Patofisiologi, Farmakologi Dan Terapi Diet Pada Gangguan Kegawatan Obstetri (28-32)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 37

PATOFISIOLOGI, FARMAKOLOGI DAN TERAPI DIET

PADA GANGGUAN KEGAWATAN OBSTETRI

Oleh :
I GUSTI AYU SRI PARWATI (P07120216028)
PUTU DIAH SANDI DEWI (P07120216029)
MADE DWI TRESNA SAPUTRA (P07120216030)
ANNISA PRATIWI (P07120216031)
KETUT YUNI HANDAYANI (P07120216032)

KELAS A/ PRODI NERS

POLTEKKES KEMENKES DENPASAR


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI NERS
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR

Om swastiatu,
Pujisyukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, atas karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul,
“Patofisiologi, Farmakologi dan Terapi Diet pada Gangguan Kegawatan Obstetri”
dalam mata kuliah matrikulasi Keperawatan Gawat Darurat dengan baik dan
lancar.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan motivasi berbagai
pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada
rekan-rekan yang telah membantu. Kami menyadari makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif sehingga kami dapat
menyempurnakan makalah ini.

Denpasar, Juli 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktik keperawatan


kegawat daruratan yang diberikan oleh perawat yang kompeten untuk
memberikan asuhan keperawatan diruang gawat darurat.
Kegawatan obstetric merupakan salah satu kasus gawat darurat yang
membutuhkan penanganan segera dan bisa mengancam nyawa baik ibu maupun
janin. Tujuan keperawatan gawat darurat adalah mencegah kematian dan
kecacatan pada penderita gawat darurat.
Kondisi pasien gawat darurat membutuhkan penanganan yang tepat dan
cepat. Pelayanan dilakukan di Unit Gawat Darurat (UGD) dengan sistem triage.
Pemantauan dilakukan ketat pada keluhan atau gejala pasien, tanda-tanda vital,
saturasi oksigen, keseimbangan cairan tubuh dan lain-lain. Bilamana terdapat
masalah dari pemantauan ini, maka akan segera dilakukan penatalaksanaan dan
evaluasi. Perawatan dilakukan secara menyeluruh dalam artian semua kebutuhan
dasar pasien diatur dan dibantu sedemikian rupa untuk mendukung penyembuhan,
sehingga perlu dipahami dalam perawatan, dasar yang harus dimiliki perawat
adalah pengetahuan terkait patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada kasus-
kasus gawat darurat khususnya kasus kegawatan obstetri.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimanakah
patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet pada gangguan kegawatan obstetric?
C. Tujuan
1. Tujuan umum

Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
patofisilogi, farmakologi, dan terapi diet kasus gangguan kegawatan obstetric.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet gangguan
ketuban pecah dini.
b. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet gangguan
perdarahan post partum.
c. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet gangguan
abortus.
d. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet gangguan
distorsia bahu.
e. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet gangguan
preekslamsia

D. Manfaat
1. Bagi penulis

Menambah wawasan dan pengetahuan tentang patofisiologi, farmakologi


dan terapi diet kasus gangguan kegawatan obstetri sehingga dapat menjadi bekal
dan pedoman dalam melakukan praktik keperawatan gawat darurat.

2. Bagi institusi

Makalah ini dapat dijadikan masukan atau pedoman dalam mata kuliah
matrikulasi keperawatan gawat darurat untuk profesi ners dan dalam pembuatan
makalah selanjutnya sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dengan
lebih baik lagi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ketuban Pecah Dini (KPD)


1. Definisi

Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum tanda-
tanda persalinan (Mansjoer, et al, 2002). Pecahnya ketuban sebelum waktunya
melahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (masa laten). Hal ini
dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan.
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya/rupturnya selaput amnion
sebelum dimulainya persalinan yang sebenarnya atau pecahnya selaput amnion
sebelum usia kehamilannya mencapai 37 minggu dengan atau tanpa kontraksi
(Mitayani,2011).
Ketuban pecah dini didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum
waktunya melahirkan, hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh
sebelum waktunya melahirkan (Sujiyati,2009).
Ketuban pecah dini (KPD)  merupakan pecahnya selaput janin sebelum
proses persalinan dimulai, pada usia kurang dari 37 minggu (Errol Norwiz &
John).

2. Etiologi
Ketuban pecah dini biasanya menyebabkan persalinan premature alias bayi
terpaksa dilahirkan sebelum waktunya.Air ketuban pecah lebih awal bisa
disebabkan oleh beberapa hal, seperti yang disampaikan oleh Geri Morgan (2009)
yaitu:
a. Infeksi rahim, leher rahim, atau vagina,
b. Pemicu umum ketuban pecah dini adalah:
1) Persalinan premature
2) Korioamnionitis terjadi dua kali sebanyak KPD
3) Malposisi atau malpresentasi janin
c. Faktor yang mengakibatkan kerusakan serviks
1) Pemakaian alat-alat pada serviks sebelumnya (misalnya aborsi terapeutik,
LEEP, dan sebagainya)
2) Peningkatan paritas yang memungkinkan kerusakan serviks selama
pelahiran sebelumnya
3) Inkompeteni serviks
d. Riwayat KPD sebelumnya sebanyak dua kali atau lebih
e. Faktor-faktor yang berhubungan dengan berat badan ibu:
1) Kelebihan berat badan sebelum kehamilan
2) Penambahan berat badan sebelum kehamilan
f. Merokok selama kehamilan
g. Usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat
daripada ibu muda
h. Riwayat hubungan seksual baru-baru ini.

3. Patofisiologi

Infeksi dan inflamasi dapat menyebabkan ketuban pecah dini dengan


menginduksi kontraksi uterus dan atau kelemahan fokal kulit ketuban. Banyak
mikroorganisme servikovaginal, menghasilkan fosfolipid C yang dapat
meningkatkan konsentrasi secara lokal asam arakidonat, dan lebih lanjut
menyebabkan pelepasan PGE2 dan PGF2 alfa dan selanjutnya menyebabkan
kontraksi miometrium. Pada infeksi juga dihasilkan produk sekresi akibat
aktivitas monosit/ makrofag, yaitu sitokrin, interleukin 1, faktor nekrosis tumor
dan interleukin 6. Platelet activating factor yang diproduksi oleh paru-paru janin
dan ginjal janinyang ditemukan dalam cairan amnion, secara sinergis juga
mengaktifasi pembentukan sitokin. Endotoksin yang masuk kedalam cairan
amnion juga akan merangsang sel-sel desidua untuk memproduksi sitokin dan
kemudian prostaglandin yang menyebabkan dimulainya persalinan.
Adanya kelemahan lokal atau perubahan kulit ketuban adalah mekanisme
lain terjadinya ketuban pecah dini akibat infeksi dan inflamasi. Enzim bakterial
dan atau produk host yang disekresikan sebagai respon untuk infeksi dapat
menyebabkan kelemahan dan rupture kulit ketuban. Banyak flora servikoginal
komensal dan patogenik mempunyai kemampuan memproduksi protease dan
kolagenase yang menurunkan kekuatan tenaga kulit ketuban. Elastase leukosit
polimorfonuklear secara spesifik dapat memecah kolagen tipe III pada manusia,
membuktikan bahwa infiltrasi leukosit pada kulit ketuban yang terjadi karena
kolonisasi bakteri atau infeksi dapat menyebabkan pengurangan kolagen tipe III
dan menyebabkan ketuban pecah dini.
Enzim hidrolitik lain, termasuk katepsin B, katepsin N, kolagenase yang
dihasilkan netrofil dan makrofag, nampaknya melemahkan kulit ketuban. Sel
inflamasi manusia juga menguraikan aktifator plasminogen yang mengubah
plasminogen menjadi plasmin potensial, potensial menjadi penyebab ketuban
pecah dini.

4. Tanda dan Gejala

Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui


vagina,aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak,mungkin
cairan tersebut masih merembes atau menetes dengan ciri pucat dan bergaris
warna darah,cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi
sampai kelahiran.Tetapi bila duduk atau berdiri,kepala janin yang sudah terletak
dibawah biasanya “mengganjal “atau menyambut kebocoran untuk sementara.
Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut,denyut jantung janin bertambah
cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi (Sujiyatini, 2009).

5. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Penatalaksaan agresif
1) Jel prostaglandin atau misoprostol (meskipun tidak disetujui
penggunaannya) dapat diberikan setelah konsultasi dengan dokter
2) Mungkin dibutuhkan rangkaian induksi pitocin bila serviks tidak berespons
3) Beberapa ahli menunggu 12 jam untuk terjadinya persalinan. Bila tidak ada
tanda, mulai pemberian pitocin
4) Berikan cairan per IV, pantau janin
5) Peningkatan resiko seksio sesaria bila induksi tidak efektif.
6) Bila pengambilan keputusan bergantung pada kelayakan serviks untuk
diindikasi, kaji nilai bishop setelah pemeriksaan spekulum. Bila diputuskan untuk
menunggu persalinan, tidak ada lagi pemeriksaan yang dilakukan, baik manipulasi
dengan tangan maupun spekulum, sampai persalinan dimulai atau induksi dimulai
7) Periksa hitung darah lengkap bila ketuban pecah. Ulangi pemeriksaan pada
hari berikutnya sampai pelahiran atau lebih sering bila ada tanda infeksi
8) Lakukan NST setelah ketuban pecah; waspada adanya takikardia janin yang
merupakan salah satu tanda infeksi
9) Mulai induksi setelah konsultasi dengan dokter bila :
a) Suhu tubuh ibu meningkat signifikan
b) Terjadi takikardia janin
c) Lokia tampak keruh
d) Iritabilitas atau nyeri tekan uterus yang signifikan
e) Kultur vagina menunjukan strepkus beta hemolitikus
f) Hitung darah lengkap menunjukan kenaikan sel darah putih

b. Penatalaksanaan persalinan lebih dari 24 jam setelah ketuban pecah


1) Pesalinan spontas
a) Ukur suhu tubuh pasien setiap 2 jam, berikan antibiotik bila ada demam
b) Anjurkan pemantauan janin internal
c) Beritahu dokter  spesialis obstetri dan spesialis anak atau praktisi perawat
neonatus
d) Lakukan kultur sesuai panduan

2) Indikasi persalinan
a) Lakukan secara rutin setelah konsultasi dengan dokter
b) Ukur suhu tubuh setiap 2 jam
c) Antibiotik : pemberian antibiotik memiliki beragam panduan, banyak yang
memberikan 1-2 g ampisilin per IV atau 1-2 g Mefoxin per IV setiap 6 jam
sebagai profilakis. Beberapa panduan lainnya menyarankan untuk mengukur suhu
tubuh ibu dan DJJ  untuk menentuan kapan antibiotik mungkin diperlukan.
6. Terapi Diiet KPD
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) adalah diet yang mengandung energi
dan protein di atas kebutuhan normal. Diet diberikan dalam bentuk makanan biasa
ditambah bahan makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur, dan daging.

Apakah tujuan diet TKTP?


⦁ Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat
⦁ mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh
⦁ Menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal

Syarat Diet :
 Energi tinggi
 Protein tinggi
 Cukup vitamin dan mineral
 Mudah dicerna
 Diberikan secara bertahap
 Makanan yang dapat mengurangi nafsu makan tidak diberikan dekat waktu
makan

Makanan yang dapat mengurangi nafsu makan :


 Makanan yang terlalu manis, gurih, dan berlemak seperti : permen, dodol,
wajik, cake (kue)

Bahan Makanan Dianjurkan :


 Sumber Karbohidrat : nasi, roti, mie, makaroni, puding, ubi, karbohidrat
sederhana seperti gula pasir.
 Sumber protein : daging sapi, ayam, ikan, telur, susu, dan hasil olahan seperti
keju dan yoghurt
 Sumber protein nabati : semua jenis kacang-kacangan dan hasil olahannya
seperti tempe, tahu
 Sayuran : semua jenis sayuran, terutama jenis B seperti bayam, buncis, daun
singkong, kacang panjang, labu siam, dan wortel direbus, dikukus atau ditumis
 Buah : semua jenis buah segar, jus buah
 Lemak dan minyak : minyak goreng, mentega, margarin, santan encer
 Minuman : softdrink, madu, sirup, teh dan kopi encer
 Bumbu : bumbu tidak tajam, seperti bawang merah, bawang putih, laos, salam,
kecap.

Bahan Makanan Tidak Dianjurkan :


 Sumber protein : dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental
 Sumber protein nabati : dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan
kental
 Lemak dan minyak : santan kental
 Bumbu : bumbu yang tajam, cabe dan merica

Bagaimana Mengatur Diet ini :


 Perhatikan variasi dan rasa makanan, rasa makanan dapat ditingkatkan dengan
pemakaian bermacam-macam bumbu
 Kebersamaan makan dalam keluarga dan suasana makan dapat membantu
meningkatkan selera makan
 Makanan yang menajdi kesukaan juga perlu diperhatikan
 Untuk memudahkan penyelenggaraan makanan, tambahan energi dan protein
diberikan berupa lauk dan susu yang
 ditambahkan pada makanan biasa
 Usahakan makan 6x sehari dengan pengaturan 3x makanan utama dan 3x
selingan

B. Perdarahan Post Partum


1. Definisi

Perdarahan pascasalin adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir


yang melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan
akan mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa
menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan demkian secara konvensional
dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml dapat dikategorikan sebagai
perdarahan pascasalin dan perdarahan yang secara kasat mata mencapai 1000 ml
harus segera ditangani secara serius. Definisi baru mengatakan bahwa setiap
perdarahan yang yang dapat mengganggu homeostasis tubuh atau
mengakibatkan tanda hipovolemia termasuk dalam kategori perdarahan
postpartum. Perdarahan pascasalin dapat terjadi segera setelah janin lahir, selama
pelepasan plasenta atau setelah plasenta lahir. Perdarahan yang terjadi sebelum
dan selama plasenta lahir lebih dikenal sebagai perdarahan kala III dan
perdarahan setelah plasenta lahir sebagai perdarahan kala IV, dan sering disebut
sebagai immediate postpartum bleeding. Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah plasenta lahir deikenal dengan perdarahan pascasalin dini
(earlypostpartumbleeding).

Kemampuan seorang wanita untuk menangulangi akibat buruk pedarahan


tergantung pada status kesehatan sebelumnya, ada tidaknya anemia, ada tidaknya
hemokonsentrasi seperti pada preeklamsia dan ada tidaknya dehidrasi.
Perdarahan sebanyak lebih dari 1/3 volume darah atau 1000 ml harus segera
mendapatkan penanganan. Volume darah (dalam ml) dihitung dengan rumus
berat badan (BB) dalam kg dikalikan dengan angka 80.

Tulisan ini secara khusus bertujuan membahas penanganan perdarahan


pascasalin dini karena atoni dan usaha penanganannya menggunakan tampon
kondom dalam rangka menurunkan angka kematian ibu (AKI).

2. Etiologi

Tanda paling utama adalah keluarnya darah yang berlebihan setelah bayi
lahir atau setelah plasenta lahir. Adanya darah yang mengalir deras, kontraksi
uterus lembek dan tidak membaik dengan masase, pasien segara jatuh dalam
keadaan shock hemoragik adalah tanda dan gejala utama perdarahan pascasalin
karena atoni uteri. Menghitung jumlah darah yang keluar tidak mudah sehingga
jumlah darah yang keluar biasanya hanya berdasarkan perkiraan yakni dengan
melihat seberapa basah kain yang dipakai sebagai alas, bagaimana darah
mengalir dan berapa lama darah tetap mengalir. Keterlambatan dalam
menentukan banyaknya darah yang keluar bisa menimbulkan masalah yang
serius.

Shock hemoragik

Shock terjadi bila ada hipoperfusi pada organ vital. Hipoperfusi bisa
disebabkan oleh kegagalan kerja jantung (shock kardiogenik), infeksi yang hebat
sehingga terjadi redistribusi cairan yang beredar (intravaskular) ke dalam cairan
ekstravaskular (syok septik), hipovolemia karena dehidrasi (shock hipovolemik)
atau karena perdarahan banyak (shock hemoragik). Berikut adalah derajat syok
hemoragik dan estimasi jumlah perdarahan berdasar tanda klinis yang bisa
diamati.

Kematian terjadi karena kegagalan multiorgan. Perdarahan hebat


menyebabkan penurunan volume sirkulasi sehingga terjadi respons simpatis.
Terjadi takikardia, kontraktilitas otot jantung meningkat dan vasokonstriksi
perifer. Sementara volume darah beredar menurun, kemampuan sel darah merah
untuk mengangkut oksigen juga menurun sehingga memacu terjadinya
kegagalan miokardium. Vasokonstriksi perifer ditambah dengan menurunnya
kemampuan darah membawa oksigen menyebabkan terjadinya hipoperfusi dan
hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan memacu metabolisme anaerob dan
terjadilah asidosis. Asidosis inilah yang memacu terlepasnya berbagai mediator
kimiawi dan memacu respons inflamasi sistemik. Keadaan ini menyebabkan
terlepasnya radikal oksigen yang berakibat kematian sel. Kematian sel
menyebabkan lemahnya sistem barier mukosa sehingga mikroorganisme dan
endotoksin mudah tersebar ke seluruh jaringan dan organ. Keadaan inilah yang
mengakibatkan terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan
kegagalan multiorgan yang berakhir dengankematian. Perdarahan pascasalin
merupakan penyebab terbanyak kematian ibu.
3. Pencegahan

Tujuan utama penanganan perdarahan pascasalin ada 3 yakni pencegahan,


penghentian perdarahan dan mengatasi shock hipovolemik. Pendekatan risiko,
meskipun menimbulkan kontroversi tetap masih mendapatkan tempat untuk
diperhatikan. Setiap ibu hamil dengan faktor risiko tinggi terjadinya perdarahan
pascasalin sebaiknya dirujuk ke tempat fasilitas kesehatan yang mempunyai unit
tranfusi dan perawatan intensif.
Penanganan aktif kala tiga (PAKT). Pencegahan yang terbaik adalah
dengan melakukan penanganan aktif kala III persalinan). PAKT adalah sebuah
tindakan (intervensi) yang bertujuan mempercepat lahirnya plasenta dengan
meningkatkan kontraksi uterus sehingga menurunkan kejadian perdarahan
postpartum karena atoni uteri. Tindakan ini meliputi 3 komponen utama yakni
pemberian uterotonika, tarikan tali pusat terkendali dan masase uterus setelah
plasenta lahir. Oksitosin 10 unit disuntikan secara intramuskular segera setelah
bahu depan atau janin lahir seluruhnya. Tarikan tali pusat secara terkendali (tidak
terlalu kuat) dilakukan pada saatuterus berkontraksi kuat sambil ibu diminta
mengejan. Jangan lupa melakukan counter- pressure terhadap uterus untuk
menghidari inversi. Never apply cord traction (pull) without applying counter
traction (push) above the pubic bone on a well- contracted uterus. Lakukan
masase fundus uteri segera setalah plasenta lahir sampai uterus berkontraksi kuat,
palpasi tiap 15 menit dan yakinkan uterus tidak lembek setelah masase berhenti.

Secara ringkas langkah-langkah penanganan aktif kala III persalinan adalah


sebagai berikut:

1. Suntik 10 unit oksitosin (1 ampul) segera setelah janinlahir.

2. Tunggu uteruskontraksi

a. Ibu merasamules

b. Uterus berbentukglobuler

c. Uterus terasakeras

3. Lakukan tarikan terkendali pada talipusat kearah ventro kaudal, sambil


melakukan counter-pressure kearah dorsokranial untuk menghindari inversi
uterus, sambil ibu diminta mengejan.

4. Lakukan masase fundus uteri


a. segera setelah plasenta lahir sampai uterus berkontraksikuat

b. ulangi masase tiap 15 menit dan yakinkan uterus tidak lembek setelah
masase berhenti.
5. Observasi di kamar bersalin sampai 2 jam pascasalin

Oksitosika. Oksitosika utama yang dipakai dalam pencegahan dan


penanganan perdarahan postpartum adalah oksitosin dan metilergonovin. Society
of Obstetricians and Gynecologist of Canada (SOGC) Clinical Practice
Guidline merekomendaskan pemakaian oksitosin dan metilergonovin sebagai
berikut.

Tabel 7. Penggunaan oksitosika (oksitosin dan metilergonovin)

Drug Dose Side effect Contraindications

Oxytocin  10 units  Usually none  Hypersensitivity


IM hypersensitivity to drug
 5 units IV to drug
bolus
 Painful
 10 to 20
contractions
units/liter,
tetesan intra  Nausea,
vena vomiting, (water
intoxication)

Methyl  0.25 mg  Peripheral  Hypertension


ergonovine IM or 0.125 vaso spasm
 Hypersensitivity
mg Iv repeat
 Hypertension to drug
every 5
minuts as
needed
Misoprostol. Misoprostol adalah analog prostaglandin E1, yang pertama
kali diterima oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai obat ukus
peptikum. Sekarang misoprostol banyak digunakan dalam praktek obstetrik
karena sifatnya yang bisa memacu kontraksi miometrium yakni sebagai obat
induksi persalinan dan uterotonika penting untuk mengatasi perdarahan
pascasalin karena atoni uteri. Misoprostol lebih unggul dibanding prostaglandin
lain seperti PG E2 atau PG F2α karena sifatnya yang stabil pada temperatur
kamar, murah dan mudah penggunaannya.
Dalam sebuah systematic reviev yang melibatkan 37 penelitian
misoprostol dan prostaglandin suntikan dengan jumlah subyek 42.621 wanita
menghasilkan bukti sebagai berikut: Misoprostol oral dengan dosis 600 µg (7
penelitian, 2849 wanita) dan sublingual (satu penelitian,661wanita) memberikan
nilai RR 0.66;95% (CI0.45-0.98) dibanding plasebo dalam menekan kejadian
perdarahan pascasalin banyak (>1000 ml). Lima penelitian misoprostol oral (3519
wanita) menunjukkan penurunan kebutuhan transfusi darah sebanyak 3 kali (RR
0.31; 95%CI 0,10-0,94). Meskipun demikian misoprostol memberikan efek
samping yang cukup signifikan berupa menggigil (shivering) dan kenaikan suhu
(pyrexia) sampai 38º Celsius.(12) Bila misoprostol dibandingkan dengan
oksitosika injeksi terlihat bahwa oksitosika injeksi lebih baik dalam mencegah
kejadian perdarahan postpartum banyak (>1000 ml) dengan RR 1.36 (1.17,- 1.58).
Tidak ada perbedaan antara pemakaian misoprostol dibanding dengan oksitoska
injeksi dalam kejadian kala III lama (>30 menit), plasenta manual maupun
kebutuhan transfusi darah, bahkan untuk lama kala III, oksitosika injeksi lebih
pendek dibanding misoprostol. Studi WHO tahun 2001 juga menunjukkan tidak
ada perbedaan kejadian kematian maternal antara kedua kelompok, yakni 2 dari
9264 pada kelompok misoprostol dibanding 2 dari 9266 pada kelompok
oksitiosika injeksi.

4. Penanganan Farmakologi
a. Penanganan Medik

Jika dengan PAKT perdarahan vaginal masih berlangsung maka harus


segera diberikan 5-10 unit oksitosin secara intravena pelan atau 5-30 unit dalam
500 ml cairan dan 0,25-0,5 mg ergometrin intravena. Pada saat yang sama
dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya sebab lain
seperti adanya robekan jalan lahir atau retensi sisa plasenta. Perhatian harus
ditujukan pada cara mengatasi syok (“CBA’s”) dengan memasang venokateter
besar, memberikan oksigen dengan masker, monitoring tanda vital dan
memasang kateter tinggal untuk memonitor jumlah urin yang keluar. Monitoring
saturasi oksigen juga perlu dilakukan. Darah diambil untuk pemeriksaan rutin,
golongan darah dan skrining koagulasi. Ada baiknya dokter menahan darah
dalam tabung reaksi untuk observasi berapa lama darah menjendal. Kegagalan
menjendal dalam 8-10 menit menunjukkan adanya gangguan pembekuan darah.

Langkah penting yang harus segera diambil adalah koreksi hipovolemia


(resusitasi cairan). Kelambatan atau ketidak sesuaian dalam memberikan koreksi
hipovolemia merupakan awal kegagalan mengatasi kematian akibat perdarahan
pascasalin. Meskipun jika terjadi perdarahan kedua komponen darah (plasma dan
sel darah) hilang, tetapi penanganan pertama untuk menjaga homeostasis tubuh
dan mempertahankan perfusi jaringan adalah dengan pemberiaan cairan. Larutan
kristaloid (saline normal atau ringer laktat) lebih diutamakan dibanding koloid
dan harus segera diberikan dengan jumlah 3 kali perkiaran darah yang hilang.
Dextran tidak boleh diberikan karena mengganggu agregasi platelet. Dosis
maksimal untuk larutan koloid adalah 1500 ml per 24 jam.
Oksitosin dan metilergonovin masih merupakan obat lini pertama.
Oksitosin diberikan lewat infus dengan dosis 20 unit per liter dengan tetesan
cepat. Bila sudah terjadi kolaps sirkulasi, oksitosin 10 unit diberikan lewat
suntikan intramiometrial. Tidak ada kontraindikasi untuk oksitosin dalam dosis
terapetik, hanya ada sedikit efek samping yakni nausea dan muntah, dan retensi
air sangat jarang terjadi. Metilergonovin maleat menghasilkan kontraksi tetanik
dalam lima menit setelah pemberian intramuskular. Dosisnya adalah 0,25 mg
yang dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis maksimal 1,25 mg. Obat ini juga
bisa diberikan secara intramiometrial atau intrvena dengan dosis 0,125 mg.
Metilergonovin tidak boleh diberikan pada pasien hipertensi.
Sebuah systematic review yang dengan melibatkan 462 subyek yang
membandingkan misoprostol (dosis 600 sampai 1000 µg) versus oksitosin plus
ergometrin dan misoprostol versus plasebo memberikan hasil sebagai berikut.

1) Penggunaan misoprostol tidak berhubungan secara bermakna dengan


penurunan (a) kematian maternal (2 trial, 398 wanita; RR 7.24, 95% CI 0.38-
138.6), (b) histerektomi (2 trial, 398 wanita; RR 1.24, 95% CI 0.04-40.78), (c)
uterotonika tambahan (2 trial, 398 wanita; RR 0.98, 95% CI 0.78-1.24), (d)
transfusi darah (2 trial, 394 wanita; RR 1.33, 95% CI 0.81- 2.18), dan evakuasi
plasenta atau sisa plasenta (1 trial, 238 wanita; RR 5.17, 95% CI0.25-107).
2) Penggunaan misoprostol meningkatkan secara bermakna kejadian
maternal pyrexia (2 trial, 392 wanita; RR 6.40, 95% CI 1.71- 23.96) dan
menggigil (2 trial, 394 wanita; RR 2.31, 95% CI1.68-3.18).

5. Terapi Diet Perdarahan postpartum


Diet tinggi protein (1,5 gr/kg BB)
Serta kebutuhan lainnya :
1. Energi sesuai kebutuhan diberikan 2515,356 kkal

2. Lemak sedang diberikan 25 % yaitu sebesar 69,871 gram

3. Karhohidrat sesuai kebutuhan diberikan 380,13 gram

4. Vitamin dan mineral terutama pemberian Fe, asam folat, dan vit B12 serta
vit C

5. Pemberian makan disesuaikan dengan kebutuhan pasien

Makanan yang diperbolehkan :


1. Makanan sumber zat besi seperti hati ayam, tempe, kacang kedelai, daun
singkong, bayam, dll
2. Makanan sumber asam folat seperti hati ayam, hati sapi, kacang kedelai,
rumput laut, kacang merah, asparagus, dll
3. Makanan sumber vitamin B12 seperti hati sapi, kuning telur
4. Makanan suber vitamin C seperti buah-buahan seperti jeruk, apel, dll
Makanan yang tidak diperbolehkan
1. Makan makanan dan minum yang merangsang (berbumbu tajam)
2. Makanan dengan minyak, santan kental berlebih

C. Abortus
1. Definisi

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin


mampu hidup luar kandungan. Batasan abortus adalah umur kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Sedang menurut
WHO/FIGO adalah jika kehamilan kurang dari 22 minggu, bila berat janin tidak
diketahui.

2. Etiologi
Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu :
a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi biasanya menyebabkan abortus pada
kehamilan sebelum usia 8 minggu. Factor yang menyebabkan kelainan ini adalah :
 Kelainan kromosom
 Lingkungan sekitar tempat implantasi kurang sempurna
 Pengaruh dari luar
b. Kelainan pada plasenta
Misalnya end-arteritis dapat terjadi dalam vilikorialis dan menyebabkan
oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan
dan kematian janin.
c. Kelainan pertumbuhan hasilkonsepsi
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis, malaria, dan lain-lain
dapat menyebabkan abortus.

d. kelainan traktur genetalis

retroversi uteri, mioma uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan
abortus.

3. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian
diikuti oleh nekrosis jaringan disekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil
konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga menjadi benda asing dalam
uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkannya.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena vilikorialis belum menembus desidua secara mendalam. Pada
kehamilan antara 8-14 minggu vilikoialis menembus desidua lebih dalam,
sehingga umumnya plasenta tidak terlepas sempurna yang dapat menyebabkan
bvanyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu keatas umumnya dikeluarkan
setelah ketuban pecah ialah janin, disusul berapa waktu kemudian plasenta. Hasil
konsepsi keluar dalam bentuk, sehingga kantong kosong amnion atau benda kecil
yang tidak jelas bentuknya, janin lahir mati, janin lahir hidup, mola kruenta, fetus
kompresus, maserasi, atau fetus papiraseus.

4. Penatalaksanaan Framakologi
a. Abortus imminens
 Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang mekanik
berkurang.
 Progesterone 10mg sehari untuk terapi substitusi dan untuk mengurangi
kerentanan otot rahim.\
 Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil negatif, mungkin janin sudah
mati.
 Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.
 Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3x30mg.
 Pasien tidak boleh berhubungan seksual sampai lebih kurang 2 minggu.
b. Abortus inipiens
 Bila tanda-tanda syok maka atasi dulu dengan pemberian cairan dan
transfuse darah.
 Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai perdarahan,
tangani dengan pengosongan uterus memakasi kuret vakum atau cunam
abortus, disusul dengan kerokan memakai kuret tajam. Suntikkan
ergometrin 0,5 mg intra muscular.
 Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan oksitosin 10 Iu dalam
dekstrose 5% 500ml dimulai 8 tetes per menit dan naikkan sesuai
kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplet.
 Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan
pengeluaran plasenta secara digital yang dapat disusul dengan kerokan.
 Memberi antibiotic sebagai profilaksis.
c. Abortus inkomplet
 Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infuse cairan NaCl fisiologis
atau ringer laktat yang disusul dengan transfuse darah.
 Setelah syok diatasi, lakukan kerokan dengan kuret lalu suntikan ergometrin
0,2 mg intra muscular untuk mempertahankan kontraksi otot uterus.
 Berikan antibiotic untuk mencegah infeksi.
d. Abortus komplet
 Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau transfusi
darah
 Berikan antibiotic untuk mencegah infeksi.
 Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin, dan mineral.
e. Missed abortion
 Bila terdapat hipofibrinogenemia siapkan darah segar atau fibrinogen.
 Pada kehamilan 12 minggu lakukan pembukaan servik dengan gagang
laminaria selama 12 jam lalu dilakukan dilatasi servik. Kemudian hasil
konsepsi diambil dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
 Pada kehamilan lebih dari 12 minggu beri infuse intra vena oksitosin 10 IU
dalam dekstrose 5% sebanyak 500ml mulai dengan 20 tetes per menit dan
naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus. Oksitosin dapat diberikan 10
IU dalam 8 jam. Bila tidak berhasil, ulangi infuse oksitosin setelah pasien
istirahat satu hari.
 Bila fundus uteri sampai 2 jari bawah pusat, keluarkan hasil konsepsi
dengan menyuntikkan larutan garam 20% dalam kavum uteri melalui
dinding perut.
f. Abortus infeksius dan septic
 Tingkatkan asupan cairan
 Bila perdarahan banyak, lakukan transfuse darah
 Penanggulangan infeksi :
o Gentamycin 3x80mg dan penicillin 4x1,2 juta
o Chloromycetin 4x500mg
o Cephalosporin 3x1
o Sulbenicilin 3x1-2 gram
 Kuretase dilakukan dalam waktu 6 jam karena pengeluaran sisa-sisa abortus
mencegah perderah dan menghilangkan jaringan nekrosis yang bertindak
sebagai medium perkembangbiakan bagi jasad renik.
 Pada kasus tetanus perlu diberikan ATS, irigasi dengan H2O2 dan
histerektomi total secepatnya.
g. Abortus habitualis
 Memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sehat, istirahat
yang cukup, larangan koitus, dan olah raga.
 Merokok dan minum alcohol dikurangi.
 Pada servik inkompeten terapinya adalah operatif.

5. TErapi diet Abortus


Diet tinggi protein
1. Makanan sumber zat besi seperti hati ayam, tempe, kacang kedelai, daun
singkong, bayam, dll
2. Makanan sumber asam folat seperti hati ayam, hati sapi, kacang kedelai,
rumput laut, kacang merah, asparagus, dll
3. Makanan sumber vitamin B12 seperti hati sapi, kuning telur
4. Makanan suber vitamin C seperti buah-buahan seperti jeruk, apel, dll

E. Distosia Bahu
1. Pengertian Distosia Bahu
Distosia bahu ialah kelahiran kepala janin dengan bahu anterior tertahan diatas
promontorium sakrum karena ia tidak bisa lewat untuk masuk ke dalam
panggul, atau bahu tersebut bisa melewati promontorium, tetapi mendapat
halangan dari tulang sakrum. Lebih mudahnya distosia bahu adalah peristiwa
dimana tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan setelah kepala
janin dilahirkan. (Cunningham FG, et al. 2010)
2. Tanda dan Gejala
 Kepala janin telah lahir namun masih erat berada di vulva
 Kepala bayi tidak melakukan putaran paksi luar
 Dagu tertarik dan menekan perineum
 Turtle sign yaitu penarikan kembali kepala terhadap perineum sehingga tampak masuk
kembali ke dalam vagina.
 Penarikan kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang terperangkap di belakang
simfisis.

3. Patofisiollogi
Distosia bahu terjadi ketika salah satu atau kedua bahu gagal untuk masuk ke
rongga panggul dan ada persistensi lokasi AP dari bahu janin pada pelvic brim.
Hal ini mungkin akibat dari peningkatan resistensi antara janin dan dinding
vagina (misalnya janin makrosomia) karena janin memiliki dada yang besar
relatif terhadap diameter biparietal atau di mana tubuh dan bahu janin gagal
untuk memutar (misalnya partus presipitatus) pada level tengah panggul.
(Ansell L, 2009)
Dalam distosia bahu, bahu paling umum tetap dalam diameter AP pada pelvic
brim dan bahu posterior turun di bawah promontorium sakrum yang terletak
dalam cekungan sakrum sedangkan bahu anterior tertahan di balik simfisis
pubis. Ini dikenal sebagai distosia bahu unilateral dan juga telah disebut
sebagai bentuk rendah dari distosia bahu. (Ansell L, 2009)
Bentuk yang kurang umum dan lebih parah adalah distosia bahu bilateral, yang
terjadi ketika kedua bahu tetap berada di atas pelvic brim. Seperti dalam kasus
distosia bahu unilateral, bahu anterior tertahan di balik simfisis pubis, tapi bahu
posterior tidak masuk rongga panggul dan tertahan di balik promontorium
sakrum. Ini juga telah disebut dengan bentuk tinggi dari distosia bahu. (Ansell
L, 2009)
Tanda-tanda klinis telah digunakan untuk mengidentifikasi kasus distosia bahu
sejati. Dignam (1976) menjelaskan distosia bahu sejati terjadi ketika bahu
tertahan tinggi dalam panggul dan kepala tertarik kembali terhadap perineum.
Ini dikenal sebagai turtle sign (analog dengan kura-kura yang menarik diri ke
dalam cangkangnya). Setelah persalinan kepala janin, leher janin mengalami
regangan yang signifikan dan kepala tertarik kembali dari perineum. Turtle
sign disebabkan oleh traksi terbalik dari bahu anterior yang tertahan di balik
simfisis dan bahu posterior tetap di belakang promontoium sakrum. Turtle sign
terjadi dalam bentuk bilateral dari distosia bahu dan karena peregangan leher,
tetapi tidak jelas dalam bentuk unilateral karena salah satu bahu telah masuk ke
rongga panggul dan beberapa derajat restitusi dapat berlangsung. (Ansell L,
2009), (Baxley, E.G., & Gobbo, R.W. 2004)
Penting untuk mengenali turtle sign sebagai indikasi yang paling dari bentuk
distosia bahu berat (bilateral). Dalam hal ini, godaan dan respon yang kuat
adalah untuk menarik dengan lebih keras. Dokter menyebutnya sebagai traksi
ke bawah, karea kepala janin ditarik ke bawah dalam kaitannya dengan
panggul ibu yaitu menuju sakrum. Bahkan, bahu masih dalam lokasi AP
persisten di pelvic brim, sehingga traksi yang sedang diterapkan pada kepala
janin adalah ke lateral dalam kaitannya dengan tubuh janin. Traksi lateral yang
berlebihan ini yang menyebabkan kerusakan pada akar saraf yang
mengakibatkan palsi ErbDuchenne, palsi Klumpke atau sindrom Horner.
(Ansell L, 2009)

4. Penatalaksaan Farmakologi

Menurut WHO (2008), penanganan yang dapat dilakukan pada ibu bersalin dengan partus
macet yaitu :

1) Rehidrasi pasien Bertujuan untuk mempertahankan volume plasma dan mencegah atau
mengobati hidrasi dan keton.
a) Memasang IV kateter, menggunakan nidle ukuran besar (no.18)
b) Jika ibu mengalami syok, berikan larutan salin atau ringer laktat hingga 1 liter,
kemudian ulangi 1 liter dengan tetesan 20 tetes per menit sampai nadi lebih dari
90 kali per menit, tekanan darah sistolik 100 mmHg atau lebih tinggi. Namun jika
muncul masalah pernafasan, turunkan 1 liter untuk 4-6 jam.
c) Jika ibu tidak mengalami syok tetapi ada dehidrasi dan ketonik, beri 1 liter cepat
dan ulangi jika masih dehidrasi dan ketonik. Kemudian turunkan 1 liter untuk 4-6
jam
d) Catat dengan tepat pemberian cairan intravena dan pengeluaran urin
2) Beri antibiotik Jika terdapat tanda-tanda infeksi atau membran telah pecah lebih dari
18 jam, umur kehamilan 37 minggu atau lebih berikan antibiotik seberti dibawah ini :
a) Ampicilin 2 g tiap 6 jam dan
b) Gentamisin 5 mg/BB/IV tiap 24 jam

Jika ibu akan melahirkan secara sesarea, lanjutkan pemberian antibiotik dan berikan
mitronidazol 500 mg/IV tiap 8 jam sampai demam turun selama 48 jam

5. Diet Distosia Bahu


TKTP (Tinggi Kalori Tinggi Protein) diet ini diberikan apabila ibu melahirkan
secara sesarea. Ibu memerlukan 20 gram protein diatas kebutuhan normal dan
membutuhkan 2300 – 2700 kalori.Protein diperlukan untuk pertumbuhan dan
pergantian sel – sel yang rusak atau mati. Sumber protein dapat diperoleh dari
protein hewani (telur, daging, susu, udang, kerang, keju) dan protein nabati
(banyak terkandung dalam tahu, tempe, dan kacang – kacangan) (Siwi
Walyani, 2015)

F. Preekslamsia
1. Pengertian Preekslamsia
Preeklampsia merupakan tekanan darah > 140/90 mmHg yang timbul setelah
20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. Menurut Cunningham
(2011) kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah adanya
hipertensi disertai proteinuria minimal.
Preeklampsia adalah keadaan dimana hipertensi disertai dengan proteinuria,
edema, atau kedua-duanya yang terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20
atau kadang-kadang timbul lebih awal bila terdapat perubahan hidatidiformis
yang luas pada vili dan korialis (Mitayani, 2011).
Preeklampsia adalah sindroma khusus kehamilan yang ditandai dengan derajat
ketidakseimbangan plasenta dan respons ibu yang mencakup inflamasi
sistemik. Sebagian besar mempertimbangkan hipertensi dan proteinuria sebagai
ciri preeklampsia, namun manifestasi klinis sindrom ini sangat heterogen
(James et al, 2011).
Eklampsia merupakan serangan konvulsi yang mendadak atau suatu kondisi
yang dirumuskan penyakit hipertensi yang terjadi oleh kehamilan,
menyebabkan kejang dan koma (Kamus Istilah Medis: 163, 2011).

2. Tanda dan Gejala Preekslamsia


Dua gejala objektif yang sangat penting pada pre-eklampsia yaitu hipertensi
dan proteinuria yang biasanya seperti:
a. Kenaikan berat badan dan edema :
1) Peningkatan berat badan yang tiba-tiba mendahului serangan pre-
eklampsia dan bahkan kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan
tanda pertama preeklampsia pada sebagian wanita.
2) Peningkatan berat badan terutama disebabkan karena retensi cairan dan
selalu dapat ditemukan sebelum timbul gejala edema yang terlihat jelas,
seperti kelopak mata yang bengkak atau jaringan tangan yang membesar.
b. Hipertensi
1) Peningkatan tekanan darah merupakan tanda awal yang penting pada pre-
eklampsia.
2) Tekanan diastolic merupakan tanda prognostic yang lebih andal
dibandingkan dengan tekanan sistolik.
3) Tekanan diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih yang terjadi terus-
menerus menunjukan keadaan abnormal.
c. Proteinuria
1) Pada preeklampsia ringan, proteinuria hanya minimal dan positif satu,
positif dua tidak sama sekali.
2) Pada kasus berat, protenuria dapat ditemukan dan mencapai 10 g/dl.
3) Proteinuria hampir selalu timbul kemudian dibandingkan hipertensi dan
kenaikan berat badan.

Gejala-gejala subyektif yang dapat ditemukan pada pasien dengan pre-


eklampsi:
a. Nyeri kepala.
b. Nyeri epigastrium:
1) Merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada preeklampsian
berat.
2) Keluhan ini disebabkan karena tekanan pada kapsula hepar akibat edema
atau perdarahan.
c. Gangguan penglihatan.
Sedangkan menurut Marmi, dkk. (2011) menyatakan tanda-tanda Pre-
Eklampsi biasanya timbul dalam urutan pertambahan berat badan yang
berlebihan, di ikuti oedema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada Pre-
Eklampsi ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif, pada Pre-Eklampsi
ditemukan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diploma, penglihatan kabur,
nyeri di daerah epigastrium, mual dan muntah-muntah.
Berdasarkan klasifikasinya, adapun tanda dan gejala pre-eklampsi adalah
sebagai berikut:
1. Preeklampsi
a. Preeklampsia Ringan
Preeklampsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan
edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah kehamilan.
Gejala ini dapat timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit
trofoblas. Preeklampsia dikatakan ringan apabila ditemukan tanda-tanda
dibawah ini:
a) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, yaitu kenaikan diastolik 15
mmHg atau lebih, dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih.
b) Edema umum, kaki, jari, tangan, dan wajah atau kenaikan BB 1 kg atau
lebih per minggu.
c) Proteinuria kuantitatif 0,3 gram atau lebih per liter, kualitatif 1+ atau 2+
pada urine kateter / midstream
b. Preeklampsia Berat
Pre-eklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan edema
pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Preeklampsia dikatakan berat apabila
ditemukan satu atau lebih tanda-tanda di bawah ini:
a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
b) Proteinuria 5 gram atau lebih per liter.
c) Oliguria jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
d) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri di epigastrium.
e) Ada edema paru dan sianosis (Maryunani, 2016).
Dapat disertai keterlibatan organ lain:
1) Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati
2) Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
3) Sakit kepala , skotoma penglihatan
4) Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion

c. Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik


1) Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia
kehamilan 20 minggu)
2) Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit <100.000
sel/uL pada usia kehamilan > 20 minggu (Kementerian kesehatan RI,
2013)
3. Fatofisiologi
Pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi
garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme yang hebat pada arteriola
glomerulus. Pada beberapa kasus lumen arteriola sedemikian sempitnya
sehingga hanya dapat dilalui satu sel darah merah. Jadi, jika semua arteriola
dalam tubuh mengalami spesme, maka tekanan darah dengan sendirinya akan
naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi
jaringan dapat tercukupi.
Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan air
yang berlebihan dalam ruangan interstisial belum diketahui sebabnya, ada yang
mengatakan di sebabkan oleh retensi air dan garam. Proteinuria mungkin
disebabkan oleh spasme arteriola, sehingga terjadi perubahan pada glomerulus
belum diketahui sebabnya, ada yang mengatakan di sebabkan oleh retensi air
dan garam. Proteinuria mungkin disebabkan oleh spasme arteriola, sehingga
terjadi perubahan pada glomerulus (Mitayani, 2011).
Berdasarkan perjalanan penyakit teori 2 tahap, preeklampsia dibagi menjadi 2
tahap penyakit tergantung gejala yang timbul. Tahap pertama bersifat
asimtomatik (tanpa gejala), dengan karakteristik perkembangan abnormal
plasenta pada trimester pertama. Perkembangan abnormal plasenta terutama
proses angiogenesis mengakibatkan insufisiensi plasenta dan terlepasnya
material plasenta memasuki sirkulasi ibu.
Terlepasnya material plasenta memicu gambaran klinis tahap 2, yaitu tahap
simtomatik (timbul gejala). Pada tahap ini berkembang gejala hipertensi,
gangguan renal, dan proteinuria, serta potensi terjadinya sindrom HELLP,
eklamsia dan kerusakan end organ lainnya.
Sindroma HELLP adalah pre eklampsia dan eklampsia yang disertai dengan
adanya hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar dan
trombositopenia. (H = Hemolisis; EL = Elevated Liver Enzim; LP = Low
Platelets Count).
Klasifikasi sindroma HELLLP :
1. Klasifikasi missisippi
Kelas I : Trombosit 50.000/ml atau kurang; serum LDH 600.000 IU/l atau
lebih; AST dan/atau ALT 40 IU/l atau lebih.
Kelas II : Trombosit lebih 50.000 sampai 100.000/ml; serum LDH 600.000
IU/l atau lebih; AST dan/atau ALT 40 IU/l atau lebih.
Kelas III : Trombosit lebih 100.000 sampai 150.000/ml; serum LDH 600.000
atau lebih; AST dan/atau ALT 40 IU/l atau lebih.
2. Klasifikasi Tennese
Kelas lengkap: Trombosit kurang 100.000/ml; LDH 600.000 IU/l atau lebih;
AST 70 IU/l atau lebih.
Kelas tidak lengkap : Bila ditemukan 1 atau 2 dari tanda-tanda diatas.

Dua fakta klinis tersebut menuntun pada hipotesis kuat bahwa plasenta
memegang peranan penting dalam patogenesis preeklampsia. Terapi paling
efektif dari preeklampsia adalah dengan melahirkan plasenta. Selain itu bila
plasenta berkembang berlebihan (hiperplasentosis), misalnya pada mola
hidatidosa atau gemeli, seringkali berkembang menjadi preeklampsia berat. Hal
tersebut didukung oleh pemeriksaan patologi bahwa pada plasenta dengan
preeklampsia terdapat infark luas, sklerosis yang menyebabkan penyempitan
arteri dan arteriol serta terdapat remodeling yang in adekuat pada arteri spiralis.

Pada tahap asimtomatik meskipun gejala klinik belum terlihat, tetapi


pemeriksaan tertentu dapat mengidentifikasi perubahan yang terjadi.
Pemeriksaan USG doppler arteri uterina dapat menilai adanya perubahan pada
aliran darah yang disebabkan karena peningkatan resistensi vaskular sebelum
gejala klinis timbul. Selanjutnya peningkatan vasokontriksi ateri uterina akan
menimbulkan hipertensi, proteinuria, dan endoteliosis glomerular. Gejala-
gejala tersebut yang mendukung untuk ditegakkannya diagnosis preeklampsia,
dan merupakan suatu tahap kedua atau preeklampsia dengan manifestasi gejala
klinik. Sehingga adanya ganguan histologi, fungsi, dan metabolisme plasenta
diduga sangat besar peranannya pada patofisologi preeklampsia (Pribadi, DKK.
2015).
Gangguan berat fungsi kardiovaskular yang normal umum terjadi pada
preeklamsia atau eklamsia. Ini terkait dengan:
1. Afterload jantung meningkat yang disebabkan oleh hipertensi
2. Preload jantung, yang secara substansial dipengaruhi oleh hipervolemiapada
kehamilan
3. Aktivasi endotel dengan ekstravasasi cairan intravaskular ke
ruangekstraseluler, dan yang terpenting, ke dalam paruparu.Selama kehamilan
normal, terjadi peningkatan masa ventrikel, tetapi tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa terjadi perubahan struktural tambahan yang disebabkan
oleh preeklamsia (Hibbard, DKK. 2009).

4. Penatalaksaan Farmakologi
a) Preeklampsia Ringan
Pada preeklapmsia ringan pengobatan bersifat simtomatis dan istirahat yang
cukup. Pemberian luminal 1-2 x 30 mg/hari dapat dilakukan bila tidak bisa
tidur. Bila tekanan darah tidak turun dan ada tanda-tanda ke arah preeklamsi
berat maka dapat diberikan obat antihipertensi serta dianjurkan untuk rawat
inap.

b) preeklampsia berat/eklampsia :
a. Berikan dosis awal 4 g MgSO4 40% (10cc) dijadikan 20 cc diberikan
IV bolus pelan ± 5 menit
b. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 MgSO4
40% ( 15cc) masukkan dalam cairan RL/NaCl 0,9% 250cc drip dengan
tetesan 15tetes / menit, diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau
kejang berakhir (bila eklampsia). Bila kejang berlanjut berikan 2g
MgSO4 40% (5 cc) dijadikan 10 cc diberikan IV pelan ± 5 menit.
Syarat pemberian MgSO4: frekuensi nafas > 16x/menit, tidak ada
tanda-tanda gawat nafas, diuresis >100 ml dalam 4 jam sebelumnya dan
refleks patella positif.
c. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi
nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin.
d. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak didapatkan
refleks tendon patella, dan/atau terdapat oliguria (produksi urin kurang
dari 500cc/24 jam), segera hentikan pemberian MgSO4.
e. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca-glukonas 10% (1 gram dalam 10
cc NACL 0,9% IV, dalam 3 menit)

Bila syarat pemberian MgSO4 tidak terpenuhi di berikan:


a. Diazepam: dosis awal 20 mg IM atau 10 mg IV perlahan dalam 1 menit
atau lebih. Dosis pemeliharaan D5% 500 ml + 40 mg diazepam tpm dan
dosis maksimum 2000 ml/ 24 jam. Pemberian diazepam lebih disukai
pada eklamsia puerpuralis karena pada dosis tinggi menyebabkan
hipotonik neonatus.
b. Fenobarbital: 120-140 mg IV perlahan dengan kecepatan tidak melebihi
60 mg/ menit. Dosis maksimal 1000 mg.
Perawatan kalau kejang
a. Kamar isolasi yang cukup tenang
b. Pasang sudep lidah ke dalam mulut
c. Kepala direndahkan dan orofaring dihisap
d. Oksigenasi yang cukup
e. Fiksasi badan di tempat tidur harus cukup longgar agar tidak terjadi fraktur.
Perawatan kalau koma
a. Monitoring kesadaran dan dalamnya koma dan tentukan skor tanda vital
b. Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.
c. Pada koma yang lama bila nutrisi parenteral tidak mungkin maka berikan
dalam bentuk per NGT.
Antihipertensi
Pengobatan hipertensi bertujuan untuk menurunkan tekanan darah secara
bertahap sampai pada angka normal dan mencegah pendarahan pada janin.
Penatalaksanaan hipertensi pada ibu hamil dibagi menjadi:
a. Ringan – Sedang
Jika tekanan darah sistolik 140-160 mmHg dan diastolik 90-100 mmHg dapat
menggunakan terapi:
Tabel : Penatalaksanaan hipertensi pada ibu hamil (ringan-sedang)
menurut QueenslandHealth (Hypertensive Disorders of Pregnancy) tahun
2013

Nama Obat Dosis Frekuensi Rute

Lini Metildopa 250 mg 2x PO


Pertama
Labetolol 100 mg, max 2x PO
2,4 g/hari

Oxeprenolol 80-160 mg, max 2x PO


320 mg/hari

Lini Hydralazine 25 mg, max 100 2x PO


Kedua mg/hari

Nifedipine 5-20 mg 2-3x PO

Prazosin 1 mg, max 20 2-3x PO


mg/hari

b. Berat / Akut
Jika tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 100
mmHg dapat menggunakan terapi:
Tabel : Penatalaksanaan hipertensi pada ibu hamil (berat/akut) menurut
QueenslandHealth (Hypertensive Disorders of Pregnancy) tahun 2013

Nama Obat Dosis Rute

Nifedipine 5-20 mg Po

Hydralazine 5-10 mg iv bolus

Diazoxide 15-45 mg, max 300 mg iv rapid bolus


Labetolol 20-50 mg iv bolus

5. Terapi Diet Preekslamsia


Pre eklampasia merupakan salah satu komplikasi yang sering terjasi pada
kehamilan, yang biasanya terjadi pada kehamilan lebih dari 20 minggu, yang
ditandai oleh adanya hipertensi, proteinuria, dan edema. Keluhan-keluhan yang
biasa timbul ialah adanya pertambahan berat badan (karena edema), mudah
timbul kemerah-merahan, mual, muntah, pusing, pandangan kabur, nyeri
lambung, oligouria, gelisah dan kesadaran menurun. Ciri khas dari diet ini
adalah memperhatikan asupan garam dan protein.
Tujuan dari pemberian diet pre eklampsia ialah :
Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal , Mencapai dan
mempertahankan tekanan darah agar tetap normal , Mencegah dan mengurangi
retensi garam dan air/cairan , Mencapai keseimbangan nitrogen , Menjaga agar
penambahan berat badan tidak melebihi normal , Mengurangi atau mencegah
timbulnya faktor resiko lain atau penyulit baru pada saat kehamilan atau
setelah melahirkan.
Syarat diet pada pre eklampsia, ialah :
1. Energi dan zat gizi yang diberikan harus cukup.
2. Garam diberikan rendah sesuai dengan berat ringannya retensi garam atau
air.
3. Protein tinggi (1 ½ – 2 gr/kg berat badan)
4. Pemberian lemak sedang, sebagian lemak berupa lemak tak jenuh tunggal
dan lemak tak jenuh ganda.
5. Vitamin cukup; vitamin C dan B6 diberikan sedikit lebih tinggi.
6. Mineral cukup terutama kalsium dan kalium.
7. Bentuk makanan disesuaikan dengan kemampuan makan pasien
8. Cairan diberikan 2500ml/hari. Pada keadaan oligouria cairan dibatasi dan
disesuaikan dengan cairan yang keluar melalui urin, muntah, keringat, dan
pernapasan.
Ada 3 macam pemberian diet untuk pre eklampsia, yaitu :
1. Diet Pre eklampsia I
Diet ini diberikan pada pasien dengan preeklampsia berat (PEB). Makanan
diberikan dalam bentuk cair yang terdiri dari sari buah dan susu. Jumlah cairan
yang diberikan paling sedikit 1500ml sehari per oral, dan kekurangannya
diberikan secara parenteral. Karena makanan ini kurang mengandung zat gizi
dan energi, maka hanya diberikan 1-2 hari saja.
2. Diet Pre eklampsia II
Diet ini diberikan kepada pasien pre eklampsia yang penyakitnya tidak terlalu
berat atau sebagai makanan peralihan dari diet pre eklampsia I. Makanan
diberikan dalam bentuk saring atau lunak dan diberikan sebagai Diet Rendah
Garam I. Dalam diet ini makanan yang diberikan cukup mengandung energi
dan zat gizi lainnya.
3. Diet Pre eklampsia III
Diet pre eklampsia III diberikan kepada pasien dengan pre eklampsia ringan
(PER) atau sebagai peralihan dari diet pre eklampsia II. Pada diet ini makanan
mengandung tinggi protein dan rendah garam. Makanan diberikan dalam
bentuk lunak atau biasa. Pada diet, jumlah energi harus disesuaikan dengan
kenaikan berat badan yang boleh lebih dari 1 kg/bulan. Pada diet ini makanan
yang diberikan mengandung cukup semua zat gizi dan energi .
BAB III

PENUTUP

B. Simpulan

Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum tanda-
tanda persalinan (Mansjoer, et al, 2002). Pecahnya ketuban sebelum waktunya
melahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (masa laten). Hal ini
dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan.
Perdarahan pascasalin adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang melewati
batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan mengeluarkan darah
secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan gangguan homeostasis.
Dengan demkian secara konvensional dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml
dapat dikategorikan sebagai perdarahan pascasalin dan perdarahan yang secara kasat mata
mencapai 1000 ml harus segera ditangani secara serius. Abortus adalah ancaman atau
pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup luar kandungan. Batasan
abortus adalah umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang
dari 500 gram. Sedang menurut WHO/FIGO adalah jika kehamilan kurang dari 22
minggu, bila berat janin tidak diketahui. Distosia bahu ialah kelahiran kepala janin
dengan bahu anterior tertahan diatas promontorium sakrum karena ia tidak bisa
lewat untuk masuk ke dalam panggul, atau bahu tersebut bisa melewati
promontorium, tetapi mendapat halangan dari tulang sakrum. Preeklampsia
merupakan tekanan darah > 140/90 mmHg yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria. Menurut Cunningham (2011) kriteria
minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah adanya hipertensi disertai
proteinuria minimal

C. Saran
Dengan berhasil disusunnya makalah ini, semoga bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya bagi mahasiswa keperawatan. Penyusun berharap agar para
pembaca dapat lebih memahami patofisiologi, farmakologi dan terapi diet kasus
gangguan kegawatan obstetri dalam upaya penanganan kasus keperawatan gawat
darurat sehingga ilmu yang didapatkan dapat bermanfaat di masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, Chrisdiono M. 2004. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:


EGC

Anik & Yulianingsih 2009, Asuhan kegawatdaruratan dalam Kebidanan, Trans


Info Media, Jakarta.

Ansell L. Shoulder Dystocia: Effective Management of an Obstetric Emergency:


A Qualitative Study. 2009. Pp.21-22

Astuti, Sri Lestari Dwi, Sunaryo , Tri. Haryati, Susi Dwi. 2013. Analisis Faktor
Resiko Yang Terjadinya Pre Eklampsi Berat Pada Ibu Hamil Trimester
Ketiga. Jurnal Nasional. Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan
Surakarta Jurusan Keperawatan.
Baxley, E.G., & Gobbo, R.W. (2004). Shoulder Dystocia. American Family
Physician, 69(7).

CunninghamFG,LevenoKJ,BloomSL,HauthJC,RouseDJ,YC.WilliamsObstetri
cs. 23rd ed. New York: McGraw Hill Medical; 2010. 759p.
Errol Norwiz. 2011. Anatomi dan Fisiologi.

Geri, Morgan. 2009. Obsteri dan Ginekologi Panduan Praktik. Jakarta: EGC.

Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan


Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Iams J.D. 2004. Preterm Labor and Delivery. In: Maternal-Fetal Medicine. 5th
ed.Saunders.

Jafferson Rompas. 2004.


http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14511Persalinanpreterm.pdf/145.30

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia .Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu


di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan Pedoman Bagi Tenaga Kesehatan
Edisi Pertama.KemenkesRI.2013;84.

Leveno, Kenneth J. 2009. Williams Manual of Obstetrics. Ed, 21. Jakarta: EGC
Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan
(Human Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.

Siwi Walyani, E & Purwoastuti, E. 2015. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan


Maternal & Neonatal. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Sujiyati. 2008. Asuhan Patologi Kebidanan. Jakarta: Numed.

Wiknjosastro, H. ;2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka,


Sarwono Prawirohardjo.

Wiknjosastro, Hanifa. Saifuddin, Abdul Bari. Rachimhadhi, Trijatmo. 2005. Ilmu


Kebidanan.. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Anda mungkin juga menyukai