Makalah Bu Arni Stress, Role Stress, Role Ambiguity, Role Conflict Dan Self-Efficacy

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 30

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah memberi kesempatan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Stress, Role
Stress, Role Ambiguity, Role Conflict dan Self Efficacy”.

Saya dan Anda mungkin telah menghabiskan lebih banyak waktu dengan
bekerja dari pada mengerjakan aktivitas lain dalam hidup. Kendati begitu, kita sering
menjumpai pengalaman kerja yang kurang menyenangkan yang pada akhirnya
menyebabkan stress kerja. Kita terkadang merasa menderita, namun ingin bekerja
sebaik mungkin, tetapi apa daya stres kerja yang muncul.

Dalam makalah ini akan membahas Stress, Role Stress, Role Ambiguity, Role
Conflict dan Self Efficacy dalam suatu pekerjaan. Sudut pandang kita terhadap
pekerjaan mungkin berbeda. Sekarang saatnya untuk melakukan manajemen diri
melawan stress kerja yang mungkin bisa mengganggu kinerja kita. Sehingga strategi
individu untuk mengatasi stress kerja semakin masuk akal.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan yang ditemukan dalam


makalah ini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan masukan-masukan dan kritik yang
membangun sebagai bahan evaluasi guna memperbaiki makalah ini.

Yogyakarta, 05 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN................................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................2

C. Tujuan.....................................................................................................................2

BAB II.PEMBAHASAN...................................................................................................3

A. STRESS..................................................................................................................3

B. ROLE STRESS......................................................................................................12

C. ROLE AMBIGUITY..............................................................................................16

D. ROLE CONFLICT................................................................................................18

E. SELF-EFFICACY.................................................................................................19

BAB III.PENUTUP.........................................................................................................26

Kesimpulan..................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai sumber tenaga kerja merupakan salah satu asset


perusahaan yang mempunyai peranan penting dalam kegiatan perusahaan.
Persaingan usaha yang ketat menuntut sumber daya manusia terbaik dan
profesional sehingga sumber daya manusia senantiasa menempati kedudukan
yang semakin penting dalam perusahaan (Sopiyan and Abdul Aziz, 2019).
Keterlibatan tenaga profesional pada organisasi akan menimbulkan
sebuah kondisi dimana individu mengalami dilema yang disebut dengan konflik
peran. Konflik peran timbul karena adanya dua perintah yang berbeda yang
diterima secara bersamaan dan pelaksanaan salah satu perintah saja akan
mengakibatkan terabaikannya perintah yang lain.
Koflik peran dapat ditekan atau dikendalikan diantaranya oleh self
efficacy. Menurut Alwisol self-efficacy adalah penilaian diri, apakah dapat
melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa
mengerjakan sesuai yang diisyaratkan. Menurut Lee dan Bobko (1994) dalam
Engko menyatakan bahwa individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan
mencurahkan seluruh usaha dan perhatian untuk mencapai tujuannya dan apabila
terjadi kegagalan akan membuatnya berusaha lebih giat lagi.
Seseorang yang memiliki self-efficacy yang tinggi mereka mampu
melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian disekitarnya, sedangkan
seseorang dengan self-efficacy yang rendah menganggap dirinya pada dasarnya
tidak mampu mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya. Dalam situasi
sulit, orang yang memiliki self-efficacy yang rendah cenderung mudah
menyerah, sementara orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan
berusaha lebih keras lagi untuk mengatasi tantangan yang ada.
Tingkat intensi keluarnya karyawan (turnover intention) dari perusahaan
merupakan permasalah yang sering dihadapai oleh perusahaan. Keinginan

1
karyawan untuk keluar dari perusahaan bisa menjadi ancaman yang serius
karena akan memberikan dampak bagi perusahaan (Pengaruh Beban Kerja,
2019).
Tingginya angka keluar karyawan maka akan merugikan pihak
perusahaan dari segi waktu dan juga Financial. Ketika karyawan keluar maka
perusahaan perlu melakukan rekrutmen pegawai baru dimana hal tersebut
tentunya membutuhkan waktu dan juga pendanaan.

B. Rumusan Masalah

1. Stress
2. Role Stress
3. Role Ambiguity
4. Role Conflict
5. Self-efficacy

C. Tujuan

1. Mengetahui hal yang berkaitan dengan Stress


2. Mengetahui hal yang berkaitan dengan Role Stress
3. Mengetahui hal yang berkaitan dengan Role Ambiguity
4. Mengetahui hal yang berkaitan dengan Role Conflict
5. Mengetahui hal yang berkaitan dengan Self-Efficacy

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. STRESS

1. Pengertian
Stress sebagai akibat yang timbul ketika terjadi sebuah
ketidakseimbangan antara beban kerja dan individu atau SDM dalam
melakukan suatu tuntunan pekerjaan. Semakin tinggi kesenjangan yang
terjadi maka akan semakin tinggi pula tingkat stress seseorang dan akan
mengamcam kinerja individu terhadap perusahaan.
Stres merupakan reaksi negatif dari orang-orang yang mengalami
tekanan berlebih yang dibebankan kepada mereka akibat tuntutan, hambatan,
atau peluang yang terlampau banyak (Gusti Yuli Asih).
Handoko (2001:200) mengungkapkan stres adalah suatu kondisi
ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi
seseorang. Stres yang terlalu berlebihan dapat mengancam kemampuan
seseorang untuk menghadapi lingkungan. Stres didasarkan pada asumsi
bahwa yang disimpulkan dari gejala-gejala dan tanda-tanda fatal, perilaku,
psikologikal dan somatik, adalah hasil dari tidak atau kurang adanya
kecocokan antara orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya, dan
kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan
ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya
secara efektif, (Fincham & Rhodes dalam Munandar, 2001: 374).
Zaenal dkk (2014: 724) berpendapat stres sebagai suatu istilah payung
yang merangkumi tekanan, beban, konflik, keletihan, ketegangan, panik,
perasaan gemuruh, anxiety, kemurungan dan hilang daya. Stres kerja adalah
suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik
dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang
karyawan. Stres pada pekerjaan (Job stress) adalah pengalaman stress yang
berhubungan dengan pekerjaan (King, 2010: 277).

3
Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam
menghadapi pekerjaan (Mangkunegara, 2013: 155). Pendapat ini didukung
oleh Beehr dan Newman (dalam Luthans, 2006: 441) yang mendefinisikan
mengenai stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi manusia
dengan pekerjaannya serta dikarakteristikkan oleh manusia sebagai
perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi
normal mereka. Bisa dikatakan bahwa stress kerja adalah umpan balik atas
atas diri karyawan secara fisiologis maupun psikologis terhadap keinginan
atau permintaan organisasi. Stres kerja merupakan faktor-faktor yang dapat
memberi tekanan terhadap produktivitas dan lingkungan kerja serta dapat
mengganggu individu.

Luthan (2006: 441) menjelaskan perbedaan antara stress dan kecemasan:


a. Stres bukan masalah kecemasan, yang artinya bahwa, kecemasan terjadi
dalam lingkup emosional dan psikologis, sementara stress terjadi dalam
lingkup emosional, psikologis, dan juga fisik. Stres dapat disertai
dengan kecemasan, tetapi keduanya tidak sama.
b. Stres bukan hanya ketegangan saraf: ketegangan saraf mungkin
dihasilkan oleh stress, tetapi keduanya tidak sama. Orang yang pingsan
menunjukkan stress, dan beberapa orang mengendalikannya serta tidak
menunjukkannya melalui ketegangan saraf.
c. Stres bukan sesuatu yang selalu merusak, buruk atau dihindari. Eustres
tidak merusak atau buruk, tetapi merupakan sesuatu yang perlu dicari,
bukannya dihindari. Stres tidak dapat dielakkan, kuncinya adalah
bagaimana kita menangani stress.

2. Jenis-jenis Stress
Penilaian terhadap stress tidaklah seburuk yang dibayangkan oleh
manusia pada umumnya. Stress memiliki nilai positif ketika menjadi peluang
saat menawarkan potensi hasil. Contohnya, banyak professional memandang

4
tekanan sebagai beban kerja yang berat dan tenggat waktu yang mepet
sebagai tantangan positif yang menaikkan mutu pekerjaan mereka.
Berney dan Selye (Dewi, 2012:107) mengungkapkan ada empat jenis stress :
a. Eustres (good stres)
Merupakan stress yang menimbulkan stimulus dan kegairahan, sehingga
memiliki efek yang bermanfaat bagi individu yang mengalaminya.
Contohnya Seperti: tantangan yang muncul dari tanggung jawab yang
meningkat, tekanan waktu, dan tugas berkualitas tinggi.
b. Distress
Merupakan stres yang memunculkan efek yang membahayakan bagi
individu yang mengalaminya seperti: tuntutan yang tidak menyenangkan
atau berlebihan yang menguras energi individu sehingga membuatnya
menjadi lebih mudah jatuh sakit.
c. Hyperstress
Stress yang berdampak luar biasa bagi yang mengalaminya. Meskipun
dapat bersifat positif atau negatif tetapi stress ini tetapsaja membuat
individu terbatasi kemampuan adaptasinya. Contoh adalah stres akibat
serangan teroris.
d. Hypostress
Merupakan stress yang muncul karena kurangnya stimulasi. Contohnya,
stres karena bosan atau karena pekerjaan yang rutin.
Quick dan Quick (dalam Waluyo, 2009: 161) mengkategorikan jenis stress
menjadi dua, yaitu :
a. Eustress
Yaitu hasil dari respon terhadap stress yang bersifat sehat, positif, dan
konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan
individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan,
fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
b. Distress
Yaitu hasil dari respon terhadap stress yang bersifat tidak sehat,
negative, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk

5
konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit
kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi,
yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan ada beberapa jenis-jenis stres
antara lain Eustres, Distres, Hyperstres, Hypostres.

3. Gejala-gejala Stress
Beehr dan Newman (dalam Waluyo, 2009: 164-165) menyebutkan gejala-
gejala stress yaitu :
a. Gejala psikologis
1) Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung
2) Perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian)
3) Sensitive dan hyperreactivity
4) Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
5) Komunikasi yang tidak efektif
6) Perasaan terkucil dan terasing
7) Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
8) Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan
konsentrasi
9) Kehilangan spontanitas dan kreativitas
10) Menurunnya rasa percaya diri

b. Gejala Fisiologis
1) Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan
mengalami penyakit kardiovaskular
2) Meningkatnya sekresi dari hormon stress (seperti: adrenalin dan
nonadrenalin)
3) Gangguan gastrointestinal (gangguan lambung)
4) Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan
5) Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom
kelelahan yang kronis

6
6) Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada
7) Gangguan pada kulit
8) Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot
9) Gangguan tidur
10) Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan
terkena kanker
c. Gejala Perilaku
1) Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan
2) Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas
3) Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan
4) Perilaku sabotase dalam pekerjaan
5) Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai
pelampiasan, mengarah ke obesitas
6) Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk
penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba,
kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi
7) Meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi, seperti
menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi
8) Meningkatnya agresivitas, vandalism, dan kriminalitas
9) Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan
teman
10) Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri
Robbins & Coulter (2010: 17) mengungkapkan tentang gejala-gejala stres
sebagai berikut :
a. Fisik
Perubahan dalam metabolisme, bertambahnya detak jantung dan napas,
naiknya tekanan darah, sakit kepala, dan potensi serangan jantung.
b. Perilaku
Perubahan dalam produktivitas, ketidakhadiran, perputaran kerja,
perubahan pola makan, peningkatan konsumsi alkohol atau rokok,
berbicara cepat, gelisah, dan gangguan tidur.

7
c. Psikologis
Ketidakpuasan kerja, tekanan, kecemasan, lekas marah, kebosanan, dan
penundaan.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Stress kerja


Sebagian besar stresor dalam kehidupan sehari-hari bersifat psikososial.
Walaupun mobilisasi cepat sumber-sumber daya tubuh memang tepat untuk
menghadapi cedera fisik baik yang bersifat ancaman atau yang sudah terjadi.
Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai
peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang
berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu atau karyawan akan
sangat menentukan apakah stresor itu berakibat positif atau negatif.
Handoko (2001: 201) mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah kondisi
kerja yang sering menyebabkan stres bagi karyawan, diantaranya adalah :
a. Beban kerja yang berlebihan
b. Tekanan atau desakan waktu
c. Kualitas supervisi yang jelek
d. Iklim politis yang tidak aman
e. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai
f. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung-jawab
g. Kemenduaan peranan (role ambiguity)
h. Frustrasi
i. Konflik antar pribadi dan antar kelompok
j. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan
k. Berbagai bentuk perubahan
Stres karyawan juga dapat disebabkan masalah-masalah yang terjadi di luar
organisasi / perusahaan. Penyebab stress “off-the-job” antara lain:
a. Kekuatan finansial
b. Masalah-masalah yang bersangkitan dengan anak
c. Masalah-masalah fisik
d. Masalah-masalah perkawinan (seperti perceraian)

8
e. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal
f. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara.
Sumber stress Psikologis (Maramis & Maramis, 2009: 78-81), Sumber
stress psikologis yaitu: frustrasi, konflik, tekanan atau krisis
Frustrasi timbul apabila ada stresosor antara individu dengan tujuannya.
Ada frustrasi yang timbul karena, stressor dari luar, seperti bencana alam,
kecelakaan, kematian orang tercinta, norma-norma, adat istiadat,
peperangan, keguncangan ekonomi, diskriminasi rasial atau agama,
persaingan yang berlebihan, perubahan yang terlalu cepat, pengangguran
dan ketidakpastian sosial.
Konflik, terjadi apabila individu tidak dapat memilih antara dua atau lebih
dari kebutuhan dan tujuan. Memilih yang satu berarti tidak tercapainya yang
lain. Misalnya memilih mengurus rumah tangga atau bekerja, antara tugas
dan ambisi. Contoh lain apabila kita memilih antara beberapa hal yang tidak
kita inginkan, misalnya pekerjaan yang tidak menarik atau menganggur.
Ada tiga jenis konflik yaitu (Luthan, 2006: 451):
a. Konflik pendekatan-pendekatan, seseorang dimotivasi untuk mendekati
dua tujuan positif atau lebih, terutama tujuan eksklusif.
b. Konflik pendekatan-penghindaran, seseorang dimotivasi untuk
mendekati tujuan, pada saat bersamaan serta dimotivasi untuk
menghindarinya. Tujuan tunggal berisi karakteristik positif dan negatif
bagi individu
c. Konflik penghindaran-penghindaran, seseorang dimotivasi untuk
menghindari dua tujuan negatif atau lebih, terutama tujuan ekslusif
Tekanan, dapat menimbulkan masalah penyesuaian.
Tekanan sehari-hari biarpun kecil, tetapi bila menumpuk dan berlangsung
lama, dapat menimbulkan stress yang hebat.
Krisis, merupakan keadaan karena stressor mendadak dan besar yang
menimbulkan stress pada seorang individu ataupun kelompok, misalnya
kematian, kecelakaan, penyakit yang memerlukan operasi, masuk kerja
untuk pertama kali.

9
5. Kiat Mengurangi Stress
Terkadang individu memandang pekerjaan hanya sebuah kata.
Terkadang melihat usaha yang dilakukan sebagai sesuatu yang harus
dihindari, atau berpandangan bekerja keras terasa terlalu keras, tetapi sangat
penting untuk diingat bahwa bekerja adalah bagian esensial dari kehidupan
yang penuh.
a. Menyediakan waktu relaks
Stres yang berkaitan dengan pekerjaan dimulai sejak pagi, sebelum
berangkat kerja. Oleh sebab itu, daripada memikirkan beban pekerjaan,
lebih baik waktu digunakan untuk melakukan relaksasi, seperti meditasi,
yoga, dan teknik pernapasan. Teknik pernapasan adalah teknik relaksasi
yang paling mudah dilakukan. Relaksasi dapat dilakukan dengan
sederhana atau menggunakan teknik khusus seperti biofeedback.
Relaksasi sederhana dengan cara menarik nafas dalam-dalam, lalu
menghembuskan sampai tidak ada lagi udara yang tersisa di paru-paru.
Dilakukan minimal 3x sambil membayangkan beban berkurang.
b. Bersikap lebih asertif
Pada umumnya masalah pekerjaan berpangkal dari kurangnya
kesempatan untuk membuat perubahan atau keputusan. Oleh sebab itu
perlu berbicara dengan atasan, berkaitan dengan tugas dan tanggung
jawab tambahan. Dengan demikian, pekerjaan dapat dilakukan dengan
cara kerja seperti yang diinginkan oleh perusahaan.
c. Bekerja lebih efisien
Karyawan pada umumnya selalu kekurangan waktu untuk menyelesaikan
tugas yang bukan disebabkan tugas yang berlebihan, melainka berkaitan
dengan waktu dan cara mengerjakannya. Untuk bekerja secara efisien,
karyawan harus terampil menentukan prioritas. Urutan prioritas dapat
membantu mengatur strategi penyelesaian pekerjaan.

10
d. Tingkatkan energi dengan tidur
Keadaan lelah lebih mudah memicu stress karena hal-hal yang sepele.
Dalam keadaan demikian, dianjurkan tidur selama 15 menit di tengah
waktu kerja akan sama manfaatnya dengan tidur malam 3 jam.
e. Mengatur lingkungan kerja
Mengubah lingkungan kerja secara kecil-kecilan, seperti menata meja
kerja yang berantakan, mengurangi asap rokok.Tempat kerja yang teratur
akan membentuk pikiran yang teratur. Menjaga lingkungan kerja
terutama meja kerjadari tumpukan kertas atau file. Simpan kertas dalam
map dan kotak file atau laci file. Hal lain yang dapat mencegah stress
dengan mengubah tata letak meja kursi. Bisa juga memindah meja kursi
sehingga akan mendapat cahaya matahari.
f. Meningkatkan Keterampilan
Tidak ada kata terlambat untuk mempelajari keterampilan baru. Misalnya
kurang mampu dalam melakukan komunikasi, keterampilan dapat
dipelajari melaui buku-buku atau latihan kepemimpinan. Peningkatan
keterampilan akan membuat karyawan lebih berharga.
g. Jaringan
Seorang karyawan perlu memperluas jaringan, sehingga karyawan akan
diuntungkan dari adanya dukungan sosial. Jaringan juga dipakai sebagai
strategi mengurangi stress kerja, karena hal ini akan membentuk
hubungan dekat dengan rekan kerja dan kolega yang berempati dan
dipercaya untuk menjadi pendengar yang baik dan membangun
kepercayaan diri.
h. Pekerjaan Bukan Segalanya
Bekerja merupakan ajang untuk aktualisasi diri, akan tetapi masih
banyak kegiatan lain yang dapat menimbulkan perasaan berguna bagi
karyawan.. Seperti mengikuti kegiatan di luar pekerjaan, stress di tempat
pekerjaan akan berkurang. Karyawan dapat meyakinkan diri bahwa
walaupun tidak dapat memperbaiki keadaan di tempat kerja, karyawan

11
dapat mengendalikan hal-hal penting dalam hidupnya. Perasaan mampu
mengendalikan kehidupan sendiri merupakan harta yang tidak ternilai.
Beratnya suatu stress sebagian besar tergantung pada penilaian individu
sendiri terhadap stressor dan stresnya. Setiap individu mengalami suatu pola
stress yang khas dan berubah-ubah. Individu harus dengan tidak henti-
hentinya berusaha mengatasi itu.

D. ROLE STRESS

1. Pengertian
Perubahan terus menerus yang terjadi pada lingkungan sebuah
perusahaan menyebabkan perusahaan akan berusaha meningkatkan kualitas
kinerja karyawan atau pegawai.
Peran (role) adalah pola tindakan yang diharapkan dari seseorang dalam
tindakan yang melibatkan orang lain. Peran mencerminkan posisi seseorang
dalam sistem sosial dengan hak dan kewajiban, kekuasaan dan tanggung
jawab yang menyertainya (Davis & Newstrom, 2012).
Sedangkan, Hasibuan (2011) berpendapat bahwa stress adalah suatu
ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi
seseorang. Stres karyawan timbul akibat kepuasan kerja tidak terwujud dari
pekerjaannya. Prestasi kerja karyawan yang stress pada umumnya akan
menurun karena mereka mengalami ketegangan pikiran dan berperilaku
aneh, pemarah, suka menyendiri.
Robbins menyatakan bahwa stress peran terjadi karena adanya tekanan
pada tuntutan peran yang diberikan kepada seseorang dalam organisasi.
Sedangkan (Chang, 2010) mendefinisikan role stress dapat terjadi jika
peran yang diharapkan dan dirasakan berbeda.
Ketika menghadapai role stress, individu dapat berperilaku tidak
menguntungkan terhadap organisasi, seperti pengurangan kinerja, kelelahan
kerja, dan pengunduran diri (Wen, 2009). Karena banyaknya tekanan dalam
pekerjaan yang terjadi, mungkin juga memiliki implikasi terkait stres
seperti keterasingan mental dan dampak mental pada kinerja individual.

12
Juga dapat menghancurkan semangat tim, ketidakpuasan atau
ketidakhadiran atau bahkan pengunduran diri dari pekerjaan dapat menjadi
manifestasi dari stress (Ashfaq, 2013).
Berdasarkan paparan di atas, role stress merupakan kondisi dimana
seseorang mengalami suatu ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses
berfikir sehingga tugas yang dia dijalankan terasa terlalu berat. Peranan
yang dijalankan seseorang terkadang memiliki harapan yang berbeda yang
dipengaruhi oleh harapan orang lain, yang mana harapan-harapan tersebut
dapat berbenturan, tidak jelas dan menyulitkan peranan seseorang.

2. Bentuk-bentuk Role Stress


Role Stress bisa menghasilkan stress pada diri seorang. Stress tersebut
dipicu oleh konflik, ketidakjelasan dan terlalu banyaknya peran yang
dimiliki oleh seseorang di dalam suatu organisasi atau unit sosial. Stress
yang berkaitan dengan peran (Role Stress) bisa menimbulkan konsekuensi-
konsekuensi baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi organisasi
secara keseluruhan.
Bentuk-bentuk Role Stress bisa berupa role conflict, role ambiguity, dan
role overload. Banyak peneliti barat yang telah melakukan penilaian
terhadap dua jenis role stress, yakni role conflict dan role ambiguity
(Peterson et al., 1995). Lebih lanjut, Peterson et al (1995) menambahkan
aspek ketiga dalam penelitiannya mengenai role stress, yakni role
overload. Selain itu, Robbins dan Judge (2009) dalam pembahasannya
mengenai sumber-sumber stress (Stressors) juga memasukkan role conflict,
role overload, dan role ambiguity sebagai bagian dari Stressor yang berasal
dari tuntutan peran (role demand).

3. Faktor-faktor Stress
Faktor-faktor penyebab stress pada karyawan antara lain sebagai berikut
(Hasibuan, 2011):
1) Beban kerja yang sulit dan berlebihan

13
2) Tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar
3) Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai
4) Konflik antar pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja
5) Balas jasa yang terlalu rendah
6) Masalah-masalah keluarga seperti anak, istri, mertua dan lain-lain
Faktor-faktor di pekerjaan dapat menimbulkan stress dapat
dikelompokkan ke dalam enam kategori yaitu faktor-faktor intrinsik dalam
pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam
pekerjaan, struktur dan iklim organisasi, serta tuntutan dari luar
organisasi/pekerjaan menurut Hurrel (dalam Mauli, 2012) :
1) Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan
Termasuk dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas.
Tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor-faktor
tugas mencakup: kerja malam, beban kerja, dan penghayatan dari
resiko dan bahaya.
2) Peran individu dalam organisasi
Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi,
artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang
harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai
dengan yang diharapkan oleh atasannya. Namun demikian tenaga
kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa
menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya peran, yang
merupakan pembangkit stres yaitu meliputi: konflik peran dan
ketidakjelasan peran (role ambiguity).
3) Pengembangan karir
Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang
mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi
yang kurang.
4) Hubungan dalam pekerjaan
Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala
adanya kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam

14
pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidak percayaan secara
positif berhubungan dengan ketaksaan peran yang tinggi, yang
mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara
pekerja dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan
pekerjaan yang rendah, penurunan dari kondisi kesehatan, dan rasa
diancam oleh atasan dan rekan-rekan kerjanya.
5) Struktur dan iklim organisasi
Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini adalah terpusat pada
sejauh tenaga kerja dapat terlihat atau berperan serta pada support
sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan
keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif.
Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan
produktivitas, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik.
6) Tuntutan dari luar organisasi/pekerjaan. Kategori pembangkit stres
potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang dapat
berinteraksi dengan peristiwaperistiwa kehidupan dan kerja di dalam
satu organisasi, dan dapat memberi tekanan pada individu. Isu-isu
tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-
keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara
tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat
merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya, sebagaimana
halnya stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negatif pada
kehidupan keluarga dan pribadi.
Berdasarkan paparan di atas, faktor-faktor yang dapat menyebabkan
stress faktor intrinsik dalam pekerjaan seperti beban kerja yang sulit dan
berlebihan, tekanan pemimpin yang kurang adil, waktu dan peralatan
yang kurang memadai, balas jasa yang terlalu rendah, tuntutan dari luar
organisasi seperti masalah keluarga anak, istri dan lain-lain.

15
E. ROLE AMBIGUITY

1. Pengertian
Role Ambiguity adalah kurangnya informasi yang jelas dan spesifik
tentang persyaratan peran kerja, sering dikaitkan dengan stres kerja dan
kepuasan kerja yang rendah (House & Rizzo dalam Ram et al, 2011).
Pegawai kadang tidak tahu apa yang sebenarnya diharapkan oleh
perusahaan, sehingga ia bekerja tanpa arah yang jelas. Kondisi ini akan menjadi
ancaman bagi pegawai yang berada pada masa karir tengah baya, karena harus
berhadapan dengan ketidakpastian.
Akibatnya dapat menurunkan kinerja, meningkatkan ketegangan dan
keinginan keluar dari pekerjaan. Ambiguitas peran terjadi ketika anggota role
sender gagal mengomunikasikan pada harapan vocal person. Secara singkat,
orang mengalami ambiguitas peran apabila mereka tidak tahu apa yang
diharapkan terhadap mereka.
Seorang pendatang baru sering mengeluh tentang job description yang
tidak jelas dan kriteria promosi yang tidak jelas. Menurut teori peran,
diperpanjangnya ambiguitas peran dapat memperbesar ketidakpuasan kerja,
mengikis percaya diri, dan menghambat kinerja. Ambiguitas peran merupakan
kebingungan yang timbul dari ketidaktahuan bahwa seseorang diharapkan
melakukan sebagai pemegang peran (Wibowo, 2014:171). Ambiguitas peran
mengacu pada tingkat respon prediktabilitas seseorang perilaku dan kejelasan
persyaratan perilaku (Glissmeyer dalam Safaria et al, 2011).

2. Dimensi Role Ambiguity


Dimensi Role Ambiguity menurut model Johnson dan Stinson dalam Ram
(2011) adalah sebagai berikut:
1. Task
Task adalah tugas yang diberikan dari perusahaan dimana tugas dan otoritas
dalam bekerja yang tidak jelas. Selain itu bimbingan yang tidak diberikan
membuat ambiguitas peran semakin jelas.

16
2. Feedback
Feedback adalah seluruh hal yang diberikan oleh perusahaan kepada
karyawan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh karyawan seperti
kriteria promosi yang tidak jelas. Feedback juga dapat dicerminkan dari
ketidakjelasan harapan terhadap seorang individu.

Ahmad dan Taylor (2009) mengembangkan enam dimensi dari ambiguitas


peran auditor internal sebagai berikut:

1. Pedoman (Guidelines), bahwa pedoman sangat penting untuk mengetahui


kebijakan yang ada telah ditulis dengan jelas dan terdapat pedoman dan
kebijakan yang jelas mengenai pekerjaan. Selain itu, kebijakan sangat
penting juga untuk menciptakankejelasan kebijakan tertulis yang
menggambarkan aktivitas dan tindakan yang dilarang ketika terjadi
penyimpangan.

2. Tugas (Tasks), bahwa untuk melakukan tugas harus mengetahui dengan


jelas mengenai apa yang harus dinilai dan tindakan apa yang dibutuhkan
ketika ditemukan ketidakberesan, kelemahan, dan pelanggaran dalam
menjalankan perannya.

3. Wewenang (Authority), bahwa sebagai seorang pekerja harus memiliki


tingkat wewenang yang tepat serta memiliki keyakinan akan wewenangnya.
Tanpa adanya keyakinan dan atau tidak adanya kejelasan atas tingkat
wewenang yang dimiliki, pekerjaan dapat dipengaruhi oleh tekanan
manajemen (Van Peursem dalam Ahmad & Taylor, 2009). Oleh sebab itu,
dimensi wewenang memastikan bahwa seorang pekerja harus memahami
dengan benar mengenai wewenangnya.

4. Tanggung Jawab (Responsibilities), bahwa seorang pekerja harus memahami


dengan jelas mengenai tanggung jawab di tempat bekerja.

5. Standar (Standards), bahwa tujuan dari disusunnya standar adalah untuk

17
menggambarkan prinsip dasar dan untuk menetapkan dasar bagi evaluasi
kinerja seorang pekerja. Oleh karena itu standar bertindak sebagai referensi
dalam pelaksanaan tugas, maka sangat penting untuk menyusun standar
sejelas mungkin sehingga tidak menimbulkan berbagai interpretasi.

6. Waktu (Time), bagwa batasan waktu merupakan faktor mendasar dalam


lingkungan pekerjaan.

F. ROLE CONFLICT

1. Pengertian
Rizzo et al (1970) mendefinisikan role conflict sebagai ketidakcocokan
kebutuhan dan harapan dari peran, kompatibilitas dinilai berdasarkan
seperangkat kondisi pada dampak peran kinerja. Sedangkan Kahn et al
(dalam jamaluddin et al, 2014) dalam penelitiannya mengenalkan teori
peran pada literatur perilaku organisasi.
Kahn et al menyatakan bahwa sebuah lingkungan organisasi dapat
mempengaruhi setiap individu mengenai perilaku peran. Harapan ini
meliputi norma atau tekanan untuk bertindak dalam cara tertentu. Individu
menerima pesan tersebut untuk menginterpretasikannya, dan merespon
dalam berbagai cara. Masalah muncul ketika pesan yang dikirim tersebut
tidak jelas, penyampaian tidak secara langsung, tidak dapat
diinterpretasikan dengan mudah, dan tidak sesuai dengan daya
tangkap penerima pesan. Akibatnya, pesan tersebut dinilai ambigu atau
mengandung unsur konflik.
Kemudian Cooper et al (dalam Safaria et al, 2011) mendefinisikan
konflik peran sebagai cerminan dari sebuah tuntutan yang bertentangan pada
seseorang (baik dalam peran tunggal atau antara beberapa peran ditempati
oleh individu) yang dapat memicu reaksi emosional negatif karena
ketidakmampuan secara efektif dalam suatu pekerjaan.
Bersadarkan uraian di atas, role conflict merupakan suatu kondisi
ketidak sesuaian atau tuntutan yang bertentangan antara harapan dari suatu
peran yang memicu reaksi emosional negatif pada seseorang.

18
2. Dimensi Role Conflict

Munandar (2006) Role conflict timbul jika seorang tenaga kerja


mengalami adanya:
1. Pertentangan antara tugas yang harus dilakukan dan tanggung jawab
individu miliki.
2. Tugas yang harus dilakukan menurut pandangan melainkan bagian dari
pekerjaannya.
3. Tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya atau orang
lain dinilai penting bagi individu.
4. Pertentangan dengan nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu
melakukan tugas pekerjaannya
Miles dan Perreault (dalam Munandar, 2006) membedakan empat role
conflict, meliputi :
1. Role conflict-pribadi yaitu, tenaga kerja ingin melakukan tugas berbeda
dari yang disarankan dalam uraian pekerjaannya.
2. Konflik ‘intrasender’ yaitu, tenaga kerja menerima penugasan tanpa
memiliki tenaga kerja yang cukup untuk dapat menyelesaikan tugas
dengan berhasil.
3. Konflik ‘intersender’yaitu, tenaga kerja diminta untuk berperilaku
sedemikian rupa sehingga ada orang merasa puas dengan hasilnya,
sedangkan orang lain tidak.
4. Peran dengan beban berlebih yaitu, tenaga kerja mendapat penugasan
kerja yang terlalu banyak dan tidak dapat ditangani secara efektif.

G. SELF-EFFICACY

1. Pengertian
Menurut Bandura self-efficacy adalah persepsi diri sendiri mengenai
seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Self-efficacy
berhubungan dengan keyakinan diri memiliki kemampuan melakukan
tindakan yang diharapkan. Self-efficacy adalah penilaian diri, apakah dapat

19
melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak
bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Self-efficacy berbeda
dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang
ideal yang seharusnya (dapat dicapai), sedang self-efficacy menggambarkan
penilaian kemampuan diri.
Self-efficacy merupakan konstruk yang diajukan Bandura yang
berdasarkan teori sosial kognitif. Dalam teorinya, Bandura menyatakan
bahwa tindakan manusia merupakan suatu hubungan yang timbal balik
antara individu, lingkungan, dan perilaku (triadic reciprocal causation).
Teori self- efficacy merupakan komponen penting pada teori kognitif
sosial yang umum, di mana dikatakan bahwa perilaku individu, lingkungan,
dan faktor-faktor kognitif (misalnya, pengharapan-pengharapan terhadap
hasil dan self-efficacy) memiliki saling keterkaitan yang tinggi. Bandura
mengartikan self-efficacy sebagai kemampuan pertimbangan yang dimiliki
seseorang untuk melaksanakan pola perilaku tertentu.
Bandura dan Wood (1989) menyatakan bahwa self-efficacy memiliki
peran utama dalam proses pengaturan melalui motivasi individu dan
pencapaian kerja yang sudah ditetapkan. Pertimbangan dalam self-efficacy
juga menentukan bagaimana usaha yang dilakukan orang dalam
melaksanakan tugasnya dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas tersebut.

2. Klasifikasi Self-Efficacy

Secara garis besar, self-efficacy terbagi atas dua bentuk yaitu self- efficacy
tinggi dan self-efficacy rendah.

A. Self-efficacy tinggi

Dalam mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self-


efficacy yang tinggi akan cenderung memilih terlibat langsung. Individu

20
yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung mengerjakn tugas
tertentu, sekalipun tugas tersebut adalah tugas yang sulit. Mereka tidak
memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka hindari.
Selain itu, mereka mengembangkan minat instrinsik dan ketertarikan
yang mendalam terhadap suatu aktivitas, mengembangkan tujuan, dan
berkomitmen dalam mencapai tujuan tersebut. Mereka juga
meningkatkan usaha mereka dalam mencegah kegagalan yang mungkin
timbul. Mereka yang gagal dalam melaksanakan sesuatu, biasanya cepat
mendapatkan kembali self-efficacy mereka setelah mengalami kegagalan
tersebut.

Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi memiliki ciri-ciri


sebagai berikut: mampu menangani masalah yang mereka hadapi secara
efektif, yakin terhadap kesuksesan dalam menghadapi masalah atau
rintangan, masalah dipandang sebagai suatu tantangan yang harus
dihadapi bukan untuk dihindari, gigih dalam usahanya menyelesaikan
masalah, percaya pada kemampuan yang dimilikinya, cepat bangkit dari
kegagalan yang dihadapinya, suka mencari situasi yang baru.

B. Self-efficacy rendah

Individu yang ragu akan kemampuan mereka (self-efficacy yang


rendah) akan menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut
dipandang sebagai ancaman bagi mereka. Individu yang seperti ini
memiliki aspirasi yang rendah serta komitmen yang rendah dalam
mencapai tujuan yang mereka pilih atau mereka tetapkan. Ketika
menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk memikirkan
kekurangan- kekurangan diri mereka, gangguan-gangguan yang mereka
hadapi, dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Dalam

21
mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self-efficacy rendah
cenderung menghindari tugas tersebut.

Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah memiliki ciri-ciri


sebagai berikut: lamban dalam membenahi atau mendapatkan kembali
self-efficacynya ketika menghadapi kegagalan, tidak yakin bisa
menghadapi masalahnya, menghindari masalah yang sulit (ancaman
dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari), mengurangi usaha dan
cepat menyerah ketika menghadapi masalah, ragu pada kemampuan diri
yang dimilikinya, tidak suka mencari situasi yang baru, aspirasi dan
komitmen pada tugas lemah.

3. Dimensi Self-Efficacy
Bandura membagi dimensi self-efficacy menjadi tiga dimensi yaitu level,
generality, dan strength.

A. Dimensi level atau magnitude


Mengacu pada taraf kesulitan tugas yang diyakini individu akan
mampu mengatasinya. Tingkat self-efficacy seseorang berbeda satu
sama lain. Tingkatan kesulitan dari sebuah tugas, apakah sulit atau
mudah akan menentukan self-efficacy.

B. Dimensi Generality
Mengacu pada variasi situasi di mana penilaian tentang self-
efficacy dapat diterapkan. Seseorang dapat menilai dirinya memiliki
efikasi pada banyak aktifitas atau pada aktivitas tertentu saja. Dengan
semakin banyak self-efficacy yang dapat diterapkan pada berbagai
kondisi, maka semakin tinggi self-efficacy seseorang.

C. Dimensi Streght

22
Terkait dengan kekuatan dari self-efficacy seseorang ketika
berhadapan dengan tuntutan tugas atau suatu permasalahan. Self-
efficacy yang lemah dapat dengan mudah ditiadakan dengan
pengalaman yang menggelisahkan ketika menghadapi sebuah tugas.
Sebaliknya orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan bertekun
pada usahanya meskipun pada tantangan dan rintangan yang tak
terhingga. Dia tidak mudah dilanda kemalangan. Dimensi ini
mencakup pada derajat kemantapan individu terhadap keyakinannya.
Kemantapan inilah yang menentukan ketahanan dan keuletan individu.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-Efficacy


Bandura (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
Self-Efficacy pada diri individu antara lain.
a. Budaya
Budaya mempengaruhi self-efficacy melalui nilai (values), kepercayaan
(beliefs), dalam proses pengaturan diri (self-regulatory process) yang
berfungsi sebagai sumber penilaian self-efficacy dan juga sebagai
konsekuensi dari keyakinan akan self-efficacy.
b. Gender
Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap self-efficacy. Hal ini dapat
dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita
lebih efikasinya yang tinggi dalam mengelola peranya. Wanita yang
memiliki peran selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita
karir akan memiliki self-efficacy yang tinggi dibandingkan dengan pria
yang bekerja.
c. Sifat dari tugas yang dihadapi
Derajat dari kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh
individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap
kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleks tugas yang dihadapi
oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai
kemampuanya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang

23
mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut
menilai kemampuanya.
d. Intensif eksternal
Faktor lain yang dapat mempengaruhi self-efficacy individu adalah
insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu
faktor yang dapat meningkatkan self-efficacy adalah competent
continges incentive, yaitu insentif yang diberikan orang lain yang
merefleksikan keberhasilan seseorang.

e. Status atau peran individu dalam lingkungan


Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh
derajat kontrol yang lebih besar sehingga self-efficacy yang dimilikinya
juga tinggi. Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah
akan memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga self-efficacy yang
dimilikinya juga rendah.
f. Informasi tentang kemampuan diri
Individu yang memiliki self-efficacy tinggi, jika ia memperoleh
informasi positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki
self- efficacy yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif
mengenai dirinya.
Berdasarkan penjelasn di atas, dapat disimpulakn bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi self-efficacy adalah budaya, gender, sifat
dari tugas yang dihadapi, intensif eksternal, status dan peran individu
dalam lingkungan, serta informasi tentang kemampuan dirinya.

5. Pengaruh self-efficacy
a. Pemilihan tindakan
Faktor ini merupakan faktor yang sangat penting sebagai sumber
pembentukan self-efficacy seseorang karena hal ini berdasarkan kepada
kenyataan keberhasilan seseorang dapat menjalankan suatu tugas atau

24
ketrampilan tertentu akan meningkatkan self-efficacy dan kegagalan
yang berulang akan mengurangi self-efficacy.
Dalam kehidupan sehari-hari individu harus membuat keputusan
setiap saat mengenai apa yang harus dilakukan dan seberapa lama
individu melakukan tindakan tersebut. Keputusan yang dibuat sebagian
dipengaruhi oleh self-efficacy individu. Individu akan menghindari tugas
atau situasi yang diyakini di luar kemampuan individu, sebaliknya
individu akan mengerjakan aktivitas yang diyakini mampu untuk diatasi.

b. Usaha dan ketekunan


Keyakinan yang kuat tentang efektifitas kemampuan seseorang
akan sangat menentukan usahanya untuk mencoba mengatasi siatuasi
yang sulit. Pertimbangan efikasi juga menentukan seberapa besar usaha
yang akan dilakukan dan seberapa lama bertahan dalam menghadapi
tantangan. Semakin kuat self-efficacynya maka semakin lama bertahan
dalam usahanya.
Self-efficacy menentukan seberapa banyak usaha yang dilakukan
individu dan seberapa lama individu akan tekun ketika menghadapi
hambatan dan pengalaman yang kurang menyenangkan. Individu yang
memiliki self-efficacy yang kuat lebih giat, bersemangat, dan tekun
dalam usaha yang dilakukannya untuk menguasai tantangan. Individu
yang tidak yakin dengan kemampuannya mengurangi usahanya atau
bahkan menyerah ketika menghadapi hambatan.
c. Pola pemikiran dan reaksi emosional
Individu yang memiliki self-efficacy yang kuat akan
kemampuannya melakukan usaha untuk memenuhi tuntutan lingkungan,
sekalipun menghadapi hambatan. Self-efficacy juga membentuk
pemikiran tentang sebab-akibat.
Ketika mencari penyelesaian masalah, individu dengan self-
efficacy tinggi cenderung mengatribusikan kegagalannya pada

25
kurangnya usaha, sementara individu dengan kemampuan yang sama
tetapi self-efficacy lebih rendah menganggap kegagalan tersebut berasal
dari kurangnya kemampuan. Individu yang memiliki self-efficacy yang
tinggi memiliki suasana hati yang lebih baik, seperti rendahnya tingkat
kecemasan atau depresi ketika mengerjakan tugas daripada individu
yang self-efficacy nya rendah.

26
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Stress kerja memiliki peranan penting yang harus mendapat perhatian lebih dalam
halnya stress kerja sehingga kualitas kinerja individu di suatu perusahaan tidak
mengalami penurunan.
2. Role Stress bisa berupa role conflict, role ambiguity, dan role overload.
3. Role Stress merupakan kondisi dimana seseorang mengalami suatu ketegangan yang
mempengaruhi emosi, proses berfikir sehingga tugas yang dia dijalankan terasa
terlalu berat.
4. Role Conflict merupakan suatu kondisi ketidaksesuaian atau tuntutan yang
bertentangan antara harapan dari suatu peran yang memicu reaksi emosional negatif
pada seseorang.
5. Role Ambiguity merupakan suatu kondisi dimana kurangnya informasi yang jelas
dan spesifik tentang persyaratan peran kerja, sering dikaitkan dengan stres kerja dan
kepuasan kerja yang rendah.
6. Hubungan antara role stress, role conflict dan role ambiguity adalah dimana ketiga
aspek ini saling keterkaitan dalam hal stress kerja, emosional individu, dimana
ketiganya merupakan suatu kondisi yang bisa mempengaruhi kinerja seseorang.
7. Self-efficacy berpengaruh positif dan signifikan terhadap konflik peran. Artinya
bahwa tinggi rendahnya konflik peran pada karyawan ditentukan oleh tinggi
rendahnya self efficacy. Semakin tinggi self-efficacy maka pengelolaan konflik
peran pun akan semakin baik.

27
DAFTAR PUSTAKA

Gusti Yuli Asih, D. 2018. stress kerja. Semarang University press.


Tiwi, Febrianti. (2019) ‘Pengaruh beban kerja dan konflik peran terhadap intensi keluar
karyawan dengan stres kerja sebagai variabel mediasi’.
Sopiyan, P. and Abdul Aziz, H. (2019) ‘Pengaruh Komitmen Profesi Dan Self-Efficacy
Terhadap Konflik Peran’, Coopetition : Jurnal Ilmiah Manajemen, 10(1), pp. 15–22. doi:
10.32670/coopetition.v10i1.26.
Amilin. 2017. The Impact of Role Conflict and Role Ambiguity on Accountants’
Performance: The Moderating Effect of Emotional Quotient . European Research Studies
Journal Volume XX, Issue 2A.
Rikha, Muftia Khoirunnisa, dkk. 2019. Pengaruh Role Conflict, Role Ambiguity dan Role
Overload terhadap Cyberloafing dengan Emotional Intelligence sebagai variabel
pemoderasi. Jurnal Optimum, Volume 9, Nomor 2.

28

Anda mungkin juga menyukai