Skripsi Hukum

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 124

TINDAK PIDANA PERCOBAAN PEMBUNUHAN BERENCANA

(STUDI PUTUSAN NOMOR 299/PID.B/2019/PN.PKL)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan


Untuk Menyelesaikan Program Studi Strata Satu
dalam Ilmu Hukum

Oleh:
Nama : Cut Lia Marlina
NIM : 010001600082
P.K. : IV (Hukum Pidana)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2020
TINDAK PIDANA PERCOBAAN PEMBUNUHAN BERENCANA (STUDI
PUTUSAN NOMOR 299/PID.B/2019/PN.PKL)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan


Untuk Menyelesaikan Program Studi Strata Satu
Dalam Ilmu Hukum

Oleh:
Nama : Cut Lia Marlina
NIM : 010001600082
PK : IV (Hukum Pidana)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2020

ii
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Cut Lia Marlina


NIM : 010001600082
Program Kekhususan : IV (Hukum Pidana)
Judul Skripsi : Tindak Pidana Percobaan Pembunuhan
Berencana (Studi Putusan Nomor
299/Pid.B/2019/PN.Pkl)

Jakarta, 14 Juli 2020

Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Bagian Hukum Pidana Pembimbing Skripsi

Dr. Vience Ratna Multiwijaya, S.H., M.H. Dr. Vience Ratna Multiwijaya, S.H., M.H.
NIK: 1557/USAKTI NIK: 1557/USAKTI

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Do the best and pray. God will take care of the rest. . . .

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,


Terimakasih kepada Orang Tua, keluarga,
Sahabat, Teman dan Pembimbingku, atas
dukungan, doa dan semangat
yang tak terhingga . . .
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala karunia dan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Percobaan Pembunuhan
Berencana (Studi Putusan Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl)”. Skripsi ini
ditulis guna untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam rangka
mencapai gelar kesarjanaan (S-1) dalam studi ilmu hukum Universitas
Trisakti.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kata sempurna, namun demikian sejauh ini penulis telah
membuat skripsi ini semaksimal mungkin sesuai dengan kapasitas dan
kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis akan siap
menerima segala kritik, saran dan masukan demi perbaikan pada skripsi
ini.
Selama pembuatan skripsi ini, penulis tidaklah membuat skripsi ini
sendirian, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak lain, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Maka dalam kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu penulis selama ini. Dalam hal ini:
1. Bapak Dr. H. I Komang Suka’arsana, SH., MH., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Trisakti.
2. Ibu Dr. Hj. Wahyuni Retnowulandari, SH., MH., selaku Wakil Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
3. Ibu Dr. Hj. Endang Suparsetyani, SH., MH., selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
4. Bapak Dr. Bambang Sucondro, SH., MH., selaku Wakil Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
5. Ibu Dr. Hj. Tri Sulistyowati, SH., MH., selaku Wakil Dekan IV Fakultas
Hukum Universitas Trisakti.

i
6. Ibu Dr. Ermania Widjajanti, SH., MH., selaku Ketua Program Studi S-1
Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
7. Ibu Dr. Vience Ratna Multiwijaya, SH., MH., selaku Ketua Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, selaku Ketua Koordinator
Program Kekhususan IV (Hukum Pidana), dan selaku dosen
pembimbing skripsi ini yang telah meluangkan waktu dan tenaga, dan
kesabaran untuk memberikan petunjuk, pendapat, arahan serta
dukungan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
8. Ibu Rini Purwaningsih, SH., MH., selaku pendamping pembimbing
skripsi, yang telah mengarahkan dan membantu penulis selama
penyusunan skripsi ini.
9. Ibu Dr. Elsi Kartika Sari, SH., Mh., selaku wali dosen yang selalu
membimbing, mengayomi penulis selama mengikuti perkuliahan di
Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
10. Bapak Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama
penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
11. Untuk kedua orang Tua penulis, Bapak Teuku Saiful Amri dan Ibu Ummi
Salmah MD yang telah membesarkan, mendidik, membimbing,
merawat, menyayangi, mecintai, mendoakan dan selalu memberikan
dukungan atas keluh kesah penulis sampai saat ini.
12. Untuk kakakku Teuku Irwan Amrizal S. Ked, kedua adikku Cut Intan
Fadhillah dan T.M Aulia Amrizal yang telah memberikan dukungan,
bantuan dan perhatian kepada penulis selama ini.
13. Sahabat dan teman Denisa Hafifah Bilkis, Apriana Alriska Amarani,
Yunika Kamilaini, Syarifah Mutia, Sabda Aulia Nuzula, Firly Abdullah,
Rahmi, Shafira Nabila Dewi, Titah Ninie Bethari, Yulinar Havsa
Pasaribu, yang telah memberikan semangat dan dukungan selama
penulis menyelesaikan tugas akhir ini.
14. Pihak-pihak yang tidak semua disebutkan satu persatu disini, terima
kasih telah membantu penulis dalam memberikan semangat, waktu, doa
dan inspirasi.

ii
Jakarta, 13 Juli 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................... iv
ABSTRAK............................................................................................. vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................... 1
B. Pokok Permasalahan ................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ...................................................... 6
D. Metode Penelitian ..................................................... 6
E. Kerangka Konseptual................................................ 10
F. Sistematika Penulisan............................................... 13

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PIDANA,


PERCOBAAN TINDAK PIDANA, TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN PASAL 338 KUHP, TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN BERENCANA PASAL 340 KUHP
A. Pengertian Hukum Pidana ........................................ 16
B. Pengertian Tindak Pidana ........................................ 18
C. Unsur Tindak Pidana ................................................ 19
D. Percobaan (Attempt/Poging) .................................... 41
E. Teori Pemidanaan ..................................................... 46
F. Tindak Pidana Pembunuhan Dan Pembunuhan
Berencana ................................................................. 51

iv
v

BAB III KASUS POSISI DAN AMAR PUTUSAN NOMOR


299/PID.B/2019/PN.PKL
A. Identitas Terdakwa .................................................... 55
B. Penahanan ................................................................ 55
C. Kasus Posisi .............................................................. 56
D. Tuntutan Jaksa .......................................................... 57
E. Pertimbangan Hakim ................................................ 58
F. Putusan Hakim .......................................................... 60

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN TERHADAP TINDAK


PIDANA PERCOBAAN PEMBUNUHAN BERENCANA
YANG DIPUTUSI PASAL 338 KUHP JO PASAL 53 AYAT
(1) KUHP (STUDI PUTUSAN NOMOR
299/PID.B/2019/PN.PKL)
A. Perbuatan Pelaku Telah Memenuhi Atau Tidak Unsur-
Unsur Pasal 338 KUHP Jo Pasal 53 Ayat (1)
KUHP........................................................................... 61
B. Pemidanaan Yang Dijatuhkan Hakim Terhadap Putusan
Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl ................................... 86

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................. 88
B. Saran ........................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN

v
ABSTRAK

(A) Cut Lia Marlina (010001600082)

(B) Tindak Pidana Percobaan Pembunuhan Berencana (Studi Putusan


Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl)

(C) 89 halaman, 2020, 1 Lampiran

(D) Kata Kunci: Hukum Pidana, Percobaan Penyertaan dan Gabungan


Tindak Pidana, Tindak Pidana Percobaan Pembunuhan Berencana.

(E) Tindak Pidana Percobaan Pembunuhan berencana merupakan


perbuatan terdakwa yang sudah memikirkan dengan tenang cara
untuk melakukan pembunuhan kepada korban dengan mendorong
korban hingga terjatuh ke bendungan namun korban selamat karena
mendapat bantuan dari orang lain/saksi. Dengan Studi Putusan
Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl. Pokok permasalahan adalah 1)
Apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi atau tidak unsur-unsur
dalam Pasal 338 KUHP jo Pasal 53 ayat (1) KUHP? (Studi Putusan
Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl) dan 2) Bagaimana pemidanaan yang
dijatuhkan hakim terhadap Putusan Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl.
Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan tipe yuridis-
normatif, penarikan kesimpulan menggunakan logika deduktif.
Kesimpulannya adalah 1) Perbuatan pelaku tindak pidana percobaan
pembunuhan tidak memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 338 KUHP jo
Pasal 53 ayat (1) KUHP, dan 2) Pemidanaan yang dijatuhkan
berdasarkan dengan alasan terbukti ada kesengajaan merampas
nyawa orang lain dengan Pasal 53 ayat (1) Jo Pasal 338 KUHP
dengan menjatuhkan pidana selama 10 tahun. Hasil penelitian
seharusnya terdakwa dikenakan Pasal 53 ayat 1 jo Pasal 340 KUHP
dan pemidanaan berdasarkan Pasal 53 ayat 2 jo Pasal 340 KUHP.

(F) 28 buku, 2 peraturan perundang-undangan, 1 Jurnal

(G) Dr. Vience Ratna Multi Wijaya, SH, MH ( )

(H) Cut Lia Marlina ( )

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bersosial. Tidak
jarang manusia saling berbenturan dengan kepentingan masing-
masing. Bahkan demi mewujudkan kepentingan atau kebutuhan hidup
masing-masing maka banyak dari masyarakat melakukan
kejahatan.Teguh Prasetyo mengatakan bahwa, pelaku kejahatan
adalah orang yang melakukan kejahatan yang sering pula disebut
”penjahat”.1 Perbuatan-perbuatan pelaku kejahatan ini sangatlah
meresahkan masyarakat karena mereka tidak mentaati norma-norma
yang ada, artinya bertentangan dengan atau menghambat akan
terlaksananya tata dalam pergaulan di dalam masyarakat yang baik dan
adil.2
Tidak jarang kejahatan yang dilakukan sangat merugikan
masyarakat seperti mengakibatkan adanya kematian pada korban.
Sedangkan penyebab mereka melakukan hal itu berbagai alasan
pembenaran yang mereka ambil agar perbuatan mereka dianggap
mereka adalah wajar. Sebagai contoh karena merasa sakit hati atas
perbuatan Korban terhadap pelaku atau tidak mau bertanggungjawab
atas perbuatan yang dilakukan sehingga untuk menutupi perbuatan
pelaku menghabiskan nyawa korban. Tingginya tingkat kejahatan
terhadap nyawa dapat dilihat berdasarkan data yang terjadi di
Pekalongan menurut data yang peneliti telusuri dari web Pengadilan
Negeri Pekalongan yaitu sepanjang tahun 2017 s.d tahun 2019 hanya
ada 1 (satu) kasus pembunuhan setiap tahunnya.3 Pada kasus yang

1 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010),
h.11.
2Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), h. 3.
3Internet, “Daftar Perkara Pidana Biasa” Online, Tersedia dilayanan http://sipp.pn-
pekalongan.go.id/list_perkara/search, 9 Maret 2020.

1
2

akan peneliti bahas ini terjadi di tahun 2019 yaitu pada Bulan Januari,
dimana telah terjadi percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh
pelaku. Dari data web Pengadilan Negeri Pekalongan tersebut dapat
dilihat bahwa tingkat kejahatan pembunuhan di daerah Pekalongan
tergolong sangatlah rendah. Namun tetap saja sangat meresahkan
masyarakat, keadaan yang dapat meresahkan ini memerlukan peran
dari aparat dan pemerintah untuk menanggulanginya.
Menurut Moeljatno hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu Negara.4 Hukum Pidana menjadi sarana
bagi penanggulangan suatu tindak pidana yang dapat diterapkan
kepada para pelaku kejahatan dengan cara dikenakan sanksi, hukum
pidana ada untuk dapat mencari solusi dan memecahkan segala
problematika yang terjadi dalam segala bentuk kejahatan dikehidupan
masyarakat. Peran pemerintah dan aparat untuk memberikan
perlindungan pada warganya. Hal ini sesuai dengan UUD 1945
menyatakan pemerintah harus melindungi warganya sebagaimana
pada Pasal 28 A Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”. Khusus perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
dalam lingkup Hukum Pidana dituangkan dalam KUHP yang terdiri dari
3 (tiga) buku. Buku I tentang Aturan Umum, Buku II tentang Kejahatan,
dan Buku III tentang Pelanggaran. Pada buku II memuat aturan
kejahatan pada Bab XIX dari Pasal 338 s.d Pasal 350 mengatur
kejahatan terhadap Nyawa.
Seseorang yang dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau tindak
pidana haruslah orang tersebut memenuhi unsur-unsur delik. Unsur-
unsur delik yang terdapat dalam perbuatan pidana dipahami ada
kelompok element dan bestandeel, elemen-elemen dalam suatu
perbuatan pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam suatu

4 I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2010), h.11.
3

perbuatan pidana, unsur tersebut baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis. Bestandeel mengandung arti unsur perbuatan pidana yang
secara expressive verbis tertuang dalam suatu rumusan delik atau
perbuatan pidana.5
Pelaku kejahatan yang melakukan suatu perbuatan tentu
mempunyai tujuan, namun terkadang yang menjadi tujuan tersebut tidak
tercapai sesuai yang diharapkan, namun jika muncul hal ini bukan
berarti pelaku tidak dapat dipidana. Hal ini didasarkan pemikiran jika ini
tidak dipidana maka akan dapat membuat pelaku akan mengulangi
perbuatannya. Hal ini yang menurut Barda dikatakan sebagai
Percobaan dalam arti perluasan Pelaku Tindak Pidana, menurut pada
pandangan ini jika seseorang melakukan percobaan untuk melakukan
perbuatan pidana walaupun perbuatan tersebut tidak memenuhi semua
unsur delik, orang tersebut tetap dapat dipidana apabila telah memenuhi
unsusr-unsur dalam rumusan Pasal 53 KUHP.6 Sifat percobaan itu
adalah untuk memperluas dapat dipidananya seseorang, bukan
memperluas rumusan-rumusan delik. Dengan demikian menurut
pandangan ini, percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk
delik yang tersendiri (delictum sui generis) tetapi dipandang sebagai
bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen delictsvorm).7 Hal ini
diatur dalam Pasal 53 KUHP yaitu mengenai Percobaan melakukan
tindak pidana, dimana unsur-unsurnya adalah niat, permulaan
pelaksaan, dan tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendak dari
pelaku.
Dalam menerapkan sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana maka
hakim harus menjatuhkan pidana sesuai dengan tujuan pemidanaan
atau Hukum Pidana. Salah satu tujuan teori pemidanaan menurut

5 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma


Pustaka, 2016), h. 129.
6 Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana Lanjut, (Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, 2012), h. 2.
7 Ibid.
4

Hukum Pidana yaitu Klasik yang menitik beratkan pada kepastian


hukum guna melindungi kepentingan individu dari kesewenangan
penguasa. Menurut Sudarto, aliran klasik tentang pidana bersifat
retributif dan represif terhadap tindak pidana. 8 Oleh karenanya untuk
menjatuhkan pidana harus memperhatikan pendapat J. Bentham yang
menyatakan bahwa tujuan hukum adalah memberikan manfaat kepada
sebanyak-banyaknya warga masyarakat, sehingga dalam penjatuhan
pidana maka pidana dengan perbuatan harus sesuai sehingga memuat
kemanfaatan pidana.9
Selain itu guna mencapai tujuan pemidanaan menurut Hukum
Pidana maka perlu juga kita pahami tujuan pidana menurut teori-teori
pemidanaan. Adapun teori pemidanaan dibagi 4 aliran yaitu Teori
Absolut, Teori Relatif, Teori Gabungan dan Teori Kontemporer.10 Salah
satunya teori Gabungan merupakan suatu kombinasi antara
pembalasan dan ketertiban masyarakat, menurut Vos selain titik berat
pada pembalasan, maksud dari pembalasan itu dibutuhkan untuk
melindungi ketertiban hukum. Sebagai penganut teori gabungan Vos
menyatakan titik berat yang sama pada pidana adalah pembalasan dan
perlindungan masyarakat.11
Alasan-alasan diatas maka peneliti mengangkat Kasus dalam
Putusan Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl. Kasus percobaan pembunuhan
berencana ini dilatarbelakangi dengan dimintanya pertanggungjawaban
oleh saksi korban kepada Terdakwa karena saksi korban hamil.
Terdakwa dan saksi korban telah menjalani hubungan asmara kurang
lebih selama 2 (dua) tahun. Terdakwa tidak mau bertanggungjawab
dengan alasan bahwa orangtuanya tidak merestui hubungan tersebut
dan merasa belum siap untuk berumah tangga, Terdakwa lalu

8 Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., h. 29.


9 Vientje Ratna Multiwijaya, Hukum Pidana Dan Perkembangan Hukum, Vol. 1,
Jurnal Hukum Universitas Trisakti: Jakarta, 2018. h. 42.
10 Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., h. 37-42.
11 Ibid., h. 41.
5

menyuruh saksi korban untuk menggugurkan kandungannya dengan


cara meminum jamu pengugur janin. Karena saksi korban tetap saja
meminta pertanggungjawaban dan tidak mau menggugurkan
kandungannya, Terdakwa akhirnya mempunyai niat untuk membunuh
saksi korban, untuk dapat bertemu dengan saksi korban Terdakwa
berpura-pura minta dijemput dan ingin diantarkan kerumah teman
Terdakwa. Saksi korban lalu menjemput Terdakwa dengan
mengendarai sepeda motor lalu mereka bertemu di tempat
Pembakaran, Sesampainya saksi korban disana, terdakwa lalu
meminjam Handphone milik saksi korban untuk berpura-pura
menelepon temannya. Lalu karena keadaan disekitar masih ramai,
Terdakwa mengajak saksi korban untuk berpindah tempat dan
Terdakwa membawa saksi korban ke Bendungan. Sesampai di
Bendungan, mereka sempat berbicara dan bertengkar posisi saat itu
saksi korban berhadapan dengan Terdakwa dan membelakangi
pinggiran Bendungan, Terdakwa mendorong saksi korban sehingga
terjatuh ke dalam Bendungan, lalu ketika mendengar saksi korban
berteriak minta tolong Terdakwa melempari saksi korban dengan
menggunakan batu sebanyak 4 (empat) kali. Lalu, karena Terdakwa
mengetahui ada yang datang, ia langsung menghentikan perbuatannya
dan melarikan diri. Terdakwa meninggalkan Bendungan dengan
berjalan kaki, lalu Terdakwa menelepon temannya untuk minta
dijemput.12
Bertitik tolak dari uraian-uraian diatas, maka peneliti tertarik dan
akan melakukan penelitian dengan judul: “Tindak Pidana Percobaan
Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Nomor
299/Pid.B/2019/PN.Pkl).”

B. Pokok Permasalahan

12 Putusan Mahkamah Agung Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl.


6

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka akan


dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi atau tidak unsur-unsur
dalam Pasal 338 KUHP jo Pasal 53 ayat (1) KUHP? (Studi Putusan
Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl)
2. Bagaimana pemidanaan yang dijatuhkan hakim terhadap Putusan
Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka dikemukakan tujuan penelitian
dalam sebagai berikut:
1. Untuk menggambarkan dan menganalisa telah memenuhi atau tidak
unsur-unsur dalam Pasal 338 KUHP jo Pasal 53 ayat (1) KUHP
(Studi Kasus Putusan Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl)
2. Untuk menggambarkan dan menganalisa pemidanaan yang
dijatuhkan Hakim terhadap Putusan Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl

D. Metode Penelitian
1. Obyek Penelitian
Dalam Penelitian ini, peneliti akan mengambil obyek penelitian
yaitu Penelitian tentang “Tindak Pidana Percobaan Pembunuhan
Berencana (studi Putusan Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl)”.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau yuridis
normatif, penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang
berdasarkan pada meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang
mencakup penelitian terhadap norma-norma hukum.13 Pengertian
Penelitian hukum normatif menurut Soerjono Soekanto, mencakup

13 Soerjone Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia,


2007), h.11.
7

penelitian asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi


vertikal dan horizontal, penelitian sejarah dan perbandingan hukum.14
Penggunaan penelitian secara yuridis normatif dikarenakan pada
penelitian ini yang menjadi sasaran pembahasan bagi peneliti adalah
hukum atau kaedah atau asas-asas hukum mengenai norma hukum
tentang tindak pidana yang tercantum dalam putusan nomor
299/Pid.B/2019/PN.Pkl Pasal 340 jo Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
Sifat penelitian pada pembahasan ini adalah deskriptif analitis,
penelitian deskriptif analitis dimaksudkan untuk memberikan data
yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala
lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-
hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori
lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru.15
Penelitian yang menggambarkan ketentuan-ketentuan tentang
tindak pidana yang sudah ada, dalam penelitian ini yaitu
menggambarkan mengenai tindak pidana percobaan pembunuhan
berencana dalam Putusan nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl yang
berdasarkan pada teori hukum dan peraturan perundang-undangan.

2. Data dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka
melalui hasil penelitian kepustakaan. Data sekunder dalam
penelitian ini adalah:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
dan terdiri dari norma atau kaedah dasar, peraturan dasar,
peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak
dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, dan bahan hukum dari

14 Ibid., h. 51
15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI-PRESS,2015), h.10
8

zaman penjajahan yang masih berlaku, seperti Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana.16 Pada penelitian ini penulis
menggunakan bahan-bahan hukum yang terkait dengan
penelitian, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
Putusan Pengadilan Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl.
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan
mengenai bahan-bahan hukum primer, misalnya seperti hasil
karya dari kalangan hukum.17 Pada penelitian ini penulis akan
menggunakan internet, jurnal, serta buku-buku ilmu hukum yang
terkait dengan penelitian ini. (Studi Kasus Putusan Nomor
299/Pid.B/2019/PN.Pkl)

3. Cara Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini, pengumpulan data akan dilakukan dengan
metode studi kepustakaan terhadap data sekunder. Studi
kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mencatat, menelaah
dengan membuat alasan yang bertujuan untuk mendapatkan
gambaran awal tentang permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini. 18
Peneliti mengambil data-data melalui data tertulis dari buku-buku
ilmu hukum, referensi-referensi, peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan terkait, dan mengakses data yang valid dari
internet. Pengumpulan data juga dilakukan dengan cara
mengunjungi perpustakaan seperti Perpustakaan Universitas
Trisakti dan Perpustakaan Wilayah Kota Aceh serta mempelajari
berkas atau dokumen-dokumen terkait (Putusan Pengadilan Negeri
Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl).

16 Ibid., h.52.
17 Ibid.
18 Soerjono Soekanto, Op. Cit., h. 62.
9

4. Analisis Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis secara
kualitatif, data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan metode
kualitatif untuk memperoleh jawaban atas pokok permasalahan,
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.19
Peneliti menganalisis permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini dengan cara meneliti secara hati-hati dan mendalam
sehingga dapat mendapatkan jawaban dan pemecahan dari
masalah-masalah yang diteliti dalam penelitian ini yaitu Studi Kasus
Putusan Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl.

5. Cara Penarikan Kesimpulan


Dalam pengambilan kesimpulan penulis menggunakan logika
berfikir deduktif, yang artinya metode pengambilan kesimpulan yang
bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.20
Peneliti melakukan metode ini dengan cara menganalisis
pengertian atau konsep-konsep umum yang terkait dengan
pembahasan dalam penelitian ini yaitu mengenai tindak pidana
percobaan pembunuhan berencana yang terdapat dalam Pasal 340
jo Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan
dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Nomor
299/Pid.B/2019/PN/Pkl.

E. Kerangka Konseptual
Dalam kerangka konseptual ini peneliti akan menguraikan mengenai
pengertian-pengertian berdasarkan teori dan peraturan perundang-
undangan, yaitu sebagai berikut:

19 Pedoman Penyusunan Skripsi (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2018),


h. 25.
20 Ibid., h. 5.
10

1. Pengertian Hukum Pidana


Moeljatno berpendapat, bahwa hukum pidana adalah sebagian
dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:21
a. “Menentukan perbuatan-perbuatan mana saja yang dilarang,
perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang akan
disertai dengan ancaman atau sangsi (Sic), yang sanksi tersebut
berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan
atau perbuatan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa terhadap pelaku tindak
pidana yang telah melakukan pelanggaran terhadap larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana
yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara yang bagaimana pidana itu dikenakan
terhadap yang orang yang disangka melakukan pelanggaran itu”.

2. Pengertian Tindak Pidana


Simons berpendapat, bahwa suatu tindak pidana adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana atau sanksi,
kelakuan itu bersifat melawan hukum, berhubungan dengan
kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang mampu untuk
bertanggung jawab atas kelakuan tersebut.22

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Menurut pendapat Simons, unsur-unsur tindak pidana adalah
sebagai berikut:23

21 Moeljatno, Op.Cit., h. 1.
22 Ibid., h. 61.
23 Simons, dikutip dari Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), h.26.
11

a. “Perbuatan manusia, tindak pidana meliputi perbuatan dan


akibat-akibat yang ditimbulkannya.
b. Perbuatan tersebut diancam dengan pidana
c. Bersifat melawan hukum
d. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan si pembuat
e. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu
bertanggungjawab”.

4. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana


Peraturan mengenai tindak pidana pembunuhan dan
pembunuhan berencana terdapat dalam Pasal 338 dan Pasal 340
“Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” pada Buku ke II BAB XIX,
yang berbunyi:24
Pasal 338 KUHP “Barangsiapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan penjara
paling lama limabelas tahun.”
Unsur-unsur dalam Pasal 338 KUHP, yaitu:
a. “Barangsiapa
b. Dengan sengaja
c. Merampas nyawa orang lain”
Pasal 340 KUHP “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling
lama dua puluh tahun.”
Dengan demikian, unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal
340 yaitu:
a. “Unsur barangsiapa
b. Unsur dengan sengaja

24 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


12

c. Unsur dan dengan direncanakan terlebih dahulu”


Menurut yurisprudensi, Putusan Mahkamah Agung Nomor
777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST arti direncanakan dengan mengutip
literature hukum Jerman bahwa dolus premeditatus disebut sebagai
beratene mut yang mensyaratkan tiga hal, yakni:Pertama, pelaku
memutuskan kehendak dalam keadaan tenang. Kedua, ada jangka
waktu yang cukup antara keputusan kehendak dan pelaksanaan
kehendak. Ketiga, pelaksanaan kehendak dilakukan dalam keadaan
tenang. Artinya, pelaku sudah berpikir secara matang dan terstruktur
untuk melaksanakan niat jahatnya. Dalam putusan Hoge Raad 2
Desember 1940 No. 293 mengatakan: “dengan berpikir tenang dan
menimbang dengan tenang” merupakan penentu diterapkannya
artikel 289 Sr (Pasal 340 KUHP).25
d. Unsur merampas nyawa orang lain”

5. Percobaan (Attempt/Poging)
Dalam hukum pidana percobaan melakukan kejahatan diancam
sebagai suatu perbuatan terlarang. Hal ini diatur dalam Pasal 53 ayat
(1) KUHP yang berbunyi: 26
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri.”

Dari isi Pasal 53 ayat (1) KUHP diatas, terdapat unsur-unsur yang
terkandung yaitu:
a. “Adanya niat
b. Adanya permulaan pelaksanaan

25 Putusan Mahkamah Agung Nomor 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST. Tersedia di:


https://www.academia.edu/37050679/Putusan_JESSICA_KUMALA_alias_JESSICA_KU
MALA_WONGSO_alias_JESS_777-2016_1_. 10 Maret 2020.
26 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
h. 94.
13

c. Tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendaknya”.

Pasal 53 ayat (2) “maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam


hal percobaan dikurangi sepertiga.”

6. Teori Pemidanaan
Teori pemidanaan ada 4 (empat), yaitu sebagai berikut:
a. Teori Absolut
b. Teori Relatif
c. Teori Gabungan
d. Teori Kontemporer
Terdapat beberapa macam teori Kontemporer yaitu:27
a. Teori Efek Jera
b. Teori Edukasi
c. Teori Rehabilitasi
d. Teori Pengendali Sosial
e. Teori Keadilan Restoratif

F. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab, dimana setiap bab
dibagi-bagi dalam setiap bab akan diberi gambaran secara umum
dan singkat seperti dibawah ini:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian mengenai latar belakang, pokok
permasalahan yang akan di bahas, tujuan penelitian,
metode penelitian, kerangka konseptual dan
sistematika penulisan.

27 Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., h. 42-44


14

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PIDANA,


PERCOBAAN TINDAK PIDANA, TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN PASAL 338 KUHP, TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA PASAL 340
KUHP.
Dalam bab ini merupakan hasil kajian pustaka yang
telah dilakukan oleh penulis. Dalam hal ini, penulis
akan menguraikan mengenai pengertian hukum
pidana, pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak
pidana, tindak pidana percobaan berdasarkan Pasal
53 ayat (1) KUHP, Pidana dan Pemidanaan, Teori-teori
Pemidanaan, tindak pidana pembunuhan berdasarkan
Pasal 338 KUHP, dan tindak pidana pembunuhan
berencana berdasarkan Pasal 340 KUHP.

BAB III : KASUS POSISI PUTUSAN PENGADILAN NOMOR


299/PID.B/2019/PN.PKL
Dalam bab ini penulis akan menguraikan identitas
terdakwa, penahanan, kasus posisi, tuntutan jaksa
penuntut umum dan putusan hakim, putusan
pengadilan negeri Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl.

BAB IV : ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN (STUDI KASUS


PUTUSAN NOMOR 299/PID.B/2019/PN.PKL)
Dalam bab ini penulis akan memberikan gambaran
analisis mengenai perbuatan terdakwa telah
memenuhi atau tidak unsur-unsur dalam Pasal 338
KUHP jo Pasal 53 ayat (1) KUHP (Studi Kasus Putusan
Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl) dan pemidanaan
terhadap Putusan Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl.
15

BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan-kesimpulan yang dapat
diambil dari pembahasan dan penelitian ini, serta
saran-saran yang dapat diberikan penulis sehubung
dengan permasalahan dalam putusan pengadilan
Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl.
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PIDANA, PERCOBAAN TINDAK
PIDANA, TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN PASAL 338 KUHP, TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA PASAL 340 KUHP.

A. Pengertian Hukum Pidana


Moeljatno berpendapat, bahwa hukum pidana adalah sebagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan untuk:28
a. “Menentukan perbuatan-perbuatan mana saja yang dilarang,
perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang akan disertai
dengan ancaman atau sangsi (Sic), yang sanksi tersebut berupa
pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan atau
perbuatan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa terhadap pelaku tindak
pidana yang telah melakukan pelanggaran terhadap larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana
yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara yang bagaimana pidana itu dikenakan
terhadap yang orang yang disangka melakukan pelanggaran itu”.

Pengertian hukum pidana menurut Van Hamel, yaitu hukum pidana


adalah keseluruhan dari asas-asas dan aturan-aturan yang dalam
suatu negara atau masyarakat hukum umum lainnya ditaati, dimana
mereka merupakan pemelihara ketertiban hukum umum telah melarang
semua perbuatan-perbuatan yangmana perbuatan-perbuatan tersebut
bersifat melawan hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap
aturan-aturan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus yaitu
berupa pidana.29

28 Moeljatno, Op.Cit., h. 1.
29 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit., h. 15

16
17

Moeljatno mengemukakan pengertian hukum pidana yang lebih luas,


yaitu ia mengatakan bahwa hukum pidana merupakan bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan
dasar-dasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan-perbuatan
yang tidak boleh dilakukan, perbuatan-perbuatan yang dilarang, yang
akan disertai dengan ancaman pidana atau sanksi bagi barang siapa
saja yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang itu. Kapan
dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara
bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.30 Dapat
disimpulkan bahwa pengertian hukum pidana secara luas meliputi
hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, sedangkan pengertian
hukum pidana dalam arti sempit hanya mencakup hukum pidana
materiil.31
W.L.G Lemaire memberikan pengertian mengenai hukum pidana
yaitu yang mencakup norma-norma yang berisikan segala keharusan
dan larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan
dengan suatu sanksi, sanksi tersebut berupa hukuman, yaitu suatu
penderitaan yang bersifat khusus. Maka, dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-
norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang manakah
atau hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana
terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu dan dalam
keadaan-keadaan yang bagaimana dapat dijatuhkan hukuman bagi
tindakan-tindakan tersebut.32
VOS, berpendapat mengenai hukum pidana yang diberikan sebagai
arti bekerjanya:
a. Peraturan hukum objektif (ius poenale), dibagi atas:

30 Moeljatno, Op., Cit, h. 1.


31 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit., h. 17.
32 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,
1984), h. 1-2.
18

1) Mengenai hukum pidana materil yaitu tentang syarat, siapa dab


bagaimana sesuatu dapat dipidana
2) Hukum pidana formil yaitu hukum acara pidana
b. Hukum subjektif (ius puniendi) yaitu hukum yang memberikan
kekuasaan terhdap negara atau pejabat berwenang untuk
menjatuhkan hukuman, menetapkan putusan dan melaksanakan
pidana.
c. Hukum pidana umum yaitu hukum yang berlaku bagi setiap orang
d. Hukum pidana khusus yaitu hukum yang berlaku khusus seperti
hukum pidana militer dan hukum pidana fiscal. 33

B. Pengertian Tindak Pidana


Menurut Moeljatno, perbuatan pidana atau stafbaar feit merupakan
perbuatan yang dilarang dengan suatu aturan dengan ancaman (sanksi)
yang aturan pidana bagi barang siapa yang melakukan pelanggaran
perbuatan atau suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang, sedangkan dapat dipidana bagi ditunjukan kepada
orang yang menimbulkan kejadian itu.34 Strafbaar feit juga diartikan
sebagai perbuatan yang dapat dipidana yang mana perbuatan tersebut
biasanya perbuatan yang bersifat positif, namun juga dapat bersifat
negatif yang artinya bahwa apabila suatu perbuatan tertentu tidak
dilakukan oleh seseorang padahal ia wajib untuk melakukannya,
sehingga perbuatan yang seharusnya tidak terjadi menjadi terjadi apabila
perbuatan tersebut dilakukan. 35
Menurut Simons, pidana sebagai perbuatan melawan hukum yang
berhubungan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu
bertanggung jawab. Yang dimaksud kesalahan menurut Simons disini
adalah kesalahan dalam arti yang luas, yaitu yang meliputi dolus

33 Teguh Presetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta:Rajawali Pers, 2015), h. 5-6.
34 Moeljatno, Op. Cit., h. 61.
35 Fuad Ustafa, Pengantar Hukum Indonesia, (Malang: UMM Press, 2004), h. 31.
19

(sengaja) dan culpa (alpa dan lalai).36 Strafbaar feit dirumuskan oleh
Simons sebagai suatu perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan
seseorang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja yang dapat
dipertanggung jawabkan oleh seseorang tersebut, perbuatan melawan
hukum tersebut berhubungan dengan kesalahan, lalu atas tindakannya
dan oleh undang-undang telah menyatakan bahwa suatu tindakan
tersebut merupakan suatu tindakan yang dapat dihukum.37

Jonkers mengemukakan, bahwa strafbaar feit sebagai peristiwa


pidana yaitu sebagai suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum
(wederrechtelijk) yang berkaitan dengan kesengajaan atau kesalahan
keterhubungan dan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertangung jawabkan.38

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Seseorang hanya dapat dipersalahkan sebagai telah melakukan
suatu delik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, apabila
sesorang tersebut memenuhi semua unsur-unsur dari delik yang terkait
dengan perbuatannya, seperti yang telah dirumuskan dalam undang-
undang.39 Setiap perbuatan manusia harus mencakup unsur-unsur
yang berasal dari fakta yang ada dalam suatu perbuatan yang
menimbulkan akibat karenanya. Untuk merumuskan unsur-unsur dalam
suatu delik, maka hal yang pertama kali dlihat adalah tindakan manusia
karena dengan telah dilakukannya tindakan tersebut, maka seseorang
itu telah melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-undang.40
Van Bemmelen dan Van Hattum berpendapat bahwa dalam suatu
ketentuan pidana yang menyinggung unsur-unsur pidana, tidak
semuanya unsur-unsur tersebut dijadikan unsur mutlak ketentuan

36 Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia, 1995), h. 224.
37 P.A.F Lamintang, Op., Cit, h. 185.
38 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rangkang Education, 2012), h.
20.
39 P.A.F Lamintang, Op.,Cit. h. 25.
40 Ibid, h. 192-193.
20

pidana. Melainkan hanya sebagian dari unsur-unsur tersebut yang


dijadikan unsur mutlat dari perbuatan pidana.41 Lalu, masih menurut van
Bemmelen dan van Hattum “Rumusan-rumusan delik itu hanyalah
fragmen-fragmen yang dipisah-pisahkan dari hubungannya. Pembuat
undang-undang tidak dapat berbuat hal lain, dan hanya secara skematis
saja. Perbuatan-perbuatan nyata (konkret) yang masuk dalam rumusan-
rumusan delik merupakan sekumpulan perbuatan-perbuatan yang pada
umumnya diancam dengan pidana. Karena rumusan yang fragmentasi
dan skematis tadi maka di dalamnya terdapat perbuatan-perbuatan
yang tidak semestinya ada disana, karena bukanlah merupakan
perbuatan yang tercela atau tidak dibenarkan dalam hukum”.42
Van bemmelen, Vrij, dan A. Mulder telah membuat perbedaan antara
bestanddelen van het delict dengan element van het delict.
Bestanddelen van het delict menurut van Bemmelen adalah bagian-
bagian yang terdapat di dalam rumusan delik. Sedangkan emelent van
het delict adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Buku ke-
1 KUHP atau ketentuan-ketentuan yang dapat ditemui sebagai asas-
asas hukum yang bersifat umum dan tidak terdapat di dalam rumusan
delik, ketentuan-ketentuan tersebut dipandang sebagai asas-asas yang
juga harus diperhatikan oleh hakim yang mencakup dari berbagai
elemen.43
Menurut pendapat Simons, unsur-unsur suatu tindak pidana
(strafbaar feit) adalah sebagai berikut:44
1. “Perbuatan manusia (positif atau negatif), melakukan perbuatan atau
tidak melakukan perbuatan atau memberikan
2. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld)
3. Melawan Hukum (onregmating)
4. Dilakukan dengan kesalahan

41 Eddy O.S Hiariej, Op., Cit. h.129-130.


42 Ibid.
43 P.A.F Lamintang, Op. Cit, h. 196.
44 Sudarto, Hukum Pidana I, (Bandung: Alumni, 2007), h. 41.
21

5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.

Menurut Moeljatno, unsur perbuatan pidana terbagi atas: 45


a. “Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang obyektif
e. Unsur melawan hukum yang subjektif”

Menurut Van Hamel, bahwa strafbaarfeit adalah een waterlijk


omschre en mensschelijke gedraging onrechtmatig strafwardig en aan
schuld te witjen, unsur-unsur tindak pidana antara lain :
a. Perbuatan itu dirumuskan dalam peraturan undang-undangan
b. Sifatnya melawan hukum
c. Dilakukan dengan suatu kesalahan
d. Dan patut dipidana. 46
Simon membagi unsur-unsur tindak pidana dalam unsur subyektif
yang artinya dari dalam diri orang tersebut dan unsur obyektif yaitu dari
luar diri orang tersebut, sebagai berikut :
1) Unsur Subjektif
Unsur subjektif merupakan unsur yang melekat dari dalam diri
pelaku atau dapat dikatakan berhubungan dengan diri si pelaku, dan
termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu yang terkandung di
dalam hatinya.47 Unsur subjektif dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Kemampuan bertanggung jawab


Elemen pertama dari kesalahan adalah kemampuan
bertanggung jawab atau toerekeningsvatbaarheid. Dalam

45 Teguh Prasetyo, Op. Cit, h. 52


46 Sudarto, Hukum Pidana 1, Cetakan 1, (Semarang: Yayasan Prof Sudarto, 1990),
h. 70.
47 Ibid, 192.
22

memberikan definisi terkait pertanggungjawaban, van Hamel telah


memberi ukuran mengenai kemampuan bertanggung jawab yang
meliputi tiga hal:
1) “Mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari
perbuatannya.
2) Mampu untuk menyadari bahwa perbuatan itu berlawanan
dengan ketertiban masyarakat.
3) Mampu untuk memutuskan "kehendak berbuat”.48

Kemampuan bertanggung jawab dalam KUHP tidak dirumuskan


secara positif, melainkan dirumuskan secara negatif. Pasal 44
KUHP menyatakan:49
Tidak mampu bertanggung jawab:
(1) “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya
cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau
terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.

(2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat


dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya
cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka
hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke
dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu
percobaan.

(3) Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri”.

Kemampuan bertanggung jawab yang dikemukakan menurut


pendapat beberapa para ahli yaitu:

1. Menurut Pompe “Pertanggungjawaban bukanlah unsur


perbuatan pidana. Hanya merupakan suatu anggapan. Dapat
dimengerti, bahwa kebanyakan orang berpikir demikian.
Keadaan tersebut, meskipun tidak jelas, dinyatakan sebagai

48 Eddy O.S Hiariej, Op., Cit, h. 163


49 Ibid, h. 164-165.
23

normal. Tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana


dirumuskan dalam Pasal 37 (Pasal 44 KUHP) adalah suatu dasar
penghapus pidana. Oleh karena itu (setelah penyidikan), tetap
meragukan mengenai dapat dipertanggungjawabkan, pelaku
tetap dapa dipidana.50
2. Menurut Simons, yang berpendapat bahwa seorang pelaku
tindak pidana mampu bertanggungjawab apabila:51
a. Ia mampu mengetahui ataupun menginsyafi bahwa
tindakannya itu melawan hukum;
b. Ia dapat memutuskan kehendaknya sesuai dengan
kesadaran tersebut.
3. Menurut Moeljatno, bahwa arti kemampuan bertanggung jawab
yaitu:52

a. Kemampuan untuk memilih atau membedakan antara


perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk, yang
disesuaikan dalam hukum dan yang bertentangan dengan
hukum.

b. Kemampuan untuk dalam menentukan kehendaknya


menurut kesadaran tentang baik atau buruknya perbuatan
yang dilakukan.
4. Menurut Van Hamel, kemampuan bertanggungjawab adalah
suatu keadaan normalitas kejiwaan dan kematangan
(kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemampuan yaitu: 53

a. Mengerti akibat nyata dari tindakannya/perbuatan sendiri;

50 Ibid,. h. 167.
51 Teguh Presetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta:Rajawali Pers, 2015) h. 85.
52 Moeljatno, Op., Cit, h. 178.
53 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit, h. 163
24

b. Mampu untuk menyadari, bahwa tindakannya tersebut


menurut pandangan masyarakat tidak boleh dilakukan
(bertentangan dengan ketertiban masyarakat);
c. Mampu untuk memutuskan kehendaknya atas perbuatan-
perbuatan tersebut.

b. Kesalahan pelaku tindak pidana


Unsur kesalahan ini berkaitan dengan unsur
pertanggungjawaban pelaku terhadap perbuatan yang telah
dilakukannya, termasuk perbuatan pidana atau delik. 54 Mezger
mengartikan kesalahan sebagai keseluruhan syarat yang memberi
dasar pencelaan pribadi terhadap pelaku perbuatan pidana.
Kesalahan selalu melekat pada orang yang berbuat salah
sebagaimana adagium facinus quos inquinate aequat.
Berdasarkan definisi tersebut kesalahan bertalian dengan dua hal,
yaitu sifat dapat dicelanya (verwijtbaarheid) perbuatan dan sifat
dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid) perbuatan yang melawan
hukum.55

Menurut Moeljatno, orang dapat dikatan bersalah apabila ia


pada saat melakukan perbuatan pidana, dilihat dari pandangan
masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu mengapa melakukan
perbuatan yang merugikan masyarakat, padahal ia mampu
mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang
tidak benar. 56

Menurut Simons, menyatakan seseorang yang menurut


pembentuk undang-undang dianggap bahwa ia berbuat salah, jika

54 Teguh Prasetyo, Op, Cit., h. 77.


55 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit, h.158.
56 Ibid, h. 79-80.
25

dia dapat menyadari perbuatannya melawan hukum dan sesuai


dengan itu dia dapat menentukan kehendak perbuatan tersebut.57

Mengenai kesalahan, dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:


1. Kesengajaan (Opzet)
Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan (opzet)
terdiri dari tiga macam yaitu:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Dalam kesengajaan yang bersifat tujuan ini, seseorang
yang melakukan perbuatan pidana dapat di pertangung
jawabkan perbuatannya dan dengan mudah dapat
dimengerti oleh masyarakat. Dalam suatu tindak pidana
apabila ada kesengajaan seperti ini maka si pelaku layak
dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya
kesengajaan yang bersifat tujuan ini, artinya si pelaku yang
melakukan perbuatan pidana memang benar-benar
menghendaki untuk mencapai suatu akibat, dan akibat
tersebut menjadi pokok alasan diadakan ancaman
hukuman ini.
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan secara keinsyafan kepastian ini, ada apabila
si pelaku melakukan perbuatannya dan tidak bertujuan
untuk tercapainya akibat yang menjadi dasar dari delik
tersebut, tetapi si pelaku tahu benar bahwa perbuatannya
itu pasti akan menciptakan suatu akibat.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini hanya bayangan suatu kemungkinan
akan akibat yang terjadi dari suatu perbuatan, tidak disertai
bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang
bersangkutan. Lalu, mengenai kealpaan karena

57 Moeljatno, Op. Cit, h. 160.


26

merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan


dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan
seseorang.58
Beberapa pakar hukum pidana memberikan pendapat
bahwa tidak mungkin seseorang itu menghendaki akibat dari
perbuatannya melainkan hanya bisa memnbayangkan akibat
terssebut, kekuasaannya yang mempengaruhi sebab akibat
itu.59 Dalam hal ini ada dua aliran dalam kesengajaan yaitu:
1) “Teori kehendak (wilstheorie), yaitu teori ini paling tua dan
pada masa timbulnya teori-teori yang lain, mendapat
pembelaan kuat dari Von Hippel seorang guru besar di
Gottingen, Jerman. Simons menganut teori ini yang
berasal dari Belanda.
2) Teori pengetahuan (voorstellingtheorie) yang pada tahun
1910 dikemukakan oleh Frank, seorang guru besar di
Tubingen. Jerman, Frank mendapatkan dorongan kuat
dari von Listz. Von Hamel adalah penganut teori ini yang
berada di Nederland.60
3) Menurut teori kehendak kesengajaan adalah suatu
kehendak yang mengarah pada terwujudnya perbuatan
seperti dirumuskan dalam wet (de op verwerkelijking der
wettelijke omschrijving gerichte wil), sedangkan menurut
yang lain, kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan
perbuatan dengan mengetahui unsur-unsur yang
diperlukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bij
voorstelling van de tot de wettelijke omschrijving
behoorende bestanddelen)”.61

58 Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Dalam Hukum Pidana,


(Jakarta: Bina Aksara, 1993), h. 51.
59 Teguh Prasetyo, Op. Cit, h. 96.
60 Moeljatno, Op. Cit, h. 185.
61 Ibid, h. 186.
27

2. Kelalaian (Culpa)
Kelalaian (culpa) berada diantara sengaja dan kebetulan,
bagaimanapun juga dibandingkan dengan sengaja culpa
dipandang lebih ringan, karena hal itu delik culpa merupakan
delik semu (quasideliet) dan diadakannya pengurangan
pidana dalam delik culpa.62 Dalam Memorie van Toelichting
yang memandang culpa semata-mata pengecualian dolus
sebagai tindakan umum dan adanya keadaan yang
sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang
yang mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang
sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga
undang-undang juga bertindak terhadap kekurang hati-hatian,
sikap sembrono atau sikap teledor.63
Kealpaan dibedakan menjadi 2 bentuk, yaitu:
1) Kealpaan dengan kesalahan (bewusre schuld)
Kealpaan dalam hai ini adalah bahwa pelaku telah
menduga akan timbulnya suatu akibat tetapi akibat itu
tetap timbul meskipun ia telah berusaha untuk
mencegahnya
2) Kealpaan tanpa kesadaran (on bewuste schuld)
Kealpaan dalam hal ini, adalah bahwa pelaku tidak
menduga atau membayangkan akan timbulnya suatu
akibat, yang akibat tersebut dilarang oleh undang-undang
yang memiliki ancaman hukuman. Padahal seharusnya ia
memperhitungkan akan timbul suatu akibat. 64

Kelalaian atau culpa dibagi atas:

62 Moeljatno, Op. Cit, h. 46.


63 Jan Remmelink, dikutip dari Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,
(Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016), h. 187.
64 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 125
28

a) Culpa lata (gross fault/neglect) yang berarti kesalahan


besar atau sangat tidak hati-hati, atau dapat disebut
dengan kelalaian berat.
b) Culpa levis (ordinary fault/neglect) yang berarti sangat
ringan atau kecil atau dapat disebut dengan kelalaian
ringan.65

2) Unsur Objektif
Unsur objektif merupakan unsur yang ada kaitannya
dengan keadaan, artinya adalah didalam keadaan bagaimana
tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.66 Unsur objektif
dari suatu tindak pidana itu adalah:
1. Perbuatan manusia
2. Akibat
3. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
4. Kualitas dari si pelaku, kausalitas, yakni hubungan antara
sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu
kenyataan sebagai akibat.67

a. Perbuatan manusia

Perbuatan manusia adalah perbuatan melanggar


ketentuan hukum yang menimbulkan suatu kesalahan
atau melanggar hukum adalah suatu tindakan atau
larangan dengan melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu/diam.68

65 Jan Remmelink, Hukum Pidana (Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab
Undang-Undang Pidana Indonesia), (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003), h. 179.
66 P.A.F Lamintang dan Fransiscus Theojunior, Op. Cit, h. 192.
67 Ibid, h. 192-193.
68 Mety Rahmawati, Dasar-Dasar Penghapus Penuntutan, Penghapus Peringanan
dan Pemberat Pidana dalam KUHP, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2014), h. 4.
29

Van Hattum berpendapat, perbuatan itu sebagai dasar


fisik/jasmaniyah dari setiap delik, benar-benar
jasmaniyah, jadi tanpa unsur subjektif maupun normatif
kita mengetahui tindakan yang dilarang atau di haruskan
itu dari kata kerja yang terdapat dalam rumusan delik
yang bersangkutan, dari kata kerja harus di ambil
perbuatan jasmaniyah murni yang berupa suatu gerakan
badan, gerakan dari badan ini tidak ditentukan secara
normatif, akan tetapi hanya menggambarkan suatu
keadaan saja dan ditentukan oleh tujuan yang hendak
dicapai dengan perbuatan itu.69
Menurut Pompe, perbuatan yang bisa menjadi unsur
pidana adalah perbuatan yang dapat dilihat dari luar
diarahkan kepada tujuan menjadi sasaran norma serta
memiliki penghubung untuk dapat atau tidaknya seorang
pelaku tindak pidana di pidana atas perbuatannya.70
Terhadap apa yang di ucapkan disebut act atau suatu
perbuatan yang bersifat aktif, contohnya perbuatan yang
mengandung unsur Pasal 362 KUHP, bahwa pelaku
tindak pidana menghendaki untuk mengambil suatu
barang milik orang lain, mengenai bagaimana sikapnya
terhadap suatu hal atau kejadian disebut Omission atau
suatu perbuatan yang bersifat pasif. Perbuatan pasif ini
umumnya tidak tergolong suatu perbuatan yang dapat
dipidana.71
Perbuatan manusia dikategorikan menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut:
a) Perbuatan Aktif atau Komisi

69 Sudarto, Op. Cit, h. 64.


70 Teguh Prasetyo, Op. Cit, h. 55.
71 Leden Marpaung, Asas-Asas Hukum Pidana, (Bandung: PT Redaksi Refika,2002),
h. 31.
30

Perbuatan aktif sering diartikan sebagai perbuatan


positif yaitu perbuatan yang sengaja dilakukan dan
dia mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah
perbuatan yang dilarang atau perbuatan melanggar
hukum sehingga atas pelanggaran tersebut
dikenakan sanksi hukuman kepada pelakunya.
b) Perbuatan Pasif atau Omisi
Perbuatan pasif sering diartikan sebagai perbuatan
negative yaitu suatu perbuatan yang membiarkan
atau mendiamkan suatu peristiwa pidana terjadi.
Artinya bahwa seseorang yang pasif itu apabila ia
melihat suatu peristiwa pidana, namun ia diam saja
dan melalaikan hal tersebut tanpa bertindak agar
peristiwa pidana tersebut tidak terjadi.72

b. Akibat perbuatan manusia

Suatu perbuatan yang dilakukan atau dilanggar


pastilah akan menghasilkan akibat, yang akibat yang
terjadi tersebut tergantung pada perbuatan apa dan
bagaimana perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku.
Untuk menentukan siapa yang harus dihukum atau
bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukan
diperlukan ajaran kausalitas.
Teori kausalitas adalah teori yang mencari hubungan
sebab akibat. Tanpa adanya teori kausalitas antara
akibat tertenu dengan perilaku si pelaku yang
menimbulkan akibat tadi, maka tidak dapat dibuktikan

72 Moeljatno, Op. Cit, h. 59


31

bahwa orang itu yang melakukan delik apalagi di


mintakan pertanggungjawaban baginya.73
Von Buri pertama kali yang mencetuskan teori
kausalitas, yaitu teori conditio qua non. Von Buri
menyatakan bahwa faktor, yaitu semua syarat yang turut
serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat
weggedacht (dihilangkan) dari rangkaian faktor-faktor
yang bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat
itu. Penganut teori Von Buri adalah Van Hamel yang
menyatakan bahwa teori Von Buri dapat diterima
walaupun harus diimbangi dengan restriksi
(pembatasan). Menurut Van Hamel restriksi tersebut
dapat ditemukan dalam pelajaran tentang kesengajaan
dan kealpaan (opzet en schuldleer).74
Teori-teori kausalitas setelah Von Buri adalah teori
mengindividualisasikan (individualiserende theorien)
yang di pelopori oleh Birkmeyer. Lalu muncul teori baru
yaitu teori mengeneralisasi (generaliserende theorie).75
Teori mengeneralisasi ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga)
yaitu:
1) Teori adaequaat dari Von Kries. Teori ini disebut teori
generalisasi yang subyektif adaequaat, menurut Von
Kries yang menjadi penyebab dari rangkaian faktor-
faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik, hanya
ada satu sebab yang dapat diterima, yaitu yang telah
dapat diketahuo oleh si pembuat sebelumnya.
2) Teori obyektif – nachttraglicher Prognose dari
Rumeling. Teori ini menurut Rumeling bahwa yang

73 ibid, h. 96
74 Andi Hamzah, Op. Cit, h. 177.
75 Ibid, h. 179.
32

menjadi sebab atau akibat adalah faktor yang obyektif


yang diramalkan dari rangkaian faktor-faktor yang
berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu
terjadi. Yang menjadi tlak ukur teori ini adalah bukan
ramalan tetapi menetapkan harus timbul suatu akibat.
Jadi, akibat itu walau bagaimanapun harus terjadi
dengan cara mengingat keadaan-keadaan obyektif
yang ada pada saat sesudah terjadinya delik.
3) Teori adaequaat oleh Traeger. Teori ini menurut
Traeger bahwa akibat delik haruslah in het algemeen
voorzienbaar yang artinya adalah pada umumnya
dapat disadari sebagai suatu yang mungkin sekali
dapat terjadi.76

Ajaran Relevansi, ajaran ini dipelopori oleh


Langenmeijer dan Mezger. Ajaran ini dimulai dengan
menginterprestasi rumusan delik yang bersangkutan.
Remmelink memiliki pandangan yang menggabungkan
beberapa pandangan di atas. Menurut Rammelink
kausalitas harus dikaitkan dengan pandangan atau
kehendak dari pembuat undang-undang dan menurut
pengalaman umum yang berlaku pada saat terjadinya
delik. Dengan kata lain, bahwa ajaran relevansi dan
adekuat yang objektif digunakan dalam menentukan
sebab. Meskipun adakalanya kausalitas dapat juga
disebabkan faktor pengetahuan manusia berperan dalam
penentuan hubungan sebab akibat.77

76 Ibid, h. 179-180.
77 Ahmad Sofian, Ajaran Kausalitas Hukum Pidana, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2018), h. 117.
33

c. Melawan hukum

Dengan dinyatakannya suatu perbuatan yang dapat


dipidana maka pembentuk undang-undang
memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu
sebagai bersifat melawan hukum atau selanjutnya akan
dipandang demikian. Dipidananya sesuatu yang tidak
bersifat melawan hukum tidak ada artinya.78
Melawan hukum menurut Simons, hanya ada satu
pandangan yang dapat diterima mengenai adanya
melawan hukum bahwa ada kelakuan yang bertentangan
dengan hukum, dan istilah melawan hukum menunjuk
hanya pada arti yang terakhir. Hukum yang dituju pada
perbuatan tersebut tidak harus suatu hak yang subjektif
tetapi juga dapat merupakan suatu hak pada umumnya.
Mana yang benar, tergantung pada sifat perbuatan
pidana dan tergantung pada rumusan pembentuk
undang-undang untuk istilah tersebut.79
Unsur melawan hukum berdasarkan sifat melawan
hukum, maka doktrin membedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
1) Sifat melawan hukum formiil memiliki arti bahwa
suatu perbuatan yang sudah diatur dalam undang-
undang. Ini artinya bahwa perbuatan melawan
hukum sudah tercantum dalam hukum yang tertulis
misalnya di dalam KUHP.
2) Sifat melawan hukum materiil
Sifat melawan hukum materiil bahwa perbuatan
melawan hukum yang bersandar pada asas umum

78 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit, h. 223.


79 Ibid, h. 233.
34

yan g ada di dalam masyarakat. Ini artinya bahwa


perbuatan melawan hukum tersebut belum
termaktub di dalam undang-undang.80
Sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya
memiliki 2 penjelasan, yakni:
1) Sifat melawan hukum materiil dalam hal negatif
yaitu mengenai hal-hal melawan hukum yang diatur
diluar undang-undang ini berarti bahwa apabila
perbuatan tersebut terbukti telah memenuhi unsur-
unsur yang ada dalam suatu delik tetapi perbuatan
tersebut tidak berlawanan dengan rasa keadilan
dalam suatu masyarakat, maka ini berarti bahwa
perbuatan tersebut tidak bisa dipidana dengan
dasar alasan pengapus sifat melawan hukum. 81

sebagai alasan pembenar dari perbuatan pidana


tersebut yang mana bila terdapat suatu
ketidakpastian dalam suatu hal delik namun disisi
lain terdapat hal-hal yang bertentangan dengan
rasa keadilan masyarakat, maka pelaku wajib
dinyatakan bebas dan tidak bersalah.
2) Sifat melanggar hukum materiil dalam hal yang
positif bertentangan dengan asas legalitas. 82

Dalam hal ini suatu perbuatan tetap dikatakan


sebagai suatu delik meskipun dalam undang-
undang tidak nyata diancam apabila hal tersebut
nyata bertentangan dengan hukum atau hal lain
yang diatur diluar undang-undang. Ini artinya bahwa

80 Teguh Prasetyo, Op.Cit., h. 71-71.


81 Andi Hamzah, Op. Cit, h. 140.
82 Eddy O.S Hariej, Op.Cit, h. 203.
35

hukum yang tidak tertulis diakui sebagai sumber


hukum yang positif. 83
Arti istilah sifat melawan hukum terdapat tiga pendirian,
yaitu:
1) Bertentangan dengan hukum
Pengertian sifat melawan hukum adalah
bertentangan atau berlawanan dengan hukum
pada umumnya, akian tetapi dalam hubungan
bersifat melawan hukum sebagai salah satu unsur
delik. Jika ada pertentangan mengenai ada atau
tidak adanya sifat melawan hukum dari suatu
perbuatan, hakim tetap akan terikat pada
perumusan Undang-Undang dalam rangka usaha
pembuktian.
2) Bertentangan dengan hak orang lain
Artinya jika perbuatan yang dilakukan telah
bertentangan dengan hak orang lain yang dijamin
oleh hukum (termasuk tapi tidak terbatas pada hak
yang bersifat pribadi, kebebasan, hak kebendaan,
kehormatan, nama baik ataupun hak perorangan
lainnya).
3) Tanpa kewenangan atau tanpa hak
Artinya orang ataupun Negara, tidak mempunyai
kewenangan untuk mengambil nyawa orang,
dimana yang berhak mengambilnya ialah Tuhan
sang pencipta, manusia tidak mempunyai hak
untuk itu.84

83 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, dalam Chairul Huda, Dari Tiada Pidana
Tanpa Kesalahan‘ Menuju Kepada ’Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan’, (Jakarta: Kencana, 2008),141.
84 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit, h. 241-243.
36

c. Locus delicti, Tempus delicti, dan Keadaan-keadaan


a) Locus delicti
Locus Delicti berarti tempat yaitu tempat dimana tindak
pidana dilakukan dan untuk mengetahui pengadilan mana
yang berhak untuk mengadili tindak pidana tersebut. 85
Locus delicti dalam hukum pidana perlu diketahui untuk:
1. Menentukan apakah hukum pidana yang ada di
Indonesia berlaku atau tidak terhadap perbuatan
pidana tersebut. Ini terhubung dengan Pasal 2-8
KUHP.
2. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang
harus mengurus perkaranya. Ini berhubungan dengan
kompetensi relatif.86

Ada dua aliran dalam menentukan locus delicti:87


1) Aliran yang menentukan hanya satu tempat terjadinya
perbuatan pidana.
2) Aliran yang menentukan di beberapa tempat terjadinya
suatu perbuatan pidana.
Berdasarkan aliran Pertama, ada dua teori yaitu leer
der lichamelijk daad atau teori tentang tempat dimana
tindakan atau kelakuan terjadi dan leer van instrument
atau teori instrumen.88
Pada aliran Kedua, dapat memilih untuk menggunakan
leer der lichamelijk atau teori akibat.89
(a) Leer der lichamelijk daad atau teori perbuatan materiil
atau perbuatan jasmaniah. Menurut teori ini, locus

85 Teguh Prasetyo, Op. Cit, h. 63.


86 Moeljatno, Op. Cit, h. 85.
87 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit, h. 298.
88 Ibid.
89 Ibid.
37

delicti adalah tempat di mana tindakan atau kelakuan


terjadi. Contohnya X berada dibatas kota A menembak
Y yang berada di kota B dengan menggunanakan
senjata laras Panjang dan Y mati seketika. Maka locus
delicti berada di kota A.
(b) Leer van instrument atau teori instrumen. Menurut
teori ini, locus delicti ditentukan oleh alat yang
dipergunakan dan dengan alat itu perbuatan pidana
diselesaikan. Leer van instrument ini merupakan
perluasan dari Leer der lichamelijk daad. Contohnya X
memasang bom waktu di kota A, setelah itu X kembali
kerumahnya di kota B, beberapa jam kemudian bom
tersebut meledak dan menelan korban jiwa, maka jika
dihubungkan dengan teori instrument locus delictinya
adalah kota A.
(c) Teori akibat, yang menyatakan bahwa locus delicti ada
pada tempat di mana akibat perbuatan pidana itu
terjadi. Aliran kedua ini boleh memilih locus delicti
antara tempat di mana perbuatan dimulai dengan
tindakan (leer der lichamelijk daad) atau tempat di
mana akibat perbuatan pidana itu terjadi (teori akibat).
Contohnya X berada dibatas kota A, menembak Y
yang berada di kota B dengan menggunakan senjata
laras Panjang dan Y mati seketika, maka locus delicti
berada di kota B. aliran kedua ini boleh memilih locus
delicti antara tempat dimana perbuatan dimulai
dengan tindakan atau tempat dimana akibat perbuatan
pidana itu terjadi (teori akibat). 90

90 Ibid, h. 299-300.
38

b) Tempus delicti
Tempus delicti adalah waktu dilakukannya perbuatan
pidana, artinya waktu kelakuan dan waktu akibat. Jadi,
boleh dipilih tempat dan dimulainya kelakuan hingga
berakhirnya akibat.91
Menurut Mezger, tempus delicti ini tidak mungkin
diadakan jawaban yang sama untuk semua keperluan,
maka haruslah dibedakan menurut maksudnya yaitu:
1. Untuk keperluan kadaluwarsa dan hak penuntutan
yang perlu ialah waktu perbuatan seluruhnya terjadi,
jadi pada waktu sesudah terjadinya akibat.
2. Untuk keperluan, apakah aturan-aturan hukum pidana
berlaku atau tidak, dan untuk penentuan mampu atau
tidaknya untuk bertanggung jawa, atau ada tidaknya
perbuatan yang bersifat melawan hukum, tempus
delicit adalah waktu melakukan kelakuan dan waktu
terjadinya akibat di sini tidak mempunyai arti.92
Mengenai waktu tindak pidana, ada lima hal waktu
yang menentukan terjadinya delik, yaitu:
1) Menyangkut berlakunya Hukum pidana (Pasal 1 ayat
1 KUHP), yaitu Asas Legalitas, tidak ada suatu
perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan
pada kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang mendahuluinya.
2) Berlakunya peradilan anak Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012, apakah anak itu sudah dewasa pada saat
melakukan delik.
3) Menyangkut ketentuan residive

91 Ibid, h. 88.
92 Ibid, h. 89.
39

4) Menyangkut lewat waktu (verjaring) pada dasarnya


kadaluwarsa di hitung mulai hari setelahnya
5) Rumusan delik sendiri menentukan pencurian pada
waktu malam dan seterusnya, pencurian pada waktu
banjir, gempa dan seterusnya.93

c) Keadaan-keadaan
Salah satu unsur delik secara objektif yaitu keadaan-
keadaan. Keadaan disini maksudnya adalah keadaan-
keadaan yang menyertai suatu perbuatan pada saat
perbuatan tersebut dilakukan dan keadaan yang datang
kemudian sesudah perbuatan terebut dilakukan.94
Keadaan-keadaan tersebut memiliki perbedaan:
(1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan.
Keadaan ini menyertai suatu perbuatan pada waktu
perbuatan tersebut dilakukan, yang merupakan
keadaan penyerta yang dirumuskan dalam suatu
perbuatan pidana. Contohnya:

(a) Cara perbuatan dilakukan atau sarana yang dipakai


dalam melakukan perbuatan tersebut. Hal ini dapat
ditemukan dalam pasal 211, 285 dan 289 KUHP,
yaitu “memaksa dengan kekerasan atau dengan
ancaman kekerasan”, pasal 378 KUHP yaitu
dengan menggunakan nama palsu
(b) Waktu dan tempat dilakukan perbuatan pidana. Hal
ini dapat dilihat pada pasal 124 KUHP yaitu
mengenai dalam keadaan perang.
(c) Subjek dan objek yang ditentukan dalam
perumusan delik. Terdapat pada pasal 307 KUHP

93 Andi Hamzah, Op. Cit, h. 139.


94 Leden Marpaung, Op.Cit., h 74.
40

yaitu mengenai sebagai seorang ibu dan pasal 294


ayat (2) sub.2.e, yaitu mengenai seorang dokter,
pendidik atau pengawas. 95
(2) Keadaan sesudah perbuatan dilakukan
Keadaan semacam ini disebut sebagai “syarat
penyertaan” agar pelaku dapat dihukum. Jika dilihat
mengenai “keadaan-keadaan yang timbul kemudian”
dengan “perbuatan”, sebenarnya perbuatan itu telah
selesai. Sehingga dapat dikatakan bahwa itu
merupakan “akibat dari suatu perbuatan”. Perbuatan
baru dapat dikatakan menajdi delik apabila terjadi
suatu akibat yang ditentukan. 96
(3) Keadaan yang memberatkan
Faktor pemberatan pidana dapat dibedakan menjadi:
a) Legal Aggraving Circumstances, yaitu faktor
pemberatan pidana yang diatur dalam undang-
undang, yang terdiri dari:
1. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
yang dirumuskan sebagai unsur tindak pidana,
sebagaimana pendapat moeljatno, bahwa
“keadaan tambahan yang memberatkan
pidana” merupakan salah satu unsur atau
elemen perbuatan pidana.
2. Perbuatan pidana yang dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan;
b) Judicial Aggraving Circumstances, yaitu keadaan-
keadaan memberatkan yang penilaiannya
merupakan kewenangan pengadilan.97

95 Ibid.
96 Ibid, h. 75.
97 Moeljatno, Op, Cit. h. 69.
41

D. Percobaan (Attempt/Poging)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya merumuskan
batasan tentang kapan dapat dikatakan telah adanya suatu percobaan
untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu dalam Pasal 53
(1) yang berbunyi sebagai berikut:98
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri”.
Percobaan yang dalam Bahasa Belanda disebut “poging”, menurut
doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai, tetapi belum selesai
atau belum sempurna.99

Mengenai sifat percobaan terdapat dua pandangan, yaitu:


1) Percobaan dipandang sebagai Strafausdehnungsgrund atau
strafuitpreidingsgund (dasar/alasan memperluas dapat dipidananya
orang). Pada pandangan ini, tetap dapat dipidana seseorang yang
melakukan percobaan tindak pidana, walaupun perbuatan tersebut
tidak memenuhi semua unsur delik, tetapi memenuhi semua unsur
dalam rumusan Pasal 53 KUHP. Jadi, sifat dari percobaan ini adalah
untuk memperluas dapat dipidananya seseorang, bukan untuk
memperluas rumusan delik. Dalam pandangan ini, percobaan
dipandang sebagai delik yang tidak sempurna (onvolkomen
delictsvorm) bukan dipandang sebagai bentuk delik yang berdiri
sendiri (delictum sui generis).
2) Percobaan dipandang sebagai Tatbestandausdehnungsgrund
(dasar/alasan memperluas dapat dipidananya perbuatan). Pada

98 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, h. 1.


99 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2019), h. 151.
42

pandangan ini, percobaan bukan merupakan bentuk delik yang tidak


sempurna melainkan delik yang sempurna dalam bentuk yang
khusus, dan merupakan delik tersendiri (delictum sui generis).
Menurut pandangan ini percobaan melakukan suatu tindak pidana
merupakan satu kesatuan yang lengkap dan bulat.100

Dasar patut dipidananya percobaan terdapat dua teori yaitu sebagai


berikut:
1) Teori subjektif
Berdasarkan teori subjektif, dasar patut dipidananya
percobaan terletak pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari
si pembuat.
2) Teori objektif
Berdasarkan teori objektif, dasar patut dipidananya percobaan
terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si
pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu sebagai berikut:
a) Teori objektif-formil, teori ini menitikberatkan sifat berbahayanya
perbuatan itu terhadap tata hukum.
b) Teori objektif-materiil, teori ini menitikberatkan pada sifat
berbahayanya perbuatan terhadap kepentingan/benda hukum.
3) Teori campuran
Menurut teori campuran, melihat dasar patut dipidananya
percobaan dari dua segi, yaitu: sikap batin si pembuat yang
berbahaya (segi sukbjektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan
(segi objektif).101
Unsur-unsur percobaan yang terdapat di dalam Pasal 53 ayat (1)
KUHP, yaitu:
a. Adanya niat
b. Adanya permulaan pelaksanaan

100 Ibid, h. 2-3.


101 Ibid, h. 5-6.
43

c. Tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata karena


kehendak sendiri.

a) Niat
Para sarjana seperti Simons, van Hamel, van Dijck, van
Hattum, Hazewinkel Suringa, Jonkers, Mezger, dan
Langemeyer berpendapat bahwa unsur niat sama dengan
sengaja dalam segala tingkatan atau coraknya. Sedangkan
menurut VOS, ia hanya mengartikan secara sempit yaitu niat
sama dengan kesengajaan dengan maksud (opzet
alsoogmerk) jadi tidak meliputi kesengajaan dengar sadar
kepastian (opzet met
zekerheldsbewustzijn/noodzakelijkheidsbewustzijn) dan
kesengajaan dengan sadar kemungkinan (voorwaardelijk
opzet atau dolus eventualis).102

Mengenai unsur niat, Moeljatno berpendapat bahwa:


a. Niat tidak boleh disamakan dengan kesengajaan, melainkan
niat dapat berubah menjadi kesengajaan secara potensial jika
sudah dilaksanakan menjadi suatu perbuatan yang dituju,
dalam hal telah melakukan semua rangkaian perbuatan untuk
kejahatan, akan tetapi tidak timbul akibat yang dilarang
(percobaan selesai/Ivoltooide poging), pada saat itu pula niat
akan menjadi serratus persen menjadi kesengajaan dan akan
sama dengan delik yang selesai.
b. Tetapi, apabila rangkaian perbuatan untuk kejahatan belum
dilakukan semua, maka niat tersebut masih ada dan hanya
merupakan sikap batin yang memberikan arah kepada
perbuatan, yaitu subjective onrechtselement).

102 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, h. 7-8.


44

c. Maka, niat tidak sama dan tidak dapat disamakan dengan


kesengajaan, isi dari kesengajaan jangan diambil untuk isi
dari niat karena tidak dapat disamakan. Jika suatu kejahatan
muncul, perlu ada pembuktian tersendiri yaitu bahwa isi yang
tertentu tersebut sudah ada sejak niat belum dilaksanakan
sebagai suatu perbuatan.103

Menurut Moeljatno, niat dalam delik percobaan dapat


mempunyai 2 (dua) arti:
1) Dalam hal percobaan selesai (percobaan lengkap/voltooide
poging/completed attempt) niat sama dengan kesengajaan;
2) Dalam hal percobaan tertunda ( percobaan terhenti atau tidak
lengkap/geschorste poging/imcomplete attempt), niat hanya
merupakan unsur sifat melawan hukum yang subjektif
(subjective onrechts-element).104

b) Permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering)


Menurut Van Hamel, penganut teori subjektif, bahwa
permulaan pelaksanaan itu ada jika dari perbuatan itu telah
terbukti kehendak yang kuat dari pelaku untuk melaksanakan
perbuatannya.105
Menurut Simons yang bertolak dari pandangan atau teori
percobaan yang objektif materiil, ia berpendapat bahwa:
a. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila
telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik.
b. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada apabila
telah dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya

103 Ibid., h. 9
104 Ibid., h. 10.
105 Teguh Prasetyo, Op. Cit. h. 156.
45

langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh


Undang-undang tanpa memerlukan perbuatan lain.106

Menurut Moeljatno, dikatakan telah ada perbuatan


pelaksanaan apabila seseorang telah melakukan perbuatan:
a. Yang secara objektif mendekatkan pada suatu kejahatan
tertentu
b. Secara subjektif tidak ada keragu-raguan lagi
delik/kejahatan mana yang diniatkan atau dituju, dan
c. Perbuatan itu sendiri bersifat melawan hukum.107

Untuk menentukan suatu perbuatan melawan hukum atau


tidaknya Moeljatno mengatakan bahwa segi subjektif dan segi
objektif Bersama-sama mempunyai pengaruh timbal balik
menurut keadaan dari tiap perkara. Misalnya ada perbuatan
lahir sepintas yang merupakan perbuatan pelaksanaan
namun jelas tidak ada niat untuk melakukan kejahatan itu,
maka harus tidak dikualifisir sebagai perbuatan melawan
hukum.108

c) Pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendak sendiri


Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dilakukan
bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal
sebagai berikut:
1) Adanya penghalang fisik, misalnya tidak matinya orang
yang ditembak, karena tangan pelaku disentakkan orang
sehingga tembakannya meleset. Termasuk pengertian

106 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, h. 12-13.


107 Ibid, h. 17.
108 Ibid.
46

penghalang fisik apabila adanya kerusakan pada alat


yang digunakan.
2) Tidak selesainya disebabkan karena akan adanya
penghalang fisik, misalnya takut segera ditangkap karena
telah diketahui gerak geriknya oleh orang lain.
3) Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-
faktor/keadaan-keadaan khusus pada objek yang
menjadi sasaran. Misalnya, daya tahan orang yang
ditembak cukup kuat atau yang tertembak bagian yang
tidak membahayakan.109

Secara teori, tidak selesainya perbuatan karena kehendak


sendiri dapat dibedakan menjadi dua:
1) Pengunduran diri secara sukarela (Rucktritt), yaitu tidak
menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan
untuk delik yang bersangkutan; dan
2) Tindakan penyesalan (Tatiger Reue), yaitu meskipun
perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan
sukarela menghalau timbulnya akibat mutlat untuk delik
tersebut.110

E. Teori-teori Pemidanaan
Tujuan pidana secara garis besar terbagi menjadi tiga, yakni teori
absolut, teori relatif dan teori gabungan. Tetapi, dalam
perkembangannya selain dari ketiga teori tersebut ada juga teori-teori
kontemporer tentang tujuan pidana.111

109 Ibid, h. 23-24.


110 Ibid, h. 25.
111 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit, h. 37.
47

1) Teori Absolut
Menurut teori ini, pembalasan adalah legitimasi pemidanaan.
Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat telah
melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan
hukum yang telah dilindungi. Vos berkomentar bahwa, teori absolut
terutama bermunculan pada akhir abad ke-18, mencari dasar hukum
pemidanaan terhadap kejahatan: kejahatan itu tersendiri dilihat
sebagai dasar dipidananya pelaku.112
Pidana dijatuhkan terhadap pelaku karena just deserts,
bahwa mereka dihukum karena mereka layak untuk dihukum atas
perilaku tercela mereka. Hal ini berarti bahwa konsep “just deserts”
di dalam restribusi didefinisikan dengan mengacu pada alasan yang
spesifik dan pemikiran dasar yang ada di balik penjatuhan
pemidanaan, yaitu ill-desert pelaku, dan dapat terpenuhi melalui
sesuatu bayaran yang negatif, atau balas dendam dengan sebuah
pemidanaan.113
Penganut teori absolut antara lain adalah Immanuel Kant,
Hagel, Herbart, dan Julius Stahl. Menurut Kant, pidana adalah etik,
praktisnya adalah suatu ketidakadilan, oleh karena itu kejahatan
harus dipidana. Menurut Hegel, kejahatan adalah pengingkaran
terhadap hukum, kejahatan tidak nyata keberadaannya, dengan
penjatuhan pidana kejahatannya dihapus.114

2) Teori Relatif
Menurut teori relatif, pemidanaan bukanlah untuk memuaskan
suatu tuntutan absolut dari keadilan dan pembalasan bukanlah
sesuatu yang mempunyai nilai, melainkan sebagai suatu sarana
untuk melindungi kesejahteraan masyarakat. J. Andenaes

112 Ibid.
113 Ibid, h. 38.
114 Ibid.
48

berpendapat bahwa teori ini dapat disebut sebagai teori


perlindungan masyarakat.115
Tujuan pidana pada pencegahan kejahatan ini digolongkan
menjadi dua istilah, yakni:
a) Prevensi special atau special deference, dimaksudkan bahwa
pengaruh pidana ditujukan terhadap terpidana, agar terpidana
tidak mengulangi perbuatan kejahatan lagi. Dengan ini pidana
bertujuan agar seorang tepidana berubah menjadi orang yang
lebih baik dan berguna bagi masyarakat.
b) Prevensi general atau general deterrence, dimaksudkan sebagai
pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya. Artinya,
pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan
mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya
untuk tidak melakukan tindak pidana.116
Prevensi khusus ditujukan terhadap pelaku tindak pidana
yang telah dijatuhi pidana sehingga tidak mengulangi lagi
perbuatannya. Menurut van Hamel, sebagai penganut teori relatif
berupa prevensi khusus bersama dengan Frank von Liszt, pidana
bertujuan untuk menakutkan atau memperbaiki atau melenyapkan
jika tidak bias lagi diperbaiki.117

3) Teori Gabungan
Vos menyatakan bahwa, dalam teori gabungan ini terdapat
suatu kombinasi antara pembalasan dan ketertiban masyarakat.
Selain titik berat pada pembalasan, maksud dari sifat pembalasan itu
dibutuhkan untuk melindungi ketertiban hukum. Vos menyatakan titik

115 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: P.T
Alumni, 2010), h. 16.
116 Ibid, h. 18.
117 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit, h. 40
49

berat yang sama pada pidana adalah pembalasan dan perlindungan


masyarakat.118
Simons penganut teori gabungan yang lebih menitikberatkan
perlindungan masyarakat daripada pembalasan. Menurut Simons,
prevensi umum terletak pada pidana yang diancamkan, dan subside
sifat dari pidana terhadap pelaku prevensi khusus, menakutkan,
memperbaiki dan melenyapkan.119
Dalam hal ini Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pada
hakikatnya ada dua poros yang menentukan garis-garis hukum
pidana yaitu:
a. “Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi,
suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup
bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.
b. Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus
merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan
reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.” 120

Penganut teori gabungan antara lain adalah Vos, Groritius,


Zevenbergen ahli hukum pidana Jerman lebih menitikberatkan pada
pembalasan, namun bertujuan untuk melindungi tertib hukum, karena
respek terhadap hukum dan penguasa. Menurut Zevenbergen, pada
hakikatnya pidana adalah ultimum remedium.121

4) Teori Kontemporer
Teori kontemporer berasal dari teori-teori tersebut di atas, yaitu
teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan dengan beberapa
modifikasi.

118 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit, h.41


119 Ibid, h. 42.
120 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, h. 22.
121 Eddy O.S Hiariej, Op. Cit, h. 42.
50

a) Teori efek jera


Menurut Wayne R. lafave, salah satu tujuan pidana adalah
sebagai deterrence effect atau efek jera agar pelaku kejahatan
tidak lagi mengulangi perbuatannya.
b) Teori edukasi
Teori edukasi ini menyatakan bahwa pidana bertujuan
sebagai edukasi kepada masyarakat mengenai mana perbuatan
yang baik dan mana perbuatan yang buruk.
c) Teori rehabilitasi
Teori rehabiltasi, artinya pelaku kejahatan harus diperbaiki ke
arah yang lebih baik, agar ketika pelaku kejahatan tersebut
kembali kepada masyarakat dapat diterima.
d) Teori pengendali social
Menurut Lave, salah satu tujuan pidana adalah sebagai
pengendali social. Artinya pelaku kejahatan diisolasi agar
tindakan berbahaya yang ia lakukan tidak merugikan masyarakat.
e) Teori Keadilan restoratif
Menurut Marshall, keadilan restoratif sebagai suatu proses
para pihak yang terlibat dalam sebuah kejahatan secara
bersama-sama menyelesaikan dengan cara mengatasi tindakan
tersebut dan implikasinya di masa yang akan datang.122

Tujuan putusan hakim ada 3 (tiga), yaitu: 123


1. Kepastian hukum
Aliran normatif yuridis, yang menganggap bahwa tujuan
hukum itu semata-mata hanya untuk mewujudkan kepastian
hukum, pemikiran pada aliran ini bersumber pada positivis yang
beranggapan bahwa hukum bukan hanya kumpulan aturan yang

122 Ibid, h. 42-45.


123 Achmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2019), h. 132-133.
51

terdapat didalam ketentuan perundang-undangan atau hukum


yang tertulis saja, melainkan hukum itu sebagai sesuatu yang
otonom dan mandiri. Aliran ini berpandangan bahwa walaupun
penerapan hukum tidak memberikan keadilan dan kemanfaatan
bagi masyarakat, bukanlah sebuah masalah asalkan kepastian
hukum dapat ditegakkan.
2. Keadilan
Aliran etis, yang menganggap bahwa tujuan hukum itu
merupakan semata-mata hanya untuk mewujudkan keadilan.
Pandangan ini diragukan karena keadilan itu dianggap sebagai
sesuatu yang abstrak. Keadilan bisa berwujud kemauan karena
sifat keadilan itu tetap dan terus menerus untuk memberikan
pada tiap orang apa yang menjadi haknya. Aliran ini dianggap
sebagai ajaran moral area atau ajaran moral teoritis. Aristoteles,
Justinianus, dan Eugen Erlich merupakan penganut ajaran ini.
3. Kemanfaatan
Aliran utilitis, yang menganggap bahwa tujuan hukum itu
hanyalah untuk mewujudkan kemanfaatan atau kebahagiaan
masyarakat, yang tujuannya untuk memberikan kebahagiaan
bagi seluruh masyarakat. Penganut ajaran ini diantaranya adalah
Bentham, James Mill dan John Stuart Milll. Bentham
mengemukakan pendapatnya bahwa negara dan hukum ada
semata-mata hanya untuk manfaat sejati, yaitu kebahagiaan
masyarakat.

F. Tindak Pidana Pembunuhan Dan Pembunuhan Berencana


Pengaturan mengenai tindak pidana pembunuhan dan pembunuhan
berencana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XIX
yang terdapat dalam Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP. Pasal 338 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam
52

karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas


tahun.”
Pasal 340 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan
direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling
lama dua puluh tahun.”

a. Tindak pidana pembunuhan Pasal 338


Sebagian pakar menggunakan istilah “merampas jiwa orang lain”.
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menghilangkan/merampas jiwa orang lain adalah pembunuhan.124
Pasal 338 KUHP :
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Unsur-unsur tindak pidana pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP adalah
sebagai berikut:
a) “Barangsiapa
b) Dengan sengaja
c) Merampas nyawa orang lain”

b. Tindak pidana pembunuhan berencana


Kejahatan terhadap nyawa manusia dengan merampas
nyawa orang lain merupakan pembunuhan, tetapi apabila ada
rencana terlebih dahulu maka hal tersebut merupakan tindak
pidana pembunuhan berencana. Yang diatur dalam Pasal 340
KUHP.
Pasal 340 KUHP :

124 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2000), h. 22.
53

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih


dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
berencana, dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau
pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun”.
Unsur Pasal 340 KUHP :
1. “Barang siapa
2. Dengan sengaja
3. Direncanakan lebih dahulu
4. Merampas nyawa orang lain”

Pengertian “dengan rencana lebih dahulu” menurut M.v.T


pembentukan Pasal 340 diutarakan, antara lain:
“dengan rencana lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran dengan
tenang dan berpikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si
pelaku berpikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan
melakukan kejahatan sehingga ia menyadari apa yang
dilakukannya.125
Mr. M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu”
antara lain sebagai berikut:
“bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk
mempertimbangkan, untuk berpikir dengan tenang.”126

Dalam Memorie van Toelichting atau memori penjelasan


memberikan batasan-batasan terhadap “unsur direncanakan lebih
dulu” yaitu een tijdstip van kalm overleg van bedaard nadenken yang
artinya suatu jangka waktu untuk mempertimbangkan secara tenang
dan untuk mempertimbangkan kembali suatu rencana. Menurut Mr.
Modderman perbedaan antara doodslag dan moord bukan terletak

125 Leden Marpaung, Op. Cit, h. 31.


126 Ibid.
54

pada jangka waktu tertentu antara waktu pengambilan keputusan


dengan waktu pelaksanaan, melainkan pada sikap kejiwaan
(gemoedstoestand) atau pemikiran tentang perilaku selanjutnya dari
pelaku setelah pada dirinya timbul maksud untuk melakukan
sesuatu. Sebagai lawan dari voorbedachte raad adalah bertindak in
impetu, dalam hal mana pengambilan keputusan dan pelaksanaan
keputusannya itu sendiri telah dilakukan oleh pelaku dalam
pemikiran mengenai perilaku yang tidak terputus, dan yang menutup
kemungkinan bagi dirinya untuk bertindak secara tenang dalam
mengambil keputusan. 127
“Pasal 340 KUHP memerlukan motif dikarenakan pasal 340
KUHP adalah delik materil, yang mana akibat yang timbul dari
perbuatan yang sengaja itu adalah akibat yang dilarang. Motif adalah
keharusan dalam pasal 340 KUHP , karena pasal 340 KUHP adalah
salah satu perbuatan dolus/opzet/sengaja. Sehingga harus
dibuktikan bagaimana sengaja dengan perencanaan yang dilakukan
oleh pelaku.” 128

127 P.A.F Lamintang, Op. Cit, h. 56.


128 Prihatin Efendi, “Motif Pelaku Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana
Menurut Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” Jurnal Pro Hukum, Vol. VI No.
2, (Desember 2017), h. 106. Tersedia di
http://journal.unigres.ac.id/index.php/JurnalProHukum/article/download/476/352. 16 Juni
2020.
BAB III
KASUS POSISI DAN AMAR PUTUSAN NOMOR
299/PID.B/2019/PN.PKL

A. Identitas Terdakwa
1. Nama lengkap : Pranyoto alias Pantet bin Ali Ridho
2. Tempat lahir : Pekalongan
3. Umur / tanggal lahir : 22 tahun / 16 April 1997
4. Jenis kelamin : Laki-laki
5. Kebangsaan : Indonesia
6. Tempat tinggal : Dukuh Pejaten, RT. 02/RW. 02, Desa
Tosaran, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan.
7. Agama : Islam
8. Pekerjaan : Buruh Jahit

B. Penahanan
Terdakwa ditahan dalam tahanan Rumah Tahanan Negara oleh:
1. Penyidik sejak tanggal 31 Juli 2019 sampai dengan tanggal 19
Agustus 2019.
2. Perpanjangan Penuntut Umum sejak tanggal 20 Agustus 2019
sampai dengan tanggal 25 September 2019.
3. Penuntut Umum sejak tanggal 26 September 2019 sampai
dengan tanggal 9 Oktober 2019.
4. Majelis Hakim sejak tanggal 10 Oktober 2019 sampai dengan
tanggal 8 November 2019.
5. Perpanjangan ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 9
November 2019 sampai dengan tanggal 7 Januari 2020.

55
56

C. Kasus Posisi
Awalnya pada hari Minggu tanggal 6 januari 2019 Terdakwa
berniat ingin membunuh saksi Irma Fitrianingsih, karena saksi Irma
meminta pertanggungjawaban terhadap Terdakwa karena telah
mengahamilinya, Terdakwa tidak mau bertanggungjawab dengan
alasan belum siap dan orangtua Terdakwa tidak merestui hubungan
tersebut, Terdakwa juga beralasan bahwa bukan Terdakwa yang
menghamili saksi Irma. Kemudian sekira pukul 18.30 WIB Terdakwa
menghubungi saksi Irma Fitrianingsih melalui inbox Facebook dan
berpura-pura minta tolong dijemput untuk diantar ke teman
Terdakwa, tidak lama kemudian saksi Irma datang membawa
sepeda motor dan bertemu ditempat pembakaran batu bata Desa
Tosaran dan ditempat tersebut Terdakwa pinjam Handphone saksi
Irma dengan alasan ingin menghubungi teman Terdakwa kemudian
Terdakwa melihat ditempat tersebut masih rame orang selanjutnya
Terdakwa mengajak saksi Irma pindah tempat dengan cara
Terdakwa didepan dan saksi Irma membonceng menggunakan
sepeda motor milik saksi Irma menuju bendungan kletak kel.
Kedungwuni timur kec. Kedungwuni kab. Pekalongan, sesampai
ditempat tersebut Terdakwa mengajak ngobrol dipinggir bendungan,
Terdakwa menyuruh untuk menggugurkan janin tersebut dengan
cara meminum jamu penggugur tetapi saksi Irma tetap meminta
pertanggungjawaban dari Terdakwa, posisi berhadapan kemudian
Terdakwa mendorong saksi Irma dengan kedua tangan Terdakwa
hingga akhirnya saksi Irma terjatuh kedalam bendungan air, setelah
Terdakwa melihat ke air dengan samar-samar Terdakwa melihat
kepala saksi Irma muncur di atas air dan teriak minta tolong, namun
justru Terdakwa mengambil batu yang ada disekitaran lokasi
bendungan dan melemparkan kearah kepala saksi Irma sebanyak 4
(empat) kali, namun saksi Lutfi Maulana bin Wasidi yang ketika itu
57

sedang minum kopi disebuah warung yang tidak terlalu jauh dengan
bendungan dan saksi Slamet Murjoko bin Casbidin yang ketika itu
sedang mencari ikan yang juga tidak terlalu jauh dari bendungan
kemudian mendengar teriakan minta tolong dari Saksi Korban dan
kemudian mendatangi sumber suara permintaan tolong tersebut.
Setelah itu karena mengetahui kedatangan kedua orang saksi itu
Terdakwa menghentikan perbuatannya dan lari meninggalkan
tempat tersebut. Terdakwa meninggalkan tempat tersebut dengan
berjalan kaki kemudian Terdakwa bertemu dengan teman Terdakwa
dan minta diantarkan ke Pekalongan yang kemudian Terdakwa pergi
ke Jakarta naik bus dan bekerja disana sebagai buruh jahit selama
beberapa bulan.
Akibat perbuatan Terdakwa maka saksi Irma Fitrianingsih
binti Tarjuki mengalami rasa sakit bagian kepala sebagaimana Pro
Justisia Visum No: 587/IV.6.AU/I/2019 tanggal 26 Maret 2019 yang
dibuat dan ditandatangani oleh dr. Muhammad Najmi Habibi sebagai
Dokter Umum pada RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan
Pekalongan dengan Kesimpulan:
- Terdapat luka memar dikepala bagian kanan dengan ukuran
lima centimeter kali empat centimeter kali dua centimeter
kemungkinan diakibatkan trauma benda tumpul.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 340 KUHP Jo Pasal 53 ayat (1) KUHP.

D. Tuntutan Jaksa
Terhadap kasus yang terjadi, tuntutan jaksa sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa Pranyoto alias Pentet bin Ali Ridho, telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “percobaan pembunuhan berencana” sebagaimana diatur
dalam Pasal 340 KUHP Jo Pasal 53 ayat (1) KUHP sebagaimana
Dakwaan Kesatu Penuntut Umum.
58

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Pranyoto alias Pantet


bin Ali Ridho dengan pidana penjara selama 15 (lima belas)
tahun potong tahanan.
3. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) buah Kardus HP merk
Samsung J2 warna Gold, dikembalikan kepada saksi Irma
Fitrianingsih.
4. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani membayar biaya
perkara sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).

E. Pertimbangan Hakim
Dalam memutuskan perkara dengan Terdakwa saudara Pranyoto
alias Pantet bin Ali Ridho, Hakim mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan
alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-
fakta hukum memilih langsung dakwaan alternatif ke-Dua
sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP Jo Pasal 53 ayat (1)
KUHP.
2. Oleh karena semua unsur dari Pasal 338 KUHP Jo Pasal 53 ayat
(1) KUHP telah terpenuhi maka Terdakwa haruslah dinyatakan
telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif ke-
Dua.
3. Majelis Hakim tidak sependapat dengan Penuntut Umum
sebagaimana terurai dalam surat tuntutan pidananya bahwa
Terdakwa telah melakukan tindak pidana dalam dakwaan ke-
Satu yaitu Percobaan Pembunuhan Berencana dengan
pertimbangan fakta hukum yang didapat Majelis Hakim adalah
bahwa Terdakwa baru mempunyai niat untuk membunuh Saksi
Korban pada sore harinya Minggu tanggal 6 januari 2019,
sedangkan terjadinya percobaan pembunuhan itu adalah pada
59

sekitar pukul 18.30 WIB. Rentang waktu antara niat untuk


membunuh saksi Korban dengan pelaksanaannya menurut
pendapat Majelis Hakim terlalu pendek/singkat. Disamping itu,
majelis hakim juga tidak mendapatkan fakta hukum dengan cara
bagaimana Terdakwa akan membunuh Saksi Korban. Ketika
datang ketempat pembakaran batu bata di Desar Tosaran pun
tidak ada satupun peralatan yang dapat dipakai untuk membunuh
Saksi Korban. Selain itu, jika saja Terdakwa sudah ada rencana
untuk membunuh Saksi Korban di Bendungan Kletak, tentu saja
Terdakwa tidak akan membawa Saksi Korban ketempat
pembakaran batu bata di Desa Tosaran.
4. Tidak ditemukan hal-hal yang dapat menghapuskan
pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan
atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
5. Terdakwa mampu bertanggung jawab, maka harus dinyatakan
bersalah dan dijatuhi pidana.
6. Terhadap Terdakwa telah dikenakan penangkapan dan
penahanan yang sah, maka masa penangkapan dan penahanan
tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
7. Terhadap barang bukti yang diajukan di persidangan berupa 1
(satu) buah Kardus HP merk Samsung J2 warna Gold, oleh
karena telah terbukti milik saksi Irma Fitrianingsih maka barang
bukti tersebut haruslah dikembalikan kepadanya.
8. Keadaan yang memberatkan:
- Terdakwa telah mengakui menyetubuhi Saksi Korban,
bahkan cara Terdakwa menyetubuhi Saksi korban sangat
menjijikkan, namun tidak menikahi Saksi korban setelag
Saksi korban hamil dan malah ingin membunuh Saksi
korban.
60

9. Keadaan yang meringankan:


- Terdakwa berterus terang, bersikap sopan dan tidak
menyulitkan pemeriksaan.
- Terdakwa masih sangat muda sehingga masih bias
diharapkan untuk memperbaiki keadaan dirinya.
- Terdakwa menyesali perbuatannya dan belum pernah
dihukum.

F. Putusan Hakim
Memperhatikan Pasal 338 KUHP Jo Pasal 53 ayat (1) KUHP dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkuta, Hakim
memutuskan:
1. Menyatakan Terdakwa Pranyoto alias Pantet bin Ali Ridho telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Percobaan Pembunuhan” sebagaimana diatur dalam
dakwaan ke-Dua.
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun.
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah
dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan.
5. Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) buah Kardus HP merk
Samsung J2 warna Gold dikembalikan kepada saksi korban
(Irma Fitrianingsih).
6. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara
sejumlah Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN TERHADAP TINDAK PIDANA
PERCOBAAN PEMBUNUHAN BERENCANA YANG DIPUTUS PASAL
338 KUHP JO PASAL 53 AYAT (1) (STUDI PUTUSAN NOMOR
299/PID.B/2019/PN.PKL)

A. Perbuatan Pelaku Telah Memenuhi Atau Tidak Unsur-Unsur Pasal


338 KUHP Jo Pasal 53 Ayat (1) KUHP

“Tindak pidana yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari


seperti tindak pidana pembunuhan sudah menjadi hal yang sering
kita lihat dan dengar. Dalam berkehidupan, kita akan selalu dijumpai
dengan berbagai macam kejahatan, manusia tidak akan lepas dari
adanya kejahatan. Berbagai motif yang dijadikan alasan membunuh
seseorangpun sudah tidak asing lagi, misalnya karena dendam atau
karena tidak mau untuk bertanggung jawab atas hal yang telah
pelaku lakukan terhadap korban. Pembunuhan yang direncakanan
terlebih dahulu menjadi tindak pidana pembunuhan berencana yang
hukumannya lebih berat dari pembunuhan biasa. Namun tidak
selamanya niat untuk melakukan pembunuhan dilakukan dengan
berhasil, adakalanya gagal dan menjadi tindak pidana percobaan
pembunuhan. Walaupun kejahatan yang dilakukan menjadi tindak
pidana percobaan, pelaku akan tetap mendapatkan hukuman atas
perbuatannya. Tindak pidana percobaan pembunuhan merupakan
perbuatan yang melanggar norma hukum, membahayakan
kehidupan masyarakat serta melanggar ketentuan dalam Undang-
undang.
Dalam Putusan Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl hakim dalam
putusannya telah memutus bahwa terdakwa PRANYOTO ALIAS
PENTET BIN ALI RIDHO, telah terbukti secara sah dan meyakinkan
telah melakukan tindak pidana percobaan pembunuhan. Dalam

61
62

kasus ini Pranyoto alias Pentet Bin Ali Ridho melakukan tindak
pidana percobaan pembunuhan yang mengakibatkan saksi korban
Irma Fitrianingsih Binti Tarjuki mengalami rasa sakit bagian kepala,
terdapat luka memar dikepala bagian belakang kanan dengan
ukuran lima centimeter kali empat centimeter kali dua centimeter.
Dalam peristiwa tersebut korban sempat berteriak minta tolong tetapi
terdakwa mengambil batu dan melempari korban sebanyak 4
(empat) kali yang mengenai kepala korban. Percobaan pembunuhan
terjadi karena terdakwa tidak mau bertanggung jawab atas
kehamilan korban, terdakwa merasa bukan terdakwa yang
menghamili korban, serta terdakwa belum siap untuk menikah
karena tidak memiliki pekerjaan dan orang tua terdakwa tidak
merestui hubungan asmara mereka. Karena korban terus mendesak
meminta terdakwa untuk bertanggung jawab, timbul niat terdakwa
pada hari Minggu sore tanggal 6 Januari 2019 untuk membunuh
saksi korban Irma Fitrianingshih, lalu terdakwa menghubungi Saksi
korban dengan SMS lalu berpura-pura minta dijemput dan minta
Saksi korban untuk mengantarnya kerumah teman terdakwa dengan
mengendarai sepeda motor Beat hitam yang dipinjam dari
keluarganya Saksi korban menjumpai terdakwa ditempat
pemabakaran batu bata Desa Tosaran Kec. Kedungwuni Kab.
Pekalongan, ditempat tersebut terdakwa lalu meminjam Handphone
Saksi korban dengan alasan ingin menghubungi temannya.
Masih ditempat pembakaran, karena masih ramai orang lalu
terdakwa mengajak Saksi korban untuk pindah tempat, dalam
perjalanan terdakwa yang mengemudikan sepeda motor dan
terdakwa berhenti di Bendungan Kletak Kel. Kedungwuni Timur,
Kec. Kedungwuni, Kab. Pekalongan. Sesampai di Bendungan
terdakwa dan Saksi korba sempat mengobrol dan terjadi
pertengkaran, karena terdakwa menuyuruh saksi korban untuk
menggugurkan janin dnegan meminum jamu penggugur janin, saksi
63

korban menolak dan tetap meminta pertanggung jawaban terdakwa.


Posisi saksi korban tepat berada dipinggir Bendungan dan berhadap
dengan terdakwa, lalu dengan kedua tangannya terdakwa
mendorong saksi korban hingga terjatuh ke dalam bendungan. Saksi
korban berteriak minta tolong tetapi terdakwa mengambil batu yang
ada di lokasi bendungan lalu melempar ke arah kepala saksi korban
sebanyak 4 (empat) kali, lalu karena mendengar ada saksi yang
datang terdakwa menghentikan perbuatannya lalu lari meninggalkan
bendungan. Saksi tersebut adalah Lutfhi Maulana bin Wasidi yang
saat itu sedang minum kopi disebuah warung yang tidak terlalu jauh
dengan bendungan, dan saksi Slamet Murjoko bin Casbidin yang
saat itu sedang mencari ikan yang juga tidak terlalu jauh dari
bendungan. kedua saksi mendengar teriakan minta tolong dari saksi
korban dan kemudian mendatangi sumber suara tersebut.
Dalam hal ini yang menjadi pembahasan yaitu mengenai
kesesuaian antara putusan hakim Nomor 299/Pid.B/2019/PN.Pkl
dengan Pasal 338 KUHP jo Pasal 53 ayat 1 KUHP. Guna untuk
menggambarkan sesuai atau tidaknya putusan hakim dengan pasal
yang dikaitkan, maka terlebih dahulu dijabarkan unsur-unsur yang
terdapat didalam Pasal 338 KUHP tersebut akan peneliti buktikan .
Isi Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.”
Guna membuktikan apakah benar ada Tindak Pidana Percobaan
Pembunuhan berdasarkan Pasal 53 ayat 1 KUHP jo Pasal 338
KUHP maka akan peneliti uraikan unsur-unsur percobaan tersebut
dengan menghubungkan pada delik pembunuhan sebagai berikut :
Pasal 338 KUHP unsur-unsurnya:
64

a. Unsur Barang Siapa


“Barangsiapa disini adalah pelaku sebagai subjek hukum dalam
hukum pidana, dimana pelaku adalah seseorang yang melakukan
perbuatan pidana dan perbuatan tersebut menimbulkan kerugian
sehingga dengan dasar itu seseorang atau barang siapa dapat
dikenakan pidana. Unsur barang siapa ini melekat pada setiap
unsur delik sebab setiap perbuatan pasti ada pelakunya. Cuma
walaupun ada pelaku harus dilihat apakah ada titik penghubung
antara pelaku dan perbuatannya sehingga pelaku dapat dipidana.
Dengan kata lain apakah dalam diri pelaku ada kemampuan untuk
mempertanggungjawakan perbuatannya. Hal ini sesuai pendapat J.
Bentham bahwa penjatuhan pidana harus memberi manfaat pada
terdakwa, sehingga sangat tidak bermanfaat apabila terhadap orang
dengan gangguan sakit jiwa atau penyakit diberikan pidana. Secara
singkat seseorang atau barang siapa sebabai pelaku haruslah
berada tidak termasuk kelompok Pasal 44 KUHP.
Arti perkataan tersebut maka pelaku atau barang siapa haruslah
merupakan seseorang yang sadar dapat menentukan perbuatan
baik atau buruk, sesuai aturan dan melawan hukum serta sadar
pelaku dapat memperkirakan akibat dari kehendaknya. Keadaaan
ini dalam kasus terdakwa Pranyoto hari Minggu 6 Januari 2019
berniat membunuh saksi Irma Fitrianingsih dan sekitar Pukul 18.30
wib. Terdakwa Pranyoto menghubungi saksi melalui inbox face
book pura-pura meminta dijemput untuk diantrer ke rumah
temannya. Tidak lama kemudian saksi Irma datang dan bertemu di
tempat pembakaran batu bata, kemudian terdakwa meminjam HP
dari saksi Irma dengan alasan mau menghubungi temannya. Oleh
karena menurut terdakwa tempat tersebut ramai maka terdakwa
mengajak saksi Irma pindah tempat dengan cara terdakwa duduk di
depan mengendaai motor saksi Irma dan saksi Irma dibonceng oleh
terdakwa. Kemudian terdakwa mengajak saksi Irma ngobrol dengan
65

posisi saling berhadapan tetapi saksi Irma berada dengan posisi di


pinggir bendungan. Tiba-tiba terdakwa dengan tangan kanannya
mendorong saksi Irma sehingga terjatuh ke dalam air bendungan.
Sejenak terdakwa melihat kepala saksi Irma dan berteriak minta
tolong. Terdakwa tidak memberikan pertolongan tetapi justru
mengambil batu dan melemparkan ke kepala saksi sebanyak 4 kali.
Selanjutnya karena tidak ada teriakan minta tolong terdakwapun
meninggal tempat tersebut dengan jalan kaki. Dalam perjalanan
terdakwa bertemu dengan temannya dan minta diantar ke
Pekalongan lalu terdakwa melanjutkan perjalanan dengan naik bis
menuju Jakarta.
Dalam hal ini terbukti adanya unsur Barang siapa sebagai pelaku
delik.

b. Unsur dengan Sengaja


Unsur dengan sengaja disini maksudnya adalah sama dalam
doktrin yang biasa disebut dengan “opzet” dalam segala bentuknya,
yaitu opzet als oogmerk (melakukan perbuatan yang dilarang
secara dikehendaki dan dimengerti), opzet bij zekerheids-
bewustzjin (suatu kesengajaan yang dilandasi oleh kesadaran akan
kepastian tentang timbulnya akibat lain dari akibat yang memang ia
kehendaki) dan opzet bij mogelijkheids-bewustzijn/voorwaardelijk
opzet/dolus eventualis (suatu kesengajaan yang dilandasi oleh
kesadaran akan kemungkinan tentang timbulnya akibat lain dari
akibat yang memang ia kehendaki).Bentuk kesengajaan ini diartikan
bahwa terdakwa atau pelaku haruslah melakukan semua
perbuatannya dengan secara sadar atau terdakwa menyadari setiap
perbuatan yang dilakukan dan terdakwa dapat memperkirakan atau
membayangkan akibat yang akan terjadi apabila terdakwa
melakukan perbuatan tersebut. Dalam kasus terdakwa mempunyai
niat untuk membunuh korban, Namun perbuatan tersebut dilakukan
66

dengan lebih dahulu menghubungi terdakwa melalaui panggilan


inbox face book agar terdakwa mau menjemput terdakwa di suatu
tempat. Barulah setelah saksi tidak berapa lama sampai ditempat
pembakaran batu bata. Kemudian terdakwa pura-pura meminjam
HP saksi Irma untuk dapat menghubungi temannya. Terdakwa
merasa suasana tempat pembakaran batu bata ramai sehingga
terdakwa mengajak saksi pindah tempat dengan cara terdakwa
membonceng saksi Irma. Nampak dari perbuatan yang dilakukan
terdakwa lebih dahulu terdakwa merencanakan perbuatan yang
diniat. Adapun arti dengan rencana menurut R, Soesilo adalah
antara timbulnya maksud untuk membunuh dan pelaksanaannya
masih ada tempo bagi sipembuat atau terdakwa untuk dengan
tenang memikirkan perbuatannya dengan cara bagaimana dapat
dilaksanakan . Hal ini terbukti setelah menghubungi terdakwa dan
bertemu di tempat pembakaran batu bata, namun karena terdakwa
merasa tempat itu ramai maka terdakwa mengajak saksi Irma
pindah tempat. Lalu terdakwa sebelum melaksanakan niat atau
kehendaknya lebih dahulu mengajak saksi Irma duduk secara
berhadapan dipinggir bendungan dengan posisi saksi Irma dan
terdakwa berhadapan. Saksi Irma duduk pas dipinggir bendungan.
Pada kesempatan itu sambil mengobrol terdakwa dengan tenang
menyadari cara untuk melakukan pembunuhan tersebut. Lalu
terdakwa menyadari perbuatan itu dengan mendorong saksi Irma
sehingga terdakwa sudah dapat membayangkan saksi Irma akan
terjatuh ke dalam bendungan dan meninggal dunia. Saat saksi Irma
berusaha meminta tolong saat itu terdakwa berusaha melempar
kepala saksi dengan batu selama 4 kali. Rencana membunuh saksi
disebabkan karena peristiwa lebih dahullu terjadi dimana saksi Irma
meminta pertanggungjawaban terdakwa yang telah menghamili
saksi Irma dengan usai kandungan sudah sekitar 4 (empat). Bahkan
67

terdakwa meminta saksi menggugurkan kandungan dan ditolak


saksi.
Dalam hal ini tidak terpenuhi unsur kesengajaan saja tetapi
terpenuhi unsur dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu.

c. Merampas nyawa orang lain


Berdasarkan hasil visum et repertum No. : 587/IV.6.AIJ/I/2019
yang ditanda tangani oleh dr Muhammad Najmi Habibi sebagai
Dokter Umum pada RSI PKU Muhammadiyah Pekajang Pekalongan
bahwa disimpulkan Terdapat Luka memar di kepala bagian belakang
kanan dengan ukuran lima centimeter kali empat centimeter kali dua
centimeter kemungkinan diakibatkan trauma benda tumpul.
Berdasarkan isi visum dan perbuatan terdakwa maka rencana
membunuh saksi Irma tidak berhasil hanya terdapat luka pada
kepala saksi. Oleh karenanya unsur inipun tidak terpenuhi tetapi
usaha pembunuhan oleh terdakwa gagal dan dapat dikatakan baru
dalam tahap percobaan. Oleh karena setelah terdakwa pergi karena
tidak mendengar lagi suara korban sehingga terdakwa
memperkirakan korban telah meninggal dunia. Ternyata korban
setelah terdakwa pergi saksi berenang ke pintu air yang ada didekat
bendungan dan saksi naik ke dekat pintu besi dan ulir bendungan.
Setelah itu saksi berteriak minta tolong. Selanjutnya datang saudara
Slamet Murjoko dan saudara Lutfi Maulana, membantu saksi. Jadi
unsur merampas nyawa orang lain tidak terpenuhi tetapi adanya
Percobaan Pembunuhan yang direncanakan sesuai Pasal 53 ayat 1
KUHP jo Pasal 340 KUHP telah terpenuhi.
Adapun isi Pasal 53 ayat 1KUHP adalah “Mencoba melakukan
kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.
Jadi unsur Percobaan dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP ialah:
68

a. Niat
b. Adanya permulaan pelaksanaan
c. Tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya
Guna membuktikan apakah benar ada Tindak Pidana Percobaan
Pembunuhan berdasarkan Pasal 53 ayat 1 KUHP jo Pasal 338
KUHP maka akan peneliti uraikan unsur-unsur percobaan tersebut
dengan menghubungkan pada delik pembunuhan sebagai berikut :

a. Niat
Ini merupakan unsur subyektif dalam kasus percobaan.
Dalam bahasa Belanda niat merupakan voornemen yang artinya
kehendak diri seseorang pelaku atau terdakwa untuk melakukan
suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum pidana. Dalam
pengertian asal kata bahasa Belanda adanya kehendak dalam
perbuatan pidana percobaan menunjukkan adanya unsur
kesengajaan. Hanya yang menjadi pertanyaan selanjutnya
apakah kesengajaan ini dalam percobaan diartikan kesengajaan
dalam arti sempit yaitu kesengajaan dengan tujuan ataukah
kesengajaan dalam arti luas yaitu meliputi semua bentuk gradasi
kesengajaan dalam arti baik kesengajaan dengan tujuan,
kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan
sadar kemungkinan. Mendasar pada pendapat ahli maka
kesengajaan dalam tindak pidana percobaan memiliki dua aliran.
Berdasarkan Vos maka bentuk niat disini disamakan hanya
dengan kesengajaan dengan tujuan, sedangkan sarjana lainnya
Simon, Hanzawinkel dan van Hamel menyatakan bahwa niat yang
ada dalam diri pelaku atau terdakwa adalah identik dengan bentuk
kesengajaan dalam berbagai corak atau berbagai bentuk gradasi
kesengajaan. Namun Pompe berpendapat lain sesuai pendapat
Moeljatno bahwa ada hubungan yang erat anatra niat yang timbul
69

dari dalam diri pelaku dengan kesengajaan. Secara tegas Pompe


menyatakan tidak menyamakan niat dengan kesengajaan. Beliau
mengatakan jika sikap bathin yang masih ada dalam alam pikir
atau hati pelaku belumlah merupakan niat, namun apabila apa
yang menjadi pemikiran dalam hati kemudian dilaksanakan oleh
pelaku maka itulah baru niat itu berubah jadi bentuk kesengajaan.
Tetapi bentuk kesengajaan bukanlah niat, sebab niat merupakan
melawan hukum yang subyektif sedangkan kesengajaan
merupakan objectieve onrechtselement yang dalam konteks
percobaan merupakan permulaan pelaksanaan. Bila dikaitkan
dengan kasus maka niat itu sebagai sikap bathin terdakwa dalam
hal untuk mewujudkan perbuatan yang akan dilakukan. Dalam hal
ini terbukti dari terdakwa menghubungi saksi Irma melalui inbox
facebook agar bertemu dan minta dijemput. Niat itu muncul sebab
saksi Irma meminta pertanggungjawaban pada terdakwa yang
telah menyebabkan saksi Irma hamil 4 bulan. Setelah itu korban
dan saksi bertemu di tempat pembakaran batubata. Namun
karena ramai terdakwa mengajak saksi pindah ke tempat lain
dengan cara berboncengan. Setiba di tempat tersebut korban
mengajak saksi mengobrol sambil duduk di pinggir bendungan.
Hal ini menunjukkan adanya unsur niat untuk melakukan
kejahatan pembunuhan yang telah direncanakan dahulu.

b. Permulaan Pelaksanaaan
Adapun permulaan pelaksanaan menurut Penjelasan KUHP
haruslah membedakan antara perbuatan persiapan dan
perbuatan pelaksanaan. Dalam perbedaannya perbuatan
pelaksanaan buatan persiapan merupakan pengumpulan
kekuatan guna mewujudkan perbuatan pelaksanaan dengan
melepaskan kekuatan pelaksanaan itu. Sedangkan Simon
penganut aliran objektif materil membedakan berdasarkan
70

rumusan delik, maka menurut delik formil adanya permulaan


pelaksanaan telah ada apabila telah melakukan perbuatan yang
dirumuskan dalam delik yang dilanggar, sedangkan secara delik
materiil maka permulaan pelaksanan telah ada dengan
perbuatan yang menurut aturan hukum pidana menurut sifatnya
secara langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang tanpa
memerlukan adanya tindakan atau perbuatan lain.
Dilihat berdasarkan kasus maka menurut MvT atau
Penjelasan sejak adanya pelepasan kekuatan pelaksanaan jadi
terletak pada saat terdakwa melepaskan kekuatan dengan
mendorong saksi Irma sehingga jatuh ke dalam bendungan.
Begitupun dikaitkan dengan pendapat Simon, kasus ini
merupakan delik materil. Jadi adanya permulaan pelaksanaan
dengan dilakukan suatu perbuatan yang secara langsung dapat
menimbulkan akibat yang dilarang yaitu ketika terdakwa
mendorong saksi Irma sehingga jatuh ke dalam bendungan.
Pendapat lain tentang permulaan pelaksanaan terwujud dari
sejak terlihatnya ada perbuatan yang bila dilihat telah
menujnjukkan adanya kepastian untuk melakukan kejahatan.
Dalam kasus kepastian niat melakukan kejahatan terjadi saat
terdakwa mendorong saksi Irma sehingga jatuh ke dalam
bendungan.
Unsur adanya permulaan pelaksanaan terbukti.

c. Tidak selesainya bukan karena kehendaknya


Tidak selesainya bukan karena kehendaknya meliputi 3 hal yaitu
:
1. “Adanya penghalang fisik, artinya niat melakukan kejahatan
telah dilakukan dengan adanya permulaan pelaksanaan
tetapi hal itu gagal mencapai tujuan atau akibat yang
diinginkan karena adanya gerakan fisik atau perbuatan
71

korban atau orang lain sehingga menggagalkan tujuan


terdakwa.
2. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya
itu disebabkan karena akan ada penghalang fisik, sebagai
contoh adanya rasa takut dari terdakwa apabila tertangkap
akan ditahan dan dipenjara.
3. Adanya penghalang yang disebabkan faktor-faktor keadaan
khusus pada objek yang menjadi sasaran. Dalam hal ini
misalkan ternyata objek yang menjadi sasaran memiliki daya
tahan tubuh yang kuat sehingga walaupun diberikan sedikit
racun tetap tidak mengalami akibat apapun”.

Bila dikaitkan dengan kasus maka dalam hal ini yang


terbukti adalah adanya penghalang fisik. Terbukti dari setelah
terdakwa pergi disebabkan saat korban meminta tolong oleh
terdakwa justru dilempar batu sebanyak 4 (empat) kali dan
saksipun lalu tidak mengeluarkan suara lagi meminta tolong.
Situasi ini membuat terdakwa pulang dan meninggalkan saksi
Irma yang diperkirakan terdakwa telah meninggal dunia.
Ternyata setelah terdakwa berlalu selanjutnya saksi berenang
ke pintu air yang ada di dekat bendungan tersebut dan
kemudian saksi naik dengan berpegangan di pintu besi dari
ulir bendungan. Selanjutnya korban berteriak minta tolong
dan berusaha naik dibantu oleh saudara Slamet Murjoko dan
saudara Lutfi Maulana. Jadi unsur ini terpenuhi bahwa tidak
tercapainya rencana pembunuhan bukan karena keinginan
pelaku tetapi karna faktor lain yaitu usaha saksi korban
dengan dibantu dua rang yaitu saudara Slamet Murjoko dan
saudara Lutfi Maulana. Jadi dalam hal ini terjadi Tindak
Pidana Percobaan Pembunuhan Berencana berdasarkan
Pasal 53 ayat 1 KUHP jo Pasal 340 KUHP.
72

d. Unsur Melakukan Percobaan Merampas Nyawa Orang Lain


Dalam unsur melakukan percobaan merampas nyawa orang
lain, adanya unsur kesengajaan juga termasuk kedalamnya, yang
berarti bahwa si pelaku memang menghendaki dengan sengaja
melakukan tindak pidana percobaan pembunuhan dan pelaku
mengetahui bahwa tujuan dari tindakannya tersebut adalah untuk
membunuh korban.
Percobaan melakukan tindak pidana berarti hendak berbuat
sesuatu, sudah memulai tetapi tidak selesai, dengan kata lain, telah
adanya niat dari dalam diri si pelaku untuk melakukan suatu
perbuatan pidana, lalu telah adanya permulaan pelaksanaan
sebagai perwujudan dari niat tersebut, dan tidak selesainya
perbuatan bukan dari kehendak si pelaku. Yang berarti bahwa,
perbuatan tersebut tidak selesai karena adanya penghalang.
Dasar patut dipidananya percobaan terdapat dua teori yaitu
sebagai berikut:
1) “Teori subjektif
Menurut teori subjektif, dasar patut dipidananya percobaan
terlatak pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari
pembuat.
2) Teori objektif
Menurut teori objektif, dasar patut dipidananya percobaan
terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh
si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu sebagai berikut:
a) Teori objektif-formil, teori ini menitikberatkan sifat
berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum.
b) Teori objektif-materiil, teori ini menitikberatkan pada sifat
berbahayanya perbuatan terhadap kepentingan/benda
hukum.
73

c) Teori campuran, Menurut teori campuran, melihat dasar


patut dipidananya percobaan dari dua segi, yaitu: sikap batin
si pembuat yang berbahaya (segi sukbjektif) dan juga sifat
berbahayanya perbuatan (segi objektif)”.129

Agar dapat disebut telah melakukan tindak pidana percobaan


pembunuhan terhadap korban, maka pelaku harus melakukan
percobaan pembunuhan yang mana menyebabkan korban
mengalami sakit dibagian kepala akibat dari perbuatan pelaku yang
mendorong korban ke dalam bendungan dan melemparinya
menggunakan batu yang ada di lokasi bendungan sebanyak 4
(empat) kali ke arah kepala korban, dimana kepala merupakan area
tubuh yang vital.

Dalam kasus yang peneliti bahas ini, korban yang mengalami


percobaan pembunuhan ini mengalami rasa sakit dibagian kepala,
terdapat luka memar dibagian belakang kepala sebelah kanan.
Akibat dari lemparan batu yang oleh terdakwa sebanyak empat kali.
Hal ini diperkuat dengan adanya bukti Visum yaitu berdasarkan Pro
Justisia Visum No : 587/IV.6.AU/I/2019 tanggal 26 Maret 2019 yang
dibuat dan ditandatangi oleh dr. Muhammad Najmi Habibi sebagai
Dokter Umum pada RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan
Pekalongan dengan Kesimpulan bahwa terdapat luka memar
dikepala bagian belakang kanan dengan ukuran lima centimeter kali
empat centimeter kali dua centimeter kemungkinan diakibatkan
trauma benda tumpul.

Dapat disimpulkan dari kasus, bahwa terdakwa melakukan


percobaan pembunuhan terhadap korban, dengan diawali adanya
niat untuk membunuh korban. Niat tersebut muncul pada hari

129 Teguh Prasetyo, Op. Cit, h. 5-6.


74

Minggu sore tanggal 6 Januari 2019. Terdakwa berniat membunuh


korban karena korban meminta pertanggungjawaban atas
kehamilannya yang sudah memasuki usia 4 (empat) bulan, karena
merasa belum siap dan beralasan bahwa orang tua terdakwa tidak
merestui hubungan mereka, lalu terdakwa juga tidak yakin bahwa
bayi dalam kandungan korban adalah anaknya, padahal mereka
telah melakukan hubungan suami istri. Lalu sekitar pukul 18.30,
terdakwa lalu berpura-pura minta korban untuk mengantarkannya
kerumah teman terdakwa, korban mengendarai motor beat hitam
menjumpai terdakwa ditempat pembakaran, terdakwa kembali
berpura-pura meminjam handphone milik korban dengan beralasan
ingin menghubungi temannya. Lalu karena terdakwa melihat sekitar
lokasi pembakaran masih ramai, terdakwa mengajak korban untuk
berpindah tempat, lalu terdakwa yang mengendarai motor dengan
membonceng korban berhenti di bendungan.
Sesampai di bendungan terlibat pertengkaran antara
terdakwa dan korban, dimana korban tetap meminta
pertanggungjawaban sedangkan terdakwa memaksa untuk
digugurkan saja, dengan meminum jamu penggugur janin. Korban
tetap tidak mau, lalu terdakwa mendorong korban ke dalam
bendungan yang airnya tergolong cukup dalam lalu melempari
korban menggunakan batu sebanyak empat kali kearah kepala
korban. Lalu menghentikan perbuatannya karena mendengar ada
saksi yang datang. Terdakwa langsung melarikan diri dari lokasi
bendungan.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan
terdakwa merupakan perbuatan percobaan pembunuhan
berencana. Karena telah adanya niat untuk membunuh korban,
yang niat tersebut timbul karena terdakwa tidak mau
mempertanggung jawabkan perbuatannya yang telah menghamili
korban, terdakwa mengajak korban untuk berjumpa dan karena
75

tempat pembakaran masih ramai terdakwa mengajak ke tempat


lain, dan tempat tersebut adalah bendungan, yang merupakan
tempat berbahaya. Lalu terdakwa juga melempari korban dengan
batu kearah kepala korban sebanyak 4 (empat) kali. Dimana kepala
merupakan bagian vital, yang dapat membahayakan nyawa korban.
Terdakwa pun dari awalnya hanya berpura-pura ingin diantarkan
kerumah temannya padahal terdakwa ingin bertemu dengan
korban, lalu terdakwa juga berpura-pura menelfon temannya
dengan meminjam handphone milik korban, hanya untuk
melancarkan niatnya agar korban tidak mencurigainya. Terdakwa
yang melihat tempat pembakaran masih ramai, langsung mengajak
berpindah tempat dan membawa korban ke bendungan. Maka,
unsur percobaan merampas nyawa orang lain tidak terpenuhi.

Dalam hal ini menurut peneliti, terdakwa seyogyanya dapat


dikenakan Pasal 340 KUHP Jo Pasal 53 ayat (1) KUHP. Yang
berbunyi:
“dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, jika niat tersebut telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan
itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendak sendiri”.
Dengan demikian peneliti akan membahas mengenai unsur-
unsur dalam Pasal 340 KUHP Jo Pasal 53 ayat (1) KUHP dengan
uraian sebagai berikut:

a. Barang Siapa
Barang siapa adalah pelaku dalam subjek hukum. Pelaku
dalam subjek hukum disini adalah orang yang mampu
mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya.
Menurut Moeljatno bahwa arti kemampuan bertanggung
jawab yaitu:
76

a. “Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik


dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi”.130

Dalam kasus, terdakwa Pranyoto alias Pentet bin Ali Ridho


adalah orang yang mampu bertanggung jawab. Hal ini dapat
dibuktikan dengan melihat dari terdakwa yang merupakan
seorang laki-laki dewasa berusia 22 tahun yang cakap
melakukan perbuatan hukum sehingga dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Terdakwa
mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan
suatu tindak pidana, dimana dalam persidangan terdakwa
membenarkan keterangan para saksi dan fakta-fakta hukum.
Selain itu, tidak terdapat surat dari dokter yang menyatakan
bahwa terdakwa Pranyoto alias Pentet bin Ali Ridho cacat dan
terganggu jiwanya. Maka, dapat disimpulkan bahwa terdakwa
dalam keadaan sehat secara rohani maupun jasmani sehingga
mampu untuk bertanggung jawab.

Terdakwa Pranyoto alias Pentet bin Ali Ridho secara sadar


melakukan perbuatan percobaan pembunuhan berencana
terhadap saksi korban Irma Fitrianingsih, karena terdakwa tidak
mau bertanggungjawab telah menghamili saksi korban, dengan
cara pada mulanya terdakwa memiliki niat untuk membunuh
saksi korban, mulanya terdakwa meminta saksi korban untuk
mengantarkan terdakwa kerumah teman, saksi korban dengan
mengendarai motor Beat hitam bertemu dengan terdakwa
ditempat pembakaran, lalu ditempat pembakaran terdakwa
berpura-pura menelepon temannya menggunakan handphone

130 Moeljatno, Op. Cit, h. 178.


77

milik saksi korban, kemudian karena tempat pembakaran masih


ramai terdakwa mengajak saksi korban berpindah tempat lalu
terdakwa pun membawa saksi korban ke bendungan, sesampai
di bendungan terjadi pertengkaran antara terdakwa dengan
saksi korban karena saksi korban tidak mau menggugurkan
janinnya, terdakwa pun mendorong saksi korban dengan kedua
tangannya ke dalam bendungan yang cukup dalam, lalu saksi
korban berteriak meminta tolong tetapi terdakwa malah
melempari batu kearah kepala saksi korban sebanyak 4 (empat)
kali. Karena mendengar ada saksi yang datang terdakwa pun
menghentikan aksinya lalu melarikan diri dari lokasi kejadian.

Berdasarkan hal tersebut yang telah diuraikan diatas, maka


unsur barang siapa telah terpenuhi.

b. Dengan sengaja
“Sengaja maksudnya adalah suatu hal atau kehendak yang
secara sadar dikehendaki, serta secara sadar mengetahui akibat
dari suatu perbuatan yang dilakukan. Menurut MvT yang dimaksud
dengan kesengajaan adalah “willens en watens” yang artinya adalah
“menghendaki dan menginsyafi atau mengetahui” atau secara agak
lengkap seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan
sengaja harus menghendaki perbuatannya itu dan harus
menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi
karena perbuatannya”.131

Dalam kesengajaan ada 2 teori, yaitu antara lain:

1) “Teori menghendaki
Teori ini adalah teori yang berisi mengenai kehendak atau
keinginan yang ingin dilakukan oleh pelaku dan ia bermaksud

131 Teguh Prasetyo, Op. Cit, h. 95.


78

ingin menimbulkan suatu akibat yang ia kehendaki sehingga


akibat itu adalah maksud dari tindakan atau perbuatan tersebut.
2) Teori mengetahui
Teori ini adalah mengetahui akan timbulnya suatu akibat dari
perbuatan, dalam hal ini orang tidak dapat menghendaki akibat
tetapi hanya bisa membayangkan akibat dari perbuatan yang
dilakukan”.

Dalam kasus ini, terdakwa Pranyoto alias Pentet bin Ali Ridho
telah terbukti bahwa ia menghendaki perbuatan yang ia lakukan,
yaitu melakukan percobaan pembunuhan berencana yang
menyebabkan saksi korban Irma Fitrianingsih mengalami sakit pada
kepala bagian belakang, akibat lemparan batu sebanyak 4 (empat)
kali oleh terdakwa. Dapat dibuktikan bahwa terdakwa secara sadar
melakukan perbuatannya yang dapat membahayakan korban,
terdakwa juga dapat membayangkan akibat yang akan terjadi
kepada saksi korban beserta janin dalam kandungan saksi korban
atas perbuatannya tersebut.

Dalam kasus percobaan pembunuhan berencana ini,


terdakwa Pranyoto alias Pentet bin Ali Ridho melakukan
perbuatannya dengan cara pada awalnya telah timbul niat dari diri
terdakwa untuk membunuh saksi korban karena saksi korban hamil
dan ia tidak mau bertanggungjawab dan menyuruh saksi korban
untuk menggugurkan janinnya. Karena saksi korban tidak mau,
terdakwa akhirnya berniat untuk membunuh saksi korban, terdakwa
berpura-pura ingin diantarkan kerumah teman terdakwa, lalu saksi
korban menjemput terdakwa dan mereka bertemu ditempat
pembakaran, sesampainya ditempat pembakaran terdakwa berpura-
pura lagi untuk menelepon temannya menggunakan handphone
milik saksi korban. Kemudian, karena ditempat pembakaran tersebut
masih ramai, terdakwa mengajak saksi korban berpindah tempat,
79

lalu terdakwa membawa saksi korban ke bendungan. Sesampai di


bendungan terjadi pertengkaran diantara terdakwa dan saksi korban,
terdakwa tidak mau bertanggungjawab dan saksi korban tidak mau
menggugurkan janinnya, terdakwa pun mendorong saksi korban ke
dalam bendungan menggunakan kedua tangannya, lalu melempari
kepala saksi korban menggunakan batu yang ada dilokasi
bendungan sebanyak 4 (empat) kali setelah mendengar teriakan
minta tolong oleh saksi korban. Terdakwa lalu menghentikan
perbuatannya karena mendengar ada saksi yang datang, lalu kabur
melarikan diri.

Atas perbuatan terdakwa Pranyoto alias Pentet bin Ali Ridho


terhadap saksi korban Irma Fitrianingsih tersebut, saksi korban
mengalami sakit dibagian kepala belakang, seperti dalam Pro
Justisia Visum No : 587/IV.6.AU/I/2019 tanggal 26 Maret 2019 yang
dibuat dan ditandatangi oleh dr. Muhammad Najmi Habibi sebagai
Dokter Umum pada RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan
Pekalongan dengan Kesimpulan bahwa terdapat luka memar
dikepala bagian belakang kanan dengan ukuran lima centimeter kali
empat centimeter kali dua centimeter kemungkinan diakibatkan
trauma benda tumpul.

Maka dalam hal ini seperti yang telah diuraikan diatas, unsur dengan
sengaja telah terpenuhi.

c. Unsur Dan Dengan Direncakan Terlebih Dahulu


“Dengan direncanakan terlebih dahulu menurut MvT
pembentukan pasal 340 KUHP diutarakan, antara lain:
“dengan rencana lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran dengan
tenang dan berpikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si
pelaku berpikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan
80

melakukan kejahatan sehingga ia menyadari apa yang


dilakukannya”. 132
Mr. M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu”
antara lain sebagai berikut:

“bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk


mempertimbangkan, untuk berpikir dengan tenang.”133
Dalam perkara ini, terdakwa Pranyoto alias Pentet bin Ali
Ridho telah terbukti merencanakan terlebih dahulu perbuatannya
dalam melakukan percobaan pembunuhan berencana terhadap
saksi korban Irma Fitrianingsih, yaitu pada awalnya pada hari
Minggu sore, tanggal 6 Januari 2019 muncul niat dari dalam diri
terdakwa untuk membunuh saksi korban Irma Fitrianingsih. Lalu
terdakwa berpura-pura meminta saksi korban untuk mengantarkan
terdakwa kerumah teman terdakwa, kemudian dengan
menggunakan motor Beat hitam, saksi korban menemui terdakwa di
tempat pembakaran, disana terdakwa dan saksi korban berbincang,
lalu terdakwa kembali berpura-pura ingin menelepon teman
terdakwa dengan menggunakan handphone milik saksi korban, lalu
sesaat kemudian karena terdakwa melihat sekitar tempat
pembakaran tersebut masih ramai, terdakwa mengajak saksi korban
untuk berpindah tempat. Dengan menggunakan motor Beat hitam,
terdakwa membonceng saksi korban dan membawa saksi korban ke
bendungan.
Sesampai di bendungan, terjadi pertengkaran antara saksi
korban dan terdakwa, terdakwa tetap tidak mau bertanggungjawab
atas kehamilan saksi korban, karena ia merasa belum siap dan
orang tua terdakwa tidak merestui hubungan mereka, usia
kehamilan saksi korban pada saat itu memasuki usia kehamilan 4

132 Leden Marpaung, Op. Cit, h. 31.


133 Ibid.
81

(empat) bulan. Terdakwa menyuruh saksi korban meminum jamu


penggugur janin, karena saksi korban tidak mau maka terdakwa
mendorong saksi korban ke dalam bendungan yang kadar air dalam
bendungan pada saat itu tergolong cukup dalam. Saksi korban
berteriak meminta tolong, tetapi terdakwa melempari batu kearah
kepala saksi korban sebanyak 4 (empat) kali, kepala merupakan
bagian tubuh yang vital dan sangat membahayakan bagi diri saksi
korban dan janin dalam kandungannya. Lalu karena terdakwa
mendengar ada saksi yang datang, terdakwa langsung
menghentikan perbuatannya dan lari meninggalkan lokasi
bendungan.
Dalam kasus tersebut diatas, terdakwa Pranyoto alias Pentet
bin Ali Ridho telah merencanakan perbuatannya, setelah timbulnya
niat untuk membunuh pada sore harinya lalu sekitar pukul 18.30 ia
melaksanakan perbuatannya, dari hal tersebut telah adanya waktu
untuk berpikir dalam keadaan tenang, walau waktu tersebut sangat
singkat dari pelaksanaannya. Selama ada waktu untuk berpikir
secara tenang, dapat dikatakan telah merencanakan terlebih dahulu.
Lalu terdakwa juga melancarkan perbuatannya dengan berpura-
pura minta diantarkan kerumah temannya tetapi hal tersebut tidak
terjadi, terdakwa justru membawa saksi korban ke bendungan,
karena terdakwa merasa tempat pembakaran masih ramai, ia tidak
bisa melakukan perbuatannya untuk membunuh korban di tempat
pembakaran karena masih ramai dan mengajak saksi korban
berpindah tempat ke bendungan, dimana bendungan merupakan
tempat yang berbahaya. Maka, dapat peneliti simpulkan bahwa
terdakwa memang memiliki niat untuk membunuh saksi korban.
Dari uraian tersebut diatas, unsur direncanakan terlebih
dahulu telah terpenuhi.

d. Unsur Melakukan Percobaan Merampas Nyawa Orang Lain


82

Unsur melakukan percobaan merampas nyawa orang lain,


dalam unsur percobaan melakukan tindak pidana haruslah memiliki
unsur-unsur sebagai berikut yaitu, pertama niat, niat dari dalam diri
si pelaku untuk melakukan suatu perbuatan. Kedua, adanya
permulaan pelaksanaan sebagai perwujudan dari niat, dan yang
ketiga adalah tidak selesainya perbuatan itu bukan karena
kehendaknya sendiri.
“Niat melakukan suatu tindak pidana menurut Vos yaitu niat
sama dengan kesengajaan dengan maksud (opzet alsoogmerk) jadi
tidak meliputi kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met
zekerheldsbewustzijn/noodzakelijkheidsbewustzijn) dan
kesengajaan dengan sadar kemungkinan (voorwaardelijk opzet
atau dolus eventualis)”. 134 Dalam kasus niat melakukan suatu tindak
pidana telah ada dari dalam diri si pelaku yaitu Pranyoto Alias Pentet
bin Ali Ridho, pelaku telah mempunyai niat untuk membunuh saksi
korban Irma Fitrianingsih pada hari Minggu Sore tanggal 6 Januari
2019, terdakwa mempunyai niat membunuh saksi korban karena
tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya yang telah
menghamili saksi korban, usia kandungan saksi korban telah
memasuki usia 4 (empat) bulan. Alasan terdakwa tidak mau
bertanggungjawab karena terdakwa merasa bayi dalam kandungan
saksi korban bukanlah anak dari terdakwa, alasan lainnya karena
orang tua terdakwa tidak merestui hubungan mereka dan terdakwa
tidak memiliki pekerjaan tetap, karena saksi korban terus saja
meminta pertanggungjawaban dari terdakwa, maka timbullah niat
untuk membunuh saksi korban.

“Unsur adanya permulaan pelaksanaan, menurut Van Hamel


yang menganut teori subjektif, mengatakan bahwa permulaan
pelaksanaan itu ada jika dari perbuatan itu telah terbukti kehendak

134 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, h. 8.


83

yang kuat dari pelaku untuk melaksanakan perbuatannya”. 135 Dalam


kasus, unsur permulaan pelaksanaan sebagai perwujudan dari niat
telah nyata adanya, terbukti dari terdakwa Pranyoto alias Pentet bin
Ali Ridho yang mendorong saksi korban Irma Fitrianingsih
menggunakan kedua tangannya ke dalam bendungan yang pada
saat itu kandungan air didalam bendungan tergolong cukup dalam,
terdakwa yang mendengar teriakan permintaan tolong dari saksi
korban kembali mengambil batu yang ada disekitaran lokasi
bendungan dan melempar kearah kepala saksi korban sebanyak 4
(empat) kali, akibatnya saksi korban mengalami rasa sakit di kepala
bagian belakang, terbukti dari hasil Visum dalam Pro Justisia Visum
No : 587/IV.6.AU/I/2019 tanggal 26 Maret 2019 yang dibuat dan
ditandatangi oleh dr. Muhammad Najmi Habibi sebagai Dokter
Umum pada RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan
dengan Kesimpulan bahwa terdapat luka memar dikepala bagian
belakang kanan dengan ukuran lima centimeter kali empat
centimeter kali dua centimeter kemungkinan diakibatkan trauma
benda tumpul.

Unsur tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendaknya


sendiri, dalam unsur ini tidak selesainya pelaksanaan kejahatan
yang dilakukan bukan karena kehendak sendiri dapat terjadi dalam
hal-hal sebagai berikut:
1) “Adanya penghalang fisik, misalnya tidak matinya orang yang
ditembak, karena tangan pelaku disentakkan orang sehingga
tembakannya meleset. Termasuk pengertian penghalang fisik
apabila adanya kerusakan pada alat yang digunakan.
2) Tidak selesainya disebabkan karena akan adanya penghalang
fisik, misalnya takut segera ditangkap karena telah diketahui
gerak geriknya oleh orang lain.

135 Teguh Prasetyo, Op. Cit. h. 156.


84

3) Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-


faktor/keadaan-keadaan khusus pada objek yang menjadi
sasaran. Misalnya, daya tahan orang yang ditembak cukup kuat
atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan”.136
Dalam kasus, tidak selesainya perbuatan terdakwa Pranyoto
alias Pentet bin Ali Ridho bukanlah dari kehendaknya sendiri,
melainkan terdakwa mendengar ada saksi yang datang yaitu saksi
Lutfi Maulana bin Wasidi yang pada saat itu sedang berada
disebuah warung kopi yang tidak terlalu jauh dengan bendungan,
saksi Lutfi sedang duduk meminum kopi, dan saksi Slamet Murjoko
bin Casbidin yang pada saat itu sedang mencari ikan yang posisinya
tidak terlalu jauh dari bendungan. Kedua saksi datang ke lokasi
bendungan karena mendengar ada teriakan minta tolong, lalu kedua
saksi menemukan saksi korban Irma Fitrianingsih. Karena
mengetahui ada saksi yang datang terdakwa langsung menhentikan
perbuatannya, dan lari meninggalkan lokasi bendungan. Terbukti
dalam kasus bahwa terdakwa menghentikan perbuatannya, jadi
perbuatannya tidak selesai bukan karena kehendaknya melainkan
adanya akan adanya penghalang fisik, karena takut perbuatannya
akan ketahuan, atau takut akan segera ditangkap karena telah
diketahui gerak geriknya oleh orang lain.
Dapat disimpulkan dari kasus yang peneliti bahas ini, bahwa
telah adanya percobaan pembunuhan berencana yang dilakukan
oleh terdakwa Pranyoto alias Pentet bin Ali Ridho terhadap saksi
Irma Fitrianingsih yang diawali dengan adanya niat yang muncul
dari diri terdakwa pada hari Minggu sore tanggal 6 Januari 2019.
Terdakwa ingin membunuh saksi korban karena saksi korban
meminta pertanggungjawaban dari terdakwa yang telah
menghamilinya, karena tidak mau bertanggungjawab dengan

136 Ibid, h. 23-24.


85

berbagai alasan bahwa terdakwa tidak yakin bahwa bayi dalam


kandungan tersebut anaknya, orang tua terdakwa tidak menyetujui
hubungan terdakwa dan saksi korban, serta alasan bahwa terdakwa
tidak memiliki pekerjaan yang tetap, namun karena saksi korban
tetap saja minta pertanggungjawaban terdakwa pun berniat untuk
membunuh saksi korban.
Terdakwa yang telah mempunyai niat tersebut pda sore
harinya, meminta saksi korban untuk menjemputnya dan berpura-
pura untuk minta diantarkan kerumah teman terdakwa, saksi korban
pun menjemput terdakwa menggunakan sepeda motor Beat hitam
milik keluarganya, saksi korban bertemu dengan terdakwa di tempat
pembakaran. Pada saat itu, mereka berbincang masih mengenai
janin yang dikandung saksi korban, lalu terdakwa kembali berpura-
pura ingin menelepon teman terdakwa dengan meminjam
handphone milik saksi korban. Lalu karena terdakwa melihat
sekitaran tempat pembakaran masih ramai, terdakwa mengajak
saksi korban untuk berpindah tempat, dengan membonceng saksi
korban terdakwa menghentikan motor di lokasi bendungan.
Pada saat tiba dilokasi bendungan, terdakwa dan saksi
sempat terlibat pertengkaran karena saksi korban tidak mau
menggugurkan kandungannya yang sudah memasuki usia 4
(empat) bulan, terdakwa menyuruh saksi korban menggugurkan
kandungan dengan meminum jamu penggugur janin. Karena saksi
tetap tidak mau dan terdakwa pun mendorong saksi korban kedalam
bendungan dengan menggunakan kedua tangannya, setelah itu
terdakwa yang mendengar teriakan saksi korban dari dalam
bendungan kembali melempari batu kearah kepala saksi korban
sebanyak 4 (empat) kali. Lalu karena mendengar ada saksi yang
datang terdakwa langsung menghentikan perbuatannya dan lari
meninggalkan lokasi bendungan.
86

Saksi korban mengalami sakit pada bagian kepala belakang,


akibat lemparan batu oleh terdakwa sebanyak 4 (empat) kali, dari
hasil Visum dalam Pro Justisia Visum No : 587/IV.6.AU/I/2019
tanggal 26 Maret 2019 yang dibuat dan ditandatangi oleh dr.
Muhammad Najmi Habibi sebagai Dokter Umum pada RSI PKU
Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan dengan Kesimpulan
bahwa terdapat luka memar dikepala bagian belakang kanan
dengan ukuran lima centimeter kali empat centimeter kali dua
centimeter kemungkinan diakibatkan trauma benda tumpul.

Dari hal yang telah diuraikan tersebut diatas, maka unsur


melakukan percobaan merampas nyawa orang lain telah terpenuhi.
B. Pemidanaan Yang Dijatuhkan Hakim Terhadap Putusan Nomor
299/Pid.B/2019/PN.Pkl
Pemidanaan yang dijatuhkan hakim tidak tepat berdasarkan Pasal
53 ayat 1 KUHP jo Pasal 338 KUHP. Adapun alasan hakim karena
berpendapat hanya melihat telah adanya niat atau kesengajaan dalam
hal ini sesuai pertimbangan hakim bahwa secara sadar terdakwa
melakukan perbuatan dengan mendorong saksi dan terdakwa
menyadari dengan mendorong maka terdakwa sadar memperkirakan
atau membayangkan bahwa saksi akan meninggal. Namun hakim atau
penegak hukum tidak melihat adanya unsur direncanakan lebih dahulu
secara tenang sehingga ada tempo antara merencanakan niat dan
melaksanakan niat tersebut. Hal ini dengan lebih dahulu menghubungi
saksi minta dijemput dengan meninggalkan pesan pada inbox face
book. Setelah itu ada pertemuan di pembakaran batu bata.
Selanjutnya terdakwa mengajak saksi pindah tempat dan saat duduk
dipinggir bendungan, terdakwa mendorong saksi sehingga terjatuh.
Jadi pemidanaan yang dilakukan haruslah berdasarkan Pasal 53 ayat
2 KUHP jo Pasal 340 KUHP. Dengan pemidanaan l 20 Tahun – 1/3 x
20 tahun = 20 tahun – 6 tahun 8 bulan = 13 tahun 4 bulan. Bila dilihat
87

berdasarkan putusan hakim hanya menjatuhkan 10 tahun. Menurut


peneliti belum memenuhi rasa keadilan sebab perbuatan terdakwa
sangat membahayakan saksi bahkan saksi bisa sampai meninggal
dunia. Guna tercapai tujuan efek jera harusnya saksi diberi pidana
maksimal 13 tahun 4 bulan. Selain itu maka tercapailah kepastian
hukum dan kemanfaatannya, artinya hakim menjalankan putusan dan
pemidanaan sesuai dengan aturan yang berlaku dan dapat bermanfaat
dengan tepat bahwa pelaku mendapat pidana sesuai dengan berat
ringannya suatu perbuatan.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pemaparan yang sudah peneliti bahas
dimuka, maka kesimpulan yang dapat diambil terhadap penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. “Perbuatan pelaku tindak pidana percobaan pembunuhan tidak
memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 338 Jo Pasal 53 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) .
Pasal 338 Jo Pasal 53 ayat (1), berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
jika niat untuk itu telah ternyata adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan kehendak sendiri”.
Unsur-unsurnya sebagai berikut:
a. “Barangsiapa
b. Dengan sengaja
c. Merampas nyawa orang lain
d. Jika niat untuk itu telah ternyata
e. Adanya permulaan pelaksanaan
f. Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan kehendak sendiri”.

2. Pemidanaannya yang dijatuhkan berdasarkan dengan alasan


terbukti ada kesengajaan merampas nyawa orang lain dengan
Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 338 KUHP dengan menjatuhkan
pidana selama 10 tahun.

88
89

B. Saran
Berdasarkan pada hal yang telah peneliti uraikan pada bab-bab
diatas, maka peneliti akan memberikan saran sebagai berikut:
1. Penegak hukum dalam menentukan Pasal yang akan ditetapkan
epada terdakwa haruslah cermat sehingga dapat efektif dan
dengan memperhatikan kronologis kasus. Sebagaimana kasus
ini adanya unsur direncanakan sehingga menurut peneliti lebih
tepat jika dikenakan berdasarkan Pasal 340 KUHP jo Pasal 53
ayat 1 KUHP.
2. Begitupula dalam hal pemidanaan haruslah dijatuhkan sesuai
unsur yang terpenuhi berdasarkan Pasal 340 KUHP jo Pasal 53
ayat 1 KUHP sedangkan pemidanaannya berdasarkan Pasal 340
KUHP jo Pasal 53 ayat 2 KUHP dan melihat akibat adanya
keberbahayaan jika saksi tidak bisa menyelamatkan diri sehingga
seharusnya terdakwa diberikan pidana maksimal selama 13
tahun 4 bulan.
3. Hakim haruslah memperhatikan dasar pertimbangan agar
tercapainya asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas
kepastian hukum, agar dapat memberikan putusan yang seadil-
adilnya demi memperhatikan kepentingan korban dengan
membeikan pidana maksimal.
Daftar Pustaka

BUKU

Achmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum


Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2019

Ahmad Sofian, Ajaran Kausalitas Hukum Pidana, Jakarta:


Prenadamedia Group, 2018.

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rangkang


Education, 2012.

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,

_______, Delik-Delik Tertentu (Special Deliction) Di Dalam KUHP,


Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana, Jakarta; Ghalia, 1995.

Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana Lanjut, Semarang:


Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2012.

Chairul Huda, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan‘ Menuju Kepada ’Tiada


Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta:
Kencana, 2008.

Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya


Atma Pustaka, 2016.

Fuad Ustafa, Pengantar Hukum Indonesia, Malang: UMM Press, 2004.

H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Fikahati Aneska,


2010.

Jan Remmelink, Hukum Pidana (Komentar Atas Pasal-Pasal


Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia),
Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003.

Marpaung Leden, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar


Grafika, 2009.
_______, Asas-Asas Hukum Pidana, Bandung: PT Redaksi Refika,
2002.
_______, Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh, Jakarta: Sinar
Grafika, 2000.

Mety Rahmawati, Dasar-Dasar Penghapus Penuntutan, Penghapus


Peringanan dan Pemberat Pidana dalam KUHP, Jakarta:
Universitas Trisakti, 2014.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2015.

_______, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Dalam Hukum


Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1993.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,


Bandung: P.T Alumni, 2010.

Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Jakarta:


Ghalia Indonesia, 1986.

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung:


Sinar Baru, 1984.

Pedoman Penyusunan Skripsi, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas


Trisakti, 2018.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas


Indonesia, 2007.

_______, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-PRESS, 2015

Sudarto, Hukum Pidana I, Bandung: Alumni, 2007.

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers,


2015.

_______, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Nusa


Media, 2010

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Dasar 1945


JURNAL

Vientje Ratna Multiwijaya, Hukum Pidana Dan Perkembangan Hukum,


Vol. 1, Jurnal Hukum Universitas Trisakti: Jakarta.

ON-LINE DARI INTERNET

Daftar Perkara Pidana Biasa, Online, Tersedia di:http://sipp.pn-


pekalongan.go.id/list_perkara/search, 9 Maret 2020.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST.


Tersedia di: https://www.academia. edu/37050679/ Putusan_
JESSICA_KUMALA_alias_JESSICA_KUMALA_WONGSO_alia
s_JESS_777-2016_1_. 10 Maret 2020.

Prihatin Efendi, “Motif Pelaku Dalam Tindak Pidana Pembunuhan


Berencana Menurut Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana” Jurnal Pro Hukum, Vol. VI No. 2, (Desember 2017), h.
106. Tersedia di
http://journal.unigres.ac.id/index.php/JurnalProHukum/article/do
wnload/476/352. 16 Juni 2020.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi
1. Nama : Cut Lia Marlina
2. Tempat / Tanggal Lahir : Banda Aceh, 15 Maret 1997
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : Jl. Ateung Tuha, Komp. Pola
Permai, Lrg. Pola 5 No. 49. Aceh

6. Nama Orang Tua : Ayah : T. Saiful Amri


Ibu : Ummi Salmah MD

B. Pendidikan Formal
1. Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta Tahun 2016-2020
2. SMAN 7 Banda Aceh Tahun 2012-2015
3. SMPN 1 Peukan Bada, Aceh Tahun 2009-2012
4. SDN PAESAN 02, Pekalongan Tahun 2008-2009
5. MIN Samahani, Aceh Tahun 2003-2008
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20

Anda mungkin juga menyukai