Patofisiologi, Farmakologi Dan Terapi Diet Pada Gangguan Kegawatan Obstetri (28-32)
Patofisiologi, Farmakologi Dan Terapi Diet Pada Gangguan Kegawatan Obstetri (28-32)
Patofisiologi, Farmakologi Dan Terapi Diet Pada Gangguan Kegawatan Obstetri (28-32)
Oleh :
I GUSTI AYU SRI PARWATI (P07120216028)
PUTU DIAH SANDI DEWI (P07120216029)
MADE DWI TRESNA SAPUTRA (P07120216030)
ANNISA PRATIWI (P07120216031)
KETUT YUNI HANDAYANI (P07120216032)
Om swastiatu,
Pujisyukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, atas karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul,
“Patofisiologi, Farmakologi dan Terapi Diet pada Gangguan Kegawatan Obstetri”
dalam mata kuliah matrikulasi Keperawatan Gawat Darurat dengan baik dan
lancar.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan motivasi berbagai
pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada
rekan-rekan yang telah membantu. Kami menyadari makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif sehingga kami dapat
menyempurnakan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimanakah
patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet pada gangguan kegawatan obstetric?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
patofisilogi, farmakologi, dan terapi diet kasus gangguan kegawatan obstetric.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet gangguan
ketuban pecah dini.
b. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet gangguan
perdarahan post partum.
c. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet gangguan
abortus.
d. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet gangguan
distorsia bahu.
e. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet gangguan
preekslamsia
D. Manfaat
1. Bagi penulis
2. Bagi institusi
Makalah ini dapat dijadikan masukan atau pedoman dalam mata kuliah
matrikulasi keperawatan gawat darurat untuk profesi ners dan dalam pembuatan
makalah selanjutnya sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dengan
lebih baik lagi
BAB II
PEMBAHASAN
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum tanda-
tanda persalinan (Mansjoer, et al, 2002). Pecahnya ketuban sebelum waktunya
melahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (masa laten). Hal ini
dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan.
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya/rupturnya selaput amnion
sebelum dimulainya persalinan yang sebenarnya atau pecahnya selaput amnion
sebelum usia kehamilannya mencapai 37 minggu dengan atau tanpa kontraksi
(Mitayani,2011).
Ketuban pecah dini didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum
waktunya melahirkan, hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh
sebelum waktunya melahirkan (Sujiyati,2009).
Ketuban pecah dini (KPD) merupakan pecahnya selaput janin sebelum
proses persalinan dimulai, pada usia kurang dari 37 minggu (Errol Norwiz &
John).
2. Etiologi
Ketuban pecah dini biasanya menyebabkan persalinan premature alias bayi
terpaksa dilahirkan sebelum waktunya.Air ketuban pecah lebih awal bisa
disebabkan oleh beberapa hal, seperti yang disampaikan oleh Geri Morgan (2009)
yaitu:
a. Infeksi rahim, leher rahim, atau vagina,
b. Pemicu umum ketuban pecah dini adalah:
1) Persalinan premature
2) Korioamnionitis terjadi dua kali sebanyak KPD
3) Malposisi atau malpresentasi janin
c. Faktor yang mengakibatkan kerusakan serviks
1) Pemakaian alat-alat pada serviks sebelumnya (misalnya aborsi terapeutik,
LEEP, dan sebagainya)
2) Peningkatan paritas yang memungkinkan kerusakan serviks selama
pelahiran sebelumnya
3) Inkompeteni serviks
d. Riwayat KPD sebelumnya sebanyak dua kali atau lebih
e. Faktor-faktor yang berhubungan dengan berat badan ibu:
1) Kelebihan berat badan sebelum kehamilan
2) Penambahan berat badan sebelum kehamilan
f. Merokok selama kehamilan
g. Usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat
daripada ibu muda
h. Riwayat hubungan seksual baru-baru ini.
3. Patofisiologi
5. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Penatalaksaan agresif
1) Jel prostaglandin atau misoprostol (meskipun tidak disetujui
penggunaannya) dapat diberikan setelah konsultasi dengan dokter
2) Mungkin dibutuhkan rangkaian induksi pitocin bila serviks tidak berespons
3) Beberapa ahli menunggu 12 jam untuk terjadinya persalinan. Bila tidak ada
tanda, mulai pemberian pitocin
4) Berikan cairan per IV, pantau janin
5) Peningkatan resiko seksio sesaria bila induksi tidak efektif.
6) Bila pengambilan keputusan bergantung pada kelayakan serviks untuk
diindikasi, kaji nilai bishop setelah pemeriksaan spekulum. Bila diputuskan untuk
menunggu persalinan, tidak ada lagi pemeriksaan yang dilakukan, baik manipulasi
dengan tangan maupun spekulum, sampai persalinan dimulai atau induksi dimulai
7) Periksa hitung darah lengkap bila ketuban pecah. Ulangi pemeriksaan pada
hari berikutnya sampai pelahiran atau lebih sering bila ada tanda infeksi
8) Lakukan NST setelah ketuban pecah; waspada adanya takikardia janin yang
merupakan salah satu tanda infeksi
9) Mulai induksi setelah konsultasi dengan dokter bila :
a) Suhu tubuh ibu meningkat signifikan
b) Terjadi takikardia janin
c) Lokia tampak keruh
d) Iritabilitas atau nyeri tekan uterus yang signifikan
e) Kultur vagina menunjukan strepkus beta hemolitikus
f) Hitung darah lengkap menunjukan kenaikan sel darah putih
2) Indikasi persalinan
a) Lakukan secara rutin setelah konsultasi dengan dokter
b) Ukur suhu tubuh setiap 2 jam
c) Antibiotik : pemberian antibiotik memiliki beragam panduan, banyak yang
memberikan 1-2 g ampisilin per IV atau 1-2 g Mefoxin per IV setiap 6 jam
sebagai profilakis. Beberapa panduan lainnya menyarankan untuk mengukur suhu
tubuh ibu dan DJJ untuk menentuan kapan antibiotik mungkin diperlukan.
6. Terapi Diiet KPD
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) adalah diet yang mengandung energi
dan protein di atas kebutuhan normal. Diet diberikan dalam bentuk makanan biasa
ditambah bahan makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur, dan daging.
Syarat Diet :
Energi tinggi
Protein tinggi
Cukup vitamin dan mineral
Mudah dicerna
Diberikan secara bertahap
Makanan yang dapat mengurangi nafsu makan tidak diberikan dekat waktu
makan
2. Etiologi
Tanda paling utama adalah keluarnya darah yang berlebihan setelah bayi
lahir atau setelah plasenta lahir. Adanya darah yang mengalir deras, kontraksi
uterus lembek dan tidak membaik dengan masase, pasien segara jatuh dalam
keadaan shock hemoragik adalah tanda dan gejala utama perdarahan pascasalin
karena atoni uteri. Menghitung jumlah darah yang keluar tidak mudah sehingga
jumlah darah yang keluar biasanya hanya berdasarkan perkiraan yakni dengan
melihat seberapa basah kain yang dipakai sebagai alas, bagaimana darah
mengalir dan berapa lama darah tetap mengalir. Keterlambatan dalam
menentukan banyaknya darah yang keluar bisa menimbulkan masalah yang
serius.
Shock hemoragik
Shock terjadi bila ada hipoperfusi pada organ vital. Hipoperfusi bisa
disebabkan oleh kegagalan kerja jantung (shock kardiogenik), infeksi yang hebat
sehingga terjadi redistribusi cairan yang beredar (intravaskular) ke dalam cairan
ekstravaskular (syok septik), hipovolemia karena dehidrasi (shock hipovolemik)
atau karena perdarahan banyak (shock hemoragik). Berikut adalah derajat syok
hemoragik dan estimasi jumlah perdarahan berdasar tanda klinis yang bisa
diamati.
2. Tunggu uteruskontraksi
a. Ibu merasamules
b. Uterus berbentukglobuler
c. Uterus terasakeras
b. ulangi masase tiap 15 menit dan yakinkan uterus tidak lembek setelah
masase berhenti.
5. Observasi di kamar bersalin sampai 2 jam pascasalin
4. Penanganan Farmakologi
a. Penanganan Medik
4. Vitamin dan mineral terutama pemberian Fe, asam folat, dan vit B12 serta
vit C
C. Abortus
1. Definisi
2. Etiologi
Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu :
a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi biasanya menyebabkan abortus pada
kehamilan sebelum usia 8 minggu. Factor yang menyebabkan kelainan ini adalah :
Kelainan kromosom
Lingkungan sekitar tempat implantasi kurang sempurna
Pengaruh dari luar
b. Kelainan pada plasenta
Misalnya end-arteritis dapat terjadi dalam vilikorialis dan menyebabkan
oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan
dan kematian janin.
c. Kelainan pertumbuhan hasilkonsepsi
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis, malaria, dan lain-lain
dapat menyebabkan abortus.
retroversi uteri, mioma uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan
abortus.
3. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian
diikuti oleh nekrosis jaringan disekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil
konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga menjadi benda asing dalam
uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkannya.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena vilikorialis belum menembus desidua secara mendalam. Pada
kehamilan antara 8-14 minggu vilikoialis menembus desidua lebih dalam,
sehingga umumnya plasenta tidak terlepas sempurna yang dapat menyebabkan
bvanyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu keatas umumnya dikeluarkan
setelah ketuban pecah ialah janin, disusul berapa waktu kemudian plasenta. Hasil
konsepsi keluar dalam bentuk, sehingga kantong kosong amnion atau benda kecil
yang tidak jelas bentuknya, janin lahir mati, janin lahir hidup, mola kruenta, fetus
kompresus, maserasi, atau fetus papiraseus.
4. Penatalaksanaan Framakologi
a. Abortus imminens
Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang mekanik
berkurang.
Progesterone 10mg sehari untuk terapi substitusi dan untuk mengurangi
kerentanan otot rahim.\
Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil negatif, mungkin janin sudah
mati.
Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.
Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3x30mg.
Pasien tidak boleh berhubungan seksual sampai lebih kurang 2 minggu.
b. Abortus inipiens
Bila tanda-tanda syok maka atasi dulu dengan pemberian cairan dan
transfuse darah.
Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai perdarahan,
tangani dengan pengosongan uterus memakasi kuret vakum atau cunam
abortus, disusul dengan kerokan memakai kuret tajam. Suntikkan
ergometrin 0,5 mg intra muscular.
Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan oksitosin 10 Iu dalam
dekstrose 5% 500ml dimulai 8 tetes per menit dan naikkan sesuai
kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplet.
Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan
pengeluaran plasenta secara digital yang dapat disusul dengan kerokan.
Memberi antibiotic sebagai profilaksis.
c. Abortus inkomplet
Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infuse cairan NaCl fisiologis
atau ringer laktat yang disusul dengan transfuse darah.
Setelah syok diatasi, lakukan kerokan dengan kuret lalu suntikan ergometrin
0,2 mg intra muscular untuk mempertahankan kontraksi otot uterus.
Berikan antibiotic untuk mencegah infeksi.
d. Abortus komplet
Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau transfusi
darah
Berikan antibiotic untuk mencegah infeksi.
Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin, dan mineral.
e. Missed abortion
Bila terdapat hipofibrinogenemia siapkan darah segar atau fibrinogen.
Pada kehamilan 12 minggu lakukan pembukaan servik dengan gagang
laminaria selama 12 jam lalu dilakukan dilatasi servik. Kemudian hasil
konsepsi diambil dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
Pada kehamilan lebih dari 12 minggu beri infuse intra vena oksitosin 10 IU
dalam dekstrose 5% sebanyak 500ml mulai dengan 20 tetes per menit dan
naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus. Oksitosin dapat diberikan 10
IU dalam 8 jam. Bila tidak berhasil, ulangi infuse oksitosin setelah pasien
istirahat satu hari.
Bila fundus uteri sampai 2 jari bawah pusat, keluarkan hasil konsepsi
dengan menyuntikkan larutan garam 20% dalam kavum uteri melalui
dinding perut.
f. Abortus infeksius dan septic
Tingkatkan asupan cairan
Bila perdarahan banyak, lakukan transfuse darah
Penanggulangan infeksi :
o Gentamycin 3x80mg dan penicillin 4x1,2 juta
o Chloromycetin 4x500mg
o Cephalosporin 3x1
o Sulbenicilin 3x1-2 gram
Kuretase dilakukan dalam waktu 6 jam karena pengeluaran sisa-sisa abortus
mencegah perderah dan menghilangkan jaringan nekrosis yang bertindak
sebagai medium perkembangbiakan bagi jasad renik.
Pada kasus tetanus perlu diberikan ATS, irigasi dengan H2O2 dan
histerektomi total secepatnya.
g. Abortus habitualis
Memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sehat, istirahat
yang cukup, larangan koitus, dan olah raga.
Merokok dan minum alcohol dikurangi.
Pada servik inkompeten terapinya adalah operatif.
E. Distosia Bahu
1. Pengertian Distosia Bahu
Distosia bahu ialah kelahiran kepala janin dengan bahu anterior tertahan diatas
promontorium sakrum karena ia tidak bisa lewat untuk masuk ke dalam
panggul, atau bahu tersebut bisa melewati promontorium, tetapi mendapat
halangan dari tulang sakrum. Lebih mudahnya distosia bahu adalah peristiwa
dimana tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan setelah kepala
janin dilahirkan. (Cunningham FG, et al. 2010)
2. Tanda dan Gejala
Kepala janin telah lahir namun masih erat berada di vulva
Kepala bayi tidak melakukan putaran paksi luar
Dagu tertarik dan menekan perineum
Turtle sign yaitu penarikan kembali kepala terhadap perineum sehingga tampak masuk
kembali ke dalam vagina.
Penarikan kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang terperangkap di belakang
simfisis.
3. Patofisiollogi
Distosia bahu terjadi ketika salah satu atau kedua bahu gagal untuk masuk ke
rongga panggul dan ada persistensi lokasi AP dari bahu janin pada pelvic brim.
Hal ini mungkin akibat dari peningkatan resistensi antara janin dan dinding
vagina (misalnya janin makrosomia) karena janin memiliki dada yang besar
relatif terhadap diameter biparietal atau di mana tubuh dan bahu janin gagal
untuk memutar (misalnya partus presipitatus) pada level tengah panggul.
(Ansell L, 2009)
Dalam distosia bahu, bahu paling umum tetap dalam diameter AP pada pelvic
brim dan bahu posterior turun di bawah promontorium sakrum yang terletak
dalam cekungan sakrum sedangkan bahu anterior tertahan di balik simfisis
pubis. Ini dikenal sebagai distosia bahu unilateral dan juga telah disebut
sebagai bentuk rendah dari distosia bahu. (Ansell L, 2009)
Bentuk yang kurang umum dan lebih parah adalah distosia bahu bilateral, yang
terjadi ketika kedua bahu tetap berada di atas pelvic brim. Seperti dalam kasus
distosia bahu unilateral, bahu anterior tertahan di balik simfisis pubis, tapi bahu
posterior tidak masuk rongga panggul dan tertahan di balik promontorium
sakrum. Ini juga telah disebut dengan bentuk tinggi dari distosia bahu. (Ansell
L, 2009)
Tanda-tanda klinis telah digunakan untuk mengidentifikasi kasus distosia bahu
sejati. Dignam (1976) menjelaskan distosia bahu sejati terjadi ketika bahu
tertahan tinggi dalam panggul dan kepala tertarik kembali terhadap perineum.
Ini dikenal sebagai turtle sign (analog dengan kura-kura yang menarik diri ke
dalam cangkangnya). Setelah persalinan kepala janin, leher janin mengalami
regangan yang signifikan dan kepala tertarik kembali dari perineum. Turtle
sign disebabkan oleh traksi terbalik dari bahu anterior yang tertahan di balik
simfisis dan bahu posterior tetap di belakang promontoium sakrum. Turtle sign
terjadi dalam bentuk bilateral dari distosia bahu dan karena peregangan leher,
tetapi tidak jelas dalam bentuk unilateral karena salah satu bahu telah masuk ke
rongga panggul dan beberapa derajat restitusi dapat berlangsung. (Ansell L,
2009), (Baxley, E.G., & Gobbo, R.W. 2004)
Penting untuk mengenali turtle sign sebagai indikasi yang paling dari bentuk
distosia bahu berat (bilateral). Dalam hal ini, godaan dan respon yang kuat
adalah untuk menarik dengan lebih keras. Dokter menyebutnya sebagai traksi
ke bawah, karea kepala janin ditarik ke bawah dalam kaitannya dengan
panggul ibu yaitu menuju sakrum. Bahkan, bahu masih dalam lokasi AP
persisten di pelvic brim, sehingga traksi yang sedang diterapkan pada kepala
janin adalah ke lateral dalam kaitannya dengan tubuh janin. Traksi lateral yang
berlebihan ini yang menyebabkan kerusakan pada akar saraf yang
mengakibatkan palsi ErbDuchenne, palsi Klumpke atau sindrom Horner.
(Ansell L, 2009)
4. Penatalaksaan Farmakologi
Menurut WHO (2008), penanganan yang dapat dilakukan pada ibu bersalin dengan partus
macet yaitu :
1) Rehidrasi pasien Bertujuan untuk mempertahankan volume plasma dan mencegah atau
mengobati hidrasi dan keton.
a) Memasang IV kateter, menggunakan nidle ukuran besar (no.18)
b) Jika ibu mengalami syok, berikan larutan salin atau ringer laktat hingga 1 liter,
kemudian ulangi 1 liter dengan tetesan 20 tetes per menit sampai nadi lebih dari
90 kali per menit, tekanan darah sistolik 100 mmHg atau lebih tinggi. Namun jika
muncul masalah pernafasan, turunkan 1 liter untuk 4-6 jam.
c) Jika ibu tidak mengalami syok tetapi ada dehidrasi dan ketonik, beri 1 liter cepat
dan ulangi jika masih dehidrasi dan ketonik. Kemudian turunkan 1 liter untuk 4-6
jam
d) Catat dengan tepat pemberian cairan intravena dan pengeluaran urin
2) Beri antibiotik Jika terdapat tanda-tanda infeksi atau membran telah pecah lebih dari
18 jam, umur kehamilan 37 minggu atau lebih berikan antibiotik seberti dibawah ini :
a) Ampicilin 2 g tiap 6 jam dan
b) Gentamisin 5 mg/BB/IV tiap 24 jam
Jika ibu akan melahirkan secara sesarea, lanjutkan pemberian antibiotik dan berikan
mitronidazol 500 mg/IV tiap 8 jam sampai demam turun selama 48 jam
F. Preekslamsia
1. Pengertian Preekslamsia
Preeklampsia merupakan tekanan darah > 140/90 mmHg yang timbul setelah
20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. Menurut Cunningham
(2011) kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah adanya
hipertensi disertai proteinuria minimal.
Preeklampsia adalah keadaan dimana hipertensi disertai dengan proteinuria,
edema, atau kedua-duanya yang terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20
atau kadang-kadang timbul lebih awal bila terdapat perubahan hidatidiformis
yang luas pada vili dan korialis (Mitayani, 2011).
Preeklampsia adalah sindroma khusus kehamilan yang ditandai dengan derajat
ketidakseimbangan plasenta dan respons ibu yang mencakup inflamasi
sistemik. Sebagian besar mempertimbangkan hipertensi dan proteinuria sebagai
ciri preeklampsia, namun manifestasi klinis sindrom ini sangat heterogen
(James et al, 2011).
Eklampsia merupakan serangan konvulsi yang mendadak atau suatu kondisi
yang dirumuskan penyakit hipertensi yang terjadi oleh kehamilan,
menyebabkan kejang dan koma (Kamus Istilah Medis: 163, 2011).
Dua fakta klinis tersebut menuntun pada hipotesis kuat bahwa plasenta
memegang peranan penting dalam patogenesis preeklampsia. Terapi paling
efektif dari preeklampsia adalah dengan melahirkan plasenta. Selain itu bila
plasenta berkembang berlebihan (hiperplasentosis), misalnya pada mola
hidatidosa atau gemeli, seringkali berkembang menjadi preeklampsia berat. Hal
tersebut didukung oleh pemeriksaan patologi bahwa pada plasenta dengan
preeklampsia terdapat infark luas, sklerosis yang menyebabkan penyempitan
arteri dan arteriol serta terdapat remodeling yang in adekuat pada arteri spiralis.
4. Penatalaksaan Farmakologi
a) Preeklampsia Ringan
Pada preeklapmsia ringan pengobatan bersifat simtomatis dan istirahat yang
cukup. Pemberian luminal 1-2 x 30 mg/hari dapat dilakukan bila tidak bisa
tidur. Bila tekanan darah tidak turun dan ada tanda-tanda ke arah preeklamsi
berat maka dapat diberikan obat antihipertensi serta dianjurkan untuk rawat
inap.
b) preeklampsia berat/eklampsia :
a. Berikan dosis awal 4 g MgSO4 40% (10cc) dijadikan 20 cc diberikan
IV bolus pelan ± 5 menit
b. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 MgSO4
40% ( 15cc) masukkan dalam cairan RL/NaCl 0,9% 250cc drip dengan
tetesan 15tetes / menit, diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau
kejang berakhir (bila eklampsia). Bila kejang berlanjut berikan 2g
MgSO4 40% (5 cc) dijadikan 10 cc diberikan IV pelan ± 5 menit.
Syarat pemberian MgSO4: frekuensi nafas > 16x/menit, tidak ada
tanda-tanda gawat nafas, diuresis >100 ml dalam 4 jam sebelumnya dan
refleks patella positif.
c. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi
nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin.
d. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak didapatkan
refleks tendon patella, dan/atau terdapat oliguria (produksi urin kurang
dari 500cc/24 jam), segera hentikan pemberian MgSO4.
e. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca-glukonas 10% (1 gram dalam 10
cc NACL 0,9% IV, dalam 3 menit)
b. Berat / Akut
Jika tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 100
mmHg dapat menggunakan terapi:
Tabel : Penatalaksanaan hipertensi pada ibu hamil (berat/akut) menurut
QueenslandHealth (Hypertensive Disorders of Pregnancy) tahun 2013
Nifedipine 5-20 mg Po
PENUTUP
B. Simpulan
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum tanda-
tanda persalinan (Mansjoer, et al, 2002). Pecahnya ketuban sebelum waktunya
melahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (masa laten). Hal ini
dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan.
Perdarahan pascasalin adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang melewati
batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan mengeluarkan darah
secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan gangguan homeostasis.
Dengan demkian secara konvensional dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml
dapat dikategorikan sebagai perdarahan pascasalin dan perdarahan yang secara kasat mata
mencapai 1000 ml harus segera ditangani secara serius. Abortus adalah ancaman atau
pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup luar kandungan. Batasan
abortus adalah umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang
dari 500 gram. Sedang menurut WHO/FIGO adalah jika kehamilan kurang dari 22
minggu, bila berat janin tidak diketahui. Distosia bahu ialah kelahiran kepala janin
dengan bahu anterior tertahan diatas promontorium sakrum karena ia tidak bisa
lewat untuk masuk ke dalam panggul, atau bahu tersebut bisa melewati
promontorium, tetapi mendapat halangan dari tulang sakrum. Preeklampsia
merupakan tekanan darah > 140/90 mmHg yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria. Menurut Cunningham (2011) kriteria
minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah adanya hipertensi disertai
proteinuria minimal
C. Saran
Dengan berhasil disusunnya makalah ini, semoga bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya bagi mahasiswa keperawatan. Penyusun berharap agar para
pembaca dapat lebih memahami patofisiologi, farmakologi dan terapi diet kasus
gangguan kegawatan obstetri dalam upaya penanganan kasus keperawatan gawat
darurat sehingga ilmu yang didapatkan dapat bermanfaat di masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Sri Lestari Dwi, Sunaryo , Tri. Haryati, Susi Dwi. 2013. Analisis Faktor
Resiko Yang Terjadinya Pre Eklampsi Berat Pada Ibu Hamil Trimester
Ketiga. Jurnal Nasional. Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan
Surakarta Jurusan Keperawatan.
Baxley, E.G., & Gobbo, R.W. (2004). Shoulder Dystocia. American Family
Physician, 69(7).
CunninghamFG,LevenoKJ,BloomSL,HauthJC,RouseDJ,YC.WilliamsObstetri
cs. 23rd ed. New York: McGraw Hill Medical; 2010. 759p.
Errol Norwiz. 2011. Anatomi dan Fisiologi.
Geri, Morgan. 2009. Obsteri dan Ginekologi Panduan Praktik. Jakarta: EGC.
Iams J.D. 2004. Preterm Labor and Delivery. In: Maternal-Fetal Medicine. 5th
ed.Saunders.
Leveno, Kenneth J. 2009. Williams Manual of Obstetrics. Ed, 21. Jakarta: EGC
Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.
Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan
(Human Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.