Praktikum-1 Farmakokinetika Dasar - Kelas C - Kelompok II

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

Tugas Praktikum

MAKALAH PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA DASAR

ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

OLEH

KELOMPOK II

MUH. HAIRUL ILHAM O1A118129

MUH. KEMAL IKHSAN R. O1A118130

NAOMI YULIA FAHRANI O1A118131

NOVIA NUR AZIZAH PUTRI O1A118132

RAHMAWATI ADE O1A118133

VIRA CINDI CINDIKIA O1A118135

MUH. MUADZ ABDI ASSHIDIQ R. O1A118136

WIRHAMSAH AL RAMADAN O1A118137

DWI ARINI JUFRI O1A118138

KELAS :C

DOSEN : apt. SUNANDAR IHSAN, S.Farm., M.Sc.

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa. Karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Farmakokinetik
Dasar”. Tak lupa pula shalawat serta salam kita haturkan kepada nabi Muhammad
SAW. Yang telah membawa kita dari alam kegelepan menujuh alam terang benderang
seperti yang kita rasakan saat ini dan yang telah memberikan pedoman hidup yakni
berupa Al-Quraan dan sunnah untuk keselamatan umat dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Farmakokinetika Dasar dengan
judul “Analisis Obat Dalam Cairan Hayati”. Kami juga tidak lupa untuk mengucapkan
banyak terimakasih kepada Dosen pengajar mata kuliah Farmakokinetika Dasaryang selalu
membimbing dan mengajari kami dalam mata kuliah ini. Serta kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam penyelesaian tugas makalah ini.
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kritik serta saran
yang membangun masih kami harapkan untuk penyempurnaan makalah ini. Sebagai manusia
biasa kami merasa memiliki banyak kesalahan. Oleh karena itu, kami memohon maaf yang
sebesar-besarnya untuk kelancaran tugas ini.
Atas perhatian dari semua pihak yang membantu penulisan ini kami ucapkan banyak
terimakasih. Semoga makalah ini dapat di pergunakan sebagaimana mestinya.

Kendari, 6 Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3

A. Parameter Penilaian Kesahihan dalam Analisis Obat............................. 3

B. Langkah-langkah Penetapan Obat dalam Darah..................................... 6

C. Contoh Analisis Obat dalam Darah........................................................... 7

D. Review Jurnal .............................................................................................. 12

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 15

A. Kesimpulan................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Efek terapi suatu obat biasanya baru terlihat sesudah zat aktifnya melalui sistem
pembuluh aorta lalu masuk ke hati dan kembali masuk ke peredaran darah dan didistribusikan
ke seluruh jaringan badan. Ketersediaan hayati suatu obat dapat diukur pada keadaan pasien
yang bersangkutan (secara in vivo) dengan menentukan kadar dalam plasma darah setelah
mencapai keseimbangan antara serum cairan tubuh (kedaan tunak). Ada korelasi yang baik
antara kadar obat dalam plasma dengan efek terapi.
Ketersediaan hayati digunakan untuk member gambaran mengenai keadaan dan
kecepatan obat diabsorbsi dari bentuk sediaan dan digambarkan dengan kurva kadar-waktu
setelah obat diminum dan berada pada jaringan biologic atau larutan sperti darah dan urine.
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:
1. Jumlah atau bagian obat yang diabsorbsi dari bentuk sediaan.
2. Kecepatan obat diabsorbsi.
3. Masa kerja obat berada di dalam cairan biologik atau jaringan, bila dihubungkan
dengan respon pasien.
4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi/efek toksik.

Penentuan ketersediaan hayati kebanyakan hanya untuk bentuk sediaan obat


seperti tablet dan kapsul yang digunakan peroral untuk memperoleh efek sistematik.
Hal ini bukan berarti ketersediaan hayati tidak ada dalam bentuk sediaan obat yang
lain selain bentuk padat/penggunaan bentuk obat melalui rute lain selain melalui
mulut (Anief, 1995).
Pengetahuan tentang konsentrasi obat dalam serum dapat menjelaskan
mengapa seorang penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat, atau
mengapapenderita mengalami suatu efek yang idak diinginkan. Sebagai tambahan,
praktisi mungkin ingin menjelaskan ketelitian dari aturan dosis.Pada pengukuran
konsentrasi obat dalam serum, suatu konsentrasi tunggal dari obat dalam serum dapat
tidak menghasilkan informasi yang berguna kecuali jika faktor-faktor lain
dipertimbangkan, sebagai contoh, aturan dosis obat yang meliputi besaran dan jarak
pemberian dosis, rute pemberian obat, serta waktu pengambilan cuplikan (puncak,
palung, atau keadaan tunak) hendaknya diketahui.
Mengkin ada ketervatasan dalam hal jumlah cuplikan darah yang dapat
diambil, keseluruhan volume darah yang diperlukan untuk penetapan kadar, dan

1
waktu untuk melakukan analisis obat, pengukuran konsentrasi serum hendaknya juga
mempertimbangkan biaya penetapan kadar, resiko, dan ketidaksenangan penderita,
dan kegunaan informasi yang diperoleh.
Metode analisis yang digunakan untuk penetapan kadar obat dalam serum
hendaknya telah sahih, berkenaan dengan hal-hal berikut seperti spesifitas, linieritas,
kepekaan, ketepatan, ketelitian, dan stabilitas (Sahrgel, 1985).
Untuk menganalisis darah total, komponen sel darah harus dilisis demikian
sehingga kandungannya bercampur merata dengan sonikator atau ditentukan dalam
jangka waktu tertentu lalu disonikasi. Plasma berbeda dengan serum, serum adalah
plasma yang fibrinogennya telah dihilangkan dengan proses penjendalan, sedangkan
plasma diperoleh dengan menambahkan suatu pencegah penjendalan ke dalam darah.
Bila darah tidak diberi antikoagulan terjadilah penjendalan dan bila contoh seperti
dipusingkan maka beningannya adalah serum (James, 1991).
Penilaian ketersediaan hayati dapat dilakukan dengan metode menggunakan
data darah, data urin, dan data farmakologis atau klinis, namun lazimnya
dipergunakan data darah atau data urin untuk menilai ketersediaan hayati sediaan obat
yang metode analisis zat berkhasiatnya telah diketahui cara dan validitasinya. Jika
cara dan validitas belum diketahui, dapat digunakan data farmakologi dengan syarat
efek farmakologi yang timbul dapat diukur secara kuantitatif.
Parameter-parameter yang berguna dalam penentuan ketersediaan hayati suatu
obat meliputi data plasma, data urin, efek farmakologi akut, respon klinik.
Ketersediaan hayati dilakukan baik terhadap bahan aktif yang telah disetujui maupun
obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh FDA untuk dipasarkan. Setelah
ketersediaan hayati dan parameter-parameter farmakokinetika dari bahan aktif
diketahui aturan dosis dapat diajukan untuk mendukung pemberian label obat (Syukri,
2002).
Tujuan Percobaan
1. Mempelajari langkah-langkah analisis obat dalam cairan hayati
2. Memahami langkah-langkah analisis obat dalam cairan hayati
3. Memvalidasi prosedur analisis obat dalam cairan hayati

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Parameter Penilaian Kesahihan dalam Analisis Obat


Di dalam studi farmakokinetik, metode analisis kadar obat di dalam spesimen
hayati merupakan kunci utama kesahihan data farmakokinetik yang diperoleh.
Apakah data yang didapat benar-benar menerangkan nasib obat in vivo, sangat
tergantung validitas metode analisis. Oleh sebab itu sebelum melakukan studi,
langkah pertama yang selalu dilakukan ialah menguji suatu metode analisis, apakah ia
telah memenuhi persyaratan validitas. Ada empat parameter yang digunakan untuk
menilai validitas metode analisis, yaitu :
Pertama, selektivitas. Suatu metode analisis dikatakan selektif jika ia mampu
mengukur senyawa yang akan diukur. Di dalam farmakokinetik yang diukur dan
dipantau kadarnya di dalam spesimen hayati pada umumnya ialah obat utuh yang
tidak mengalami metabolisme di dalam tubuh. Sebab lazimnya obat utuh inilah yang
aktif secara farmakologik atau mikrobiologik (kalau obatnya antibiotik). Jadi pada
dasarnya yang diukur dan dipantau kadarnya dalam darah adalah obat utuh yang aktif
secara farmakologik atau mikrobiologik. Apabila yang aktif secara farmakologik atau
mikrobiologik adalah metabolit obat, misalnya dalam hal pro-drug, maka metode
analisis harus mengukur dan memantau kadar metabolit aktif di dalam spesimen
hayati. Jika suatu metode analisis tidak selektif, artinya mengukur obat utuh plus
metabolitnya, maka data kadar obat dalam spesimen hayati terhadap waktu tidak
menggambarkan kenyataan yang sebenarnya tentang farmakokinetik obat utuh pada
tiap-tiap waktu, sehingga pada gilirannya menyebabkan kesalahan pada nilai
parameter farmakokinetik obat utuh tersebut, misalnya AUC yang diperoleh lebih
besar dari yang seharusnya, atau harga klirens obat lebih kecil dari yang seharusnya.
Kesalahan ini selanjutnya menyebabkan kesalahan pada penetapan besar dosis.
Kedua, sensitivitas. Metode analisis yang digunakan harus sensitif (peka),
sehingga mampu mengukur kadar obat utuh yang berada di dalam spesimen hayati.
Biasanya setelah obat diberikan secara ekstravaskular, kadar rendah terdapat selama
awal absorpsi obat dan pada akhir-akhir waktu pada fase eliminasi, yaitu sampai 5
sampai 7 kali waktu-paro eliminasi sejak obat diberikan. Apalagi jika dosis obat yang

3
diberikan cukup rendah, misainya obat-obat basa lemah, faktor sensitivitas ini harus
dipenuhi. Ketika mengukur kadar yang sangat rendah, hendaknya signaltonoiseratio
bernilai lebih dari 3. Yang dimaksud signal adalah defleksi atau peak kromatogram
yang dihasilkan oleh obat yang diukur, sedangkan noise adalah defleksi atau peak
kromatogram yang dihasilkan oleh baseline. Akibat tidak pekanya suatu metode
analisis ialah kemungkinan tidak terpantaunya kadar obat yang rendah selama fase
absorpsi dan eliminasi, sehingga dapat menimbulkan kesalahan dalam penetapan
model dan harga parameter farmakokinetik. Oleh sebab itu, metode analisis
hendaknya memenuhi syarat batas pengukuran terendah (limitofquontificotion, LOQ).
Ketiga, akurasi. Suatu metode analisis harus akurat, artinya mampu mengukur
kadar obat yang sebenarnya, Misalnya, kadar obat di dalam spesimen hayati ialah 10
µg/mL, maka idealnya ia harus bisa menemukan kadar 10 µg/mL tersebut, atau
memiki perolehan kembali (recovery) 100 persen. Namun karena nilai absolut tidak
pernah dicapai oleh suatu metode, maka setidaknya metode tersebut dapat mengukur
90 persen dari kadar obat yang sebenarnya. Dengan kata lain, kesalahan analisis
sistematik (systematicanalyticalerror, atau systematicerror) suatu metode hendaknya
tidak lebih dari 10 persen. Apabila suatu metode harus didahului dengan preparasi
sampel yang cukup panjang, misalnya dengan ekstraksi, maka akurasi yang dicapai
hendaknya tidak kurang dari 75 persen. Perlu diketahui, karena kadar obat di dalam
spesimen hayati berkisar dari rendah ke tinggi, maka uji akurasi metode setidaknya
juga menggunakan kadar obat rendah dan tinggi. Nilai akurasi yang cukup tinggi amat
diperlukan di dalam farmakokinetik, agar kadar obat yang didapat benar-benar
mampu menerangkan kadar yang sesungguhnya in vivo. Oleh sebab itu akurasi yang
rendah tidak menerangkan farmakokinetik obat yang sebenarnya terjadi in vivo,
sehingga nilai parameter yang diperoleh tidak akurat. Terlebih jika yang akan
dipantau adalah profil kadar obat di dalam urin, dan akan digunakan metode urin
kumulatif untuk menerangkan data, akurasi dan selektivitas metode analisis
merupakan syarat mutlak kesahihan metode. Jangan sampai terjadi, misalnya 100 mg
obat diberikan secara intravena, jumlah obat yang ditemukan di dalam urin melebihi
dosis yang diberikan.
Keempat, presisi. Metode analisis hendaknya merniliki ketelitian yang tinggi,
maksudnya pada pengukuran berulang-ulang untuk kadar yang sama akan
menghasilkan variasi yang relatif rendah. Ukuran presisi yang lazim digunakan adalah
ketidak-telitian (imprecision), dan biasanya dinyatakan sebagai koefisien variasi

4
pengukuran. Di dalam farmakokinetik, profil kadar obat di dalam spesimen hayati
bervariasi dari rendah sampai tinggi. Misalnya setelah obat diberikan secara intravena
bolus, tentu kadar obat pada awal pemberian cukup tinggi, tergantung dosis yang
diberikan. Namun jika waktu telah berjalan sekian lama, biasanya sampai 5-7 kali
waktu-paro eliminasinya, kadar obat dalam spesimen hayati sudah sangat rendah.
Begitu pula sesudah obat diberikan secara ekstravaskular, kadar puncak obat di dalam
sampel cukup tinggi, sedangkan pada awal sejak pemberian obat kadarnya masih
rendah dan pada akhir proses eliminasi (5-7 kali waktu-paro eliminasinya). kadarnya
sangat rendah. Dari fakta ini maka pengukuran presisi suatu metode analisis
setidaknya dilakukan menggunakan kadar obat rendah dan tinggi. Biasanya pada
kadar obat yang tinggi, presisi yang dicapai cukup tinggi, yaitu koefisien variasinya
bisa mencapai di bawah 5 persen. Sebaliknya pada kadar obat rendah, koefisien
variasi hendaknya tidak lebih dari 10 persen. Dalam jargon imu kimia analisa,
koefisien variasi ini sering disebut kesalahan acak analisis (randomanalyticalerror,
atau randomerror).
Dalam kimla analisis dikenal pula istilah within-dayvariation (variasi dalam
sehari) dan day-to-dayvariation (variasi hari-ke-hari). Biasanya sampel-sampel hayati
yang harus ditetapkan kadarnya bisa nencapai jumlah puluhan atau bahkan ratusan,
sehingga diperlukan pengerjaan analisis sehari penuh atau berhari-hari. Kalau
misalnya aken menggunakan instrumen analisis terus menerus selama sehari penuh,
kemungkinan akan terjadi penurunan presisi instrumen. Oleh sebab itu besar defleksi
atau tinggi puncak kromatogram perlu di pantau secara periodik, misalnya pada waktu
pagi, siang atau sore hari, biasanya menggunakan kadar obat yang sama. Jika
variasinya relatif kecil maka dikatakan bahwa within-dayvariation dari instrumen
tersebut kecil sehingga tidak akan berpengaruh pada pengukuran kadar obat dalam
sampel. Demikian juga ketika akan mengukur sampel setiap hari, pemantauan presisi
instrunien hendaknya juga dilakukan setiap hari, agar day-to-dayvariation diketahui,
Namun kedua uji variasi ini tidak periu dilakukan jika setiap hari selalu membuat
kurva baku baru pada awal atau disela-sela analisis sampel.
Satu hal lain yang perlu dicermati ialah kurva baku, Kurva baku merupakan
acuan pada penetapan kadar obat di dalam sampel, sehingga harus dibuat secermat
mungkin, Kesalahan dalam kurva baku akan menimbulkan kesalahan sistematik (yaitu
kesalahan yang selalu terjadi) pada kadar sampel yang diukur. Sebelumnya telah
dikemukakan bahwa kadar obat di dalam spesimen hayati selalu berkisar dari rendah

5
ke tinggi, misalnya dari 1 µg/mL sampai 100 µg/mL. Dari contoh ini maka kadar obat
yang digunakan untuk membuat kurva baku hendaknya meliputi rentang kadar
tersebut, misalnya dari 0,5 Hg/mL sampai 150 µg/ml. Karena rentang kadarnya cukup
lebar, maka hendaknya kurva baku dibuat menggunakan 6-8 kadar yang berbeda, agar
diperoleh nilal koefisien korelasi mendekati satu. Tetapi sekiranya kadar obat yang
ditemui in vivo ternyata lebih dari 150 µg/mL, tidak dianjurkan menggunakan cara
ekstrapolasi, tetapi membuat lagi kurva baku yang lebih representatif (Hakim,2017).

B. Langkah-langkah Penetapan Obat dalam Darah


Penentuan kadar obat dalam darah merupakan pilihan ideal dalam pengujian
ketersediaan hayati (bioavailabilitas) suatu obat. Saat ini uji bioavailabilitas dan
bioekivalensi antara produk paten dan generik menjadi syarat wajib yang ditetapkan
pemerintah. Untuk dapat melaksanakan uji Bioavailabilitas dan Bioekivalensi
diperlukan metode analisis obat dalam plasma yang memiliki selektivitas tinggi,
sensitivitas dan gangguan yang sesedikit mungkin dari zat pengganggu. Metode
penetapan kadar levofloksasin menggunakan KCKT telah dilakukan, akan tetapi perlu
dilakukan validasi metode untuk penetapan kadar levofloksasin produk paten dan
generik dalam plasma secara in vitro agar diperoleh metode yang spesifik dan sensitif
sehingga dapat diaplikasikan pada uji bioavailabilitas dan bioekivalensi levofloksasin
yang nantinya dapat menjamin mutu, khasiat dan keamanan obat levofloksasin.
Langkah-langkah penetapan kadar obat dalam darah :
1. Kondisi KCKT untuk penetapan kadar Levofloksasin
Sistem KCKT yang digunakan mengacu pada Tobin, et al (1999) dan Harmita,
dkk. (2004) adalah sebagai berikut :
a. Fase diam : Silica RP-18 (Octadecyl silane/ODS) yang diikatkan pada
pendukung silika berdiameter 5 µm dalam kolom baja tahan karat
berdiameter dalam 4,6 mm dan panjang 25 cm.
b. Fase gerak : Campuran Asam ortho-fosfat 0,16 % pH dibuat 3 dengan
penambahan natrium hidroksida 0,2 N dan asetonitril dengan
perbandingan 85:15.
Kecepatan alir : 1,0 ml/menit.
Volume injeksi (loop) : 20 µl Detektor : Uv 295 nm
2. Uji kesesuaian sistem

6
Larutan baku levofloksasin 10x10-3 dan 30x10-3 mg/ml dibuat enam
replikasi. Masing-masing diinjeksikan sebanyak 30 µl ke alat KCKT. Diperoleh
kromatogram yang akan digunakan untuk menentukan keberulangan penyuntikan
larutan baku yang dinyatakan dalam simpangan baku relatif (Koefisien
Variansi/KV = Relative Standard Deviation/RSD). Akan ditentukan pula faktor
ikutan, T, untuk membatasi asimetri yang diperbolehkan (Anonim, 1995).
3. Pembuatan Larutan Sampel Levofloksasin
Sampel tablet levofloksasin (10 tablet) ditimbang seksama satu per satu
kemudian digerus sampai halus dan homogen. Hasil gerusan ditimbang seksama
sejumlah tertentu atau setara dengan 100 mg levofloksasin, dilarutkan dalam 100
mL campuran asam orto fosfat dan asetonitril (85:15), didapat konsentrasi 1000
µg/mL levofloksasin. Kemudian dilakukan pengenceran sehingga didapatkan
konsentrasi 100 µg/mL.
Penetapan kadar Levofloksasin dalam plasma secara KCKT Sebanyak 0,4750
mL plasma ditambah dengan 0,025 mL larutan sampel levofloksasin dengan
konsentrasi 5 µg/mL dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge ditambah larutan asam
orto phospat 0,16 % pH 3 sebanyak 500 µL, vortex 3 detik. Setelah itu masukkan 5
mL campuran isopropil alkohol : diklormetan (1:9). Roller Mixer selama 30 menit,
kemudian disentrifuge 20 menit dengan kecepatan 3.000 rpm. Diambil 4 mL
supernatannya lalu diuap keringkan dan rekonstitusi residu dengan 500 µL campuran
asam orto fosfat pH 3 dan asetonitril (85:15), divortex 3 detik dan diinjeksikan ke alat
KCKT sebanyak 100 µL ( yang masuk kealat KCKT 20 µL). Percobaan diulangi
6X(Utami,2017).

C. Contoh Analisis Obat dalam Darah


Majalah Ilmu Kefarmasian dengan judul Jurnal “Metode Penetapan Kadar
Meloxicam Dalam Darah Manusia In Vitro Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi”
Pada penelitian ini dilakukan uji metode terhadap penetapankadar senyawa
meloxicam dalam sampel darah in vitro dengan melihat pengaruh penggunaan
senyawa baku dalam pada analisis sampel darah. Menurut British Pharmacopeia
bahwa meloxicam dapat ditetapkan kadarnya dengan menggunakan metode KCKT
dengan fase gerak metanol/air (70:30; v/v) pada panjang gelombang 354 nm. Uji
sampel darah secara in vitro dilakukan dengan maksud sebagai langkah awal menuju
analisis yang lebih bermanfaat yaitu analisis sampel darah in vivo.

7
Sampai saat ini masalah utama pada analisis obat dalam sampel darah adalah
rumitnya prosedur isolasi, mengingat terjadinya ikatan antara molekul obat dengan
protein dalam sampel darah, disamping juga faktor kompleksitas komponen yang
terkandung dalam darah yang bisa ikut berinterferensi dalam analisis serta kecilnya
konsentrasi obat yang dianalisis. Hal ini bisa memberikan galat (kesalahan) yang
cukup besar pada analisis obat dalam sampel darah. Pilihan ekstraksi cair-cair dengan
penggunaan senyawa baku dalam (internal standard) yang tepat/ideal pada analisis
kuantitatif obat dalam darah diharapkan dapat meminimalisasi galat yang timbul
selama tahap isolasi sampel darah sehingga diharapkan dapat diperoleh metode
analisis yang akurat dan presisi.
Adapun langkah-langkahnya yaitu :
1. Pembuatan Larutan-Larutan :
a. Pembuatan larutan induk meloxicam; ditimbang dengan seksama 10,0 mg
meloxicam dilarutkan dalam 100 mL metanol-air (70:30; v/v) dalam labu ukur
untuk memperoleh larutan dengan konsentrasi 100 μg/mL.
b. Pembuatan larutan fase gerak yang terdiri dari campuran metanol– NaOH
0,001 N (70:30; v/v).
2. Mencari Kondisi Analisis :
a. Mengetahui waktu retensi meloxicam
Larutan induk meloxicam diencerkan hingga konsentrasi 1,0 μg/mL,
kemudian disuntikkan 20 μL pada kromatograf dengan kondisi fase gerak
metanol-NaOH 0,001 N (70:30; v/v), kecepatan alir 1,0 mL/menit dan panjang
gelombang deteksi 354 nm. Diperoleh waktu retensi meloxicam.
b. Mencari baku dalam (internal standard) yang cocok dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Menghitung nilai koefisien distribusi (KD) beberapa zat pilihan.
Ditimbang seksama masing-masing 10,0 mg meloxicam, piroksikam
trimetoprim, dan kofein kemudian dilarutkan dalam 100 mL air dalam labu
ukur sehingga diperoleh masingmasing konsentrasi 100 μg/mL (khusus
untuk meloxicam dan piroksikam dilarutkan dalam metanol terlebih dahulu
baru di-adkan dengan air). Masing-masing larutan tersebut kemudian
diekstraksi dengan kloroform, lalu diukur nilai serapan masing-masing
ekstrak kloroform dengan spektrofotometer UV-Vis. Nilai serapan masing-
masing ekstrak dibandingkan terhadap serapan standard dalam kloroform

8
dengan konsentasi yang sama. Dihitung dan dibandingkan nilai koefisien
distribusi (KD) dari keempat zat tersebut.
2. Membandingkan nilai waktu retensi beberapa zat terhadap waktu retensi
meloxicam. Ditimbang seksama masing-masing 10,0 mg piroksikam,
trimetoprim, dan kofein kemudian dilarutkan dalam 100 mL methanol
dalam labu ukur hingga diperoleh konsentrasi masing-masing 100 μg/ mL.
Larutan tersebut diencerkan hingga didapat masing-masing kon-sntrasi 1,0
μg/mL. masing-masing larutan tersebut kemudian disuntikkan sebanyak 20
μL pada kromatograf dengan kondisi yang sama seperti pada tahap 2.
Diamati waktu retensi tiap zat dan dibandingkan terhadap waktu retensi
meloxicam. Dipilih kromatogram zat yang cocok sebagai baku dalam
untuk analisis meloxicam.
c. Mencari panjang gelombang analisis yang cocok.
Dibuat larutan meloxicam dan baku dalam yang diperoleh dari tahap 3 di
atas dengan konsentrasi masing-masing 10 μg/mL. Masing-masing larutan
tersebut kemudian diukur nilai serapannya pada spektrofotometer UV-Vis dan
dibuat spectrum serapannya. Dipilih nilai panjang gelombang optimum untuk
analisis kedua zat.
d. Uji kesesuaian sistem. Dibuat larutan meloxicam dengan baku dalam dengan
konsentrasi
Masing-masing 400 ng/mL dan 20μg/mL, masing-masing larutan tersebut
kemudian dipipet sebanyak 2,0 mL dan dicampurkan pada vial hingga
diperoleh campuran larutan meloxicam dengan konsentrasi 200 μg/mL dan
baku dalam dengan konsentrasi 10 μg/mL. Larutan campuran tersebut
kemudian disuntikkan 20 μL pada kromatograf dengan kondisi fase gerak
metanol-NaOH 0,001 N (70:30; v/v), kecepatan alir 1,0 mL/menit dan panjang
gelombang 300 nm. Dihitung nilai resolusi, efisiensi kolom, dan faktor ikutan
dari kromatogram yang diperoleh. Kemudian ditimbang seksama 10,0 mg
urasil lalu dilarutkan dalam 100 mL metanol, kemudian diencerkan hingga
didapat konsentrasi 10 μg/mL. Larutan tersebut kemudian disuntikkan pada
kromatograf dengan fase gerak metanol-NaOH 0,001 N (70:30; v/v),
kecepatan alir 1,0 mL/menit dan panjang gelombang 254 nm. Diperoleh waktu
retensi urasil, kemudian dihitung faktor kapasitas dan factor selektifitas (α)
dari analit dan baku dalam.

9
e. Pengujian stabilitas
Dibuat larutan meloxicam dengan konsentrasi 1000 ng/mL, 400 ng/mL,
dan 100 μg/mL (tanpa dan dengan baku dalam 10 μg/mL). Masing-masing
larutan tersebut disimpan pada lemari pendingin dan disuntikkan masing-
masing 20 μL secara berulang pada kromatograf pada rentang waktu 0 hari, 3
hari, 1 minggu, dan 2 minggu. Diamati adanya gejala ketidakstabilan zat
dengan menghitung perbandingan luas puncak dan mengamati bentuk masing-
masing kromatogramnya.
f. Mencari limit deteksi dan limit kuantitasi
Dibuat larutan meloxicam dengan konsentrasi 100 μg/mL, 40 ng/mL, 20
ng/mL,dan 10 ng/mL. Disuntikkan 20 μL masing-masing larutan tersebut pada
kromatograf, kemudian dihitung tinggi puncak masing-masing
kromatogramnya. Dihitung nilai S/N(signal to noise ratio) dengan
membandingkan tinggi puncak analit dengan tinggi puncak derau (noise) dari
kromatogram pelarut.
g. Pengujian linearitas
Dibuat larutan meloxicam dengan konsentrasi 20 ng/mL, 40 ng/mL, 100
ng/mL, 200 ng/mL; 400 ng/mL, 600 ng/mL, dan 1000 ng/mL dari larutan
induk (tanpa dan dengan baku dalam 10 μg/mL), kemudian disuntikkan
sebanyak 20 μL secara berurutan tiap larutan tersebut pada kromatograf.
Dibuat kurva persamaan garis regresi linier luas puncak (perbandingan luas
puncak) terhadap konsentrasi meloxicam dalam larutan. Dihitung nilai r
(koefisien korelasi) dari kedua kurva tersebut.
h. Pengujian akurasi dan presisi
Dibuat larutan meloxicam dengan konsentrasi 1000 ng/mL, 400 ng/mL,
dan 100 ng/mL dari larutan induk (tanpa dan dengan baku dalam 10 μg/.mL),
kemudian disuntikkan 20 μL masing-masing larutan tersebut secara berulang
pada kromatograf. Dihitung nilai % akurasi dan simpangan baku relatif (SBR)
dari masing-masing larutan tersebut.
i. Uji ketangguhan metode
Dibuatlarutan meloxicam dengan konsentrasi 1000 ng/mL, 400 ng/mL, dan
100 ng/mL dari larutan induk (tanpa dan dengan baku dalam 10 μg/.mL),
kemudian disuntikkan 20 μL masingmasing larutan tersebut secara berulang
pada kromatograf. Dihitung nilai % akurasi dan simpangan baku relatif (SBR)

10
dari masing-masing larutan tersebut untuk penyuntikkan inter hari. Diuji
ketangguhan metode dengan menggunakan perhitungan statistik.
j. Pengujian sampel darah dengan penambahan meloxicamsecara in vitro
1. Uji spesifitas. Diambil 10,0 mL darah segar dalam labu ukur kemudian
disentrifuge selama 6 menit dengan kecepatan 2000 rpm, lalu diambil
bagian plasmanya. Dipipet 2,0 mL plasma tersebut lalu diekstraksi dengan
4,0 mL kloroform dengan cara dikocok dengan sheaker selama 10 menit
dengan kecepatan 100 rpm. Diambil bagian kloroform, kemudian ekstraksi
diulang untuk kedua kalinya. Dikumpulkan ekstrak kloroform kemudian
diuapkan sampai kering (dengan kipas angin). Residu dilarutkan dalam 2,0
mL metanol (p.a) kemudian masing-masing disuntikkan dengan kondisi
fase gerak metanol-NaOH 0,001 N (70:30; v/v), panjang gelombang 300
nm, dan kecepatan alir 1,0 mL/menit. Diamati adanya
gangguan/interferensi pada kromatogram dari ekstrak plasmablanko.
2. Uji perolehan kembali. Dibuat larutan meloxicam dengan masing-masing
konsentrasi 10 ppm, 4 ppm, dan 1 ppm dari larutan induk (tanpa dan
dengan baku dalam 10 μg/mL). Dipipet 1,0 mL masingmasing larutan
tersebut kemudian dicukupkan volumenya hingga 10,0 mL dengan darah
segar dalam labu ukur sehingga diperoleh konsentrasi meloxicam dalam
darah 1000 ng/mL, 400 ng/mL, dan 100 ng/mL. Setelah itu darah yang
telah ditambahkan meloxicam tersebut disentrifuge selama 6 menit dengan
kecepatan 2000 rpm, lalu diambil bagian plasmanya. Dipipet 2,0 mL
plasma tersebutlalu diekstraksi dengan 4,0 mL kloroform dengan cara
dikocok dengan sheaker selama 10 menitdengan kecepatan 100 rpm.
Diambil bagian kloroform, kemudian ekstraksi diulang untuk kedua
kalinya. Dikumpulkan ekstrak kloroform kemudian diuapkan sampai
kering(dengan kipas angin). Residu dilarutkan dalam 2,0 mL metanol (p.a)
kemudian masing-masing disuntikkan sebanyak 20 μL pada kromatografn
dengan kondisi fase gerak metanol-NaOH 0,001 N (70:30; v/v), panjang
gelombang 300 nm, dan kecepatan alir 1,0 mL/menit. Dihitung nilai
perolehan kembali (recovery)dari setiap konsentrasi ekstrak metanol yang
disuntikkan tersebut. Dibandingkan nilai perolehan kembali sampel tanpa
penambahan baku dalam dan dengan penambahan baku dalam.
Hasil :

11
1. Analisis meloxicam tanpa baku dalam menggunakan metode KCKT
dengan fase gerak metanol-NaOH 0,001 N (70:30; v/v), kecepatan alir 1,0
mL/menit dan panjang gelombang 354 nm memenuhi kriteria akurat,
presisi, dan tangguh.
2. Metode penetapan kadar meloxicam dalam darah manusia in vitro dengan
menggunakan baku dalam memberikan hasil yang kurang baik atau negatif
dibandingkan dengan penetapan kadar tanpa menggunakan baku dalam.

D. Review Jurnal

Judul Jurnal Fluorometric Analysis of Ampicillin in Biological Fluids


Jurnal Journal of PharrnaceuticaI Sciences
Penulis William J. Jusko
Volume Vol. 60, No. 5
Halaman 728 – 732

Latar Belakang Topik yang melatar belakangi dalam penulisan jurnal tersebut
adalah kuantitas dan laju pembentukan bahan fluoresen dapat
ditingkatkan oleh formaldehida, dan produk fluoresen
memperlihatkan sifat ekstraksi dari asam organik (seperti
ampisilin). Dengan menggunakan prosedur pengujian yang
berdasarkan pengamatan deteksi kurang dari 0,05 mcg./ml dari
ampisilin dan asam a-aminobenzylpenicilloic.
Dengan menggabungkan metode fluorometrik dan mikrobiologis,
pengukuran dapat dibuat dari produk degradasi ampisilin serta
antibiotik yang tidak berubah dalam serum dan urin
Tujuan Tujuan dalam penelitian tersebut adalah mengarah pada
pengembangan metode fluorometrik yang sangat sensitif untuk
pengukuran kuantitatif ampisilin dan setidaknya ada salah satu
produk degradasinya dalam serum dan urin.
Subjek dan Objek Subjek dalam penelitian tersebut menggunakan obat Ampisilin.
Penelitian Sedangkan Objek penelitiannya adalah penentuan kadar cairan
hayati menggunakan analisis fluorometrik.
Kelebihan dan Kelebihannya, dalam penelitian tersebut walaupun menggunakan
Kekurangan alat-alat yang mahal namun cara pengerjaan dan proses
penelitiannya masih tergolong mudah. Kekurangannya, salah

12
satunya itu dari segi pelarut yang digunakan dibatasi oleh
kelarutan yang buruk dari senyawa amfoter yang digunakan
dalam pelarut organik. Selain itu, isolasi sejumlah kecil antibiotik
yang tidak berubah terhambat oleh ketidakstabilan relatif dalam
larutan. Artinya pelarut yang digunakan masih kurang baik dalam
larutan.
Hasil Hasil penentuan ini ditunjukkan pada Tabel. Analisis data chi-
square (X2 = 1,26 pada 6 df) menunjukkan bahwa semua teknik
(metode fluorometri, mikrobiologis dan spektrofotometri)
memberikan hasil yang sebanding.

Sampel serum, diperoleh setelah pemberian intravena 570 mg


ampisilin untuk subjek laki-laki normal, dianalisis untuk ampisilin
dengan metode fluorometrik dan mikrobiologis. Kedua metode
menghasilkan beberapa perbedaan yang cukup besar

Kesimpulan Kesimpulannya, menunjukkan bahwa asam


aminobenzylpenicilloic dan ampicillin dapat dideteksi dengan
baik oleh uji fluorometrik. Produk degradasi in vivo utama dari
penisilin lain seperti penisilin G dan fenoksimetil dan fenoksietil
penisilin telah terbukti sebagai turunan asam penicilloic masing-
masing.
Karena semua penisilin terbagi atas bagian molekul 8-laktam

13
yang labil, sangat mungkin bahwa produk degradasi yang
terdeteksi dari ampisilin dalam serum dan urin manusia adalah
turunan asam penicilloic-nya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

14
Analisis obat dalam cairan hayati dapat diukur dengan parameter
farmakokinetik. Dalam memahami langkah-langkah yang digunakan dalam
menganalisis obat dalam cairan hayati yang pertama-tama dilakukan adalah
pengambilan sampel darah, pembuatan larutan, penetapan kadar, pembuatan larutan
baku dan larutan sampel, serta penetapan analisis perhitungan meliputi perolehan
kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistemik.
Dalam sebuah analisis obat dalam cairan hayati, ada hal-hal penting dalam
farmakokinetika yang digunakan sebagai parameter-parameter antara lain yaitu :
1. Tetapan (laju) invasi (tetapan absorpsi).
2. Volume distribusi menghubungkan jumlah obat di dalam tubuh dengan konsentrasi
obat (c) di dalam darah atau plasma.
3. Ikatan protein
4. Laju eliminasi dan waktu paruh (t½)
5. Bersihan (clearance)renal, ekstra renal, dan total
6. Luas daerah di bawah kurva (AUC)
7. Ketersediaan hayati
Terdapat 4 parameter yang digunakan untuk menilai validitas metode analisis,
yakni selektivitas, sensitivitas, akurasi, dan presisi. Dimana Validasi metode analisis
ini diperlukan karena setiap bahan baku yang akan digunakan atau obat jadi harus
diperiksa sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan yang meliputi pemeriksaan
fisika dan kimia. Untuk melihat apakah prosedur dan alat yang digunakan tersebut
memadai atau mengetahui apakah personil yang mengerjakan sudah cukup terlatih,
maka perlu dilakukan validasi tersebut

DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 1995. Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan. UGM. Yogyakarta

15
Hakim, L., 2017, Farmakokinetik Edisi 2, Bursa Ilmu : Yogyakarta.
Harmita, Umar M., dan Firnando, 2004, Metode Penetapan Kadar Meloxicam Dalam Darah
Manusia In Vitro Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Majalah Ilmu
Kefarmasian, Vol. 1 (2).
Munson James, W. 1991. Analisis Farmasi. Airlangga University Press. Surabaya
Shargel. 1985. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press.
Surabaya
Syukri, Y. 2002. Biofarmasetika. UII Press. Yogyakarta.
Utami, P. I., dan Susanti, 2017, Penetapan Kadar Levofloksasin Generik dan Paten Dalam
Plasma Manusia Secara In Vitro Menggunakan Metode Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi, UMP Digital Library.

16

Anda mungkin juga menyukai