Review Jurnal

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

Judul Local Wisdom for Sustainable Development of Rural Tourism,

Case on Kalibiru and Lopati Village, Province of Daerah


Istimewa Yogyakarta

Jurnal Procedia - Social and Behavioral Sciences

Volume dan Halaman Hal. 97 – 108

Tahun 2016

Penulis Vincentia Reni Vitasurya

Review Jurnal

1. Latar Belakang
Ekowisata adalah jenis pariwisata baru yang sedang dikembangkan di Indonesia, meskipun
telah diperkenalkan secara internasional sejak Oktober 1999 oleh Organisasi Pariwisata Dunia
(WTO), (Gunawan, 1997), dan telah mengeluarkan “Global Code of Etika untuk Pariwisata
”sebagai dorongan bagi negara-negara di dunia untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan.
Yogyakarta sebagai kota pariwisata juga dipengaruhi oleh tren baru. Pariwisata berbasis aktivitas
atau ekowisata dan budaya ini mulai bermunculan DI Yogyakarta. Data untuk 2012 dari
departemen pariwisata menyatakan bahwa jumlahnya mencapai 97 desa wisata (Departemen
Statistik Pariwisata Budaya dan Pariwisata DIY 2012). Lokasi penelitian ini adalah dua desa
yang terletak di Kabupaten Belitung DI Yogyakarta, Kalibiru dan Lopati. Mereka dipilih dengan
pertimbangan bahwa keduanya memiliki ciri khas yang unik benda-benda alami yang berada di
desa Kalibiru dan industri rumah tangga pedesaan di Lopati.
Desa adalah lingkungan binaan yang berfungsi sebagai kesatuan budaya yang mengandung
unsur manusia, alam dan fisik manifestasi budaya termasuk arsitektur, oleh karena itu
pemahamannya harus mengikuti kompleksitasnya elemen. Pemahaman bahasa alami, manusia
dan arsitektur sebagai salah satu cara untuk mengeksplorasi potensi pengetahuan indegeneus dan
sebagai bentuk kearifan lokal yang telah terbukti mampu menjaga keseimbangan kehidupan
masyarakat secara harmonis, tahan lama dan berkelanjutan. Secara umum, kearifan lokal muncul
melalui proses internal dan berlalu untuk waktu yang lama sebagai akibat dari interaksi antara
manusia dan lingkungannya. Proses evolusi yang panjang ini akan mengarah pada munculnya
sistem nilai yang mengkristal dalam bentuk common law, kepercayaan dan budaya lokal.
Dengan demikian, pada dasarnya kearifan lokal adalah norma dipraktikkan dalam masyarakat
yang diyakini dengan setia dan menjadi referensi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Karena
itu Wajar jika Geertz (1973) mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
penting bagi martabat manusia di Indonesia masyarakat. (Ernawi, 2009).

2. Tujuan Penelitian

Untuk mencari tahu kearifan lokal yang menjadi dasar pelestarian dalam pengembangan
pariwisata pedesaan.

3. Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Partisipatif dengan perspektif pelestarian
lingkungan. Jenis penelitian ini menekankan keterlibatan target sebagai subjek aktif, menjadikan
pengalaman mereka sebagai bagian integral dalam penelitian, menemukan masalah, dan
diarahkan untuk memecahkan masalah dengan menargetkan konteks pemberdayaan subjek
penelitian. Untuk mencapai ini, kegiatan penelitian dan tindakan digabung menjadi satu dan
dilakukan terus menerus dan saling melengkapi untuk menemukan solusi pada subjek penelitian.
Oleh karena itu, metode penelitian tindakan partisipatif identik dengan penelitian pemberdayaan
(Mikkelsen, 2001). Untuk mencapai tujuan penelitian, penggunaan metode penelitian tindakan
partisipatif sebagai fokus perlu didukung oleh metode lain seperti observasi, wawancara
mendalam, diskusi kelompok fokus (FGD). Proses diskusi dilakukan oleh proses penelitian yang
difokuskan pada upaya menemukan unsur kearifan lokal sebagai salah satu hal penting untuk
mengembangkan kelestarian desa wisata.

4. Lokasi, Deskripsi Untuk Desa Wisata Pedesaan


Tempat wisata alam dan desa wisata Kalibiru adalah tempat wisata yang terletak di Waduk
Sermo, yang merupakan satu-satunya waduk di Yogyakarta. Objek wisata alam dan desa wisata
Kalibiru merupakan kombinasi antara konsep wisata alam dengan konsep wisata desa. Pada
awalnya, hanya ada wisata alam dan kemudian tumbuh seiring dengan meningkatnya
pengunjung. Perkembangan ini penting, mengingat banyaknya permintaan dan permintaan dari
beberapa pihak wisata lainnya, terutama dalam memenuhi kebutuhan pengunjung tentang
fasilitas yang menawarkan budaya lokal dan kehidupan lokal karena mereka belum ditemukan
dari Wisata Alam. Desa Wisata Lopati memiliki luas 36 hektar yang merupakan dusun yang
terdiri dari tiga (3) wilayah yang lebih kecil. Seperti di daerah yang dekat dengan pantai pada
umumnya, Desa Lopati memiliki iklim tropis dengan kelembaban rendah dan tanah pasir
campuran mengakibatkan perkembangan sektor pertanian yang buruk, sehingga mata
pencaharian penduduk lokal adalah kerajinan dan perdagangan.

5. Wisata Pedesaan, sebagai objek wisata di desa

Objek wisata alam dan desa wisata di Kalibiru terletak di kawasan yang sama, yaitu di kawasan
hutan negara. Kegiatan desa wisata terletak di kawasan wisata alam di mana sudah ada enam
Cottage Inn yang terbuat dari kayu dengan kamar mandi di dalamnya. Pondok dapat menampung
hingga sepuluh orang per pondok. Kawasan wisata alam ini memiliki dua paviliun dengan
halaman yang luas, musholla, kios milik penghuni, kantor dan pos jaga milik manajemen. Secara
umum, gambaran umum objek-objek wisata di desa Kalibiru dapat dilihat pada Gambar 2 di
bawah ini.

Secara umum, tempat wisata di Desa Lopati adalah kerajinan dan industri rumah tangga,
oleh karena itu menurut jenis (profil desa wisata Lopati, 2014) mereka dibagi menjadi:
-Atraksi industri kerajinan: batik bambu, “krondo” keranjang bambu, kandang ayam, bribig,
tradisional
furnitur, dan topi tradisional yang disebut "caping".
-Atraksi industri kuliner: "bakpia" kue kacang hijau tradisional, "geplak" yang manis tradisional
camilan kelapa, tempe, tahu, mie panggilan tradisional "mie letek", telur asin, roti dan kue, dan
rempah-rempah.

Attractions Atraksi budaya: pertunjukan tradisional seperti “jathilan dan reyog”, pertunjukan
keagamaan tradisional “Slawatan” dan wayang kulit. Keterlibatan masyarakat dalam
pengembangan tempat-tempat wisata terlihat dalam partisipasi mereka untuk
mengembangkannya
bisnis untuk menjadi bagian dari paket wisata. Gambaran umum pengembangan lahan dan
perumahan seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut

6. Partisipasi masyarakat untuk pengembangan pariwisata pedesaan melalui kearifan


lokal
Keberadaan objek wisata alam dan desa wisata di Kalibiru tidak terlepas dari keberadaan hutan
kemasyarakatan yang dikelola oleh kelompok tani hutan rakyat (KTHKm) “Mandiri” dalam
proses panjang. Desa Kalibiru berubah menjadi objek wisata alam dan kemudian dikembangkan
dengan (/ menjadi) desa wisata. Sebelumnya, ini dimulai dari kemauan orang untuk
memanfaatkan hutan tanpa merusaknya dengan melakukan pembalakan liar. Puncak kehancuran
hutan terjadi antara 1997-2000. Itu terjadi pada krisis global ketika tidak ada atau kurangnya
pengawasan peraturan pemerintah tentang sumber daya hutan. Lalu ada banyak orang yang tidak
bertanggung jawab mengambil keuntungan dari situasi dengan menebang pohon dan hanya
menyisakan sebagian kecil dari pohon. (wawancara dengan Bpk. Marsono, pemimpin kelompok
tani HKM Mandiri, pada Februari 2015) Status Hutan Lindung yang melarang menebang pohon
menyebabkan masyarakat setempat secara kreatif mengambil inisiatif dalam menggunakan hutan
dengan hati-hati dengan tidak merusak hutan. Ini memicu gagasan pemanfaatan hutan sebagai
jasa lingkungan yang akhirnya menjadi prioritas kelompok tani “HKm Mandiri”. Pada 14
Februari 2008, objek wisata alam Kalibiru secara resmi dikelola oleh Kelompok Tani HKm
Mandiri.

Desa sejak dulu tidak hanya dipahami sebagai pemerintahan desa, tetapi sebagai negara
yang juga termasuk wilayah, masyarakat dan diakui oleh orang luar, dalam hal ini bisa jadi
negara. Desa biasanya memiliki "wewengkon" atau wilayah milik desa yang dapat dikelola
dengan baik sebagai sumber pendapatan ekonomi, konservasi dan 'kedaulatan'. "Wewengkon"
adalah istilah untuk mengekspresikan hutan atau tanah milik desa - atau sering disebut tanah
"ulayat" atau tanah adat yang terletak di luar Jawa. (Hardiyanto, 2003). Izin sementara untuk
mengelola hutan rakyat telah diserahkan dan telah berhasil membebaskan masyarakat.
Masyarakat akan menjadi bagian dari hutan lebih dengan melibatkan mereka dalam memelihara
dan mengelola hutan. Selain itu, izin ini juga ditafsirkan sebagai awal untuk membuktikan apa
yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa akan lebih baik jika masyarakat lokal dipercaya untuk
mengelola hutan. Tanggung jawabnya tidak mudah, terutama bagi orang-orang yang sosialis dan
praktis hanya bergantung pada indera sosial mereka, yaitu kebersamaan, semangat dan kekayaan
yang sama dengan orang yang pertama kali menderita. konsekuensi dari kerusakan hutan. Aset
material dan fisik, seperti pendirian lembaga hukum, pembuatan dan pembelian benih,
pemrosesan fisik tanah, peningkatan kapasitas, sementara semua dilakukan dengan bantuan
bersama dan dibagi bersama secara merata, masih perlu difasilitasi oleh pihak lain terutama
pemerintah. Karena itu, sekarang tidak ada yang bisa memaksa orang untuk mengikuti proyek
atau program di daerah yang mereka kelola sendiri harus bernegosiasi dengan mereka.
(wawancara dengan para pemimpin kelompok HKm Tani Mandiri, Mr Sumardi, 2015).
Partisipasi masyarakat ditunjukkan pada pengelolaan pariwisata otonom di Kalibiru. Keberadaan
kelompok desa wisata yang dikoordinir oleh penghuninya sendiri kerap membuahkan
keberhasilan pelestarian lingkungan. Partisipasi juga ditunjukkan dalam bentuk penyediaan
sarana dan prasarana. Masyarakat melakukan koordinasi terkait dengan keamanan lingkungan
dengan melakukan pengawasan di area tertentu. Petugas yang merupakan anggota “marshall”
(istilah untuk membimbing dan pengawas lapangan) membawa pergantian keamanan untuk
memantau kawasan hutan untuk menjaga keberadaannya.

7. Kearifan lokal dalam pengembangan pariwisata pedesaan

Kearifan lokal praktis adalah upaya masyarakat untuk melestarikan sumber daya yang
dapat digunakan terus menerus untuk memberi makan masyarakat dan menjaga keseimbangan
lingkungan. (hadiwijoyo, 2012) Pemberdayaan masyarakat berbasis pengetahuan lokal melalui
partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata menjadi faktor penting
terutama dalam mengarahkan pembangunan agar adil dan memenuhi kebutuhan banyak orang.
Pengembangan wisata pedesaan berbasis pada kelestarian lingkungan tidak lepas dari
elemen pemberdayaan. Pengembangan yang berhasil dapat diukur melalui tiga aspek utama
(Nugroho, 2011) yaitu aspek ekonomi untuk mengukur nilai tambahnya dalam perekonomian
masyarakat, aspek sosial untuk mengukur masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam
mengelola desa wisata, dan aspek lingkungan untuk mengukur dampak pariwisata. dalam
perspektif pelestarian lingkungan. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh
Campbell, (1977) Jika suatu pariwisata akan difokuskan pada aspek keberlanjutan, maka aspek
yang harus dipertimbangkan lebih lanjut adalah bersamaan dengan aspek sosial, ekonomi, dan
lingkungan.

8. Kesimpulan Akhir

Kearifan lokal sebagai dasar pembangunan berkelanjutan dalam pariwisata pedesaan


yang dapat disimpulkan dari tulisan ini adalah partisipasi masyarakat. Berdasarkan pengamatan
dengan membandingkan kedua desa ini, dapat diperoleh bahwa partisipasi masyarakat untuk
mengembangkan pariwisata dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat melalui:

 Partisipasi masyarakat untuk mengemas variasi atraksi, seperti wisata edukasi yang
mengajarkan keterampilan membuat industri rumah tangga sederhana sesuai dengan jenis
bisnis yang dimiliki.
 Partisipasi masyarakat untuk mengembangkan infrastruktur dan fasilitas mereka sendiri untuk
mendukung objek wisata industri kerajinan pendidikan agar lebih menarik bagi para
wisatawan.
 Keterlibatan masyarakat untuk mengambil bagian dalam kelompok penjaga / “marshall” untuk
melestarikan tanah “wawengkon” dan menjaganya agar tetap berkelanjutan. Keterlibatan
masyarakat dalam mengelola limbah dari kegiatan pariwisata untuk menghindari pencemaran
lingkungan dan menjaga kebersihan lingkungan sehingga akan mendorong wisatawan untuk
tinggal lebih lama.

Faktor pendorong untuk terus-menerus mengembangkan komunitas bersama adalah semangat


komunitas untuk maju bersama. Hal ini sejalan dengan semangat gotong royong dengan prinsip
kearifan lokal “Hamemayu Hayunung Bawana” yang menjadi dasar kehidupan sosial di
masyarakat pedesaan. Ini terlihat dari adanya motivasi masyarakat untuk terus berkembang
dengan sarana untuk memperbaiki kondisi yang ada dengan inovasi dan keterbukaan untuk
menerima input yang sesuai dengan tujuan utama mereka, untuk menjadi desa wisata
berkelanjutan.
MANAJEMEN BISNIS PARIWISATA
REVIEW JURNAL
UJIAN TENGAH SEMESTER GANJILTAHUN AKADEMIK 2019/2020

OLEH
I NENGAH ASTA GINA JAYA ARTHA (1880621002)
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019

Anda mungkin juga menyukai