Magz - Mencari Wikana PDF
Magz - Mencari Wikana PDF
Magz - Mencari Wikana PDF
Sumber : http://historia.id/pencarian/Wikana/all/
2016
HISTORIA adalah majalah sejarah online pertama di Indonesia yang disajikan secara
populer. Kami memadukan disiplin kerja jurnalistik dengan penelitian sejarah yang ketat
untuk menghadirkan kisah masa lalu secara memikat dan mengesankan di hadapan
pembaca.
Dinamika kehidupan manusia di masa lampau, mulai intrik politik, revolusi, perang,
pemberontakan, perebutan kekuasaan, bencana dan berbagai penemuan yang mengubah wajah
dunia akan menjadi cerita memikat yang selalu kami hadirkan setiap bulannya. Bukan hanya itu,
cerita-cerita unik tapi terabaikan dalam rentang sejarah Indonesia, seperti sejak kapan orang
Indonesia minum kopi, kapan soto dikenal sampai dengan mulai kapan singkong dikonsumsi di
Indonesia akan pula kami sajikan di majalah online HISTORIA.
Kami percaya, bangsa yang tak pernah tahu dari mana ia berangkat takkan pernah tahu dimana ia
akan datang. Kami juga percaya, apa yang kita hadapi hari ini adalah apa yang kita lakukan hari
kemarin; dan apa yang kita temui di masa depan adalah hasil dari apa yang kita perbuat di hari ini.
Begitu banyak hal yang dilupakan dan tak terselesaikan di negeri ini. Ibarat jam waker, HISTORIA
akan selalu berupaya mengingatkan kita tentang sesuatu yang terjadi pada masa lampau sehingga
kita tak lagi mengulanginya di masa kini demi masa depan yang lebih baik. Karena sejarah adalah
guru kehidupan, historia magistra vitae.
Redaktur :
• Hendri F. Isnaeni
• MF Mukthi
• Hendi Jo
Reporter
• Aryono
• Martin Sitompul
• Arief Ikhsanudin
• Risa Herdahita Putri
Kontributor :
Aboeprijadi Santoso (Amsterdam, Belanda) , Devi Fitria (Duesseldorf, Jerman) , Eko Rusdianto
(Makassar) , Ging Ginanjar (Brussel, Belgia) , Indra Pratama (Bandung) , Mira Renata (Jakarta) ,
Reiner Lesprenger (Berlin, Jerman).
bukuLIAT ...
ini harus kalian ketahui ... apa yang kami lakukan sama sekali tidak ada tendensi kepedulian
melestarikan lingkungan. sebenarnya kami suka menyentuh dan membuka kertas buku
lembar demi lembar halaman demi halaman, bunyi gesekan kertas dan baunya yg khas
melahirkan sebuah sensasi tersendiri ... karena itu kami tidak peduli jika untuk
menghasilkan buku harus menebang berpuluh-puluh pohon karena kami percaya pada teori
kekekalan energi. tapi kami akan marah jika berpuluh-puluh pohon ditebang hanya untuk
membuat tisu atau tusuk gigi.
siapa kami ?
kami hanya salah satu dari masyarakat pengumpul dan peramu di dunia maya, kami pun
bagian dari para cyber-crafter yg mengumpul dan mendaur ulang sampah-sampah informasi
menjadi sesuatu yg betul-betul berguna
siapa kami ?
kami bukanlah bagian dari orang-orang yg mencoba beralih dari era paper menuju era
paperless. kami hanyalah orang-orang yg ingin mengakses buku-buku, hanya saja di dunia
"yg jauh dari keyboard" tidak jarang kami diperhadapkan pada pilihan makanan atau buku
(sesuatu yg tidak seharusnya diperhadap-hadapkan) dan tidak jarang (dengan sangat
terpaksa) kami memilih buku dengan konsekuensi kami harus mengencangkan ikat pinggang
berhari-hari.
siapa kami ?
rasanya tidak penting untuk memperjelas siapa kami, anggap saja kami adalah anda dan
anda adalah kami ....
yang terpenting adalah ...
Perpustakaan Maya - bukuLIAT hanyalah salah satu dari sekian banyak perpustakaan di
dunia maya yg menyediakan ebook. ebook-ebook yang berhasil kami kumpulkan dari
berbagai sumber di dunia maya. hanya begitulah kami, tidak lebih !
Catatan:
buat anda yg mempunyai uang lebih kami harap anda tetap membeli buku aslinya demi
mempertahankan kelangsungan hidup penulis, penerbit (khususnya penerbit-penerbit kecil)
dan para distributor.
semua ebook yg kami posting sama sekali tdk diperuntukkan untuk kepentingan komersil, semua postingan kami
sepenuhnya untuk berbagi pengetahuan demi kemajuan ilmu pengetahuan. bagi pihak yg merasa dirugikan
atau/dan tidak suka dengan kehadiran salah satu postingan kami harap menghubungi kami dengan cara
meninggalkan komentar/laporan pada postingan terkait ebook yg dimaksud. kami akan memproses semua
komentar/laporan paling lambat 7 hari setelah komentar/laporan kami baca.
[email protected]
Tentang eBook Mencari Wikana
eBook ini lahir dari inisiatif kami untuk mengumpulkan tulisan-tulisan tentang Wikana di Majalah
Online Historia jadi eBook ini bukanlah eBook resmi dari Historia.
Kami berharap suatu saat ada eBook / buku resmi dari pihak Historia tentang Wikana yang
merupakan salah satu tokoh penting dalam peristiwa bersejarah tanggal 16-17 Agustus 1945 namun
menjadi korban Penghilangan Paksa rezim Orde Baru.
Daftar Isi :
Sepakterjang Pemuda dari Sumedang
Enam puluh lima tahun lalu, sesosok pemuda kurus berambut klimis berkacamata minus
mendatangi rumah bersejarah yang dulu masih berdiri tegak. Wikana, pemuda itu, ditemani pemuda
lain, Aidit, kelak menjadi orang nomor satu Partai Komunis Indonesia (PKI), Darwis, Yusuf Kunto
dan Soebadio Sastrosatomo. Kepada Bung Karno Wikana meyakinkan kalau kemerdekaan harus
segera diumumkan malam ini juga, kalau tidak “besok akan terjadi pertumpahan darah,” kata
Wikana setengah mengancam. Bung Karno tersinggung. Dia membentak balik Wikana seraya
menantang menyembelih lehernya malam itu juga, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu,
sudahilah nyawa saya malam ini juga. Jangan menunggu sampai besok pagi!”
Cuplikan adegan itulah yang melambungkan nama Wikana sebagai pemuda revolusioner dan
banyak dikutip di dalam kitab-kitab sejarah. Selebihnya, samar-samar. Padahal ada banyak peran
penting lain yang dimainkannya. Dia pernah aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan, mulai
Angkatan Pemuda Indonesia (API) sampai Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Setahun setelah
proklamasi, dia juga tercatat pernah menjadi Menteri Negara Urusan Pemuda selama empat kali
periode kabinet, dua kali dalam kabinet Sjahrir dan dua kali pada kabinet Amir Sjarifuddin.
Wikana terlahir dari keluarga menak Sumedang. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, pendatang dari
Demak, Jawa Tengah. Kendati menak merupakan golongan yang mendapatkan previlese semasa
penjajahan, tidak demikian halnya dengan keluarga Wikana. “Dia datang dari keluarga perjuangan,
kakaknya, Winanta seorang Digulis,” kata Soemarsono, tokoh pemuda angkatan ’45 yang ditemui
pekan lalu (12/8) oleh Majalah Historia Online di kediaman putrinya di Bintaro, Jakarta Selatan.
Boleh dibilang Wikana punya otak encer. Sebagai anak priayi, dia punya hak untuk mengenyam
pendidikan. Tapi untuk masuk ELS (Europeesch Lagere School), sekolah dasar yang menggunakan
bahasa Belanda sebagai pengantar, tidak cukup bermodal anak raden saja. Kemampuan bahasa
Belanda dan kepintaran si anak menjadi standar utama. Wikana kecil memenuhi syarat itu dan
berhasil lulus dari ELS. Lepas dari ELS Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs). Semasa muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari sekian pemuda
satelit Bung Karno di Bandung.
Selain menguasai bahasa Belanda, Wikana juga pandai bercasciscus bahasa Inggris, Jerman, Prancis
dan Rusia. Tati Sawitri Apramata, putri ketiga Wikana, mengenang ayahnya sebagai kutu buku yang
pandai berbahasa asing. “Bapak bisa banyak bahasa, hobinya baca buku. Pulang dari sidang, selalu
bawa buku, dari mana-mana selalu buku yang dibawa,” kenang perempuan berusia 61 tahun yang
kini tinggal di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur itu. Sidang yang dimaksud Tati adalah sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), di mana ayahnya menjadi anggota.
Sosok Wikana yang cerdas dan tajam diamini oleh Soemarsono. Menurut lelaki yang pernah satu
kos dengan Achmad Azhari, kawan sekerja Wikana, pemuda dari Sumedang itu dikenal sebagai
orang yang tak banyak bicara, cerdas, dan tajam. Kepada Wikana pula Soemarsono sempat berguru
soal teori-teori dalam dunia politik. “Dia yang mengajari saya tentang terminologi dan istilah-istilah
dalam politik,” kata Soemarsono yang telah mengenal Wikana sebelum Jepang menduduki
Indonesia pada 1942. Bukan saja Soemarsono, Aidit dan MH Lukman termasuk anak muda yang
mengagumi pemimpin PKI Jawa Barat itu.
Dua tahun sebelum Jepang mendarat di Indonesia, Wikana, bersama dengan Adam Malik dan Pandu
Kartawiguna sempat masuk kerangkeng atas tuduhan subversif terhadap pemerintah kolonial. Dia
menyebarkan pamflet Menara Merah yang punya kaitan dengan PKI bawah tanah. PKI sendiri telah
dilarang oleh pemerintah kolonial pascapemberontakan 1926.
Trikoyo Ramidjo, salah satu anggota PKI yang sempat terlibat dalam upaya pembangunan kembali
partai setelah Madiun affairs, mengatakan kalau Wikana memang anggota PKI bawah tanah. “Dia
jadi anggota partai sejak tahun 1930-an, cita-citanya jelas sekali untuk kemerdekaan Indonesia,”
ujar pria yang pernah melewati masa kecilnya di Boven Digul, Papua mengikuti ayahnya sebagai
tahanan politik kolonial.
Tak hanya sebagai anggota PKI bawah tanah, Wikana juga tercatat pernah aktif sebagai anggota
Partai Indonesia (Partindo) yang didirkan oleh Mr Sartono pada 1931 pascapenangkapan Bung
Karno. Pada 1938 ketika Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan, dia
terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Keyakinannya yang anti-kolonialisme mendorong Wikana
aktif mengikuti berbagai organisasi politik yang melawan Belanda secara frontal.
Semasa zaman kolonial, Wikana menjadi pemimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat. Ia juga
berkawan dekat dengan Widarta tokoh PKI bawah tanah yang bertanggungjawab di wilayah Jakarta.
Widartalah yang merekrut Aidit dan MH Lukman masuk PKI namun ironisnya harus mati karena
keputusan internal partainya sendiri. Sohib Wikana itu diadili in absentia oleh Amir Sjarifuddin
gara-gara menjalankankan kebijakan yang dianggap tak sejalan dengan garis partai pada peristiwa
Tiga Daerah di wilayah karesidenan Pekalongan. Sebuah eksekusi di Pantai Parangtritis meringkus
nyawanya.
Berbeda dengan Widarta yang meregang nyawa di ujung bedil, karier Wikana jalan terus. Dia
menjadi tokoh pemuda dari sekian banyak pemuda yang bergerak di pusaran arus revolusi.
Ketokohan Wikana mendapatkan pengakuan dan karena itulah dia dipercaya oleh Perdana Menteri
Sjahrir untuk duduk sebagai menteri negara urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir kedua dan ketiga.
Tak jelas capaian apa yang dia buat semasa memegang jabatan itu.
Tapi jalan terang hidup Wikana mulai meredup setelah peristiwa Madiun 1948. Posisinya sebagai
Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan oleh Gatot Subroto. Sampai tahun 1950-an dia
masih tercatat sebagai anggota Comite Central (CC) PKI yang mulai menggeliat di bawah
kepemimpinan triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman. Namun praktis Wikana tak memainkan peran
penting sebagaimana yang pernah dilakukannya pada era-era awal revolusi. Dia punya posisi yang
lumayan terhormat: sebagai anggota MPRS, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan
sejumlah aktivitas organisasi lainnya. Satu-satunya yang dia tak miliki adalah kekuasaan, baik di
pemerintahan maupun di dalam partai.
Beberapa pekan sebelum peristiwa G.30.S 1965 terjadi, Wikana berserta beberapa elemen PKI
lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Tapi sontak
terdengar kabar dari tanah air tentang insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI
disalahkan. Delegasi terceraiberai. Wikana meminta anggota delegasi lain untuk tetap berada di
Peking selagi menunggu kepastian dari berita yang simpang siur. Dia sendiri memilih pulang ke
tanah air. “Kalau harus mati, saya pilih mati di tanah air,” kata Wikana sebagaimana dikatakan oleh
Abriyanto, cucu menantu yang beberapa waktu belakangan tekun menyusun biografi Wikana.
Wikana benar. Kurang dari setahun setelah peristiwa G.30.S 1965, dia ditangkap. Sempat bermalam
di Kodam Jaya namun dipulangkan kembali. Tak berapa lama kemudian segerombolan tentara tak
dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat. Mereka membawa
Wikana dan sampai hari ini, pemuda garang yang sempat membuat Bung Karno naik pitam itu, tak
pernah kembali pulang. Dia hilang tak tentu rimbanya.
Anak Menak Revolusioner
Lahir dari keluarga priayi bukan halangan untuk jadi pejuang. Sangat membenci penjajah.
MUNGKIN Nonoh tak pernah menyangka kalau anak lelakinya itu kelak menjadi seorang pemuda
yang punya peran menentukan dalam periode revolusi Indonesia. Dia lahir pada 16 Oktober 1914 di
Sumedang, Jawa Barat sebagai anak keempatbelas dari enambelas bersaudara. Ayahnya Raden Haji
Soelaiman, seorang pendatang Demak, Jawa Tengah.
Wikana lahir pada tahun yang sama ketika Belanda memperkuat pertahanan kota Sumedang dari
serangan musuh. Pada masa Perang Dunia I (1914-1918) Belanda membangun benteng-benteng di
sekitar kota Sumedang. Perjuangan politik bukan hal baru buat keluarga menak itu. Kakaknya
Winanta, pernah ditahan di Boven Digul atas tuduhan terlibat pemberontakan komunis 1926.
Wikana muda belajar politik pada Winanta yang menuangkan pengalamannya selama di Digul
dalam buku “Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul” yang disunting oleh Pramoedya
Ananta Toer dalam Cerita Dari Digul.
Menurut Ben Anderson, Wikana mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) dan
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). “Setelah lulus dari MULO pada 1932, Wikana
bergerak dengan penanya dalam mingguan Fikiran Rakjat di Bandung. Dia masuk menjadi anggota
Partai Indonesia (Partindo) cabang Bandung,” tulis mingguan Merdeka, 15 Mei 1947. Partindo
merupakan pecahan dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pascapenangkapan Bung Karno. PNI-
Baru yang lain didirikan oleh Bung Hatta dengan mengganti “Partai” menjadi “Pendidikan” sesuai
dengan nafas politiknya.
“Wikana (bersama Asmara Hadi, Soepeno, Sukarni, Goenadi, dan SK. Trimurti-Red) pernah
menjadi anak didik Sukarno di Bandung (Sukarno bergabung dengan Partindo pada 1 Agustus
1932-Red),” tulis Anderson dalam Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa
1944-1946.
Wikana juga mempunyai hubungan erat dengan sekolah Taman Siswa di Jawa Barat. Bahkan,
“Wikana merupakan produk Taman Siswa yang terkemuka,” tulis LK Hing dalam The Taman Siswa
in Postwar Indonesia.
“Wikana kemudian hijrah ke Surabaya pada 1935. Di sana dia memimpin mingguan Pedoman
Masjarakat Baroe. Pada 1938, dia kemudian pindah ke Jakarta dan memimpin harian
Kebangoenan. Pada tahun itu juga dia diangkat menjadi Penulis Umum II Partai Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo),” tulis mingguan Merdeka, 15 Mei 1947.
Gerindo yang didirikan pada 24 Mei 1937 di Jakarta oleh Amir Sjarifuddin dan Muhammad Yamin
lahir setelah gerakan non-kooperatif yang dilancarkan Partindo dibubarkan pada November 1936,
dan PNI-Baru lumpuh. Kandasnya gerakan non-kooperatif menimbulkan pemikiran baru yaitu
gerakan kooperatif dengan Belanda untuk melawan ancaman fasisme, terutama fasisme Jepang.
Pada Kongres Gerindo pertama di Jakarta, 20-24 Juli 1938, AK Gani terpilih sebagai Ketua dan
Amir Sjarifuddin sebagai Wakil Ketua. Dan pada Kongres Kedua, 24-30 Juli 1939 di Palembang,
Amir Sjarifuddin terpilih menjadi Ketua dan Wilopo sebagai Wakil Ketua Komite Tetap.
Di bidang kepemudaan dibentuk Barisan Pemuda Gerindo setelah Juli 1938. Azas dari Barisan
Pemuda Gerindo ini sama dengan Gerindo itu sendiri. Ia adalah pendukung dan pelaksana putusan-
putusan Gerindo. “Wikana terpilih sebagai ketua pertamanya,” tulis Anderson.
Wikana kemudian diganti oleh Ismail Widjaja dan AM Hanafi sebagai Sekretaris Umum. “Saya
menjabat Sekretaris Jenderal Pucuk Pimpinan Barisan Pemuda Gerindo sejak tahun 1939,
menggantikan saudara Wikana yang didesak mengundurkan diri oleh Ketua PB. Gerindo Dr A.K.
Gani karena tercium keradikalannya yang ‘komunistis’ demi untuk keselamatan dan kelangsungan
perjuangan Gerindo,” kata AM Hanafi dalam bukunya AM Hanafi Menggugat.
Kira-kira satu tahun sebelum Jepang datang, Soemarsono kenal dengan Wikana karena kebetulan
sama-sama berkegiatan di daerah Kemayoran.
“Di Jakarta, bapak tinggal di Jalan Garuda,” kata Lenina.
Soemarsono kenal Wikana sekaligus kenal temannya yang juga anggota Gerindo, Achmad Azhari
dari Palembang. Soemarsono yang baru mau masuk Gerindo juga kenal dengan teman Wikana yang
lain, yaitu pelukis S. Sudjojono dan Hariyadi.
“Ahmad Azhari dan Wikana satu tempat kerja sebagai tukang ketik di Percetakan Negara di
Salemba. Azhari satu rumah sama saya. Saya banyak dengar mengenai Wikana dari Azhari. Azhari
sangat menyanjung sekali Wikana. Wikana dianggap senior di antara pemuda-pemuda Gerindo.
Wikana dianggap paling matang mengenai pengertian-pengertian perjuangan dan politik. Di
kalangan pemuda pergerakan, Wikana memiliki pengaruh yang kuat. Ketokohannya satu level di
bawah Amir Sjarifuddin,” kata Soemarsono.
Saat Wikana menikahi Asminah binti Oesman di Kemayoran pada 1940, Soemarsono datang
memberi selamat. “Dia dapat anak Sunter. Saya datang waktu perkawinan itu karena Azhari. Saya
kasih salam dan perkenalan sama Wikana,” ujar Soemarsono.
Dari hasil pernikahannya, Wikana dan Asminah dikaruniai enam anak, yaitu Lenina Soewarti Wiasti
Wikana Putri, Temo Zein Karmawan Soekana Pria (alm.), Tati Sawitri Apramata, Kania Kingkin
Pratapa, Rani Sadakarana, dan Remondi Sitakodana.
Pekerjaan sebagai organisatoris tak membuat Wikana alpa menulis. “Kalau sudah sampai di rumah,
bapak pasti membaca dan menulis. Makan saja sampai dianter. Jadi kalau sudah namanya menulis,
mengetik, dan baca buku, gak bisa diganggu,” kata Tati.
“Bapak adalah pembelajar otodidak. Dia bisa bahasa Jerman, Inggris, Rusia dan Prancis. Kalau
bahasa Belanda adalah bahasa komunikasi sehari-hari,” kata Lenina.
Lenina menambahkan, kegemaran bapaknya adalah membaca buku. “Kalau anaknya ulangtahun,
hadiahnya pasti buku. Kami diajak ke toko buku untuk memilih sendiri buku yang disukai. Kalau
saya suka buku biografi dan sejarah,” ujar Lelina.
Melalui penanya Wikana menyebarkan gagasan-gagasan tentang pergerakan dan komunisme. Dia
menulis Organisatie, Pengoempoelan Boeah Pena (Oesaha Penerbitan Tengara, 1947),
Dokumentasi Pemuda Sekitar Proklamasi Indonesia Merdeka (bersama DN Aidit, Legiono, dan
Badan Penerangan Pusat SBPI, 1948), Satu Dua Pandangan Marxisme (Revolusioner, 194?). Pada
Oktober 1938, Wikana, Amir Sjarifuddin, Asmara Hadi, dan A.M. Sipahutar menjadi dewan redaksi
dalam majalah bulanan politik Toedjoean Rakjat.
Menurut Harry Poeze, Wikana juga aktif dalam surat kabar Menara Merah yang diterbitkan oleh
PKI bawah tanah. Menara Merah menganut garis Moskow, yang menetapkan pembentukan front
rakyat untuk membendung gerakan maju kekuatan-kekuatan totaliter Jerman dan Jepang. Menara
Merah kemudian dilanjutkan oleh “generasi ketiga” PKI di bawah pimpinan Widarta dan K.
Midjaja.
“Wikana bertugas menyebarkan Menara Merah di Jawa Barat, tapi penanggungjawab utama adalah
Pamoedji yang telah menyuruh suratkabar ini dicetak di Surabaya. Pada bulan Juni 1940, satu
eksemplar surat kabar ini disita. Dalam hubungan ini, Amir Sjarifuddin, Adam Malik, dan Wikana
diduga tersangkut,” tulis Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 1,
Agustus 1945-Maret 1946.
“Wikana ditangkap oleh Belanda karena menyebarkan Menara Merah dengan Adam Malik dan
Pandu Kartawiguna,” tulis Anderson.
Wikana tidak suka sama Belanda. “Karena bapak pernah ditempeleng sama orang Belanda,” kata
Tati. Wikana bersama Sukarni, Adam Malik, dan lainnya dibebaskan dari penjara Cilacap setelah
penyerahan Belanda kepada Jepang pada 8-9 Maret 1942. Sidik Kertapati mengenang Wikana
sebagai orang yang dikenal lama oleh para pemuda pergerakan sejak sama-sama aktif dalam
gerakan revolusioner zaman Belanda. Karena aktivitasnya, “Wikana selalu menjadi buronan politik
dan sering keluar-masuk penjara di zaman kolonial Belanda,” tulis Sidik dalam Sekitar Proklamasi
17 Agustus 1945.
Lakon dalam Pusaran Revolusi
Relasi Wikana yang luas di kalangan intelijen Jepang berhasil mengamankan pembacaan teks
proklamasi.
KEMAYORAN, pada sebuah sore, 14 Agustus 1945. Beberapa pemuda berkumpul di sebuah kebun
pisang dekat lapangan terbang Kemayoran. Saat itu Chaerul Saleh, Asmara Hadi, A.M. Hanafi,
Sudiro, S.K. Trimurti dan Sajuti Melik berniat menemui Bung Karno dan Bung Hatta yang
kabarnya akan mendarat dari Saigon, Vietnam. Sesuatu telah membuat mereka gundah. Jepang telah
kalah perang sementara kemerdekaan untuk Indonesia direken sebagai hadiah Jepang.
Ketika Bung Karno dan Bung Hatta menapakkan kaki keluar dari tangga dan berjalan menjauhi
pesawat tiba-tiba para pemuda itu menghampiri keduanya.
“Selamat datang kembali Bung Karno, Bung Hatta. Kami semua menunggu oleh-oleh yang Bung
bawa dari Saigon,” kata Chaerul Saleh
“Pokoknya kemerdekaan sudah dekat. Kita semua harus siap,” sahut Bung Karno.
“Proklamirkan kemerdekaan sekarang juga Bung,” timpal Chaerul Saleh.
“Kita tidak bisa bicara soal itu di sini, Kempetai mengawasi kita. Bubarlah! Nanti kita bicarakan
lagi,” tandas Bung Karno menutup percakapan.
Bung Karno dan Bung Hatta pergi begitu saja dan terkesan tak menghiraukan anak-anak muda itu.
Mereka pun membubarkan diri kenang A.M. Hanafi dalam bukunya Menteng 31 Jembatan Dua
Angkatan. Bola panas dari pertemuan itu masih terus bergulir pada beberapa jam ke depan.
Dalam pertemuan itu Wikana tidak hadir. Dia masih berada di kantor Subardjo di jalan Kebon Sirih.
Menurut Suhartono, dalam buku Kaigun Penentu Krisis Proklamasi, meski saat itu Subardjo
termasuk golongan tua dan Wikana golongan muda, namun keduanya dikenal memiliki hubungan
yang cukup dekat. Ketika Maeda meminta Subardjo untuk mendirikan sebuah asrama pendidikan
pemuda-pemuda Indonesia yang kemudian diberi nama Asrama Indonesia Merdeka, Subardjo
meminta Wikana untuk mengepalai Asrama itu yang terletak di Jalan Bungur Raya 56. Di Asrama
itu Wikana, atas permintaan Subardjo, mengadakan diskusi-diskusi politik dan kebangsaan yang
menghadirkan Sukarno, Mohammad Hatta, Iwa Kusuma Sumantri, Sutan Sjahrir, RP Singgih, J.
Latuharhary, Maramis, dan Buntaran sebagai pembicaranya.
Malam harinya sekitar pukul 20.00 para pemuda yang sempat menemui Bung Karno dan Bung
Hatta di Kemayoran kembali berkumpul di belakang Eijkman Instituut (Lembaga Bakteriologi di
Pegangsaan Timur No. 17 sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat UI-Red). Di sana pemuda dari
kelompok Menteng 31 seperti Chaerul Saleh, Djohar Noer, Abu Bakar Lubis, Armansyah, dan
Subadio Sastrosatomo sudah menunggu. Kali ini Wikana turut serta bersama Aidit. Mereka kembali
membahas rencana proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pada pukul 23.00 diputuskan untuk mengirim perwakilan pemuda menemui Bung Karno dan Bung
Hatta. Wikana dipilih menjadi ketua utusan sekaligus juru bicara. Pertimbangannya, dia dianggap
sudah kaya pengalaman berorganisasi. Wikana pernah menjadi anggota Barisan Pemuda Gerindo,
Laskar Jawa Barat, Angkatan Pemuda Indonesia. “Saat itu Wikana termasuk yang paling senior. Dia
sudah menjadi top figure,” kata Soemarsono.
Bersama Chaerul Saleh, Subadio Sastrosatomo dan beberapa pemuda lain Wikana menuju
kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Di sana rupanya sudah ada Bung Hatta,
Subarjo, Iwa Kusumasumantri, Joyopranoto dan Buntaran. Setelah menjelaskan maksud
kedatangannya Wikana mulai melobi Bung Karno.
“Proklamasi kemerdekaan harus segera dibacakan,” kata Wikana
“Tunggu sebentar…” kata Bung Karno meminta pertimbangan tokoh-tokoh yang lain.
“… Kami tidak setuju kalau pemuda-pemuda yang memproklamasikan kemerdekaan, kecuali jika
saudara-saudara memang sudah siap. Boleh coba! Saya ingin melihat kesanggupan saudara-
saudara,” Bung Hatta menantang.
“Kalau Bung Karno tidak mau mengumumkan proklamasi, di Jakarta besok akan terjadi
pertumpahan darah yang amat dahsyat…”
Mendengar ucapan Wikana yang bernada ancaman, Bung Karno naik darah. Setengah melompat dia
berdiri di hadapan Wikana.
“Ini batang leherku. Seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya malam ini juga jangan
menunggu besok…” Wikana terkejut mendengar kekukuhan hati Bung Karno. Dia sebenarnya tidak
bermaksud mengancam namun “Bung Karno salah paham,” kata Soemarsono
Dalam autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, dia menceritakan alasan
penolakannya. Saat itu Bung Karno merasa bahwa para pemuda belum memiliki kesiapan total bila
sewaktu-waktu terjadi bentrokan fisik melawan kekuatan senjata Jepang. Sedangkan Harry Poeze
dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia mengatakan penolakan Bung Karno dan
Bung Hatta karena keduanya tak ingin meninggalkan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang sudah berada di Jakarta untuk rapat.
Yang jelas lobi Wikana gagal. Menjelang sahur pukul 1.30 dini hari para pemuda akhirnya undur
diri. Mereka melanjutkan rapat ke Asrama BAPERPI (Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar
Indonesia), Jalan Cikini No. 71, tak jauh dari kediaman Bung Karno.
Saat itu asrama merupakan eksponen penting dalam merancang strategi-strategi perjuangan menuju
kemerdekaan. Ada tiga asrama yang saat itu popular sebagai dapur dialektika kebangsaan, rapat-
rapat rahasia, dan merancang strategi perjuangan. Asrama Menteng 31, Asrama Indonesia Merdeka,
dan Asrama Cikini 71. Menurut Ben Anderson dalam buku Revolusi Pemuda, asrama menjadi
tempat yang penting bagi sejarah pergerakan kaum muda Indonesia di zaman pendudukan Jepang.
Hasil rapat para pemuda kemudian memutuskan kemerdekaan harus dinyatakan sendiri oleh rakyat,
jangan menunggu kemerdekaan dari Jepang. Para pemuda juga berencana untuk menjauhkan Bung
Karno dan Bung Hatta dari tangan Jepang. Para pemuda sepakat untuk membawa kedua tokoh
keluar Jakarta, pilihan lokasi jatuh ke Rengasdengklok, Karawang.
Dari keterangan Sidik Kertapati dalam bukunya Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 pukul 6.00
pagi sebuah mobil keluar dari Cikini 71 membawa beberapa orang yang akan menculik Bung
Karno. Chaerul Saleh, Wikana, dan dr. Muwardi pergi ke Pegangsaan Timur No. 56 untuk
membangunkan Sukarno dan menyiapkan keberangkatan. Sementara itu Sukarni dan Yusuf Kunto
menuju kediaman Bung Hatta di Miyakodori (sekarang Jalan Diponegoro-Red).
Kepada Bung Karno Wikana mengatakan, “Situasi gawat dan tidak stabil Bung harus disingkirkan!”
“Lalu bagaimana dengan istri dan anakku.”
“Dibawa sekalian saja Bung. Segera kemasi barang-barang.”
Sementara itu, kelompok pemuda yang mendapat tugas mengambil Bung Hatta menggunakan dalih
bahwa Bung Karno memanggil Bung Hatta karena ada situasi genting. “Para pemuda tahu Bung
Hatta tidak bisa diancam apalagi ditakut-takuti makanya mereka menggunakan nama Bung Karno
untuk membawanya,” tutur Soemarsono.
Tapi ternyata di Rengasdengklok para pemuda juga gagal membujuk Bung Karno dan Bung Hatta
untuk membacakan proklamasi. Sementara itu di Jakarta muncul kepanikan karena hilangnya Bung
Karno dan Bung Hatta. Subardjo dan Sudiro kemudian membujuk Wikana untuk mengatakan di
mana Bung Karno dan Bung Hatta berada. Setelah mendengar janji Subardjo untuk membantu
melaksanakan proklamasi kemerdekaan Wikana akhirnya tak kuat hati untuk terus menyimpan
rahasia. Kepada Subardjo dan Sudiro dia ceritakan di mana Bung Karno dan Bung Hatta
disembunyikan.
“Nyanyian” Wikana ini sempat disesalkan oleh Chaerul Saleh dan A.M. Hanafi. “Saya dan Chaerul
Saleh menggasak Wikana habis-habisan. Tapi mau apalagi?! Untunglah dia mengakui kesalahannya
kalau tidak habislah namanya sebagai pejuang di mata kami,” kata A.M. Hanafi mengungkapkan
kekesalannya.
Setelah mengetahui di mana Bung Karno dan Bung Hatta berada Subardjo langsung menjemput
keduanya kembali ke Jakarta. Pada saat yang bersamaan beberapa pemuda yang memang sengaja
ditinggal di Jakarta untuk memantau situasi mengadakan rapat dadakan. Saat itu hadir Wikana,
A.M. Hanafi, Pardjono, Pandu Kartawiguna, Djohar Noer, S.K. Wijoto dan Ridwan Bazar. Masing-
masing membagi tugas untuk persiapan penyelenggaraan proklamasi. Djohar Noer, S.K. Wijoto dan
Ridwan Bazar bertugas menghubungi kantor berita Domei dan kantor Radio Hosokioku. Pardjono
mengurus stensil dan penyebaran kabar proklamasi kemerdekaan.
Sementara itu Wikana bertugas mengatur semua keperluan pembacaan proklamasi di rumah Bung
Karno. Dia juga memastikan kesediaan Laksamana Maeda untuk menjadikan rumahnya sebagai
tempat perumusan naskah proklamasi. Wikana pulalah yang mengatur agar para Kaigun (Angkatan
Laut Jepang) untuk tidak mengganggu jalannya proklamasi. Melalui perantara Subardjo, Wikana
memang punya hubungan luas di kalangan Jepang, tidak terkecuali di kalangan intelijen Kaigun.
Karena perannyalah perhelatan proklamasi aman dari jamahan Kempetai yang bisa saja menghabisi
para tokoh itu sewaktu-waktu.
Dini hari 17 Agustus 1945 setelah kembali dari Rengasdengklok Bung Karno dan Bung Hatta
langsung mengadakan rapat bersama beberapa tokoh pemuda lain di antaranya Sukarni dan B.M.
Diah untuk merumuskan teks naskah proklamasi. Setelah dirasa pas, Bung Karno dan Bung Hatta
akhirnya menandatangani teks naskah proklamasi pada pukul 04.00 dinihari di kediaman
Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1. Proklamasi baru dibacakan pagi hari pukul 10.00 di
teras depan kediaman Bung Karno. Wikana sempat pula ketar-ketir karena si Bung Besar itu sedang
kambuh sakit malarianya. Namun kekhawatirannya pupus ketika Bung Karno membacakan naskah
proklamasi itu. Dan Indonesia pun menyatakan kemerdekaannya.
Saujana Merdeka Menteri Sederhana
Sempat menduduki beberapa jabatan penting. Hatta mendepaknya karena dia orang kiri.
SOSOKNYA tak terlalu tinggi. Kumis tipis melintang dan jenggot lumayan panjang menghiasi
wajah tirusnya. Hanya kacamata bundar dan pakaian sederhana yang selalu menemaninya ke mana
pun dia pergi. Gaya hidupnya bersahaja. Namun sosok pendiam itu memiliki peran yang tidak
sedikit dalam hari-hari di sekitar revolusi 17 Agustus. Tekadnya dalam berjuang memerdekakan
rakyat begitu kuat. “Rakyat kita belum merasakan benar apa kemerdekaan itu,” ujar Ibrahim Isa,
mengutip keterangan Wikana kepada Fransisca C. Fanggidaej –orang yang pernah menumpang di
rumah dinas Wikana di Solo– suatu waktu.
Nama Wikana hampir dilupakan orang selama puluhan tahun. Pria kelahiran Sumedang, 16 Oktober
1914, ini tak diketahui nasibnya setelah diculik oleh kawanan tentara tak dikenal pada medio 1966.
Jasa-jasanya bagi negeri seakan ikut sirna bersama jiwa-raganya yang hilang entah ke mana.
Tak lama setelah proklamasi, pada 27 Agustus 1945 Wikana –pejuang dari golongan pemuda–
terpilih menjadi salah seorang pengurus di dalam PNI (Partai Nasional Indonesia), partai negara
yang didirikan dengan maksud sebagai wadah untuk memperkuat persatuan bangsa, memperbesar
rasa cinta, setia, dan bakti kepada tanah air. Namun kehadiran partai itu tak lama. Banyak pihak
menentang kehadirannya, tak terkecuali Sjahrir.
Wikana lalu masuk ke dalam organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API) di mana dia menjadi
ketua organisasi yang berdiri pada 1 September 1945 itu. Bersama Soemarsono, dia mewakili API
ke Kongres Pemuda Pertama di Yogyakarta, 10-11 November 1945. Wikana ikut menjadi pembicara
di samping Amir Sjarifuddin dan Adam Malik. Agenda terpenting kongres itu adalah rencana
peleburan gerakan pemuda dalam satu organsisasi atas dasar prinsip-prinsip sosialis.
Pada 10 November malamnya, beberapa organisasi itu mengadakan rapat. Tujuh dari 29 organisasi
yang ikut, sepakat untuk melebur diri ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Sehari
kemudian Pesindo bersidang. Wikana terpilih menjadi salah seorang wakil ketua. Sementara dari
hasil kongres, Wikana terpilih menjadi pemimpin Dewan Pekerja Pembangunan. Dewan inilah yang
bersama Dewan Pekerja Perjuangan pimpinan Soemarsono –pemimpin pemuda dalam Pertempuran
10 November– menyelenggarakan organisasi hasil kongres: Badan Kongres Pemuda Republik
Indonesia (BKPRI).
Pesindo sendiri dalam perkembangannya terus bergerak menjadi oposisi pemerintah presidensial.
Saat Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memimpin kabinet, Pesindo tidak terlalu jelas pro atau kontra
pemerintah. “Pesindo itu bukan partai,” ujar Soemarsono. “Pesindo hanya baju.” Di kemudian hari,
organisasi ini ikut bergabung ke dalam Persatuan Perjuangan –perkumpulan banyak organisasi,
termasuk TNI, yang digagas Tan Malaka. Belakangan, ketika banyak perbedaan pandangan politik
Amir-Sjahrir dengan Tan Malaka, Pesindo keluar dari Persatuan Perjuangan.
Konstelasi politik nasional masa itu sendiri memang rumit. “Revolusi,” sebagaimana ditulis
Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, “merupakan unsur yang kuat dalam persepsi
bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri.” Persepsi Indonesia itu tidak sama dari masing-masing
pihak. Dikotomi sipil-militer, tua-muda, Jawa-luar Jawa pun muncul dengan persepsi dan perannya
sendiri-sendiri. Bukan saja menyebabkan tidak berjalannya roda pemerintahan sebagaimana
mestinya, hal itu seringkali juga membawa republik ke tubir jurang perpecahan. Belum lagi,
berbarengan dengan itu semua ancaman dari luar juga kian meninggi: keinginan Belanda kembali
menguasai Indonesia. “Tidaklah mengherankan apabila hasilnya bukanlah munculnya suatu bangsa
baru yang serasi, melainkan suatu pertarungan sengit di antara individu-individu dan kekuatan-
kekuatan sosial yang bertentangan,” tulis Ricklefs.
“Peranan pokok angkatan muda pada permulaan revolusi nasional Indonesia tahun 1945 adalah
kenyataan politik yang paling menonjol pada zaman itu,” tulis Ben Anderson dalam Revolusi
Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Peran kaum muda terutama
terlihat jelas dalam pertempuran-pertempuran yang banyak pecah di berbagai daerah tak lama
setelah kedatangan NICA.
Partai Sosialis –yang merupakan fusi dari beberapa partai pada 17 Desember– dengan dimotori
Sjahrir merasa kecewa terhadap pemerintah dalam memperlakukan KNIP, di mana di dalamnya
Sjahrir memegang posisi tinggi. Partai Sosialis juga menggunakan sikap kehati-hatian pemerintah
terhadap penguasa asing –Jepang maupun NICA– sebagai dalih untuk menuntut lebih. Partai
Sosialis lalu mengajak para pemuda yang tidak puas terhadap pemerintah, terus mengkritisi
pemerintah pusat. Tuntutan yang terpenting adalah pemberian wewenang ekstra kepada KNIP.
Sebagaimana ditulis Ben Anderson, “pada awal Oktober ada suatu konsensus yang meluas di
kalangan-kalangan yang sadar politik di Jakarta bahwa masa kelesuan dan kelambanan itu harus
diakhiri, dan ia hanya dapat diakhiri dengan merombak pemerintah.” Pemerintah melalui Wapres
Hatta lalu menyetujui dengan mengeluarkan Maklumat X tanggal 16 Oktober tentang wewenang
legislatif KNIP dan dilanjutkan dengan Maklumat Pemerintah tentang partai politik. Sejak saat itu
kabinet tak lagi bertanggung jawab langsung kepada presiden, tapi kepada KNIP. Tak lama
kemudian, Kabinet Sjahrir naik “pentas” pada 14 November. Sjahrir yang anti-Jepang, dianggap
tepat menjadi wakil republik dalam berunding dengan pihak Belanda.
Dalam masa-masa revolusi fisik yang karut marut itu, Wikana sempat menduduki beberapa jabatan
penting. Dalam dua masa pemerintahan Sjahrir dan dua masa pemerintahan Amir Sjarifuddin,
Wikana menduduki jabatan Menteri Negara Urusan Pemuda. Karena kesibukannya sebagai menteri,
posisinya di BKPRI dia pasrahkan ke Soemarsono. “Pokoknya saya serahkan kuasa pembangunan
ini kepada Bung,” ujar Somarsono mengutip ucapan Wikana.
Ketika menjabat menteri, Wikana tetap mencurahkan perjuangannya terhahap kemerdekaan rakyat.
Melalui Ibrahim Isa Fransisca C. Fanggidaej mengatakan bahwa Wikana menyatakan tidak akan
berhenti berjuang selama Indonesia belum merdeka betul. Cita-citanya hanya tertuju pada
kemerdekaan. Hal itulah yang membuat anak-anaknya bangga. “Saya sangat bangga sekali jiwa
nasionalisnya,” ujar putri sulungnya, Lenina Soewarti.
Dari jabatannya sebagai menteri, menurut Lenina, Wikana mendapatkan beberapa fasilitas. “Standar
saja: rumah, mobil.” Namun fasilitas-fasilitas itu tidak membuat Wikana berubah gaya hidupnya.
“Bapak saya itu sederhana sekali, sederhana sekali,” ujar Tati Sawitri, putri ketiga Wikana kepada
Majalah Historia Online 15 Agustus lalu.
Wikana tinggal di Yogyakarta ketika menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pemuda. Pemerintah
sengaja memindahkan ibukota ke sana awal 1946 akibat kondisi keamanan di Jakarta yang tak
menentu. Di ibukota “dadakan” itu diskusi mengenai perjuangan tetap Wikana lakukan. Terkadang
dilakukan di rumahnya. Wikana juga sering menemui Presiden Sukarno.
Perundingan Linggarjati yang mengerdilkan wilayah RI, mengundang kekecewaan banyak pihak.
Kondisi itu kian diperparah dengan dilancarkannya Agresi Militer I oleh Belanda di pertengahan
1947. Reaksi terkuat terutama datang dari militer dan kalangan Tan Malaka, yang menghendaki
kemerdekaan 100 persen dan lebih memilih perjuangan fisik ketimbang diplomasi. Akibat
perundingan-perundingan yang dilakukannya, Sjahrir sempat diculik tentara-tentara yang berafiliasi
kepada Tan Malaka, meski akhirnya dibebaskan lagi. Tan malaka sendiri dipenjara akibat
kehadirannya yang dianggap membahayakan lawan-lawan politiknya.
Ketika Kabinet Sjahrir ketiga jatuh dan Kabinet Amir Sjarifuddin naik menggantikan, kondisi
politik kian kacau. Dari luar, Belanda terus mendesak RI sedangkan dari dalam, peseteruan
antarkelompok perjuangan terus berlangsung. Kabinet Amir lalu jatuh karena menandatangani
Perjanjian Renville.
Kabinet Hatta kemudian menggantikan kabinet Amir Sjarifuddin mulai awal 1948. Salah satu
agenda pentingnya adalah kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tentara. Kebijakan ini
didukung penuh Kolonel Nasution selaku panglima Divisi Siliwangi. Siliwangi pun menjadi
pasukan reguler resmi pemerintah. Pada Februari, Siliwangi mulai hijrah dari Jawa Barat ke
Yogyakarta. Ini dilakukan sebagai pelaksanaan hasil keputusan dalam Perjanjian Renville.
Hijrahnya Siliwangi memicu timbulnya sengketa dengan pasukan-pasukan setempat. Pasukan-
pasukan setempat merasa terdesak otonominya oleh kehadiran Siliwangi. Terlebih, para laskar itu
merasa terancam oleh kebijakan Re-Ra. Siliwangi ditugaskan melucuti laskar-laskar, terutama
laskar kiri. Akibatnya, situasi di Surakarta dan Madiun panas. Di Surakarta, Siliwangi terlibat
pertempuran dengan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Kolonel Sutarto. Pasukan laskar yang
terus didesak terus berlari ke timur. Di Madiun, posisi laskar terdesak. Laskar-laskar yang terdesak
itu merupakan laskar yang berafiliasi kiri, kepada Amir Sjarifuddin. Ketika Peristiwa Madiun
pecah, posisi laskar dan kaum komunis di ujung tanduk. Siliwangi terus mengejarnya. Banyak dari
pemimpin gerakan tewas di tangan tentara reguler. Jumlah yang tewas menurut Soemarsono,
“sepenuhnya ada 3000 kader.”
Dalam kondisi yang penuh kekacauan itu Wikana menjabat sebagai Gubernur Militer Surakarta.
Pemerintahan Hatta yang mengangkatnya. Di masa Gubernur Militer itu, banyak teman-teman
perjuangan Wikana yang datang ke rumahnya. Sukarni salah satu di antaranya. “Chairul Saleh
belakangan,” ujar Lenina Soewarti. Fransisca C. Fanggidaej juga pernah menumpang tidur di rumah
dinasnya. Teman seperjuangannya, Soemarsono, jangan ditanya. “Saya sering tidur di tempat dia,”
ujar Soemarsono. Menurut Soemarsono, Wikana termasuk kader atasan.
Tapi masa itu tidak lama. Wikana yang kiri, lalu diganti. “Yang memberhentikan juga Hatta,” ujar
Soemarsono. Hatta terkenal sangat anti-kiri sedangkan Wikana orang kiri. Pemerintah lalu
menggantinya dengan Kolonel Gatot Subroto. Wikana sempat menghilang pasca-Peristiwa Madiun
1948. Tidak jelas ke mana perginya. Keluarganya pun tidak tahu keberadaannya. “Kita nggak
ketemu dua tahun,” ujar Lenina. Dalam Kongres partai ke-4 tahun 1954, Wikana masuk ke dalam
CC PKI.
Tahun 1953 Wikana dipercaya menjadi anggota Konstituante. Tapi jejak rekamnya di badan
pembuat Undang-Undang itu tidak banyak terungkap. Keluarganya pun tidak tahu. Terbuang dari
partai, Wikana sempat menjadi anggota DPA pada 1963. Saat itu pula keluarganya diboyong ke
Jakarta dari Solo. Selang dua tahun-an kemudian, atas ajakan Chairul Saleh, Wikana masuk menjadi
anggota MPRS. Itulah karier terakhir pemuda berkumis tipis dan berwajah tirus sebelum akhirnya
hilang tak tentu arahnya.
Tersisih dari Perahu Partai
Wikana tersingkirkan oleh para pengagumnya. Garis politik memisahkan mereka.
PERISTIWA Madiun 1948 menyudutkan PKI ke tubir jurang kehancuran. Partai berlambang palu-
arit itu dituduh berada di belakang peristiwa yang disebut-sebut sebagai “pemberontakan” itu.
Sebelas orang tokoh PKI ditembak, yakni Amir Sjarifuddin, Maroeto Daroesman, Suripno, Oey Gee
Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D. Mangku.
Sebelum mereka dieksekusi, Musso telah terlebih dahulu ditembak mati oleh tentara.
Peristiwa itu melumpuhkan PKI. Partai yang sempat melancarkan perlawanan pada era kolonial itu
harus menemui kenyataan diperangi oleh saudara sebangsanya sendiri saat negeri telah merdeka.
Sebagian pengikut PKI kocar-kacir menyelamatkan diri. Aidit dan Lukman dua dari sekian komunis
muda yang menyembunyikan diri di tengah hembusan gosip melarikan diri ke negeri Cina.
Dua tahun berselang setelah peristiwa Madiun, anak-anak muda PKI seperti Aidit, Njoto dan
Lukman, yang tenar disebut “tiga serangkai”, mulai menggeliat, membangun partai yang sempat
luluh lantak. Jalan terjal mereka tempuh. Tak mudah membangun partai dalam kondisi traumatik
dan serbasulit. Partai punya tiga sampai dengan empat ribu anggota namun nyaris tak bisa berbuat
apa-apa karena ketiadaan pemimpin.
Pada 1950 mereka mulai menyusun serpihan kekuatan yang terserak: berupaya mengumpulkan
anggota yang tercerai berai dan menerbitkan terbitan berkala partai, seperti Bintang Merah dan
kemudian Harian Rakjat. Setelah kembali ke Jakarta, “Mereka berkumpul di sekitar kantor Bintang
Merah yang menempati rumah Peris Pardede di gang Kernolong. CC PKI mereka tempatkan di
Gang Lontar,” kata Murad Aidit dalam bukunya Aidit Sang Legenda.
Menurut sejarawan Hilmar Farid sejak Januari 1951 Aidit, Nyoto dan Lukman memulai
pembangunan partai. “Sejumlah langkah dilakukan dengan agenda rebuilding, front persatuan yang
luas, tuntutan moderat dan lain-lain untuk memperkuat posisi partai,” ujar Hilmar Farid melalui
pesan singkatnya kepada Majalah Historia Online.
Tapi kerja keras itu bukannya tanpa halangan sama sekali. Bahkan ada resistensi dari dalam,
khususnya dari mereka yang tergolong sebagai “golongan tua”. “Tantangan besar lainnya yang
mereka hadapi adalah sisa-sisa pimpinan lama termasuk Tan Ling Djie dan Wikana,” kata sejarawan
yang kini tengah menempuh program doktor di National University of Singapore itu.
Pengaruh Tan Ling Djie dan Wikana masih terlampau kuat untuk dipatahkan oleh triumvirat muda
PKI. Ada perbedaan mendasar yang membuat konflik “golongan tua” versus golongan muda di
bawah kepemimpinan Aidit, Njoto dan Lukman: “Aidit lebih kepada front persatuan di bawah Bung
Karno sementara Tan Ling Djie cs. lebih cenderung memilih class struggle,” lanjut Farid.
Tentangan keras juga datang dari Alimin, tokoh senior PKI yang mulai kehilangan taring pada
usianya yang senja. Pada 1951, bertempat di rumah Trikoyo Ramidjo di bilangan Rawamangun,
Jakarta Timur, Aidit dan Lukman berdebat keras melawan Alimin ihwal strategi yang harus
dijalankan oleh PKI. Alimin bersikeras bertahan pada pendapatnya bahwa MMC (Merapi Merbabu
Complex) tak boleh dibubarkan karena berpotensi sebagai pendukung penting pembangunan partai.
“Waktu itu Alimin tak mau membubarkan MMC karena menurut dia ada tiga hal yang harus
diperkuat, yakni petani, partai itu sendiri dan tentara merah,” kata Trikoyo. Tentara merah yang
dimaksud Alimin adalah MMC. Aidit dan Lukman pun tak kalah keras. “Mereka berdua menolak
ide itu,” lanjut Trikoyo.
Keterangan Trikoyo diamini oleh Murad Aidit lewat bukunya. Menurut Murad, Alimin marah besar
terhadap garis yang ditempuh oleh Aidit cs. Aidit tak ambil peduli, mereka tetap menyiapkan
penyelenggaraan kongres yang urung dilaksanakan. “Kongres baru terlaksana pada bulan Maret
1954, setelah segala persiapan untuk kongres itu dapat dipersiapkan. Kongres mengesahkan
pimpinan yang terdiri central comite dan politbironya,” kata Murad Aidit.
Friksi pun berlanjut. Golongan tua seperti Alimin, Tan Ling Djie dan Wikana didomestifikasi
peranannya. Mereka diberi tempat dalam kepengurusan CC PKI, namun tanpa kuasa untuk
mengambil kebijakan apapun. Kekuasaan partai terpusat di tangan Aidit, Njoto dan Lukman.
Mereka bertiga menjalankan kendali tanpa harus menyingkirkan politisi tua, apalagi Aidit dan
Lukman mengagumi sosok Wikana.
“Tidak mungkin mereka disingkirkan, karena itu posisinya saja yang tidak penting. Soalnya bukan
tua-muda tapi kontrol terhadap kader dan resources partai. Orang tua seperti Wikana dan Tan Ling
Djie masih punya pengaruh kuat, karena itu mesti didomestifikasi,” kata Farid.
Tapi keadaan itu tak berlangsung lama. Tan Ling Djie, rekan Wikana, dipecat dari PKI. Dia
dianggap keras kepala dengan garis partai yang mengharuskan partai bekerja di bawah tanah
sebagai partai pelopor. Tapi keputusan pemecatan itu urung dilakukan karena Tan Ling Djie
menganggap hidup-matinya sudah ada di PKI. Dia tetap dikeluarkan dari CC tanpa dicabut
keanggotaannya. Agaknya tak ada juga yang bisa diperbuat oleh Wikana dalam menghadapi
keadaan internal partai yang telah sepenuhnya dikendalikan oleh trio Aidit, Lukman dan Njoto.
Transisi kepemimpinan dari yang tua kepada yang muda pun dibumbui kabar tak sedap. Aidit cs.
banyak disebut-sebut sebagian kalangan melakukan kup terhadap kepemimpinan partai tanpa
menghiraukan kepemimpinan golongan tua. “Aidit dianggap kup terhadap kepemimpinan CC PKI
yang lama seperti Wikana,” kata Soemarsono.
Pendapat bahwa Aidit cs. melakukan kup dibantah oleh Hilmar Farid. Menurutnya sejak peristiwa
Madiun praktis kepemimpinan PKI kosong. Oleh karena itu agak sulit untuk mengatakan kalau
triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman melakukan kup. “Trio sulit untuk dibilang kup karena pimpinan
memang tidak ada. Mereka sendiri sudah jadi anggota CC per 1 September 1948, termasuk Wikana.
Jadi yang tepat mungkin bukan kup tapi ambil alih karena pimpinan kosong dan bukan didongkel.
Juga tidak ada serah terima karena tak ada yang menyerahkan,” kata Farid.
Setelah berhasil mengurai benang kusut pada partai yang hampir tercerabut itu trio Aidit, Lukman
dan Njoto mulai mendisiplinkan partai. Jejaring partai kembali diaktifkan dan semua lini partai
difungsikan kembali. Di tangan mereka orientasi partai kembali digodok. Di bawah PKI, Aidit
mendukung kebijakan anti kolonialis dan anti-Barat yang diusung oleh Bung Karno.
Partai Komunis Indonesia berkembang pesat. Tangan dingin Aidit, Lukman dan Njoto yang rata-
rata masih berusia 30-an tahun itu berhasil meraih simpati sejuta lebih rakyat Indonesia. Jerih payah
mereka membawa PKI menduduki posisi keempat dalam Pemilu 1955.
Suara garang Wikana pun semakin tenggelam di tengah derap langkah PKI yang semakin agresif
meraup simpati rakyat. Tapi Wikana bukan Tan Ling Djie yang disingkirkan begitu saja. Dia masih
punya posisi penting baik sebagai anggota MPRS maupun anggota DPA sebelum akhirnya tragedi
politik pada 1965 menuntaskan kisah hidupnya.
Berpisah di Jalan Dempo
Dikenang sebagai ayah yang hangat dan pendiam. Pergolakan politik memisahkannya dari
keluarga.
RUMAH yang terletak di Jalan Dempo No. 7A itu tak begitu besar dan lebih menyerupai paviliun.
Ukurannya memanjang ke belakang dengan dua kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, ruangan
kecil di bagian belakang, dan gudang. Semuanya serbakecil. Wikana menjadikan kamar tidur
sekaligus tempat kerja. Pada rumah pemberian Chairul Saleh itu sederet pagar dan pintu berdiri
cukup tinggi.
Sejak Wikana terpilih menjadi anggota Konstituante pada 1955 dia harus tinggal di Jakarta. Di
Konstituante dia mengetuai Komisi Perikemanusiaan. Pada tahun 1960, dia menjadi anggota MPRS
dan DPA.
Masih lekat dalam ingatan Tati Sawitri Apramata betapa bapaknya selalu sibuk untuk mengikuti
berbagai persidangan. Namun sebagai anak dia tak pernah berani menanyakan apa pekerjaan
bapaknya. “Anak zaman dulu mana berani nanya bapaknya kerja apa,” kenang Tati.
Sebagai anggota MPRS dan DPA Wikana tentu sibuk bukan kepalang. Adakalanya sesekali dia
bercerita kepada anaknya kalau Presiden Sukarno memanggilnya. Tapi Wikana yang pendiam itu
tak banyak bercerita tentang isi pertemuannya, kepada siapa pun di rumahnya. Yang masih bisa
diingat oleh Tati adalah kebiasaan bapaknya membawakan oleh-oleh buku tiap kali datang dari
acara persidangan.
“Kadang-kadang saya dan adik-adik saya membuka-buka setiap lembar buku dan biasanya ada uang
nyelip,” kata Tati diiringi derai tawa.
Wikana, dalam kenangan anak-anaknya, dikenal baik sebagai pria pendiam yang bersahaja. Kendati
demikian dia selalu bersikap hangat kepada anak-anaknya. “Dulu saya masih ingat bapak maen
berantem-beranteman sama saya,” kata Tati.
Rumah di Jalan Dempo itu membawa kehangatan bagi seluruh anggota keluarga Wikana. Ketika
beredar kabar rencana pengangkatan Wikana sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh untuk Tanzania,
Wikana menawarkan kepada anak-anaknya untuk ikutserta. Dia juga menawari Tati untuk berkuliah
di luar negeri selulus dari SMA. “Kalau mau kuliah jangan ke Amerika atau Inggris, di sana cuma
main-main saja. Lebih baik ke Jerman,” kata Wikana seperti ditirukan Tati. Mungkin ideologi anti-
nekolim merasuki jiwa Wikana sehingga untuk menyekolahkan anaknya pun dia menjadikan dua
negara itu tabu.
Tapi mendadak semua kisah manis itu luluh lantak ketika sepulang mengikuti Hari Raya Nasional
Cina 1 Oktober 1965 suasana politik bergolak. Tujuh perwira Angkatan Darat diculik dan dibunuh.
Kabar beredar menyebut PKI ada di belakang insiden berdarah itu. Hidup Wikana di ujung tanduk.
Berbeda dengan anggota delegasi lain yang tetap tinggal di Cina, Wikana memilih untuk pulang.
Mungkin dia berpikir takkan disangkutpautkan dengan kejadian itu, terlebih perannya yang tak lagi
sentral dalam PKI. Tapi Wikana salah.
Chairul meminta KBRI segera mengurus kepulangan delegasi ke Jakarta. Rombongan bertolak dari
RRT pada 5 Oktober dan tiba di Jakarta pada 10 Oktober 1965. Sebelum berangkat pulang, Chairul
meminta Wikana sebaiknya tak usah pulang dulu karena di Jakarta sedang tidak aman. Tapi, Wikana
tak menghiraukan saran Chairul. Dia tetap ikut pulang.
“Begitu sampai di Kemayoran dia segera disauk tentara, sekarang saya tidak tahu, saya tidak dengar
lagi bagaimana nasibnya,” kata Chairul mengisahkan penangkapan Wikana kepada AM Hanafi
seperti diceritakan dalam AM Hanafi Menggugat.
Menurut anak ketiga Wikana, Tati Sawitri Apramata, Wikana ditahan secara resmi di daerah
Kramat. Petugas tentara dari Kramat datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7A, meminta
keluarga untuk menjenguknya. Tati yang menemuinya.
“Bapak perlu apa?” tanya Tati yang saat itu duduk di kelas 1 SMA 4 Jakarta.
“Tikar,” kata Wikana.
“Bapak sehat-sehat saja?” tanya Tati.
“Sehat,” kata Wikana singkat.
Tidak seperti tahanan, Wikana diberikan kebebasan. “Sekitar dua malam diperiksa, lalu
dikembalikan ke rumah,” kata Soemarsono.
Pada suatu sore menjelang magrib, tujuh bulan setelah penangkapan pertama, tiba-tiba datang tamu
yang mencari kos. Padahal, di rumah Wikana tidak ada kosan. Sebelumnya Wikana sudah mewanti-
wanti kepada anaknya agar jangan mengatakan kepada siapapun yang datang bahwa dia ada di
rumah. “Tapi, kakak saya malah bilang bahwa bapak ada di rumah,” ujar Tati.
Bencana datang seketika. Tengah malamnya, tak berapa lama setelah kedatangan si tamu tak
diundang, tiba-tiba banyak orang melompati pintu pagar dan tembok rumah yang cukup tinggi. Tati
terbangun. Dengan kasar, mereka menanyakan di mana bapaknya. “Mereka tentara semua, bawa
senjata, tapi tak bisa dikenali,” kata Tati menahan tangis.
Wikana pun dicokok pada 9 Juni 1966. Sejak saat itu keluarga tak pernah mengetahui
keberadaannya. “Sebelum dibawa, bapak minta dibungkusin sarung, celana, dan sikat gigi. Dia
berpesan agar jaga ibu,” ujar Tati sambil terisak.
Tati tak tega melihat bapaknya digelandang. Dia hendak mengikutinya. Tapi tentara itu
menodongkan senjata. “Kamu, anak kecil, ngapain ke luar,” kata salah seorang dari mereka.
“Saya mau lihat bapak saya ke depan,” kata Tati memberanikan diri.
“Masuk!” bentak salah satu dari mereka.
Menurut tetangga sekitar rumah, ada tiga mobil yang terparkir terpisah di depan rumah. Karena itu
mereka tahu kalau yang menangkap Wikana lebih dari sepuluh orang.
Malam itu juga, Asminah istri Wikana melaporkan kejadian penculikan suaminya ke Kodam Jaya
dan Kostrad. Pihak Kodam Jaya dan Kostrad menyatakan bahwa malam itu tidak ada penangkapan.
Dan setiap penangkapan harus ada surat penangkapan. “Memang pada waktu penangkapan pertama
ada suratnya,” ujar Tati.
Kodam Jaya dan Kostrad pun membantu mencari Wikana. Namun, nihil. “Kami hanya mendengar
desas-desus saja mengenai keberadaan bapak. Namun, nyatanya tidak ada,” ujar Tati.
Menurut Soemarsono, tentara ada dalam setiap gerakan waktu itu. Memang semua bersumber dari
tentara. Jadi, penangkapan-penangkapan itu pun bisa dipastikan dilakukan oleh tentara. “Walaupun
bukan oleh tentara di belakangnya pasti adalah tentara,” kata Soemarsono.
Setelah penculikan Wikana, setiap hari rumah di Jalan Dempo dijaga oleh sekitar sepuluh orang
petugas keamanan dari Kostrad. Keluarga pun diberi surat jaminan keamanan oleh Panglima
Kostrad Kemal Idris. Sesudah tidak dijaga lagi, banyak orang-orang militer yang datang. Mereka
memaksa agar keluarga mengosongkan rumah Wikana.
“Ibu tambah sakit. Yang menghadapi orang-orang militer itu saya dan adik-adik saya. Setiap mereka
datang, saya tunjukkan surat dari Kostrad. Mereka pun tidak berani,” kata Tati.
Berbekal surat dari Kemal Idris, keluarga pun berhasil mempertahankan rumah itu hingga akhirnya
dijual sekitar tahun 1996. “Karena ibu sudah tiada, saya putuskan untuk menjual rumah itu.
Hasilnya dibagi rata untuk adik-adik saya,” kata Lenina Soewarti Wiasti Wikana Putri, anak
pertama Wikana.
Pencarian anak-anak Wikana pun tak berakhir begitu saja. Tati dan Lelina sempat bertemu dan
menanyakan kepada Adam Malik, Asmara Hadi, dan Chairul Saleh mengenai keberadaan bapaknya.
Tak ada yang mereka bisa perbuat kecuali membesarkan hati agar bersabar dan berdoa kepada
Tuhan. “Ya sudah, kamu urus saja anak dan dampingi suamimu. Masalah itu jangan dipikirkan
lagi,” kata Adam Malik ke Lenina.
Tati berharap, kalau memang bapak meninggal di mana kuburannya. Kalau masih hidup, ada
dimana? “Kadang-kadang ketika saya melihat pengemis-pengemis di jalanan dan kolong jembatan,
saya suka teringat apakah mungkin bapak saya seperti itu. Siapa tahu di situ ada bapak saya,” ujar
Tati.
Setelah Wikana tiada, keluarga kehilangan penopang hidup. Dia tidak meninggalkan warisan. “Ibu
menjadi tulang punggung keluarga. Dia berjualan segala macam. Yang pernah saya lihat dia jualan
es buah. Bahkan sempat menjual pot bunga untuk makan. Karena saya dan Tati sudah menikah,
suami-suami kami membantu, meski tidak banyak,” kata Lenina.
Seingat Tati, ada teman-teman bapaknya yang pernah membantu. “Seperti temannya dari Rusia.”
Wikana menyadari risiko perjuangannya. Dia tidak ingin apa yang dialaminya menimpa
keluarganya. Dia pun berpesan, terutama ke anak perempuannya, agar tidak menikah dengan orang
perjuangan karena khawatir hidup susah seperti yang dialaminya. “Tapi, jika bisa kuat seperti ibu
dalam mendampingi bapak, ya, silakan,” kenang Lenina mengutip bapaknya.