadaan plasma nutfah dan untuk tujuan
pendidikan. Lokasi atau wilayah konservasi harus jauh dari
pemukiman, aksesibilitas mudah, terletak di hutan primer dan
merupakan teritorial satwaliar. Di samping itu pengelola harus
bertanggungjawab terhadap pemagaran, inventarisasi,
penanaman pohon pakan, dan perlindungan dari perburuan
liar. Landskap KPPN dihubungkan dengan kawasan koridor
termasuk sempadan sungai, areal bekas tebangan, danau,
padang rumput dan pantai yang merupakan habitat rusa untuk
berkembangbiak sedangkan koridor sebagai habitat untuk
mencari pakan, minum dan aktivitas lainnya (Mukhtar dan
Sawitri, 1998).
19
Setelah dilakukan pengamatan, ternyata lokasi yang layak
dijadikan sebagai penangkaran rusa adalah petak 6 D
(Garsetiasih, 2006), karena di petak tersebut terdapat habitat
yang dibutuhkan oleh rusa, kondisi fisik kawasan untuk
dikelola dan rusa mudah dimonitor. Selain itu, letaknya
berdampingan dengan lokasi Kebun Raya Baturraden
sehingga apabila dibangun penangkaran rusa pada lokasi
tersebut, diprediksikan akan meningkatkan jumlah wisatawan
yang berkunjung.
Jenis tanaman yang mendominasi petak 6 D secara
berurutan yaitu damar (Agathis dammara Lamb.), puspa
(Schima wallichii DC.), eucaliptus (Eucalyptus alba Reinw.)
dan pulai (Alstonia scholaris L.R. Br). Hasil analisis vegetasi
dan potensinya dapat dilihat pada Tabel 3.6.
20
d. Hutan rawa dan mangrove
Habitat rusa timor di Pulau Menipo, NTT terdiri dari
vegetasi hutan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora
mucronata Lam., Bruguiera parviflora Roxb. dan Sonneratia
alba L. (Sutrisno, 1993). Sedangkan Cagar Alam Selat
Sebuku yang bervegetasi mangrove didominasi oleh jenis
Bruguiera parviflora Roxb. (INP = 61,00), selanjutnya jenis-
jenis tanaman lainnya adalah Bruguiera gymnorrhiza (L.)
Lam., Rhizophora mucronata Lam., Rhizophora apiculata
Blume, Bruguiera sexangula Lour., dan Ceriops roxburghiana
Arn. (Mukhtar, 1990).
Habitat rusa timor cukup bervariasi seperti hutan
dataran rendah terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan
bakau dengan tanah relatif tidak berlumpur dalam, hutan
peralihan antara hutan bakau dan savana yang tidak
terpengaruh oleh pasang surut, padang rumput dan rawa.
Padang rumput atau lapangan terbuka yang berpasir dan
berlumpur liat setebal 2-5 cm yang digunakan sebagai tempat
bermain, istirahat, dan kawin telah ditemukan rusa sebanyak
3-7 individu dalam sehari (Bismark et al., 1997). Hutan bakau
di TN. Rawa Aopa Watumohai didominasi oleh Ceriops tagal
(Perr.), Rhizopora apiculata (Blume.), Bruguiera gymnorrhiza
(L.) Lam., Xylocarpus granatum K.D. Koenig, Rhizophora
stylosa L., Kandelia candel L., Lumnitzera littorae L.,
Scyphyphora hydrophyllacea Lam., Acrostichum aureum
Linn., Pandanus tectorius Parkinson, dan Nypa fruticans
Wrumb. dengan lebar berkisar 20-75 m, merupakan tempat
rusa mencari pakan, beristirahat, dan menggaram atau
ngasin. Hutan bakau lebih disukai rusa apabila didalamnya
mengalir sungai atau riverine mangrove forest. Sedangkan
kompleks hutan yang berbatasan dengan hutan bakau
digunakan sebagai tempat mencari pakan, beristirahat dan
tidur. Hutan ini ditumbuhi oleh Corypha utan Lam., Bambusa
spinosa Rozb., Acrostichum aureum Linn. dan Eupathorium
spp. Habitat rusa di Sulawesi Tenggara adalah rawa yang juga
mempunyai peranan penting sebagai habitat anoa untuk
21
minum dan mencari pakan jenis ganggang. Savana di TN
Rawa Aopa dan Suaka Margasatwa Rg. Amolengo merupakan
tempat mencari pakan, bermain, kawin, berendam, dan
berkubang.
Produktivitas Produktivitas
Jenis rumput rumput pada rumput pada
pemotongan 1 pemotongan 2
(kg/ha/hari) (kg/ha/hari)
Lampuyang ( Panicum repens L.) 17,50 28,8
Bayondah ( Isachne globosa 3,75 7,50
Thunb.)
Lameta (Leersia hexandra Sw.) 10 26,30
Paparean ( Carex remota L.) 10 13,80
Jumlah (To tal) 41,25 76,40
d. Pengelolaan habitat
Hilangnya areal penggembalaan rusa di Taman
Nasional (TN) Baluran adalah akibat invasi tanaman Acacia
nilotica (leguminosae). Tanaman ini merubah padang rumput
terbuka menjadi hutan-semak berduri yang lebat, sehingga
rumput sulit tumbuh dan satwa sulit masuk ke lokasi tersebut.
Di samping itu, terdapat tanaman gulma lain yang juga
menginvasi padang rumput alami seperti Lantana camara L.,
Chromolaena odorata L., Mimosa pudica L., Imperata
cylindrica L.P. Beauv, Sesbania sebans Jacq W. Wight dan
tanaman pemanjat seperti Mikania micrantha Bittervine.
Pengelolaan habitat yang berkaitan dengan konser-
vasi kawasan adalah mengembalikan kawasan pada fungsi
dan ekosistem semula melalui kegiatan restorasi. Kegiatan
restorasi dilakukan dengan pengayaan habitat melalui zonasi
kawasan untuk menentukan arah peruntukan kawasan.
Zonasi kawasan berdasarkan peruntukannya dibagi menjadi
zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan daerah
penyangga. Pembagian kawasan di daerah kawasan
konservasi lain dapat dilakukan dengan pembagian ke dalam
blok pemanfaatan, perlindungan dan peruntukan lain. Daerah
penyangga yang merupakan koridor kawasan konservasi
dapat dibagi dalam tiga zona yaitu jalur hijau yang ditujukan
sebagai koridor bagi satwaliar untuk beraktivitas maupun
mencari pakan dan kawasan integrasi dan budidaya yang
merupakan areal pemukiman, pertanian, perkebunan dan
peternakan. Restorasi di dalam kawasan konservasi maupun
kawasan hijau di daerah penyangga dilakukan dengan
penanaman tanaman asli dan tanaman yang dimanfaatkan
oleh satwaliar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pakan maupun tempat hidup.
Pengelolaan habitat ditujukan untuk meningkatkan
daya dukung habitat dalam meningkatkan populasi. Daya
dukung habitat rusa didekati melalui produktivitas hijauan,
sekalipun sudah menunjukkan nilai yang optimal dari berbagai
faktor yang mempengaruhinya seperti tanah, iklim dan
organisme lainnya. Pengelolaan habitat rusa dengan cara
peningkatan produktivitas hijauan pakan berupa rumput dan
hijauan lainnya dilakukan dengan pengayaan jenis tanaman
pakan rusa maupun pemberantasan tanaman invasiv yang
mengganggu pertumbuhan jenis asli. Di samping itu,
penyediaan sumber-sumber air di habitat rusa juga diperlukan
sebagai sumber minum air dan pengairan bagi pertumbuhan
rumput. Pendekatan daya dukung hijauan dari aspek
organisme lain adalah kompetisi yang terjadi antara rusa
dengan satwa lain dalam mengkonsumsi pakan. Hal ini terjadi
di padang rumput TB. Pulau Moyo dimana rusa dan satwaliar
lain memanfaatkan jenis vegetasi yang sama sebagai
tanaman pakan. Buah malaka (Phyllanthus emblica L.) yang
matang merupakan makanan rusa timor maupun kera ekor
panjang (Macaca fascicularis Raffles), dimana kera ekor
panjang akan mengambil buahnya di atas pohon sedangkan
rusa timor makan dari buah yang berjatuhan. Buah malaka
berbuah pada saat musim kemarau panjang dan memiliki
kandungan air paling tinggi diantara pakan rusa lainnya, yaitu
12%, kadar proteinnya 6,69%, dan serat kasarnya 27,68%.
Selain itu jenis tanaman pakan yang lain yaitu buah bidara
(Schleicera oleosa Lour.) berkompetisi dengan tupai
(Callisciurus notatus Boddarert) dan kakatua (Cacatua
sulphurea Gmelin). Nilai gizi buah bidara mengandung kadar
air 11%, protein 6,58% dan serat kasar 36,30% sehingga jenis
tanaman yang menghasilkan buah-buahan di musim kemarau
sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air (Mukhtar,
1996).
Rehabilitasi habitat yang telah dilakukan secara
intensif di TN Baluran dilakukan bersama masyarakat dengan
cara penebangan kayu Acacia nilotica (L.) Willd. dan
memanfaatkannya sebagai kayu bakar atau arang (Sawitri dan
Takandjandji, 2007). Cara yang terbaik untuk mengatasi
penyebaran A. nilotica adalah kerjasama dengan masyarakat
untuk menebang secara manual dan memanfaatkan kayunya.
Kewajiban yang diberikan kepada masyarakat tersebut adalah
membersihkan padang savana dari pohon maupun anakan A.
Nilotica. Hasil dari kerjasama tersebut dapat dilihat yaitu
kembalinya ekosistem padang savana yang didominasi oleh
rumput-rumputan (Gambar 3.3).
3.3. Populasi
a. Kepadatan populasi
Populasi rusa di Ranca Upas seluas 4,5 ha sejumlah
12 individu terdiri dari 7 individu jantan dan 5 individu betina.
Rusa timor yang termasuk satwaliar, diburu secara illegal
untuk mendapatkan tambahan pendapatan dan sumber
protein bagi masyarakat lokal. Upaya peningkatan kesadaran
masyarakat akan konservasi dan perbaikan habitat telah
meningkatkan populasi rusa timor di beberapa tempat.
Perkembangan populasi rusa timor pada penangkaran
cukup signifikan di beberapa Kabupaten di Propinsi NTT
dimana di Kabupaten Alor sebanyak 329 individu, Kupang 40
individu, Timor Tengah Selatan 23 individu, Sumba Barat 30
individu, Ende 8 individu, serta kemungkinan masih banyak di
beberapa kabupaten lainnya. Menurut Garsetiasih et al.
(1997), populasi rusa timor di alam pada Tahun 1990-an relatif
masih banyak, seperti di TN. Komodo khususnya pulau Rinca
mencapai 11.282 individu, dan di Pulau Menipo dengan luas
581 ha sebanyak 632 individu (Sutrisno,1993). Populasi rusa
di TN. Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara sekitar 60-
80 individu per km (Bismark et al., 1997).
Mengingat potensi rusa sangat luar biasa untuk
dikembangkan sebagai hewan untuk substitusi pemenuhan
gizi masyarakat, maka sudah saatnya pemeliharaan rusa
bukan semata-mata menjadi tanggung jawab instansi
pemerintah saja, tetapi masyarakat perlu dilibatkan dalam
pemeliharaan, guna mendukung percepatan dan laju
perkembangbiakan rusa. Pemeliharaan rusa dengan sistem
kelompok, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
kelompok penangkar rusa sekaligus mendorong percepatan
pengembangan penangkaran rusa.
Tingginya perburuan secara modern menyebabkan
jumlah populasi rusa di alam menurun. Menurut catatan
Semiadi (2002), populasi rusa di TN. Wasur Irian Jaya
mengalami penurunan akibat perburuan dengan senjata api,
dari jumlah 8.000 individu namun hingga saat ini tidak
diketahui jumlahnya. Jatah buru rusa di TB. Pulau Moyo Tahun
1996 sebanyak 1018-1785 individu (Mukhtar, 1997).
Populasi rusa timor saat ini lebih banyak di luar
habitat aslinya seperti Papua, dan Kepulauan Maluku.
Populasi rusa di Pulau Moyo dilindungi oleh masyarakat lokal,
sedangkan di TN. Wasur populasinya hampir mencapai 8.000
individu. Sebaliknya populasi rusa di Pulau Jawa menurun di
beberapa kawasan konservasi, termasuk TN. Baluran yang
pada akhir Tahun 1990-an memiliki populasi terbanyak
(Semiadi, 2006).
Peran hutan produksi sebagai habitat ditunjukkan dari
potensi satwaliar didalamnya, seperti populasi rusa sambar
(Rusa unicolor) sebanyak 16,6 individu per km² (Bismark dan
Gintings, 1997). Populasi rusa di kawasan hutan produksi
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) di Sumatera
Barat (Andalas Merapi Timber), sebanyak 11 individu per km2,
demikian pula di Jambi (Kawasan Asialog) (Bismark dan
Heriyanto, 2007).
Kepadatan populasi rusa yang tinggi berada dalam
kawasan konservasi seperti Pulau Menipo di Nusa Tenggara
Timur, seluas 581 hektar pada tahun 1987 mencapai 964
individu (Takandjandji, 1987) dan pada tahun 1988 mengalami
penurunan 729 individu serta tahun 1993 632 individu
(Sutrisno, 1993). Penurunan populasi rusa di habitatnya
umumnya disebabkan perburuan liar, kekurangan pakan pada
musim kemarau, dan kerusakan habitat berupa penebangan
pohon yang merupakan komponen habitat rusa.
Hasil inventarisasi rusa timor oleh tim pengamat
secara bersamaan di seluruh habitat pada Tahun 1996,
tercatat 2.500-3.000 individu (Hedger, 2008). Selanjutnya
pada Tahun 1998-1999, populasi yang ada, menurun hingga
1.000 individu termasuk populasi rusa yang ada di TN. Alas
Purwo dan populasi di Bali hanya tersisa di TN. Bali Barat.
Adanya pembinaan habitat dan populasi seperti di TN.
Baluran, sensus rusa timor terakhir menunjukkan bahwa
populasi rusa timor di kawasan ini berkisar 13.000-20.000
individu dewasa. Kepadatan populasi rusa di beberapa
kawasan konservasi dapat dilihat pada Tabel 3.11.
b. Pengelolaan populasi
Status konservasi rusa berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 1999 menyatakan bahwa semua
spesies dan sub spesies rusa yang memiliki sebaran alami di
Indonesia merupakan satwa yang dilindungi. Sementara itu,
status konservasi berdasarkan International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN, 2008)
jenis rusa timor (R. timorensis), rusa sambar (R. unicolor) dan
muncak (Muntiacus muntjak dan M. atherodes) masuk dalam
kelompok kurang beresiko dengan kategori least concern
(LC). Sebaliknya, jenis rusa bawean (A. kuhlii) yang
merupakan satwa endemik Pulau Bawean, status konser-
vasinya masuk dalam kelompok yang terancam dengan
kategori endangered (EN). Selanjutnya, berdasarkan
konvensi CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora), hanya jenis
rusa sambar yang masuk dalam daftar Appendix I, sedang tiga
jenis rusa lainnya yang terdapat di Indonesia, tidak masuk
dalam daftar Appendix (Departemen Kehutanan, 2006).
Pengendalian perburuan liar di masyarakat dilakukan
dengan meningkatkan persepsi masyarakat terhadap
konservasi satwaliar dan fungsi serta manfaat pengelolaan
kawasan konservasi seperti taman buru, taman nasional, dan
taman wisata alam. Penyuluhan dan sosialisasi, pentingnya
kelestarian satwaliar, dan hasil-hasil penangkaran akan
memperluas persepsi masyarakat di sekitar kawasan untuk
turut berperan aktif dalam pengembangan penangkaran
satwaliar baik sebagai kesenangan maupun tambahan
pendapatan.
Penyuluhan dan sosialisi tentang jenis satwaliar
dilindungi termasuk rusa timor dan rusa sambar melalui
pengetahuan biologi dan morfologi kepada masyarakat perlu
digalakkan. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan dapat
dilakukan masyarakat. Di samping itu, perdagangan satwaliar
dilindungi diatur oleh perundang-undangan dan jatah ekspor
untuk suatu jenis satwaliar tergantung besarnya jatah
tangkapan untuk setiap wilayah propinsi yang merupakan
wilayah sebaran satwa tersebut. Penentuan jumlah populasi
sebagai jatah ekspor atau kuota tangkap satwaliar didasarkan
pada hasil penelitian mengenai populasi di setiap wilayah
sebaran dan keberhasilan penangkaran untuk menghasilkan
F2. Pengendalian perdagangan satwaliar juga ditentukan
berdasarkan kesepakatan antar negara sumber satwa dengan
negara pemasok melalui jatah ekspor yang dirumuskan oleh
CITES untuk mengendalikan lalu lintas perdagangan
satwaliar.
c. Pertumbuhan populasi
Untuk keperluan perhitungan kuota buru diperlukan
proyeksi data riap kerapatan populasi rusa jantan dan betina
untuk setiap kelas umur yang diekstrapolasikan ke dalam luas
areal. Waktu regenerasi atau selang beranak antar pertama
dan berikutnya, yaitu t = 1,6 tahun (18 bulan), maka kuota buru
dimungkinkan pada langkah t = 18 sampai dengan t = 38 umur
rusa maksimal (Mukhtar, 1996). Simulasi pertumbuhan
populasi rusa model Matriks Leslie terpaut kerapatan dengan
memperhatikan pengaruh kerapatan populasi saat kelahiran
(senjang waktu) dari individu-individu setiap kelas umur betina
dan kerapatan populasi rusa jantan dan betina, di TB. Pulau
Moyo pada musim kemarau dan hujan (Gambar 3.4 dan 3.5).