Sintesis Penangkaran Rusa Timor PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 47

SINTESIS HASIL-HASIL LITBANG :

PENGEMBANGAN PENANGKARAN
RUSA TIMOR

Penulis : Prof. DR. Ris M. Bismark, M.S.


Prof. DR. Abdullah Syarief Mukhtar, MS.
Ir. Mariana Takandjandji, M.Si.
Ir. R. Garsetiasih, M.P.
Drh. Pujo Setio, M.Si
Ir. Reny Sawitri, M.Sc.
Ir. Endro Subiandono
Drs. Sofian Iskandar, M.Si
Kayat, S.Hut, M.Sc.

Editor : Prof. Ris. DR. Abdullah Syarief Mukhtar, M.S.


Prof. Ris. DR. M. Bismark
Ir. Sulistyo A. Siran, M.Sc
DR. Ir. Agus Djoko Ismanto, MDM
Prof. Ris. DR. Gono Semiadi, M.Sc.

Penyunting : DR. Burhanuddin Masy'ud, M.S.


Ir. Adi Susmianto, M.Sc.

Foto Sampul : Rusa di Taman Safari Indonesia, Bogor (M. Bismark)

Desain Sampul : Anita Rianti, S.Pt.


ISBN : 978-979-8452-39-0

Penerbit :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai XI
Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270
Telp. (021) 5730398, 5734333; Fax. (021) 5720189

Cetakan pertama : Desember 2011


Petikan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Ketentuan Pidana Pasal 72


1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA SAMBUTAN

Rusa timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) merupakan


salah satu jenis rusa asli Indonesia yang populasinya di
alam (in-situ) mulai berkurang karena perburuan dan
perusakan habitat. Secara tradisional, masyarakat
memanfaatkan satwa rusa melalui perburuan langsung dari
habitat alam untuk dijadikan satwa peliharaan maupun
diambil daging dan hasil ikutannya. Peraturan Pemerintah
(PP) No. 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan
bahwa seluruh jenis rusa di Indonesia dilindungi, namun
perburuan masih saja terjadi. Selain itu, kerusakan habitat,
baik disebabkan eksploitasi hutan oleh manusia maupun
kerusakan karena bencana alam, turut pula menyebabkan
penurunan terhadap eksistensi jenis dan populasi rusa.
Oleh sebab itu, upaya konservasi jenis dan populasi perlu
dilakukan baik secara in-situ maupun ex-situ sehingga
pelestarian dan pemanfaatannya dapat tercapai.
Upaya konservasi ex-situ melalui penangkaran sudah
banyak dilakukan namun untuk meningkatkan manfaat,
penangkaran perlu pula dikembangkan di masyarakat
terutama generasi kedua (F2) sebagaimana termuat dalam
PP No. 8 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Manfaat
yang diperoleh selain untuk tujuan konservasi adalah
pemenuhan kebutuhan protein hewani serta hasil ikutan
lainnya melalui turunan kedua (F2) dan seterusnya. Hasil
penangkaran rusa tersebut juga memiliki prospek untuk
dikembangkan dalam skala budidaya komersial, sehingga
asumsi hutan sebagai sumber pangan dapat terpenuhi.

iii
Buku ini memberikan tuntunan bagi masyarakat dan
lembaga konservasi yang concern terhadap konservasi
khususnya penangkaran rusa yang tentunya memerlukan
suatu teknik penangkaran yang tepat sehingga hasilnya
dapat ditingkatkan. Oleh karena itu saya sampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pusat Litbang
Konservasi dan Rehabilitasi, juga kepada penyusun,
penyunting, pembahas, dan penulis serta semua pihak yang
telah berkontribusi dalam penyusunan buku “Pengembangan
Penangkaran Rusa Timor”.
Saya berharap buku ini dapat bermanfaat sehingga
penangkaran rusa timor di Indonesia dapat berhasilguna
dan berdayaguna.

Kepala Badan,

Dr. Ir. Tachrir Fathoni, MSc.


NIP. 19560929 198202 1 001

iv
KATA PENGANTAR

Pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari sesuai


kaidah-kaidah konservasi merupakan salah satu kegiatan
pokok dalam Strategi Konservasi, disamping pengawetan dan
perlindungan sistem penyangga kehidupan. Oleh karena itu
penangkaran rusa timor (Rusa timorensis) sebagai satwaliar
yang dilindungi, dapat dilaksanakan, baik secara hukum
maupun etika biologis karena masih berada dalam koridor
konservasi. Permasalahannya apakah ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) yang mendukung kegiatan penangkaran
rusa tersebut dapat menjaga kemurnian jenis atau genetik,
serta tetap dapat memenuhi persyaratan-persyaratan teknis
dan manajemen penangkaran rusa. Apakah IPTEK
penangkaran rusa tetap dapat menjamin tercapainya tujuan
penangkaran itu sendiri, yaitu untuk membantu recovery
populasi di habitat aslinya (in-situ) dan pemenuhan kebutuhan
masyarakat untuk domestikasi rusa sebagai satwa harapan
masa depan.
Buku ini menyajikan hasil-hasil penelitian dan sintesis
atas hasil-hasil penelitian penangkaran rusa yang dilakukan
para peneliti, baik dari Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
maupun Balai Penelitian Kehutanan terutama yang terkait
dengan tugas-tugas konservasi. Sintesis ini diharapkan dapat
menjadi informasi atau bahan masukan bagi pengguna Iptek
penangkaran rusa, baik masyarakat umum, pelaku usaha
maupun institusi pemerintah. Sintesis juga diharapkan dapat
menjadi bahan untuk review kebijakan terkait penangkaran
rusa.

v
Semoga buku ini bermanfaat bagi siapa saja yang
memerlukan informasi atau data atau Iptek penangkaran rusa,
terutama rusa timor (Rusa timorensis). Namun demikian kiritik
dan saran tetap terbuka guna sempurnanya buku ini.

Bogor, Oktober 2011

Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, MSc.


NIP. 19571221.198203.1.002

vi
1. PENDAHULUAN

Sejarah geologi dan pembentukan yang berbeda


diantara pulau-pulau di Indonesia serta variasi iklim telah
mempengaruhi pembentukan berbagai tipe ekosistem,
sebaran, dan jenis satwa. Hal ini terlihat dari tingginya
keragaman ekosistem dan jenis satwa endemik. Menurut
Bappenas (2003), Indonesia memiliki 515 jenis mamalia besar
(39% endemik), tertinggi di dunia, 511 jenis reptil (29%
endemik), 1531 jenis burung (26% endemik), 270 jenis
ampibia (37% endemik), 35 jenis primata (18% endemik), dan
121 jenis kupu-kupu (44% endemik).
Faktor yang mempengaruhi tingkat keragaman jenis
satwa yang berhubungan dengan habitat disebut sebagai
dimensi biodiversitas. Dalam hal ini jenis dan populasi satwa
sangat tergantung pada hutan primer, hutan sekunder dan ada
juga yang dapat berkembang pada tegakan pohon di luar
hutan seperti jenis-jenis burung tertentu dimana pohon
berfungsi sebagai sumber pakan dan tempat bersarang.
Biodiversitas dan tingkat kelangkaan satwa ditentukan pula
oleh luas atau sempitnya sebaran geografis, spesifikasi habitat
yang lebih bervariasi atau terbatas serta berlimpah atau
jarangnya populasi. Selain itu, keanekaragaman jenis
dipengaruhi pula oleh pemanfaatan lahan, fragmentasi hutan,
jenis pemanfaatan hutan, dan perubahan alam. Berdasarkan
dimensi biodiversitas tersebut, keanekaragaman jenis sangat
dipengaruhi oleh kualitas habitat dan perlakuan terhadap
habitat dalam bentuk pengelolaan hutan (Bismark, 2006).
Komponen biotik ekosistem hutan dan satwaliar
mempunyai peran tertentu dalam proses interaksi, inter-relasi,
serta siklus mineral, dan energi dalam ekosistem hutan.
Peran satwaliar dalam ekosistem hutan diantaranya adalah
membantu proses regenerasi hutan alam dalam bentuk
penyerbukan bunga dan penyebaran biji melalui aktivitas
makan. Satwa pemakan biji (seed killing), berperan

1
mengurangi penyebaran tumbuhan cepat tumbuh dan
dominan untuk memberikan kesempatan bagi tumbuhan yang
sub dominan. Proses ini akan memperkaya keragaman jenis
flora dalam ekosistem hutan (Alikodra, 1990).
Satwaliar juga merupakan sumber protein bagi
masyarakat lokal. Dalam sistem pemanfaatan tradisional,
perburuan yang dilakukan masyarakat hanya untuk memenuhi
kebutuhan kelengkapan gizi protein hewani, dan masih terikat
pada sistem budaya serta adat istiadat. Dengan cara ini
masyarakat tradisional sudah mempunyai teknik pelestarian
jenis untuk satwaliar tertentu sebagai bentuk kearifan lokal.
Namun pemanfaatan satwaliar sekarang tidak lagi
hanya sekedar untuk pemenuhan protein atau ritual adat
istiadat, tetapi sudah jauh memasuki nilai ekonomi sebagai
mata pencaharian masyarakat lokal, dan memasuki sistem
perdagangan regional serta internasional. Tingginya tingkat
kebutuhan masyarakat terhadap satwaliar terlihat dari
berkembangnya manfaat satwaliar sebagai sumber pakan,
bahan baku obat, dan industri kerajinan (kulit, tulang, cula,
ranggah) serta sebagai hewan kesenangan (hobby).
Terbukanya hutan sebagai habitat satwaliar melalui
pengelolaan hutan produksi (lebih dari 50% habitat satwaliar
berada di hutan produksi), telah membuka akses perburuan
illegal dan peningkatan perdagangan illegal satwaliar.
Tingginya pemanfaatan dan dampak pengelolaan hutan
terhadap satwaliar berupa penurunan populasi pohon sumber
pakan, tempat tidur, dan tempat bersarang, perubahan iklim
mikro, dan penurunan aktivitas reproduksi menyebabkan
penurunan populasi satwaliar dan menambah jumlah jenis
yang harus dilindungi (Bismark, 2006).
Dari sudut pandang pemanfaatan, biodiversitas fauna
yang bernilai ekonomi untuk diperdagangkan atau diekspor
sebagai devisa negara, pemerintah telah menetapkan kuota
penangkapan satwaliar yang tidak dilindungi. Nilai devisa yang
diperoleh pada Tahun 1999 dari perdagangan satwa dan

2
tumbuhan ke luar negeri tercatat US$ 61.261,12 dan pada
Tahun 2003 meningkat lebih dari 54 kali lipat, yaitu US$
3.340.171,36 (Bismark, 2006). Devisa tertinggi hasil ekspor
satwaliar dicapai Tahun 2005 sebesar US$ 15,287,536 dan
menurun pada Tahun 2006 menjadi US$ 4,410,536
(Departemen Kehutanan, 2007). Dalam rangka pelestarian
populasi satwa dan untuk mengatasi kuota tangkap yang
berlebihan dari alam, pemerintah juga sudah mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 tentang pengesahan
CITES, dengan lampiran jenis-jenis satwa Indonesia yang
dapat diperdagangkan. Jumlah satwa yang diperdagangkan
ditetapkan setiap tahunnya berdasarkan kuota oleh Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai
Management Authority.
Walaupun upaya perluasan kawasan konservasi terus
ditingkatkan dan penetapan kuota penangkapan satwaliar
yang diperdagangkan terus dievaluasi, namun perlindungan
jenis satwa dan habitatnya tetap bermasalah, terutama akibat
illegal logging, perambahan, dan kebakaran hutan yang
memberi akses tinggi bagi kerusakan habitat dan perburuan
liar. Hal ini terlihat dari semakin meluasnya perusakan habitat
dan ekosistem hutan, sekalipun di dalam kawasan konservasi.
Hal yang menarik adalah tidak seimbangnya
penyediaan data dasar tentang ekologi dan teknik pelestarian
satwaliar dibandingkan dengan pemanfaatannya. Laju
pemanfaatan dan degradasi hutan sebagai habitat satwaliar
yang cukup tinggi, semakin memperparah penurunan populasi
satwaliar yang memicu percepatan kepunahan suatu jenis.
Untuk itu penelitian yang menunjang ketersediaan informasi
biologi dan ekologi guna mengemas teknologi pelestarian
satwaliar secara in-situ dan ex-situ sangat diperlukan.
Saat ini, populasi satwaliar di alam sudah menurun
drastis karena perburuan dan kerusakan habitat. Oleh sebab
itu, upaya penangkaran satwa yang bernilai ekonomi di luar
habitat perlu dilakukan sehingga kelestarian jenis dan
populasi, serta pemanfaatan dapat dicapai. Penangkaran

3
satwaliar bernilai ekonomis telah menjadi bagian sumberdaya
untuk kebutuhan masyarakat di sekitar hutan. Penangkaran
lebih banyak diarahkan pada penangkaran rusa walaupun
penangkaran jenis lain telah diupayakan untuk mendukung
sistem perdagangan satwaliar. Penangkaran rusa dapat
dilakukan dengan mengacu kepada informasi bio-ekologis.
Sistem penangkaran rusa, dapat meliputi ranching, semi atau
mini ranching dan kandang individu atau berupa panggung
yang disesuaikan dengan tujuan dan ketersediaan modal.
Beberapa aspek yang mempengaruhi keberhasilan
penangkaran untuk semua sistem tersebut, antara lain jumlah
individu, sex ratio, perkandangan, dan habitat buatan, pakan,
reproduksi, kesehatan, dan pengelolaan. Selanjutnya,
informasi penelitian dan hasil penangkaran dapat
dikembangkan sebagai budidaya komersial dalam berbagai
skala usaha, sehingga menambah pendapatan masyarakat,
swasta, dan pemerintah.
Jenis rusa yang umum dikembangkan oleh peternak di
daerah non-tropik adalah rusa merah (Cervus elaphus) yang
mencapai 87% dari total populasi, dan sisanya adalah rusa
wapiti (Cervus elaphus canadensis) yakni rusa yang memiliki
tubuh paling besar dan rusa fallow (Dama dama) sebagai rusa
yang bertubuh kecil. Sedangkan di daerah tropik, jenis rusa
yang paling banyak ditangkarkan (90%) adalah rusa timor atau
rusa jawa (Rusa timorensis) dan sisanya (10%) terdiri dari rusa
sambar (Rusa unicolor), sebagai rusa tropik terbesar di Asia,
dan rusa totol (Axis axis) (Semiadi dan Nugraha, 2004).
Nilai positif dari perkembangan teknologi reproduksi
dan peternakan rusa adalah kemampuan dalam meningkat-
kan populasi beberapa jenis rusa yang telah langka,
diantaranya rusa bawean (Axis kuhlii). Rusa timor dan rusa
sambar telah ditangkarkan di Indonesia, mengingat jenis rusa
tersebut merupakan jenis rusa asli Indonesia yang telah
menjadi tulang punggung dari peternakan rusa tropik di dunia
dan potensial untuk ditangkarkan. Penelitian tentang rusa
timor sudah banyak dilakukan bahkan telah disosialisasikan di

4
masyarakat, seperti halnya di Kupang, Nusa Tenggara Timur
(NTT) walaupun belum mengarah pada sosial ekonomi. Oleh
karena itu, sangat tepat untuk menggali potensi satwaliar yang
ada dan kemungkinan dikembangkan di Indonesia sebagai
usaha peternakan dan konservasi ex-situ.

5
2. KLASIFIKASI, SEBARAN, DAN
PERILAKU

Oleh : Mariana Takandjandji, R. Garsetiasih,


Reny Sawitri, dan N. M. Heriyanto

Rusa timor merupakan salah satu dari empat


spesies rusa asli Indonesia, yakni rusa sambar, rusa bawean,
dan muncak. Menurut Schroder (1976) yang dikutip oleh
Semiadi dan Nugraha (2004) serta Garsetiasih dan
Takandjandji (2006), rusa timor termasuk sub spesies dari
Rusa timorensis dan nama yang umum dikenal adalah rusa
jawa atau rusa timor. Namun dalam IUCN (2008) dikatakan,
nama ilmiah rusa timor adalah Rusa timorensis Blainville,
1822.

2.1. Klasifikasi dan morfologi


Taksonomi atau klasifikasi rusa timor (Rusa timorensis)
dan sambar (Rusa unicolor) sebagai berikut:
Klas : Mamalia
Sub-klas : Theria
Infra-klas : Eutheria
Ordo : Artiodactyla
Sub-ordo : Ruminansia
Famili : Cervidae
Sub-famili : Muntiacinae
Genus : Rusa
Spesies : Rusa timorensis de Blainville, 1822
Nama lokal : Rusa timor
Spesies : Rusa unicolor Kerr, 1792
Nama lokal : Rusa Sambar

Spesies dan sub spesies rusa serta penyebarannya di


seluruh Indonesia, dapat dilihat pada Tabel 2.1.

6
Tabel 2.1. Spesies dan sub spesies rusa di Indonesia

Jenis Rusa Nama Daerah Daerah Penyebaran

Sub famili: Cervinae


Spesies: Rusa unicolor Kerr, 1792
Genus: Rusa
2 sub spesies yang ditemui di Indonesia,
yakni: Rusa Payau Sumatera
R. u. equinus Curier, 1823 Rusa Payau Kalimantan
R. u. brookei Hose, 1893
Spesies: Rusa timorensis Blainville, 1822
8 sub spesies yang ditemui di Indonesia
yakni:
R. t. russa Muller & Schlegel, 1844 Rusa Jawa Jawa dan Kalimantan Selatan
R. t. floresiensis Heude, 1896 Rusa Timor Nusa Tenggara
R. t. timorensis Blainville, 1822 Rusa Timor Pulau Timor
R. t. djonga Bemmel, 1949 Rusa Jonga Kepulauan di Sulawesi Tenggara
R. t. moluccenssis Muller, 1836 Rusa Maluku Kepulauan Maluku
R. t. renschi Sody, 1933 Rusa Timor Pulau Bali
R. t. laronesiotes Bemmel, 1949 Rusa Jawa Ujung Kulon
R. t. macassaricus Heude, 1896 Rusa Makassar Sulawesi
Genus: Axis
Spesies: Axis kuhlii Muller, 1840 Pulau Bawean

Sumber: Schroder (1976); Semiadi dan Nugraha (2004); Garsetiasih dan


Takandjandji (2006)

Morfologi rusa timor menurut Schroder (1976);


Semiadi dan Nugraha (2004), mempunyai ukuran tubuh yang
kecil, tungkai pendek, ekor panjang, dahi cekung, gigi seri
relatif besar, dan rambut berwarna coklat kekuning-kuningan.
Rusa jantan memiliki ranggah yang relatif besar, ramping,
panjang, dan bercabang. Cabang yang pertama mengarah ke
depan, cabang belakang kedua terletak pada satu garis
dengan cabang belakang pertama, cabang belakang kedua
lebih panjang cabang depan kedua, cabang belakang kedua
kiri dan kanan terlihat sejajar.
Rusa timor memiliki beberapa keunikan, yakni
mempunyai anak jenis (sub spesies) yang banyak dengan
nama daerah yang beragam sesuai daerah penyebarannya,
memiliki warna rambut yang berbeda pada musim kemarau
dan hujan, serta rusa jantan memiliki enam (6) buah gigi
namun tanpa gigi seri pada bagian atas (Ismail, 1998). Warna
rambut rusa timor pada musim kemarau adalah merah
kecoklatan, agak gelap pada bagian belakang, dan lebih
terang pada bagian dada sedangkan pada musim hujan,
bagian atasnya berwarna keabu-abuan. Menurut Thohari et

7
al. (1991), bobot badan rusa timor dewasa mencapai 100 kg,
sedangkan menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994)
mencapai 60 kg. Sub spesies Rusa timorensis timorensis
Blainville, 1822 jantan di Pulau Timor, NTT memiliki bobot
badan berkisar 31,5-70,0 kg (Takandjandji dan Garsetiasih,
2002), sedang menurut Semiadi dan Nugraha (2004)
bervariasi 40-120 kg tergantung pada sub spesies. Rusa timor
memiliki ukuran kepala dan panjang badan 130-210 cm, tinggi
bahu 80-110 cm, panjang ekor 10-30 cm dan bobot badan 50-
115 kg.
Rusa sambar memiliki rambut bagian tubuh yang
panjang dan tebal dengan warna coklat tua, serta pada sekitar
leher tumbuh rambut surai. Jantan memiliki ranggah yang
besar dan kuat serta bercabang tiga, memiliki ukuran kepala
dan panjang badan 170-270 cm, tinggi bahu 120-150 cm,
panjang ekor 22-35 cm dan bobot badan 150-300 kg.
Perbedaan kedua jenis rusa (Rusa timorensis dan
Rusa unicolor) dapat dilihat dari sifat morfologinya (World
Deer, 2005) yakni pada Gambar 2.1a dan 2.1b. Secara fisik,
ukuran rusa sambar (R. unicolor) lebih besar dari pada rusa
timor (R. Timorensis).
Sumber Foto: Pratheepps,
(Wikipedia, 2007)

a
Foto: N. M. Heriyanto dan
P. Setio

b
Gambar 2.1. Rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) (a); dan rusa
timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) (b).

8
2.2. Sebaran
Rusa timor atau rusa jawa (Rusa timorensis Blainville,
1822) memiliki sebaran habitat alami di Pulau Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara, sedangkan rusa sambar (Rusa unicolor Kerr,
1792) memiliki sebaran alami mulai dari Pegunungan
Himalaya sampai Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan.
Keberadaan jenis rusa timor di wilayah Indonesia bagian timur
(seperti Maluku dan Papua) ditengarai sebagai jenis yang
diintroduksi.
Sebaran rusa timor pada saat ini lebih banyak
ditemukan di daerah-daerah yang bukan habitat aslinya
seperti di Papua dan Kepulauan Maluku, misalnya rusa timor di
Papua (Taman Nasional Wasur) telah berkembangbiak hingga
mencapai populasi 200 ribu-350 ribu individu
(http://www.infopapua.com/ modules.php?op,2005). Hal ini
erat kaitannya dengan kemampuan berperilaku dalam
memanfaatkan kondisi lingkungan dan potensi habitat.
Rusa timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi
sehingga dengan mudah menyesuaikan diri dan hidup di
daerah basah, kering, berpasir maupun pegunungan. Di
samping itu rusa timor lebih mampu beradaptasi dengan
daerah kering, panas dan terbuka seperti savana karena
ketergantungannya terhadap air lebih kecil. Habitat alami rusa
timor adalah hutan tropis dan dataran rendah yang bervegetasi
savana, lontar, cemara, dan mangrove.
Menurut Schroder (1976); Semiadi dan Nugraha
(2004), rusa timor tersebar di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku,
dan Nusa Tenggara. Sedang rusa sambar (R. unicolor)
tersebar di P. Sumatera dan Kalimantan (Gambar 2.2).

9
2

1
1
0 7
3
6

3
9
4 5
8

Gambar 2.2. Penyebaran sub spesies rusa di Indonesia


Keterangan Gambar :
1. R. u. equinus (Curier, 1823) 6. R. t. djonga (Bemmel, 1949)
2. R. u. brookei (Hose, 1893) 7. R. t. moluccensis (Muller, 1836)
3. R. t. russa (Muller & Schi, 1844) 8. R. t. renschi (Sody, 1933)
4. R. t. floresiensis (Heude, 1896) 9. R. t. laronesiotes (Bemmel, 1949)
5. R. t. timorensis (Blainville, 1822) 10. R. t. macassaricus (Heude, 1896)

2.3. Perilaku
Rusa hidup dalam kelompok sosial pada setiap
aktivitas. Perilaku sosial dilakukan dengan cara saling
berinteraksi antara individu dalam kelompok. Hubungan
sosial lebih nyata terlihat pada induk dan anak terutama pada
saat anak baru dilahirkan. Tingkat kedekatan induk pada anak
mulai berkurang sejalan dengan pertambahan umur anak.
Rusa timor mempunyai tingkah laku hirarki dalam kelompok
terdiri dari pimpinan dan bawahan, dimana rusa jantan besar
dengan ranggah keras umumnya sebagai pimpinan yang
membawahi beberapa induk betina (harem) dan anak-
anaknya. Kelompok besar satwa ini umumnya terbagi menjadi
tiga (3) sub kelompok yaitu: (a) sub kelompok campuran rusa
jantan dan betina: rusa jantan besar menguasai kelompok
betina dewasa; (b) kumpulan rusa timor jantan muda yang
telah disapih; (c) betina yang bunting dan rusa yang sedang
menyusui anaknya.

10
Menurut Takandjandji dan Sinaga (1995), perilaku
makan merupakan rangkaian dari gerakan yang dilakukan
dalam hal mencari, memilih, mengambil dan memasukkan ke
dalam mulut, mengunyah, menelan, serta pengunyahan dan
penelanan kembali (ruminasi). Perilaku makan tergantung
pada spesies, status fisiologis, iklim, tipe pakan, dan kualitas
pakan. Perilaku makan pada satwa meliputi kegiatan
pergerakan, menjelajah (exploring) dan istirahat (Sukriyadi,
2006).
Rusa dalam aktivitas makan, dapat memanfaatkan
rumput-rumputan dan daun pohon yang masih muda (Syarief,
1974). Apabila berada di padang rumput rusa termasuk
grasser sedangkan pada areal semak dan hutan rusa
merupakan browser (Hoogerwerf, 1970; Garsetiasih, 1996).
Sebagai satwa herbivora, rusa timor mengkonsumsi berbagai
jenis rumput-rumputan, herba, dan buah-buahan yang jatuh
atau berserakan di lantai hutan. Rusa timor di Suaka
Margasatwa Pulau Menipo di NTT, memanfaatkan tegakan
lontar dan hutan bakau sebagai tempat beristirahat
(Takandjandji, 1987).
Perilaku harian rusa di alam umumnya nokturnal,
artinya aktif mencari makan apabila hari gelap. Namun
demikian, perilaku tersebut dapat berubah sesuai dengan
tujuan pengelolaan walaupun sifat dasar liarnya tidak dapat
dihilangkan tetapi dapat dikendalikan. Apabila sifat liar dapat
dikendalikan, maka penanganannya akan lebih mudah. Rusa
timor dengan mudah dapat dikelola karena rusa dapat
beradaptasi dengan lingkungan di luar habitatnya dengan
baik. Oleh karena itu rusa timor memiliki potensi yang tinggi
untuk ditangkarkan.

11
3. HABITAT DAN POPULASI

Oleh : Abdullah Syarief Mukhtar, R. Garsetiasih dan


Sofian Iskandar

Habitat adalah tempat dimana suatu makhluk


hidup dapat melangsungkan kehidupannya dan sangat
penting bagi populasi rusa agar dapat berkembang secara
optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan naungan
(cover). Sebagai satwa herbivora yang memiliki habitat di
padang rumput tropis maupun sub tropis, rusa timor mampu
beradaptasi pada hutan pegunungan, semak belukar, dan
rawa.

3.1. Habitat
Habitat alami rusa meliputi beberapa tipe vegetasi,
seperti savana sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan
yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat),
kawin dan untuk bersembunyi menghindar dari predator.
Hutan sampai ketinggian 2600 meter dpl dengan beberapa
mozaik padang rumput merupakan habitat yang paling disukai
oleh rusa terutama jenis Rusa timorensis, sedangkan Rusa
unicolor sebagian besar aktivitas hariannya dilakukan di hutan
lahan basah atau payau.
Habitat rusa timor di Pulau Moyo Nusa Tenggara Barat
(NTB) memiliki vegetasi savana dengan jenis pohon
Tamarindus indica L., Albizia lebbec L. Benth, Sterculia
oblongata L., Vitex pubescens Vahl., Zizyphus celtifolia, DC.,
Pterospermum javanicum Jungh., Scleichera oleosa Lour, dan
Callophylum soulateri Burm. Strata tajuk paling bawah pada
ketinggian antara 3-5m terdiri dari jenis Schoutenia ovata
Korth., Streblus asper Lour., Ervatania sphaerocarpa Blume,
Strychnos lucida R.Br, Randia dumetorum Retz. Poir, Cerbera

12
manghas L., dan Alstonia spectabilis L.R.Br. Potensi sumber
pakan di savana sangat tergantung pada perubahan musim,
dimana pada musim hujan pakan berlimpah, sedangkan di
musim kemarau pakan berkurang (Mukhtar, 1996).
Ekosistem hutan rawa dan hutan mangrove di
beberapa kawasan juga menjadi habitat rusa timor, namun
pada beberapa daerah yang bervegetasi savana, populasi
rusa lebih tinggi, sedangkan populasi yang tinggi pada
ekosistem rawa terjadi di Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai.

a. Vegetasi savana
Penelitian vegetasi habitat pada ekosistem savana
lebih ditujukan pada tumbuhan bawah yang menjadi sumber
pakan. Ketersediaan jenis pakan di beberapa pulau yang
telah diamati, disajikan pada Tabel 3.1.
Komposisi pohon pada ekosistem savana dapat
berfungsi sebagai pelindung di habitat rusa di Pulau Ndana,
NTT (Tabel 3.2), dimana komposisi vegetasi sebagian besar
merupakan jenis-jenis tumbuhan pionir yang tumbuh di batu
berkarang.

Tabel 3.1. Vegetasi dan sumber pakan rusa timor di pulau-


pulau kecil
Vegetasi
Ekosistem
Pohon Rumput
1
Pulau Moyo Tamarindus indica L. Andropogon contortus L.
Ficus benyamina L. Eragrostis bahiensis Retz.
Premna corymbosa Burm. Nees
StrebIus asper Lour. Andropogon fastigiatus Sw.
Pongamia pinnata L. Pierre
Albizia lebbec L. Benth
Cerbera manghas L.
Parasponia parvlfolia Miq.
Phyllanthus emblica L.
Pongamia pinnata L. Pierre
Capparis sepiaria Blanco
Zizyphus mauritiana Lam.
Thespesia populnea L. Sol
Bauhinia malabarica Roxb.
Hibiscus tiliaceus L.
Scleria lithosperma (L.) Sw.
Ficus septica Burm.

13
Pulau Menipo 2 Borasus flabellifer L. Desmodium capitulum
Burm.
Microlaena stipoides Labill.
R.Br
Paspalum scrobiculatum L.
Imperata cylindrica (L). P.
Beauv
Pulau Ndana 3 Borasus flabellifer L. Eragrostis uniloides Retz.
Nees
Remirea maritama Aubl.
Pollinia fulva R.Br
Indigofera glanddulosa J.C
Wendel
Mollugo pentaphyla L.
Euphorbia reniformis Blume
Pulau Rinca 4 Borasus flabellifer L. Bothriochloa glaba Roxb.
Schleicera oleosa Lour. Setaria adhaerens Forsk.
Schoutenia ovata Korth. Choris barbata Sw.
Heteropogon conctortus L.
Sumber; 1Mukhtar (1996), 2Garsetiasih (1996), 3Garsetiasih et al.(1996)

Tipe vegetasi hutan di Pulau Moyo termasuk hutan


musim bawah, terdiri dari pohon-pohonan, perdu atau semak
belukar dan padang rumput dengan luasan vegetasi daratan
sekitar 22.451 ha berupa hutan 20.387,50 ha dan padang

Tabel 3.2. Komposisi dan Indeks Nilai Penting jenis vegetasi


savana di Pulau Ndana (Garsetiasih, 1996)
No. Jenis tanaman Pohon Tiang Pancang
1. Diospyros ferrea Baks. - 52,41 80,45
2. Diospyros philippinensisA.DC. - 28,51 37,49
3. Schleicera oleosaLour. 6,17 36,53 69,54
4. Bridelia glaucaBl. - 5,03 10,90
5. Filaa*) 24,29 15,86 2,77
6. Pterocarpus indicusWilld. 69,96 38,68 -
7. Terminalia catappa L. 45,39 19,24 -
8. Rouvolfia sumatranaJack. 6,51 44,32 63,27
9. Celtis wightii planch 14,45 18,41 -
10. Kayu ular*) - 2,26 -
11. Ficus sp. 22,62 7,85 -
12. Didite kamba*) - 9,62 4,02
13. Exocarpus latifoliusR. Br. - 4,77 9,01
14. Melia sp. 43,49 3,41 -
15. Colobrina asiaticaBrogn. - 2,52 3,28
16. Bunggafui*) - 2,35 -
17. Atalaya salicifoliaA.DC. Blume - 2,61 6,80
18. Bunggalasi - 2,35 3,28
19. Bibilome*) - - 2,57
20. Exocarpus latifoliusR. Br. 8,29 -
21. Faloak*) - - 4,02
22. Vitex parvifloraJuss. - - 2,56
23. Cordoa subcordataLamk. 13,85 - -
24. Borrasus flabelifer L. 18,97 - -
25. Ficus retusaL. 17,14 - -
26. Gasomipomi malabaricaL. 8,85 - -
Keterangan: *) = nama lokal

14
rumput savana 2.063,50 ha. Kerapatan vegetasi rata-rata
untuk pohon adalah 98 pohon/ha, sedangkan belta 330
individu/ha dan kerapatan semai sebesar 27.228 individu/ha.
Tinggi pohon bervariasi antara 3,1-14,0 m, sedangkan
diameternya 14,4-44,3 cm. Tinggi belta 2,0-4,6 m, dan
diameternya 3,2-9,2 cm (Mukhtar, 1996).
Komposisi seedling Pulau Moyo didominasi oleh tiga jenis
tumbuhan, yaitu Strychnos lucida R.Br. (INP=39,5%),
Eupatorium pallescens DC. (INP=38,5%) dan Scleria
lithosperma Sw. (INP = 31,3%). Jenis seedling lain yang
ditemukan di kawasan ini diantaranya adalah Streblus asper
Lour., Exocarpus latifolius R. Br., Zizyphys mauritiana Lamk.,
Callophyllym soulatri Burm.f., Sterculia ablongata R. Br.,
Randia dumetorum Lam., Alstonia spectabilis R. Br.,
Desmodium triflorum DC., Cassia fistula L., Scleichera oleosa
Merr., Mascarenhasia elastica Schum., Uvaria litoralis Merr.,
Uvaria rufa Bl. Schotenia ovata Kerth., Euodia aromatica Bl.,
Phyllanthus emblica L., Pterospermum javanicum Jungh.,
Aglaia sp. Albizia lebbec (L.) Benth., Strychnos lucida R. Br.
Antidesma bunius Spreng., Cananga odorata Lam. Hook,
Litsea sp. Erythroxylum cuneatum (Miq.) Kurz. Tingkat semai
di savana berpotensi sebagai sumber pakan rusa.
Indeks keragaman jenis seedling adalah H'=0,87, menunjuk-
kan keanekaragaman yang rendah, dan labil karena terjadi
gangguan berupa perubahan lingkungan yang agak ekstrim,
injakan kaki rusa timor dan gangguan satwaliar lain seperti
babi hutan yang mencari makan dengan mencongkel-congkel
tanah.
Komposisi hutan yang ada digambarkan dalam suatu profil
diagram vegetasi di Taman Buru Pulau Moyo Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat memiliki dua komunitas yaitu komunitas hutan
dan padang rumput savana. Berdasarkan tumbuhan indikator,
seperti Terminalia catappa L. dan Hibiscus tiliaceus L. yang
termasuk ke dalam tipe hutan pantai, tetapi tumbuhan indikator
tersebut berasosiasi dengan tumbuhan jenis hutan musim
seperti Tamarindus indica L., Phyllanthus emblica L.,
Scleichera oleosa Merr. dan Protium javanicum Burm.

15
Komunitas padang rumput yang terletak pada ketinggian 50-
100 m dpl umumnya memiliki topografi datar dan pohon yang
tumbuh terpencar sehingga tidak mengganggu pertumbuhan
rumput di lantai hutan (Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Profil vegetasi Taman Buru Pulau Moyo, NTB (Mukhtar,
1996)

Fungsi pohon di habitat ini adalah sebagai tanaman


peneduh dari panas dan hujan, dan beristirahat sambil
memamah biak. Apabila musim kemarau, tumbuhan tersebut
juga berfungsi sebagai pohon pakan yang menghasilkan buah,
seperti pohon malaka Phyllanthus emblica L. dan bidara
Schleicera oleosa (Lour.).
Vegetasi pohon habitat rusa di penangkaran Ciwidey
terdiri dari puspa (Schima wallichii DC), rasamala (Altingia
excelsa Noronha), saninten (Castanopsis javanica A.DC.),
balakace (Vaccinium bancanum Miq.), dan (Eucalyptus
deglupta Blume). Selain itu terdapat juga jenis semak dan
paku-pakuan. Vegetasi pohon berfungsi sebagai tempat
bernaung, sedangkan yang dijadikan sebagai habitat pakan
rusa adalah padang rumput (Gambar 3.2).

16
Gambar 3.2. Padang rumput sebagai habitat pakan rusa

Pulau kecil yang didominasi savana juga terdapat


formasi hutan pantai dan mangrove sebagaimana Pulau
Menipo atau di kawasan rawa dan savana yang menyatu
dengan ekosistem pantai seperti di Taman Nasional Rawa
Aopa, dimana terdapat savana, lontar dan mangrove. Habitat
preferensi rusa dalam memanfaatkan vegetasi dapat dilihat
pada Tabel 3.3, yaitu pemanfaatan vegetasi savana dan
habitat preferensi rusa timor di TWA P. Menipo (Garsetiasih,
1996).

Tabel 3.3. Aktivitas pemanfaatan vegetasi habitat rusa di


TWA. Pulau Menipo
Aktivitas rusa (%)
No. Vegetasi
Makan Gerak Istirahat
1. Lontar 27,97 48,87 23,16
2. Savana 57,71 33,02 9,27
3. Cemara 15,32 68,15 16,46
4. Mangrove 0 53,73 46,44

17
b. Vegetasi hutan alam
Habitat rusa di Jawa pada umumnya hampir sama
dengan habitat herbivora lain, seperti banteng di Taman
Nasional Meru Betiri. Jenis tumbuhan yang dominan di habitat
banteng ada 10 jenis pohon berdiameter lebih besar dari 20 cm
dengan variasi Indeks Nilai Penting 8,1-28,5% (Tabel 3.4).
Jenis pohon tersebut merupakan habitat banteng yang
juga dimanfaatkan oleh rusa baik sebagai tempat berteduh
dan beristirahat maupun sebagai pohon pakan.

Tabel 3.4. Jenis pohon dominan di TN. Meru Betiri


(Garsetiasih, et al., 2006)

No. Nama Daerah Nama Botani INP (%)


1. Besule Chydenanthus excelsus 28,5
(Blume) Miers.
2. Wining Pterocybium javanicum 20,0
R.Br
3. Gondang Ficus variegata Blume 16,3
4. Berasan Cleidion javanicum Blume 16,0
5. Ky Kas Spathodea campanulata P. 13,6
Beauv
6. Benda Artocarpus elasticus Reiwn. 12,1
7. Bungur Lagerstroemia speciosa L. 11,9
Pers.
8. Sentul Sandoricum koetjape Merr. 9,9
9. Dao Dracontomelon mangiferum 8,9
Blume
10. Glintungan Bischoffia javanica Blume 8,1

Besule (Chydenanthus excelsus Blume) dengan INP


tertinggi (28,5%) dan jenis wining (Pterocybium javanicum
R.Br) merupakan jenis kedua dominan dengan INP 20%.
Sedangkan jenis yang memiliki INP terendah yaitu kedondong
hutan (Spondias cytherea Sonn.) dan cempaka (Elmerrillia
ovalis Miq.) dengan INP 0,5% di pantai, dominansi besule lebih
tinggi (INP 67,9%) kemudian sentul 24,2% dan bungur 22,5%
(Tabel 3.5).

18
c. Hutan produksi
Pengelolaan populasi rusa timor di hutan produksi
alam maupun HTI didukung oleh penetapan wilayah
konservasi di dalam kawasan hutan produksi atau Kawasan
Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) seluas 100-300 ha, untuk
melindungi keberadaan plasma nutfah dan untuk tujuan
pendidikan. Lokasi atau wilayah konservasi harus jauh dari
pemukiman, aksesibilitas mudah, terletak di hutan primer dan
merupakan teritorial satwaliar. Di samping itu pengelola harus
bertanggungjawab terhadap pemagaran, inventarisasi,
penanaman pohon pakan, dan perlindungan dari perburuan
liar. Landskap KPPN dihubungkan dengan kawasan koridor
termasuk sempadan sungai, areal bekas tebangan, danau,
padang rumput dan pantai yang merupakan habitat rusa untuk
berkembangbiak sedangkan koridor sebagai habitat untuk
mencari pakan, minum dan aktivitas lainnya (Mukhtar dan
Sawitri, 1998).

Tabel 3.5. Beberapa jenis pohon pada perbatasan per-


kebunan dan pantai habitat rusa di TN. Meru Betiri

No. Nama Daerah Nama Botani INP (%)


1. Besule Chydenanthus excelsus 67,9
(Blume) Meirs
2. Sentul Sandoricum koetjape Merr. 24,2
3. Bungur Lagerstroemia speciosa 22,5
(L). Pers.
4. Sapen Pometia tomentosa Blume 16,3
5. Benda Artocarpus elasticus 14,5
Reinw.
6. Wiyu Garuga floribunda Decne 11,5
7. Dao Dracontomelon 11,5
mangiferum Blume
8. Glintungan Bischoffia javanica Blume 11,4
9. Jambu hutan Eugenia densiflora Blume 11,2

Kawasan hutan Baturraden merupakan hutan produksi


terbatas yang dikelola oleh PT. Perhutani Unit I Jawa Tengah
yang akan direncanakan pembangunan penangkaran rusa.

19
Setelah dilakukan pengamatan, ternyata lokasi yang layak
dijadikan sebagai penangkaran rusa adalah petak 6 D
(Garsetiasih, 2006), karena di petak tersebut terdapat habitat
yang dibutuhkan oleh rusa, kondisi fisik kawasan untuk
dikelola dan rusa mudah dimonitor. Selain itu, letaknya
berdampingan dengan lokasi Kebun Raya Baturraden
sehingga apabila dibangun penangkaran rusa pada lokasi
tersebut, diprediksikan akan meningkatkan jumlah wisatawan
yang berkunjung.
Jenis tanaman yang mendominasi petak 6 D secara
berurutan yaitu damar (Agathis dammara Lamb.), puspa
(Schima wallichii DC.), eucaliptus (Eucalyptus alba Reinw.)
dan pulai (Alstonia scholaris L.R. Br). Hasil analisis vegetasi
dan potensinya dapat dilihat pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Komposisi tegakan hutan tanaman di petak 6D


hutan Baturraden
No. Jenis Tanaman K F D INP H'
1 Damar (Aghatis loranthifolia Salisb.) 206.8 1.00 10.58 216.6 0.10
2 Puspa (Schima wallici DC.) 30.4 0.54 1.38 51.0 0.13
3 Eucaliptus (Eucalyptus alba Reiwn.) 11.5 0.35 0.94 30.2 0.10
4 Pulai (Alstonia scholaris L.R.Br) 0.7 0.03 0.07 2.2 0.02
Jumlah 249.3 1.92 12.98 300.0 0.35

Kawasan hutan Baturraden merupakan hutan produksi


terbatas jenis damar sehingga pohon tersebut ditanam dengan
kerapatan tinggi. Tegakan pohon dengan kerapatan tersebut
dapat dimanfaatkan untuk rusa sebagai tempat bernaung,
karena rusa sangat memerlukan naungan dalam menjalankan
aktivitas hariannya.
Sebagai perbandingan di Hutan Penelitian (HP)
Haurbentes Jasinga, Bogor yang kawasan hutannya
didominasi oleh jenis pohon meranti (Shorea sp.) dan puspa
(Schima wallici DC.) dengan kerapatan yang relatif tinggi (400
pohon/ha), rusa dapat ditangkarkan dan dapat berreproduksi
dengan baik. Setiap tahun rusa betina dewasa dapat
menghasilkan anak dengan lama bunting antara 7-8 bulan.

20
d. Hutan rawa dan mangrove
Habitat rusa timor di Pulau Menipo, NTT terdiri dari
vegetasi hutan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora
mucronata Lam., Bruguiera parviflora Roxb. dan Sonneratia
alba L. (Sutrisno, 1993). Sedangkan Cagar Alam Selat
Sebuku yang bervegetasi mangrove didominasi oleh jenis
Bruguiera parviflora Roxb. (INP = 61,00), selanjutnya jenis-
jenis tanaman lainnya adalah Bruguiera gymnorrhiza (L.)
Lam., Rhizophora mucronata Lam., Rhizophora apiculata
Blume, Bruguiera sexangula Lour., dan Ceriops roxburghiana
Arn. (Mukhtar, 1990).
Habitat rusa timor cukup bervariasi seperti hutan
dataran rendah terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan
bakau dengan tanah relatif tidak berlumpur dalam, hutan
peralihan antara hutan bakau dan savana yang tidak
terpengaruh oleh pasang surut, padang rumput dan rawa.
Padang rumput atau lapangan terbuka yang berpasir dan
berlumpur liat setebal 2-5 cm yang digunakan sebagai tempat
bermain, istirahat, dan kawin telah ditemukan rusa sebanyak
3-7 individu dalam sehari (Bismark et al., 1997). Hutan bakau
di TN. Rawa Aopa Watumohai didominasi oleh Ceriops tagal
(Perr.), Rhizopora apiculata (Blume.), Bruguiera gymnorrhiza
(L.) Lam., Xylocarpus granatum K.D. Koenig, Rhizophora
stylosa L., Kandelia candel L., Lumnitzera littorae L.,
Scyphyphora hydrophyllacea Lam., Acrostichum aureum
Linn., Pandanus tectorius Parkinson, dan Nypa fruticans
Wrumb. dengan lebar berkisar 20-75 m, merupakan tempat
rusa mencari pakan, beristirahat, dan menggaram atau
ngasin. Hutan bakau lebih disukai rusa apabila didalamnya
mengalir sungai atau riverine mangrove forest. Sedangkan
kompleks hutan yang berbatasan dengan hutan bakau
digunakan sebagai tempat mencari pakan, beristirahat dan
tidur. Hutan ini ditumbuhi oleh Corypha utan Lam., Bambusa
spinosa Rozb., Acrostichum aureum Linn. dan Eupathorium
spp. Habitat rusa di Sulawesi Tenggara adalah rawa yang juga
mempunyai peranan penting sebagai habitat anoa untuk

21
minum dan mencari pakan jenis ganggang. Savana di TN
Rawa Aopa dan Suaka Margasatwa Rg. Amolengo merupakan
tempat mencari pakan, bermain, kawin, berendam, dan
berkubang.

3.2. Daya dukung habitat


a. Produktivitas tumbuhan pakan di kawasan hutan
Penelitian produktivitas tumbuhan pakan rusa di
habitat alami dilakukan untuk menentukan daya dukung
habitat terhadap populasi dan untuk menentukan arah
pengelolaan habitat serta sebagai pembanding apabila kondisi
tersebut diaplikasikan di areal penangkaran berupa ranch.
Beberapa hasil penelitian produktivitas tumbuhan sumber
pakan rusa telah dilakukan di beberapa tempat, yaitu di
vegetasi savana dan hutan tanaman, di hutan savana pulau
kecil seperti di Pulau Ndana, NTT.
Keragaman jenis tumbuhan di Pulau Ndana merupa-
kan jenis hijauan pakan rusa timor dengan biomassa masing-
masing jenis disajikan dalam Tabel 3.7 (Garsetiasih, 1996).

Tabel 3.7. Biomassa tumbuhan pakan rusa timor di P. Ndana


No. Jenis tanaman Biomassa (kg/ha)
1. Indigofera glanddulosa Wendl. 45,00
2. Remirea maritima Aubl. 216,00
3. Eragrostis uniloides Retz. 321,00
4. Pollinia ful va R.Br 47,50
5. Mollugo pentaphylla L. 25,00
6. Euphorbia reniformis BL. 10,00
Total 664,50

Total biomassa tumbuhan bawah yang merupakan


hijauan pakan rusa di Pulau Ndana pada musim kemarau
sebanyak 664,50 kg/ha, jauh lebih kecil dibanding dengan
biomassa tumbuhan bawah di Pulau Rinca, TN. Komodo yang
menghasilkan biomassa hijauan pakan rusa timor sebesar
1.977 kg/ha. Hal ini disebabkan jumlah hari hujan per tahun
yang mempengaruhi pertumbuhan rumput, dimana Pulau
Ndana mengalami musim hujan selama 3 bulan per tahun
sedangkan Pulau Rinca memiliki musim hujan 4-5 bulan per
tahun.
Daya dukung habitat rusa timor yang terdapat di pulau-
pulau kecil umumnya sangat tergantung pada produksi hijauan
rumput dan dedaunan pada musim kemarau dan musim hujan.
Produksi kering hijauan rumput di Pulau Peucang adalah
1.258,4 kg per ha (6,99 kg per hari per ha), sedangkan
produksi hijauan bukan rumput 40,10 kg per ha (0,22 kg per
hari per ha). Adapun pada musim hujan produksi kering
hijauan rumput 4.097,83 kg per ha (22,77 kg per hari per ha)
dan hijauan bukan rumput 92,65 kg per ha (0,52 kg per hari per
ha). Berdasarkan data produktivitas tersebut maka Pulau
Peucang seluas 440 ha yang terdiri dari 0,75 ha padang
rumput dan 439 ha hutan, mempunyai daya dukung di musim
kemarau 79 individu dan pada musim hujan 189 individu
(Mukhtar, 1996).
Hasil penelitian di P. Peucang, TN Ujung Kulon,
memperkirakan terdapat nilai populasi rusa timor sebanyak
260,77 ± 3,36 individu, terdiri dari 45,72 ± 8,71 individu jantan
dan 215,04 ± 9,74 individu betina (rasio kelamin seluruh
kelompok umur sekitar 1:4,7) dan kepadatan 0,85 ± 0,01
individu/ha. Nilai ini diperkirakan masih ideal dan dalam batas
daya dukung habitat sebanyal 375,68 individu/tahun (Setio et
al., 2010).
Menurut hasil penelitian Garsetiasih (1996), tumbuhan
bawah pada petak 6D di kawasan Baturraden didominasi
kaliandra (Calliandra callothyrsus Meissn.) dan pacing
(Costus speciosus Koen. Smith) sebagai sumber pakan rusa.
Jenis-jenis rumput yang ditemukan dan biasa dikonsumsi
rusa yaitu aawian (Pogonatherum paniceum c.v Mon.),
rumput pait (Axonopus compressus Sw.), sadagori
(Sudaorientalis), babadotan (Ageratum conyzoides L.),
bayondah (Isachne miliacea Roth.), rane (Sellaginella
wilidenowii Desv. ex Poir.), jukut bau (Galinsoga palviflora
Cav.), jomorak (Panicum barbatum Michx.) dan goletrak
(Borreria alata Aubl.), ilat (Carex baccans L.). Jenis rumput
lain yang ditemukan tetapi tidak biasa dikonsumsi rusa yaitu
pakis hijau (Angioptaris Sp. L.), pakis merah (Drypteris sp.),
temujung (Tacca palmata Blume), kembang kuning (Eclipta
alba L. Hassk), mekania (Galinsoga parviflora Cav)., Panicum
montanum Roxb. Fl. dan harendong (Clidemia hirta L.D.Don).
Tumbuhan bawah di kawasan Baturraden sebanyak 18
jenis terdiri dari jenis rumput pait (Axonopus compressus Sw.),
aawian (Pogonatherum paniceum Lam. Hack), harendong
(Medinilla alpestris Jack Blume), mekania (Galinsoga
parviflora Cav.), kembang kuning (Eclipta alba L. Hassk),
goletrak (Borreria alata Aubl.) , rane (Sellaginella martensii
Spring.), pacing (Costus speciasus J. Konig. Sm.), temujung
(Tacca palmata Blume), wedusan (Ageratum conyzoides L.),
pakis hieur (Lycopodium debile Roxb.), pakis merah (Cyathea
sp), bayondah (Isachne miliacea Roth), ilat (Carex baccans
L.), sadagori (Sudaorientalis), kaliandra (Calliandra tetragona
Willd. Benth), babadotan (Ageratum conyzoides L.) dan jukut
bau (Galinsoga palviflora Cav.).
Hijauan pakan jenis pacing (Costus speciosus J.
Konig) mempunyai produktivitas paling tinggi dibandingkan
dengan jenis hijauan lainnya yaitu sebesar 24,50 kg/ha/hari,
produktivitas kaliandra dan rumput pait masing-masing
sebesar 15,50 kg/ha/hari dan 13,50 kg/ha/hari. Produktivitas
hijauan yang dikonsumsi rusa di Baturraden adalah 80,70
kg/ha/hari. Sedangkan kebutuhan pakan rusa per ekor per
hari umumnya sebesar 6 kg. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa daya dukung habitat adalah 5 individu/ha pada areal
yang bergelombang dan 9 individu/ha pada areal yang relatif
datar. Produktivitas dan dominansi 18 jenis tumbuhan yang
berpotensi sebagai pakan rusa tertera pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8. Dominansi dan produktivitas tumbuhan bawah di
hutan tanaman Baturraden (Garsetiasih, 2006)
INP Produktivitas
No Nama daerah Nama botani
(%) (kg/ha/hari)
1. Pacing Costus speciasus Smith. 42,81 30,50
2. Kaliandra Calliandra callothyrsus Benth. 50,99 20,90
3. Rumput pait Axonopus compressus. (Sw.) 31,06 13,50
4. Pakis merah* Drypteris sp. 4,61 11,80
5. Temujung* Tacca palmata BL. 14,56 8,40
6. Sadagori Sudaorientalis Sp. 4,15 6,80
7. Aawian Po gonatherum paniceum Sp. 4,60 6,10
8. Kembang kuning* Eclipta alba Hassk. 2,53 5,60
9. Mikania* Mikania micrantha Bittervine 4,20 5,20
10. Babadotan Ageratum conyzoides Linn. 2,26 5,00
11. Jomorak Panicum barbatum Lamk. 2,28 4,20
12. Bayondah Isachne miliacea Roth 2,49 3,20
13. Goletrak Borreria alata Aubl. 2,26 3,10
14. Rane Sellaginella wilidenowii Backer. 10,96 2,90
15. Jukut bau Golinsoga pulviflora Linn. 10,91 1,70
16. Rumput Ilat Carex baccans . L 9,69 1,60
17. Pakis hijau* Angioptaris Sp. 3,02 1,60
18. Harendong* Clidemia hirta Don. 7,34 1,50
Keterangan : * Tidak dimakan rusa

Berdasarkan pengamatan pada beberapa habitat rusa


dan hijauan pakan di beberapa lokasi penangkaran, dari 18
jenis rumput dan hijauan tidak semua dikonsumsi rusa.
Produktivitas hijauan yang dikonsumsi rusa pada petak 6 D
seluas 5,9 ha di kawasan hutan Baturraden adalah 95,50
kg/ha/hari, dengan kebutuhan pakan rusa timor per individu
per hari sebesar 6 kg maka daya dukung habitat adalah 11,14
individu/ha untuk habitat datar dan 6,36 individu/ha pada
habitat yang bergelombang atau dapat mendukung populasi
rusa timor 55,7 individu.

b. Produktivitas tumbuhan pakan di habitat buatan


Produktivitas jenis hijauan pakan di penangkaran rusa
di kawasan Ranca Upas Ciwidey Kabupaten Bandung sebesar
76,40 kg/ha/hari (Tabel 3.9) dan rusa dapat berkembangbiak
dengan baik. Hal ini menunjukkan daya dukung habitat rusa di
penangkaran tersebut cukup baik (Garsetiasih, 2004).
Tabel 3.9. Produktivitas rumput di habitat buatan Ranca Upas

Produktivitas Produktivitas
Jenis rumput rumput pada rumput pada
pemotongan 1 pemotongan 2
(kg/ha/hari) (kg/ha/hari)
Lampuyang ( Panicum repens L.) 17,50 28,8
Bayondah ( Isachne globosa 3,75 7,50
Thunb.)
Lameta (Leersia hexandra Sw.) 10 26,30
Paparean ( Carex remota L.) 10 13,80
Jumlah (To tal) 41,25 76,40

Tabel 3.9 di atas terlihat bahwa produktivitas rumput


pada pemotongan kedua lebih besar dibanding dengan
pemotongan pertama. Hal ini karena rumput yang sering
dipotong umumnya pertumbuhannya lebih cepat
dibandingkan dengan rumput yang belum pernah dipotong
sehingga untuk pembinaan habitat areal pengembalaan rusa
dapat dilakukan pengaritan. Pemotongan pada saat musim
penghujan menunjukkan pertumbuhan rumput lebih cepat.
Peningkatan produksi hijauan dengan interval pemotongan 20
hari lebih besar sesuai peningkatan curah hujan (Susetyo,
1980). Berdasarkan produktivitas tersebut padang
penggembalaan Ranca Upas seluas 4,5 ha dapat menampung
rusa sebanyak 21-40 individu.

c. Penurunan potensi habitat


Degradasi hutan sebagai habitat rusa di alam,
terjadi karena pengelolaan dan pemanfaatan hutan,
penebangan liar, perambahan untuk pertanian dan konversi
hutan. Populasi rusa timor di Pulau Jawa sangat dipengaruhi
oleh budaya dan politik. Tahun 1980-1990-an, budaya
memelihara burung dilakukan dengan berburu di hutan,
termasuk di Taman Nasional. Tetapi pada tahun 1997,
perubahan peta politik membawa perubahan sebagai akibat
pengelolaan desentralisasi yang meningkatkan kerusakan
habitat dan pencurian. Penurunan luas tegakan hutan
berkaitan dengan illegal logging, perluasan lahan pertanian
atau dampak pengelolaan hutan. Garsetiasih et.al., (1998)
melaporkan penebangan kayu di hutan bakau di P. Menipo
dilakukan tiga (3) kali dalam setahun sehingga,
mengakibatkan intrusi air laut ke danau air tawar karena
menipisnya luasan hutan. Berkurangnya tegakan bakau
akan mengganggu fungsinya sebagai penahan angin maupun
hilangnya cover bagi rusa timor sebagai tempat istirahat dan
bermain.
Luas lahan kritis di pulau sebaran populasi rusa timor
disajikan pada Tabel 3.10. Rehabilitasi lahan yang telah
dilakukan untuk penanggulangan lahan kritis sebagai bentuk
perbaikan habitat di dalam kawasan hutan, baru mencapai
1,9%.

Tabel 3.10. Lahan kritis di beberapa propinsi sebagai daerah


sebaran rusa timor (sampai tahun 2006)
Luas rehabilitasi
Luas lahan kritis
lahan dalam
No. Pulau dalam dan luar
kawasan selama
kawasan (ha)
5 tahun (ha)
1. Jawa 3.493.549,99 21.382,20
2. Nusa Tenggara Barat 853.289,66 25.687
3. Nusa Tenggara Timur 4.391.767,10 30.075
4. Sulawesi 6.218.210,36 1.312,26
5. Maluku 2.402.935,73 27.356
6. Papua 4.575.993,81 571

Perluasan lahan kritis yang berdampak pada


kehidupan rusa adalah pembukaan lahan hutan oleh manusia
untuk kepentingan pertanian. Konversi lahan akan merubah
komposisi jenis tumbuhan seperti yang terjadi di Pulau Moyo.
Dimana pada tahun 1985 terdapat padang rumput di Tanjung
Pasir tetapi pada Tahun 1996 padang rumput tersebut sudah
tidak ada dan rumput-rumputan yang terdapat di atasnya
digantikan oleh jenis Zizyphus muritiana Lam., Lantana
camara L. dan Eupatorium pallescens DC. Sedangkan jenis
rumput di padang rumput pada Tahun 1985 yang dijumpai yaitu
Paspalum longifolium Roxb., Paspalum paniculatum L.,
Saccharum spontaneum L. dan Polinia vulva R.Br yang sangat
disukai rusa sudah tidak dijumpai pada Tahun 1996 dan
digantikan oleh jenis rumput Eragrostis bahiensis Schard.,
Arthraxon hispidus Thunb., Chloris digitata Roxb. dan
Andropogon contortus L. (Mukhtar, 1996).

d. Pengelolaan habitat
Hilangnya areal penggembalaan rusa di Taman
Nasional (TN) Baluran adalah akibat invasi tanaman Acacia
nilotica (leguminosae). Tanaman ini merubah padang rumput
terbuka menjadi hutan-semak berduri yang lebat, sehingga
rumput sulit tumbuh dan satwa sulit masuk ke lokasi tersebut.
Di samping itu, terdapat tanaman gulma lain yang juga
menginvasi padang rumput alami seperti Lantana camara L.,
Chromolaena odorata L., Mimosa pudica L., Imperata
cylindrica L.P. Beauv, Sesbania sebans Jacq W. Wight dan
tanaman pemanjat seperti Mikania micrantha Bittervine.
Pengelolaan habitat yang berkaitan dengan konser-
vasi kawasan adalah mengembalikan kawasan pada fungsi
dan ekosistem semula melalui kegiatan restorasi. Kegiatan
restorasi dilakukan dengan pengayaan habitat melalui zonasi
kawasan untuk menentukan arah peruntukan kawasan.
Zonasi kawasan berdasarkan peruntukannya dibagi menjadi
zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan daerah
penyangga. Pembagian kawasan di daerah kawasan
konservasi lain dapat dilakukan dengan pembagian ke dalam
blok pemanfaatan, perlindungan dan peruntukan lain. Daerah
penyangga yang merupakan koridor kawasan konservasi
dapat dibagi dalam tiga zona yaitu jalur hijau yang ditujukan
sebagai koridor bagi satwaliar untuk beraktivitas maupun
mencari pakan dan kawasan integrasi dan budidaya yang
merupakan areal pemukiman, pertanian, perkebunan dan
peternakan. Restorasi di dalam kawasan konservasi maupun
kawasan hijau di daerah penyangga dilakukan dengan
penanaman tanaman asli dan tanaman yang dimanfaatkan
oleh satwaliar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pakan maupun tempat hidup.
Pengelolaan habitat ditujukan untuk meningkatkan
daya dukung habitat dalam meningkatkan populasi. Daya
dukung habitat rusa didekati melalui produktivitas hijauan,
sekalipun sudah menunjukkan nilai yang optimal dari berbagai
faktor yang mempengaruhinya seperti tanah, iklim dan
organisme lainnya. Pengelolaan habitat rusa dengan cara
peningkatan produktivitas hijauan pakan berupa rumput dan
hijauan lainnya dilakukan dengan pengayaan jenis tanaman
pakan rusa maupun pemberantasan tanaman invasiv yang
mengganggu pertumbuhan jenis asli. Di samping itu,
penyediaan sumber-sumber air di habitat rusa juga diperlukan
sebagai sumber minum air dan pengairan bagi pertumbuhan
rumput. Pendekatan daya dukung hijauan dari aspek
organisme lain adalah kompetisi yang terjadi antara rusa
dengan satwa lain dalam mengkonsumsi pakan. Hal ini terjadi
di padang rumput TB. Pulau Moyo dimana rusa dan satwaliar
lain memanfaatkan jenis vegetasi yang sama sebagai
tanaman pakan. Buah malaka (Phyllanthus emblica L.) yang
matang merupakan makanan rusa timor maupun kera ekor
panjang (Macaca fascicularis Raffles), dimana kera ekor
panjang akan mengambil buahnya di atas pohon sedangkan
rusa timor makan dari buah yang berjatuhan. Buah malaka
berbuah pada saat musim kemarau panjang dan memiliki
kandungan air paling tinggi diantara pakan rusa lainnya, yaitu
12%, kadar proteinnya 6,69%, dan serat kasarnya 27,68%.
Selain itu jenis tanaman pakan yang lain yaitu buah bidara
(Schleicera oleosa Lour.) berkompetisi dengan tupai
(Callisciurus notatus Boddarert) dan kakatua (Cacatua
sulphurea Gmelin). Nilai gizi buah bidara mengandung kadar
air 11%, protein 6,58% dan serat kasar 36,30% sehingga jenis
tanaman yang menghasilkan buah-buahan di musim kemarau
sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air (Mukhtar,
1996).
Rehabilitasi habitat yang telah dilakukan secara
intensif di TN Baluran dilakukan bersama masyarakat dengan
cara penebangan kayu Acacia nilotica (L.) Willd. dan
memanfaatkannya sebagai kayu bakar atau arang (Sawitri dan
Takandjandji, 2007). Cara yang terbaik untuk mengatasi
penyebaran A. nilotica adalah kerjasama dengan masyarakat
untuk menebang secara manual dan memanfaatkan kayunya.
Kewajiban yang diberikan kepada masyarakat tersebut adalah
membersihkan padang savana dari pohon maupun anakan A.
Nilotica. Hasil dari kerjasama tersebut dapat dilihat yaitu
kembalinya ekosistem padang savana yang didominasi oleh
rumput-rumputan (Gambar 3.3).

Gambar 3.3. Savana Bekol TN. Baluran setelah tiga tahun


penebangan Acacia nilotica

Kegiatan pembinaan habitat savana di TN. Baluran


sangat lambat karena tergantung pada peraturan, kondisi
habitat, aktivitas satwa, cuaca, perencanaan, dan kemampuan
dalam pelaksanaan penebangan pohon. Kemampuan setiap
orang untuk menebang pohon Acacia nilotica (L.) Willd sekitar
3 m3 per hari. Masyarakat lebih banyak beristirahat karena
cuaca yang sangat panas. Sedang pada waktu musim
penghujan, kayu bakar yang telah ditebang tidak dapat
dikeluarkan dari lokasi penebangan karena kondisi jalan yang
tidak dapat dilalui truk pengangkut. Untuk mengantisipasi
keadaan ini, dapat dipadukan dengan cara penebangan kayu
Acacia nilotica secara mekanis dan non mekanis yaitu
menggunakan mesin pemotong kayu untuk menebang pohon
serta kapak untuk memotong-motong kayu, sehingga
pekerjaan menjadi lebih cepat dan efisien. Pembinaan habitat
dapat juga diterapkan dengan penebangan sistem rotasi, yang
dilakukan secara bergantian berdasarkan prioritas
pengelolaan habitat padang savana untuk keamanan satwa.

3.3. Populasi
a. Kepadatan populasi
Populasi rusa di Ranca Upas seluas 4,5 ha sejumlah
12 individu terdiri dari 7 individu jantan dan 5 individu betina.
Rusa timor yang termasuk satwaliar, diburu secara illegal
untuk mendapatkan tambahan pendapatan dan sumber
protein bagi masyarakat lokal. Upaya peningkatan kesadaran
masyarakat akan konservasi dan perbaikan habitat telah
meningkatkan populasi rusa timor di beberapa tempat.
Perkembangan populasi rusa timor pada penangkaran
cukup signifikan di beberapa Kabupaten di Propinsi NTT
dimana di Kabupaten Alor sebanyak 329 individu, Kupang 40
individu, Timor Tengah Selatan 23 individu, Sumba Barat 30
individu, Ende 8 individu, serta kemungkinan masih banyak di
beberapa kabupaten lainnya. Menurut Garsetiasih et al.
(1997), populasi rusa timor di alam pada Tahun 1990-an relatif
masih banyak, seperti di TN. Komodo khususnya pulau Rinca
mencapai 11.282 individu, dan di Pulau Menipo dengan luas
581 ha sebanyak 632 individu (Sutrisno,1993). Populasi rusa
di TN. Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara sekitar 60-
80 individu per km (Bismark et al., 1997).
Mengingat potensi rusa sangat luar biasa untuk
dikembangkan sebagai hewan untuk substitusi pemenuhan
gizi masyarakat, maka sudah saatnya pemeliharaan rusa
bukan semata-mata menjadi tanggung jawab instansi
pemerintah saja, tetapi masyarakat perlu dilibatkan dalam
pemeliharaan, guna mendukung percepatan dan laju
perkembangbiakan rusa. Pemeliharaan rusa dengan sistem
kelompok, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
kelompok penangkar rusa sekaligus mendorong percepatan
pengembangan penangkaran rusa.
Tingginya perburuan secara modern menyebabkan
jumlah populasi rusa di alam menurun. Menurut catatan
Semiadi (2002), populasi rusa di TN. Wasur Irian Jaya
mengalami penurunan akibat perburuan dengan senjata api,
dari jumlah 8.000 individu namun hingga saat ini tidak
diketahui jumlahnya. Jatah buru rusa di TB. Pulau Moyo Tahun
1996 sebanyak 1018-1785 individu (Mukhtar, 1997).
Populasi rusa timor saat ini lebih banyak di luar
habitat aslinya seperti Papua, dan Kepulauan Maluku.
Populasi rusa di Pulau Moyo dilindungi oleh masyarakat lokal,
sedangkan di TN. Wasur populasinya hampir mencapai 8.000
individu. Sebaliknya populasi rusa di Pulau Jawa menurun di
beberapa kawasan konservasi, termasuk TN. Baluran yang
pada akhir Tahun 1990-an memiliki populasi terbanyak
(Semiadi, 2006).
Peran hutan produksi sebagai habitat ditunjukkan dari
potensi satwaliar didalamnya, seperti populasi rusa sambar
(Rusa unicolor) sebanyak 16,6 individu per km² (Bismark dan
Gintings, 1997). Populasi rusa di kawasan hutan produksi
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) di Sumatera
Barat (Andalas Merapi Timber), sebanyak 11 individu per km2,
demikian pula di Jambi (Kawasan Asialog) (Bismark dan
Heriyanto, 2007).
Kepadatan populasi rusa yang tinggi berada dalam
kawasan konservasi seperti Pulau Menipo di Nusa Tenggara
Timur, seluas 581 hektar pada tahun 1987 mencapai 964
individu (Takandjandji, 1987) dan pada tahun 1988 mengalami
penurunan 729 individu serta tahun 1993 632 individu
(Sutrisno, 1993). Penurunan populasi rusa di habitatnya
umumnya disebabkan perburuan liar, kekurangan pakan pada
musim kemarau, dan kerusakan habitat berupa penebangan
pohon yang merupakan komponen habitat rusa.
Hasil inventarisasi rusa timor oleh tim pengamat
secara bersamaan di seluruh habitat pada Tahun 1996,
tercatat 2.500-3.000 individu (Hedger, 2008). Selanjutnya
pada Tahun 1998-1999, populasi yang ada, menurun hingga
1.000 individu termasuk populasi rusa yang ada di TN. Alas
Purwo dan populasi di Bali hanya tersisa di TN. Bali Barat.
Adanya pembinaan habitat dan populasi seperti di TN.
Baluran, sensus rusa timor terakhir menunjukkan bahwa
populasi rusa timor di kawasan ini berkisar 13.000-20.000
individu dewasa. Kepadatan populasi rusa di beberapa
kawasan konservasi dapat dilihat pada Tabel 3.11.

Tabel 3.11. Populasi rusa timor (Rusa timorensis) pada


kawasan konservasi di Indonesia
Kerapatan
Daerah Nara
No. Habitat populasi
Penyebaran sumber
(individu/ha)
1. P. Menipo Savana dan 1 Sutrisno,
mangrove 1993
2. TN Komodo, P. Savana 0,6 Garsetiasih,
Rinca 1997
3. TN Rawa Aopa Rawa, savana dan 0,6-0,8 Bismark et
Watumohai mangrove al., 1997
4. P. Moyo Savana 0,2-0,4 Mukhtar,
1997
5. TN Ujung Kulon Savana, 0,6-0,7 Mukhtar,
mangrove, pantai 1997
dan dataran tinggi

Populasi rusa di hutan wisata diwakili oleh TWA.


Pangandaran dan TWA. Pulau Menipo. Populasi rusa timor di
TWA. Pangandaran Tahun 1993 adalah 120 individu tersebut
diindikasikan mengalami kekurangan pakan dan terjadi
perubahan jenis pakan sebagai dampak pengunjung. Rusa
yang ada mulai berkeliaran ke hotel-hotel untuk mencari pakan
dengan mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah, karena
kebiasaan rusa di TWA. mendapatkan makanan dari
pengunjung maupun sisa-sisa makanan yang ditemukan rusa
di tempat sampah. Populasi rusa timor di TWA. Pulau Menipo
cukup padat, pada pulau seluas 571,8 hektar terdapat
populasi dengan 632 individu atau kepadatan populasi 1,1
individu per hektar (Sutrisno, 1993). Perubahan persepsi
masyarakat lokal yang kemudian menjaga kelestarian
populasi rusa timor di taman wisata ini adalah salah satu
bentuk partisipasi masyarakat yang terbangun dari nilai
eknomi wisata bagi masyarakat dan pendidikan konservasi.
Jumlah populasi rusa di TB. Pulau Ndana diperkirakan
sebanyak 537 individu, terdiri dari 123 individu anak rusa dan
414 individu dewasa (Garsetiasih, 1996). Jumlah tersebut
terdapat 155 individu rusa jantan dan 259 individu betina,
sehingga nisbah kelamin atau sex ratio rusa betina dengan
jantan 1,67:1 , dengan kepadatan populasi 0,34 individu per
hektar. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan hasil
inventarisasi BKSDA VII tahun 1990 sebanyak 1.621 individu.
Penurunan populasi rusa timor dan rusa sambar saat
ini lebih banyak merupakan dampak langsung tidak langsung
dari pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan
masyarakat. Tekanan terhadap satwaliar berupa pengambilan
jenis dan perambahan habitat serta konversi lahan hutan
menjadi areal pertanian, pemukiman dan perburuan liar yang
tidak terkendali untuk dijual sebagai tambahan pendapatan
maupun dikonsumsi sendiri dalam rangka pemenuhan protein
hewani.
Perburuan liar sering dilakukan oleh masyarakat
secara berkelompok dengan menggunakan kuda dan
memakai tombak ataupun dengan membakar sekeliling
savana sehingga rusa timor terkepung dan kemudian
ditombak (Garsetiasih et al., 1998). Gangguan terhadap
habitat rusa timor dan rusa sambar selain perambahan dan
konversi lahan adalah rendahnya kualitas komponen
pendukung habitat kehidupan satwa. Komponen habitat
diantaranya adalah ketersediaan pakan terutama di musim
kemarau seperti di Pulau Menipo dan Ndana yang mempunyai
musim hujan 3-4 bulan per tahun, sisanya merupakan musim
kemarau yang mengakibatkan rendahnya kualitas dan
kuantitas pakan, sehingga mengakibatkan kematian populasi
rusa.
Kebutuhan hidup pokok rusa untuk pertumbuhan
optimal berupa protein, kalsium dan fosfor masing-masing 13-
16%, 0,45% dan 0,35% dari bahan kering, minimal kandungan
proteinnya 6-7% (Lubis, 1985). Sedangkan nilai kandungan
protein, kalsium dan fosfor hijauan pakan di Pulau Menipo
masing-masing adalah 3,3%, 0,69% dan 0,12%, dengan
demikian kandungan gizi yang tersedia tidak memenuhi
kebutuhan (Garsetiasih, 1990).
Populasi rusa di Pulau Rumberpon yang didalamnya
terdapat Taman Buru dengan luas 420,66 ha terdapat populasi
rusa sekitar 662 individu (Faten, 2002). Populasi rusa timor di
Papua mengadakan migrasi musiman, dimana pada musim
hujan banyak terdapat di daerah antara Papua Barat dan
perbatasan New Guinea sedangkan pada musim kemarau
beberapa diantaranya bergerak ke Papua New Guinea
(Semiadi, 2006). Populasi rusa timor di Pulau Rumberpon,
Papua tersebar tidak merata di seluruh kawasan. Tetapi
terkonsentrasi pada padang rumput dan hutan di sekitarnya.
Besarnya populasi rusa di kawasan ini berkisar antara 218
individu-662 individu. Struktur populasi berdasarkan jenis
kelamin terdapat perbandingan antara rusa jantan dan betina
1:3 dengan selang populasi rusa jantan 55-166 individu dan
betina 164-497 individu. Struktur umur rusa terdiri dari fase
umur dewasa (53%), muda (41%) dan anak (6%). Hal ini
menunjukkan angka natalitas rusa rendah sebagai akibat oleh
perburuan anak rusa oleh masyarakat atau akibat nilai gizi
hijauan pakan yang rendah (Faten, 2002).

b. Pengelolaan populasi
Status konservasi rusa berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 1999 menyatakan bahwa semua
spesies dan sub spesies rusa yang memiliki sebaran alami di
Indonesia merupakan satwa yang dilindungi. Sementara itu,
status konservasi berdasarkan International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN, 2008)
jenis rusa timor (R. timorensis), rusa sambar (R. unicolor) dan
muncak (Muntiacus muntjak dan M. atherodes) masuk dalam
kelompok kurang beresiko dengan kategori least concern
(LC). Sebaliknya, jenis rusa bawean (A. kuhlii) yang
merupakan satwa endemik Pulau Bawean, status konser-
vasinya masuk dalam kelompok yang terancam dengan
kategori endangered (EN). Selanjutnya, berdasarkan
konvensi CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora), hanya jenis
rusa sambar yang masuk dalam daftar Appendix I, sedang tiga
jenis rusa lainnya yang terdapat di Indonesia, tidak masuk
dalam daftar Appendix (Departemen Kehutanan, 2006).
Pengendalian perburuan liar di masyarakat dilakukan
dengan meningkatkan persepsi masyarakat terhadap
konservasi satwaliar dan fungsi serta manfaat pengelolaan
kawasan konservasi seperti taman buru, taman nasional, dan
taman wisata alam. Penyuluhan dan sosialisasi, pentingnya
kelestarian satwaliar, dan hasil-hasil penangkaran akan
memperluas persepsi masyarakat di sekitar kawasan untuk
turut berperan aktif dalam pengembangan penangkaran
satwaliar baik sebagai kesenangan maupun tambahan
pendapatan.
Penyuluhan dan sosialisi tentang jenis satwaliar
dilindungi termasuk rusa timor dan rusa sambar melalui
pengetahuan biologi dan morfologi kepada masyarakat perlu
digalakkan. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan dapat
dilakukan masyarakat. Di samping itu, perdagangan satwaliar
dilindungi diatur oleh perundang-undangan dan jatah ekspor
untuk suatu jenis satwaliar tergantung besarnya jatah
tangkapan untuk setiap wilayah propinsi yang merupakan
wilayah sebaran satwa tersebut. Penentuan jumlah populasi
sebagai jatah ekspor atau kuota tangkap satwaliar didasarkan
pada hasil penelitian mengenai populasi di setiap wilayah
sebaran dan keberhasilan penangkaran untuk menghasilkan
F2. Pengendalian perdagangan satwaliar juga ditentukan
berdasarkan kesepakatan antar negara sumber satwa dengan
negara pemasok melalui jatah ekspor yang dirumuskan oleh
CITES untuk mengendalikan lalu lintas perdagangan
satwaliar.
c. Pertumbuhan populasi
Untuk keperluan perhitungan kuota buru diperlukan
proyeksi data riap kerapatan populasi rusa jantan dan betina
untuk setiap kelas umur yang diekstrapolasikan ke dalam luas
areal. Waktu regenerasi atau selang beranak antar pertama
dan berikutnya, yaitu t = 1,6 tahun (18 bulan), maka kuota buru
dimungkinkan pada langkah t = 18 sampai dengan t = 38 umur
rusa maksimal (Mukhtar, 1996). Simulasi pertumbuhan
populasi rusa model Matriks Leslie terpaut kerapatan dengan
memperhatikan pengaruh kerapatan populasi saat kelahiran
(senjang waktu) dari individu-individu setiap kelas umur betina
dan kerapatan populasi rusa jantan dan betina, di TB. Pulau
Moyo pada musim kemarau dan hujan (Gambar 3.4 dan 3.5).

Gambar 3.4. Simulasi pemanfaatan rusa di musim hujan di TB. P. Moyo

Anda mungkin juga menyukai