Analisis Kasus Korupsi Nazaruddin Dalam
Analisis Kasus Korupsi Nazaruddin Dalam
Analisis Kasus Korupsi Nazaruddin Dalam
FILSAFAT HUKUM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah
Pengantar Filsafat Hukum Kelas D
Disusun Oleh :
Citra Puspawardhani
175010101111036
No. Absen : 38
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
2019
Nazaruddin Divonis 4 Tahun 10 Bulan Penjara
Selain itu, Nazaruddin juga harus membayar denda Rp 200 juta. “Apabila denda
itu tidak dibayar, diganti pidana kurungan empat bulan,” kata Dharmawati.
Hukuman yang dijatuhkan akan dikurangi dengan masa penahanan yang sudah
dijalani Nazaruddin. Namun majelis hakim menekankan selama Nazaruddin
menjalani perawatan di rumah sakit di luar penahanan tidak dihitung sebagai
masa penahanan.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut
Umum yang menuntutnya tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider
enam bulan bui. Tim Jaksa Penuntut Umum pimpinan I Kadek Wiradana menilai
Nazar bersalah menerima suap Rp 4,6 miliar.
Nazaruddin dinilai terbukti bersalah menerima suap Rp 4,6 miliar berupa lima
lembar cek. Cek itu diserahkan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah--
perusahaan pemenang lelang proyek Wisma Atlet--Mohammad El Idris kepada
dua pejabat bagian keuangan Grup Permai, Yulianis dan Oktarina Fury.
Selanjutnya cek disimpan dalam brankas perusahaan.
Nazar juga dinilai ikut andil membuat PT Duta menang lelang proyek senilai Rp
191 miliar tersebut. Caranya, dengan meminta anak buahnya, Direktur
Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang, bekerja sama dengan
Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dalam mengupayakan
PT Duta sebagai kontraktor.
A. KASUS POSISI
B. ANALISIS KASUS
Lantas apakah serta merta kita bisa membuktikan apakah putusan majelis
hakim yang menjatuhkan vonis 4 tahun 10 bulan penjara serta denda sebesar Rp
200 juta kepada Nazaruddin sebagai wujud ketidak adilan, bentuk ketidak
hakim dalam menjatuhkan putusan tidak hanya mempedomani pasal 183 KUHAP
semata mengenai dibutuhkannya minimal dua alat bukti, akan tetapi juga
dalam masyarakat.”
Oleh karena itu dalam memberikan putusan, hakim harus berdasar pada
penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, dan
berkembang dalam masyarakat. Tentu saja hal tersebut sangat berkaitan erat
dengan situasi dan perkembangan sosial yang menyertai kasus tersebut. Jika
dicermati, sesungguhnya hal ini sejalan dengan studi mengenai kejahatan itu
sendiri dimana setidaknya ada 4 unsur yang harus diperhatikan dalam menilai
sebuah kejahatan, yaitu: (1) Kejahatan; (2) Pelaku; (3) Korban; dan (4) Reaksi
sosial.2 Untuk itu, tentu bukanlah sebuah hal yang tepat jika kita membandingkan
putusan antara sebuah kasus kejahatan dengan kejahatan yang lain sekalipun
kejahatan tersebut memiliki jenis yang sama. Hal ini dikarenakan, situasi yang
menyertai setiap kasus tentu akan sangat berbeda. Keadilan dapat diartikan
memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya
terdakwa seperti yang telah penulis kemukakan diatas. Fakta bahwa terdakwa
berasal dari APBN serta tindakan terdakwa yang tidak kooperatif pada
bulan tersebut.
majelis hakim menyatakan bahwa pasal yang tepat untuk dikenakan pada
maksimal adalah 5 (lima) tahun penjara, sedangkan tuntutan jaksa penuntut umum
saat itu adalah pasal 12 huruf b dengan hukuman maksimal 20 (dua puluh) tahun
penjara. Perbedaan interpretasi hakim dan jaksa ini bisa jadi dikarenakan adanya
perkenaan pasal. Namun jangan dilupakan bahwa hukum bukan sekedar hukum
juga merupakan kontrak sosial yang tidak tertulis dalam kehidupan sosial.
kegunaan dalam tata sinergis antara keadilan dan kepastiannya. Sehingga dalam
dan keteraturan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Situasi sosial yang
bahwa bencana korupsi yang menimpa negeri ini turut didukung dengan buruknya
keseluruhan, sulit rasanya untuk kita mengatakan bahwa putusan majelis hakim
kemanfaatan, serta kepastian. Terlepas dari ada ataupun tidak ‘political will’ yang
keputusan tersebut. Hal ini terlebih lagi ditambah dengan carut marutnya
Tri Rusmi dalam Perilaku Manusia (1996), mengatakan berpikir adalah suatu
proses sensasi, persepsi, dan memori/ ingatan, berpikir mengunakan lambang
(visual atau gambar), serta adanya suatu penarikan kesimpulan yang disertai
proses pemecahan masalah.
Oleh karena itu, menurut Ahli, berfikir kritis adalah suatu proses dimana
seseorang atau individu dituntut untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi
informasi untuk membuat sebuah penilaian atau keputusan berdasarkan
kemampuan,menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. (Pery &
Potter,2005). Menurut Bandman dan Bandman (1988), berpikir kritis adalah
pengujian secara rasional terhadap ide-ide, kesimpulan, pendapat, prinsip,
pemikiran, masalah, kepercayaan dan tindakan. Menurut Strader (1992), bepikir
kritis adalah suatu proses pengujian yang menitikberatkan pendapat tentang
kejadian atau fakta yang mutakhir dan menginterprestasikannya serta
mengevaluasi pandapat-pandapat tersebut untuk mendapatkan suatu kesimpulan
tentang adanya perspektif/ pandangan baru.
Oleh karena itu, berpikir sistematis dalam analisis kasus ini seperti halnya
menghubungkan sebab akibat dan menjelaskannya secara sistematis. Dalam
kasus ini, Nazaruddin selaku penyelenggara negara, terbukti menerima suap dari
Manajer Marketing PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris sebesar Rp
4,6 miliar. Hakim anggota Herdin Agusten membeberkan, pemberian cek dari El
Idris kepada terdakwa dilakukan melalui anak buah Nazaruddin,Yulianis dan
Oktarina Furi, selaku staf keuangan PT Permai Group. Pemberian itu merupakan
komitmen fee dari DGI ke PT Anak Negeri, anak perusahaan milik Nazaruddin.
Dalam proses penangkapannya, Nazaruddin sempat pergi keluar negeri untuk
melarikan diri dan dalam hal ini menyulitkan negara dan menguras tenaga dan
uang untuk menjemput kembali Nazaruddin.
KESIMPULAN