Skripsi Annisa Dilla Siregar

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 99

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

MENURUT HUKUM PERDATA (Studi Putusan MA No. 1113 K/Pdt/2015

Tahun 2015)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

Annisa Dilla Siregar


NIM : 150200287

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
ABSTRAK

Annisa Dilla Siregar*


Rosnidar**
Zulfi Chairi***

Dalam kehidupan sehari-hari anak luar kawin seringkali mendapat sebutan


sebagai anak haram, yaitu anak yang tak menentu siapa bapaknya, artinya anak
yang lahir tersebut hanya mempunyai status serta hubungan biologis dan yuridis
dengan ibu kandungnya saja, tidak mempunyai hubungan yuridis dengan seorang
ayah. Anak yang dilahirkan di luar kawin, perlu diakui oleh ayahnya atau ibunya
supaya ada hubungan hukum. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal
280KUHPerdata. Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUUVIII/2010 tersebut, maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 43 dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan
laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya. Adapun Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan
Skripsi ini adalah Bagaimana pengaturan tentang perkawinan di Indonesia,
Bagaimana Pengaturan tentang anak menurut hukum perdata di Indonesia dan
Bagaimana analisis hukum terhadap Putusan Nomor 1113K/Pdt/ 2015/PN.Mdn.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skrispsi ini
adalah metode yuridis normatif. Metode yuridis normative yaitu dalam menjawab
permasalahan digunakan sudut pandang hukum berdasarkan peraturan hukum
yang berlaku, untuk selanjutnya dihubungkan dengan kenyataan di lapangan yang
berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengaturan tentang perkawinan di
Indonesia diatur dalam Pasal 26 KUH Perdata, Pasal 2 dan 3Kompilasi Hukum
Islam dan pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pengaturan anak sah
dapat dilihat dalam Pasal 250 KUHPerdata, Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam,
Pasal 43 Undang Undang Perkawinan. Sedangkan anak luar kawin atau tidak sah
diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawina. Dalam kasus putusan No. 1113
K/Pdt/2015 PN MDN Tahun 2015 dan Putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung dalam Kasus ini sudahlah tepat dan berpedoman dengan Putusan MK RI
No 46/PUU-VII/2010 ini yang secara gak langsung mengesahkan Akta
Keterangan Ahli Waris tanggal 23 April 2007 Nomor 01/KAW/NOT-AK/2007
akta tersebut memiliki kekuatan hukum tetap.
Kata Kunci : Anak Luar Kawin, Putusan Mahkamah Konstitus

*
Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
**
Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
***
Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat dan

Karunia-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan skripsi dengan judul

“Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 Menurut Hukum Perdata (Studi Putusan No.1113 K/Pdt/2015

PN MDN).” Untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi serta dalam

rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bimbingan,

bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Prof Dr.Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara atas semua dukungan yang besar terhadap seluruh

mahasiswa/i demi kemajuan dan perkembangan pendidikan hukum di

lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof Dr. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakulas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Jelly Leviza SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Utara.

5. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen dan Dosen

Pembimbing I, penulis mengucapkan terima kasih karena telah berkenan

ii
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam

proses penulisan skripsi ini.

6. Zulfi Chairi. SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan waktunya telah sabar, banyak menuntun dan mengarahkan dari

awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

7. Syamsul Rizal, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Eko Yudhistira, SH., M.Kn, selaku dosen pembimbing Akademi penulis

mengucapkan terima kasih.

9. Seluruh dosen dan staf administrasi pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah membimbing dan membantu penulis selama masa

perkuliahan.

10. Teristimewa kepada Papa Dedy Irwandi Siregar, dan Mama Tetty

Matondang, yang selalu mendoakan dan memberikan semangat hingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

11. Terima kasih kepada Kakak dan Adik Tersayang Tasya Nadhifah Siregar dan

Rizka Putri Siregar yang telah memberikan semangatnya kepada penulis.

12. Terima kasih kepada sahabat saya Eliza Ratna Amelia Tarigan, Tania

Gracella Pinem dan William Hutabarat yang memberikan semangat kepada

penulis

13. Terimakasih Kepada Kawan-kawan Departemen Hukum Perdata Stambuk

2015 yang telah memberikan dukungan kepada saya.

iii
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang

telah membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

kita semua dan menjadi bahan masukan dalam dunia pendidikan.

Medan, April 2019

Annisa Dilla Siregar


150200287

iv
DAFTAR ISI
Halaman

ABSTRAK ..................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... v

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................... 1

B. Permasalahan ............................................................................ 9

C. Tujuan Penulisan ...................................................................... 9

D. Manfaat Penulisan .................................................................... 9

E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 10

F. Keaslian Penulisan.................................................................... 12

G. Metode Penelitian ..................................................................... 13

H. Sistematika Penulisan ............................................................... 15

BAB II : PENGATURAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Pengertian Perkawinan di Indonesia........................................ 17

B. Tujuan dari Perkawinan ........................................................... 21

C. Dasar Hukum dari Perkawinan........ ........................................ 26

D. Syarat – Syarat Sahnya Perkawinan........ ................................ 32

E. Akibat Hukum dari Perkawinan........ ...................................... 42

v
BAB III : PENGATURAN TENTANG ANAK MENURUT HUKUM

PERDATA DI INDONESIA

A. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata di Indonesia.......... 50

B. Hak dan Kewajiban Anak ........................................................ 55

C. Hubungan Hukum Perdata Antara Anak dan Orangtua ........... 59

BAB IV : ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MA No. 1113

K/Pdt/2015 PN MDN

A. Kasus Posisi ............................................................................ 71

B. Persepsi Hukum Oleh Hakim dalam Putusan MA No. 1113

K/Pdt/2015 PN Mdn ............................................................... 77

C. Analisis Hukum Putusan MA No. 1113 K/ Pdt/ 2015 Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46 / PUU -VIII-

2010…………………………………………………………… 80

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 84

B. Saran ...................................................................................... 86

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 87

vi
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-

laki dengan seorang wanita. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan menurut pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara pria

dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.

Sahnya suatu perkawinan menurut Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah apabila memenuhi pasal 2 ayat

(1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 yaitu

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundangundangan yang berlaku. Perkawinan yang telah sah menurut

agamanya masing-masing, belum tentu perkawinan tersebut sah menurut undang-

undang perkawinan. Hal tersebut dikarenakan perkawinan yang dilakukan tidak

dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga

1
2

apabila dilahirkan anak di dalam suatu perkawinan yang tidak dicatatkan maka

dapat dianggap bahwa anak tersebut adalah anak luar kawin.2

Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat

penting kedudukannya dalam suatu keluarga. Sebagai amanah, maka orang tuanya

mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi

keperluannya sampai dewasa. Anak belum tentu hanya lahir dari perkawinan yang

sah, bahkan ada kelompok anak yang lahir sebagai akibat dari perbuatan zina.

Anak-anak yang tidak beruntung ini oleh hukum dikenal dengan sebutan anak luar

kawin. Sebagai anak tidak sah atau anak luar kawin, dalam kedudukan hukum,

yaitu yang berkaitan dengan hak-hak keperdataan mereka tentu saja amat tidak

menguntungkan, padahal kehadiran mereka di dunia ini adalah atas kesalahan dan

dosa orang-orang yang membangkitkan mereka. 3

Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa anak yang lahir diluar

kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

saja. Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, baik

yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya maupun warisan.

Bagi mereka yang tunduk kepada hukum perdata, atas persetujuan ibu, seorang

bapak dapat melakukan pengakuan anak.4

Seorang anak luar kawin karena tidak ada hubungan perdata antara dia

dengan sanak keluarga dari orang tuanya, maka sebagian besar berada diluar

2
Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, cet. I,
Jakarta, Gema Insani Pers, 2002, hal. 44
3
Ibid
4
Undang-undang tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974 .
3

ikatan keluarga. Tetapi terhadap si ibu dan si ayah anak luar kawin itu mempunyai

kedudukan yang terkebelakang dbandingkan dengan anak yang sah. Pendapat

masyarakat dan paham kesusilaan untuk sebagian besar tercermin dalam

kedudukan hukum dari anak yang tidak sah. Dijaman dimana orang menganggap

kekuatan ikatan keluarga merupakan tiang penyangga yang paling penting untuk

tata tertib masyarakat, maka kedudukan hukum anak luar kawin itu tidaklah

begitu baik. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yaitu Negara yang

menghendaki agar fungsi hukum itu dijalankan dan ditegakkan, harus dihormati

serta ditaati oleh siapapun juga baik oleh masyarakat maupun pemimpin Negara.

Hukum perdata merupakan hukum yang mengatur hubungan antara orang yang

satu dengan yang lainnya serta hak dan kewajiban masing-masing pihak yang

ditimbulkan dari hubungan tersebut.5

Perkawinan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia untuk

memenuhi hasratnya untuk berkeluarga dan mempunyai keturunan. Untuk

melangsungkan suatu perkawinan, harus tunduk pada norma hukum yang berlaku.

Salah satu tujuan manusia melakukan perkawinan adalah untuk memperoleh

keturunan. Keturunan (afstamming), ialah hubungan darah antara orang tua

dengan anak-anaknya.6

Mengingat perkembangan masyarakat di Indonesia ini semakin banyak

anggapan bahwa hubungan seks di luar ikatan perkawinan sah, tidaklah

merupakan suatu masalah yang luar biasa, sehingga seringkali terjadi kelahiran

5
A. Pilto, Hukum Waris menurut KUHPerdata, (Jakarta,Intermasa, 2001), Hal 51.
6
Wahyono Darmabrata (a), Hukum Perdata Asas-Asas Hukum Orang dan Keluarga,
(Jakarta, Gitamajaya, 2004), hal. 2.
4

seorang anak di luar suatu ikatan perkawinan sah. Anak yang lahir di luar suatu

ikatan perkawinan sah. Pada saat ini sering kali terjadi pergaulan bebas antara pria

dan wanita. Mereka melakukan hubungan seksual di luar perkawinan yang tidak

sah tanpa memikirkan akibat yang akan timbul. Hubungan seksual pra nikah

sudah menjadi kebiasaan yang salah yang dianggap biasa.

Akibat dari hubungan seksual di luar kawin antara lain adalah lahirnya

anak di luar perkawinan yang menyebabkan status anak tersebut adalah anak luar

kawin. Jika bapak dari anak luar kawin tersebut mau bartanggung jawab terhadap

anak tersebut dengan mengakuinya dan mengesahkannya maka anak tersebut akan

memiliki hubungan hukum (perdata) dengan bapaknya. Tetapi jika bapak dari

anak luar kawin tidak mau bertanggung jawab dengan mengakuinya maka anak

tersebut tidak memiliki hubungan hukum (perdata) dengan bapaknya. Hal ini akan

akan menimbulkan kerugian baik bagi pihak anak maupun ibu yang melahirkan

anak tersebut. Dari pihak anak, ia tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan

pemeliharaan, perlindungan, kasih sayang dan nafkah dari bapak-ibunya, tetapi ia

dapatkan hanya dari ibunya saja. Dari pihak ibu, ia harus memberikan

pemeliharaan, perlindungan, kasih sayang dan nafkah terhadap anak tersebut

tanpa bantuan dari bapaknya.7

Dalam kehidupan sehari-hari anak luar kawin seringkali mendapat sebutan

sebagai anak haram, yaitu anak yang tak menentu siapa bapaknya, artinya anak

yang lahir tersebut hanya mempunyai status serta hubungan biologis dan yuridis

7
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta, AMZAH, 2012),
hlm. 234.
5

dengan ibu kandungnya saja, tidak mempunyai hubungan yuridis dengan seorang

ayah. Hal ini disebabkan oleh tidak jelasnya siapa yang menjadi ayah dari anak

luar kawin tersebut.

Hal ini akan akan menimbulkan kerugian baik bagi pihak anak maupun

ibu yang melahirkan anak tersebut. Dari pihak anak, ia tidak mendapatkan haknya

untuk mendapatkan pemeliharaan, perlindungan, kasih sayang dan nafkah dari

bapak-ibunya, tetapi ia dapatkan hanya dari ibunya saja. Dari pihak ibu, ia harus

memberikan pemeliharaan, perlindungan, kasih sayang dan nafkah terhadap anak

tersebut tanpa bantuan dari bapaknya. Hal ini dimungkinkan terjadi pada anak luar

kawin, karena terdapatnya penggolongan anak. Anak-anak dapat dibedakan dalam

2 golongan :8

1. anak sah adalah anak yang dilahirkan dari atau sebagai akibat dari

perkawinan yang sah;

2. anak tak sah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan.

Pengaturan mengenai kedudukan anak di dalam Undang-undang No. 1

tahun 1974 diatur di dalam Bab IX (Pasal 42 - Pasal 44) berjudul Kedudukan

Anak. Pembedaan golongan anak (anak sah dan anak luar kawin), menyebabkan

adanya perbedaan hubungan hukum (perdata) antara anak sah dan anak luar kawin

dengan orang tuanya.

Anak yang dilahirkan di luar kawin, perlu diakui oleh ayahnya atau ibunya

supaya ada hubungan hukum.Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 280
8
R Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang Dan Keluarga,
(Bandung, Alumni, 1986), hal. 132.
6

KUHPerdata. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 43 ayat 1 Undang-undang No.

1 tahun 1974 seorang anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya. Dengan adanya pembedaan golongan anak tersebut,

adanya pandangan bahwa anak yang sah dianggap sebagai dambaan orang tua

karena merupakan hasil dari perkawinan. Sedangkan untuk anak luar kawin bukan

merupakan sesuatu yang dapat didambakan dan merupakan aib yang memalukan.

KUHPerdata di dalam ketentuannya memberikan suatu cara agar seorang anak

luar kawin dapat menjadi anak sah, yaitu dengan cara pengabsahan anak.9

Pengabsahan anak ini dapat mengurangi beban psikologis dari anak

tersebut maupun dari ibunya dan dengan pengabsahan tersebut anak tersebut

kedudukan hukumnya sama dengan anak sah. Selain itu pengabsahan ini

dimaksudkan agar anak memiliki hubungan psikologis, sosiologis dan material

dengan ayahnya.10

Seorang anak, terlepas dari apakah anak tersebut anak sah atau anak luar

kawin mereka tidak meminta untuk dilahirkan. Mereka memiliki hak yang sama

sebagaimana yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak, sebagai berikut :

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan

berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam

asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar ;

9
Pasal 280 kitab Undang-Undang Hukum Perdata
10
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, (Surabaya, Airlangga
University Press, 2000), hlm. 16.
7

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan

kehidupan sosialnya, sesuai dengan negara yag baik dan berguna ;

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam

kandungan maupun sesudah dilahirkan ;

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat

membahayakan atatu menghambat pertumbuhan dan perkembangannya

dengan wajar.

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan menurut Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 43 hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, maka dalam

hal ini kedudukan anak luar kawin tersebut tidak memilki hubungan keperdataan

dengan ayah biologisnya.11 Pasal tersebut dianggap telah merugikan hak

konstitusional si anak. Menurut penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pasal 51 yang dimaksud

dengan hak-hak konstitusional hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUUVIII/2010 tersebut, maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 43 dinyatakan tidak memiliki kekuatan

hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan

laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi

11
Pasal 43, Op.Cit, Undang-Undang Perkawinan
8

dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah

sebagai ayahnya.

Salah satu contoh permasalahan tentang kedudukan anak luar kawin adalah kasus

dalam putusan Putusan MA No. 1113 K/Pdt/2015. Dalam kasus ini Nelly

Purnama Sari Boenjamin adalah satu-satunya anak kandung dan ahli waris yang

sah dari perkawinan Alm. Sahar Boenjamin sesuai dengan Akta Keterangan Hak

Waris tanggal 8 Nopember 2001 Nomor 07/HW/2001. Ayah Nelly Purnama Sari

ada melakukan hidup bersama dengan perempuan yang tidak diikat dengan tali

perkawinan yang sah menurut hukum yakni Jie Choen Koei yang dimana

hubungan dengan perempuan tersebut melahirkan 5(lima) orang anak yakni

Moyliasari Boenjamin, Ngat Boenjamin, Fonasari Boenjamin, Oetjon Boenjamin

dan Hadi Boenjamin. Dinilah timbul permasalahan antara anak sah dan anak luar

kawin mengenai pembagian harta warisan.

Dengan demikian, hukum harus memberi perlindungan dan kepastian

hukum yang adil terhadap status setiap anak yang dilahirkan dan hak-hak yang

ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan diluar pernikahan yang sah

menurut peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, penulis tertarik untuk

mengkaji dalam bentuk sebuah Skripsi dengan judul “KEDUDUKAN ANAK

LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

46/PUU-VIII/2010 MENURUT HUKUM PERDATA (Studi Putusan MA No.

133 K/Pdt/2015)”.
9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas adapun permasalahan dalam penulisan

skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan tentang perkawinan di Indonesia ?

2. Bagaimana Pengaturan tentang anak menurut hukum perdata di

Indonesia ?

3. Bagaimana analisis hukum terhadap Putusan MA Nomor 1113K/Pdt/

2015?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti, yaitu

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang perkawinan di Indonesia ?

2. Untuk mengetahui Pengaturan tentang anak menurut hukum perdata di

Indonesia ?

3. Untuk mengetahui analisis hukum terhadap Putusan MA Nomor

1113K/Pdt/ 2015?

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama,

maka dengan demikian, dari penulisan ini diharapkan akan dapat memberi manfaat,

antara lain :

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan

informasi bagi para akademisi dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentang


10

kedudukan anak luar kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 lanjut bagi para akademisi dan masyarakat umum serta

kiranya dapat memberi manfaat guna menambah khasanah ilmu pengetahuan

khususnya dalam ilmu hukum tentang kedudukan anak.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan masukan kepada masyarakat

dan bagi para praktisi hukum, khususnya bagi anak kuar kawin agar lebih

mengetahui mengenai langkah-langkah yang harus diperhatikan berupa hak-hak

anak secara konstitusional agar si anak mendapat suatu kepastian hukum,

keadilan dan kesejahteraan.

E. Tinjauan Pustaka

1. Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting

dalam kehidupan manusia dengan berbagai konsekuensi hukumya. Karena itu

hukum mengatur masalah perkawinan ini secara detail. Yang dimaksud dengan

perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa, yang harus juga

dicatat menurut peraturan peundang-undangan yang berlaku.

2. Anak Luar Kawin

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang

tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang telah

membenihkan anak di rahimnya, anak tersebut tidak mempunyai kedudukan yang


11

sempurna di mata hukum seperti anak sah pada umumnya, dengan kata lain anak

tersebut adalah anak yang tidak dilahirkan di dalam atau sebagai akibat suatu

perkawinan yang sah.12

Selain itu anak luar kawin juga dapat diartikan sebagai anak yang dilahirkan

karena zina akibat dari hubungan suami atau istri dengan lakilaki atau perempuan

serta anak yang dilahirkan di luar nikah karena sumbang (incest), yaitu akibat

persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang oleh undang-undang dilarang

untuk mengadakan perkawinan.13

3. Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) dan

ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Hal ini

berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga

lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Keberadaan MK sebagai salah

satu kekuasaan kehakiman, selain ditegaskan pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945,

juga disebut pada Pasal 2 UU No. 4 tahun 2003 yang berbunyi, “Penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman sebagai di maksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

12
J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 103
13
Harun Utuh, Anak Luar Nikah: Status Hukum dan Perlindungannya, PT Bina Ilmu,
Surabaya, 2007, hal. 28
12

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”14

Bertitik Tolak dari ketentuan pasal-pasal diatas, keberadaan dan kedudukan

MK sebagai satu pelaku kekuasaan kehakiman ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1

UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang berbunyi,

“Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945”. Desain keberadaan dan wewenang Mahkamah Konstituai di gariskan

pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun

1945.”

F. Keaslian Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba menyajikan sesuai dengan

fakta-fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya, sehingga skripsi ini

tidak jauh dari kebenarannya. Penulisan Skripsi yang berjudul “Kedudukan Anak

Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Menurut Hukum Perdata (Studi Putusan No. 133 K/Pdt/2015 PN.Mdn Tahun

2015)” adalah hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan

penulis belum pernah ada yang mengangkatnya ataupun membuatnya.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran, dan usaha

penulis sendiridengan adanya bantuan dan bimbingan dari dosen pembimbing

14
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata,(Jakarta, Sinar Grafika, 2008) , 14.
13

penulis tanpa adanya unsur penipuan, penjiplakan, atau hal-hal lain yang dapat

merugikan pihak tertentu. Dan untuk itu Penulis dapat mempertanggungjawabkan

atas semua isi yang terdapat di dalam skripsi ini dan keaslian penulisan skripsi ini.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Adapun sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

penelitian hukum yang bersifat deskriptif yakni penelitian yang bersifat

pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap

tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu, atau mengenai gejala

yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. 15

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.

Penelitian tidak saja berusaha mempelajari Pasal-Pasal, perundang-undangan,

pandangan, pendapat para ahli dan menguraikannya dalam karya penelitian

ilmiah, tetapi juga menggunakan bahan- bahan yang sifatnya normatif itu dalam

rangka mengulas dan menganalisis data lapangan yang disajikan sebagai

pembahasan.

Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang terdiri dari penelitian yang

berupa usaha inventarisasi hukum positif, usaha penemuan asas-asas dan dasar

falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif dan usaha penemuan hukum in

concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum

tertentu.

15
Abdulkadir Muhammad,Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.I, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung,2004, hal. 50.
14

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yang

meliputi tiga bahan hukum, yaitu :16

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum mengikat kepada masyarakat, seperti Undang-Undang Dasar,

Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan ini

seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan

mengenai bahan hukum primer. Yang digunakan dalam hal ini berupa

buku-buku, artikel internet, skripsi, dan hasil-hasil penelitian dan hasil

karya kalangan hukum yang berkaitan dengan penulisan ini.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Bahan hukum tersier yang digunakan berupa kamus, baik kamus bahasa

Indonesia, kamus bahasa Inggris maupun kamus hukum.

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengambilan Data

Prosedur pengumpulan dan pengambilan data yang digunakan penulis

dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research),

yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagi literatur yang relevan dengan

permasalahan skripsi ini seperti buku-buku, makalah, artikel dan berita yang

16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Ed.1, cet.7, (Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 13-14
15

diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh

teori-teori atau bahan-bahan yang berkaitan dengan judul tulisan yaitu mengenai

permasalahan kedudukan anak luar kawin.

5. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan penulis dalam penulisan skripsi ini dengan

cara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data lalu diolah dalam pendapat atau

tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian

dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam

skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam lima

bab. Tata urutan sistematikanya sebagai berikut:

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain

memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II: Bab ini merupakan Pengaturan Hukum Perkawinan Di Indonesia.

Sub bagiannya terdiri dari Pengertian Perkawinan di Indonesia,

Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia, Syarat-syarat Sahnya

Perkawinan dan Akibat Hukum dari Perkawinan.

BAB III: Bab ini merupakan Pengaturan tentang Anak Menurut Hukum

Perdata di Indonesia. Sub bagiannya terdiri dari Pengertian


16

Anak menurut Hukum Perdata di Indonesia, Hak dan Kewajiban

Anak dan Hubungan Hukum Perdata antara Anak dan Orangtua.

BAB IV: Bab ini merupakan Analisis Hukum terhadap Putusan Nomor

1113K/Pdt/2015/PN.Mdn. Sub bagiannya terdiri dari Kasus

Posisi, Persepsi Hukum oleh Hakim dalam Putusan nomor

1113K/Pdt/2015/PN.Mdn dan Analisis Hukum Putusan Nomor

1113K/Pdt/2015/PN.Mdn Pasca Putusan Mahkamah Konstutusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010.

BAB V:Merupakan suatu penutup. Isinya antara lain terdiri dari

kesimpulan dan saran-saran dari penulis yang mana guna

membantu dalam penyelesaian suatu permasalahan yang ada

dalam obyek penelitian.


17

BAB II

PENGATURAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Pengertian Perkawinan di Indonesia

Arti kata perkawinan dalam Wikipedia Ensiklopedia bebas ialah katan

sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan

kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang

meresmikan hubungan antar pribadi yang pada umumnya dimulai dan diresmikan

dengan upacara perkawinan dan dijalani dengan maksud untuk membentuk

keluarga.17

M. Idris Ramulyo juga berpendapat bahwa Kawin (nikah) menurut arti asli

ialah hubungan seksual tetapi menurut arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang

menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan

seorang wanita.18Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan kodrati

yang dimiliki oleh setiap manusia, dimana kebutuhan manusia untuk melakukan

perkawinan, ini juga telah diakui sebagai salah satu hak azasi manusia yang

dijamin oleh negara untuk pelaksanaannya.

Perkawinan juga merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting

dalam kehidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut

calon mempelai wanita dan pria saja, tetapi orang tua kedua belah pihak, saudara-

saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.

17
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Perkawinan, http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan,
diakses pada 23 Desember 2018
18
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-undang
No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta, 1966, hal. 1

17
18

Istilah perkawinan dalam agama dikatakan sebagai nikah, yang dalam hal

ini Soemiyati mengatakan bahwa nikah adalah melakukan suatu aqad atau

perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan wanita untuk

menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela

dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup

berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang

diridhoi oleh Allah.19

Perkawinan dalam bahasa Arab adalah nakaha yang mempunyai arti yang

luas, akan tetapi dalam hukum islam mempunyai arti tertentu. Nikah adalah suatu

perjanjian untuk mensahkan hubungan seorang pria dam seorang wanita untuk

melanjutkan perkawinan. Hal demikian dapat disimpulkan dari firman Allah SWT

dalam surat An-Nisa ayat 24 yang artinya: “Dan dihalalkan (dibolehkan) kepada

kamu mengawini perempuan–perempuan selain dari yang tersebut itu, jika kamu

menghendaki mereka dengan mas kawin untuk perkawinan dan bukan untuk

perbuatan jahat”.20

Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memuat suatu ketentuan arti

atau definisi tentang perkawinan, namun pemahaman perkawinan dapat dilihat

dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam pasal tersebut

disebutkan bahwa undang-undang memandang perkawinan hanya dari sudut

perhubungannya dengan hukum perdata saja, lain dari itu adalah tidak. Kitab

19
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 1982, hal. 8
20
Abdul Ghofur Anshory, Hukum Perkawinan Islam Prespektif Fikih dan Hukum Positif,
Yogyakarta, UII Press, 2011, hlm .11
19

Undang-Undang Hukum Perdata masih menjunjung tinggi nilai-nilai perkawinan

yang tata cara dan pelaksanaannya diserahkan kepada adat masyarakat atau agama

dan kepercayaan dari orang-orang yang bersangkutan.21

Pemahaman tentang konsep perkawinan di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata berbeda dengan konsep perkawinan dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, yang mana pengertian perkawinan menurut Pasal 1 adalah

sebagai berikut :

”Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha

Esa.”

Perbedaan mengenai pengertian perkawinan pada Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dengan pengertian perkawinan yang terdapat di dalam Pasal

26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ialah dimana Pasal 26 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata hanya menganggap perkawinan adalah sebuah ikatan

lahiriah saja tanpa memperhatikan unsur batiniah seperti perkawinan yang

dimaksudkan oleh Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 yang

menganggap perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri, maksud dari ikatan lahir bathin ialah bahwa

ikatan tersebut tidak cukup diwujudkan dengan ikatan lahir saja, tetapi harus

21
Asyari Abdul Ghofar, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam,
Kristen Dan Undang-Undang Perkawinan, CV. Gramada, Jakarta, 1992, Hal 16.
20

terwujud pula ikatan bathin yang mana akan mendasari ikatan lahir tersebut agar

memiliki kekuatan (tidak rapuh) atau hanya merupakan hubungan sesaat saja.

Rusli dan R. Tama mengatakan definisi atau pengertian perkawinan dalam

Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dapat dimengerti bahwa dengan melakukan

perkawinan pada masing-masing pihak telah terkandung maksud untuk hidup

bersama secara abadi, dengan memenuhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang

telah ditetapkan oleh negara, untuk mencapai keluarga bahagia. Sementara itu,

Asyari Abdul Ghofar menyatakan bahwa perkawinan itu merupakan peristiwa

yang penting yang mengakibatkan keluarnya warga lama di satu pihak dan lain

pihak berarti masuknya wargabaru dan serta merta mempunyai tanggung jawab

penuh terhadap masyarakat persekutuannya.22

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan

pengertian perkawinan merumuskan unsur-unsur dari perkawinan adalah sebagai

berikut :

1. Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria

denganseorang wanita.

2. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang

kekal dan bahagia.

3. Perkawinan dilaksanakan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.

22
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, Pionir Jaya,
Bandung, 2000, hal. 11.
21

B. Tujuan dari Perkawinan

Perkawinan adalah sesuatu yang sakral, sesuatu yang amat penting bagi

kehidupan manusia termasuk kehidupan agama, dan dianggap bahwa perkawinan

itu adalah bagian dari ibadah. Tujuan sebuah perkawinan bagi orang beragama

harus merupakan suatu alat untuk menghindarkan diri dari perbuatan buruk dan

menjauhkan diri dari dosa. Dalam konteks inilah pasangan yang baik dan cocok

memegang peranan penting. Dua orang beriman melalui perkawinan membentuk

sebuah keluarga, dari hubungan mereka akan memberikan keuntungan dalam

memperkuat rasa saling mencintai dan menyayangi yang ada dalam diri mereka,

karena itulah tujuan perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual.

M. Idris Ramulyo menyatakan pendapatnya bahwa tujuan perkawinan

dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga

sekaligus untuk membetuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan

dalam menjalankan hidupnya di dunia ini, juga untuk mencegah perzinaan, agar

tercipta ketenangan daan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman

keluarga dan masyarakat.23

Pendapat Soemiyati tersebut oleh seorang filosof Islam Imam Ghazali

kemudian dibagi menjadi 5 tujuan perkawinan, yaitu :

1. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan

serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

2. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

23
M. Idris Ramulyo, Op. Cit, hal. 26.
22

3. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

4. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari

masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih sayang.

5. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang

halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.24

Lebih jelasnya mengenai tujuan dan faedah perkawinan di atas maka akan

diuraikan satu persatu sebagai berikut:

1. Untuk memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan

keturunan serta akan memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

Memperoleh keturunan dalam perkawinan bagi penghidupan manusia

mengandung pengertian dua segi yaitu:

a. Untuk kepentingan diri pribadi Memperoleh keturunan merupakan

dambaan setiap orang. Bisa dirasakan bagaimana perasan sepasang

suami istri yang hidup berumah tangga tanpa seorang anak, tentu

kehidupannya akan sepi dan hampa. Disamping itu keinginan untuk

memperoleh anak bisa dipahami, karena anak-anak itulah yang

nantinya bisa diharapkan membantu orang tua dan keluarganya di

kemudian hari.

b. Untuk kepentingan yang bersifat umum atau universal Dari aspek

yang bersifat umum atau universal karena anak-anak itulah yang

menjadi penghubung atau penyambung keturunan seseorang dan yang

akan berkembang untuk meramalkan dan memakmurkan dunia.

24
Soemiyati, Op. Cit, hal. 12
23

2. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan. Tuhan telah

menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang berlainan yaitu laki-laki

dan perempuan. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa antara laki-laki

dan perempuan memiliki daya tarik. Daya tarik ini adalah kebirahian atau

seksual. Sifat ini yang merupakan tabiat kemanusiaan. Dengan

perkawinan pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan dapat disalurkan

secara sah.

3. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan. Dengan perkawinan

manusia akan selamat dari perbuatan amoral, disamping akan merasa

aman dari keretakan sosial. Bagi orang yang memiliki pengertian dan

pemahaman akan nampak jelas bahwa jika ada kecenderungan lain jenis

itu dipuaskan dengan perkawinan yang disyari’atkan dengan hubungan

yang halal. Maka manusia baik secara individu maupun kelompok akan

menikmati adab yang utama dan ahklak yang baik. Dengan demikian

masyarakat dapat melaksanakan risalah dan memikul tanggung jawab

yang dituntut oleh Allah.

4. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis utama dari

masyarakat yang besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang. Ikatan

perkawinan adalah ikatan lahir batin yang berupa asas cinta dan kasih

sayang merupakan salah satu alat untuk memperkukuh ikatan

perkawinan. Diatas rasa cinta dan kasih sayang inilah kedua belah pihak

yang melakukan ikatan perkawinan itu berusaha membentuk rumah

tangga yang bahagia. Dari rumah tangga inilah kemudian lahir anakanak,
24

kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya

sehingga tersusun masyarakat besar. Dengan demikian tanpa adanya

perkawinan, tidak mungkin ada keluarga dan dengan sendirinya tidak ada

pula unsur yang mempersatukan bangsa manusia dan selanjutnya tidak

ada peradaban. Hal ini sesuai dangan pendapat Mohammad Ali yang

dikutip oleh Soemiyati mengatakan bahwa: “Keluarga yang merupakan

kesatuan yang nyata dari bangsa-bangsa manusia yang menyebabkan

terciptanya peradaban hanyalah mungkin diwujudkan dengan

perkawinan”. Oleh sebab itu dengan perkawinan akan terbentuk keluarga

dan dengan keluarga itu akan tercipta peradaban.

5. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki kehidupan yang

halal dan memperbesar rasa tanggung jawab. Pada umumnya pemuda

dan pemudi sebelum melaksanakan perkawinan, tidak memikirkan soal

penghidupan, karena tanggung jawab mengenai kebutuhan kehidupan

masih relatif kecil dan segala keperluan masih ditanggung orangtua.

Tetapi setelah mereka berumah tangga mereka mulai menyadari akan

tanggung jawabnya dalammengemudikan rumah tangga. Suami sebagai

kepala keluarga mulai memikirkan bagaimana mulai mencari rezeki yang

halal untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Dengan keadaan yang

demikian akan menambah aktifitas kedua belah pihak, suami akan

berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah atau rezeki

apalagi jika mereka sudah memiliki anak.


25

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tujuan

dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dari rumusan pasal tersebut dapat

disimpulkan bahwa tujuan pokok perkawinan adalah membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal. Suami istri perlu saling membantu agar masing-masing dapat

mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual

maupun material. Soedharyo Soimin dalam hal ini mengatakan bahwa tujuan

material yang akan diperjuangkan oleh suatu perjanjian perkawinan mempunyai

hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga bukan saja mempunyai unsur

lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan penting

Jadi perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal

ini perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yaitu

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.25

Ketentuan undang-undang yang menyatakan berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa mengartikan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat

dengan agama atau kerohanian, dalam hal perkawinan di setiap agama pasti

mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan perkawinan tersebut diharapkan dapat

membuat suatu ketenangan (sakinah) dalam hubungan rumah tangga dengan dasar

agama.

Berdasarkan uraian diatas maka tujuan perkawinan dapat dijabarkan

sebagai berikut:

25
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 6
26

4. Melaksanakan ikatan perkawinan antara pria dan wanita yang sudah

dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga.

5. Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan

sesuai dengan ajaran dan firman Tuhan Yang Maha Esa.

6. Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan dan

selanjutnya memelihara pembinaan terhadap anak-anak untuk masa

depan.

7. Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan istri dalam

membina kehidupan keluarga.

8. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan damai.

C. Dasar Hukum Perkawinan Di Indonesia

Di Indonesia pelaksanaan hukum Perkawinan masih pluralistis. Artinya di

Indonesia dalam praktiknya masih berlaku tiga macam sistem hukum perkawinan,

yaitu:

1. Hukum perkawinan menurut Hukum Perdata Barat Burgerlijk Wetboek

(BW), diperuntukkan bagi WNI, Keturunan asing atau beragama Kristen;

2. Hukum perkawinan menurut Hukum Islam, diperuntukkan bagi WNI

keturunan atau pribumi yang beragama Islam;

3. Hukum perkawinan menurut Hukum Adat, diperuntukkan bagi

masyarakat pribumi yang masih memegang teguh hukum adat.26

26
Abdul Ghofur Anshory, Hukum Perkawinan Islam Prespektif Fikih dan Hukum Positif,
Yogyakarta, UII Press, 2011, hlm 1-2.
27

Ketentuan tentang Perkawinan menurut KUHP sangat berbeda dengan

hukum Islam. Menurut KUHPerdata Perkawinan ialah pertalian yang sah antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama, UU

memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan demikian bunyi Pasal

26 Burgerlijk Wetboek. Artinya bahwa pasal tersebut hendak menyatakan bahwa

suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat- syarat

yang ditetapkan dalam Kitab Undang–Undang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetboek) dan syarat–syarat serta peraturan agama dikesampingkan.27

Menurut Sayuti Thalib secara pendek pengertian perkawinan itu ialah

perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan. Unsur perjanjian di sini untuk memperlihatkan segi kesengajaan dari

suatu perkawinan serta penampakannya kepada masyarakat ramai. Sedangkan

sebutan suci untuk penyataan segi keagamaannya dari suatu perkawinan,

unsureunsur yang lain ditempatkan dalam uraian mengenai maksud, tujuan atau

hikmah suatu perkawinan.28

Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa

“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,

pengertianperkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 perlu dipahami benar-benar oleh masyarakat , oleh karena ia

27
Soebekti, Pokok – Pokok Hukum Perdata,Jakarta, Intermasa, 2003, hlm. 23
28
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, UI Press, 2009, hlm.47
28

merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut, baik yang

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam peraturan

lainnya yang mengatur tentang perkawinan.29

Menurut Abdul Ghofur Anshori, dari pengertian tersebut jelas terlihat

bahwa dalam sebuah perkawinan terdapat dua aspek yang saling terkait erat,

yaitu:

1. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat “ikatan lahir

batin”, artinya bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai ikatan

secara lahir, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama

oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan initi dari

perkawinan itu.

2. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya “membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal” dan berdarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”,

artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan

kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tetapi unsur rohani

berperan sangat penting untuk membentuk rumah tangga yang bahagia

dunia dan akhirat.

Jika dilihat dari rumusan perkawinan seperti tersebut di atas, maka pada

dasarnya nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang pria dan

seorang wanita.Walaupun nikah ini merupakan salah satu bentuk perjanjian

29
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 2007,
hlm.61
29

perikatan, namun perjanjian ini berbeda dengan perjanjian-perjanjian perdata yang

lainnya, misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain.30

Nikah secara islam dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yaitu

melaksanakan ikatan persetujuan (akad) antara seorang pria dan seorang wanita

atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali

pihak wanita munurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama.

Menurut Sayyiq Sabiq dalam Fikih Sunnah, perkawinan merupakan salah satu

sunatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan,

maupun tumbuh-tumubuhan.31

Tujuan nikah adalah mensahkan persekutuan antara pria dan wanita, serta

untuk menumbuhkan cinta kasih antara yang satu dengan yang lain dan

mewajibkan yang satu menjadi teman hidup bagi yang lainnya. Secara terperinci

tujuan nikah adalah:

1. Untuk memperoleh keturunan

2. Untuk memenuhi nalurinya sebagai manusia

3. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan

4. Membentuk dan mengatur rumah tangga

5. Menumbuhkan aktivitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal dan

memperbesar rasa tanggung jawab.32

30
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hlm.13&174
31
Ibid, hlm.20
32
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, Surabaya, Universitas Airlangga, 1988, hlm.27-29
30

Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3

disebutkan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah

dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.

Perkawinan bersumber dari Alquran dan Alhadits, yang kemudian

dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991.

Dalam melangsungkan suatu perkawinan harus ada dasar-dasar yang

mengatur didalamnya.

1. Dalam Bab I Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa

perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Dalam Pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Dalam Pasal 3 ayat (2) menentukan bahwa pengadilan dapat memberi

izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila

dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

4. Dalam Pasal 4 ayat (1) menentukan bahwa dalam hal seorang suami akan

beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tesebut dalam pasal 3 ayat (2)

undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada

Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.


31

Dasar Perkawinan dalam KHI ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan

Pasal 10 KHI.

1. Dalam Bab II Pasal 3 KHI menyatakan bahwa Perkawinan bertujuan

untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,

dan rahmah.

2. Dalam Pasal 4 menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU

Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

3. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) KHI menentukan bahwa agar terjamin

ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus

dicatat, lalu dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) untuk memenuhi ketentuan

dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di

bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

Selain itu, keabsahan perkawinan diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UUP.

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu”. Ayat (2) mengungkapkan “Tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menggunakan istilah yang bersifat

umum, maka Kompilasi Hukum Islam menggunakan istilah khusus yang

tercantum dalam Al-Quran.


32

D. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan

Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-syarat perkawinan terbaagi

menjadi syarat intern (materill) dan syarat-syarat ektern (formal) yaitu :

1. Syarat Materiil

Syarat materill adalah syarat yang berkaitan dengan para pihak yang akan

melangsungkan perkawinan. Sebelum melangsungkan perkawinan, maka

calon mempelai harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditentukan

oleh Undang-Undang sebagaimana diatur Pasal 6-12 Undang-undang

Perkawinan, dan khusus bagi mereka yang pegawai negeri sipil masih

ditambah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983.33

Adapun syarat-syarat pada pokoknya adalah sebagai berikut:

a. Ada persetujuan dari kedua calon mempelai

Syarat yang pertama ini terdapat pada Pasal 6 ayat (1) Undang-undang

Perkawinan, bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua

calon yang akan melangsungkan perkawinan. Kedua calon itu masing-

masing harus saling setuju untuk mengikat tali perkawinan dengan nya,

yang dituangkan dalam bentuk tulisan.34 Adanya persetujuan calon

mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan, dimaksudkan agar

supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup

berumah tangga dalam perkawinan.35 Munculnya syarat persetujuan

33
Gatot Supramono, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta, Penerbit
Djambatan, hlm 14-15
34
Ibid, hlm 15
35
Ibid, hlm 15
33

dalam Undang-undang Perkawinan, dapat kami hubungkan sistem

perkawinan pada zaman dahulu, zaman kakek-nenek kita dan

sebelumnya dimana pada waktu itu terjadi kawin paksa. Seorang anak

harus patuh pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan orang

yang dianggap tepat oleh orang tuanya. Untuk menanggulangi kawin

paksa Undang-Undang perkawinan telah memeberikan jalan keluarnya,

yaitu suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan

menunjuk Pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk kawin itu dilakukan di

bawah ancaman yang melanggar hukum.

b. Umur calon mempelai, untuk laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun,

sedangkan umur wanitanya sudah mencapai 16 tahun

Sebagaimana di atas telah disebutkan, bahwa untuk dapat melangsungkan

perkawinan maka syaratnya bagi laki-laki umurnya minimal 19 tahun dan

untuk perempuan minimal 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang

Perkawinan).36 Mengapa disyaratkan umur minimal seperti ini, dalam

Perjelasan Umum Undang-undang yang bersangkutan menyebutkan

bahwa Undang-undang menganut prinsip, dengan umur tersebut calon

sumi isteri itu dianggap telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan

perkawinan, dandianggap telah mampu mewujudkan tujuan perkawinan

secara baik serta mendapat keturunan yang baik dan sehat.

c. Ada izin dari kedua orang tua atau walinya bagi calon mempelai yang

belum berumur 21 tahun

36
Ibid. hal.16
34

Mengenai izin untuk melakukan perkawinan dari kedua orang tua atau

walinya hanya berlaku bagi mereka yang belum berumur 21 tahun.

Undang-undang tidak memberi penjelasan mengapa ditentukan batas 21

tahun ke atas tidak perlu ada izin yang demikian. Hemat kami karena

umur 21 tahun dianggap telah dewasa untuk melakukan tindakan hukum

perkawinan ini sehingga tidak perlu meminta izin orang tua atau walinya.

d. Tidak melanggar larangan perkawinan

Untuk dapat melangsungkan perkawinan syarat berikutnya bahwa

mempelai tidak boleh melanggar larangan perkawinan. Dalam Undang-

undang Perkawinan ada 6 (enam) poin larangan sebagaimana diatur

dalam Pasal 8 yaitu:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun

keatas;

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

dengan saudara neneknya;

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak

tiri;

4. Berhubungan susuan, yaitu oarng tua susuan, anak susuan dan

bibi/paman susuan;

5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan

dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
35

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin;37

e. Berlaku asas monogami

Asas ini juga menjadi salah satu syarat untuk melangsungkan

perkawinan. Seorang suami hanya dapat mempunyai satu orang isteri.

Oleh karena itu calon mempelai laki-laki tidak dapat melangsungkan

perkawinan lebih dari satu orang sekaligus. Kalaupun nantinya si suami

hendak beristeri lebih dari seorang, harus ada alasan yang sah untuk itu.

f. Berlaku waktu tunggu bagi janda yang hendak menikah lagi.

Peraturan tentang waktu tunggu ini diatur dalam Pasal 11 Undang-

undang Perkawinan, khusus bagi seorang perempuan yang putus

perkawinannya, baik karena kematian suaminya maupun karena

perceraian, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus

perkawinanya karena perceraian, 130 hari bagimereka yang putus

perkawinannya karena kematian suaminya.

2. Syarat Formil

Syarat formil adalah syarat yang berhubungan dengan formalitas-formalitas

yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Untuk

melangsungkan perkawinan harus dilaksanakan menurut undang-undang

tata cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila tidak dilakukan demikian, banyak orang yang menyebut

perkawinan itu hanya di bawah tangan. Dan masih ada sebagian masyarakat

37
Ibid. hal.17
36

yang melaksanakan seperti ini. Syarat- syarat formil yang harus dipenuhi

adalah sebagai berikut:

a. Pemberitahuan

Dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 ditetapkan, bahwa setiap orang yang

akan melangsungkan perkawinan hendaknya itu kepada Pegawai

Pencatatan di tempat perkawinan akan dilangsungkan.28 Bagi orang

yang beragama Islam, pemberitahuannya disampaikan kepada Kantor

Urusan Agama, karena berlaku Undang-undang No. 32 Tahun 1954

tentang Pencatatan Nikah, Talat, dan Rujuk. Sedangkan bagi orang yang

bukan beragamaIslam pemberitahuannya dilakukan kepada Kantor

Catatan Sipil setempat.

b. Penelitian

Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, selanjutnya

diadakan penelitian yang dilakukan pegawai pencatat perkawinan. Sesuai

dengan Pasal 6 ayat (1) PP No 9 Tahun 1975 pegawai pencatat meneliti

apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak

terdapat halangan menurut Undang-undang. Selain itu berdasarkan ayat

(2) nya pegawai pencatat perkawinan juga diwajibkan melakukan

penelitian terhadap : a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir

calon mempelai; b) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan,

pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai; c) Izin

tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4)

dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau


37

keduanya belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun; d) Izin pengadilan

sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-undang dalam hal calon

mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri; e)

Dispensasi pengadilan/pejabat sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2)

Undang-undang, yaitu dispensasi dalam hal calon mempelai tidak

memenuhi syarat batas minimum umur perkawinan; f) Surat kematian

isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat

keterangan peceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih; g)

Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri

HANKAM/PANGAB, apabila salah seoang mempelai atau keduanya

anggota Angkatan Bersenjata; h) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan

yang di sahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon

mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan

yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.. 30

c. Pengumuman

Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada

suatu halangan perkawinan, maka tahap berikutnya adalah Pegawai

Pencatat perkawinan menyelenggarakan pengumuman. Berdasarkan

pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975 pengumuman tentang adanya kehendak

melangsungkan perkawinan. Adapun mengenai caranya, surat

pengumuman tersebut ditempelkan menurut formulir yang ditetapkan

pada kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang sudah

ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.


38

d. Pelaksanaan

Sesuai ketentuan pemberitahuan akan kehendak calon mempelai untuk

melangsungkan perkawinan, maka perkawinan itu dilangsungkan setelah

hari kesepuluh sejak pengumuman di atas dilakukan. Mengenai

bagaimana tata cara pelaksanaan perkawinan, Pasal 10 ayat (2) PP No. 9

Tahun 1975 ternyata menegaskan kembali Pasal 2 ayat (1) Undang-

undang Perkawinan, yaitu perkawinan dilaksanakan menurut hukum

masing-masing agama dan kepecayaannya itu, supaya sah. Peraturan

Pemerintah ini juga mensyaratkan bahwa selain itu perkawinan

dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang bewenang

dan dihadiri oleh dua orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkannya

pekawinan sesuai Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975, selanjutnya kedua

mempelai menandatangani akta pekawinan yang telah disiapkan oleh

pegawai pencatat pekawinan.

Begitu juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, supaya sah,

perkawinan harus memenuhi dua syarat, yaitu syarat materiil dan syarat formil.

Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam

melangsungkan perkawinan. Syarat materiil ini dibagi dua macam yaitu:

a. Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi

seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada

umumnya. Syarat itu meliputi: 38

38
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga
(Personen en Familie-Rcht), Surabaya, Airlangga University Press, 2008, 19.
39

1. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri,

seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27

KUH Perdata);

2. Persetujuan antara suami-istri (Pasal 28 KUH Perdata);

3. Terpenuhinya batas umur manimal. Bagi laki-laki minimal berumur

18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUH Perdata);

4. Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus

mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan terdahulu

dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata);

5. Harus ada izin dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang

belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 34 sampai dengan Pasal

49 KUH Perdata).

b. Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi

seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu meliputi:39

1. Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan

sedarah dan arena perkawinan;

2. Larangan kawin karena zina;

3. Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya

perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun

Syarat Formil adalah syarat yang dihubungkan dengan cara-cara atau

formalitas–formalitas melangsungkan perkawinan, yaitu :40

39
Ibid. Hal.25
40
“Tentang Perkawinan”, http://m00y5u5ak.wordpress.com/tag/kuhper/
40

a. Pemberitahuan oleh kedua belah pihak kepada Kantor Catatan Sipil

(Pasal 50 KUH Perdata).

b. Pengumuman kawin dikantor Catatan Sipil (Pasal 28 KUH.Perdata).

c. Dalam hal kedua belah pihak calon suami istri tidak berdiam di daerah

yang sama maka pengumuman dilakukan di Kantor Catatan Sipil tempat

pihak-pihak calon suami istri tersebut masing-masing (Pasal 53 KUH

Perdata).

d. Perkawinan dilangsungkan setelah sepuluh hari pengumuman kawin

tersebut (Pasal 75 KUH Perdata)

e. Jika pengumuman kawin telah lewat satu tahun, sedang perkawinan

belum juga dilangsungkan,maka perkawinan itu tidak boleh

dilangsungkan kecuali setelah diadakan pemberitahuan dan pengumuman

baru (Pasal 57 KUH.perdata)

Sahnya suatu pekawinan ditinjau dari sudut keperdataan, apabila

perkawinan itu sudah dicatat atau didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Selama

pekawinan itu belum terdaftar, maka pekawinan itu belum di anggap sah menurut

ketentuan hukum, walaupun telah memenuhi prosedur dan tata cara menurut

ketentuan agama.

Sah artinya sesuatu yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, di

samping tidak adanya halangan. Bila sebaliknya, maka dihukumi sebagai fasad

atau batal. Suatu perbuatan hukum yang sah memilki implikasi hukum berupa hak

dan kewajiban. Demikian pula halnya dengan perbuatan hukum perkawinan. Dari

perkawinan yang sah timbul hak untuk bergaul sebagai suami istri, hak saling
41

mewarisi, kewajiban menafkahi anak dan istri, dan lain-lain. Syarat sahnya

perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1)

dan (2) yaitu :

a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing

agama dan kepercayaannya itu.

b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 disebutkan bahwa “dengan mengindahkan tata cara perkawinan

menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan

dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.41

Maka perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum

agama dan kepercayaannya masing-masing. Maksud dari ketentuan agama dan

kepercayaan masing-masing itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang

berlaku dalam agamanya dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau

tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Suatu perkawinan yang

dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan agama dengan sendirinya menurut

Undang-Undang Perkawinannya dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat

hukum sebagai ikatan perkawinan.42

41
Andi Tahir Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan Bidangnya
(Jakarta, Sinar Grafika, 2005) hal. 18
42
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan,
Hukum Adat, Hukum Agama. ( Bandung, Mandar Maju, 1990) hal. 34
42

E. Akibat Hukum Dari Perkawinan

Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat hukum, baik

terhadap suami dan isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam

perkawinan. Akibat-akibat hukum perkawinan tersebut, adalah:43

1. Akibat perkawinan terhadap suami isteri

a. Suami isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan

rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30

UUP),

b. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami

dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat (Pasal 31 ayat 1 UUP),

c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum dan

suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. (Pasal 31

ayat [2] dan [3] UUP),

d. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal

34 ayat [1] UUP).

2. Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan

a. Timbulnya harta bawaan dan harta bersama,

b. Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya

terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apa pun,

43
Siska Lis Sulistiani, 2015, Keududukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama
menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Bandung, PT Refika Aditama, hlm.9
43

c. Suami atau isteri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36 UUP).

3. Akibat perkawinan terhadap anak

a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah adalah anak yang

sah (Pasal 42 UUP)

b. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya saja.

Salah satu akibat hukum dari perkawinan yang sangat penting yaitu

tentang pewarisan dari perkawinan terhadap harta benda yang dimilikinya.

Pengertian waris diatur dalam Pasal 833 KUH Perdata yakni pewarisan sebagai

suatu proses perpindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain atas segala

barang, segala hak dan segala piutang dari seseorang yang meninggal dunia

kepada para ahli warisnya. Pada dasarnya pewarisan adalah suatu perpindahan

segala hak dan kewajiban seseorang yang meninggal kepadapara ahli warisnya.

Dan secara singkat dapat juga dikatakan bahwa definisi dari hukum waris menurut

KUH Perdata ini adalah perpindahan harta kekayaan dari orang yang meninggal

kepada orang yang masih hidup, jadi bukan hanya ahli waris dalam pengertian

keluarga dekat (sebagaimana hukum Islam), namun juga orang lain yang ditunjuk

oleh orang yang meninggal dunia sebagai ahli warisnya.

Pada dasarnya dalam sistem kewarisan dalam KUH Perdata adalah

pewarisan sebagai proses perpindahan harta peninggalan dari seseorang yang

meninggal dunia kepada ahli warisnya, akan tetapi proses tersebut tidak dapat

terlaksana apabila unsurnya tidak lengkap. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:


44

1. Orang yang meninggalkan harta (erflater).

Erflater adalah orang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta

untuk orang-orang (ahli waris) yang masih hidup.

2. Harta warisan (erfenis).

Mengenai harta warisan ini dalam KUH Perdata dikategorikan menjadi:

a. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang

termasuk di dalamnya piutang yang hendak ditagih yang disebut

dengan istilah activa;

b. Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang harus dibayar

pada saat meninggal dunia atau passiva;

c. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-

masing suami isteri, harta bersama dan sebagainya

3. Ahli Waris (erfegnaam)

Ahli waris adalah anggota keluarga yang masih hidup yang

menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena

meninggalnya pewaris. Ahli waris dalam sistem kewarisan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata secara garis besar terbagi menjadi dua

macam yakni:

a. Ahli waris menurut undang-undang (ab intestato) adalah ahli waris

yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Mewaris

berdasarkan undang-undang ini adalah yang paling diutamakan

mengingat adanya ketentuan legitime portie yang dimiliki oleh setiap

ahli waris ab intestato ini. Dalam Pasal 832 KUH Perdata, dinyatakan
45

bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sederajat baik

sah maupun di luar kawin yang diakui, serta suami isteri yang hidup

terlama. 44

b. Berdasarkan penggantian (bij plaatvervuling) ahli waris yang

menerima ahli waris dengan cara menggantikan, yakni ahli waris yang

menerima warisan sebagai pengganti ahli waris yang berhak

menerima warisan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari

pewaris. Ahli waris bij plaatvervuling ini diatur dalam Pasal 841

sampai Pasal 848 KUH Perdata.45

Adapun ahli waris dan bagian-bagiannya secara lebih spesifik

diklasifikasikan berdasarkan urutan di mana mereka terpanggil untuk menjadiahli

waris dibagi menjadi empat macam yang disebut golongan ahli waris, terdiri dari:

1. Golongan pertama : terdiri dari anak-anak dan keturunannya baik atas

kehendak sendiri maupun karena penggantian dan suami atau isteri yang

hidup terlama. Bagian anak adalah sama dengan tidak membedakan laki-

laki dan perempuan besar, besar maupun kecil. (Pasal 852 KUH Perdata)

dan bagian suami atau isteri dipersamakan dengan anak sah (Pasal 852a

KUH Perdata).

2. Golongan kedua yaitu orang tua, saudara laki-laki, saudara perempuan,

dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan tersebut;

a. Bagian orang tua (Pasal 854-855 KUH Perdata)

44
R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 221
45
R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 224-225.
46

1. 1/3 bagian jika tidak ada suami atau isteri yang ada hanya ibu atau

bersama 2 saudara,

2. ½ bagian jika hanya seorang ibu/bapak bersama seorang saudara,

3. ¼ jika bersama lebih dari dua orang saudara.

b. Bagian saudara (Pasal 854 KUH Perdata)

1. 1/3 jika seorang diri atau ahli waris hanya ibu, bapak dan seorang

saudara dan atau ahli waris hanya bapak atau ibu bersama 2 orang

saudara.

2. ½ jika berdua dan bersama dengan ahli waris ibu/bapak.

3. ¾ jika lebih dari 2 orang dan atau bersama dengan ahli waris terdiri

dari bapak/ibu.

3. Golongan ketiga adalah sekalian keluarga yang dalam garis lurus ke atas,

baik dari garis ayah (kakek) maupun ibu (nenek) yakni ayah dan ibu dari

ayah dan ibu dan ayah dan ibu dari pewaris. Yang terdekat mendapat ½

bagian dengan mengeyampingkan segala ahli waris lain (Pasal 850, 853

dan 858 KUH Perdata) dan dibagi dua (kloving) satu bagian untuk

keluarga pihak bapak dan yang lainnya bagian pihak ibu.

4. Golongan keempat adalah sanak keluarga lainnya dalam garis

menyimpang sampai dengan derajat ke enam. Golongan ini diatur dalam

Pasal 858 KUH Perdata, yang menyatakan:

“bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada

keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas, maka

separuh dari harta peninggalan itu menjadi bagian dari keluarga sedarah
47

dalam garis ke atas yang masih hidup, sedangkan separuh lagi menjadi

bagian dari keluarga sedarah garis ke samping dari garis ke atas lainnya,

kecuali hal yang tercantum dalam pasal berikut”

Ahli waris berdasarkan wasiat adalah orang yang ditunjuk atau diangkat

oleh pewaris dengan surat wasiat sebagai ahli warisnya (erfstelling), yang

kemudian disebut dengan ahli waris ad testamento. Wasiat atau testamen dalam

KUH Perdata adalah pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya

setelah ia meninggal dunia. Pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu

ialah keluar dari satu pihak saja (eenzijdig) dan setiapwaktu dapat ditarik kembali

(herroepen) oleh pewasiat baik secara tegas (uitdrukklijk) atau secara diam-diam

(stilzwijdend).

Aturan testamen yang terdapat dalam Pasal 874 KUH Perdata ini

mengandung suatu syarat bahwa testamen tidak boleh bertentangan dengan

legitime portie dalam pasal 913 KUH Perdata. Dan yang paling lazim adalah

suatu testamen berisi apa yang dinamakan erfstelling yaitu penunjukkan seseorang

atau beberapa orang menjadi ahli waris yang akan mendapat harta warisan seluruh

atau sebagian dari harta warisan.

Dalam Pasal 830 KUH Perdata disebutkan bahwa pewarisan hanya terjadi

karena kematian, ini berarti hanya kematian sajalah yang menjadi sebab mewaris

(terjadinya pewarisan). Karenanya adalah yang paling penting menentukan saat

meninggalnya itu. Biasanya dianggap sebagai yang menentukan ialah saat jantung
48

berhenti berdenyut atau saat nafasnya berhenti berhembus. Kemudian secara

spesifik mengenai sebab-sebab para ahli waris berhak menerima warisan adalah:

1. Hidup pada saat warisan terbuka. Seorang ahli waris menerima warisan

adalah karena ia masih hidup pada saat warisan terbuka sebagaimana

dalam Pasal 836 KUH Perdata dengan pengecualiannya sebagaimana

Pasal 2 ayat (2) KUH Perdata.

2. Bukan orang yang dinyatakan tidak patut (onwaardig). Orang yang

menjadi ahli waris tidak dinyatakan orang yang tidak patut untuk

menerima warisan, berdasar Pasal 838 KUH Perdata.

3. Tidak menolak warisan. Orang yang tidak menolak (verwerpen) adalah

orang yang masih hidup dan tidak diwakili dengan cara penggantian

sebagaimana di atur dalam Pasal 1060 KUH Perdara.

Berdasarkan Pasal 838 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Perdata) yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya dikecualikan

dari pewarisnya ialah:

1. Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah

membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal;

2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara

fitnah telah mengadakan pengajuan terhadap si meninggal, ialah suatu

pengajuan telah melakukan tindakan kejahatan yang terancam dengan

hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat;
49

3. Mereka dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang

meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;

4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat

wasiat si yang meninggal dunia.


50

BAB III

PENGATURAN TENTANG ANAK MENURUT HUKUM PERDATA DI

INDONESIA

A. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata Di Indonesia

Adanya anak menunjukan adanya bapak dan ibu yang melahirkan anak itu,

atau dengan kata lain adalah hasil dari terjadinya suatu persetubuhan antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan, maka lahirlah seorang anak yang

mana laki-laki itu adalah bapaknya dan perempuan itu adalah ibunya.46

Defenisi anak secara umum belum dapat kita tentukan secara pasti karena

setiap peraturan ataupun undang-undang mengatur defenisi anak tersebut secara

berbeda-beda menurut batasan usianya. Secara nasional defenisi anak menurut

perundang-undangan, diantaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum

mencapai usia 21 tahun atau belum menikah.

Pengertian ataupun defenisi secara umum atau nasional di Indonesia

didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum yang ada di Indonesia seperti:

hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Secara

Internasional defenisi anak tertuang dala, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child

tahun 1989, aturan Standar Minimum Perserikatan Baangsa-Bangsa mengenai

Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nation StandardMinimum Rules for The

Administrationof Juvenile Justice (“The Beijing Rules”) Tahun 1985 dan

46
Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm.122

50
51

Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights Tahun

1948.47

Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun 1973,

pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.

Sebaliknya , dalam Convention on The Right Of the Child tahun 1989 yang telah

diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990

disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.

Sementara itu, UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia

antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang

belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang

Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. Maka, secara keseluruhan dapat

dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun.

Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan

kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi dan kematangan

mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21

tahun.48

Dalam peraturan perundang-undangan terdapat beberapa batasan usia

dewasa yaitu :49

1. Menurut Pasal 45 KUHP dinyatakan 16 tahun

47
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hal 33
48
(http://www.landasanteori.com/2015/08/pengertian-anak-menurut-definisi-ahli.html),
diakses pada tanggal 23 Desember 2018
49
( http://anggara.org/2013/08/21/anak-di-bawah-umur-dan-dewasa/), diakses pada
tanggal 23 Desember 2018
52

2. Dalam KUH Perdata dibedakan dalam Pasal 421 dan Pasal 426 yang

membedakan antara syarat pendewasaan penuh, minimal berusia 20

tahun, dan syarat pendewasaan terbatas, minimal berusia 18 tahun. Untuk

usia dewasa sendiri ditentukan dalam Pasal 330 KUH Perdata yaitu 21

tahun.

3. Menurut UU No 1 Tahun 1974 batas yang tidak perlu ijin adalah 21

tahun.

4. Menurut UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan

bahwa dewasa adalah 21 tahun

5. Menurut UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maka

batasan usia dewasa adalah 18 Tahun

6. Beberapa UU lain juga mengatur dengan lebih rumit, misalnya UU

Kependudukan, UU Pemilu, UU Lalu Lintas, dan UU Kewarganegaraan

dengan model yang berbeda-beda

Jadi terdapat beberapa batasan usia dewasa dalam peraturan perundang-

undangan ini. Namun sayangnya MA tidak menjawab pertanyaan ini dengan

cukup baik selain hanya umur dibawah dewasa. Tak ada petunjuk bagaimana

Mahkamah Agung menafsirkan belum dewasa dalam perbuatan yang diatur dalam

Pasal 332 ayat (1) KUHP.

Pada saat KUHP dibuat tentu rujukan untuk melihat anak, dibawah umur,

dan dewasa adalah merujuk pada KUH Perdata, namun dengan diundangkannya

peraturan-peraturan terakhir khususnya UU No 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak apakah rujukan kepada KUH Perdata masih cukup tepat
53

mengingat ada prinsip peraturan yang baru mengalahkan peraturan yang lama.

Premis yang dibangun oleh Jaksa Penuntut Umum bahwa 18 tahun dalam UU

Perlindungan Anak merujuk pada soal hukum pidana anak dan hukum acara

pidana anak justru relevan untuk dipertanyakan ulang karena mengingat

pertanggungjawaban pidana yang akan dikenakan terhadap seseorang dan sejauh

mana seseorang dapat dianggap memiliki pengetahuan yang cukup berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan yang matang. Untuk masalah ini juga wajib dilihat

apakah Indonesia masih menganut pola pemisahan berdasarkan anak, belum

dewasa (di bawah umur), dan dewasa.50

Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan

anak, defenisi anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan

masih di dalam kandungan, sedangkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak telah

mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah

menikah. Defenisi anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda dengan

defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat. Menurut hukum Islam dan

hukum Adat sama-sama menentukan seseorang masih anak-anak atau sudah

dewasa bukan dari usia anak, karena masing-masing anak berbeda usia untuk

mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi anak dilihat

dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang itu sudah dewasa atau belum.

Artinya seseorang dinyatakan sebagai anak apabila anak tersebut belum memiliki

tanda-tanda yang dimiliki oeleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam

50
Ibid.
54

hukum Islam. Ter Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum Adat

memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang

dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi seseorang, yaitu apakah anak tersebut

sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan

kehidupan keluarga sendiri.51

Dari pandangan sosial, Hadiotono berpendapat bahwa anak merupakan

makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi

perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga dan keluarga

memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk

perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. Dari beberapa

terminologi tersebut pada prinsipnya, anak adalah pribadi yang memiliki peranan

strategis dalam mengemban tanggung jawab masa depan bangsa, namun anak

masih memerlukan peranan orang tua dalam memelihara, mendidik dan

mengarahkan dalam mencapai kedewasaannya.52

Adapun secara biologis anak merupakan hasil dari pertemuan sel telur

seorang perempuan yang disebut ovum dengan spermatozoa dari laki-laki yang

kemudian menjadi zygot, lalu tumbuh menjadi janin. Sehingga secara biologis

tidak mungkin seorang anak lahir tanpa adanya kontribusi laki-laki dan

perempuan. Tetapi hal ini berbeda dari sisi yuridis, seorang anak terkadang lahir

tanpa keberadaan seorang ayah, hal ini terdapat dalam Undang-Undang

perkawinan, di mana suatu kelahiran tanpa disertai dengan adanya perkawinan

yang sah (anak luar kawin), maka si anak hanya akan memiliki ibu sebagai orang

51
Marlina, Op.Cit, hal.34
52
Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm 15-16
55

tuanya, sedangkan KUH Perdata menganut prinsip yang lebih tegas bahwa tanpa

adanya pengakuan dari kedua orang tuanya, maka si anak dapat dipastikan tidak

memiliki tidak akan memiliki ayah maupun ibu secara yuridis.53

B. Hak dan Kewajiban Anak

Berbicara mengenai anak, perlu digaris bawahi bahwa Setiap anak berhak untuk

hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi, sesuai dengan Undang- undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun

2014 mengenai Hak dan Kewajiban Anak. Berikut merupakan hak- hak anak

yang terkandung didalamnya:

1. Berhak atas suatu nama sebagai identitas diri;

2. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam

bimbungan orangtua

3. Setiap anak berhak untuk mengetahui orangtuanya, dibesarkan, dan

diasuh orangtuanya sendiri.

4. Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan

jaminan sosial sesuia dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan

sosial.

53
Ibid, hlm.16
56

5. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam

rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai

dengan minat dan bakatnya.

6. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat

kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan

nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

7. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,

berfaul dengan anak sebaya, bermain, berrekrasi, dan berkreasi seesuia

dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasanny ademi pengembangan

diri.

8. Setiap anak yang menyandang cacat berhak untuk mmperoleh

rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

9. Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan;

diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekearasan, dan

penganiayaan serta dan ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya.

10. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri.

11. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari

penyalahgunaan apapun dan penjatuhan hukuman yang tidak

manusiawi.

12. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau

yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.


57

13. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak

mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Dan dalam Konvensi PBB tentang Hak- hak Anak yang ditanda tangani oleh

Pemerintah RI tanggal 26 Januari 1990 batasan umur anak adalah dibawah umur

18 tahun. Sekarang mengenai hak- hak anak dapat dilihat dalam Konvensi PBB

tersebut, sebagai berikut :

1. Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman.

2. Memperoleh perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan,

keselamatan dan kesehatan.

3. Tugas negara untuk menghormati tanggung jawab, hak dan kewajiban

orangtua serta keluarga.

4. Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara menjamin

perkembangan dan kelangsungan hidup anak.

5. Hak memperoleh kebangsaan, nama serta hak untuk mengetahui dan

diasuh orangtuanya.

6. Hak memelihara jati diri termasuk kebangsaan, nama dan hubungan

keluarga

7. Kebebasan menyatakan pendapat atau pandangan.

8. Kebebasan untuk menghimpun, berkumpul dan berserikat.

9. Memperoleh informasi dan aneka ragam yang diperlukan.

10. Memperoleh perlindungan akibat kekerasan fisik, mental,

penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah (eksplisit) serta

penyalahgunaan seksual.
58

11. Memperoleh perllindungan hukum terhadap gangguan (kehidupan

pribadi, keluarga, surat menyurat atas serangan yang tidak sah).

12. Perlindungan anak yang tidak mempunyai orangtua menjadi kewajiban

negara.

13. Perlindungan anak yang berstatus pengungsi.

14. Hak perawatan khusus bagi anak cacat.

15. Memperoleh pelayanan kesehatan.

16. Hak memperoleh manfaat jaminan sosial (asuransi sosial).

17. Hak anak atas taraf hidup yang layak bagi pengembangan fisik, mental

dan sisoal.

18. Hak anak atas pendidikan.

19. Hak anak untuk beristirahat dan bersenang- senang untuk terlibat dalam

kegiatan bermain, berekreasi dan seni budaya.

20. Hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi.

21. Perlindungan dari penggunaan obat terlarang.

22. Melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual.

23. Perlindungan terhadap penculikan dan penjualan atau perdagangan

anak.

24. Melindungi anak terhadap semua bentuk eksploitasi terhadap segala

aspek kesejahteraan anak.

25. Larangan penyiksaan, hukuman yang tidak manusiawi.

26. Hukum acara peradilan anak.

27. Hak memperoleh bantuan hukum baik didalam atau diluar pengadilan
59

C. Hubungan Hukum Perdata Antara Anak dan Orangtua

Keberadaan seorang anak diatur dalam peraturan hukum positif Indonesia,

baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan mengenal 2 (dua) macam status anak yaitu anak sah dan anak

luar kawin.

1. Anak Sah

Berdasarkan beberapa aturan perundang-undangan anak sah diberikan

definisi antara lain, sebagai berikut:54

a. Pasal 42 UU Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang

dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah.

b. Pasal 250 KUH Perdata menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan atau

dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya.

c. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa anak sah adalah

anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Hasil

perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri

tersebut.

Sedangkan berdasarkan teori para doktrinal anak sah memiliki pengertian

lain, menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud dengan anak sah adalah anak

54
Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm 15-16
60

yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama

dan kepercayaannya.55

Menurut Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa dengan adanya perkawinan

setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami mutlak menjadi anak dari suami itu

tanpa memerlukan pengakuan darinya. Maka seorang anak mendapatkan

kedudukan sebagi anak yang sah apabila kelahiran si anak didasarkan pada

perkawinan orang tuanya yang sah atau telah didahului oleh adanya perkawinan

yang sah. Menurut makna etimologi dari beberapa kategori pengertian tersebut,

antara lain:56

a. Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan dalam

perkawinan yang sah,

b. Seorang anak dibenihkan di luar perkawinan namun dilahirkan dalam

perkawinan yang sah,

c. Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah namun

dilahirkan di luar perkawinan

d. (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh

pasangan suami isteri di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri.

2. Anak Luar Kawin

Seorang anak dikategorikan sebagai anak sah menurut Pasal 42 Undang-

Undang perkawinan jika dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan

yang sah, ada dua kategori yang dirumuskan oleh Undang-Undang untuk

55
Hilman Hadikusuma, 1999, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.80
56
Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm. 19
61

menunjukan keabsahan seorang anak, yaitu berdasarkan waktu kelahirannya dan

sebab yang mengaitkan tumbuh nya anak di dalam rahim seorang perempuan

sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Sedangkan dalam Pasal 2 Undang-

Undang perkawinan , perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Bisa dikatakan bahwa pengertian

anak luar kawin menurut Undang-undang Perkawinan adalah anak yang

dilahirkan bukan sebagai akibat perkawinan sah yang dimaksud dalam undang-

undang tersebut.

Dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa anak yang

lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya

dan keluarga ibunya. Jika kita bandingkan dengan ketentuan Pasal 250 KUH

Perdata yang berbunyi, “tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan

sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya”, maka substansi

pengertian keduanya memiliki sedikit perbedaan, karena ketentuan Pasal 250

KUH Perdata lebih menekankan keabsahan anak semata-mata hanya pada

hubungan kebapakan, hal ini dari kalimat terakhir yang berbunyi, “...memperoleh

si suami sebagai bapaknya”.

Disebutkan dalam Pasal 272 KUHPerdata bahwa, “anak luar kawin

kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau pernodaan darah disahkan oleh

perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka bila sebelum melakukan

perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu atau

bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri”. Menurut DY


62

Witanto beberapa faktor yang melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran

anak luar kawin antara lain :57

a. Karena usia pelaku masih dibawah batas usia yang diizinkan untuk

melangsungkan perkawinan,

b. Karena belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan,

c. Karena perbedaan keyakinan dan kepercayaan (agama),

d. Karena akibat tindak pidana (pemerkosaan),

e. Karena tidak mendapat restu orang tua,

f. Karena si laki-laki terikat perkawinan dengan wanita lain dan tidak

mendapat izin untuk melakukan poligami,

g. Karena pergaulan seks bebas (free sex),

h. Karena prostitusi/perdagangan jasa seksual.

Menurut pasal di atas anak luar kawin dikelompokan menjadi 3 golongan

antara lain:

a. Anak Zina

Anak zina menurut pengertian dalam Pasal 284 KUHPerdata adalah,

seorang pria yang telah kawin melakukan mukah (overspel) padahal diketahuinya

bahwa Pasal 27 KUHPerdata berlaku baginya dan seorang wanita yang telah

kawin melakukan mukah (overspel) padahal diketahuinya Pasal 27 KUHPerdata

berlaku baginya. Sehingga menurut hukum Barat seseorang anak baru dapat

dikategorikan sebagai anak zina jika anak tersebut lahir dari hubungan suami

57
Ibid, hal.21
63

isteri yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan atau

keduanya sedang terikat perkawinan dengan yang lain.

Sedangkan anak zina dalam ketentuan KUHPerdata menyatakan bahwa,

anak zina dan anak sumbang tidak dapat diakui oleh orang tua biologisnya,

sehingga secara hukum seorang yang dilahirkan dari perzinahan tidak akan

memiliki hak keperdataan apaapa dari orang tua biologis kecuali seperti yang

dinyatakan dalam Pasal 867 ayat (2) KUHPerdata bahwa, sebatas hak untuk

mendapatkan nafkah hidup seperlunya berdasarkan kemampuan orang

biologisnya setelah memperhitungkan jumlah dan keadaan para ahli waris yang

sah menurut Undang-Undang. 58

Anak zina merupakan jenis anak luar kawin dalam pengertian anak tidak

sah. Istilah ini dalam pengertian hukum perdata Barat dipengaruhi oleh asas

monogami secara mutlak yang dianut oleh KUHPerdata, di mana pada waktu

yang sama seorang laki-laki atau perempuan hanya boleh terikat perkawinan

dengan seorang perempuan atau seorang laki-laki saja, dan jelas hal ini berbeda

dengan hukum Islam yang menerima asas poligami.Anak yang lahir karena zinah

adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan atau dibenihkan seorang lelaki,

sedangkan perempuan atau lelaki itu ada dalam perkawinan dengan orang lain.59

58
Ali Afandi, 2006, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta, Bina
Aksara, hlm.147
59
Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm.22
64

b. Anak karena Pernodaan Darah (Sumbang)

Anak sumbang (incest) atau sering disebut anak hasil dari penodaan darah

yaitu anak yang lahir dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan di mana di antara keduanya dilarang untuk melangsungkan

perkawinan, baik karena terikat hubungan darah, hubungan semenda, hubungan

persusuan (dalam hukum Islam) dan sebagainya. Anak yang lahir dalam sumbang

adalah anak yang lahir dari seorang ibu, yang dilarang kawin menurut Undang-

Undang dengan seorang lelaki yang membenihkan anak itu.60

c. Anak Alam (natuurkijk kind)

Anak yang lahir diluar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau di

kenal dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), dinamakan natuurkijk kind

(anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah dan ibunya. Menurut

sistem yang dianut Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata) dengan adanya keturunan

diluar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan

orang tuanya. Baru setelah ada pengkuan terbit suatu pertalian kekeluargaan

dengan segala akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang

tua yang mengakuinya, demikian menurut Prof. Subekti. Jadi, anak luar kawin

tersebut berstatus sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurkijk

kind.61

Yang dimaksud dalam pembahasan anak luar kawin lainnya adalah anak

luar kawin selain anak zina dan anak sumbang. Anak luar kawin lainnya memiliki
60
Ibid.hal.24
61
Soerdharyo Soimin, 2002, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 40
65

kesempatan untuk menjadi ahli waris dari orang tua biologisnya, meskipun bagian

warisnya tidak sebesar ahli waris dari golongan anak sah dikarenakan

mendapatkan pengakuan dari orang tua biologisnya, sebagaimana yang telah

diatur dalam Pasal 865 KUHPerdata. Di antara kategori anak luar kawin lainnya

adalah:62

1. Anak mula‘anah

Anak mula’anah

2. Anak syubhat

Anak yang dilahirkan diluar kawin, perlu diakui oleh ayah atau ibunya

supaya ada hubungan hukum. Sebab kalau tidak ada pengakuan maka tidak

terdapat hubungan hukum. Jadi meskipun seorang anak itu jelas dilahirkan oleh

seorang ibu, ibu itu harus dengan tegas mengakui anak itu. Kalau tidak maka tidak

ada hubungan hukum antara ibu dan anak. Pengakuan ini adalah suatu hal yang

lain sifat dari pengesahan. Dengan pengakuan seorang anak itu menjadi anak sah.

Anak yang lahir di luar perkawinan itu, baru menjadi anak sah, jika kedua orang

tuanya kemudian kawin, setelah mereka itu kedua-duanya mengakui anak itu, atau

jika pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan itu sendiri.63

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 42,

yang dimaksud anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah. Dengan demikian, agar supaya terhadap anak yang

dilahirkan oleh ibunya mendapat pengakuan dari ayahnya maka peristiwa

62
Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm.22
63
Ali Afandi, Op.Cit, hlm.146
66

pengakuan anak itu sangat penting sekali. Dalam hal akta Pengakuan Anak pada

prinsipnya lebih ditunjukan untuk maksud menciptakan hubungan hukum perdata

antara anak yang diakui dengan si pengaku.64

Status seorang anak sepanjang mengenai anak-anak luar kawin banyak

dikupas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Demikian pula Undang-

Undang Perkawinan menyingkap adanya kenyataan yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan membedakan kedudukan seorang anak dalam hubungannya dengan

perkawinan orang tuanya, sebagaimana dikemukakan pada Pasal 42 “Anak yang

sah adalah anak yang dilahirkan dalam suatu atau sebab perkawinan yang sah”.

Kemudian dalam pasal 43 ayat pertama mengemukakan sebagai berikut:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya atau keluarga ibunya.” Karena secara biologis tidak mungkin

seorang anak tidak mempunyai ayah, maka demi kepentingan hukum yang

menyangkut segala akibatnya di bidang pewarisan, kewarganegaraan, perwalian

dan lain sebagainya. Maka melalui pengakuan anak ini ditimbulkan hubungan

hukum perdata baru. Biasanya dengan dilangsungkan perkawinan orang tuanya,

diterbitkan akta pengakuan anak. 65

64
Victor M. Situmorang, Cormentyna Sitanggang, 1991, Aspek Hukum Akta Catatan
Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 42
65
Ibid. hal.43
67

Orang membedakan pengakuan anak luar kawin dalam 2 (dua) kelompok

:66

a. Pengakuan secara suka rela

Pengakuan anak secara suka rela dalam doktrin dirumuskan sebagai suatu

pernyataan, yang mengandung pengakuan, bahwa yang bersangkutan adalah ayah

atau ibu dari anak luar kawin yang diakui olehnya. Ada 3 (tiga) cara uuntuk

mengakui anak luar kawin secara suka rela, yaitu :

1. Di dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan;

2. Di dalam akta perkawinan;

3. Di dalam akta otentik.

Karena pengakuan itu baru sah, kalau diberikan di hadapan seorang

Notaris atau Pegawai Catatan Sipil (bisa dalam surat lahir, akta perkawinan

maupun dalam akta tersendiri), padahal keduanya adalah Pejabat Umum, yang

memang diberikan kewenangan khusus untuk membuat akta-akta seperti itu, maka

dapat kita katakan, bahwa pengakuan anak luar kawin harus diberikan dalam

suatu akta otentik. Karena tidak disyaratkan, bahwa akta otentik yang

bersangkutan maksudnya yang dibuat dihadapan akta notaris, harus semata-mata

memuat pengakuan anak luar kawin, maka pengakuan juga dapat diberikan

didalam suatu wasiat umum, yang dibuat di hadapan seorang Notaris.67

66
J. Satrio, 2000, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.109
67
Ibid
68

Cara yang kedua adalah pengakuan yang diberikan dalam akta perkawinan

dari ayah dan ibu si anak luar kawin. Hal itu berarti, bahwa lelaki dan perempuan

yang semula mengadakan hubungan di luar nikah dan menghasilkan anak luar

kawin, kemudian memutuskan untuk saling menikah secara sah, dan sekaligus

mengakui anak luar kawin itu.68

Cara yang ketiga adalah pengakuan yang dituangkan dalam suatu otentik,

yang dimaksud dengan akta otentik disini adalah akta notaris. Pengakuan dalam

akta otentik perlu ditindak lanjuti dengan melaporkannya kepada kantor Catatan

Sipil, di mana kelahiran anak itu dulu telah didaftarkan, dan minta agar pengakuan

itu dicatat dalam minit akta kelahiran yang bersangkutan.69

b. Pengakuan karena terpaksa

Pengakuan karena terpaksa terjadi, kalau hakim, dalam suatu perkara

gugatan kedudukan anak atas dasar persangkaan, bahwa seorang laki-laki tertentu

adalah ayah dari anak tertentu menetapkan , bahwa orang laki-laki itu adalah ayah

dari anak yang bersangkutan. Karena didasarkan atas ketetapan pengadilan, maka

pengakuan seperti itu merupakan pengakuan yang dipaksakan atau terpaksa.

Didalam doktrin terdapat perbedaan pendapat mengenai sifat daripada pengakuan

anak luar kawin, yaitu bersifat deklaratif saja, ataukah ia bersifat konstitutif.70

Pengakuan bersifat deklaratif, mereka yang menganut pendapat, bahwa

pengakuan merupakan sarana bukti saja, berangkat dari anggapan , bahwa yang

68
Ibid
69
Ibid
70
Ibid. hal 127
69

mengakui anak yang bersangkutan adalah memang ayah atau ibu biologisnya.

Karena ia hanya merupakan bukti keturunan, maka sifatnya hanya deklaratif saja.

Akibatnya, kedudukan si anak sebagai keturunan orang yang mengakuinya

memang sudah ada sejak anak itu lahir. Pengakuan sebagai tindakan hukum, kalau

pengakuan itu merupakan suatu tindakan hukum, dengan mana orang menerima

kedudukan sebagai ayah/ibu atas nama anak yang diakuinya, maka dengan

pengakuan itu baru tercipta hubungan kekeluargaan antara yang mengakui dengan

yang diakui dan karenanya dikatakan bersifat konstititif.71

Akibat daripada pengakuan adalah :

a. Lahirnya hubungan hukum dengan yang mengakuinya

Akibat hukum dari adanya pengakuan adalah lahirnya hubungan hukum

antara yang mengakui dengan yang di akui. Anak luar kawin tersebut dengan

pengakuan itu selanjutnya mendapatkan status sebagai “anak luar kawin yang

diakui”. Adanya hubungan hukum antara anak yang bersangkutan dengan ayah

dan ibu yang mengakuinya, membuat akibat yang lebih lanjut dalam hukum,

seperti :72

1. Keharusan minta izin kawin;

2. Ada kewajiban alimentasi dari anak terhadap orang tua yang

mengakuinya;

3. Adanya hubungan perwalian dengan ayah atau ibu yang mengakuinya,

yang terjadi demi hukum;


71
Ibid.
72
Ibid.hal 128
70

4. Adanya hak mewaris dari anak yang diakui dengan ayah dan ibu yang

mengakuiya;

5. Adanya hak mewaris dari ayah dan ibu yang mengakui, atas harta

warisan dari anak yang diakui olehnya.

b. Adanya akibat hukum yang sangat terbatas dengan keluarga pihak yang

mengakuinya

Hubungan hukum itu terbatas sekali, hanya antara yang mengakui dan

anak yang diakui. Antara anak luar kawin dengan keluarga ayah atau ibu yang

mengakuinya, tidak ada hubungan hukum apa-apa. Antara mereka keadaannya

sama seperti antara 2 (dua) orang lain. Konsekuensinya, kalau saudara dari ayah

yang mengakuinya (atau saudara ibu yang mengakuinya) meninggal dunia, maka

bagi anak luar kawin itu tidak ada dasar sama sekali untuk mempunyai

kesempatan mewaris dari saudara ayah atau ibu itu, sekalipun si mati tidak

meninggalkan keturunan.73

73
Ibid.hal.129
71

BAB IV

ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MA No.1113K/Pdt//2015

A. Kasus Posisi

1. Kronologis Kasus

Para Pihak dalam kasus ini adalah sebagai berikut :

Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi :

Nelly Purnama Sari Boenjamin, MA

Tergugat/Pembanding/Termohon Kasasi :

1. Moyliasari Boenjamin

2. Ngat Boenjamin

3. Fonasari Boenjamin

4. Oetjon Boenjamin

5. Hadi Boenjamin

6. Agustina Karnawati, S.H.

Dalam kasus ini Penggugat Nelly Purnama Sari Boenjamin, MA adalah

satu-satunya anak kandung dan ahli waris yang sah dari perkawinan Alm. Sahar

Boenjamin, S.H. (atau disebut juga Boen Feot Chong) dengan Maria Limiardi

(disebut juga Lim Kik Giok) sesuai dengan Akta Keterangan Hak Waris tanggal 8

Nopember 2001 Nomor 07/HW/2001. Ayah Penggugat (Sahar Boenjamin, S.H.)

ada melakukan hidup bersama dengan perempuan yang tidak diikat dengan tali

perkawinan yang sah menurut hukum yakni Jie Choen Koei (atau disebut

71
72

Choenkoeywaty Jie Janto) yang dimana hubungan dengan perempuan tersebut

melahirkan 5(lima) orang anak yakni Moyliasari Boenjamin, Ngat Boenjamin,

Fonasari Boenjamin, Oetjon Boenjamin dan Hadi Boenjamin yang dalam kasus

ini sebagai Tergugat I, II, III, IV, V. Para tergugat kemudian ada membuat Akta

Keterangan Ahli Waris pada Tergugat VI tanggal 23 April 2007 Nomor

01/KAW/NOT-AK/2007 yang mana Para Tergugat I, II, III, IV, V memberikan

keterangan dalam akta tersebut adalah ahli waris dari Sahar Boenjamin, S.H.

dengan Jien Choen Koei.

Akta Keterangan Ahli Waris tanggal 23 April 2007 Nomor

01/KAW/NOT-AK/2007 yang dibuat oleh Tergugat VI dianggap telah bertentang

dengan hukum karena didasari dengan suatu kebohongan dan dusta karena telah

mengakui Para Tergugat I, II, III, IV, V sebagai ahli waris yang sah dari Sahar

Boenjamin, S.H dikarenakan para Tergugat merupakan anak luar kawin atau anak

dari perkawinan yang tidak diikat dengan tali perkawinan yang sah menurut

peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Dalam semasa hidupnya almarhum Jie Choen Koei Alias (Choen Koeiwaty

Jiejanto) selaku ibu kandung dari Tergugat dan Ayah Penggugat (Sahar

Boenjamin, S.H.) ada membeli Tanah dan Bangunan setempat dikenal dengan

Jalan Asia Nomor 57 A/119 Lingkungan I Kelurahan Sei Rengas I, Kecamatan

Medan Kota sebagaimana disebut dalam sertifikat Hak Pakai Nomor 446 Tahun

1974 berdasarkan Akta Jual-beli Nomor 6/HP/1974 yang dibuat dihadapat AP

Parlindungan, S.H., ketika itu Notaris di Medan. Oleh karena itu menurut hukum

karena ibu kandung Tergugat telah meninggal dunia maka demi hukum tanah dan
73

bangunan yang terletak Jalan Asia Nomor 57 A/119, Lingkungan I, Keluarahan

Sei Rengas I, Kecamatan Medan Kota.

Yang kemudian Tanah dan Bangunan yang terletak Jalan Asia Nomor 57

A/119, Lingkungan I, Kelurahan Sei Rengas I, Kecamatan Medan Kota inilah

yang menjadi objek sengketa. Pihak Penggugat mengaku dan merasa bahwa objek

tersebut merupak hak dia karena Penggugat merasa Harta warisan dari Sahar

Boendjamin tersebut diwarisi kepadanya selaku anak yang sah.

Kemudian pada tanggal 12 Januari 2011 Penggugat merasa terhalangi

untuk menguasai dan menjualnya karena Rumah yang di Jalan Asia tersebut

dibuat tulisan tempelen-tempelen seolah olah rumah itu milik Para Tergugat I, II,

III, IV, V. Karena tidak dapat diperjualbelikan rumah tersebut, maka Penggugat

merasa telah mengalami kerugian sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar

rupiah) karena tidak bisa rumah tersebut dijual yang mana uangnya dibutuhkan

untuk modal usaha.

2. Gugatan

Dalam kasus ini isi gugatan awal dari penggugat adalah :

a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya

b. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (Conservatoir Berlaag) yang

diletakkan dalam perkara ini

c. Menyatakan secara hukum Penggugat adalah ahli waris yang sah dari

perkawinan Alm. Sahar Boenjamin, S.H. dengan Maria Limiardi


74

d. Menyatakan secara hukum perbuatan Terguagt I, II, III, IV, V yang

mempergunakan Akta Keterangan Ahli Waris tanggal 23 April 2007

Nomor 01/KAW/NOT-AK/2007 adalah perbuatan melawan hukum

e. Menyatakan secara hukum Akta Keterangan Ahli Waris tanggal 23 April

2007 Nomor 01/KAW/NOT-AK/2007 yang dibuat oleh Tergugat VI tidak

berkekuatan hukum dan batal demi hukum

f. Menghukum Tergugat I, II, III, IV, V untuk membayar ganti rugi materil

kepada Penggugat sebesar Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) secara

tunai dan kontan

g. Menghukum Tergugat I, II, III, IV, V untuk membayar ganti rugi imateril

kepada Penggugat sebesar Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah secara

tunai dan kontan

h. Menghukum Para Tergugat untuk membayar uang dwangsoom pada

Penggugat sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap bulannya

setiap keterlambatan memenuhi isi putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap

i. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan dengan serta merta meskipun ada

verzet, banding ataupun kasasi

j. Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar

biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini

k. Apabila Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang terhormat

berpendapat lain mohon Keputusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)


75

3. Putusan

Pengadilan Negeri Medan memberikan Putusan Nomor

276/Pdt.G/2011/PN.Mdn tanggal 20 Desember 2011 yang amarnya sebagai

berikut:

a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

b. Menyatakan secara hukum Penggugat adalah ahli waris yang sah dari

perkawinan almarhum Sahar Boenjamin, S.H., (atau disebut juga Boen Feot

Chong) dengan Maria Limiardi (disebut juga Lim Kim Giok);

c. Menyatakan, secara hukum perbuatan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III,

Tergugat IV dan Tergugat V yang mempergunakan Akta Keterangan Ahli

Waris tanggal 23 April 2007 Nomor 01/KAW/NOT-AK/2007 adalah

perbuatan melawan hukum.

d. Menyatakan secara hukum Akta Keterangan Ahli Waris tanggal 23 April

tahun 2007 Nomor 01/KAW/NOT-AK/2007 yang dibuat oleh Tergugat IV

tidak berkekuatan hukum;

e. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;

Dalam Rekonvensi I dan IV;

Menolak gugatan Penggugatdalam Rekovensi I dan IV seluruhnya;

Dalam Konvensi dan Dalam Rekovensi;

Menghukum Para Tergugat dalam Konvensi/Penggugat Dalam Rekonvensi I

dan IV, untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp1.076.000,00 (satu juta

tujuh puluh enam ribu rupiah);


76

Dalam tingkat banding atas perhomonan Tergugat I dan IV putusan

Pengadilan Negeri tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Medan

dengan Putusan Nomor 54/PDT/2013/PT-MDN tanggal 20 Juni 2013 yang

amarnya sebagai berikut:

1. Menerima Permohonan Banding dari Kuasa Hukum Tergugat I dan

Tergugat IV dalam Konvensi/Penggugat I dan Penggugat II Dalam

Rekovensi/Para Pembanding;

2. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor

276/Pdt.G/2011/PN-Mdn, tanggal 20 Desember 2011, yang dimohonkan

banding tersebut;

Dengan Mengadili Sendiri:

Dalam Konvensi:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat/Terbanding sebagian;

2. Menyatakan secara hukum Penggugat adalah Ahli Waris yang sah dari

perkawinan almarhum Sahar Boenjamin, S.H., (disebut juga Boen Foet

Tjong) dengan Maria Limiardi (disebut juga Lim Kim Giok);

3. Menghukum Tergugat I dan Tergugat IV/Para Pembanding serta Tergugat

II, III, V, dan VI/Para Turut Terbanding untuk membayar ongkos perkara

yang timbul dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding

ditetapkan sebanyak Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);

4. Menolak gugatan Penggugat/Terbanding selebihnya;

Dalam Rekovensi
77

1. Mengabulkan gugatan Penggugat I dan Penggugat II/Para Pembanding

sebagian;

2. Menyatakan perbuatan dan tindakan Tergugat meminjam dan

mempergunakan Sertifikat Hak Pakai Nomor 446 Tahun 1974 atas tanah

yang dikenal dengan Jalan Asia Nomor 57A/119 Lingkungan I Kelurahan

Sei Rengas I Kecamatan Medan Kota atas nama Jie Choen Koei (Choen

Koewaty Jiejanto) tanpa persetujuan Ahli Waris lain untuk kepentingannya,

kepemilikannya terhadap tanah dan bangunan sendiri adalah perbuatan

melawan hukum;

3. Menghukum Tergugat/Terbanding untuk membayar ongkos perkara yang

timbul dalam kedua tingkat peradilan sebanyak nihil;

4. Menolak gugatan Penggugat I dan Penggugat II/Para Pembanding

selebihnya;

Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi memutuskan sebagai berikut :

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Nelly Purnama Sari

Boenjamin tersebut;

2. Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara

dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)

B. Persepsi Hukum oleh Hakim Dalam Putusan MA No.1113K/Pdt//2015

Persepsi Hukum ataupun pertimbangan hakim dalam kasus ini setelah

meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 22 Agustus 2013 dihubungkan

dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Tinggi Medan yang
78

membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Medan ternyata Judex Facti sudah tepat

dan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Bahwa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sahnya

perkawinan dapat ditentukan berdasarkan kehidupan nyata pasangan

seseorang sebagai suami istri, hal mana telah terbukti dalam pekara a quo

yaitu menegenai hubungan antara almarhum Sahar Boenjamin dengan

almarhumah Choen Koewaty Jeijanto adalah sah sebagai suami istri (ibu

Tergugat I s/d Tergugat V);

2. Bahwa selain itu sesuai dengan akta kelahiran yang dimiliki oleh Tergugat I

hingga Tergugat V, pengakuan dan perlakuan almarhum Sahar Boenjamin

ketika masih hidup terhadap Tergugat I hingga Tergugat V telah cukup

membuktikan bahwa mereka adalah anak dan ahli waris sah almarhum

Sahar Boenjamin meskipun Sahar Boenjamin, S.H., dan Choen Koewaty

Jeijanto perkawinannya tidak dicatat di Kantor Catatan Sipil, akan tetapi

perkawinan mereka dilakukan menurut Agama Budha di Klenteng pada

tahun 1955 dan mereka oleh masyarakat diketahui sebagai suami istri yang

hidup satu rumah dan mempunyai anak 6 orang;

3. Bahwa dengan telah diakuinya Tergugat I s/d V oleh Sahar Boenjamin,

S.H., maka pembuatan Akta Keterangan Ahli Waris yang dibuat oleh

Tergugat II adalah sah dan penggunaannya bukan merupakan perbuatan

melawan hukum;
79

4. Bahwa tindakan Penggugat meminjam Sertifikat Nomor 446 Tahun 1974

atas nama Choen Koewaty Jeijanto (ibu para Tergugat Konvesi) dan

mengakui sebagai miliknya sendiri adalah perbuatan melawan hukum;

5. Bahwa alasan-alasan kasasi lainnya adalah mengenai penilaian hasil

pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal tersebut

tidak dapat dipetimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena

pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya

kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku,

adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh

peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan

batalnya putusan yang bersangkutan, atau bila pengadilan tidak berwenang

atau melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 30 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung, yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004

dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009;

6. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti/

Pengadilan Tinggi Medan dalam perkara ini tidak bertentangan dengan

hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan

oleh Pemohon Kasasi Nelly Purnama Sari Boenjami tersebut harus ditolak;

7. Menimbang bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi

ditolak dan Pemohon Kasasi ada di pihak yang kalah, maka Pemohon

Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
80

8. Memperhatikan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun

2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009

serta peraturan perundangan lain yang bersangkutan;

C. Analisis Hukum Putusan No.1113 K/Pdt/2015 PN MDN Tahun 2015 Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Anak yang lahir dari hasil hubungan diluar pernikahan menurut undang

undang perkawinan, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan

keluarga ibunya. Bahwa seorang anak luar kawin juga mempunyai hak untuk

hidup dan mewarisi harta warisan dari ayah biologisnya. Pasca keluarnya Putusan

MK RI No 46/PUU-VII/2010, hubungan hukum bagi anak luar kawin dengan ibu

dan ayah biologisnya semakin jelas hal ini terlihat dari amar Putusan MK yang

mengatakan hubungan keperdataan anak luar kawin bukan hanya memilik

hubungan keperdataan dengan ibunya saja akan tetapi juga memiliki hubungan

keperdataan dengan ayah biologisnya sepanjang anak luar kawin dan ibu dari anak

luar kawin dapat membuktikan ayah biologisnya dengan tes DNA.

Dalam Kasus ini putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Medan

bertentangan dengan Putusan MK RI No 46/PUU-VII/2010 dikarenakan hakim

dalam putusan ini menerangkan secara hukum perbuatan Tergugat I, Tergugat II,

Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V yang mempergunakan Akta Keterangan

Ahli Waris tanggal 23 April 2007 Nomor 01/KAW/NOT-AK/2007 adalah

perbuatan melawan hukum. Hal ini sangat bertentangan dengan putusan MK


81

tentang kedudukan anak luar kawin yang dimana Pihak Tergugat I-V merupakan

anak luar kawin hasil hubungan antara ibu Tergugat dengan Ayah Penggugat.

Apabila dikaji dari putusan MK RI No 46/PUU-VII/2010, Pihak Tergugat I-V

memiliki hak waris dari Ayah Penggugat dan berhak membuat Akta Keterangan

Ahli Waris tanggal 23 April 2007 yang secara hukum bahwa akta tersebut sah dan

memiliki kekuatan hukum.

Putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dalam Kasus ini

sudahlah tepat dan berpedoman dengan Putusan MK RI No 46/PUU-VII/2010

yang dimana putusan Pengadilan Tinggi yang membatalkan putusan Pengadilan

Negeri Medan dan Putusan Mahkamah Agung yang Menolak Permohonan Kasasi

Penggugat. Putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung ini secara tidak

langsung mengesahkan Akta Keterangan Ahli Waris tanggal 23 April 2007

Nomor 01/KAW/NOT-AK/2007 akta tersebut memiliki kekuatan hukum tetap.

Dengan Putusan MK semakin mempertegas kepastian hukum dan

perlindungan hukum dalam hubungan antara anak luar kawin dengan ayah

biologis dalam hal pewarisan maka sangat tepatlah bahwa Pihak Tergugat I-V

memiliki hubungan perdata dengan ayah Penggugat dan berhak untuk mewarisi

Tanah dan Bangunan yang terletak Jalan Asia Nomor 57 A/119, Lingkungan I,

Keluarahan Sei Rengas I, Kecamatan Medan Kota yang menjadi objek perkara

dalam kasus ini.

Pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan perlindungan

hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara dan secara otomatis tidak
82

tercantum nama ayahnya diakta kelahiran dan tentu berimplikasi tidak

mendapatkan “hak waris” dengan tidak tercantumkanya nama ayah tentu akan

merugikan anaknya tersebut. Hak Keperdataan itu adalah hak yang sangat

mendasar dan konstitusional. Pasca ada Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010

Surat keterangan waris dapat dibuat dan jika Warisan telah terbuka dan dibagi,

maka pembagian tersebut sudah sah dan benar menurut Undang undang yang

berlaku saat itu sebab seperti yang diamanatkan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata pasal 874 yang menyatakan bahwa segala harta peninggalan yang

meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli waris menurut undang-undang

dengan demikian secara otomatis warisan akan dibuka pada waktu itu dan dibagi

kepada orang yang masih hidup dan memiliki hubungan darah dan wasiat yang

telah diambil sebagai sesuatu ketetapan yang sah.

Putusan MK dinilai tepat yang kemudian berpengaruh terhadap akta

pengakuan, akta pengesahan dan akta kelahiran terhadap anak diluar kawin yang

juga dengan demikian harus memiliki bukti otentik yakni berupa Akta. Karena

saat Perkawinan dilaksanakan akan tetapi tidak dicatatkan, menurut Undang

Undang Perkawinan, Perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing masing

agamanya tetap menjadi perkawinan yang sah akan tetapi dari segi pembuktian

secara hukum tidak ada dengan demikian akan berimbas kepada status anak dan

status ibu kandung, karena status anak dalam hal ini bisa menjadi anak diluar

kawin yang tentu berpengaruh terhadap hubungan keperdataan dengan ayah

biologisnya oleh karena itu pentingnya pencatatan tertib administrasi dengan

menerbitkan buku nikah demikian juga jika status tidak ada hubungan perkawinan
83

maka menyangkut status anak juga harus melalui prosedur administratif jika anak

tersebut hendak membuktikan ayah biologisnya, atau ayah biologisnya mengakui

anaknya secara sukarela atau ayah dan ibu kandungnya melangsungkan

perkawinan setelah itu mencatatkan status anaknya ke buku nikah menjadi anak

sah. Dalam rangkaian tersebut tentunya prosedur hukum administratif perlu

dilakukan untuk menjamin kepastian hukum kepada status keperdataan seorang

anak.

Terkait dengan seseorang yang menuntut hak warisannya sementara

warisan telah terbuka dan dibagi maka menurut KUHPerdata menyatakan bahwa

ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap

semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan

alas hak ataupun tanpa alas hak, gugatan bertujuan untuk menuntut supaya

diserahkan apa saja yang dengan alas hak apapun ada dalam warisan itu,beserta

segala penghasilan, pendapatan dang anti rugi, menurut peraturan-peraturan yang

termaktub dalam bab III mengenai penuntutan kembali hak milik. Sehingga

apabila ada orang yang ingin menuntut bagian waris dengan berdasarkan Putusan

MK Nomor 46 tetapi warisan almarhum telah dibagi, maka ia dapat berhak untuk

mendapatkan harta warisan akan tetapi didasarkan atas pengajuan gugatan atau

dapat dilakukan terlebih dahulu kesepakatan para ahli waris lain dengan

menggunakan produk Notaris yakni menggunakan akta pembatalan.


84

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengaturan tentang perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Di dalam pasal 1 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa “perkawinan ialah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dasar perkawinan dalam

Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa Perkawinan

menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.

2. Pengaturan tentang anak menurut Hukum perdata di Indonesia adalah

sebagai berikut. Pengaturan tentang anak sah dapat dilihat dalam Pasal 42

UU Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan

dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah, Pasal 250 KUHPerdata

menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama

perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya, Pasal 99 Kompilasi

Hukum Islam menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan

dalam atau akibat perkawinan yang sah. Hasil perbuatan suami isteri yang

sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Sedangkan anak luar

kawin atau tidak sah dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan

84
85

bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan

keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya dan ketentuan Pasal 250

KUHPerdata lebih menekankan keabsahan anak semata-mata hanya pada

hubungan kebapakan.

3. Dalam Kasus ini putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Medan

bertentangan dengan Putusan MK RI No 46/PUU-VII/2010 dikarenakan

hakim dalam putusan ini menerangkan secara hukum perbuatan Tergugat I,

Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V yang

mempergunakan Akta Keterangan Ahli Waris tanggal 23 April 2007 Nomor

01/KAW/NOT-AK/2007 adalah perbuatan melawan hukum. Hal ini sangat

bertentangan dengan putusan MK tentang kedudukan anak luar kawin yang

dimana Pihak Tergugat I-V merupakan anak luar kawin hasil hubungan

antara ibu Tergugat dengan Ayah Penggugat. Apabila dikaji dari putusan

MK RI No 46/PUU-VII/2010, Pihak Tergugat I-V memiliki hak waris dari

Ayah Penggugat dan berhak membuat Akta Keterangan Ahli Waris tanggal

23 April 2007 yang secara hukum bahwa akta tersebut sah dan memiliki

kekuatan hukum dan Putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung

dalam Kasus ini sudahlah tepat dan berpedoman dengan Putusan MK RI No

46/PUU-VII/2010 yang dimana putusan Pengadilan Tinggi yang

membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan dan Putusan Mahkamah

Agung yang Menolak Permohonan Kasasi Penggugat. Putusan Pengadilan

Tinggi dan Mahkamah Agung ini secara gak langsung mengesahkan Akta
86

Keterangan Ahli Waris tanggal 23 April 2007 Nomor 01/KAW/NOT-

AK/2007 akta tersebut memiliki kekuatan hukum tetap.

B. Saran

1. Agar masyarakat lebih memahami lagi pengaturan tentang perkawinan yang

ada di Indonesia dan mencermati bagaimana perkawinan yang sah dan tidak

sah menurut perundang-undangan di Inonesia agar kelak tidak terjadi

permasalahan yang timbul dari hubungan keperdataan yang timbul akibat

dari perkawinan yakni salah satunya mengenai pewarisan.

2. Hendaknya Pemerintah agar segera membentuk peraturan perundang-

undangn ataupun Undang-undang yang baru guna mengatur tentang status

anak luar nikah dan juga perlindungan hukum terhadap anak luar kawin di

Indonesia. Hal ini sangatlah penting agar hubungan perdata dengan ayah

biologis anak luar kawin dapat lebih mendapat kepastian hukum.

3. Majelis hakim dalam membuat putusan agar lebih cermat lagi dalam

menggunakan pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan untuk

membuat sebuah putusan agar tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan

ataupun ketidakadilan.
87

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

A. Pilto, 2001, Hukum Waris menurut KUHPerdata, Jakarta : Intermasa

Abdulkadir, Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.I, Bandung :

PT. Citra Aditya Bakti

Afandi, Ali, 2006, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta :

Bina Aksara

Anshory, Abdul Ghofur, 2011, Hukum Perkawinan Islam Prespektif Fikih dan

Hukum Positif, Yogyakarta : UII Press

Darmabrata, Wahyono, 2004, Hukum Perdata Asas-Asas Hukum Orang dan

Keluarga, Jakarta : Gitamajaya

Ghofar, Asyari Abdul, 1992, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama

Islam, Kristen Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : CV.Gramada

Hadikusuma, Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-

Undangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju

--------------------------, 1999, Hukum Waris Adat, Bandung : Citra Aditya Bakti

---------------------------, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung : Mandar

Maju

Hamid, Andi Tahir, 2005, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan

Bidangnya, Jakarta : Sinar Grafika

Harahap, Yahya, 2008, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan

Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika,

87
88

Humaedillah, Memed, 2002, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan

Anaknya, cet. I, Jakarta : Gema Insani Pers

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hal 33

Prawirohamidjojo, R Soetojo dan Asis Safioedin, 1986, Hukum Orang Dan

Keluarga, Bandung : Alumni

-------------------------------------- dan Pohan, Marthalena, 2008, Hukum Orang dan

Keluarga (Personen en Familie-Rcht), Surabaya : Airlangga University

Press,

--------------------------------------, 2000, Hukum Waris Kodifikasi, Surabaya :

Airlangga University Press

--------------------------------------, 1988, Pluralisme Dalam Perundang-undangan

Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Universitas Airlangga

Ramulyo, M. Idris, 2006, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari

Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta :

Bumi Aksara

Rusli dan R. Tama, 2000, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya,

Bandung : Pionir Jaya

Satrio, J., 2000, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-

Undang, Bandung : Citra Aditya Bakti

Situmorang, Victor M., dan Sitanggang, Cormentyna, 1991, Aspek Hukum Akta

Catatan Sipil Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika

Soebekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa


89

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 2003, Penelitian Hukum Normatif Ed.1,

cet.7, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Soemiyati, 1982, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,

Yogyakarta : Liberty

Soimin, Soedharyo, 1992, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika

------------------------, 2002, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika

Sulistiai, Siska Lis, 2015, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda

Agama menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Bandung : PT Refika

Aditama

Supramono, Gatot, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta :

Penerbit Djambatan

Thalib, Sayuti, 2009, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Press

Utuh, Harun, 2007, Anak Luar Nikah: Status Hukum dan Perlindungannya,

Surabaya : PT Bina Ilmu

Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam

Website :

Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Perkawinan,


http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, diakses pada 23 Desember 2018

“Tentang Perkawinan”, http://m00y5u5ak.wordpress.com/tag/kuhper/


90

(http://www.landasanteori.com/2015/08/pengertian-anak-menurut-definisi-
ahli.html), diakses pada tanggal 23 Desember 2018

( http://anggara.org/2013/08/21/anak-di-bawah-umur-dan-dewasa/), diakses pada


tanggal 23 Desember 2018

Anda mungkin juga menyukai