Kilau Etika Kristen 2-6

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 65

Jesu Juva

ETIKA
KRISTEN
UMUM, KELUARGA, GEREJA, MASYARAKAT, SOSIAL DAN POLITIK

Ego sum Via et Veritas et Vita

DISUSUN OLEH PDT. F. A. ZEGA


2012
KELOMPOK :
MATA KULIAH KEAHLIAN BERKARYA (MKB)

NOMOR :
NAMA MATA KULIAH : ETIKA
KODE : MKB 05-06
BOBOT : 2 sks
SEMESTER : -
PRASYARAT :
BANYAKNYA PERTEMUAN/ : (28 X 50 MENIT)
WAKTU TIAP PERTEMUAN

STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memiliki penguasaan materi etika yang memadai dan memiliki kesadaran tentang
manfaat yang akan diperolehnya dalam berprilaku dalam pelayanannya sebagai pemberita
Firman Tuhan.

KOMPETENSI DASAR
1. Mampu menjelaskan hakikat etika sebagai ilmu moral
2. Mampu menjabarkan prinsip-prinsip dan definisi dasar etika
3. Mampu menjabarkan prinsip-prinsip dasar etika Kristen.
Mampu mampu mengidentifikasi perbedaan dan keterkaitan etika filosofis, etika agama
agama non Kristen dengan etika Kristen.
4. Mampu menyusun kerangka berpikir etis
5. Mampu memberi penilaian etis terhadap kasus-kasus moral.
6. Mampu menunjukkan kepekaan terhadap permasalahan manusia dan kemanusiaan.

URUTAN DAN RINCIAN MATERI

INDIKATOR HASIL BELAJAR


1. Menjelaskan hakikat etika sebagai ilmu
2. Menjelaskan Prinsip – Prinsip dasar Etika Filosofis
3. Menjelaskan Prinsip – prinsip dasar etika Kristen
4. Mengidentifikasi factor – factor dalam pengembilan keputusan etis Kristen
5. Mengidentifikasi perbedaan dan hubungan etika filosofis dan etika Kristen
6. Mengemukakan dan menafsirkan contoh – contoh kasus moral
7. Memberi penilaian etis terhadap berbagai kasus moral dan perilaku manusia/masyarakat
8. Menunjukkan minat dan perhatian dalam proses belajar etika Kristen
Menunjukkan kepekaan/perhatian terhadapa permasalaah kemanusiaan di tengah
masyarakat.
9. Bersikap kritis dalam mempalajari berbagai issu-issu sosial dalam persfektif etika.

STANDAR PROSES PEMBELAJARAN


Pdt. F.A. Zega |2

PENDEKATAN : Individual, KONTEKSTUAL DAN PARTISIPATORI

PENGALAMAN BELAJAR : 1. Mahasiswa bersama-sama mendengarkan kuliah


2. Mahasiswa berdiskusi
3. Mahasiswa melakukan studi kasus
4. Mahasiswa melakukan studi lapangan tentang
persoalan kemanusiaan yang terjadi di tengah
masyarakat

METODA : Ceramah, diskusi, studi kasus

TUGAS : Studi lapangan tentang persoalan kemanusiaan yang terjadi


di tengah masyarakat

STANDAR PENILAIAN : 1. Kehadiran dan keaktifan : 10%


2. Tugas dan karya : 30 %
3. UTS : 30 %
4. UAS : 30 %

TEKNIK : TERTULIS , PENGAMATAN

BENTUK SOAL : Tes Tertulis, Tes Sikap, Porto Folio, Proyek, Unjuk kerja

MEDIA : Papan Tulis / White board, LCD,dll

PRASYARAT :

SUMBER BELAJAR
1. Keluarga
2. Media elektronik (internet)
3. Narasumber,
4. Lingkungan alam,
5. Lingkungan sosial,
6. Teman di kampus
7. Teman di masyarakat setempat
8. Komunitas gereja
9. Literatur:
Borrong, Robert P. Etika Politik Kristen. Jakarta: STT Jakarta, 2006.
Brownlee, M., Pengambilan Keputusan etis dan Faktor-Faktor Didalamnya, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1981.
Dharmaputera, Eka., Etika Sederhan Untuk Semua Perkenalan Pertama, Jakarta BPK Gunung
Mulia, 1992
Douma, J., Kelakuan Yang Bertanggungjawab, Jakarta:BPK Gunung Mulia 1993
Fletcher, Verne H, Lihatlah Sang Manusia: suatu pendekatan pada etika dasar, Yogyakarta:
Duta Wacana University Press, 1990

Etika Kristen
Pdt. F.A. Zega |3

Forell, George Wolfgang, History of Christians Ethics, Vol. I, Minnepolli: Augsburg Publishing
House, 1979.
Geisler, Norman, Etika Kristen dan Isu – Isu Etis, Malang: SAAT,….
Jongneel,JAB, Hukum Kemerdekaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980.
Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani, IV, Kewajiban Moral Dalam Hidup Sosial. Maumere:
Ledalero, 2003.
Morgan, Philips, Christians Ethics, …
Novan Agustio, Etika Dasar, Etika I. Malang: UK. Widya Karya, 1992.
Suseno, Magnis, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanasius,….
Van Napel, Henk, … Etika PB, Jakarta, BPK Gunung Mulia…
Verkuyl, J., Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1964
White, Jerry, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Wright, Christopher, …. Etika PL. Jakarta, BPK Gunung Mulia, ….

Tugas-tugas
1. Resensi buku. Mengungkapkan latar belakang penulisan buku, pesan dan inti tulisan,
memaparkan manfaat, keistimewaan, dan apa yang mungkin masih perlu dikembangkan
dalam buku (5 – 8 halaman).
2. Meringkas buku. Menentukan inti setiap bab atau sub-bab dan memberi kesimpulan dari segi
bahasa, nilai teologis dan manfaat buku tersebut (5-8 halaman).
3. Makalah (10 – 18 halaman)
Membuat makalah dalam tiga bab : Pertama pendahuluan (1–2 halaman), bab bahasan (8–
15 halaman), dan bab kesimpulan/penutup (1 halaman).
4. Membuat minimal 7 tanggapan evaluative atas buku bacaan yang diwajibkan.

Tujuan Utama
Agar setiap orang “Mengenal Yesus Kristus lebih jelas, mengasihi-Nya lebih sungguh, dan
mengikuti-Nya lebih dekat” (Richard Chichester: dalam W. Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap
Hari).

BAB I
Etika Kristen
Pdt. F.A. Zega |4

PENDAHULUAN

Pada sudut pandang aksiologi, hidup adalah kata lain dari bertingkah laku. Setiap
tingkah laku dilakukan berdasarkan suatu kesadaran, sebab tidak ada tingkah laku tanpa
melalui kesadaran, sekalipun sesaat, kecuali gerakan refleks. Secara ontologis, setiap tingkah
laku muncul dari serangakaian sensasi yang didasarkan atas kesadaran etis, yaitu suatu
kesadaran yang bertalian dengan norma-norma yang memberi pilihan antara ya atau tidak.
Pilihan ya atau tidak suatu tingkah laku adalah hasil pertimbangan benar atau salah, baik
atau tidak baik. Hal-hal semua itulah yang digumulkan dalam pengetahuan dan sistem etika
yang dimiliki seseorang. Karena itu maka etika menjadi salah satu bidang pengetahuan yang
penting untuk dipahami sebagai petunjuk menentukan tingkah laku yang dipilih. Sebagai
pendahuluan pembahasan etika, perlu untuk mengetahui pengertian, definisi dan membuat
pembatasan, antara etika sekuler dan etika Kristen.

A. Pengertian Umum Etika (Terminologi Istilah)

Kata etika secara terminologis berasal dari beberapa kata bahasa Yunani yang hampir
sama bunyinya. Dari kata ethos (εθος) dan ēthos (ηθος) yang jamaknya menjadi ta ethika
(τα’ εθικα) dan ta’ ēthika (τα ‘ηθικα) yang secara harafiah berarti rumah hati atau rumah
batin. Kemudian kata-kata ini beralih artinya menjadi kesusilaan, perasaan batin atau
kecenderungan hati dengan mana seseorang melakukan suatu perbuatan.
Istilah ethos (εθος) di PB terdapat misalnya dalam Luk 1:9; 2:42 yang disalin dengan
kata “lazimnya”. Di Luk 22:39 disalin dengan kata “biasanya” atau “kebiasaan”. Dalam Kis
25:16, 16:21 disalin dengan kata “adat istiadat”.
Istilah ēthos (ηθος) terdapat dalam I Kor 15:33. Paulus mengunakan kata ēthos (ηθος/
ēthē (ηθη) yang disalin dengan kata “kebiasaan”, walaupun sebenarnya lebih tepat kalau
disalin dengan kata “susila.”
Hampir tidak mungkin membedakan kedua arti istilah tersebut, sehingga biasanya
kedua arti tercampur untuk menyatakan kebiasaan-kesusilaan. Kata-kata itu mengandung
makna yang dalam, bahwa kesusilaan bukanlah masalah lahiriah saja, melainkan juga kait
mengait dengan kehidupan kita. Kita harus berdiam dalam kesusilaan itu.
Dapat disimpulkan bahwa ethos adalah seperangkat norma2 dan nilai2 yang merupakan
keyakinan berperilaku kelompok tertentu. Itulah sebabnya ethos mempunyai konotasi atau
arti tambahan, yaitu norma dan sikap atau perilaku yang lazim berlaku yang dapat dilihat
dari praktik hidup susila yang mengikat, dan sangat diwarnai faktor2 sosio-kultural. Istilah
etos atau etika berkaitan dengan kebiasaan yang didasarkan pada perasaan batin untuk
melakukan suatu perbuatan yang menjadi kebiasaan yang baik.
Penerapan istilah etika pertama kali, secara historis digunakan oleh Aristoteles, ketika
ia menulis untuk Nikomuchus, anaknya, sebuah buku mengenai kaidah-kaidah, perbuatan-
perbuatan manusia yang diberi nama Ethika Nikomacheia, sehingga sejak itu istilah etika
menjadi istilah khusus (terminus technicus) untuk ilmu tingkah laku.
Secara etimologis kata etika diadopsi ke dalam bahasa Inggiris, menjadi ethics, yang
artinya suatu sistem standar moral atau nilai (Webster’s New World College Dictionary).

Etika Kristen
Pdt. F.A. Zega |5

Perlu disadari bahwa seringkali orang menjadi bingung dengan kata etika, ethos, etis, dan
etiquette. Kata-kata ini memiliki akar yang sama tetapi berbeda dalam konteks
pemakaiannya. Kata ethos juga berarti standar moral, tetapi berhubungan dengan karakter.
Oleh karena itu Verkuyl (2009: 1) menyamakan kata ethos dan etiquette dengan
mengatakan bahwa keduanya merujuk kepada “kesusilaan, perasaan batin atau
kecenderungan hati…” yang melaluinya seseorang melakukan suatu tindakan atau perbuatan
tertentu.
Etiquette atau etiket adalah tata cara dan standar sopan santun, adat, moral dan
sebagainya yang berlaku dalam suatu masyarakat beradab yang wajib dipatuhi oleh setiap
anggotanya demi terciptanya interaksi yang baik di antara sesama warga. Awalnya, di
Perancis, etiket adalah tata cara di suatu perjamuan resmi dan terhormat.
Abineno (2010:2), menyorot kata ethos dengan memberikan tiga pengertian dasar
kata tersebut yaitu tempat tinggal, kebiasaan, dan adat-istiadat. Di sini harus dipahami
bahwa bentuk jamak dari kata ethos dalam bahasa Yunani merujuk kepada adat istiadat.
Suatu masyarakat secara konvensional menerima dan memegang adat-istiadat sebagai nilai
ukur tentang yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Ketika seseorang
melakukan sesuatu berdasarkan standar yang ada maka dia dianggap beretika atau memiliki
kualitas yang etis.
Definisi etika secara umum diterima juga oleh orang Kristen, yaitu sebagai sistem atau
standar moral baik secara universal maupun secara konvensional dalam suatu masyarakat.
Sistem etika ini membentuk ethos (adat istiadat) masyarakat untuk menilai antara yang
baik dan yang buruk, atau yang benar dan salah. Sehingga secara umum dapat dikatakan
bahwa etika didefinisikan sebagai “ the process of determining right and wrong (Scott Rae,
Moral Choices”),” proses menentukan yang benar dan yang salah.” Etika sebagai ilmu harus
dimengerti sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas moral. (Purwodarminto. Kamus
Umum Bahasa Indonesia).
Pengertian Kristen tentang etika adalah “… ethics is theology, viewed as a means of
determining which human persons, acts, and attitudes receive God’s blessing and which do
not.” John Frame, Doctrine of the Christian Life,”1 (etika adalah teologi, dipandang sebagai
suatu alat untuk membedakan orang, tindakan, sikap menerima anugerah Allah dengan yang
tidak menerimanya). Ini adalah definisi yang konvensional dalam membangun etika Kristen.
Etika Kristen dibangun di atas pengertian teologi, di mana anugerah Allah membuat orang
percaya dibawa kepada hubungan dengan Allah. Dalam hubungan ini dituntut suatu
kewajiban untuk mengasihi Allah dan melakukan perintah-perintah-Nya.

B. Moral dan Moralitas

Kata etika dari bahasa Yunani memiliki padanan kata dalam bahasa Latin yang di sebut
mores (dari Kata mos yang dalam bentuk jamak menjadi mores), disalin ke dalam bahasa
Inggris menjadi custom. Istilah ini menunjuk pada kelakuan secara umum, perbuatan secara
lahirian dan dapat dilihat. Sehingga mores menjelaskan kehendak, tingkah laku, adat
istiadat, kebiasaan, cara hidup, berkelakuan baik dan buruk yang kemudian disebut dengan
istilah populernya moral. Moral biasanya diartikan dengan ‘kesusilaan’ untuk
membedakannya dari adat istiadat dalam pengertian umum. Sedangkan moralitas merujuk

Etika Kristen
Pdt. F.A. Zega |6

kepada kualitas dari moral. Abineno (2010:6) menyebutnya sebagai ‘kadar kesusilaan dari
moral tertentu.”
Sekalipun etika dan moral memiliki kesepadanan arti namun juga memiliki distingsi.
Moral menunjuk pada kesusialaan yang dapat dilihat dan diamati, sedangkan etika
merupakan suatu pertimbangan tingkah laku dari segi benar dan salah. Sehingga: etika
tidak mungkin tanpa moral (perbuatan yang nyata), tetapi moral bisa saja tanpa etika .
Sebab tidak seorang pun dapat mempertimbangkan apakah suatu perbuatan baik atau buruk
tanpa pengetahuan tentang perbuatan itu. Sedangkan pengetahuan tentang baik-buruk
perbuatan itu dibahas dalam etika.

1. Moral
Dalam pemakaian secara ilmiah, moral biasanya hanya menyangkut kebaikan dan
keburukan secara lahiriah atau yang kelihatan dari apa yang sebenarnya terjadi dalam suatu
perbuatan khusus. Sedangkan etika adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
sebagai hasil dari suatu keputusan yang telah dianalisis dan diolah oleh akal budi yang
menyangkut pemikiran sistematik tentang kelakuan, motivasi dan keadaan batin yang
menyadarinya. Dengan demikian etika lebih dalam artinya daripada moral. Etika merupakan
ilmu pengetahuan tentang asa-asas akhlak atau moral itu.

2. Moralitas
Kata Latin mores dalam bentuk jamak memberikan pengertian yang sama dengan kata
ta ethoi (tunggal ethos) yang artinya kebiasaan atau adat istiadat. Dalam bahasa
Indonesia, adat istiadat secara umum dibedakan dengan adat istiadat sebagai perilaku. Oleh
karena itu moral biasanya diartikan dengan ‘kesusilaan’. Sedangkan moralitas merujuk
kepada kualitas dari moral. Verkuyl (2010:1) membuat kesamaan antara moral dan etika
ketika dia menghubungkannya dengan kata ethos. Secara umum dua kata tersebut tidak
berbeda dalam pengertian, akan tetapi definisi berikut memberikan sedikit perbedaan, yaitu:
“Morality is “the end result of ethical deliberation , the substance of right and wrong,” Rae,
MC,” ( moralitas adalah hasil dari pertimbangan etiis, substansi dari yang benar dan yang
salah). Artinya bahwa moral adalah bagian internal dalam diri manusia, dan ketika
ditunjukkan dalam perilaku maka orang melihatnya sebagai ethos. Artinya moral yang
terbaca melalui perilaku disebut ethos, atau tindakan etis. Moral yang dalam arti ini disebut
juga adat. Geiser menempatkan moral sebagai adat istiadat dan dikelompokkan dalam teori-
teori etika. Konsep moral sebagai adat artinya bahwa suatu tindakan disebut memiliki
standar moral –benar atau salah, ditentukan oleh masyarakat. Konsekuensinya setiap
kelompok masyarakat memiliki standar moral yang berbeda dari kelompok masyarakat
lainnya, hasilnya bahwa nilai benar atau salah, baik atau tidak bukan universal tetapi
ditentukan oleh suatu komunitas.

3. Pengertian Kristen
Definisi Kristen tidak menolak definisi umum tentang moral, kecuali dengan
karakteristik Kekeristenan yang dihubungkan kepada relasi antara manusia dan Allah. Oleh
karena definisi moral dari perspective Kristen yang terbaik adalah bahwa “ Morality is the end
result of the process of determining which human persons, acts and attitudes receive God’s

Etika Kristen
Pdt. F.A. Zega |7

blessing and which do not.” -John Frame, Ethics Syllabus (Moralitas adalah hasil akhir dari
proses yang menentukan apakah seseorang, atau tindakan, atau sikap manusia menerima
berkat Allah atau tidak). Dengan demikian maka moralitas adalah produks dari etika dan
terlihat dalam sikap atau cara orang berperilaku yang berhubungan dengan nilai dan
kebajikan.

a. Nilai
Nilai dalam bahasa Inggris disebut value. Nilai berhubungan dengan keputusan moral
tentang suatu tindakan etis atau tindakan moral. Nilai sangat tergantung kepada pandangan
masyarakat, atau standar-standar yang secara konvensional berlaku pada masayarakat
tersebut. Nilai terdapat pada semua tindakan adat istiadat masyarakat yang
membedakannya dari masyarakat lain. Kamus bahasa Inggris Webster memberikan definisi
bahwa value atau nilai adalah prinsip-prisnip, atau goal, atau standar yang diakui oleh
sebuah masyarakat. Sebagai contoh: dulu, nilai bagi orang Dayak tertentu dalam
menyambut tamu adalah memberikan istri atau anak gadisnya tidur bersama tamu laki-laki
yang datang.

b. Kebajikan (virtue)
Menurut Aristoteles kebajikan berhubungan dengan pilihan yang didasarkan pada
hukum relativisme. Artinya, kebajikan itu relatif, tergantung kepada individu. “ Virtue is a
state of character concerned with choice, lying in a mean, i.e., the mean relatively to us .”
Nichomachean Ethics, ix. (Excellence)
Kata bahasa Yunani αρετε adalah ekuivalen dari kebajikan, bukan hasil dari suatu
kebiasaan tetapi karena kehadiran anugerah Allah sehingga seseorang dapat berbuat baik
“...is not a result of formation of habits, the mean between excess and deficiency,
but the result of the presence of the grace of God”.
Paulus dan Petrus dalam tulisan masing-masing, di Filipi 4:8 dan 2 Petrus 1:5
menyatakan: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua
yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang
disebut kebajikan (excellent) dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. “Justru karena itu
kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu
kebajikan (goodness and to goodness) pengetahuan..” dalam bahasa Yunani
….menambahkan kepada imanmu, kebajikan, dan kepada kebajikanmu pengetahuan..”

C. Definsi-definisi Etika

1. Menurut encyclopedia Britanica, 1972.


Etika didefinisikan sebagai : “The systematic study of the nature of value concept,
good, bad, ought, right, wrong, etc. and of the genaral principles which justify us in applying
them to anything; also called as moral – philosophy.”

2. Menurut Prof. DR. Louis Kattsoff (pengantar Filasafat, 1992:349)


Etika merupakan cabang (filsafat) aksiologi yang pada pokoknya membicarakan
masalah predikat2 nilai “betul” (“right”) dan “salah” (“wrong”) dalam arti “susila” (“moral”)

Etika Kristen
Pdt. F.A. Zega |8

dan “tidak susila” (“immoral”). Sebagai pokok bahasan yang khusus, etika membicarakan
sifat2 yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bajik.

3. Menurut Kamus Besar Bahasa Indosensia (Edisi III, 2001)


Etika (etik) memngandung tiga arti. 1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) Kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak; 3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat. Sedangkan moral didefinisikan sebagai : “... ajaran tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dsb; akhlak; budi pekerti;
susila.”

4. Menurut K. Bertens (Etika: Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1993)


Kata etika bisa dipakai dalam arti : Nilai 2 atau norma2 moral yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang
berbicara tentang “etika suku2 Indian”, “etika agama Budha”, “Etika Protestan”, maka tidak
dimaksud “ilmu,” melainkan kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Secara
singkat, arti ini bisa dirumuskan juga sebgai “sistem nilai”, dn boleh dicatat lagi, sistem nilai
itu bisa berfungsi dalam hidup mansia perorangan maupundalam taraf sosial.

5. Menurut J. Verkuyl (Etika Kristen I Umum, 1986)


Verkuyl menyatakan, “Apa yang dimaksud dengan Etika dinyatakan dalam bahasa
Indonesia dengan tepat oleh kata kesusilaan. Kata “sila” … berarti norma (kaidah),
peraturan hidup, perintah. Kedua, kata itu menyatakan pula keadaan batin terhadap
peraturan hidup, hingga dapat berarti juga : sikap, keadaban, siasat batin, perikelakuan,
sopan satun dan sebagainya. Kata “ su” berati : baik, bagus. Kata ini pertama menunjukkan
norma dan menerangkan bahwa norma itu baik; kedua, menunjukkan sikap terhadap norma
itu dan menyatakan bahawa perilaku harus sesuai dengan norma.”

Rangkuman
Merangkum semua itu maka etika secara umum dapat diterima juga oleh orang
Kristen, yaitu suatu sistem atau standar moral baik secara universal maupun secara
konvensional dalam suatu masyarakat. Sistem etika ini membentuk ethos (adat istiadat)
masyarakat untuk menilai antara yang baik dan yang buruk, atau yang benar dan salah. Jadi
secara umum dapat dikatakan bahwa etika didefinisikan sebagai “the process of determining
right and wrong,” (Scott Rae, Moral Choices), proses menentukan yang benar dan yang
salah. Etika sebagai ilmu harus dimengerti sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas
moral (Purwodarminto: Kamus Umum Bahasa Indonesia).

D. Jenis-Jenis Etika

Pada masa kini, etika yang dimaknai sebagai landasan untuk bertindak yang
seharusnya, biasa dibedakan dalam empat jenis :

1. Etika Deskriptif

Etika Kristen
Pdt. F.A. Zega |9

Melalui pendekatan deskriptis etika memberikan keterangan (deskripsi) tentang


kesusilaan2 dan moral-moral dalam bermacam-macam kebudayaan dan pada segala abad
(ilmu teoritis). Keilmuan ini terutam digunakan oleh ahli-ahli antropologi dan sosiologi, yang
menyelidiki kelakuan manusia dari segi yang berbeda.
Dalam pendekatan ini tingkah laku , adat istiadat, kebiasaan, anggapan tentang baik
dan buruk dan sebagainya (moralitas) digambarkan, dipaparkan apa adanya tanpa memberi
penilaian apa pun. Etika jenis ini membatasi diri pada tahap empiris (ilmu pengetahuan) dan
pengalaman inderawi.

2. Etika Normatif
Etika normatif mengguunakan norma2 atau ukuran2 yang menunjukkan bagaimana
sepatutnya kita berkelakuan. Tidak menerangkan moral secara bebas (seperti etika
deskriptif), melainkan melibatkan diri dengan mengemukakan dan memberi penilaian
tentang perilaku moral seharusnya. Etika ini juga dapat menolak dengan argumen bila
misalnya bertentangan dengan martabat manusia. Penilaian itu dibentuk di atas dasar
norma-norma, antara lain martabat manusia harus dihormati. Seorang etikawan (etikos)
dalam pendekatan ini harus berani bertanya “Apakah norma2 itu benar atau tidak?”, sesuai
dengan norma-norma yang diterimanya dari suatu kelompok atau masyarakat tertentu.
Dengan kata lain, etika normatif bertujuan merumuskan sekaligus menunjukkan
tentang prinsip-prinsip bertingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional
dan dapat diterapkan dalam praktik (Etika Kristen masuk dalam etika ini dengan Alkitab
sebagai ukurannya).
Etika normatif lebih menekankan kepada hal-hal praktis, yang berpuncak pada
standar-standar moral yang mengatur sikap baik dan tidak baik. Hal ini berhubungan dengan
artikulasi kebiasan-kebiasaan baik yang harus dimiliki, atau kewajiban yang harus diikuti,
dan konsekuensi-konsekuensi dari sikap terhadap orang lain. Artinya, kita harus melakukan
kepada orang lain sama seperti apa yang kita kehendaki orang lain perbuat kepada kita.
Prinsip moral yang tinggi ini menjadi prinsip normatif bagi etika Kristen. Adapun prinsip-
prinsip dalam etika normatif adalah teori kebajikan ( virtue theory), teori kewajiban (duty
Theories), dan teori Konsekuensi (consequentialist theories).

a. Teori Kebajikan
Banyak filosuf menganggap bahwa moralitas selalu mengandung prinsip-prisip perilaku
yang mulia seperti tidak membunuh atau mencuri. Prinsip-prinsip dalam perilaku yang baik
itu dipelajari untuk dihidupkan dalam tingkah laku. Etika kebajikan sebaliknya tidak begitu
menekankan pada mempelajari prinsip-prinsip tetapi lebih kepada pentingnya
mengembangkan kebiasan-kebiaaan baik dari suatu karakter seperti keinginan baik
(benevolence). Ketika seseorang memiliki keinginan baik maka dia akan bersikap sesuai
dengan keinginan baik itu. Dasar filosofis kebajikan ini dikembangkan oleh para filosuf Barat,
dengan berakar pada kebudayaan Yunani. Plato menekankan empat macam kebajikan yang
dikemudian hari disebut cardinal virtue, yaitu hikmat, keberanian (courage), temperance,
dan keadilan.Di samping keempat kebajikan ini, ada beberapa lain yang juga penting, seperti
ketuguhan sikap, kemurahan hati, respek diri, tempremen yang baik, kejujuran dll. Jadi
teori kebajikan menekakan pendidikan moral selama latihan-latihan karakter yang bijak itu

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 10

dikembangkan dalam masa muda seseorang. Dalam hal ini orang dewasa bertanggungjawab
untuk menginstal prinsip kebajikan-kebajikan itu kepada orang-orang muda.
Aristotles memiliki argumen bahwa kebajikan adalah kebiasaan-kebiasaan baik yang
dibutuhkan manusia untuk mengatur emosi manusia. Seperti, bagaimana manusia merespon
perasaan-perasaan yang wajar berhubungan dengan ketakutan. Di sini seseorang harus
mengembangkan keberanian (virtue of encourage), yang akan memungkinkannya tetap kuat
menghadapi bahaya. Tanpa keberanian manusia jadi pengecut.
Para teolog abad ini, di samping mengutip beberapa kebajikan ala Yunani, mereka
juga memberikan tiga kebajikan Kristen yaitu iman, pengharapan dan kemurahan hati.
Pembicaraan tentang virtue ini berlangsung terus melewati abad pertengahan hingga
menurun pada abad ke-19 dan digantikan teori-teori moral. Dan pada pertengahan abad ke-
20 teori kebajikan kembali dibicarakan oleh berbagai kalangan, karena mereka mengamati
bahwa pendekatan teori etika yang dititikberatkan pada prinsip-prinsip dan tindakan tidak
tepat guna. Oleh sebab itu perlu membicarakan pelatihan-pelatihan karakter yang bijak.

b. Teori Kewajiban
Kebanyakan orang merasa bahwa sebagai manusia kita jelas memiliki kewajiban
seperti membesarkan anak, dan tidak membunuh. Teori-teori kewajiban yang berbasis pada
moralitas secara khusus memiliki prinsip-prinsip dasar dari kewajiban yang biasa disebut
dengan deontology.

c. Teori Konsekuensi
Teori ini mengatakan bahwa sikap moral yang baik terlihat pada akibat atau
konsekuensi dari tindakan yang meliputi teori egoism.

3. Etika Filsafat (Meta Etika)


suku kata meta (seperti juga dalam metafisika dsb) artinya melebihi, melampaui, di
atas, di luar, di sebelah, di balik, atau supra. Metaetika suatu studi yang menyelidiki dasar 2
etika, apa yang terkandung dari kata 2 seperti baik, buruk, wajib sebagai perilaku etis.
Apakah perilaku kita netral (bebas) saja atau mempunyai suatu motivasi khusus?
Etika ini dulu disebut etika kritis atau etika filsafat. Tugasnya menganalisis bahasa, dan
apa yang tersembunyi di balik suatu bahasa tentang baik. Misalnya: bila dikatakan bahwa
menjadi donor angota tubuh untuk transplantasi pada orang yang membutuhkan boleh di-
sebut baik, dalam penilaian metaetika baik itu perlu dipertanyakan. Apakah syarat 2nya untuk
disebut baik? Apakah masih baik jika organ itu ditransplantasikan untuk dijual?
Dalam metaetika motif dari kelakuan manusia itu yang diselidiki dalam hal baik dan
buruk berdasarkan tujuan dan persyaratan. Jika menurut pandangan filisofis itu baik dan
memenuhi syarat untuk dilakukan, maka itu suatu tindakan etis. Etika ini mempunyai
landasan yang kuat secara filsafati, yakni kesadaran akali dalam berbuat atau mewujudkan
perbuatan sebagai hasil dari keputusan melalui analisis akal budi dan hati (berpikir ilmiah)
agar perbuatan dapat dipertanggungjawabkan. Etika ini bisa berbahaya kalau landasannya
motif dan logika semata, sebab motif dan pikiran manusia sangat mudah berubah.
Meta etik mempelajari asal usul dari prinsip etika, serta pengertian konsep yang ada di
dalamnya. Disamping itu memberikan jawaban terhadap kebenaran-kebenaran universal,

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 11

kehendak Allah, dan peranan akal budi dalam keputusan etis, serta terminologi-terminologi
yang ada didalamya.

4. Etika Khusus (Kode Etik)


suatu etika normatif yang bergerak di bidang yang lebih khusus. Etika ini biasa disebut
juga etika terapan, seperti etika medis, etika teknis, etika bisnis dan sebagainya. Para
dokter, perawat, wartawan, ahli politik menggunakan etika ini sebagai “kode”, yaitu sistem
etis yang umum berlaku dalam bidang pekerjaan dan profesi tertentu ( kode di sini berarti
kumpulan asas atau aturan atau norma). Sehingga sering disebut juga dengan kode etik.

E. Titik Tolak Etika

Dapat dikatakan dengan pasti bahwa etika pada umumnya adalah sesuatu yang
berhubungan dengan kelakuan manusia dan cara mewujudkan perbuatannya. Adapun
kelakuan, selalu menunjuk pada pola dalam berpikir, pola bertindak dan pola berbicara.
Ketiganya biasanya selalu diberi nilai baik dan buruk, atau kelakukan positif dan kelakuan
negatif. Tugas etika adalah menyelidiki, mengontrol, mengoreksi dan mengarahkan cara
yang baik dan yang seharusnya dilakukan. Hal yang baik adalah dasar yang paling dalam
dari etika. Sedangkan ukuran “apa yang baik” dalam etika pada umumnya adalah sesuai
dengan tuntutan masyarakat secara umum, yang disepakati secara umum, kata hati dan
keputusan batin untuk bertingkah laku yang baik. Berbeda dengan ukuran dari etika Kristen.
Ukuran baik dan yang benar dalam etika Kristen itu ialah menurut tuntutan firman Allah atau
Alkitab.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 12

BAB II
ETIKA FILOSOFIS

Pemahaman dasar tentang etika secara umum mengarah pada tindakan yang sadar
dan disengaja. Tindakan tersebut sebagai hasil dari pengambilan keputusan seseorang
berdasarkan analisis dan perumusan secara rinci melalui pertanyaan etis tentang apa,
mengapa dan bagaimana kita harus berkelakuan (etika normatif). Oleh sebab itu etika
masuk ke dalam wilayah keilmuan dan bersifat filsafat hidup, sebab di dalam etika terdapat
tindakan yang masuk akal (ilmiah), dan menjadi suatu bidang studi yang membahas tentang
norma-norma yang mengatur dan mengukur tingkah laku manusia berdasarkan
pertimbangan akal.
Secara filosofis etika dilihat sebagai pengetahuan yang menginginkan hal-hal baik
dalam hidup. “Etika dalam arti sebenarnya berarti filsafat mengenai moral. Etika merupakan
ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma dan istilah moral
(R.M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen Untuk Perguruan Tinggi. Yogayakarta: ANDI,2007,
5-6). Etika menjadi pengetahuan filsafati karena mengunakan kesadaran akali dan daya
analisis untuk kebaikan hidup. Ada tiga sumber yang berperan dalam membangun etika
filsafati, yaitu peranan akal, kehendak bebas, dan pertanggungjawaban.

A. Peranan Akal

Akal budi atau rasio, sangat berperan dalam menganalisis dan mempertimbangkan
masalah sehingga seseorang dapat mengambil keputusan bagaimana mewujudkan tindakan.
Itulah tugas akal budi dalam bidang etika. Manusia harus terus berpikir, baik berdasarkan
perasaan, keyakinan maupun melalui pendekatan ilmiah. Berpikir secara ilmiah bertujuan
untuk menolak semua prasangka yang bukan akali dan menolak semua pengaruh dari luar
akal. Menurut para filsop, berpikir adalah prinsip tertinggi dari kodrat manusia.

B. Kehendak Bebas

Suatu tindakan atau tingkah laku manusia akan dinilai etis atau tidak kalau ada
kehendak yang dapat memilih atau kehendak bebas. Adapun yang dimaksud dengan
kehendak bebas (free will) adalah kemampuan untuk menentukan sendiri dalam memilih
tindakan tanpa dipengaruhi apa pun, siapa pun, kapan pun dan di manaa pun.
Kebebasan adalah unsur dan milik hakiki semua orang, sekalipun tidak semua orang
menyadarinya, dan tidak dapat dengan gampang menjelaskan apa itu kebebasan (ontology),
dan sulit sekali merumuskan (epistemology) pengetahuan yang serba biasa itu.
Kenyataannya kebebasan adalah salah satu tema dalam filsafat yang tidak pernah terbahas
sampai habis. Sekalipun kebebasan dalam hidup manusia merupakan suatu realitas yang
biasa, namun amat kompleks dan memiliki banyak aspek serta karakteristik.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 13

1. Pengertian Kebebasan
Membayangkan kebebasan biasanya berkenaan dengan suatu keadaan
menyenangkan, tidak dihalangi, tidak dihambat, tidak dipaksa, tidak diancam, atau suatu
keadaan yang bebas untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Artinya, pada satu sisi,
kebebasan itu suatu keadaan yang bebas dari larangan ini dan itu, pada sisi yang lain,
dengan kebebasan kita mampu menentukan sendiri apa yang mau dilakukan sesuai
kehendak atau pertimbangan kita sendiri, misalnya dalam memilih pekerjaan, memilih jalan
hidup, pasangan hidup, dan sebagainya.
Dari dua keadaan mengalami kebebasan di atas, kita dapat menangkap dua aspek
fenomenal dari kata “kebebasan,” yaitu “bebas dari” dan “bebas untuk.”

a. Bebas Dari
Pengertian aspek bebas dari ini sering juga disebut sebagai “kebebasan sosial,” yaitu
suatu keadaan bebas yang kita terima dari orang lain, dari berbagai hal yang menutup
kemungkinan untuk berbuat sesuatu menurut kehendak sendiri. Sebab, kebebasan
seseorang tidak selalu tergantung dari dirinya saja, tetapi biasanya baru disadari dalam
hubungan dengan orang lain.
Pembatasan kebebasan dari orang lain atau dari luar adalah sesuatu yang wajar,
sehubungan dengan milik orang tertentu, milik negara, sehingga ada larangan-larangan.
Dalam kebebasan ini, yang perlu diperhatikan adalah jika hak dan kemampuan seseorang
untuk menentukan diri dihambat oleh aturan atau kekuatan lain secara tidak rasional.
Kebebasan sosial ini disamakan dengan kebebasan politik atau kebebasan sosial-
politik. Subyek kebebasannya adalah suatu bangsa atau rakyat. Kebebasan ini bukannya
sesuatu yang sudah ada, melainkan sebagiannya adalah hasil perkembangan atau
perjuangan sejarah yang panjang, entah dengan membatasi kekuasaan mutlak raja atau
kemerdekaan dari penjajah.
Ada dua Negara yang berjasa dalam memelopori kebebasan sosial-politik ini, yaitu
Inggris dan Perancis. Di Inggris dikenal melalui piagam Magna Charta (hafiah: kertas besar),
yang dideklarasikan tahun 1215, yakni suatu piagam penganugerahan kebebasan tertentu
kepada baron dan uskup Inggris, oleh raja John. Kelanjutannya terbit pula The Bill of Right,
yaitu Undang-Undang yang berisi hak-hak parlemen terhadap monarki otokrasi.
Di Perancis, dikenal semboyan liberte (kebebasan), egalite (kesetaraan), dan
Praternite (persaudaraan). Intinya sama dengan perjuangan untuk kebebasan di Inggris,
yakni kedaulatan rakyat ( the sovereignty of the people ), alam demokrasi yang yang
didasarkan pada kebebasan rakyat.
Kedua deklarasi kebebasan dari kedua Negara tersebut merupakan perkembangan
dari monarki absolut ke demokrasi modern, yang bukan saja hanya sebagai suatu kenyataan
historis, tetapi juga suatu keharusan etis. Sehingga tidak lagi dapat dibenarkan jika
perkembangan kebebasan rakyat atau demokrasi ini menempuh arah yang berbalik.
Kedaulatan rakyat tidak boleh tergeser, dan harus tetap di tangan rakyat, ini yang disebut
sebagai tuntutan etis.
Bebas dari ini dengan sangat tepat telah dirumuskan dan diejawantahkan oleh bangsa
Indonesia, melalui founding fathers, di dalam Pembukaan UUD 1945, yang ber-bunyi.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 14

penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanu- siaan
dan perikeadilan.” Inilah aspek etis yang harus dimiliki dan wajib diperjuangkan oleh setiap
individu dan seluruh lapisan masyarakat sebagai haknya, dan jangan sampai dirampas.

1) Jenis-jenis “Kebebasan Dari”


Setidaknya ada tiga jenis “kebebasan dari” ini, yakni kebebasan fisik, kebebasan psikis
dan kebebasan normatif.

a) Kebebasan Fisik
Bentuknya berupa kebebasan dari segala bentuk hambatan, ancaman, tekanan dan
paksaan fisik, seperti dipenjara, diborgol, disiksa, kekerasan fisik, penganiayaan,
pemerkosaan, pelecehan, dan sebagainya.

b) Kebebasan Psikis, kebebasan rohani, kebebasan kehendak


Kebebasan ini menyangkut apa yang ada dalam hati dan kehendak yang tidak dapat
dipaksakan oleh kekuatan dari luar diri kita, dan hanya dapat terancam, dikurangi,
dikacaukan. Cara melanggar kebebasan ini dengan cara menekan korban, seperti sugesti,
rayuan, interogasi ketat, siksaan, manipulasi informasi, obat bius, dan teknik lainnya.

c) Kebebasan Normatif
Suatu kebebasan yang wajib dimiliki oleh setiap individu dalam wujud bebas dari suatu
norma atau kaidah yang mengharuskan seseorang melakukan ini atau itu. Bebas dalam arti
tidak terkena atau bebas dari larangan atau pewajiban sehingga tidak ada pilihan lain.

2) Hambatan Kebebasan
“Kebebasan dari” ini bisa dihambat. Hambatannya berupa larangan, perintah, aturan,
pewajiban yang sumbernya bisa datang dari orang per orang, lembaga, masyarakat,
pemerintah, agama atau adat istiadat. Tetapi persoalan akan muncul, bila bentuk atau isi
lara-ngan atau pewajiban itu tidak rasional dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
etis.

2. Bebas Untuk
Kebebasan ini disebut juga sebagai kebebasan eksistensial atau kebebasan positip,
bukan bebas dari apa, tetapi bebas untuk apa. Dari bebas untuk ini muncul pula aspek
kebebasan psikologis, dan kebebasan moral.
Kebebasan eksistensial adalah kebebasan menyeluruh yang menyangkut pribadi manu-
sia manusia. Ini jenis kebebasan tertinggi, sebab orang yang bebas secara eksistensial
berarti memiliki dirinya sendiri, mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas, atau
kematangan rohani. Dia tidak “mengekor” begitu saja atau mengkopi orang lain. Inilah
kebebasan ideal. Kebebasan manusiawi yang mencakup kebebasan jasmani dan rohani.
Kebebasan fisik berarti setiap orang dapat menentukan apa saja yang dimauinya
secara fisik. Bebas memanfaatkan kefisikannya menurut kehendaknya sesuai batas

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 15

kodratinya, sebagai wujud khas kebebasan manusiawi. Sedangkan kebebasan secara rohani
berarti dia bebas untuk menentukan sendiri, apa yang dipikirkan, merencanakan suatu
tindakan. Akal budinya mengendalikan badan, mengatasi keterbatasan fisik. Kebebasan
sejati adalah kebebasan rohani.
Kebebasan psikologis dan moral berkaitan dengan hakikat manusia yang memiliki
kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. Kemampuan itu menyangkut kehendak,
kemauan, kesadaran dan pengetahuan yang berasal dari akal budi dan tanggung jawab. Dia
bisa berpikir sebelum bertindak atau melakukan apa yang dikehendaki secara bebas atau
dengan kehendak bebasnya (freewill). Dengan “bebas untuk,” setiap individu akan
mempertimbangkan setiap perbuatannya dengan sadar atau memberikan makna kepada
perbuatannya, karena itu disebut juga sebagai kebebebasan psikologis.
Orang yang bertindak berdasarkan kebebasan dapat juga bertindak lain seandainya dia
mau. Kebebasan untuk ini dalam hakikatnya sebagai kemampuan untuk menentukan dirinya
sendiri, atau kemungkinan untuk memilih dari dalam dirinya sendiri sampai tidak ada
kemungkinan lagi untuk memilih. Ini disebut kebebasan moral.
Kebebasan psikologis kait mengait dengan kebebasan moral. Kebebasan moral meng
andaikan kebebasan psikologis, sehingga tanpa kebebasan psikologis tidak mungkin ada
kebebasan moral. Tetapi sebaliknya, sekalipun terdapat kebebebasan psikologis namun
belum tentu terdapat kebebasan moral.
Contoh pengandaian kebebebasan psikologis dengan kebebasan moral, misalnya pada
kasus penyanderaan. Seorang sandera dipaksa oleh teroris untuk menandatangani sepucuk
surat pernyataan. Dari sudut psikologis, perbuatan itu bebas. Dia memilih membubuhkan
tanda tangannya, ini keluar dari kehendaknya, artinya dia menentukan kehendaknya. Lain
halnya, kalau teroris itu memegang tangannya dan memaksakan sidik jari pada surat itu.
Lain lagi bila itu dibuatnya di bawah sugesti hipnotis.
Dari sudut moral, ia tidak membuatnya dalam arti sebenarnya, tetapi karena terpaksa.
Ia diperhadapkan pada dilema antara menandatangani atau dibunuh. Dari dua hal yang sulit
ia memilih yang kurang jahat, lebih baik menandatangani dan bisa hidup daripada dibunuh.
Jelas, dari aspek psikologis perbuatan itu bebas, tetapi dari segi moral tidak, sebab dia di
bawah paksaan. sebenarnya dia tidak mau melakukannya tetapi tidak ada pilihan lain kecuali
menghadapi maut, bukan karena suka rela sebagai syarat kebebasan moral. Kebebasan
psikologis berarti bebas begitu saja, sedangkan kebebasan moral berarti suka rela
(voluntary).

2. Makna Kebebasan
Arti mendalam kebebasan adalah: …
a) Manusia sebagai mahluk bebas yang menentukan dirinya. Manusia bukan obyek
atau sasaran penguasaan fisik atau sasaran kehendak sesamanya.
b) Manusia dapat mengambil sikap yang tepat terhadap beraneka rangsangan dan
kecenderungan luar karena dia adalah subyek, menjadi tuan atas hal apa pun.
c) Tanda dan ungkapan martabat manusia sebagai mahluk berakal dan kesadaran
etis. Oleh kebebasan itu keluhuran manusia ditentukan oleh sejauh mana dia
menghayati kebebasannya sebagai mahluk berakal budi dan berkesadaran etis.
Penyalahgunaan ke-2 unsur ini akan merendahkan martabat manusia yang luhur.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 16

Sebab, kebebasan menjadikan manusia memiliki otonomi, berada di bawah hukum


dirinya sendiri. Menghormati manusia sama dengan menghormati kebebasannya.
3. Problematika Kebebasan Dalam Realitas Kehidupan
Dari pengalaman keseharian dalam penerapan kebebasan tercuat beberapa
permasalahan, antara lain aspek negatif dan positif kebebasan, dan batas-batas kebebasan.

a. Kebebasan Negatif dan Positif


Mendengar kata kebebasan saja, secara implisit ada dua aspek yang melekat padanya,
yaitu aspek negatif dan positif. Dalam aspek negatif kebebasan itu lebih mudah dijelaskan
dalam pengertian “kebebasan dari”, yaitu terlepas dari tekanan dan paksaan. Maka
ungkapan kata kebebasan, dialami dalam praktik, dapat mengandung beraneka konotasi dan
nuansa, yaitu yang bebas adalah:
1) Orang yang terlepas dari paksaan fisik, juga adalah orang yang dirampas hak-
haknya atau kebebasan yuridisnya, seperti kebebasan berkumpul, menyatakan
pendapatnya, mengadakan rapat, dan sebagainya (karena ada penjajahan).
2) Orang yang terlepas dari tekanan batin atau psikis (ada stressers).
3) Orang yang terlepas dari paksaan moral atau terlepas dari inotentisitas dan
keterasingan (karena adanya kejahatan terstruktur).
Dalam aspek positif kebebasan itu sulit untuk dijelaskan artinya, tetapi dalam
“kebebasan untuk”, bebasan itu dalam segala hal, yang sama luasnya dengan kreativitas
manusia.

b. Batas-batas Kebebasan
Di dalam sejarah pemikiran modern ada satu tokoh filsafat yang terkenal ekstrim
mendewa-dewakan kebebasan, yaitu Filsuf Jean Paul Sartre (1905-1980), yang berpendapat
“We are condemned to be free”, kita dihukum (ditakdirkan) untuk hidup bebas. Namun
dalam kehidupan kongkret dan spontan kebebasan manusia itu ada batas-batasnya, antara
lain:
1) Faktor-faktor dari dalam diri setiap manusia, baik secara fisik maupun psikis.
2) Lingkungan, baik secara alamiah maupun bersifat sosial.
3) Kebebasan orang lain yang harus dihormati.
4) Generasi-generasi mendatang atau masa depan.
Dengan kata lain, kebebasan kita sering diperjelas oleh adanya motif-motif dan penyebab-
penyebab, sehingga setiap kebebasan itu bersifat determinative (ditentukan).

4. Hubungan Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab


Secara sederhana tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu,
mampu menjelaskan atau menyebutkan penyebab mengapa dia bersikap, bertingkah laku
atau berbuat demikian, atau tidak mengelak bila diminta penjelasan tentang perbuatan itu.
Tanggung jawab itu harus diberikan kepada diri sendiri, kepada orang lain, masyarakat,
lingkungan hidup dan akhirnya kepada Allah.
Sekalipun setiap orang memiliki kebebasan untuk apa saja dan dari apa saja, namun bukan
berarti setiap orang hidup, bersikap, bertingkah laku semaunya saja. Setiap orang tidak
hanya memiliki hak ini atau itu, tetapi juga harus sadar bahwa dia adalah bagian dari suatu

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 17

hidup bersama (secara tidak terbatas), sehingga memiliki kewajiban untuk


mempertanggungjawabkan kebebasan itu.
Rupanya kewajiban ini erat kaitannya dengan kebebasan eksistensial, yaitu kebebasan dari
tekanan, paksaan atau larangan. Jika terlalu menekankan kebebasan ini maka kebebasan itu
belumlah bersifat positif. Karena, untuk seseorang dapat berbuat secara bebas haruslah
memiliki kemampuan untuk memutuskan ini atau itu yang akan dilakukannya secara sadar,
tahu, mau, bebas dan penuh tanggung jawab. Sebab perbuatan adalah realisasi dari
keputusan yang menyatu dengan orangnya. Dia menentukan sekaligus ditentukan. Oleh
karena itu, untuk bertanggung jawab, tidaklah cukup orangnya menjadi penyebab, tetapi
perlu juga menjadi pelaksana yang bebas. Kebebasan adalah syarat mutlak untuk tangung
jawab.
Tangung jawab itu bisa langsung atau tidak langsung. Tanggung jawab bersifat langsung,
bila si pelaku sendiri bertanggung jawab atas perbuatannya. Adakalanya orang bertanggung
jawab secara tidak langsung, misalnya, “anjingku menggigit anak tetangga.” Pelaku
penggitan itu adalah anjing, tetapi karena anjing bukan mahluk bebas, maka sayalah yang
harus bertanggung jawab sebagai pemilik anjing itu.
Tanggung jawab juga dapat dibedakan atas yang retrotaspektif dan prospektif. Tanggung
jawab retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dengan
segala konsekuensinya, misalnya, dokter memberi resep obat yang salah, maka dia harus
menerima tanggung jawab atas perbuatannya itu.
Tanggung jawab prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan pada masa yang akan
datang. Dalam setiap tanggung jawab retrospektis sudah terkandung juga yang prospektif,
hanya bedanya yang retrospektif langsung berhadapan dengan sejumlah kemungkinan
konsekuensi nyata. Dalam kedua tanggung jawab ini dibutuhkan adanya kebebasan, artinya,
ada kebebasan-ada tanggung jawab, tidak ada kebebasan - tidak ada juga tanggung jawab.
Penolakan terhadap tanggung jawab mempunyai dua akibat. Pertama, persepsi atau
wawasan makin sempit, karena hanya melihat kepentingan atau kesenangan sendiri. Kedua,
orang itu makin lama makin lemah, irasional, dikuasi emosi, kemalasan, sehingga tidak
mampu melihat nilai-nilai positif, yang akhirnya akan kehilangan kebebasannya untuk
menentukan dirinya sendiri. Lain halnya dengan orang yang bersedia untuk bertanggung
jawab, dia akan semakin tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, kuat, dan luas
wawasannya. Dia tahu artinya berkorban, dan akhirnya, dia menemukan arti hidup ini, yaitu
kebahagiaan dan ketenangan jiwa.

C. Tangung Jawab

Kata tanggung jawab erat berkaitan antara tanggung dan jawab. Kata “tanggung” berarti
dipastikan tentu, dijamin, menderita, menyangga, memikul, memanggul, menjamin,
menyungguhkan bahwa sesuatu atau seseorang itu baik, bertanggung jawab. Sedangkan
kata jawab artinya sahut, balas, dan sebagainya. Penggabungan dua kata itu menciptakan
arti “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, mampu menyebutkan dan menjelaskan
penyebab mengapa is bersikap, bertingkah laku dan bertindak demikian,” berarti dia tidak
mengelak bila diminta penjelasan atau menerima resiko dari perbuatannya itu.

1. Tingkat-tingkat Tanggung Jawab

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 18

Untuk seseorang bisa diminta pertangungjawabannya, syarat utamanya adalah bahwa


tindakan itu dilakukan dengan bebas, maksudnya dilakukan berdasarkan pilihan bebas
sebagai mahluk sadar secara spikis maupun moral. Namun, kendati benar, bilamana tidak
ada kebebasan juga tidak ada tanggung jawab, tetapi mengingat kebebasan bisa kurang
atau bisa lebih, maka tanggung jawab itu ada tingkatannya. Kasus mencuri, misalnya, secara
umum diartikan mengambil barang milik orang lain tanpa izin atau ketahuan pemilikinya.
Jika dilaksanakan akan ada beberapa tingkat atau level tanggung jawab, antara lain:

a. A mencuri, tetapi dia tidak tahu bahwa dia mencuri.


b. B mencuri, karena dia seorang kleptoman.
c. C mencuri, karena dia menyangka dia boleh mencuri.
d. D mencuri, karena orang lain memaksanya dengan ancaman nyawanya.
e. E mencuri, karena dia tidak bisa mengendalikan nafsunya.

a. Tingkat Perbuatan dan Kadar Tanggung Jawab si A (Tidak sengaja)

A pikir itu tas-nya, sebab warna, bentuk dan modelnya sama persis. Baru dia tahu itu tas
orang lain setelah di rumah. Dia tidak bebas dan tidak bertanggung jawab dalam perbuatan
ini, yakni mencuri, karena tidak tahu dia mencuri. Dari segi luar, A memang mencuri, karena
mengambil bukan miliknya tanpa izin, sekalipun dia tidak tahu bahwa dia mencuri. Dia tidak
dengan sengaja mengambil milik orang lain, maka perbuatannya tidak disebut pencurian.
Lain halnya, setelah tahu itu bukan miliknya dia masa bodoh sekalipun tahu ia keliru. Apalagi
setelah dilihatnya ada uang 1 juta di dalamnya, dan berkata “ini sungguh berkat dari
Tuhan,” lalu menganggap itu milikinya. Itu berarti ia bertindak dengan bebas, karena itu ia
harus bertangung jawab. Kebebasannya cukup besar, cukup waktu untuk
mempertimbangkan apa yang diperbuatnya. Agar tak bertanggung jawab, dia harus
memperbaikinya dengan melaporkannya kepada pihak kepolisian atau mencari pemiliknya
yang berhak. Bila tidak, jelas ia harus bertanggung jawab atas kenyataan bahwa
perbuatannya menjadi pencurian.

b. Tingkat Perbuatan dan Kadar Tanggung Jawab si B (Kleptoman)

Si B juga mengambi miliki orang lain, tetapi dia menderita kelainan jiwa atau kleptomaniak,
ada paksaan batin untuk mencuri, bukan untuk dirinya. B tidak punya kebebasan psikologis,
akibatnya juga tidak diberatkan kepadanya. Tetapi itu perlu dibuktikan, apakah memang dia
memiliki kelainan psikis. Bilamana terus menerus dilakukan, paling tidak, ada sebagian
tanggung jawab, sekalipun agak kurang dari orang normal.

c. Tingkat Perbuatan dan Kadar Tanggung Jawab si C (Menyangka boleh)

Si C juga mengambil barang miliki orang lain, dengan bebas tetapi dalam arti tertentu
dengan terpaksa juga. Dia seorang janda dengan 5 anak yang masih kecil, telah beberapa
hari tidak makan apa pun, uang sama sekali tidak ada. Dia sudah menempuh berbagai cara
untuk mendapatkan uang bagi makanan anak-anaknya, dia gagal terus. Suatu saat,

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 19

kebetulan ada tas yang berisi uang di dalamnya, dia manfaatkan kesempatan ini sehingga
dicurinya tas yang berisi uang itu untuk cukup membeli makanan selama beberapa waktu.
Dia berpendapat, dalam hal ini boleh mencuri, demi keselamatan anak-anaknya, sebagai
prioritas. Olehnya dia tidak bertanggung jawab, tetapi dari segi etika dia bersalah.

d. Tingkat Perbuatan dan Kadar Tanggung Jawab si D (karena dipaksa)

Si D orangnya pendek, lincah lagi, maka “majikannya” menyuruh dia ke kamar tetangga
lewat kisi-kisi di atas pintu, agar mengambil tas berisi uang. Bila D menolak, dia disiksa,
bahkan dapat dibunuh. D melihat tak ada jalan lain kecuali menuruti perintah “majikannya.”
D terpaksa mencuri sekalipun tidak ingin, juga tidak mau tertimpa ancaman itu. Berarti “D”
tidak bebas dalam arti moral, maka dia jug tidak bertangung jawab atas perbuatannya itu.

e. Tingkat Perbuatan dan Kadar Tanggung Jawab si E (karena nafsu)

“E” juga mencuri tas berisi uang 1 juta, karena tidak ada orang yang melihatnya dan
langsung kabur. “E” ini telah lama bercita-cita memiliki “HP” berkamera dan pemutar musik,
utetapi uangnya tidak cukup. Karena si pemilik tas lengah maka “E” mencuri untuk
mewujudkan keinginannya.
“E” ini tidak mencuri untuk merugikan pemilik tas. Dia juga tidak tahu bahwa pemilik tas itu
seorang pedagang sayur saja, yang baru saja meminjam di sebuah koperasi buat menambah
modal usahanya. Jelas, “E” hanya didorong nafsunya untuk memiliki “ handphone” yang
canggih. Dia bertindak bebas, karenanya dia bertanggung jawab atas perbuatan pencurian
itu. Kebebasannya bisa dikurangi bila, misalnya, dia berasal dari keluarga yang ayahnya
mencari nafkah dengan mencuri, dia sudah terbiasa oleh pola dan cara hidup seperti ini,
sehingga mencuri baginya adalah hal yang serba biasa. Karena dia kurang bebas, maka ia
juga kurang bertanggung jawab.

2. Tanggung Jawab Individual dan Kolektif

Setiap orang memiliki tanggung jawab secara individual, tetapi, sebagai anggota dari suatu
kelompok masyarakat ada juga tanggung jawab kolektif yang harus dipertanggungjawabkan
mewakili kelompok. Memang tidak semua ahli etika mengakui adanya tangungg-jawab
kolektif ini, sedangkan sebagian mengakuinya.
Contoh yang jelas dalam tanggung jawab kolektif ini, misalnya, ketika Perdana Menteri
Jepang meminta maaf dan bertanggung jawab atas ulah para serdadu Jepang semasa
Perang Dunia II, yang memperkosa perempuan-perempuan di banyak negara Asia, termasuk
Indonesia. Dengan tanggung jawab itu lalu Pemerintah Jepang wajib membayar, bukan
hanya pampasan perang, tetapi juga sejumlah uang (Yen) kepada mereka yang pernah
menjadi korban pada masa lalu.
Contoh lainnya, seperti yang dilakukan Gus Dur, sebagai Ketua Nahdlatul Ulama, yang
menyatakan bertanggung jawab sekaligus meminta maaf kepada umat kristiani atas

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 20

Peristiwa Situbondo yang menghancurkan gereja-gereja di sekitar Situbondo, 10 Okotober


1998.
Dalam tanggung jawab ini, bukan perbuatan pribadi yang harus dipertanggungjawabkan,
tetapi sebagai kelompok atau keseluruhannya. Rasa tanggung jawab ini memang ada, bukan
alasan etis, tetapi psikologis, yaitu dari aspek afektif, solidaritas, sejarah atau tradisi. Kerena
itulah maka suatu kelompok merasa bertangung jawab atas perbuatan anggota-anggotanya,
walaupun sebagai kelompok tidak terlibat, demi menjunjung tinggi nama baik kelompok,
sama seperti bila seorang warga negara memenangkan medali emas di Olimpiade maka
yang berbangga adalah seluruh bangsa.

C. Kritikan Terhadap Konsep-konsep Etika Filsafati

Norman Gleiser dalam Etika Kristen (2001) mencatat beberapa konsep Etika yang
membedakan antara Etika umum dan Kristen sebagai dasar pijakan bagi Etika. Konsep-
konsep yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Yang Kuat, Yang Benar (Might is Right)

Pandangan etika ini memiliki sumber pada filsafat Trasymachus yang mengatakan
bahwa ‘keadilan untuk kepentingan kelompok yang kuat’. Dengan kata lain bahwa penguasa
memiliki otoritas untuk mengatakan suatu tindakan atau sikap itu memiliki kebenaran moral.
Menurut Gleiser titik kelemahan pandangan ini ialah bahwa suatu kebaikan bisa diproduksi
oleh setiap orang meski tidak semua orang memiliki kekuasaan. Sebaliknya tidak semua
orang yang memiliki kekuasaan dapat mampu menghasilkan suatu kebaikan. Sebagai
contoh, para kaisar pada tiga abad pertama memiliki kuasa penuh dalam kerajaan Romawi,
tetapi mereka melakukan kesadisan bagi orang-orang Kristen.

2. Moral adalah Adat Istiadat

Teori Etika ini memberikan wewenang kepada kelompok-kelompok masyarakat


menentukan standar moral masing-masing. Artinya setiap masyarakat memilik etikanya
sendiri, sebagai konseunsi tidak ada etika yang bersifat universal. Gleisar menggarisbawahi
bahwa jika moral itu ditentukan oleh masing-masing masyarakat lalu bagaimana
menyelesaikan konflik-konflik antara masyarakat yang berbeda. Sebagai contoh: bagimana
menyelesaikan konflik antara suku di Papua? jika setiap suku berpegang pada hukum adat
masing-masing.

3. Individu Adalah Tolak Ukur Moral

Benar bagi seseorang bagi orang lain adalah salah. Dengan demikian maka benar dan
salah tergantung pada individu setiap orang yang melihatnya. Kelemahannya adalah bahwa
masyarakat tidak memiliki hak untuk menentukan sikap moral.

4. Masyarakat Umum adalah Penentu

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 21

Sebagai reaksi terhadap individu, maka penentuan sesuatu itu benar atau tidak harus
dikatakan oleh seluruh manusia umumnya.

5. Teori Keseimbangan

Aristoteles memperkenalkan suatu teori etika yang disebut keseimbangan (moderation)


untuk menemukan sikap moral. Keseimbangan diperlukan untuk mencegah sikap ekstrim
dengan suatu keseimbangan. Misalnya yang menjadi pengimbang antara ketakutan dan
agresi adalah keberanian, antara kesombongan dan kerendahan hati adalah penguasaan diri
(bandingkan Filipi 4:5).

6. Teori Kenikmatan

Teori ini dipopulerkan oleh Epikorus pada abad ke-4 yang menekankan bahwa
kebenaran adalah kebaikan yang mendatangkan kenikmatan seluas-luasnya, sebagai
konsekuensi meminimalkan kesakitan untuk manusia. Teori ini memiliki kelemahan karena
kenikmatan tidak memiliki batasan, demikian juga rasa sakit. Banyak nilai-nilai positif dan
negatif yang bisa ditimbulkan oleh kedua-duanya.

7. Teori Kebenaran adalah Kebaikan bagi Mayoritas Manusia

Kaum Utilitarian percaya bahwa kebenaran moral disebut benar jika kebaikannya
diterima bagi sebanyak-banyaknya orang dalam waktu yang relatif lama. Dengan demikian
maka teori ini melihat kebenaran sebagai kebaikan yang diukur secara kuantitas.

8. Kebenaran untuk Kepentingan Diri Sendiri

Nilai moral adalah tujuan bukan cara. Memiliki sifat baik untuk tujuan lain yang hendak
dimiliki. Kebenaran Tidak dapat Ditentukan. Dengan demikian maka teori ini tidak berusaha
untuk mencirikan kebaikan itu bagaimana dan seperti apa. Kebaikan adalah baik, dan tidak
di luar itu.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 22

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 23

BAB III
ETIKA KRISTEN

Etika secara umum dipahami sebagai pengetahuan yang berkaitan dengan perbuatan
atau moral yang benar dan salah. Di dalam etika Kristen, perangkat pemahaman tentang
benar dan salah itu harus sesuai dengan Iman Kristen. Ukuran tentang benar dan salah itu
tidak didasarkan pada ukuran mana pun kecuali dari wahyu Allah atau Firman Tuhan sendiri.
Karena itu dalam etika Kristen Alkitab merupakan otoritas tertinggi untuk menarik semua
kesimpulan etis. Atau dengan kata lain, titik tolak etika Kristen adalah iman kepada Allah
yang dinyatakan dalam Kitab Suci. Tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.

A. Definisi Etika Kristen

Secara umum etika Kristen dapat disebut sebagai kesusilaan yang didasarkan pada
prinsip-prinsip Alkitab sebagai ukuran penentu dalam sikap hidup di tengah masyarakat.
Namun patut juga mempertimbangkan pandangan berikut ini. Menurut seorang ahli teologi
yang benama K. Schilder (1890-1952) etika Kristen intinya dirumuskan sebagai berikut :

Etika Kristen adalah ilmu teologi yang menyelidiki ukuran-ukuran yang tetap,
masyarakat-masyarakat yang berganti-ganti dan kewajiban-kewajiban manusia untuk
menentukan kehendaknya taat dalam situasi yang aktual dan kongkret terhadap
kehendak Allah yang dinyatakan.

Ada 3 aspek yang dirangkum dalam definisi ini:

1. Ada ukuran-ukuran yang tetap.


Yang dimaksud Schilder “ukuran-ukuran yang tetap ialah dasar-dasar yang disebut
dalam Alkitab.

2. Ada Masyarakat-masyarakat yang berganti-ganti.


Kata masyarakat yang dipakainya ialah dari kata Yunani oikonomia, yang artinya
kehidupan rumah tangga, pemerintahan, peraturan yang berlaku, dsb.

3. Ada kewajiban untuk taat dalam situasi-kondisi yang aktual dan kongkret terhadap
kehendak Allah yang dinyatakan.
Alkitab mengajarkan ukuran-ukuran yang tetap, tetapi masyarakat-masyarakat yang
berganti-ganti telah menyatakan kepada kita bahwa pola moral tidak selalu sama. Sangat
tergantung di mana tempat kediaman kita? Kita hidup di masa apa? Masalah-masalah apa
yang muncul oleh ilmu dan teknologi? Kesemuanya itu harus diperhatikan, sehingga kita
akan melihat bahwa banyak perubahan dan perkembangan dalam moral secara umum,
terlebih lagi secara iman kristiani. Namun di atas itu semua, etika Kristen harus selalu di
dalam ukuran yang tetap (standar) . Karena itu adalah menarik bagi kita untuk mengikuti

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 24

definisi etika Kristen yang didasarkan pada kesetiaan kepada Kitab Suci, seperti yang
dirumuskan oleh prof. Dr. J. Douma berikut ini :

Etika adalah pertimbangan kelakuan atau tingkah laku yang bertanggung- jawab terhadap
Allah dan terhadap sesama manusia

Bila diperluas maka definsi ini bisa menjadi : Etika adalah pertimbangan kelakuan atau
tingkah laku yang bertanggung jawab terhadap Allah, terhadap sesama manusia, dan
terhadap alam. Definisi inilah yang sepatutnya dipertimbangkan dalam membangun etika
Kristen. Seperti didukung oleh Verkuyl, “pertanyaan pendahuluan dan pertama dalam Etika
ialah: Bagaimanakah pandanganmu tentang Allah? Dan yang kedua: Bagaimanakah
pandanganmu tentang manusia?
Di dalam definisi ini setiap tingkah laku ditandaskan lebih dulu pada Alkitab sebagai
ukuran yang tetap dengan menyatakan bahwa setiap tindak etis atau tingkah laku orang ber
iman itu harus dilakukan setelah dipertimbangkan sesuai dengan firman Tuhan yang
menekankan tanggung jawab vertilkal dan horisontal. Bandingkan Matius 22:37-40.
Di dalam etika yang bertanggung jawab ini, setiap tingkah laku harus
mempertimbangkan aspek perbuatan, hasrat dan akibat dari semua tingkah lakunya. Tidak
ada suatuperbuatan yang tidak dipertimbangkan kecuali gerak refleks, karena itu
pertimbangan etika Kristen juga harus didasarkan ketiganya.

Contoh-contoh Kasus Etika yang Bertanggung-jawab

Pada masa lalu ada desakan yang kuat dari kelompok 2 pro-perdamaian yang
mengkampanyekan perlucutan senjata pemusnah massal seperti bom atom, bom nuklir atau
bom bio-kimia. Sebab senjata2 itu memiliki akibat yang sangat mengerikan. Tetapi jika orang
menuntut perlucutan senjata secara sepihak, khususnya di negara 2 Barat dan Amerika saja,
sedangkan negara2 komunis dan negara2 lain tidak turut secara penuh, maka itu artinya
sama dengan meremehkan negara 2 Barat dan memungkinkan negara 2 lain memanfaatkan
kesempatan itu. Sehingga slogan “Singkirkan segala senjata nuklir dari dunia, mulailah di
negeri kita!”, hanya merupakan seruan yang bagus, tapi hasratnya ternyata tidak baik,
karena hasratnya tanpa hikmat, tidak mempertimbangkan akibatnya lebih dulu. Dengan
kehendk mulia, dengan perbuatan yang pada dirinya baik, tetapi dapat merugikan dengan
akibat yang parah bukanlah suatu tindakan yang bertanggung jawab.
Contoh aktual masa kini, misalnya, kasus lumpur “lapindo” atau lumpur Sidoarjo.
Perusahaan pengeboran gas Lapindo mengebor suatu kandungan potensi gas di bawah bumi
tanpa menggunakan casing baja demi penghematan biaya. Tindakan pengeboran itu benar.
Penghematan biaya itu juga adalah suatu hasrat yang baik – dari sisi kepentingan Lapindo.
Tetapi akibat yang tanpa pertimbangan keamanan optimal itu yang tidak baik.
Contoh alkitabiah, seorang raja mau berperang melawan raja lain (yang mungkin
sangat lalim). maka sebelumnya dia menyatakan perang harus mempertimbangkan dulu
apakah dengan 10 ribu orang tentara dia sanggup menghadapi lawannya yang datang
dengan 20 ribu orang (Lukas 14:31). Mungkin saja raja itu berhak berperang, karena
semata-mata demi menentang ketidakadilan. Tetapi dia tidak hanya bertanggung jawab atas

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 25

perbuatan dan haknya untuk berbuat apa 2, dia juga harus bertangung jawab atas akibatnya
juga.
Seorang yang mendonorkan salah satu organ tubuhnya untuk ditransplantasikan
kepada orang lain yang sangat membutuhkannya (menyangkut nyawa manusia).
Perbuatannya baik, akibatnya baik, tapi hasratnya belum tentu baik. Ini juga bias termasuk
suatu tingkah laku yang tidak bertanggung jawab, apabila melalui perbuatan itu tersembunyi
motivasi (hasrat) yang lain, yang tidak murni karena kasih. Atau akan menimbulkan kasus
lain, misalnya orang terjebak ke dalam sindikat penjualan organ tubuh.
Etika Kristen, atau etika yang bertanggung jawab bertujuan membawa kebaikan
melalui perbuatan yang bertanggung jawab setiap orang seperti yang dikehendaki Allah.

B. Karakter Etika Kristen (Ciri-ciri Etika Kristen)

Etika kristen sebagai etika yang bertanggung jawab, terutama kepada Allah, juga
kepada sesama manusia dan lingkungan, memiliki karakter sendiri yang membedakannya
dari etika lain, karena etika Kristen didasarkan pada perintah dari Atas atau perintah dari
Allah. Ada beberapa ciri yang menjadi karakter etika Kristen.

1. Etika Kristen Berdasarkan Kehendak Allah

Kewajiban etis atau tingkah laku orang Kristen bukan dibangun di atas dasar kebajikan
akali manusia semata, melainkan berdasarkan perintah yang diberikan Allah yang tidak
berubah. Bahwa Allah menghendaki yang benar sesuai dengan sifat 2 moral-Nya sendiri.
Band. Im 11:45; Ibr 6:18; Mat 5:48; I Yoh 4:16; Mat 22:39. Tegasnya, etika Kristen
didasarkan pada kehendak Allah, di mana Allah tidak pernah menghendaki apa pun yang
bertentangan dengan karakter moral-Nya yang tidak berubah.

2. Etika kristen Bersifat Mutlak (absolut)

Karena karakter Allah tidak berubah (Mal 3:6; Yak 1:17), maka kewajiban 2 moral yang
berasal dari natur Allah itu bersifat mutlak. Kewajiban 2 etis orang Kristen selalu mengikat
setiap orang di mana saja dan kapan saja (universal, menembus ruang dan waktu). Dan apa
saja yang terdapat dalam karakter Allah yang tidak berubah itu adalah suatu kemutlakan
moral yang harus ditaati. Termasuk di dalamnya kewajiban 2 moral seperti kekudusan,
keadilan, kasih. Perintah2 lain yang berasal dari kehendak Allah, tetapi tidak harus berasal
dari natur-Nya, itu sama-sama mengikat, tetapi tidak mutlak. Perintah 2 itu harus ditaati oleh
orang yang menerimanya, karena Allah yang menetapkannya, tetapi tidak ditetapkan bagi
semua orang, di semua zaman dan semua tempat. Contohnya: kewajiban tiga kali setahun
setiap orang Israel (laki2) harus menghadap Allah di Bait Suci di Yerusalem. Contoh negatif,
perintah kepada Hosea, kepada Petrus dalam Yoh 21 dan sebagainya.

3. Etika Kristen Berdasarkan Wahyu Allah

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 26

Kita tahu ada wahyu yang bersifat umum (Rm. 1:19-20; 2:12-15), dan ada wahyu
khusus (Rm. 2:18 – 3:2). Allah telah menyatakan diri-Nya melalui alam (Mzm 19:1-7) dan
dalam Kitab Suci (Mzm 19:8-14). Wahyu umum berisi perintah Allah bagi semua orang,
wahyu khusus mendeklarasikan kehendak-Nya untuk orang beriman. Tetapi dalam kedua hal
tersebut, dasar dari tangung jawab etis manusia adalah wahyu ilahi.
Gagal untuk mengenali Allah sebagai sumber kewajiban moral tidak membebaskan
siapa saja dari kewajiban moral, bahkan orang atheis sekalipun (Rm. 2:14-15). Sebab,
sekalipun orang-orang yang tidak beriman, yang tidak memiliki hukum moral secara tertulis,
mereka masih memiliki kewajiban moral yang tertera di dalam sanubari dan hati mereka.
Mereka mengetahuinya melalui pengertian dan memperlihatkannya melalui kehendak hati.

4. Etika Kristen Bersifat Menentukan


Berdasarkan naturnya (kodratnya), etika Kristen bersifat preskriftif, bukan deskriptif.
etika Kristen berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan, bukan dengan apa yang
sebenarnya terjadi. Orang2 Kristen tidak menemukan kewajiban 2 etis mereka di dalam
standar orang2 Kristen, tetapi di dalam standar yang yang dinyatakan Alkitab bagi orang 2
Kristen. Etika Kristen menentukan perilaku manusia, bukan menguraikan perilaku manusia.

5. Etika Kristen Bersifat Deontologi (Kewajiban Etis)


Sistem2 etis pada umumnya terbagai dalam dua kategori, yaitu yang bersifat
deontologis (berpusat pada kewajib), dan bersifat teleologis (berpusat pada tujuan). Tetapi
etika Kristen itu deontologis. Contoh etika teleologis ialah pada kaum utilitarianisme (etika
yang memandang segala sesuatu dari sudut manfaat, bukan kewajiban)
Untuk dapat sedikit memahami makna etika deontologis ini akan lebih mudah dengan
mengontraskan dengan pandangan teleologis, lihat bagan berikut.

Etika deontologis Etika teleologis


Peraturan menentukan hasil Hasil menentukan peraturan
Peraturan adalah dasar tindakan Hasil adalah dasar tindakan
Peraturan itu baik tanpa menghiraukan hasil Hasil kadang bisa melanggar peraturan

Etika Kristen bersifat kewajiban, sehingga tidak mengutamakan hasil sebagai tujuan
dari setiap tindakan, sekalipun hasil itu penting. Dan karena etika Kristen bersifat kewajiban,
tidak menghalalkan segala cara demi tujuan atau hasil. Orang Kristen wajib hidup kudus,
jujur, berbelaskasih, tanpa menitikberatkan hasil praktis dari tindakan etisnya.

C. Pentingnya Etika Kristen

1. Supaya kita dapat hidup berkenan kepada Allah


2. Menempatkan Alkitab sebagai firman Allah pada proporsi yang sebenarnya
3. Supaya kita dapat bersaksi kepada dunia
4. Untuk mendewasakan Gereja Tuhan. Sebab etika pada intinya adalah
isi dan tindakan iman Krsten.

D. Dasar Pendekatan Etika Kristen


Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 27

1. Di dasarkan pada norma/prinsip normatif dan hasil akhir.


Dengan menekan pada prinsip/norma kita sudah mempunyai
gambaran tentang hasil akhir dari setiap perilaku kita.
2. Prinsip/norma itu akan menolong kita dalam mengambil keputusan yang terbaik
3. Suatu ketika kita dihadapi pada konflik. Melalui etika Kristen kita dapat
mengambil suatu keputusan yang tepat secara :
a. imani (menurut Allkitab)
b. Rasional (akali)
c. Praktis (bisa dikerjakan atau tidak)
d. Obyektif (kesesuaian)

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 28

BAB III
MODEL-MODEL ETIKA KRISTEN
(PILIHAN-PILIHAN ETIKA)

Realitas kehidupan manusia ini sangat kompleks dan problematik. Seringkali


diperhadapan pada konflik2 etis. Ketika kita dituntut untuk mengambil suatu keputusan etis,
maka sebagai orang Kristen kita harus memiliki petunjuk atau standar tentang sikap atau
langkah-langkah pengambilan keputusan yang sesuai dengan iman Kristen, citra diri orang
Kristen. Namun, sebelum pengambilan keputusan etis, ada bebarapa hal yang patut kita
sadari. Pertama, kita harus berani menghadapi masalah yang kelihatan (masalah natura).
Kedua, menyadari akan adanya masalah yang tidak kelihatan, yang menyatu dengan
masalah yang kelihatan, yang biasanya jauh lebih besar dari yang kelihatan (biasanya
masalah-masalah ini kurang disentuh atau tertangani secara tuntas bersama masalah yang
kelihatan). Ketiga, memperhitungkan faktor sebab dan akibat yang sangat dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi.

A. Etika-etika Modern (Sistem-sistem Etika)

Berdasarkan fakta dan kesadaran adanya konflik etis yang selalu muncul di tengah
realitas kehidupan ini, maka dalam etika Kristen muncul pandangan 2 modern sebagai respon
dari masalah2 modern yang problematik dalam bentuk sistem-sistem atau pilihan-pilihan
etika untuk menjawab tantangan etis masa kini.

1. Etika Antinomianisme
secara harfiah Antinomianisme berarti “menentang atau sebagai pengganti hukum.”
Tidak peduli dan tidak percaya hukum, nilai emotifnya sangat tinggi. Pandangan ini me-
nganggap bahwa tidak ada hukum2 moral yang mengikat. Segala sesuatu itu bersifat relatif,
sehingga suatu keputusan salah atau benar, baik atau tidak baik diputuskan atas dasar
subyektif, personal, atau pragmatis. Bukan didasarkan pada hukum moral obyektif
manapun. Misalnya, ketika seseorang membunuh secara tidak sengaja , menurut
Antinomianisme secara moral itu tidak bersalah. Sebaliknya, bilamana seseorang memberi
uang kepada orang miskin, tindakannya itu bisa berarti tidak baik jika dilakukan dengan
motif yang salah. Antinomianisme ini sangat menekankan nilai 2 individual dalam membuat
keputusan etis. Semua orang bebas menentukan nilai etisnya. Sikap etis ini tidak bisa
berfungsi dalam masyarakat. Tokoh penganut Antinomianisme ini misalnya Kierkegaard, J.P.
Sartre, Friedrik Nietche.

2. Etika Situasi (Situationism Ethic)


Penganut etika situasi meyakini hanya ada satu hukum yang absolut, yaitu kasih. Kasih
merupakan satu-satunya norma universal. Suatu sistem etika dengan strategi pragmatis
(menekankan nilai2 kepraktisan dan kemanfaatan), taktik yang relativistis, sikap yang
positivistis dan pemusatan nilai personalistis, 4 prinsip yang dipegang dalam setiap tindakan
etis.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 29

Tindakan etis menekankan cara berperilaku yang mendatangkan kegunaan (pragmatis)


demi tercapainya kasih. Kasih menjadi jawaban secara kongkret dan praktis.
Motivasi dalam bertingkah laku adalah kasih agape, yang lain bersifat relatif. Tidak ada
yang sempurna dan mutlak selain kasih.
Dalam memutuskan suatu tindakan seseorang harus menarik nilai 2 berdasarkan
ungkapan2 yang positif. Jika seseorang menilai tindakan itu positif dan dia melakukannya,
maka secara moral itu benar.
Makna personalisme etika ini menekankan bahwa pribadi manusia adalah nilai moral
tertinggi, sedangkan nilai benda tergantung pada keterkaitannya dengan manusia. Hanya
manusia yang mempunyai nilai. (menurut pandangan ini bayi dianggap masih sebagai
“benda”, belum manusia).
Ringkasnya, Situsionisme meyakini bahwa hanya ada satu norma yang absolut,
universal dan harus dipatuhi, yaitu kasih. Sedangkan norma lainnya, bila terjadi konflik bisa
dilanggar demi kasih. Juga bila terjadi konflik, tindakan etis yang yang benar ialah dengan
menekankan nilai-nilai kegunaan dan pribadi manusia.
Tokoh yang paling terkenal dari situasionime ini ialah Yoseph Fletcher. Menurutnya,
tindakan2 tindakan berikut dapat disebut etis :
a. Perzinahan demi orang lain (altruistic adultery)
b. Pelacuran atas dasar kepahlawanan (patriotic prostitution)
c. Pengorbanan bunuh diri (sacrificial suicide)
d. Pembolehan aborsi(abortionable)
e. Pembunuhan karena belas kasihan (merciful murder).

Evaluasi terhadap sistem etika ini:

Positif Negatif
Menekankan kasih dalam segala aspek Penerapan kasihnya sangat sempit
Menghargai manusia (pribadi manusia) Terlalu emotif dan hanya mengutamakan
kelompok tertentu (yang lebih potensial)
Penyelesaian masalah tidak bertele-tele Terlalu dipengaruhi oleh lingkungan
(subyektivitasnya tinggi)

3. Etika Generalisme (Generalism Ethic)

Secara garis besar etika model generalisme mengakui beberapa prinsip atau hukum
moral yang mengikat, tetapi tidak ada satu pun dari prinsip 2 itu yang benar2 absolut. Selalu
ada pengecualian2 yang harus diambil bila terjadi konflik. Sehingga selalu ada satu solusi
untuk konflik2 moral. Bagi mereka, tujuan membenarkan cara. Artinya, generalisme
didasarkan pada apa yang akan membawa hasil yang paling baik dalam jangka panjang.
Tetapi berapa lama “jangka panjang” itu tidak didefinisikan oleh mereka.
Generelisme menyatakan bahwa tidak ada tindakan secara moral benar kecuali bila
membawa kebaikan terbesar bagi jumlah terbanyak manusia. Dengan kata lain, nilai
ekstrinsik (di luar, yang dapat dirasakan) lebih dihargai daripada intrinsik (dalam).

Evaluasi terhadap etika ini :


Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 30

Positif Negatif
Menerima/membutuhkan norma Penekananya hanya pada hasil
menekankan suatu tindakan yang pasti/tidak ngawur Kadar relativitasnya sangat tinggi

4. Etika Absolutisme Total (Total Absolutism Ethic)

Etika ini menyatakan ada kewajiban moral universal yang bersifat perintah yang
absolut. Berlaku kapan saja dan dalam situasi-kondisi yang bagaiman pun juga. Bagi
mereka, kewajiban adalah kewajiban tanpa memandang konsekuensi. Kewajiban2 moral
tidak mengakui pengecualian2, karena pengecualian apa pun terhadap suatu hukum moral
akan menunjukkan bahwa sesungguhnya ini bukanlah sebuah peraturan. Allah tidak
toleransi dengan pelanggraran2 hukum2-Nya yang mana pun juga, baik etis maupun natural.
Selain itu, kewajiban2 moral itu bersifat intrinsik (menjadi bagian yang tidak
terpisahkan), bukan ekstrinsik (berasal dari luar) dari setiap manusia.
Alasan dasar dari absolutisme total adalah bahwa seluruh konflik moral itu hanya
kelihatan saja konflik, tetapi sebenarnya tidak konflik. Dosa selalu dapat dihindarkan. Hukum
moral yang mutlak tidak mengakui pengecualian dan sesungguhnya hukum 2 moral itu tidak
pernah konflik. Contoh yang diambil, misalnya pengalaman Daniel, I Kor 10:13.
Tokoh pengajur etika ini misalnya Santo Augustin, Immanuel Kant sampai John
Murray. Etika ini pada intinya menyatakan:

a. Karakter Allah yang tidak berubah merupakan dasar dari hal 2 moral yang mutlak
b. Allah telah menyatakan karakter moralnya tidak berubah di dalam hukum 2-Nya
c. Allah tidak mempertentangkan diri-Nya, ...
d. Karena itu, tidak ada dua hukum moral yang mutlak, yang benar 2 dapat
bertentangan
e. Seluruh konflik moral hanya kelihatan saja konflik, tetapi sebenarnya tidak konflik.

5. Etika Konflik Absolut (Absolutism conflict Ethic)

Ada empat alasan dasar yang menjadi pegangan etika ini. Pertama, hukum Allah itu
mutlak dan tidak dapat dipatahkan. Kedua, di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa
ini konflik2 terhadap perintah2 Allah tidak dapat dihindarkan terjadi . Ketiga, ketika konflik2
moral terjadi sebaiknya kita melakukan hal yang kurang jahat. Keempat, pengampunan
tersedia jika kita mengakui dosa2 kita.
Ketika dua kewajiban bertentangan, secara moral manusia bertanggung jawab
terhadap keduanya. Ketika konflik tidak terhindarkan, secara pribadi tidak bersalah jika dia
melakukan yang terbaik dengan memilih yang kurang jahat di dalam situasi itu. Contoh :
Di dalam pandangan ini, orang Kristen hidup secara serempak dalam dua kerajaan,
yaitu kerajaan Allah dan kerajaan dunia ini. Apabila terjadi pertentangan, dan karena orang
Kristen memiliki tangung jawab di dalam keduanya, tidak terelakkan bahwa akan terjadi
konflik2. Keputusan2 yang dibuat dalam dalam situasi2 konflik seperti ini harus dengan
memilih yang kurang jahat, sekalipun tetap berdosa. Contoh, Daud yang makan roti di Bait
Allah, I Sam 21:4; Mat 12:3-4.
Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 31

Ringkasnya :
Absolutisme Konflik yakin bahwa banyak hukum moral mutlak yang kadang
bertentangan, sebab dunia ini telah jatuh ke dalam dosa, sehingga terjadi dilema 2 moral.
Pada waktu konflik moral tidak dapat terelakkan terjadi, kewajiban manusia ialah memilih
yang lebih kurang jahat, kemudian mengakui dosa itu kepada Allah dan menerima
pengampunan-Nya.

6. Etika Absolutisme Bertingkat (Hierarchicalism Absolutism Ethic)

Ada hukum2, perintah2 yang bertingkat (hierarkis), antara perintah untuk mengasihi
Allah dan perintah untuk mengasihi sesama. Ketika terjadi konflik, yang pertama selalu lebih
diutamakan dari yang kedua. Cf. Mat 22:26-38.
Pandangan ini meyakini hal2 moral yang mutlak dalam urutan prioritas ketika ada
konflik. Sekalipun ada konflik2 moral yang nyata. Tetapi dalam situasi 2 itu seseorang tidak
bersalah dengan melakukan kewajiban yang lebih tinggi sekalipun harus melanggar
kewajiban yang lebih rendah. Contoh Alkitab : orang Farisi/Ahli Taurat yang tidak
melaksanakan kewajiban memenuhi kebutuhan orang tua mereka demi untuk melaksanakan
perintah Allah.

B. Contoh dan Studi Kasus Terhadap Pilihan-pilihan Etika

Salah satu contoh sikap dan keputusan etis yang diambil oleh model-model etika ini
ketika menghadapi konflik, misalnya dalam hal berbohong. Menurut Alkitab berbohong itu
dosa (misalnya dalam Mat 5:27). Namun bagaimana bila terjadi konflik etis dan dilematis,
misalnya dalam Kel 1:15-19; Yos 2, dll.

1. Menurut Antinomianisme
Berbohong itu pada umumnya salah. Sikap ini menegaskan bahwa tidak ada prinsip 2
moral yang obyektif untuk menilai bohong itu salah atau benar. Menurut mereka, masalah
ini harus diputuskan secara subyektif, personal dan pragmatis. Sangat tergantung pada
kepentingan tertentu (subyektif), siapa yang dibohongi dan apa manfaatnya?

2. Menurut Generalisme
Berbohong itu pada umumnya salah. Tidak bisa dimutlakkan dan universal. Sebagai
peraturan, berbohong itu salah, tetapi untuk kasus 2 khusus bisa dilanggar. Benar atau
tidaknya suatu kebohongan tergantung hasilnya. Jika hasilnya baik, berbohong itu benar.
Berbohong untuk menyelamatkan sebuah kehidupan itu benar, sebab tujuan membenarkan
cara yang diperlukan untuk mencapainya.

3. Menurut Situasionisme
Berbohong kadang banar. Ini didasarkan atas pemahaman bahwa ada satu hukum
universal sebagai hukum moral yang absolut, yaitu kasih. Sehingga berbohong mungkin hal
yang baik untuk dilakukan berdasarkan kasih, termasuk untuk menyelamatkan hidup.
Peraturan moral apa pun dapat dilanggar demi kasih. Yang lain relatif.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 32

4. Menurut Absolutisme Total


Berbohong itu salah. Absolutisme total yakin bahwa ada banyak hukum moral absolut,
dan tidak satu pun dari hukum 2 itu yang boleh dilanggar. Kebenaran adalah hukum karena
itu orang harus selalu mengatakan kebenaran. Tidak ada pengecualian di dalam mengatakan
kebenaran. Hasil2 tidak pernah digunakan sebagai alasan untuk melanggar peraturan,
meskipun hasilnya merupakan hal yang tidak diinginkan.

5. Menurut Absolutisme Konflik


Berbohong itu dapat dimaafkan. Ada banyak hukum yang bertentangan karena kita
hidup di dunia yang jahat. Hukum2 moral absolut kadang menemui konflik yang tidak
terhindarkan, tetapi merupakan kewajiban moral untuk melakukan yang kurang jahat. Kita
bisa berbohong untuk menghindari kejahatan yang lebih jahat dan memohon pengampunan
Tuhan atas kebohongan itu.

6. Menurut Absolutisme Bertingkat


Berbohong itu kadang benar atas pemahaman terdapat hukum 2 yang lebih tinggi.
Sekalipun terdapat banyak hukum yang absolut, dan kadang 2 bertentangan satu sama lain,
namun ada hukum yang lebih tinggi dari hukum yang lain. Sehingga ketika terjadi konflik
yang tidak terhindarkan maka yang wajib ditaati adalah hukum yang lebih tinggi. Dengan itu
diyakini bahwa belas kasihan kepada orang yang tidak bersalah merupakan kewajiban moral
yang lebih tinggi dibanding dengan menceritakan kebenaran kepada orang yang bersalah.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 33

BAB IV
ETIKA DALAM GEREJA, KELUARGA DAN MASYARAKAT

Keluarga, Gereja dan masyarakat adalah lembaga 2 yang nyata dan mengikat setiap
orang Kristen. Setiap orang Kristen tidak mungkin lepas dari ketiga lembaga ini. Karena itu
setiap orang Kristen harus memahami etika sebagai landasan bertingkah laku di dalam
interaksi di tengah lembaga2 ini.
Sekalipun istilah gereja, keluarga dan masyarakat memiliki makna dan fungsi sendiri 2
namun ketiganya saling berkaitan dan pengaruh-mempengaruhi. Ketiganya dapat disebut
sebagai orang Kristen atau orang 2 Kristen universal yang dinamis dan berkarya. Mengikuti
pandangan dan definisi dari K. Schilder ketiga lembaga ini dapat disatukan sebagai
oikonomia, yaitu untuk menyebut kehidupan rumah tangga, pemerintah, peraturan yang
berlaku dsb, dan juga digunakan untuk menyebut umat Allah secara umum.
Sebelum lebih jauh meninjau prinsip 2 yang harus dipegang di dalam bergereja,
berkeluarga dan bermasyarakat (atau beroikonomia), perlu juga membahas ke-3 lembaga
tersebut secara ringkas.

A. Keluarga

Keluarga adalah lembaga dasar dari gereja dan masyarakat. Keluarga merupakan
lingkungan pertama dan terdekat yang dijumpai dan dimiliki oleh setiap individu ketika
terlahir ke dunia. Terutama bagi seorang anak (dan kita semua adalah anak), keluarga
merupakan lingkungan pendidikan primer, tempat di mana anak 2 memperoleh dasar2
keterampilan (sensomotorik), dasar2 kecerdasan (bahasa, alam pikiran) dan dasar 2 nilai
hidup (iman, adat, tata laku, dsb). Keluarga memberikan penghiburan, perlindungan serta
pertolongan. Perlindungan setelah pulang dari sekolah atau pekerjaan, perlindungan dan
keamanan dari ancaman luar. Secara fisik, misanya, dari hujan. Secara mental, misalnya,
dari sikap prasangka orang lain. Keluarga juga merupakan semacam pertolongan untuk
memecahkan persoalan atau mencapai tujuan. Terlebih bagi seorang gembala atau hamba
Tuhan, keluarga memiliki peranan yang sangat vital dalam setiap aspek pelayanan.

1. Fungsi dan Peranan Keluarga


Keluarga berfungsi memenuhi berbagai kebutuhan manusiawi, mulai dari kebutuhan
primer (sandang, pangan, papan), rasa aman, untuk menyinta dan dicinta, kebutuhan akan
harga diri, sampai pada kebutuhan aktualisasi diri, seperti teori kebutuhan A.H Maslow.
Di dalam keluargalah berbagai aturan dan norma dimulai dan diterapkan demi
menjamin kesejahteraan bersama. Norma 2 itu dapat berujud sebagai tradisi, adat istiadat,
hukum2 bertingkah laku dan hukum 2 agama, sampai bagaimana bersikap dalam
menyesuaikan diri dengan Undang2 dan hukum2 negara.

2. Definisi Keluarga
Lingkungan terpenting dan terdekat setiap individu ini sudah begitu biasa sehingga
terkadang tidak dirasakan perlu untuk mendefinisikannya secara detil. Namun bagi
kebutuhan teknis kita perlu memahaminya secara sederhana saja.
Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 34

a. Menurut Kamus Umum


Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan : Pertama, keluarga adalah ibu, bapak
beserta anak2nya; seisi rumah. Kedua, orang seisi rumah yang menjadi tanggungan. Ketiga,
sanak saudara; kaum kerabat. Keempat, satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam
masyarakat.
Kamus Induk Istilah Ilmiah menjelaskan, pertama, kaum kerabat; sanak saudara;
satuan kekerabatan dasar dalam suatu masyarakat. Kedua, bagian kecil dari masyarakat
besar yang terdiri dari ibu, bapak dan anak-anaknya.

b. Menurut Alkitab
Dalam bahasa Ibrani, kata yang menunjuk kepada arti keluarga ialah bayit (‫)תיב‬,
Ayah, ibu dan anak2nya, tidak masalah apakah anak itu sudah menikah dan memiliki anak 2
sendiri, apakah sudah mati atau pun masih hidup. Anggota keluarga terkecil : ab, em, ben
dan bat, kaum seisi rumah terdiri dari ayah.ibu dan keturunan. Kata 2 Yunani untuk keluargan
memakai kata oikos dan patria
Oikos (oikia) bermakna orang2 seisi rumah, penghuni rumah, rumah tangga, kaum,
umat. Muncul misal di 1Tim 5:4; Mat 9:6-7; 11:8; 15:24; Luk 9:61; 11:17; Kis 2:36; 10:2;
11:24; 1Kor 1:16. Dari kata ini muncul kata oikonomia yang dapat juga berarti keluarga.
Kata patria, dalam PB disebut tiga kali, dalam Luk 2:4; Ef 3:25; Kis 3:25 yang
diterjemahkan keluarga, keturunan, ras. Istilah ini menekankan pada asal usul keluarga atau
bapak leluhur. Patria bisa berarti satu suku bahkan satu bangsa. (Ensiklopedi Alkitab Masa
Kini, I)

3. Definisi Keluarga Kristen


Menurut Larry Christenson, keluarga Kristen tidak diciptakan demi kepentingan sendiri.
Keluarga Kristen diciptakan untuk membawa kemuliaan dan hormat bagi Allah. Lebih jauh
dikatakan, “Keluarga adalah milik Allah. Ia menciptakannya. Ia menentukan susunan intinya.
Ia menentukan maksud dan tujuannya. Seizin Allah, seorang pria dan wanita boleh
membantu tujuan Allah dan menjadi sebagian dari tujuan itu." Karena itu dia mendefinisikan
: “Keluarga Kristen ialah keluarga yang hidup bersama Yesus Kristus ” (Larry Christenson,
Keluarga Kristen. Semarang : Yayasan Persekutuan Betania, 1994, hlm. 8,10).

4. Peraturan-peraturan dan Otoritas Dalam Keluarga


Karena Keluarga Kristen memiliki norma yang tetap dan wajib berdasarkan firman
Tuhan, maka norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku dalam keluarga berdasarkan
perarturan2 Allah itu sendiri. Otoritas utama : “Kepala dari tiap laki-laki ialah Kristus, kepala
dari perempuan ialah laki-laki, dan kepala dari Kristus ialah Allah” (1Kor 11:3). Selanjutnya :
“ Hai anak-anak, taati orang tuamu dalam segala perkara, karena itulah yang indah di dalam
Tuhan”, Kol 3:20.
Dengan demikian Allah menyusun keluarga menurut garis-garis wewenang dan
tanggung jawab yang jelas dan pasti, seperti bagan berikut ini :

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 35

Kristus Kepala Suami,


Tuhan Keluarga

Suami, kepala Istri dan


otoritas utama atas
anak2

Istri, penolong bagi suami (Kej


2:18), otoritas kedua atas anak2
Anak2 patuh terhadap
kedua orang tua

a. Peraturan Allah Untuk Teman Hidup (Suami-Isteri)


Peraturan Allahyang paling jelas dan sederhana untuk teman hidup dikemukakan
dalam Kej. 2:24, “Sebab itu seorang laki2 akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu denganisterinya, sehingga keduanya menjadi satu dalam daging .” Bersatu dengan
teman hidup mencakup setiap aspek hubungan antara suami-isteri. Semua persoalan yang
timbul antara pasangan suami-isteri dapat diatasi dengan jalan lebih memahami pengertian
“saling bersatu atau melekat, menjadi satu daging dengan teman hidupnya”. Ada beberapa
poin untuk dipahami.
Pertama, harus saling menghargai.
Saling menghargai teman hidup lebih dari saling memiliki pengertian. Saling meng-
hargai berarti memandang pasangan lebih daripada sebagai seseorang tertentu, tetapi
sebagai seseorang yang ditempatkan Allah dalam suatu kedudukan yang kudus.
Penghargaan adalah unsur kasih yang hakiki. Kalau unsur itu tidak ada, cinta bukan cinta
lagi cinta, melainkan tinggal hanya sekedar nafsu belaka. Saling menghargai mencegah
suatu pernikahan menjadi korban dari badai hidup yang pasti harus dihadapi.
Kedua, Pernikahan adalah suatu rahasia ajaib.
Alkitab memandang pernikhan itu suatu rahasia yang ajaib. Dalam Efesus 5:31-32,
rasul Paulus berkata : “Sebab itu laki2 akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang
aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. ” Dengan kata lain, pernikahan Kristen
dimaksudkan sebagai pantulan hubungan antara Kristus dan gereja-Nya. Sebagian besar dari
kebahagiaan sejati dalam pernikahan berasal dai prinsip memberi, dan bukan menerima.

b. Peraturan ALLAH Untuk Isteri


Dalam keluarga, isteri adalah mata rantai penghubung antara suami dan anak 2. Bila
isteri hidup sesuai dengan peraturan ilahi, hidupnya akan cenderung menarik suami dan
anak2nya ke dalam keadaan hidup yang penuh tertib dan tenteram. Itulah sebabnya sewaktu
membicarakan peraturan ilahi dalam keluarga, Kitab Suci mula 2 berbicara kepada isteri.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 36

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepadaTuhan, karena suami adalah
kepala isteri sama seperti Kristus adalah Kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan
tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri
kepada suami dalam segala sesuatu (Efesus 5:22-24).
Tunduk yang dimaksud Paulus bukan secara negatif bahwa isteri bagaikan keset kaki
yang dapat diperlakukan seenaknya, tidak berdaya dan tidak penting. Namun sesungguhnya,
bagi Allah tunduk itu berarti : dengan rendah hati dan penuh pengertian mematuhi suatu
kuasa atau wewenang yang telah ditetapkan Allah. Teladan yang diberikan Allah ialah gereja
yang tunduk pada otoritas Kristus. Hal itu sama sekali tidak berarti merendahkan derajat
gereja, sebaliknya merupakan kemuliaannya. Demikian juga ketundukan istri pada suami.
Semua itu diatur demi melindungi isteri dan keselarasan rumah tangga. Kitab Suci tidak
pernah mengenalkan “pernikahan demokratis” yang fifty-fifty, sama rata dibagi dua.
Peraturan Allah ialah 100 – 100. isteri 100%, suami 100 %. Untuk itu Allah memberikan
kepada para isteri kesempatan untuk memilih tunduk dengan suka rela. Contoh paling
lengkap yang digambarkan Alkitab bagaimana seharusnya menjadi seorang isteri yang baik,
terdapat dalam Amsal 31:10-31.
Penting untuk disadari, sesuai dengan Alkitab, kesadaran untuk ketundukan ini dapat
menjadi perisai perlindungan
Di dunia ini seorang perempuan mudah menjadi saran tindakan kekerasan dan
pelecehan, itu sebabnya memerlukan perlindungan suami. Perempuan bukan hanya menjadi
sasaran tindakan kekerasan secara jasmani, tetapi juga dalam hal emosi, jiwani dan rohani.
Contoh: Seorang tetangga yang sedang marah mengetuk pintu rumah keras 2. pada
saat ibu rumah tangga membuka pintunya, tetangga itu mengomel : “Kaca jendela rumah
saya pecah! Anak ibu yang memecahkannya, karena tadi bermain 2 bola di halaman rumah
saya. Saya minta ibu menggantinya sekarang.”
“Tunggu saja sampai sore nanti kalau suamiku pulang dari kantor, “ jawab si ibu itu.
Sanggahan itu bukan sekedar dalih yang dibuat 2 untuk melepaskan diri dari masalah, tetapi
tanggapan yang wajar dan selayaknya yang diberikan seorang isteri yang hidup di bawah
perlindungan dan wewenang suaminya. Dan seboleh 2nya dia harus dibebaskan dari beban
korban perasaan karena mewakili keluarga kepada masyarakat luar.
Yang paling penting dari sikap ketundukan ini, tujuannya agar seorang isteri men-
dapat perlindungan dari sasaran empuk serangan rohani. Seorang suami berdiri sebagai
perisai dan perlindungan bagi isterinya dari serangan 2 penguasa dunia roh. Paulus
menyarankan hal itu dalam I Korintus 11:10. Paulus hendak menyatakan bahwa seorang
perempuan yang tidak dilindungi oleh wewenang suaminya akan terancam oleh pengaruh
malaikat jahat. Bila seorang perempuan hidup di bawah wewenang suaminya, dia dapat
dengan leluasa bergerak dalam soal 2 rohani, karena dilindungi dari tipu muslihat iblis yang
menyerang.

c. Peraturan Allah untuk Anak-anak


Peraturan Allah untuk anak2 diringkas dalam satu perintah : “Hai anak, taatilah orang
tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan (Kol 3:20). Seorang anak
yang taat akan menjadi anak yang bahagia, yaitu anak yang tahu secara tepat sampai di
mana batas2 kebebasannya, terlepas dari beban untuk memutuskan apa yang baik dan apa
yang tidak baik bagi dirinya.
Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 37

Seorang anak mungkin menguji wewenang orang tuanya, untuk melihat sampai di
mana dia boleh bergerak bebas. Mungkin juga dia merasa kurang senang bila dalam suatu
keadaan tertentu kehendaknya bertentangan dengan kehendak orang tuanya. Tetapi di
lubuk hatinya dia ingin tahu bahwa weweang orang tuanya akan berdiri teguh, sehingga dia
dapat bersandar kepada mereka.
Alkitab tidak berkata bahwa : “Hai anak 2, taatilah orang tuamu bila mereka benar,”
tetapi : “Taatilah orang tuamu dalam segala hal di dalam Tuhan, karena haruslah demikian –
bahkan meskipun mereka salah (cf. Ef 6:1). Seorang anak yang mematuhi perintah yang
tidak adil itu tetap berkenan kepadaTuhan. Di kemudian hari dia akan menjadi seorang anak
yang lebih bahagia dan lebih mudah menyesuaikan diri daripada anak 2 yang diberi
kebebasan untuk menentang dan meragukan orang tua. Mengapa demikian? Sebab anak
yang taat hidup sesuai dengan peraturan ilahi, dan karena itu ikut mengambil bagian dalam
keselarasan dan persesuaian dalam arti kata yang sesungguhnya.
Orang tua tentu harus berusaha dengan segala cara untuk memperlakukan anak
secara adil, benar, dan dengan penuh kasih sayang. Tetapi orang tua manusia biasa yang
juga dapat berbuat salah. Apalagi, banyak orang tua yang belum atau kurang bijaksana
dalam hal membesarkan anak2 mereka. Namun ketaatan seorang anak tidak dapat
bergantung kepada kesempurnaan orang tua dalam menilai setiap keadaan. Anak tidak
bertanggung jawab untuk menimbang dan manilai keputusan 2 orang tuanya – menaati yang
disangkanya benar, dan menolak hal 2 yang tidak disetujui. Tanggung jawab keputusan itu
terletak pada orang tua. Tanggung jawab anak ialah sekedar taat.
Allah memberi perintah untuk menghormati ayah dan ibu. Jadi wewenang orang tua
bergantung kepada Allah yang telah menempatkan mereka sebagai orang yang
berwewenang atas anak2nya. Wewenang orang tua bukan wewenangnya sendiri, melainkan
diberikan oleh Allah. Orang tua harus menjalankan otoritas itu sekalipun mereka sendiri tidak
layak. Allah yang meneguhkan wewenang itu demi kebaikan anak2 dan demi mencapai
tujuan2 tertentu, dan jika suatu ketika bertindak salah terhadap anaknya mereka tidak perlu
ragu untuk mengakui kesalahannya.

d. Peraturan Allah untuk Orang Tua


Ringkasan yang paling singkat namun legkap dan luas mengenai tugas panggilan
orang tua dapat dijumpai dalam Ef.6:4, “Dan kamu, bapa 2 janganlah bangkitkan amarah di
dalam hati anak2mu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Rasul
Paulus meringkas peraturan Allah untuk orang tua di dalam tiga perintah dasar : mendidik,
memberi petunjuk (nasihat), dan mengajar. Allah mulai dengan pendidikan. Dia memberi
pengetahuan tentang kebenaran kepada orang tua. Bila pengajaran itu ditolak dan
diabaikan, Dia menertibkan (cf Ibr 12:5-8)
Peraturan pertama, mendidik. Amsal 22:6 menasihatkan : “Didiklah orang muda (lebih
tepat : seorang anak) menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia
tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Namun perlu diperhatikan, dalam mendidik
anak, orang tua bukan hanya sekedar menuruti jalan yang patut bagi anak 2 pada umumnya,
melainkan juga menurut jalan yang khusus yang harus ditempuh oleh anak itu sendiri.
Artinya, semua orang tua harus menyesuaikan diri kepada kenyataan yang kadang2 sukar
disadari, yaitu bahwa setiap anak itu berlainan, dan sementara mereka bertumbuh menjadi

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 38

dewasa, anak itu makin hari makin berbeda kehidupannya. Walaupun tidak berarti di dalam
suatu keluarga setiap orang hanya memperjuangkan kehendak perseorangan saja. Orang
tua harus waspada, jangan sampai memaksakan keinginan dan cita-citanya sendiri ke atas
anaknya.
Peraturan kedua, memberi petunjuk. Pendidikan anak 2 dimulai dengan memberi
petunjuk2. Mulai dari petunjuk mengenai etika di meja makan sampai pada nilai 2 akhlak.
Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang orang tua harus mengajar anak 2 apa yang orang
tua harapkan dari mereka. Orang tua bertanggung jawab untuk menjamin bahwa anaknya
benar2 mengerti apa yang diharapkan dari padanya. Bukan hanya harus dipahami dengan
akal-pikirannya, tetapi juga harus ditolong bagaimana melaksanakan suatu perintah dengan
benar dan memuaskan.
Tidak ada hal yang sangat menolong dalam mendidik anak kecuali dengan
memberinya kesempatan untuk melaksana-kan pekerjaan penting . Pekerjaan di sekitar
rumah harus diberikan kepada anak2 segera setelah mereka dapat mengerjakannya.
Semakin mereka bertumbuh, jumlah pekerjaan yang dilakukan harus semakin banyak.
Mereka perlu dibimbing untuk memiliki tanggung jawab bekerja sebagai kewajiban,
termasuk di dalamnya sekolah, kegiatan2 , olahraga, menjaga adik, les musik, beribadah dan
sebagainya. Mulailah memberi tugas kepada anak 2 sedini mungkin, terlebih kepada yang
sulung, supaya adik2 bisa meneladaninya.
Peraturan ketiga, membuat peraturan2 yang pasti. Bila tidak ada peraturan yang dapat
ditentukan dan dijalankan dengan teguh, kehidupan anak akan diombang-ambingkan oleh
perubahan perasaan dan dorongan hati. Orang tua harus memegang kendali dan
melaksankan dengan konsisten peraturan yang ditentukan dengan pasti. Tetapi perlu
diingat, jangan terlalu banyak dan terlalu berlebihan . Sebab semakin banyak peraturan yang
berlebihan, lebih sedikit yang dipatuhi.
Keempat, menjadi teladan. Jadikan diri sendiri sebagaimana yang Anda inginkan agar
dicapai orang lain. Rasul Paulus dapat berkata : “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga
menjadi pengikut Kristus,” I Kor 11:1a. Orang tua harus menjadi sedemikian rupa dalam
tingkah laku sehingga mereka dapat mengharapkan anak 2 mereka untuk meneladani.
Peraturan kelima, tatatertib. Allah menuntut tanggung jawab orang tua mengenai tata
tertib anak2 mereka. Contoh imam Eli. Allah menghukum keluarga ini sebab ia gagal
menertibkan anak2nya (I Sam 3:13-14). Orang tua berkewajiban memberikan tatatertib
kepada anak2 mereka, cf Ams 4:1,3,4.

e. Peraturan Allah untuk Suami


kewajiban utama suami adalah mengasihi. Perhatikan Ef 5:25; Kol 3:19. Kasih yang
dimaksud bukan diukur oleh apa yang dirasakan atau bahkan secara langsung dilakukan
seseorang. Sebaliknya, kasih itu diukur dengan pengorbanan diri seseorang.
Pertama, suami wajib mengorbankan dirinya (Ef 5;25 b), sebagaimana Kristus telah
mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya bagi jemaat. Wewenang suami sebagai
kepala atas rumah tangga adalah otoritas ilahi, sama seperti wewenang Kristus terhadap
gereja. Dan karena Kristus sendiri telah mengorbankan diri-Nya bagi gereja, maka suami
wajib memelihara keluarganya dengan segala pengorbanan yang mungkin. Ini adalah
tanggung jawab paling mendasar suami.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 39

Kedua, Merawat kesejahteraan rohani keluarga. Tugas seorang suami Kristen ialah
mengusahakan agar isterinya mengalami pengudusan dan pertumbuhan dalam pengudusan,
cf Ef 5:24-33.
Ketiga, memberikan diri untuk isterinya
Keempat, menggunakan wewenang dengan rendah hati

B. Gereja

Kelas ini tidak membahas apa atau bagaimana gereja itu, karena itu bidang bahasan
Eklesiologi. Namun, sebelum masuk membahas aspek-aspek etik dalam bergereja, ada
baiknya memahami secara ringkas pengertian tentang gereja.

1. Nama
Istilah gereja asalnya dari bahasa Portugis igreja. Berdasarkan PB, gereja berasal dari
istilah Yunani ekklesia . Terlepas dari etimologinya, istilah gereja, seperti dikatakan oleh
Harun Hadiwijono dalam buku Iman Kristen, terjemahan dari kata Yunani kyriake yang
artinya: milik Allah atau persekutuan para orang beriman. Istilah ini baru dipakai seudah
zaman para rasul, untuk menyebut lembaga dengan peraturannya. Dari kata ini muncul
istilah kyrlich, kerg, atau church. Secara esensi, gereja adalah ciptaan Allah Bapa, Anak dan
Roh Kudus. Gereja adalah keluarga Allah, Tubuh Kristus. Gereja juga dapat disebut sebagai
Bait Suci, kediaman Roh Kudus

2. Makna Gereja

a. Gereja sebagai Kesatuan atau Persekutuan (Makna Organisme)


Kiasan Tubuh Kristus (terutama paling sering digunakan oleh Paulus), memuat makna
sebagai ujud dari suatu persekutuan. Istilah tubuh sebagai metafora dari sifat keangotaan
baik dalam dimensi lokal maupun universal yang berfungsi dan berketergantungan di antara
satu sama yang lain dalam kepelbagaian.
Pada tingkat lokal, gereja merupakan kesatuan dari usaha pendayagunaan karunia 2
Roh Kudus bagi kebaikan bersama yang meneguhkan kesatuan tubuh (I Kor 12:12-31; Rom
12:3-8). Sekalipun ada perbedaan namun kepelbagaian itu justru untuk meperjelas fungsi
dari setiap bagian tubuh yang harus selalu saling melengkapi.
Pada dimensi universal, gereja merupakan kesatuan umat Tuhan yang meniadakan
perbedaan ras, gender, status, sehingga dihindarkan dari sistem penjajahan dan peng
eksploitasian (cf. Gal 3:28), serta pelecehan dari salah satu bagian tubuh terhadap bagian
yang lain. Dalam dimensi ini gereja dapat melayani kaumnya, generasinya masing 2 bersama
Kristus, Sang Pemilik dan Pemberi otoritas yang dilukiskan sebagai Kepala dari Tubuh.
Gereja dalam dimensi universal adalah gereja yang oikumenis.

b. Gereja Sebagai Lembaga (makna organisasi)


Makna gereja sebagai lembaga mengandung muatan bahwa gereja itu nampak, nyata,
hadir di tengah2 dunia dan lingkungannya. Setiap orang Kristen memiliki wadah, keteraturan
dan keterikatan di suatu tempat atau waktu tertentu. Hakikat ini menunjuk kepada fungsinya
sebagai stabilisator dan dinamisator dalam mempertahankan dan menyebarkan nilai 2,
Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 40

norma2 Kristen sesuai Alkitab dalam melaksanakan segenap kehendak Allah. Gereja adalah
himpunan dari anggota2 yang memiliki sistem ajaran, kepercayaan dan perilaku yang sama,
yang disebut juga sebagai umat.
Gereja adalah organisasi yang di dalamnya ada peraturan, norma dan tatanilai yang
sudah diinstitusionalisasikan, wajib ditaati, bersifat kudus dan hierarkis. Kehierarkisan itu
terlihat dalam struktur kepemimpinan dan pelayanan, yakni dalam jabatan 2, dan otoritas2
yang dimandatkan dan harus dipertanggungjawabkan.

3. Tugas Gereja
Gereja yang hadir di tengah-tengah pergaulan hidup manusia harus berfungsi dan
berurusan dengan orang-orang sebagai rahmat dan tanda kasih karunia Allah. Gereja harus
melaksanakan tiga tugas utama yang harus diemban secara integral dan simultan.

a. Tugas Koinonia
Secara sederhana tugas ini dapat diterjemahkan sebagai tugas untuk bersekutu
sebagai partnership dan fellowship. Dari aspek ini gereja wajib untuk memelihara
persekutuan umat dengan tujuan meningkatkan iman dan pengabdian kepada Tuhan Yesus
Kristus. Setiap anggota dimungkinkan dan diberi kesempatan untuk berperan serta secara
aktif dalam persekutuan itu sesuai dengan karunia dan talenta yang dimiliki masing 2 di dalam
persekutuan itu. Lebih jauh lagi, tugas ini mewajibkan gereja untuk menggali dan
mengembangkan karunia agar dapat didayagunakan untuk pelayanan kepada tubuh Kristus
secara lebih luas. Dengan ini juga gereja sedapat mungkin bertugas untuk memperjuangkan
persekutuan dan persatuan umat Kristen secara interdenominasional. Ayat 2 ref: Kis 2:42;
Rom 15:26 (menyumbangkan); I Kor 10:16; 9:13; Gal 2:9; Ef 3:9 (penyelenggaraan); Flp.
1:5; 2:1; Fil 1:6; Ibr 13:16 (memberi bantuan); Yoh 1:3,6,7.

b. Tugas Marturia
Secara sederhana berarti bersaksi, yaitu tugas setiap umat Tuhan, warga gereja
bersaksi tentang imannya, tentang Injil. Karena Injil adalah satu 2nya kuasa Allah yang dapat
menyelamatkan manusia dari dosa2nya.
Pemberitaan Injil meliputi proklamasi Injil, kemerdekaan, kesetaraan manusia. Tugas
ini secara holistik dan terpadu harus menyentuh semua aspek kebutuhan hidup manusia,
tubuh, jiwa dan roh, Kis 22:18; I Tim 3:7; 3Yoh 3,6,12; Wah 1:9; 19:10; 20:4.

c. Tugas Diakonia
Diakonia artinya pelayanan, penyediaan. Suatu bentuk pelayanan di antara warga
gerja dalam rangka mewujudkan kasih Allah, baik di dalam maupun di luar gereja.. suatu
penatalayanan atau sikap dan tugas sosial gereja. Ayat 2 referensi : Luk 10:40; Kis 1:17; 6:1;
11:29; Rom 12:7; I Kor 16:15; II Kor 8:4; 9:1-5, 112-13; II Tim 4:5; Wah 2:19.

4. Panggilan Gereja
Pangilan gereja terhadap dunia ini secara hakiki ialah agar menjadi gereja yang sejati,
gereja Yesus Kristus yang dikuduskan oleh Pribadi, pekerjaan dan Firman-Nya.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 41

a. Gereja Ada di Dunia, tetapi Bukan dari Dunia


Di dalam Yohanes 17:15, Tuhan Yesus berdoa kepada Bapa : “ Aku tidak meminta,
supaya Engkau mengambil mereka dari dunia ini, tetapi supaya Engkau melindungi mereka
dari pada yang jahat.” Dari doa ini terlihat bahwa gereja di dunia ini selalu terancam bahaya.
Gereja seolah2 berjalan di atas punggung gunung, terancam bahaya tergelincir ke kanan
atau ke kiri. Ada dua bahaya utama.
Pertama, gereja terancam bahaya penganiayaan, khususnya dari pihak penentang
yang tidak segan-segan menindas dengan ancaman dan kekerasan.
Kedua, gereja terancam bahaya ekstrim kanan dan kiri. Pada satu sisi gereja dituntut
untuk memisahkan diri sama sekali dari kehidupan dunia ini, peransertanya di tengah
pergumulan dunia yang nyata. Ini suatu pemisahan yang palsu. Sedangkan pada sisi yang
lain gereja terancam oleh bahaya dalam bentuk penduniawian dan akomodasi
(penyesuaian). Bahaya ini sesuatu yang nyata. Gereja diajak supaya menjadi populer,
menyesuaikan diri dengan gerakan2 politik yang sedang berkembang di tengah masyarakat.
Lalu gereja memberi berbagai konsesi kepada “roh zaman”, menyesuaikan diri dengan apa
yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Menghapus batas 2 antara gereja dan dunia.
Padahal gereja harus selalu menjaga ketegangan antara yang rohani (sakral) dan yang
duniawi (profan).

b. Panggilan Profetis
Gereja ada di dunia ini antara lain untuk tugas profetik. Gereja ditugaskan
memberitakan hukum Allah, kehendak Allah dan Injil kepada dunia. Gereja bukan alat
pemberitaan politik, tetapi sungguh memberitakan kehendak Allah yang dinyatakan dalam
Alkitab. Gereja dipanggil untuk memberi peringatan dan berita penghiburan di tengah2
kehidupan yang kongkret dan menyerukan pertobatan

c. Panggilan Syafaat (Intersesi)


Gereja terpanggil untuk memanjatkan doa syafaat bagi dunia. Ini adalah suatu
pelayanan wajib (cf Yoel 2:15-17). Bukan hanya kepada umat Tuhan, tetapi juga kepada
negara dan dunia. Hal itu berlaku di setiap waktu, terutama di masa 2 krisis.

d. Panggilan sebagai Pelayanan Pendamaian


Gereja terpanggil untuk membawa damai di tengah 2 dunia. Membantu menyelesaikan
sengketa2 dan perseteruan2 tanpa harus berseteru sama sendiri.

e. Pangilan Penggembalaan
Gereja mempunyai tugas untuk melaksanakan penggembalaan perorangan. Tidak
hanya kepada orang2 yang bersahaja dan orang kecil, tetapi juga terhadap orang yang
berkududukan tinggi, yang kaya dan berpengaruh. Di dalam pelayanan ini gereja harus
membangun percakapan2 yang menuntun kepada kehidupan yang kudus dan penghiburan
yang meneguhkan iman. Memberi nasihat2 yang mengarah kepada pemulihan rohani dan
kehidupan yang selalu dibarui. Termasuk juga mengajar anak 2 muda untuk melakukan
segala sesuatu yang diperintahkan Tuhan Yesus (cf. Mat 28:20).

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 42

C. Masyarakat (Sosial)

Secara hakiki manusia adalah mahluk sosial yang memiliki naluri dan kodrat untuk
bersekutu dan memiliki persekutuan. Dari persekutuan itulah manusia bisa mengembangkan
diri sebagaimana dituntut oleh kodratnya. Karena itu jelas betapa pentingnya kelompok bagi
setiap individu, baik dalam lingkungan yang sempit maupun yang lebih luas seperti Negara
bahkan lingkungan internasional. Itulah masyarakat.

1. Definisi Sosiologis
Menurut beberapa sarjana sosiologi yang dikutip dari : Soerjono Soekanto , Sosiologi,
Suatu Pengatar, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, pt, 2001), maka :

a. Menurut RM. McIaver, Charles H. Page, dalam Society, An Introductory Analysis:


Masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja
sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta
kebebasan2 manusia keseluruhan yang selalu berubah ini kita memakai kata masyarakat.
Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial, dan masyarakat selalu berubah.
b. Ralph Linton mendefinisikan , masyarkat merupakan setiap kelompok manusia
yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri
mereka dan menganggap diri mereka sebagi suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang
dirumuskan dengan jelas.
c. Selo Sumarjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama, yang menghasilkan kebudayaan.

2. Definisi Ensiklopedis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat adalah : “Sejumlah manusia
dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
Dalam bahasa Inggris masyarakat bisa disebut dengan society dan community
(komunitas) Sedangkan kata komunitas menurut Kamus Induk istilah Ilmiah ialah :
a. Suatu kelompok sosial yang ditentukan oleh batas 2 geografis dan/atau nilai2 secara
kepentingan bersama atau kelompok manusia yang hidup di suatu daerah tertentu dan
saling berinteraksi; masyarakat.
b. Hal melaksanakan cara hidup serta hubungan yang saling berbagi, berkomunikasi,
dan keakraban yang lebih tinggi terdapat di antara orang-orang yang hidup dalam suatu
kelompok sosial atau masyarakat.

Rangkuman : Masyarakat ialah


§ Kumpulan manusia yang hidup bersama (mulai dari minimal dua orang sampai
pada jumlah yang tidak terbatas)
§ Kumpulan manusia yang telah bercampur untuk waktu yang cukup lama, memiliki
sistem komunikasi, peraturan2 yang mengatur hubungan antarmanusia dalam kelompoknya.
§ Kumpulan manusia yang menyadari mereka merupakan suatu kesatuan. Sistem
hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan bersama yang mengikat dengan lainnya.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 43

3. Definisi Alkitabiah/Teologis
Menurut definisi yang diberikan oleh K. Schilder masyarakat disalin dari kata Yunani
oikonomos – oikonomia.
Mengacu pada tulisan Karl-Heinz Peschke, masyarakat dalam arti luas merupakan
paguyuban yang bersifat tetap di antara manusia untuk mencapai satu tujuan bersama,
yang bersifat terberi dan dikehendaki.
Masyarakat terberi sifatnya kodrati dan primer, seperti keluarga, suku, bangsa atau
Negara. Sekalipun orang biasanya menerima keanggotaannya dalam masyarakat seperti ini
dan dengan pilihan bebas menyepakatinya, namun itu terjadi mau tak mau dan tetap terikat
padanya, bahkan sekalipun dia tidak menyukai keanggotaannya.
Masyarakat yang dikehendaki adalah kelompok orang-orang yang terbilang sebagai
masyarakat yang dikehendaki secara bebas, seperti misalnya komunitas seprofesi, komunitas
religious, kelompok pendidikan, serikat dagang, klub olahraga dan lain sebagainya. Tanda
pengenal umum dari semua paguyuban semacam ini adalah ketertentuannya oleh sebuah
sasaran imanen atau prinsip batin. Tetapi, pada sisi lain, kesatuan militer tidak bisa
dikenakan sebagai masyarakat, karena kesatuan itu ditata dari luar untuk suatu tujuan yang
juga berada di luar dirinya.
Dari pengertian di atas, maka masyarakat dapat didefinisikan sebagai sebuah
paguyuban1 yang bersifat tetap di antara manusia untuk mencapai tujuan eksistensialnya.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan tujuan-tujuan eksisstensial antara lain adalah
pemeliharaan diri, aktualisasi diri, penerusan keturunan dan pendidikan anak- anak, kerja
sama sosial, amal untuk memajukan kepentingan bersama (Peschke:3).
Paguyuban dan pengelompokan manusia itu selain disebut masyarakat acap kali
dikenakan juga dengan sebutan kelompok sosial atau komunitas.
Komunitas, menurut Kamus Bahasa Indonesia versi Sabda disebut sebagai kelompok
organisme (orang dan sebagainya) yg hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah
tertentu, diidentifikasikan pula sebagai komune, masyarakat, peguyuban, populasi atau
publik.

4. Etika Sosial versus Etika Individu


Pada saat membicarakan etika sosial, maka tidak bisa tidak harus memahami juga
etika individu. Sebab etika sosial tidak bisa lepas dari etika individu, yaitu pribadi-pribadi
pelaku penerap etika di tengah masyaraatnya, atau, etika individu akan mempengaruhi etika
sosial. Karena akar dari etika sosial ada pada kasih Allah kepada manusia, yang pada
gilirannya manusia memberikan kasih itu kepada sesamanya.
Abineno mendefiniskan etika individu sebagai pembicaraan tentang “kehidupan
pribadi dan relasi-relasi pribadi….” (hal 7) yang dilakukan di antara manusia. Sementara
etika sosial membahas tentang hubungan manusia sebagai bagian dari suatu masyarakat.
Dalam meng ambil keputusan etis pada tataran masyarakat dari suatu kelompok sosial, yang
dikedepankan adalah keputusan bersama dari kelompok yang bersangkutan, meskipun
keputusan itu datangnya dari anggota secara pribadi. Oleh karena itu produk keputusan etis
yang dihasilkan oleh suatu masyarakat bersifat subjektif, karena pengaruh ‘suara’ seorang
yang memiliki pengaruh dalam kelompok tersebut. Suatu kelemahan dalam keputusan etis
1
Perkumpulan yg bersifat kekeluargaan, didirikan orang-orang yg sepaham [sedarah] untuk membina
persatuan [kerukunan] di antara para anggotanya)
Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 44

sosial adalah sikap etis individu dari setiap anggota tidak mungkin diakomodasikan
seluruhnya atau dieks- presikan secara gamblang. Karena kepentingan kolektif ditambah
pengaruh dari otoritas dan wibawa sesorang yang berpengaruh, akan menentukan
keputusan yang diambil.
Abineno dalam bukunya Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis, melihat bahwa etika individu
saatnya dibicarakan sama dengan etika sosial. Alasannya adalah bahwa: pertama, setiap
orang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (hal.20), artinya bahwa setiap pribadi
memiliki tanggungjawab sebagai pribadi terhadap kehidupan yang diberikan Allah
kepadanya.
Kedua, bahwa menjadi sesuatu berubah, baik dan berterima itu dimulai dari individu,
bukan kolektif. Dari perubahan individu maka akan mempengaruhi pada kelompok.
Ketiga, penilaian etis dimulai dari individu kemudian sosialnya, sebagaimana yang
dikutip Abineno, “yang penting bagi penilaian etis ialah tindakan dari orang yang mempunyai
hati nurani” (hal.20). Sosial sebagai lembaga tidak memilik hati nurani, tetapi orang
perorang yang ada di dalamnya.

a. Ruang Lingkup Etika Sosial Kristen


Lembaga-lembaga Kristen seperti, gereja, rumah tangga orang Kristen, lembaga-
lembaga swadaya masyarakat lainnya yang bersifat kristiani merupakan lingkup bagi etika
sosial. Aliran-aliran gereja yang dikelompokkan dalam aliran Injili, Lutheran, Reformed,
Roma Katolik, Katolik Timur (orthodox) tentunya memilki cara pandang etika yang berbeda
penekanannya. Sikap absolutisme dan ragam yang ada didalamnya menjadi pemikiran dasar
apakah sikap etis masing-masing komunitas gereja itu sesuai dengan terang Kristen. Dengan
pertanyaan lain apakah sikap etis yang dianut itu sudah sesuai dengan ajaran Kristus dan
Kristus sendiri? Lalu apakah pemahaman dan praktik etika dalam setiap golongan
masyarakat Kristen merupakan cerminan dari sikap setiap anggotanya atau hanya sebagai
pengikutan terhadap kebijakan ‘mereka yang memiliki wewenang’?

b. Panggilan Orang Kristen


Orang Kristen banyak mengadapi dan menghidupi ‘struktur-struktur’ dalam masyarakat
yang menindas, merugikan, dan memperbudak manusia. Struktur-struktur tersebut tidak
memperlihatkan individu-individu yang merekayasa eksistensinya, tapi diterima oleh
masyarakat dan dihidupinya. Struktur-struktur yang dimaksud adalah sikap yang sistimatis,
pandangan-pandangan dan keyakinan-keyakinan moral dan lain-lain yang membuat
‘penguasa’ bertindak sewenang-wenang atas masyarakat.
Tugas orang Kristen adalah memperbaiki struktur-struktur tersebut. Pembaharuan total
yang mempengaruhi hubungan manusia dengan Allah dan sesamanya. Pembaharuan total
yang dimaksud di sini adalah pembaruan yang membawa orang kepada iman, pengharapan,
dan kedatangan Kerajaan Allah (h. 22) . Orang Kristen dipanggil untuk membuat suatu
pembaruan dengan memohon kepada Tuhan agar ‘beroleh keberanian, dan kekuatan untuk
turut bekerja dan berpartisipasi dalam pembaruan itu.”

c. Alasan-Alasan Orang Kristen Harus Mengembangkan Sikap Etis


1) Orang Kristen termasuk manusia lainnya yang hidup dalam suatu lingkaran yang
disebut norma-norma. Ada peraturan dan hukum yang harus ditaati. Kepada bangsa Israel

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 45

Allah memberikan Hukum Torat yang berisikan perintah-perintah Allah yang harus mendapat
respon yang sesuai dengan itu. Kristus menyimpulkan seluruh perintah dalam Kitab Suci
dalam satu kata yaitu KASIH kepada Allah dan Sesama.
2) Disposisi manusia. Sikap etis juga bisa dilihat dari disposisi manusia itu sendiri, Apakah
dia melakukan kebaikan karena terpaksa atau karena ia tahu memutuskan untuk
melakukannya.
3) Manfaat. Bahwa setiap yang diputuskan secara etis akan bermanfaat bagi diri sendiri
dan orang lain.
4) Ada nilai-nilai. Orang Kristen dipanggil untuk menghargai dan menghormati kehidupan.
Ada hak dan kewajiban. Orang lain perlu tahu nilai-nilai Kristiani yang ada dalam kekayaan
moral Kristen.
5) Relasi manusia. Manusia sejak awal ditempatkan dalam Eden, ia telah memiliki relasi
yang dekat dengan Allah kemudian dengan sesamanya yaitu Hawa. Tetapi bukan itu saja
relasinya, karena manusia ada diantara makluk-makluk lain, termasuk lingkungan hidupnya.
Ada tanggungjawab yang diberikan Allah kepada manusia untuk memelihara alam,
mengusahakannya lebih baik, mengkultifasinya sehingga lebih menjadi berlipat ganda.
Orang Kristen dipanggil untuk mencintai lingkungannya.

d. Peranan Kejujuran , Moral dan Hati Nurani Dalam Etika Sosial


Etika Kristen membimbing orang Kristen untuk memiliki nilai-nilai mulia, seperti …

1) Kejujuran
Kejujuran berarti berkata apa yang sesungguhnya, atau tidak berbohong. Situasi
dilematis membuat orang gampang membuat kebohongan dan penipuan. Kejujuran bukan
saja berhubungan dengan bicara, tetapi juga sikap. Seorang pekerja tidak jujur dengan jam
kerja, masuk dan keluar, seorang pelajar bisa tidak melakukan kejujuran dalam ujian, karena
menyontek, jemaat tidak jujur dalam memberikan perpuluhan, dll. Allah menginginkan
kejujuran. Mazmur menyebutkannya ‘kebenaran dalam batin’ (Maz. 51:8) dan ‘berkata
benar’ atau tidak dusta (Ef. 5:25).

2) Hati Nurani
Kata Yunani syneidesis berasal dari dua kata dasar syn dan eidin yang secara literal
melihat bersama. Bahasa Inggris conscience memberikan indikasi pengetahuan bersama.
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyimpulkan bahwa hati nurani
‘adalah kebenaran dalam hati manusia yang menghadapkannya kepada keputusan-
keputusan yang telah diambilnya atau yang akan diambilnya, dan yang menilai keputusan
itu dengan pencelaan atau dengan persetujuan.’ (Douma:95)
Hati nurani dikenal juga sebagai suara hati, kata hati, atau kata batin (Douma: 91).
Suara hati selalu berbicara, mempengaruhi keputusan setiap orang. Konsekuensinya suara
hati selalu membuat seseorang berubah-ubah. Hati nurani biasanya mendesak, menuduh,
memberikan reaksi kepada otak untuk menimbang.
Dalam Alkitab hanya disebut ‘hati’ (Kej. 20:5). Dalam PB istilah syneidesis dibedakan
dari ‘heart’, Kis 23:1; 1Kor 8:7, Ibr.9:14. Paulus mengatakan hati nurani dapat
menyesatkan, lemah, dan tidah berdaya. (1Tim. 4:2), bisa ternajiskan (Tit, 1:15). Hati nurani

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 46

yang baik menuntun kita kepada kebenaran Allah dan membenarkan orang percaya (1Kor.
4:4).

a) Hati Nurani Kristen


Hati Nurani Kristen menuntun seseorang untuk mengakui bahwa dosa memisahkan
manusia dari Allah (Roma 3:23), menyadarkan bahwa Yesus telah mati bagi dosa dan
menawarkan hidup kekal (Rm. 5:8; Yoh.3:16) dan menjadikan Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat yg memberi hidup kekal (Yoh. 1:12; 5:24).

b) Jenis-Jenis Hati Nurani


(1) Nurani yang baik (Kis. 23:1)
(2) Nurani yang jahat (Ibr. 10:22)
(3) Nurni yang hangus ((1Tim.4:1-2)
(4) Nurani yang Lemah(1Kor. 8:9-12)
(5) Hati Nurani yg Najis (Titus 1 :15)

c) Menanggapi Hati nurani (White, J. Kejujuran, Moral, dan Hati Nurani)

tindakan, kata, pikiran, atau sikap

Hati nurani
berbicara

SALAH : BENAR :
Analisa dalam Periksa Alkitab;
pikiran kita cari nasihat

Ambil tindakan Ambil tindakan


dengan kemauan kita, berdasarkan iman.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 47

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 48

BAB V
PRINSIP - PRINSIP ETIS UTAMA DALAM KEHIDUPAN
BERGEREJA, BERKELUARGA DAN BERMASYARAKAT

Prinsip-pripsip etis yang utama di dalam kehidupan berkeluarga, bergereja, dan


bermasyarakat telah diatur dengan jelas dalam Alkitab, sekalipun tidak dirangkum secara
keseluruhan dalam suatu ayat atau suatu kitab. Contohnya, Galatia 5: 22-23, di mana tidak
ada hukum yang tidak menerima atau yang menentangnya. Suatu hukum moral yang
muncul sebagai perwujudan kehidupan yang bertumbuh dalam dinamika Roh Kudus. Tetapi
bukan hanya aspek2 ini saja yang menjadi azas2 moral Kristen dalam tingkah laku yang
bertanggung jawab. Ada banyak hukum moral-etis lain yang diajarkan untuk kita lakukan.
Dan itu tidak mungkin kita bahas semuanya dalam kelas ini. Namun dalam bagian ini kita
perlu mempelajari beberapa azas etis utama yang menjadi kunci terciptanya suatu tatanan
kehidupan bergereja, berkeluarga dan bermasyarakat yang harmonis. Azas 2 atau hukum2 itu
ialah hukum kasih, keadilan, damai sejahtera, dan kebebasan.

A. Kasih

Faktor utama atau prinsip azasi yang sangat menentukan dalam hidup beroikonomia
ialah kasih. Kehidupan orang Kristen harus dimotivasi oleh kasih. Tuhan Yesus
menyimpulkan hukum Taurat adalah hukum kasih (Mat 22:37-40). Juga rasul Paulus
menyatakan bahwa dengan mengasihi berarti sudah memenuhi hukum Taurat (Rom 13:8).
Sehingga, jika kita mewujudnyatakan kasih dalam setiap tingkah laku berarati kita sudah
memenuhi tuntutan hukum Allah yang lain (cf. 1Kor 13). Kasih adalah hukum baru yang
diajarkan Tuhan Yesus untuk kita laksanakan (Yoh 13:34).
Dalam etika Kristen, kasih berhubungan erat dengan Sang Juruselamat. Yesus yang
menjadi pola dan sumber kasih. Kita harus mengikuti pola itu, yakni bagaimana karena kasih
Dia masuk ke dalam dunia, hidup sebagi Pelayan yang melayani, dan dihukum mati di kayu
salib. Kita juga harus mengasihi karena Dia telah mengasihi kita. Kasih-Nya mencetuskan
kasih kita. Ditegaskan pula oleh rasul Paulus bahwa kasih itu merupakan urutan utama dari
kehidupan yang berbuah di dalam Roh (Gal 5:22). Roh Kudus yang melahirkan kasih itu di
dalam diri, jika kita membuka hati.
Kasih menurut Alkitab sangat berbeda dengan kasih yang dikenal secara umum.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kasih itu hanyalah sebatas “perasaan sayang
(cinta, suka kepada).” Sedangkan cinta diartikan sebagai “suka sekali, sayang benar, kasih
sekali, ingin sekali”. Beda dengan istilah menurut Kitab Suci seperti berikut ini.

1. Unsur-unsur Kasih

Menurut Alkitab, ada empat unsur utama dalam kasih yang mempengaruhi orang
Kristen dalam hidup berkeluarga, bergereja dan bermasyarakat.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 49

a. Kasih berarti menghargai kehidupan setiap orang

Kehidupan manusia sangat berharga, karena itu Yesus rela mati untuk kita. Pehatikan
Rom 5:6-8, ayat2 ini menunjukkan penghargaan pada hidup manusia dalam kasih Allah.
Bandingkan kasih universal Allah dalam Mat 5:45. Karena itu kasih Kristen tidak tergantung
pada jasa, kelas sosial, sikap atau kerja orang. Kita mengasihi sesama terlepas dari sifat 2nya
yang baik atau buruk. Kasih tidak dipengaruhi oleh faktor 2 lahiriah, seperti kekayaan, atau
kedudukan sosial. Itu tidak etis. Itu dosa (Yak 2:8-9). Injil Lukas mengajarkan kewajiban kita
untuk mengasihi orang2 yang tidak memiliki apa2 untuk membalas (Luk 14:12-14).

b. Kasih bukan sikap batin, tapi tindakan nyata

Kasih perlu diujudnyatakan dalam perbuatan2 kongkret. Sekalipun kasih tidak identik
dengan perbuatan baik. Kasih timbul dari kemauan yang terdalam (1Kor 13:3). Pada sisi lain,
kasih yang hanya merasa berbelas kasihan saja (tanpa tindakan) bukanlah kasih sejati. Kita
perlu belajar seperti dalam Luk 6:27. Contoh kasih dalam perbuatan ditunjukkan lewat
perumpamaan “Orang Samaria yang baik hati”, Luk 10:23-37. Pengungkapan kasih dalam
perbuatan yang mungkin paling jelas disampaikan rasul Yohanes dalam I Yoh 3:17-18.

c. Kasih berarti kepekaan kepada kebutuhan dan penderitaan sesama

Kasih memiliki bukan sekedar simpati tetapi juga empati. Kasih berarti solider dengan
turut merasakan penderitaan orang lain. Walau kita tidak dapat menyelamatkan dunia
seperti Yesus, tetapi dengan kasih kita dapat menyatu dengan bersatu bersama orang 2
menderita, berbagi dengan mereka. Dan ketika kasih itu dinyatakan, kita akan merasakan
suka cita.

d. Kasih yang sejati tidak terbatas pada kaum kerabat atau kawan

Kasih tidak mengenal nepotisme. Kebanyakan orang mengasihi dalam kalangan


mereka sendiri. Mereka sungguh2 berkorban untuk keluarga dan sahabat. Di luar lingkungan
itu kurang atau tidak diperhatikan. Itu bukan kasih alkitabiah.

2. Kualifikasi dan Jenis Kasih

Kata kasih, atau kata2 yang sepadan, seperti cinta, sayang dan sebagainya, dalam
bahasa Yunani memiliki beberapa kualifikasi dan jenis. Sekalipun dalam PB hanya tercatat
dua jenis istilah saja yang terus menerus disebut dan diterjemahkan sebagai kasih, yaitu
agape, fileo dan kata2 yang seakar, namun dalam bahasa Yunani setidaknya ada 4 jenis.

a. Agape

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 50

Kata agape termasuk dalam istilah 2 Alkitab yang sangat banyak digunakan dan
mendapat isi yang amat dalam. Istilah ini telah menjadi kata inti untuk menjelaskan apa itu
kasih Tuhan dan apa kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama manusia.
1) Bentuk-bentuk Kasih Agape

Kasih agape berbeda dari setiap apa yang diartikan dengan kasih, simpati,
perikemanusiaan di luar Kristus. Yang menonjol dalam agape ialah bahwa Yesus Kristus
selalu terjelma di dalamnya dengan sesuatu cara.
Pertama, bentuk kasih agape ialah perikemanusiaan yang sejati. Dalam Yoh 5:1-18
bentuk kasih itu digambarkan dengan cara yang mengharukan. Ketika Yesus mengunjungi
orang sakit selama 38 tahun di Betesda. Dalam kasih ini Yesus menghampiri dan kontak
dengan orang yang berkata “ Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku” (ayat7). “Tidak
ada orang yang menolong aku”, “tidak mau menjenguk aku”, “tidak mau memelihara aku,”
“tidak ada orang yang mau bercakap 2 dengan aku”, “Tidak ada orang yang peduli aku”.
Itulah keluh kesah berjuta2 manusia di dunia modern sekarang ini. Manusia seolah 2 sudah
menjadi nomor belaka. Beribu-ribu manusia tidak lagi mempunyai sesama manusia.
Berjuta2 manusia tidak lagi menaruh perikemanusiaan. Tetapi Kristus dengan kasih-Nya
telah menjadi Saudara kita, supaya kita menjadi sesama manusia bagi orang2 yang tidak
mempunyai sesama. Yesus adalahhomo humanus, manusia yang berperikemanusiaan. Etika
Kristen pun menuntut kita menjadi homo humanus bagi orang yang tak mempunyai sesama.
Kedua, agape memiliki bentuk belas kasihan. Belas kasihan yang disertai perbuatan
seperti “Orang Samaria” adalah praktik moral Kristen yang membuka diri bagi orang 2 yang
perlu ditolong karena ketidakmampuan orang 2 itu untuk menolong diri sendiri, dan
membantu memenuhi kebutuhan orang yang tidak mampu mencukupi dirinya. Tindakan
belas kasihan yang tulus.
Ketiga, agape memiliki kesabaran, lembut hati, kasih kepada musuh. Mempraktikkan
kasih di tengah2 perlawanan, permusuhan dan penghinaan itu tidak gampang. Tetapi kasih
agape membalas kemurkaan dengan kesabaran, umpat dibalas dengan kelembutan hati.
Keempat, agape memiliki bentuk kesediaan melayani. Tidak seorang pun, dengan
kemauan sendiri, mau mengorbankan saat 2 santai untuk melayani orang lain. Menurut
kodratnya, setiap orang pemalas, baik pemalas dengan sembunyi 2 maupun dengan
terang2an. Menurut tabiat manusia ini, banyak kegiatan pelayanan itu lebih merupakan pro
forma daripada kegiatan yang timbul dari hati sanubari. Tetapi bila ada kasih agape, kita
akan terpanggil kepada kesediaan melayani yang menyala 2 (Rm 12:11).
Kelima, agape memiliki bentuk kesediaan berkorban. Menurut tabiat manusia, kita
adalah orang2 yang egois. Kita dapat berbuat segala sesuatu, kecuali berkorban. Tetapi kasih
agape adalah kasih seperti Kristus yang mengorbankan diri sendiri. Kasih itu memungkinkan
adanya kehidupan yang penuh perjuangan melawan egoisme setiap hari dan memungkinkan
kerelaan pengorbanan yang kongkret di tengah2 praktik hidup (Rm 12:1,2).

2) Sifat-sifat Agape

Pertama, agape adalah kasih ilahi. Kasih ini bersumber dari Allah. Orang yang
memilikinya mampu mengampuni dan melupakan kesalahan orang lain. Tidak mementingkan

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 51

diri sendiri, mampu berkorban sebagaimana Kristus. Tujuan yang paling agung dari agape ini
ialah menyelamatkan manusia dari kematian abadi dengan kerelaan menanggung kematian
itu atas diri-Nya sendiri.
Kedua, tidak dimiliki manusia secara kodrati (alami). Agape tidak ada dengan
sendirinya. Kasih ini datang dari atas. Karena itu, yang tidak memiliki Kristus tidak memiliki
kasih ini.
Ketiga, tidak mengenal batas. Agape diberikan bukan karena seseorang telah
mengasihi Allah, lalu Allah mengasihi dia. Tetapi agape adalah kasih Allah yang sudah
mengasihi manusia sebelum manusia meng asihi Allah. Kasih ini bukan berdasarkan
pertimbangan perasaan, sekalipun pertimbangan perasaan terkandung di dalamnya, karena
kasih itu tidak “buta”.
Keempat, kasih agape stabil. Kasih, cinta berdasarkan perasaan tidak kokoh dan tidak
bertahan selamanya. Sangat dipengaruhi suasana hati ( mood), situasi dan kondisi.
Sedangkan agape stabil, karena tidak tergantung perasaan.
Kelima, bergantung pada yang mengasihi Allah – dependensi terhadap Allah.
Ketergantungaan kita kepada Allah Allah membuat kita mampu mengasihi sesama. Kasih ini
tidak bergantung pada kekayaan, kedudukan, pangkat, kecantikan dan kecakapan, tetapi
hanya kepada Allah dan Kristus. Siapa yang menggantungkan kasihnya kepada Kristus, maka
dia akan semakin teguh. Sebaliknya, bila semakin jauh dari Kristus makin berkurang kasih
ini.
Keenam, agape berorientasi pada obyek (yang dikasihi). Di dalam agape terkandung
rencana kebajikan, kebaikan dan keuntungan bagi obyek yang dikasihi. Segala tingkah laku
berlandaskan pada kebaikan dan kebahagiaan orang lain.

b. Fileo (Filia)

Kata ini cukup banyak terdapat di dalam PB. Artinya adalah kasih yang berkonotasi
kasih antara orang tua dan anaknya, antara sahabat dengan sahabat, antara teman sekerja
maupun dalam hubungan yang lain yang menimbulkan ikatan kasih.
Menurut Vine”s Expository Dictionary, kata ini tidak pernah digunakan dalam perintah
kepada manusia untuk mengasihi Allah. J. Verkuyl mengatakan tentang karakter kasih ini
antara lain: “Philia pada dasarnya tidaklah penuh dosa. Tuhan menempatkan kita dalam
berbagai hubungan, yang di dalamnya terjadi (dan seyogyanya terjadi) hubungan 2 yang
khusus antara manusia dan manusia. Tetapi ‘philia’ pun telah dirusakkan oleh dosa dan
perangainya berubah menjadi egoisme kelompok (golongan) … Hendaklah ‘philia’ itu pun
ditempatkan di bahwah pengaruh kasih Kristen yang membaharui dan membersihkan. Sebab
jika tidak demikian ‘philia’ itu berubah sifatnya menjadi penggolongan 2 kepentingan, menjadi
semangat kelompok yang egosentris (hanya mementingkan diri sendiri), menjadi pembentuk
kelompok2 dan menjadi ‘hubungan yang tertutup.’”
Secara positif, kasih fileo mengandung muatan kehangatan perasaan, kesetiakawanan
dan sebagainya. Kasih ini bergantung pada perasaan (mood). Ada tiga ciri utama kasih ini:
1) Kesetiakawanan dalam persahabatan, sangat tergantung kepada perasaan dalam
membangun hubungan dan pergaulan.
2) wajar/alami. Siapa saja dapat memiliki kasih ini.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 52

3) Lebih stabil daripada kasih Eros. Kestabilan fileo dapat menimbulkan kekecewaan
dan kesedihan dalam pergaulan, tetapi tidak tergantung semata 2 pada emosi.
c. Eros

Kata ini berasal dari kata erao (). Akar kata erao terdapat dalam PB, yakni di
dalam nama orang, yakni erastos (Erastus). Dalam budaya Yunani, erao dan eros mula 2
berarti kasih, dalam arti berahi, cinta yang disertai hawa nafsu (seksual)), asmara. Dalam
mitologi Yunani eros itu diperdewakan dan dipuja dalam keadaan mabuk nafsu. Dalam
filsafat Yunani kata ini mendapat arti lain. Plato melukiskan keadaan eros itu sebagai
desakan batin yang membawa manusia, yang merasa adanya kekurangan 2, kepada
pendewaan suatu “kepuasan”. Jadi, menurut Plato, eros sebenarnya keinginan atau
kerinduan yang mendorong manusia menciptakan kebudayaan. Tapi eros harus dibedakan
dengan libido.
Menurut pandangan filosofis Platonis, eros dilukiskan sebagai suatu hasrat untuk
menjadi satu dengan “sang semesta”. Jika hasrat itu telah terpenuhi, maka puaslah jiwa itu
dan puaslah eros itu. Namun pertanyaannya, “Seberapa lama?”
Ringkasnya, eros memiliki ciri sebagai cinta kasih romantis dan tersirat berahi, cinta
secara seksual yang timbul karena hasrat jasmaniah (lebih tepatnya hasrat hormonal) di
antara dua insan. Cinta ini lebih banyak tercetus secara emotif. Namun cinta ini cukup
penting.

Ciri2 spesifik eros lainnya:


1) Lebih didominasi perasaan dan kehangatan. Biasanya penuh pernyataan kasih
sayang dan romantisme.
2) Wajar, alamiah. Pada hakikatnya semua orang normal membutuhkan cinta ini.
Hampir semua orang membutuhkan kekasih dan teman hidup.
3) Tidak stabil. Sangat dipengaruhi secara emosional dan hormonal.
4) Tergantung kepada si kekasih. Cinta bersemi karena hal 2 lahiriah (seperti cantik,
tampan, kaya, pandai, dsb). Kalau hal 2 itu pudar, cinta itu pun sangat mungkin
ikut pudar.
5) Tergantung pada yang mengasihi. Orang yang mengasihi kekasihnya demi dirinya
sendiri, kenikmatan sendiri, kebanggaan dan kepuasaan.
6) Penting dalam pernikahan. Tanpa eros, pernikahan menjadi hambar. Tetapi eros
sangat mudah “diracuni” dosa. Harus ada cinta lain yang mendampingi cinta ini.

d. Storge

Manusia tidak dapat hidup hanya untuk dirinya sendiri. Setiap orang memiliki kerabat,
baik dekat maupun jauh, memiliki keluarga dan hubungan keluarga. Dalam budaya Yunani
ada jenis kasih lain tetapi tidak dicatat dalam Alkitab, yaitu kasih yang bersifat kekeluargaan
yang menjalin erat kekerabatan, yang disebut storge kasih antara orang tua terhadap anak
dan sebaliknya, kasih antara adik dan kakak serta sebaliknya.

4 Klasifikasi dan Kualifikasi Kasih/Cinta


Agape : Kasih penuh pengorbanan dan bersifat ilahi
Etika Kristen Fileo : Kasih yang hangat dan erat namun sangat manusiawi
Eros : Kasih yang hangat, menimbulkan romantisme dan erotisme
Storge: kasih yang mengikat kekerabatan
P d t . F . A . Z e g a | 53

B. Keadilan

Nilai dan norma yang penting lainnya dalam etika Kristen ialah keadilan. Azas keadilan
ini sangat penting dalam bernegara dan dalam hubungan 2 yang lebih luas. Dalam Alkitab
keadilan disebutkan sebagai salah satu sifat Allah. keadilan juga suatu kewajiban bagi
manusia dan sebagai ciri dalam hidup bersama yang baik. Tanpa keadilan tidak akan
mungkin terbentuk gereja, keluarga dan masyarakat, Band. Kis 6:1.

1. Istilah-istilah Alkitab untuk Keadilan

Kata keadilan dalam Alkitab salinan bahasa Indonesia kurang begitu jelas artinya bagi
sebagian besar pembaca. Dalam bahasa Ibrani kata 2 keadilan disalain dari kata tsadaqah
dan misypat. Dalam bahasa Yunani disalin misalnya dari kata dikaiosune, krina dan krisis.

a. tsadaqah – Sedaqah – Tsedeq – stadiq (‫)צדק‬

Arti dasarnya ialah kelurusan, kejujuran. Juga memiliki arti rohani sebagai ukuran yang
diterima, misalnya dalam Kej 30:33; Im 19:36; Ul 16:18,20; 25:15; Ams 18:17; Mz.23:3 dsb.
Dari akar kata ini muncul frase “TUHAN keadilan kita” (Yahwe tsidkenu, Yeh 23:6; 33:16).

b. Misypat (‫)םשפט‬

Arti dasar kata ini ialah bahwa ada cara yang benar bagi seseorang untuk
membawakan diri, dan cara yang benar untuk memperlakukan orang lain, adil dalam
keputusan.

c. Dikaiosune

Kata diakiosune terdapat 94 kali dalam PB, sepadan dengan kata Ibrani tsadaqa.
Biasanya diterjemahkan “kebenaran”. Tetapi dalam 1Kor 6:7; 1Tim 6:11; 2Tim 2:22; Ibr 1:9;
2Pet 1:1, diterjemahkan dengan “keadilan”.

d. Krino dan Krisis

istilah2 ini menunjuk kepada keadilan suatu keputusan. Menurut M. Brownlee (hal 65),
istilah2 tsadaqah, misypat, dikaiosune, krino dan krisis tersebut disalin dalam bahasa
Indonesia dengan bermacam2 kata, misalnya kebenaran, pengadilan, hukum, keputusan dan
penyelamatan. Walaupun seringkali kata “keadilan” adalah terjemahan yang lebih tepat.
Secara umum konsep keadilan berarti setiap orang memperoleh haknya. Setiap orang
menerima apa yang seharusnya diterimanya. Dalam keadaan adil hak semua orang
ditentukan secara konsisten. Hukum2 berlaku bagi semua orang secara sama. Tidak ada pilih

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 54

kasih atau diskriminasi. Orang berhak untuk diperlakukan secara sama dengan orang lain
karena dia adalah seorang manusia, dan setiap manusia sangat tinggi harganya.

Arti Keadilan
Konsep keadilan Kristen banyak persamaannya
Dalam keadaan ideal keadilan berarti hak semua orang dengan keadilansecara
ditentukan dalamkonsisten.
pikiran umum.
Namun Hukum
jika dasar
2 pikiran
berlaku umum
bagi semua orang tanpabisikan
berdasarkan hati saja
diskriminasi dan(seperti yang diperjuangkan
semua orang berhak
dalam konsep demokrasi dan hakdiperlakukan secara
azasi manusia), sama.
maka keadilan Kristen mempunyai dasar
dalam keadilan Allah, cf. Maz 103:6; 99:4.

2. Aspek-aspek Keadilan

a. Keadilan berdasarkan Aturan Penciptaan

Allah menciptakan manusia sebagai mahkota ciptaan, sebagai gambar Allah sendiri. Di
luar Israel, hanya raja yang dianggap sebagai “gambar dan wakil Allah”. Tetapi di Israel dan
dalam agama Kristen petani biasa juga dianggap sama sebagai gambar Allah. Setiap orang,
apa pun statusnya, mewakili Allah. Pada dasarnya martabat semua orang adalah sama rata.
Nilai manusia itu ditentukan karena keberadaannya sebagai manusia , bukan alasan lain,
seperti karena ras, suku, kelas sosial, kepandaian dan status lainnya. Di mata Tuhan kita
semua sama2 citaan-Nya. Di dalam keadilan ini termuat juga segi keseimbangan.

b. Keadilan Berdasarkan Penyelamatan Allah yang Adil

Bagi orang Ibrani, Allah dipahami juga sebagai Pembebas yang memerdekakan mereka
dari perbudakan dan penindasan. Allah menjadi Raja yang memerintahkan Israel untuk
menyatakan keadilan-Nya dan memerintahkan keadilan kepada mereka, cp. Ul 10:17-19.
Keadilan berarti memberi perhatian khusus kepada orang-orang lemah karena Allah
membela orang-orang yang lemah dan miskin, cp. Mzm.103:6; 146:6-9; Ayb.29:14-16.
Keadilan Allah itu bertujuan untuk memperbaiki ketidakseimbangan dalam masyarakat.
Tetapi keadilan versi Alkitab lebih daripada sikap yang memihak kepada orang lemah. Keadil-
an berarti bahwa setiap orang dimampukan untuk mempertahankan keberadaannya sebagai
warga masyarakat. Artinya, setiap orang berhak untuk memenuhi kebutuhannya, untuk
menerima sumber-sumber yang memampukannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan, seperti
tanah (1Raj.21; Yes.65:12-22), pengadilan yang adil (Kel.23:1-3,6-8), kebebasan (Im.25:34;
Ul.23:15-16).
Keadilan Kristen berusaha menciptakan masyarakat yang menjamin keseimbangan
ekonomis dan sistem pengadilan yang tidak memandang bulu. Sebab Allah akan mengadili
orang-orang yang tidak adil.

c. Keadilan Berdasarkan Kasih

Kasih Kristen tidak bergantung pada kelas sosial, jasa, kerja, kekayaan atau
kepandaian dan sifat-sifat yang lain. Kasih Kristen didasarkan pada kasih Allah yang telah
lebih dulu mengasihi. Dan kasih itu perlu diwujudnyatakan juga dalam keadilan sosial.
Pengaruh kasih atas keadilan dapat disimpulkan sebagai berikut :
Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 55

1) Kasih menjadi patokan yang dipakai untuk mengukur keadilan. Keadilan yang
sejati tidak dapat bertentangan dengan kasih. Kasih mengatasi kepentingan yang
cenderung untuk mengutamakan kepentingan diri sendiri. Kecenderungan itu
melencengkan pengertian yang benar tentang keadilan. Tanpa kasih keadilan akan
merosot menjadi persaingan antara kepentingan 2 yang berbeda.
2) Kasih memberi motivasi untuk keadilan. Karena kasihlah kita memperjuangkan
keadaan adil bagi sesama.
3) Kasih menambah unsur perhatian pribadi kepada keadilan. Orang akan dapat
memperjuangkan hak orang tertindas dan miskin karena kasih. Tanpa kasih
keadilan menjadi dingin, kaku, formalitas dan dapat dibeli.
4) Kasih dapat menciptakan persekutuan dengan orang 2 yang tidak adil, Luk 19:1-10.
5) Kasih melebihi keadilan. Tugas kasih belum selesai walaupun tujuan keadilan
sudah dicapai. Kasih mendorong perbuatan 2 yang tidak dituntut oleh keadilan.
Keadilan hanya menuntut keseimbangan antara kepentingan kita dan sesama,
tetapi kasih (Kristen) harus mengasihi seperti Kristus yang mengorbankan
kepentingan dirinya demi kepentingan kita.

C. Damai Sejahtera

Faktor ketiga yang harusa ada dalam kehidupan bergereja, berkeluarga dan
bermasyarakat (beroikonomia) ialah damai sejahtera. Damai sejahtera adalah unsur
peredam dari segala kemungkin perselisihan dan pemisahan kesatuan.

1. Arti Damai Sejahtera

kata damai sejahtera barangkali adalah terjemahan yang paling sepadan untuk
menyalin kata Ibrani shalom dan kata Yunani eirene yang acap kali dipakai dalam Alkitab.
Kata ini memiliki kedalaman arti sebagai kedamaian, persatuan, keutuhan, keselamatan,
kesejahteraan, kesehatian, keadilan dan persekutuan. Shalom dapat berarti bahwa semua
kekacauan dalam kehidupan manusia dikendalikan, semua penyakit disembuhkan, semua
gangguan diatasi, semua perpecahan dipersatukan kembali. S halom adalah kata kunci yang
menggambarkan visi Alkitab tentang suatu persekutuan yang mencakup seluruh ciptaan, dan
kata kunci untuk “tubuh Kristus”, kata kunci untuk oikonomia. Bandingkan visi Alkitab dalam
Im 26:4-6 dan Yeh 34:20-29. Perhatikan kata “damai sejahtera” dalam Im 26:6, kata
“perjanjian” dalam Yeh 34:25, dan kata “kebahagiaan” dalam Yeh 34:29. semua itu aslinya
terjemahan dari shalom.

2. Makna Damai Sejahtera (Shalom/Eirene)

Shalom/Eirene atau damai sejahtera bukan saja berarti ketiadaan permusuhan, tetapi
lebih jauh berarti memiliki hubungan 2 yang baik. Shalom berarti menikmati hubungan 2 yang
ada, menikmati kehidupan di hadapan Tuhan, menikmati kehidupan dalam lingkungan alam,
menikmati kehidupan beserta sesama dan menikmati kehidupan beserta diri sendiri.
a. Damai Sejahtera Berarti Menikmati Hubungan Kepada Tuhan

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 56

Perhatikan pernyataan Paulus dalam Rm 5:1, “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena
iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan Kita, Yesus
Kristus.” Damai sejahtera berarti bahwa kepercayaan disandarkan kepada Allah saja, bukan
kepada sesuatu yang lain, karena kita memiliki hubungan yang baik dengan Allah. Sewaktu
nabi2 PL membicarakan damai sejahtera ( Shalom), mereka menggambarkan suatu zaman di
mana orang2 dari seluruh dunia bersatu untuk memuliakan Allah, cf. Yes 2:2-3.

b. Damai Sejahtera Berarti Menikmati Hubungan yang Baik dengan Sesama

Di dalam masyarakat, damai sejahtera telah mempersatukan kelompok 2 yang


sebelumnya terpisah2 menjadi kesatuan. Cp. Gal 3:29. Oleh damai sejahtera segala
ketidakadilan, perang, penindasan dan dan keterpisahan ditiadakan. Lihat Maz 85:11-12. PB
memberitakan bahwa Yesus Pembawa damai sejahtera (Luk 2:24; 1:79; Ef 2:17). Bukti
utama damai sejahtera itu adalah persatuan antara orang Yahudi dan non-Yahudi dalam
gereja (Ef 2:14-15).

c. Bermakna Hubungan Baik dan Tenang dengan Lingkungan

Dalam nubuat Yesaya, damai sejahtera itu menyatukan semua ciptaan dalam
lingkungan alam secara ideal, cp. Yes 11:6-8. PB menyatakan, bahwa Yesus memiliki kuasa
untuk menenangkan (dari kata eirene) angin danau, Mark 4:37-39.

d. Damai Sejahtera Bermakna Hubungan Baik Dengan Diri Sendiri

Damai sejahtera adalah kepuasan dan ketenangan batin. Lawan kata damai sejahtera
batin adalah ketamakan yang menyebabkan kekuatiran, cp. Yes 57:19-21. Karena itu Tuhan
Yesus menawarkan setiap orang untuk bebas dari gelisah dan tekanan batin, Mat 11:28-29.

e. Damai Sejahtera Bermakna Kesejahteraan dan kemakmuran Masyarakat

Kesejahteraan (kecukupan) perlu dimiliki oleh semua masyarakat, bukan pada


sebagian orang yang kaya saja. Damai sejahtera yang sejati dalam masyarakat ialah
kecukupan bagi semua warga. Kalau hanya sebagian saja yang makmur sementara sebagian
yang lain menderita keadaan itu bukanlah damai sejahtera, tetapi ketidakseimbangan. Damai
sejahtera yang seutuhnya dalam masyarakat ialah jika tidak ada satu pihak yang terabaikan
atau diasingkan.

f. Damai Sejahtera Bermakna Keadilan dan Kestabilan

Damai sejahtera yang sejati hanya mungkin diujudkan jika ada keadilan. Berarti damai
sejahtera menutup kemungkinan untuk penindasan dan pemerasan. Ketidakadilan akan
merusak damai sejahtera dengan menciptakan pertentangan, perlawanan yang riskan
terhadap anarkisme. Di dalam damai sejahtera ada kestabilan, tetapi kestabilan belum tentu
mendatangkan damai sejahtera, sebab kestabilan dapat dipaksakan sedangkan damai

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 57

sejahtera tidak dapat. Kestabilan yang dipaksakan adalah kedamaian palsu, tidak ada
keadilan. Kestabilan seperti ini akan melahirkan kekerasan. Kedamaian sejati hanya mungkin
terujud sesudah keadilan ditegakkan, bukan sebelumnya, dari sana akan menimbulkan
kestabilan. Inilah ranah idealnya damai sejahtera. Tetapi kapan dan di mana?
Bersambung!!!

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 58

BAB VI
ETIKA POLITIK KRISTEN

Etika Politik Kristen adalah salah satu bidang kajian etika Kristen dalam menyikapi dan
bagaimana harus bersikap sebagai mahluk politik secara kristiani. Sebab semua orang
Kristen di setiap zaman selalu berada di antara ketegangan antara warga “kerajaan Allah”
dan warga kerajaan (dan pemerintahan) sekuler, di antara sistem pemerintahan teokrasi dan
sistem pemerintahan negara (state).
Verkuyl secara luas mengatakan bahwa etika politik membicarakan masalah-masalah sumber
dan asal usul kekuasaan negara, tugas negara, hubungan antara negara dan rakyat, negara
dan gereja, negara dan negara -negara lainnya, serta membicarakan dasar-dasar kesusilaan
atau tindakan-tindakan politik (Verkuyl, Etika Kristen Ras, Bangsa, Gereja dan Negara,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992, 69). Secara sempit berarti etika politik Kristen membahas
masalah hubungan, hak, kewajiban etis-moral secara timbal balik antara warga, dalam hal
ini gereja, dan negara.

A. Pengertian Umum

Etika Politik Kristen yang pasti harus membicarakan negara dan kebijakannya, khususnya
kepada gereja (orang-orang Kristen), dan sebaliknya, karena itu perlu juga memahami
beberapa terminologi dasar seperti berikut ini.

1. Pengertian Negara

Semua bagian dan penduduk dunia sudah dipisahkan dan dibagi habis dengan batas,
kedaulatan dan pemerintahan Negara. Verkuyl mengatakan, Negara adalah suatu entitas,
suatu beradaan, suatu kenyataan yang bersifat politis dan yuridis, yang terdiri dari suatu
masyarakat manusia yang merupakan suatu golongan yang bebas dalam suatu daerah
bersama yang bersatu padu dan yang tunduk kepada kekuasaan tertinggi (Verkuyl,
1992:690).
Negara, secara ringkas berarti suatu komunitas politik yang independen (berdaulat) dan
menaungi. Merupakan wadah dari suatu bangsa yang diciptakan oleh bangsa itu sediri untuk
mencapai cita-cita dan tujuan bersama.
Ada tiga unsur untuk terwujudnya suatu negara. Pertama, harus memiliki organisasi yang
memiliki kedaulatan, kekuasaan dan wibawa yang harus ditaati. Dengan itu negara wajib
memelihara, melindungi, mempertahankan dan menetapkan undang-undang dan hukum.
Kedua, suatu negara harus memiliki wilayah dengan batas-batas yang jelas, posisi geografis
di mana kekuasaan dan kedaulatannya berlaku efektif.
Ketiga, suatu negara harus memiliki warga, yang disebut masyarakat negara atau bangsa
(nation). Di dalamnya bisa terdiri dari beraneka ragam ras, suku, etnis, bahasa, agama yang
berbeda.
Jelaslah bahwa suatu Negara harus memiliki daerah tertentu sendiri, memiliki rakyat, dan
memiliki pemerintahan yang berdaulat.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 59

2. Politik

Istilah politik asal usulnya dari kata Yunani Polis. Kata polis berarti benteng, lalu berarti
kota, dan pada perkembangan selanjutnya dipakai untuk menyebut negara ( city state), dan
akhirnya menunjuk kepada suatu bentuk negara, yaitu negara demokrasi.
Dari kata polis muncul kata politeia, yang memiliki beberapa arti, antara lain berarti
penduduk atau warganegara, hak warga negara, kewarganegaraan, tata negara juga bentuk
pemerintahan. Kemudian oleh filsuf Plato, kata itu menjadi terminus technicus (istilah khu-
sus) untuk menjelaskan prinsip-prinsip, bentuk-bentuk dan tindakan-tindakan kenegaraan.
Dari situlah muncul terminologi politik. Sehingga jelaslah bahwa politik itu bersangkut paut
dengan masalah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bisa disebut juga sebagai
pengelolaan hidup kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dari pengertian terminologis istilah politik itu maka jelas bahwa tidak ada seorang pun di
dunia ini yang terlepas dari politik dan masalah perpolitikan, sehingga mahluk manusia pada
dasarnya adalah mahluk politik. Masalahnya adalah sejauh mana politik itu mempengaruhi
dan dipengaruhi demi kesejahteraan setiap orang.

3. Etika Politik

Dapat dikatakan bahwa politik selalu berbicara tentang negara dan negara adalah
suatu organisasi politik. Politik menjadi istilah teknis untuk menyebut segala bentuk yang
berhubungan dengan negara dan kenegaraan. Karena politik dan negara selalu berhubungan
de-ngan kekuasaan dan kepentingan banyak orang maka politik perlu dibingkai dengam
sistem etika yang mengontrol dan membatasi kekuasaan itu. Tanpa kontrol dan
pembatasan, akan mudah terjadi abuse of power. Seperti dikatakan oleh Lord Acton, power
tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Karena itu, negara dan
kekuasaannya harus dibatasi, baik melalui hukum dan konstitusi maupun melalui norma-
norma dalam berpolitik.
Peschke mengatakan, negara bukanlah tujuan tertinggi dan terakhir dari keberadaan
manusia, sehingga manusia hanya diberi hak-hak sampai sejauh hak-hak itu selaras dengan
tujuan-tujuan negara. Manusia memiliki hak-hak eksistensial dan kodratinya sendiri, yang
harus dihormati oleh kekuasaan negara (peschke:63). Karena itu etika politik perlu dimiliki
oleh setiap warga negara dan terlebih oleh pelaku politik praktis yang disebut sebagai
penyelenggara negara, dan organ-organnya, demi terjaminanya keadilan dan kedamaian.

B. Pentingnya Etika Politik Kristen

Menurut Verkuyl, etika politik menyelidiki apa arti pengakuan politis untuk bidang
kenegaraan dari sudut kehendak Tuhan (Jilid 3:71-72). Sesuai kehendak Tuhan itulah acuan
etika politik Kristen, yaitu jalan untuk menyatakan kehendak Tuhan di tengah-tengah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang Kristen, sebagai mahluk politik, wajib
menegakkan dan berpatokan pada kehendak Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 60

Kehendak Tuhan yang harus dinyatakan itu bukan berarti mengkristenkan politik,
tetapi melalui jalan politik orang Kristen mempermuliakan Kristus. Karena itu politik
sangatlah penting bagi gereja. Melalui saluran politik gereja berkarya bagi dunia, memberi
kebaikan bagi dunia dan menjadi mitra Allah dalam menggenapi karya-Nya di dunia.
Kehadiran dan keterlibatan orang Kristen, atau gereja, tidak hanya sekedar menjadi
“penggembira,” melainkan berkewajiban berperan serta penuh dalam memberi andil,
khususnya dalam memberi penilaian normatif. Itulah pentingnya etika Kristen. Memberi
penilaian pada penyelenggaraan negara, agar semua dilaksanakan sesuai dengan norma-
norma kebaikan dan kebenaran, agar hak azasi dan keadilan bagi setiap orang ditegakkan.
Menurut Borrong, kehadiran dan keterlibatan gereja dalam politik, bagaimanapun haruslah
diwarnai keyakinan kristiani tentang apa kehendak Allah bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kalau politik dipahami sebagai pengelolaan negara secara benar, maka norma
kebenaran dalam penyelenggaraan negara adalah kehendak Allah. Bagi iman kristiani,
kehendak Allah yang nyata dalam Yesus Kristus haruslah menjadi norma pengelolaan Negara
yang baik dan benar (R.P. Borrong. Etika Politik Kristen. Jakarta: STT Jakarta, 2006, 3-4).

C. Dasar Etis-Teologis Keterlibatan Kristen Dalam Politik

Dengan mengutip beberapa uraian Borrong, ada beberapa dasar teologis-etis alkitabiah
mengenai keterlibatan gereja atau orang Kristen dalam politik, yaitu:

1. Warga Kristen Terikat pada Sebuah Negara atau Pemerintah

Dalam Alkitab terdapat banyak kisah tentang kehadiran Allah dalam masalah politik,
misalnya kisah pemanggilan Abraham, kisah eksodus Israel dari Mesir. Doa-doa politik dalam
Mazmur, misalnya Mazmur 72, doa untuk raja. Himbauan Yeremia bagi komunitas Yahudi di
Babel (Yer 29:1-7). Yesus Kristus juga menghadapi banyak tantangan yang berhubungan
dengan masalah politik dalam pelayanan dan kehidupan-Nya di dunia (cp.

2. Warga Kristen Memiliki Hak dan Tanggung Jawab Politis

Dalam Alkitab, hubungan manusia dengan Allah digambarkan sebagai hubungan yang
menggunakan terminologi yang bersifat politis Allah sering disebut sebagai Raja atau
penguasa Yangadil, Mahakaya dengan rahmat namun dengan penghukuman bagi mereka
yang bersalah. Itu sebabnya dia disebut sebagai Yahwe Tsdikenu.

3. Warga Kristen Mengutamakan Kedaulatan Kristus

Dalam Perjanjian Baru ditegaskan tentang kehadiran Kerajaan Allah. Yesus Kristus
diakui sebagai Tuhan dan Raja, memiliki kuasa yang berdaulat (Yoh 19:1; Mat 28:18).

4. Warga Kristen Mengakui Pemerintah sebagai Wakil Allah

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 61

Kekuasaan manusia ditetapkann oleh Allah, karena itu setiap orang, termasuk gereja,
harus berperan aktif dalam pelaksanaan kekuasaan negara (cp. Rm 13:1-2; 1Pet.2:13; 1Tim
2:1-4; Tit 3:1).

5. Warga Kristen Wajib Memperjuangkan Kehendak Allah dalam Negara

Orang Kristen menyadari pengaruh dosa dalam politik. Tidak dapat disangkal bahwa
dosa telah membawa kecenderungan manipulatif dalam berpolitik. Politik yang
berkecimpung dalam kekuasaan memang rentan terhadap penyalagunaan dan
penyimpangan yang destruktif (abuse of power) yang menimbulkan baik kesewenangan,
penindasan maupun ketidakadilan. karena itu gereja perlu terlibat dalam politik untuk
menyatakan dan memperjuangkan kehendak Allah.

D. Tujuan Keterlibatan Gereja dalam Politik

Politik mengikat semua orang di suatu tempat tertentu dan di bawah penguasa
tertentu, tanpa terkecuali dengan segala hak dan tuntutannya. Demikian pula setiap warga
gereja, secara kolektivitas terikat dalam hak, kewajiban dan tuntutannya. Karena itu ada
beberapa tujuan dari keterlibatam gereja dalam politik, seperti antara lain dikatakan
Borrong:

1. Untuk Pelayanan Pembebasan

Politik sarat dengan kecenderungan destruktif ( tends to corrupt) yang berakibat


terjadinya ketidakadilan, penindasan dan anarkisme ( abuse of power). Dari fenomena itu,
gereja terpanggil untuk pelayanan pembebasan dalam dua dimensi. Pertama, gereja perlu
melayani mereka yang menjadi korban kesewenangan politis, melalui saluran yang juga
legal. Pada dimensi lain, peranan pembebasan gereja melalui perjuangan untuk mewujudkan
kebebasan dan kesetaraan politik, serta penegakan hak-hak azasi manusia dalam segala
bidang kehidupan, baik agama, sosial, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.

2. Tujuan Misioner

Allah telah datang sebagai manusia untuk memberitakan Kabar Baik. Secara
kontekstual Kabar Baik itu juga harus masuk ke dalam setiap aspek perpolitikan. Gereja
perlu menyuarakan pemerintahan Kerajaan Allah, yang mengatasi pemerintahan manusia.
Kasus kehadiran umat Israel dan pesan nabi Yeremia untuk mengusahakan kesejahteraan
kota di mana mereka berada adalah contoh misioner di bidang politik.

3. Tujuan Korektif

Para nabi PL dan Tuhan Yesus sendiri selalu melakukan koreksi terhadap dosa para
pemimpin politik. Tugas korektif ini dapat dilakukan kalau gereja sendiri mampu
memperlihatkan hidup yang baik dan benar. Tujuan korektif ini dapat diartikan pula sebagai

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 62

tujuan pastoral, menciptakan kesadaran tentang kasih Allah bagi mereka yang terbuka untuk
berubah dan menyesali kesalahannya, contohnya, seperti dilakukan nabi Natan kepada raja
Daud (2 Sam.12)

4. Tujuan Normatif

Keterlibatan gereja dalam politik juga demi menegakkan kebenaran di tengah kancah
perpolitikan, yaitu menegakkan keadilan dan kasih. Iman Kristen menegaskan bahwa segala
kuasa ada di tangan Kristus, Dia adalah wujud keadilan dan kasih Allah, karena itu kuasa
apa pun di dalam dunia ini harus mengacu kepada Kristus dan diarahkan untuk mewujudkan
keadilan serta kasih Kristus. Dengan kata lain, keterlibatan gereja dalam politik agar
“manusia lebih taat kepada Allah, daripada kepada manusia” (Kis.5:29).

5. Tujuan Edukatif

Tujuan gereja dalam politik untuk mendidik warga gereja supaya peduli dan paham
mengenai tugas panggilannya di dunia sebagai warga negara yang baik. Gereja ada dalam
dunia dan diutus ke dalam dunia (Yoh.17), gereja terpanggil untuk menjadi garam dan
terang dunia (Mat 5:13-16). Gereja adalah warga Kerajaan Surga yang ada dan hadir di
dunia untuk mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah. Keterlibatan dalam politik sekaligus
berfungsi untuk mendidikan warganya menuju kepada sikap kebajikan demi keberrsamaan.

E. Etika Politik Dalam Perspektif Kristen

Etika politik adalah salah satu dari bidang bahasan etika Kristen yang menuntun dan
memberi pertimbangan bagaimana setiap orang Kristen dapat bertingkah laku politis dengan
baik dan benar dalam masyarakat (kolektif), sesuai dengan iman Kristen, sesuai hak dan
kewajibannya. Dasar tingkah laku berpolitik adalah di atas nilai-nilai firman Tuhan atau iman
Kristen. Borrong mengatakan:

Etika dan moral Kristen adalah ajaran Kristen yang mengandung nilai-nilai etika dan
yang dapat menjadi panduan bagi kehidupan individu maupun kelompok yang aktif
dalam bidang politik sesuai dengan keyakinan kristiani. Etika dan moral Kristen tidak
sama dengan hukum agama. Karena itu etika dan moral Kristen bukan hukum-hukum
atau aturan yang harus diterapkan secara harafiah dalam kehidupan politik. Etika dan
moral Kristen dalam politik … diimplementasikan dalam mengelola kehidupan bersama,
yaitu bermasyarakat dan bernegara (Borrong:7).

1. Dasar dan Alasan Etika-Moral Politik Kristen

a. Allah melalui firman-Nya selalu mengajarkan dan menghendaki yang baik dan
benar dalam kehidupan manusia, termasuk kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, supaya ada kedamaian dan kesejahteraan lahir dan batin.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 63

b. Politik adalah kegiatan yang bertujuan untuk kebaikan dan kebenaran dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Politik tidak bertujuan untuk mencapai
kepentingan sendiri atau kelompok saja, melainkan dan terutama kepentingan
bersama sebagai bangsa.
c. Para pelaku politik (politisi) adalah orang-orang yang menerima kekuasaan dan
wibawa mereka dari Tuhan untuk menegakkan kebaikan dan kebenaran di dalam
masyarakat. Maka kedulatan Tuhan seharusnya menjadi arahan para politisi dalam
menjalankan tugasnya.
d. Para politisi adalah manusia berdosa, penuh kekurangan bahkan kecenderungan
kepada kejahatan (destruktif) sehingga memerlukan panduan, arahan dan norma
dari agama supaya mereka dapat menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung
jawab sesuai dengan kekuasaan yang diterimanya dari Tuhan.
e. Kegiatan politik adalah juga misi Allah ( mission Dei) yang bertujuan mewujudkan
kekuasaan dan kedaulatan Allah di dunia.

2. Nilai-nilai Etika-Moral Berpolitik

Banyak nilai-nilai etis yang diajarkan iman Kristen dalam berpolitik, namun yang
terutama di dasarkan setidaknya pada nilai-nilai utama, seperti berikut ini.

a. Hati Nurani (Kata Hati)

Tingkah laku berpolitik harus juga didasarkan pada hati nurani, bukan hanya
pertimbangan rasional semata. Melalui hati nuraninya politisi diperingatkan, ditegur dan
dikoreksi agar tidak membuat keputusan dan tindakan yang salah.

b. Nilai Keadilan

orang Kristen harus berpolitik demi dan di dalam kerangka mengusahaakan keadilan di
tengah masyarakat (justice for all), sehingga kebaiakn dn kebenaran Tuhan terwujud dalam
kehidupan seluruh rakyat, tidak boleh ada diskriminasi dalam perspektif bahwa semua
manusia adalah ciptaan dan imago Dei, semua warga Negara punya haka yang sama di
depan hukum.

c. Jujur

Kejujuran harus diaplikasikan secara konsisten dalam berpolitik, termasuk dalam


berkampanye. Contohnya kasus SARAH yang dimunculkan oleh Oma Irama ketika berdakwa
di sebuah rumah ibadah dalam rangka mendukung salah satu pasangan calon Gubernur DKI
(Fauzi Bowo). Secara kurang jujur berusaha mendiskriminasi salah satu pasangan calon,
namun ketikan di hadapan PANWASLU, mengaku hanya dalam konteks trasnparansi dan
sebagainya, yang sebenarnya tidak bersikap jujur.

Etika Kristen
P d t . F . A . Z e g a | 64

Borrong mengatakan, berbohong adalah godaan terbesar para politisi demi mencapai
tujuan: mendapat dukungan rakyat (Borrong:9). Bukan hanya dilakukan oleh para
competitor dalam kampanyenya, tetapi juga oleh para pendukungnya.

d. Rendah Hati

Tidak bisa disangkal, politik identik dengan kekuasaan dan berurusan dengan
kekuasaan yang membuat orang bertindak arogan dan rentan terhadap anarkisme demi
merebut atau mempertahankan kekuasaan. Selain itu, kekuasaan menciptakan kehormatan
dan kemuliaan yang berbuntuk kesombongan. Karena itu kerendahan hati perlu dimiliki oleh
setiap politisi agar tidak menyahgunakan kekuasaan untuk menindas rakyat.

e. Keberanian

Politik berurusan dengan orang banyak (rakyat) yang sering kali dirugikan oleh pihak
atau kelompok tertentu. Karena itu berpolitik ala Kristen harus dilengkapi juga keberanian
untuk membela hak-hak orang yang tertindas. Allah selalu berpihak pada rakyat lemah yang
selalu menjadi korban. Itu makna vox populi, vox Dei (Borrong:9).
Perlu juga dipahami, dalaam konteks Indonesia perpolitikan yang bersih dan etis masih
hanya sebatas wacana, belum dalam tataran praksis. Karena itu peranan etika dan agama,
Khsususnya iman Kristen, perlu benar-benar diefektifkan sampai Indonesia berhasil
mencapai tujuan luhurnya, yaitu masyarakat adil, makmur, dan sentosa lahir-batin.

Etika Kristen

Anda mungkin juga menyukai