137041061
137041061
137041061
2018
Supriady, Awang
Universitas Sumatera Utara
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/8283
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
EFEK AMINOPHYLLINE INTRAVENA UNTUK MEMPERCEPAT
WAKTU PULIH SADAR PASCA GENERAL ANESTESI PADA
PASIEN PEMBEDAHAN LAPARATOMI DENGAN
MENGGUNAKAN BISPECTRAL INDEX DI RSUP
HAJI ADAM MALIK MEDAN
TESIS
Oleh:
dr. Awang Supriady
NIM : 137041061
TESIS
Oleh:
dr. Awang Supriady
NIM : 137041061
Pembimbing I:
dr. Akhyar Hamonangan Nasution, Sp.An, KAKV
Pembimbing II:
dr. Muhammad Ihsan, Sp.An, KMN
Dengan segala kerendahan hati, saya memanjatkan puji syukur serta doa
saya sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya
telah memberikan kepada saya akal budi, hikmat dan pemikiran sehingga saya
dapat menyelesaikan tesis/ penelitian sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan Spesialis dalam bidang Ilmu Anestesiologi danTerapi
Intensif di Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai dan
banggakan.
Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis / hasil penelitian ini
masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian bahasanya.
Meskipun demikian, saya berharap dan besar keinginan saya agar kiranya tulisan
ini dapat memberi manfaat dan menambah khasanah serta perbendaharaan dalam
penelitian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya
tentang“EFEK AMINOPHYLLINE INTRAVENA UNTUK MEMPERCEPAT
WAKTU PULIH SADAR PASCA GENERAL ANESTESI PADA PASIEN
PEMBEDAHAN LAPARATOMI DENGAN MENGGUNAKAN
BISPECTRAL INDEX DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN“.
Dengan penulisan tesis/ hasil penelitian ini, maka pada kesempatan ini
pula dengan diiringi rasa tulus dan ikhlas, ijinkan saya mengucapan terimakasih dan
penghargaan kepada yang terhormat: dr. Akhyar Hamonangan Nasution, Sp. An.
KAKV dan dr. M. Ihsan, Sp. An, KMN atas kesediaannya sebagai pembimbing
penelitian saya ini, yang walaupun di tengah kesibukannya masih dapat
meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta kesabaran, memberikan
bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam
menyelesaikan tulisan ini. Tidak lupa ucapan terimakasih saya berikan kepada
Bapak Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M. Kes sebagai pembimbing statistik yang juga
telah banyak meluangkan waktu dan kesibukannya untuk berdiskusi menganai
statistik penelitian ini. Berikutnya saya juga mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya (Alm.) H. Azhar Yusuf dan Hj.
Sakty Saleh yang tidak bosan – bosan medoakan dan mendukung saya sejak kecil
hingga sekarang.
i
Dan dengan berakhirnya pula masa pendidikan saya di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, maka pada kesempatan yang berbahagia
ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar
– besarnya kepada :
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr.
Runtung Sitepu, SH., M.hum, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) atas kesempatan yang telah diberikan
kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di
bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Yang terhormat Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
USU / RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV dan
Prof. dr.Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO sebagai Ketua Program Studi
Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Tasrif Hamdi, M.Ked (An), SpAn sebagai Plt.
Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, dan dr. Cut Meliza
Zainumi, M.Ked (An), SpAn sebagai Plt. Sekretaris Program Studi Anestesiologi
dan Terapi Intensif, terimakasih karena telah memberikan izin, kesempatan, ilmu
dan pengajarannya kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi di bidang
Anestesiologi dan Terapi Intensif hingga selesai.
Yang terhormat guru – guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan : dr. A. Sani P. Nasution,
SpAn. KIC; (Alm.) dr. Chairul M. Mursin, SpAn, KAO; Prof. dr. Achsanuddin
Hanafie, SpAn. KIC. KAO; dr. Akhyar H. Nasution, SpAn. KAKV; dr. Asmin
Lubis, DAF, SpAn. KAP.KMN; dr. Qadri F. Tanjung, SpAn. KAKV; dr. Hasanul
Arifin SpAn. KAP. KIC; Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA; dr. Ade Veronica
HY, SpAn. KIC; dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV; dr. Soejat Harto, SpAn. KAP; dr.
Syamsul Bahri Siregar, SpAn; dr Tumbur, SpAn; dr. Walman Sitohang, SpAn;
LetKol (CKM) dr. Nugroho Kunto Subagio, SpAn; Kol. (CKM) Purn. dr. Tjahaya,
SpAn; Dr. dr. Dadik W. Wijaya, SpAn; dr. M. Ihsan, SpAn. KMN; dr. Guido M.
Solihin, SpAn. KAKV; dr. Andriamuri P. Lubis, M. Ked (An), Sp. An; dr. Ade
Winata, Sp. An, KIC; dr. Rommy F Nadeak, SpAn; dr. Rr. Shinta Irina, SpAn; dr.
Fadli Armi Lubis, M. Ked (An), Sp. An; dr. Raka Jati P. M. Ked (An) Sp. An; dr.
Bastian Lubis M.Ked(An) Sp.An; dr. Wulan Fadine M. Ked(An) Sp.An; dr. A.
Yafiz Hasbi M.Ked (An) Sp.An; dr. M. Arshad, M. Ked (An) Sp.An, dr. Luwih
ii
Bisono, Sp. An, KAR; saya ucapkan terima kasih atas segala ilmu, keterampilan
dan bimbingannya selama ini dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang
Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin menumbuhkan rasa percaya
diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien serta pengajaran dalam bidang
keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi
saya di kemudian hari.
Yang terhormat Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur
RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit TK II Putri Hijau Medan,Direktur RS Haji
Medan yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan
kepada saya untuk belajar menambah ketrampilan dan dapat menjalani masa
pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin, tak lupa saya haturkan terimakasih.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada Istri tercinta dr. Indah
Sukmawardhani dan juga anak – anak tersayang M. Nafis Adria Awang dan Nadine
Almira Awang yang telah bersedia meluangkan waktu, perasaan dan tenaga untuk
mendukung dan mendoakan saya di selama masa pendidikan saya dimulai hingg
saat ini.
Yang tercinta teman – teman sejawat peserta pendidikan keahlian
Anestesiologi dan Terapi Intensif dr. Virat Kumar, dr. Franz Joseph Tarigan, dr. M.
Rizky Alfian, dr, Dewi Yuliana Fithri, dr. Cwanestasia Z.G.S, dr. Doni Herianto,
dr. Jhonsen Indrawan dan dr. Galdy Wafie yang telah bersama-sama baik duka
maupun suka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat
dengan harapan teman – teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi
ini.
Kepada seluruh teman – teman, rekan – rekan dan kerabat, handaitaulan,
keluarga besar, pasien – pasien yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu
persatu yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materil
kepada saya selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati saya yang terdalam saya
ucapkan terimakasih.
Kepada paramedic dan karyawan Departemen/SMF Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, RS Haji Medan, RSUP
Pirngadi Medan dan Rumkit Tk II Putri Hijau Medan yang telah banyak membantu
dan bekerjasama selama saya menjalani pendidikan dan penelitian ini saya juga
ucapkan terima kasih.
iii
Dan akhirnya perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini
memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang saya cintai.
iv
DAFTAR ISI
v
Terhadap Gambaran EEG ……………………………………… 31
2.7 Waktu Pulih Sadar ......................................................................... 33
2.8 BIS ..................................................................................................... 34
2.9 Kerangka Teori ............................................................................... 38
2.10 Kerangka Konsep............................................................................ 39
BAB 3 METODE PENELITIAN ...................................................................... 40
3.1 Desain Penelitian .............................................................................. 40
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 40
3.2.1 Tempat ................................................................................... 40
3.2.2 Waktu .................................................................................... 40
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................... 40
3.3.1 Populasi ................................................................................. 40
3.3.2 Sampel ................................................................................... 40
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ......................................................... 41
3.4.1 Kriteria Inklusi ......................................................................... 41
3.4.2 Kriteria Eksklusi ...................................................................... 41
3.4.3 Kriteria Putus Uji (Drop Out) .................................................. 41
3.5 Besar Sampel ................................................................................... 41
3.6 Informed Consent ............................................................................ 42
3.7 Alat, Bahan, dan Cara Kerja .......................................................... 42
3.7.1 Alat dan Bahan......................................................................... 42
3.7.1.1 Alat.............................................................................. 42
3.7.1.2 Bahan ........................................................................... 43
vi
3.9 Rencana Manajemen dan Analisis Data ........................................ 46
3.10 Definisi Operasional.................................................................. …. 47
3.11 Alur Penelitian ................................................................................ 48
BAB 4 HASIL PENELITIAN ............................................................................ 49
4.1 Karakteristik Demografi Responden Penelitian ............................ 49
4.2 Efek Obat Perlakuan Terhadap Waktu Pulih Sampel .................. 52
BAB 5 PEMBAHASAN ...................................................................................... 54
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 58
6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 58
6.2 Saran .................................................................................................. 58
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 59
LAMPIRAN ........................................................................................................ 64
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
ABSTRAK
x
ABSTRACT
xi
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
Berbagai cara dilakukan untuk mempercepat waktu pulih sadar pada pasien baik
secara non-farmakologis maupun dengan intervensi farmakologis. Salah satu intervensi
farmakologis yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian Aminophylline. Beberapa
penelitian klinis telah menunjukkan bahwa Aminophylline dapat mempercepat durasi pulih
sadar pasien setelah pemberian total intravena anestesi dengan propofol dan remifentanil,
sevofluran, dan desfluran (Turan dkk, 2010).
Aminophylline sering digunakan dalam praktik anestesi untuk mengatasi
bronkospasme pada neonatus premature. Aminophylline memiliki efek mengurangi
kejadian apnea pasca operasi (Huphfl dkk, 2008). Selain dibidang anestesi, pemberian
Aminophylline khususnya secara intravena dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi
asma pada anak-anak yang tidak respon terhadap terapi inhalasi/nebulisasi lini pertama
(Lewis dkk, 2016).
Aminophylline merupakan senyawa methylxanthine yang dapat ditemukan pada
kopi dan teh, dimana senyawa ini secara parsial dapat melawan efek perubahan perilaku
dan hipnosis dari benzodiazepin (Farsad dkk, 2017). Penelitian menunjukkan bahwa
Aminophylline yang diberikan pada akhir operasi mempersingkat waktu pulih sadar dari
anestesi umum dan meningkatkan kualitas pemulihan. Lebih dari itu Aminophylline
memiliki efek menurunkan kedalaman serta durasi sedasi yang dihasilkan oleh barbiturat,
diazepam, midazolam dan propofol (Huphfl dkk, 2008).
Telah dilaporkan bahwa Aminophylline mempersingkat efek sedasi beberapa obat
anestesi dan analgesik. Laporan kasus disini menunjukkan bahwa Aminophylline intravena
efektif mempercepat efek obat sedasi / obat propofol yang berlangsung lama pada saat
pasca operasi. Tidak ada efek samping secara langsung setelah sedasi pada pemberian
Aminophylline. Studi ini menunjukkan bahwa Aminophylline bisa bermanfaat secara klinis
sebagai antagonis propofol (M. Hupl, dkk, 2008).
Pasien yang diteliti ada dua kelompok dimana usia, berat badan, status ASA dan
durasi operasinya hampir sama. Nilai ETCO2, SpO2 dan EKG serupa pada kedua
4
kelompok dan sebanding nilainya sebelum injeksi. Tidak ada perbedaan yang signifikan
secara statistik dalam skor BIS antara dua kelompok sebelum injeksi obat uji (p> 0,05).
Setelah pemberian injeksi obat uji Aminophylline 4 mg/kg, skor BIS ditemukan secara
signifikan lebih tinggi (p <0,001) pada Kelompok A didapat 1- 25 menit. Tingkat denyut
jantung dan tekanan darah ditemukan lebih tinggi secara signifikan setelah injeksi
Aminophylline dibandingkan dengan kelompok plasebo (p <0,001. Waktu pemulihan pada
semua variabel terukur (waktu untuk pembukaan mata, ekstubasi, pegangan tangan dan
waktu bangun) secara signifikan lebih pendek pada Kelompok A (Aminophylline) (p
<0,001). Semua pasien memiliki nilai Aldrete 9 di unit perawatan pasca operasi kurang dari
satu jam setelah penghentian operasi (Ghaffaripour S,2014).
Aminophylline biasanya digunakan selama anestesi untuk mengatasi bronkospasme
namun temuan terbaru menunjukkan bahwa hal itu juga dapat digunakan untuk
mempersingkat waktu pemulihan setelah anestesi umum. Namun, tidak jelas apakah
Aminophylline menunjukkan sifat yang serupa selama operasi fase anestesi dalam keadaan
stabil. Penelitian ini dilakukan untuk menguji hipotesis bahwa pemberian Aminophylline
mengarah pada peningkatan nilai bispectral index sebagai parameter pengganti yang
menunjukkan bidang anestesi yang lebih ringan. Penelitian ini dirancang sebagai percobaan
double-blind, acak, terkontrol dengan dua kelompok utama (Aminophylline dan plasebo)
dan dua subkelompok (sevofluran dan propofol). Kami mempelajari 60 pasien yang
diberikan injeksi obat Aminophylline 3 mg/kgBB dikaitkan dengan peningkatan bispektral
index yang signifikan hingga 10 menit setelah injeksi, sementara denyut jantung dan
tekanan darah tidak berubah. Diduga Aminophylline memiliki kemampuan untuk
mengurangi sebagian efek obat sedasi dari tindakan anestesi umum (Hupfl M, et all,2008).
Mekanisme kerja dari Aminophylline yang dapat mempersingkat waktu pulih sadar
pasien berhubungan dengan sifatnya yang kontraindikasi dengan adenosin. Adenosin
terdapat di semua sel dan reseptornya tersebar di semua sel otak. Pemberian infus adenosin
dalam dosis rendah memiliki efek hipnotik dari anestesi. Sebaliknya, pemberian
5
Hasil penelitian lain yang dilakukan Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif,
Fakultas Kedokteran Universitas Tehran, menunjukan bahwa waktu untuk melakukan
ekstubasi pasca operasi secara signifikan lebih singkat pada kelompok yang mendapat
Aminophylline 5 mg/KgBB (10,4 ± 4,78 menit), kemudian disusul kelompok
Aminophylline 1 mg/KgBB (11,15 ± 8,2 menit) dan paling lama pada kelompok yang
mendapat normal saline yaitu kelompok kontrol (12,26 ± 7,33 menit) dengan p-value =
0,001. Selain itu jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai skor BIS ≥ 90% secara
signifikan juga lebih singkat pada kelompok yang mendapat Aminophylline 5 mg/KgBB
(10,6 ± 3,7 menit) kemudian disusul kelompok Aminophylline 1 mg/KgBB (11,5 ± 5,6
menit) dan paling lama pada kelompok yang mendapat normal saline yaitu kelompok
kontrol (14,4 ± 4,2 menit) dengan p-value = 0,001. (Farsad, 2017).
Oleh karena itu berdasarkan latar belakang dan referensi penelitian diatas, peneliti
berkeinginan untuk meneliti efek Aminophylline 3 mg/kgBB intravena untuk mempercepat
waktu pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi isofluran pada pasien pembedahan
laparatomi dengan menggunakan bispectral index di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Haji Adam Malik Medan.
1.3 Hipotesis
Didapatkan efek pemberian Aminophylline intravena dalam mempercepat waktu
pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi isofluran pada pembedahan laparatomi
dengan menggunakan bispectral index di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel yang mengubah status fisiologis
tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi), hilangnya persepsi nyeri (analgesia),
hilangnya memori (amnesia) dan relaksasi. Beberapa senyawa yang dapat menghasilkan
keadaan anestesi umum antara lain bersifat inert (xenon), anorganik (nitrous oxide), inhalasi
hidrokarbon (halothan), dan struktur organik komplek (barbiturat) (Morgan, 2013).
Terdapat beberapa daerah mikroskopik sebagai tempat bekerjanya substansi anestesi
umum. Pada otak diketahui anestesi umum mempengaruhi beberapa tempat, seperti sistem
retikular, kortek serebri, nukleus kuneatus, kortek olfaktori, dan hipokampus (Firman, 2009).
Melalui mekanisme kerjanya, anestesi umum mengakibatkan terjadinya perubahan-
perubahan pada sistem seluler, seperti perubahan pada ligand gate ion channel, fungsi second
messenger, atau reseptor neurotransmitter. Sebagai contoh terjadi peningkatan inhibisi pada
γ-Aminobutyric Acid (GABA) pada sistem saraf pusat. Seperti diketahui reseptor agonis
GABA akan memperdalam anestesi, sedangkan antagonis GABA akan menghilangkan aksi
anestesi (Morgan, 2013).
Semua zat obat anestesi umum menghambat susunan saraf pusat secara bertahap,
dimulai dari fungsi yang kompleks dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang
bekerja sebagai pusat vasomotor dan pusat pernapasan.
Guedel (1920) membagi anestesia umum dengan menggunakan eter dalam empat (4)
stadium dimana stadium III dibagi lagi dalam empat tingkat (Sadikin, 2011).
Stadium I (analgesia). Stadium analgesta dimulai dari saat pemberian zat obat
anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat mengikuti
9
10
perintah, dan rasa sakit hilang (analgesia). Pada stadium ini dapat dilakukan tindakan
pembedahan ringan seperti mencabut gigi, biopsi kelenjar dan sebagainya (Sadikin, 2011).
Stadium II (delirium/eksitasi). Stadium ini dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan stadium pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan
yang tidak menuruti kehendak, penderita tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan
tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka meningkat, inkontinesia
urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi, takikardi; hal ini terutama terjadi karena adanya
hambatan pada susunan saraf pusat (Sadikin, 2011).
Stadium III (pembedahan). Stadium ini dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
hilangnya pernapasan spontan. Tanda yang harus dikenal ialah: (1) pernapasan yang tidak
teratur pada stadium II menghilang; pernapasan menjadi spontan dan teratur oleh karena
tidak adanya pengaruh psikis, sedangkan pengontrolan kehendak hilang; (2) refleks kelopak
mata dan konjungtiva hilang, bila kelopak mata atas diangkat dengan perlahan dan dilepaskan
tidak akan menutup lagi, kelopak mata tidak berkedip bila bulu mata disentuh; (3) kepala
dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan bebas. Bila lengan diangkat lalu dilepaskan
akan jatuh bebas tanpa tahanan; dan (4) gerakan bola mata yang tidak menuruti kehendak
merupakan tanda spesifik untuk permulaan stadium III (Sadikin, 2011).
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan pernapasan perut yang lebih
lemah dibandingkan stadium III tingkat 4, tekanan darah tidak dapat diukur karena kolaps
pembuluh darah, berhentinya denyut jantung dan dapat disusul kematian. Pada stadium ini
kelumpuhan pernapasan tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan (Sadikin, 2011).
Berbagai macam cara pemberian anestesi yaitu secara parenteral, perektal, inhalasi
ataupun secara intravena. Salah satu bentuk anestesi umum yang sering digunakan adalah
anestesi secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap). Anestesi inhalasi ini memiliki
keunggulan yaitu potensi dan konsentrasinya yang dapat dikendalikan melalui mesin, dengan
titrasi dosis untuk menghasilkan respon yang diinginkan. Obat anestesi inhalasi yang
terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran
11
sedangkan obat anestesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat,
narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis lainnya, dan beberapa obat
khusus seperti ketamin (Stoelting dan Hillier, 2007).
Dasar dari terjadinya stadium anestesia adalah adanya perbedaan kepekaan berbagai
bagian sistem saraf pusat terhadap obat anestesi. Sel-sel subtansia gelatinosa di kornu dorsalis
medula spinalis sangat peka terhadap obat anestesi. Penurunan aktivitas neuron di daerah ini
menghambat trasmisi sensorik dari rangsang neoseptik, hal ini yang menyebabkan terjadinya
tahap analgesia. Stadium II terjadi akibat aktivitas neuron yang kompleks pada kadar obat
anestesi yang lebih tinggi di otak. Aktivitas ini antara lain berupa penghambatan berbagai
neuron inhibisi bersamaan dengan dipermudahnya pelepasan neurotransmitter eksitasi.
Selanjutnya, depresi hebat pada jalur naik di sistem aktivasi retikular dan penekanan aktivitas
refleks spinal menyebabkan pasien masuk ke stadium III. Neuron di pusat napas dan pusat
vasomotor relatif tidak peka terhadap obat anestesi kecuali pada kadar yang sangat tinggi.
Apa yang menyebabkan perbedaan kepekaan berbagai bagian sistem saraf pusat ini masih
perlu diteliti (Sadikin, 2011).
Sedasi sedang adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat di mana pasien
dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan atau setelah diikuti oleh rangsangan
taktil dan reflek cahaya. Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga jalan napas dan ventilasi
spontan yang masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler biasanya perlu dimonitoring.
Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi penurunan kesadaran setelah
terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap rangsangan berulang
atau rangsangan nyeri. Kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi dapat terganggu
dan pasien akan memerlukan bantuan untuk menjaga jalan napas. Fungsi kardiovaskuler
perlu dimonitoring. Adenosine yang bekerja melalui reseptor A1adenosine mengaktifkan
jalur transduksi sinyal yang menghasilkan peningkatan kalsium intraseluler yang mengarah
pada aktivasi faktor transkripsi NF-kB dan kemungkinan transkripsi gen yang berperan untuk
menyebabkan efek tidur jangka panjang. (Basheer R, Strecker RE, 2010)
Dapat terjadi progresi dari sedasi minimal menjadi sedasi dalam di mana kontak
verbal dan refleks protektif hilang. Sedasi dalam dapat meningkat hingga sulit dibedakan
dengan anestesia umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan, dan diperlukan tingkat
keahlian yang lebih tinggi dalam penanganan pasien. Kemampuan pasien untuk menjaga
patensi jalan napas merupakan salah satu karakteristik sedasi sedang, tetapi pada tingkat
sedasi ini tidak dapat dipastikan bahwa refleks protektif masih baik. Beberapa obat anestesia
dapat digunakan dalam dosis kecil untuk menghasilkan efek sedasi. Obat-obat sedatif dapat
menghasilkan efek anestesi jika diberikan dalam dosis yang besar (Bronco A, 2010).
Pemberian sedasi dapat dilakukan secara intramuskular, intravena, intratekal,
maupun dengan inhalasi, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Jenis obat yang
sering digunakan adalah golongan benzodiazepine dan opioid. Midazolam lebih disukai
dibandingkan dengan diazepam karena obat ini larut dalam air, tidak menimbulkan rasa nyeri
pada saat pemberian, waktu paruhnya lebih singkat, dan menghasilkan metabolit yang kurang
aktif dibandingkan dengan diazepam. Midazolam jarang mendepresi sistem pernafasan,
namun dapat menimbulkan efek agitasi pada beberapa individu. Pemberian opioid dengan
14
dosis tertentu dapat mendepresi sistem pernafasan karena tempat kerjanya berada di reseptor
µ medulla oblongata yang dapat menghambat respon terhadap peningkatan CO2. Obat jenis
lain seperti ketamin dan propofol juga menjadi pilihan obat yang sering digunakan. Propofol
umumnya hanya dipakai untuk pasien anak dengan usia di atas 3 tahun (Mahajan VA,Ni
Chonghaile M, 2007).
Untuk pasien-pasien yang telah direncanakan sebelumnya untuk mendapat sedasi
selama prosedur berlangsung, sebaiknya dipuasakan terlebih dahulu (Morgan, 2013)
terdiri dari relaksasi otot, melemahnya ingatan, ataxia dan hilangnya keterampilan kerja,
seperti mengemudi. Durasi kerja obat untuk insomnia yang panjang, dapat menyebabkan
gangguan psikomotor, konsentrasi dan ingatan (Dan M, 2015).
Gambar 2.2. Perjalanan Gas Obat anestesi Inhalasi dari Mesin Anestesia ke Otak
Sumber: Morgan, 2013
Faktor-faktor yang menentukan kecepatan transfer obat anestesi di jaringan otak ditentukan
oleh:
• Kelarutan zat obat anestesi dalam darah
Kelarutan ini dinyatakan sebagai blood : gas partition coefficlent (λ), yaitu
perbandingan konsentrasi obat anestesi gas dalam darah dengan konsentrasinya
dalam gas yang diinspirasi setelah dicapai keseimbangan. Zat yang sangat mudah
larut misalnya dietileter dan metoksilluran, mempunyai nilai (λ) 12,1 ; sedangkan
etilen yang sukar larut mempunyai nilai (λ), 0,14. Nilai (λ) siklopropan adalah 0,42 ;
N2O 0,47 dan kloroform 9,4. Lamanya dicapai keseimbangan antara tekanan parsial
di alveoli dan darah tergantung dari kelarutan dalam darah ini, bila kelarutannya
tinggi, atau zat obat anestesi mudah larut dalam darah maka dibutuhkan waktu lebih
18
lama, sebab untuk obat ini darah merupakan reservoar; dengan demikian induksi
berjalan lebih lambat. Pada penggunaan eter, tekanan parsial dalam darah hanya 5%
dari tekanan parsial pada keseimbangan dengan sekali isap, sedangkan halotan 25%,
siklopropan atau N2O 65% dan etilen 85% (Sadikin, 2011).
• Kadar obat anestesi dalam udara inspirasi
Kadar obat anestesi dalam campuran gas yang dihirup menentukan tekanan
maksimum yang dicapai di alveoli maupun kecepatan naiknya tekanan parsial arteri.
Kadar obat anestesi yang tinggi akan mempercepat transfer obat anestesi ke darah,
sehingga akan meningkatkan kecepatan induksi anestesi (Sadikin, 2011).
• Ventilasi paru.
Hiperventilasi mempercepat masuknya obat anestesi gas ke sirkulasi dan
jaringan, tetapi hal ini hanya nyata pada obat anestesi yang larut dalam darah seperti
halotan. Untuk obat anestesi yang sukar larut dalam darah misalnya siklopropan,
N2O, pengaruh ventilasi ini tidak begitu nyata karena kadar darah arteri cepat
mendekati kadar alveoli (Sadikin, 2011).
• Aliran darah paru.
Bertambah cepat aliran darah paru, bertambah cepat pula pemindahan obat
anestesi dari udara inspirasi ke darah. Namun hal itu akan memperlambat peningkatan
tekanan darah arteri sehingga induksi anestesia akan lebih lambat khususnya oleh
obat anestesi dengan tingkat kelarutan sedang dan tinggi, misalnya halotan dan
isofluran (Sadikin, 2011).
• Perbedaan antara tekanan parsial obat anestesi di darah arteri dan vena.
Kecepatan difusi ke darah berbanding langsung dengan perbedaan tekanan
parsial obat anestesi gas di alveoli dan di dalam darah. Karena tekanan parsial obat
anestesi gas dalam aliran darah paru bertambah dengan ventilasi yang berulang kali
ke paru, maka pemindahan obat anestesi gas berlangsung lambat sampai tercapainya
keseimbangan (Sadikin, 2011).
19
2.4 Isofluran
Isofluran adalah obat anestesi volatil tidak mudah terbakar dengan bau yang tidak
terlalu menyengat. Walaupun isofluran merupakan isomer kimia dengan berat molekul yang
sama dengan enfluran, tetapi keduanya memiliki sifat fisikokimia yang berbeda (Morgan,
2013).
Koefisien partisi gas/darah isofluran adalah 1,4. Ini lebih kecil dibanding obat
inhalasi lainnya, kecuali desfluran 0,42 dan sevofluran 0,6–0,7, memungkinkan peningkatan
konsentrasi isofluran di alveolar terjadi lebih cepat. Penelitian oleh Frink dkk, pasien yang di
anestesi dengan isofluran kurang dari 1 jam, dapat membuka mata dengan perintah kira –
kira 7 menit setelah anestesi dihentikan. Pada pemberian yang lebih lama, yaitu selama 5 – 6
jam, munculnya respon dengan perintah relatif cepat, kira – kira 11 menit setelah isofluran
dihentikan. MAC isofluran berkisar 1,2. Induksi dengan isofluran relatif cepat tetapi isofluran
dapat mengiritasi jalan nafas bila digunakan pada awal induksi dengan masker pada
konsentrasi tinggi. Induksi lambat direkomendasikan untuk mengurangi efek iritatif saluran
nafas dan untuk menghindari tahan nafas dan batuk. Dalam praktek barbiturat kerja pendek
biasanya diberikan untuk memfasilitasi proses tersebut (Morgan, 2013), (Stoelting dan
Hillier, 2007).
Tekanan darah turun dengan cepat dengan makin dalamnya anestesi tetapi berbeda
dengan efek enfluran, curah jantung dipertahankan oleh isofluran. Hipotensi lebih
disebabkan oleh vasodilatasi di otot jantung. Pembuluh koroner juga berdilatasi dan aliran
koroner dipertahankan walaupun konsumsi O2 berkurang. Dengan demikian isofluran
20
dianggap lebih aman untuk pasien dengan penyakit jantung dibandingkan dengan halotan
atau enfluran. Namun pada kenyataannya, isofluran dapat menyebabkan iskemia miokardium
melalui fenomena coronary steal, yaitu pengalihan aliran darah dari daerah yang perfusinya
buruk ke perfusi yang lebih baik. Kecenderungan timbulnya aritmia sangat kecil, sebab
isofluran tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.(Bronco A, Ingelmo
PM, 2010)
Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan sistem saraf
pusat seperti pada pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak sementara
metabolisme otak hanya menurun sedikit. Sirkulasi otak tetap responsif terhadap CO2 maka
hiperventilasi bisa menurunkan aliran darah, metabolisme otak dan tekanan intrakranial.
Keamanan isofluran pada wanita hamil, atau waktu partus, belum terbukti. Isofluran dapat
merelaksasikan otot uterus sehingga tidak dianjurkan untuk analgesik pada saat persalinan.
Penurunan kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam sesudah anestesi tetapi tidak terjadi mual
muntah atau eksitasi sesudah operasi. Isofluran mengalami biotransformasi jauh lebih sedikit.
Asam trifluoroasetat dan ion fluor yang terbentuk jauh di bawah batas yang merusak sel.
Belum pernah dilaporkan gangguan fungsi ginjal dan hati sesudah penggunaan
isoflurane.(Puri GD, 2003) (Ashraf A,2005)
• Pasien yang pernah mendapat anestesi isoflurane atau obat inhalasi lainnya
dapat terjadi ikterus atau gangguan fungsi hepar atau eosinophilia pada masa
pasca anestesi.
• Nonselective MAO Inhibitor.
• Tekanan intrakranial tinggi
• Hipovolemia
• Hipotensi
malignant hipertermia, tidak ada pasien yang menunjukkan tanda-tanda atau gejala kekakuan
otot atau gangguan hipermetabolik. Intervensi awal yang agresif untuk mengobati
hiperkalemia dan aritmia dianjurkan, seperti evaluasi berkelanjutan untuk penyakit
neuromuskuler (Basher R, 2010).
Efek inhalasi isofluran pada sistem organ dan farmakologi isofluran dalam praktik klinis:
• Kardiovaskular
Efek depresi isofluran pada otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan
dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain. Pada penelitian in vivo isofluran
menyebabkan depresi minimal ventrikel kiri. Curah jantung dipengaruhi oleh
kenaikan detak jantung melalui baroreflexes karotis. Stimulasi ringan β-adrenergik
meningkatkan aliran darah otot rangka, mengurangi resistensi pembuluh darah
sistemik dan menurunkan tekanan darah arteri. Peningkatan konsentrasi isoflurane
mengakibatkan peningkatan sementara denyut jantung, tekanan darah arteri, dan
kadar plasma norepinefrin. Isofluran melebarkan arteri koroner, tetapi efeknya tidak
sama dengan nitrogliserin atau adenosin. Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil
pada penggunaan isofluran selama anestesi. Dengan demikian isofluran merupakan
obat pilihan untuk obat anestesi pasien yang menderita kelainan kardiovaskuler
(Morgan, 2013).
• Pernapasan
Seperti halnya obat anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga menimbulkan
depresi pernafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan. Depresi
pernapasan selama anestesi isofluran menyerupai anestesi lainnya, kecuali takipnea
yang kurang jelas. Rendahnya tingkat isofluran (0,1 MAC) menumpulkan respon
ventilasi normal terhadap hipoksia dan hiperkapnia. Meskipun isofluran memiliki
kecenderungan untuk mengiritasi refleks jalan napas atas, isofluran dianggap sebagai
bronkodilator yang baik namun tidak sebaik bronkodilator golongan halotan (Sadikin,
2011).
25
• Serebral
Efek yang ditimbulkaan terhadap sistem saraf pusat sesuai dengan dosis yang
diberikan. Isofluran tidak menimbulkan kelainan EEG seperti yang ditimbulkan oleh
enfluran. Pada dosis anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan
mekanisme sirkulasi serebrum, autoregulasi aliran darah otak tetap stabil. Kelebihan
lain yang dimiliki oleh isofluran adalah penurunan konsumsi oksigen otak. Sehingga
dengan demikian isofluran merupakan obat pilihan untuk anestesi pada kraniotomi,
karena tidak berpengaruh pada tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi
serebral dan efek metaboliknya yang menguntungkan pada teknik hipotensi kendali
(Morgan, 2013).
• Neuromuskular
Isofluran memiliki efek melemaskan otot rangka. Penurunan tonus otot
rangka terjadi melalui mekanisme depresi pusat motorik pada serebrum, sehingga
dengan demikian berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Walaupun demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot untuk mendapatkan
keadaan relaksasi otot yang optimal terutama pada operasi laparatomi (Sadikin,
2011).
• Renal
Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju fitrasi
glomerulus sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi kondisi ini masih dalam
batas normal (Morgan, 2013).
• Hati
Jumlah aliran darah hati (arteri hepatik dan aliran vena portal) berkurang
selama anestesi isofluran. Suplai oksigen hati dipertahankan lebih baik dengan
isofluran dibandingkan dengan halotan, sehingga fungsi hati biasanya tidak
terpengaruh (Morgan, 2013).
26
Tabel 2.4. Efek Anestesi Inhalasi Pada Berbagai Organ (Morgan, 2013)
• Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi yang spesifik pada penggunaan isofluran. Pasien
dengan hipovolemia berat mungkin tidak dapat mentolerir efek vasodilatasi. Hal ini
dapat memicu malignan hipertermia (Morgan, 2013).
• Interaksi obat
Penggunaan isofluran yang bersamaan dengan epinefrin dapat dengan aman
diberikan sampai dengan dosis epinefrin 4,5 mcg/kg (Morgan, 2013).
• Penggunaan Klinik
Sama seperti halotan dan enfluran, isofluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum. Disamping efek hipnotik,
juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi ringan. Untuk mengubah cairan
isofluran menjadi uap, diperlukan alat penguap (vaporizer) khusus isofluran (Sadikin,
2011).
• Keuntungan dan Kelemahan
Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap
mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dari halotan, tidak menimbulkan mual
muntah, dan tidak menimbulkan menggigil. Penilaian terhadap pemakaian isofluran
saat ini adalah bahwa isofluran tidak menimbulkan gangguan terhadap fungsi
kardiovaskuler, tidak mengubah sensitivitas otot jantung terhadap katekolamin,
isofluran sangat sedikit mengalami pemecahan dalam tubuh dan tidak menimbulkan
efek eksitasi sistem saraf pusat. Kelemahannya dari penggunaan isofluran adalah
batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya
kurang, sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain (Morgan, 2011).
2.5. Aminophylline
Aminophylline merupakan bentuk garam dari teofilin. Mekanisme kerjanya yaitu
dengan menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) sehingga mencegah pemecahan cAMP
28
dan cGMP masing-masing menjadi 5’-AMP dan 5’-GMP. Penghambatan PDE menyebabkan
akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot polos termasuk
otot polos bronkus. (Wu CC, Lin CS, 2006)
Aminophylline adalah salah satu obat bronkodilator golongan xantin yang memiliki
efek mendilatasi bronkus. Aminophylline merupakan senyawa kompleks teofilin dengan
etilendiamin, dengan kandungan teofilin anhidrat bervariasi antara 79-86 %. Dalam tubuh
Aminophylline terurai menjadi teofilin. Teofilin termasuk obat-obat yang mempunyai
lingkup terapi (therapeutic windows) sempit (10-20 mcg/ml). Artinya, jarak antar dosis
terapatik dan dosis toksis kecil, sehingga efek toksik akan mudah timbul apabila dosis atau
kadarnya melewati ambang toksik. (Farsad dkk, 2017)
2.5.1 Farmakokinetik
Obat golongan xantin seperti Aminophylline cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal
ataupun parenteral. Kelarutan Aminophylline lebih besar daripada teofilin, tetapi ternyata
derajat absorpsinya tidak banyak berbeda. Setelah pemberian per-oral, obat ini diabsorpsi
dengan cepat, sehingga kadang-kadang terjadi lonjakan kadar dalam darah yang
menimbulkan gejala efek samping. Pemberian teofilin/Aminophylline bersama dengan
29
katekolamin dan simpatomimetik golongan amina harus hati-hati karena dapat memperkuat
terjadinya takiaritmia. Teofilin mengalami metabolisme terutama di hepar dan ± 8 % fraksi
obat diekskresikan melalui urin dalam bentuk tetap. Aminophylline dapat mencapai kadar
puncak plasma dalam waktu 2 jam, tetapi saat ini ada teofilin lepas lambat yang bisa bertahan
dengan interval 8, 12 atau 24 jam. Adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi Aminophylline atau golongan xantin lainnya. Pemberian IM dapat
menyebabkan nyeri lokal yang sangat lama. Metilxantin dapat menembus plasenta dan
masuk ke air susu ibu. Dalam keadaan normal ikatan golongan xantin dengan protein sebesar
60% tetapi pada keadaan sirosis hepatis ikatan protein menurun menjadi 40%. Eliminasi
xantin terutama melalui metabolisme hepar. Sebagian besar dieliminasi bersama urin dalam
bentuk asam metilurat atau metilxantin, kurang dari 20% Aminophylline ditemukan dalam
bentuk utuh dalam urin.(Altan A,2005) (Ekman A,2010)
morfin Intravena untuk anestesia (Louisa, 2011). Bukti empiris menunjukkan bahwa
Aminophylline yang diberikan pada akhir operasi dapat mempersingkat waktu pulih
sadar dari anestesi umum dan meningkatkan kualitas pemulihan (Huphfl dkk, 2008).
• Medula Oblongata
Metilxantin seperti Aminophylline dapat merangsang pusat nafas pada medula
oblongata dengan meningkatkan kepekaan pusat nafas terhadap perangsangan CO2.
Selain itu juga dapat menimbulkan mual dan muntah karena perangsangan sentral
maupun perifer. Muntah dapat terinduksi bila kadar dalam plasma melebihi 15
mcg/ml (Louisa, 2011).
• Sistem Kardiovaskular
Pada jantung Aminophylline atau teofilin dapat meningkatkan frekuensi denyut
jantung. Sedangkan pada pembuluh darah Aminophylline atau teofilin menyebabkan
dilatasi pembuluh darah termasuk pembuluh darah koroner dan pulmonal karena efek
langsung pada otot pembuluh darah. Pada sirkulasi otak xantin menyebabkan
hambatan adenosin yang penting untuk pengaturan sirkulasi otak. Pada sirkulasi
koroner golongan xantin menyebabkan vasodilatasi arteri koroner dan bertambahnya
aliran darah koroner. Selain itu golongan xantin juga meningkatkan kerja jantung atau
kontraksi jantung (Louisa, 2011).
• Otot Polos dan Otot Rangka
Golongan xantin dapat merelaksasi otot polos terutama otot polos bronkus
dengan menghambat enzim PDE. Aminophylline juga menyebabkan penurunan
motilitas usus untuk sementara waktu. Pada otot rangka golongan xantin dapat
memperbaiki kontraktilitas dan mengurangi kelelahan otot diafragma (Katzung,
2014).
Semua golongan xantin meningkatkan produksi urin tetapi efeknya hanya
sebentar. Diduga efek ini melalui mekanisme penghambatan reabsorbsi elektrolit di
tubulus proksimal tanpa disertai perubahan filtrasi ataupun perubahan aliran darah ke
31
ginjal. Golongan xantin dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam plasma
dan dapat meningkatkan metabolisme basal (Louisa, 2011).
Baik pada saat tidur maupun dalam pengaruh anestesi, terjadi hambatan jalur
asending neuron yang menyusun sistem bangun (arousal). Pada saat tidur neuron GABA-
ergik di nukleus praoptik ventrolateral menghambat komponen sistem tersebut melalui
reseptor GABA. Diketahui bahwa kebanyakaan obat anestesi bekerja pada reseptor GABA
agonis yang menghambat aktivitas sistem arousal dengan mengaktivasi reseptor GABA yang
sama yang digunakan pada saat proses tidur. Hasilnya berupa perlambatan dari aktivitas
talamokortikal baik pada tidur maupun anestesi (Brown, 2010).
Obat anestesi umum dapat menghasilkan pola gambaran EEG yang jelas, yaitu
aktivitas gelombang rendah dan aktivitas gelombang tinggi yang meningkat secara progresif
dengan bertambah dalamnya anestesi. Ternyata gambaran EEG tersebut didapatkan juga
pada pasien yang dalam keadaan koma, disamping pola aktivitas EEG akibat kerusakan otak
yang bergantung pada luas kerusakan tersebut. Dengan demikian fakta tersebut menunjukkan
bahwa anestesi umum adalah suatu kondisi reversibel dari koma yang disebabkan oleh obat,
meskipun dokter anestesi menyebutnya dengan kondisi tidur (Brown, 2010).
perintah verbal). Eliminasi paru ditentukan oleh ventilasi alveolar, koefisien partisi darah -
gas, dan dosis (MAC-jam). kecepatan pulih sadar berbanding terbalik dengan kelarutan obat
dalam darah, makin rendah daya kelarutannya makin cepat eliminasi dari paru. Bila anestesi
berkepanjangan, maka proses pulih sadar juga bergantung pada total ambilan obat anestesi
oleh jaringan, yang juga berkaitan dengan daya kelarutan, kadar rata-rata yang digunakan,
dan lamanya pasien terpapar (Sinclair, 2006).
2.8 BIS
Indeks Bispectra [BIS] memantau kedalaman anestesi yang memungkinkan dokter
untuk mengelola dosis obat minimal yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan hipnosis yang
adekuat. Ini adalah salah satu dari beberapa teknologi yang digunakan untuk memantau
kedalaman anestesi. Menetapkan dosis obat anestesi dengan cara melihat dari nilai
BIS selama anestesi umum pada orang dewasa dan anak-anak berusia di atas 1 tahun
memungkinkan dokter anestesi untuk menyesuaikan dosis obat anestesi untuk
kebutuhan pasien, sehingga memungkinkan waktu pulih sadar lebih cepat dari efek obat
anestesi. Sistem pemantauan Bispectral Index memungkinkan dokter anestesi untuk melihat
informasi EEG yang diproses sebagai dasar untuk mengukur pengaruh anestesi tertentu
selama pembedahan yang dipantau dengan menggunakan BIS. Indeks BIS adalah parameter
EEG yang diproses dengan validitas yang ekstensif dan menunjukkan utilitas klinis. Hal ini
dilakukan dengan memanfaatkan gabungan pengukuran dari pemrosesan sinyal EEG,
termasuk analisis bispectral, spektral daya analisis, dan analisis domain waktu. Langkah-
langkah ini dikombinasikan melalui algoritma untuk mengoptimalkan korelasi antara EEG
dan efek klinis anestesi, dan dihitung dengan menggunakan BIS Index (Ekman A, Lindholm
ML, 2010).
Pada tahun 1996, Administrasi Makanan dan Obat-obatan A.S menyatakan Indeks
BIS sebagai alat bantu dalam memantau efek tertentu pada obat anestesi. Pada tahun 2003,
Administrasi Makanan dan Obat-obatan memberikan pernyataan tambahan yang
35
Sensor non-invasif memiliki perekat seperti pada EEG. Setelah diletakkan pada dahi
dan pelipis pasien dengan alkohol dan dilakukan pengeringan kulit untuk memastikan
didapatkan sinyal yang berkualitas, sensor diletakkan diatas pelipis kiri atau kanan. Sensor
37
kemudian mengirimkan informasi EEG mentah melalui kabel dan konverter ke mesin BIS.
Data EEG akan diproses sesuai dengan algoritma yang menggabungkan pilihan gambaran
EEG untuk menghasilkan indeks BIS. Indeks ini adalah angka Antara 0 dan 100 yang
ditampilkan dimonitor dan menggambarkan tingkat sedasi pasien. Nilai BIS antara 40 dan
60 menunjukkan tingkat yang sesuai untuk anestesi umum seperti yang direkomendasikan.
Inti dari BIS adalah mengolah sinyal kompleks (EEG), analisis dan proses hasilnya menjadi
satu nomor. (El Yacoubi M, 2008)
Gambar 2.8 Indeks BIS dikelompokkan untuk berkorelasi dengan titik akhir klinis
penting selama pemberian obat anestesi.
PET
% BMR 100 64 54 38
BIS 95 66 62 34
Gambar 2.9 Korelasi yang signifikan terlihat antara penurunan tingkat metabolisme otak (%
BMR = persen metabolisme glukosa awal seluruh otak yang diukur dari pemindaian PE T) dan
peningkatan efek anestesi (yang diukur dengan penurunan nilai BIS).
38
Pada akhirnya, penting untuk dicatat bahwa nilai BIS memberikan pengukuran status otak
yang berasal dari EEG, bukan konsentrasi obat tertentu. Sebagai contoh, nilai BIS menurun
selama tidur alami dan juga selama pemberian obat anestesi (Lambert P,2006).
39
Menghambat
SSP Relaksasi otot polos
pembentukan PDE, cAMP
meningkat
PULIH SADAR
NaCl 0,9 %
( Normal Saline)
= Variabel bebas
= Variabel tergantung
3.2.2 Waktu
Penelitian dimulai setelah mendapat ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) dan izin dari RSUP Haji Adam
Malik Medan diterbitkan sampai dengan jumlah sampel terpenuhi.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah populasi yang mememenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Sampel ini di bagi menjadi 2 kelompok yaitu:
41
42
2s 2 (Z (1-a / 2 ) + Z (1- b ) )
2
n1 = n2 ³
(µ1 - µ 2 )2
43
Dimana:
Z (1-a / 2 ) = deviat baku alpha. utk a = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96
Z (1- b ) = deviat baku alpha. utk b = 0,10 maka nilai baku normalnya 1.282
3.7.1.2 Bahan
a. Obat premedikasi: midazolam 0,05 mg/kg dan fentanil 2mcg/kg.
b. Obat-obatan induksi anestesi umum: propofol 2 mg/kg, rocuronium 1 mg/kg
c. Obat pemeliharaan anestesi: isofluran 0,5-1,5 vol% dan O2: Air 50 % : 50 %,
rocuronium 0,1-0,2 mg/kg setiap 20-30 menit, fentanil 0,5-1,0 mcg/kg bila
tekanan darah dan laju nadi meningkat >20% dari nilai basal.
d. Cairan: ringer laktat
e. Obat-obatan emergensi: efedrin 5 mg/ml dan sulfas atropin 0,25 mg/ml yang
sudah teraplus
f. Obat yang diteliti: Aminophylline (Phapros)
g. Cairan kristaloid NaCl 0,9%
10. Hasil data pengamatan pada kedua kelompok dibandingkan secara statistik
11. Penelitian dihentikan apabila subjek penelitian menolak untuk berpartisipasi
lebih lanjut, operasi memanjang sehingga dibutuhkan tambahan obat anestesi
umum, terjadi reaksi alergi terhadap Aminophylline dan terjadi
kegawatdaruratan jalan nafas, jantung, paru, otak yang mengancam jiwa.
Populasi
Inklusi Eksklusi
Sampel
Randomisasi
Kelompok A Kelompok B
Selesai penjahitan kutis isofluran di hentikan, setelah nafas spontan diberikan reversal dan diberikan
aminophylline dicatat sebagai T0. Kemudian dinilai tingkat sedasi dengan menggunakan BIS
Aminophylline diberikan 20cc dengan alat Syringe Pump, NaCl 0,9% diberikan 20cc dengan alat Syringe Pump,
kemudian dibalut dengan kertas. kemudian dibalut dengan kertas.
Penilaian Bispectral Index dengan waktu pulih sadar dengan metode BIS
5’(T1), 10’(T2), 15’(T3), 20’(T4), 25’(T5) dan 30’(T6). Apabila nilai BIS >
90% maka penilaian akan dihentikan karena pasien sudah dianggap sadar.
Tabulasi Data
12
10
0
19-32 33-46 47-60
Gambar 4.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin dan PS ASA
50
51
14
12
10
0
Laki - Laki Perempuan
sebanyak 15 orang (65,3%) dan pada kelompok NaCl 0,9 % sebanyak 14 orang (60,9%).
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin sampel didapati data yang relatif homogen (p>0,05).
14
12
10
0
PS ASA 1 PS ASA 2
70
68
66
64
62
60
T0
Pada T2, nilai BIS rata – rata pada kelompok aminophylin adalah 90,30% dan pada kelompok
NaCl 0,9 % adalah 82,04%. Berdasarkan uji Independent T-Test didapati perbedaan yang
bermakna pada nilai rata – rata BIS di T2 (p<0,05).
93
92
91
90
89
88
87
86
T3
Pada T3 terdapat rata – rata nilai BIS pada kelompok Aminophylin adalah 93,56% dan pada
kelompok NaCl 0,9% adalah 88,84%. Berdasarkan uji Independent T-Test didapati perbedaan
yang bermakna pada nilai rata – rata BIS di T3 (p<0,05).
4.2.5. Efek Obat Perlakuan pada T4
Tabel 4.8. Nilai Rerata BIS pada T4
Obat Mean BIS T4 N Standart Deviasi P Value
Aminophilin 97,90% 2 2,828
NaCl 0,9% 96,93% 15 1,668 0,000
97,8
97,6
97,4
97,2
97
96,8
96,6
96,4
T4
Pada tabel 4.9 didapati bahwa pada kelompok aminophilin didapati jumlah sampel yang waktu
pulih sadar pada T2 sebesar 14 sampel (60,8%), dan sampel yang waktu pulih sadarnya pada
T 3 sebesar 6 sampel (26,1%), sedangkan sampel yang waktu pulih sadarnya pada T4 sebanyak
3 sampel (13,1%).
57
Pada tabel 4.10 dapat dilihat bahwa pada kelompok NaCl 0,9 % didapati jumlah sampel yang
waktu pulih sadar pada T2 sebanyak 4 orang (17,4%) dan sampel yang waktu pulih sadar pada
T3 sebanyak 3 Orang (13,1%). Lalu sampel yang waktu pulih sadarnya pada T4 yaitu sebanyak
16 orang (69,5%).
Tabel 4.5. Perbandingan Nilai Rata-rata antara Aminophilin dengan NaCl 0,9% terhadap
Waktu Pulih Sadar
Obat N Rata – Rata Waktu Pulih P Value*
Aminophilin 23 10.48
NaCl 0.9% 23 15.48 0.000
Total 46
*Mann-Whitney
Pada tabel 4.5 didapati hasil bahwa waktu pulih rata – rata subjek penelitian pada
kelompok Aminophilin selama 10,48 menit sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% didapati
nilai rata – rata selama 15,48 menit. Dengan nilai p < 0,05 menggunakan uji Mann-Whitney.
100
80
60
40
20
0
T0 T1 T2 T3 T4
Gambar 4.4. Grafik perbedaan rata-rata nilai Bispectral Index pada kedua kelompok
penelitian
58
Dari Grafik diatas (gambar 4.2.) dapat dilihat bahwa kelompok aminophylin
mempunyai rerata nilai Bispectral Index yang lebih cepat meningkat dibandingkan dengan
kelompok NaCl 0,9% pada T0 – T4.
BAB 5
PEMBAHASAN
Pulih sadarnya pasien yang mendapat obat anestesi volatil bergantung pada
eliminasi obat dari paru dan MACawake (kadar end-tidal yang berkaitan dengan membuka
mata dengan perintah verbal). Eliminasi paru ditentukan oleh ventilasi alveolar, koefisien
partisi darah - gas, dan dosis (MAC-jam). Kecepatan pulih sadar berbanding terbalik
dengan kelarutan obat dalam darah, makin rendah daya kelarutannya makin cepat eliminasi
dari paru. Bila anestesi berkepanjangan, maka proses pulih sadar juga bergantung pada total
ambilan obat anestesi oleh jaringan, yang juga berkaitan dengan daya kelarutan, kadar
rerata yang digunakan, dan lamanya pasien terpapar (Sinclair, 2006).
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juli – September 2018 di Instalasi Bedah Pusat
RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan dengan metode double blind randomized
sampling. Penelitian ini diikuti oleh 46 orang yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi.
Pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1 pada kelompok aminophylin didapati
kelompok umur 19-32 tahun diikuti oleh 0 (0%) sampel, pada kelompok umur 33-46 tahun
diikuti oleh 11 (47,8%) sampel dan kelompok umur 47-60 tahun diikuti oleh 12 (52,2%)
sampel. Sementara pada kelompok NaCl 0,9% kelompok umur 19-32% diikuti oleh 5
(21,8%) sampel, kelompok umur 33-46 diikuti oleh 9 (39,1%) sampel dan pada kelompok
umur 47-60 tahun diikuti oleh 9 (39,1%) sampel. Berdasarkan karakteristik usia pasien
didapatidata yang relatif homogeny (p>0,05)
Pada tabel 4.2 dapat dilihat juga bahwa pada kelompok aminophilin diikuti oleh 8
(34,7%) sampel yang berjenis kelamin laki-laki dan 15 (65,3%) sampel berjenis kelamin
59
60
perempuan. Sementara pada kelompok NaCl 0,9% didapati bahwa 9 (39,1%) sampel
berjenis kelamin laki-laki dan 14 (60,9%) sampel berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan
karakteristik jenis kelamin sampel didapati data yang relatif homogen (p>0,05)
Pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa pada kelompok aminophilin dijumpai 10 (43,4)
sampel digolongkan kedalam kelompok PS ASA 1 dan 13 (56,5%) sampel digolongkan
kedalam kelompok PS ASA 2. Sementara pada kelompok NaCl 0,9% sebanyak 14 (60,8%)
sampel digolongkan kedalam kelompok PS ASA 1 dan 9 (39,2%) sampel digolongkan
kedalam kelompok PS ASA 2. Berdasarkan karakteristik PS ASA sampel didapati data
yang relatif homogen (p>0,05)
Pada penelitian ini juga dinilai efek pemberian obat perilaku terhadap waktu pulih
sadar. Pada kelompok aminophilin didapati 14 (60,8%) sampel yang waktu pulih sadarnya
pada T2, 6 (26,1%) sampel yang waktu pulih sadarnya pada T3, dan 3 (13,1%) sampel yang
waktu pulih sadarnya pada T4. Sementara pada kelompok NaCl 0,9% 4 (17,4%) sampel
yang waktu pulih sadarnya pada T2, 3 (13,1%) sampel yang waktu pulih sadarnya pada T3
dan 16 (69,5%) sampel yang waktu pulih sadarnya pada T4.
Pada penelitian yang dilakukan pada 46 sampel yang dibagi menjadi 2 kelompok ini
didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan bermakna terhadap kedua kelompok terhadap
nilai waktu pulih sadar pada pasien dengan general anestesi. Berdasarkan penelitian ini
61
didapatkan waktu pulih sadar dengan aminofilin rata-rata 10,48 menit dihitung mulai dari
T0 (saat pemberian aminofilin) dan pada NaCl 0.9% waktu rata-rata 15.48 menit dihitung
dari T0 (saat pemberian aminofilin), dimana dari kedua obat yang diberikan aminofilin
lebih dapat mempercepat waktu pulih sadar pada pasien dengan general anestesi. Ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan farsad pada tahun 2017 yang menunjukan bahwa waktu
untuk melakukan ekstubasi pasca operasi secara signifikan lebih singkat pada kelompok
yang mendapat Aminophylline 5 mg/KgBB (10,4 ± 4,78 menit), kemudian disusul
kelompok Aminophylline 1 mg/KgBB (11,15 ± 8,2 menit) dan paling lama pada kelompok
yang mendapat normal saline yaitu kelompok kontrol (12,26 ± 7,33 menit) dengan p-value
= 0,001. Selain itu jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai skor BIS ≥ 90 secara
signifikan juga lebih singkat pada kelompok yang mendapat Aminophylline 5 mg/KgBB
(10,6 ± 3,7 menit) kemudian disusul kelompok Aminophylline 1 mg/KgBB (11,5 ± 5,6
menit) dan paling lama pada kelompok yang mendapat normal saline yaitu kelompok
kontrol (14,4 ± 4,2 menit) dengan p-value = 0,001. (Farsad, 2017).
hipnotis adenosin lebih dulu telah dilakukan pada hewan percobaan dan efek
tidur(soporific) dari pemberian adenosin sistemik dan pusat juga telah diteliti pada manusia
(Turan dkk, 2010). Pada penelitian ini selama penelitian tidak didapatkan efek samping
yang bermakna sesudah pemberian Aminofilin intravena.
Indeks Bispektral indeks merupakan parameter EEG yang diproses dengan validasi
lanjutan dan menunjukkan kemampuan klinisinya. Alat ini menilai komponen pengukuran
dari teknik proses sinyal EEG termasuk analisis bispektral, analisis power spectral dan
analisis waktu. Pemantauan dengan BIS disebutkan oleh Bilgill dkk, 2017 pada pasien
intensif menyebutkan bahwa dengan pemantauan BIS ini, dosis pemberian obat sedasi
dapat berkurang, begitu juga dengan waktu pulih dan sadar nya dapat lebih cepat
dibandingkan pasien yang tidak dipantau dengan BIS. Walaupun ada beberapa kekurangan
pada penelitian tersebut dan menegaskan perlunya untuk ditelaah dan diteliti lebih lanjut
dengan subjek terkontrol, random agar penggunaan BIS dapat menjadi modalitas pada
pasien perawatan intensif.
63
Sedangkan pada penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Amer dkk pada tahun
2015, dimana penelitian dilakukan mengenai efek pemberian magnesium sulfat pada nilai
BIS selama anestesi umum pada kelompok usia anak-anak. Kesimpulan yang dapat ditarik
pada penelitian tersebut adalah, Aminofilin dapat secara signifikan meningkatkan nilai BIS,
waktu yang lebih singkat untuk mencapai BIS diatas nilai 60, menurunkan volume tidal dan
menurunkan laju pernafasan selama anestesi umum pada kelompok umur tersebut. Hal ini
menjadi tujuan peneliti untuk menelaah pemberian aminofilin dengan metode yang sama
menggunakan BIS namun pada kelompok pasien usia dewasa.
BAB 6
6.1 Kesimpulan
1. Pemberian NaCl 0.9% pada pasien dengan general anestesi tidak mempengaruhi
waktu pulih sadar pasca general anestesi yang dinilai dengan menggunakan
bispectral index.
2. Pemberian aminophylline pada pasien dengan general anestesi dapat mempercepat
waktu pulih sadar pasca general anestesi yang dinilai dengan menggunakan
bispectral index.
3. Pemberian aminophylline pada pasien dengan general anestesi dapat mempercepat
waktu pulih sadar pasca general anestesi dibandingkan dengan NaCl 0.9% yang
dinilai dengan menggunakan bispectral index.
6.2 Saran
64
DAFTAR PUSTAKA
65
66
Myles PS, Leslie K, McNeil J, Forbes A, Chan MT. Bispectral index monitoring to prevent
awareness during anaesthesia: the Bi-Aware randomised controlled trial. Lancet. 2010
May 29;363(9423):1757-63.
Myles PS, Leslie K, McNeil J, Forbes A, Chan MT. Bispectral index monitoring to prevent
awareness during anaesthesia: the B-Aware randomised controlled trial. Lancet.
2010;363(9423):1757-1763.
Ohri AK, Sharma DR, Thakur JR, Santoshi ID. Halothane induced sedation: antagonism
with Aminophylline . Journal of Anaesthesiology Clinical Pharmacology 2014; 14:
255–62.
Porkka-Heiskanen T. Adenosine in sleep and wakefulness. Ann Med. 2009;31(2):125–9.
[PubMed: 10344585].
Puri GD, Murthy SS. Bispectral index monitoring in patients undergoing cardiac surgery
under cardiopulmonary bypass. Eur J Anaesthesiol. 2013 Jun;20(6):451-6.
Recart A, Gasanova I, White PF, Thomas T, Ogunnaike B, Hamza M, Wang A. The effect
of cerebral monitoring on recovery after general anesthesia: a comparison of the
auditory evoked potential and bispectral index devices with standard clinical practice.
Anesth Analg. 2013 Dec;97(6):1667-74
Sakurai S, Fukunaga A, Fukuda K, Kasahara M, Ichinohe T, Kaneko Y. Aminophylline
reversal of prolonged postoperative sedation induced by propofol. J Anesth.
2008;22(1):86–8. doi: 10.1007/s00540-007- 0587-x. [PubMed: 18306023]
Sakurai S, Fukunaga A, Fukuda K, Kasahara M, Ichinohe T, Kaneko Y. Aminophylline
reversal of prolonged postoperative sedation induced by propofol. J Anesth.
2008;22:86–88. doi: 10.1007/s00540-007-0587-x.
Schneider G, Gelb AW, Schmeller B, Tschakert R, Kochs E. Detection of awareness in
surgical patients with EEG-based indices—bispectral index and patient state index. Br
J Anaesth. 2012 Sep;91(3):329-35.
68
Wu CC, Lin CS, Wu GJ. Doxapram and Aminophylline on bispectral index under
sevoflurane anaesthesia: a comparative study. Euro J Anaesthesiol. 2016;23:937–941.
Yokoba M, Ichikawa T, Takakura A, Ishii N, Kurosaki Y, Yamada Y, et al. Aminophylline
increases respiratory muscle activity during hypercapnia in humans. Pulm Pharmacol
Ther. 2015;30:96–101. doi: 10.1016/j.pupt.2014.03.006. [PubMed: 24721495].
70
Lampiran 1
Curriculum Vitae
Riwayat Pendidikan
1987 - 1993 : SD Hagu Selatan Lhokseumawe Aceh Utara
1993 - 1996 : SMP N 1 Lhokseumawe Aceh Utara
1996 - 1999 : SMA N 1 Lhokseumawe Aceh Utara
1999 - 2007 : Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
2014 – Sekarang : PPDS-1 Anestesiologi dan Terapi Intensif FK- USU
Lampiran 2
Tahapan 2018
Penelitian Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September
Bimbingan
proposal
Seminar
Proposal
Perbaikan
Proposal
Komisi etik
penelitian
Pengumpulan
data
Pengolahan
dan analisa
data
Bimbingan
penyusunan
laporan akhir
Seminar akhir
penelitian
Perbaikan
laporan akhir
penelitian
72
LAMPIRAN 3
A. Data Penelitian
Target Nilai BIS > 90
Waktu T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
BIS
B. Efek Samping
Waktu T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
bat (5 Menit (10 (15 (20 (25 (30
penelitian setelahT0) Menit Menit Menit Menit Menit
dimasukkan) setelah setelah setelah Setelah Setelah
T0) T0) T0) T0) T0)
Hipotensi
Takikardia
Shock
Alergi
NRM :
Nama : 74
Lampiran 4 Jenis Kelamian :
Tgl. Lahir :
Pemberi Informasi :
Penerima Informasi :
Nama Subyek :
Jenis Kelamin :
Alamat :
7 Risiko & efek samping Pada umumnya, penelitian ini tidak akan
dalam penelitian menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi
Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian. Adapun efek samping
77
8 Ketidak nyamanan -
subyek penelitian
10 Alternatif Penanganan -
bila ada
12 Biaya yang ditanggung Seluruh biaya yang berkaitan diluar prosedur normal akan
oleh peneliti ditanggung oleh peneliti, biaya penelitian terlampir
13 Insentif bagi subyek Sebagai ucapan terima kasih saya sebagai peneliti akan
memberikan souvenir berupa handuk kepada
Bapak/Ibu/Saudara/I yang tercatat sebagai subjek
penelitian ini.
Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 dan 2 mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh
: dr. Awang Supriady dengan judul :
Dengan menandatangani formulir ini saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam penelitian di atas
dengan suka rela tanpa paksaan daripihak manapun. Apabila suatu waktu saya merasa dirugikan dalam
bentuk apapun, saya berhak membatalkan persetujuan ini.
------------------------------------------- -------------------------------------------
Tanda Tangan Subyek atau Cap jempol Tanggal
-------------------------------------------
Nama Subyek
------------------------------------------- -------------------------------------------
-------------------------------------------
Nama saksi/wali
Ket : Tanda Tangan saksi/wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis, penurunan kesadaran, mengalami
gangguan jiwa dan berusia dibawah 18 tahun.
Inisial subyek ….
79
Lampiran 5
ANGGARAN PENELITIAN
Nomor Sekuens
00 – 04 AAABBB
05 – 09 AABABB
10 – 14 AABBAB
15 – 19 AABBBA
20 – 24 ABAABB
25 – 29 ABABAB
30 – 34 ABABBA
35 – 39 ABBAAB
40 – 44 ABBABA
45 – 49 ABBBAA
50 – 54 BAAABB
55 – 59 BAABAB
60 – 64 BAABBA
65 – 69 BABAAB
70 – 74 BABABA
Ujung pena dimulai dari nomor 56
75 – 79 BABBAA selanjutnya berurut ke ke kanan dan
disusun berurut hingga berjumlah 46
80 – 84 BBAAAB sampel dengan sekuens
(56) BAABAB (61) BAABBA
85 – 89 BBAABA (66) BABAAB (25)ABABAB
(24) ABABAB (30) ABABBA
90 – 94 BBABAA (45) ABBBAA (25) ABABAB
95 – 99 BBBAAA
Kelompok A : Aminophyllin
Kelompok B. : NaCl 0.9%