Makalah Hukum Agraria (PHI)
Makalah Hukum Agraria (PHI)
Makalah Hukum Agraria (PHI)
Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan hidayahNya jugalah sehinga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Makalah yang berjudul “Hukum Agraria”
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia.
Makalah ini berisikan pembahasan mengenai seluk-beluk hukum agraria
yang dimulai dari pengertian hukum agraria itu sendiri, sejarah terbentuknya hingga
perkembangannya saat ini, ruang lingkup, asas-asas yang terkandung di dalamnya,
kedudukannya dalam pembangunan nasional, hingga regulasi yang mengatur
keberadaannya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna sehingga penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan yang kurang
berkenan di hati para para pembaca. Penulis pun berharap pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini di
kemudian hari.
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kontribusinya di dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan hukum agraria?
2. Bagaimana awal dari perkembangan hukum agraria hingga saat
ini?
3. Bagaimanakah ruang lingkup dari hukum agraria?
4. Bagaimana keadaan sebelum diberlakukannya Undang-Undang
Pokok Agraria?
5. Bagaimana kedudukan dari Undang-Undang Pokok Agraria
tersebut?
6. Apa saja asas-asas yang terdapat di dalam Undang-Undang
Pokok Agraria tersebut?
7. Apa yang dimaksud dengan kelembagaan pertanahan?
8. Bagaimana keberadaan hukum agraria di dalam pembangunan
nasional?
9. Apakah terdapat ketentuan lain selain Undang-Undang Pokok
Agraria tersebut terkait hukum agraria?
5
BAB II
PEMBAHASAN
1
K. Prent (et.al.), Kamus Latin Indonesia, Semarang: Yayasan Kanisius, 1960.
2
K. Prent (et.al.), Ibid.
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga, Cetakan
Keempat, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, hlm. 13.
4
Bryan A. Gadner, Black’s Law Dictionary: Eighth Edition, USA: West Publishing Co, 2004,
hlm. 73.
5
Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Jakarta: Karunika,
1988, hlm 1-2.
6
Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang
pertumbuhan, perkembangan, serta berlakunya dipertahankan oleh
masyarakat adat yang bersangkutan.6
Menurut Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, Hukum Agraria adalah
keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik Hukum Perdata maupun
Hukum Tata Negara maupun pula Hukum Tata Usaha Negara yang
mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan
bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur
pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan
tersebut.7
Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya
merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum Agraria merupakan satu
kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk
pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas:
a. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam
arti permukaan bumi.
b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
c. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-
bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Pokok
Pertambangan.
d. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan
alam yang terkandung di dalam air.
e. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang
Angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.8
6
Baschan Mustofa, Hukum Agraria dalam Perspektif, Bandung: Remadja Karya, 1988, hlm. 11.
7
Soebekti dan R. Tijtrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hlm. 12.
8
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2003, hlm. 8.
7
Menurut E. Utrecht yang dikutip oleh Boedi Harsono, Hukum
Agraria dalam arti yang sempit sama dengan Hukum Tanah. Hukum Agraria
dan Hukum Tanah menjadi bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang
menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan
memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang
agraria, melakukan tugas mereka itu.9
Pengertian agraria dalam arti sempit hanyalah meliputi permukaan
bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas
meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini bukan dalam
pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak.
Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian dalam arti
luas.
Pengertian agraria juga sering dikaitkan dengan corak kehidupan
suatu masyarakat atau bangsa, misalnya Indonesia sebagai negara agraris,
yaitu suatu bangsa yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari bercocok
tanam (bertani) atau kehidupan masyarakatnya bertumpu pada sektor
pertanian. Agraris sebagai kata sifat digunakan untuk membedakan corak
kehidupan masyarakat pedesaan yang bertumpu pada sektor pertanian
dengan corak kehidupan masyarakat perkotaan yang bertumpu pada sektor
non-pertanian (perdagangan, industri, birokrasi).10
Selain itu, yang juga termasuk ke dalam kajian Hukum Agraria
adalah Hukum Kehutanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan
(Hak Pengusahaan Hutan) dan hasil hutan (Hak Memungut Hasil Hutan).
Hukum Agraria dari segi objek kajiannya tidak hanya membahas tentang
bumi dalam arti sempit yaitu tanah, akan tetapi membahas juga tentang
pengairan, pertambangan, perikanan, kehutanan, serta penguasaan atas
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.
9
Boedi Harsono, Ibid.
10
Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2012, hlm. 4-5.
8
2.2 Sejarah Hukum Agraria
Hukum agraria yang berlaku saat ini merupakan hasil tinjauan dari
masa lalu. Di dalam perkembangannya, hukum agraria telah melewati dua
periode yaitu periode pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
a. Pra Kemerdekaan
Hukum agraria terbentuk sejak kedatangan Veerenigde
Ooost-Indische Compagnie (VOC) ke Indonesia antara tahun 1602-
1799.11 Pada saat itu, VOC memberlakukan sistem perdagangan
yang memaksa para raja dari kerajaan kecil untuk menandatangani
suatu perjanjian dimana di dalam perjanjian tersebut raja dan rakyat
harus menyerahkan hasil bumi mereka baik yang merupakan pajak
tanah maupun yang harganya telah ditentukan.12
Kemudian, di dalam hukum perdata Belanda (Burgerlijk
Wetboek), terdapat ketentuan mengenai perolehan tanah untuk
hubungan keagrariaan. Ketentuan ini mulai diberlakukan di seluruh
wilayah kekuasaan VOC dimana hasil bumi yang ada di wilayah-
wilayah tersebut dikumpulkan dan dijual di pasaran Eropa.13 Lahan
kerajaan yang juga merupakan wilayah di bawah kekuasaan VOC
pun dapat digunakan secara bebas, termasuk dijual kepada pihak lain
selain masyarakat Indonesia. Sejak tahun 1621, kegiatan penjualan
tanah tersebut dilakukan oleh Lembaga Tanah Partikelir. Namun,
karena ketiadaan pejabat notaris, maka tidak ada surat bukti jual
beli.14 Lalu, Inggris datang dan menguasai Pulau Jawa. Saat itu, di
bawah pemerintahan Raffles, semua tanah yang ada ditetapkan
sebagai milik pemerintah Inggris.15
11
Muchsin (et.al.), Hukum Agraria dalam Perspektif Sejarah, Bandung: Refika Aditama, 2007,
hlm. 9.
12
Muchsin (et.al.), Ibid.
13
Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria,
Yogyakarta: STPN Press, 2012, hlm. 37.
14
Herman Soesangobeng, Ibid.
15
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Diterbitkan bersama oleh:
Konsorsium Pembaruan Agraria (Jaksel), Sajogyo Institute (Bogor), AKATIGA (Bandung), Edisi
Baru, 2009, hlm. 70.
9
Raffles menerapkan kebijakan pajak tanah yang memberikan
kekuasaan kepada para kepala desa untuk menetapkan jumlah sewa
yang wajib dibayar oleh tiap petani.16 Kemudian, Belanda kembali
menguasai Indonesia. Gubernur Jenderal Van den Bosch yang
menjabat pada saat itu, menerapkan suatu kebijakan, yaitu sistem
tanah paksa (Cultuurstelsel). Sistem ini sangat merugikan rakyat
Indonesia, bahkan mendapat begitu banyak kritikan.
Hingga pada akhirnya, dikeluarkanlah kebijakan yang baru,
yaitu Regerings Reglements. Kebijakan ini melarang Gubernur
Jenderal menjual tanah kecuali tanah yang sempit bagi perluasan
kota dan industri, serta boleh menyewakan tanah berdasarkan
peraturan kecuali tanah hak ulayat.17 Adapun tujuan dari kebijakan
ini bertujuan untuk membina tata hukum kolonial dalam mengontrol
kekuasaan dan kewenangan raja beserta aparat eksekutif atas daerah
jajahan.18
Pada tahun 1848, Hukum Pertanahan Belanda mulai
dilaksanakan di Indonesia. Kemudian, berlanjut pada pemberlakuan
Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) di Jawa dan Madura,
serta seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda. Hal ini bertujuan
untuk memperbesar keuntungan yang berasal dari kekayaan alam
Indonesia bagi para pedagang Belanda.
Selain itu, diberlakukan juga Agrarische Reglement
(Peraturan Agraria) yang mengatur hak milik pribumi di wilayah
luar Jawa dan Madura.19 Di dalam masa sebelum kemerdekan,
hukum agraria yang berlaku sangat merugikan rakyat Indonesia.
16
Muchsin (et.al.), Op.Cit., hlm. 12.
17
Muchsin (et.al.), Ibid.
18
Soetandyo Wignjosoebroto, dalam monograf Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi,
Negosiasi, dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, Jakarta: Epistema Institute, 2011,
hlm. 29.
19
Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya (De Indonesier en Zijn Ground),
Yogyakarta: STPN Press, 2013, hlm. 168.
10
b. Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah segera membentuk
sebuah panitia untuk menghasilkan sebuah hukum agraria nasional.
Ini dilakukan sebagai upaya dalam memperbaiki pengaturan hak
agraria masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, terbitlah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria. Setelah undang-undang ini disahkan dan diberlakukan,
maka terjadi pencabutan terhadap segala peraturan hukum agraria
kolonial yang dahulu pernah berlaku.
a. Bumi
Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan
bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di
bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA adalah
tanah.
b. Air
Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di
perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1974 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengairan air meliputi air
yang terkandung di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik
yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak
meliputi air yang ada di laut.
20
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
11
c. Ruang Angkasa
Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang
di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia.
Sedangkan menurut Pasal 48 UUPA, ruang angkasa dapat diartikan
sebagai ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-
unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
d. Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya
Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi disebut bahan, yaitu
unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih, dan segala macam
batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-
endapan alam (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan). Kekayaan alam yang
terkandung di air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada
di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia (Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan).
21
Urip Santoso, Op.Cit., hlm. 7-8.
12
b. Hukum Agraria Barat
Hukum agraria barat merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum
agraria yang bersumber pada hukum perdata Barat, khususnya yang
bersumber pada Boergelijk Wetboek (BW).
c. Hukum Agraria Administratif
Keseluruhan dari peraturan atau putusan-putusan yang merupakan
pelaksanaan dari politik Agraria pemerintah di dalam kedudukannya
sebagai badan penguasa.
e. Hukum Agraria Swapraja
Keseluruhan kaidah hukum agraria yang bersumber dari kaidah hukum
agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan tentang tanah di
daerah-daerah swapraja seperti Yogyakarta dan Aceh, yang
memberikan pengaturan bagi tanah-tanah di wilayah swapraja yang
bersangkutan.
f. Hukum Agraria Antar Golongan
Keseluruhan kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang
akan diberlakukan (hukum adat atau hukum barat) jika ada dua orang
yang masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri mengenai
tanah.
22 Disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno dan diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
13
Adapun keberadaan UUPA adalah sebagai landasan hukum bagi
pengaturan tanah dalam skala nasional yang pada awalnya telah terdapat
dalam berbagai bidang hukum. Sehingga, eksistensinya sendiri
menimbulkan perubahan-perubahan yang secara fundamentalis berkaitan
dengan struktur perangkat hukum, konsepsi dasar, serta substansi dari
hukum agraria yang telah ada. Secara umum, tujuan dari UUPA adalah
mengimplementasikan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 33 Ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa
bumi, air, dan kekayaan yang berada di dalamnya, yang penguasaannya
ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Di dalam bagian berpendapat serta penjelasan umum UUPA,
Hukum Agraria Nasional tercipta dari ketentuan, dalam hal ini ialah UUPA,
yang bermuara pada hukum adat mengenai tanah, sebagai hukum yang
bersumber dari sebagian rakyat Indonesia. Perubahan di dalam hukum tanah
nasional dilakukan secara cepat, hakiki, dan utuh dalam rangka
menyelesaikan segenap persoalan revolusi nasional, serta dapat diartikan
sebagai bentuk dalam melaksanakan pembangunan nasional, mengisi
kemerdekaan, dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Di Indonesia, kedudukan UUPA dapat terbagi menjadi dua, yaitu
kedudukannya sebagai hukum tanah nasional dan kedudukannya sebagai
undang-undang pokok.
a. Kedudukan UUPA sebagai Hukum Tanah Nasional
Dalam hal ini, UUPA memiliki materi muatan yang mengandung tujuan,
konsepsi, asas, sistem, dan isi yang dimaksudkan agar hukum tanah
nasional harus23 :
1) berdasarkan hukum adat tentang tanah;
Hukum adat adalah sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia
dikarenakan keberadaannya yang merupakan hukum asli bangsa
14
Indonesia. Namun, hukum adat tersebut disempurnakan dari
kekurangan yang ada agar dapat memenuhi perkembangan
zaman.
2) sederhana;
Yang dimaksud dengan sederhana adalah selaras dengan tingkat
pengetahuan bangsa Indonesia yakni dengan memilih hukum
adat sebagai dasar hukum yang baru.
3) menjamin kepastian hukum;
Kepastian hukum ini diperlukan sebab masalah agraria berkaitan
dengan kegiatan ekonomi yang membutuhkan pembuktian yang
jelas dan pasti dalam kegiatan-kegiatannya.
4) sesuai dengan nilai-nilai agama;
Tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama yang
telah mengakar di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
5) memberi kemungkinan agar bumi, air, dan ruang angkasa dapat
mencapai fungsinya dalam menciptakan masyarakat yang adil
dan makmur;
Pembangunan nasional tentu membutuhkan tanah sebagai faktor
produksi, untuk memenuhi kebutuhan akan tanah tersebut maka
perlu digunakan secara efisien dan perlu juga adanya
pengaturan, pengendalian, dan pembinaan oleh pemerintah. Hal-
hal tersebut memerlukan landasan hukum yang harus dituangkan
dalam hukum tanah yang efisien dan efektif.
6) sesuai dengan kepentingan masyarakat Indonesia;
UUPA harus memiliki kesesuaian terhadap kepentingan seluruh
rakyat Indonesia bukan kepentingan sebagian kelompok atau
golongan.
7) sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman dalam bidang
agraria;
UUPA harus memberikan kemungkinan untuk dapat
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masa depan.
15
8) mewujudkan Pancasila;
9) pelaksanaan Dektrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dan Manifesto
Politik Republik Indonesia sesuai dengan pidato Presiden
tanggal 17 Agustus 1960;
Yang dimaksud adalah UUPA mengembalikan bangsa Indonesia
ke jalur yang benar dalam revolusi nasional, dalam bidang
agrarian kebijaksanaannya adalah persoalan tanah yang
diwariskan oleh zaman Belanda harus segera diakhiri terutama
mengenai hak eigendom.
10) melaksanakan ketentuan dalam Pasal 33 Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUPA merupakan pelaksanaan dari Pasal 33 sebagaimana yang
tercantum di dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga di dalam
UUPA harus dijiwai konsepsi yang tertuang dalam pasal
tersebut.
b. Kedudukan UUPA sebagai Undang-Undang Pokok
UUPA hanya memuat konsepsi, asas-asas, dan ketentuan-ketentuan
pokok sehingga UUPA merupakan dasar bagi penyusunan peraturan-
peraturan yang lain.
24
Urip Santoso, Op.Cit., hlm. 53-66
16
kepada ayat (2), dapat dipahami pula bahwa tanah bagi bangsa Indonesia
mempunya sifat yang religius, artinya semua tanah di wilayah negara
Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Terakhir, berlanjut pada ayat (3), dapat dipahami bahwa hubungan
antara bangsa Indonesia dan bumi, air, serta ruang angkasa Indonesia
adalah bersifat abadi yang berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air, dan
ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, tidak ada sesuatu kekuasaan
yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
b. Asas pada Tingkatan Tertinggi, Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan
Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya Dikuasai oleh Negara
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA. UUPA itu
sendiri berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang
ditetapkan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah
perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa negara bertindak sebagai
pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa.
Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut, perkataan “dikuasai” di
sini bukan berarti “dimiliki”, akan tetapi pengertian yang memberi
wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
untuk pada tingkatan tertinggi. Atas dasar hak menguasai dari negara
tersebut, negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan
hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya,
misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak
Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan
penguasa (departemen, jawatan atau daerah swantara) untuk digunakan
bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing. Dalam pelaksanaannya, hak
menguasai dari negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
Swantara dan masyarakat Hukum Adat, sekadar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-
ketentuan peraturan pemerintah.
17
c. Asas Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Negara yang
Berdasarkan atas Persatuan Bangsa daripada Kepentingan Perseorangan
atau Golongan
Asas ini ditemukan dalam Pasal 3 UUPA. Di dalam pasal tersebut,
terdapat istilah “hak ulayat”. Keberadaan dari hak ulayat ini diakui bagi
suatu masyarakat Hukum Adat tertentu sepanjang kenyataannya masih
ada. Sehingga, bila kenyatannya tidak lagi ada, maka hak ulayat tersebut
tidak akan dihidupkan lagi dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru.
Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya dalam sistem Hukum
Agraria Nasional, akan tetapi dalam pelaksanaannya berdasarkan asas
ini, maka untuk kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika
masyarakat Hukum Adat berdasarkan hak ulayatnya menolak
pembangunan tersebut.
Asas ini juga dapat ditemukan dalam Pasal 18 UUPA. Apabila
kepentingan bangsa dan negara menghendaki diambilnya hak atas tanah,
maka pemegang hak atas tanah harus melepaskan atau menyerahkan hak
atas tanahnya melalui pencabutan hak atas tanah dengan pemberian
ganti kerugian yang layak. Hal ini bersifat sosial, sehingga pemegang
hak atas tanah tersebut harus mengedepankan kepentingan bangsa dan
negara daripada kepentingan pribadinya.
d. Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial
Asas ini ditemukan dalam Pasal 6 UUPA. Hak atas tanah apa pun
yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu
digunakan (atau tidak digunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Penggunaan
tanah itu harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, hingga
bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bagi masyarakat dan negara.
Tanah harus dipelihara baik-baik agar bertambah kesuburan serta
dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara ini haruslah ditaati oleh
setiap pihak yang berhubungan dengannya.
18
Asas ini juga dapat ditemukan dalam Pasal 18 UUPA. Dalam
menggunakan hak atas tanah harus mengedepankan kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari
rakyat daripada kepentingan pribadinya. Apabila kepentingan umum
menghendakinya diambilnya hak atas tanah, maka pemegang hak atas
tanah harus melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah tersebut
dengan mendapatkan pemberian ganti kerugian yang layak melalui
mekanisme pencabutan hak atas tanah.
e. Asas Hanya Warga Negara Indonesia yang Mempunyai Hak Milik Atas
Tanah
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 21 ayat
(1) UUPA. Prinsip ini menegaskan bahwa hanya warga negara
Indonesia yang berkedudukan sebagai subjek Hak Milik. Hak Milik
tersebut tidak dapat dimiliki oleh orang asing dan badan hukum. Orang
asing hanya dapat mempunyai hak atas tanah dengan Hak Pakai dan Hak
Sewa untuk Bangunan yang luas dan jangkauannya terbatas. Badan
hukum tidak dapat mempunyai Hak Milik dikarenakan badan hukum
tersebut cukup mempunyai hak-hak lain, asal saja jaminan-jaminan
yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus. Kecuali badan
hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan dapat
mempunyai Hak Milik atas tanah, sepanjang tanahnya diusahakan untuk
usahanya dalam lapangan sosial dan keagaaman itu.
f. Asas Persamaan Bagi Setiap Warga Negara Indonesia
Asas ini ditemukan dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA. Asas ini
menetapkan bahwa warga negara Indonesia mempunyai kesempatan
yang sama untuk memperoleh hak atas tanah. Tidak dipersoalkan
bagaimana latar belakang warga negara Indonesia tersebut. Hak atas
tanah yang diperoleh adalah semua hak atas tanah yang meliputi Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, maupun Hak
Sewa untuk Bangunan. Manfaat dan hasil yang diperoleh dari hak atas
tanah dapat dirasakan dirinya sendiri dan keluarganya.
19
g. Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau Diusahakan Secara Aktif
oleh Pemiliknya Sendiri dan Mencegah Cara-Cara yang Bersifat
Pemerasan
Asas ini ditemukan dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA. Prinsip ini
menegaskan bahwa siapa pun yang mempunyai hak atas tanah untuk
kepentingan wajib mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanah
pertaniannya secara aktif dan dalam mengerjakan atau mengusahakan
tanah pertanian tersebut harus dicegah cara-cara yang bersifat
pemerasan. Pelaksanaan asas tersebut, dewasa ini menjadi dasar hampir
di seluruh dunia yang menyelenggarakan land reform atau agrarian
reform and rural development, yaitu tanah pertanian harus dikerjakan
atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri. Terdapat
ketentuan mengenai batas minimum atau maksimum pemilikan tanah
dan juga mengenai tanah pertanian yang tidak boleh ditelantarkan oleh
pemiliknya.
h. Asas Tata Guna Tanah/Penggunaan Tanah Secara Berencana
Asas ini ditemukan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan Pasal 14 ayat
(1) UUPA. Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan
negara dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (planning)
mengenai peruntukan, penggunaan, dan persediaan bumi, air, dan ruang
angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara.
Berdasarkan hierarkinya, rencana umum dibagi menjadi dua.
Pertama, rencana umum yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Kedua, rencana umum daerah dari tiap-tiap daerah. Rencana umum
agraria ini dikenal dengan sebutan Agrarian Use Planning.
i. Asas Kesatuan Hukum
Asas ini ditemukan dalam Diktum UUPA yang menetapkan bahwa
UUPA mencabut ketentuan-ketentuan hukum mengenai agraria yang
berlaku sebelumnya. Asas ini juga dapat ditemukan dalam Pasal 5
UUPA. Pencabutan ketentuan-ketentuan terdebut bertujuan
menghapuskan dualisme hukum dan mengadakan kesatuan Hukum
20
Pertanahan. Dengan dicabutnya peraturan dan keputusan yang berlaku
sebelumnya, maka terwujud kesatuan hukum, yaitu hanya ada satu
Hukum Tanah yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia yang
diatur dalam UUPA.
j. Asas Jaminan Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum
Asas ini ditemukan dalam Pasal 18 dan Pasal 19 ayat (1) UUPA.
Jaminan kepastian hukum merupakan salah satu tujuan diundangkannya
UUPA, yaitu meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Untuk
mewujudkan jaminan kepastian hukum dilakukan melalui pembuatan
peraturan perundang-undangan yang diperintahkan oleh UUPA dan
isinya tidak bertentangan dengan UUPA.
Selain itu, asas perlindungan hukum memastikan bahwa
kepentingan pemegang hak atas tanah tidak diabaikan begitu saja
meskipun hak tanah mempunyai fungsi sosial. Dalam rangka
memberikan penghormatan dan perlindungan hukum, maka setelah hak
atas tanah si pemegang diambil kepadanya akan diberikan ganti
kerugian yang layak.
k. Asas Pemisahan Horizontal
Asas ini ditemukan alam Pasal 44 ayat (1) UUPA. Implementasi dari
asas pemisahan horizontal adalah Hak Sewa untuk Bangunan, yaitu
seseorang atau badan hukum menyewa tanah Hak Milik orang lain yang
kosong atau tidak ada bangunannya dengan membayar sejumlah uang
sebagai uang sewa yang besarnya ditetapkan atas dasar kesepakatan,
untuk jangka waktu tertentu, dan penyewa diberi hak untuk mendirikan
bangunan yang digunakan untuk jangka waktu tertentu yang disepakati
oleh kedua belah pihak. Dalam Hak Sewa untuk Bangunan ada
pemisahan secara horizontal antara pemilikan tanah dengan pemilikan
bangunan yang ada di atasnya, yaitu tanahnya milik pemilik tanah,
sedangkan bangunannya milik penyewa tanah.
21
2.7 Kelembagaan Pertanahan
Kelembagaan pertanahan merupakan institusi yang melaksanakan
regulasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum tanah nasional (Implementing
Agent). Sebelum diberlakukannya UUPA, Indonesia menggunakan sistem
dualisme yang sudah ada sejak zaman kolonial. Sistem ini mengakibatkan
terjadinya pelaksanaan dua sistem yang berbeda pada waktu bersamaan
dalam penyelenggaran urusan pertahanan.
Mulanya, terdapat dua sistem yang berlaku, yaitu sistem untuk orang
Belanda serta Timur asing dan sistem untuk pribumi. Namun, adanya
perbedaan sistem ini mengakibatkan perbedaan pada kedudukan organisasi-
organisasi yang menangani urusan pertanahan/agraria di pemerintahan. Hal
ini berujung pada pasang surut yang dialami oleh organisasi-organisasi
tersebut seiring nuasa politik yang juga ikut mempengaruhi. Padahal,
tingkat kepentingan pertanahan atau agraria di dalam masyarakat terus
meningkat dan semakin strategis seiring berjalannya waktu.
Pada akhirnya, untuk menghilangkan dualisme dari sistem yang
mengatur hal-hal mengenai keagrariaan tersebut, diterbitkanlah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang kemudian menjadi Undang-Undang
Pokok Agraria sebagai bentuk unifikasi hukum pertanahan yang
implementasinya melingkupi keseluruhan masyarakat Indonesia, tanpa ada
perbedaan apapun.
Di Indonesia, lembaga pemerintahan yang membidangi urusan
pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN)25. Saat ini, fungsi dan
tugas dari BPN digabungkan bersama dengan Direktorat Jenderal Tata
Ruang Kementerian Pekerjaan Umum ke dalam satu lembaga kementerian
yang bernama Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
25
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional, pasal 2.
22
2.8 Hukum Agraria dalam Pembangunan Nasional
Konsep hukum agraria telah menjadi dasar pijak pembangunan
Nasional yang menjadi rujukan berbagai peraturan peraturan perundang-
undangan. Undang-undang terkait agraria seperti sumber daya alam,
pertambangan,kehutanan, sumber daya air, dan penataan ruang menjadikan
pertimbangan hukum di dalam UUPA. Hukum tanah nasional sangat
penting karena berkaitan dengan berbagai sektor dan bidang hukum lainnya.
23
d. Dalam operasionalisasi pembaruan agraria, terdapat prinsip-prinsip
yang dijadikan sebagai dasar, yaitu:
1) Prinsip NKRI;
2) Prinsip penghormatan terhadap HAM;
3) Prinsip penghormatan supremasi hukum dan pengakomodasian
pluralisme hukum dalam unifikasi hukum;
4) Prinsip kesejahteraan rakyat;
5) Prinsip keadilan;
6) Prinsip keberlanjutan;
7) Prinsip pelaksanaan fungsi sosial, sosial, kelestarian dan fungsi
ekologis;
8) Prinsip keterpaduan dan koordinasi antarsektor;
9) Prinsip pengakuan dan penghormatan hak masyarakat hukum
adat dan keberagaman budaya bangsa;
10) Prinsip keseimbangan hak dan kewajiban
negara,pemerintah,masyarakat dan individu;
11) Prinsip desentralisasi.
e. Bahwa dalam pelaksanaan prinsip diatas perlu pengkajian ulang
terhadap peraturan perundang-undangan agraria untuk sinkronisasi
kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan
berdasarkan prinsip-prinsip diatas.
f. MPR menugaskan DPR dan Presiden agar segera mengatur lebih lanjut
pelaksanaan pembaruan hukum agrarian dan pengelolaan SDA dengan
menjadikan ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan
kebijakan dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya
yang tidak sejalan dengan ketetapan ini harus segera dicabut, diubah,
dan/atau diganti.
24
mengutamakan hak rakyat setempat,termasuk hak ulayat dan masyarakat adat,serta
berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.
Untuk mencapai tujuan dari GBHN 1999-2004 itu, program pembangunan
yang dijadikan prioritas untuk pengembangan wilayah di bidang pertanahan ialah
“Program Pengelolaan Pertanahan”. Tujuannya ialah mengembangkan administrasi
pertanahan dan meningkatkan pemanfaatan penguasaan tanah secara adil dengan
menggunakan hak rakyat setempat termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan
meningkatkan kapasitas kelembagaan pengelolaan pertanahan di pusat dan daerah.
Kegiatan pokok guna mencapai tujuan tersebut ialah sebagai berikut:
a. Peningkatan pelayanan pertanahan di daerah yang didukung sistem
informasi pertanahan yang handal.
b. Penegakan hukum pertanahan yang konsisten.
c. Penataan penguasaan tanah yang adil.
d. Pengendalian penguasaan tanah sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah termasuk pemantapan sistem perizinan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang atau penggunaan tanah di daerah
e. Pengembangan kapasitas kelembagaan pertanahan di pusat dan daerah.
25
Hal-hal yang terdapat dalam RUU tersebut, yaitu:
a. RUU hak milik atas tanah (nomor urut 67);
b. RUU tentang pengambilalihan lahan untuk kepentingan umum (nomor
urut 68);
c. RUU tentang perubahan atas UU No.5 Tahun 1960 tentang pokok-
pokok agraria (nomor urut 69).
Target Prolegnas 2005 ini tidak tercapai, dan kemudian pada tahun 2006
diagendakan lagi untuk menyelesaikan RUU ini dalam prolegnas prioritas tahun
2006, namun kembali tidak terlaksana. Kemudian, pada 2007, pemerintahan SBY
menarik rencana perubahan UUPA dan disepakati oleh BPN dan DPR pada tanggal
29 Januari 2007.
Atas penarikan RUU perubahan UUPA itu, pemerintah mengusulkan
beberapa RUU yang diantaranya ialah RUU tentang pertanahan, RUU reforma
agraria, RUU tentang pengadaan tanah guna pelaksanaan pembangunan bagi
kepentingan umum dalam usulan prolegnas 2010-2014 kepada DPR. Namun,
pemerintah yang terdiri dari Kemenkum HAM dan kepala BPN dan DPR
menyepakati beberapa RUU dalam prolegnas jangka menengah 2010-2014, yaitu:
a. RUU pengambilalihan tanah untuk kepentingan pembangunan (nomor
urut 30);
b. RUU pertanahan (nomor urut 65);
c. RUU pengadilan keagrariaan (nomor urut 160);
d. RUU perubahan hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah (nomor urut 193);
e. RUU tentang perubahan atas UU No.56/Prp/Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian (nomor urut 197).
26
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Hukum agraria di Indonesia merupakan hukum yang berkaitan
dengan tanah. Lebih lengkapnya, hukum agraria mengatur keberadaan dan
pengelolaan sumber daya alam yang berada di Indonesia dan mencakup
dalam skala nasional, yaitu sumber daya alam yang berada di wilayah
daratan, perairan, dan ruang angkasa. Sebagaimana yang diatur di dalam
undang-undang, keberadaan sumber daya alam yang berada di dalam
wilayah-wilayah tersebut merupakan hak milik negara dan dikelola oleh
negara secara mutlak demi kebermanfaatan rakyat Indonesia secara
menyeluruh.
Keberadaan hukum agraria ini sendiri memiliki sejarah yang
panjang sejak masa kolonial Belanda, kemudian ia tumbuh dan berkembang
mengikuti perkembangan masyarakat tradisional Indonesia. Keberadaannya
sendiri dimuat dalam suatu ketentuan, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). Selain itu, pasal-pasal yang tercantum di dalam UUPA tersebut
menjadi asas-asas yang mendasari pemberlakuan ketentuan mengenai
agraria yang terus berlaku hingga saat ini.
27
DAFTAR PUSTAKA